kehamilan etopik
DESCRIPTION
reproduksiTRANSCRIPT
BAB 1
KONSEP DASAR MEDIK
KEHAMILAN EKTOPIK
A. PENGERTIAN
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga
uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi
kehamilan ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,jarang
terjadi implantasi pada ovarium,rongga perut,kanalis servikalis uteri,tanduk
uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus (Manuaba, Ida Bgus
Gde.2004).
Kehamilan ektopik adalah setiap implantasi yang telah dibuahi di luar cavum
uterus. Implantasi dapat terjadi di tuba fallopii, ovarium, serviks dan
abdomen. Namun kejadian kehamilan ektopik yang terbanyak adalah di tuba
fallopii ( Mitayati. 2009).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh tidak ditempat yang normal yaitu dalam
endomertrium kavum uteri (Prawirohardjo, Sarwono. 2009).
Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan
tumbuh di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak
sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis
tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat
ektopik (Errol, Norwitz. 2008).
1
2
Gambar 1 letak Implantasi
http://atenvincentskep.blogspot.com/2009/10/askep-kehamilan-ektopik
terganggu.html
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Etiologi
a. Factor predisposisi
1) Riwayat salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan
aglutinasi silia lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau
pembentukan
kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai
akibat infeksi juga menyebabkan implantasi hasil zigot pada tuba
falopii.
2) Kehamilan yang terjadi pada pasien dengan kontrasepsi oral yang
hanya mengandung progestin,disebabkan oleh efek relaksasi otot polos
progesterone
3
3) Pemakaian antibiotic dapat meningkatkan frekuensi terjadinya suatu
kehamilan ektopik antibiotika dapat mempertahankan terbukannya
tuba yang mengalami infeksi tetapi perlengketan penyebab pergerakan
silia dan peristalsis tuba terganggu dan menghambat perjalanan ovum
yang dibuahi dari ampula kerahim sehingga implantasi terjadi pada
tuba.
4) Bekas radang pada tuba menyebabkan perubahan – perubahan pada
endosalping sehingga walaupun fertilisasi masih terjadi gerakan ovum
keuterus terlambat
5) Gangguan fisiologik tuba karena pengaruh hormonal perlengketan
perituba, tekanan pada tuba oleh tumor dari luar
b. Faktor presipitasi
Belum diketahui secara pasti.
(Purwaningsih Wahyu,2010).
C. PATOFISIOLOGI
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada
dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara
kolumner atau interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada
ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi
oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
kemudian diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara 2
jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari
4
lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai dsidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna
malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak
jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung
pada beberapa factor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan
banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.
Di bawah pengaruh hormone estrogen dan progesterone dari korpus
luteum graviditatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek;
endometrium dapat berubah pula menjadi desidua. Dapat ditemukan pula
perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella.
Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan
berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa dan
kadang kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada
sebagian kehamilan ektopik.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan
kemudian dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan
secara utuh, perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu
berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif.
1. Hasil konsepsi mati dini atau diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan muah terjadi resorbsi total. Dalam
5
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat
untuk beberapa hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba Perdarahan yang terjadi karena pembukaan
pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat
implantasi dapat melepaskan midigah dari dinding tersebut bersama-sama
dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian
atau seluruhnya, tergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kea rah ostium tuba
abdominal. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur
yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan
pars ampullaris, sedangkan penebusan dinding tuba oleh villi korialis ke
arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan
ini disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas, sehingga dapat
mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan
bagian ismus dengan ,lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung dari sedikit-sedikit oleh darah,
sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung
terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping),
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba.
6
3. Ruptur dinding tuba
Rupture tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya rupture pada pars interstisial
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Factor utama yang menyebabkan
rupture ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Rupture dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-
kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila
pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominal(Prawirohardjo, Sarwono. 2006).
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis kehamilan ektopik sebelum post diantaranya:
1. Amenorrhoe
Lamanya aminorea bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan.
Dengan aminorea terdapat hamil muda yaitu morning sicknes, mual-mual,
perasaan ngidam.
2. Nyeri Abdomen
Disebabkan kehamilan tuba yang pecah, rasa nyeri dapat menjalar
keseluruh abdomen tergantung perdarahan didalamnya. Bila rangsangan
7
darah dalam abdomen mencapai diafragma dapat terjadi nyeri di daerah
bahu.
3. Perdarahan
Terjadinya abortus atau rupture kehamilan tuba terdapat perdarahan
kedalam cavum abdomen dalam jumlah yang bervariasi.
4. Perubahan darah
Dapat diduga bahwa kadar haemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut.
5. Pembesaran uterus
Pada kehamilan ektopik uterus membesar juga karena pengaruh hormon-
hormon kehamilan tapi pada umumnya sedikit lebih kecil dibandingkan
dengan uterus pada kehamilan intrauterin yang sama umurnya.
Manifestasi klinis post oprasi laparatomi dengan indikasi salfingetomi :
1. Nyeri pada daerah abdomen luka post operasi laparatomi
2. Adanya luka pada dinding abdomen yang dilakukan operasi laparatomi
3. Sebagai akibat anastesi, penderita paska oprasi biasanya mual kadang
sampai muntah (Prawirohardjo, Sarwono. 2006) .
E. Klasifikasi
Macam-macam kehamilan ektopik berdasarkan tempat implantasinya
antara lain :
8
1. Kehamilan Abdominal
Kehamilan atau gestasi yang terjadi dalam kavum peritonium dalam
rongga perut. (sinonim: kehamilan intraperitonial)
2. Kehamilan Ampula
Kehamilan ektopik pada pars ampularistuba falopii. Umumnya berakhir
sebagai abortus tuba.
3. Kehamilan Servikal
Gestasi yang berkembang bila ovum yang telah dibuahi berimplantasi
dalam kanalis servikalis uteri kehamilan ini jarang dijumpai dan biasanya
terjadi abortus spontan didahului oleh perdarahan yang makin lama makin
banyak kehamilan ini jarang sekali berlangsung lewat dari 20 minggu.
4. Kehamilan Ovarial
Bentuk yang jarang dari kehamilan ektopik dimana blastolisis
berimplantasi pada permukaan ovarium kehamilan ini yang jarang
terdapat, terjadi apabila spermatozoon memasuki folikel de Graaf yang
baru saja pecah dan menyatukan diri dengan ovum yang masih tinggal
dalam folikel hingga menjadi ovum yang dibuahi mati, atau terjadi
rupture.
5. Kehamilan tuba
kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba falopii yaitu :
a. Kehamilan Interstisial
Kehamilan pada pars interstisial tuba falopii (Manuaba, 2008).
9
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan hemoglobim dan jumlah sel
darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus
diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
2. Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan
bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari
infeksi pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang
melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes
kehamilan berguna apabila positif. Akan tetapi tes negative tidak
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena
kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negative.
3. Kuldosentris : adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
kavum Douglas ada darah. Cara ini amat berguna dalam membantu
membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Tekniknya.
4. Ultrasonografi
Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif,
artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai
kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di
kanan kiri uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan.
10
5. Tes Oksitosin
Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat membuktikan
adanya kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan bimanual, di luar
kantong janin dapat diraba suatu tumor
6. Foto Rontgen
Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam letak
paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra
Ibu.
7. Histerosalpingografi
Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari biasa,
dengan janin diluar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis
kehamilan ektopik terganngu sudah dipastikan dengan USG (Ultra Sono
Graphy) dan MRI (Magnetic Resonance Imagine)
8. Laparotomi
eksisi tuba yang berisi kantung kehamilan (salfingo ovarektomi) atau insisi
longitudinal pada tuba dan dilanjutkan dengan pemencetan agar kantung
kehamilan keluar dari luka insisi dan kemudian luka insisi dijahit
kembali.laparatomi diindikasikan dalam keadaan sebagai berikut :
a. Pada semua pasien yang menunjukan tanda-tanda gangguan
hemidinamik.
b. Bila kehamilan ektopik adalah lebih dari 3cm dalam dimensi yang
terbesar
c. Bila perlengketan velvis yang luas dicurigai
11
d. Bila terdapat kegagalan atau kekurangan perlengkapan laparaskopik
keterampilan endoskopik dari ahli bedah kurang optimal. Jenis
prosedur yang dilakukan tergantung pada penemuan local pada saat
pembedahan. Pada pasien yang ingin mempeertahankan fertilitas
salpingostomi linier adalah terapi pilihan dalam kehamilan ampularis
yang tidak mengalami rupture sebagai alternative dalam kehamilan
ampulalaris yang sudah mengalami ruptura suatu reseksi segmental
atau salpingektomi sebagian dapat ditawarkan yang berarti pembuahan
hanya pada segmen tuba yang terkena meninggalkan sisanya yang utuh
untuk reanastomosis dimasa depan jika dikehendaki
9. Laparoskop
untuk mengamati tuba falopii dan bila mungkin lakukan insisi pada tepi
superior dan kantung kehamilan dihisap keluar tuba.
10. Progresteron serum
Kadar progresteron serum yang lebih dari 25ng/ml sebenarnya
memastikan suatu kehamilan dalam rahim. Karena berguna untuk
memeriksa kadar progesteron bila kehamilan ektopik dicurigai bila kadar
ini berada dibawah 15ng/ml pengujian tambahan dengan hCG dan
ultrasonografi harus dilakukan.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara
lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan
12
kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain
itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum
terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan
pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang
menyebabkan syok.
1. Kehamilan Tuba
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi
(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
a. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien negative β-hCG. Kehamilan ektopik akan mengalami
penurunan kadar β-hCG. kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil
atau cenderung turun harus diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak
semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani
penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada
keadaan-keadaan berikut:
1) kehamilan dengan β-hCG yang menurun
2) kehamilan tuba
3) kehamilan ektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau
rupture
13
4) diameter massa ektopik β-hCG awal harus ≤ 3.5 cm. Sumber
lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL dan diameter
massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa
penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan
tuba.
b. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan
hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas
jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan
kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki
penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada
kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan
profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode
terminasi kehamilan ektopik secara medis.
1) Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan
untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas.
Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel
trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan
14
ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut.Angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan
meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa
hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.. Senggama dan
konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate
menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi,
antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan
depresi sumsum tulang. Methotrexate dapat diberikan dalam
dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang
diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis
multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular)
pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan
dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen
pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan
diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis
multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9.
Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per
laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling
ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
2) Actinomycin
15
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin
intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan
ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi
methotrexate sebelumnya.
3) Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga
merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum
terganggu.
c. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu.
Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus
dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan
untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di
mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana
salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik
yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu,
macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui
laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam
syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per
laparoskopi.
1) Salpingostomi
16
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil
konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di
sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi
linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter.
Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk
sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini
menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu.
2) Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali
bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.
3) Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang
belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan
melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi
diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
a) Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)
b) Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
c) Terjadi kegagalan sterilisasi
17
d) Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba
sebelumnya
e) Pasien meminta dilakukan sterilisasi
f) Perdarahan berlanjut pascasalpingotomi
g) Kehamilan tuba berulang
h) Kehamilan heterotopik, dan
i) Massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-
kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi,
sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan
penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.
Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula
histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi.
Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil
konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump)
diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi,
sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang
direseksi dipisahkan dari mesosalping.
2. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi
dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan
cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil
18
konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi
dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga
tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
H. KOMPLIKASI
Pada pengobatan konservatif, yaitu jika rupture tuba telah lama berlangsung
(4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang. Ini merupakan indikasi operasi.
a. Infeksi
b. Sub-ileus karena massa pelvis
c. Hematokel velvis (Suririnah, 2008).
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post operasi menurut
Doengoes (2000) adalah
a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (prosedur pembedahan)
b. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi dan
kelemahan
c. Resiko infeksi behubungan dengan prosedur invasif (trauma jaringan,
insisi pembedahan)
d. Resiko tinggi cedera behubungan dengan kelemahan, efek-efek anestesi
e. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur
19
medis/adanya rasa mual), hilangnya cairan tubuh secara tidak normal
seperti melalui kateter, selang atau jalur normal seperti muntah.
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik(prosedur pembedahan)
Kriteria hasil: pasien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi, tanda-
tanda vital dalam batas normal, tidak meringis
No Intervensi Rasional
1 Tentukan karakteristik, lokasi
nyeri, dan intensitas nyeri
Menentukan tindak lanjut intervensi
2 Pantau tekanan darah, nadi dan
pernafasan
Nyeri dapat menyebabkan gelisah serta
tekanan darah meningkat,nadi,
pernafasan meningkat
3 Kaji stres psikologis pasien
dan respon emosional terhadap
Ansietas sebagai respon terhadap
situasi dapat memperberat
ketidaknyamanan karena sindrom
ketegangan dan nyeri
4. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik
Analgetik memberikan penghilangan
nyeri tanpa ada efek samping
5 Ajarkan teknik relaksasi(napas
dalam) dan sarankan ntuk
mengulangi bila merasa nyeri
Relaksasi mengurangi ketegangan otot-
otot sehingga mengurangi penekanan
dan nyeri
6 Kolaborasi:pemberian analgetik Analgetik akan mencapai pusat rasa
20
nyeri dan menimbulkan penghilangan
nyeri
2. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi dan kelemahan
Tujuan : kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Kriteria : mampu mengidentifikasi perawatan diri
No Intervensi Rasional
1 Kaji tangkat ketidak mampuan Menentukan sejauha mana pasien
memerlukan bantuan dalam
pemenuhan kebutuhan perawatan diri
2 Monitor keadaan umum dan
tanda-tanda vital
Perlu untuk meningkatkan latihan
ambulasi dini
3 Libatkan keluarga dalam
pemenuhan ADL
Memberikan rasa diperhatikan dan
dihargai
4 Bantu klien dalam perawatan
diri sesuai tingkat
ketidakmampuan
Perlu untuk pemenuhan kebutuhan
dalam keterbatasan klien
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (trauma jaringan, insisi
pembedahan)
Kriteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksi kalor, dolor, rubor, tumor,
fungsiolesa
21
No Intervensi Rasional
1 Kaji adanya tanda-tanda infeksi Menentukan tindak lanjut
intervensi
2 Ukur tanda-tanda vital Untuk mendeteksi secara dini
gejala awal terjadinya infeksi
3 Observasi tanda-tanda infeksi Deteksi dini terhadap infeksi
akan mempermudah dalam
penanganan
4 Lakukan perawatan luka dengan
menggunakan teknik septik dan
aseptik
Menurunkan terjadinya resiko
infeksi dan penyebaran bakteri
5 Observasi luka insisi Memberikan deteksi dini
terhadap infeksi dan
perkembangan luka
6 Kolaborasi:Berikan antibiotik
sesuai indikasi
Mencegah terjadinya infeksi
4. Resiko tinggi cedera behubungan dengan kelemahan, efek-efek anestesi
Tujuan : pasien tidak mengalami cedera
Kriteria :
a. Mendemonstrasikan perilaku untuk menurunkan resiko atau melindungi
diri
22
b. Bebas dari komplikasi
No Intervensi Rasional
1 Observasi tanda-tanda vital Perubahan tanda vital secara
mendadak menyebabkan pasien
jatuh atau cidera
2 Anjurkan ambulasi dini secara
bertahap
Menurunkan resiko pembentukan
thrombus dan meningkatkan
kemampuan fisik
3 Libatkan keluarga untuk
membantu pemenuhan kebutuhan
Ketidakseimbangan elektrolit dan
pemasukan cairan dapat
manambah resiko jatuh
4 Kolaborasi dengan bagian
fisioterapi
Perlu untuk ambulasi dini
5. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa
mual), hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti melalui kateter,
selang atau jalur normal seperti muntah
Kriteria hasil : mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat,
sebagaimana ditunjukkan dengan adanya tanda – tanda vital yang stabil,
palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran
mukosa lembab, dan pengeluaran urine individu yang sesuai.
23
No Intervensi Rasional
1 Ukur dan catat pemasukan
dan pengeluaran (termasuk
pengeluaran cairan
gastroentestinal)
dokumentasi yang akurat akan
membantu dalam mengindifikasi
pengeluaran cairan/keburuhan
penggantiandan pilihan – pilihan yang
mempengaruhi intervensi
2 Kaji pengeluaran urinarius
terutama untuk tipe
prosedur operasi yang
dilakukan
Mungkin akan terjadi penghilangan
setelah prosedur pada sistem
genitourinarius
3 Catat dan ukur adanya
mual/muntah
mual yang terjadi selama 12 sampai 24
jam pasca operasi umumnya
dihubungkan dengan anastesi (termasuk
anastesi regional).
4 Pantau tanda – tanda vital hipotensi, takikardi, peningkatan
pernafasan mengindikasikan kekurangan
cairan misalnya dehidrasi/hipovolemia
5 Kolaborasi dalam
memberikan cairan
parenteral. Tingkatkan
kecepatan IV line jika
diperlukan
gantikan kehilangan cairan yang telah
didokumentasikan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Asmudi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC
Capenito.L.J. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Buku
Kedokteran.EGC : Jakarta.
Errol, Norwitz. 2008. At aGlance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Erlanga.
Hlm:16-17
Haryanto. 2007. Konsep Dasar Keperawatan dengan Pemetaan Konsep (Concept
Mapping). Jakarta : Salemba Medika.
Manuaba, 2008. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita . Jakarta: Arcan
Manuaba, Ida Bgus Gde.2004. Kepaniteraan Klinik Obsetri dan
Ginekologi.EGC: Jakarta
Mitayati. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Salemba Medika: Jakarta
Nanda. 2010.Diagnosa Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2009 2011.Penerbit
Buku Kedokteran EGC.Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Prawiro hardjo sarwono, Hanifa W.2008.Gangguan Bersangkutan Dengan
Konsepsi.Dalam; Ilmu Kandungan, edisi II. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Prawirohardjo,Sarwono.2009.Ilmu Kandungan. Jakarta:Yayasan Bina Puataka.
Purwaningsih Wahyu, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Maternitas. Nuha
medika : Yogyakarta
25
Price,Sylvia A, Lorraine M. Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta:EGC
Rohman,Nikmatur, Saiful Walid.2010. Proses Keperawatan Teori Dan Aplikasi.
Jogjakarta:Ar-Ruzz Media
Suririnah, 2008. Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Supriyadi,Teddy.1994.Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. EGC: Jakarta
Yulianingsih, Maryunanni, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam
Kebidanan. Penerbit : Trans Info Media, Jakarta