kekebalan tubuh file

33
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI “AKTIVITAS OBAT/SEDIAAN UJI TERHADAP KEKEBALAN TUBUH (IMUNITAS)” NAMA : Margaret Dwi Forta 121524087 Nailui Ramadhilla 121524103 Doni Kurniawan 121524128 Noval Saputra 121524072 Intan Purnamasari 121524091 Trie Kurnia Waldini 121524064 Cut Alina Zahra 121524053 Siti Aniroh 121524159 Susita Ariani 121524162 Maya Sari Bungsu 121524057 PROGRAM : EKSTENSI KELOMPOK/HARI : VI / SENIN ASISTEN : TGL PERCOBAAN : 01 april 2013 LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI 1

Upload: margaret-dwi

Post on 05-Dec-2014

95 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kekebalan Tubuh File

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

“AKTIVITAS OBAT/SEDIAAN UJI TERHADAP KEKEBALAN

TUBUH (IMUNITAS)”

NAMA : Margaret Dwi Forta 121524087 Nailui Ramadhilla 121524103 Doni Kurniawan 121524128 Noval Saputra 121524072 Intan Purnamasari 121524091 Trie Kurnia Waldini 121524064 Cut Alina Zahra 121524053 Siti Aniroh 121524159 Susita Ariani 121524162 Maya Sari Bungsu 121524057

PROGRAM : EKSTENSI

KELOMPOK/HARI : VI / SENIN

ASISTEN :

TGL PERCOBAAN : 01 april 2013

LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI USU

MEDAN

2012

1

Page 2: Kekebalan Tubuh File

Lembar Persetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum

Judul Percobaan : Immunitas

Tanggal ACC : Medan, April 2013

Asisten, Praktikan,

(Asni Zahara Rambe) (Margaret Dwi Forta)

Perbaikan:

1. Perbaikan I, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

2. Perbaikan II, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

3. Perbaikan III, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

4. Perbaikan IV, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

5. Pergantian Jurnal : ___________________

2

Nilai :

Page 3: Kekebalan Tubuh File

I. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan menimbulkan

berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau menyingkirkan benda

pengganggu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan

manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonspesifik

(innate immunity) dan imunitas spesifik (iadaptive immunity). Imunitas nonspesifik

merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa

keutuhan kulit dan mukosa, komponen biokimiawi (seperti asam lambung, lisozim,

komplemen) dan komponen seluler nonspesifik(seperti netrofil dan makrofag).

Sedangkan imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain

kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu, kemampuan

membedakan antigen asing dengan antigen sendiri dan kemampuan untuk bereaksi

lebih cepat dan lebih efisien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya

(Nafrialdi, 2007).

Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi

serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses

imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut walaupun bersifat merusak,

berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh (Tjay,

2002).

Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali ke dalam aliran darah

seorang yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodies

dari tipe IgE (disamping IgG dan IgM). IgE ini, mengikat diri pada membrane mast-

cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (alergen) yang sama atau

yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan

mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane

mast-cells. Sejumlah zat perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama

serotonin, bradikinin dan asam arachidonat yang kemudian diubah menjadi

prostaglandin dan leukotrien (Tjay, 2002).

Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal

abad ke 19, histamanin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar.

Histamin juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama

3

Page 4: Kekebalan Tubuh File

histamin (histos = jaringan). Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin didasarkan

pada adanya persamaan antara efek histamin dan gejala-gejala syok anafilaktik dan

trauma jaringan. Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis

terutama pada anafilksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa

histamin merupakan mediator terakhir dalam respons sekresi cairan lambung,

histamin juga berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP.

Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun, bakteri dan

tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung precursor histamin. Kadar

histamin paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus dan paru-paru (Dewoto,

2007).

b. Tujuan percobaan

Untuk mengetahui metode yang digunakan pada evaluasi aktivitas antialergi

obat atau sediaan uji dalam percobaan ini .

Untuk mengetahui fungsi penyuntikan antigen dan larutan evans blue

Untuk mengetahui efek dari pemberian obat CTM dan ekstrak tumbuhan

pada tikus

c. Prinsip Percobaan

Reaksi anafilaksis kutan akut akibat pemberian antigen atau protein asing

dapat dihambat dengan pemberian obat antialergi.

4

Page 5: Kekebalan Tubuh File

II. Tinjauan Pustaka

Alergi, istilah ini yang juga disebut hipersensitivitas pertama kali (1906)

dicetuskan oleh Von Pirquet yang menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan

rumah (host) terhadap suatu unsur eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali atau

berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini meliputi sejumlah reaksi auto-imun dan alergi

serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses

imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut, walaupun bersifat merusak,

berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh

(Tan,2007).

Bila suatu protein asing masuk berulang kali ke dalam aliran darah seorang

yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE,

yang juga disebut reagin, mengikat diri pada membran mast-cells tanpa

menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen yang sama atau mirip rumus

bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya.

Hasilnya adalah suatu reaksi alergi alibat pecahnya membran mast-cell. Sejumlah zat

perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan

asam arakidonat,yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat-

zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan

penyerbu. Di samping itu juga menyebabkan beberapa gejala bronkokonstriksi,

vasodilatasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen.

Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan

bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti: asma, rhinitis alergika dan eksim

(Tan, 2007).

Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen- antibodi

berlangsung,misalnya di hidung (rhinitis), di kulit (eksim), mukosa

mata(konjungtivitis) atau di bronchi (asma). Gejala tersebut juga dapat timbul

bersamaan waktu di berbagai tempat (Tan, 2007).

Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut Gell

& Coombs(1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yaitu :

Tipe I

5

Page 6: Kekebalan Tubuh File

gangguan-gangguan alergi berdasarkan reaksi antara alergen-antibodi (IgE)

dengan degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang berbakat

genetis (keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi

anafilaksis dan terutama berlangsung di saluran napas dan di kulit, jarang di

saluran cerna dan di pembuluh darah. Mulai reaksinya cepat, dalam waktu 5

sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering kali disebut reaksi segera.

Gejalanya bertahan lebih kurang 1 jam (Tan, 2007).

Tipe II, autoimunitas(reaksi sitolitis)

Antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam

darah dan menyebabkan sel musnah. Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi

darah. Contohnya adalah gangguan auto-imun akibat obat, seperti anemia

hemolitis (akibat penisilin), agranulositosis(akibat sulfonamida), SLE (systemic

lupus erythematodes) akibat hidralazin atau prokainamida. Reaksi autoimun jenis

ini umumnya sembuh dalam waktu beberapa bulan (Tan, 2007).

Tipe III,ganguan imun- kompleks (reaksi Arthus).

Pada peristiwa ini,antigen dalam sirkulasi bergabung dengan terutama IgG

menjadi suatu imun-kompleks,yang diendapkan pada endotel pembuluh. Di

tempat itu sebagai respons terjadi peradangan,yang disebut penyakit serum yang

bercirikan urticaria,demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam

setelah ”terkena” dan lamanya 6-12 hari. Obat-obat yang dapat menginduksi

reaksi ini adalah sulfonamida, penisilin dan iodida. Imun-kompleks dapat terjadi

di jaringan yang menimbulkan raksi ootaksis. Mulai reaksinya sesudah 24-48 jam

dan bertahan beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberkulin dan dermatitis

kontak (Tan , 2007).

Tipe IV (reaksi lambat,delayed)

Antigen terdiri dari suatu komplek hapten(+)protein yeng beraksi dengan T-

limfosit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (sitokin dari

limfosit)dibebaskan yang menarik makrofag dan neutrofil, sehingga terjadi reaksi

peradangan. Proses penarikan itu disebut chemotaxis. Mulai reaksinya sesudah

24-28 jam dan bertahan beberapa hari. Contohnya reaksi tuberkulin dan

dermatitis kontak(Tan , 2007).

6

Page 7: Kekebalan Tubuh File

Bentuk alergi tipe I-III berkaitan dengan imunoglobulin dan imunitas

humoral( Lat.humor=cairan tubuh), artinya ada hubungan dengan plasma. Hanya

tipe IV berdasarkan imunitas seluler( limpfosit T) (Tan , 2007).

Asma, demam hay dan anfilaksis (tanpa perlindungan) disebabkan oleh

proses yang sama dasarnya yaitu antibodi IgE menempel pada sel mast dan pada

pemaparan berulang dengan antigen yang sama,terjadi degranulasi sel mast sehingga

terjadi produksi dan pelepasan mediator. Bila perlepasan mediator terlokalisai,terjadi

demam hay atau asma,tetapi pelepasan mediator yang menyeluruh dan masif

menyebabkan anafilaksis,yang walaupun jarang terjadi,mengancam jiwa akibat

sengatan lebah atau penisilin atau obat lainnya. Antigen yang bisa memicu reaksi ini

disebut alergen(zat penyebab alergi).Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi

dimana ukuran diameter jalan napas menyempit secara kronis akibat edema dan tidak

stabil. Selama serangan pasien mengalami menginitis dan kesulitan bernafas akibat

bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus. Terkadang inflamasi kronis

menyebabkan peubahan ireversibel pada jalan nafas. Bila serangan akut mempunyai

dasar alergi,sering digunakan istilah asma ektrinsik. Bila tidak ada dasar alergi yang

jelas untuk penyakit ini,disebut asma intrinsik.Pada asma ringan sampai sedang,obat

ini pertama adalah agonis adrenoseptor beta 2,bekerja singkat yang dibutuhkan dapat

diinhalasi dari wadah bertekanan. Bila agonis beta2, dibutuhkan lebih dari sekali

sehari, maka ditambahkan pemakaian teratur steroid inhalasi atau kromolikat. Pada

asma yang lebih berat,agonis beta kerja singkat dipertahankan ,dengan penambahan

steroid inhalasi dosis tinggi,ataupun dengan penambahan stimulan beta kerja panjang

(misalnya salmeterol) yang diinhalasi secara teratur bersama dengen steroid inhalasi

dosis standart. Jika dibutuhkan,steroid inhalasi dosis tinggi dapat dikombinasikan

dengan salmeterol,ipratropium inhalasi atau teofilin lepas lambat oral. Beberapa

pasien dikontrol hanya dengan steroid oral (Neal,1995).

Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal

abad ke 19, histamanin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar.

Histamin juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama

histamin (histos = jaringan). Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin didasarkan

pada adanya persamaan antara efek histamin dan gejala-gejala syok anafilaktik dan

trauma jaringan. Meskipun didapatkan perbedaan diantara spesies, pada manusia

7

Page 8: Kekebalan Tubuh File

histamin merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe segera

(immediate) dan reaksi imflamasi, selain itu histamin memiliki peran penting dalam

sekresi asam lambung dan berfungsi sebagai suatu neuromodulator (Dewoto, 2007).

Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat

pada permukaan membran. Dewasa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H1, H2,

dan H3. Reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan

protein G. pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membrane pascasinaptik

sedangkan reseptor H3 terutama prasinaptik. Aktivasi reseptor H1 yang terdapat pada

endotel dan sel otot polos, menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut

mungkin diperrantarai oleh peningkatan cyclicguanosine monophosphate (cGMP) di

dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf

pusat (Dewoto, 2007).

Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung dan beberapa

sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain

itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin

menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan

kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos

br oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2

oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi(Dewoto, 2007).

Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai

sistem organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada beberapa daerah di otak

mengurangi penglepasan transmitter baik histamin maupun norepinefrin, serotonin

dan asetilkolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain

sebagai gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk

digunakan sebagai antiobesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis

reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Dewoto, 2007).

Efek histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler (arteriol

dan venul), dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah (blushing area),

menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor

H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya

8

Page 9: Kekebalan Tubuh File

pengaruh histamin terhadap reseptor H2, menyebabkan vasodilatasi yang timbul

lebih lambat dan berlangsung lebih lama. Akibatnya pemberian AH1 dosis kecil

hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah kecil.

Sedangkan efek histamin dalam jumlah lebih besar hanya dapat dihambat oleh

kombinasi AH1 dan AH2 (Dewoto, 2007).

Antihistamin H1 mengantagonis semua efek histamin, kecuali untuk histamin

yang hanya diperantarai oleh oleh reseptor H2. Efek semua penyekat reseptor H1

secara kualitatif adalah sama. Namun, kebanyakan penghambat ini mempunyai efek

tambahan yang tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor H1, kemungkinan

efek ini-efek ini memantulkan ikatan antagonis H1 pada reseptor kolinergik,

adrenergik, atau reseptor serotonin. Beberapa penyekat H1, seperti difenhidramin,

mempunyai aktivitas anestetik lokal yang baik (Mycek, 2002).

Penyekat H1 berguna pada pengobatan alergi yang disebabkan oleh antigen

yang bekerja pada antibodi-IgE yang mensensitisasi sel mast. Misalnya, antihistamin

adalah obat pilihan dalam mengontrol gejala rinitis alergika dan urtikaria karena

histamin merupakan mediator yang terpenting. Namun penyekat reseptor H1 tidak

efektif pada pengobatan asma bronkiale, karena histaminadalah satu-satunya dari

mediator (Mycek, 2002).

Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik sehingga akan melepaskan

histamin dari sel mast dan basofil. Zat-zat tersebut ialah:

1. Enzim kimotripsin, fosfolipase dan tripsin

2. Beberapa surface active agents misalnya detergen, garam empedu dan

lisolesitin

3. Racun dan endotoksin

4. Polipeptida alkali dn ekstrak jaingan

5. Zat dengan berat molekul tinggi misalanya ovomukoid, zimosan, serum kuda,

ekspander plasma dan polivinilpirolidon

6. Zat bersifat basa misalnya morfin, kodein, antibiotic, meperidin, stilbamidin,

propamidin, dimetiltubokurarin, d-tubokurarin

7. Media kontras

9

Page 10: Kekebalan Tubuh File

Penglepasan histamin juga dapat disebabkan oleh proses fisik seperti mekanik,

termal atau radiasi. Hal ini cukup untuk merusak sel terutama sel mast yan akan

melepaskan histamin. Hal ini terjadi misalnya pada cholinergic urticaria, solar

urticaria, dan cold urticaria (Dewoto, 2007).

Bersama dengan obat antimuskarinik skopolamin, penghambat reseptor H1

tertentu,seperti difenhidramin, dimenhidrinat, siklizin, dan meklizin, merupakan obat

yang paling efektif dalam mencegah gejala motion sickness. Antihistamin mencegah

atau mengurangi mentah dan mual yang diperantarai oleh jalan kemoreseptor dan

vestibular. Efek antiemetik dari substansi ini kelihatannnya tidak tergantung pada

efek antihistamin dan efek lainnya. Beberapa antihistamin, seperti difenhidramin

mempunyai efek sedatif yang kuat dan digunakan untuk pengobatan insomnia

(Mycek, 2002).

Penyekat reseptor H1 diabsorbsi dengan baik setelah pemberian peroral

dengan kadar maksimum dalam serum tercapai setelah 1 sampai 2 jam. Waktu paruh

rata-rata dalam plasma 4 sampai 6 jam, kecuali untuk meklizin, yang mempunyai

waktu paruh 12 sampai 24 jam. Penyekat reseptor H1 mempunyai bioavabilitas

tinggi, didistribusi pada semua jaringan termasuk SSP. Tempat biotransformasi

utama adalah hati. Diekskresi kedalam urin, sedikit dalam bentuk yang tidak berubah

dan sebagian besar dalam bentuk metabolit (Mycek, 2002).

Macam-macam obat antihistamin

Sejak histamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi

banyak proses faali dan patologik dalam tubuh, maka dicari obat yang dapat

melawan khasiat histamin. Epinefrin merupakan antagonis faali yang pertama kali

digunakan, efeknya lebih cepat dan lebih efektif daripada AH1. ( Fajar, 2013)

a) Antihistamin generasi pertamaSejak tahun 1937-1972, ditemukan beratusratus antihistamin dan digunakan

dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam dosis terapi

efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan

pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung

akibat histamin. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada

urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja antihistamin dalam

menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan

10

Page 11: Kekebalan Tubuh File

dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan

memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan dalam

antihistamin generasi pertama. (2) Untuk pedoman terapi, penggolongan AH1

dengan lama kerja, bentuk sediaan dan dosis dapat di lihat pada Tabel 1.

Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau

dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan

influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin,

hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini

mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan

dan dapat dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun,

efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga

mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, harus berhati-hati waktu mengendarai

kendaraan, mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin berat.

Efek sedative ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki

sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada

reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor

H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu, efek

sedative diperberat pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnya minor

tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus berhati-hati. Di samping itu,

beberapa antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti mulut menjadi

kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.

( Fajar, 2013)

b) Antihistamin generasi kedua

Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat

menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid, metilamid dan

simetidin. Ternyata antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk

pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin generasi kedua

mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik

yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi

histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek

mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik,dapat diberikan dengan dosis yang tinggi

untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang

11

Page 12: Kekebalan Tubuh File

tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka

panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin

pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat mencegah

bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma

kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita dengan

hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan terutama

untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin generasi

kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan dalam

antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin.

( Fajar, 2013)

c) Antihistamin generasi ketiga

Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,

norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan

metabolit antihistamin generasi kedua.Tujuan mengembangkan antihistamin generasi

ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta

menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya. ( Fajar, 2013)

Efek samping obat antihistamin

Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan

antihistamin generasi kedua, pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang sama

terhadap gejala-gejala alergi. Yang berbeda adalah antihistamin klasik mempunyai

efek samping sedatif. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin klasik

dapat menembus sawar darah otak (blood brain barrier) sehingga dapat menempel

pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel di

reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun sehingga timbul rasa mengantuk.

Sebaliknya, antihistamin generasi kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga

reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek sedatif tidak terjadi. Oleh

karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga antihistamin non-

sedatif( Fajar, 2013).

Badan yang mengawasi peredaran obat di Amerika (FDA) pada tahun 1997

mencabut peredaran terfenadine karena timbulnya aritmia, takikardia ventrikular,

pemanjangan interval QT. Aritmia ini dapat menimbulkan pingsan dan kematian

mendadak karena gangguan jantung. Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus

12

Page 13: Kekebalan Tubuh File

memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu keamanan, kualitas hidup, pemberian mudah

dengan absorpsi cepat, kerja cepat tanpa efek samping dan mempunyai aktifitas

antialergi( Fajar, 2013).

Kontra Indikasi dan Interaksi Obat

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakain antihistamin H1

pemakaian topical golongan etylen diamin pada penderita yang telah

mendapatkan obat lain yang mempunyai struktur yang mirip (aminophylline).

Efek sedai akan meningkat apabila pemberian obat H1 bersamaan dengan

obat anti depresan atau alcohol

Golongan phenotiazid dapat menghambat efek vasopressor dari epinerphin

Efek antikolinergik dan antihistamin akan lebih berat dan lebih lama

diberikan bersama obat inhibitor monoamine (procarbazin) (Budi,2008).

Toleransi

Pemakaian antihistamin terutama hydroxyzine lebih dari 3minggu dapat

terjadi penurunan efektivitas klinis dalam mengatasi urtika. Mekanisme kerjanya

belum pasti, diduga adanya auto induksi pada metabolisme di hepar dan

meningkatnya ekresi melalui urin, pergantian dengan antihistamin golongan lain

pada beberapa kasus dapat menolong.

Toleransi tidak pernah dilaporkan pada pemakaian chlorpeniramin. Penelitian

lain terhadap antihistamin H1 generasi 2 tidak menunjukkan timbulnya toleransi

setelah pemakain 6-8minggu (Budi,2008).

Lokasi Mungkin Alergi Mungkin TIDAK Alergi

Hidung dan Mata Bersin Sakit tenggorokan

Mata berkaca-kaca Pilek dengan warna, kadang-kadang

tebal, mengeluarkan lendir

Gatal hidung dan

tenggorokan

Demam (sedikit jika dingin, lebih tinggi

jika flu)

Batuk

Sakit kepala

Nyeri wajah

Keluar cairan hidung nyeri otot, pegal seluruh

Paru-paru Mengi Mengi

13

Page 14: Kekebalan Tubuh File

Sesak napas Sesak napas

Batuk (dahak jelas) Batuk (dahak berwarna/darah dahak)

Kesulitan bernapas Kesulitan bernapas

(Anonim, 2010)

Tabel penggolongan antihistamin dengan masa kerja beserta dosis.

( Fajar, 2013)

14

Page 15: Kekebalan Tubuh File

III. Metode Percobaan

a. Alat Spidol Permanent

Timbangan elektrik

Spuit

Oral sonde

Jam Tangan

Tissue gulung

Serbet

b. Bahan Ovalbumin CTM Evans blue Larutan Ekstrak

c. Hewan Percobaan Tikus

d. Prosedur Kerja1. Satu minggu sebelum pratikum, hewan ditimbang dan

ditandai.2. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok3. Hewan disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspense

ovalbumin sebanyak 0,1ml dalam NaCl 0,9% secara i.p dan 3 hari selanjutnya disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspense ovalbumin sebanyak 0,1ml dalam NaCl 0,9% secara intraplantar.

4. Pada hari pratikum, hewan yang sudah disensitisasi dicukur bulu punggungnya lalu ditritmen dengan CTM dengan dosis 6mg/kg BB dan larutan ekstrak dengan dosis 100mg/kg BB.

5. Satu jam berikutnya, hewan disuntik dengan larutan evan blue sebanyak 0,2ml, secara i.v melalui ekor.

6. Hewan disuntikkan lagi dengan ovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara subkutan.

7. Dilakukan pengamatan dengan interval waktu 30,60,90 menit.8. Anafilaksis kutan aktif ditandai dengan munculnya benjolan

yang berwarna biru pada area injeksi(punggung).9. Hasil pengamatan diberikan skor seperti yang terdapat pada

table berikut.Intesitas warna pada area skor IritasiTidak berwarna 0 Tidak adaSedikit berwarna biru 2 RinganWarna biru terang 4 RinganWarna biru gelap 6 Moderat( >4 )Bengkak (+)biru gelap 8 Berat

Perhitungan Dosis

15

Page 16: Kekebalan Tubuh File

Pemberian CMC 0,5%

- Tikus 1 = 107,6 g

Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan

= 1% x 107,6

= 1,076 ml

Pemberian CMC 1%

- Tikus 1 = 137,2 g

Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan

= 1% x 137,2

= 1,372 ml

Pemberian CTM 1% dosis 6 mg/kg BB

- Tikus 3 = 148,3 g

Jumlah obat (mg) = 6 mg/kg BB x 148,3 g

1000

= 0,889 mg

Konsentrasi obat = 1 %

1 % = 1 g/100 ml

= 1 g x 1000 mg/100 ml

= 10 mg/ml

Jumlah larutan obat yang diberikan = 0.889 mg = 0.0889 ml

10 mg/ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka

1 skala = 1 : 100

= 0,01 ml

Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah

Jumlah larutan = 0.0889 ml = 8,89 skala

0,01 ml

- Tikus 4 = 153.8 g

Jumlah obat (mg) = 6 mg/kg BB x 153,8 g

1000

= 0,922 mg

16

Page 17: Kekebalan Tubuh File

Konsentrasi obat = 1 %

1 % = 1 g/100 ml

= 1 g x 1000 mg/100 ml

= 10 mg/ml

Jumlah larutan obat yang diberikan = 0,922 mg = 0,0922 ml

10 mg/ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka

1 skala = 1 : 100

= 0,01 ml

Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah

Jumlah larutan = 0,0922 ml = 9,22 skala

0,01 ml

Pemberian Ekstrak 1% dosis 100 mg/kg BB

- Tikus 5 = 142,4 g

Jumlah ekstrak = 100 mg/kg BB x 142,4 g

1000

= 14,24 mg

Konsentrasi obat = 1 %

1 % = 1 g/100 ml

= 1 g x 1000 mg/100 ml

= 10 mg/ml

Jumlah larutan obat yang diberikan = 14.24 mg = 1,424 ml

10 mg/ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka

1 skala = 1 : 100

= 0,01 ml

Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah

Jumlah larutan = 1.424 ml = 142.4 skala

0,01 ml

Tikus 6 = 123,2 g

17

Page 18: Kekebalan Tubuh File

Jumlah ekstrak = 100 mg/kg BB x 123,2 g

1000

= 12,32 mg

Konsentrasi obat = 1 %

1 % = 1 g/100 ml

= 1 g x 1000 mg/100 ml

= 10 mg/ml

Jumlah larutan obat yang diberikan = 12,32 mg = 1,232 ml

10 mg/ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka

1 skala = 1 : 100

= 0,01 ml

Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah

Jumlah larutan = 1,232 ml = 123,2 skala

0,01 ml

IV. Hasil dan Pembahasan

18

Page 19: Kekebalan Tubuh File

a. Hasil

No Kelompok Waktu pengamatan (menit)

30 60 90

1. CMC 0,5% 2 4 4

CMC 1% 0 2 2

2. CTM 1%

(6mg/kg BB)

2 4 6

2 0 0

3. Ekstrak

Tumbuhan 1%

(100mg/kg BB)

0 0 0

0 0 0

b. Pembahasan

Percobaan yang dilakukan adalah dengan memberikan suspensi ovalbumin

dalam NaCl 0,9 % sebagai antigen kepada hewan percobaan sebanyak 3 kali

pemberian, yaitu secara intraperitonial, intraplantar, dan subkutan. Tujuannya adalah

untuk menimbulkan reaksi anafilaksis kutan aktif.

Pada penyuntikan antigen yang pertama gunanya untuk proses pengenalan,

kemudian yang kedua terjadi proses pembentukkan antibodi. Pada penyuntikan

antigen yang ketiga tujuannya agar terjadi reaksi anafilaksis kutan aktif. Molekul

IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap

oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metakromatik (mastosit atau sel

basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkontak dengan alergen

spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil

dan akibainya terlepas mediator-mediator alergi. Reaksi alergi yang segera terjadi

akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang mencapai

puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60

menit kemudian.

Penyuntikan larutan evan blue setelah sensitisasi gunanya sebagai indikator

adanya histamin yang lepas ke dalam darah. Gejalanya akan memunculkan bentolan

yang berwarna biru pada daerah sensitasi tersebut (Arimura et al. 1990). Pada hasil

percobaan pemberian ekstrak temu mangga terhadap hewan percobaan yang

diberikan antigen, tidak memunculkan bentolan yang berwarna biru yang diberi skor

19

Page 20: Kekebalan Tubuh File

0. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak temu mangga memiliki aktivitas antihistamin.

CTM juga mempunyai aktivitas antihistamin, karena CTM mempunyai efek

antimuskarimik dan melewati sawar darah otak, biasanya menyebabkan rasa kantuk

dan gangguan psikomotorik (Neal, 2006).

V. Kesimpulan dan saran

20

Page 21: Kekebalan Tubuh File

a. Kesimpulan

Metode yang digunakan pada evaluasi aktivitas antialergi obat atau

sediaan uji dalam percobaan ini adalah metode anafilaksis kutan aktif,

yaitu penyuntikan induksi dengan antigen sehingga menghasilkan

antibodi.

Fungsi penyuntikan antigen (suspensi ovalbumin) menyebabkan gangguan

fisiologis pada jaringan dan organ tubuh, yaitu udema (pembengkakan

pada kulit), dilatasi pembuluh darah dan kontraksi saluran pencernaan.

Sedangkan larutan evans blue akan memunculkan benjolan yang

berwarna biru pada daerah sensitisasi tersebut.

Efek dari pemberian obat CTM dan ekstrak pada tikus yang telah

disuntikkan antigen adalah dapat mengurangi bengkak atau benjolan biru

pada area injeksi (punggung).

b. Saran

Daftar Pustaka

21

Page 22: Kekebalan Tubuh File

Mycek. M. J. et al., (2002). Farmakologi Ulasan Bergambar . Edisi Kedua. Jakarta :

Widya Medika . Hal. 426-427.

Neal, M. J., (1995) , At a Glance Farmakolgi Medis . Edisi kelima . Jakarta :

Erlangga . Hal. 28-30.

Tan, H. T & Raharja, K., (2007) . Obat – Obat Penting . Edisi Keenam . Jakarta :

Elek Media Komputindo . Hal. 813-815.

Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit

Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Arifin, Fajar Gunawijaya. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga.

http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/anthistamin.pdf pada

tanggal 02 April 2013.

Anonim. 2010. http://www.consumerreports.org/health/resources/pdf/best-buy-

drugs/Antihistamines.pdf. Pada tanggal 02 April 2013.

Budi, Imam Putra. 2008. Pemakaian Antihistamin pada anak.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E00605.pdf . Pada

Tanggal 02 April 2013.

22