kekuatan bahasa sebagai sarana pembangun sikap sdm berkualitas

5

Click here to load reader

Upload: didizoneunila

Post on 24-Jun-2015

90 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Menginginkan file-file penting berkenaan bahasa, sastra dan kesenian?? buka situs ini : http://sastra-indonesiaraya.blogspot.com/

TRANSCRIPT

Page 1: KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Hak Cipta © 2006 - 2008 Pusat Bahasa Depdiknas

Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com 1

KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Dwi Atmawati

Balai Bahasa Semarang 1. Pendahuluan Asal segala ketaatan adalah pemikiran. Demikian pula asal segala kemaksiatan (Qardhawi dalam Paisak, 2003:187). Hasil pemikiran itu dioperasionalkan melalui bahasa. Kitab suci Alquran, Injil, Taurat direkam menggunakan media bahasa. Perjanjian-perjanjian bersejarah, seperti Linggarjati, Renville, Perjanjian Roem Royen, dan lain-lain juga dituangkan dengan menggunakan media bahasa. Dominasi dan relasi kekuasaan pun dioperasionalkan melalui bahasa (Fakih dalam Artha, 2000:xvi). Hanya dengan bahasa pekerjaan berpikir dapat diamati (Paisak, 2003:147). Bahasa tidak bisa lagi dipandang sebagai media komunikasi yang bebas nilai. Sebuah kata yang diluncurkan seseorang bahkan bisa menjadi senjata yang mematikan bagi orang lain. Perlu disadari bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam bahasa, adat-istiadat, dan budaya. Penggunaan terhadap kata-kata yang spesifik atau ekspresi-ekspresi linguistik menunjukkan sikap budaya masyarakat (Fromkin dan Rodman, 1998:441). Karena itu, pilihan terhadap diharapkan dapat mencerminkan kecermatan berpikir yang menggambarkan kejernihan dalam berlogika.

Kehidupan masyarakat pada era ini cenderung mengedepankan demokrasi. Demokrasi yang menonjolkan wacana keterbukaan sangat dikuasai oleh bahasa. Bahasa ibarat alat. Lakunya menuruti derajat keterampilan penggunanya. Sebagai alat, bahasa pun dapat direkayasa, dimanipulasi, atau diolesi di sana-sini. Hasilnya adalah keanekaragaman corak bahasa yang dapat digunakan sesuai dengan ”situasi, kondisi dan toleransi” (Charlie, 2003:55). Penggunaan bahasa pula dapat memicu perilaku nonverbal. Meski perilaku nonverbal penting, kemampuan verballah yang menyampaikan berbagai gagasan di dalam dinamika suatu masyarakat (Hoed, 2000:81). Menggunakan kemampuan verbal dengan memanfaatkan kekuatan bahasa yang dilandasi oleh pengetahuan tentang agama, budaya, norma-norma sosial, dan sebagainya dapat membentuk sikap sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

2. Kekuatan Bahasa dalam Hubungannya dengan Wacana Politik

Bahasa sangat efektif untuk menciptakan pengaruh. Bahasa juga sering digunakan sebagai alat politik. Karena itu, tidak salah bila setiap terjadi pergantian elite penguasa selalu mengandung implikasi pergantian bahasa komunikasi politik (Artha, 2002:vii). Bahasa politik digunakan dalam kaitannya dengan percaturan kekuasaan (power). Karena itu, bahasa politik tidak selalu dipakai untuk kejernihan makna. Batasan suatu kata dapat berubah dan sangat berbeda dari bahasa sehari-hari; makna diberikan untuk keperluan tertentu dan sering tidak konsisten dengan pengertian umum.

Page 2: KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Hak Cipta © 2006 - 2008 Pusat Bahasa Depdiknas

Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com 2

Bahasa yang digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elite politik sehingga terjadi rekayasa bahasa dengan memunculkan hegemoni makna kata merupakan penyimpangan dari fungsi bahasa, yaitu sebagai alat kerja sama. Hegemoni dalam bahasa terlihat dalam penggunaan eufemisme yang dimaksudkan untuk membodohi masyarakat. Menebarkan kebohongan, memutarbalikkan fakta dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik karena kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat untuk memengaruhi. Kata-kata bukan sekadar rangkaian fonem-fonem, melainkan juga mengandung muatan beban (Paisak, 2003:140).

Bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu jenis kekerasan yang dikenal dengan nama kekerasan verbal (Baryadi, 2002:62). Kekerasan verbal tersebut dapat memunculkan terjadinya kekerasan fisik (physical violence). Hal itu dapat terjadi karena muatan psikologis yang terkandung dalam kekerasan verbal (verbal violence) biasanya menyerang orang lain/kelompok tertentu melalui komunikasi verbal dengan cara menghina, menyudutkan, mengancam, mengkritik, menyindir, melecehkan, merendahkan, dan lain-lain. Kekerasan verbal (verbal violence) dapat juga dilakukan oleh negara (state violence), misalnya tindak tutur represif maupun diskriminatif. Ungkapan yang sering dilontarkan oleh pemerintah Indonesia pada era Orde Baru, misalnya antikemapanan, garis keras, PKI, dan sebagainya.

Salah satu dokumen bersejarah yang penting bagi bangsa Indonesia adalah teks

proklamasi. Soekarno memilih kata proklamasi sebagai judul teks itu. Merdeka merupakan kata paling sakral dalam perjuangan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pada masa itu sudah sampai pada puncak perjuangan untuk mengatakan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia merdeka. Itulah sebabnya kalimat pertama teks proklamasi berbunyi: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kita mengaku selama ini kita dijajah. Pernyataan kemerdekaan suatu bangsa sangat perlu setelah berakhirnya Perang Dunia II (Charlie, 2003:13).

Kita ingat bahwa akhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag 27 Desember 1949 itu bagi Indonesia merupakan peristiwa ”pengakuan kedaulatan”, sedangkan bagi pemerintahan Belanda adalah ”penyerahan kedaulatan”. Bahasa di sini tetap menjadi masalah yang amat serius. (Charlie, 2003:45).

Pada masa Orde Baru ungkapan-ungkapan bahasa Jawa relatif sering digunakan. Penggunaannya disisipkan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya: > Mikul dhuwur mendhem jero. > Lengser keprabon madek pandhito ratu. Ungkapan-ungkapan yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh penguasa pada waktu itu cukup efektif untuk memengaruhi sikap atau perilaku masyarakat. Pilihan kata-kata yang tepat disesuaikan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat dianggap efektif untuk menenangkan kegelisahan rakyat. Misalnya: > Pejabat yang diduga bermasalah akan segera diperiksa. > Semua koruptor akan segera diadili.

Page 3: KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Hak Cipta © 2006 - 2008 Pusat Bahasa Depdiknas

Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com 3

Kalimat tersebut cukup efektif untuk menenangkan masyarakat yang tidak puas terhadap proses hukum. Padahal bila dicermati kalimat tersebut lebih bermakna memberi janji. Janji yang bisa ditindaklanjuti bisa juga dilupakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa memang memiliki kekuatan dan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan.

Bahasa birokrasi terkait erat dengan system kekuasaan. Segolongan anggota masyarakat, khususnya para birokrat meluluhkan diri mereka dalam sistem itu, bahkan tak jarang meniru kebiasaan berbahasa yang sangat pribadi dari penguasa tertinggi, sebagian lain berusaha keluar dari system hegemoni bahasa itu (Ali, 2000:xiii).

Ada juga pemilihan kata-kata yang mengandung eufemisme. Menurut hemat

penulis, eufemisme sebaiknya digunakan untuk kesantunan bukan untuk membodohi. Eufemisme yang digunakan untuk membodohi masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan. Penggunaan kata-kata penyesuaian harga cenderung mengandung makna pengelabuhan. Karena hal yang terjadi sebenarnya kenaikan harga. Dengan menggunan kata-kata penyesuaian harga diharapkan masyarakat tidak merasa terbebani. 3. Kekuatan Bahasa sebagai Media Humor Sebagai alat yang dimanfaatkan untuk menuangkan berbagai hasil kerja otak bahasa juga dapat mengandung muatan humor. Humor selain dapat memanfaatkan bahasa sebagai medianya juga dapat memanfaatkan gambar, misalnya kartun. Dalam humor-humor tersebut kadang-kadang ada muatan kritik atau sindiran. Berbagai humor dalam bentuk tulis dapat ditemukan pada surat kabar, majalah, atau buku khusus yang memuat humor. Humor-humor itu dapat memancing tawa atau senyum. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa memengaruhi pikiran dan perasaan. Dengan demikian, apa yang diserap oleh otak melalui media bahasa tersebut dapat menimbulkan rasa suka, sedih, lucu, dan sebagainya. Itulah kekuatan yang terkandung dalam bahasa yang dapat memengaruhi atau mengubah sikap seseorang. 4. Kekuatan Bahasa sebagai Pembangun Sikap SDM Ketika seseorang mendengar atau melihat, berarti ia menggunakan dua komponen penting, yaitu alat indera mata dan telinga, serta otak. Rasulullah sering menganjurkan untuk membacakan ayat-ayat suci Alquran atau memperdengarkan suara-suara indah ketika bayi masih berada dalam kandungan. Perintah memperdengarkan azan dan iqâmah di telinga kiri dan kanan begitu bayi dilahirkan bahkan memiliki argumentasi ilmiah. Hal itu bertujuan agar otak dapat berkembang secara baik melalui kerja saraf-saraf pendengaran (Paisak, 2003: 244—245). Manusia pada fitrahnya atau secara genetis diberi kemampuan berbahasa. Kemampuan itu secara potensial ada dalam otak manusia. Chomsky (1957) menyebutnya Language Acquisition Device (LAD). Salah satu teorinya yang terkenal Innate Hypothesis, yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa pada manusia sudah ada sejak lahir.

Page 4: KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Hak Cipta © 2006 - 2008 Pusat Bahasa Depdiknas

Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com 4

Dengan membiasakan diri menggunakan kata-kata yang baik, tidak mengandung muatan makna yang dapat menyinggung perasaan orang lain, memilih dan menyusun kata-kata yang mencerminkan cermat logika, ekonomis, tanpa mengaburkan makna berarti kita membiasakan diri untuk membangun SDM yang memiliki sikap berkualitas. Sistem bahasa tertentu yang merupakan kompetensi penutur bahasa akan menampakkan wujudnya dalam performansi seseorang (Chomsky, 1957). Bahasa bukanlah sekadar persoalan semantik, melainkan juga berkaitan dengan persoalan logika, estetika, dan etika. Seseorang yang berpikir dengan teratur akan tercermin dalam ekspresi bahasa yang teratur pula. Ekspresi yang menarik menunjukkan kesanggupan berbahasa untuk menerjemahkan imajinasi. Sebaliknya, kehadiran kosakata, istilah, pola struktur, dan variasi serta jenisnya dalam tindak bahasa yang menyangkut perbedaan situasi, relasi antarpembicara, serta topik pembicaraan merupakan petanda kehadiran etika dalam masyarakat bahasa. Dengan begitu akan tahu mengapa suatu tingakah laku bahasa terjadi dalam masyarakat. Penutur perlu secara tepat menyatakan idenya yang sesuai dengan pola struktur bahasa serta forum, dan situasi berkomunikasi. Ketepatan berbahasa seperti itu tidak hanya mencerminkan disiplin, tetapi juga keintelektualan. Hal ini menuntut penutur untuk dapat membatasi bahasa dalam situasi yang aktual (Supardo: 3). Komunikasi pada tingkat yang lebih bermartabat bukan lagi sekedar asal saling mengerti, melainkan juga harus menyiratkan makna yang luhur, benar, dan indah.

Hipotesis Pollyana telah digunakan untuk menjelaskan mengapa kata-kata dengan asosiasi yang menyenangkan lebih sering digunakan daripada kata-kata yang tidak menyenangkan. Penutur juga cenderung menyembunyikan hal-hal negatif melalui penggunaan ungkapan penyangkalan (Clark dan Clark, 1977: 538—539).

5. Penutup Prinsip kesantunan menganjurkan bahwa komunikasi verbal dilahirkan dengan santun bijaksana, mudah diterima/dipahami, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik. Dengan menggunakan bahasa yang santun, tidak menyinggung perasaan individu/kelompok lain, bahasa yang mencerminkan cermat logika, keruntutan berpikir, dan memfungsikan bahasa sebagai alat untuk bekerja sama akan terbentuk hubungan sosial yang harmonis. Kata-kata yang dipilih secara cermat dan memperhatikan nilai-nilai kesantunan dapat membawa pengaruh positif pada suasana batin pembaca atau pendengarnya. Melalui bahasa semua komponen bangsa berkesempatan menjalin hubungan maupun bekerja sama. Untuk itu perlu dikembangkan sikap berbahasa yang mengandung kesantunan, cermat, dan ekonomis.

Page 5: KEKUATAN BAHASA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN SIKAP SDM BERKUALITAS

Hak Cipta © 2006 - 2008 Pusat Bahasa Depdiknas

Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com 5

Daftar Pustaka Ali, Lukman. 2000. Lengser Keprabon: Kumpulan Kolom tentang Pemakaian Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Artha, Arwan Tuti. 2002. Bahasa dalam Wacana Demokrasi dan Pers. Yogyakarta: AK

Group. Baryadi, I. Praptomo. 2002. “Bahasa dan Kekerasan.” Dalam Sujarwanto dan Jabrohim.

Editor. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Gama Media.

Charlie, Lie. 1999. Bahasa Indonesia yang Baik dan Gimana Gitu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Chomsky, Noam. 1957 a. Syntactic Structure. The Haque: Mouton. Clark, H.H. dan Clark. 1977. Psychology and Language: An Introduction to

Psycholinguistics. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language. Florida:

Harcourt Brace College Publishers. Hoed, B.H. 2000. “Sebuah Reformasi Budaya telah Terjadi: Sebuah Renungan

Linguistik”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo. Editor. Kajian Serba Linguistik. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Paisak, Taufik. 2002. Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Supardo, Susilo. 2003. "Potensi Bahasa Indonesia sebagai Media Transformasi Budaya". Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXV, 6—7 Oktober 2003 di Univ. Sanata Dharma Yogyakarta.