kekuatan eksekutorial dalam pelaksanaan eksekusi putusan...
TRANSCRIPT
KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN
EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA (Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta
No. 801/II/ARB-BANI/2016)
SKRIPSI
Oleh:
DARA FITRYALITA
NIM : 11140480000029
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
i
KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN
EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA (Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta
No. 801/II/ARB-BANI/2016)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H.)
Oleh:
DARA FITRYALITA
NIM : 11140480000029
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
ii
KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN
EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA (Studi Kasus Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta
No. 801/II/ARB-BANI/2016)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
DARA FITRYALITA
NIM. 11140480000029
Pembimbing I,
Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.
NIP. 19691121 199403 1 001
Pembimbing II,
Mufidah, SH.I, M.H.
NIDN. 2101018604
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN
EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DAN
HAMBATAN-HAMBATANNYA (Studi Kasus Putusan Arbitrase Badan Arbitrase
Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-BANI/2016)” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Januari 2019, Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu
Hukum.
Jakarta, Januari 2019
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001
(……………….)
2. Sekretaris : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
(……………….)
3. Pembimbing I : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.
NIP. 19691121 199403 1 001
(……………….)
4. Pembimbing II : Mufidah, S.H.I., M.H.
NIDN. 2101018604
(……………….)
5. Penguji I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
NIP. 19670203 201411 1 001
(……………….)
6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (……………….)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
a. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
c. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Januari 2019
Peneliti
Dara Fitryalita
v
SURAT PERNYATAAN
TELAH MELAKUKAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Dara Fitryalita
NIM : 11140480000029
Program Studi : Ilmu Hukum
Benar-benar telah melaksanakan penelitian di Badan Arbitrase Nasional Indonesia
dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul :
“KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA
(Studi Kasus Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No.
801/II/ARB-BANI/2016)”
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Jakarta, 29 Januari 2019
Dara Fitryalita
vi
ABSTRAK
DARA FITRYALITA, NIM 11140480000029 “KEKUATAN EKSEKUTORIAL
DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE
NASIONAL INDONESIA DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA (Studi Kasus
Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-
BANI/2016)” Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. 1x +
76 Halaman.
Lahirnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah
memberikan semangat dan harapan baru dalam upaya penyelesaian sengketa yang lebih
efektif serta efisien. Dalam tataran konseptual, Badan Arbitrase Nasional Indonesia
menawarkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dengan putusannya yang final serta
mengikat. Walaupun memiliki kelebihan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia ternyata
memiliki kendala saat melakukan eksekusi putusan. Kelemahan tersebut seakan
menimbulkan keragu-raguan terhadap kekuatan memaksa atau eksekutorial dari putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia itu sendiri.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan studi kepustakaan dengan
melakukan pengkajian terhadap putusan, perundang-undangan, maupun literatur yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 telah memiliki kekuatan eksekutorial karena Sekretaris
Majelis Arbitrase telah menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, sehingga pelaksanaan eksekusi putusan Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
dapat dilaksanakan dengan bantuan pengadilan atau dengan cara sukarela oleh pihak
termohon. Akan tetapi, walaupun putusan arbitrase Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pelaksanaan eksekusinya mengalami hambatan berupa
hapusnya objek prestasi karena kebijakan publik. Tidak hanya karena kebijakan publik,
kendala-kendala lain yang memiliki potensi untuk menghambat pelaksanaan eksekusi
putusan Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 adalah tereksekusi menolak karena tidak sesuai
dengan amar, pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar dan amar
putusan yang tidak jelas. Selain itu, hambatan lainnya seperti eksekusi barang bergerak,
perlawanan dari pihak yang akan dieksekusi dan aset pembayaran yang sulit ditemukan.
Kata Kunci : Kekuatan Eksekutorial, Arbitrase, Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia
Pembimbing : 1. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH.
2. Mufidah, S.HI, MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1997 sampai 2018
vii
KATA PENGANTAR
Peneliti mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nyalah sehingga Peneliti mampu
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Kekuatan Eksekutorial Dalam
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan Hambatan-
Hambatannya (Studi Kasus Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Jakarta No. 801/II/ARB-BANI 2016)”.
Penulisan skripsi ini tidak lain merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam jenjang Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti sangat menyadari,
karena arahan maupun bantuan dari semua pihak, sehingga penyusunan skripsi ini
mampu diselesaikan dengan baik oleh Peneliti. Dengan selesainya skripsi ini,
perkenankanlah Peneliti menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang-
orang yang selama ini memberikan semangat dan kekuatan kepada Peneliti, yaitu
yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
sekaligus menjadi Dosen Pembimbing I Skripsi dan Bapak Drs. Abu Tamrin,
S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengarahkan dalam penulisan
skripsi ini;
3. Ibu Mufidah, S.HI, M.H. Pembimbing II Skripsi, yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran utamanya saat membimbing, mengarahkan dan memotivasi
viii
Peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan
limpahan rezeki kepada beliau;
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada Peneliti selama
menempuh pendidikan Strata Satu (S1);
5. Pihak Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang telah memfasilitasi
Peneliti selama melakukan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini;
6. Kedua orang tua Peneliti, Ayahanda H. Tarmizi Amin, SH., MH. dan Ibunda Hj.
Syarifah Lili Abdurahman Al Habsyi yang selama ini telah membesarkan dan
mendidik Peneliti dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih sayang serta doa
yang senantiasa beliau panjatkan demi keberhasilan Peneliti untuk menggapai
cita-cita.
7. Terima kasih juga kepada kakanda Muhammad Insan Anshari Al Aspary, SH.,
MH. yang selama ini telah banyak menyediakan literatur-literatur maupun bahan-
bahan ilmiah lainnya yang memadai bagi Peneliti;
8. Serta semua pihak-pihak yang telah memberikan semangat, dukungan hingga
motivasi kepada Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Diakhir kata, Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tentunya masih jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, pada akhirnya hanya kepada Allah SWT, Peneliti
mengembalikan semua usaha. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak, tidak hanya untuk Peneliti, melainkan juga kepada para pembaca pada
umumnya serta bagi pemerhati arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa pada
khususnya.
Jakarta, Januari 2019
Peneliti
Dara Fitryalita
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ iv
SURAT PERNYATAAN ................................................................................................ v
ABSTRAK ...................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 6
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 7
E. Sistematika Penulisan 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA 12
A. Kerangka Konseptual 12
B. Teori 15
1. Arbitrase 15
a. Pengertian Arbitrase 15
b. Asas dan Prinsip Arbitrase 19
c. Badan Arbitrase Nasional Indonesia 20
2. Kontrak dan Wanprestasi 27
3. Keterkaitan Arbitrase dan Pengadilan 33
4. Kekuatan Eksekutorial 34
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu 36
x
BAB III PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
NO.801/II/ARB-BANI/2016 38
A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (No. 801/II/ARB-BANI/2016) Terkait Dasar
Hukum Terjadinya Sengketa Kontrak (No.PKS.034/LG.05/PD.00/1/2012) 38
B. Pertimbangan dan Amar Putusan Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Nomor : 801/II/ARB-BANI/201 41
C. Mekanisme Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Terkait Upaya
Penolakan dan Pembatalan Melalui Pengadilan 49
BAB IV KEKUATAN EKSEKUTORIAL PENYELESAIAN EKSEKUSI PUTUSAN
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN
BANI NO.801/II/ARB-BANI/2016) DAN HAMBATAN-HAMBATANYA 51
A. Eksekusi Putusan BANI No.801/II/ARB-BANI/2016 51
B. Analisis 52
1. Analisis Peran Pengadilan Dalam Melaksanakan Eksekusi Putusan BANI
No.801/II/ARB-BANI/2016 52
2. Analisis Kekuatan Putusan BANI No.801/II/ARB-BANI/2016 dalam
Proses Eksekusi 55
3. Pelaksanaan dan Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Putusan
BANI No.801/II/ARB-BANI/2016 57
BAB V PENUTUP 73
A. Kesimpulan 73
B. Rekomendasi 74
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”. Kemudian, dari bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jelaslah bahwa Pengadilan dilarang
menolak suatu perkara apakah karena tidak ada hukumnya ataupun karena
hukumnya yang kurang jelas, karena oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.1 Hal demikian tercermin dari putusan
hukum yang memuat nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Pada hakikatnya sebuah putusan yang dijatuhkan harus benar-benar
melalui proses yang jujur „fair trial” dengan pertimbangan yang didasarkan pada
keadilan berdasarkan moral dan bukan hanya semata-mata berdasarkan keadilan
undang-undang. Apabila putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
diantaranya : siapapun tidak ada yang berhak dan berkuasa untuk mengubahnya,
yang dapat mengubahnya, hanya terbatas pemberian pengampunan dalam perkara
pidana, dan melalui peninjauan kembali dalam perkara perdata serta setiap
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dan mesti dilaksanakan baik
secara sukarela atau dengan paksa melalui eksekusi, dan pelaksanaan atas
1 Lihat pula dalam Edi Rosadi, “Putusan Hakim Yang Berkeadilan”, Badamai Law Journal,
Vol.1, Issues 1, April 2016, h. 382.
2
pemenuhan putusan itu tanpa menghiraukan apakah putusan itu kejam atau tidak
menyenangkan. 2
Putusan pengadilan yang benar-benar mencerminkan keadilan juga
merupakan amanah dari perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 menyangkut keberadaan dan kewenangan lembaga peradilan
yakni Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24, 24A, 24B dan
24C).3 Putusan pengadilan merupakan akhir dari adanya keinginan untuk
mempertahankan pendapat maupun kebenaran masing-masing pihak. Hal yang
sama juga sangat diharapkan saat munculnya sengketa antara pihak yang terikat
perjanjian bisnis atau kontrak. Walaupun putusan pengadilan menjadi
pengharapan bagi para pihak, akan tetapi penyelesaian sengketa melalui
peradilan konvensional masih menemui kendala atau hambatan.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan konvensional (perdata, dsb)
cenderung lambat dan rumit, maka akan merugikan para pencari keadilan.
Berikut dibawah ini terlampir sejumlah perkara yang diselesaikan melalui
peradilan konvensional :
Tabel. 14
Tempo Penanganan Perkara Perdata di Pengadilan Umum
No. Para
Pihak
Objek
Sengketa
Tahapan Penanganan Perkara
(Berdasarkan Penanggalan Putusan)
Ket.
(Tempo
Pen.
Perkara)
PN PT MA PK
1. PT.
Anugrah
lawan
Robianto,
dkk
Perbuatan
Melawan
Hukum
14 Juni
2016
06
September
2016
05 Maret
2018
- ± 2 tahun
2 Lihat dalam M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2016), h.
871 3 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 1
4 Disarikan dari beberapa putusan Mahkamah Agung RI. http://www.mahkamahagung.go.id
didownload pada tanggal 17 September 2018.
3
2. CV.
Netral
Abadi
lawan PT.
Astra
Wanprestasi 18
Januari
2016
15
Desember
2016
20
November
2017
- ± 2 tahun
3. Ibramsyah
lawan
Suwanto
Tanah 19
April
2017
16 Juni
2017
26 April
2018
- ± 2 tahun
4. PT. Delta
Artha
lawan PT.
Petrobas
Wansprestasi 07
April
2011
19 Januari
2012
22 Mei
2013
22
Desember
2017
± 3 tahun
5. Hj.
Najmiah
Muin
lawan PT.
Gowa
Makassar
Tanah 16
Oktober
2014
02 Maret
2015
16
Februari
2016
19
Oktober
2017
± 3 tahun
Sehubungan dengan tempo waktu penanganan perkara diatas, maka
semakin lama jangka waktu penyelesaian perkara akan mengakibatkan biaya
yang tidak murah, menggerus potensi yang dimiliki serta berpengaruh pada
jalinan hubungan yang tidak lagi harmonis.5 Peradilan konvensional atau proses
litigasi juga belum tentu mampu merangkul kepentingan bersama. Oleh sebab itu,
perlu untuk menempuh proses atau jalur yang lebih menghasilkan kesepakatan
yang bersifat “win-win solution”, menghindari kelambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif, serta tetap menjaga hubungan atau relasi
yang baik.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan
semangat dan harapan baru bagi masyarakat melalui peranan pemerintah
Indonesia yang dapat menemukan cara yang lebih cepat dan menarik minat para
pelaku bisnis dalam penyelesaian sengketa. Terdapat beberapa pilihan tentang
5 Rochani Urip Salami dan Rahadi Wasi Bintoro, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Sengketa Transaksi Elektronik (E-Commerce)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 1 Januari
2013, h. 126.
4
tata cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan secara umum dapat berupa
perjanjian-perjanjian dengan cara negosisasi, mediasi, konsultasi maupun
arbitrase dan bentuk-bentuk lainya. Sementara itu ternyata salah satu bentuk
perjanjian yang sangat diminati oleh para pelaku bisnis di dunia perdagangan
nasional maupun internasional pada akhir-akhir ini adalah cara penyelesaian
sengketa melalui perwasitan atau dikenal dengan sebutan arbitrase.
Pilihan arbitrase menjadi prioritas mengingat pada peradilan
konvensional yang cenderung memakan waktu penyelesaian yang lama.
Keunggulan arbitrase diantaranya adalah kerahasiaan sengketa para pihak
terjamin dan keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif dapat dihindari. Keunggulan lainnya termasuk pula, para pihak
dapat memilih arbiter yang berpengalaman, jujur, adil dan memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan serta para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya dan sekaligus
dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase. Terakhir, putusan arbitrase
merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana
ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Meskipun penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan-
keunggulan sebagaimana dijelaskan diatas tadi, arbitrase nyatanya memiliki
kelemahan. Kelemahan dimaksud terletak saat pelaksanaan atau eksekusi putusan
arbitrase. Hal demikian berbanding terbalik dengan keutamaan putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia yang final serta mengikat bagi para pihak. Idealnya
jika final dan mengikat, maka tidak ada pilihan lain bagi para pihak untuk harus
mentaati dan melaksanakan putusan arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku.
Kelemahan saat pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase seakan
mencerminkan kurangnya kepatuhan maupun niat para pihak terhadap hasil-hasil
penyelesaian yang telah dicapai dalam arbitrase dan sekaligus memunculkan
tanda tanya atas kekuatan eksekutorial putusan arbitrase itu sendiri. Hal demikian
cukup beralasan, karena lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
5
Indonesia belum atau tidak memiliki lembaga eksekutorial sendiri dan masih
menggantungkan pelaksanaan putusan-putusannya pada lembaga yudikatif
(Pengadilan Negeri).
Atas dasar uraian di atas, Peneliti mengangkat skripsi berjudul “Kekuatan
Eksekutorial Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia dan Hambatan-Hambatannya (Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-BANI/2016)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Penyelesaian sengketa melalui peradilan konvensional cenderung
memakan waktu yang lama dan rumit, memerlukan biaya yang tidak murah
dan berpengaruh buruk pada hubungan atau relasi para pihak yang
bersengketa. Hal yang berbeda saat menempuh penyelesaian sengketa dalam
wadah arbitrase. Arbitrase berpotensi besar menghasilkan kesepakatan yang
bersifat menguntungkan para pihak, menghemat biaya maupun waktu,
menghindari kelambatan yang diakibatkan hal prosedural dan administratif,
serta tetap menjaga hubungan atau relasi yang baik.
Pemilihan jalur arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa
memang lebih berpeluang untuk menghadirkan proses penyelesaian sengketa
yang cepat dan sederhana. Akan tetapi, arbitrase juga memiliki kekurangan
atau kelemahan saat eksekusi putusan. Kelemahan disebabkan oleh lembaga
Badan Arbitrase Nasional Indonesia tidak memiliki lembaga eksekutorial
sendiri dan menggantungkan pelaksanaan putusan-putusannya pada lembaga
yudikatif. Selain itu, pelaksanaan putusan arbitrase yang menekankan ada
atau tidaknya itikad baik dari para pihak yang bersengketa.
6
2. Pembatasan Masalah
Bahwa mengingat luasnya cakupan pembahasan mengenai pelaksanaan
putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional, penelitian ini
berkonsentrasi dan membatasi hanya pada pelaksanaan Putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh para pihak yang bersengketa
secara sukarela (yang tanpa melalui campur tangan pihak Pengadilan Negeri)
dan ataupun pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia harus
dilaksanakan dengan upaya paksa melalui prosedur pengadilan negeri sesuai
hukum acara perdata dan terhadap hambatan atau kelemahan pelaksanaan
eksekusi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang tidak mempunyai
lembaga eksekutorial sehingga pelaksanaan eksekusi harus dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dari rumusan ini adalah kekuatan eksekutorial dalam
pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, kemudian
dipertegas dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1) Bagaimana peranan pengadilan dalam melaksanakan eksekusi Putusan
Arbitrase ?
2) Bagaimana proses / kekuatan hukum eksekutorial hasil putusan Badan
Arbitrase ?
3) Bagaimana pelaksanaan eksekutorial Badan Arbitrase Nasional Indonesia
dan hambatan-hambatannya ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan pengadilan dalam melaksanakan eksekusi Putusan
Arbitrase.
7
2. Untuk mengetahui proses / kekuatan hukum eksekutorial hasil putusan Badan
Arbitrase.
3. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan eksekutorial Badan Arbitrase
Nasional Indonesia dan hambatan-hambatannya.
Dari penelitian ini, diharapkan adanya manfaat baik secara teoritis maupun
praktis, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Manfaat dari segi teoritis yaitu untuk memperdalam konsep-konsep hukum
perdata dari aspek litigasi maupun non litigasi serta dapat memperkaya
khasanah literatur khususnya literatur dalam bidang hukum eksekusi
berdasarkan putusan arbitrase hasil dari pemilihan pilihan hukum (choice of
law) menggunakan arbitrase.
2. Manfaat secara praktis yakni dapat dijadikan sebagai referensi bagi para
praktisi di dalam mengembangkan keilmuan dibidang hukum eksekusi dan
hukum arbitrase berdasarkan perjanjian arbitrase.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
lebih menyangkut kualitas-kualitas yang berupa deskripsi dalam bentuk
narasi.6 Penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah yuridis-normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
6 Zaenal Abidin, “Pendekatan Kualitatif Pada Skripsi Mahasiswa Psikologi Undip Tahun
2006”, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3, No. 02, h. 31.
8
hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
atau putusan pengadilan maupun sumber hukum lainnya yang dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang
dianggap pantas.7 Dalam hal ini yang menjadi objek normatif-yuridis adalah
kekuatan eksekutorial dari putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan
peran pengadilan dalam melaksanakan putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia dan hambatan-hambatan pelaksanaannya dengan Studi Kasus
Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-
BANI/2016.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan peneliti adalah data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang peneliti dapatkan secara langsung sumber
datanya yaitu Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No.
801/II/ARB-BANI/2016 dan daftar pertanyaan atau kuesioner.
b. Data Sekunder
Data sekunder memiliki pengertian sumber data yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data atau peneliti,
melainkan melalui perantara dan studi kepustakaan serta menelaah
Perundang-undangan dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
Peneliti menggunakan 3 (tiga) bahan hukum, antara lain:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu :
7 Amiruddin dan Zainal Arifin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 13.
9
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang dekat
hubungannya dengan bahan hukum primer, meliputi hasil karya ilmiah
dan hasil penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan acuan di dalam maupun
diluar bidang hukum yang memberikan informasi penunjang lainnya
yang dapat digunakan dalam Penelitian ini yang berfungsi untuk
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti artikel-artikel majalah, koran, jurnal, kliping dan artikel-artikel
web-based.
4. Metode & Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada studi ini yakni dengan
studi kepustakaan dan wawancara atau isian daftar pertanyaan. Wawancara
dilakukan terhadap narasumber yang dianggap relevan. Sementara itu, studi
kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung penelitian
ini melalui berbagai literatur seperti buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan
Undang-Undang.
5. Metode Analisa
Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian
diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengelolaan data
primer dan data sekunder bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang
10
menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus
atau lebih konkret. Setelah bahan hukum diolah dan diuraikan kemudian
dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan yang peneliti rujuk mengacu pada “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017” berdasarkan
kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang sudah ditentukan oleh fakultas.
E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah peneliti dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang
berjudul “Kekuatan Eksekutorial Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia dan Hambatan-Hambatannya (Studi Kasus Putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-BANI/2016)”,
Maka dirasa perlu untuk menguraikan kedalam sistematika Penelitian sebagai
gambaran singkat skripsi, yakni sebagai berikut :
BAB I : merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, rancangan sistem
penelitian. Dengan demikian pada bab I ini merupakan gambaran
kecil pada proses menelaah penelitian hukum.
BAB II : Merupakan bab yang menguraikan kerangka konseptual dan
beragam teori yang meliputi arbitrase, pengertian, asas maupun
prinsip serta uraian tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Bab II mendeskripsikan perihal kontrak dan wanprestasi. Bab II
menjelaskan pula tentang keterkaitan arbitrase dan pengadilan
serta teori kekuatan eksekutorial. Terakhir, Bab II
11
mendeskripsikan sedikit terkait tinjauan (review) terhadap kajian
terdahulu.
BAB III : merupakan bab penyajian data penelitian secara deskripsif, dimana
data-data yang dimaksud bukanlah dari opini peneliti melainkan
data yang sesungguhnya sesuai dengan fakta yang ada, terkait
dengan kontrak atau perjanjian bisnis, membahas mengenai
prosedur penyelesaian sengketa dan hasil putusan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (No. 801/II/ARB-BANI/2016) terkait dasar
hukum terjadinya sengketa kontrak (No.PKS.034 / LG.05 / PD.00
/ 1/2012) dan mekanisme eksekusi putusan arbitrase terkait
dampak dari adanya upaya penolakan dan pembatalan melalui
Pengadilan.
BAB IV : merupakan bab yang mendeskripsikan analisa peneliti tentang
peran pengadilan dalam melaksanaan eksekusi putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia dan kekuatan putusan arbitrase
dalam sebuah eksekusi. Selain itu, Bab IV menguraikan pula
bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan pelaksanaan
putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
BAB V : merupakan bab penutup yang berisikan tentang simpulan dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika
penelitian skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
beberapa kesimpulan dari penelitian, kajian dan pembahasan
untuk menjawab rumusan masalah serta memberikan rekomendasi
yang dianggap perlu.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab II menguraikan tentang kerangka konseptual dan beragam teori yang
meliputi arbitrase, pengertian, asas maupun prinsip serta uraian tentang Badan
Arbitrase Nasional Indonesia. Bab II mendeskripsikan perihal kontrak dan
wanprestasi. Bab II menjelaskan pula tentang keterkaitan arbitrase dan pengadilan
serta teori kekuatan eksekutorial. Terakhir, Bab II mendeskripsikan sedikit terkait
tinjauan (review) terhadap kajian terdahulu.
A. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Dalam
kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. Berikut kerangka konsepsi yang
digunakan dalam penelitian skripsi ini :
1. Arbitrase
Frank Elkouri dan Edna Elkouri memberikan definisi tentang arbitrase
dalam bukunya yang berjudul How Arbitration Works yang ditulis pada tahun
1974. Kedua beliau menguraikan bahwa :
“Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who
want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual
selection, whose decision, based on merits of the case, they agreed in
advance to accept as final and binding”8.
Oleh beliau menjelaskan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau mentaati keputusan
yang diberikan oleh para hakim yang mereka pilih atau tunjuk. Richard
8 Frank Elkouri dan Edna Elkouri sebagaimana dikutip oleh Richard Burton Simatupang,
Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), h. 43.
13
Burton Simatupang menambahkan jika dasar hukum arbitrase adalah menutut
secara hukum adalah sangat biasa kalau apabila ada dua orang atau pihak yang
terlibat perselisihan atau sengketa mengadakan kesepakatan dan keduanya
menunjuk pihak lain yang oleh mereka berikan wewenang untuk memutus
sengketa. Keduanya-pun bersepakat untuk patuh atau tunduk kepada putusan
yang akan diberikan pihak yang ditunjuk tersebut.
Selain teori atau definisi yang dikemukakan oleh para ahli diatas,
definisi arbitrase terangkum pula dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU/30/1999) :
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Bahwa berdasarkan uraian diatas, pandangan ahli dan definisi yang
diberikan oleh undang-undang tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Kedua-duanya menekankan bahwa arbitrase merupakan forum atau wadah
pemutus perselisihan di luar pengadilan berdasarkan atas kesepakatan para
pihak yang terlibat.
2. Perjanjian Arbitrase
Muhibuthabary mengemukakan bahwa syarat utama dari
berlangsungnya suatu arbitrase adalah perjanjian dari para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui mekanisme arbitrase. Oleh beliau, perjanjian
tersebut dapat lahir sebelum adanya sengketa atau sesudah adanya sengketa.
Dengan adanya perjanjian arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak tersebut.9
9 Muhibuthabary, “Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, Asy-Syari’ah, Vol. 16, No. 2, Agustus 2014, h.
103.
14
Perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat yaitu persetujuan
mengenai perjanjian arbitrase tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian
tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian arbitrase sering juga
disebut sebagai klausul arbitrase yang berada dalam badan perjanjian pokok.
Hal demikian dapat diartikan suatu perjanjian pokok diikuti atau dilengkapi
dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase.
Klausul arbitrase ini diletakkan di dalam perjanjian pokok sehingga
disebut sebagai perjanjian aksesori. Keberadaannya hanya sebagai tambahan
dari perjanjian pokok, sehingga tidak berpengaruh terhadap pemenuhan
perjanjian pokok. Tanpa adanya perjanjian pokok, perjanjian arbitrase ini
tidak bisa berdiri sendiri, karena sengketa atau perselisihan timbul akibat
adanya perjanjian pokok.
3. Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan lembaga
arbitrase yang diakui eksestensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan
memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa di
Indonesia. BANI merupakan lembaga peradilan yang mempunyai status
bebas, otonom, dan juga independen. Pasal 5 (1) UU/30/1999 menentukan
bahwa tujuan dibentuknya BANI maupun institusi arbitrase lainnya adalah
untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa
perdata yang timbul mengenai soal perdagangan, industri, dan keuangan.
Untuk BANI sendiri berkedudukan di Jakarta dan memiliki kantor perwakilan
di beberapa kota besar di Indonesia antara lain: Surabaya, Denpasar, Bandung,
Medan, Pontianak, Palembang, dan Batam.10
10
Anik Entriani, “Arbitrase Dalam Sistem Hukum Indonesia”, An-Nisbah, Vol. 03, No. 02,
April 2017, h. 285.
15
4. Eksekutorial
Definisi eksekutorial atau eksekusi belum eksplisit diatur dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Akan tetapi, definisi
eksekusi tersirat dalam Pasal 195 HIR/ Pasal 207 RBG yang mana dikatakan :
“Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara yang
pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas
perintah dan tugas pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada
tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam
Pasal-Pasal HIR”.
Kemudian Pasal 196 HIR/Pasal 208 dirumuskan ketentuan :
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi
amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang
dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu”.
Berpedoman pada ketentuan HIR dan RBG diatas, maka dapat
diartikan bahwa eksekusi tidak lain merupakan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana pelaksanaannya
dapat dilakukan sesegera mungkin oleh pihak termohon eksekusi/kalah
ataupun dilakukan secara paksa oleh pihak pemohon melalui Ketua
Pengadilan Negeri.
B. Teori
1. Arbitrase
a. Pengertian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrase (latin), arbitrage (Belanda),
arbitration (Inggris), dan arbitrage (Perancis) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian oleh Arbiter
atau Wasit. Sedangkan, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS menyatakan bahwa
arbitrase atau perwasitan adalah metode penyelesaian sengketa diluar
16
pengadilan dengan memakai jasa wasit atas persetujuan para pihak yang
bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat.11
Kemunculan arbitrase sebagai istilah maupun konsep, juga berlatar
belakang dari beberapa teori yang berkembang. Oleh Priyatna Abdurrasjid
sebagaimana dikemukakan oleh Huala Adolf bahwa terdapat dua teori atau
filsafat dari alternatif penyelesaian sengketa yaitu : pemberdayaan individu
dan pemecahan masalah dengan bekerja sama.12
Beliau menganggap penting
kedua teori tersebut karena Beliau memandang putusan arbitrase bukan
sebagai hal utama, tetapi bagaimana masalah atau sengketa itu diselesaikan.
Setiap sengketa bagaimanapun juga bersifat sederhana atau sesulit apapun,
dapat diselesaikan dengan diterima oleh semua pihak dengan lapang dada,
apabila ada kerjasama atau ada sikap kooperatif yang ditunjukkan oleh kedua
pihak yang bersengketa. Tanpa adanya sikap kooperatif ini, sengketa yang
sederhana atau sesimpel apa pun akan terasa sulit.
Begitupun dalam agama Islam yang secara tidak langsung memiliki
konsep dasar perihal arbitrase. Fiqh Islam, tahkim (arbitrase) tidak dibahas
secara khusus, walaupun tahkim merupakan bagian dari peradilan (al-qadha).
Tahkim dalam fiqh Islam hanya dibahas secara umum dalam syiqaq
(perselisihan) antara suami istri, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nisa
ayat 3513
:
11
Iswi Hariyani dkk, Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2018), h. 140.
12
Priyatna Abdurrasjid sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf dalam, Dasar-Dasar, Prinsip
& Filosofi Arbitrase, (Bandung : Keni Media, 2013), h. 44.
13
Lihat dalam Zainal Ariifin, “Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam”, Himmah, Volume
VII No.8, 2006, h. 67.
17
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan.
Kamus al-Munjid, tahkim berarti mengangkat seseorang sebagai wasit
atau juru damai.14
Sedangkan Salam Madkur, dalam al-Qadha Fil al-Islam,
menyatakan bahwa makna tahkim secara terminologis berarti mengangkat
seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih
yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan,
secara damai.15
Dalam istilah sekarang, istilah tahkim itu diterjemahkan
sebagai arbitrase dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter
atau hakam.
Meskipun tahkim ini hanya dikhususkan untuk persoalan suami istri,
dalam perkembangan selanjutnya, terutama dipenghujung masa
kepemimpinan al-khulafa al Rasyidin, perwasitan (tahkim) tidak hanya
diterapkan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum
keluarga dan hukum bisnis, tetapi juga dibidang politik. Ini berarti bahwa
dalam konsep Islam, tahkim tidak hanya terbatas pada masalah keluarga,
tetapi juga menyentuh seluruh bidang perdata, termasuk bidang politik. Hal ini
merupakan penjabaran dari surah An-Nisa ayat 35. Praktik tahkim sudah
berkembang dan menjadi tradisi masyarakat Mekah dan Madinah pra Islam.16
Selanjutnya, Huala Adolf memperkenalkan teori Perdamaian yang
mana arbitrase adalah mekanisme atau cara penyelesaian sengketa yang
diputus oleh pihak ketiga yang disebut arbitrator. Di dalam memutus sengketa,
14
Sebagaimana dikutip oleh Zainal Arifin dari Kamus al-Munjid, h. 67.
15
Sebagaimana dikutip oleh Zainal Arifin dari Salam Madkur, dalam al-Qadha Fil al-Islam,
h. 76
16
Sebagaimana dikutip oleh Zainal Arifin dari Warkum Sumitro, h.78.
18
arbitrator berperan penting di dalam upayanya mencari penyelesaian yang
win-win solution. Sebelum mencari upaya itu, biasanya arbitrator berupaya
mencari celah atau kemungkinan bagaimana agar para pihak dapat mencapai
perdamaian atau bahkan apabila dimungkinkan out-of-arbitration solution of
disputes. Maksudnya, arbitrator sangat mengharapkan agar ia beserta anggota
majelis arbitrase lain tidak sampai membuat putusan yang sifatnya definitive
atas sengketa yang diserahkan kepadanya. Artinya putusan yang ia keluarkan
berupa putusan siapa yang menang dan siapa yang kalah adalah upaya akhir
apabila memang tidak ada cara lain.17
Huala Adolf menegaskan teori perdamaian ini tercermin dari seluruh
isi Pancasila :
a) Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sama-sama tercermin dari ajaran
hukum alam, yaitu terciptanya perdamaian.
b) Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mencerminkan
penghargaan terhadap para pihak yang bersengketa, termasuk memberi hak
yang sama kepada para pihak untuk didengar posisinya masing-masing.
c) Sila ketiga, Persatuan, mencerminkan bahwa tugas arbitrase adalah untuk
menciptakan persatuan di antara para pihak. Arbitrase tidak membuat para
pihak terus-menerus bersengketa (berkepanjangan) setelah adanya putusan
arbitrase.
d) Sila keempat, musyawarah untuk mufakat, merupakan sila yang juga
penting dalam arbitrase, yaitu sila yang mensyaratkan para pihak untuk
bermusyawarah dalam berarbitrase. Sila ini juga meletakkan kewajiban
bagi arbitrator untuk menjalankan musyawarah dalam melaksanakan proses
arbitrase.
17
Huala Adolf, Dasar-Dasar Prinsip & Filosofi Arbitrase, (Bandung : Keni Media, 2013),
h.70-71.
19
e) Sila kelima, Keadilan, adalah sila yang mensyaratkan arbitrase dalam
memutus perkara, yaitu bahwa aspek perdamaian ini juga harus
memperhatikan keadilan.
b. Asas dan Prinsip Arbitrase
Berdasarkan konsep teoritik yang melandasi keberadaan dan eksistensi
arbitrase, bahwa terdapat 5 (lima) asas atau prinsip arbitrase. Kelima asas atau
prinsip dimaksud yaitu18
:
a) Konsensualisme
Arbitrase harus didasarkan pada kesepakatan para pihak dalam
bentuk Perjanjian Arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat dibuat setelah
terjadi sengketa maupun sebelum terjadi sengketa. Tanpa perjanjian
arbitrase, lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau lembaga arbitrase
tidak akan bersedia memberikan jasa arbitrase kepada para pihak yang
bersengketa.
b) Otonomi para pihak
Dalam arbitrase, para pihak memiliki otonomi penuh untuk
memilih arbiter, memilih lembaga alternatif penyelesaian sengketa,
memilih prosedur arbitrase dan menentukan jangka waktu penyelesaian
sengketa. Prinsip otonomi para pihak juga diakui dalam perjanjian atau
konvensi internasional.
c) Kepastian hukum
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, klausul arbitrase juga
didasarkan pada prinsip kepastian hukum (pacta sun servanda) yang
diakomodasi dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi : “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Prinsip ini mengikat para pihak yang
membuat kontrak dan pihak ketiga hakim pengadilan maupun arbiter.
18
Iswi Hariyani dkk, h. 140
20
d) Itikad baik
Asas itikad baik atau good faith dalam arbitrase diakomodasi dari
bunyi Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik adalah faktor utama
dalam pelaksanaan kontrak bisnis atau lainnya. Jika para pihak memiliki
itikad baik, kontrak atau perjanjian akan berjalan dengan baik sehingga
tidak sampai ada sengketa yang perlu diselesaikan via arbitrase.
e) Sederhana dan cepat
Prinsip sederhana dan cepat berkaitan dengan proses pemeriksaan
perkara via arbitrase yang diharapkan bisa lebih sederhana dan lebih cepat
dibandingkan via pengadilan. Putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat, tidak ada upaya hukum banding dan kasasi sehingga bisa
menyederhanakan dan mempercepat penyelesaian perkara.
c. Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan pada tahun
1977 atas prakarsa Kamar Dagang Indonesia yang dimotori oleh tiga pakar
hukum terkemuka yaitu : Prof. Soebekti, SH., Haryono Tjitrosoebono, SH,
dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid. Badan Arbitrase ini dikelola dan diawasi
oleh dewan pengurus dan dewan penasehat yang terdiri atas tokoh-tokoh
masyarakat dan sektor bisnis. Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, dimana penyelesaian sengketa cenderung pada nonlitigasi atau
diluar pengadilan karena bersifat lebih cepat, efisien dan tuntas, sehingga
arbitrase menjadi pilihan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa
guna mencapai prinsip-prinsip win-win solution.
a) Peran Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah lembaga
independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan
arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar
21
pengadilan. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa
kota besar di Indonesia. BANI memiliki peran sebagai lembaga yang
bersifat independen yang menyediakan fasilitas untuk menyelenggarakan
proses penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Secara umum BANI
didirikan dengan tujuan sebagai berikut :
1) Ikut serta dalam upaya proses penegakan hukum di Indonesia dengan
menyelenggarakan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang dalam hal ini fokus pada sektor perdagangan, industri dan
keuangan.
2) Menyelenggarakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase atau bentuk alternatif lainnya seperti
negoisasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat
sesuai dengan peraturan prosedur BANI atau peraturan prosedur yang
telah disepakati para pihak yang bersengketa;
3) Bertindak secara otonom dan independen di dalam menegakkan
hukum dan keadilan, khususnya pada bidang-bidang bisnis.
4) Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program
pelatihan atau pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
Sengketa yang dapat diperkarakan melalui BANI adalah bidang
perdagangan, sengketa hak menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan menurut
peraturan perundang-undangan tersebut dapat diadakan perdamaian. Dalam
hal ini ada beberapa bidang sengketa yang dapat diperkarakan pada BANI
yaitu , korporasi, asuransi, lembaga keuangan, perbankan, telekomunikasi,
fabrikasi, pertambangan, angkutan laut dan udara. Selain itu, termasuk pula
bidang lingkungan hidup, perdagangan, lisensi, franchise, distribusi dan
keagenan, hak kekayaan intelektual, maritim dan perkapalan serta
konstruksi.
22
b) Prosedur Penyelesaian Sengketa pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Prosedur penyelesaian sengketa pada BANI terdiri atas beberapa
tahapan yang harus dilakukan oleh para pihak diantaranya :
1) Pengajuan Permohonan dan Pendaftaran Arbitrase
Prosedur ini merupakan prosedur pertama yang harus dilalui
oleh para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa pada BANI.
Prosedur arbitrase dimulai dengan permohonan arbitrase oleh pihak
yang memulai proses arbitrase pada sekretariat BANI. Adapun surat
permohonan arbitrase yang diajukan pemohon harus memuat
sekurang-kurangnya :
1) Nama dan alamat para pihak
2) Keterangan tentang fakta-fakta yang mendukung arbitrase
3) Butir-butir permasalahannya
4) Besarnya tuntutan kompensasi yang dituntut
Dalam surat permohonan arbitrase, pemohon harus
melampirkan Salinan naskah akta perjanjian atau nyatakan apabila
terjadi suatu masalah akan menyelesaikannya pada lembaga arbitrase.
Dalam surat permohonan tersebut pemohon dapat menunjuk seorang
arbiter.
Setelah menerima permohonan arbitrase dan dokumen-
dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, sekretariat BANI
selanjutnya mendaftarkan permohonan dalam register BANI.
Selanjutnya pengurus BANI akan memeriksa apakah permohonan
arbitrase sengketa yang diajukan tersebut merupakan kewenangan
BANI. Apabila pengurus BANI menentukan berwenang terhadap
penyelesaian sengketa tersebut maka selanjutnya akan ditunjuk
seorang atau lebih sekretaris majelis arbitrase yang pada fungsinya
untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut.
23
2) Tanggapan Termohon
Selanjutnya apabila permohonan telah diterima oleh BANI,
maka sekretariat harus menyampaikan satu Salinan permohonan
arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada termohon dan
meminta untuk termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis.
Adapun batas waktu yang diberikan kepada termohon untuk
menyampaikan tanggapan tertulis tersebut adalah maksimal 30 hari.
Dalam pernyataan tanggapan yang berasal dari termohon, ia
dapat menunjuk seorang arbiter, dan apabila ia tidak menunjuk seorang
arbiter maka termohon dianggap penunjukan arbiter menjadi
wewenang mutlak dari BANI.
3) Pembentukan Majelis Arbitrase
Seorang arbiter harus mempunyai sertifikat arbitrase yang
diakui oleh BANI dan atau persyaratan lain yang disyaratkan oleh
BANI. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Berwenang atau cakap melakukan tindakan-tindakan
hukum.
2) Sekurang-kurangnya berusia 35 tahun.
3) Tidak memiliki hubungan keluarga berdasarkan
perkawinan atau keturunan sampai dengan keturunan ketiga
dengan para pihak bersengketa.
4) Tidak memiliki kepentingan keuangan ataupun terhadap
hasil penyelesaian arbitrase.
5) Berpengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dan
menguasai secara aktif bidang yang dihadapi.
6) Tidak sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim,
jaksa, panitera pengadilan, atau pejabat pemerintah lainnya.
24
Karena pemohon dan termohon dapat mengajukan seorang
arbiter maka apabila pemohon mengajukan permohonan untuk hanya
penyelesaian sengketa menggunakan arbiter tunggal dan mendapat
persetujuan dari termohon maka ketua BANI dapat menunjuk orang
tersebut sebagai arbiter tunggal dalam menyelesaikan sengketa
tersebut.
Apabila pemohon dan termohon sepakat bahwa majelis
arbitrase terdiri dari 3 orang dan para pihak (pemohon dan termohon)
telah menunjuk arbiternya masing-masing, maka ketua BANI
menunjuk seorang arbiter yang akan mengetuai majelis arbitrase
tersebut. Penunjukan arbiter tersebut dengan memperhatikan usul-usul
yang diberikan oleh pemohon ataupun termohon dan kapasitas serta
kapabilitas dalam menangani sengketa tersebut.
4) Pemeriksaan Arbitrase
Setelah majelis arbitrase terbentuk, maka majelis tersebut akan
memeriksa dan menyelesaikan sengketa tersebut antara para pihak atas
nama BANI sehingga dapat melaksanakan segala kewenangan yang
dimiliki oleh BANI atas yang ada hubungannya dengan proses
pemeriksaan dan pengambilan putusan-putusan terhadap sengketa
tersebut.
Setelah menerima berkas perkara, maka majelis arbitrase dapat
membuat keputusan apakah akan memeriksa sengketa ini hanya
dengan memeriksa berkas-berkas saja atau dengan memanggil para
pihak. Majelis berhak membuat suatu ketetapan yang dianggap perlu
dan bersifat mengikat para pihak dalam proses pemeriksaan sengketa.
Majelis pertama-tama harus dapat mengupayakan mencari jalan
lain yaitu perdamaian para pihak. Baik atas upaya para pihak sendiri
atau melalui pihak ketiga atau bantuan mediator yang independen
25
dengan bantuan majelis arbitrase apabila disetujui oleh para pihak.
Apabila perdamaian dapat tercapai maka majelis arbitrase akan
menyiapkan suatu memorandum persetujuan damai secara tertulis dan
mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan dari majelis
arbitrase pada para pihak, sehingga para pihak wajib menjalankan
putusan majelis tersebut dengan cara yang baik.
Apabila tidak mencapai suatu perdamaian maka akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan yang tidak boleh lebih dari 180
(seratus delapan puluh) hari. Proses selanjutnya yaitu pembuktian
BANI ini dilihat dari fakta-fakta yang dimana fakta ini merupakan
dasar dari tuntutan dan jawaban dari sengketa yang ada. Majelis
arbitrase juga melihat bukti-bukti tersebut apakah relevan dengan hal-
hal yang disengketakan begitu juga terhadap saksi-saksi yang
dihadirkan oleh para pihak dan saksi-saksi sebelum menyampaikan
keterangan harus disumpah terlebih dahulu.
Sistem pembuktian yang digunakan BANI sama seperti yang
digunaan dalam lingkungan pengadilan dengan asas dan konsekuensi
sebagai berikut :
1) Pihak pemohon wajib membuktikan dalil dari surat tuntutan
yang diajukan tersebut.
2) Pihak termohon juga wajib membuktikan dalil dari jawaban
atas tuntutan yang diajukan oleh pemohon.
3) Dalam hal ini dalil berada dalam keadaan seimbang, wajib
dibagi dua dengan cara menitikberatkan pembebanan wajib
bukti kepada pihak yang paling mudah membuktikan dalil.
Persidangan diselenggarakan di tempat yang ditetapkan oleh
BANI dan atas kesepakatan para pihak, adapun rapat-rapat internal
majelis arbitrase dan sidang arbitrase dapat juga dilakukan dengan
menggunakan sarana teknologi yaitu internet apabila dianggap perlu.
26
Selama proses persidangan arbitrase berlangsung, maka
dilakukan dengan sifat tertutup untuk umum dan segala hal yang
berkaitan dengan penunjukan arbiter termasuk dokumen-dokumen,
laporan/catatan-catatan sidang, keterangan saksi, dan putusan-putusan
harus dijaga kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan
BANI kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
5) Penetapan Putusan Arbitrase
Setelah pengajuan bukti, kesaksian dan persidangan telah
dianggap cukup oleh majelis arbitrase, maka persidangan mengenai
sengketa tersebut haruslah ditutup oleh ketua majelis yang kemudian
menetapkan suatu sidang untuk penyampaian putusan akhir. Putusan
diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemeriksaan ditutup.
Majelis arbitrase dalam memutuskan sengketa harus taat pada
ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et
bono), namun apabila para pihak memberikan wewenang yang bebas
kepada majelis untuk memutus sengketa berdasarkan keadilan dan
kepatutan tersebut maka majelis dapat mengingkari peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal majelis terdiri dari 3 (tiga) arbiter atau lebih, maka
pengambilan putusan arbitrase dengan suara mayoritas, namun apabila
tidak tercapai suara mayoritas maka ketua majelislah yang memiliki
wewenang untuk memutus sendiri tanpa memperhatikan anggota
arbiter lain.
Adapun putusan arbitrase harus memuat beberapa hal
diantaranya adalah :
1. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
27
2. Nama lengkap dan alamat para pihak.
3. Uraian singkat sengketa.
4. Pendirian para pihak.
5. Nama lengkap dan alamat arbiter.
6. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa.
7. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam mejelis arbitrase.
8. Amar putusan.
9. Tempat dan tanggal putusan.
10. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
6) Penyampaian dan Pendaftaran Putusan Arbitrase
Dalam putusan tersebut majelis arbitrase menetapkan suatu batas
waktu bagi pihak yang kalah untuk menjalankan putusan tersebut.
Majelis arbitrase juga harus menyampaikan putusan kepada para pihak
dan selanjutnya 2 lembar Salinan untuk BANI, yang mana salah satu
salinan pada BANI tersebut akan diserahkan pada Pengadilan Negeri
guna didaftarkan.
Dengan telah didaftarkannya putusan arbitrase tersebut maka
putusan tersebut bersifat mengikat dan final pada para pihak. Para pihak
yang menang dapat meminta Pengadilan Negeri untuk melaksanakan
eksekusi terhadap putusan sengketa arbitrase tersebut.
2. Kontrak dan Wanprestasi
Terminologi kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract.19
Oleh H.
Purwosusilo mengedepankan terminologi berbahasa Belanda yaitu
19
Abu Sopian, “Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah”, h. 2.
28
“overeentkomst” yang diterjemahkan dengan istilah “perjanjian”.20
H.
Purwosusilo menjabarkan definisi kontrak sebagai komitmen diantara dua pihak
atau lebih pihak yang dapat menimbulkan atau menghilangkan hubungan hukum.
Abu Sopian memberikan definisi kontrak sebagai21
:
“kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory
agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum”.
Beliau lebih lanjut menguraikan kontrak berdasarkan Pasal 1319
KUHPerdata adalah :
“perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Meskipun kontrak atau perjanjian memiliki persamaan karena keduanya
dapat menimbulkan atau menghilangkan hubungan hukum, tetapi kontrak dan
perjanjian memiliki perbedaan dari segi teknis pelaksanannya. H. Purwosusilo
lebih terperinci mengemukakan bahwa tidak semua perjanjian dapat berupa lisan
maupun tulisan, sehingga perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut kontrak.
Kontrak dalam pelaksanaan selalu dibuat tertulis dan harus memenuhi syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian.22
Kontrak terdiri atas dua bentuk yaitu kontrak tersebut adalah kontrak
nominaat (mempunyai nama khusus) dan kontrak innominaat (tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu). Perincian kontrak nominaat telah tercantum dalam
buku III KUHPerdata yaitu sewa-menyewa, tukar-menukar, jual-beli, hibah,
20
H. Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, (Jakarta : Kencana, 2017, h. 67.
21 Abu Sopian, h. 2
22
H. Purwosusilo.
29
penitipan barang, pemberian kuasa serta perdamaian.23
Berbeda halnya dengan
kontrak nominaat, kontrak innominaat belum tercantum dalam KUHPerdata
melainkan timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Perincian kontrak
adalah leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture,
kontrak karya, dan production sharing.
Prinsip atau asas kontrak adalah prinsip yang harus dipegang oleh kedua
pihak yang telah mengikatkan diri ke dalam hubungan kontrak.24
Dalam hukum
perdata termuat prinsip kontrak yang utama dan terdiri atas lima prinisip sebagai
berikut 25
:
a. Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak. Kebebasan
berkontrak termasuk juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi
kontrak tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti dapat kontrak
dapat dilakukan sebebas-bebasnya, terdapat juga pembatasan yang
dterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan. Parameter
kebebasan berkontrak antara lain tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kepatutan dan kesusilaan.
b. Mengikat Sebagai Undang-Undang
Semua perjanjian atau kontrak yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kontrak tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau
karena alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
23
Kamil, Azahery Insan, dkk, “Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif (Menyorot
Perjanjian Bernama Dengan Perjanjian Tidak Bernama”, Jurnal Serambi Hukum, Volume 08 No. 02
(2014-2015) , h.. 138 – 139.
24
Abu Sopian, h. 2-3
25
H. Purwosusilo, h. 66-80.
30
c. Konsensualitas
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa sebuah kontrak
sudah terjadi dan kerenanya mengikat para pihak dalam kontrak sejak
terjadi kata sepakat atau konsensus mengenai unsur pokok dari kontrak
yang diadakan. Kontrak menjadi sah jika sudah tercapai kesepakatan
mengenai unsur pokok kontrak.
d. Itikad Baik
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa persetujuan-
persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun fungsi
itikad baik dalam kontrak yaitu semua kontrak harus ditafsirkan sesuai
dengan itikad baik. Kedua, fungsi menambah yang maksudnya hakim
dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Ketiga, fungsi
membatasi dan meniadakan yang mana hakim dapat
mengesampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak.
Salim H.S. menggolongkan empat syarat sahnya perjanjian atau kontrak
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut26
:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara
satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Terdapat lima cara
terjadinya persesuaian pernyataan kehendak , yaitu dengan :
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis.
2) Bahasa yang sempurna secara lisan
3) Bahasa yang tidak sempurna adalah dapat diterima oleh pihak
lawan karena dalam kenyataannya seringkali seseorang
26
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), h. 33-34
31
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak
lawan.
Umumnya, para pihak mengacu ke penggunaan bahasa yang
sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan
kontrak secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum
bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala
timbul sengketa di kemudian hari.
b. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya objek
Suatu kontrak mengharuskan adanya objek atau prestasi. Objek
atau prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi sendiri terdiri atas :
1) Memberikan sesuatu.
2) Berbuat sesuatu.
3) Tidak berbuat sesuatu.
d. Adanya kausa halal
Kausa halal dalam arti suatu kontrak tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila
kontrak yang diadakan melanggar ketentuan kausa halal, maka kontrak
atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Batal demi hukum bahwa
dari semula kontrak tersebut dianggap tidak ada.
32
Sebagaimana telah diketahui bahwa prestasi atau objek adalah wajib
harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan karena prestasi merupakan isi
daripada perikatan. Sementara itu, apabila debitur tidak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi
(kelalaian). Wanprestasi sendiri terdiri atas empat macam, yaitu 27
:
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
2. Tidak tunai memenuhi prestasi.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Keliru memenuhi prestasi.
Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya (wanprestasi) ataupun pada
perikatan-perikatan di mana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur,
tetapi tidak diindahkannya, maka debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan.
Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut 28
:
1. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);
2. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);
3. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);
4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Atas timbulnya wanprestasi oleh debitur, maka kreditur berhak menuntut
dan memperoleh ganti kerugian dari debitur. Kreditur terlebih dahulu
memberikan teguran atau somasi terhadap debitur. Apabila telah dilakukan
somasi, maka kreditur berhak untuk meminta ganti rugi terhadap debitur. Ganti
rugi yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah 29
:
27
H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni,
2006), h., 220.
28
Sedyo Prayogo, “Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum
Dalam Perjanjian”. Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No. 2. 2016, h. 284.
29
Salim H.S., h. 100-101.
33
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan
kerugian.
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh.
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu debitur tidak melakukan penggantian
biaya, kerugian maupun bunga. Keadaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau
2. Terjadinya secara kebetulan, dan atau
3. Keadaan memaksa.
Keadaan memaksa terbagi atas dua macam yaitu keadaan memaksa
absolut dan keadaan memaksa yang relatif. Keadaan memaksa absolut adalah
suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya
kepada kreditur yang diakibatkan oleh bencana alam. Keadaan memaksa relatif
adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk
melaksanakan prestasinya. Namun, pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan
dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan
kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa
bahaya yang sangat besar.
3. Keterkaitan Arbitrase dan Pengadilan
Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan.30
Arbitrase membutuhkan bantuan pengadilan dalam rangka menegakkan klausula
arbitrase agar institusi ini diakui baik oleh hukum nasional maupun internasional.
Berdasarkan Undang-Undang Arbitrase, terdapat beberapa aturan atau
pasal yang melibatkan peran pengadilan negeri dalam sengketa yang berklausula
arbitrase. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64
Undang-Undang Arbitrase. Agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan, putusan
30
Prijatni Sawadi, “Peranan Pengadilan dan Manfaat Penyelesaian Sengketa Melalui
Arbitrase”, (Tesis S-2 Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro Semarang, 2003), h. 96.
34
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki ketua pengadilan negeri sebatas
pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
4. Teori Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau
sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, hal tersebut tidak berarti semata-
mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga pelaksanaannya
atau eksekusinya secara paksa.31
Novreddy Sihombing mengemukakan bahwa
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap memiliki 3 (tiga) macam
kekuatan, sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan yaitu :
a) Kekuatan mengikat, yaitu pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan
patuh pada putusan yang dijatuhkan.
b) Kekuatan pembuktian, yaitu putusan yang dalam bentuk tertulis, yang
merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai
alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan
banding, kasasi atau pelaksanaannya.
c) Kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
31
Soedikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Novreddy Sihombing, Kekuatan Hukum
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, JOM Fakultas Hukum, Volume 2 No. 1 Februari
2015, h. 4.
35
Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan dimuka
pengadilan. Dapat dikatakan eksekusi tiada lain yaitu suatu tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan hukum acara perdata.32
Putusan untuk dapat
dilaksanakan secara paksa harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pencantuman tersebut
memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan
kalimat demikian mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.
Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan asas-asas hukum eksekusi yang
harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi adalah:
a) Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap, apabila tereksekusi tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela,
kecuali undang-undang menentukan lain.
b) Yang dapat dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman
(condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif atau declaratoir
tidak memerlukan eksekusi.
c) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan
Negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh panitera dan juru sita dengan
bantuan alat kekuasaan Negara di mana diperlukan.
d) Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan
perikeadilan tetap terpelihara.
Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah
berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang
tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum
antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu
32
M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Novreddy Sihombing, h.5.
36
mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat) baik
secara sukarela atau secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, peneliti melakukan
pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian
terdahulu yang Peneliti temukan:
1. Fitriana, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Tahun 2015,
berbentuk skripsi dengan judul “UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XII/2014)” Skripsi ini tidak menekankan
pada pelaksanaan putusan arbitrase dan terbatas pada pembatalan putusan
arbitrase nasional dengan melakukan pengujian materill perundang-undangan
melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. Berbeda
halnya dengan peneliti yang memfokuskan pada peranan pengadilan dalam
melaksanakan eksekusi putusan arbitrase dan kekuatan hukum eksekutorial
hasil putusan badan arbitrase. Selain itu, peneliti memusatkan perhatian pada
pelaksanaan eksekutorial Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan hambatan-
hambatan yang dihadapi pasca putusan arbitrase dijatuhkan.
2. Helmi Abdullah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2016, berbentuk Skripsi dengan judul “PENERAPAN PRINSIP
ARBITRASE DI INDONESIA DALAM STUDI SENGKETA
KEPEMILIKAN TELEVISI PENDIDIKAN INDONESIA (MNC TV)”. Karya
ilmiah ini menguraikan implementasi teori-teori arbitrase dalam suatu proses
penanganan sengketa, akan tetapi karya ini tidak mengaitkan analisanya terkait
kekuatan hukum eksekutorial hasil putusan badan arbitrase dan fungsi
pengadilan dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase serta kelemahan
atau kendala yang dihadapi pasca putusan arbitrase dijatuhkan. Berbanding
dengan peneliti yang tidak hanya menguraikan teori-teori arbitrase dalam
37
penelitian, tetapi juga mengaitkannya dengan peranan pengadilan dalam
melaksanakan eksekusi putusan arbitrase dan kekuatan hukum eksekutorial
hasil putusan badan arbitrase. Peneliti juga memusatkan pada pelaksanaan
eksekutorial Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan hambatan-hambatan yang
dihadapi pasca putusan arbitrase dijatuhkan.
3. Joejoen Tjahjani, berbentuk jurnal dengan judul “PERANAN PENGADILAN
DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE”. Jurnal ini menerapkan
metode penelitian normatif tanpa melampirkan studi kasus untuk lebih
menguatkan pembahasan maupun data penelitian. Peneliti selain membahas
tentang peranan pengadilan dalam pelaksanaan putusan, peneliti juga
menambahkan atau melampirkan dalam pembahasan berupa putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia No. 801/II/ARB-BANI/2016.
4. Andi Musfira Asnur, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar,
Tahun 2017, berbentuk Skripsi dengan judul “PERANAN MEDIATOR
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN PADA
PENGADILAN AGAMA SENGKANG KELAS IB”. Skripsi ini menguraikan
salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yakni mediasi. Analisis
dalam penelitian ini sebatas mendeskripsikan dan menganalisis fungsi dan
manfaat mediasi dalam penyelesaian sengketa dalam ruanglingkup peradilan
agama dengan penekanan pada proses yang dilakukan oleh mediator dalam
menyelesaikan sengketa kewarisan, efektivitas mediator dan peranannya dalam
menyelesaikan sengketa kewarisan Pengadilan Agama Sengkang Kelas I B.
Sedangkan peneliti memfokuskan pada peranan pengadilan dalam
melaksanakan eksekusi putusan arbitrase dan kekuatan hukum eksekutorial
hasil putusan badan arbitrase. Selain itu, peneliti lebih memusatkan perhatian
pada pelaksanaan eksekutorial Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan
hambatan-hambatan yang dihadapi pasca putusan arbitrase dijatuhkan.
38
BAB III
PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NO. 801/II/ARB-
BANI/2016)
Bab III menyajikan duduk masalah sengketa dan hasil putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (No. 801/II/ARB-BANI/2016) terkait dasar hukum
terjadinya sengketa kontrak (No.PKS.034 / LG.05 / PD.00 / 1/2012). Tambahan pula,
Bab III menguraikan apa yang menjadi pertimbangan dan amar putusan BANI.selain
itu, Bab III juga mendeskripsikan mekanisme eksekusi putusan arbitrase terkait
dampak dari adanya upaya penolakan dan pembatalan melalui Pengadilan.
A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (No. 801/II/ARB-BANI/2016) Terkait Dasar Hukum Terjadinya
Sengketa Kontrak (No.PKS.034/LG.05/PD.00/1/2012).
1. Posisi Kasus
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian yang sangat
penting dalam proses pelaksanaan pembangunan. Bagi pemerintah,
ketersediaan barang dan jasa pada setiap instansi pemerintah maupun lembaga
negara lainnya akan menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan tugas
dan fungsi masing-masing unit kerja. Tanpa sarana dan prasarana yang
memadai tentu saja jalannya pelaksanaan tugas pemerintah akan terganggu
dan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.33
Hal yang sama juga berlaku
bagi Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan
Informatika (BP3TI) Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan
Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
33
Abu Sopian sebagaimana dikutip oleh Taufik Hasudungan Sihotang dkk, “Perlindungan
Hukum Terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Upah Borong
(Partisipatif) Dalam Proyek Swakelola Di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang”,
USU Law Journal, Vol. 5. No. 1 (Januari 2017), h. 41.
39
Indonesia yang menginginkan setiap desa memiliki akses internet untuk
mempermudah masyarakat mengakses informasi atau semacamnya.
Pada tanggal 05 Januari 2012, PT. Telekomunikasi Selular
(selanjutnya disebut Termohon I) dan Balai Penyedia dan Pengelola
Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia (selanjutnya disebut Termohon II) telah
menandatangani perjanjian dengan PT. Indo Pratama Teleglobal untuk 3 Paket
Pekerjaan Proyek Desa Pinter.34
Untuk melaksanakan proyek Desa Pinter, Termohon I telah
mengadakan kerjasama dengan Pemohon yang ketika itu dilaksanakan atas
nama Konsorsium Teleglobal Aprotech dibawah Perjanjian Kerjasama
Penyediaan Layanan Jasa Akses Internet Pedesaan (Desa Pinter) No.
PKS.034/LG.05/PD-00/I/2012 tanggal 20 Februari 2012 dan Perjanjian
Novasi No. 031/LO.01/IP-01/II/2013 tanggal 11 Maret 2013 dan Amandemen
I terhadap Perjanjian Kerjasama No. Telkomsel : Amd.705/LG.05/PD-
00/XII/2014 dan No. Mitra : 221/IPT/TSEL/DPN-AMD1/XII/2014 tanggal 18
Desember 2014 dan Amandemen II terhadap Perjanjian Kerjasama No.
Telkomsel AMD. 516/LG.05/PD-00/IX/2015 dan Mitra :
096/AMD2/PKS.034/TSEL/IX/15 tanggal 01 September 2015. Pada saat
perjanjian tersebut diadakan, Termohon II ikut menandatangani dan
menyatakan “mengetahui dan menyetujui” nya.
Proyek Desa Pinter pun telah beroperasi dan telah dilaksanakan
bahkan telah dinikmati oleh masyarakat sejak bulan April 2013. Akan tetapi,
Termohon II kemudian menghentikan Proyek Desa Pinter berdasarkan surat
Termohon II No : B-191/KOMINFO/BPPPTI.31.4/KS.01.08/3/2015 tanggal
03 Maret 2015. Oleh karena proyek tersebut dihentikan secara sepihak oleh
34
Arni WInarsih, “Wanprestasi Dalam Kontrak Pengadaan Barang Pemerintah”, Fakultas
Hukum, Universitas Narotama Surabaya, h. 2.
40
Termohon II, maka Pemohon menuntut Termohon II untuk membayar
pendapatan jasa pelayanan atau bagi hasil periode April 2013 sampai dengan
Juni 2014 kepada Termohon I.35
Termohon II mendalilkan tidak dapat melakukan pembayaran dengan
alasan :
a. Adanya perubahan struktur organisasi Termohon II sehingga sulit
melakukan rekonsiliasi data;
b. Adanya temuan-temuan BPK-RI yang mesti Termohon II tindak lanjuti
c. Adanya pemblokiran anggaran oleh Kementerian Keuangan adanya
penghentian izin perpanjangan kontrak tahun jamak (multi years) oleh
Kementerian Keuangan
Pemohon kesulitan melakukan penagihan atas pendapatan bagi hasil /
revenue sharing serta pengembalian biaya investasi kepada Termohon I dan
Termohon II. Pemohon kemudian menagih kepada Badan Arbitrase Nasional
Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan Pemohon.
Penyelesaian sengketa pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya
antara PT. Telekomunikasi Selular (Termohon I) dan Balai Penyedia dan
Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia (Termohon II) dan PT. Indo Pratama
Teleglobal untuk 3 (Penggugat) telah diatur dalam Pasal 85 Perpres No. 16
Tahun 2018, dinyatakan dalam ayat (1) :
“Penyelesaian sengketa kontrak antara PPK dan Penyedia dalam
pelaksanaan kontrak dapat dilakukan melalui layanan penyelesaian
sengketa kontrak, arbitrase, atau penyelesaian melalui pengadilan”.36
35
Robin A. Suryo dan Agita M. Ulfa dari Dixit., hlm. 17.
36
Robin A. Suryo dan Agita M. Ulfa , “Teori Kontrak Dan Implikasinya Terhadap Regulasi
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah”, Jurnal Pengadaan. Volume 3. No.3, 2013, h. 17.
41
Berdasarkan Pasal 85 Perpres No. 16 Tahun 2018 bahwa penyelesaian
perselisihan antara pemerintah dan penyedia barang dan jasa dapat melalui
jalur litigasi dan non litigasi. Jalur litigasi berarti penyelesaian perselisihan
melalui pengadilan dan jalur non litigasi dapat dilakukan dengan cara
arbitrase.
B. Pertimbangan dan Amar Putusan Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
Atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan setelah Majelis
Arbitrase memeriksa dengan seksama permohonan Pemohon, Jawaban
Termohon I dan Termohon II, bukti-bukti, maka Majelis Arbitrase memiliki
sejumlah pertimbangan yaitu :
a. Bahwa untuk melaksanakan proyek Penyediaan Jasa Akses
Telekomunikasi Dan Informatika Pedesaan KPU/USO, Termohon I
telah mengadakan kerja sama dengan Pemohon dibawah Perjanjian
Kerjasama Penyediaan Layanan Jasa Akses Internet Pedesaan (Desa
Pinter) No. PKS.034/LG.05/PD-00/I/2012 tanggal 20 Februari 2012 dan
Perjanjian Novasi No. 031/LO.01/IP-01/II/2013 tanggal 11 Maret 2013
dan Amandemen I terhadap Perjanjian Kerjasama No. Telkomsel :
Amd.705/LG.05/PD-00/XII/2014 dan No. Mitra : 221/IPT/TSEL/DPN-
AMD1/XII tanggal 18 Desember 2014 dan Amandemen II terhadap
Perjanjian Kerjasama No. Telkomsel AMD. 516/LG.05/PD-00/IX/2015
dan Mitra : 096/AMD2/PKS.034/TSEL/IX/15 tanggal 1 September
2015 yaang secara keseluruhan disebut “Perjanjian Kerjasama”.
Termohon II ikut menandatangani Perjanjian Kerjasama antara
Pemohon I dan Termohon I dan menyatakan “Mengetahui dan
Menyetujui” diatas tandatangan Termohon II.
b. Bahwa untuk menilai apakah perjanjian antara Pemohon dan Termohon
I sah menurut hukum, majelis arbitrase perlu mempertimbangkan Pasal
42
1320 KUHPerdata yang menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu :
1) Perjanjian-perjanjian tersebut jelas mengatur tentang hak-hak dan
kewajiban para pihak dengan syarat-syarat yang jelas dan objek
yang jelas dan ditandatangani oleh masing-masing pihak yang
berwenang atau kompeten
2) Karena perjanjian ditandatangani oleh masing-masing pihak yang
berkompeten atau cakap untuk itu sehingga syarat kecakapan untuk
membuat perikatan telah terpenuhi
3) Terdapat objek yang jelas yaitu hal tentang Penyediaan Layanan
Jasa Akses Internet Pedesaan (Desa Pinter) di Provinsi Sumatera
Utara, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Kalimantan Timur
sehingga syarat hal tertentu telah terpenuhi
4) Kausa yang halal, Program Penyediaan Layanan Jasa Akses
Pedesaan (Desa Pinter) di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi
Sumatera Barat dan Provinsi Kalimantan Timur dinilai juga telah
melalui proses yang benar melalui tahapan-tahapan pengadaan
barang dan jasa sesuai dengan ketentuan hukum tentang pengadaan
barang dan jasa dan diakhiri dengan dibuatnya perjanjian yang sah
dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu.
Sehingga menurut majelis arbitrase, perjanjian antara Pemohon dan
Termohon I adalah sah memenuhi syarat-syarat sebagaimana PAsal
1320 KUHPerdata. Bahwa selain itu, majelis arbitrase juga menilai
bahwa ikut ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Pemohon
dan Termohon I oleh Termohon II serta dibubuhkannya kata-kata
mengetahui dan menyetujui diatas tandatangan oleh Termohon II
maka hak tersebut membuktikan Termohon II ikut serta dan setuju
serta terikat dengan perjanjian antara Pemohon dan Termohon I.
43
c. Bahwa kedudukan Termohon II sebagai badan hukum publik, tetapi
ketika Termohon II melakukan perikatan dengan pihak lain dalam
sebuah perikatan untuk kerjasama bisnis maka tindakan Termohon II
tersebut murni merupakan perbuatan melawan hukum dalam lingkup
hukum perdata / hukum privat dan tunduk pada ketentuan-ketentuan
hukum privat termasuk juga ketika Termohon II turut menandatangani
perjanjian antara Pemohon dan Termohon I dan dibubuhkan pernyataan
mengetahui dan menyetujui maka berarti Termohon II sebagai subjek
hukum turut mengikatkan diri dan tunduk pada perjanjian tersebut serta
ketentuan-ketentuan hukum privat yang mengaturnya.
d. Bahwa ketika pihak ketiga turut serta menandatangani dan yang
bersangkutan menyatakan mengetahui dan menyetujui pada suatu
perjanjian artinya pihak tersebut turut serta sebagai pihak dalam
perjanjian dan yang bersangkutan memiliki hak dan kewajiban
mengikuti apa yang tertuang dalam perjanjian sepanjang terdapat
keterkaitan dengan pihak ketiga tersebut dan dianggap sebagai pihak
yang turut serta membuat perjanjian tersebut.
e. Majelis Arbitrase menyimpulkan bahwa tidak tersedianya anggaran atau
tidak cukupnya anggaran atau dihentikannya anggaran oleh pemerintah
atas Proyek Desa Pinter tidak dapat dijadikan alasan oleh Termohon II
dalam kedudukan sebagai subjek hukum perdata untuk tidak melakukan
pembayaran atas prestasi yang telah diselesaikan oleh Termohon I dan
Pemohon berdasarkan Perjanjian Kerjasama atau menghindarkan diri
dari tanggungjawab atas penandatanganan Perjanjian yang telah
dilakukan Termohon II atau untuk menghentikan pelaksanaan Proyek
Desa Pinter secara sepihak.
f. Bahwa adanya temuan atau rekomendasi dari BPK-RI tidaklah serta
merta atau setidaknya tidak boleh menghambat kesepakatan yang telah
sah dibuat sebelumnya oleh Termohon I dan Termohon II juga
44
kesepakatan antara Termohon I, Termohon II dan Pemohon. Majelis
arbitrase berpendapat adanya restrukturisasi di organisasi Termohon II
tidak membatalkan atau paling tidak Pemohon dan Termohon I yang
terikat dalam perjanjian dengan Termohon II tidak boleh dirugikan dan
restrukturisasi semata-mata persoalan Termohon II.
g. Untuk izin perpanjangan kontrak tahun jamak (multi years) yang tidak
disetujui oleh Kementerian Keuangan, Majelis Arbitrase berpendapat
karena prestasi kerja yang menjadi permasalahan dalam perkara a quo
adalah prestasi atau layanan sebelum tahun 2015 maka perpanjangan
kontrak tahun jamak yang tidak disetujui tidak dapat dijadikan alasan
untuk tidak membayar prestasi atau layanan Pemohon sebelum proyek
dihentikan.
h. Paket pekerjaan I Proyek Desa Pinter Provinsi Sumatera Utara dan
Paket Pekerjaan II Proyek Desa Pinter Provinsi Sumatera Barat dan
Paket Pekerjaan III Provinsi Kalimantan Timur masing-masing untuk
kurun waktu April 2013 sampai dengan Desember 2013 serta Paket
Layanan sejak bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014 telah
diselesaikan oleh Pemohon dan telah pula diserahterimakan. Selain itu,
untuk melaksanakan paket-pkaet pekerjaan tersebut Pemohon telah
mengeluarkan biaya-biaya investasi, biaya yang mana diharapkan jika
Proyek Desa Pinter dilaksanakan oleh Pemohon dapat diselesaikan
sesuai dengan perjanjian maka biaya-biaya investasi yang dikeluarkan
diawal proyek dapat kembali.
i. Bahwa belum dibayarkannya prestasi kerja Pemohon dan Termohon I
oleh Termohon II untuk Paket Pekerjaan I, Paket Pekerjaan II dan Paket
Pekerjaan Proyek Desa Pinter, padahal pembayaran tersebut adalah
kewajiban Termohon II. Untuk itu, Majelis Arbitrase menilai perbuatan
Termohon II tersebut adalah merupakan perbuatan wanprestasi.
45
j. Bahwa perbuatan Termohon I belum dapat melakukan pembayaran
kepada Pemohon karena Termohon II belum melakukan pembayaran
kepada Termohon I. dengan demikian, Termohon I tidak dapat
dikatakan melakukan perbuatan wanprestasi. Namun, harus tetap
melakukan kewajiban pembayaran kepada Pemohon.
k. Majelis Arbitrase berpendapat untuk memperoleh pembuktian
perhitungan atas prestasi kerja yang didalilkan oleh Pemohon perlu
dilakukan verifikasi atas prestasi kerja Pemohon oleh verifikator
independen yang terdaftar di BPK-RI sehingga Majelis Arbitrase
meminta kesepakatan para pihak untuk menunjuk verifikator
independen yang memenuhi kriteria tersebut.
l. Bahwa hanya pemohon dan Termohon I saja yang bersepakat tentang
penunjukan verifikator independen tersebut sementara Termohon II
tidak bersedia sebab tetap berpendapat bahwa Termohon II bukan pihak
dalam perkara a quo sehingga Majelis Arbitrase lalu memerintahkan
kepada Pemohon untuk menunjuk verifikator independen yang
dimaksud.
m. Bahwa verfikator independen yang ditunjuk oleh Pemohon telah
melakukan perhitungan atas prestasi kerja Pemohon dan telah pula
melakukan penilaian terhadap jumlah biaya investasi pemohon.
n. Bahwa dari hasil pekerjaan yang dibuat oleh verifikator independen
dalam Laporan yang disebut Laporan Auditor Independen Penerapan
Prosedur Yang Disepakati Atas Fakta dan Data Terkait Tuntutan Ganti
Rugi Dalam Perkara BANI Nomor 801/II/ARB-BANI/2016, Majelis
Arbitrase mempertimbangkan laporan tersebut sebagai salah satu
rujukan menilai hak dan kewajiban para pihak.
o. Bahwa menurut laporan verifikator jumlah tuntutan yang dapat
diperhitungkan adalah sebagai berikut :
46
Revenue Sharing
1) Bahwa menurut perhitungan, jumlah biaya layanan untuk periode
sejak April 2013 sampai degan Juni 2014 adalah sebesar Rp.
73.798.618.408 sementara jumlah tuntutan dari Pemohon adalah
sebesar Rp. 73.701.261.778.
2) Menimbang bahwa jumlah perhitungan dari verifikator lebih besar
dari yang dimohonkan maka jumlah yang dapat dipertimbangkan
oleh Majelis Arbitrase adalah sebesar jumlah tuntutan
3) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 dan 2 Amandemen Pertama
Perjanjian Kerjasama pembagian atas Revenue Sharing antara
Pemohon dan Termohon I adalah masing-masing sebesar 79,87%
untuk Pemohon dan 20.13% untuk Termohon I sehingga jumlah
Revenue Sharing yang dapat dipertimbangkan oleh Majelis
Arbitrase adalah Rp. 58.865.197.782,- untuk bagian Pemohon dan
Rp. 14.836.063.996 untuk bagian Termohon I
Biaya Investasi
1) Menimbang bahwa Pemohon mengajukan tuntutan ganti rugi biaya
investasi sebesar Rp. 47.208.004.296,- (termasuk biaya bunga
sebesar Rp. 29.827.518.383) dan USD 1.642.485,01
2) Menimbang bahwa menurut perhitungan jumlah biaya investasi
yang telah dilakukan pemohon, setelah mengecualikan biaya bunga
bank, adalah sebesar Rp. 14.131.539.051,- dan USD 1.642.485,-
3) Menimbang bahwa selama jangka 15 bulan terdapat akumulasi
penyusutan sebesar Rp. 4.416.105.953 dan USD 513.277 sehingga
jumlah biaya investasi yang dapat dipertimbangkan oleh Majelis
Arbitrase adalah sebesar Rp. 9.715.433.098,- dan USD 1.129.208,-
Biaya Bunga
Menimbang bahwa menurut perhitungan, biaya bunga yang dapat
diperhitungkan berdasarkan prosedur yang disepakati adalah sebesar Rp.
47
929.010.723,- dan menimbang bahwa terdapat akumulasi penyusutan
sebesar Rp. 290.315.851,- yang diterapkan sesuai prosedur yang
disepakati sehingga jumlah biaya bunga yang dapat dipertimbangkan
oleh Majelis Arbitrase adalah sebesar Rp. 638.694.872,-.
p. Bahwa selain Revenue Sharing dan Biaya Investasi, Pemohon juga
mengajukan tuntutan atas uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.
50.000.000. (lima puluh juta rupiah) per hari keterlambatan. Terhadap
tuntutan ini, sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Nomor
791 K/SIP/1972 tanggal 26 Februari 1973 bahwa uang paksa
(dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang
sehingga Majelis Arbitrase tidak dapat mempertimbangkan tuntutan
uang paksa (dwangsom) yang diajukan pemohon.
Selanjutnya atas dasar uraian pertimbangan hukum sebagaimana
diuraikan diatas, maka BANI memberikan putusan yang tertuang dalam amar
putusan yang menyatakan :
a. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
b. Menyatakan Termohon II telah melakukan perbuatan cidera janji
(wanprestasi) terhadap pemohon
c. Menyatakan berakhir Perjanjian Kerjasama antara Pemohon dan
Termohon I karena dihentikannya pelaksanaan kontrak tahun jamak
multiyear terhadap Proyek Pekerjaan Desa Pinter
d. Menghukum Termohon II untuk membayar seketika dan sekaligus
pendapatan jasa layanan Desa Pinter untuk periode April 2013 sampai
dengan Juni 2014 kepada Termohon I sebesar Rp. 73.701.261.778, -
(tujuh puluh tiga miliar tujuh ratus satu juta dua ratus enam puluh satu
ribu tujuh ratus tujuh puluh delapan rupiah) dikurangi uang muka yang
telah dibayarkan oleh Termohon II sebesar 39.155.826.347,- (tiga puluh
Sembilan milliard seratus lima puluh lima juta delapan ratus dua puluh
enam ribu tiga ratus empat puluh tujuh rupiah)
48
e. Menghukum Termohon I untuk membayarkan seketika dan sekaligus
porsi pendapatan (revenue sharing) kepada Pemohon sebesar Rp.
28.865.197.782,- (dua puluh delapan milliar delapan ratus enam puluh
lima juta seratus sembilan puluh tujuh ribu tujuh ratus delapan puluh dua
rupiah)
f. Menghukum Termohon II untuk membayar sekestika dan sekaligus
kepada Pemohon seluruh biaya investasi sebagai ganti rugi atas modal
kerja yang telah dikeluarkan oleh Pemohon sebesar Rp. 9.715.433.098,-
(Sembilan milliar tujuh ratus lima belas juta empat ratus tiga puluh tiga
ribu Sembilan puluh delapan rupiah) dan dalam mata uang Dollar
Amerika Serikat sebesar USD 1.129.208,- (satu juta seratus dua puluh
sembilan ribu dua ratus delapan dolar Amerika Serikat) serta bunga
sebesar Rp. 638.694.872, - (enam ratus tiga puluh delapan juta enam
ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus tujuh dua rupiah) sebagai
akibat dari penghentian Proyek Desa Pinter.
g. Menolak Permohonan Pemohon untuk uang paksa (dwangsom)
h. Menghukum dan memerintahkan Termohon II untuk membayar /
mengembalikan biaya administrasi, biaya pemeriksaan dan biaya arbiter
yang terlebih dahulu dibayarkan oleh Termohon I sebesar Rp.
442.101.000,- (empat ratus empat puluh dua juta seratus satu ribu rupiah)
kepada Termohon I
i. Menyatakan Putusan Arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama
dan terakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat kedua
belah pihak
j. Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk melaksanakan putusan
ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
Putusan Arbitrase ini diucapkan.
k. Memerintahkan kepada Sekretaris Majelis Arbitrase sidang BANI untuk
mendaftarkan turunan resmi putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan
49
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas biaya Pemohon dan Termohon I
serta Termohon II dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
C. Mekanisme Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Terkait Upaya
Penolakan Dan Pembatalan Melalui Pengadilan.
Mekanisme pelaksanaan eksekusi putusan BANI dapat dilakukan setelah
dilakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir
putusan oleh panitera pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran. Dengan telah
didaftarkannya putusan arbitrase tersebut maka putusan tersebut bersifat mengikat
dan final pada para pihak. Para pihak yang menang dapat meminta Pengadilan
Negeri untuk melaksanakan eksekusi terhadap putusan sengketa arbitrase
tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa Putusan BANI No. 801/II/ARB-
BANI/2016 dalam dictum putusannya menghukum Termohon I dan Termohon II
untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak putusan diucapkan. Selain itu, pihak BANI sendiri telah
mendaftarkan Putusan BANI No. 801/II/ARB-BANI/2016 telah didaftarkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 16 Maret 2017. Kedua hal
tersebut telah memenuhi syarat untuk segera melaksanakan eksekusi Putusan
BANI No. 801/II/ARB-BANI/2016.
Akan tetapi, Untuk putusan BANI No. 801/II/ARB-BANI/2016 dapat
dimohonkan pembatalan oleh salah satu pihak dalam perkara melalui mekanisme
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri.
Pengajuan pembatalan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana telah ditentukan
dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase, yaitu:
50
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Ketentuan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase menguraikan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat
diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Sejauh ini putusan BANI No. 801/II/ARB-BANI/2016 belum masuk
kriteria sebagai putusan yang dapat dimohonkan pembatalan sebagaimana diatur
dalam Pasal 70. Kalaupun ingin dimohonkan pembatalan, maka harus terlebih
dahulu dilampirkan putusan pengadilan yang berisikan kalau putusan arbitrase
dimaksud mengandung kepalsuan, tipu muslihat serta adanya penyembunyian
dokumen oleh pihak Termohon I maupun II. Terlebih pula, Putusan BANI No.
801/II/ARB-BANI/2016 telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
oleh pihak BANI.
51
BAB IV
KEKUATAN EKSEKUTORIAL PENYELESAIAN EKSEKUSI PUTUSAN
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN BANI
NO. 801/II/ARB-BANI/2016) DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA
Bab IV mendeskripsikan peran pengadilan dalam melaksanaan eksekusi
putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan analisa penulis tentang kekuatan
putusan arbitrase dalam sebuah eksekusi. Selain itu, Bab IV menguraikan pula
bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan pelaksanaan putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
A. Eksekusi Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
Putusan arbitrase BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 yang tegas
menyatakan Termohon I telah melakukan cidera janji (wanprestasi) dan
menyatakan Termohon II telah melakukan penghentian operasional Proyek Desa
Pinter secara sepihak tanpa dasar hukum dan melanggar perjanjian serta
menghukum Termohon II untuk membayar lunas, sekaligus dan seketika seluruh
biaya jasa layanan Proyek Desa Pinter, yaitu sebesar Rp. 73.701.261.778,- (tujuh
puluh tiga milyar tujuh ratus satu juta dua ratus enam puluh satu ribu tujuh ratus
puluh delapan rupiah) kepada Termohon I, haruslah ditaati dan dilaksanakan
oleh pihak Termohon I dan Termohon II dengan melakukan pembayaran
terhadap Pemohon.
Tuntutan berupa pernyataan cidera janji maupun pembayaran atas jumlah
tertentu adalah lazim dan itulah yang selalu diminta dan kemudian dikabulkan,
sehingga amar putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 yang dikabulkan
itulah yang dimintakan untuk dilaksanakan oleh pihak Termohon I dan II.
Terlebih pula, salinan resmi dari Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
52
B. Analisis
1. Analisis Peran Pengadilan dalam Melaksanakan Eksekusi Putusan BANI
Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
Pelaksanaan putusan arbitrase BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 sebelum mendapatkan bantuan peran dari pengadilan harus
melakukan pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri merupakan tindakan yang wajib dilakukan bagi
pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase, apabila ingin
melakukan pelaksanaan putusan secara paksa karena putusan tersebut tidak
dilaksanakan secara sukarela. Pendaftaran tersebut merupakan dasar bagi
pelaksanaan putusan arbitrase oleh pengadilan atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Apabila setelah melakukan pendaftaran dan salah satu pihak tidak ada
yang ingin melakukan pembatalan, kemudian pihak yang kalah tidak
melakukan kewajibannya secara sukarela, maka pihak yang berkepentingan
dapat melakukan permohonan eksekusi putusan arbitrase itu sendiri, dengan
pengadilan selaku pihak pelaksananya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
pihak BANI yakni37
:
Putusan BANI dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Namun,
apabila para pihak tidak dapat melaksanakan putusan secara sukarela,
maka putusan tersebut dapat dilaksanakan atas perintah ketua
pengadilan negeri melalui permohonan eksekusi yang diajukan oleh
salah satu pihak.
Adapun peranan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut
dirumuskan sebagai berikut38
:
37
Hasil kuesioner penelitian di BANI.
38
Joejoen Tjahjani, “Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase”, Jurnal
Independent, Volume 2 No. 1, h. 36-37.
53
a. Pemberian exequatur
Pemberian exequatur terhadap putusan arbitrase dilakukan
dengan cara membuat surat permohonan exequatur kepada Ketua
Pengadilan Negeri, sebagai permintaan untuk melakukan eksekusi
terhadap putusan arbitrase, sebagaimana diutarakan oleh pihak BANI39
:
Hasil putusan BANI yang tidak dijalankan oleh salah satu pihak,
maka pihak lainnya dalam perkara arbitrase tersebut dapat
meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri dimana
putusan arbitrase tersebut didaftarkan.
Pada prinsipnya putusan arbitrase bersifat universal, artinya dapat
dilaksanakan di negara manapun, sepanjang negara tersebut telah
meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Pelaksanaannya di
seluruh negara melalui pengadilan negeri (court) negara setempat.
Permintaan untuk permohonan exequatur dilakukan sendiri oleh
para pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Negeri, karena
arbiter tidak terlibat lagi setelah pendaftaran. Pada hakikatnya untuk bisa
dilakukan exequatur dari pengadilan diperlukan pendaftaran terlebih
dahulu, apabila pendaftaran melebihi batas waktu yang telah ditentukan,
akan menjadi pertimbangan ketua pengadilan negeri untuk menerima
atau menolak permohonan exequatur tersebut. Apabila putusan tidak
dapat dieksekusi maka pemberian exequatur ditolak dengan keluarnya
surat penetapan dilengkapi dengan alasan pertimbangannya. Namun jika
putusan tersebut dapat dieksekusi maka Ketua Pengadilan dapat
memberikan exequatur dan selanjutnya akan mengeluarkan penetapan
perintah eksekusi.
39
Hasil kuesioner penelitian di BANI.
54
b. Penetapan perintah eksekusi
Penetapan perintah eksekusi dikeluarkan oleh ketua pengadilan
negeri setelah memberikan exequatur terhadap putusan. Jadi sebelum
menolak atau menerima exequatur yang kemudian mengeluarkan
penetapan perintah eksekusi ketua pengadilan negeri harus mempelajari
dan meneliti terlebih dahulu putusan arbitrase apakah bisa dilakukan
eksekusi atau tidak.
c. Melakukan teguran atau annmaning
Penerapan perintah eksekusi telah dikeluarkan oleh ketua
pengadilan negeri, maka peran pengadilan berikutnya adalah melakukan
prosedur yang sama dengan perkara perdata biasa lainnya. Dalam hal ini
pengadilan akan melakukan aanmaning atau teguran, dengan memanggil
kedua belah pihak secara bersama-sama ke persidangan. Pada prakteknya
aanmaning dilakukan 3 tahapan, namun biasanya para pihak tidak
sampai melewati 3 tahap aanmaning tersebut, hal ini dikarenakan adanya
perdamaian dari para pihak selama proses aanmaning tersebut.
d. Pelaksanaan eksekusi putusan baik melalui sita, lelang maupun
pengosongan
Apabila proses aanmaning telah dilaksanakan sebanyak 3
tahapan, namun pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan secara
sukarela, maka untuk itu pengadilan akan melakukan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase secara paksa. Juru sita diberikan tugas untuk
melakukan eksekusi dengan melakukan penyitaan, pelelangan maupun
pengosongan. Juru sita melakukan pelelangan, penyitaan dan
pengosongan setelah mendapat persetujuan dari ketua pengadilan negeri
terhadap pihak yang akan dieksekusi. Objek pelelangan dan penyitaan
harus bebas dari sengketa dengan pihak ketiga. Pelelangan dan penyitaan
55
ini dimaksudkan sebagai pembayaran uang guna pelunasan utang
terhadap kewajiban pihak yang dieksekusi.
2. Analisis Kekuatan Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
dalam Proses Eksekusi
Putusan arbitrase yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan hukum terlebih bagi para
pencari keadilan dan sekaligus merupakan penjabaran dari asas pemeriksaan
cepat, sederhana dan biaya ringan. Sepatutnya, apabila suatu putusan telah
final, pihak pemohon eksekusi sepantasnya memperoleh guarantee bahwa
putusan arbitrase yang telah dimenangkannya sesegera mungkin bisa
terlaksana sesuai tahapan yang telah ditentukan. Apabila eksekusi yang
dimaksud berjalan sebagaimana mestinya, maka hakikat mendasar dari
putusan arbitrase dapat benar-benar dirasakan oleh pihak atau pemohon
eksekusi sebagai hasil perjuangannya untuk memperoleh keadilan.
Pada prinsipnya suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan
suatu sengketa sekaligus menetapkan finalisasi hukumnya. Hal demikian
tidak berarti melulu hanya meneguhkan hukumnya saja, melainkan juga
pelaksanaan eksekusinya. Oleh sebab itu, putusan BANI Nomor :
801/II/ARB-BANI/2016 dalam tataran teoritik telah memenuhi 3 (tiga)
macam kekuatan sehingga perihal yang termaktub dalam putusan tersebut
dapat terlaksanakan, yaitu :
a. Kekuatan mengikat, yaitu pihak-pihak yang bersangkutan akan
tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan.
b. Kekuatan pembuktian, yaitu putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 berbentuk tertulis, yang merupakan akta otentik dan
tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi
para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan
banding, kasasi atau pelaksanaannya.
56
c. Kekuatan eksekutorial, yaitu apa yang ditetapkan dalam putusan
BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 dalam dilaksanakan
secara paksa oleh alat-alat negara.
Dengan terpenuhinya 3 (tiga) macam kekuatan oleh putusan BANI
Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016, maka seharusnya putusan dimaksud dapat
segera dilaksanakan utamanya bagi pihak termohon eksekusi. Dan apabila
kondisi menghendaki, pihak pemohon eksekusi dapat meminta permohonan
eksekusi melalui Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika mempedomani
kembali arti sesungguhnya dari arbitrase itu sendiri yang mengedepankan
konsesualisme, otonomi para pihak, sederhana dan itikad baik, maka
pelaksanaan eksekusi secara paksa oleh alat-alat negara hendaknya menjadi
upaya terakhir. Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 masih dapat
dilaksanakan oleh pihak termohon atas dasar itikad baik atau secara sukarela.
Pelaksanaan putusan secara sukarela adalah pelaksanaan putusan
condemnatoir40
yang telah berkekuatan hukum tetap oleh pihak yang kalah
dalam suatu gugatan perdata, tanpa adanya campur tangan pengadilan.
Pelaksanaan putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 bisa
dilaksanakan secara sukarela oleh Termohon I dan Termohon II tanpa harus
melibatkan kekuatan paksa dari pengadilan.
Pelaksanaan putusan secara sukarela memiliki beberapa keuntungan
yaitu sebagai berikut :
1. Pihak yang kalah dalam perkara akan terhindar dari biaya eksekusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 192 RBg / Pasal 121 HIR.
2. Pihak yang kalah dalam perkara akan terhindar dari kerugian
moral berupa tuduhan bahwa ia membangkang terhadap putusan
pengadilan.
3. Ada kepastian hukum terhadap penyelesaian putusan pengadilan.
40
Putusan Condemnatoir adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
penghukuman.
57
Apabila diperhatikan dengan seksama hakikatnya tidak ada aturan
atau tata cara pelaksanaan putusan secara sukarela. Undang-undang hanya
mengatur tata cara pelaksanaan secara eksekusi. Sehingga dalam hal
pelaksanaan putusan secara sukarela biasanya para pihak melakukan sendiri
tanpa campur tangan dari pihak pengadilan.
Termohon I dan terutama Termohon II dapat melaksanakan putusan
BANI secara sukarela. Termohon I dan Termohon II dapat menghindari
dampak kerugian moral berupa tuduhan mengesampingkan atau bahkan
membangkang terhadap putusan BANI. Selain itu, paling utama adalah
adanya kepastian hukum terhadap penyelesaian putusan BANI Nomor :
801/II/ARB-BANI/2016.
3. Pelaksanaan dan Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Putusan
Konsekuensi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau gezag
van gewijsde adalah tidak dapat dijadikan obyek perakara baru diantara
pihak-pihak yang sama.41
Kekuatan hukum atas putusan arbitrase sebagai
salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum adalah final
dan binding. Dengan kata lain putusan demikian adalah langsung menjadi
putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir, mengikat para pihak. Peraturan
prosedur arbitrase BANI memuat ketentuan yang berkaitan dengan tahap
pelaksanaan putusan sebagaimana dimuat dalam Pasal 17, 18 dan 19 sebagai
berikut :
1. Dalam putusan dapat diterapkan suatu jangka waktu dalam mana
putusan harus dipenuhi;
41
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992),
h. 30.
58
2. Jika dalam jangka waktu tersebut belum dipenuhi, Ketua BANI
akan menyerahkan putusan kepada Ketua Pengadilan yang
berwenang untuk dijalankan;
3. Putusan dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang dimuat
dalam HIR maupun RBG.
Hakekatnya, putusan arbitrase dilaksanakan secara sukarela oleh
pihak yang ditetapkan kalah, pihak yang dibebani kewajiban.42
Pelaksanaan
putusan arbitrase secara sukarela merupakan salah satu asas peradilan
arbitrase. Peradilan arbitrase dibentuk oleh para pihak sendiri dan sudah
seharusnya menghormati putusannya.
Seperti yang telah diutarakan dalam uraian posisi kasus dan
pertimbangan majelis arbitrase tentang duduk perkaranya, oleh Pemohon dan
Termohon I serta Termohon II pada tanggal 05 Januari 2012 telah
menandatangani Perjanjian Kerjasama Penyediaan Layanan Jasa Akses
Internet Pedesaan (Desa Pinter). Dari uraian yang disampikan Pemohon
dalam permohonan arbitrasenya jelas bahwa yang dipersengketakan adalah
mengenai tuntutan pemohonan atas hal-hal sebagai berikut :
1. Menyatakan Termohon I telah melakukan cidera janji (wanprestasi)
2. Menyatakan Termohon II telah melakukan penghentian operasional
Proyek Desa Pinter secara sepihak tanpa dasar hukum dan
melanggar Dokumen Perjanjian
3. Menghukum Termohon II untuk membayar lunas, sekaligus dan
seketika seluruh biaya jasa layanan Proyek Desa Pinter, yaitu
sebesar Rp. 73.701.261.778,- (tujuh puluh tiga milyar tujuh ratus
satu juta dua ratus enam puluh satu ribu tujuh ratus puluh delapan
rupiah) kepada Termohon I
42
Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2016), h. 5.
59
Atas Permohonan pemohon diatas, majelis arbitrase telah melakukan
pemeriksaan perkara, yaitu dengan memeriksa dan memutus berdasarkan
dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon. Selain itu,
majelis arbitrase juga memeriksa seberapa jauh tuntutan yang diajukan oleh
pemohon tersebut mempunyai alasan dan dasar hukum yang kuat dengan
tetap mempertimbangkan kepentingan termohon.
Dalam putusan BANI yang berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Termohon II telah melakukan perbuatan cidera janji
(wanprestasi) terhadap pemohon.
3. Menyatakan berakhir Perjanjian Kerjasama antara Pemohon dan
Termohon I karena dihentikannya pelaksanaan kontrak tahun jamak
multiyear terhadap Proyek Pekerjaan Desa Pinter.
4. Menghukum Termohon II untuk membayar seketika dan sekaligus
pendapatan jasa layanan Desa Pinter untuk periode April 2013 sampai
dengan Juni 2014 kepada Termohon I sebesar Rp. 73.701.261.778, -
(tujuh puluh tiga miliar tujuh ratus satu juta dua ratus enam puluh satu
ribu tujuh ratus tujuh puluh delapan rupiah) dikurangi uang muka yang
telah dibayarkan oleh Termohon II sebesar 39.155.826.347,- (tiga puluh
sembilan milliar seratus lima puluh lima juta delapan ratus dua puluh
enam ribu tiga ratus empat puluh tujuh rupiah).
5. Menghukum Termohon I untuk membayarkan seketika dan sekaligus
porsi pendapatan (revenue sharing) kepada Pemohon sebesar Rp.
28.865.197.782,- (dua puluh delapan milliar delapan ratus enam puluh
lima juta seratus sembilan puluh tujuh ribu tujuh ratus delapan puluh dua
rupiah).
6. Menghukum Termohon II untuk membayar seketika dan sekaligus
kepada Pemohon seluruh biaya investasi sebagai ganti rugi atas modal
kerja yang telah dikeluarkan oleh Pemohon sebesar Rp. 9.715.433.098,-
60
(Sembilan milliar tujuh ratus lima belas juta empat ratus tiga puluh tiga
ribu Sembilan puluh delapan rupiah) dan dalam mata uang Dollar
Amerika Serikat sebesar USD 1.129.208,- (satu juta seratus dua puluh
sembilan ribu dua ratus delapan dolar Amerika Serikat) serta bunga
sebesar Rp. 638.694.872, - (enam ratus tiga puluh delapan juta enam
ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus tujuh dua rupiah) sebagai
akibat dari penghentian Proyek Desa Pinter.
7. Menolak Permohonan Pemohon untuk uang paksa (dwangsom).
8. Menghukum dan memerintahkan Termohon II untuk membayar /
mengembalikan biaya administrasi, biaya pemeriksaan dan biaya arbiter
yang terlebih dahulu dibayarkan oleh Termohon I sebesar Rp.
442.101.000,- (empat ratus empat puluh dua juta seratus satu ribu rupiah)
kepada Termohon I.
9. Menyatakan Putusan Arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama
dan terakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat kedua
belah pihak.
10. Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk melaksanakan putusan
ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
Putusan Arbitrase ini diucapkan.
11. Memerintahkan kepada Sekretaris Majelis Arbitrase sidang BANI untuk
mendaftarkan turunan resmi putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas biaya Pemohon dan Termohon I
serta Termohon II dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 tersebut dapat
dilaksanakan karena putusan tersebut telah dideponir dalam akta pendaftaran
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tindakan deponir
dilakukan dengan cara menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau
61
salinan otentik putusan arbitrase Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 yang telah
dibacakan pada tanggal 20 Februari 2017 oleh Sekretaris Majelis Arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penyerahan dan
pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan penandatangan
bersama-sama pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Sekretaris Majelis Arbitrase yang
menyerahkan di bawah register Nomor : 07/ARB/HKM/2017. PN. JAK SEL
pada tanggal 16 Maret 2017.
Penyerahan dan pendaftaran putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 telah sesuai berdasarkan ketentuan dalam Pasal 59 UU Arbitrase.
Penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase dilakukan pada tanggal 16
Maret 2017 atau kurang dari batas maksimal 30 hari sejak tanggal putusan
arbitrase diucapkan oleh majelis arbitrase yaitu tanggal 20 Februari 2017.
Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 dapat dilaksanakan atau
dieksekusi.
Tindakan deponir putusan putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 bukan hanya tindakan pendaftaran yang bersifat administratif
belaka, melainkan juga telah bersifat konstitutif. Dalam artian merupakan satu
rangkaian dalam mata rantai proses arbitrase, dengan menghindari resiko
tidak dapat dieksekusi.
Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 yang telah dicatat
dalam akta pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
harus sudah dilaksanakan secara sukarela paling lambat 30 hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan. Jika dalam waktu tersebut putusan BANI
Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 belum dieksekusi, dilakukanlah
pelaksanaan putusan secara paksa. Perintah pelaksanaan secara paksa ini
diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas permohonan
pihak yang bersengketa. Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
setelah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri tadi, dapat dilaksanakan
62
secara paksa, yang dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Akan tetapi, pelaksanaan atas putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-
BANI/2016 berpotensi pula mengalami kendala atau hambatan. Adapun
kendala atau hambatan yang dimaksud antara lain :
a. Hapusnya Objek Prestasi Karena Kebijakan Publik (Pemerintah)
Berdasarkan kontrak yang disepakati antara Pemohon dan
Termohon I serta Termohon II, diketahui bahwa Termohon I dan
Termohon II memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada
Pemohon sebagai prestasi atas selesainya pembangunan 3 (tiga) paket
pekerjaan proyek desa pinter tahun 2013-2015. Akan tetapi, Termohon I
tidak mampu melakukan pembayaran karena Termohon I juga belum
memperoleh hak yang sama dari Termohon II (BP3TI).
Termohon II telah mengajukan permohonan perpanjangan izin
kontrak tahun jamak (multiyears) kepada Kementerian Keuangan R.I.
sebagai dasar sumber pembiayaan atau pembayaran atas prestasi yang
telah dilaksanakan oleh Termohon I dan Pemohon. Akan tetapi,
Kementerian Keuangan menolak permohonan izin kontrak tahun jamak
(multiyears) dari Termohon II dengan alasan 43
:
a. Tidak terpenuhinya syarat-syarat perpanjangan kontrak tahun jamak
yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
157/PMK.02/2013, khususnya Pasal 3 dan Pasal 6, yaitu kondisi
tertentu (keadaan non kahar) yang menyebabkan tertundanya
penyelesaian pekerjaan kontrak tahun jamak dan penyampaian usulan
perpanjangan kontrak tahun jamak tidak bersamaan dengan
penyampaian RKA-K/L TH 2015.
b. Mengakomodasi rekomendasi audit BPKP.
43
Legal Opinion Pengacara Negara Tentang Pembayaran Prestasi Kerja setelah Periode 31
Desember 2014 dan Ganti Rugi Perangkat Serta Aset Yang telah Diinvestasikan oleh penyedia jasa.
63
c. Perlu terlebih dahulu dilakukan perbaikan-perbaikan, sebagaimana
direkomendasikan dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu BPK RI,
tindak lanjut pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal Kementerian
Komunikasi dan Informatika, dan hasil audit BPKP, berupa desain
ulang, alat ukur pekerjaan, mekanisme pembayaran, penataan sumber
daya manusia dan standar operasional prosedur.
Meskipun putusan BANI mewajibkan Termohon II untuk
melakukan pembayaran atas prestasi pekerjaan kepada Termohon I dan
Pemohon, Pemohon maupun Termohon I terlebih Termohon II tidak
dapat melaksanakan isi putusan BANI tersebut sebagaimana mestinya.
Hal tersebut dikarenakan objek prestasi atau sumber pembiayaannya
sudah tidak ada atau hapus karena adanya kebijakan pemerintah
(Kementerian Keuangan).
Dalam hal ini, dapat dikatakan atau secara nyata eksekusi tidak
mungkin dijalankan, sebab objek yang akan dieksekusi tidak ada atau
hapus. Oleh sebab itu, sengketa ini berpotensi atau bisa dikatakan
noneksekutabel (tidak dapat dijalankan) atas alasan objek atau harta
tereksekusi tidak ada.44
Umumnya sifat noneksekutabel dalam keadaan
harta tereksekusi tidak ada :
a. Mungkin bersifat permanen ; atau
b. Mungkin pula bersifat temporer.
Sehubungan dengan tidak adanya sumber pembiayaan sebagai objek
tereksekusi pada saat eksekusi putusan BANI dijalankan, faktor keadaan tidak
adanya sumber pembiayaan atau mata anggaran dalam DIPA BP3TI “tidak”
menghapuskan atau menggugurkan hak PT. Indo Pratama Teleglobal selaku
Pemohon eksekusi (kreditor) untuk menuntut pembayaran prestasi paket
44
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 336.
64
pekerjaan. Sekalipun pada saat akan dilakukan eksekusi baik itu melalui
penetapan pengadilan atau secara sukarela tetapi objek tidak ada, hal
demikian tidak menghilangkan hak Pemohon terhadap tagihan. Tagihan
secara yuridis tetap ada, hanya eksekusinya yang tidak dapat dijalankan. Oleh
karena itu, apabila sewaktu-waktu sumber pembiayaan atau anggaran atas
objek prestasi paket pekerjaan telah ada, Pemohon tetap memiliki hak untuk
meminta eksekusi.
Noneksekutabel baru dapat dikatakan bersifat permanen, apabila
sampai kapanpun sumber pembiayaan atau anggaran tereksekusi tidak pernah
ada lagi. Akan tetapi, hal tersebut lebih tepat dikatakan noneksekutabel yang
bersifat temporer. Besar kemungkinan akan adanya sumber pembiayaan oleh
Termohon II di belakang hari. Saat sumber pembiayaan telah ada,
noneksekutabel yang melekat pada eksekusi dapat “dicairkan kembali”.
b. Verzet (Perlawanan) Pihak Tereksekusi
Pada prinsipnya verzet adalah upaya menangguhkan eksekusi.45
Verzet atau perlawanan dilakukan sendiri oleh pihak tereksekusi tanpa
ada pihak lain yang terlibat dengan tujuan untuk menunda jalannya
eksekusi atau untuk membatalkan eksekusi dengan menyatakan bahwa
putusan yang hendak di eksekusi tidak mengikat atau untuk mengurangi
nilai jumlah yang hendak di eksekusi.
Menurut Soepomo ada beberapa macam bentuk verzet, antara lain
sebagai berikut 46
:
45
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam teori
dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2002) , h. 142.
46
Soepomo sebagaimana dikutip oleh Indah Hartatik N, “Kajian Yuridis Tentang Perlawanan
Eksekusi Lelang PUPN Oleh Debitur Yang Wanprestasi Di BPD Bali Cabang Negara (Studi Putusan
MA RI No. 2911 K/Pdt/2000)”, Skripsi S1 Universitas Jember , 2005, h. 29-30
65
a. Verzet terhadap putusan verstek47
b. Verzet atas sita conservatoir (Conservatoir Beslaag) yaitu, perlawanan
atas sita barang tidak tetap dan barang tetap milik debitur atau
dikuasai oleh debitur
c. Verzet atas sita Revindikatoir (Revindikatoir Beslaag) yaitu,
perlawanan atas sita barang tidak tetap milik kreditur ditangan debitur
d. Verzet oleh pihak ketiga (Darden Verzet) yaitu, pihak ketiga yang
merasa kepentingannya dan hak-haknya dirugikan karena adanya sita
e. Verzet atas sita eksekusi yaitu, verzet dari pihak ketiga yang merasa
dirugikan kepentingannya dan hak-haknya karena ada sita eksekusi,
dan mengatakan bahwa barang yang disita itu adalah miliknya48
f. Verzet atas eksekusi riil yaitu, terjadi karena kepentingan dan hak-
haknya (debitur) dirugikan oleh tindakan kreditur dalam hal eksekusi
riil, seperti : penyerahan barang, pengosongan, penjualan lelang dan
pembayaran uang.
Akan tetapi, perlawanan yang dilakukan oleh pihak tereksekusi
tidak mutlak menunda jalannya eksekusi. Perlawanan tereksekusi untuk
menunda jalannya eksekusi hanya dapat diterapkan secara kasuistis.
Ketua Pengadilan Negeri dapat mengabulkan penundaan eksekusi apabila
alasan perlawanan yang digunakan oleh tereksekusi sangat mendasar.
Sebaliknya, apabila alasan perlawanan yang digunakan oleh pihak
tereksekusi sama sekali tidak mendasar maka Ketua Pengadilan Negeri
dilarang untuk mengabulkan penundaan eksekusi.
Apabila pihak tereksekusi mengajukan perlawanan, maka
eksekusi akan di tunda untuk sementara dan terhadap gugatan
perlawanan yang diajukan oleh pihak tereksekusi akan diperiksa terlebih
47
Pasal 125 Jo. Pasal 129 HIR.
48
Pasal 195, 208 HIR /206,228 RBG.
66
dahulu. Jika gugat perlawanan dikabulkan, Ketua pengadilan negeri
dapat mengeluarkan penetapan yang isinya memerintahkan penundaan
eksekusi dengan alasan perlawanan pihak tereksekusi. Sebaliknya jika
gugatan perlawanan di tolak, maka eksekusi harus dilaksanakan.
Adapun alasan yang dianggap relevan untuk menunda eksekusi
dalam kasus perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi yaitu bahwa
putusan telah dipenuhi seluruhnya atau hutang yang dicantumkan dalam
grose akta sudah dibayar seluruhnya atau sebagian.
c. Penundaan Eksekusi
Dalam setiap eksekusi selalu ada permintaan penundaan eksekusi
yang diajukan oleh pihak tereksekusi sendiri maupun oleh pihak ketiga
dengan berbagai macam alasan. Tidak jarang alasan permohonan
penundaan eksekusi yang diajukan tidak relevan dengan tujuan untuk
mengulur waktu pelaksanaan eksekusi. Alasan permohonan penundaan
yang cukup relevan antara lain yaitu penundaan Eksekusi Bersifat
Kasuistis dan Eksepsional.49
Tidak ada patokan umum untuk menunda eksekusi sehingga
bukan tidak mungkin suatu alasan penundaan yang dibenarkan untuk
menunda jalannya eksekusi pada suatu kasus tidak dapat digunakan
sebagai alasan untuk menunda jalannya eksekusi pada kasus yang lain.
Selain tidak ada patokan umum untuk mengabulkan permohonan
penundaan eksekusi, penundaan eksekusi juga bersifat “eksepsional”.
Artinya, pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan
“pengecualian” dari asas umum hukum. Itu sebabnya penundaan
eksekusi disebut tindakan “eksepsional”.
49
A.A. Istri Ratih W, “Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional”, Skripsi S1 Universitas
Airlangga , 2006, h. 40-41.
67
Asas umum eksekusi yang dapat ditarik dari ketentuan Pasal 195
ayat 1 dan Pasal 224 HIR yaitu bahwa pada setiap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah melekat kekuatan
eksekutorial dan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya.
Penundaan eksekusi hanyalah perdamaian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1851 BW, yaitu berbentuk perjanjian yang dibuat oleh kedua belah
pihak yang berisi kesepakatan untuk memilih cara penyelesaian yang
lain. Bentuk perdamaian yang lain yang juga dapat menunda jalannya
eksekusi yaitu berbentuk kesukarelaan pihak tereksekusi untuk
melaksanakan isi putusan sebagaimana tercantum dalam putusan.
d. Amar Putusan
1) Tereksekusi Menolak Karena Tidak Sesuai Dengan Amar
Salah satu asas yang paling penting yang harus dijadikan
patokan dalam pelaksanaan eksekusi yaitu bahwa eksekusi harus
dilaksanakan sesuai dengan amar putusan. Eksekusi yang hendak
dijalankan oleh pengadilan tidak boleh menyimpang dari amar
putusan agar eksekusi yang dijalankan tidak melampaui batas
kewenangan.
Apabila pelaksanaan eksekusi tidak sesuai dengan amar
putusan maka akan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan
terhadap pihak tereksekusi namun terhadap pihak pemohon eksekusi.
Selain itu, bukan tidak mungkin semua harta tergugat yang tidak
masuk dalam sengketa di eksekusi atau sebaliknya eksekusi dapat
merugikan kepentingan penggugat dengan memberi kurang daripada
yang dimenangkan.
Hampir setiap pihak tereksekusi sebagai pihak yang kalah
dalam perkara menolak jalannya eksekusi meskipun eksekusi yang
68
dilaksanakan telah sesuai dengan amar putusan. Hal tersebut
dilakukan oleh pihak tereksekusi untuk menghambat jalannya
eksekusi.
Dalam menghadapi kasus seperti itu, pengadilan sebagai pihak
yang melaksanakan eksekusi tidak boleh menghentikan jalannya
eksekusi. Penolakan jalannya eksekusi oleh pihak tereksekusi dengan
alasan bahwa eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak
sesuai dengan amar putusan tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda atau menghentikan eksekusi sehingga eksekusi tetap harus
dilaksanakan. Apabila pihak tereksekusi tetap keberatan, maka pihak
tereksekusi dapat mengajukan perlawanan.
Terhadap alasan yang diajukan oleh pihak tereksekusi tersebut,
pengadilan harus meneliti dan memastikan apakah eksekusi yang
hendak dijalankan sudah tepat atau telah sesuai dengan amar putusan.
2) Pemohon Eksekusi Menolak Karena Tidak Sesuai Dengan Amar
Apabila yang hendak menolak jalannya eksekusi adalah pihak
pemohon eksekusi dengan alasan eksekusi tidak sesuai dengan amar
putusan, maka tindakan pengadilan dapat disesuaikan dengan tahap
penolakan diajukan, yaitu :
a. Eksekusi ditunda apabila penolakan diajukan sebelum
eksekusi dijalankan
Apabila pihak pemohon eksekusi mengajukan penolakan
sebelum eksekusi dijalankan, maka pemohon eksekusi dianggap
mengugurkan haknya sendiri untuk meminta eksekusi dan
pengadilan akan menunda jalannya eksekusi hingga pihak
pemohon eksekusi mencabut penolakannya. Hak pemohon
eksekusi gugur pada suatu penolakan eksekusi apabila penolakan
belum dicabut.
69
b. Eksekusi dilanjutkan terus apabila penolakan diajukan pada
saat eksekusi sedang dijalankan
Apabila pelaksanaan eksekusi telah sesuai dengan amar
putusan, namun pada saat pelaksanaan eksekusi berlangsung pihak
pemohon eksekusi menolak dengan alasan eksekusi tidak sesuai
dengan amar putusan, maka penolakan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan untuk menunda atau menghentikan eksekusi
sehingga tetap harus dijalankan. Apabila pihak pemohon eksekusi
tidak mau menerima pelaksanan eksekusi, maka penolakan tersebut
tidak membatalkan eksekusi.
3) Kedua Belah Pihak Menolak Eksekusi
Apabila kedua belah pihak menolak jalannya eksekusi dengan
alasan eksekusi yang akan atau sedang dilaksanakan tidak sesuai
dengan amar putusan, maka eksekusi tidak dapat dijalankan atau harus
dihentikan. Dalam hal ini, maka eksekusi harus ditunda dan eksekusi
berada dalam keadaan status quo. Penundaan dan keadaan status quo
dalam kasus yang seperti ini dapat dicairkan apabila pihak pemohon
eksekusi mencabut pernyataan penolakan. Akan tetapi, pencairan
eksekusi belum dapat dijalankan apabila yang mencabut penolakan
datang dari pihak tereksekusi.
4) Amar Putusan Kurang Jelas
Pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan amar putusan
sehingga eksekusi harus benar-benar sesuai dengan amar putusan.
Namun, tidak jarang amar putusan kurang jelas. Ketidakjelasan amar
putusan tersebut tentu saja dapat dimanfaatkan oleh pihak tereksekusi
untuk menolak eksekusi atas alasan amar putusan kurang jelas.
70
Terhadap amar putusan yang tidak jelas, maka cara menyelesaikan
eksekusi dapat ditempuh dengan berbagai jalan, antara lain yaitu :
a. Eksekusi Dikaitkan Dengan Pertimbangan Putusan
Apabila amar putusan tidak jelas, maka ketua pengadilan
negeri harus merujuk amar tersebut kedalam pertimbangan putusan
dengan cara mengaitkan amar dengan pertimbangan putusan.
Sedapat mungkin ketua pengadilan negeri harus berusaha
menemukan kejelasan dalam pertimbangan dari putusan karena
dalam pertimbangan pasti akan diketahui penjelasan tentang apa
saja yang dikabulkan dan apa saja yang ditolak. Terhadap amar
putusan yang kurang jelas, ketua pengadilan negeri tidak boleh
mengeluarkan penetapan noneksekutabel.
b. Menyatakan Putusan Noneksekutabel Atas Alasan Amar
Putusan Tidak Jelas
Apabila ketua pengadilan negeri telah berusaha mencari
dan menemukan kejelasan dengan cara mengaitkan amar putusan
dengan pertimbangan putusan dan juga telah mengajukan
permintaan penjelasan dari majelis yang memutus perkara tetapi
tetap tidak dapat diperoleh kejelasan atas amar putusan, maka
ketua pengadilan negeri diperbolehkan untuk mengeluarkan
penetapan yang menyatakan bahwa putusan noneksekusi (tidak
dapat dieksekusi) dengan alasan amar putusan tidak jelas.
e. Hambatan Lainnya
1) Eksekusi Barang Bergerak
Juru sita dalam melakukan eksekusi terhadap benda-benda
bergerak yang dijadikan sebagai objek penyitaan sering mendapatkan
71
kesulitan, karena lokasi dari benda tersebut kadang berpindah-pindah
tidak tetap pada satu lokasi.
2) Perlawanan Dari Pihak Yang Akan Dieksekusi
Juru sita dalam pelaksanaan eksekusi putusan, selain mendapat
kendala dari benda bergerak karena sering berpindah-pindah juga
mendapatkan kesulitan apabila pihak yang dieksekusi tidak puas
dengan hasil putusan arbitrase yang telah dikeluarkan maupun yang
sudah dibuat penetapan perintah eksekusi, sehingga tidak mau
melakukan eksekusinya secara sukarela dengan membuat perlawanan
atau keonaran. Pihak yang akan dieksekusi secara sengaja tidak mau
memberikan objek yang akan dieksekusi secara sukarela, sehingga
juru sita dalam hal ini membutuhkan aparat keamanan untuk
membantu jalannya proses eksekusi.
3) Aset Pembayaran Sulit Ditemukan
Adakalanya juru sita dalam pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase sulit untuk menentukan barang yang akan disita untuk
pelunasan pembayaran. Hal ini disebabkan karena pihak yang
dieksekusi telah bangkrut atau dinyatakan pailit, sehingga juru sita
tidak dapat melakukan penyitaan. Dalam kasus ini apabila objek
pelelangan dan penyitaan terdapat sengketa dengan pihak ketiga, juru
sita juga akan mendapatkan kesulitan dalam melakukan eksekusinya
karena harus menunggu proses penyelesaian sengketa antara pihak
yang dieksekusi dengan pihak ketiga.
Meskipun terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaan putusan
arbitrase, sebisanya putusan arbitrase yang telah bersifat final dan binding
harus tetap bisa terlaksana. Terlaksana dalam arti secara sukarela maupun
72
melalui paksaan alat negara. Selain itu, kenyataan yang tidak terbantahkan
bahwa terdapat kekurangan dalam undang-undang arbitrase itu sendiri
sehingga memunculkan permasalahan saat pelaksanaan eksekusi sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Oleh sebab itu, merupakan kebutuhan untuk segera
mengadakan perubahan-perubahan maupun penambahan-penambahan
ketentuan di dalam undang-undang arbitrase khususnya mengenai
pelaksanaan eksekusi.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan di atas, dapat ditarik inti sari
sebagai berikut :
1. Peranan pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase BANI Nomor :
801/II/ARB-BANI/2016 adalah pemberian exequatur, penetapan perintah
eksekusi, melakukan aanmaning atau teguran serta eksekusi secara paksa
berupa sita, lelang dan pengosongan. Pelaksanaan eksekusi putusan BANI
Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 harus didaftarkan atau dideponir terlebih
dahulu di kepaniteraan pengadilan setempat. Tindakan deponir dilakukan
dengan cara menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 yang telah dibacakan pada
tanggal 20 Februari 2017 oleh Sekretaris Majelis Arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penyerahan dan pendaftaran putusan
BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 telah sesuai berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 59 Undang-Undang Arbitrase. Penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase dilakukan pada tanggal 16 Maret 2017 atau kurang dari
batas maksimal 30 hari sejak tanggal putusan arbitrase diucapkan oleh majelis
arbitrase yaitu tanggal 20 Februari 2017.
2. Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 memiliki kekuatan
eksekutorial karena putusan tersebut telah dideponir dalam akta pendaftaran di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun hambatan yang ada
dalam pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
adalah hapusnya objek prestasi karena kebijakan publik (pemerintah).
Hambatan termasuk pula verzet atau perlawanan dari pihak tereksekusi dan
penundaan eksekusi. Kendala lainnya yaitu tereksekusi menolak karena tidak
74
sesuai dengan amar, pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai dengan
amar dan amar putusan yang tidak jelas. Selain itu, terdapat hambatan lainnya
seperti eksekusi barang bergerak, perlawanan dari pihak yang akan dieksekusi
dan aset pembayaran yang sulit ditemukan.
3. Pelaksanaan putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 dapat
dilaksanakan meskipun tidak dikuatkan dengan putusan pengadilan. Putusan
BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 dapat dilaksanakan secara sukarela
oleh para pihak. Putusan BANI Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016 menurut
ketentuan Undang-Undang Arbitrase hanya perlu didaftarkan salinan
otentiknya kepada panitera pengadilan negeri setempat, yaitu Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
B. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dihasilkan melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Agar pengadilan dalam menetapkan permohonan eksekusi terhadap putusan
BANI tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan
menjunjung tinggi sikap profesionalisme.
2. Agar seyogyanya pihak tereksekusi mengedepankan itikad baik dan sukarela
melaksanakan putusan BANI karena sejak awal teknis persidangan, baik itu
pemilihan hukum, arbiter dan lain-lainnya semuanya telah melibatkan para
pihak.
3. Agar memperbanyak kajian dan diskusi ilmiah tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk merevisi
kembali ketentuan UU/30/1999 Tentang Arbitrase, khususnya mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase dimana BANI memiliki kewenangan untuk
melaksanakan putusannya sendiri tanpa harus bergantung pada penetapan
Ketua Pengadilan Negeri dsb.
75
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu
Pengantar. Edisi Ke-2 (Revisi). Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.
Adi Nugroho, Susanti. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya.
Edisi 1. Jakarta : Prenadamedia. 2015.
Adolf, Huala, Dasar-Dasar Prinsip & Filosofi Arbitrase. Bandung : Keni Media,
2014.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cita,
2010.
Basarah, Moch. Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Tradisional
dan Modern (Online). Bandung : Genta Publishing. 2011.
Emizon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Ginting, Ramlan. Hukum Arbitrase. Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.
Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatimah. Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang
Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Seri Dasar-Dasar
Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1995.
H.S., Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar
Grafika, 2003.
Hadimulyo. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternative Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan. Jakarta : Elsan. 1997.
Harahap, M. Yahya. Alternative Dispute Resolution (ARD) Merupakan Jawaban
Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Masa Depan. Semarang :
FH.UKSW Press. 1996.
Harahap, M. Yahya. Arbitrase. Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
76
Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama. 1999.
Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi
Kedua. Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Hariyani, Iswi Hariyani. Penyelesaian Sengketa Bisnis, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2018.
Ibrahim, Jhon. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya :
Bayumedia. 2006.
Khoidin M. Hukum Arbitrase Bidang Perdata. Jakarta : CV. Aswiga Pressindo, 2013.
Maman Suherman, Ade. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Aspek
Hukum dalam Ekonomi Global. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2004.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.
Jakarta : Ghalia Indonesia. 2000.
Memi, Cut. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : Sinar Grafika, 2017.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta :
Cahaya Atma Pustaka, 2013.
Nasir, Muhammad. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Djambatan, 2005.
Nugroho, Susanti Adi. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerepan Hukumnya.
Jakarta : Kencana, 2015.
Panggabean, HP. Negosiasi Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Jakarta : Jala Permata
Aksara, 2017.
Purwosusilo, H. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa. Jakarta : Kencana,
2017.
Rachmadi Usman. Hukum Arbitrase Indonesia. Jakarta : Gramedia, 2002.
Rajagukguk, Erman. Butir-Butir Hukum Ekonomi. Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2011.
77
Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung : Alumni,
1992.
Soemartono, Gatot. Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia. Jakarta : Gramedia, 2006.
Sukanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press, 2008.
Sutantio, Retnowulan & Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori Dan Praktek. Bandung : Mandar Maju, 2002.
Sutrisno, Cicut. Pelaksanaan Putusan Arbitrsase Dalam Sengketa Bisnis. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Syahrani, H. Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung : Alumni,
2006.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2013.
Winarta, Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Jurnal
Arifin, Zainal. “Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam”. Himmah. Volume VII
No. 18, 2006.
Faisal, M dan AD. BAsniwati. “Peranan Badan Arbitrasi Nasional Indonesia Dalam
Menyelesaikan Sengketa Bisnis Di Indonesia”. Jurnal Hukum Jatiswara.
Hendra, dkk. “Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Kaitannya
Dengan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Ditinjau Dari Kasus
Antara Karaha Bodas Company, Pertamina dan PLN”. Law Review Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan. Volume III, No. 3 (2003).
Prayogo, Sedyo. “Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan
Hukum Dalam Perjanjian”. Jurnal Pembaharuan Hukum., Volume III No. 2.
2016.
Rosadi, Edi, “Putusan Hakim Yang Berkeadilan”, Badamai Law Journal, Vol.1,
Issues 1, April 2016.
Salami, Rochani Urip dan Rahadi Wasi Bintoro, “Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dalam Sengketa Transaksi Elektronik (E-Commerce)”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 13, No. 1 Januari 2013.
78
Sihombing, Novreddy. “Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen”. JOM Fakultas Hukum. Volume 2, No. 1 (2015).
Situmorang, Mosgan. “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Di Indonesia
(Enforcement of National Arbitration Award in Indonesia)”. Jurnal Penelitian
Hukum De Jure. Volume 17, No. 4 (2017).
Subiakto, Henri. “Internet Untuk Pedesaan dan Pemanfaatannya Bagi Masyarakat”.
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik., Volume 26 No. 24. 2013.
Sudini, Luh Putu dan Desak Gde Dwi Arini. “Eksistensi Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) Dalam Penyelesaian Sengketa Perusahaan”. Jurnal Notariil.
Volume 2, No. 2 (2017).
Suryo, Robin A. dan Agita M. Ulfa , “Teori Kontrak Dan Implikasinya Terhadap
Regulasi Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah”, Jurnal Pengadaan. Volume 3.
No. 3. 2013.
Tjahjani, Joejoen. “Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase”.
Jurnal Independent. Volume 2, No. 1.
Putusan
Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor : 801/II/ARB-BANI/2016
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 745 K/Pdt/2018
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 728 PK/Pdt/2017
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2310 K/Pdt/2017
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2254 K /Pdt/2017
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 518 PK/Pdt/2017
Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah dan Data/Sumber Yang Tidak
Diterbitkan
N, Indah Hartatik. “Kajian Yuridis Tentang Perlawanan Eksekusi Lelang PUPN Oleh
Debitur Yang Wanprestasi Di BPD Bali Cabang Negara (Studi Putusan MA RI
No. 2911 K/Pdt/2000).” Skripsi S1 Universitas Jember. 2005.
79
Sawadi, Prijatni. “Peranan Pengadilan dan Manfaat Penyelesaian Sengketa Melalui
Arbitrase”. Tesis S-2 Universitas Diponegoro. 2003
Sijabat, Heryanto. “Penyelesaian Sengketa Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Melalui Alternative Dispute Resolution”.
Utomo, Moh Akbar. “Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Putusan Badan
Arbitrase Studi Kasus Sengketa Jembatan Ponulele Palu”.
W, A.A. Istri Ratih. “Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional.” Skripsi S1 Universitas
Airlangga. 2006.
Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3872.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang / Jasa Pemerintah, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 33.
Republik Indonesia, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang /
Jasa Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Layanan Penyelesaian
Sengketa Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 864.
Sumber Lain http:// www.bppk.kemenkeu.go.id / id / publikasi / artikel / 147 - artikel - anggaran - dan -
Perbendaharaan / 20551 – urgensi – kebijakan – dalam – pengadaan – barang – dan –
jasa -pemerintah. Didownload pada tanggal 06 Mei 2018.
http://www.mahkamahagung.go.id. Didownload pada tanggal 17 September 2018.
U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f H i d a y a t u l l a h | 1
KUESIONER
KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI
PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DAN HAMBATAN-
HAMBATANNYA
(Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No.
801/II/ARB-BANI/2016)
PENELITIAN SKRIPSI
DARA FITRYALITA
NIM : 11140480000029
DATA RESPONDEN
NAMA :
INSTANSI : BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
JABATAN :
TELEPON :
TANGGAL PENGISIAN :
Pertanyaan Kuesioner telah dijawab oleh pihak BANI
melalui surat No.: 18.2579/X/BANI/ED Tanggal 16
Oktober 2018.
U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f H i d a y a t u l l a h | 2
PENELITIAN SKRIPSI
KEKUATAN EKSEKUTORIAL DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI
PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DAN HAMBATAN
HAMBATANNYA
(Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No.
801/II/ARB-BANI/2016)
Pengisian kuesioner ini diarahkan untuk menjelaskan dan menguraikan peranan
pengadilan dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase. Penelitian ini juga
bermaksud untuk mengetahui dan memahami proses atau kekuatan hukum eksekutorial
hasil putusan badan arbitrase. Selain itu, untuk mengetahui pelaksanaan eksekutorial
BANI dan hambatan-hambatan yang dihadapi pasca putusan arbitrase dijatuhkan.
Berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, Bapak/Ibu dimohon untuk
menjawab 14 (empat belas) pertanyaan ataupun dimungkinkan untuk memberikan
pernyataan yang merupakan hasil pemikiran atau analisis atas jawaban yang telah
diberikan.
Sumbangan pemikiran dari bapak/ibu akan sangat bermanfaat dan membantu bagi
penelitian skripsi ini. Selain itu, sekaligus menambah khazanah pengetahuan atau
kajian-kajian ilmiah terkini tentang arbitrase yang saat ini menjadi tren sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa.
U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f H i d a y a t u l l a h | 3
PERTANYAAN
1. Bagaimana menurut bapak penyelesaian sengketa melalui lembaga BANI ?
Jawaban
a. Kelebihan Arbitrase
1) Kerahasiaan.
2) Fleksibilitas dalam prosedur dan persyaratan administrasi.
3) Hak memilih arbiter oleh Para Pihak.
4) Pilihan hukum oleh Para Pihak.
5) Putusan final & binding.
6) Penyelesaian relatif lebih cepat.
b. Kekurangan Arbitrase
1) Adanya perjanjian (klausula) arbitrase merupakan keharusan.
2) Tidak terikat pada putusan arbitrase sebelumnya.
3) Itikad baik Para Pihak menentukan efektifitas pelaksanaan putusan arbitrase.
2. Apakah putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mempunyai kekuatan hukum dan
bagaimana eksekusinya ?
Jawaban
Silakan saudara pelajari Bab IV Pasal 59 – 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3. Bagaimanakah mekanisme eksekusi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ?
Jawaban
Putusan BANI dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Namun, apabila para pihak tidak
dapat melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan atas
perintah ketua pengadilan negeri melalui permohonan eksekusi yang diajukan oleh salah satu
pihak.
4. Bagaimana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) ?
Jawaban
Keterkaitan BANI dengan Pengadilan Negeri adalah pada saat proses pendaftaran Putusan
Arbitrase BANI di Pengadilan Negeri.
5. Bagaimanakah peran pengadilan dalam melaksanakan eksekusi hasil putusan lembaga Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ?
U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f H i d a y a t u l l a h | 4
Jawaban
Hasil Putusan BANI yang tidak dijalankan oleh salah satu pihak, maka pihak lainnya dalam
perkara arbitrase tersebut dapat meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri
dimana putusan arbitrase tersebut didaftarkan.
6. Pada prakteknya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tidak mudah untuk
dilaksanakan, mengapa demikian ?
Jawaban
Pertanyaan bukan untuk BANI, silahkan Saudara tanyakan langsung ke pengadilan negeri.
7. Apakah hal-hal seperti : Permohonan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan,
Perlawanan, Penundaan eksekusi, Terksekusi menolak karena tidak sesuai amar putusan,
Pemohon Eksekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar putusan, Kedua belah pihak
menolak eksekusi, Amar putusan kurang jelas, Eksekusi barang bergerak dan Aset
pembayaran sulit ditemukan, menjadi hambatan atau kendala saat pelaksanaan eksekusi
putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ?
Jawaban
Silahkan lihat jawaban No. 6;
8. Bagaimanakah bentuk hambatan atau kendala dihadapi saat pelaksanaan eksekusi putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait sengketa pengadaan barang/jasa
pemerintah ?
Jawaban
Silahkan lihat jawaban No. 6;
9. Apakah rekomendasi atau audit dari institusi seperti BPK atau BPKP turut mempengaruhi
pelaksanaan eksekusi dari putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait
sengketa pengadaan barang/jasa pemerintah ?
Jawaban
Silahkan lihat jawaban No. 6;
10. Menurut Anda, apakah masih diperlukan aturan teknis / operasional lainnya dalam
menindaklanjuti UU/30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait
pelaksanaan eksekusi putusan lembaga arbitrase ?
Jawaban
Tidak perlu (lanjut ke pertanyaan nomor 11)
11. Jika jawaban No. 10 PERLU, mohon sebutkan pengaturan dalam bentuk apa yang masih Anda
U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f H i d a y a t u l l a h | 5
anggap perlu dalam melengkapi UU/30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa terkait pelaksanaan eksekusi putusan lembaga arbitrase ?
Jawaban
-
12. Menurut Anda, apakah lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
memerlukan struktur lembaga eksekusi tersendiri, terpisah dari pengadilan ?
Jawaban
Tidak
13. (Untuk pertanyaan nomor ) agar dapat disebutkan alasannya :
Jawaban
Putusan arbitrase bersifat universal, artinya dapat dilaksanakan di negara manapun, sepanjang
negara tersebut telah meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Pelaksanaannya di seluruh negara melalui
pengadilan negeri (court) negara setempat.
14. Saran perbaikan apa yang Anda usulkan untuk perbaikan dalam UU/30/2009 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama berkaitan proses pelaksanaan eksekusi putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ?
Jawaban
Tidak ada