kelas-kelas bakteriosin
DESCRIPTION
bakteriosin, mikrobiologiTRANSCRIPT
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL
Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS
ANTIMIKROBANYA TERHADAP
BAKTERI PATOGEN
SKRIPSI
THEO MAHISETA SYAHNIAR
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
THEO MAHISETA SYAHNIAR. D14051400. Produksi dan Karakterisasi
Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas Antimikrobanya
terhadap Bakteri Patogen. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., MSi.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.
Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani bagi penduduk
Indonesia namun bersifat perishable atau mudah rusak khususnya oleh aktivitas
mikroorganisme pembusuk. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah
dengan pengolahan dan pengawetan atau preservasi. Metode preservasi yang telah
banyak diaplikasikan adalah penambahan bahan pengawet pada makanan, baik bahan
pengawet sintetis maupun yang alami. Pemilihan bahan pengawet alami, terutama
bakteriosin yang sangat dianjurkan pemakaiannya. Salah satu isolat lokal asal
daging, yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 telah mampu menunjukkan aktivitas
antimikrobanya secara invitro terhadap ketiga bakteri indikator yang merupakan
bakteri patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi substrat antimikroba
bakteriosin yang dihasilkan pada media berbeda, karakterisasinya melalui sensitivitas
terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik dan penghambatannya terhadap
bakteri patogen, antara lain Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella
typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)
serta konsentrasi penghambatan minimumnya. Bakteriosin Lactobacillus plantarum
1A5 diproduksi melalui media dengan tiga inducer yang berbeda (NaCl 1%,
kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) dan dikondisikan pada pH 5 dan
pH 6. Pengujian produksi dan karakterisasi bakteriosin dilakukan melalui uji
antagonistik dengan metode difusi sumur agar terhadap ketiga bakteri indikator yang
merupakan bakteri patogen. Tiga hasil uji antagonistik terbaik dari produksi
bakteriosin tersebut dilanjutkan dengan purifikasi bakteriosin melalui presipitasi
protein dengan amonium sulfat. Hasil terbaik dari purifikasi tersebut dikarakterisasi
melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta terakhir
dilakukan penentuan persentase MIC dan MBC dengan metode kontak terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan bakteriosin
Lactobacillus plantarum 1A5 yang diproduksi pada keenam media (supernatan
antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer NaCl 1%,
kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% yang masing-
masing dikondisikan pada pH 5 dan pH 6) tidak berbeda sehingga purifikasi
bakteriosin dilakukan pada media dengan masing-masing inducer (NaCl 1%,
kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) yang dikondisikan pada pH 6 untuk
menghilangkan pengaruh antimikroba dari asam organik. Purifikasi parsial
bakteriosin yang menunjukkan aktivitas penghambatan terbesar pada uji antagonistik
adalah bakteriosin yang dihasilkan dari media dengan inducer tripton 1%.
Bakteriosin kasar 1A5 dikarakterisasi melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase
dan enzim proteolitik. Hasil karakterisasi tersebut mengindikasikan bahwa
komponen aktif yang bekerja sebagai antimikroba adalah bakteriosin yang
merupakan komponen protein dan bukan hidrogen peroksida.
Aktivitas penghambatan bakteriosin kasar Lactobacillus plantarum 1A5 yang
dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% pada kondisi pH 6 juga
dilihat dari penentuan nilai konsentrasi penghambatan minimumnya baik berupa
MIC maupun MBC terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923. Nilai MIC
bakteriosin kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 menunjukkan
bahwa konsentrasi minimum bakteriosin kasar 1A5 yang dibutuhkan sebesar 70%
sedangkan pada nilai MBC-nya dibutuhkan konsentrasi bakteriosin kasar 1A5
sebesar 80%.
Kata-kata kunci: Lactobacillus plantarum, bakteriosin, uji antagonistik, MIC
dan MBC
ii
ABSTRACT
Production and Characterization of Bacteriocin from Lactobacillus plantarum
1A5 and It’s Antimicrobe Activity to Patogenic Bacteria
Syahniar, T.M., I.I. Arief and R.R.A. Maheswari
The aims of this research were to study antimicrobial activity of bacteriocin
produced by lactic acid bacteria Lactobacillus plantarum 1A5 in six different media
(media with NaCl 1%, combination of NaCl 1% and YE 3%, and trypton 1%
inducers that were conditioned on pH 5 dan pH 6, respectively). Characteristic of
bacteriocin 1A5 determined by catalase and proteolytic enzymes with antagonistic
assay against pathogenic bacterias (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella
typhimurium ATCC 14028 and enteropathogenic Escherichia coli K11) and
determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum
Bactericide Concentration (MBC)’s value against Staphylococcus aureus ATCC
25923. The result showed that the inhibitory activity was produced significantly by
crude bacteriocin 1A5 from media with trypton 1% inducer and was conditioned at
pH 6. Characterization of active compound from crude bacteriocin 1A5 could be
classified as bacteriocin neither antimicrobial compounds such as hydrogen peroxide
because it was stable to catalase treatment. The other characteristic of its bacteriocin
was nature proteinaeous that showed loss it’s activity after trypsin treatment against
Staphylococcus aureus ATCC 25923 and enteropathogenic Escherichia coli K11,
neither Salmonella typhimurium ATCC 14028. Inhibition activity of crude
bacteriocin 1A5 could explained with MIC and MBC’s value, especially against
Staphylococcus aureus ATCC 25923. MIC’s and MBC’s value needed respectively
70% dan 80% concentration of crude bacteriocin.
Keywords: Lactobacillus plantarum, bacteriocin, antagonistic assay, MIC and MBC
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL
Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS
ANTIMIKROBANYA TERHADAP
BAKTERI PATOGEN
THEO MAHISETA SYAHNIAR
D14051400
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL
Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS
ANTIMIKROBANYA TERHADAP
BAKTERI PATOGEN
Oleh:
THEO MAHISETA SYAHNIAR
D14051400
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Oktober 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Irma Isnafia Arief, S.Pt. MSi. Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA.
Dekan Ketua Departemen
Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1987 di Probolinggo. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sudarsono dan Emi Sumartini,
S.Sos. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Sukabumi 2
Probolinggo (1993-1999), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Probolinggo
(1999-2002) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Probolinggo
(2002-2005). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan dan diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB)
pada tahun 2005. Penerapan Sistem Mayor Minor yang dilakukan oleh IPB
membawa penulis pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2007-2008 serta dalam
kepanitian kegiatan-kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum pada mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Ternak tahun ajaran 2007-
2008 dan pada mata kuliah Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan tahun
ajaran 2008-2009.
Penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Produksi
dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas
Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen” guna memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat dan rahmat-Nya hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan untuk keselamatan seluruh umat Islam.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberi dukungan, baik secara moril maupun materil hingga skripsi yang berjudul
”Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5
serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen” ini dapat
diselesaikan guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Substansi skripsi ini terkait tentang pengkajian lebih dalam mengenai substrat
antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat Lactobacilllus plantarum 1A5
berupa bakteriosin kasar. Bakteriosin kasar 1A5 mampu menunjukkan aktivitas
antimikrobanya terhadap ketiga bakteri patogen setelah melalui proses optimasi
produksi dan proses purifikasi parsial bakteriosin. Komponen aktif yang bekerja
sebagai antimikroba pada bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian, penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pihak, khususnya dalam peningkatan keamanan pangan di
Indonesia melalui biopreservatif alami. Saran dan kritik yang membangun sangat
bermanfaat bagi penulis.
Bogor, Nopember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ i
ABSTRACT ............................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan ............................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
Mikrobiologi Daging ...................................................................... 3
Bakteri Asam Laktat ...................................................................... 4
Lactobacillus ...................................................................... 6
Lactobacillus plantarum 1A5 ............................................. 6
Antimikroba ................................................................................... 7
Asam Organik .................................................................... 8
Hidrogen Peroksida ............................................................ 9
Bakteriosin ......................................................................... 9
Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba ........................ 12
Enzim Proteolitik ........................................................................... 13
Bakteri Patogen .............................................................................. 15
Staphylococcus aureus ....................................................... 16
Salmonella typhimurium .................................................... 16
Escherichia coli .................................................................. 17
METODE ................................................................................................... 19
Lokasi dan Waktu .......................................................................... 19
Materi ............................................................................................. 19
Rancangan ...................................................................................... 19
Prosedur ........................................................................................... 20
Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan ............................. 20 Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda ............... 21
Pengukuran pH ....................................................... 21
Pengukuran Total Asam Tertitrasi ......................... 21
Persiapan Uji Antagonistik ................................................. 22
Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator .... 23
Purifikasi Parsial Bakterosin .............................................. 23
Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim
Katalase .............................................................................. 24
Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim
Proteolitik ........................................................................... 25
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan
Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin
Kasar 1A5 dengan Metode Kontak .................................... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 28
Penelitian Pendahuluan .................................................................. 28
Penelitian Utama ............................................................................ 30
Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda ................... 30
Purifikasi Parsial Bakteriosin ............................................. 37
Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim
Katalase .............................................................................. 41
Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim
Proteolitik ........................................................................... 43
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum
Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 47
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 50
Kesimpulan .................................................................................... 50
Saran .............................................................................................. 50
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 52
LAMPIRAN ............................................................................................... 57
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g)
Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000 ............................................. 4
2. Kelas-Kelas Bakteriosin ................................................................ 11
3. Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik ...................... 14
4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan) ................ 24
5. Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk
Penentuan MIC dan MBC .............................................................. 26
6. Kondisi pH Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda ................ 31
7. Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap
Bakteri Indikator ............................................................................ 36
8. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap
Bakteri Indikator ............................................................................ 38
9. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan
Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator ............................... 44
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Lactobacillus plantarum 1A5 ........................................................ 7
2. Staphylococcus aureus ................................................................... 16
3. Salmonella typhimurium ................................................................ 17
4. Escherichia coli ............................................................................. 18
5. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5 ....................................... 28
6. Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator (A) Staphylocoocus aureus
ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028;
(C) enteropathogenic Escherichia coli K11 .................................. 29
7. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi pH
Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 ................ 32
8. Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A).
Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella typhimurium
ATCC 14028 dan (C). Enteropathogenic Escherichia coli K11
(EPEC K11) ................................................................................... 34
9. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap
Bakteri Indikator ............................................................................ 39
10. Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer
tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 .......... 40
11. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan dengan
Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri Indikator .............. 41
12. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim
Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............... 43
13. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim
Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............ 46
14. Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan
Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba
Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................ 58
2. Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan
Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi
yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 .... 58
3. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan
Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi
yang Berbeda terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11
(EPEC K11) ................................................................................... 58
4. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ........... 59
5. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 ......... 59
6. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11
(EPEC K11) ................................................................................... 59
7. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar
1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................................ 59
8. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5
dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella
typhimurium ATCC 14028 ............................................................ 60
9. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5
dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap enteropathogenic
Escherichia coli K11 (EPEC K11) ................................................ 60
10. Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB
untuk Penentuan MIC dan MBC ................................................... 61
11. Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat ....................................... 61
12. Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm) ............................................. 61
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan pangan asal ternak khususnya daging merupakan salah satu
penyumbang protein hewani bagi penduduk Indonesia. Mutu dan keamanan pangan
asal ternak tersebut perlu diperhatikan karena sifat daging yang perishable atau
mudah rusak dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme.
Mikroorganisme patogen yang terdapat secara alami di dalam daging, misalnya
Escherichia coli, Salmonella sp., dan Listeria sp. beresiko menimbulkan penyakit
bahkan kematian. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan
pengolahan dan pengawetan atau preservasi.
Metode preservasi yang telah banyak diaplikasikan adalah penambahan
bahan pengawet pada makanan, baik bahan pengawet sintetis maupun yang alami.
Penggunaan pengawet sintetis atau antibiotik dapat menyebabkan adanya
kemungkinan toksisitas akibat residu yang masih aktif dalam daging, bahaya
mikroorganisme yang resisten dan dapat menimbulkan infeksi pada konsumen.
Penggunaan beberapa pengawet kimia yang dapat diserap oleh bahan organik
mengakibatkan berkurangnya efektivitas bahan pengawet alami berupa antimikroba
yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang secara alami terdapat di dalam daging.
Oleh karena itu, bahan pengawet alami lebih berpotensi untuk diaplikasikan sebagai
pengganti pengawet sintetis khususnya pada daging karena tidak mengandung toksin,
dapat didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan dan lebih aman dikonsumsi.
Bahan pengawet alami berupa supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh
isolat-isolat bakteri asam laktat (Lactobacillus spp. 2B1, 1A1, 2B3, 2D1, 1D2, 2A2,
1D1, 1C3, 1B1, 1A5, 1A32 dan 1C6) asal daging telah menunjukkan aktivitas
antimikrobanya terhadap ketiga bakteri uji yang merupakan bakteri patogen, antara
lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Aktivitas
antimikroba tersebut menurut hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan
dominasi aktivitas dari asam organik dan Lactobacillus plantarum 1A5 menunjukkan
aktivitas penghambatan paling baik yang dibuktikan dengan pembentukan rataan
diameter zona hambat terbesar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai aktivitas antimikroba dengan spesifikasi bakteriosin, khususnya
pada Lactobacillus plantarum 1A5. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk
mempelajari optimasi produksi dan karakterisasi bakteriosin bakteri asam laktat
Lactobacillus plantarum 1A5 serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri
patogen.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produktivitas antimikroba
bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5 pada media produksi yang berbeda dan
karakterisasi bakteriosin 1A5 melalui sensitivitasnya terhadap enzim katalase dan
enzim proteolitik serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, yaitu
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Penelitian ini juga bertujuan
untuk mempelajari aktivitas antimikroba bakteriosin 1A5 melalui penentuan
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration
(MBC), khususnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Mikrobiologi Daging
Mikrobiologi adalah suatu cabang ilmu tentang mikroorganisme.
Mikroorganisme berukuran sangat kecil, biasanya bersel tunggal, secara individual
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang tetapi hanya dapat dilihat dengan
mikroskop. Mikroorganisme tersebar luas di alam dan dijumpai pula pada pangan.
Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan dapat
menentukan mutu mikrobiologi dari suatu produk pangan tersebut. Hal ini akan
menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh
mikroorganisme. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan
umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan
kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al., 1987).
Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme,
terutama mikroorganisme pada perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan oleh
mikroorganisme yang mempunyai kadar air tinggi antara 68%-75%, kaya akan zat
yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung
sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan
kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme serta mempunyai pH yang
menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme sekitar 5,3-6,5 (Soeparno, 1994).
Kebanyakan bakteri tumbuh di permukaan daging, namun tidak tertutup
kemungkinan ditemukan bakteri dalam daging. Bakteri yang dapat mencapai
jaringan dalam karkas dengan berbagai cara, diantaranya melalui mekanisme berikut:
(1) jaringan ternak sehat dapat mengandung sebuah populasi kecil bakteri namun
dinamis bila bakteri secara terus-menerus memperoleh akses ke dalam jaringan
ternak hidup dengan penetrasi membran mukosa saluran respirasi dan pencernaan
untuk mengganti yang telah dibasmi oleh mekanisme ketahanan tubuh ternak; (2)
bakteri dari usus dapat menyerang jaringan karkas, baik selama pemotongan (agonal
invasion) maupun setelah pemotongan (post mortem invasion); (3) bakteri dapat
terbawa ke jaringan oleh luka sebelum pemotongan; (4) bakteri yang
mengkontaminasi permukaan karkas dapat mempenetrasi ke lapisan jaringan otot
yang lebih dalam. Tipe bakteri yang umum dijumpai pada daging adalah strain dari
Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Brochotrix thermopacta dan
beberapa genera dari famili Enterobacteriaceae (Gill, 1982).
Kualitas mikrobiologis daging dapat dilihat dari kandungan mikroorganisme
dalam daging, terutama mikroorganisme patogen. Soeparno (1994) menjelaskan
batas jumlah mikroba selama pelayuan tidak melebihi 105 cfu/cm
2 dan jenis bakteri
patogen yang tidak boleh terdapat di dalam daftar cemaran daging antara lain
Clostridium sp., Salmonella sp., Campylobacter sp. dan Listeria sp. Standar cemaran
mikroba sebagai penentu kualitas daging sapi segar ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional dengan batas maksimum cemaran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g)
Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000
No. Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba
Daging Segar/Beku Daging tanpa Tulang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Angka Lempeng Total Bakteri
(ALTB)
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Clostridium sp.
Salmonella sp.
Coliform
Enterococci
Campylobacter sp.
Listeria sp.
1 x 104
5 x 101
1 x 101
0
Negatif
1 x102
1 x 102
0
0
1 x 104
1 x 101
1 x 102
0
Negatif
1 x102
1 x 102
0
0
Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram
(**) dalam satuan kualitatif
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan.
Bakteri ini secara luas terdistribusi pada susu, daging segar, sayuran serta produk-
produknya. Penggunaan bakteri asam laktat sebagai kultur starter dalam produksi
daging fermentasi, produk-produk susu serta sayuran dan buah-buahan adalah salah
satu metode pemrosesan pangan tertua yang digunakan untuk menstabilkan produk-
produk pangan tersebut hingga diperoleh cita rasa yang spesifik (Smid dan Gorris,
2007).
4
Bakteri asam laktat juga disebut sebagai biopreservatif karena berkontribusi
dalam menghambat pertumbuhan bakteri lain khususnya patogen dan mampu
membawa dampak positif bagi kesehatan manusia (Smid dan Gorris, 2007). Efek
preservatif yang ditimbulkan oleh bakteri asam laktat pada pangan fermentasi
disebabkan oleh kondisi asam yang terbentuk selama pemrosesan dan selanjutnya
selama penyimpanan. Efek asam tersebut diakibatkan adanya konversi karbohidrat
menjadi asam organik (asam laktat dan asam asetat) dan menurukan pH produk
selama fermentasi. Hal tersebut merupakan karakteristik penting guna
memperpanjang masa simpan dan keamanan produk (Vuyst dan Vandamme, 1994).
Bakteri asam laktat mempunyai karakteristik morfologi, fisiologi dan
metabolit tertentu. Deskripsi secara umum dari bakteri ini adalah termasuk dalam
bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat maupun batang, dan
menghasilkan asam laktat sebagai mayoritas produk akhir selama memfermentasi
karbohidrat (Axelsson, 2004). Bakteri asam laktat terbagi menjadi 8 genus antara lain
Lactobacillus, Streptococcus, Lactococcus, Pediococcus, Enterococcus,
Leuconostoc, Bifidobacterium, dan Corinebacterium. Berdasarkan tipe
fermentasinya, bakteri asam laktat terbagi menjadi homofermentatif dan
heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat sebagai
produk utama dari fermentasi gula sedangkan kelompok heterofermentatif
menghasilkan asam laktat dan senyawa lain yaitu CO2, etanol, asetaldehid, diasetil
serta senyawa lainnya (Fardiaz, 1992).
Bakteri asam laktat memproduksi berbagai komponen bermassa molekul
rendah termasuk asam, alkohol, karbon dioksida, diasetil, hidrogen peroksida dan
metabolit lainnya. Banyak metabolit mempunyai spektrum aktivitas yang luas
melawan spesies lain dan produksi tersebut dipengaruhi secara luas oleh matriks
makanan itu sendiri (Helander et al., 1997). Satu atribut penting dari bakteri asam
laktat adalah kemampuannya memproduksi komponen antimikroba, khususnya
bakteriosin yang potensial menjadi biopreservatif menggantikan pengawet kimiawi
pada bahan makanan guna memperpanjang umur simpan produk. Kemampuan
bakteriosin dalam melakukan aktivitasnya sebagai biopresevatif dicapai oleh efek
penghambatannya terhadap mikroorganisme patogen yang berbahaya (Savadogo et
al., 2006).
5
Lactobacillus
Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi
terkadang berbentuk bulat, umumnya dalam rantai-rantai pendek dan biasanya
berukuran 0,5-1,2 µm x 1,0-10,0 µm. Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif,
tidak menghasilkan spora, biasanya tidak bergerak, anaerob fakultatif, katalase
negatif, koloninya dalam media agar berukuran 2-5 mm, konfeks, opak, sedikit
transparan dan tidak berpigmen. Hampir setengah dari metabolit akhir bahkan yang
menjadi metabolit utamanya adalah laktat. Genus ini tumbuh baik pada suhu 30 oC-
40 oC dan tersebar luas di lingkungan terutama dalam produk-produk pangan asal
hewan dan sayuran. Bakteri ini menetap dalam saluran pencernaan unggas dan
mamalia (Holt et al., 1994).
Lactobacillus plantarum 1A5
Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, kelas
Bacilli, ordo Lactobacillales, family Lactobacillaceae dan genus Lactobacillus.
Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat
mikroorganisme patogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar
dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya (Jenie dan Rini, 1995).
Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan isolat bakteri asam laktat kelima dari
daging sapi yang berasal dari Pasar Anyar Bogor dengan umur 9 jam postmortem
pada suhu ruang (Arief, 2005). Isolat bakteri Lactobacillus plantarum 1A5
merupakan bakteri yang mampu bertahan hidup melalui uji invitro pada pH lambung
(pH 2), pH usus (pH 7,2) dan garam empedu (0,3 %) (Wijayanto, 2009).
Substrat antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5
dengan didominasi oleh asam organik mempunyai aktivitas penghambatan paling
besar terhadap ketiga bakteri uji (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia
coli ATCC 25922 dan Salmonella typhimurium ATCC 14028). Aktivitas
penghambatan tersebut ditunjukkan dengan diameter zona hambat terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan rataan 8,99 mm; terhadap Escherichia
coli ATCC 25922 dengan rataan 7,87 mm dan terhadap Salmonella typhimurium
ATCC 14028 dengan rataan 11,76 mm. Selain itu, nilai konsentrasi penghambatan
minimumnya terhadap ketiga bakteri uji yaitu 90% (Permanasari, 2008).
Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 Sumber: Permanasari (2008)
Antimikroba
Senyawa antimikroba adalah senyawa kimiawi atau biologis yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Komponen antimikroba terdapat
dalam bahan pangan melalui salah satu dari berbagai cara, yaitu terdapat secara
alamiah di dalam bahan pangan, ditambahkan secara sengaja ke dalam makanan dan
terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi
pangan (Fardiaz, 1992). Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan
produk pangan, terutama daging, harus memenuhi kriteria antara lain tidak
mengubah flavor, bau dan tekstur bahan pangan; aman bagi konsumen dan efektif
sebagai preservatif atau aman untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu;
preservatif harus mudah dikenali dan kadarnya dapat dipastikan secara pasti serta
harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan; kualitas bahan pangan tidak merugikan
konsumen; ekonomis (Soeparno, 1994); dan tidak menyebabkan timbulnya galur
resisten dan diutamakan bersifat membunuh daripada hanya menghambat
pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988).
Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba), fungisidal (membunuh kapang),
fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat
germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat
pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi zat
pengawet, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat mikroba (jenis,
konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), sifat-sifat fisik dan kimia makanan,
termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992).
7
Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis dan atau kimiawi yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Bakteri asam laktat mampu
berperan sebagai senyawa antimikroba, baik melalui penggunaannya secara langsung
di dalam makanan pada proses fermentasi maupun melalui metabolit-metabolit yang
dihasilkannya untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan kualitas produk
serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan pembusuk (Holzapfel,
1998). Metabolit-metabolit bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai senyawa
antimikroba antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), bakteriosin,
hidrogen peroksida, diasetil, CO2 dan semua metabolit yang mempunyai aktivitas
antimikroba (Vuyst dan Vandamme, 1994; Ouwehand dan Vesterlund, 2004).
Asam Organik
Asam organik merupakan substansi alami dari berbagai jenis makanan. Aksi
antimikroba dari asam organik berdasarkan pada kemampuannya untuk menurunkan
pH dalam pangan yang berfase air. Asam organik dalam pangan dapat berfungsi
sebagai asidulan atau pengawet, sementara garamnya atau ester dapat menjadi
antimikroba yang efektif pada pH mendekati netral. Asam laktat adalah produk
utama pada pangan hasil fermentasi. Asam asetat, propionat, malat dan asam-asam
lainnya dengan konsentrasi yang beragam juga dihasilkan tergantung jenis produk
dan mikroorganisme yang digunakan (Samelis dan Sofos, 2003).
Penghambatan pertumbuhan pada mikroba yang disebabkan oleh asam
organik diakibatkan adanya pelepasan proton ke dalam sitoplasma sehingga pH
dalam membran sel menjadi sangat asam secara mendadak. Akan tetapi hipotesis
tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa penyebab dari
penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukanlah karena adanya translasi
proton tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya
kecepatan dari sintesis makromolekul dan mempengaruhi transportasi antar membran
sel. Bakteri asam laktat dan juga bakteri lain meniadakan efek dari akumulasi anion
dengan cara mengurangi pH pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).
Perubahan permeabilitas membran akan menghasilkan efek ganda, yaitu
mengganggu transportasi nutrisi ke dalam sel dan menyebabkan metabolit internal
keluar dari sel.
8
Hidrogen Peroksida
Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi
pertumbuhan aerob, dan karena berkurangnya katalase selular, pseudokatalase atau
peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2 tersebut sebagai alat
pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Hidrogen
peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dapat dijadikan
sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004).
Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam tergantung pH, konsentrasi, suhu,
waktu dan tipe serta jumlah mikoorganisme. Pada kondisi tertentu, spora bakteri
ditemukan paling resisten terhadap H2O2, diikuti dengan bakteri Gram positif.
Bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2 adalah bakteri Gram negatif, terutama
koliform (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti
bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan
memiliki bau yang menusuk. Kemampuan H2O2 untuk mengoksidasi menyebabkan
perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba sehingga digunakan sebagai
antimikroba. Selain itu, senyawa ini juga dapat terdekomposisi menjadi air dan
oksigen. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu mempengaruhi
kecepatan dekomposisi H2O2. Peningkatan suhu dapat meningkatkan keefisienan
dalam menghancurkan bakteri dan kecepatan terdekomposisinya juga semakin cepat
(Branen, 1993).
Bakteriosin
Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat didefinisikan
sebagai protein aktif atau kompleks protein yang menunjukkan aksi bakterisidal
melawan bakteri Gram positif dan terutama spesies yang berkerabat dekat dengan
spesies penghasil (Vuyst dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Ray, 2004; Parada
et al., 2007). Bakteriosin dikarakterisasi sebagai suatu senyawa yang bersifat letal
terhadap intraspesies telah diperjelas oleh Jack et al. (1995) meliputi beberapa
kriteria umum, antara lain mempunyai spektrum aktivitas yang relatif sempit terpusat
pada spesies yang filogenik; senyawa aktifnya berupa fraksi protein berukuran 20-60
asam amino yang disintesis di ribosom; bersifat bakterisidal dan tahan panas;
memiliki reseptor spesifik pada sel sasaran; dan gen determinan terdapat pada
9
plasmid yang berperan dalam sintesis dan tidak membunuh strain penghasil. Vuyst
dan Vandamme (1994) menuliskan bahwa bakteriosin bersifat irreversible, aktif
pada konsentrasi rendah, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan dan
biasanya digunakan sebagai biopreservatif makanan.
Bakteriosin hanya menghambat spesies lain yang biasanya berkerabat dekat
dengan spesies penghasil atau mikroorganisme Gram positif lainnya. Beberapa hasil
telah dideskripsikan berpengaruh sinergis antara berbagai antimikroba, kemudian
secara potensial aplikasinya diperluas. Pengetahuan baru untuk pengendalian bakteri
Gram negatif secara efektif menggunakan agen antibakteri potensial harus
direalisasikan dengan mekanisme penelitian yang dapat melewati hambatan
permeabilitas dari membran luar (Helander et al., 1997).
Bakteriosin-bakteriosin asal bakteri asam laktat dikarakterisasi sebagai
peptida yang berasal dari ribosom. Bakteriosin berakumulasi di dalam media kultur
selama fase pertumbuhan eksponensial hingga fase pertumbuhan stasioner (Vuyst
dan Vandamme, 1994). Bakteriosin mencapai produksi tertinggi dengan aktivitas
penghambatan terbesar pada pertengahan fase pertumbuhan eksponensial hingga
awal fase stasioner dan aktivitasnya akan berkurang bahkan tidak terdeteksi lagi
selama fase pertumbuhan stasioner (Venema et al., 1997; Nowroozi et al., 2004;
Abo-Amer, 2007; Rashid et al., 2009). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe
dan level karbon, sumber nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat
(Savadogo et al., 2006).
Bakteriosin secara biologis disintesis sebagai prepeptida inaktif yang
membawa sebuah N-terminal pada peptida utama untuk ditranslasikan menjadi C-
terminal propeptida (Hoover dan Chen, 2005). Setelah proses translasi, peptida
utama yang membawa molekul propeptida ditranportasikan dari dalam sitoplasma ke
lingkungan luar melalui membran yang mempunyai ikatan pembawa ABC. Ikatan
pembawa ABC tersebut beraksi sebagai endopeptidase yang memotong peptida
utama sehingga bagian propeptidanya dapat dikeluarkan ke lingkungan sedangkan
peptida utama tetap berada di dalam sitoplasma untuk berperan kembali dalam
sintesis bakteriosin selanjutnya. Propeptida tersebut merupakan molekul-molekul
bakteriosin yang terbentuk (Ray, 2004).
10
Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat dibagi menjadi 3
kelas utama antara lain kelas I adalah lantibiotik, kelas II adalah peptida berukuran
kecil dan tahan panas, dan kelas III adalah protein berukuran besar dan tidak tahan
panas. Kelas IV dari bakteriosin dengan struktur yang komplek juga telah diusulkan
tetapi belum diterima secara luas (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Keberadaan
kelas keempat tersebut terutama didukung oleh observasi bahwa beberapa aktivitas
bakteriosin dihasilkan di dalam supernatan bebas sel, contohnya aktivitas Lb.
plantarum LPCO 10 dihilangkan tidak hanya oleh perlakuan enzim proteolitik tetapi
juga oleh enzim glikolitik dan lipolitik (Jimenez-Diaz, 1993). Kelas I dan II adalah
kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi untuk digunakan di dalam
aplikasi komersial. Kelas-kelas bakteriosin dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas-Kelas Bakteriosin
Kelas Subkelas Deskripsi
Kelas I
(lantibiotik)
A(1)
A(2)
B
berbentuk linier, kationik, membran aktif, sedikit yang
bermuatan + atau –
berbentuk linier, kationik, membran aktif, banyak yang
bermuatan –
berbentuk globular, berukuran kecil*, penghambatan
dengan enzim spesifik, bermuatan – atau sama sekali
tidak bermuatan*, tidak diproduksi oleh bakteri asam
laktat
Kelas II
IIa
IIb
IIc
berukuran kecil (< 10 kDa), tahan panas (suhu sedang
100oC hingga suhu tinggi 121
oC), peptida-peptida
membrane aktif yang tidak mengandung lantionin
peptida-peptida yang aktif menghambat Listeria
bakteriosin yang mengandung dua peptida
bakteriosin yang mengandung peptida lain
Kelas III berukuran besar (> 30 kDa), protein tidak tahan panas
Kelas IV bakteriosin komplek: protein dengan lipid dan atau
karbohidrat
Sumber: Ouwehand dan Vesterlund (2004)
*Hoover dan Chen (2005)
11
Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba
Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba
yaitu dengan cara merusak dinding sel sehingga lisis maupun mengubah atau
menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah
permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam
sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara
menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Rheid, 1986). Beberapa cara
antimikroba dalam aksinya melawan mikroorganisme yaitu memberikan efek
bakteriostatik, bakterisidal ataupun bakterilisis. Sifat bakteriostatik akan
menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan
kematian. Sifat bakterisidal berhubungan dengan kemampuan senyawa untuk
menyebabkan kematian mikroorganisme, sedangkan sifat bakterilisis akan
menyebabkan lisis sel mikroorganisme (Gonzales et al., 1996).
Bakteriosin bakteri asam laktat bersifat bakterisidal terhadap sel sensitif dan
dapat mengalami kematian dengan sangat cepat pada konsentrasi rendah. Beberapa
bakteriosin mempunyai sifat bakterisidal melawan beberapa strain dan spesies yang
berelasi dekat tetapi beberapa dapat efektif melawan banyak strain dalam spesies dan
genera yang berbeda. Namun, sel penghasil bakteriosin akan mengalami ketahanan
terhadap bakteriosin yang dihasilkannya sendiri, disebabkan memperoleh ketahanan
protein yang spesifik. Bakteriosin ini pada umumnya sangat efektif melawan sel dari
bakteri Gram positif yang lain (Ray, 2004).
Normalnya, strain bakteri Gram positif sensitif terhadap bakteriosin dengan
spektrum yang sangat bervariasi, sedangkan strain bakteri Gram negatif resisten
terhadap bakteriosin. Namun, bakteri Gram negatif tersebut dapat menjadi sensitif
mengikuti perusakan struktur lipopolisakarida pada permukaan sel secara fisik dan
tekanan kimia. Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien dalam menghambat
bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat hidrofilik dan dapat
menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004). Bakteri Gram negatif memiliki sistem
seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida (Branen, 1993).
Penentuan aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara
molekul-molekul kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di
permukaan sel, salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan
12
reseptor bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Selanjutnya,
aksi bakterisidal dari bakteriosin melawan sel yang sensitif akan dihasilkan melalui
destabilisasi fungsi dari membran sitoplasmik, berupa peningkatan permeabilitas
membran sehingga mengganggu keseimbangan barier dan dapat mengakibatkan
kematian sel (Jack et al., 1995). Mekanisme-mekanisme aksi lainnya dari bakteriosin
antara lain perubahan aktivitas enzim, penghambatan germinasi spora dan inaktivasi
pembawa anionik langsung membentuk pori-pori selektif dan non selektif (Ray,
2004).
Enzim Proteolitik
Enzim proteolitik atau yang sering disebut dengan protease merupakan
berbagai jenis enzim yang mencerna protein menjadi unit-unit yang lebih kecil
dimana enzim secara umum bertugas sebagai katalisator dengan cara menurunkan
energi aktivasi di dalam sel, bersifat khas (Murray, 2006) dan sebagai katalis pada
pemecahan molekul protein dengan cara hidrolisis (Poedjiadi, 1994). Oleh karena
yang dipecah adalah ikatan pada rantai peptida, maka enzim tersebut dinamakan
peptidase. Enzim-enzim ini meliputi protease-protease pankreas, khimotripsin dan
tripsin, bromelin, papain, fungal proteases dan Serratia peptidase (Murray, 2006).
Tripsin (EC 3.4.21.4) merupakan famili dari protease serin yang memecah
protein pada gugus karboksil dari asam amino lisin dan arginin, kecuali protein
tersebut diikuti oleh prolin. Tripsin dihasilkan oleh pankreas dalam bentuk
tripsinogen yang tidak aktif. Tripsinogen tersebut kemudian disekresikan ke usus
halus, tempat enzim enterokinase mengaktifkannya menjadi tripsin (Poedjiadi, 1994)
atau secara autokatalitik pada pH 8 (Suhartono, 1992).
Pepsin (EC 3.4.23.1) adalah suatu enzim yang berguna untuk memecah
molekul protein menjadi molekul yang lebih kecil yaitu pepton dan proteosa. Enzim
ini dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam bentuk pepsinogen, yaitu calon
enzim yang belum aktif. Pepsinogen ini kemudian diubah menjadi pepsin yang aktif
dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994). Enzim pepsin menghidrolisis ikatan peptida
protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin, triptofan, leusin, glutamat dan
glutamin (Suhartono, 1992). Spesifitas pemotongan berbagai enzim proteolitik dapat
dilihat pada Tabel 3.
13
Tabel 3. Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik
Enzim Proenzim Pengaktif Letak Pemotongan
Karboksil protease
Pepsin A
Pepsinogen A
Autopengaktifan,
pepsin
R R
CO – NHCHCO – NHCHCO R = Tyr, Phe, Leu
Serin protease
Tripsin
Tripsinogen
Enteropeptida,
tripsin
R R
CO – NHCHCO – NHCHCO R = Arg, Lys
Khimotripsin
Khimotripsinogen Tripsin R R
CO – NHCHCO – NHCHCO R = Tyr, Trp, Phe, Met, Leu
Elastase
Proelastase Tripsin R R
CO – NHCHCO – NHCHCO R = Ala, Gly, Ser
Zn-Peptidase
Karboksipeptidase A
Prokarboksi-
peptidase A
Tripsin
R
CO – NHCHCO2 R = Val, Leu, Ile, Ala
Karboksipeptidase B Prokarboksi-
peptidase B
Tripsin R
CO – NHCHCO2 R = Arg, Lys
Sumber: Sani (2008)
14
Sensitivitas substansi antibakteri yang diproduksi oleh bakteri asam laktat
terhadap -khimotripsin, tripsin, pronase E, fisin, pepsin, papain dan lipase
ditentukan dalam penanganan dan kondisi perbanyakan. Semua komponen secara
keseluruhan maupun sebagian diinaktivasi oleh beberapa enzim proteolitik. Hal ini
mengindikasikan bahwa komponen tersebut adalah protein alami. Komponen
penghambat diproduksi oleh strain-strain yang ada dengan sensitivitas yang berbeda.
Seluruh komponen penghambat tersebut secara lengkap diinaktivasi oleh -
khimotripsin, pronase E dan fisin. Nisin dibedakan dengan bakteriosin lactococcal
lainnya dengan fakta bahwa -khimotripsin adalah enzim proteolitik satu-satunya
yang menyebabkan nisin menjadi sensitif. Namun demikian, nisin juga dapat
diinaktifasi oleh enzim lainnya, misalnya pronase E dan fisin (Bromberg et al.,
2004).
Bakteri Patogen
Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk
yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit
pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan
dengan bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator
keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi dan infeksi.
Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri
patogen yang berkembang di dalam bahan makanan, sedangkan infeksi yaitu bakteri
yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang
diamati sebagai bakteri pembusuk dan patogen pada produk fermentasi adalah dari
famili Enterobacteriaceae, di dalamnya termasuk famili Enterobacter, Erwinia,
Citrobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Serattia, Shigella dan Yersinia
(Fardiaz, 1992).
Bakteri secara umum dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan sifat
pewarnaan Gram yaitu Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah
bakteri yang memberi respon berwarna biru keunguan jika dilakukan uji pewarnaan
Gram, sedangkan Gram negatif memberi respon warna merah (Tortora et al., 2006).
Kelompok bakteri patogen yang bersifat Gram positif diantaranya Staphylococcus
aureus, Listeria monocytogenes dan Clostridium perfringens, sedangkan bakteri
15
patogen yang bersifat Gram negatif diantaranya Escherichia coli enteropatogenik
dan Salmonella typhimurium.
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus temasuk famili Micrococcaceae, merupakan bakteri
Gram positif, berbentuk kokus yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan
tetrad atau berkelompok, seperti buah anggur dengan diameter berkisar 0,5-1,5 µm,
anaerob fakultatif, tidak bergerak, tidak berspora dan biasanya termasuk katalase
positif (Holt et al., 1994). Kebanyakan galur Staphylococcus aureus bersifat patogen
dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Beberapa galur, terutama yang
bersifat patogen, memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik dan -
hemolitik. Bakteri ini sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar
keringat dan saluran usus serta dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi bisul,
pneumonia, mastitis pada hewan (Fardiaz, 1992).
Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35-37 oC, suhu
minimum 6,7 oC dan suhu maksimum 45,5
oC. Bakteri dapat tumbuh pada pH 4,0-
9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya
mungkin apabila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk
pertumbuhannya (Supardi dan Sukamto, 1999). Staphylococcus aureus secara
mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Staphylococcus aureus Sumber: Gillen (2009)
Salmonella typhimurium
Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dapat memfermentasi glukosa dan biasanya disertai dengan
pembentukan gas tetapi tidak memfermentasi laktosa maupun sukrosa (Frazier dan
16
Westhoff, 1988). Salmonella berbentuk batang lurus, berukuran 0,7-1,5 µm x 2-5
µm, termasuk bakteri anaerob fakultatif dan biasanya dapat bergerak menggunakan
flagela peritrikus (Holt et al., 1994). Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu
antara 5 oC hingga 45-47
oC dengan suhu optimum 35-37
oC. Salmonella sp. tumbuh
pada tingkat keasaman antara 4,5-5,4 dengan pH optimumnya sekitar 7 dan aw
minimum 0,94. Nilai pH minimum bervariasi tergantung pada suhu inkubasi,
komposisi media, aw dan jumlah sel. Pada pH kurang dari 4,0 dan lebih dari 9,0
Salmonella akan mati secara perlahan (Adam dan Moss, 2007).
Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella typhimurium adalah
telur, susu, ikan, daging ayam, daging sapi serta hasil olahannya. Buckle et al. (1987)
menyatakan bahwa Salmonella dapat bergerak dengan metabolisme bersifat
fakultatif anaerob. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya,
selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat
menyebabkan demam tifus (Salmonella typhimurium) dan paratifus (Salmonella
paratyphi) (Fardiaz, 1992). Salmonella typhimurium secara mikroskopis dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Salmonella typhimurium Sumber: Fox (2000)
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2,0-6,0 µm, soliter maupun berkoloni, anaerobik
fakultatif dan katalase positif (Holt et al., 1994). Escherichia coli termasuk dalam
grup Enterobacteriaceae dan digunakan sebagai mikroba indikator terhadap
kontaminasi feses pada air dan susu, bersifat motil dengan flagela peritrikus (Buckle
et al., 1987). Escherichia coli dapat tumbuh optimum pada pH 7-7,5 dengan pH
17
minimum 4 dan pH maksimum 8,5. Bakteri ini sensitif terhadap panas dan pada
makanan yang mengalami pemanasan. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah
37 oC dengan kisaran suhu 10-40
oC (Frazier dan Westhoff, 1988).
Flora normal (Escherichia coli) ini terdapat di dalam saluran pencernaan
hewan dan manusia sehingga mudah mencemari air. Kontaminasi bakteri ini pada
makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat
menimbulkan gejala infeksi Escherichia coli pada makanan berkisar antara 108
- 109
sel. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh Escherichia coli antara lain
daging sapi, daging ayam, daging babi, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur
dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta susu (Supardi dan
Sukamto, 1999). Escherichia coli secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Escherichia coli Sumber: Beavers (2005)
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu dari
keempat kelompok bakteri patogenik indikator kontaminasi fekal dan penyebab
diare, selain ETEC (Enterotoxigenic Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif
Escherichia coli) dan VTEC (Escherichia coli penghasil verotoksin). Bakteri ini
secara normal terdapat pada saluran usus anak-anak dan orang dewasa sehat dengan
jumlah yang mencapai 109
CFU/g. Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah
diare berair yang disertai dengan muntah dan demam. EPEC umumnya dikaitkan
dengan bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun (Hartoko, 2009). Enteropathogenic
Escherichia coli melekatkan diri pada sel mukosa usus kecil dan membentuk
filamentus aktin pedestal sehingga menyebabkan diare cair (watery diarrehoae) yang
bisa sembuh dengan sendirinya atau berlanjut menjadi kronis (Arifin, 2009).
18
METODE
Lokasi dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar dan
Laboratorium Mikrobiologi Bagian THT Perah, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor yang terletak di Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kegiatan penelitian
dilaksanakan selama 8 bulan dari bulan Januari hingga bulan Agustus 2009.
Materi
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain isolat
bakteri asam laktat dari daging sapi yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 (koleksi
Arief, 2005), bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella
typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11
merupakan isolat koleksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang diisolasi dari feses
bayi yang mengalami diare)), media De Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA), De
Man Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), Nutrient Agar (NA), Buffer Water Pepton
(BPW), Mueller Hinton Agar (MHA), Yeast Extract (YE) 3%, NaCl 1%, tripton 1%,
NaOH 0,1 N, amonium sulfat, larutan Mc. Farland no. 0,5 serta aquades.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung reaksi, jarum
Öse, cawan Petri, gelas ukur, pipet volumetrik, mikro pipet, pipet Pasteur, pemanas
Bunsen, kertas saring, alat sentrifuse, membran filter Millipore (0,20 µm),
alumunium foil, kapas, tip, ependorf, pH meter, jangka sorong, inkubator, oven,
refrigerator, otoklaf, vortex dan buret.
Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan perlakuan media dan 3 ulangan untuk produksi bakterosin pada media yang
berbeda, purifikasi parsial bakteriosin dan uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim
proteolitik. Model statistika yang digunakan sebagai berikut:
Yijk = + i + ij
keterangan:
Yijk = nilai respon ke-k dari kombinasi perlakuan pada taraf ke-i dan ke-j
= nilai tengah populasi
i = pengaruh perlakuan ke-i dari 6 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk
produksi bakteriosin, 3 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk purifikasi
parsial bakteriosin dan 3 taraf perlakuan enzim proteolitik untuk uji
sensitivitas bakteriosin kasar 1A5
ij = pengaruh galat dari nilai respon ke-j dari perlakuan pada taraf ke-i.
Peubah yang diamati untuk rancangan acak lengkap adalah diameter zona
hambat hasil uji antagonistik dari supernatan antimikroba hasil produksi bakterosin
dengan perlakuan media yang berbeda, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 hasil purifikasi
parsial bakteriosin dengan perlakuan media yang berbeda dan dari bakteriosin kasar
1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap masing-masing bakteri indikator
(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)). Data yang didapat dianalisis
dengan analisis ragam dan apabila hasil yang diperoleh adalah nyata akan dilanjutkan
dengan Uji Tukey (Gaspersz, 1991).
Rancangan percobaan lainnya yang digunakan adalah secara deskriptif baik
untuk produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial bakteriosin,
uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta
penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5. Pengolahan data secara
deskriptif ini perlu dilakukan guna memperjelas pembahasan terhadap hasil yang
telah diperoleh.
Prosedur
Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan
Bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan isolat BAL asal daging sedangkan bakteri indikatornya
adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028
dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Kultur bakteri asam laktat
(BAL) yang telah dipropagasi dalam media MRS broth pada suhu inkubasi 37 oC
selama 24 jam, dibiakkan kembali ke dalam tiga media, yaitu MRS broth yang
ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1% dan
20
YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan dengan tripton 1%, agar didapatkan
kultur kerja dengan masa inkubasi 20 jam pada suhu 37 oC. Ketiga bakteri indikator
lainnya dibiakkan pada media Nutrient Agar (NA) selama 24 jam pada suhu 37 oC
agar diperoleh kultur kerja bakteri indikator.
Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda
Lactobacillus plantarum 1A5 ditumbuhkan pada tiga media yang berbeda
yaitu yaitu MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang
ditambahkan dengan NaCl 1% dan YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan
dengan tripton 1% (Ogunbawo et al., 2003) selama 20 jam pada suhu 37 oC.
Selanjutnya, diekstraksi menggunakan sentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm
selama 20 menit pada suhu 4 oC (Savadogo et al., 2004). Supernatan bebas sel yang
didapat, dipisahkan dari endapan kemudian diukur nilai pH dan TAT-nya.
Supernatan bebas sel yang diperoleh dikondisikan pada pH 5,0 dan 6,0 menggunakan
NaOH 0,1 N untuk menghilangkan pengaruh antimikrobial dari asam organik
(Savadogo et al., 2004). Setelah itu, seluruh supernatan bebas sel disterilisasi melalui
filtrasi menggunakan filter Millipore 0,20 m. Selanjutnya, uji antagonistik
dilakukan melalui konfrontasi supernatan antimikroba dengan ketiga bakteri
indikator menggunakan metode sumur difusi agar. Hasil dari uji antagonistik yang
dilakukan adalah berupa zona bening di sekitar lubang sumur yang kemudian nilai
diameter zona hambatnya dipersentasekan dengan rumus (Rashid et al., 2009):
Pengukuran pH. Sebelum persiapan uji antagonistik, karakterisasi supernatan
antimikroba dilakukan pengukuran nilai pH supernatan menggunakan pH meter yang
terlebih dahulu dikalibrasi dengan buffer untuk pH 7 dan pH 4. Kalibrasi dilakukan
setiap akan melakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan
elektroda ke dalam supernatan bebas sel setelah terlebih dahulu elektroda
dibersihkan dengan aquades. Skala nilai pH dibaca pada saat muncul kata ready atau
angka penunjuk telah berada posisi tetap.
Pengukuran Total Asam Tertitrasi. Supernatan dipipet sebanyak 10 ml ke dalam
labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 3 tetes larutan indiktor phenolphtalein
21
(pp 1%). Supernatan bebas sel kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga
terbentuk warna merah muda (Nielsen, 2003). Perhitungan persentase asam laktat
sebagai berikut:
Total asam tertitrasi (%) =
keterangan: a = bobot/volume sampel, dinyatakan dalam ml
b = volume larutan NaOH, dinyatakan dalam ml
c = normalitas larutan NaOH, dinyatakan dalam N
eq.wt = konstanta asam laktat (90,08)
Persiapan Uji Antagonistik
Bakteri indikator yang telah ditumbuhkan dalam media NA selama 24 jam
pada suhu 37 oC distandarisasi terlebih dahulu. Standarisasi dilakukan dengan cara
menyetarakan kekeruhannya (turbiditas) sesuai standar Mc Farland no. 0,5 untuk
menghasilkan populasi bakteri setara 1,5 x 108 cfu/ml (P0). Konfrontasi pada tahap
produksi bakteriosin pada media yang berbeda dilakukan antara supernatan
antimikroba dan bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 106 cfu/ml (setara dengan
0,1 dari P0) yang diperoleh dengan mengencerkannya sebanyak 100 kali ke dalam
BPW steril. Sedangkan konfrontasi pada tahapan-tahapan selanjutnya (purifikasi
parsial bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan
enzim proteolitik) konfrontasi dilakukan antara substrat bakteriosin kasar 1A5 dan
bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 108 cfu/ml (P0) guna meratakan populasi
bakteri indikator di media Mueller Hilton Agar (MHA) dan mempermudah
pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk.
Suspensi bakteri indikator diambil dengan menggunakan pipet steril sebanyak
1 ml kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan ditambahkan media MHA
steril bersuhu 50 oC sebanyak 20 ml. Setelah itu, cawan petri diputar-putar
membentuk angka delapan di atas bidang datar agar media MHA dan suspensi
bakteri indikator menjadi homogen kemudian media konfrontasi didiamkan hingga
mengeras. Setelah mengeras, dibuat sumur berdiamater 5 mm dengan
menggunakan ujung pipet pasteur steril sebanyak 6 buah di setiap cawan dan dibuat
duplo dengan tiga ulangan untuk masing-masing supernatan antimikroba.
22
Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator
Supernatan antimikroba sebanyak 50 l dimasukkan ke dalam masing-masing
lubang sumur menggunakan mikropipet. Selanjutnya, cawan dilapisi dengan kertas
saring terlebih dahulu sebelum ditutup. Seluruh cawan yang berisi bakteri indikator
(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dan supernatan antimikroba
BAL Lactobacillus plantarum 1A5 diinkubasi selama 2 jam pada suhu ± 10 oC yang
kemudian dilanjutkan untuk diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC (Savadogo et
al., 2004).
Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur pada seluruh cawan diamati dan
diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong. Diameter dari masing-
masing zona hambat diukur sebanyak tiga kali di daerah yang berbeda yang
kemudian hasilnya dirata-ratakan. Setiap pengujian diulang sebanyak tiga kali dan
pada setiap ulangan dilakukan secara duplo. Zona hambat yang positif ditunjukkan
dengan warna bening maupun warna semu dan akan negatif apabila tidak terdapat
warna bening maupun warna semu disekitar sumur. Zona bening maupun warna
semu tersebut menunjukkan bahwa bakteriosin berperan dalam membunuh maupun
menghambat aktivitas bakteri indikator.
Purifikasi Parsial Bakteriosin
Purifikasi parsial bakteriosin dilakukan pada supernatan antimikroba
Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari ketiga media produksi bakteriosin
(supernatan antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer
NaCl 1%, kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% ) dengan
kondisi pH 6. Serbuk amonium sulfat ditambahkan sebanyak 40% ke dalam
supernatan antimikroba yang telah disaring steril untuk manghasilkan endapan
protein, kemudian dihomogenkan secara perlahan dan didiamkan pada suhu
refrigerator selama semalam (Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Nowroozi
et al., 2004; dan Abo-Amer, 2007). Endapan protein yang terbentuk dibuat ekstrak
bakteriosin kasar dengan cara memisahkan filtrat dengan sebagian besar
supernatannya kemudian menghomogenkan filtrat tersebut dengan supernatan yang
masih tersisa sehingga dihasilkan ekstrak bakteriosin kasar sebanyak ± 20% dari
23
volume awal (Venema et al., 1997). Penghitungan padatan amonium sulfat
didasarkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan)
Awal
% 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (gram)
0
10,6 13,4 16,4 19,4 22,6 25,8 29,1 32,6 36,1 39,8 43,6 47,6 51,6 55,9 60,3 65,0 69,7
5 7,9 10,8 13,7 16,6 19,7 22,9 26,2 29,6 33,1 36,8 40,5 44,4 48,4 52,6 57,0 61,5 66,2
10 5,3 8,1 10,9 13,9 16,9 20,0 23,3 26,6 30,1 33,7 37,4 41,2 45,2 49,3 53,6 58,1 62,7
15 2,6 5,4 8,2 11,2 14,1 17,2 20,4 23,7 27,1 30,6 34,3 38,1 42,0 46,0 50,3 54,7 59,2
20 0 2,7 5,5 8,3 11,3 14,3 17,5 20,7 24,1 27,6 31,2 34,9 38,7 42,7 46,9 51,2 55,7
25
0 2,7 5,6 8,4 11,5 14,6 17,9 21,1 24,5 28,0 31,7 35,5 39,5 43,6 47,8 52,2
30
0 2,8 5,6 8,6 11,7 14,8 18,1 21,4 24,9 28,5 32,3 36,2 40,2 44,5 48,8
35
0 2,9 5,7 8,7 11,8 15,1 18,4 21,8 25,8 29,6 32,9 36,9 41,0 45,3
40
0 2,9 5,8 8,9 12,0 15,3 18,7 22,2 26,3 29,6 33,5 37,6 41,8
45
0 3,0 5,9 9,0 12,3 15,6 19,0 22,6 26,3 30,2 34,2 38,3
50
0 3,0 6,0 9,2 12,5 15,9 19,4 23,5 26,8 30,8 34,8
55
0 3,1 6,1 9,3 12,7 16,1 20,1 23,5 27,3 31,2
60
0 3,1 6,2 9,5 12,9 16,8 20,1 23,9 27,9
65
0 3,2 6,3 9,7 13,2 16,8 20,5 24,4
70
0 3,2 6,5 9,9 13,4 17,1 20,9
75
0 3,3 6,6 10,1 13,7 17,4
80
0 3,4 6,7 10,3 13,9
85
0 3,4 6,8 10,5
90
0 3,4 7,0
95
0 3,5
100
0
Sumber: Simpson (2006)
Ekstrak bakteriosin kasar tersebut diuji aktivitasnya melalui uji antagonistik
terhadap ketiga bakteri indikator. Diameter zona hambat hasil uji antagonistik antara
ekstrak bakteriosin kasar dengan bakteri indikator diharapkan mempunyai nilai lebih
besar daripada diameter zona hambat hasil uji antagonistik pada tahap produksi
bakteriosin pada media yang berbeda.
Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase
Uji lanjut dari purifikasi parsial bakteriosin adalah karakterisasi bakteriosin
kasar 1A5 yang berupa uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase. Enzim
katalase (2,0 U/mg) distabilkan di dalam buffer 10 mM potasium fosfat (pH 7,0).
Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1 ml diinkubasi dengan 1 mg/ml enzim
katalase pada suhu 25 oC (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin
tersebut dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan bakteri indikator, antara
24
lain Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Salmonella typhimurium ATCC
14028. Hasil positif dari zona hambat mengindikasikan bahwa komponen aktif dari
bakteriosin kasar 1A5 adalah bakteriosin dan bukan hidrogen peroksida. Namun
demikian, hasil negatif kontrol enzim katalase yang masih membentuk zona hambat
dapat diartikan bahwa komponen aktif yang bekerja dari bakteriosin kasar 1A5
dengan perlakuan enzim katalase terhadap bakteri indikator kemungkinan tidak
hanya disebabkan oleh komponen bakteriosin yang terkandung di dalamnya tetapi
juga dapat berasal dari residu katalase.
Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik
Karakterisasi bakteriosin kasar juga dilakukan melalui uji sensitivitas
bakteriosin terhadap enzim proteolitik. Enzim proteolitik yang digunakan yaitu
pepsin (3,2 U/ml) dalam 0,2 M buffer sitrat (pH 3,0) dan tripsin (15000 U/mg) dalam
0,05 M buffer Tris Hidroklorida (pH 8,0). Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1
ml dihomogenkan dengan 1 mg/ml dari masing-masing enzim proteolitik (Torkar
dan Matijasic, 2003). Setelah homogen, perlakuan enzim tripsin diinkubasi pada
suhu 25 oC sedangkan perlakuan enzim pepsin diinkubasi selama 60 menit pada suhu
37 oC, (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 tersebut
dapat dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan ketiga bakteri indikator. Hasil
negatif dari zona hambat menunjukkan bahwa bakteriosin kasar 1A5 merupakan
senyawa protein.
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide
Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Metode Kontak
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah
senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang
telah ditentukan (Kubo, 1993) sedangkan Minimum Bactericide Concentration
(MBC) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh
sebanyak 99,9% atau 103 cfu/ml populasi bakteri indikator (Vigil et al., 2005).
Tahapan penentuan MIC dan MBC dengan metode kontak meliputi:
1. Persiapan Bakteriosin Kasar 1A5
Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 diperoleh dari media produksi dengan inducer
tripton 1% yang dikondisikan pada pH 6. Ekstrak bakteriosin kasar 1A5
tersebut diencerkan 1:1 (v/v) dengan buffer potasium fosfat steril (KH2PO4)
25
yang juga telah dikondisikan pada pH 6 kemudian dihomogenkan (Rashid et
al., 2009). Setelah homogen, bakteriosin kasar 1A5 disimpan terlebih dahulu
pada suhu refrigerator selama ± 5 jam agar lebih stabil bercampur dengan
buffer untuk digunakan dalam metode kontak.
2. Persiapan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Bakteriosin Kasar 1A5,
Larutan Pengencer dan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923
Kombinasi perlakuan antara bakteriosin kasar 1A5, larutan pengencer nutrient
broth (NB) dan bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923
disiapkan dalam konsentrasi tertentu. Bakteri indikator Staphylococcus aureus
ATCC 25923 dengan jumlah ± 107 cfu/ml diinokulasikan sebanyak 0,5 ml ke
dalam masing-masing kombinasi perlakuan yang telah disiapkan kemudian
dihomogenkan. Masing-masing kombinasi perlakuan berjumlah 5 ml untuk
100% campurannya. Kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat seperti pada
Tabel 5.
Tabel 5. Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk
Penentuan MIC dan MBC
Konsentrasi
Ekstrak Bakteriosin
(% v/v)
Jumlah Ekstrak
Bakteriosin (ml)
Jumlah Pengencer
NB (ml)
Jumlah Bakteri
Indikator (ml)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
26
3. Penetuan MIC dan MBC Bakteriosin Kasar Lactobacillus plantarum 1A5
Melawan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923
Semua kombinasi perlakuan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
Evaluasi dilakukan dari setiap kombinasi perlakuan pada media nutrient agar
(NA). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan pengenceran hingga beberapa seri
tertentu yang kemudian dipupukkan dengan metode tuang dan diinkubasi
kembali pada suhu 37 oC selama 24 jam. Perhitungan nilai MIC dan MBC
dilakukan menurut BAM (2001) yaitu aerobic plate count (APC) dengan
melihat bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang tumbuh
pada masing-masing kombinasi perlakuan. Formula penentuan jumlah koloni
pada setiap perlakuan dengan jumlah koloni antara 25-250 cfu/ml adalah:
Keterangan: N = nilai koloni per ml atau per gram dari masing-masing
kombinasi perlakuan
ΣC = jumlah seluruh koloni pada seluruh cawan yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung
d = nilai pengencer dari pengenceran pertama yang dihitung
Nilai koloni per ml dari masing-masing kombinasi perlakuan yang didapatkan
diubah ke dalam bentuk log cfu/ml sehingga dapat ditentukan nilai MIC dan
MBC bakteriosin kasar 1A5 melawan Staphylococcus aureus ATCC 25923.
Nilai MIC ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan dengan konsentrasi
bakteriosin kasar terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
indikator sedangkan nilai MBC ditunjukkan oleh kombinasi dengan
konsentrasi bakteriosin kasar terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh
bakteri indikator atau dapat mereduksi 3 log populasi bakteri indikator dari
populasi awal.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan adalah persiapan dan pemurnian
kembali kultur bakteri asam laktat (BAL) Lactobacillus plantarum 1A5 (telah
diidentifikasi menggunakan API 50 CHL test strip) (Arief, unpublished) yang
merupakan isolat asal daging sapi dan persiapan ketiga bakteri indikator, yaitu
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Persiapan bakteri asam laktat
dan ketiga bakteri indikator tersebut dimaksudkan untuk mengetahui morfologis dan
kemurniannya melalui pewarnaan Gram dan uji katalase.
Karakteristik morfologis isolat bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum
1A5 yang telah didapat adalah berbentuk batang dengan susunan tunggal maupun
rantai pendek dan tergolong bakteri Gram positif. Uji katalase pada isolat ini bernilai
negatif yang berarti isolat Lactobacillus plantarum 1A5 tidak membebaskan molekul
oksigen setelah direaksikan dengan hidrogen peroksida (Rahman et al., 1992).
Karakteristik morfologis yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kultur
homogen dan tidak tercemar, seperti yang diperoleh pada penelitian sebelumnya
(Hidayati, 2006 dan Permanasari, 2008). Kelompok Lactobacillus plantarum
menurut Fardiaz (1992) adalah mempunyai bentuk batang yang panjang, katalase
negatif, bersifat anaerob fakultatif dan tergolong bakteri Gram positif. Morfologi
Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5
Karakteristik morfologis ketiga bakteri indikator yang digunakan, antara lain
Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11
yang berbentuk batang, soliter maupun koloni dan tergolong bakteri Gram negatif
sedangkan Staphylococcus aureus ATCC 25923 mempunyai bentuk bulat atau kokus
tergolong bakteri Gram positif. Ketiga bakteri indikator tersebut bernilai positif
untuk uji katalasenya. Pemilihan ketiga bakteri indikator ini mengacu pada ketentuan
SNI 01-6366-2000 yang menyatakan bahwa kedua bakteri (Staphylocoocus aureus
ATCC 25923 dan Salmonella typhimurium ATCC 14028) perlu mendapat perhatian
khusus sebagai cemaran mikroba pada daging dan spesies Escherichia coli
merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan sehingga
digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran (Pelczar dan Chan, 2007).
Morfologi ketiga bakteri indikator secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6.
(A) (B)
(C)
Gambar 6. Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator: (A) Staphylocoocus aureus
ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028; (C)
enteropathogenic Escherichia coli K11
29
Penelitian Utama
Penelitian utama meliputi identifikasi supernatan antimikroba dengan
spesifikasi bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5. Identifikasi bakteriosin di
dalam supernatan antimikroba ditentukan berdasarkan hasil uji antagonistiknya
dengan ketiga bakteri indikator. Supernatan antimikroba yang diduga mengandung
bakteriosin tersebut didapatkan melalui lima tahapan yang berurutan, antara lain
dengan melakukan produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial
bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan enzim
proteolitik serta konsentrasi penghambatan minimum berupa Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) dengan
metode uji kontak.
Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda
Produksi bakteriosin dilakukan dengan menggunakan tiga inducer yang
berbeda pada media pertumbuhan Lactobacillus plantarum 1A5, yaitu NaCl 1%,
kombinasi NaCl 1% dengan yeast extract (YE) 3% dan tripton 1%. Ketiga inducer
tersebut digunakan merunut hasil yang didapatkan oleh Ogunbawo et al. (2003) yang
menyatakan bahwa nilai terbesar dari bakteriosin yang disintesis, yaitu 6400 AU/ml,
didapatkan ketika media pertumbuhan kultur, berupa MRS broth, ditambahkan
suplemen atau inducer berupa yeast extract (3%) atau NaCl (1%), sedangkan
penambahan tripton (1%) dapat menghasilkan bakteriosin sebesar 3200 AU/ml.
Supernatan antimikroba yang telah dihasilkan dari media produksi dengan
masing-masing inducer berada pada kondisi asam. Kondisi asam tersebut disebabkan
oleh adanya asam-asam organik yang terbentuk sebagai metabolit primer dari bakteri
asam laktat. Branen (1993) menyatakan bahwa asam organik merupakan salah satu
supernatan antimikroba yang dihasilkan dari bakteri asam laktat, terutama asam
laktat. Asam organik tersebut mempunyai spektrum penghambatan yang luas
terhadap mikroorganisme yaitu dengan cara menyerang dinding sel, membran sel,
metabolisme enzim, sistem sintesis protein maupun secara genetik (Smid dan
Gorris, 2007).
Asam-asam organik yang terdapat di dalam supernatan antimikroba tersebut
dapat menutupi aktivitas bakteriosin yang terbentuk dalam menghambat bakteri
indikator pada uji antagonistik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penambahan buffer
30
(NaOH 0,1 N) hingga supernatan antimikroba mencapai kondisi pada pH 5 dan pH 6.
Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi pengaruh asam organik dalam supernatan
antimikroba dan diharapkan dapat mengoptimalkan aktivitas bakteriosin yang
terbentuk. Bakteriosin yang terkandung di dalam supernatan bebas sel dari
Streptococcus bovis J2 40-2 yang diisolasi dari susu fermentasi tradisional Dahi
menunjukkan aktivitas antimikrobial secara penuh (100%) pada pH antara 4,0-8,0
sedangkan aktivitas antimikroba sebesar 90% terjadi pada pH 2,0-3,0 dan pH 9,0-
10,0 serta tidak menunjukkan aktivitasnya pada kondisi pH 12,0-13,0 (Rashid et al.,
2009). Selain itu, Nowroozi et al. (2004) menuliskan hasil yang serupa bahwa
produksi maksimum dari bakteriosin didapatkan pada kondisi pH 6,5 dari rentang pH
2 hingga pH 10 dan bakteriosin kehilangan aktivitasnya pada pH 12. Kondisi pH
dari supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada media MRS broth
dengan inducer yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kondisi pH Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda
Inducer pH initial pH Setelah Penetralan
NaCl 1% 3,63
3,55
5,00 ± 0,02
6,00 ± 0,08
Tripton 1% 4,04
4,05
5,00 ± 0,02
6,00 ± 0,08
YE 3% + NaCl 1% 3,80
3,80
5,00 ± 0,02
6,00 ± 0,08
Kondisi pH initial maupun setelah penetralan pada supernatan antimikroba
Lactobacillus plantarum 1A5 berbanding terbalik dengan nilai total asam
tertitrasinya. Semakin rendah nilai pH supernatan antimikroba menunjukkan semakin
tinggi nilai total asam tertitrasinya dan demikian pula sebaliknya semakin tinggi nilai
pH supernatan antimikroba menunjukkan semakin rendah nilai total asam
tertitrasinya. Nilai total asam tertitrasi merupakan persentase besarnya total asam
yang terbentuk di dalam suatu supernatan atau komponen yang dapat dititrasi atau
dinetralisir oleh basa kuat, misalnya NaOH 0,1 N, dengan bantuan indikator
fenolptalein (pp) 1%. Hubungan kondisi pH pada berbagai media produksi
31
bakteriosin dengan nilai total asam tertitrasi dari supernatan antimikroba
Lactobacillus plantarum 1A5 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi pH
Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
Kualitas nilai total asam tertitrasi dapat memprediksikan pengaruh asam lebih
baik daripada pH (Nielsen, 1998) karena pada pengukuran pH, nilai yang terukur
adalah konsentrasi ion H+ yang menunjukkan jumlah asam terdisosiasi, sedangkan
total asam tertitrasi adalah hasil pengukuran nilai asam terdisosiasi dan asam tidak
terdisosiasi (Frazier dan Westhoff, 1988). Pengaruh penghambatan dari asam organik
pada supernatan antimikroba terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak
terdisosiasi (Rini, 1995).
Nilai total asam tertitrasi pada supernatan antimikroba dengan pH initial yang
dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% dan tripton 1%
menunjukkan nilai yang sama yaitu 0,36% asam laktat meskipun masing-masing
nilai pH keduanya berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan asam tidak
terdisosiasi dari supernatan antimikroba dengan inducer tripton 1% kemungkinan
lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh inducer NaCl 1%. Semakin banyak asam
tidak terdisosiasi di dalam supernatan antimikroba menunjukkan bahwa asam yang
bekerja di dalamnya adalah asam lemah. Asam lemah adalah asam yang tidak
terionisasi (terdisosiasi) sempurna ketika dilarutkan di dalam air dan sebagian besar
asam organik termasuk ke dalam asam lemah (Clark, 2007).
Asam lemah memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar pada pH rendah
dibandingkan dengan pH netral. Molekul asam tidak terdisosiasi merupakan bentuk
toksik dari asam lemah meskipun asam yang terdisosiasi juga memiliki kemampuan
0,36
0,18
0,36
0,09
0,36
0,09
0,36
0,09
0,54
0,18
0,54
0,18
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
pH initial pH 5 pH initial pH 6
Nil
ai
TA
T (
%)
Kondisi pH Supernatan Bebas Sel
NaCl 1% Tripton 1% YE 3% + NaCl 1%
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
3,63 4,04 3,80 3,55 4,05 3,80
pH initial pH initial
32
untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini disebabkan oleh bentuk tidak
terdisosiasi dari asam organik berdifusi secara silang menembus membran sel karena
sifatnya yang larut lemak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos,
2003) dan mengganggu permeabilitas membran. Setelah berada di dalam sitoplasma,
asam akan terdisosiasi sehingga menghasilkan proton. Proton yang berlebihan
menyebabkan keseimbangan proton dalam sitoplasma terganggu. Gangguan yang
terjadi berakibat pada berkurangnya energi sel untuk pertumbuhan karena energi
yang ada digunakan untuk menyeimbangkan proton. Hal tersebut juga
mengakibatkan transpor asam amino dan gula terganggu (Russel, 2005).
Banyak peneliti menyatakan bahwa terjadinya penghambatan pertumbuhan
pada mikroba disebabkan oleh asam organik akibat adanya pelepasan proton ke
dalam sitoplasma sehingga pH dalam membran sel menjadi sangat asam secara
mendadak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos, 2003). Namun
demikian, hipotesis tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa
penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukan karena translokasi proton
tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya kecepatan
sintesis makromolekul dan mempengaruhi tranportasi membran sel. Bakteri asam
laktat dan juga bakteri lain meniadakan pengaruh dari akumulasi anion dengan cara
mengurangi pH pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).
Hasil uji antagonistik supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
dari masing-masing media produksi bakteriosin terhadap masing-masing bakteri
indikator ditunjukkan dengan adanya diameter zona hambat. Diameter zona hambat
yang terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling sumur yang
menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu
yang menunjukkan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba).
Bakteriosin merupakan protein atau peptida pada bakteri yang menunjukkan aksi
bakterisidal ataupun bakteriostatik terhadap spesies yang umumnya berfilogeni dekat
namun terdapat pula beberapa jenis bakteriosin dapat menunjukkan spektrum yang
lebih luas (Jimenez-diaz, 1993).
Rataan diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 dari masing-masing media dengan pH initial dan pH sesudah
penetralan dapat dilihat pada Gambar 8. Supernatan antimikroba Lactobacillus
33
plantarum 1A5 pada media dengan pH initial cenderung mempunyai aktivitas
penghambatan yang lebih besar terhadap ketiga bakteri indikator bila dibandingkan
dengan aktivitas penghambatan dari supernatan antimikroba yang telah dikondisikan
pada pH 5 dan pH 6.
Keterangan: N5 = NaCl 1% pH 5; T5 = tripton 1% pH 5; Y5 = YE 3% + NaCl 1% pH 5
N6 = NaCl 1% pH 6; T6 = tripton 1% pH 6; Y6 = YE 3% + NaCl 1% pH 6
= diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum
1A5 dengan nilai pH initial
= diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum
1A5 dengan nilai pH yang telah dikondisikan pada pH 5 dan pH 6
diameter lubang sumur (± 5 mm) termasuk ke dalam diameter zona hambat
Gambar 8. Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A).
Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella
typhimurium ATCC 14028 dan (C). Enteropathogenic
Escherichia coli K11 (EPEC K11)
Aktivitas penghambatan yang paling besar hingga paling kecil pada media
produksi dengan pH initial secara berurutan dimulai dari supernatan antimikroba
yang dihasilkan dari media dengan inducer NaCl 1% dilanjutkan dengan kombinasi
YE 3% dan NaCl 1% dan terakhir dengan tripton 1%. Semakin rendah nilai pH
0
2
4
6
8
10
N5 T5 Y5 N6 T6 Y6
Dia
met
er Z
on
a H
am
bat
(mm
)
Media Optimasi
(A)
0
2
4
6
8
10
N5 T5 Y5 N6 T6 Y6
Dia
met
er Z
on
a H
am
bat
(mm
)
Media Optimasi
(B)
0
1
2
3
4
5
6
7
N5 T5 Y5 N6 T6 Y6
Dia
met
er Z
on
a H
am
bat
(mm
)
Media Optimasi
(C)
34
initial yang dihasilkan menunjukkan semakin besar aktivitas penghambatan
supernatan antimikrobanya dan begitu pula sebaliknya. Besarnya aktivitas
penghambatan diperoleh dari semakin banyaknya konsentrasi asam organik yang
terbentuk dengan ditunjukkan oleh semakin rendahnya pH initial dan juga semakin
tingginya nilai total asam tertitrasinya.
Nilai pH initial supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang
dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% maupun kombinasi YE 3%
dan NaCl 1% lebih rendah daripada nilai pH supernatan antimikroba dari media
produksi dengan inducer tripton 1% . Hal tersebut terjadi diduga karena pemanfaatan
kedua inducer lebih diarahkan sebagai nutrisi tambahan untuk perkembangbiakan
sel. Peningkatan jumlah sel diasumsikan berkorelasi positif dengan pembentukan
asam organik sebagai supernatan antimikroba. Semakin banyak jumlah sel yang
terbentuk mengakibatkan semakin banyak pula asam organik yang diproduksi
sehingga supernatan yang dihasilkan juga mempunyai tingkat keasaman yang lebih
tinggi dan dapat mengganggu pembentukan bakteriosin. Risyahadi (2009)
menuliskan hal yang sama bahwa jumlah biomassa bakteri asam laktat yang terlalu
banyak akan menghasilkan akumulasi jumlah asam laktat yang berlebihan dan akan
menurunkan nilai pH. Penurunan pH dapat mengganggu mikroba dalam biosintesis
bakteriosin.
Berbeda dengan kedua supernatan antimikroba yang mempunyai nilai pH
initial yang lebih rendah, media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai
nilai pH initial yang paling tinggi, yaitu 4,04-4,05. Tingginya nilai pH tersebut
mungkin disebabkan oleh kandungan nitrogen di dalam tripton yang lebih
dimanfaatkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 untuk pembentukan senyawa
antimikroba, terutama bakteriosin, daripada untuk perkembangbiakan sel, sehingga
asam organik yang dihasilkan juga lebih rendah.
Tripton merupakan salah satu sumber nitrogen yang dapat menghasilkan
aktivitas bakteriosin ST194BZ sebesar 12800 AU/ml dan berdasarkan beberapa hasil
yang diperoleh juga disimpulkan bahwa tingginya aktivitas bakteriosin berasal dari
penambahan tripton ke dalam media pertumbuhan dan bukan dari penambahan yeast
extract maupun meat extract. Bakteriosin ST194BZ adalah bakteriosin yang
dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum ST194BZ hasil isolasi dari Boza (Todorov
35
et al., 2005). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber
nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat. Bakteriosin dapat diproduksi
dari media dengan sumber karbohidrat yang berbeda (Savadogo et al., 2006).
Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum
1A5 yang dihasilkan dari keenam media produksi terhadap ketiga bakteri indikator
juga ditunjukkan dengan persentase diameter zona hambatnya yang dapat dilihat
pada Tabel 7. Persentase zona hambat tersebut diperoleh dari persentase hasil
perbandingan antara diameter zona hambat dari masing-masing media produksi
terhadap diameter zona hambat dari masing-masing media kontrol (Rashid et al.,
2009). Media kontrol merupakan media produksi dengan nilai pH initial yang
dikondisikan pada pH 5 atau pH 6.
Tabel 7. Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap
Bakteri Indikator
Media Produksi S. aureus
ATCC 25923
S. typhimurium
ATCC 14028 EPEC K11
--------------------------------- (%) ---------------------------------
NaCl 1%
pH 5 76,00 ± 28,70 67,61 ± 7,43 86,97 ± 12,76
pH 6 64,83 ± 11,99 70,74 ± 2,89 85,50 ± 19,40
Tripton 1%
pH 5 82,00 ± 17,80 101,89 ± 0,836 99,20 ± 3,07
pH 6 73,67 ± 15,76 104,54 ± 0,423 102,8 ± 21,90
NaCl 1% + YE 3%
pH 5 78,20 ± 19,40 79,25 ± 10,30 82,60 ± 18,40
pH 6 64,46 ± 8,43 88,60 ± 20,00 102,03 ± 7,95
Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)
Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)
Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator
Hasil analisis ragam pada persentase zona hambat supernatan antimikroba
Lactobacillus plantarum 1A5 bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923
dan EPEC K11 serta hasil uji Kruskal-Wallis terhadap Salmonella typhimurium
ATCC 14028 menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa
supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 pada
36
keenam media produksi yang berbeda mempunyai aktivitas penghambatan yang
tidak berbeda terhadap ketiga bakteri indikator.
Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba pada media produksi yang
cenderung lebih rendah dari media kontrol serta tidak berbedanya persentase
penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan
dari masing-masing media produksi terhadap ketiga bakteri indikator diakibatkan
oleh berkurangnya konsentrasi asam organik, terutama jenis asam tidak terdisosiasi,
dan juga terlalu rendahnya konsentrasi bakteriosin yang terbentuk untuk melawan
bakteri indikator. Hal ini juga didukung oleh Todorov et al. (2004) yang menyatakan
bahwa rendahnya aktivitas penghambatan pada media perlakuan dapat disebabkan
oleh berkurangnya aktivitas antimikroba dari bakteriosin akibat sensitifnya peranan
asam organik. Oleh karena itu, perlu dilakukan tahap lanjutan berupa purifikasi
parsial bakteriosin.
Purifikasi Parsial Bakteriosin
Tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini menggunakan supernatan
antimikroba yang berasal dari media produksi dengan masing-masing inducer yang
dikondisikan pada pH 6. Hal ini dimaksudkan agar dapat memaksimumkan aktivitas
antimikroba dari bakteriosin yang terbentuk dan juga diharapkan dapat mengurangi
bahkan menghilangkan aktivitas antimikroba dari asam organik. Hasil yang
didapatkan pada tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini untuk selanjutnya disebut
dengan ekstrak bakteriosin kasar 1A5.
Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 menunjukkan jenis protein yang hidrofobik
karena posisi endapan protein yang terpresipitasi berada melayang di bagian atas
supernatan antimikroba. Hal ini juga didukung oleh Abo-Amer (2007) yang
menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum AA135 menghasilkan bakteriosin yang
disebut dengan plantarisin AA135 dan mempunyai karakteristik protein yang
hidrofobik. Selain itu, kebanyakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam
laktat adalah berbentuk kecil, tahan panas, termasuk peptida-peptida kationik dan
mempunyai sifat hidrofobik (Jack et al., 1995; Savadogo et al., 2006).
Bagian hidrofobik di dalam molekul bakteriosin merupakan hal yang
diperlukan untuk aktivitasnya dalam menghambat bakteri sensitif karena inaktivasi
mikroorganisme oleh bakteriosin tergantung pada interaksi hidrofobik antara sel-sel
37
bakteri dengan molekul-molekul bakteriosin (Parada et al., 2007). Aktivitas
penghambatan ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari ketiga media produksi terhadap
masing-masing bakteri indikator ditunjukkan dengan rataan diameter zona hambat
yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap
Bakteri Indikator
Media Produksi S. aureus
ATCC 25923
S. typhimurium
ATCC 14028 EPEC K11
-------------------------- (mm) ------------------------
NaCl 1% (pH 6) 25,12 ± 0,72 7,19 ± 0,24 6,05 ± 0,91
Tripton 1% (pH 6) 27,10 ± 1,36 7, 99 ± 0,33 6,03 ± 0,90
NaCl 1% + YE 3% (pH 6) 22,06 ± 4,94 6,85 ± 0,51 6,55 ± 2,44
Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)
Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)
Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator
Hasil analisis ragam diameter zona haat, ketiga perlakuan ekstrak bakteriosin
kasar 1A5 tidak berbeda terhadap bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC
25923. Hasil tidak berbeda tersebut juga ditunjukkan pada hasil uji Kruskal-Wallis
terhadap bakteri indikator Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan EPEC K11.
Namun demikian, jika diartikan secara deskriptif, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 yang
dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% menghasilkan diameter
zona hambat terbesar, yaitu pada uji antagonistik melawan Staphylococcus aureus
ATCC 25923 dihasilkan diameter zona hambat sebesar (27,10 ± 1,36) mm dan pada
uji antagonistik melawan Salmonella typhimurium ATCC 14028 dihasilkan diameter
zona hambat sebesar (7,99 ± 0,33) mm. Kedua diameter zona hambat terbesar
tersebut sudah cukup dapat mewakili bahwa ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari
media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai aktivitas penghambatan
terbaik melawan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif meskipun tidak
menunjukkan aktivitas penghambatan terbaiknya melawan EPEC K11.
38
Gambar 9. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar Lactobacillus
plantarum 1A5 terhadap Bakteri Indikator
Diameter zona hambat untuk ketiga media produksi terhadap bakteri
indikator Gram positif (Staphylococcus aureus ATCC 25923) adalah paling besar
seperti pada Gambar 9. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan yang menyatakan
bahwa bakteriosin asal bakteri asam laktat kebanyakan hanya dapat menghambat
spesies yang kekerabatannya dekat atau mikroorganisme Gram positif lainnya (Vuyst
dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Helander et al., 1997; Holo et al., 2001;
Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Parada et al., 2007). Sejauh ini tidak cukup bukti
bahwa bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri Gram positif dapat menghambat
bakteri Gram negatif tanpa penambahan komponen aktif membran yang lain
(Ouwehand dan Vesterlund, 2004), misalnya EDTA (Helander et al., 1997).
Aktivitas antimikroba ekstrak bakteriosin kasar 1A5 (dengan inducer tripton 1%)
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dapat dilihat pada Gambar 10.
0
5
10
15
20
25
30
S. aureus ATCC
25923
S. typhimurium
ATCC 14028
EPEC K11
Dia
met
er Z
on
a H
am
bat
(mm
)
Bakteri Indikator
NaCl 1% pH 6 Tripton 1% pH 6 YE 3% dan NaCl 1% pH 6
S. aureus
ATCC 25923
S. typhimurium
ATCC 14028
39
Gambar 10. Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer
tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang juga
merupakan bakteri Gram positif mampu melewati dinding sel dan melakukan
aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri Gram positif lain karena merupakan
peptida-peptida kationik. Jack et al. (1995) menyatakan bahwa salah satu penentuan
aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara molekul-molekul
kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di permukaan sel, yang
salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan reseptor
bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Levinson (2004)
menyebutkan bahwa bakteri Gram positif mengandung lapisan tebal peptidoglikan
(15-80 nm) serta asam teikoat.
Proses kontak langsung antara molekul bakteriosin dengan membran sel
mampu mengganggu potensial membran berupa ketidakstabilan membran
sitoplasma. Ketidakstabilan tersebut mengakibatkan pembentukan lubang atau pori
pada membran sel melalui gangguan terhadap gaya gerak proton. Lubang yang
terbentuk pada membran sel menyebabkan terjadinya perubahan gradien potensial
membran dan pelepasan molekul intraseluler ataupun masuknya substansi
ekstraseluler sehingga pertumbuhan sel menjadi terhambat dan menghasilkan proses
kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin (Gonzales et al., 1996).
Berbeda dengan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif menunjukkan
sifat resistensinya terhadap kebanyakan bakteriosin asal bakteri Gram positif
(Herlander et al., 1997) karena selain mengandung lapisan tipis peptidoglikan
(± 8 nm) juga mempunyai lapisan terluar yang kompleks yaitu mengandung
40
lipopolisakarida, lipoprotein dan fosfolipid (Levinson, 2004). Sifat resistensi tersebut
merupakan bentuk perlindungan dari membran luar selnya dengan mengembangkan
fungsi hambat yang efisien melawan cairan hidrofobik dan makromolekul dari
bakteriosin (Herlander et al., 1997). Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien
dalam menghambat bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat
hidrofilik dan dapat menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004).
Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase
Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 yang dilakukan adalah uji sensitivitas
terhadap enzim katalase. Pengujian tersebut dilakukan bertujuan untuk memastikan
bahwa komponen aktif yang menghambat bakteri indikator pada tahap sebelumnya
adalah komponen bakteriosin yang terkandung di dalam ekstrak bakteriosin kasar
1A5 dan bukan oleh komponen antimikroba lainnya, terutama hidrogen peroksida
(H2O2). Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi
pertumbuhan yang aerob dan karena berkurangnya produksi katalase selular,
pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2 tersebut
sebagai alat pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal.
Hidrogen peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dijadikan
sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004).
Gambar 11. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan
dengan Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri
Indikator
27,10
8,00
13,30
7,18
0
5
10
15
20
25
30
S. aureus ATCC 25923 S. typhimurium ATCC
14028
Dia
met
er Z
on
a H
am
bat
(mm
)
Bakteri Indikator
tanpa enzim katalase dengan enzim katalase
S. aureus ATCC
25923
S. typhimurium
ATCC 14028
41
Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase menunjukkan
tingkat kesensitifan yang rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan masih terbentuknya
diameter zona hambat pada uji antagonistik melawan ketiga bakteri indikator melalui
aktivitas penghambatan bakteriosin kasar 1A5. Besarnya masing-masing diameter
zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan dan tanpa penambahan enzim katalase
dapat dilihat pada Gambar 11.
Diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 yang dengan penambahan
enzim katalase terlihat lebih kecil dibandingkan dengan yang tanpa penambahan
enzim katalase pada uji antagonistik, baik melawan bakteri Gram positif maupun
Gram negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan dari
bakteriosin kasar 1A5 berkurang sebesar 50,92% untuk Staphylococcus aureus
ATCC 25923 dan 10,25% untuk Salmonella typhimurium ATCC 14028. Dengan
demikian, terdapat indikasi bahwa aktivitas penghambatan tersebut dibentuk oleh
komponen aktif yang diduga sebagai bakteriosin bukan oleh hidrogen peroksida.
Hasil di atas serupa dengan hasil yang ditunjukkan oleh Rashid et al. (2009)
yaitu bakteriosin yang diproduksi oleh strain J2 40-2 hanya menghasilkan aktivitas
penghambatan sebesar 89% ketika substrat bebas selnya ditambah dengan enzim
katalase. Indikasi kurang berperannya hidrogen peroksida dalam aktivitas
penghambatan juga disampaikan oleh peneliti-peneliti lain bahwa tidak terdapat
perubahan aktivitas dari supernatan antimikroba yang mengandung bakteriosin pada
uji antagonistik melawan bakteri indikator setelah ditambah dengan enzim katalase
(Garriga et al., 1993; Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Todorov et al.,
2005; Abo-Amer, 2007).
Enzim katalase merupakan suatu hemoprotein yang mengandung 4 gugus
heme. Selain mempunyai aktivitas peroksidase, enzim katalase digunakan sebagai
penghancur H2O2 yang terbentuk oleh kerja enzim oksidase (Mayes, 1997). Enzim
katalase dapat dianggap sebagai peroksidase khusus yang mampu mengkatalisis
reaksi dekomposisi hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. Enzim katalase
mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen dan secara simultan
mereduksi molekul hidrogen peroksida yang lain menjadi air (Muchtadi et al., 1992).
Persamaan reaksi enzim katalase terhadap H2O2 sebagai berikut:
42
Hasil negatif dari uji antagonistik kontrol enzim katalase terhadap bakteri
indikator menghasilkan zona hambat. Hal tersebut berarti bahwa kemungkinan enzim
katalase juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri indikator. Hal
tersebut berarti bahwa komponen aktif yang menunjukkan aktivitas antimikroba pada
uji antagonistik dari bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim katalase
kemungkinan tidak hanya komponen bakteriosin melainkan juga residu katalase yang
masih terdapat di dalamnya dan keduanya menunjukkan sifat sinergis. Sifat sinergis
keduanya ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh uji
antagonistik dari kontrol terlihat lebih kecil daripada perlakuan enzim katalase,
seperti terlihat pada Gambar 12. Oleh karena itu, seharusnya aktivitas penghambatan
dari residu katalase perlu dihilangkan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk uji
antagonistik, yaitu melalui penetralan oleh enzim reduktase.
Kontrol Enzim Katalase Bakteriosin Kasar 1A5 dengan
Penambahan Enzim Katalase
Gambar 12. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan
Enzim Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC
25923
Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik
Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 juga dilakukan melalui uji sensitivitas
terhadap enzim proteolitik. Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengindikasikan
bahwa komponen utama yang aktif secara keseluruhan maupun sebagian pada
bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein setelah diinaktivasi oleh
beberapa enzim proteolitik (Bromberg et al., 2004). Enzim proteolitik atau yang
sering disebut dengan protease merupakan berbagai jenis enzim yang mencerna
protein menjadi unit-unit yang lebih kecil dimana enzim secara umum bertugas
43
sebagai katalisator dengan cara menurunkan energi aktivasi di dalam sel dan bersifat
khas (Murray, 2006).
Enzim proteolitik yang digunakan antara lain enzim pepsin dan enzim tripsin.
Penggunaan kedua enzim tersebut merujuk kepada sistem pencernaan manusia secara
kodrati bahwa enzim pepsin terdapat di dalam lambung dan enzim tripsin terdapat di
dalam pankreas. Enzim pepsin dikeluarkan oleh sel-sel peptik pada lapisan mukosa
lambung sedangkan enzim tripsin merupakan enzim utama yang terdapat di dalam
pankreas (Piliang dan Anwar, 1992). Keduanya bekerja memecah protein ke dalam
bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Peran utama protease ekstraseluler di
alam adalah menghidrolisis substrat polimer (polipeptida) berukuran besar menjadi
molekul kecil sehingga dapat diserap oleh sel (Suhartono, 1992).
Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik
menunjukkan tingkat kesensitifan yang berbeda antara enzim pepsin dan enzim
tripsin pada masing-masing bakteri indikator. Hasil uji Kruskal-Wallis diameter zona
hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan enterpathogenic Escherichia coli K11
(EPEC K11) menunjukkan hasil yang berbeda, sedangkan hasil analisis ragamnya
terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 menunjukkan hasil yang tidak
berbeda. Hal tersebut ditunjukkan oleh rataan diameter zona hambat pada uji
antagonistik terhadap masing-masing bakteri indikator dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan
Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator
Perlakuan S. aureus
ATCC 25923
S. typhimurium
ATCC 14028 EPEC K11
-------------------------- (mm) ------------------------
Enzim Pepsin 12,57a ± 1,37 9,10 ± 1,39 12,57
a ± 0,81
Enzim Tripsin 0,00b ± 0,00 6, 99 ± 0,65 0,00
b ± 0,00
Tanpa Enzim 27,10c ± 1,36 8,00 ± 0,33 6,03
c ± 0,90
Keterangan: Kolom S. typhimurium ATCC 14028 menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nyata (p-value ≤ 0,05)
Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator
Rataan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh bakteriosin kasar 1A5
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan perlakuan enzim pepsin
44
sebesar (12,57 ± 1,37) mm berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak
menghasilkan zona hambat. Hasil kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda
dengan hasil perlakuan yang tanpa enzim yaitu sebesar (27,10 ± 1,36) mm. Hal
tersebut dapat mengindikasikan bahwa komponen aktif di dalam bakteriosin kasar
1A5 kemunginan adalah komponen protein karena aktivitasnya diinaktifkan secara
sempurna oleh enzim tripsin dan diinaktifkan lebih dari setengah aktivitasnya
(53,62%) oleh enzim pepsin. Hasil penelitian Garriga et al. (1993) yang
menyebutkan bahwa hanya enzim tripsin dari empat enzim yang digunakan (antara
lain enzim tripsin, pepsin, proteinase K dan nagarse) yang mampu menghilangkan
aktivitas penghambatan dari bakteriosin terhadap bakteri indikator.
Enzim tripsin diproduksi oleh pankreas dalam bentuk tripsinogen dan diubah
menjadi tripsin oleh enterokinase atau secara autokatalitik pada pH 8. Enzim tripsin
bekerja menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil lisin dan arginin
(Suhartono, 1992). Poedjiadi (1994) juga menyatakan bahwa enzim tripsin
merupakan famili dari protease serin karena mempunyai residu serin pada sisi
aktifnya (Suhartono, 1992) yang memecah protein pada gugus karboksil dari asam
amino lisin dan arginin, kecuali protein tersebut diikuti oleh prolin.
Enzim pepsin hanya dapat menginaktifkan sebagian aktivitas bakteriosin
kasar 1A5 diduga karena pengaruh pH 6 dari bakteriosin itu sendiri yang dapat
menginaktifkan kerja enzim pepsin. Enzim pepsin menjadi inaktif karena terjadinya
peningkatan pH ketika dilakukan pencampuran dengan bakteriosin kasar 1A5
meskipun sebelumnya enzim pepsin telah diaktifkan oleh buffer pengaktif enzim
yang mempunyai pH rendah sesuai dengan pH lambung, yaitu pH 3. Oleh karena itu,
seharusnya bakteriosin kasar 1A5 tidak dikondisikan pada pH 6 terlebih dahulu atau
masih berada pada kondisi pH basal ketika perlakuan enzim pepsin. Hal tersebut
dimaksudkan agar tidak mengganggu aktivitas enzim pepsin untuk menghidrolisis
komponen protein di dalam bakteriosin kasar 1A5. Setelah itu, perlu dilakukan
pengkondisian bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim pepsin pada pH netral
sebelum dilakukan uji antagonistik terhadap bakteri indikator guna menghindari
pengaruh komponen asam dari campuran keduanya. Aktivitas hambat bakteriosin
kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap bakteri indikator dapat
dilihat pada Gambar 13.
45
Keterangan: T = enzim tripsin; P = enzim pepsin
Gambar 13. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim
Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Enzim pepsin merupakan famili dari protease asam, yaitu enzim yang
keaktifannya disebabkan oleh adanya 2 gugus karboksil pada sisi aktifnya
(Suhartono, 1992). Enzim pepsin dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam
bentuk pepsinogen, yaitu calon enzim yang belum aktif. Pepsinogen tersebut
kemudian diaktifkan menjadi pepsin dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994) yang
disekresi dari mukosa lambung (Piliang dan Anwar, 1992). Enzim pepsin
menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin,
triptofan, leusin, glutamat dan glutamin (Suhartono, 1992).
Rataan diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 serupa dengan terhadap EPEC K11.
Rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar (12,57 ± 0,81) mm
berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak menghasilkan zona hambat. Hasil
kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda dengan hasil perlakuan tanpa enzim
yaitu sebesar (6,03 ± 0,90) mm. Hasil analisis ragam dari diameter zona hambat
dengan perlakuan enzim terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028
menunjukkan bahwa rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar
(9,10 ± 1,39) mm tidak berbeda dengan perlakuan enzim tripsin sebesar (6,99 ± 0,65)
mm dan tidak berbeda pula dengan perlakuan tanpa enzim sebesar (8,00 ± 0,33) mm.
Rataan diameter zona hambat dengan perlakuan enzim pepsin pada bakteri
indikator Gram negatif (Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan EPEC K11) lebih
besar daripada yang tanpa enzim. Hal tersebut selain disebabkan oleh kemungkinan
masih terdapatnya pengaruh komponen asam yang terdapat di dalam buffer pengaktif
46
enzim yang mempunyai pH rendah, juga didukung oleh spektrum penghambatan
bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit terhadap bakteri Gram negatif seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Berbeda dengan kedua bakteri indikator lainnya, ternyata Salmonella
typhimurium ATCC 14028 juga berhasil dihambat oleh bakteriosin kasar 1A5 setelah
diberi perlakuan enzim tripsin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih
terdapatnya sisi aktif yang mampu menghambat Salmonella typhimurium ATCC
14028 meskipun ikatan peptida protein dari bakteriosin kasar 1A5 telah berhasil
dihidrolisis oleh enzim tripsin. Sisi aktif yang masih berperan tersebut menyerang
bagian sensitif tertentu pada Salmonella typhimurium ATCC 14028 yang diduga
tidak dimiliki oleh Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan enterpathogenic
Escherichia coli K11 (EPEC K11).
Hasil uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik secara
keseluruhan berbeda dengan hasil peneliti yang lain. Aktivitas antimikroba dari
bakteriosin yang dihasilkan oleh strain bakteri asam laktat asal susu fermentasi
Burkina Faso (Savadogo et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum ST13BR asal
bir Barley (Todorov et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum asal yogurt hasil
industri rumah tangga di Mesir (Abo-Amer, 2007) dan isolat Streptococcus bovis J2
40-2 asal susu fermentasi tradisional Dahi (Rashid et al., 2009) diinaktifkan secara
sempurna oleh semua enzim proteolitik yang digunakan, antara lain enzim pepsin,
tripsin, α-khimotripsin dan papain. Oleh karena itu, bakteriosin-bakteriosin tersebut
diindikasikan sebagai komponen protein dan merupakan karakterisitik bakteriosin
secara umum (Savadogo et al., 2004).
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide
Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5
Penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5 dengan metode kontak
merupakan tahap terakhir yang dilakukan untuk menentukan besarnya aktivitas
bakteriosin kasar 1A5 terhadap bakteri indikator, khususnya Staphylococcus aureus
ATCC 25923. Bakteri indikator yang digunakan pada tahap ini hanya
Staphylococcus aureus ATCC 25923 karena melihat spektrum penghambatan ekstrak
bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit pada tahap purifikasi parsial bakteriosin,
yaitu mempunyai aktivitas penghambatan yang kuat terhadap bakteri Gram positif
47
dan lemah terhadap bakteri Gram negatif. Hasil antagonistik bakteriosin kasar 1A5
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 melalui metode kontak tersebut
ditunjukkan dengan nilai MIC dan MBC yang dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan
Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar
1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Konsentrasi minimum penghambatan atau nilai MIC terhadap Staphylococcus
aureus ATCC 25923 ditunjukkan oleh 70% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5.
Konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 sebesar 70% tersebut dapat menghambat
pertumbuhan bakteri indikator hingga mencapai (4,93 ± 0,9) log cfu/ml selama 24-48
jam masa inkubasi. Kubo (1993) menyatakan bahwa Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) ditentukan dari konsentrasi terendah senyawa antimikroba
yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang telah ditentukan. Nilai
Minimum Bactericide Concentration (MBC) menurut Vigil et al. (2005) adalah
konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh sebanyak
103 cfu/ml populasi bakteri indikator. Nilai MBC bakteriosin kasar 1A5 ditunjukkan
oleh konsentrasi sebesar 80% yang dapat membunuh 3 log cfu/ml Staphylococcus
aureus ATCC 25923 hingga mencapai (3,46 ± 0,6) log cfu/ml selama 24-48 jam
masa inkubasi.
5,35 0,1
6,25 0,25,97 0,3 5,99 0,1
5,62 0,5 5,50 0,6 5,47 0,6
4,93 0,9
3,46 0,6
2,38 0,0
0
1
2
3
4
5
6
7
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ju
mla
h K
olo
ni
yan
g T
um
bu
h
(log c
fu/m
l)
Persentase Bakteriosin Kasar 1A5 (%)
MIC
MBC
48
Penurunan jumlah koloni untuk masing-masing kombinasi perlakuan pada
metode kontak mengacu pada kontrol sebesar (6,25 ± 0,2) log cfu/ml yang
merupakan jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan 10% konsentrasi
bakteriosin kasar 1A5. Penentuan kontrol tersebut disebabkan oleh paling tingginya
jumlah koloni yang tumbuh dibandingkan dengan jumlah koloni pada kombinasi
perlakuan yang lain, bahkan pada kombinasi perlakuan dengan 0% konsentrasi
bakteriosin kasar 1A5. Tingginya jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan
10% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 disebabkan oleh bakteri indikator yang masih
dapat memanfaatkan nutrisi yang masih terdapat pada sisa media pertumbuhan yang
di dalam substrat bakteriosin kasar 1A5 selain nutrient broth (NB) yang berlaku
sebagai media metode kontak sendiri.
49
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Produksi bakteriosin kasar asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang
mempunyai aktivitas antimikroba paling optimal terhadap ketiga bakteri indikator
(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dihasilkan oleh media dengan
inducer tripton 1% yang dikondisikan pada pH 6. Karakterisasi bakteriosin kasar
1A5 menunjukkan bahwa komponen aktif yang bekerja menghambat ketiga bakteri
indikator adalah komponen antimikroba berupa bakteriosin yang merupakan
komponen protein. Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum
Bactericide Concentration (MBC) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
masing-masing adalah 70% dan 80% bakteriosin kasar 1A5.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan optimasi produksi
bakteriosin yang dipengaruhi oleh faktor nutrisi, pH maupun suhu. Perlu dilakukan
penelitian untuk menemukan pengganti media pertumbuhan bakteri asam laktat yang
lebih murah dan lebih mudah didapat guna mengoptimalkan produksi bakteriosin,
serta perlu dilakukan karakterisasi bakteriosin lebih lanjut menggunakan enzim
proteolitik yang lain (misalnya α-khimotripsin dan papain) dan enzim-enzim lain
selain enzim proteolitik (misalnya lipase dan amilase). Perlu juga diperlukan metode
lain (misalnya HPLC atau kromatografi) untuk purifikasi bakteriosin.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta para keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si
(selaku pembimbing skripsi yang juga sebagai pembimbing akademik) dan Ibu Dr.
Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA yang telah membimbing, mengarahkan,
meluangkan waktu serta memberi semangat kepada penulis, mulai saat penyusunan
proposal, selama penelitian berjalan dan penulisan skripsi hingga ujian akhir sarjana.
Penulis kembali mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie
Maheswari, DEA selaku dosen penguji seminar, serta terima kasih kepada Bapak
Ahmad Yani, STP., MSi. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan selaku dosen
penguji sidang atas masukan-masukannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah tersayang Sudarsono dan Ibu
tercinta Emi Sumartini yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat,
dukungan penuh secara materil dan selalu mendoakan yang terbaik untuk
keberhasilan penulis. Terima kasih kepada Vighar Choirul Iqbal yang selalu
menguatkan, serta keluarga besar di Probolinggo atas segala dukungan dan doa yang
selalu mengalir dari pertama masuk hingga penyelesaian studi di IPB. Terima kasih
kepada Aditya Prasetya atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar LaRuBa (Edit
L. A., S.Pt., Dudi F., Siti K., Triani W., Ratih P., Umar W. dan M. Tito G.) serta
mbak Ari PAU atas bantuannya selama penelitian, teman senasib dan seperjuangan
Lamria Magdalena, keluarga besar tim penelitian (Ruben P., Astiani T. W., Fitri N.,
Lianti M., Puspita C. W., Anisa T. W., Retno P. K. D. dan Tantri S.), seluruh warga
IPTP 42, sahabat yang selalu ada (Nedia S., Reriel A. S., Restu M. dan Vivin K. W.)
dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala dukungan,
keceriaan, kebersamaan, perhatian, nasehat, kritik dan saran yang selalu diberikan.
Terakhir Penulis ucapakan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas
Peternakan IPB. Semoga skripsi ini berguna bagi masa depan.
Bogor, Nopember 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abo-Amer, A. E. 2007. Characterization of a bacteriocin-like inhibitory substance
produced by Lactobacillus plantarum isolated from Egyptian home-made
yogurt. Sci. Asia. 33: 313-319.
Adam, M. R. and M. O. Moss. 2007. Food Microbiology.
http://books.google.co.id/books?id [01 September 2009].
Arief, I. I. 2005. Karakteristik dan nilai gizi protein daging sapi dark firm dry (DFD)
hasil fermentasi Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari daging sapi.
Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Perguruan Tinggi Hibah Bersaing XIII/I.
Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Arifin, M. 2009. Escherichia coli di air minum kita.
http://inspeksisanitasi.blogspot.com/2009/05/eschericia-coli.html [01
September 2009].
Axelsson, L. 2004. Lactic acid bacteria: classification and physiology. In: Salminen,
S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors). Lactic Acid Bacteria
Microbiological and Functional Aspects. 3rd
Edition, Revisied and Expanded.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Bacteriological Analytical Manual. 2001. Aerobic plate count.
http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-toc.html [25 Juli 2009].
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000.
Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada daging (CFU/g). Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Beavers, G. H. 2005. Microbiology. http://www.micro.iastate.edu/ugrad/student-
micro-image.html [29 Juli 2009].
Bomberg, R., I. Moreno, C. L. Zaganini; R. R. Delboni and J. De Oliveira. 2004.
Isolations of bacteriocin-producing lactic acid bactreria from meat and meat
products and its spectrum of inhibitory activity. Brazili. J. Microbiol. 35: 137-
144.
Branen, A. L. 1993. Introduction to use of antimicrobials. In: Davidson, P.M. and A.
L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 2nd
Edition, Revisid and
Expanded. Marcell Dekker, New York.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Clark, J. 2007. Asam kuat dan asam lemah. http://www.chem-is-try.org [26 Oktober
2009].
El-Naggar, M. Y. M. 2004. Comparative study of probiotik culture to control the
growth of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella typhimurium. J.
Biotechnol. 3 (2): 173-180.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fox, A. 2000. Enterobacteriaceae, vibrio, campylobacter and helicobacter.
http://www.thailabonline.com/bacteria4.htm [29 Juli 2009].
Frazier, W. C. and O. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4th
Edition. McGraw-
Hill Book Co., Singapore.
Garriga, M., M. Hugas, T. Aymerich and J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic
activity of lactobacilli from fermented sausages. J. Appl. Bacteriol. 75: 142-
148.
Gaspersz,V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung.
Gill, C. O. 1982. Microbial interaction with meat. In: Brown, M. H. (editor). Meat
Microbiology. Applied Science Publishers, Ltd., London.
Gillen, A. L. 2009. The genesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus.
http://www.answersingenesis.org/articles/aid/v4/n1/genesis-of-mrsa [29 Juli
2009]
Gonzales, B. E., E. Glaasker, E. R. S. Kunji, A. J. M. Driessen, J. E. Suarez and W.
N. K. Onings. 1996. Bactericidal mode of action of Plantaricin S. Appl.
Environ. Microbiol. 62: 2701-2709.
Hartoko. 2009. Analisis bahaya pada pangan.
http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/analisis-bahaya-pada-
pangan/ [01 September 2009].
Helander, I. M., A. von Wright and T. M. Mattila-Sandholm. 1997. Potential of lactic
acid bacteria and novel antimicrobial against Gram negative bacteria. Trends
in Food Sci. and Technol. Vol. 8.
Hidayati, N. 2006. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi L. plantarum asal daging
sapi dan aplikasinya pada kondisi pembuatan sosis fermentasi. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Holo, H., Z. Jeknic, M. Daeschel, S. Stevanovic and I. F. Nes. 2001. Plantaricin W
from Lactobacillus plantarum belongs to a new family of two–peptide
lantibiotics. Microbiol. 147: 643-651.
Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. T. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994.
Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th
Edition. Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia.
Holzapfel, W. H. 1998. The Gram-positive bacteria associated with meat and meat
Production. In: Davis, A. and R. Board (editors). The Microbiology of Meat
and poultry. Blackie Academic and Profesional, London.
Hoover, D. G. and H. Chen. 2005. Bacteriocins with potential for use in food. In:
Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in
Food. 3rd
Edition. Taylor and Francis Group, New York.
Hugas, M. and J. M. Monfort. 1997. Bacterial starter cultures for meat fermentation.
Food Chem. (59) 4: 547-554.
53
Jack, R. W., J. R. Tagg and B. Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria.
Microbiol. Rev. 59: 1416-1429.
Jenie, S.L., dan S. E. Rini. 1995. Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies
Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Bul. Teknol.
Industri Pangan. 7(2) : 46-51.
Jimenez-Diaz, R. 1993. Plantaricin S and two new bacteriocins produced by
Lactobacillus plantarum LPC010 isolated from a green olive fermentation.
Appl. Environ. Microbiol. 59: 1416-1429.
Kubo, I. H., H. Muroi and M. Himejima. 1993. Antimicrobial activity against
Streptococcus mutan of tea flavor component. J. Agric. Food Chem. 42:107-
111.
Levinson, W. 2004. Medical Microbiology and Immunology. Examination and
Broad Review. 8th
Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill, New York.
Mayes, P. A. 1997. Oksidasi biologi. Dalam: Murray, R. K., D. K. Granner, P. A.
Mayes and V. W. Rodwell. Biokimia Harper (editor). Edisi 24. Terjemahan
A. Hartono. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta.
McKane, L. and J. Kandel. 1985. Microbiology: Essential and Application. McGraw-
Hill Book Company, New York.
Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Murray, M. T. 2006. What are proteolytic enzymes? Proteolytic enzymes in cancer
therapy. http://www.doctormurray.com/articles/pdfs/ProteolyticsInCancer.
pdf [14 Agustus 2008].
Nielsen, S. S. 1998. Food Analysis. 2nd
Edition. Aspen Publisher Inc., Gaithersburg,
Maaryland.
Nielsen, S.S. 2003. Food Analysis Laboratory Manual. Plenum Publisher, New York.
Nowroozi, J., M. Mirzaii and M. Norouzi. 2004. Study of Lactobacillus as probiotic
bacteria. Iran. J. Publ. Health. 33 (2): 1-7.
Ogunbawo, S. T., A. I. Sanni and A. A. Onilude. 2003. Influence of cultural
conditions on the production of bacteriocins by Lactobacillus brevis OG1.
Afric. J. Biotechnol. 2 (7): 179-184.
Ouwehand, A. C. and S. Vesterlund. 2004. Antimicrobial components from lactic
acid bacteria. In: Salminen, S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors).
Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. 3rd
Edition,
Revisied and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
Parada, J. L., C. R. Caron, A. B. P. Medeiros and C. R. Soccol. 2007. Bacteriocin
from lactic acid bacteria: purification, properties and use as biopreservatives.
Bracilli. Arch. J. Biol. Technol. 50 (3): 521-542.
54
Pelczar, M. J. and R. D. Rheid. 1986. Microbiology. McGraw-Hill Book Co., New
York.
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemahan R. S.
Hadioetomo, T. Imas, S. D. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Permanasari, R. 2008. Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil
isolasi dari daging sapi dan aktivitas antagonistiknya terhadap bakteri
patogen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Piliang, W. G. dan H. M. Anwar. 1992. Biokimia dan Fisiologi Gizi. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat
Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantari dan C.C. Nurwitri. 1992.
Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rashid, Md. Hu., K. Togo, M. Ueda and T. Miyamoto. 2009. Characterization of
bacteriocin produced by Streptococcus bovis J2 40-2 isolated from traditional
fermented milk ’Dahi’. Anim. Sci. J. 80: 70-78.
Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd
Edition. CRC Press, New York.
Rini, E.S. 1995. Aktivitas antimikroba dari Lactobacillus terhadap bakteri patogen
dan perusak ikan Rucah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Risyahadi, S. T. 2009. Optimasi formula media pertumbuhan isolat bakteri SCG
1223 penghasil bakteriosin berbasis ekstrak taoge. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Russell, A.D. 2005. Mechanisms of action, resistance and stress adaption. In:
Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in
Food. 3rd
Edition. Taylor and Francis Group, New York.
Samelis, J. and J. N. Sofos. 2003. Organic acids. In: Roller, S. (editor). Natural
Antimicrobial for the Minimal Processing of Foods. Woodhead Publishing,
Ltd., London.
Sani, H. A. 2008. Biokomia klinikal gangguan metabolisme protein dan asid amino.
http://www.karyanet.com.my/knet/ebook/preview/p_Biokimia_Klinikal_Gan
gguan_Metabolisme_Protein_dan_Asid_Amino.pdf [26 Juli 2008].
Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore. 2004. Antimicrobial
activities of lactic acid bacteria strain isolated from Burkina Faso fermented
milk. Pakistan J. Nutr. 3 (3): 174-179.
Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore. 2006. Bacteriocins
and lactic acid bacteria – a minireview. Afric. J. Biotechnol. 5 (9): 678-683.
55
Simpson, R. J. 2006. Fractional Precipitation of Proteins by Ammonium Sulfate.
http://cshprotocols.cshlp.org/cgi/content/extract/2006/16/pdb.prot4309?print=
true [16 Juni 2009].
Smid, E. J. and L. G. M. Gorris. 2007. Natural antimicrobials for food preservation.
In: Rahman, M. S. (editor). Handbook of Food Preservation. 2nd
Edition.
CRC Press, New York.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Suhartono, M. T. 1992. Protease. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Alumni, Bandung.
Todorov, S. D., C. A. van Reenen and L. M. T. Dicks. 2004. Optimization of
bacteriocin production by Lactobacillus plantarum ST13BR, a strain isolated
from barley beer. J. Gen. Appl. Microbiol. 50: 149-157.
Todorov, S. D. and L. M. T. Dicks. 2005. Effect of growth medium on bacteriocin
production by Lactobacillus plantarum ST194BZ, a strain isolated from boza.
Food Technol. Biotechnol. 43 (2): 165-173.
Torkar, K. G. and B. B. Matijasic. 2003. Partial characterization of bacteriocins
produced by Bacillus cereus isolates from milk and milk products. Food
Technol. Biotechnol. 41 (2): 121-129.
Venema, K., M. L. Chikindas, J. F. M. L. Seegers, A. J. Haandrikman, K. J.
Leenhouts, G. Venema and J. Kok. 1997. Rapid and efficient purification
method for small, hydrophobic, cationic bacteriocins: purification of
lactococcin B and pediocin PA-1. Appl. Environ. Microbiol. 63 (1): 305-
309.
Vigil, A.M. L., E. Palou, M. E. Parish and P. M. Davidson. 2005. Methods for
activity assay and evaluation of results. In: Davidson, P.M., J. N. Sofos and
A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 3rd
Edition. Taylor and
Francis Group, New York.
Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme. 1994. Lactic acid bacteria and bacteriocins: their
practical importance. In: Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme (editors).
Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria. Microbiology, Genetic and Application.
Blakie Academic and Profesional, London.
Wijayanto, U. 2009. Analisis in vitro toleransi bakteri asam laktat terhadap pH
lambung dan garam empedu sebagai kandidat probiotik. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
56
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan
Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media
Produksi yang Berbeda terhadap Staphylococcus aureus
ATCC 25923
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F P
Media Produksi 5 771,9 154,4 0,47 0,794
Galat 12 3966,0 330,5
Total 17 4737,9
Lampiran 2. Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan
Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media
Produksi yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium
ATCC 14028
Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z
NaCl 1% pH 5 3 71,69 4,7 -1,72
Tripton 1% pH 5 3 102,11 13,0 1,24
YE 3% + NaCl 1% pH 5 3 79,91 7,7 -0,65
NaCl 1% pH 6 3 71,54 5,0 -1,60
Tripton 1% pH 6 3 104,73 16,0 2,31
YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 88,03 10,7 0,41
Total 18 9,5
H = 10,82 Db = 5 P = 0,055
Lampiran 3. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan
Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media
Produksi yang Berbeda terhadap enteropathogenic
Escherichia coli K11 (EPEC K11)
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F P
Media Produksi 5 1247,0 249,4 1,05 0,435
Galat 12 2861,3 238,4
Total 17 4108,3
58
Lampiran 4. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F P
Lama Simpan 2 38,732 19,366 2,17 0,195
Galat 6 53,480 8,913
Total 8 92,213
Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028
Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z
NaCl 1% pH 6 3 7,200 4,2 -0,65
Tripton 1% pH 6 3 8,120 8,0 2,32
YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 6,680 2,8 -1,68
Total 9 5,0
H = 5,80 Db = 2 P = 0,055
Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin
Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11
(EPEC K11)
Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z
NaCl 1% pH 6 3 6,550 4,5 -0,39
Tripton 1% pH 6 3 6,380 4,5 -0,39
YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 6,580 6,0 0,77
Total 9 5,0
H = 0,61 Db = 2 P = 0,739
Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar
1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z
Enzim Pepsin 3 12,03 5,0 0,00
Enzim Tripsin 3 0,00 2,0 -2,32
Tanpa Enzim 3 27,15 8,0 2,32
Total 9 5,0
H = 7,45 Db = 2 P = 0,024
59
Uji lanjut multiple range
[Ri-Rj] [Ri-Rj] ≤ Z[K(N+1)/6]0.5
R1-R2 12,57 > 4,1*
R1-R3 14,53 > 4,1*
R2-R3 27,10 > 4,1*
Lampiran 8. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5
dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella
typhimurium ATCC 14028
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F P
Enzim 2 0,015098 0,007549 4,72 0,059
Galat 6 0,009593 0,001599
Total 8 0,024691 Keterangan: data yang digunakan adalah data yang telah ditransformasi logaritma karena data asli
yang didapat tidak memenuhi Uji Asumsi Analisis Keragaman
Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar
1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap
enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)
Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z
Enzim Pepsin 3 12,40 8,0 2,32
Enzim Tripsin 3 0,00 2,0 -2,32
Tanpa Enzim 3 6,38 5,0 0,00
Total 9 5,0
H = 7,45 Db = 2 P = 0,024
Uji lanjut multiple range
[Ri-Rj] [Ri-Rj] ≤ Z[K(N+1)/6]0.5
R1-R2 12,57 > 4,1*
R1-R3 6,54 > 4,1*
R2-R3 6,03 > 4,1*
60
Lampiran 10. Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer
NB untuk Penentuan MIC dan MBC
Lampiran 11. Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus
plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat
Lampiran 12. Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm)
Presipitat
Supernatan
Antimikroba
Amonium
sulfat
61