keliy anan literasi - kemdikbuddonasibuku.kemdikbud.go.id/files/4/5c9d786a9e3d4.pdf21, yaitu...

182
Keliyanan Literasi i Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan 2018

Upload: others

Post on 12-Feb-2020

91 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Keliyanan Literasi i

KE

LIY

AN

AN

LIT

ER

AS

I

Kementerian Pendidikan dan KebudayaanDirektorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan2018

Residensi Pegiat Literasiii

Keliyanan Literasi iii

NARASI PRAKTIK BAIKPENGGIAT LITERASI NUSANTARA

KELIYANAN LITERASIM e n g i n s t a l B u d a y a d a n S o s i a l

KEMENTERIANPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Kementerian Pendidikan dan KebudayaanDirektorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan

2018

Residensi Pegiat Literasiiv

KELIYANAN LITERASIMENGINSTAL BUDAYA DAN SOSIAL

NARASI PRAKTIK BAIKPENGGIAT LITERASI NUSANTARA

PengarahIr. Harris Iskandar, Ph.DDr. Abdul KaharDr. Firman Hadiansyah

PenanggungjawabDr. Kastum

SupervisiWien MuldianArifur AmirMoh AlipiFarinia FiantoMelviSiti Nurul AiniErna Fitria NH

PenulisVudu Abdul RahmanDea AdityaBudi HarsoniNisrina HanifahRafdi Almas AtsalistQiny Shonia Az Zahra

Penyelaras AksaraMoh. Syaripudin

Tata Letak Ali Rokib

Desain SampulLeo Ruslan Aryadinata

EditorFatih ZamErik HK

ISBN : 978-602-53384-0-3

Diterbitkan olehDirektorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan KesetaraanKementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hak Cipta dilindungi undang-undangDilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Keliyanan Literasi v

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat

Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta

huruf, namun yang dipastikan masyarakatnya sebagian besar

belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi

makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Negara kami

adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat,

membaca untuk harga-harga, membaca untuk melihat lowongan

pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak

bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral

di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera

sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.

―~Seno Gumira Ajidarma, Trilogi Insiden

Koichiro Matsuura (Direktur Umum UNESCO,

2006), menegaskan kemampuan literasi baca-tulis

adalah langkah pertama yang sangat berarti untuk

membangun kehidupan yang lebih baik. Sebab, literasi

baca- tulis merupakan pintu awal minat baca masyarakat

dengan syarat tersedia bahan bacaan berkualitas. Selain itu,

Sambutan

Residensi Pegiat Literasivi

baca tulis merupakan salah satu literasi dasar yang disepakati

Forum Ekonomi Dunia 2015. Sedangkan lima literasi dasar

lain yang harus menjadi keterampilan abad 21, terdiri

dari; literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi

finansial, serta literasi budaya dan kewargaan.

Jauh sebelum negeri ini dinyatakan berada di posisi “hampir

terendah” dalam kemampuan literasi, karya sastra telah

berkembang pesat, sejak 957 Saka (1035 Masehi). Menurut

Teguh Panji yang kerap terlibat dalam penelitian situs-situs

Majapahit, dalam Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit bahwa

Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa diadaptasi dari cerita

epik Mahabharata (Hal 36: 2015). Sejarah memang tidak dapat

diulang, tetapi dapat dijadikan tolok ukur bahwa bangsa ini

memiliki riwayat literasi yang tinggi.

Mengingat perubahan global yang sangat cepat, warga

dunia dituntut memiliki kecakapan berupa literasi dasar,

karakter, dan kompetensi. Ketiga keterampilan yang ditegaskan

dalam Forum Ekonomi Dunia 2015 tersebut memantik bangsa-

bangsa di dunia untuk merumuskan mimpi besar pendidikan

abad 21. Karakter yang disepakati dalam forum tersebut

meliputi; nasionalisme, integritas, mandiri, gotong royong, dan

religius. Sedang kompetensi sebuah bangsa yang harus dimiliki,

yaitu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Keliyanan Literasi vii

Jika ketiga kecakapan abad 21 dapat diampu bangsa

Indonesia, maka sembilan nawacita pemerintah dapat terlaksana.

Kesembilan nawacita tersebut meliputi (1) menghadirkan kembali

negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa

aman kepada seluruh warga negara; (2) membuat pemerintah

selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang

bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya; (3) membangun

Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah

dan desa dalam kerangka negara kesatuan; (4) memperkuat

kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan

terpercaya; (5) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;

(6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar

internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan

bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (7) mewujudkan

kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik; (8) melakukan revolusi karakter

bangsa; serta (9) memperteguh kebinekaan dan memperkuat

restorasi sosial Indonesia.

Pratiwi Retnaningdiyah menilai literasi sebagai salah satu

tolok ukur bangsa yang modern. Literasi, baik sebagai sebuah

keterampilan mau pun praktik sosial, mampu membawa hidup

seseorang ke tingkat sosial yang lebih baik, (Suara dari Marjin:

144).

Residensi Pegiat Literasiviii

Berdasarkan Deklarasi Praha (UNESCO, 2003), sebuah

tatanan budaya literasi dunia dirumuskan dengan literasi

informasi (Information Literacy). Literasi informasi tersebut

secara umum meliputi empat tahapan yakni, literasi dasar

(Basic Literacy); kemampuan meneliti dengan menggunakan

referensi (Library Literacy); kemampuan untuk menggunakan

media informasi (Media Literacy); literasi teknologi (Technology

Literacy); dan kemampuan untuk mengapresiasi grafis dan teks

visual (Visual Literacy).

Menjadi kuno bukan berarti membuka pintu masa lalu

untuk sekadar merayakan keluhuran sebuah bangsa. Anak-

anak, remaja, dan orang tua merupakan bagian dari masyarakat

abad 21 yang tengah berjarak dengan tradisi dan budaya.

Kenyataannya, masyarakat dahulu lebih paham menjaga

alam dengan kearifan lokalnya. Petuah-petuah leluhur telah

terabadikan dalam prasasti-prasasti yang semestinya dijiwai.

Muhajir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebuda ya-

an Republik Indonesia, menyatakan sejarah peradaban

umat manusia menunjukkan bahwa bangsa yang maju tidak

dibangun hanya dengan mengandalkan kekayaan alam yang

melimpah dan jumlah penduduk yang banyak. Bangsa yang

besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang

memiliki peradaban tinggi dan aktif memajukan masyarakat

dunia. Keliterasian dalam konteks ini bukan hanya masalah

Keliyanan Literasi ix

bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan

juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki

kecakapan hidup agar mampu bersaing dan bersanding dengan

bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan

kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan

kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis,

kreatif, dan komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan

global. Hal itu menegaskan bahwa Indonesia harus mampu

mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan

hidup abad ke-21, melalui pendidikan yang terintegrasi; mulai

dari keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Persiapan menghadapi tantangan abad 21, semua pihak

wajib berkolaborasi dalam membangun ekosistem pendidikan.

Terdapat tribangun lingkungan yang harus sambung-

menyambung sebagaimana semangat tripusat pendidikan

gagasan Ki Hajar Dewantara. Lingkungan keluarga, masyarakat,

dan sekolah harus dibangun jembatannya tanpa terputus. Ketiga

lingkungan ini harus berkelindan agar menjadi jalan untuk

mengantarkan sebuah negara pada tujuannya. Menyiapkan

sumber daya manusia yang bernas sejak halaman pertama dari

ketiga lingkungan pendidikan.

Gerakan literasi keluarga, masyarakat, dan sekolah

digencarkan semua pihak setelah berbagai penelitian

memosisikan Indonesia di titik nadir. Aktivitas komunitas-

Residensi Pegiat Literasix

komunitas literasi dalam mendekatkan buku dengan

masyarakat sangat gencar. Harapan muncul kemudian agar

penggiat dengan masyarakat benar- benar memahami makna

yang terkandung dalam bacaan. Masyarakat yang terbangun

budaya bacanya diharapkan dapat memberdayakan diri di

era digital dan revolusi industri 4.0. Negeri ini tengah bangkit

mengejar kemajuan negeri- negeri lain agar sejajar harkat dan

derajat kebangsaannya.

Jakarta, 31 Agustus 2018

Direktur Jenderal

Ir. Harris Iskandar, Ph.D

Keliyanan Literasi xi

Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan

Bahan bacaan berkualitas bangsa ini, sejak zaman Hindia

Belanda tidak pernah kekurangan. Balai Poestaka telah

menyebarluaskan terbitan buku-buku di tengah masyarakat,

sejak 15 Agustus 1908. Bahkan setelah menerbitkan Pandji

Poestaka, Balai Poestaka juga menerbitkan edisi mingguan

berbahasa Sunda; Parahiangan dan majalah berbahasa Jawa;

Kejawen, yang terbit dua kali seminggu.

Pengantar yang dikutip dari Drs. Polycarpus Swantoro

pada halaman 53 dalam karyanya, Dari Buku ke Buku–

Sambung Menyambung Menjadi Satu, merupakan

gambaran bangsa ini literat sejak lama. Permasalahan terjadi

kemudian ketika perkembangan zaman melesat begitu cepat.

Oleh sebab itu, upaya pemerintah dalam meningkatkan

keliterasian masya rakat terus digalakkan. Terutama dalam

menghadapi tantangan abad 21, di era revolusi industri

4.0 yang serba digital.Secara faktual, masyarakat belum

mengoptimalkan teknologi dan informasi dengan baik. Hal

Pengantar

Residensi Pegiat Literasixii

tersebut dapat dibuktikan dalam penggunaan masyarakat

terhadap media sosial yang belum produktif.Kerja keras

dalam memberi pencerahan kepada masyarakat dalam

mengolah, menyaring, dan memproduksi informasi melalui

penguatan literasi terus dilaksanakan. Terdapat enam literasi

dasar yang harus segera dimaknai masyarakat, yakni literasi

baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital,

literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan

Sejak tahun 2017, Direktorat Jenderal Pembinaan

Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan PAUD dan Pendidikan

Masyarakat (Dit.Bindiktara) mengadakan Program Residensi

Penggiat Literasi.Kegiatan ini merupakan sarana bagi para

penggiat literasi untuk saling belajar dan saling berbagi

inspirasi mengenai praktik- praktik baik yang sudah dilakukan

di derahnya masing- masingnya.Program ini bertujuan untuk

meningkatkan kapasitas atau kemampuan penggiat literasi,

terutama dalam pengembangan enam literasi dasar, untuk

diterapkan di TBM.

Tahun 2018, Program Residensi dilaksanakan di enam

TBM, yaitu Rumah Baca Bakau (Deli Serdang, Sumatera

Utara), TBM Kuncup Mekar (Gunung Kidul, Yogyakarta), TBM

Evergreen (Jambi), TBM Warabal (Parung, Bogor), Rumpaka

Percisa (Tasikmalaya, Jawa Barat), dan Rumah Hijau Denassa

(Gowa, Sulawesi Selatan). Enam TBM yang menjadi tuan

Keliyanan Literasi xiii

rumah pelaksana program residensi diseleksi berdasarkan

program dan praktik baik yang telah mereka lakukan dalam

mendenyutkan gerakan literasi di daerahnya masing- masing

dan memiliki dampak positif di masyarakat. Para penggiat literasi

yang menjadi peserta program residensi diseleksi melalui esai

kreatif tentang kegiatan yang dilakukan di TBM dan komunitas.

Narasumber di setiap program residensi berasal dari penggiat

literasi, kalangan profesional, budayawan, dll.

Apresiasi yang diberikan Presiden Republik Indonesia,

Bapak Joko Widodo, dengan mengundang sejumlah penggiat

literasi yang inspiratif ke Istana Negara, pada Hari Pendidikan

Nasional, 2 Mei 2017, menjadi tonggak sejarah gerakan literasi

di Tanah Air. Dalam pertemuan tersebut, Ketua Umum Forum

Taman Bacaan Masyarakat menyerahkan 8 Bulir Rekomendasi

Literasi kepada presiden dan mendapatkan responss positif dari

kepala negara. Sejak saat itu, gerakan literasi di masyarakat

semakin semarak dan berkembang.Dit. Bindiktara yang

selama ini memberikan dukungan terhadap gerakan literasi

masyarakat pun meresponss positif langkah-langkah yang telah

dilakukan Presiden, Bapak Joko Widodo, dengan melakukan

inovasi dan pengembangan program ke arah yang bertujuan

untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan penggiat literasi

dan memberikan stimulasi dalam pengembangan program

dan kegiatan di masing-masing TBM. Tidak hanya itu, dalam

Residensi Pegiat Literasixiv

program Residensi, para pelaksana dan peserta diwajibkan

untuk membuat tulisan yang kemudian diterbitkan dalam

bentuk buku, seperti buku yang saat ini sedang Anda baca. Hal

ini mengejawantahkan maksud Koichiro Matsuura (Direktur

Umum UNESCO, 2006) yang menegaskan bahwa kemampuan

literasi baca tulis adalah langkah pertama yang sangat berarti

untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Literasi baca-

tulis pun disepakati Forum Ekonomi Dunia 2015 beserta lima

literasi dasar lainnya yang harus menjadi keterampilan abad

21, yaitu literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi

finansial serta literasi budaya dan kewargaan.

Program Residensi 2018 menghasilkan 14 buku yang

menjadi produk nyata pengetahuan hasil pengembangan praktik

baik para penggiat literasi. Ke-14 buku tersebut diterbitkan

dalam seri Narasi Praktik Baik Penggiat Literasi Nusantara

dengan judul- judul: Sains dan Kreasi, Sains, Pustaka dan

Semesta, Mengeja Tas Belanja, Merangkai Aksara, Menjaring

Finansial, Imaji Numerasi, Yang Berhitung Yang Beruntung,

Identitas Warga Bangsa, Kultur dan Tradisi Nusantara, Yang

Tersirat dan Yang Tersurat, Guratan Ekspresi Gerakan Literasi,

Dakwah Literasi Digital, Keliyanan Literasi, Literasi dalam Saku,

dan Realitas Virtual.

Keliyanan Literasi xv

Semoga 14 buku praktik baik produksi pengetahuan para

penggiat literasi hasil program residensi ini dapat mewarnai

bahan bacaan berkualitas yang bisa disebarluaskan di tengah

masyarakat.Menginspirasi para penggiat literasi yang tersebar

di seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke, dari

pulau Mianggas sampai pulau Rote untuk diterapkan dan

dikembangkan di TBM dan di komunitasnya masing- masing.

Salam literasi.

Jakarta, 31 Agustus 2018

Direktur

Dr. Abdul Kahar

Residensi Pegiat Literasixvi

Keliyanan Literasi xvii

Daftar Isi

Sambutan ........................................................................... iii

Pengantar ........................................................................... ix

Prolog ................................................................................ xvii

Keliyanan Literasi; Dari Kebudayaan, Digital,

Hingga Sosial ..................................................................... 1

Oleh : DEA ADITYA

TBM Kuli Maca di Era Digital: Transformasi Mengejar

Ketertinggalan ................................................................... 25

Oleh : BUDI HARSONI

Literasi Sebagai Benteng Arus Digital ................................. 47

Oleh : NISRINA HANIFAH

Media Sosial Sebagai Pengembangan Jaringan TBM

(Taman Bacaan Masyarakat) .............................................. 71

Oleh : RAFDI ALMAS ATSALIST

Perihal Menulis dan Bercakap-cakap

di Era Revolusi Industri 4.0 ................................................ 85

Oleh : QINY SHONIA AZ ZAHRA

Foto-foto Kegiatan Residensi ............................................. 103

Residensi Pegiat Literasixviii

Keliyanan Literasi xix

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA

Literacy Cyber Army

Oleh : VUDU ABDUL RAHMAN

Menghadirkan literasi di tengah

warga dengan menggunakan

Balai Kampung KB

Bantarsari merupakan penguatan

literasi keluarga dan masyarakat

yang digelorakan Rumpaka Percisa.

Komunitas multiliterasi dan kreativitas

yang saya dirikan sejak 12 Juni 2010

ini, sempat berpindah-pindah tempat. Bahkan,

tidak memiliki markas, kerap meminjam lahan atau

halaman siapa saja yang bersedia. Menempati balai

Residensi Pegiat Literasixx

warga dilakukan sebagai langkah baru sebagai bagian

spektrum gerakan literasi yang berhamburan di

antara langit dan bumi Indonesia. Balai Kampung KB

Bantarsari digunakan sebagai markas Rumpaka Percisa

sejak pertengahan 2017. Selain mewujudkan tujuan

sederhana penggunaan Balai Warga Kampung KB

sebagai pusat kegiatan

literasi Rumpaka Percisa,

adalah kebutuhan

sosial sebagai warga

RT 004 dan RW 016

Kelurahan Nagarasari,

Kecamatan Cipedes,

Kota Tasikmalaya.

Berusaha untuk memberi

kontribusi mulai dari

lingkungan terdekat;

keluarga dan masyarakat.

Pengembangan Kapasitas

Penggiat Literasi Bidang Literasi Digital hanyalah

ledakkan agar masyarakat terpapar energi multiliterasi.

Banyak temuan di luar dugaan selama bergiat

di tengah warga, pertemuan dengan Suplan Azhari,

misalnya. Seorang sepuh yang tinggal di depan balai,

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

“Pengembangan Kapasitas

Penggiat Literasi Bidang Literasi

Digital hanyalah ledakkan agar

masyarakat terpapar energi multiliterasi”

Keliyanan Literasi xxi

ia asli dari Bangka, memutuskan tinggal di wilayah

Bantarsari untuk menikmati masa senja bersama istri

tercinta. Ketertarikan terhadap dunia literasi, merelakan

dirinya untuk menjadi penasihat Rumpaka Percisa. Ia

pun bersedia merelakan rumahnya dengan status free

charge sebagai tempat home stay para tamu. Didin

Jayana, selaku ketua Rukun Warga 16 Bantarsari pun

rela menjadi pembina. Suplan Azhari, B.Sc., yang telah

berusia 72 tahun bersedia menjadi keluarga Rumpaka

merupakan hadiah dari Tuhan. Ia memang telah renta,

tapi memiliki kejutan dengan menerbitkan buku pada

usia 70 tahun. Bagi kami, kesediaannya adalah kabar

gembira. Meskipun napas dan geraknya terbatas,

tetapi napak tilasnya telah meretas. Begitu juga Didin

Jayana yang masih memiliki tenaga demi warga. Kami

semacam menemukan sebuah tempat singgah yang

ramah. Menarik napas lebih panjang untuk diembuskan

dengan bebas. Fadhilah Candra Nurjaman yang memiliki

motivasi tinggi dalam menggerakkan muda-mudi pun

berusaha keras dalam membantu gerakan Rumpaka. Jika

Wanti Susilawati yang bertugas dalam administrasi dan

menjabat sekretaris Rumpaka telah diasah sejak tahun

2015. Ia cekatan dalam mengurus administrasi yang

kerap terabaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Sinta

Dewi Vaira, Yanuar Effendi, Bagus Framerius, Inggri

Residensi Pegiat Literasixxii

Dwi Rahesi, Intan Puspitasari, dan Syswandi dianggap

kerap membantu selama ini. Mereka bagian dari jejak

sejarah Rumpaka, mulai dari nama Percisa hingga Mata

Rumpaka sebagai rumah baru.

Orang-orang saling memberi tahu peristiwa, tidak

lagi melalui percakapan di beranda. Paviliun yang

biasanya ramai dengan percakapan para perempuan

anggun, tak lagi mengalun. Tempat-tempat paling dekat

dengan rumah pun telah ngungun. Semua orang berada

dalam dunia yang diameternya sangat kecil. Saling

pandang melalui layar kaca dan berkomunikasi dengan

gerak jemari-jemari untuk mengetik kalimat-kalimat

realita. Pesannya dihantarkan gelombang udara ke

tangan siapa saja dalam hitungan detik. Aku dan kamu

pun ada di dalamnya. Terkadang tidak menjadi bagian

perdebatan, tetapi menyaksikan keributan dan hanya

diam. Bahkan, menjadi pelaku atau peniru. Seluruh

indera diisap sebuah kekuatan realitas virtual. Orang-

orang tengah berada dalam satu kotak yang pengap dan

hampa.

Tidak masalah berada di lingkaran warga meski

hanya menyimak dan mendengarkan saja. Paling tidak,

mereka merasa nyaman untuk mengungkapkan rahasia

yang telah lama terpendam. Tidak akan ada yang pernah

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxiii

tahu jika lalu-lintas waktu dianggap angin lalu. Kau tak

pernah hadir dalam kerumunan yang hal-hal sederhana

adalah bermakna sangat mahal. Siap-siap menyeka

keringat, ketika ledakkan dahsyat meletus tiba-tiba.

Anggapan udik dan tidak tahu apa-apa terhadap warga

justru tidak paham keadaan lingkungan sekitar. Sekali

lagi, pastikan orang-orang di sekitar rela menjadi bumi.

Sebab jika tidak, kau

hanya akan melayang

semacam berjalan di atas

bulan; hampa.

Beberapa peserta

berinisiatif tiba lebih

awal ke lokasi residensi

literasi digital. Willy

Satria, peserta dari Bukit

Tinggi tiba-tiba hadir di

Balai Rumpaka Percisa.

Ia menuju lokasi pada

Senin malam, pukul 23.30 WIB, 23 Juli 2018. Ia tidak

kordinasi dengan Yanuar Effendi sebagai petugas

dalam penjemputan. Para peserta dijemput dengan

menggunakan mobil berkapasitas 16 orang dari pinjaman

Pemerintah Kota Tasikmalaya. Kami mengajak Willy ke

“Tidak akan ada yang pernah tahu

jika lalu-lintas waktu dianggap

angin lalu. Kau tak pernah hadir dalam

kerumunan yang hal-hal sederhana adalah

bermakna sangat mahal”

Residensi Pegiat Literasixxiv

Pergola Coffee Corner untuk menikmati secangkir kopi

Priangan. Disusul Aditya Prayoga dari Lubuk Linggau,

Budi Harsoni, Mawadah, Kusni, dan Fatih Ardiansyah

dari Banten. Mereka diistirahkan di Kopi Naw-naw

yang telah berkordinasi untuk dijadikan tempat singgah.

Komunitas-komunitas Tasikmalaya bersedia memberi

tempat kepada saudara

sebangsa, setanah, seair,

seudara Indonesia.

Setelah mendalami

konteks literasi digital

yang telah dikembangkan

Rumpaka Percisa,

konvergensi media

menjadi tema khusus yang

ditelaah dan diserap para

penggiat terpilih yang

magang selama 4 hari,

mulai 24 27 Juli 2018.

Para peserta residensi diharapkan dapat menemukan

makna pengembangan literasi digital di Tasikmalaya.

Kecakapan menggunakan media digital dengan

beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh

informasi dan berkomunikasi. Literasi Digital membuat

“Para peserta residensi

diharapkan dapat

menemukan makna

pengembangan literasi digital di Tasikmalaya”

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxv

seseorang mampu: Berpikir kritis, kreatif, dan inovatif,

memecahkan masalah, berkomunikasi dengan lebih

lancar, berkolaborasi dengan lebih banyak orang (gln.

kemdikbud.go.id).

Beragam konten media sosial tersebar sangat cepat,

sebuah informasi hanya perlu sepersekian detik untuk

sampai di genggaman warganet. Entah peristiwa

kecelakaan, fenomena alam, hujatan, kekerasan,

pelakoran dan keadaan sebuah wilayah di pelosok.

Semua warganet hanya mengklik sebuah tautan,

terkadang tidak sadar menganggap diri sebagai Tuhan,

merasa tahu segalanya tanpa hak dan kewajiban.

Oleh sebab itu, penguatan literasi digital merupakan

tema besar yang wajib digali kedua puluh peserta dari

berbagai wilayah Indonesia.

Ketentuan tersebut berdasarkan surat Direktorat

Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan,

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan

Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 335/C4.2/MS/2018 dalam rangka

Bimbingan Teknis Penerima Bantuan Peningkatan

Minat Baca yang dilaksanakan di MG Setos Hotel Jalan

Residensi Pegiat Literasixxvi

Inspeksi Gajahmada Semarang, Jawa Tengah, 24 – 27

Juli 2018. Ditindaklanjuti oleh surat dengan nomor

1471/C4.2/MS/2018 tentang perihal kesediaan tempat

pelaksanaan kegiatan residensi penggiat literasi, tahun

2018.

Diharapkan para peserta yang mewakili dari

beberapa wilayah Indonesia tersebut dapat mengikuti

kegiatan residensi dengan mendapatkan pencerahan.

Dampak pelaksanaan residensi literasi digital ini tidak

sekadar sebuah program. Namun, menjadi alasan untuk

menguatkan tujuan bersama dalam rangka penguatan

masyarakat yang literat di era digital. Diharapkan

pengembangan literasi digital yang telah dilaksanakan

Rumpaka Percisa dapat menyebar ke seluruh nusantara.

Dalam pelaksanaan residensi literasi digital yang

diselenggarakan Direktorat Pembinaan Pendidikan

Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud RI bekerja sama

dengan Rumpaka Percisa Kota Tasikmalaya, merancang

sebuah kegiatan berdasarkan pedoman realitas virtual.

Para peserta diperkuat dengan pendalaman materi

kepenulisan, pemahaman literasi digital, dan praktik

literasi digital. Mengupas konsep konvergensi media

yang dijadikan karya audiovisual untuk dipresentasikan.

Selain itu, sebagai bahan dasar untuk dijadikan bahan

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxvii

buku yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Pendidikan

Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud RI.

Prinsip pengembangan literasi digital menurut

Mayes dan Fowler (2006) bersifat berjenjang.

Terdapat tiga tingkatan pada literasi digital. Pertama,

kompetensi digital yang meliputi keterampilan, konsep,

pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital

yang merujuk pada pengaplikasian kompetensi digital

yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga,

transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan

inovasi pada dunia digital.

Kegiatan pembelajaran lebih mengaktifkan peserta

residensi literasi digital sebagai pusat pembelajar (student

center). Pemateri memberikan arahan terhadap peserta

dalam pengembangan kepenulisan, konten, kreativitas,

dan produktivitas dalam bermedia sosial. Diharapkan

para peserta dapat memiliki kemampuan kontrol sosial,

mencari pekerjaan, berjejaring dalam skala lokal,

interlokal, nasional, dan internasional. Oleh sebab itu,

para peserta dijadikan kontributor sementara dalam

sebuah rumah digital, sebuah laman rumpakapercisa.

tk. Mereka harus merekam peristiwa agar menjadi jejak

digital. Rumpaka Percisa berinisiatif memfasilitasi para

peserta untuk mendalami proses kreatif dalam realitas

Residensi Pegiat Literasixxviii

virtual.

Adapun tujuan pengembangan laman

rumpakapercisa.tk sebagai upaya tindak lanjut kegiatan

yang menjadikan para peserta sebagai literacy cyber

army. Para peserta tidak sekadar memahami literasi

digital sebagai internet sehat, menangkal pemberitaan

palsu alias hoaks, dan pengguna media sosial yang

pasif dan tak beradab. Para peserta dapat memiliki

kemampuan dalam memproduksi informasi, karya tulis,

fotografi, videografi yang memberi wawasan alternatif

kepada warganet. Laman rumpakapercisa.tk dijadikan

tempat singgah digital dalam bermedia sosial bagi

para peserta. Hal ini bertujuan untuk menindaklanjuti

kegiatan residensi agar berdampak menasional.

Konvergensi Media bermakna pengintegrasian atau

penggabungan beragam media untuk dijadikan titik pusat

dan tujuan dalam menyebarkan informasi. Istilah lain

konvergensi media adalah internet itu sendiri. Literacy

Cyber Army sebuah kelompok atau pasukan maya yang

akan bergerak dalam memengaruhi dunia digital dengan

produktivitas, kreativitas, dan bersifat pencerahan.

Para peserta adalah literacy cyber army yang terbentuk

pascaresidensi literasi digital di Rumpaka Percisa Kota

Tasikmalaya. Peserta residensi ini dijadikan contoh

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxix

untuk para penggiat lainnya untuk pengembangan

Konvergensi Media dalam ranah Literacy Cyber Army

di wilayah masing-masing. Para peserta merupakan 20

orang terpilih yang esai tentang literasi digitalnya telah

melalui tahap seleksi.

Para pemateri

disampaikan ahli di

bidangnya masing-

masing: Wien Muldian

(Aktivis/Praktisi/Pengagas

Literasi Kemdikbud RI),

Acep Zam-zam Noor

(Penyair), Duddy RS

(Penggiat Literasi Digital

dan Media), Nero Taopik

Abdillah (Gubernur

FTBM Jawa Barat), Ai

Nurhidayat (Pengagas

Kelas Multikultural), Iwok Abqary (Penulis Novel

Populer).

Capaian kompetensi para peserta dapat memahami

konsep literasi digital yang telah dikembangkan

Rumpaka Percisa dan komunitas kreatif Tasikmalaya.

Para peserta mampu membuat karya tulis tentang literasi

“Konvergensi Media bermakna

pengintegrasian atau penggabungan beragam media untuk dijadikan titik pusat dan tujuan dalam menyebarkan

informasi.”

Residensi Pegiat Literasixxx

digital. Kedua puluh peserta tersebut dapat memiliki

kemampuan untuk mengembangkan “Konvergensi

Media: Literacy Cyber Army” dalam pengembangan

literasi digital yang difasilitasi laman rumpakapercisa.tk.

Kompetensi yang diharapkan pascakegiatan,

yaitu: Berpikir kritis,

kreatif, dan inovatif.

Berkomunikasi baik.

Berkolaborasi dengan

banyak pihak. Berkarya

tulis, audio, visual, dan

audiovisual. Berjejaring

secara luas. Indikator

dalam menyiapkan

literacy cyber army,

yaitu: Peserta memiliki

informasi lengkap tentang

literasi digital. Peserta

memahami beragam aplikasi, fitur, platform, dan

laman. Peserta mengetahui beragam tautan yang dapat

dijadikan referensi. Peserta mampu mengoperasionalkan

akun media sosial dengan baik dan produktif. Peserta

memahami peran content creator/editor, writer,

fotografer, videografer, dan narator. Peserta memiliki

“Peserta memiliki

kemampuan untuk dijadikan

literacy cyber army demi masa depan Indonesia

lebih baik”

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxxi

kemampuan untuk dijadikan literacy cyber army demi

masa depan Indonesia lebih baik.

Materi pendukung dalam menguasai literasi digital,

di antaranya: Proses Kreatif Menulis Puisi. Menggali

Kekayaan Alam dan Budaya Daerah dalam Penulisan

Populer. Masyarakat Mandiri Informasi Era Digital.

Penguatan Literasi Digital Terhadap Kelas Multikultural.

TBM Sebagai Ruang Gerakan. Gerakan Literasi Lokal:

Mengembangkan Kreativitas Literasi dan Membangun

Jejaring Kolaborasi dalam Upaya Meningkatkan Literasi

Masyarakat.

Titik Spiral Residensi Literasi mulai dari Balai Warga

Rumpaka Percisa yang berlokasi di Jalan Sukagenah,

Ke-lurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota

Tasikmalaya. Lokasi tersebut merupakan titik pusat

kegiatan residensi yang digunakan untuk arahan,

kontrak belajar, dan pendalaman materi.

Menurut penerima penghargaan South East Asian

(SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 2005,

bahwa memahami puisi dan memahami prosa ada

bedanya. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan

dalam puisi berbeda dengan yang dipakai prosa.

Memahami puisi mungkin sedikit lebih rumit dibanding

memahami prosa. Kerumitan ini terjadi karena cara

Residensi Pegiat Literasixxxii

melukiskan pengalaman dalam puisi biasanya berlapis-

lapis, tidak langsung atau runtut seperti halnya dalam

kebanyakan prosa. Penyair tidak sekadar memberikan

keterangan dan penjelasan kepada pembacanya tentang

apa yang ingin disampaikan, tapi juga memperhitungkan

keindahan bunyi, keharmonisan irama, kekayaan imaji,

ketepatan simbol, rancang bangun kata-kata dan lain

sebagainya. “Kekayaan Alam dan budaya menjadi modal

besar dalam sebuah penulisan,” Iwok Abqary, pemateri

kedua mengawali pemaparannya. “Literasi tidak sekadar

mengenalkan tentang membaca, menulis, dan berhitung.

Terlebih, literasi mengenalkan pada pemahaman isi

buku tersebut,” lanjutnya sambil memantik diskusi. Ai

Nurhidayat (Boy) mengajak para peserta mengubah pola

pikir kebangsaan. Perbedaan yang kerap dimanfaatkan

kepentingan politik sebagi pemantik huru-hara. Boy,

pendiri kelas multicultural, memberikan gambaran

keindonesiaan melalui komunitas dan sekolah yang

didirikannya. Para peserta didik yang diundang dari

berbagai wilayah Indonesia, di sekolahkan di SMK Bakti

Karya, Parigi, Kabupaten Pangandaran. Sedang Duddy

RS menyampaikan materi tentang konvergensi media

yang telah digagasnya bersama Pondok Media dalam

program Pesantren Media. Sebuah karya audiovisual

jurnalistik yang dibuat spontan, ia presentasikan di

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxxiii

depan para peserta. Ia menekankan kepekaan para

peserta untuk menangkap peristiwa di sekitar yang

dapat dijadikan bahan informasi dan inspirasi.

Pergola Coffee Corner, sebuah kedai di Jalan

Mohammad Hatta merupakan titik lokasi sejarah

pengembangan multiliterasi yang digagas anak-

anak muda pencinta kopi. Pada hari kedua, setelah

pendalaman materi dari beragam narasumber, para

peserta menggali karya multiliterasi dalam bentuk

audiovisual, (Rabu, 25 Juli 2018). Para peserta menggali

dan menyerap proses kreatif, bedah karya multiliterasi,

dan diskusi. Para peserta residensi diarahkan menuju

Pergola Coffee Corner untuk mengeksplorasi karya

anak-anak muda Tasikmalaya yang mewujudkan ide

menjadi karya. Gagasan terkadang deras mengalir,

tetapi kerap menguap tak berupa. Para peserta menggali,

menyaring, dan mengambil saripati bahan materi yang

dapat dikembangkan di wilayahnya masing-masing.

Para peserta residensi literasi digital memiliki cara

dalam menjaga kebahagiaan selama kegiatan. Diisi

beragam materi soal pemahaman literasi digital, praktik

baik pengembangan literasi digital, eksplorasi karya

digital, dan membuat karya digital serta berkarya tulis

untuk dijadikan bahan buku. Kedua puluh peserta yang

Residensi Pegiat Literasixxxiv

hadir dalam penyelenggaraan residensi literasi digital,

bukan semata-mata kekuatan tangan seseorang yang

memiliki kuasa. Mereka terpilih bukan saja atas dirinya

sendiri. Semua kembali pada titik awal. Ini berhubungan

dengan kehendak trispiritual: dirinya, alam, dan Tuhan.

Keseluruh materi yang disampaikan narasumber

merupakan informasi untuk memperkuat pemahaman

para peserta dalam pengembangan literasi digital.

Peran Peserta dalam kegiatan residensi dibagi menjadi 4

kelompok yang beranggotakan 5 orang. Setiap anggota

dalam kelompok memiliki peran: Content Creator/

Editor; mengagas bentuk kreativitas atau produksi

yang akan dikembangkan dalam kemampuan literasi

digital selama kegiatan. Writer; menerjemahkan dalam

bahasa tulis; puisi, cerpen, esai, dan lain-lain. Narator;

membacakan/Mendeklamasikan gagasan yang telah

dinarasikan penulis. Fotografer; menerjemahkan

gagasan yang dikembangkan content creator dalam

fotografi. Videografer; menerjemahkan gagasan yang

dikembangkan content creator dalam videografi.

Tugas setiap kelompok wajib membuat karya dalam

bentuk audiovisual sesuai dengan peran dan fungsi serta

tugas setiap anggotanya. Karya tersebut dipresentasikan

pada Rabu malam, 26 Juli 2018. Pohon gagasan

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxxv

Konvergensi Media tersebut diilustrasikan sebagai

berikut:

Pohon Gagasan Konvergensi Media, yaitu tema

besar setiap kelompok yang telah disepakati anggota

untuk dijadikan titik pusat dalam penggembangan sub-

sub tema pada ranting-ranting. Fungsi pohon gagasan

tersebut dapat digunakan untuk karya audiovisual

sekaligus bahan dasar buku yang dirancang setiap

kelompok. Perhatikan contoh pembagian tema dan sub

tema sebagai berikut:

Gambar 1: Pohon Gagasan untuk karya audiovisual dan kerangka buku praktik baik literasi digital.(Ilustrator: Leo Ruslan Aryandinata)

Residensi Pegiat Literasixxxvi

Tema: Mayarakat Mandiri Informasi Era Digital

Sub Tema 1: Peran Media Sosial Terhadap

Pengem-bangan Taman Bacaan Masyarakat.

Sub Tema 2: Mengubah Haluan Media Sosial.

Sub Tema 3: Berawal dari Pemburu Kuis.

Sub Tema 4:Belajar

Jujur dari Film

Inspiratif.

Sub Tema 5: Kata-

kata adalah Mantra,

Intelektualitas Penulis

dalam Musik Cadas.

Tema besar di atas

dikembangkan dalam

bentuk audiovisual

yang dipraktikkan di area Kampung Hawu, Taman

Karangresik, Kota Tasikmalaya, (Kamis, 26 Juli 2018).

Penyelenggara memberikan waktu, mulai pukul 08.00 –

12.00 WIB. Mempraktikkan Pohon Gagasan Konvergensi

Media menjadi karya digital (audiovisual) sebagai bahan

presentasi. Para peserta diajak ke lokasi fenomenal

di Kota Tasikmalaya itu bukan untuk berwisata,

“Diwisuda guru besar,

sang penentu kelulusan, tapi ia tidak berwujud,

lebih kepada kata benda; kerelaan.”

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxxvii

bahkan berleha-leha. Setiap kelompok bertugas untuk

memanfaatkan area wisata tersebut sebagai latar atau

bahan dalam melengkapi karya audiovisual yang

dikembangkan dalam konsep konvergensi media.

Setiap kelompok berproses kreatif selama hampir 5 jam,

mulai pukul 08.30 – 14.30 WIB. Setiap anggota telah

dibagi peran sebagai content creator/editor, narator,

writer, fotografer, dan videografer. Setiap kelompok

mempresentasikan karya audiovisualnya di markas

raamfest.com yang berlokasi dalam naungan Cabin

Creative, Jalan Ampera Nomor 165. Lokasi terakhir

dalam kegiatan residensi literasi digital ini merupakan

sebuah markas offline raamfest.com dalam menampung

karya, acara, dan aktivitas anak-anak muda Tasikmalaya

dan Indonesia.

Berdasarkan keputusan takdir sebuah universitas

kreativitas yang hanya 2 semester, sekumpulan

mahasiswa berhasil menuntaskan kuliah pendeknya.

Diwisuda guru besar, sang penentu kelulusan, tapi ia

tidak berwujud, lebih kepada kata benda; kerelaan.

Tasikmalaya yang digadang-gadang pemberi pesan

itu didatangi langsung utusan-utusan Indonesia. Pesan

yang disampaikan langsung di dekat telinga dan

Residensi Pegiat Literasixxxviii

depan matanya. Bukankah ini keajaiban ketika, “Dari

Tasikmalaya untuk Indonesia dan Dunia” adalah sebuah

doa yang menarik mereka berada di bawah langit Kota

Tujuh Stanza? Bersyukurlah! Berkaryalah! “Wahai

manusia-manusia tangguh!” gelegar sang deklamator,

Zebugh Abdul Jabbar dalam theme song “Mahakarya

Tasikmalaya” yang digubah lirik dan musiknya oleh

Abe Melodrama.

Jika sebuah kegiatan membuat diri terluka dan tidak

bahagia untuk apa? Banyak orang yang membuat kami

tetap berdiri hingga hari ini. Kami yakini bahwa orang-

orang baru akan merapat untuk merelakan dirinya

sebagai generasi. Apresiasi setinggi apa pun, tidak akan

mampu membayar sebuah kerelaan. Terlalu mahal jika

harus dibayar materi yang jelas akan cepat habis. Sedang

tenaga dan pikir mereka dikuras habis-habisan, tetapi

cinta membayar pengorbanannya. Terus memompa

jantung untuk mengalirkan oksigen baru melalui sungai

pembuluh gerakan.

Lingkaran pada suatu dimensi, ternyata sebuah

bumi virtual hanya maha kecil. Seperti diam, tetapi

gerik terus gerak; tanpa badan berpindah-pindah.

Menyentuh dinding-dinding yang dingin. Menghapus

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xxxix

lajur yang ngungun dan tidak lagi dibangun. Inilah kode

Tuhan untuk selalu berani memulai dari nol. Proses air

menyerap ke dalam tanah, bisa jadi isapan magnet bumi

yang berkekuatan natural. Ia kemudian menjadi residu

dan memperkuat empedu. Waktu tidak akan mencari-

cari teduh, ia akan menjadi siang dan malam, menjadi

terik dan keluh.

Kembali membaca semesta mulai halaman pertama.

Menulis jejak agar dibaca sesiapa. Belajar dalam

perjalanan dan menyerap pelajaran. Melanjutkan

pencarian dan semoga menemukan arti baru. Setelah

menemukan jalan, tidak lantas senyum lepas. Semacam

tangisan-tangisan bayi yang lahir di seluruh dunia.

Begini saja, dalam pertandingan sepakbola piala dunia

sekalipun berlaku. Siapa yang menangis dan tersenyum

di akhir pertandingan? Biasanya, mereka yang tetap

kukuh bersama adalah pemenangnya. Bersama-sama

menyerang dan bertahan dari kekalahan. Apakah hidup

juga sebuah pertandingan? Tentu saja, bertanding

melawan diri sendiri yang paling menguras energi.

Terkadang, kekalahan seseorang ditentukan saat peluit

ditiup pada akhir waktu setiap individu. Ia berakhir

menjadi ‘apa’ dan ‘siapa’ ketika Tuhan mengutus

makhluk setiaNya.

Residensi Pegiat Literasixl

Topik sabtu malam menjadi terlalu gaib untuk seorang

kawan yang beberapa bulan lalu masih berbicara soal

usaha. Beberapa indikasi pernah diketahui bahwa

keabsurdan terjadi karena bermula dari cara berpikir

rasional menjadi irasional. Dua keajaiban begitu cepat

mendekat malam ini. Anak-anak baru yang tidak lama

bertemu dengan seorang kawan yang masih lenguh.

Spirit terus tumbuh sedang raga mesti merunduk

karena usia. Malam yang terlalu dingin semacam akhir-

akhir ini, barangkali bagian dari pesan sakral dugaan

seorang lelaki dari ibu kota yang membawa berlian atau

lumpur legam.

Betapa, sungai begitu deras. Bukan karena musim

hujan telah datang. Bukan pula keadaan cuaca di ujung

kemarau. Ini persoalan risau yang kemudian dihantam

gebalau. Ini juga bagian dari bahasa yang diterjemahkan

semesta bahwa ketika tali-tali yang memintal kuat

terputus dan mengerut, tidak selalu kusut. Tidak ada

yang sia-sia dengan masa sulit, jalan keluar terkadang

disembunyikan waktu. Ia hanya memberi gambaran

abstrak bahwa jarum jam ingatan tetap bergulir.

Menerjemahkan maksud Tuhan yang tengah mencintai

para musafir. Mereka bersembunyi dari cahaya bukan

MEMBANGUN PASUKAN LITERASI MAYA LITERACY CYBER ARMYOleh : Vudu Abdul Rahman

Keliyanan Literasi xli

berarti mencintai gelap. Selamat pagi Tasikmalaya,

semoga bening bergelantungan pada ujung-ujung daun

kesturi. Bisa saja berupa embun pada pundak para

penggembala yang tengah memandang kosong sabana.

Mari bertualang menuju padang baru yang mengasah

kemauan semakin luas.

Angin benar-benar hegemoni di malam-malam

anomali. Menjadi penyusup yang masuk dari ujung

pintu kaki hingga bersembunyi di sudut kepala. Nada

bicara orang-orang mulai jembar. Ini bukan sekadar

dampak cuaca, melainkan suasana yang tengah berada

di pucuk asa. Jika dinarasikan dalam kata-kata, lamat-

lamat demaun bambu di belakang balai menyanyikan

lagu tanpa nada. Mereka menjadi paduan suara yang

juara tanpa lomba-lomba. Bukan berarti hambar

ataupun hampa. Bukan juga seorang pemandu lagu

yang sedang nanar. Ini lebih persoalan tanpa paksaan

yang menunjukkan pada hal-hal benar. Ingat, semua

orang

Residensi Pegiat Literasixlii

Keliyanan Literasi 1

Keliyanan Literasi:Dari Kebudayaan,

Digital, Hingga SosialOleh : DEA ADITYA

Tulisan ini mulanya semacam racikan gado-ga-

do. Menyadari hal itu saya kemudian membag-

inya ke dalam tiga bagian. Hal ini saya laku-

kan untuk memberi garis yang jelas pada tiap

bagian sehingga tidak terbaca acakadut atau ‘asal-kumpul’.

Bagaimanapun, esai ini mencoba memberikan gambaran

Residensi Pegiat Literasi2

‘utuh’ perihal aktivitas literasi bennyinstitute, yang (terus)

bertransformasi dari kebudayaan hingga digital, tapi tetap

menjadikan kebermanfaatan sosial sebagai visi.

Bagian pertama adalah sejarah berdirinya bennyinsti-

tute yang memilih kebudayaan sebagai ladang kreativitas.

Bagian kedua adalah perihal media sosial yang ‘berjasa’

pada keberlangsungan jalannya lembaga kami. Sedangkan

bagian terakhir adalah pengalaman personal saya dalam

memberikan kecakapan teknologi informasi kepada mas-

yarakat awam. Saya menemukan bagaimana teknologi,

selain memberikan semacam keterampilan futuristik, juga

kegembiraan yang takkan mudah diukur.

(1)

Esai ini adalah semacam cerita. Bagaimana kakak kami,

Benny Arnas dan istrinya membangun bennyinstitute di

tengah-tengah keramaian lalu lintas dan aktivitas perdagan-

gan. Keadaan tersebut, tidak sedikit pun membuat mereka

berniat memindahkan pusat kreativitas seumur hidup itu,

begitu kami menyebut lembaga pendidikan dan kebudayaan

yang mereka dirikan pada 2012 itu. Dalam sejumlah obro-

lan lepas, mereka berdua dan para relawan memikirkan

cara terbaik untuk membuat lembaga kami berdaya, men-

Keliyanan Literasi 3

jalankan fungsi secara efektif dan efisien.

Kalau kami sedang lemah semangat karena urusan

pekerjaan di luar menumpuk atau nilai mata kuliah jeblok

atau masalah pribadi yang menggangu, kami akan selalu

ingat cerita mereka berdua membangun bennyinstitute.

Begini:

Mulanya, karena armada bennyinstitute saat itu adalah

pengurus dan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lubuk-

linggau dengan kecakapan bahasa Inggris yang mumpuni

ditambah passion mengajar yang sudah tumbuh-rimbun

Residensi Pegiat Literasi4

dalam semangat, Bang Benny dan Kak Desy tidak hanya

menyelenggarakan pertemuan rutin terkait kepenulisan,

tapi merilis program kursus bahasa Inggris. Mereka memba-

gi kelas dalam 4 tingkat, khusus tingkat pertama kami tidak

memungut bayaran, meskipun tetap kami berikan sertifikat.

Bahkan, sebagian besar bersedia melanjutkan pembelaja-

ran yang level-level berikutnya yang berbayar. Dari testimo-

ni para peserta, yang menarik minat mereka adalah karena

pasangan suami istri itu berhasil merumuskan dan mengap-

likasikan pola belajar bahasa Inggris berbasis “Story alias

Cerita” yang menyenangkan. Mereka memadukan “Story

Sharing” dan “Story Writing” sehingga, tanpa disadari, pe-

serta didik bukan hanya dibekali kecakapan bahasa Inggris,

melainkan juga kematangan dalam mengungkapkan ga-

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 5

gasan, diskusi, debat, hingga menuangkan ide dan uneg-un-

eg ke dalam sebuah tulisan untuk dibahas bersama. Hingga

kini, kursus bahasa Inggris ini telah meluluskan 1000 peser-

ta didik dari masing-masing level.

Tahun 2008, di bawah payung FLP, anak-anak ke-

las bahasa Inggris bennyinstitute justru menerbitkan buku

kumpulan cerpen. Ini sungguh lompatan yang tak pernah

terbayangkan. Atas dasar itulah, mereka pun membuka ke-

las menulis. Antusiasme pun tak bisa kami bendung. Para

peserta berasal dari pelbagai usia dan latar belakang peker-

jaan. Tahun 2012 mereka memutuskan mendirikan penerbit

yang konsen pada konten lokal.

Pada 2013, mengingat kapasitas ruangan tidak mampu

menampung peminat kelas menulis, mereka bekerjasama

dengan Dinas Perpustkaan dan Arsip Daerah Kota Lubuk-

linggau. Mereka pun mencoba memberdayakan potensi re-

lawan dan alumni kelas-kelas yang sudah diselenggarakan.

Alhasil, pada 2013, bennyinstitute dipercaya menyelengga-

rakan konser puisi yang dipadati hampir 1000 penonton di

Gedung Kesenian Kota Lubuklinggau.

Pada 2014, bennyinstitute membuat film pendek ke-

budayaan yang pada mulanya ditujukan untuk mematang-

Residensi Pegiat Literasi6

kan kecakapan peserta dalam menulis skenario sekaligus

melatih para relawan dan alumni yang memiliki minat

dalam produksi film. Film bertajuk Majasenja itu ternyata

mendapatkan penghargaan sebagai Film Favorit Sumsel

Art Festival 2014. Di tahun yang sama, mereka dipercaya

pemda Lubuklinggau untuk sepenuhnya mengelola majalah

Bisa yang didanai oleh APBD. Setahun setelahnya, saya pun

bergabung.

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 7

Hingga kini, bennyinstitute telah menyelenggarakan

banyak kelas kreatif secara rutin di antaranya:

• Story Sharing (khusus bahasa Inggris)

• Story Writing (khusus bahasa Inggris)

• Bennyinstitute Writing Class

• Bennyinstitute Acting Class

• Public Speaking for Company

Residensi Pegiat Literasi8

Kami juga memiliki sejumlah lini kreatif yang digerak-

kan oleh relawan dan alumni yang mumpuni;

• Sinematography Team

• Penerbitan bennyinstitute

• Penelitian dan Pengembangan Sejarah dan Budaya

• Tim Penyunting Naskah Lokal

• Tim Seni Pertunjukan

• Public Speaking Class

• Creative Class to School

• Workshop dan diskusi

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 9

Sejumlah kelas dan lini kreatif itu kami buka dan gerak-

kan sembari menanamkan visi kepada semua peserta, bah-

wa gambaran masa depan harus mereka skets mulai hari

ini. Yang menentukan akan menjadi apa mereka kemudian

sangat ditentukan oleh kecakapan-kecakapan yang menda-

rah-daging dalam diri mereka. Dan kelas-kelas yang kami

selenggarakan tidak pernah secara spesifik bertujuan mem-

bangun mereka dengan skill tertentu, lebih dari itu: untuk

merangsang mereka bisa berpikir kreatif, cepat beradap-

tasi dengan perubahan, dan yang paling penting adalah

memiliki kepekaan sosial. Dan hingga hari ini, kami telah

membuktikan itu, lewat serangkaian kegiatan yang kami

selenggarakan (kompilasi kegiatan terlampir), kami menco-

ba untuk terus kreatif.

Saya, secara pribadi bahagia sekali, menjadi bagian dari

kerja pendidikan dan kebudayaan yang terus digerakkan

bennyinstitute.

Sistem kerelawanan di bennyinstitute memang memiliki

implikasi.

Relawan dan alumni yang telah merasa memiliki cukup

bekal untuk berdikari, pamit untuk tidak bisa aktif karena

telah memiliki amanah di tempat yang baru—bekerja atau

Residensi Pegiat Literasi10

pindah daerah, dan bagi kami itu adalah dinamika biasa.

Bang Benny dan Kak Desy selalu mengizinkan mereka.

Kata mereka, itu adalah wujud keberhasilan sesungguhn-

ya merek dalam membangun kreativitas relawan. Apalagi,

keadaan membuktikan kalau selalu saja datang mereka—

baik alumni kelas maupun bukan—yang ingin mengambil

bagian dari kegiatan-kegiatan kami.

Saya, kalau bisa, ingin terus ada di sini.

(2)

Peran media sosial dewasa ini, telah membangun sebuah

kekuatan besar dalam membentuk pola perilaku dari

berbagai bidang dalam kehidupan manusia, termasuk

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 11

memperluas interaksi sosial berbasis teknologi informasi.

Mengingat media sosial telah merambah ke seluruh

penjuru dunia maupun pelosok Indonesia, (berbagai varian)

informasi pun menjadi lebih mudah diakses, seperti istilah

“Hanya dengan satu jari kita bisa mengetahui segalanya”.

‘Thesis’ di atas tak mengenal pengecualian bagi siapa dan

atau kumpulan orang-orang yang menganggap keberadaan

dan, jenama sebagai

‘barang tak ternilai’

dalam menyebarkan

pengaruh dan nilai-

nilai yang diusung

kepada khalayak.

Tak terkecuali bagi

komunitas literasi. Tak

terkecuali bagi literasi

apa pun.

Bennyinstitute sadar benar akan hal itu. Dengan ban-

gunan sumber daya manusia dan pola kegiatan yang diter-

apkan, media sosial menjadi bagian yang mau tidak mau

built-in. Dengan 5 pengurus inti, 25 fasilitator, dan ratusan

alumni kelas menulis dan seni peran, keterikatan yang san-

gkil dan mangkus adalah sebuah keniscayaan. Dan media

sosial seperti tongkat sihir yang merapal mantra-tanpa-di-

“Hanya dengan

satu jari kita

bisa mengetahui

segalanya.”

Residensi Pegiat Literasi12

minta untuk mewujudkan semuanya. Kami (bennyinstitute)

dikondisikan untuk senantiasa berada dalam atmosfer sa-

dar-media-sosial. Memiliki akun resmi di Instagram dan

Fanpage Facebook, Chanel Youtube, dan laman daring atas

nama lembaga adalah semacam pertanyaan tertutup yang

hanya menyediakan satu jawaban, tanpa opsi, tanpa per-

timbangan, tanpa ruang yang luasnya bisa dinegosiasikan.

Saya yang juga tergabung di lembaga tersebut mera-

sakan dampak yang begitu besar atas kehadiran media so-

sial terhadap aktivitas yang kami laksanakan terutama untuk

menarik minat anak-anak muda. Mewajibkan peserta kelas

seni peran mengunggah tugasnya di Chanel Youtube dan

menginstruksikan peserta kelas menulis membuat akun di

laman daring lembaga untuk kemudian mengunggah kary-

anya di sana, alih-alih menciptakan kerepotan bagi mereka,

melainkan melahirkan kesenangan dan keseruan tersendiri.

Ini merupakan berkah teknologi yang harusnya disyukuri.

Menjadikan hal tersebut sebagai jembatan untuk meraup

energi kreatif mereka yang pada akhirnya menciptakan sen-

sasi kreativitas mengasyikkan!

Maka, tanpa kami sadari, hubungan baik kami dengan

media sosial itu pada akhirnya meninggalkan jejak yang

kami sebut arsip digital yang berefek masif dan mengger-

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 13

akkan. Highlight, rekaman kegiatan, berita, postingan, dan

gambar yang diunggah itu rupanya bukan hanya menjadi

kotak memori ajaib yang dapat kami nikmati dan rayakan

secara personal, lebih jauh; ia pun menjadi ‘referensi hid-

up’ yang mempromosikan dirinya sendiri kepada pihak-pi-

hak yang selintas lalu tak ada hubungannya dengan literasi,

tapi akhirnya menaruh empati dan simpati kepada kegilaan

kami di komunitas.

Terima kasih adalah kata yang harus senantiasa kami

hadiahkan pada temuan dan keajaiban zaman yang berna-

ma teknologi informasi, termasuk media sosial. Sejumlah

direktorat di Kemdikbud, Pusbangfilm, BPJS Kesehatan, KPP

Pratama, DJPb dan KPPN, travel haji dan umrah, dan beber-

Residensi Pegiat Literasi14

apa rumah makan di Lubuklinggau, akhirnya dengan sen-

ang hati melibatkan diri dalam aktivitas literasi yang kami

giati. Buku-buku kelas menulis, pertunjukan kelas seni per-

an, festival sastra, festival film, seminar, dan workshop pun

akhirnya tersponsori dengan sendirinya.

Kecakapan Digital

Kisah berikut adalah bentuk literasi digital yang lain;

memperkenalkan kecakapan digital kepada masyarakat

yang awam teknologi informasi:

Karena seringnya mengunjungi Taman Bacaan Mas-

yarakat (TBM) bennyinstitute, seorang staf administrasi sem-

pat berseloroh kalau saya memiliki jadwal ‘ngantor’ di sana

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 15

tiga sampai empat hari per pekan.

Bagi saya, TBM bukan hanya tentang membaca buku,

tapi juga tempat yang nyaman untuk bekerja (baca: menu-

lis), menemukan teman baru yang ‘ngeh’ tentang perkem-

bangan dunia, bertemu klien, dan tentu saja mengakses in-

ternet gratis. Perkara yang terakhir, saya ingin menceritakan

hasil pengamatan saya: 7 dari 10 pengunjung duduk di ru-

ang baca sembari mengakses internet dari laptopnya—tentu

tak perlu dijelaskan lagi apa yang terjadi di ruang khusus

komputer/internet.

Saya akan bercerita, pengalaman saya memandu pela-

tihan internet yang kami selenggarakan. Sekaligus saya in-

gin memberitahu ‘dunia’ bahwa bennyinstitute tidak semata

Residensi Pegiat Literasi16

mengurusi literasi kebudayaan, melainkan juga literasi dig-

ital. Sebagai fasilitator lembaga ini, tentu saya punya kewa-

jiban moral untuk itu.

*

Saya pernah bertanya, apa yang menyebabkan para pe-

ngunjung TBM betah berlama-lama mengakses internet

di bennyinstitute. Kalangan remaja dan pemuda menjawab,

karena bennyinstute menyediakan layanan wifi gratis yang

jarang ‘ngadat’ sebagaimana yang kerap mereka temui di

warnet-warnet. Tak heran kalau di ruang baca, sering di-

jumpai pemandangan akan kerumunan remaja/pemuda/

orang dewasa yang mendiskusikan topik tertentu dengan

hangat dan begitu seru sembari berselancar di dunia maya

dengan laptop mereka.

Beda lagi halnya dengan orang dewasa (bapak-bapak/

ibu-ibu). Tidak seperti kalangan remaja dan pemuda, mer-

eka justru lebih memilih ruang komputer/internet daripada

ruang baca. Selain karena jarang membawa—atau tidak

memiliki—laptop, mereka juga berada di bennyinstitute un-

tuk tujuan yang sudah direncanakan dari rumah. Seperti Bu

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 17

Ati (45), pengrajin rajutan yang kerap membawa anak per-

empuannya yang masih kuliah untuk membantunya men-

cari model-model rajutan yang sedang tren lewat berbagai

laman di internet. Secara umum, ibu-ibu (pelaku usaha) ge-

mar ke ruangan komputer/internet lebih disebabkan karena

haus akan ilmu dan inspi-

rasi untuk usaha rumahan

yang mereka tekuni. Prak-

tisnya, mereka bisa meli-

hat gambar atau menonton

tutorial pembuatan sebuah

produk lewat internet.

Ya, sejak menjadi ba-

gian dari bennyinstitute

pada 2016, saya berkegia-

tan dengan antusias. TBM,

tanah kelahiran, dan kerja

sosial adalah rangkap tiga kebahagiaan yang dengan begi-

tu gembira selalu saya asah agar bisa memberikan keman-

faatan bagi orang banyak. Namun, ketika saya bersama

teman relawan yang lain langsung dipercaya untuk mem-

fasilitasi Pelatihan Teknologi Informasi (8-11 Desember

2016) untuk warga di 6 kelurahan—Sumber Agung, Taba

Baru, Ponorogo, Cereme Taba, Margamulia, dan Tanah

“Ibu-ibu (pelaku usaha) gemar ke

ruangan komputer/internet lebih

disebabkan karena haus akan ilmu

dan inspirasi untuk usaha rumahan yang mereka tekuni.”

Residensi Pegiat Literasi18

Periuk; saya merasa perlu menambah satu rangkap lagi un-

tuk menyempurnakan kebahagiaan dan kebermanfaatan

yang saya usahakan: perpustakaan, tanah kelahiran, kerja

sosial, dan literasi digital.

Empat hari pelatihan yang saya—dan relawan-relawan

lain—fasilitasi itu, telah memberikan saya banyak pengala-

man berharga yang membuat saya terus berpikir tentang

optimalisasi peran kelurahan dalam menjadikan perpus-

takaannya sebagai pusat pembelajaran masyarakat berbasis

teknologi informasi. Bayangkan, kami yang TBM menjadi

role-model bagi perpustakaan perpustakaan kelurahan.

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 19

*

Pelatihan itu mempertemukan saya dengan Ibu Mai, per-

empuan 58 tahun warga Kelurahan Margamulia yang di

hari pertama begitu sulit mengendalikan mouse dan begitu

lama memelototi keyboard suntuk menemukan huruf atau

angka yang ia ketik, pada hari terakhir justru dapat mengisi

post-test daring yang menuntut kemahirannya mengenda-

likan mouse dan mengetik di keyboard.

“Jadi, mudah nian kalau nak menjumlahkan duit yo,”

ujarnya ketika saya mendampinginya mengoperasikan pro-

gram Excel. Matanya memancarkan kekaguman atas ke-

didgayaan teknologi yang baru ia ketahui. Mungkin, saat itu

ia membatin bahwa hasil penjualan hasil kerajinan tangan

bisa ia rekap dengan menggunakan komputer putranya di

rumah. Ketika memasuki materi pembuatan akun Facebook,

Ibu Mai terang-terangan menunjukkan ketercengangannya.

Saya yakin, ada gelombang penyesalan dalam hatinya se-

bab merasa terlalu telat mengetahui teknologi, sebagaima-

na ada gejolak kegembiraan karena mendapati ‘mainan

baru’ untuk memasarkan produk manik-manik yang sudah

ia tekuni selama 15 tahun.

Residensi Pegiat Literasi20

Saya juga berkenalan dengan Pak Kandar dari Kelurahan

Cereme Taba, Pak RT berusia 62 tahun yang memiliki

kesulitan yang tak jauh berbeda dengan Ibu Mai dalam

mengoperasikan komputer. Selain tak lagi perlu didampingi

ketika mengisi post-test, ia juga sempat bercerita kalau

sudah belajar mengetik sendiri surat dan berkas-berkas

administrasi warga—yang biasanya selalu ia limpahkan

pada cucu atau orang lain yang ia upah—dengan meminjam

laptop milik cucunya di rumah.

“Sekarang baru nak belajar menggunakan Pesbuk (baca:

Facebook)!” serunya ketika saya menanyakan tentang apa

lagi hal menarik dari pelatihan yang ia ikuti.

Ternyata kesan mendalam yang saya rasakan ketika

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 21

mendampingi mereka selama pelatihan, radarnya sampai

pada mereka. Tanpa diduga, beberapa hari yang lalu,

beberapa peserta pelatihan mengirimkan saya pesan

pendek. Sebagian besar memberi tahu nomor ponsel mereka

dengan menjadikan pertanyaan “Apa kabar?” sebagai

pembuka. Namun, ternyata itu tidak terjadi dengan Ibu Mai

yang menambah sebuah pertanyaan: “Lagi apo, Dek Adit?”

dan Pak Kandar yang memberi kabar kalau ia sudah bisa

mengetik dua buah surat pengantar untuk kelurahan tapi

masih bingung cara bermain Facebook. Saya pun membalas

dengan tak kalah antusias.

Ternyata Ibu Mai memberi kabar kalau ia sudah

membuat tiga jenis produk manik-manik yang terinspirasi

dari gambar-gambar yang ia peroleh dari Google.

Residensi Pegiat Literasi22

Sementara Pak Kandar dengan semangatnya menanyakan

kapan pelatihan komputer dan internet untuk masyarakat

kelurahannya dilaksanakan, sebab ia tak sabar lagi

membuat proposal dan surat penawaran untuk mitra dengan

mengetiknya sendiri di komputer atau laptop. Saya tahu, ia

tak sabar lagi ‘memamerkan’ kemajuannya kepada para

peserta di lingkungannya—yang mungkin saja selama ini

tak menyangka kalau ia bisa ‘bersahabat’ dengan komputer.

Tanpa disadari, kedua mata saya hangat dan beberapa

saat kemudian, punggung tangan saya terpaksa mengelap

air asin yang mengalir dari ekor mata.

TIDAK MUDAH BUKAN BERARTI TIDAK MUNGKIN

Malam itu, saya berpikir dan merenung, betapa banyak-

nya orang-orang seperti Ibu Mai dan Pak Kandar yang belum

tersentuh oleh komputer dan belum mendapatkan pencer-

ahan tentang manfaat internet bagi kehidupan mereka. Apa

yang Ibu Mai dan Pak Kandar alami sejatinya menunjukkan

kalau kecakapan komputer dan sadar-internet telah mem-

buat grafik kualitas hidup mereka bergerak ke atas.

Atas kenyataan yang membahagiakan itu, saya sangat

berharap mereka setia mengunjungi (perpustakaan)

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 23

kelurahan, bukan saja karena ada urusan tapi karena mereka

bisa meminjam buku resep atau dongeng untuk anak-

cucu, bertemu pengunjung lain untuk sekadar berbagi cara

menghadapi anak-cucu yang rewel, dan tentu saja untuk

mengakses internet sebagai kitab ilmu pengetahuan dengan

halaman tak terbatas. Untuk mencapai semuanya, tentu

tidak mudah. Tapi, “tidak mudah” bukan berarti “mustahil”.

Bagi seorang relawan, hambatan bukan alasan untuk tidak

produktif, melainkan tantangan untuk menjadi kreatif.

Pada akhirnya, saya tidak lagi peduli, apakah

bennyinstitute atau kumpulan remaja masjid atau

Residensi Pegiat Literasi24

perhimpunan pemanjat kelapa yang mengamanahi saya

untuk mendekatkan orang-orang (terutama pemuda,

perempuan, dan pelaku usaha) dengan perpustakan dan

teknologi, karena sejatinya, berbagi kemaslahatan bukanlah

urusan pribadi atau lembaga atau Tuhan yang Maha Esa

saja. Ia adalah urusan saya. Sebagai relawan taman bacaan.

Sebagai manusia.***

KELIYANAN LITERASI; DARI KEBUDAYAAN, DIGITAL, HINGGA SOSIALOleh : Dea Aditya

Keliyanan Literasi 25

Oleh : BUDI HARSONI

Literasi adalah pengetahuan atau keterampilan

seseorang dalam memahami, menganalisis,

mengevaluasi, mengelola, menggunakan

dan memanfaatkan berbagai informasi, serta

bagaimana mengkomunikasikan ulang informasi tersebut

kepada seseorang, kelompok, maupun masyarakat luas.

Literasi adalah pencerahan akal budi, sebuah kesadaran

membangun kebaikan dan kemaslahatan dalam ruang hidup

kebersamaan.

TBM Kuli Maca di Era Digital:Transformasi Mengejar

Ketertinggalan

Residensi Pegiat Literasi26

Sedangkan Digital berasal dari kata Digitus, dalam

bahasa Yunani berarti jari jemari––berjumlah 10 jari. Nilai

sepuluh tersebut terdiri dari 2 radix (akar), yaitu 1 dan 0,

karenanya digital merupakan penggambaran dari suatu

keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1. Semua

sistem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis

datanya. Sementara menurut KBBI, Digital berhubungan

dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu;

berhubungan dengan penomoran.

Di era digital, jari-jari menjadi aktor utama. Melalui

grup-grup dari berbagai aplikasi media sosial yang banyak

digunakan, hanya dengan sepasang jempol, ribuan massa

turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Fenomena yang terjadi

akhir-akhir ini membuktikan dunia daring (dalam jaringan)

bukan sekadar gaya hidup. Ruang maya ini terbukti sebagai

penggerak manusia di ruang nyata. Media daring mampu

menggugah kesadaran banyak orang untuk melakukan

sesuatu yang konkret. Karena informasi dalam berbagai

bentuknya, dengan cepat memasuki ruang-ruang pribadi

tanpa kulonuwon atau sampurasun tanpa mengetuk pintu

terlebih dahulu.

Indonesia adalah ibu kota media sosial di dunia, jumlah

pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132,7

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 27

Residensi Pegiat Literasi28

juta orang dari 256,2 juta populasi Indonesia. Ini berarti

pengguna internet di Indonesia telah mencapai 51.8%

dari jumlah penduduk Indonesia seluruhnya (APJII, 2016).

Karena pengguna akun media sosial yang aktif dan masif,

menjadikannya rentan terhadap ekses negatif dari lemahnya

literasi digital. Sehingga tidak jarang media daring yang

membawa kabar bohong atau fitnah, langsung dicerna

tanpa dipilah dan dipilih benar tidaknya informasi yang

diterima. Hingga dalam kasus tertentu, dunia digital dengan

media sosialnya membawa orang masuk ke dalam penjara

karena tersangkut pelanggaran UU ITE yang diterapkan oleh

Pemerintah demi menjaga keutuhan bangsa.

Era digital melahirkan revolusi komunikasi yang serba

cepat Waktu dan ruang seolah dapat dicapai hanya dengan

menekan tombol dengan jari-jemari. Naik ojek tidak harus

pergi ke pangkalan ojek atau menunggu di pinggir jalan.

Tinggal sentuh layar aplikasi, lalu datang yang dipesan

tepat di depan rumah. Transformasi digital begitu masif,

komunikasi tidak lagi menjadi masalah pelik dan rumit

bagi kehidupan. Terdapat sekitar 80% pengguna internet di

Indonesia adalah generasi muda kategori digital native. Yang

dimaksud dengan digital native di sini adalah mereka yang

lahir pada tahun 1980 dan setelahnya. Untuk itu kita harus

‘melek digital’, memiliki kecakapan berliterasi di dunia

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 29

maya agar terhindar dari bahaya laten berita bohong atau

hoaks yang menyesatkan dan menjerumuskan. Jika dahulu

pernah dikenal istilah “Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu

kota,” belakangan berganti dengan istilah “Kejamnya ibu tiri

tak sekejam ibu jari”, sebab jari-jari penggerak dunia maya

melibas korbannya tanpa pandang usia maupun gender.

Paul Gilster disebut-sebut orang pertama yang membidani

istilah Literasi Digital melalui bukunya Digital Literacy (1997).

Literasi digital, atau secara sederhana Gilster sebut sebagai

‘literacy in the digital age’ adalah sebagai kemampuan

memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai

bentuk dari berbagai sumber yang luas yang diakses melalui

piranti komputer. Beberapa ahli masih memperdebatkan

pengertian ini. Terlepas dari perdebatan tersebut arti penting

dari literasi digital adalah “memahami dan menggunakan

informasi.” Oleh karenanya, generasi milenial dihimbau

agar dapat memahami dan menggunakan informasi di dunia

daring dengan melakukan saring sebelum sharing. Karena

itu, literasi digital berkait berkelindan dengan kecerdasan

mental. Ia menuntut keterampilan emosional, moral, dan

akal dalam memahami dan mengolah data. Selain kreativitas,

kesadaran dan tanggung jawab merupakan elemen yang

harus didahului, sikap dan karakter menjadi garda terdepan

sebelum berselancar di dunia maya.

Residensi Pegiat Literasi30

Sebagaimana dirumuskan dalam tesis Douglas A. J.

Belshaw berjudul “What Is Digital Literacy?” (2011), terdapat

delapan elemen esensial literasi digital untuk memahami

dan menguasai dunia digital saat ini, yakni: 1) Kultural:

Pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; 2)

Kognitif: Daya pikir dalam menilai konten; 3) Konstruktif:

Mereka-cipta sesuatu yang asli dan aktual; 4) Komunikatif:

Memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;

5) Kepercayaan diri yang bertanggungjawab (convident);

6) Kreatif: Melakukan hal baru dengan cara baru; 7) Kritis

dalam menyikapi konten; dan 8) Bertanggungjawab secara

sosial (civic responsibility).

TBM Kuli Maca dan web Desa Warungbanten

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 31

Dibangunnya web Desa Warungbanten, salah satu

desa di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi

Banten dengan lamannya www.warungbanten.desa.id

menjadi pelopor literasi digital di desa tersebut dengan

TBM Kuli Maca sebagai pusat kegiatan dan segala aktivitas

literasi dari 6 literasi dasar

yang diterapkan, yakni:

1) Literasi Baca Tulis;

2) Literasi Numerasi; 3)

Literasi Finansial; 4) Literasi

Sains; 5) Literasi Digital;

dan 6) Literasi Budaya dan

Kewargaan. Literasi budaya

dan kewargaan dalam

konteks kultural yang

menjadi salah satu dari

delapan elemen esensial

literasi digital menjadikan

adat tradisi budaya di Desa Warungbanten mendapatkan

ruang ekspresinya di dunia daring. Mengingat desa tersebut

merupakan Desa Adat dengan tradisi budaya yang masih kuat

dijalani dan dilestarikan oleh seluruh warga masyarakatnya.

Melalui web Desa Warungbanten yang diluncurkan

pada 5 April 2016 oleh Jaro Ruhandi, Kepala Desa yang

“Era digital melahirkan revolusi

komunikasi yang serba cepat Waktu dan ruang seolah

dapat dicapai hanya dengan menekan

tombol.”

Residensi Pegiat Literasi32

baru berusia 33 tahun yang juga termasuk digital native,

literasi digital menjadi sarana untuk menyebarkan informasi

seluas-luasnya kepada masyarakat terkait penyelenggaraan

pembangunan desa, baik soal transparansi pengelolaan

Dana Desa maupun informasi seputar potensi ekonomi dan

tradisi budaya bersama kearifan lokal yang masih hidup di

tengah-tengah masyarakat.

Pada 22 Oktober 2017, Ketua DPRD Boalemo,

Provinsi Gorontalo Oktohari Dalanggo beserta jajarannya

berkunjung ke Desa Warungbanten untuk melakukan

Studi Banding tentang pengelolaan Dana Desa (DD).

Acara penyambutan yang sederhana di area pasar desa

dengan menyuguhkan tampilan kesenian tradisional tarian

Rengkong dan Angklung Buhun.

“Ini merupakan program kami untuk melakukan

Studi Banding ke desa-desa terbaik dalam pengelolaan

Dana Desa. Setelah kami mencari informasi melalui

media sosial (medsos), lalu kami mendiskusikan, maka

desa Warungbanten menjadi pilihan untuk kami jadikan

tempat Studi Banding,” kata Oktohari Dalanggo dalam

sambutannya kala itu.

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 33

Dengan menerapkan e-Government di pemerintahan

Desa Warungbanten, semua dapat diakses baik pelayanan

maupun transparansi anggaran dalam pembangunan desa.

Ini adalah salah satu bukti kiprah anak desa membangun

Indonesia dari pinggiran sebagaimana salah satu program

Nawacita Presiden Joko Widodo.

Dengan literasi digital, kemampuan mengolah dan

memberdayakan potensi desa, sejarah, kearifan kultural

desa, ekonomi, ekologi, dan sosial terus dimaksimalkan

oleh para relawan TBM Kuli Maca. Upacara adat Serentaun

Residensi Pegiat Literasi34

yang merupakan tradisi tahunan warga “Adat Kaolotan

Cibadak” dalam merayakan rasa syukur atas hasil panen

mendapatkan ruang sosialisasi dan publikasi di media daring.

Menjadikan peristiwa budaya tersebut sebagai momen untuk

berkumpulnya para pegiat literasi. Kekuatan literasi terdapat

pada daya fleksibilitasnya dalam merespons keadaan dan

membangun jaringan antar relawan dan kearifan kultural

desa mendapatkan ruang di saat kemampuan literasi digital

dikembangkan di TBM Kuli Maca.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan

Kesetaraan Ditjen PAUD Dikmas Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan memprioritaskan wilayah 3T (Terdepan,

Tertinggal dan Terluar) dalam program pengembangan

pendidikan kesetaraan. Kabupaten Lebak yang masuk

dalam kategori Daerah Teringgal tidak berarti warga

masyarakatnya tertinggal dalam kecakapan literasi di era

digital. Desa Warungbanten menjadi contoh praktik baik

dalam inovasi maupun pengelolaan pemerintahan desa di

Kabupaten Lebak melalui kecakapan literasi digital.

TBM Kuli Maca yang berada di komplek Rumah Adat

Kaolotan Cibadak setiap minggu menggelar aksi Gerakan

Minggu Membaca dengan beragam kegiatan kreatif yang

mengajak kalangan dari anak-anak, remaja hingga dewasa

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 35

untuk bersama-sama melakukan kegiatan membaca.

Sementara para relawannya merekam aksi tersebut dalam

bentuk video yang kemudian dibagikan ke media sosial

Youtube. Ini merupakan sebuah kecakapan literasi melalui

salah satu dampak perkembangan teknologi dalam digital

media, yaitu meningkatkan

konten multimodal yang

biasanya ditemui dalam

teks. Menggabungkan

unsur visual, teks dan

audio sekaligus, konten

yang dijumpai dalam media

digital mengombinasikan

beberapa modalitas

sekaligus. Inilah

yang disebut dengan

multimodality; as a result,

a range of new literacies

are needed to cope with

the proliferation of images, graphics, video, animation and

sound in digital texts (Jones & Hafner, 2012:50). Dengan

kata lain hal tersebut merupakan bentuk kecakapan

integrasi literasi digital. Contohnya dapat dilihat di http://

youtu,be/a3cXRzFGRS dan http://youtu.be/NdzfV3KlxyQ,

yang menceritakan kegiatan para relawan TBM Kuli Maca.

“Kekuatan literasi terdapat

pada daya fleksibilitasnya

dalam merespons keadaan dan membangun

jaringan antar relawan”

Residensi Pegiat Literasi36

Banyak hal yang sangat menguntungkan di era

digital sekarang ini. Lewat media sosial, sebagai contoh,

kerajinan tangan khas etnik dari para pengrajin di desa

Warungbanten mendapatkan pangsa pasarnya di jaringan

para pegiat pariwisata. Kerajinan tangan tersebut menjadi

cendera mata sebagai kenang-kenangan bagi wisatawan

yang berkunjung ke daerah wisata di Kabupaten Lebak.

Dalam perkembangannya, TBM Kuli Maca tidak hanya

menyebar virus literasi berupa membaca, menulis dan

mengeruk informasi dengan hanya berkonsentrasi pada

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 37

lembaran kertas. Dengan 4 karakter dasar yang harus

dimiliki di era milenial, yaitu; 1) Kritis; 2) Kreatif; 3)

Komunikatif; dan 4) Kolaboratif, media daring menjadi

andalan bagi para relawannya untuk mempromosikan

Desa Warungbanten sebagai desa yang disiapkan menjadi

Desa Wisata Budaya. Sebuah desa yang termasuk dalam

kategori Daerah Tertinggal, dengan kekuatan literasi digital

berupaya melakukan transformasi ke arah lebih literat dan

pada akhirnya taraf hidup masayarakat desa Warungbanten

menjadi semakin sejahtera. Amin.

Di Kabupaten Lebak, Banten, Kasepuhan/Kaolotan Adat

masih lestari, terjaga, dan diwariskan ke anak cucunya secara

turun temurun. Sesuai dengan prinsip tilu sapamulu, dua

sakarupa, nuhiji eta-eta keneh. “Tilu sapamulu” artinya tiga

prinsip yang harus diikuti, yakni negara, agama dan mokaha

(adat). “Dua sakarupa” berarti adanya keseimbangan hidup

antara menjaga alam dan kehidupan, layaknya siang dan

malam, laki dan perempuan. Hal ini termanifestasikan

dalam bagaimana mengelola sumber daya alam supaya

tidak rusak. Masyarakat adat kasepuhan adalah pengelola

utama sebagai penjaga dan sekaligus pengelola alam.

Sedangkan, yang dimaksud “nuhiji eta-eta keneh” adalah

semua akan kembali kepada zat yang Maha Tunggal.

Residensi Pegiat Literasi38

Desa Warungbanten merupakan salah satu desa yang

masyarakatnya masih memegang teguh adat tradisi. Di

belakang rumah adat terdapat hutan tua warisan para

leluhur bagi masyarakat desa bernama Dungus Ki Bujangga

yang dijaga ketat secara turun temurun oleh Lembaga

Adat Kaolotan Cibadak.

Di dalam hutan tersebut

terdapat situs Batu Tumpeng,

masyarakat kampung

Cibadak menyebutnya Batu

Nyungcung. Dungus Ki

Bujangga adalah sumber mata

air untuk kehidupan warga

yang tidak boleh diusik apalagi

dirusak kelestariannya.

Mayoritas masyarakat Desa Warungbanten, Kecamatan

Cibeber Kabupaten Lebak, Banten masih memegang teguh

adat tradisi (budaya) warisan nenek moyang (karuhun) yakni

Kaolotan Adat Cibadak. Sejalan perkembangan zaman adat

tradisi lokal semakin terkikis, bahkan menghilang. Maka dari

itu, untuk mengimbangi perkembangan zaman (ngigeulan

jaman), di Rumah Adat pada 3 Juli 2014 dalam acara ririungan

bersama para kasepuhan diputuskan untuk mendirikan Taman

Bacaan Masyarakat (TBM) yang diberi nama TBM Kuli Maca.

“Sejalan perkembangan

jaman adat tradisi lokal semakin

terkikis bahkan menghilang”

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 39

Gerakan literasi di Desa Warungbanten melalui Taman

Bacaan Masyarakat sejalan dengan petuah yang menjadi

tradisi warga Adat Kaolotan Cibadak sebagaimana disebutkan

di awal, terbagi dalam empat kebiasaan atau tradisi yang telah

ada sejak turun temurun; (1) Papada Urang; (2) Daluang; (3)

Kalangkang; dan (4) Haleuang.

Papada Urang

Neangan luang ti papada urang dapat diartikan mencari ilmu

pengetahuan atau bisa juga diartikan peluang/kemungkinan/

harapan yang dapat memajukan warga desa dilakukan melalui

rembug atau musyawarah antar kasepuhan dan warga desa.

Melalui TBM Kuli Maca, nasihat Ti Papada Urang

dijadikan semangat menjalin persahabatan secara terbuka

dengan semua kalangan. Perlu diketahui bahwa tradisi Adat

Kaolotan Cibadak yang inklusif sangat memungkinkan untuk

membangun jaringan komunikasi dan kerja sama dengan

semua pihak yang ditujukan untuk upaya pemajuan desa.

Selain membangun jaringan antar penggiat literasi seperti

Forum TBM dan Motor Literasi, TBM Kuli Maca juga ikut

berperan aktif dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

(AMAN), Yayasan Bina Desa, Sawit Watch, Jaringan Kerja

Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan lembaga lainnya.

Residensi Pegiat Literasi40

Dalam waktu yang tidak lama keterlibatan dalam

Forum TBM yang diketuai Firman Venayaksa dan Motor

Literasi membuahkan hasil yang sangat signifikan dirasakan

oleh warga desa. Pelbagai penghargaan pun diraih berkat

kerja keras para relawan TBM Kuli Maca membawa Desa

Warungbanten dikenal oleh Menteri Desa PDTT, Eko

Putro Sandjojo dan Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab.

Begitupun dengan aktivitas di AMAN, Desa Warungbanten

menjadi bagian dari gerakan pelestarian adat Nusantara.

Sementara aktivitas di Yayasan Bina Desa, warga Desa

Warungbanten memulai tradisi pengolahan pertanian alami

dan menghindari pupuk kimia. Sedangkan dengan Sawit

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 41

Watch, kerja pemberdayaan masyarakat desa dikuatkan

untuk menggali potensi ekonomi desa dan yang tengah

dilakukan saat ini adalah bekerjasama dengan JKPP

melakukan pemetaan wilayah desa dengan melibatkan

warga untuk mengetahui batas-batas wilayahnya sendiri.

Bersama JKPP Desa Warungbanten membuat Peta Desa

yang akan diajukan ke pemerintah untuk disahkan. Semua

upaya yang dilakukan bersandar pada petuah para leluhur,

yakni Neangan luang ti papada urang.

Daluang

Nasihat kedua petuah Karuhun yakni, Neangan luang

tina daluang dijadikan semangat untuk mendekatkan warga

Desa Warungbanten dengan buku. Daluang diartikan

sebagai bahan bacaan yang selama ini keberadaannya sangat

langka di tengah masyarakat desa, TBM Kuli Maca membuat

program Minggu Membaca bertujuan untuk mengakrabkan

buku kepada anak-anak desa melalui pelbagai kegiatan

literasi yang dipusatkan di Rumah Adat Kaolotan Cibadak.

Tidak hanya itu, anggapan minat baca masyarakat Indonesia

yang selama ini sangat memprihatinkan ternyata tidak

benar. Hal ini dibuktikan ketika TBM Kuli Maca membuat

Pojok Baca di setiap RT/RW dan Pos Kamling/ Ronda,

ternyata warga cukup antusias memanfaatkan bahan

Residensi Pegiat Literasi42

bacaan yang disediakan oleh para relawan Kuli Maca.

Sehingga, keberadaan TBM Kuli Maca mampu mengangkat

Desa Warungbanten sebagai desa yang menginspirasi bagi

desa-desa lainnya. Berbagi pengalaman dalam membantu

mendirikan TBM di desa lain adalah bagian kerja nyata

para relawan dalam upaya menularkan virus literasi ke

seluruh pelosok negeri. TBM Kuli Maca membuat Taman

Baca di Majelis Taklim dan Pondok Pesantren Sukalillah

di Desa Ciherang. Banyaknya warga Desa Warungbanten

yang putus sekolah membuat TBM Kuli Maca berencana

membangun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)

untuk tujuan membantu memberikan kesempatan bagi

Keliyanan Literasi 43

warga yang ingin melanjutkan pendidikan. Selain telah

membangun Perpustakaan Desa, PKBM nantinya akan

bekerjasama dengan Universitas Terbuka (UT) bagi warga

belajar yang ingin melanjutkan kuliah setelah menempuh

pendidikan kesetaraan dan mendapatkan ijazah Paket C.

Kalangkang

Nasihat ketiga yakni Neangan luang tina kalangkang

diterjemahkan para pegiat TBM Kuli Maca sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dari upaya membangun gerakan

literasi di Desa Warungbanten. Kalangkang diartikan

Residensi Pegiat Literasi44

sebagai bayangan, merupakan perwujudan visi misi Desa

Warungbanten memajukan masyarakatnya. Melalui website

Desa Warungbanten: www.warungbanten.desa.id seluruh

upaya pemajuan desa terekam di dalam web tersebut.

Seluruh program kerja desa dapat dibaca sebagai bagian

transparansi pengelolaan Dana Desa. Pada 2017, Ketua

DPRD Boalemo, Provinsi Gorontalo beserta jajarannya

berkunjung ke Desa Warungbanten untuk tujuan Studi

Banding tentang penggunaan dan pengelolaan Dana Desa.

Kalangkang juga diartikan sebagai bayangan atau cerminan

masa lalu, bagi TBM Kuli Maca adalah sebuah ingatan

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 45

bersama (memory collective) tentang ajaran luhur tradisi

Adat Kaolotan Cibadak yang harus dijaga dan dilestarikan.

Memanfaatkan media sosial, TBM Kuli Maca memasarkan

produk kerajinan tangan etnik khas Warungbanten pasarnya

adalah wisatawan di wilayah pantai Sawarna dan sekitarnya.

Haleuang

Nasihat keempat adalah Neangan luang tina haleuang.

Mencari ilmu pengetahuan melalui kesenian tradisional

di mana Haleuang dapat diartikan sebagai tembang atau

bunyi-bunyian musik yang mengalun indah, tari-tarian yang

menggambarkan kehidupan masyarakat Adat Kaolotan

Cibadak sejak turun temurun, seperti kesenian Rengkong,

Angklung Buhun dan Dogdog Lojor, Seni Tradisi Pencak

Silat, dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah gambaran dari

kehidupan masyarakat pertanian yang mengelola tanahnya

sebagaimana aturan adat yang berlaku.

TBM Kuli Maca terus berupaya menggali potensi Desa

Warungbanten dari pelbagai dimensi kehidupan masyarakat

Adat Kaolotan Cibadak yang kaya akan kearifan lokalnya

sebagai bagian dari warisan para leluhur yang harus dijaga

dan dilestarikan.

Residensi Pegiat Literasi46

Jika pada 6 Literasi Dasar yang terakhir adalah Literasi

Budaya dan Kewargaan, nasihat keempat sesepuh adat ini

adalah bagian dari bagaimana manusia memahami jati diri

sesungguhnya melalui kesenian tradisional yang pernah

hidup di masa lampau. Terdapat tembang yang berisi

tentang hikmah kehidupan sebagai bahan perenungan akan

asal usul manusia dilahirkan. “Haleuang” diartikan sebagai

tembang, seperti mocopat para wali yang mengajarkan cara

meraih kebahagiaan.

Tidak ada tantangan yang tidak bisa diterjang. TBM Kuli

Maca di Kampung Adat Cibadak desa Warungbanten yang

dikelilingi perbukitan terletak di kaki pegunungan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan suatu desa

di wilayah selatan Banten. Untuk menuju ke desa tersebut

harus melintasi infratruktur jalan yang kurang ramah, terjal

dan mendaki. Dari sudut desa terpencil itulah para relawan

TBM Kuli Maca bergerak membukakan jendela dunia bagi

masyarakat desa melalui gerakan literasi. Integrasi digital

adalah sarana merawat adat tradisi dan mengembangkan

potensi budaya menuju desa yang maju bersama buku.

Salam Literasi!

TBM KULI MACA DI ERA DIGITAL : TRANSFORMASI MENGEJAR KETERTINGGALANOleh : Budi Harsoni

Keliyanan Literasi 47

Oleh : NISRINA HANIFAHRelawan di Rumah Baca Evergreen Kota Jambi

BBicara tentang digital dan literasi itu soal perpaduan

rasa. Hasil gabungan dari keduanya tentu akan

nikmat apabila dikonsumsi dengan kadar dan

takaran yang seimbang, kebersamaan.

Tapi, omong-omong soal digital nampaknya bukan

menjadi topik baru di warung kopi. Basi rasanya

membicarakan jumlah pengguna media sosial Indonesia

yang terus meningkat, atau soal kuota internet yang tak

Literasisebagai Benteng Arus

Digital

Residensi Pegiat Literasi48

pernah bisa memuaskan dahaga, bahkan soal pertikaian—

ras, ideologi, kepercayaan, apa pun—yang terjadi karena

kemudahan sharing opini di media. Semua orang jelas

sudah tahu bahwa mulut, ah, maksudku jemari, mudah

sekali mengetik rangkaian argumen melalui ponsel pintar.

Berbagi video dan foto juga

telah menjadi ritual wajib.

Ninis, contohnya,

mahasiswi di suatu kampus

di Sumedang, menganut

kewajiban tersebut setiap

hari. Pagi setelah bangun

tidur, sebelum berangkat

menuju kampus, perempuan

kelahiran tahun 1997 tersebut

mengambil ponsel pintarnya

dan membuat video untuk dipublikasikan via fitur Story

Instagram. Mengabari teman-teman kalau pagi ini aku

bahagia, ungkap Ninis. Ia pun menyempatkan diri untuk

mengambil foto situasi di kelas, untuk, lagi-lagi, di-posting

di akun Twitter-nya. Bosan di kelas, aku Ninis. Tangan Ninis

tidak pernah lepas dari ponsel pintar dan jemari Ninis tidak

pernah berhenti tidak memublikasi.

“Berbagi video dan foto telah menjadi

ritual wajib.”

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 49

Menilik dari tahun kelahirannya, Ninis termasuk dalam

kategori digital native. Tak heran apabila ia memberitakan

seluruh kejadian hidupnya di media sosial. Hidup untuk

publikasi, kira-kira begitulah prinsip yang dipegang oleh

banyak orang akibat kemudahan akses internet. Masing-

masing individu merasa seolah mereka menjadi pusat atensi

semesta. Masyarakat dunia semacam dipaksa untuk tahu

tentang apa yang individu tertentu lakukan, ke mana mereka

pergi, dengan siapa, makan apa. Segala hal dibagikan

melalui dunia maya secara mendetail.

Residensi Pegiat Literasi50

Bukannya kekurangan, overload informasi justru tiba-

tiba menjadi masalah yang lazim. Orang-orang kesulitan

menyaring informasi; apakah ini informasi yang penting?

Haruskah aku membaca artikel ini? Apakah aku akan

tertinggal informasi jika tidak menonton video ini? Satu-

satunya pengayak dari seluruh konten tersebut, terutama

yang ada di media sosial, adalah dengan hadirnya filter

bubble. Sebagai algoritma yang dibangun dalam tubuh

media sosial, filter bubble berhasil menyeleksi seluruh

konten di dunia dan bekerja dengan selalu menampilkan

konten yang sesuai dengan ideologi dan ketertarikan kita

saja. Ideologi dan ketertarikan tersebut tentunya diketahui

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 51

oleh algoritma berdasarkan riwayat pencarian yang kita

lakukan.

Sebagai contoh, karena sering berselancar di dunia maya

untuk mencari informasi terkait partai politik berwarna

biru, maka filter bubble

akan bekerja dengan

menampilkan hanya

berita-berita baik dan

positif terkait partai biru

di mesin pencarian kita.

Ditambah lagi, menurut Eli

Parsier, penulis dari buku

terkait konsep filter bubble

bahwa filter bubble justru

berusaha untuk mengisolasi

kita dari sudut pandang

yang berlawanan dari

ketertarikan kita. Sangat

disayangkan bahwa fitur inilah yang justru menjamurkan

hadirnya berita bohong atau hoaks.

Selain dikenal sebagai berita yang berkebalikan dari

kebenarannya, hoaks juga dapat dikategorikan sebagai kabar

yang cenderung melebih-lebihkan untuk menimbulkan citra

“Selain dikenal sebagai berita yang berkebalikan dari

kebenarannya, hoaks juga dapat dikategorikan

sebagai kabar yang cenderung melebih-

lebihkan untuk menimbulkan citra

positif dari tokoh atau kelompok tertentu.”

Residensi Pegiat Literasi52

positif dari tokoh atau kelompok tertentu. Tak heran jikalau

berita hoaks selalu erat kaitannya dengan polemik politik

dan demokrasi di Indonesia. Berdirinya negara demokrasi

harus disokong oleh kemandirian dari masyarakat untuk

mendapatkan informasi yang komprehensif dan jelas.

Masyarakat pergi ke internet untuk menemukan berita

benar, bukan sebaliknya. Demi mendukung hal tersebut

berita bohong atau hoaks tentu harus segera ditumpaskan.

Budaya tabayun merupakan salah satu cara yang dapat

dilakukan demi meminimalisasi persebaran hoaks.

Asy-Syaukani di dalam Fath al-Qadir menjelaskan,

bahwa makna tabayyun adalah memeriksa dengan teliti,

Keliyanan Literasi 53

sedangkan tatsabbut artinya tidak terburu-buru mengambil

kesimpulan dalam melihat berita dan realitas yang ada

sehingga jelas apa yang sesungguhnya terjadi. Atau dalam

bahasa lain, berita itu harus dikonfirmasi sampai jelas

dan yakin bahwa kebenaran informasi tersebut dapat

dipertanggungjawabkan sebagai sebuah fakta.

Tabayyun seolah memperkuat pepatah tetua daerah yang

mengatakan untuk; jangan mudah percaya pada orang lain,

namun hal ini bisa kita aplikasikan sebagai, jangan mudah

percaya pada berita dan konten. Delay your judgement.

Tunda dulu kesimpulanmu. Jika bingung bagaimana

hendak bersikap, maka saranku, berpegang teguh ah pada

Residensi Pegiat Literasi54

rasa skeptis. Ragukan segala hal. Periksa ulang semua

informasi yang didapat. Anggap seluruh informasi di dunia

maya sebagai pacar yang sedang berkelana jauh. Kita tentu

cenderung meragukan

seluruh perilaku serta orang

yang ditemui pacar kita

ketika mereka pergi jauh,

bukan? Halangan terberat

melakukan cross-check

informasi memang terkait

waktu, seolah kita tidak

punya cukup masa dan

tenaga untuk memastikan

segala informasi. Tapi,

tentu saja, sangat tidak rugi

untuk dilakukan.

Peribahasa memang tidak pernah lekang oleh waktu,

termasuk slogan yang sedang tren akhir-akhir ini terkait

media; bahwa barang siapa berhasil menguasai media,

dialah yang berhasil menguasai dunia. Sudah memiliki

sikap tabayun, cukup tahu informasi terkait digital, lalu

kamu hendak menguasai dunia? Rasanya terlalu cepat

sombong, sebab ada satu hal lagi yang menuntut untuk

dikuasai, yaitu kemampuan memproduksi konten digital.

“Barangsiapa berhasil

menguasai media, dialah yang berhasil

menguasai dunia”

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 55

Sebagai motor penggerak literasi di Kota Jambi, Rumah

Baca Evergreen juga berusaha untuk menguasai dunia lewat

media, terutama demi tujuan menyebarluaskan gerakan

literasi terhadap anak-anak.

Seperti ilustrasi tokoh Ninis di awal tulisan, relawan di

Rumah Baca Evergreen pun berusaha membudidayakan

karakter serupa, yaitu memublikasikan seluruh kegiatan

secara online. Luasnya jangkauan media maya menjadi

pokok alasan Rumah Baca Evergreen meniatkan diri untuk

menggemparkan publikasi. Sayangnya, demi membentuk

Residensi Pegiat Literasi56

suatu citra tertentu di media dibutuhkan konten yang dirakit

secara khusus, dan pada titik itulah Relawan Rumah Baca

Evergreen berusaha menaklukan tantangan baru, yaitu

memproduksi konten digital.

Tidak ada yang tidak bisa dipelajari di dunia ini, bukan?

Relawan Rumah Baca Evergreen percaya hal tersebut.

Bermodalkan kamera smartphone biasa serta keypad

qwerty, postingan foto yang dibumbui tulisan caption

terkait kegiatan Evergreen mulai melimpah di dunia maya.

Mengambil gambar tidak perlu menggunakan kamera

canggih, cukup menangkap momen yang tepat saja maka

foto tersebut sudah dapat menyampaikan pesan secara

komunikatif. Sebagai contoh, dalam memublikasikan

kegiatan rutin mingguan Rumah Baca Evergreen, yaitu kelas

menulis penulis cilik anak-anak, misalnya. Foto beserta

caption tinggal diunggah melalui media sosial Facebook

dan Instagram, media sosial dengan penggunaan termudah

sekaligus memiliki jejaring terluas maka seluruh dunia

dapat segera tahu. Tidak perlu diaksesorisi dengan editing

dan efek, foto dapat segera di-upload.

Akibat kegiatan rutin tersebut—mendokumentasikan

setiap kegiatan, membuat caption, mem-posting di media

sosial—Relawan Rumah Baca Evergreen mau tidak mau

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 57

terpaksa menyesuaikan dengan budaya publikasi. Seiring

berjalannya waktu, relawan jadi belajar bagaimana

menangkap momen sahih dengan pencahayaan yang akurat

demi menghasilkan foto estetik. Memang belum menguasai

kemampuan fotografi secara spesifik dan profesional,

namun menghasilkan foto yang dapat berbicara saja sudah

sangat memuaskan raga.

Kian hari kian minggu, menjepret momen lewat foto

saja dirasa tidak cukup. Diperlukan media yang dapat

mengomunikasikan kegiatan di Evergreen lebih dari

sekadar ilustrasi manusia tak bergerak, foto jelas tidak lagi

dapat memediasi kebutuhan tersebut. Relawan kemudian

mulai belajar bagaimana mengabadikan peristiwa melalui

bentuk baru, video. Lewat video penonton dapat melihat

dan merasakan secara komprehensif kegiatan yang

dilakukan di Rumah Baca Evergreen. Tanpa bantuan tutor

videografer secara khusus, relawan Rumah Baca Evergreen

memberanikan diri untuk merekam video amatir, lagi-lagi

hanya menggunakan smartphone. Kemampuan metake

sebuh produk audio visual datang bersama ilmu lain, yaitu

proses editing.

Berbekal ilmu yang kupelajari di kuliah, kuberanikan diri

untuk menyunting video menggunakan aplikasi yang mudah

Residensi Pegiat Literasi58

digunakan seperti windows movie maker, atau Filmora

wondershare. Meskipun, awalnya sangat keberatan dengan

tugas baru ini—“Kami dak biso nian ngedit video buk,

ganti tugas yang lain bae lah!”1 keluh kakak-kakak Relawan

pada Ibu Yanti, pengelola Rumah Baca Evergreen, namun

jam terbang relawan yang tinggi dalam mengedit video

menjadikan mereka pandai jua. Relawan Evegreen yang

awalnya harus diingatkan, “Kegiatan hari ini siapo yang foto-

foto? Jangan lupo gek didokumentasikan!”2, sampai inisiatif

tersebut muncul dari diri masing-masing Relawan di tiap-

tiap kegiatan. Lagi-lagi mengutip kalimat orang, yaitu bisa

karena biasa. Kunci untuk gembok permasalahan ini adalah

1 “Saya sangat nggak bisa ngedit video, bu, minta tugas yang lain saja!”2 “Siapa yang bertugas memfoto hari ini? Jangan lupa kegiatannya kita dokumentasikan!”

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 59

komitmen dan rutinitas. Melakukannya secara rutin tentu

akan membuatmu, sadar atau tidak, terbiasa melakukannya.

Kak Ully merupakan Relawan Rumah Baca Evergreen

yang sekarang dengan bangga dapat mengedit video.

Seluruh proses dapat

dilakukan dalam

genggaman menggunakan

ponsel pintar. Video ditake

dan di edit di smartphone

menggunakan aplikasi

seperti VivaVideo atau

Kinemaster. Sekarang,

bagi relawan Rumah Baca

Evergreen, mengambil

foto, men-shoot video dan

meng editnya bukan lagi

suatu masalah.

Beda ceritanya dalam hal menulis caption. Evergreen

mempunyai kegiatan mingguan untuk mengajarkan menulis

kepada anak-anak SD, terutama kelas 3 sampai kelas 6

SD. Kemampuan yang diajarkan secara khusus adalah skill

menulis cerpen sehingga tak salah apabila lomba-lomba

kepenulisan bagi anak-anak tiba, relawan siap membantu

“Bisa karena biasa. Kunci

permasalahan ini adalah komitmen

dan rutinitas. Melakukannya

secara rutin tentu akan membuatmu,

sadar atau tidak, terbiasa

melakukannya.”

Residensi Pegiat Literasi60

anak-anak untuk membimbing mereka menulis secara

intensif. Sebelum mengajarkan teknik penulisan kepada

anak-anak, tentu Relawan Rumah Baca Evergreen telah

digembleng untuk bisa menulis terlebih dahulu, minimal

dapat menuangkan ide dalam bentuk kalimat.

Relawan Rumah Baca Evergreen dilatih untuk menulis

setiap hari. Caranya? Relawan bergantian mendapat bagian

untuk menjaga Pojok Baca Pertama di Rumah Sakit Raden

Mattaher Provinsi Jambi. Sambil menjaga jalannya alur

peminjaman buku dan bermain dengan anak-anak yang

mampir di Pojok Baca, Relawan diwajibkan untuk membuat

dua tulisan dalam sehari. Tulisan pertama adalah rangkuman

hasil opini dari harian Kompas yang telah sebelumnya

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 61

dibaca, kedua adalah jurnal harian berisi seluruh kejadian

di Pojok Baca secara mendetail. Seperti apa yang terjadi,

siapa yang datang dan pergi, ada peristiwa menarik apa,

dan lainnya. Relawan Rumah Baca Evergreen secara tidak

langsung terbiasa menulis secara tepat, terperinci serta

dapat menyampaikan ide dalam bentuk tulisan utuh.

Kewajiban untuk menulis jurnal harian Kampung Literasi

juga mendukung diberlangsungkannya kebiasaan ini. Latar

belakang kebiasaan menulis tersebutlah yang mendukung

tertulisnya caption di media sosial secara detail.

Selain bisa karena biasa, Relawan Rumah Baca Evergreen

pun banyak belajar dari pengalaman. Bagaimana mengatur

strategi publikasi, misalnya. Termasuk di dalamnya terkait

Residensi Pegiat Literasi62

waktu publikasi, di mana prime time, atau jam istirahat

makan siang kantor dan Magrib merupakan waktu yang

paling tepat, serta engagement yang perlu dibangun untuk

menambah ketertarikan publik terhadap konten kita, seperti

aktif menyukai postingan dari followers. Variasi konten,

baik itu foto, video ataupun

tulisan, di media sosial juga

penting untuk memberikan

pesan bahwa; kita enggak

hanya melakukan kegiatan

itu-itu saja, lho. Kita juga

punya kegiatan lain seperti

ini, itu, yang di sana dan di

sini.

Publikasi yang

dilakukan oleh relawan

ini bukannya tidak

membuahkan hasil. Rumah Baca Evergreen memiliki

sponsor tersembunyi yang setiap bulan menyumbangkan

buku. Dari mana lagi beliau mengetahui aktifnya kegiatan

Rumah Baca Evergreen selain dari publikasi di media sosial,

bukan?

“Seorang relawan mengaku tergugah untuk terjun dan

bergabung dengan Evergreen karena

caption dari kegiatan Evergreen di

Facebook.”

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 63

Cerita unik lain adalah ketika salah satu Relawan Rumah

Baca Evergreen yang tertarik untuk mengikuti kegiatan di

rumah baca akibat intens dan rutinnya publikasi terkait

kegiatan serupa yang ia lihat di media sosial. Relawan

tersebut, Kak Meilisa, mengaku tergugah untuk terjun

langsung dan bergabung dengan Evergreen karena caption

dari kegiatan Evergreen di Facebook. Berawal dari rasa

penasaran, “kegiatan apo sih ini? Kok kayaknyo seru nian?”1

Sampai kemauan Kak Meilisa untuk bergabung secara

sukarela di Evergreen itu dapat terjadi terima kasih karena

rutinnya publikasi di Facebook. Kak Meilisa mengaku tersihir

oleh mantra ‘caption’. Sejak tahun 2016 sampai sekarang,

3 “Ini kegiatan apa, sih? Kok kelihatannya seru sekali?”

Residensi Pegiat Literasi64

Kak Meilisa masih aktif berkegiatan dan membantu adik-

adik meningkatkan kemampuan literasi melalui Rumah

Baca Evergreen.

Bukan hanya dari segi kerelawanan, di sisi lain,

pembelajaran atau literasi dengan memanfaatkan

kemampuan digital juga diterapkan di Rumah Baca

Evergreen. Menurut buku Quantum Learning, terdapat tiga

modalitas dalam belajar, yaitu audio, visual, dan kinestetik.

Terbiasa terpapar dengan konten digital, yaitu audio-visual,

membuat anak-anak jadi lebih cepat menangkap ilmu

yang disampaikan lewat bentuk video. Hal ini tentu dapat

terjadi sebagai akibat positif dari perkembangan dunia

digital dan tingginya intensitas anak-anak menonton video.

Di kelas penulis cilik, sebagai sampel, anak-anak kadang

diajak untuk menonton film dan video demi merangsang

kemampuan imajinasi dan kepekaan anak-anak terhadap

deskripsi kejadian. Rumah Baca Evergreen membuka

layar dan menyiapkan proyektor, kadang-kadang diiringi

dengan speaker untuk menambah khidmat suasana. Anak-

anak justru sangat menikmati kegiatan ini! Sebagian besar

dari mereka menginginkan kegiatan menonton ini untuk

dilaksanakan terus-menerus.

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 65

“Besok kami mau nonton lagi, Kak!”

Kakak Relawan Rumah Baca Evergreen mau tidak

mau cengengesan dan mengungkapkan bahwa kegiatan

menontonnya dapat dilaksanakan lain kali. Hmn, sabar ya,

adek!

Anak-anak Gerai Baca RT 18 pun berhasil menampilkan

lagu Jepang berjudul “Sayonara bokutachi no youem” pada

saat pembukaan Residensi Literasi Numerasi di Rumah Baca

Evergreen bulan Juli lalu. Kakak Relawan membantu anak-

anak menyanyikan lagu bahasa Jepang yang pelafalannya

sulit untuk dilakukan. Mereka berhasil tampil hanya dengan

mempelajari video yang dilihat di YouTube. Lagu tersebut

Residensi Pegiat Literasi66

mengisahkan mengenai perpisahan anak Taman Kanak-

kanak (TK). Mereka berusaha mengingat kembali seluruh

kejadian yang telah dilalui bersama, belajar bareng, tidur

bareng, makan dan bermain di sekolah. Lagu tersebut

diibaratkan sebagai seluruh kegiatan yang telah dilalui

anak-anak di Gerai Baca selama 2 tahun. Betapa memori

yang telah dialui anak-anak sangat berharga dan berkesan.

Kakak Relawan yang pernah mengikuti les bahasa Jepang

gratis sengaja memilih untuk menampilkan lagu ini. Selain

dapat berbagi kepada anak-anak terkait pengetahuan

berbahasa Jepangnya, Kakak Relawan berharap anak-anak

dapat selalu mengingat waktu-waktu indah yang selama ini

dilalui di gerai baca.

Beberapa teman yang lahir di era ‘90-an, kadang

mengeluh akan beratnya hidup di tahun 2018. Ketatnya

persaingan akademik, berebut lowongan pekerjaan, belum

Keliyanan Literasi 67

ditambah rasa iri yang kadang menghantui setiap kali

membuka media sosial. Ah, membandingkan diri dengan

orang lain memang jadi lebih mudah dilakukan semenjak

teknologi bernama Instagram. Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa rasa iri tersebut kerap timbul akibat

rendahnya rasa percaya diri.4 Relawan Rumah Baca

Evergreen, sebagai generasi milenial, pun mau tak mau

menghadapi ihwal yang sama. Simpulan yang diambil

pun tak lain tak bukan berakhir di titik; karena kemudahan

publikasilah, rasa iri tersebut merajalela.

Yang lain bergumam, apakah karena terlalu luang,

hingga mempublikasikan kelewat banyak hal? Atau, justru

berlomba-lomba menggaungkan opini tak berakar, sebab

miskin pujian?

4 Liu, H., Wu, L., & Li, X. (. (2018). Social Media Envy: How Experience Sharing on Media Social Networking Sites Drives Millennials’s Aspirational Tourism Consumption. Journal of Travel Research.

Residensi Pegiat Literasi68

Bisa jadi. Muara permasalahan akan kembali pada

pertanyaan terkait; bagaimana cara paling efektif untuk

membentengi diri?

Alquran dalam surah Al-alaq telah berulang kali

mengajak untuk membaca. Kembali pada bacaan. Bacalah

lagi dan lagi. Hal ini jelas searah dengan prinsip tabayyun

untuk selalu mengecek kembali kebenaran semua fakta.

Tahan dulu kesimpulanmu. Bacalah lagi sumber informasi

tersebut. Sebarkan jika kebenarannya sudah seratus persen

dapat dipertanggungjawabkan.

Berperang di dunia digital memang tidak cukup hanya

dengan kemampuan teknis terkait produksi konten dan

menguasai strategi penggunaan media. Justru di poin

tersebutlah kemampuan literasi diperlukan dan dibutuhkan

untuk digalakkan. Digital dan perkembangannya perlu

diimbangi juga dengan kemauan mempelajarinya, dalam

hal ini literasi sehingga tidak semata-mata menjadi budak

dan korban dari media saja.

Seperti yang telah disebutkan di paragraf awal bahwa

bicara tentang digital dan literasi itu berarti bicara soal

perpaduan rasa. Kalau diibaratkan sebagai kopi, cangkir

merupakan wadah tempat semuanya berkumpul, yaitu

LITERASI SEBAGAI BENTENG ARUS DIGITALOleh : Nisrina Hanifah

Keliyanan Literasi 69

seluruh konten dan warna yang ada di alam maya. Bubuk

kopinya sendiri merupakan digital, sedangkan air panas

merupakan literasi. Jumlah bubuk kopi yang dimasukkan

untuk meracik sebuah kopi perlu ditakar dengan perhitungan

khusus. Begitu juga dengan air panas yang baru akan terasa

lezatnya apabila dimasak dengan suhu tertentu. Bilamana

seluruh unsur tersebut dikolaborasikan, barulah dapat

dipetik sebuah kopi yang nikmat bukan? Hal-hal nikmat di

dunia ini memang semua hal yang seimbang.

Eh tunggu. Kecuali kalau kamu sukanya minum kopi

ditambah krimer, ya!

Residensi Pegiat Literasi70

Keliyanan Literasi 71

Oleh : RAFDI ALMAS ATSALIST

Di zaman moderen seperti sekarang ini kecangihan

teknologi tidak lagi diangap tabu karena bisa

dipastikan setiap individu atau orang yang berada

di perkotaan maupun perkampungan sudah mengenalnya.

Kian hari, perusahaan skala global menciptakan berbagai

produk dan piranti teknologi dan memasarkannya ke

Indonesia. Mengapa demikian? Karena Indonesia menjadi

pasar besar dunia. Dengan jumlah pengguna internet yang

mencapai 132 juta orang, jumlah tersebut menunjukkan

sebagai Pengembangan Jaringan TBM (Taman Bacaan Masyarakat)

Media Sosial

Residensi Pegiat Literasi72

bahwa setengah atau lebih dari 50% penduduk Indonesia

telah bisa mengakses internet, dan sebagian besar melalui

smartphone.

“smartphone adalah telepon selular dengan

mikroprosesor, memori, layar dan modem

bawaan. Smartphone merupakan ponsel

multimedia yang menggabungkan fungsionalitas

PC dan handset sehingga menghasilkan gadget

yang mewah, di mana terdapat pesan teks,

kamera, pemutar musik, video, game, akses

email, TV digital, search engine, pengelola

informasi pribadi, fitur GPS, jasa telepon

internet dan bahkan terdapat telepon yang

juga berfungsi sebagai kartu kredit.” (Williams

& Sawyer, 2011)

“Internet adalah sekumpulan jaringan komputer

yang saling terhubung secara fisik dan memiliki

kemampuan untuk membaca dan menguraikan

protokol komunikasi tertentu yang disebut

Internet Protocol (IP) dan Transmission Control

Protocol (TCP). Protokol adalah spesifikasi

sederhana mengenai bagaimana komputer

saling bertukar informasi.” (Allan, 2005)

MEDIA SOSIAL SEBAGAI PENGEMBANGAN JARINGAN TBM (TAMAN BACAAN MASYARAKAT)Oleh : Rafdi Almas Atsalist

Keliyanan Literasi 73

“Media sosial adalah media yang terdiri atas

tiga bagian, yaitu: Insfrastruktur informasi dan

alat yang digunakan untuk memproduksi dan

mendistribusikan isi media, isi media dapat

berupa pesan-pesan pribadi, berita, gagasan,

dan produk-produk budaya yang berbentuk

digital, kemudian yang memproduksi dan

mengkonsumsi isi media dalam bentuk digital

adalah individu, organisasi, dan industri.” (P.N.

Howard dan M.R Parks, 2012)

Kelas kesenian (Pembuatan Slime) yang di gagas oleh Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar

Residensi Pegiat Literasi74

Dok. 2 Desember 2017 (salah satu bentuk kegitan yang di lakukan Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar yang di publikasikan pada media sosial instagram dan facebook)

MEDIA SOSIAL SEBAGAI PENGEMBANGAN JARINGAN TBM (TAMAN BACAAN MASYARAKAT)Oleh : Rafdi Almas Atsalist

Keliyanan Literasi 75

Bisa dipastikan dengan begitu banyaknya konten yang

terdapat dapat dalam smartphone seperti yang dijelaskan

oleh Williams dan Sawyer, masyarakat bisa memanfaatkan

teknologi dengan begitu leluasa sesuai kebutuhan yang

diinginkan. Ini memungkinkan adanya terobosan atau inovasi

yang berimbas terhadap

peningkatan mutu atau

kualitas hidup manusia yang

lebih baik. Dalam kerangka

organisasi, media sosial bisa

menjadikan smartphone

dengan perangkat-perangkat

di dalamnya sebagai media

promosi dan pengembangan

jaringan. Termasuk dalam

hal ini: Taman Bacaan

Masyarakat (TBM) dan

aktivitasnya.

Pengguna internet terus meningkat seiring dengan

durasi menggunakan internet yang juga semakin

meningkat. Wearesocial melaporkan bahwa rata-rata dunia

menggunakan internet selama enam jam per hari untuk

mengakses internet melalui berbagai perangkat. Jika durasi

ini dikalikan dengan jumlah pengguna internet dunia, maka

“Masyarakat bisa

memanfaatkan teknologi

dengan begitu leluasa sesuai

kebutuhan yang diinginkan.”

Residensi Pegiat Literasi76

durasi penggunaan internet

oleh seluruh manusia di

bumi bisa mencapai lebih

dari 1 miliar jam untuk online

di tahun 2018. Bayangkan,

durasi sedahsyat itu bila

dioptimalkan para penggiat

TBM, tentu akan hebat pula

dampaknya.

Indonesia dalam hal durasi penggunaan internet

menempati peringkat keempat dunia dengan rata-rata 8

jam 51 menit setiap harinya. Indonesia hanya “kalah” dari

Thailand yang memiliki durasi 9 jam 38 menit, kemudian

Filipina 9 jam 29 menit dan Brazil dengan 9 jam 14 menit.

Peringkat Indonesia ini melampaui negara-negara maju

seperti Singapura yang memiliki rata-rata durasi 7 jam 9

menit, Tiongkok 6 jam 30 menit, Amerika Serikat 6 jam 30

menit dan Jerman 4 jam 52 menit.

Jadi, tidak menutup kemungkinan media sosial bisa

menjadi salah satu alat bagi Taman Bacaan Masyarakat

(TBM) untuk terus membangun jaringan ataupun koneksi

yang bisa menunjang pengembangan jaringan TBM yang

sedang dibangun.

“Tidak menutup kemungkinan media sosial bisa menjadi

salah satu alat bagi TBM untuk

membangun jaringan yang bisa menunjang

pengembangan TBM.“

Keliyanan Literasi 77

Kelas inspirasi yang digagas oleh Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar

Lomba cipta media pembelajaran Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar yang bekerja sama dengan Komunitas Komed, Dompet Dhuafa (Makml Pendidikan) dan Wardah Kosmetik.

Residensi Pegiat Literasi78

Dok. 4 Februari 2018 (kaloborasi antara Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar dengan Komunitas Trans Media Jakarta) dampak dari keberadan smartphone untuk akses media sosial sebagai salah satu daya tarik untuk

orang lain melakukan kegiatan di TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang kita kelola.

Tebar Buku Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar yang bekerjasama dengan Perpusdes Winduraja Membaca yang di selenggarakan di Kabupaten Ciamis.

MEDIA SOSIAL SEBAGAI PENGEMBANGAN JARINGAN TBM (TAMAN BACAAN MASYARAKAT)Oleh : Rafdi Almas Atsalist

Keliyanan Literasi 79

Berikut ini beberapa dampak positif media sosial bagi

pengelolaan TBM:

Pertama, menghemat waktu. TBM akan mengetahui

sumber-sumber informasi tepercaya yang dapat

dijadikan referensi untuk

pengembangan jaringan

secara cepat. Waktu akan

lebih berharga karena

dalam usaha pencarian

dan menemukan informasi

itu menjadi lebih mudah.

Kedua, belajar lebih cepat.

Pada kasus ini, misalnya

seorang pengelola TBM

yang harus mencari definisi

atau istilah kata-kata

penting pada glosarium. Dibandingkan dengan mencari

referensi yang berbentuk cetak maka akan lebih cepat

dengan memanfaatkan sebuah aplikasi khusus glosarium

yang berisi istilah-istilah penting. Ketiga, lebih aman.

Sumber informasi yang tersedia dan bernilai di internet

jumlahnya sangat banyak. Ini bisa menjadi referensi ketika

mengetahui dengan tepat sesuai kebutuhannya. Sebagai

contoh ketika pengelola TBM akan berkunjung ke daerah

“Dibandingkan dengan mencari

referensi berbentuk cetak, memanfaatkan

aplikasi khusus glosarium yang berisi istilah-istilah penting, justru lebih cepat”

Residensi Pegiat Literasi80

maka akan merasa aman apabila membaca berbagai macam

informasi khusus tentang daerah yang akan dikunjungi itu.

Keempat, selalu memperoleh informasi terkini. Kehadiran

aplikasi tepercaya akan membuat pengelola TBM selalu

memperoleh informasi baru. Kelima, Selalu terhubung.

Mampu menggunakan beberapa aplikasi yang dikhususkan

untuk proses komunikasi maka akan membuat pengelola

TBM selalu terhubung. Dalam hal-hal yang bersifat

penting dan mendesak maka ini akan memberikan manfaat

tersendiri untuk pengembangan jaringan. Keenam, membuat

keputusan yang lebih baik, pengelola TBM dapat membuat

keputusan yang lebih baik karena ia memungkinkan untuk

mampu mencari informasi, mempelajari, menganalisis, dan

membandingkannya kapan saja. Jika pengelola TBM mampu

membuat keputusan hingga bertindak maka sebenarnya

ia telah memperoleh informasi yang bernilai. Ketujuh,

dapat membuat Anda bekerja. Para pengelola TBM saat ini

membutuhkan beberapa bentuk keterampilan komputer.

Dengan adanya smartphone maka dapat membantu

pekerjaan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan

pemanfaatan komputer misalnya penggunaan--Microsoft

Word, Power Point--atau bahkan aplikasi manajemen

dokumen ilmiah seperti Mendelay dan Zetero. Kedelapan,

bikin lebih bahagia. Dalam pandangan Brian Wright, di

internet banyak sekali konten seperti gambar atau video yang

MEDIA SOSIAL SEBAGAI PENGEMBANGAN JARINGAN TBM (TAMAN BACAAN MASYARAKAT)Oleh : Rafdi Almas Atsalist

Keliyanan Literasi 81

KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dan edukasi boardgames KPK, kegiatan yang di gagas oleh Komunitas Tampa Batas, Genbaja (Generasi Baik Jabar) dan Microlibrary Dompet Dhuafa terlibat di dalamnya.

Bandung Bercerita yang di inisiasi oleh Microlibrary Dompet Dhuafa Jabar yang bekerjsama dengan Komunitas Ruang Mengabdi dan kegiatan ini rutin 1 (satu) Minggu sekali, setiap hari Minggu dari jam

09:00 - 12.00 WIB.

Residensi Pegiat Literasi82

bersifat menghibur. Oleh karenanya, dengan mengaksesnya

bisa berpengaruh terhadap kebahagiaan pengelola TBM.

Kesembilan, memengaruhi dunia. Di internet tersedia

tulisan-tulisan yang dapat memengaruhi pemikiran para

pembacanya. Dengan penyebaran tulisan melalui media

yang dilakukan pengelola TBM bisa menarik minat orang

lain melakukan hal yang sama di daerah masing-masing

pembaca dan berdampak

terhadap penyediaan

bahan bacaaan yang akan

merata di kemudian hari.

Dari beberapa kegunaan

positif media sosial di

atas, pengelola TBM harus

memanfaatkan sebagai

ajang silaturahmi antar

pegiat literasi untuk sekadar

sharing tentang pengalaman

dalam mengelola TBM

maupun ajang promosi

sehingga eksistensi atau keberadaan bisa diketahui oleh dunia

luar. Hal tersebut bisa berimbas terhadap meningkatnya

pemustaka yang berkunjung untuk sekadar membaca

ataupun berkegiatan. Bahkan tidak menutup kemungkinan

“Pengelola TBM harus

memanfaatkan media sosial untuk ajang silaturahmi

antar pegiat literasi atau berbagi

pengalaman dalam mengelola TBM ”

MEDIA SOSIAL SEBAGAI PENGEMBANGAN JARINGAN TBM (TAMAN BACAAN MASYARAKAT)Oleh : Rafdi Almas Atsalist

Keliyanan Literasi 83

terjalinnya kerja sama dengan berbagai intansi pemerintah

maupun pihak swasta yang peduli dan konsen akan kemajuan

masyarakat lewat keberadaan TBM yang dikelola.

Dari uraian di atas jelas bahwa pengelola TBM

memiliki peranan penting dalam pengembangan jaringan

TBM dengan mengoptimalkan smartphone. Maka sudah

selayaknya, pengelola TBM memberikan pemahaman

ataupun informasi yang sangat membantu bagi masyarakat.

Sangat baik kalau smartphone digunakan sebagai sarana

menambah ilmu ataupun membuka peluang usaha baru

sesuai kebutuhan masyarakat hari ini.

Dengan demikian bisa dipastikan keberadaan media

sosial sangatlah menunjang terhadap pengembangan

jaringan TBM yang kita kelola, salah satunya kita

dapat mempromosikan kegiatan yang sedang dan akan

dilaksanakan di TBM sehingga menarik minat orang lain

untuk ikut bergabung digerakan tersebut. Lebih jauh dari itu,

bisa jadi referensi orang untuk bergerak dan membangun

jaringan yang sama dengan apa yang sudah kita lakukan

karena gerakan yang dipromosikan tersebut akan

memudahkan orang untuk menirugerakan yang sedang kita

bangun, bahkan gerakan mereka bisa berkembang dengan

mudahnya dibandingkan gerakan kita. Semoga.

Residensi Pegiat Literasi84

Keliyanan Literasi 85

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP

Di Era Revolusi Industri 4.0

Oleh : QINY SHONIA AZ ZAHRA

Siapa yang mengira jika kebiasaan generasi 90’an

di Indonesia dengan saling bertukar biodata yang

ditulis pada kertas binder atau lose leaf warna-

warni antar teman, akan berevolusi menjadi data-

data pribadi yang saling ditukar bukan hanya dengan teman

bahkan dengan orang asing di dunia maya? Fenomena

yang sudah menjadi budaya, bisa dijumpai pada halaman

Friendster, MySpace, kemudian Facebook. Atau sahabat

pena yang kini berevolusi dengan hanya ketikan jemari

dengan balasan pada waktu yang relatif singkat pada

Residensi Pegiat Literasi86

Email atau instant messenger seperti YM, BBM, Whatsapp,

WeChat atau Line. Lalu kehadiran diary yang terekspos

dalam bentuk blog di halaman WordPress, Blogger, Tumblr

dan lain-lain.

Ternyata, tidak hanya

makhluk hidup, benda

mati seperti media literasi,

baik itu membaca maupun

menulis terus berevolusi

sesuai dengan kebutuhan

manusia. Media literasi

ini benda mati yang

membantu manusia untuk

lebih hidup. Selain sebagai

demand atau permintaan

akan tempat atau rumah

kedua. Seperti hukum

ekonomi, adanya demand

selalu diikuti supply atau penawaran. Kebanyakan media,

baik dalam maupun luar negeri ini sama-sama bertujuan

membuat wadah lain yang relevan dengan kebutuhan dan

budaya baru yang tercipta hingga abad 20.

Jika menurut KBBI, literasi adalah kemampuan

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

“Tidak hanya makhluk hidup, media literasi,

baik itu membaca maupun menulis terus berevolusi sesuai dengan

kebutuhan manusia.”

Keliyanan Literasi 87

menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan

dalam bidang atau aktivitas tertentu: — computer, serta

kemampuan individu dalam mengolah informasi dan

pengetahuan untuk kecakapan hidup.[1] Literasi lama

mencakup kompetensi calistung. Sedangkan literasi baru

mencakup literasi data, literasi teknologi dan literasi

manusia.

Literasi data terkait dengan kemampuan membaca,

menganalisis dan membuat konklusi berpikir berdasarkan

data dan informasi (big data) yang diperoleh. Literasi

teknologi terkait dengan kemampuan memahami cara

kerja mesin. Aplikasi teknologi dan bekerja berbasis

produk teknologi untuk mendapatkan hasil maksimal.

Literasi manusia terkait dengan kemampuan komunikasi,

kolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif.[2]

Dunia dan segala isinya seolah konstan namun

sesungguhnya kita bergerak dinamis seiring perubahan-

perubahan yang datang silih berganti. Bentuknya bisa

sama juga berbeda. Adanya revolusi industri 4.0 menjadi

tanda pergerakan yang terus terjadi. It’s both enchanting

yet terrifying. Jika dulu kebutuhan manusia hanya sebatas

menulis dan membaca, semakin hari kebutuhan manusia

dalam dunia literasi semakin tidak terbatas. Hal ini bisa

Residensi Pegiat Literasi88

menjadi ancaman sekaligus peluang bagi para pengguna

internet khusunya dan teknologi pada umumnya.

Dalam sebuah sesi diskusi beberapa waktu lalu yang

diadakan oleh salah satu komunitas edukasi untuk para

pelaku kreatif, Lingkaran, menurut Tita Larasati seorang

akademisi dari Institut

Teknologi Bandung

merangkap sebagai Ketua

Bandung Creative City

Forum (BCCF), literasi

digital menjadi salah satu

poin sekaligus pion penting

dalam bertahan di era

Industry 4.0. Karena bukan

hanya sekadar menulis dan

membaca, literasi digital

mencakup berbagai data,

media, dan sudut pandang serta cara berpikir seseorang

dalam menghadapi berbagai fenomena serta problematika

di tengah kemajuan teknologi yang sangat massive beberapa

tahun terakhir.

Jika beberapa tahun sebelumnya cita-cita anak Indonesia

terbatas pada ingin menjadi dokter, polisi, guru, PNS,

“Literasi digital menjadi salah satu poin sekaligus pion penting dalam bertahan di era Industry 4.0”

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 89

bahkan astronot, profesi lain seperti Youtuber merupakan

salah satu profesi yang menjadi cita-cita anak-anak masa

kini. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kemajuan teknologi

membuka peluang-peluang baru di antara ancaman-

ancaman yang menghadang. Youtuber hanya salah satu

contoh dari kemunculan berbagai peluang dalam circle

lapangan pekerjaan yang selalu hadir dalam perihal bias

dengan jumlah pengangguran.

Fenomena revolusi industri 4.0 dengan literasi digital

dengan momoknya masing-masing memberikan pilihan

yang dapat menjadi teman atau lawan. Menjadikannya

peluang atau ancaman. Dengan adanya statistik yang

menunjukkan budaya akan penggunaan smartphone dalam

mengakses internet saat smartphone kini menjadi kebutuhan

primer sebagian besar manusia. Dilansir dari Global Digital

Report tahun 2018 oleh WeAreSocial yang bekerja sama

dengan Hootsuite, 60% pengguna internet di Indonesia

menggunakan smartphone sebagai alat dalam mengakses

internet.

Indonesia menjadi negara ke dengan pengguna internet

sebanyak 132 juta jiwa, jumlah tersebut merupakan jumlah

pengguna internet yang cukup besar karena lebih 50% dari

total masyarakat Indonesia. Selain itu, Indonesia menjadi

Residensi Pegiat Literasi90

negara keempat dunia dengan durasi rata-rata 8 jam 51

menit dalam penggunaan internet setiap harinya. Peringkat

ini di bawah Thailand, Filipina dan Brazil pada peringkat

pertama. Peluang untuk menjadikan revolusi industry 4.0

dengan memperdalam literasi digital seharusnya menjadi

titik cerah. Maka dari itu, kebutuhan untuk berpikir kritis

dan kreatif dalam mengintegrasikan hal tersebut harus terus

dilatih, salah satunya dengan menulis.

James W. Pennnebaker, Profesor Psikologi di University of

Texas, Austin mengembangkan sebuah tulisan mengungkap

potensi manfaat kesehatan dari menulis tentang emosi atau

lebih dikenal dengan expressive writing, sebuah penelitian

mengenai bagaimana aktivitas menulis bertujuan untuk

menyembuhkan.

Menurut Pennebaker, saat seseorang diberi kesempatan

untuk menulis tentang gejolak emosionalnya, mereka

cenderung memiliki perubahan fungsi kekebalan tubuh.

Hal ini sejalan dengan fenomena para pengguna jejaring

sosial yang gemar mengupdate status pada akun masing-

masing. Terlepas dari sebuah tantangan berat ketika dalam

sepersekian detik informasi-informasi tersebut menyebar

tanpa adanya crosscheck lebih lanjut sehingga hoax dengan

cepat dan mudahnya menyebar.

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 91

Selain adanya tantangan-tantangan dalam era revolusi

industri 4.0 yang erat kaitannya dengan literasi digital,

dilansir dari GNFI1 situs Wearesocial menempatkan

Indonesia di peringkat 7 dunia sebagai negara yang paling

optimis memandang internet sebagai teknologi yang mampu

membuka banyak peluang dan kesempatan baru dan bukan

sebagai teknologi yang

memberikan ancaman.

Jika dulu kita hanya

berkutat dengan media

seperti buku, maka adanya

internet menjadi sebuah

trigger sekaligus media

alternatif bahkan media

baru dalam tumbuh dan

berkembangnya literasi.

Media sosial hanya

salah satu tangga bagi ide,

gagasan, kreatifitas, dieksplorasi sedemikian rupa dalam

dunia literasi digital sehingga menciptakan fenomena yang

tak pernah luput dan habis untuk terus digali.2

“Internet menjadi sebuah trigger sekaligus media alternatif

bahkan media baru dalam tumbuh dan

berkembangnya literasi”

1 https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/02/06/inilah-perkembangan-digital-indonesia-tahun-20182 https://raamfest.com/tumbuh-dan-tak-terasing-di-tengah-era-literasi-digital/

Residensi Pegiat Literasi92

Adanya berbagai platform menulis digital baik yang

berasal dari luar maupun karya anak bangsa bisa menjadi

media untuk bertahan di era revolusi industri 4.0. Sebuah

tulisan yang nyatanya hasil pemikiran manusia, bukan

robot maupun teknologi di dalamya. Jika posisi tukang

parkir sudah sebagian besar digantikan oleh mesin dan

atau customer service sudah mulai digantikan oleh mesin

atau chat bot, kemampuan menulis yang pada dasarnya

menggunakan seluruh panca indera akan sulit tergantikan.

Menulis membutuhkan rasa yang berasal dari data

yang didapat dan dikumpulkan melalui mata yang melihat

fenomena bahkan hal-hal kecil yang ada dalam jangkauan

pandangan, telinga untuk mendengar berbagai macam suara,

hidung untuk mencium asal muasal dan jenis bau wewangian,

lidah dan mulut untuk mencecap dan berbicara, kulit untuk

merasa berbagai sentuhan dan semua diolah dalam kepala

dan hati yang menjadi core atau inti yang hanya dimiliki

manusia. Semua disimpan, dianalisis, diintegrasikan melalui

berbagai proses kreatif lalu diciptakan dalam sebuah karya.

Dari proses menulis secara tidak langsung kita belajar

memanusiakan manusia. Robot atau mesin tidak memiliki

empati, sedangkan manusia lahir dengan hal tersebut.

Terlepas dari tujuan seseorang dalam menulis, baik itu

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 93

untuk sekedar mencari rumah kedua sebagai bentuk

eksplorasi dan ekpresi diri, bukti eksistensialis, atau sebagai

bentuk monetisasi dan menjadikannya profesi, menulis bisa

menjadi media dalam aktualisasi diri. Tidak hanya sekedar

media ekspresi.

Berawal dari menulis

di buku diary semasa

kanak-kanak, menulis

menjadi kegemaran bagi

saya sendiri. Sekadar

menorehkan keresahan

pada media kertas dengan

pena sebelum adanya

platform menulis di internet

seperti sekarang.

Dari sekadar tulisan

berupa hal menyenangkan yang dialami pada hari itu sampai

gerutu pada suatu hal kecil khas anak-anak seperti dimarahi

orang tua atau berkelahi dengan teman yang mungkin tidak

seberapa, hingga puisi-puisi tak seberapa lainnya yang

ditulis dalam diary kecil yang tak luput dengan gemboknya.

Kadang saya kirimi teman semasa kecil saya dengan

“Dari proses menulis secara tidak langsung

kita belajar memanusiakan

manusia”

Residensi Pegiat Literasi94

puisi tentang cecak, meski hanya melalui sepucuk surat.

Kebiasaan menulis di buku diary ini terus berlanjut hingga

masa remaja. Masa SMA, circa 2008 menjadi awal dari

perkenalan saya dengan media sosial dan platform menulis

digital. Sekadar menulis

(lagi-lagi) hal-hal tak

seberapa di Friendster, lalu

berlanjut di Blogger dan

Tumblr.

Selain Blogger dan

Tumblr, kebiasaan menulis

membawa saya pada

sebuah platform menulis

buatan anak bangsa, yakni

Storial. Storial adalah

story sharing platform yang memungkinkan penulis ingin

menulis buku, untuk menulis dan meng-upload karyanya

bab per bab dengan berbagai macam genre, baik fiksi

maupun nonfiksi. Pada proses ini, selain sebagai platform

penulis, ada hal menarik lain yakni adanya interaksi dua

arah yakni interaksi antar pembaca dan penulis. Bagaimana

respons pembaca baik apresiasi, saran, maupun kritik bisa

membangun sebuah interaksi sehat dan meningkatkan

kemampuan menulis dan kualitas tulisan seseorang. Atau

“Kritik bisa membangun

sebuah interaksi sehat dan

meningkatkan kemampuan menulis dan

kualitas tulisan”

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 95

adanya interaksi antar sesama pembaca juga sesama penulis,

seperti media sosial pada umumnya. Lebih menarik, karena

berada dama interest yang sama, sama-sama menyukai

buku dan dunia tulis-menulis.

Storial didirikan oleh Ega, Ollie yang sebelumnya telah

tergabung dalam nulisbuku.com, Steve sebagai CEO dan

Sofia sebagai CTO. Berdiri pada November 2015, Storial.

co kini telah berevolusi menjadi situs menulis yang cukup

memiliki peluang dalam dunia kepenulisan karena dapat

menghasilkan income. Selain bertujuan untuk sharing dan

menjadikannya bacaan gratis, para penulis buku di Storial

bisa menjadikan beberapa bab di buku kita menjadi premium

chapter, sehingga jika para pembaca ingin membaca buku

tersebut harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli

koin storial.

Tidak hanya itu, sebelum adanya Storial Premium

Chapter, Storial salah satu media yang tepat dalam

membentuk sebuah karya serta melatih konsistensi menulis.

Beberapa karya penulis di Storial sudah ada yang dibukukan

penerbit major maupun minor yang kini menjejali toko buku

offline maupun online, seperti Potret karya Aditia Yudis, The

Playlist karya Erlin Natawira, Karung Nyawa karya Haditha

dan buku-buku lainnya. Para penulis tersebut memiliki

Residensi Pegiat Literasi96

pembacanya tersendiri. Bahkan, belakangan, para penulis

terkenal dengan buku-buku best seller bahkan beberapa

telah dan sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar,

seperti Ika Natassa dan Bernard Batubara melahirkan anak-

anaknya melalui Storial premium chapter.

Selain Storial, GWP

atau Gramedia Writing

Project menjadi sebuah

pilihan lain dalam

membangun sebuah karya

berupa tulisan. Seperti

namanya, Gramedia

Writing Project ini sebuah

platform menulis di bawah

naungan Gramedia Pustaka

Utama. Jika dalam layar

kaca menayangkan acara

ajang pencarian bakat

dalam menyanyi, menari, atau komedi, Gramedia Writing

Project pada tahun 2014 memproklamirkan dirinya sebagai

komunitas menulis online dan ajang pencarian bakat

menulis Indonesia.

GWP dan Storial sama-sama menjadi media yang

“Selain untuk menuangkan kegelisahan-

kegelisahan hidup, menulis menjadi

self healing. Menulis dan membaca bisa

membuat saya tetap waras.”

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 97

menampung para penulis dan pembaca. Gramedia Writing

Project dalam gwp.co.id memiliki kesempatan atau

peluang lebih besar untuk diasuh dan dibimbing para editor

Gramedia Pustaka Utama seperti Clara NG yang telah

menerbitkan beberapa buku yang kemudian dipublikasikan

dalam penerbit yang sama. Tidak hanya itu, peluang untuk

didistribusikan dalam ribuan jaringan Toko Buku Gramedia

di seluruh Indonesia.

Baik Storial maupun GWP, keduanya hanya media

alternatif dalam menuangkan sebuah ide, gagasan, dalam

proses berfikir kreatif untuk menghasilkan sebuah karya.

Wattpad, platform menulis menjadi salah satu media yang

cukup ramai, menjadi pilihan para penulis dan pembaca

di Indonesia. Platfrom blogging pun seperti Blogger,

Wordpress, Weebly, Tumblr juga Medium adalah beberapa

pilihan lain yang bisa kita coba. Semakin banyak pilihan,

semakin banyak pula kesempatan dan peluang dalam

mengembangkan potensi diri dalam bidang literasi.

Selain menulis untuk menuangkan kegelisahan-

kegelisahan hidup, menulis menjadi self healing. Menulis

dan membaca bisa membuat saya tetap waras. Aktivitas

menulis dan membaca termasuk literasi lama, tetapi

keduanya tidak bisa dipisahkan karena dengan membaca

Residensi Pegiat Literasi98

kita bisa menulis. Kemudian, Medium dan Storial menjadi

media pilihan saya dalam menulis beberapa tahun ini. Meski

tulisan saya tidak sehebat Hellen Keller dan kemampuannya

dalam menerjemahkan kepekaanya dalam balutan aksara.

Sebelum berkenalan dengan Raamfest.com, website dari

perwujudan sebuah gerakan multiliterasi di Tasikmalaya.

Belakangan saya baru mengetahui bahwa saat mulanya

tertarik menjadi kontributor Raamfest.com, tulisan di

Medium mengantarkan saya menuju relawan tulis menulis

di Raamfest.com. Sejak itu saya berfikir jika kegelisahan

seseorang yang dituangkan dalam sebuah tulisan atau karya

lainnnya dengan memanfaatkan media di dunia maya bisa

mengantarkan seseorang pada rumah lainnya. Setidaknya,

beberapa karya bisa menjadi portofolio seseorang jika dapat

menemukan media yang tepat.

Teman-teman saya yang tumbuh dan berkembang di

dunia kreatif, seorang graphic designer misalnya, memilih

Tumblr sebagai rumah kedua mereka. Selain memamerkan

karya dan bentuk illustrasi, Tumblr menjadi media untuk

menyimpan portofolio kepentingan profesi. Meski tidak

sedikit pula para penulis yang memilih Tumblr sebagai

rumah kedua. Media yang dipilih tidak menjadi masalah,

selama bisa memanfaatkannya dengan baik.

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 99

Banyaknya platform menulis dan membaca serta

berbagai macam jejaring sosial di dunia maya tumbuh

bersamaan dengan pesatnya perkembangan media

informasi yang kini bisa dinikmati dari genggaman tangan

pada layar smartphone. Mojok.co, Basabasi.co, Tirto.id,

Whiteboardjournal, IDNTimes, GNFI, Kompasiana, Sociolla,

hanya sebagian kecil media indie yang tumbuh dan memiliki

pembacanya masing-masing. Selain menikmati beragam

informasi, media tersebut memberi kesempatan pada siapa

saja untuk menjadi kontributor sehingga berperan serta

dalam penuangan ide dan gagasan mengenai sudut pandang

akan suatu hal. Beberapa website bahkan memberi reward

bagi para penulis jika tulisannya dimuat. Lebih dari itu,

kesempatan tulisan kita dibaca oleh jutaan orang menjadi

reward tersendiri yang tidak bisa diukur materi. Meski lagi-

lagi respons yang dihasilkan tidak melulu sesuai dengan apa

yang diharapkan. Namun setidaknya kita tidak duduk diam

dan membiarkan ide dan gagasan yang muncul menguap

tanpa melalui proses kreatifitas.

Baik sekarang maupun beberapa tahun kemudian, jika

saya berkesempatan untuk memiliki seorang anak saya

lebih memilih untuk mendidik anak saya menjadi anak yang

kreatif, bukan menjadi anak pintar. Era digital dan revolusi

industri 4.0 dengan kemajuan teknologinya, menuntut kita

Residensi Pegiat Literasi100

untuk terus berpikir kreatif karena kreativitas manusia tidak

dapat terganti oleh mesin sekalipun.

Selain Youtuber, profesi seorang content creator, content

writer, creative writer, graphic designer, programmer,

app developer, merupakan profesi baru yang mungkin

tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Nyatanya,

beberapa profesi tersebut adalah profesi yang ada hampir

di semua aspek kehidupan, baik di perusahaan swasta

atau pemerintah, lokal maupun multinasional, bahkan

perusahaan start up atau perusahaan yang sudah sekian

lama berdiri.

Pada akhirnya, hanya mereka yang mampu beradaptasi

dengan perubahan dan memanfaatkan kemajuan teknologi

dengan sebaik-baiknya yang mampu bertahan. Di tengah

era disrupsi, dengan kebutuhan manusia yang menuntut

semuanya serba cepat, penguasaan literasi digital menjadi

keharusan dan mau tidak mau kita tidak bisa acuh dan

sengaja menutup mata saat teknologi mendigitalisasi

keseharian manusia, di mana informasi bukan lagi sebuah

privasi dan data yang menjadi sebuah komoditi yang banyak

dimanfaatkan pihak-pihak tertentu dalam mencapai tujuan.

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 101

“Menulis hanya salah satu cara dalam

aktualisasi diri dari berbagai aktivitas

kreatif yang bisa kita lakukan sesuai dengan

minat dan bakat masing-masing.”

Seiring dengan tujuan3 pengembangan rumpakapercisa.

tk4 mengenai literasi digital sebagai upaya tindak lanjut

kegiatan yang menjadikan para peserta sebagai literacy cyber

army5. Yang menarik, selain itu peserta residensi tidak sekadar

memahami literasi digital sebagai internet sehat, menangkal

pemberitaan palsu alias hoax, dan pengguna media sosial yang

pasif. Adanya media sosial

setidaknya menjadi suatu

media alternatif yang bisa

mendukung produktivitas

berkelanjutan. Seperti

media-media atau platform

menulis yang menawarkan

untuk menjadi media yang

mewadahi kreatifitas dan

latihan dalam menulis

untuk terus produktif

melalui hal positif. Menulis

hanya salah satu cara dalam aktualisasi diri dari berbagai

aktivitas kreatif yang bisa kita lakukan sesuai dengan minat dan

bakat masing-masing. Satu pesan yang paling saya ingat dari

3 Tujuan Konvergensi Media Literasi Digital Rumpaka Percisa.4 Rumpaka Percisa merupakan salah satu komunitas literasi atau taman bacaan masyarakat yang berlokasi di Kota Tasikmalaya yang menyelenggarakan residensi literasi tahun 2018.5 Sebuah kelompok atau pasukan maya yang akan bergerak dalam memengaruhi dunia digital dengan produktivitas, kreativitas, dan bersifat pencerahan. Para peserta adalah literacy cyber army yang terbentuk pascaresidensi literasi digital di Rumpaka Percisa Kota Tasikmalaya. Peserta residensi ini dijadikan contoh untuk para penggiat lainnya untuk mengembangkan Konvergensi Media sebagai Literacy Cyber Army di wilayah masing-masing.

Residensi Pegiat Literasi102

seorang penulis, editor, dan guru, Kak W, Windy Ariestanty,

bahwa katanya, menulis itu latihan. Bukan hanya latihan

menulis agar lebih laik, tetapi juga latihan untuk rajin mengajak

diri kita bercakap-cakap.

Sebelum bercakap-cakap dengan orang lain, bukankah

lebih asik ketika kita bercakap-cakap dengan diri sendiri?

Bercakap-cakap perihal banyak hal. Perihal mengenal dan

mengeksplorasi diri sendiri. Perihal memanusiakan diri

sendiri. Perihal bagaimana memanusiakan manusia di antara

banyaknya replika dengan dalih teknologi yang sengaja

dibuat sebagian manusia itu sendiri. Perihal bagaimana dan

apa yang bisa kita lakukan untuk menerima, menyelami,

hidup, bertambah dan bertumbuh serta bertahan dan

beradaptasi dengan perubahan-perubahan di tengah dunia

dan seisinya yang terus bergerak.

PERIHAL MENULIS DAN BERCAKAP-CAKAP DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0Oleh : Qiny Shonia Az Zahra

Keliyanan Literasi 103

Residensi Penggiat Literasi Bidang Digital

Residensi Pegiat Literasi104

Keliyanan Literasi 105

Residensi Pegiat Literasi106

Keliyanan Literasi 107

Residensi Pegiat Literasi108

Keliyanan Literasi 109

Residensi Pegiat Literasi110

Keliyanan Literasi 111

Residensi Pegiat Literasi112

Keliyanan Literasi 113

Residensi Pegiat Literasi114

Keliyanan Literasi 115

Residensi Pegiat Literasi116

Keliyanan Literasi 117

Residensi Pegiat Literasi118

Keliyanan Literasi 119

Residensi Pegiat Literasi120

Keliyanan Literasi 121

Residensi Pegiat Literasi122

Keliyanan Literasi 123

Residensi Pegiat Literasi124

Keliyanan Literasi 125

Residensi Pegiat Literasi126

Keliyanan Literasi 127

Residensi Pegiat Literasi128

Keliyanan Literasi 129

Residensi Pegiat Literasi130

Keliyanan Literasi 131

Residensi Pegiat Literasi132

Keliyanan Literasi 133

Residensi Pegiat Literasi134

Keliyanan Literasi 135

Residensi Pegiat Literasi136

Tentang Penulis

DEA ADITYA adalah nama pasar dari ADITYA

PRAYOGA. Lahir di Lubuklinggau, 4 Desember

1997. Fasilitator BENNYINSTITUTE ACTING

CLASS (BAC). Karya mutakhirnya adalah naskah

lakon Reuni (2018). Ia dinobatkan sebagai Best

Actor dalam 2nd Lubuklinggau Short Movie

Festival (LSMF) 2018.

BUDI HARSONI lahir di Bandar Lampung,

12 Juli 1973. Tinggal di Rangkasbitung, kota

kecil tempat Multatuli pernah menjabat sebagai

Asisten Residen Lebak, Budi Lengket panggilan

akrab teman-teman dekatnya. Seorang Ronin

yang menjalani hidup secara random ini pernah

mengenyam pendidikan di Pondok Pesantrean

Salafy Madarijul Ulum, Pelamunan Tegal, Keramat

Watu, Serang-Banten dan Pondok Pesantren

Modern Daar El Qolam, Gintung, Jayanti,

Tangerang-Banten. Jurnalis yang aktif mengelola

kelas menulis di Sanggar Kedai Proses dan Teater

Gates. Maniak kopi yang juga Sekretaris Pengurus

Wilayah Forum TBM Provinsi Banten ini sehari-

harinya bisa ditemui di kantin Perpustakaan Saidja

Adinda Rangkasbitung.

Keliyanan Literasi 137

NISRINA HANIFAH lahir di Bogor, 16

Oktober 1997. Hobinya yang suka membaca

membawanya untuk aktif menjadi salah satu

relawan di Rumah Baca Evergreen Jambi.

Kesukannya pada tulisan juga membuat

Ninis, panggilan akrabnya, untuk aktif

menulis sejak masa kanak-kanak. Beberapa

judul karangannya yang telah diterbitkan

oleh Dar! Mizan adalah KKPK The Star

Girls (2008) KKPK The Evergreen (2009)

serta Fantasteen Kunci Hitam (2011). Selain

menulis, Ninis juga tertarik terjun ke dunia

media serta riset komunikasi. Pada tahun

2017 ia meraih juara 1 pada I-Bravery

Competition kategori I-Solve (PR Challenge)

Universitas Telkom Bandung serta juara 2

pada ajang Pekan Komunikasi UI 2018 mata

lomba Media Matters.

Saat ini Ninis tengah sibuk menonton pop

culture sambil menempuh pendidikan di

Universitas Padjadjaran Jatinangor. Untuk

kontak lebih lanjut, Ninis dapat dihubungi

melalui [email protected]

RAFDI ALMAS ATSALIST lahir di Ciamis,

05 Mei 1992 tepatnya di Desa Winduraja -

Kawali sebuah Desa di pesisiran kabupaten

Ciamis, yang dahulu kala kawali adalah

Residensi Pegiat Literasi138

pusat kerajaan Sunda Galuh yang namanya sangat

di segani oleh kerajaan Nusantara, relawan yang

mengabdikan dirinya untuk bergerak di bidang

literasi dan sosial sejak bangku kuliah tepatnya

2010 silam, menjadi pengurus JABARACA (Jawa

Barat Membaca) dan kini sibuk menekuni hoby

barunya yaitu menulis dan berbagi pengalaman

suka duka menjadi seorang relawan kepada

pemuda-pemudi yang peduli dan mau berbagi di

bidang literasi dan sosial. “Teruslah bergerak dan

berbagi selagi nafas ini berhembus dan diamlah

ketika nafas ini tak berhembus, karena mati

adalah keabadian yang hakiki”-Rafdi2015

QINY SHONIA AZ ZAHRA perempuan biasa

yang merasa belum layak untuk disebut penulis.

Salah satu cerpennya tersisip dalam buku How to

Script A Kiss (Nulis Buku, 2016). Karena tidak bisa

menjadi astronot, ia mengisi hari-harinya dengan

puisi dan kepul asap di dapur. Sesekali menulis

di Raamfest.com dan medium.com/@inshonia.

Jika ingin bercakap-cakap, bisa juga ditemui

melalui surel [email protected] Publishing,

Hongkong.

Keliyanan Literasi 139

Residensi Pegiat Literasi140

KEMENTERIAN

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan,

Ditjen PAUD dan Dikmas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

donasibuku.kemdikbud DonasiBuku Kemdikbud @donasibk.dikbud @donasibk.dikbud

KEMENTERIAN

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan,

Ditjen PAUD dan Dikmas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

donasibuku.kemdikbud DonasiBuku Kemdikbud @donasibk.dikbud @donasibk.dikbud

KEMENTERIAN

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan,

Ditjen PAUD dan Dikmas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

donasibuku.kemdikbud DonasiBuku Kemdikbud @donasibk.dikbud @donasibk.dikbud