kematian somatik

21
KEMATIAN SOMATIK Karbamoil fosfat, ribose mononukleotida asam nukleat Asam α keton asam amino protein inti sel, Enzim kompleks, mitokondria, CO2 Ribosom, kloroplas H2O sistem kontraktil organel N2 Piruvat, malat monosakarida polisakarida supermolekul Asetat, malonat asam lemak, gliserol lipid Molekul lingkungan unit pembangunan (BM 100-250) makromolekul Gambar Organisasi Sel (Toha, 2005) Walaupun di dalam tubuh terdapat berbagai jenis sel dengan fungsi-fungsi yang sangat khusus, semua sel sampai satu taraf tertentu, mempunyai gaya hidup dan unsure structural yang serupa. Mereka mempunyai keperluan yang sejajar akan zat-zat seperti oksigen dan suplai zat makanan, bagi suhu, suplai air dan sarana pembuangan sampah yang konstan. Sel secara harfiah adalah unit kehidupan, kesatuan lahiriah yang terkecil yang menunjukkan bermacam-macam fenomena yang berhubungan dengan hidup. Karena itu, sel juga merupakan unit dasar penyakit (Price & Wilson, 1995).

Upload: muthia-zhafira

Post on 29-Nov-2015

203 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEMATIAN SOMATIK

KEMATIAN SOMATIK

Karbamoil fosfat, ribose mononukleotida asam nukleat

Asam α keton asam amino protein inti sel,

Enzim kompleks, mitokondria,

CO2 Ribosom, kloroplas

H2O sistem kontraktil organel

N2

Piruvat, malat monosakarida polisakarida

supermolekul

Asetat, malonat asam lemak, gliserol lipid

Molekul lingkungan unit pembangunan (BM 100-250) makromolekul

Gambar Organisasi Sel

(Toha, 2005)

Walaupun di dalam tubuh terdapat berbagai jenis sel dengan fungsi-fungsi yang

sangat khusus, semua sel sampai satu taraf tertentu, mempunyai gaya hidup dan

unsure structural yang serupa. Mereka mempunyai keperluan yang sejajar akan zat-

zat seperti oksigen dan suplai zat makanan, bagi suhu, suplai air dan sarana

pembuangan sampah yang konstan. Sel secara harfiah adalah unit kehidupan,

kesatuan lahiriah yang terkecil yang menunjukkan bermacam-macam fenomena yang

berhubungan dengan hidup. Karena itu, sel juga merupakan unit dasar penyakit (Price

& Wilson, 1995).

Perlu ditekankan bahwa setiap sel saling berhubungan satu sama lain melalui

berbagai cara waktu mereka bersatu membentuk jaringan dan organ. Beberapa

jaringan, seperti epitel pembatas atau epitel penutup terdiri dari kelompok sel yang

rapat yang saling melekat erta secara langsung dengan sedikit sekali ruang antara.

Kelompok sel jenis ini adalah lunak dan lentur dan tidak dapat mempertahankan

bentuk organ atau kekuatan seluruh tubuh. Sebenarnya jaringan penyambunglah yang

mempersatukan sel-sel tersebut menjadi tubuh karena jaringan ini memiliki substansi

interselular, secara harfiah jaringan penyambung merupakan zat antar sel. Zat ini

merupakan kolagen yang merupakan suatu protein yang dihasilkan dalam bentuk

Page 2: KEMATIAN SOMATIK

serabut yang amat kuat (seperti tendo dan ligamentum) dan elastin yang juga protein

yang dibentuk menjadii serabut, tetapi dengan sifat-sifat kenyal. Di antara serabut-

serabut elastik ini terdapat matriks atau zat dasar seperti agr-agar. Kombinasi serabut

kuat dan serat elastik serta matriks memberikan kekuatan, bentuk dan gaya pegas

pada tubuh. Pada rangaka, zat antar sel ini diisi dengna garam-garam kalsium,

menghasilkan tulang penyokong yang kuat (Price & Wilson, 1995).

Modalitas Cedera Sel

Terdapat banyak cara di mana sel mengalami cedera atau mati, bentuk-bentuk

luka yang penting hanya dibagi dalam beberapa kategori. Dalam keadaan normal, sel-

sel berada dalam keadaan tetap stabil (hemeostatik). Sel-sel bereaksi terhadap

pengaruh yang berlawanan dengan (1) beradaptasi, (2) mengalami jejas reversible

atau (3) menderita jejas yang ireversibel dan mati.

Cara cedera sel (penyebab jejas sel) yakni

1. Hipoksia (penurunan oksigen) timbul sebagai hasil dari

a. Iskemia (kehilangan suplai darah)

b. Oksigenasi inadekuat (misalnya kegagalan kardiorespiratorik)

c. Hilangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (misalnya

anemia, keracunan karbon monoksida).

2. Fisika termasuk trauma, panas, dingin, radiasi dan syok elektrik

3. Kimia dan obat-obatan

a. Obat-obat terapeutik (misalnya acetaminophen (Tylenol))

b. Agen non-terapeutik (misalnay timah, alkohol)

4. Infeksi yaitu virus, ricketsia, bakteria, jamur dan parasit

5. Reaksi imunologik

6. Kelainana genetik

7. Ketidakseimbangan gizi

(Robins, 1994).

Empat sistem intraseluler yang mudah terganggu pada jejas sel :

Pemeliharaan keutuhan membrane sel

Page 3: KEMATIAN SOMATIK

Respirasi aerobik dan produksi ATP

Sintesis enzim dan protein struktural

Mempertahankan keutuhan apparatus genetik

Sistem-sistem ini saling berkaitan erat, sehingga jejas pada salah satu

mengakibatkan kerusakan sistem lain (Robins, 1994).

Sel yang Diserang

Jika stimulus yang menimbulkan cedera menyerang sebuah sel, maka efek

pertama yang penting adalah apa yang dinamakan lesi biokimiawi. Ini menyangkut

perubahan kimia dari salah satu atau lebih reaksi metabolisme di dalam sel. Bila

kerusakan biokimiawi sudah terjadi, maka sel dapat atau tidak dapat menunjukkan

kelainan fungsi. Sering kali sel memiliki cukup cadangan untuk dapat bekerja tanpa

gangguan fungsi yang berarti; dalam hal lain dapat terjadi kegagalan kontraksi,

sekresi atau kegiatan sel yang lain (Price & Wilson, 1995). Jadi lesi/jejas/trauma

adalah kelainan struktur petologik. Ini dapat makroskopik (yaitu melihat dengan

pemeriksaan mata telanjang) atau mikroskopik (yaitu hanya dapat diketahui dengan

cara mikroskopik yang sesuai) (Lawler, 1992).

Suatu serangan terhadap sel tidak selalu mengakibatkan gangguan fungsi.

Ternyata, terdapat mekanisme adaptasi sel terhadap berbagai gangguan. Misalnya,

suatu reaksi umum yang terjadi pada sel otot yang berada di bawah kerja abnormal

adalah meningkatnya kekuatan dengan pembesaran, proses ini disebut hipertrofi. Jadi

sel-sel otot jantung dari seorang dengan tekanan darah tinggi akan membesar untuk

menanggulangi tekanan memompa melawan tahanan yang meningkat. Jenis adaptasi

serupa terjadi juga pada tantangan kimiawi tertentu. Barbiturat dan zat-zat tertentu

lain biasanya dimetabolisme dalam sel-sel hati, di bawah pengaruh system enzim

yang terdapat dalam sel-sel ini dibantu oleh reticulum endoplasma (Price & Wilson,

1995).

Perubahan Morfologis pada Sel yang Cedera Subletal

Bila sel mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut

menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali. Secara

Page 4: KEMATIAN SOMATIK

potensial perubahan-perubahan subletal ini reversibel. Sebaliknya, perubahan-

perubahan ini mungkin meruapakan suatu langkah kea rah kematian sel. Perubahan

subletal terhadap sel secara tradisional disebut degenerasi atau perubahan

degeneratif. Walaupun tiap sel dalam tubuh dapat menunjukkan perubahan-

perubahan semacam itu, tetapi pada umumnya sel yang terlibat adalah sel-sel yang

aktif secara metabolik, seperti sel hati, ginjal dan jantung. Perubahan-perubahan

degeneratif cenderung melibatkan sitoplasma sel, sedangkan nukleus

mempertahankan integritas mereka selama sel tidak mengalami cedera letal.

Walaupun agen-agen yang menimbulkan luka atau yang menyerang sel sangat

banyak jumlahnya, kelainan morfologis yang diperlihatkan oleh sel agak terbatas

(Price & Wilson, 1995).

Secara mikroskopik perubahan pembengkakan sel tidak nyata dan hanya

menyebabkan sedikit pembesaran sel dan sedikit perubahan susunan. Secara

makroskopik terlihat pembesaran sel dan sedikit perubahan susunan. Secara

makroskopik terlihat pembesaran jaringan atau organ yang bersangkutan, yang

biasanya dapat diketahui oleh karena beratnya sedikit meningkat. JIka bahaya

pembengkakan sel dapat dihilangkan maka setelah beberapa lama sel-sel biasanya

mulai mengeluarkan natrium, dan bersama-sama dengan air, dan volumenya kembali

menjadi normal. Perubahan ini hanya merupakan gangguan ringan dari keadaan

normal (Price & Wilson, 1995).

Perubahan yang lebih penting dari pembengkakan sel sederhana adalah

penimbunan lipid intrasel. Jenis perubahan ini sering dijumpai pada ginjal, otot

jantung, dan khususnya hati. Secara mikroskopik, sitoplasma dari sel-sel yang

terserang tampak bervakuola dengan cara yang sangat mirip dengan yang terlihat

pada perubahan hidropik, tetapi isi vakuola itu adalah lipid bukan air. Pada hati,

banyaknya lipid yang tertimbun di dalam sel sering hebat, sehingga inti sel terdesak

ke suatu sisi dan sitoplasma sel diduduki oleh satu vakoula besar yang berisi lipid.

Secara makroskopik jaringan yang terserang terlihat membengkak, berat bertambah

dan sering terlihat warna kekuningan yang nyata, oleh karena mengandung lipid. Hati

yang terserang dengan hebat seringkali berwarna kuning cerah dan jika disentuh

Page 5: KEMATIAN SOMATIK

berlemak. Jenis perubahan ini disebut perubahan berlemak atau degenerasi lemak

atau infiltrasi lemak (Price & Wilson, 1995).

Respon lain dari sel-sel yang terserang adalah pengurangan massa, secara

harfiah merupakan suatu penyusustan. Pengurangan ukuran ssel, jaringan atau organ

yang didapatkan semacam itu, disebut atrofi. Kelihatannya sel atau jaringan yang

atrofi mampu mencapai keseimbangan di bawah keadaan berlawanan yang

dipaksakan padanay karena berkurangnya tuntutan total yang harus dipenuhi. Tentu

saja, jaringan atao organ yang atrofi lebih kecil dari normal (Price & Wilson, 1995).

Kematian Sel

Kerusakan sel dapat terjadi karena bermacam penyebab dan secara struktural

dapat dalam beberapa cara. Kecelakaan awal atau ringan menghasilkan akumulasi

berlebihan metabolit normal (degenerasi) atau akumulasi produk abnormal

(inflitrasi); perubahan ini menunjukkan gangguan fungsional, tetapi reversible jika

faktor penyebabnya dihilangkan. Bila parah atau berlanjut akan terjadi kematian sel.

Penyebab kerusakan sel termasuk hipoksia (biasanya akibat kurangnya suplai darah),

infeksi viral dan bacterial, luka imunologis, toksin, defisiensi enzim, racun kimia dan

agen fisik (dingin, panas, radiasi dan trauma mekanis) (Lawler, 1992).

Jika pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat akan berlangsung cukup

lama, maka sel akan mencapai tititk dimana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan

tidak dapat melangsungkan metabolisme. Proses-proses ini menjadi ireversibel dan

sel sebutulnya mati. Pada saat kematian hipotetik ini, sewaktu sel tepat mencapai titik

di mana sel tidak dapat kembali lagi, secara morfologis tidaka mungkin untuk

mengenali bahwa sel itu sudah mati secara ireversibel. Namun, jika sekelompok sel

yang sudah mencapai keadaan ini masih tetap berada dalam hospes yang hidup

selama beberapa jam saja, amak terjadi ha-hal tambahan yang memungkinkan untuk

mengenali apakah sel-sel atau jaringan tersebut sudah mati. Selain itu, pada saat sel

mati berubah secara kimawi, jaringan hidup yang bersebelahan memberikan respon

terhadap perubahan-perubahan itu dan menimbulkan reaksi peradangan akut (Price &

Wilson, 1995).

Page 6: KEMATIAN SOMATIK

Jejas irreversibel adalah perubahan patologik yang menetap (permanen) dan

menyebabkan kematian sel, jejas timbul jika dialami berat atau lama. Sedangkan jejas

reversible adalah perubahan patologik yang dapat kembali jika rangsangan

dihilangkan atau jika penyebebnya ringan. Jejas irreversible ditandai oleh

vakuolisasi berat pada mitokondria, kerusakan membrane plasma yang luas,

pembengkakkan lisosom dan tampak kepadatan yang besar, amorf dalam

mitokondria. Jejas pada membran lisosom menyebabkan kebocoran enzim ke dalam

sitoplasma dan oleh enzim yang telah diaktifkan terjadi digesti enzimatik sel dan

komponen inti, yang mengakibatkan perubahan inti karakteristik untuk kematian sel

(Robins, 1994).

Bila sebuah sel atau sekelompok sel atau jaringan dalam hospes yang hidup

diketahui mati, mereka disebut nekrotik, dimana nekrosis merupakan kematian sel

lokal (Price & Wilson, 1995). Jadi nekrosis (jejas ireversibel) adalah perubahan

morfologik yang mengikuti kematian sel pada jaringan pada jaringan atau organ

hidup. Dua proses penyebab perubahan morfologik dasar nekrosis yakni a) denaturasi

protein dan b) digesti enzimatik organel dan sitosol. Penampilan morfologis jaringan

nekrotik berbeda-beda tergantung pada akbiat kegaiatan litik dalam jaringan mati.

Adapun jenis-jenis nekrosis yakni :

a. Nekrosis koagulatif: jaringan nekrotik akibat hilang suplai darah pada jantung,

ginjal, limpa dan organ lain. Jika kegiatan enzim-enzim litik dihambat oleh

keadaan lokal, maka sel-sel nekrotik itu akan mempertahankan bentuk mereka,

dan jaringannya akan memepertahankan cirri-ciri arsitekturnya selama beberapa

waktu.

b. Nekrosis liquefaktif: sel nekrosik mengalami pencairan akibat kerja enzim,

pada otak dan medulla spinalis

c. Nekrosis kaseosa: sel nekrotik hancur menjadi pecahan yg tidak dapat dicerna

membentuk perkejuan, pada paru.

d. Nekrosis lemak: nekrosis akibat kerja lipase yang mengkatalisa dekomposisi

trigliserida menjadi asam lemak yang berikatan membentuk sabun kalsium.

(Robins, 1994).

Page 7: KEMATIAN SOMATIK

Keadaan lokal khusus tertentu dapat menimbulkan jenis nekrosis lain. Jenis-

jenis nekrosis selain diatas ada yang disebut dengan gangrene. Gangren didefinisikan

sebagai nekrosis koagulativa, biasanya disebabkan oleh tidak ada suplai darah disertai

pertumbuhan bakteri saprofit. Gangren timbul pada jaringan nekrotik yang terbuka

terhadap bakteri yang hidup. Ini khususnya sering dijumpai pada ekstremitas atau

pada segmen usus yang nekrotik. Kadang-kadang jaringan berwarna hitam yang

mengkerut dari daerah gangrene pada ekstremitasi dimasukkan golongan gangren

kering sedangkan daerah bagian dalam yang tidak dapat kering disebut gangrene

basah. Kedua keadaan ini melibatkan pertumbuhan bakteri saprofit di atas jaringan

nekrotik (Price & Wilson, 1995).

Nekrosis menunjukkan kematian sel yang tidak reversibel. Perubahan

sitoplasma sering berupa degenerasi, tetapi selain itu terlihat perubahan khas nucleus.

Mula-mula nucleus mengkerut dan menunjukkan penggunpalan dan densitas

kromatinnya meningkat (pyknosis). Membran nulleus kemudian robek, sehingga

terjadi pemisahan kromatin (karyorrhexis). Akhirnya bahan nukleus tercerna dan

hilang. Bila terjadi kematian sel, tampak kekacauan truktur yang parah, dan akhirnya

organel sitoplasma hilang karena dicerna oleh enzim litik intraseluler (autolysis).

Akibat Nekrosis

Tentu saja akibat nekrosis yang paling nyata adalah hilangnya fungsi daerah

yang mati itu. Jika jaringan yang nekrotik itu merupakan sebagian kecil dari organ

dengan cadangan yang besar (umpamanya, ginjal), mungkin tidak ada pengaruh

fungsional pada tubuh. Sebaliknya, jika daerah nekrosis merupakan bagian otak,

maka akibatnya adalah deficit neurologis yang hebat atau bahkan mungkin kematian.

Selain itu, daerah nekrotik dalam beberapa keadaan dapat seperti demam,

leukositosis, dan berbagai gejala subjektif (Price & Wilson, 1995).

Kematian Somatik

Kemaatian seluruh individu disebut kematian somatik, bandingkan dengan

kematian lokal atau nekrosis. Dahulu definisi kematian somatic adalah sederhana.

Seseorang dinyatakan meninggal jika ‘fungsi vital’ berhenti tanpa ada kemungkinan

Page 8: KEMATIAN SOMATIK

untuk berfungsi kembali. Jadi, jika seseorang berhenti bernafas dan tidak dapat

diresusitasi, maka jantung dengan cepat berhenti berdenyut sebagai akibat dari

anoksia, dan orang itu tidak dapat disangkal lagi telah mati (Price & Wilson, 1995).

Pengertian tentang kematian mengalami perkembangan dari waktu ke waktu

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2

fase, yaitu: somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian

biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda

tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang

menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Kematian

somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel

seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah

dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan

saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter

maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan (Olif, 2011).

Kematian secara klinis merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi dan

tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan

aktivitas listrik otak terhenti. Dengan perkataan lain, kematian merupakan kondisi

terhentinya fungsi jantung, paru-paru, dan kerja otak secara menetap. Sekarat dan

kematian memiliki proses atau tahapan yang sama seperti pada kehilangan dan

berduka (Hidayati, 2008).

Dengan kemajuan teknlogi, maka jika seorang penderita pernafasannya berhenti

dapat dipasang respirator terputus-putus, maka dapat dipasang alat pacu jantung

elektris. Dengan adanya peralatan untuk “mempertahankan hidup” semacam ini,

maka definisi kematian menjadi sangat sulit. Sebenarnya, sebaiknya dijelaskan bahwa

tidak semua sel tubuh mati secara serentak. Sudah dibuat jaringan hidup dari

jaringan-jaringan yang diambil dari mayat. Dalam rumah sakit sekarang ini, definisi

umum tentang kematian somatic menyangkut kegiatan system saraf pusat, khususnya

otak. Jika otak mati, maka kegiatan listrik berhenti dan elektroensefalogramnya

menjadi isoelektris atau mendatar. Jika hilangnya kegiatan listrik terjadi selama

jangka waktu yang sudah ditentukan secara ketat, maka para dokter berwenang

Page 9: KEMATIAN SOMATIK

menganggap penderita meninggal walaupun paru dan jantung masih dpat dijalankan

terus secara buatan untuk beberapa lama (Price & Wilson, 1995).

Kematian tubuh terjadi bila fungsi respirasi dan jantung berhenti. Setelah

kematian tubuh aktual terjadi, sel-sel individual tetap hidup selama waktu yang

berbeda-beda. Perubahan yang tidak dapat pulih kemudian terjadi pada sel dan organ,

kadang-kadang sulit untuk membedakan masalah patologis premortem yang pasti.

Perubahan posmormortis (tubuh menjadi dingin), bekuan intravaskular, autolysis

(oleh enzim-enzim pencernaan) dan putrefaksi (pembukusan) (Tambayong, 1999).

Setelah kematian terjadilah perubahan-perubahan yang dinamakan perubahan

postmortem. Karena reaksi kimia dalam otot orang mati, timbul suatu kekakuan yang

dinamakan rigor mortis. Kata algor mortis menunjukkan pada dinginnya mayat,

karena suhu tubuhnya mendekati suhu lingkungan. Perubahan lain disebut livor

mortis atau perubahan warna postmortem. Umumnya perubahan warna semacam itu

disebabkan oleh kenyataan bahawa sirkulasi berhenti, darah di dalam pembuluh

mengambil tempat yang terletak paling bawah dalam tubuh menjadi merah keunguan,

disebabkan oleh bertambahnya kandungan darah. Karena jaringan-jaringan di dalam

mayat itu mati, maka secara mikroskopik enzim-enzim dikeluarkan secara lokal, dan

mulai terjadi reaksi lisis. Reaksi-reaksi ini, disebut otolisis postmortem (secara

harfiah berarti melarutkan diri), yang snagat mirip dengan perubahan-perubahan yang

terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tentu saja, tidak disertai dengan reaksi

peradangan. Akhirnya bila tidak dicegah dengan tindakan tertentu-tertentu (misalnya

pembalseman) bakteri-bakteri kan tumbuh dengan subur dan akan terjadi

pembusukan. Kecepatan mulai timbulnya perubahan postmortem sangat berbeda-

beda, tergantung pada individu maupun pada sifat-sifat lingkunga sekitarnya. Jadi,

penentuan waktu kematian yang tepat, oleh para dikter dalam cerita detektif khayalan

memang hanya merupakan khayalan (Price & Wilson, 1995).

Seseorang dinyatakan mati jika fungsi spontan pernapasan dan jantung telah

berhenti secara pasti/irreversible yaitu misalnya pada kematian normal yang biasa

terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. Pada keadaan ini, denyut jantung

dan nadi berhenti pada suatu saat ketika jantung ataupun organism lain secara

Page 10: KEMATIAN SOMATIK

keseluruhan begitu terpengaruhi oleh penyakit tersebut, sehingga orang yang

bersangkutan tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya reusitasi pada

keadaan ini tidak berarti lagi. Upaya resusitasi dilakukan pada keadaan mati klinis

yaitu bila denyut nadi besar (sirkulasi) dan napas berhenti dan diragukan apakah

kedua fungsi spontan jantung dan pernapasan telah berhenti secara pasti/irreversible

misalnya pada kematian mendadak.

Upaya resusitasi darurat ini dapat diakhiri bila:

a. Diketahui kemudian bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien ternyata berda

dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi atau

hampir dapat dipastikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kembali fungsi

cerebralnya yaitu sesudah 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normoternia tanpa

resusitasi jantung baru.

b. Terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu sesudah resusitasi, pasien tetap tidak

sadar, tidak timbul napas spontan dan gag reflex, pupil tetap dilatasi selama

paling sedikit 15-30 menit. Kecuali untuk itu ialah hipotermia atau di bawah

pengaruh barbiturate atau anestesi umum.

c. Terdapat tanda mati jantung yaitu asistole listrik membandel (garis datar pada

EKG) selama paling sedikit 30 menit, meskipun telah dilakukan resusitasi dan

pengobatan optimal.

d. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi.

(Hanafiah & Amir, 2007).

Diagnosis mati batang otak (MBO)

Ada 3 langkah untuk menegakkan diagnosis MBO ;

a. Menyakini bahwa telah terdapat pra kondisi tertentu,

b. Menyingkirkan penyebab koma dengan henti napas yang irreversible,

c. Memastikan refleksia batang otak dan henti napas yang menetap. Bila setiap

kasus didekati secara sistematis, tak akan terjadi keselahan. Bila setiap kasus

didekati secara sistematis, tak akan terjadi kesalahan.

Terdapat dua pra kondisi yang diperlukan ;

Page 11: KEMATIAN SOMATIK

a. Bahwa pasien dalam keadaan koma dan henti napas yaitu tidak responsive dan

dibantu ventilator;

b. Bahwa penyebabnya adalah kerusakan otak structural yang tidak dapat

diperbaiki lagi yang disebabkan oleh ganguan yang dapat menuju MBO.

(Hanafiah & Amir, 2007).

Page 12: KEMATIAN SOMATIK

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, J & Amir, A. 2007. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta.

Hidayat, A. 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Untuk Kebidanan Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta.

Lawler, W dkk. 1992. Buku Pintar Patologi untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.

Olif. 2012. Eusthanasia.http://olifdwi.blogspot.comDiakses tanggal 13 Maret 2013.

Price, S.A & Wilson, L.M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.

Robins, S.L dkk. Dasar Patologik Penyakit Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta.

Tambayong, Jay. 1999. Patofisiologi utk keperawatan. EGC. Jakarta.

Toha, A.H. Biokimia Metabolisme Biomolekul. Alfabet. Bandung.

Page 13: KEMATIAN SOMATIK

MAKALAH PATOLOGI KLINIK

CEDERA DAN KEMATIAN SEL

“KEMATIAN SOMATIK”

Disusun oleh :

OKTA MUTHIA SARI

J1E111007

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2013

Page 14: KEMATIAN SOMATIK