kepemimpinan dalam islam dikenal dengan istilah imamah

Upload: fhyekha

Post on 14-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

leadership

TRANSCRIPT

KEPEMIMPINAN dalam Islam dikenal dengan istilah imamah, sedangkan pemimpin disebut imam. Kedudukan seorang pemimpin dalam Islam sangatlah penting. Bahkan keberadaannya fardhu kifayah, di mana setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin pun dan pembebanan hukum tersebut terbebas manakala salah seorang dari umat telah terpilih menjadi pemimpin. Keberadaan seorang pemimpin yang diakui oleh syariat menunjukkan seorang pemimpin itu harus mengerti akan agamanya. Ilmu yang membahas tentang pemerintahan dalam Islam dikenal dengan Fiqh Siyasah.Saidina Ali pernah berkata, Lebih baik dipimpin oleh orang yang zalim daripada negara tidak ada pemimpin. Ini menunjukkan bahwa keberadaan pemimpin dalam negara itu mutlak diperlukan. Dalam sebuah pengajian bersama Tgk Marhaban Habibi Bakongan (Waled Bakongan), beliau menjelaskan bahwa memilih pemimpin hukumnya wajib dan setiap insan akan berdosa jika tidak ada pemimpin walaupun cuma sehari. Melihat kenyataan yang seperti ini tentulah tidak ada alasan bagi kita untuk menolak keberadaan seorang pemimpin.Untuk menjalankan aturan Allah Swt di muka dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengayomi manusia ke jalan yang benar sesuai dengan tuntutan syariat. Banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pentingnya pemimpin dalam kehidupan ini. Bahkan awal penciptaan Nabi Adam as di alam semesta ini pun dengan tujuan menjadikannya sebagai khalifatul ardhi (pemimpin di muka bumi) sebagaimana firman Allah dalam Alquran (Surah Albaqarah: 30).Masalah keadilanBicara masalah keadilan saat ini merupakan hal yang sangat sulit didapati pada seorang pemimpin. Namun, kita harus ingat bahwa keadilan itu tergantung masa dan tempat. Artinya, keadilan yang terdapat pada manusia sekarang dengan zaman Nabi dan para sahabat sangatlah berbeda. Begitu pula halnya dengan tempat, suatu wilayah dengan wilayah laen juga berbeda dan jangan kita samakan keadilan di Mekkah dengan Islam masa kini meskipun kita menyandang gelar Serambi Mekkah di zaman silam.Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) seperti yang diungkapan oleh Kepala BIN, Marciano Norman bahwa pada 2014 ini ada pergerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menggagalkan pemilu akan semakin meningkat. Secara sepintas pergerakan ini memang layak mendapat sambutan postif dari masyarakat yang telah apatis dan kecewa dengan sikap para pemimpin. Namun perlu diingat, keberadaan pemimpin dalam sebuah negara itu hukumnya wajib ada baik mengacu pada Alquran maupun hukum positif. Orang terburu menolak pemimpin hanya karena kepemimpinan tidak mampu membawa perubahan kepada bangsa. Ayat Alquran menjelaskan bahwa sembahyang itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Tetapi kenyataan yang ada orang yang shalat tidak sepenuhnya dapat terhindar dari perbuatan maksiat dan kewajiban shalat tetap berlaku wajib atasnya. Dalam sebuah kaidah dikenal bahwa tidak tercapai suatu hikmah, tidaklah menggugurkan kewajiban yang ada padanya. Dalam sebuah kaidah ushuliyah berbunyi al-umuru bimaqasidiha (setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya). Artinya, seorang yang mencalonkan diri untuk menduduki suatu jabatan dengan tujuan ingin memperbaiki kehidupan umat serta jalan untuk menebar syiar agama merupakan suatu perbuatan yang mulia. Setiap jabatan yang diduduki akan senantiasa dimamfaatkan sesuai aturan agama dan hukum yang berlaku. Di samping itu pula kewenangan yang dimilikinya itu dapat digunakan untuk kemaslahatan agama dengan membuat aturan-aturan yang berpihak dalam kemajuan ajaran agama. Jabatan itu penting agar kita punya pengaruh dan kewenangan sehingga dengan jabatan tersebut kita akan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang pada ujungnya memberi kesejahteraan dalam masyarakat.Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid 3 menjelaskan bahwa hakikat dari seorang pemimpin adalah pengaruh yaitu sejauh mana ia disegani dan dicintai oleh rakyat dengan hati yang iklhas. Rakyat perlu teliti dan jeli dalam memilih calon pemimpin tidak hanya melihat popularitas yang dibangun-bangun oleh sekelompok orang maupun yang diagung-agungkan oleh media massa sehingga jadi terkenal. Mengenal visi dan misi serta latar belakang seorang calon pemimpin itu lebih penting dari pada melihat dari partai mana dia maju sebagai kandidat pemimpin.Menyeru pemboikotan pemilu serta menyuarakan masyarakat untuk meninggalkan hak pilihnya (golput) merupakan langkah mundur dalam upaya perbaikan bangsa. Undang-undang telah menjamin warga Negaranya untuk menentukan calon pemimpin selama lima tahun yang akan membawa perubahan taraf kehidupan bangsa. Ketika hak pilih diabaikan maka kita telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan bangsa yang ujungnya berakibat kepada kita sendiri. Jika setiap orang menjadi pemilih yang cerdas, secara tidak lansung kita telah menolak pemimpin yang salah.Jika diasumsikan ada lima calon pemimpin yang maju dengan latar belakang yang berbeda di mana calon A berperilaku buruk dan suka memukul, calon B perilakunya baik, calon C suka mencuri, calon D suka main wanita, dan calon E perilakunya sederhana. Dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.000 orang didapati hasil pemilunya oleh calon A sebanyak 300 suara, B 200 suara, C 170 suara, D 70 suara, dan E 45 suara. Sedangkan suara yang tidak sah/rusak sebanyak 45 dan yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 170 orang. Karena A diusung oleh partai berkuasa sehingga mendapati suara terbanyak meskipun orang yang diusung kepribadiannya kurang baik. Sedangkan B yang diusung oleh partai biasa walapun integritasnya baik, tetapi mendapati suara lebih rendah dari A.Menaati pemimpinJika dilihat dari fenomena di atas, seandainya orang yang golongan putih (golput) sebanyak 170 orang mau menggunakan hak pilihnya dengan memilih orang yang dianggap lebih baik dari calon-calon yang ada tentu hasil pemilu akan dimenangkan oleh calon pemimpin yang baik meskipun dia maju lewat partai yang sederhana. Kenyataannya, para golput pun harus menerima dipimpin oleh pemimpin yang buruk meskipun mereka tidak memilihnya, namun ketika terpilih jadi pemimpin tetap harus menaatinya. Melihat kenyataan yang seperti inilah menurut penulis bahwa menjadi bagian dari golongan putih merupakan bentuk pilihan yang tidak rasional dan perlu dipertimbangkan. Sebuah hadis yang sering kita dengar, Nabi saw bersabda, Barang siapa yang melihat kemungkuran hendaklah ia mencegah dengan tangannya (kekuasaan), jika ia tidak mampu dengan tangan lakukan dengan lisan (teguran, nasihat), jika tidak mampu dengan lisan, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemah iman. (HR. Bukhari).Hadis tersebut menunjukkan setiap manusia mempunyai kewajiban yang sama untuk memperbaiki kehidupan sesama manusia. Asumsinya adalah ada sebuah kelompok berjumlah 15 orang, sepuluh orang yang sedang merusak tiang rumah, sedangkan lima orang lainnya melarang perbuatan tersebut dan tidak dihiraukan larangan itu. Akan dibutuhkan waktu yang lama untuk merusak rumah dengan jumlah sepuluh orang dibandingkan dengan jumlah lima belas orang.Jika kita misalkan sekarang orang tersebut sebagai anggota Dewan, sepuluh orang yang pekerjaannya melanggar aturan, sedangkan lima orang masih di jalan yang benar. Ketika kita mau menggunakan hak pilih kita secara baik dan benar, artinya memilih calon yang baik tanpa unsur dibayar mungkin jumlah orang yang menyelamatkan rumah tersebut menjadi sepuluh orang dan yang merusak tiang rumah cuma lima orang. Dengan demikian, rumah tersebut akan selamat dari tangan-tangan orang yang merusak. Ketika kita yang punya pengetahuan lebih luas malah memilih untuk golput dan tidak peduli dengan lingkungan, dikhawatirkan justru akan terpilih mereka-mereka yang semuanya akan merusak tiang rumah tersebut. Rasionalkah kita menjadi golput?Sebagai negara yang menganut sitem demokrasi, rakyat mempunyai hak penuh untuk memilih pemimpin serta wakil rakyatnya dalam setiap pemilu. Mamfaatkan kesempatan memilih sebaik mungkin karena pemimpin lahir dari tangan rakyat yang memberi akibat baik dan buruknya pula kepada rakyat sendiri. Jangan pernah mengabaikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang baik, mungkin saja satu suara kita akan memenangkan pemimpin adil yang selalu memegang teguh jabatannya sesuai ketentuan Allah dan hukum positif yang berlaku. Ketika itu terjadi, pemimpin tersebut akan menjadikan jabatannya sebagai jalan dakwah, menghidupkan syiar-syiar Islam yang telah padam, sehingga pahalanya akan kita petik bersama sebagai orang yang telah ikut memilihnya. AminDi dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.Dalam perspektif Islam, ada beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi'ah, al-quro)Adanya ummat (al-ummah)Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :Keadilan para pemimpin (umaro)Ilmunya para ulamaKedermawanan para aghniya (orang kaya)Do'anya orang-orang faqir (miskin)Definisi PemimpinAda beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummatAl-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompokAl-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawabKhadimul ummah yang bermakna pelayan ummatDari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).Kriteria dalam Menentukan PemimpinJika kita menyimak terhadap perjalanan siroh nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :a. Faktor Keulamaan- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."c. Faktor Kepeloporan- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.d. Faktor Keteladanan- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.e. Faktor Manajerial (Management)- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab(Sumber : Al Qur'an Al Karim)"Al Haqqu min robbika, fala takuu nanna minal mumtariin"(Qs. Al Baqarah (2) : 147)Sumber: http://www.al-ulama.net/KONSEP ISLAM DALAM MEMILIH PEMIMPINPara calon pemimpin, baik yang akan mempamirkan diri sebagai pemimpin terbaik yang layak dipilih masyarakat untuk membawa, agama, bangsa dan negara maju dan makmur di masa depan. Bagaimanakah Islam memandang tentang Pemimpin dan Kepemimpinan, serta seperti apakah pemimpin yang baik itu?Pemimpin Dalam Pandangan IslamPada prinsipnya menurut Islam setiap orang adalah pemimpin. Ini sejalan dengan fungsi dan peranan manusia di muka bumi sebagai khalifahtullah, yang diberi tugas untuk setiasa mengabdi dan beribadah kepada- Nya.Allah berfirman:Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah: 30)Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz-Dzaariyaat: 56)Rasulullah SAW. bersabda:Dari Abdullah bin Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:Masing-masing kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (Presiden) yang memimpin masyarakat adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka.Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin atas ahli (keluarga) di rumahnya, dia akan dimintai pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka. Seorang perempuan(isteri) adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dia akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinannya atas mereka. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dia akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinannya atas harta itu. Ketahuailah masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinan atas yang dipimpinnya. (HR.Bukhari)Dalam implementasinya, pemimpin terbagi dua:Pertama, pemimpin yang dapat memimpin sesuai dengan apa yang diamanatkan Allah dan Rasul-Nya danKedua, pemimpin yang bertanggung jawab atas amanat Allah dan Rasul-Nya.Firman Allah:Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah, Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka menyakini ayat-ayat Kami. (As-Sajdah: 24)Dan Kami jadikan mereka (Firaun dan bala tentaranya) pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.(Al-Qashash: 41)Kriteria Pemimpin Dalam IslamBanyak sekali ayat al-Quran dan Hadis menyebutkan bagaimana hendaknya setiap orang yang Nabi katakan sebagai pemimpin baik bagi diri dan keluarganya, dan terlebih mereka yang menyatakan diri siap sebagai pemimpin bagi masyarakat, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari, di antaranya adalah:1.Mengajak Bertaqwa Kepada AllahKami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. (Al-Anbiya: 73)Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (As-Sajdah: 24)2.Adil Kepada Semua Orang Dan Tidak Pandang BuluHai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di mukabumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, kerana mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 26)Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerana Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. (An-Nisa: 135)3.Menegakkan Amar Maruf Nahi MunkarKamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al- Imran: 110)4.Menjadi Suri Tauladan Yang Baik Bagi MasyarakatSesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21)5.Mendorong Kerja Sama Dalam Memperjuangkan Kesejahteraan BersamaDan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah: 2)6.Mengukuhkan Tali Persaudaraan dan Kesatuan dan PersatuanDan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu,lalu menjadilah kamu kerana nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)7.Akomodatif, Pemaaf, Merangkul Semua Golongan dan Mengedepankan Musyawarah Dalam Setiap Mengambil Keputusan Penting Untuk MasyarakatMaka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerana itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yangbertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran: 159)8.Jujur dan AmanatSesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa : 58)Nabi SAW. bersabda:Dari Abu Hurairah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW.: Tiga golongan,Allah tidak akan berbicara, mensucikan dan melihat kepada mereka, dan bagi merekalah siksa yang pedih; orang tua pezina, pemimpin yang suka bohong dan orang miskin yang sombong.(HR. Muslim).9.Berwawasan Dan Berpengetahuan Luas dan Mencintai Ilmu PengetahuanAllah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)10.Teguh Pendirian, Tegar dan Sabar Dalam Menghadapi UjianMaka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(Huud: 112)Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar. (Al-Ahqaf: 35)Tanggung Jawab PemimpinBegitu berat tanggung jawab setiap pemimpin, ia harus siap dan dapat mewujudkan perilaku yang termuat dalam kriteria di atas dalam hidup kesehariannya.Sehingga tercipta suatu keadaan dimana pemimpin mencintai dan memperjuangkan kepentingan rakyat, dan kerananya semua rakyat pun mencintai dan mendukung kepemimpinannya.Rasulullah bersabda:Dari Auf bin Malik al-Asyjai ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah SAW.bersabda: Sebaik-baik pemimpinmu adalah orang-orang yang kamu semua mencintainya dan mereka semua mencintaimu, kamu semua mendoakan kesejahteraan buat mereka, dan mereka mendoakan kesejahteraan buat kamu. Dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah orang-orang yang kamu semua membenci mereka dan mereka membenci kamu, kamu semua melaknati mereka dan mereka melaknati kamu. Kami bertanya: Ya Rasulullah apakah tidak sebaiknya kita singkirkan mereka? Rasulullah menjawab: Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat. Ketahuilah, barang siapa yang diberi kekuasaan, lalu masyarakat melihatnya menjalankan suatu perbuatan yang bermaksiat kepada Allah, hendaklah masyarakat membenci perbuatan penguasa yang bermaksiat ke pada Allah itu, dan janganlah ia menarik diri dari ketaatan (pada yang baik). (HR. Muslim, Ahmad, dan Ad-Daromi).Kerana beratnya menciptakan keadaan kepemimpinan seperti di atas, Rasulullah SAW. melarang sahabatnya meminta-minta untuk menjadi pemimpin, khuatir sulit merealisasikan tanggung jawab ini.Rasulullah SAW. bersabda:Dari Abdurrahman bin Samrah berkata; telah bersabda Nabi SAW.: Wahai Abdurrahman bin Samrah, janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin, kerana sesungguhnya, jika engkau diberi jabatan kerana meminta maka engkau akan dibebani sebagai wakil atas jabatan itu, dan jika diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka engkau akan ditolong dalam menjalankan tugas itu. Dan jika engkau bersumpah, lalu engkau melihat bahwa yang berlawanan dengan sumpah itu lebih baik, maka bayarlah kifarat atas sumpahmu, dan kerjakanlah apa yang engkau pandang lebih baik. (HR.Bukhari).Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemimpin hendaknya ikhlas dalam rangka beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berkomitmen untuk tidak mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Ia tidak boleh melakukan rasuah, subahat dan mementingkan kroni-kroni yang mencacatkan atau merosakan tanggung jawab yang harus dipikulnya.Rasulullah SAW. bersabda:Dari Abi Hurairah RA. Berkata: Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan penerima suap dalam perkara hukum HR. Ahmad dan al-Arbaah. Imam Tarmidzi menganggap hadis ini hasan, dan Ibn Hiban menganggapnya sahih.Dari Abi Hamid as Saidi sesungguhnya Rasullah SAW. mengangkat seorang pegawai, lalu selesai melaksanakan tugas datang mendatangi Rasulullah dan berkata:Ya Rasulullah, harta ini untukmu (bahagian Negara) dan yang ini adalah hadiah yang aku terima. Lalu Rasulullah bersabda kepadanya: Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu,lalu engkau tunggu apakah engkau akan diberi hadiah ataukah tidak?!. Kemudian selesai menunaikan shalat Isyabersabda Rasulullah SAW.:Amma badu, Ada apa dengan pegawai yang telah aku angkat ini, ia datang menemui kita dan berkata: Harta ini bahagianmu (milik Negara), dan yang ini sebagai hadiah untukku, Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia menunggu apakah ada yang akan memberinya hadiah atau tidak?, Sungguh demi Dzat yang jiwaMuhammad ada dalam genggaman-Nya!, Janganlah salah seorang diantara kamu menyalahgunakan dari harta itu sedikitpun, kecuali ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul harta itu, kalau harta itu berupa unta ia akan meringkik, kalau berupa sapi ia akan mengemoo, kalau ia berupa kambing, ia akan mengembek, aku telah menyampaikan berita ini. Berkata Abu Hamid: Lalu Rasulullah menganglat tangannya,sehingga kami dapat melihat putih ketiaknya. (HR. Bukhari).Kewajiban Rakyat Terhadap PemimpinSebagai rakyat tugasnya adalah taat kepada perintah pemimpin sepanjang perintah itu dalam rangka mewujudkan tanggung jawabnya yang terkandung dalam kriteria disebutkan di atas tadi, yakni dalam upaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.Allah SWT. Berfirman:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)Batas ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya adalah rakyat wajib mentaati semua perintah pemimpin selama pemimpin itu memerintahkan taqwa kepada Allah, sedangkan bila perintah itu untuk bermaksiat kepada Allah, maka gugurlah kewajiban untuk mentaatinya, dan muncul kewajiban baru yaitu nahi munkar ialah mencegah pemerintah dari menjalankan perbuatan maksiat tersebut.Rasulullah SAW. bersabda:Dari Ali RA. berkata: (Suatu hari ) Nabi SAW. mengutus bala tentera dan mengangkat seorang laki-laki Ansar sebagai komandan, dan Nabi memerintahkan kepada seluruh bala tentara untuk mentaati sang komandan. Suatu saat sang komandan marah kepada prajuritnya dan berkata: "Bukankah Nabi SAW. memerintahkan kalian semua untuk taat kepadaku?". Para prajurit menjawab: "Benar, komandan!". Komandan berkata: "Aku perintahkan kamu semua untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu bakar ia dengan api, setelah itu masuklah kamu semua ke dalamnya!". Lalu para prajurit mengumpulkan kayu bakar dan menyalakannya. Tatkala mereka bermaksud untuk memasukinya, berdirilah setiap prajurit saling memandang diantara mereka, berkata sebahagian prajurit: "Sesungguhnya kita semua mengikuti Nabi SAW. kerana kita berlari dari api (neraka), apakah kita sekarang akan memasukinya?". Manakala mereka dalam keadaan demikian, padamlah api tadi, dan hilanglah marah sang komandan. Lalu kejadian itu dicertikan kepada Nabi SAW. dan Nabi bersabda: "Andaikan saja kamu semua memasuki api itu, pasti kamu tidak akan pernah keluar selamanya (mati dan masuk neraka). Sesungguhnya ketaatan kepada pemimpin itu adalah dalam hal yang Ma'ruf". (HR. Bukhari)Allah berfirman: Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, (Asy-syuara: 151)Petunjuk Allah Dalam Memilih PemimpinKerana alasan ini, kini saatnya kita berhati-hati untuk menentukan pilihan pemimpin yang dapat memenuhi kriteria di atas, dengan memperhatikan petunjuk Allah dalam memilih pemimpin, ialah:Pilihlah Pemimpin Yang Seakidah dan Memenuhi Kriteria PemimpinHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 51)Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yangberiman. (Al-Maidah: 57)2. Pilihlah Pemimpin Yang Mengajak Bertaqwa Kepada Allah dan Jangan MemilihPemimpin Yang Mendorong Bermaksiat Kepada-Nya Meskipun Ia Keluarga Kita."Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (At-Taubah: 23).Kesalahan dalam memilih pemimpin dapat menyebabkan penyesalan dikemudian hari.Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta'ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (Al-Ahzab: 67)PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPINOleh: Agus SaputeraPada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat. Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis. Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.Hakikat kepemimpinanAl-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.Kriteria pemimpinPara pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.Memilih pemimpinDengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".Sikap rakyat terhadap pemimpinDalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)