kepentingan tiongkok pada konflik heglig di...
TRANSCRIPT
KEPENTINGAN TIONGKOK PADA KONFLIK HEGLIG DI
SUDAN PERIODE 2011-2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Nurul Minchah
1112113000111
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK HEGLIG DI SUDAN
PERIODE 2011-2014
1. Merupakan karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti jika karya saya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 15 Desember 2016
Nurul Minchah
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Nurul Minchah
NIM : 1112113000111
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaiakn penulisan skripsi dengan judul:
KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK HEGLIG DI SUDAN
PERIODE 2011-2014
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta,15 Desember 2016
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi, Pembimbing,
Badrus Sholeh, Dr., M.A. Ahmad Syaifuddin Zuhri, S. IP., L.M.
NIP. 19710211 199903 1 002 NIP.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK HEGLIG DI SUDAN
PERIODE 2011-2014
oleh:
Nurul Minchah
1112113000111
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23
Desember 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Badrus Sholeh, Dr., MA Eva Mushoffa, MHSPS
NIP. 19710211 199903 1 002 NIP.
Penguji I, Penguji II,
Robi Sugara, M. Sc. Badrus Sholeh, Dr., MA
NIP. NIP. 19710211 199903 1 002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 23 Desember 2016.
Ketua Program Studi,
Dr. Badrus Sholeh, MA
NIP.19710211 199903 1 002
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang kepentingan Tiongkok dalam konflik Heglig di
Sudan untuk periode 2011-2014. Konflik antara Sudan dengan Sudan Selatan yang
terjadi di Heglig disebabkan pasukan Juba yang mengakuisisi ladang minyak milik
Sudan. Perusahaan yang mengoperasikan ladang minyak tersebut adalah Greater Nile
Petroleum Operating Co (GNPOC) yakni, konsorsium gabungan dari Tiongkok,
Malaysia, India, dan Sudan.
Konflik yang terjadi antara Sudan dengan Sudan Selatan tidak berpengaruh
terhadap keberlangsungan kerjasama antara pemerintah Sudan di wilayah Heglig
dengan Tiongkok. Seharusnya, ketidakstabilan kondisi negara saat perang akan
mempengaruhi investor asing dan swasta serta menghambat kerjasama dengan negara
lain. Seperti halnya yang terjadi pada investor asing (terutama negara Barat) yang
cenderung bermain aman dengan menarik investasinya dan menunggu keadaan
negara yang berkonflik menjadi lebih stabil. Bahkan kerjasama itu meningkat ke
sektor lain. Peningkatan ini ditunjukkan dari sektor pertanian yang terjalin pasca
konflik ini terjadi. Fenomena kerjasama di tengah daerah yang sedang berkonflik ini
yang akan menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif untuk
memberikan jawaban dengan mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan konflik
Laut Tiongkok Selatan beserta data-data yang digunakan untuk menjelaskan
fenomena peningkatan kerjasama kedua negara. Teori yang penulis gunakan adalah
konsep kepentingan nasional, konsep interdependensi, dan konsep keamanan energi
(energy security) untuk memperoleh analisa yang sejalan dengan masalah penelitian
yang dimiliki.
Kata kunci: Tiongkok, Sudan, Konflik, Heglig, Minyak.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamiin, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas segala rahmat dan anugerah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah untuk junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW., beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar sarjana pada
program studi Hubungan Internasional. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini
tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang
sangat berarti bagi penulis. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua penulis, Bapak Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.A. dan Ibu Hj. Farichah,
S. Pd. I. tercinta yang selalu melimpahkan kasih sayangnya, yang selalu sabar
dan tak henti-hentinya memberikan dukungan baik moril maupun materil.
2. Adik-adik penulis Ahmad Faza Maimun dan Malida Awwalia yang terus
mendorong penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ahmad Syaifuddin Zuhri, S. IP., L.M. yang bersedia meluangkan
waktu dan fikirannya untuk membimbing penulis selama beberapa bulan ini.
Terimakasih atas kesediaan, kesabaran serta ilmu yang telah diberikan kepada
penulis.
vii
4. Bapak Dr. Badrus Sholeh, M.A. selaku ketua Prodi Hubungan Internasional
terimakasih atas ilmu yang telah diberikan.
5. Bapak Taufiqurrahman, M.A selaku dosen pembimbing saat seminar proposal
penulis. Terima kasih atas kesempatan, dan ilmu yang telah Bapak berikan
kepada penulis.
6. Jajaran Dosen Program Hubungan Internasional yang telah memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat. Semoga ilmu yang diberikan dapat menjadi amal
jariyah di akhirat nanti Amin.
7. Sahabat-sahabat saya yakni Athini Mardlatika, Nurul Isnaini, Annisa
Fachriyah, Rikh Reza Saudia, Guntomo Raharjo, Amrullah Yacob, Hasymi
Romadhony, Abdullah Zein, Dinda Cipta Savitri, Djordi Prakoso, Fathu
Hidayat, Fauzan Munif, Mugi Ayuningtyas, Ratna Widya Laili, Ferico
Rahman, Octaviani Nur Asruni, Dita Kirana, Niyomi Devita, Muhammad
Bahrel, Dara Atika Suri, Dzikri Nur Habibi, Rosalina Mursyid, Victoriana
Melati, Septiani Nur Hidayati, Mahda Nur Hamidah, Purwo Agung, dan
Zahra Yusuf, serta teman-teman Prodi Hubungan Internasional A, B, C, dan
ex-D angkatan 2012 yang telah banyak membantu, memberikan masukan,
inspirasi serta semangat dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih telah
mendampingi perjalanan penulis sejak awal perkuliahan, dan selalu ada disaat
penulis senang maupun susah. Kalian terbaik!!!
8. Teman-teman Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP Kelas E angkatan 2014
Veni Zuldhiviani, Kiki, Fahmi, Vijja, Jalu, Romi, Tika Adelia, Isna NK, duo
viii
Naura, Mutia, Fani, Ferina Hana, Madania, Vita, Juvita Ayu, Hanna, dan
lainnya. Sahabat seperjuangan SMPN 7 Yogyakarta Ayu Wijayanti, Dyah
Kusumaningsih, Dwi Yuliani, Faradhilla Dwi, Ervinda Kusuma, Reno
Captiano, Adam Sangaji, Yana Rosmanda dan SDN Ungaran 1 Yogyakarta
Sania Meidiana, Santika NH Wibowo, Putriastri Ramaniya, Deyla Prajna,
Alldila Nadhira, dan Dian Indah.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu selama proses penulisan skripsi ini.
Terima kasih atas segala doa dan dukungannya, Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan. Penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi banyak orang dan menjadi persembahan bagi orang-orang
tersebut. Penulis juga menyadari terdapat banyak kekurangan dalam hasil skripsi
ini. Penulis dengan tangan terbuka menerima kritik dan saran dari berbagai pihak
untuk kelayakan skripsi ini.
Jakarta, 15 Desember 2016
Nurul Minchah
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…………...……...………….. iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN TABEL .......................................... xi
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 9
E. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 12
1. Konsep Kepentingan Nasional ................................................. 13
2. Konsep Keamanan Energi ........................................................ 15
3. Konsep Interdependensi ........................................................... 18
F. Metode Penelitian ................................................................................ 19
G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 20
BAB II KONFLIK SUDAN DAN SUDAN UTARA ................................. 23
A. Konflik Sudan dengan Sudan Selatan Sebelum Kemerdekaan Sudan
Selatan ............................................................................................... 23
B. Kemerdekaan Sudan Selatan .............................................................. 26
C. Konflik Heglig ................................................................................... 30
BAB III KEPUTUSAN TIONGKOK MELAKUKAN KERJASAMA
EKONOMI DENGAN SUDAN DI sTENGAH KONFLIK HEGLIG .... 37
A. Reformasi Ekonomi Tiongkok di Era Mao Zedong ............................ 37
1. Repelita Pertama ..................................................................... 41
2. Nasionalisasi Perusahaan ........................................................ 42
3. Komune Rakyat ........................................................................ 42
x
4. Gerakan Lompatan Besar Ke Depan ........................................ 43
B. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok ................................... 43
C. Faktor Tiongkok Mengakomodasi Kerjasama dengan Sudan ............ 47
BAB IV ANALISIS KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK
HEGLIG DI SUDAN ................................................................................... 52
A. Kebutuhan Tiongkok akan Sumber Daya Energi di Sudan ..................... 52
B. Terciptanya Interdependensi antara Tiongkok dengan Sudan................... 62
C. Tiongkok Melakukan Perlindungan Penuh Terhadap Sumber Energinya 67
BAB V KESIMPULAN ............................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................xiii
xi
DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN TABEL
GAMBAR
Gambar II.C.1 Peta Pipa Minyak di Sudan .......................................................... 32
Gambar II.C.2 Peta Konflik Heglig .................................................................... 34
Gambar III.B.1 GDP Tiongkok Antara 1952-2005 .............................................. 44
Gambar III.B.2 GDP Tiongkok 2014 ................................................................... 45
Gambar IV.B.1 Sektor Pertanian Sudan 2012-2014. ............................................ 64
Gambar IV.B.2 Emisi Tiap Sektor, Sudan ........................................................... 65
Gambar IV.B.3 10 Negara Penyumbang Emisi di Sektor Pertanian ..................... 66
Gambar IV.C.4 Ekspor Minyak Sudan dan Sudan Selatan 2012 .......................... 68
Gambar IV.C.5 Ekspor Minyak Sudan dan Sudan Selatan 2013 .......................... 69
xii
DAFTAR SINGKATAN
CNOOC : China National Offshore Oil Co.
CNPC : China National Petroleum Corporations
: Karbondioksida
CPA : Comprehensive Peace Agreement
DK : Dewan Keamanan
GDP : Gross Domestic Product
GNOP : Greater Nile Oil Project
GNPOC : Greater Nile Petroleum Operating Co.
IBM-PC : The IBM Personal Computer
IMF : International Monetary Fund
ONGC Videsh : Oil and Natural Gas Corporation Videsh
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB : Produk Domestik Bruto
SAF : Sudanese Armed Force
Sinopec : China Petrochemical Corporation
SPLA : Sudan People’s Liberation Army
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini membahas tentang kepentingan Tiongkok dalam konflik Heglig di
Sudan. Kerjasama antara Tiongkok dengan Sudan mengalami peningkatan di tengah
ketegangan politik perebutan territorial antara Sudan dengan Sudan Selatan.
Fenomena ini yang akan penulis teliti dengan membatasi periode penelitian pada
tahun 2011-2014. Tahun tersebut dipilih karena peningkatan hubungan ekonomi
antara Tiongkok dengan Sudan terus meningkat dimana saat itu terjadi konflik di
beberapa kota di Sudan hingga berujung dengan kemerdekaan Sudan Selatan.
Revolusi Tiongkok yang dipelopori oleh Deng Xiaoping pada 1978
menyebabkan adanya reformasi perekonomian di Tiongkok dari sistem perekonomian
yang tertutup menjadi sistem perekonomian yang lebih terbuka. Hal tersebut
membuat Tiongkok mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam beberapa
dekade terakhir. Akibat adanya reformasi sistem perekonomian tersebut mambuat
Tiongkok lebih mampu bersaing dengan negara-negara Great Power lainnya. Namun,
perspektif negara lain terhadap Tiongkok yang identik dengan komunisme sangat
berpengaruh terhadap intensitas hubungan perekonomian negara-negara lain dengan
Tiongkok.
2
Selain itu, laju kebangkitan perekonomian Tiongkok menimbulkan
kekhawatiran bagi negara-negara lain. Selama 25 tahun terakhir, Produk Domestik
Bruto (PDB) Tiongkok telah mengalami peningkatan dari 144 milyar US$ pada 1978
menjadi 1,6 triliun US$ pada 2004.1 Laju kebangkitan perekonomian tersebut
mengubah pandangan negara-negara lain terhadap Tiongkok, yang sebelumnya
menganggap Tiongkok sebagai ancaman menjadi mitra perekonomian yang potensial.
Dengan pertumbuhan ekonominya yang pesat, Tiongkok semakin memperluas
pengaruh terhadap negara-negara lain. Tiongkok telah menjadi konsumen sumber
daya alam dan komoditas primer seperti baja, aluminium, minyak, dan gas terbesar di
dunia. Perusahaan-perusahaan di Tiongkok menjadi pemain baru dalam bisnis global.
Pada Desember 2004, The IBM Personal Computer (IBM-PC) yakni perusahaan
komputer milik Amerika Serikat diambil alih oleh perusahaan komputer Lenovo yang
berasal dari Tiongkok.2 Selain itu, perusahaan Tiongkok lain yakni China National
Offshore Oil Co. (CNOOC) berupaya mengambil alih Unocal Corporation yang
merupakan perusahaan milik Amerika Serikat sehingga menimbulkan kontroversi.3
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sangat pesat sejalan dengan kenaikan
kebutuhan sumber daya alam yang berupa energi. Hal tersebut membuat Tiongkok
melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan energinya. Upaya pemenuhan
1 Wang Gungwu and Zheng Yongnian, China and the New International Order, (New York:
Routledge, 2008), p. 2 2 “Lenovo to Acquire IBM Personal Computing Division”, 2005, tersedia di:
http://www.lenovo.com/news/us/en/2005/04/ibm_lenovo.html diakses pada 15 Oktober 2016. 3 Wang Gungwu and Zheng Yongnian, China and the New International Order, p.2
3
kebutuhan energi dilakukan di berbagai negara di Benua Asia dan Benua Afrika. Hal
tersebut dilakukan oleh Tiongkok karena negara-negara tersebut memiliki sumber
daya energi yang melimpah.
Gerald Segal, seorang pengamat mengenai isu nuklir serta komunisme di Asia
dan direktur dari the International Institute for Strategic Studies di London,
mengatakan bahwa Tiongkok adalah kekuatan global baru yang akan meningkat
pasca runtuhnya Uni Soviet. Selain itu, Segal juga mengatakan bahwa Tiongkok
menjadi negara yang cukup berperan penting untuk pertumbuhan di Benua Afrika.4
Hal tersebut disebabkan sebagian besar negara-negara di Benua Afrika termasuk ke
dalam negara berkembang sehingga membutuhkan bantuan negara lain yang lebih
kuat dari pembangunan di sektor infrastruktur, ekonomi, dan sektor lainnya.
Sudan merupakan salah satu negara di Benua Afrika yang menjadi negara
penerima bantuan dari Tiongkok. Sudan dikenal sebagai salah satu negara di Benua
Afrika yang bergantung terhadap bantuan perekonomian dari negara lain dengan rata-
rata bantuan mencapai 50% dari devisa perkapita Sudan pertahun.5 Bantuan luar
negeri terhadap Sudan sebagian besar dialokasikan pada sektor bantuan kemanusiaan
dan bantuan pembangunan berupa pinjaman luar negeri.
4 Gerald Segal, “China and Africa” The Annals of the American Academy of Political and
Social Science, Vol. 519 No.1 (January 1992), p.126 5 Ali Abdel Gadir Ali dan Ibrahim A. Elbadawi, Explaining Sudan’s Economic Growth
Performance, (Kenya: Working paper, 2004), hal 9
4
Kondisi ini menjadikan Sudan cenderung bergantung pada bantuan luar
negeri. Ketergantungan Sudan akan bantuan luar negeri ini disebabkan oleh
ketidakstabilan pemerintahan di Sudan akibat terjadinya perang sipil yang
berlangsung selama bertahun-tahun. Perpecahan antara Sudan dengan Sudan Selatan
timbul disebabkan pemerintahan yang selalu terpusat pada Sudan Utara (Sudan).6
Konflik tersebut sudah terjadi sejak masa penjajahan Inggris. Inggris
membagi Sudan menjadi dua wilayah pemerintahan jajahan berdasarkan persebaran
penduduknya. Wilayah Sudan bagian utara yang didominasi oleh etnis Arab yang
memeluk Islam dan wilayah Sudan bagian selatan yang mayoritasnya merupakan
etnis berkulit hitam Afrika yang menganut kepercayaan Animisme dan Kristen.7
Perpindahan penduduk Sudan Utara ke Sudan Selatan atau penduduk Sudan
Selatan ke Sudan Utara mendapat larangan dari pemerintah Inggris. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit malaria dari Sudan Selatan
menuju Sudan Utara. Namun, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris ini
membuat masyarakat di setiap wilayah menjadi terisolasi dan menimbulkan
munculnya sentimen antar wilayah. Sentimen tersebut kemudian menimbulkan
6 Marina Ottaway dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”, (Middle East:
The Carnegie Papers, 2012) 7 Marina Ottaway dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”
5
pemberontakan rakyat (Sudan Selatan) terhadap pemerintahan Sudan yang berakhir
dengan kemerdekaan Sudan Selatan.8
Setelah kemerdekaan Sudan Selatan pada 2011 dengan adanya intervensi
Amerika Serikat, hubungan antara Sudan dengan Sudan Selatan mengalami
ketegangan dan terlibat dalam perang saudara. Perang tersebut terjadi di daerah
perbatasan kedua negara. Sudan Selatan menguasai wilayah Heglig yang merupakan
ladang minyak dan menjadi sumber utama devisa negara dari sektor perekonomian
bagi kedua negara.
Ladang minyak Heglig dijalankan oleh Greater Nile Petroleum Operating Co
(GNPOC), konsorsium gabungan Tiongkok, Malaysia, India, dan Sudan. GNPOC
berencana meningkatkan produksi minyaknya dari 60.000 barrel per hari menjadi
70.000 barrel per hari (bph). Produksi minyak di Heglig, dikenal sebagai Greater Nile
Oil Project (GNOP), dimulai pada 1996. Proyek tersebut meliputi ladang minyak
Heglig dan Unity yang merupakan proyek terbesar di kawasan tersebut.9 Di dalam
proyek tersebut terdapat pipa yang menyalurkan 450.000 bph minyak dari Heglig,
8 BBC Indonesia, “Sudan Selatan Resmi Merdeka”: 2011, tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110709_sudanselatan.shtml diakses pada Selasa, 28
April 2015 9 Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”: 2012 tersedia di:
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tiada.Berakhir. diakses
pada 16 Desember 2015
6
Unity, dan daerah minyak lainnya yang membentang 1.000 mil dari Cekungan
Muglad ke terminal ekspor di dekat Pelabuhan Sudan.10
Heglig sendiri secara geografis terletak di Sudan Selatan, namun secara
internasional diakui sebagai wilayah dari Sudan.11
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) memberikan respon atas tindakan Sudan Selatan melalui Sekretaris Jenderal
PBB yang mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sudan Selatan
merupakan sebuah tindakan ilegal serta menghimbau Sudan Selatan untuk menarik
mundur pasukannya supaya tidak tercipta konflik baru di kawasan tersebut.12
Amerika Serikat juga ikut andil dalam konflik ini yakni dengan membantu
kemerdekaan Sudan Selatan dari Sudan. Intervensi Amerika Serikat di Sudan Selatan
juga dinilai mengancam hegemoni Tiongkok di wilayah tersebut. Sebaliknya,
Tiongkok juga menjadi penghambat penjatuhan sanksi dari PBB kepada Sudan yang
diusung oleh Amerika Serikat karena Tiongkok menentang penjatuhan sanksi
tersebut. Tiongkok selama ini melindungi Sudan di PBB dan menentang segala
bentuk penjatuhan sanksi dari PBB ke Sudan. Sikap Tiongkok tersebut mendapat
dukungan dari Rusia. Hal ini membuat konflik antara Sudan dan Sudan Selatan
10
Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”: 2012 tersedia di:
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tiada.Berakhir. diakses
pada 16 Desember 2015 11
Astrid Ezhara Sinaga, “Keberadaan China dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan
Selatan”: 2013, skripsi ini tersedia di: http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2013/08/JURNAL%20REVISI%20(08-29-13-05-02-48).docx diunduh pada Selasa,
28 April 2015 12
BBC Indonesia, “PBB: Pendudukan Sudan Selatan di Heglig Ilegal”: 2012, tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_unsouthsudan diakses pada Selasa, 28 April
2015
7
terjadi cukup lama meskipun perjanjian perdamaian dibuat namun perjanjian itu
sering dilanggar oleh kedua negara.13
Berdasarkan fenomena tersebut menunjukkan bahwa konflik yang terjadi
antara Sudan dengan Sudan Selatan tidak berpengaruh terhadap keberlangsungan
kerjasama antara pemerintah Sudan di wilayah Heglig dengan Tiongkok.
Ketidakstabilan kondisi negara saat perang akan mempengaruhi investor asing dan
swasta serta menghambat kerjasama dengan negara lain. Seperti halnya yang terjadi
pada investor asing (terutama negara Barat) yang cenderung bermain aman dengan
menarik investasinya dan menunggu keadaan negara yang berkonflik menjadi lebih
stabil. Contohnya adalah investasi Chevron di Sudan yang menarik semua
investasinya dari negara tersebut karena konflik.
Namun hal tersebut tidak terjadi antara Tiongkok dengan Sudan. Kedua
negara tersebut tetap melakukan kerjasama tanpa mengalami hambatan. Fenomena ini
yang menurut penulis menarik untuk dibahas, yaitu sikap Tiongkok yang tetap ingin
berinvestasi meskipun dapat merugikannya, mengingat kondisi Sudan yang
cenderung tidak stabil, terutama berikatan dengan kondisi daerah Heglig yang
menjadi fokus bahasan pada tulisan ini.
13
Arifian Winata, “Upaya Penyelesaian Konflik Negara Antara Sudan dengan Sudan
Selatan”, skripsi ini tersedia di:
http://www.academia.edu/7051782/UPAYA_PENYELESAIAN_KONFLIK_NEGARA_ANTARA_S
UDAN_DENGAN_SUDAN_SELATAN diunduh pada Rabu, 29 April 2015
8
B. Pertanyaan Penelitian
Fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah kepentingan Tiongkok dalam
konflik Heglig di Sudan periode 2011-2014. Maka berdasarkan uraian diatas,
pertanyaan penelitian yang akan dibahas yaitu: Mengapa Tiongkok melakukan
kerjasama dengan Sudan di tengah konflik Heglig?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui konflik Heglig antara Sudan dengan Sudan Selatan
2. Mengetahui hubungan Tiongkok dengan Sudan dan Sudan Selatan
3. Mengetahui faktor akomodasi peningkatan kerjasama antara Tiongkok
dengan kedua Sudan ditengah konflik Heglig
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumber pengetahuan terkait fakta-fakta yang terjadi antara
Tiongkok dengan Sudan dan Sudan Selatan pada konflik Heglig
2. Sebagai rujukan dalam menganalisis kerjasama sebagai salah satu faktor
yang dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri oleh pihak
yang sedang berkonflik
3. Sebagai pembuktian analisis tenrang konsep kepentingan nasional, konsep
keamanan energi, dan interdependensi
9
D. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini akan dipaparkan berbagai penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya untuk memberikan signifikansi pada topik penelitian yang
diambil. Secara umum, penulis membagi tinjauan pustaka berdasarkan penelitian
sebelumnya mengenai keterlibatan negara hegemon (terutama Tiongkok) dalam
menyelesaikan sebuah konflik.
Pertama, dalam penelitian Aztrid Ezhara Sinaga, “Keberadaan Tiongkok
dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan Selatan”14
, menyatakan bahwa kehadiran
pihak asing yang sejatinya merupakan negara hegemon di dalam sebuah konflik antar
negara itu tidak lepas dari adanya sumber daya alam yang menarik perhatian mereka,
salah satunya adalah minyak. Terlebih negara-negara di Afrika, khususnya Sudan dan
Sudan Selatan, merupakan negara yang kaya akan minyak. Hal tersebut diiringi
dengan berbagai bukti data statistik yang dilampirkan secara jelas. Tiongkok juga
mendirikan perusahaan petroleum miliknya di negara tersebut serta membantu dan
melindungi kedua negara dalam penyelesaian konflik internal dan eksternal.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah
dalam skripsi yang dibahas, kota yang dijadikan pokok bahasan konflik adalah
Darfur, sementara yang menjadi pokok bahasan konflik di skripsi penulis adalah
14
Astrid Ezhara Sinaga, “Keberadaan China dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan
Selatan”, (Universitas Mulawarman, 2013). Skripsi ini tersedia di: http://ejournal.hi.fisip-
unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/08/JURNAL%20REVISI%20new%20(08-29-13-05-02-
48).pdf diunduh pada 30 April 2015
10
Heglig. Selain itu, dalam skripsi ini membahas bagaimana kepentingan dan intervensi
Tiongkok dalam mencampuri konflik antara Sudan dan Sudan Selatan dalam
mengeluarkan sebuah kebijakan terkait permasalahan di kedua negara tersebut. Selain
itu, Tiongkok yang mempunyai sikap ganda dimana disatu sisi mereka ikut
memberikan bantuan, tetapi disisi lainnya mereka menjadi faktor penting dari konflik
Darfur tersebut.
Kedua, dalam penelitian yang dilakukan oleh Indah Rahmayeni yaitu,
“Kebijakan China Melakukan Kerjasama Energi Minyak dengan Sudan (2009-
2012).15
Penelitian tersebut menganalisa mengenai motivasi Tiongkok melakukan
kerjasama energy minyak dengan Sudan tahun 2009-2012. Analisa yang digunakan
menggunakan teori organisasi internasional beserta alasannya dan membahas
kerjasama energi minyak antara Tiongkok dengan Sudan secara keseluruhan terutama
difokuskan di Kota Darfur yang juga dilanda konflik antara Sudan dan Sudan Selatan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
lebih berfokus kepada kepentingan Tiongkok pada konflik yang terjadi di Kota
Heglig dan motif alasan lain dibalik kerjasama yang dilakukan dan dijalankan antara
Tiongkok dengan Sudan.
15
Indah Rahmayeni, “Kebijakan China Melakukan Kerjasama Energi Minyak dengan Sudan
(2009-2012) “. Skripsi ini tersedia di:
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/5092/4972 diunduh pada 2 Mei 2015
11
Ketiga adalah jurnal yang diterbitkan oleh International Crisis Group dalam
judul ”Sudan and South Sudan’s Merging Conflicts”.16
Jurnal ini membahas konflik
yang terjadi antara Sudan dengan Sudan Selatan pasca referendum Sudan Selatan
yakni pada 2011. Konflik yang pada awalnya berasal dari internal suku Nuer di
daerah Unity State dan meluas hingga menimbulkan perang sipil Sudan Selatan di
daerah Unity dan perang antar pemberontak di Sudan Selatan. Dalam jurnal ini juga
menjelaskan secara terperinci perkembangan konflik antara Sudan dengan Sudan
Selatan terjadi di beberapa wilayah perbatasan dan kondisi militer yang ada terutama
di wilayah Unity.
Perbedaan jurnal ini dengan penelitian yang akan dibahas adalah pembahasan
terkait konflik yang dipaparkan berfokus pada konflik di wilayah Unity serta Blue
Nile dan bukan di wilayah Heglig. Kepentingan Tiongkok di Sudan tidak dijelaskan
secara terperinci.
Keempat adalah jurnal yang diterbitkan oleh Human Rights Watch dengan
judul “Sudan, Oil, and Human Rights”.17
Jurnal ini membahas secara lengkap
berbagai perusahaan petroleum yang pernah berinvestasi di Sudan serta penguasaan
dan pengembangan area di Sudan yang merupakan wilayah yang mengandung
minyak. Selain itu, dijelaskan pula hubungan antara berbagai suku mayoritas di
16
International Crisis Group, “Sudan and South Sudan’s Merging Conflicts”, Africa Report
N233, (Brussels: International Crisis Group Headquarter, 2015) 17
Human Rights Watch, “Sudan, Oil, and Human Rights” Brussels, London, New York,
Washington D.C., 2003.
12
Sudan. Konflik yang terjadi di Sudan sejak kemerdekaan Sudan dari Inggris, perang
sipil yang terjadi hingga berujung pada perjanjian Addis Ababa dibahas secara
lengkap. Awal keterlibatan Tiongkok di Sudan terutama pada minyak dan
perdagangan senjata turus dibahas dalam jurnal ini.
Yang membedakan jurnal ini dengan penelitian yang dibahas adalah tidak
adanya konflik di wilayah Heglig. Jurnal tersebut membahas konflik yang terjadi
dengan batasan pada 2003, sementara konflik Heglig yang menjadi fokus bahasan
dalam penelitian ini terjadi pada 2012. Pada jurnal ini, keterlibatan Tiongkok berada
di sektor minyak dan senjata, sementara pada penelitian yang akan dibahas
menjelaskan kerjasama antara Tiongkok dengan Sudan yang meluas ke sektor
pertanian.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam menyusun skripsi ini, diperlukan teori dan konsep sebagai acuan untuk
membentuk pola pikir dan sudut pandang dalam menjelaskan, mengungkapkan, serta
menyajikan permasalahan yang akan diangkat. Skripsi ini akan menggunakan konsep
kepentingan nasional (national interest), konsep keamanan energi (energy security),
dan konsep geopolitik-geostrategis. Hal tersebut disebabkan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah Tiongkok terhadap konflik di Heglig-Sudan yang menempati posisi
strategis mengacu kepada masalah keamanan energi domestik Tiongkok yang
menjadi salah satu bagian dari kepentingan nasionalnya. Selain itu, kenaikan harga
13
minyak dunia juga dapat menjadi suatu ancaman bagi stabilitas ekonomi suatu
negara, sehingga konsep keamanan energi sangat tepat untuk memaparkan
kepentingan Tiongkok di Sudan.
1. Konsep Kepentingan Nasional (National Interest)
Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan politik luar
negeri suatu negara yakni dengan melihat ruang lingkup dari kepentingan itu sendiri
dan seberapa jauh intensitas suatu negara dengan kebutuhan negara lain. Konsep ini
digunakan untuk analisis politik karena digunakan untuk menjelaskan, menerangkan,
dan mengevaluasi sumber-sumber ataupun kelayakan kebijakan luar negeri suatu
negara.18
Thomas W. Robinson, mengutip Hans Morgenthau secara umum
mendefinisikan kepentingan nasional ke dalam 6 tipe, yaitu (a) Primary interest, yang
berarti bahwa kepentingan nasional bertujuan untuk melindungi pertahanan
keamanan negara, sistem politik dan identitas nasional. (b) Secondary interest, yaitu
kepentingan nasional untuk melindungi warga negaranya di luar negeri. (c)
Permanent interest, yaitu kepentingan nasional yang bertujuan untuk mencapai
kepentingan-kepentingan negara dalam periode masa tertentu. (d) Variable interest,
yaitu kepentingan nasional dapat berdasarkan objek opini public dan situasi politik
dalam negeri. (e) General interest, adalah kepentingan nasional juga berkaitan
18
K. J Holsti, International Politics, A Framework For Analysis, Ed. (New Jersey:
Prentice H.I, Inc., 1988)
14
dengan perilaku positif berdasarkan luas dan letak geografis, jumlah populasi, serta
beberapa aspek seperti ekonomi, perdagangan, diplomasi, dan hukum internasional.
(f) Spesific interest, berarti bahwa kepentingan nasional berkaitan pada waktu dan isu
tertentu.19
Berdasarkan tipe kepentingan nasional tersebut, maka kepentingan Tiongkok
di Sudan khususnya di kota Heglig mengacu kepada tipe primary interest dan general
interest. Primary interest dimaksudkan bahwa masalah energi bagi Tiongkok
merupakan salah satu masalah yang penting dan sangat berpengaruh bagi keadaan
negaranya. Sedangkan general interest mengacu kepada daerah Heglig yang
merupakan sumber minyak dan sangat dibutuhkan untuk menyuplai energi Tiongkok.
Daniel S. Papp menjelaskan dalam bukunya contemporary international
relations (1977) bahwa konsep kepentingan nasional dapat digunakan dalam
beberapa kriteria yaitu ekonomi, ideologi, dan militer. Kriteria ekonomi dapat
dijadikan dasar dalam menjelaskan kepentingan nasional. Setiap kebijakan yang
dilakukan untuk memperkuat perekonomian suatu negara dapat dianggap sebagai
kepentingan nasional. Meningkatkan perdagangan negara, memperkuat industri,
minyak dan sumber daya alam lainnya dianggap sebagai kepentingan nasional.
Ideologi digunakan oleh suatu negara untuk memberikan legitimasi kepada kebijakan
mereka, sehingga faktor ideologi dapat berpengaruh terhadap kepentingan nasional.
19
Thomas W. Robinson, National Interest, dalam James N. Rosenau (ed.) International
Politics and Foreign Policy, (London: the Free Press, 1969), hal. 183
15
Militer merupakan criteria yang penting untuk pertahanan dan keamanan suatu negara
karena kepentingan nasional dapat mempengaruhi power dan militer negara menjadi
lebih kuat.
Kepentingan nasional yang dimiliki suatu negara digunakan untuk menjaga
kelangsungan hidup negara dan keamanan tentunya dihadapkan dengan persaingan
politik internasional, serta untuk memenuhi defisa negara, stabilitas ekonomi, dan
kekuasaan suatu negara.
Kepentingan nasional suatu negara muncul akibat keterbatasan sumber daya
alam nasionalnya atau kekuatan nasional, sehingga negara-negara bersangkutan perlu
mencari pemenuhan kepentingan nasional. Cara yang dilakukan yakni dengan keluar
dari batas-batas negaranya untuk memenuhi kekurangan sumber daya alam tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan faktor-faktor pendorong terjadinya kepentingan nasional
Tiongkok yang mencari sumber daya alam hingga ke Benua Afrika dan melakukan
berbagai kerjasama untuk memenuhi kepentingan nasionalnya tersebut.
2. Konsep Keamanan Energi (Energy Security)
Konsep keamanan energi (energy security) lahir ketika negara-negara dunia
mulai khawatir akan keberadaan sumber daya energi yang mulai menipis. Dari
permasalahan tersebut maka banyak negara yang mencari sumber daya energi dengan
berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Keamanan energi
merupakan salah satu konsep dari national strategy. Suatu negara mempunyai
16
kemampuan untuk mempertahankan dan mengamankan ketersediaan cadangan energi
untuk kebutuhan negaranya. Keamanan energy dapat menjadi multidimensional
concept yaitu terdapat keterkaitan antara stabilitas politik, ekonomi, militer yang
dilakukan suatu negara untuk berusaha mengamankan energi yang dimilikinya.20
Dinamika ekonomi dan politik turut mempengaruhi suplai energi bagi
kegiatan suatu negara. Hal yang mempengaruhi batas cadangan energi antara lain
adalah ketersediaan cadangan minyak, fluktuasi harga minyak, ancaman terorisme,
instabilitas domestik negara eksportir energi, adanya perang, persaingan geopolitik,
hingga letak negara penghasil energi oleh negara-negara sebagai konsumen energi
dengan taraf intensitas yang tinggi dan biasanya dilakukan oleh negara maju.21
Energi adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal tersebut berarti
bahwa cadangan energi di dunia semakin lama akan habis. Dengan kebutuhan energi
yang secara terus-menerus, maka dapat mengakibatkan krisis energi dunia.
Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan. Karena jika
suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga energi yang
20
Florian Bauman, “Energy Security As Multidimensional Concept”. 2008. Hal. 4. Research
tersedia di http://edoc.vifapol.de/opus/volltexte/2009/784/pdf/CAP_Policy_Analysis_2008_01.pdf
diunduh pada 14 Desember 2015 21
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”. Foreign Affairs vol. 85, no.2, 2006. Hal. 69.
Tersedia di http://www.un.org/ga/61/second/daniel_yergin_energysecurity.pdf diunduh pada 14
Desember 2015
17
berakibat pada turunnya daya beli energi.22
Konsep keamanan energi menekankan
pada ketersediaan dan keamanan pasokan dengan harga yang memadai.23
Keamanan energi dapat dilihat secara kontekstual tergantung pada peran aktor
yang melakukannya. Hal tersebut menjelaskan bahwa di negara-negara eksportir
energi, keamanan energi dilihat dalam konteks akses terhadap pasar dan tingkat
permintaan, sedangkan bagi negara importir, keamanan energi dilihat dalam konteks
cara memperoleh energi bagi negaranya.24
Penelitian ini memfokuskan pada minyak sebagai salah satu bagian dari
energi dunia dan minyak juga dapat menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan
kebijakan luar negeri suatu negara. Konflik sering kali terjadi disebakan keterbatasan
minyak dan arena pemakaian yang eksploitatif oleh suatu negara baik di kawasan
maupun secara global. Oleh sebab itu, setiap negara mulai merencanakan
pengembangan energi minyak yang efektif untuk mengantisipasi adanya krisis energi
minyak yang akan terjadi di masa mendatang.
Dalam kebijakan Tiongkok untuk pemenuhan kebutuhan energi, maka
intervensi di daerah Heglig dirasa perlu. Hal tersebut disebabkan konflik yang terjadi
22
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”. Foreign Affairs vol. 85, no.2, 2006. Hal. 69.
Tersedia di http://www.un.org/ga/61/second/daniel_yergin_energysecurity.pdf diunduh pada 14
Desember 2015 23
Ilgar Mammadov, Geopolitics of Energy In The Caspian Sea Region Azerbaijan’s
Challenges, (2009), hal. 19 24
Sugeng Bob Hadiwinata, “Bringing the State Back in: Energy and National Security in
Contemporary International Relations”, Global Jurnal Politik Internasional vol. 8 no. 2
18
akan mempengaruhi sumber minyak yang nantinya akan disuplai ke Tiongkok.
Perlindungan terhadap daerah tersebut dirasa sangat dibutuhkan.
3. Konsep Interdependensi
Interdependensi berarti aksi satu negara akan berakibat pada negara yang
lain.25
Sumber lain mengatakan bahwa interdependensi merupakan ketergantungan
timbal balik antara rakyat dan pemerintah atau pemerintah dengan pemerintah
dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimana pun, oleh tindakan rekannya di negara lain.
Dengan demikian tingkat tertinggi hubungan transnasional antara negara berarti
tingkat tertinggi interdependensi.26
Ketika terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering
membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah
bersama. Institusi-institusi memajukan kerjasama lintas batas-batas internasional
dengan menyediakam informasi dan mengurangi biaya. Institusi-institusi itu dapat
berupa organisasi internasional formal, seperti WTO atau Uni Eropa atau OECD, atau
dapat berupa serangkaian persetujuan yang agak formal yang menghadapi aktivitas-
aktivitas atau isu-isu bersama, seperti perjanjian tentang pengapalan, penerbangan,
komunikasi atau lingkungan.27
25 Iva Rachmawati, Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta:
Aswada Pressindo, 2012. Hal. 33 26
Robert & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009. hal 147 27
Robert & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional. Hal 147
19
Kerjasama antara Tiongkok dengan Sudan dan Sudan Selatan menyebabkan
tingginya tingkat interdependensi atau ketergantungan satu sama lain. Tiongkok
bergantung pada pasokan minyak dari Sudan. Sedangkan Sudan dan Sudan Selatan
bergantung pada bantuan luar negeri serta peningkatan devisa negara yang diperoleh
dari penjualan minyak ke Tiongkok.
F. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif itu sendiri ialah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati, berfokus pada proses-proses yang terjadi dan khususnya
berusaha memahami bagaimana sesuatu itu muncul.28
Penelitian kualitatif sendiri dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data
dari berbagai sumber baik sumber tertulis ataupun sumber langsung. Kelebihan
metode ini adalah lebih mudah dalam mendapatkan informasi tanpa harus
mengumpulkan data dan melakukan penghitungan agar diperoleh data yang nyata dan
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Selain itu metode kualitatif tidak
membutuhkan waktu yang lama dalam pengolahan data sehingga lebih menghemat
waktu.
28
John W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. (Thousand Oaks: Sage Publications. 2009), hal 29
20
Dalam penelitian ini metode kualitatif yang digunakan adalah metode
deskriptif analitis, yakni metode yang dilakukan dengan cara melihat dan
menganalisis permasalahan fenomena yang ada berdasarkan teori-teori yang sesuai di
dalam teori hubungan internasional dan kemudian mendeskripsikannya. Data yang
penulis peroleh melalui media online yaitu melalui berita di media online, berbagai
jurnal ilmiah, dan beberapa buku.
G. Sistematika Penelitian
Penelitian ini akan ditulis ke dalam lima bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab I ini akan dipaparkan latar belakang permasalahan yang menjadikan
isu ini menarik untuk dikaji dan memunculkan sebuah pertanyaan permasalahan yang
menjadi fokus bahasan dalam skripsi ini. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan
manfaat dari penulisan skripsi ini. Pada bagian ini akan diuraikan juga literature lain
yang dijadikan tinjauan pustakan serta teori dan konsep yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Di bagian akhir akan dijelaskan pula metode
penelitian serta sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam skripsi ini.
21
BAB II KONFLIK SUDAN DAN SUDAN SELATAN
Pada Bab ini akan dijelaskan konflik yang terjadi antara Sudan dan Sudan
Selatan beserta negara yang berpengaruh atau turut andil dalam berbagai dinamika
yang terjadi di kedua negara. Pembahasan konflik antara Sudan dan Sudan Selatan
akan dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama akan dijelaskan konflik Sudan
dengan Sudan Selatan sebelum terjadinya referendum Sudan Selatan. Dalam uraian
tersebut akan disertakan review mengenai keadaan Sudan di masa penjajahan Inggris.
Pada bagian kedua akan dijelaskan keadaan hubungan antara Sudan dengan Sudan
Selatan pasca kemerdekaan Sudan Selatan serta pemaparan akibat dari referendum
Sudan Selatan. Pada bagian ketiga akan dijelaskan perkembangan konflik yang terjadi
di Heglig yang menjadi perebutan wilayah baru bagi Sudan dan Sudan Selatan karena
faktor minyak.
BAB III KEPUTUSAN TIONGKOK MELAKUKAN KERJASAMA
EKONOMI DENGAN SUDAN DI TENGAH KONFLIK HEGLIG
Pada Bab ini akan dipaparkan keputusan Tiongkok untuk melakukan
kerjasama di sektor ekonomi dengan Sudan di tengah konflik Heglig. Bab ini akan
dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan reformasi sistem
perekonomian Tiongkok di era Mao Zedong. Pada bagian ini juga akan dijelaskan
tahapan reformasi tersebut yakni repelita pertama, nasionalisasi perusahaan, komune
rakyat dan gerakan lompatan besar ke depan. Pada bagian kedua akan dijelaskan
22
peningkatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok terutama di era Deng Xiaoping dan
berbagai penerapan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan pada bagian
ketiga akan dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan tiongkok mengakomodasi
kerjasama dengan Sudan.
BAB IV ANALISIS KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK
HEGLIG DI SUDAN
Bab ini akan membahas analisis kepentingan Tiongkok dalam konflik Heglig
di Sudan periode 2011-2014. Kepentingan tersebut akan dipaparkan dalam beberapa
bagian. Adapun beberapa kepentingan tersebut diantaranya adalah kebutuhan
Tiongkok akan sumber daya energi di Sudan, terciptanya interdependensi antara
Tiongkok dengan Sudan, serta Tiongkok yang melakukan perlindungan penuh
terhadap sumber energinya. Kepentingan tersebut kemudian akan dianalisa dan
dijelaskan dengan menggunakan konsep kepentingan nasional, konsep energy
security, dan konsep interdependensi yang dijadikan alat analisa dalam penelitian ini
guna mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam
skripsi ini.
BAB V PENUTUP
Pada bagian ini penulis akan memberikan kesimpulan yang terstruktur sesuai
dengan analisa yang dilakukan pada bab sebelumnya.
23
BAB II
KONFLIK SUDAN DAN SUDAN SELATAN
BAB ini menjelaskan tentang konflik yang terjadi antara Sudan dan Sudan
Selatan beserta negara yang berpengaruh atau turut andil dalam berbagai dinamika
yang terjadi di kedua negara tersebut. Konflik yang terjadi sejak masa penjajahan
Inggris hingga membuat Sudan Selatan memerdekakan diri dari Sudan yang tidak
kunjung berakhir hingga sekarang. Berbagai wilayah di daerah perbatasan antara
kedua negara yang kaya akan sumber daya alam berupa minyak mentah dan sangat
diperlukan untuk menopang perekonomian di negara tersebut, salah satunya adalah
konflik di kota Heglig.
A. Konflik Sudan dengan Sudan Selatan Sebelum Kemerdekaan Sudan
Selatan
Sudan dan Sudan Selatan sendiri dulunya adalah bagian dari Negara Sudan.
Konflik antara kedua negara berawal karena pusat pemerintahan selalu terpusat pada
Sudan Utara.29
Konflik tersebut telah terjadi sejak masa penjajahan Inggris, Sudan
dibagi menjadi dua wilayah pemerintahan jajahan berdasarkan persebaran
penduduknya, yakni wilayah utara yang didominasi oleh etnis Arab yang mayoritas
beragama Islam dan wilayah selatan yang mayoritasnya merupakan etnis berkulit
29
Marina Ottaway dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”, (Middle East:
The Carnegie Papers, 2012)
24
hitam Afrika yang menganut kepercayaan Animisme dan Kristen.30
Perpindahan
penduduk di kedua wilayah tersebut juga dilarang. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk mencegah penyebaran penyakit malaria dari Sudan Selatan ke Sudan Utara.
Namun, kebijakan tersebut mempunyai tujuan lain yakni untuk mendukung para
misionaris guna menyebarkan Kristen di Sudan Selatan dan menghalangi penyebaran
Islam serta tradisi muslim.31
Adanya kebijakan tersebut membuat masyarakat di
setiap wilayah menjadi terisolasi serta terdapat sentimen antar setiap wilayah.
Ketidakadilan pemerintah terhadap masyarakat yang menduduki Sudan Selatan serta
faktor lain seperti perbedaan ras dan intervensi negara lain membuat konflik di kedua
negara semakin kompleks.
Kemerdekaan Sudan pada 1956 yang diberikan oleh Inggris juga disertai
dengan terjadinya perang sipil pertama (Civil War I) antara Sudan Utara dan Sudan
Selatan.32
Perang sipil pertama ini berlangsung dari 1955-1972. Perang tersebut
diakhiri dengan perjanjian Addis Ababa (Addis Ababa Agreement). Perjanjian
tersebut mengakhiri pemberontakan Sudan Selatan dan mengubah sistem
pemerintahan secara adil, yakni Sudah Selatan juga dapat memegang posisi di
pemerintah pusat yang sebelumnya dipegang penuh oleh Sudan Utara.
30
Insight on Conflict, “Sudan: Conflict Profile”. 2009, tersedia di:
https://www.insightonconflict.org/conflicts/sudan/conflict-profile/ diakses pada Selasa, 14 Desember
2016 31
Marina Ottaway dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”, (Middle East:
The Carnegie Papers, 2012). Hal. 12. 32
La Verle Bennette, “Sudan: A Country Study”, (Federal Research Division US
Government: Library of Congress, 2015). Hal 27. Tersedia di:
http://www.loc.gov/rr/frd/cs/pdf/CS_Sudan.pdf diakses pada Selasa, 14 Desember 2016
25
Namun pada awal 1980-an, Sudan Utara mengalami dinamika lain yang
memicu konflik baru dengan Sudan Selatan. Presiden Sudan Utara (Sudan) Jaafar
Nimeiri merupakan pemimpin militer yang kemudian diangkat sebagai presiden
terpilih dan telah berkuasa sejak 1969. Jaafar Nimeiri mengubah kebijakan dalam dua
langkah yakni dengan menyatakan bahwa Sudan selanjutnya akan menggunakan
sistem pemerintahan Syariah, dan dengan merombak perjanjian Addis Ababa.
Nimeiri juga mengatakan akan membantu negosiasi dengan anggota dewan Sudan
Selatan dalam pembagian wilayah menjadi tiga provinsi secara terpisah.33
Hal
tersebut memicu konflik baru yang disebabkan adanya pembagian wilayah dan aturan
antara sudan yang mayoritas penduduknya muslim dan Sudan Selatan yang mayoritas
populasinya non-Muslim. Kondisi tersebut menjadi katalisator terjadinya konflik
antara Sudan dan Sudan Selatan yang selanjutnya melakukan pemberontakan atas
alasan tersebut.
Pada 1983, perang antara Sudan dan Sudan Selatan kembali terjadi.
Ketidakstabilan di Sudan Utara meningkat setelah Nimeiri dikudeta pada 1985 dan
diikuti oleh periode pemerintahanan sipil. Kudeta lanjutan terjadi pada 1993 yang
membawa kekuatan aliansi militer dan ekstrimis Islam di bawah pimpinan Omar al-
Bashir.34
Perang yang terjadi di tengah-tengah wilayah negara yakni pada pusat
33
Marina Ottaway dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”, (Middle East:
The Carnegie Papers, 2012). Hal 5 34
Marina ottaway dan Mai El-Sadany. “Sudan: From Conflict to Conflict”. Hal 6.
26
pemerintahan serta bentrokan suku di Sudan Selatan membuat kedua negara
mengalami ketidakstabilan ekonomi.
Faktor-faktor baru yang lebih kompleks mulai bermunculan seperti
meningkatnya kompetisi di kedua negara untuk mengontrol sumber daya minyak
disertai dengan perubahan mitra minyak asing Sudan yang menarik diri karena
perusahaan minyak Barat menolak kebijakan Sudan. Perusahaan dari Tiongkok,
Malaysia, dan India mulai masuk untuk menjadi mitra minyak asing yang baru bagi
Sudan.
B. Kemerdekaan Sudan Selatan
Letak Geografis Sudan Selatan yaitu berada di Afrika Timur yang berbatasan
dengan Kenya, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo di sebelah selatan,
Republik Afrika Tengah di sebelah barat, dan Sudan di sebelah utara. Ibu kota
negara Sudan Selatan adalah Juba yang juga merupakan kota terbesar di Sudan
Selatan.35
Sejak 1956, Sudan Selatan merupakan bagian dari negara Sudan Utara
(Sudan). Konflik internal di negara tersebut membuat berbagai kebijakan dikeluarkan
untuk menghentikan konflik, namun belum menemukan solusi yang signifikan.
Perpecahan dan konflik saudara yang tidak berakhir membuat kedua negara sepakat
untuk mengakhiri konflik tersebut dengan menandatangani perjanjian perdamaian
Comprehensive Peace Agreement (CPA) pada 2005.
35
BBC, “South Sudan Profile”. Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-africa-14069082
diakses pada 30 Desember 2015
27
CPA sendiri memiliki tujuan untuk mengakhiri perang sipil yang terjadi di
Sudan, mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis di Sudan, dan membagi
pendapatan minyak secara adil serta melakukan kesepakatan untuk mencapai
kemerdekaan dengan melakukan referendum yang terjadi pada 2011.36
CPA
merupakan kesepakatan antara John Garang sebagai pemimpin pemberontak Sudan
People’s Liberation Army (SPLA) dengan Ali Osman Toha sebagai Wakil Presiden
Sudan pada Januari 2005. Perjanjian tersebut telah berhasil mengakhiri peperangan
antara kedua belah pihak yang terjadi selama 21 tahun. Dalam CPA dicapai beberapa
kesepakatan37
, yakni:
1. Penghentian konflik antara SPLA dan Sudanese Armed Force (SAF).
2. Adanya masa interim 6 tahun yang akan diakhiri dengan
penyelenggaraan self-determination referendum bagi Sudan Selatan
untuk menentukan apakah tetap menjadi bagian dari Sudan atau
memisahkan diri.
3. Pembentukan pemerintahan sekuler dan semi-otonom Sudan Selatan
yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
36
Rebecca Hamilton, “U.S. Played Key Role in Southern Sudan’s Long Journey to
Independence”, The Atlantic, 9 Juli 2011. Tersedia di:
http://www.theatlantic.com/international/archieve/2011/07/us-played-key-role-in-southern-sudans-
long-journey-to-independence/241660/ diunduh pada 4 April 2016. 37
United Nations Mission in Sudan, “The Comprehensive Peace Agreement Between The
Government of The Republic of The Sudan and The Sudan People’s Liberation Movement/Sudan
People’s Liberation Army”. Tersedia di:
http://peacemaker.un.org/sites/peacemaker.un.org/files/SD_060000_The%20Comprehensive%20Peace
%20Agreement.pdf diunduh pada 6 April 2016
28
4. Penyusunan pembagian kekuasaan antara SPLA dan National Congress
Party (NCP).
5. Penyusunan pembagian kekayaan dari eksploitasi minyak yang dibagi
50-50.
6. Pemilihan umum secara demokratis selama masa interim, dan
7. Pembentukan status administratif khusus bagi Abyei dan juga referendum
bagi residents.
Kesepakatan tersebut membuat Sudan Selatan mengajukan referendum self-
determination. Keberhasilan referendum tersebut ditunjukkan dengan 99% rakyat
Sudan Selatan menghendaki pemisahan diri dari Sudan. Dari 3,851,994 orang
penduduk yang melakukan pemilihan, hanya 44,888 orang penduduk yang
menghendaki tidak terjadi pemisahan kedua wilayah tersebut.38
Deklarasi
kemerdekaan Sudan Selatan terjadi pada 9 Juli 2011 yang kemudian diikuti
bergabungnya Sudan Selatan secara resmi terdaftar sebagai anggota ke-196 di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).39
Sebelum terjadinya Comprehensive Peace Agreement pada tahun 2005,
berbagai persetujuan damai telah terjadi, seperti Protocol Machos (Chapter I) pada
20 Juli 2002. Protocol Machos (Chapter I) tersebut berisi bahwa pemerintah dan
38
David Smith, “Sudan Referendum Results Confirmed”, The Guardian, 2011. Tersedia di:
http://www.theguardian.com/world/2011/feb/07/sudan-referendum-result-confirmed diunduh pada 6
April 2016 39
BBC, “South Sudan Profile”. Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-africa-14069082
diakses pada 30 Desember 2015
29
kelompok pemberontak South’s Sudan People Liberation Army (SPLA) mencapai
kesepakatan tentang kekuasaan negara dan agama, dan hak menentukan nasib sendiri
bagi Sudan Selatan.40
Berbagai kesepakatan lain yang telah tercapai diantara kedua
negara, yaitu Power Sharing (Chapter II), Wealth Sharing (Chapter III), the
Resolution of the Conflict in Abyei Area (Chapte IV), the Resolution of the Conflict in
Southern Kordofan and Blue Nile States (Chapter V), Security Arrangements
(Chapter VI), The Permanent Ceasefire and Security Arrangements Implementation
Modalities and Appendices (or Annexure I), The Implementation Modalities and
Global Implementation Matrix and Appendices (or Annexure II).41
Pasca kemerdekaan, konflik internal di Sudan Selatan tidak kunjung berakhir.
Sudan Selatan kembali mengalami krisis yang dipicu oleh perebutan kekuasaan
politik antara Presiden Salva Kiir Maryadit dan Wakil Presiden Riek Machar Teny
Dhurgon pada 16 Desember 2013. Konflik antara tentara yang setia kepada
pemerintah, yakni Sudan People’s Liberation Army (SPLA), melawan oposisi yang
mendukung Machtar. Konflik tersebut diawali dari argumen antar kelompok yang
memicu bentrok hingga menewaskan sekitar 20 orang.42
40
Carter, “Observing the 2011 Referendum on the Self-Determination of Southern Sudan”,
The carter center: final report, 2011, 2. 41
United Nations Mission in Sudan, “The Comprehensive Peace Agreement between The
Government of The Republic of Sudan and the Sudan People’s Liberation Movement/Sudan People’s
Liberation Army.” 42
C. Koos & T. Gutchke. 2014. “South Sudan Newest’s War: When two Old Men Devide a
Nation” [pdf]. German Institute of Global and Area Studies, ISSN 2196-2940, No 2.
https://www.giga-hamburg.de/de/system/files/publications/gf_international_1402_new.pdf diunduh
pada 4 April 2016. Hal. 2-3.
30
Selain itu, terdapat informasi lain yang mengatakan bahwa pertempuran
tersebut terjadi setelah Presiden Kiir memerintahkan untuk menangkap politisi yang
dianggap menentang pemerintah. Presiden Kiir menuduh Machar dan petinggi SPLA
lainnya mencoba untuk menggulingkan pemerintahannya dan merencanakan kudeta.
Tuduhan tersebut dibantah oleh Machar. Presiden Kiir memerintahkan untuk
melakukan penangkapan terhadap petinggi SPLA termasuk Sekretaris Jendral SPLA
yakni Pagan Amun. Sedangkan, Machar sendiri melarikan diri ke Jonglei.43
Konflik yang dipicu dari persaingan politik internal ini kemudian berkembang
menjadi konflik bersenjata dan perpecahan etnis di berbagai bagian negara. Etnis
yang terlibat dalam konflik tersebut yaitu antara etnis Dinka yang mendukung
pemerintah dan etnis Nuer yang mendukung Machar. Konflik tersebut meluas dari
ibukota Juba ke States of Unity, Upper Nile, dan Jonglei, yang merupakan wilayah
yang kaya akan sumber daya alam berupa minyak.44
C. Konflik Heglig
Konflik yang terjadi diantara kedua negara belum berakhir meski kesepakatan
referendum serta kemerdekaan Sudan Selatan telah tercapai. Bahkan, terdapat
peningkatan konflik bersenjata pasca kemerdekaan tahun 2011 hingga 2012. Konflik
tersebut banyak terjadi di daerah perbatasan dan daerah yang kaya sumber daya alam
43
Heidelberg Institute for International Conflict Research. 2013. “Disputes Non-Violent
Crises and Limited Wars in South Sudan (SPLA defectors)”. Tersedia di:
http://hiik.de/de/konfliktbarometer/pdf/ConflictBarometer_2013.pdf diunduh pada 5 April 2016 44
Encyclopedia Britannica, “World Affairs: South Sudan”. (Britain: Encyclopedia Britannica
Inc. 2014). Hal. 490.
31
berupa minyak. Konflik di kedua negara tersebut tetap berlangsung karena adanya
rasa ketidakpercayaan antara Sudan dengan Sudan Selatan. Selain itu, manifestasi
dari kegagalan CPA tersebut dapat dilihat dari belum terwujudnya kesepakatan
mengenai batas demarkasi, pembagian hutang dan pembagian hasil minyak, serta
penggunaan pipa minyak milik Sudan oleh Sudan Selatan. Pertempuran di South
Kordofan, Blue Nile, Abyei, dan Heglig mengancam kestabilan perdamaian serta
sebagai pemicu konflik lanjutan dan kekerasan di daerah perbatasan.45
Heglig merupakan sebuah kota yang berada di perbatasan antara Sudan dan
Sudan Selatan. Konflik yang terjadi di kota tersebut menjadi isu penting bagi kedua
negara. Hal tersebut disebabkan Heglig merupakan salah satu sumber energi berupa
minyak yang menyumbang sebagian besar produksi minyak Sudan setelah Darfur dan
Abyei.
Sudan Selatan membutuhkan persetujuan yang mutlak dan valid untuk
mengelola minyak tersebut dari Sudan. Namun, persetujuan tersetujuan tersebut
belum terwujud karena Sudan tidak menyepakatinya. Hal tersebut yang menyebabkan
dan memicu konflik baru antara Sudan dengan Sudan Selatan.
Keinginan Sudan Selatan yang secara total ingin menguasai industri minyak
pasca kemerdekaannya tidak dapat terwujud. Hal tersebut disebabkan kilang minyak
atau pabrik yang memproses substansi naturalnya berada di Sudan. Meski sumber
45
“Sudan: Conflict Profile” http://www.insightonconflict.org/conflicts/sudan/conflict-profile/
diakses pada 6 April 2016
32
daya alam minyak berada di wilayah Sudan Selatan, tetapi tidak dapat digunakan
tanpa fasilitas yang dimiliki oleh Sudan. Selain itu, Sudan mengeluarkan ancaman
akan menghentikan atau menutup saluran pipa apabila pembagian penghasilan
persediaan minyak dirasa tidak cukup adil.
Konflik tersebut memicu konflik bersenjata di daerah perbatasan dimana
pasukan militer Sudan Selatan merebut wilayah Heglig yang merupakan ladang
minyak dan menjadi sumber utama devisa dari sektor perekonomian bagi kedua
negara. Ladang minyak Heglig dioperasikan oleh Greater Nile Petroleum Operating
Co (GNPOC), konsorsium gabungan Tiongkok, Malaysia, India, dan Sudan. GNOPC
semakin meningkatkan produksi minyaknya yang semula hanya 60.000 barrel per
hari (bph) menjadi 70.000 barrel per hari (bph).
GAMBAR II.C.1 Peta Pipa Minyak di Sudan
Sumber: http://natoassociation.ca/wp-content/uploads/2013/06/SudanOilPipelines.jpg
33
Produksi minyak di Heglig dikenal sebagai Greater Nile Oil Project (GNOP).
Pabrik ini mulai beroperasi pada 1996. Proyek minyak ini meliputi ladang minyak di
Heglig dan Unity yang merupakan kilang minyak terbesar di kawasan tersebut.46
Sebuah pipa yang menyalurkan 450.000 bph minyak dari Heglig, Unity, dan daerah
minyak lainnya membentang 1.000 mil dari Cekungan Muglad ke terminal ekspor di
dekat Pelabuhan Sudan.47
46
Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”. 2012 tersedia di:
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tiada.Berakhir. diakses
pada 16 Desember 2015 47
Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”.
34
GAMBAR II.C.2 Peta Konflik Heglig
Sumber: Reuters, World Energy Atlas, ECOS, APEC
Heglig sendiri secara geografis terletak di Sudan Selatan, namun secara
internasional diakui sebagai wilayah Sudan.48
PBB memberikan respon atas tindakan
Sudan Selatan melalui Sekretaris Jendral PBB yang mengatakan bahwa tindakan
48
Astrid Ezhara Sinaga, “Keberadaan China dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan
Selatan”, (Universitas Mulawarman, 2013). Skripsi ini tersedia di: http://ejournal.hi.fisip-
unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/08/JURNAL%20REVISI%20new%20(08-29-13-05-02-
48).pdf diunduh pada 30 April 2015
35
yang dilakukan oleh Sudan Selatan merupakan sebuah tindakan ilegal dan
menghimbau Sudan Selatan untuk menarik mundur pasukannya untuk menghindari
terciptanya konflik baru di daerah tersebut.49
Konflik di perbatasan kedua negara ini berawal dari pasukan Juba yang
mengambil alih kilang minyak tersebut dan mengklaim sebagai bagian dari Negara
Bagian Warrap, Sudan Selatan. Aksi klaim tersebut membuat Khartoum yang
mengoperasikan minyak tersebut merasa tidak terima atas perlakuan pasukan Juba.
Hal tersebut menyebabkan Presiden Sudan yakni Omar al-Bashir memerintahkan
untuk mengerahkan pasukan bersenjata untuk mengusir pasukan Juba keluar dari
Heglig. Selama dua pekan konflik ini berlangsung, terdapat setidaknya 350 orang
atau lebih yang meninggal. Korban sebagian besar berasal dari pasukan Khartoum.
Ribuan warga Heglig juga terpaksa mengungsi ke kota lain yang dirasa aman dari
daerah konflik.50
Konflik senjata di Heglig juga meluas ke daerah perbatasan lain. Pemberontak
di Negara Bagian Blue Nile di Sudan, Bentiu ibu kota Unity State, bahkan hingga
selatan wilayah Meiram di Kirr Adem Bahr al-Gazal. Sebagai bentuk respon dari
serangan Sudan di Heglig hingga Teshwin yang dianggap melewati perbatasan,
Sudan Selatan menempati wilayah Heglig dengan pasukannya untuk memperkuat
49
BBC Indonesia, “PBB: Pendudukan Sudan Selatan di Heglig Ilegal”. Tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_unsouthsudan diakses pada Selasa, 28 April
2015 50
Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”. Tersedia di:
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tiada.Berakhir. Diakses
pada 16 Desember 2015
36
pertahanan Heglig. Meskipun demikian, pihak Sudan Selatan menyatakan bahwa
negara tersebut tidak berniat untuk melakukan serangan balasan hingga memasuki
wilayah Sudan.
Uni Eropa mengecam klaim Sudan Selatan atas wilayah Heglig adalah
tindakan illegal dan mendesak kedua negara untuk mencegah perang baru. Konflik
senjata di Heglig telah menghentikan produksi minyak sekitar setengah output yaitu
115.000 barel per hari dan merusak beberapa fasilitas yang tersedia.51
Pasukan Sudan
Selatan bersedia menghentikan penyerangan kawasan tersebut jika PBB mengerahkan
pasukan perdamaian di daerah perbatasan dimana daerah tersebut rawan terjadinya
konflik. Terdapat tujuh daerah yang menjadi sengketa antara Sudan dan Sudan
Selatan yang dibutuhkan arbitrase internasional untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Produksi minyak di Heglig akan kembali normal jika tercapai kesepakatan
antara Sudan dengan Sudan Selatan untuk melanjutkan produksi minyak. Hal tersebut
disebabkan produksi minyak Heglig menyumbang sekitar 98% dari pendapatan
negara milik Sudan Selatan yang baru merdeka.52
Kehilangan daerah Heglig sangat
merugikan bagi mereka.
51
Aljazeera, “Sudan Fighting Escalates over Heglig Oilfield”: 2012, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/04/2012414152014367237.html diakses pada Sabtu, 10
Desember 2016 52
Aljazeera, “Sudan Fighting Escalates over Heglig Oilfield”: 2012, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/04/2012414152014367237.html diakses pada Sabtu, 10
Desember 2016
37
BAB III
KEPUTUSAN TIONGKOK MELAKUKAN KERJASAMA EKONOMI
DENGAN SUDAN DI TENGAH KONFLIK HEGLIG
BAB ini menjelaskan tentang faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi
keputusan Tiongkok untuk melakukan kerjasama di sektor ekonomi dengan Sudan
yang sedang dilanda konflik internal dengan Sudan Selatan. Pembahasan dalam bab
ini akan dibagi menjadi dua pokok bahasan. Yang pertama adalah sistem ekonomi
Tiongkok di era Mao Zedong. Kedua adalah pertumbuhan perekonomian Tiongkok di
era Deng Xiaoping. Yang ketiga adalah faktor apa saja yang menyebabkan Tiongkok
mengakomodasi kerjasama dengan Sudan.
A. Reformasi Ekonomi Tiongkok di Era Mao Zedong
Mao Zedong memproklamasikan negara Republik Rakyat Tiongkok pada 1
Oktober 1949. Pada saat itu, perekonomian Tiongkok berada pada keadaan yang
buruk akibat perang antara Tiongkok dengan Jepang dan perang saudara. Perang
tersebut menyebabkan inflasi perekonomian di Tiongkok. Oleh sebab itu, selama
beberapa tahun pertama Tiongkok melakukan perbaikan yang difokuskan pada
pabrik-pabrik, produksi barang, fasilitas-fasilitas transportasi serta mengendalikan
inflasi dan pengeluaran di pemerintah.
38
Setelah komunis berkuasa pada 1949, maka diadakan kebijakan ekonomi
nasional yang didasarkan pada Reformasi Agraria. Gurley mengkategorikan
kebijakan ekonomi nasional Tiongkok menjadi53
:
1. Masa landreform tahun 1949-1952,
2. Masa kolektivisasi-komunisasi tahun 1955-1959,
3. Pembentukan modal (capital formation) untuk pertanian tahun 1960-1972,
serta
4. Perubahan secara gradual dari nilai tukar (terms of trade) di antara
pertanian dan industri bagi kepentingan sektor pertanian dan kaum tani.
Terdapat dua alasan dalam Revolusi Agraria di era Mao Zedong yakni,
menghancurkan kelas bangsawan atau tuan tanah untuk menghilangkan potensi
ancaman kontra pemerintah dan mendirikan pusat kekuasaan politik komunis
terutama di daerah pedesaan.54
Mao menyatakan bahwa panduan dasar land reform
pada saat itu adalah “menyandarkan diri pada petani miskin, bersatu dengan petani
menengah, tidak mengganggu kepentingan petani kaya baru, dan menghapus tuan
tanah feodal sebagai kelas.”55
53
John G. Gurley, “China’s Economy and the Maoist Strategy”, (New York and London:
Monthly Review Press, 1976), page 30
54 Lin Ji Tjou, Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, (Jakarta: Pembaruan, 1964), hal. 7
55 Lin Ji Tjou, Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, (Jakarta: Pembaruan, 1964), hal. 7
39
Dalam melaksanakan land reform, Mao Zedong melalui berbagai tahapan
yaitu dengan melakukan penelitian, studi dan analisis terhadap situasi di berbagai
daerah pedesaan, berbagai lapisan di masyarakat, dan penentuan kelas dalam
masyarakat.56
Selain itu, kebijakan tersebut juga menetapkan batasan politik
berdasarkan situasi yang nyata dan yang sedang dihadapi. Kebijakan ini dilakukan
dengan cara menurunkan harga sewa dan bunga. Kemudian untuk meningkatkan taraf
kebangkitan dan memobilisasi massa, tanah milik tuan tanah disita lalu dibagikan
secara merata. Pada tahap ini seluruh sistem feodal atau kapitalis dihapuskan.57
Selain itu, masa land reform juga digunakan Mao untuk mendoktrin para
kadernya yang belum sepaham, termasuk juga para kader dan simpatisan dari partai
nasionalis. Pada masa itu partai komunis Tiongkok berhasil merekrut massa sekitar
160 juta penduduk Tiongkok.58
Mayoritas dari simpatisan itu adalah dari kalangan
petani yang pada masa pemerintahan nasionalis dianggap sebagai pihak yang paling
dirugikan.59
Pada akhir 1951 dilaksanakan Gerakan Tiga Anti (San Fan) yaitu pencurian,
pemborosan dan birokratisme.60
Sanfan merupakan slogan melawan tindakan korupsi
dan inefisiensi birokrasi. Tindakan ini bertujuan untuk memberi tindakan pencegahan
agar seseorang yang mempunyai akses di bidang keuangan milik pemerintah tidak
56
Lin Ji Tjou, Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, (Jakarta: Pembaruan, 1964), hal. 8 57
Lin Ji Tjou, Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, (Jakarta: Pembaruan, 1964), hal. 8 58
Chang, Jung, Halliday, John,, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui, terj. Martha Wijaya
dan Widya Kirana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 410-415 59
Chang, Jung, Halliday, John, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui. Hal 410-415 60
Chang, Jung, Halliday, John, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui. Hal 410-415
40
melakukan tindakan korupsi. Tindakan ini menghasilkan setidaknya sekitar 5% dari
pejabat administrasi dikenai hukuman formal, yakni ada yang dipenjara, tetapi
sebagian besar hanya diberhentikan atau diturunkan jabatannya.61
Pada Januari 1952, diberlakukan Gerakan Lima Anti (wu fan).62
Gerakan ini
ditujukan kepada golongan masyarakat terutama kaum kapitalis dan pengusaha-
pengusaha swasta. Gerakan ini ditujukan untuk menumpas lima macam kejahatan:
suap menyuap, tidak membayar pajak, pencurian uang negara, pemalsuan dokumen
dengan pemerintah, dan mencuri informasi ekonomi milik negara. Lebih dari 450.000
perusahaan secara resmi diselidiki oleh negara.63
Pada tahun 1950 pemerintah menetapkan bahwa segala jenis pajak di berbagai
bidang harus diserahkan kepada pusat. Dengan demikian pemerintah daerah tidak lagi
diberi kekuasaan untuk mengeluarkan pendapatan yang diperoleh dari pajak. Sejak
1928 Pemerintah nasionalis memang tidak dapat mengendalikan pemerintah daerah
dalam menarik pajak. Sejak adanya sentralisasi pajak pendapatan pemerintah
mengalami kenaikan yang berarti, dari 6,5 milyar yuan pada tahun 1950 menjadi 13,3
milyar pada tahun 1951.64
61
Chang, Jung, Halliday, John, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui, terj. Martha Wijaya
dan Widya Kirana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 410-415 62
Chang, Jung, Halliday, John, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui 63
Meisner, Maurice, China’s Mao and After: the History of People’s Republic, (New York:
Free Press, 1999), page 87 64
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000), hal. 51
41
1. REPELITA PERTAMA (1953-1957)
Republik Rakyat Tiongkok berdiri dan menjadikan sistem pemerintahannya
seperti model Uni Soviet. Pemerintah Mao mencanangkan program rencana
pembangunan lima tahun I (repelita) tahun 1953-1957 dan dalam periode ini juga
terdapat kecenderungan mengurangi tindakan kekerasan dalam kehidupan politik.
Antara 1952 dan 1957 industri Tiongkok tumbuh dengan kecepatan yang melebihi
14,7% dari rencana yang ditetapkan.65
Total output industry Tiongkok meningkat dua
kali lipat. Produksi baja meningkat dari 1,31 juta metric ton pada tahun 1952 menjadi
4, 48 juta pada tahun 1957; semen dari 2,86 juta menjadi 6,86 juta; besi dari 1,9 juta
menjadi 5,9 juta; batu bara dari 66 juta menjadi 130 juta; dan daya listrik dari 7,26
milyar kilowatt per jam menjadi 19,34 milyar.66
Tiongkok juga untuk pertama
kalinya memproduksi sejumlah truk, traktor, pesawat jet, dan kapal dagang. Dalam
hal ini Tiongkok terbukti menjadi murid yang baik dari model Soviet dengan
pertumbuhan produksi yang lebih cepat dari industri Rusia selama Repelita Pertama
Soviet tahun 1928-1932.67
Salah satu prestasi paling penting selama dominasi Mao adalah
keberhasilannya atas perbaikan-perbaikan pada persediaan air. Dam-dam, kanal-
kanal, waduk-waduk, akuaduk, saluran-saluran kecil, selokan, dan system pompa
65
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,
hal. 51 66
Meisner, Maurice, China’s Mao and After: the History of People’s Republic, (New York:
Free Press, 1999). Page 111 67
Meisner, Maurice, China’s Mao and After: the History of People’s Republic. Hal 111
42
dibangun dalam jumlah begitu banyak sehingga sebagian besar daerah di negeri itu
dapat bertahan dari kekeringan yang berkepanjangan tanpa bantuan darurat.
2. NASIONALISASI PERUSAHAAN
Pada bulan Juli 1955 kebijakan Mao diberlakukan percepatan pembukaan
lahan-lahan pertanian kolektif dan bulan November mengumumkan bahwa semua
industri dan perdagangan yang selama ini ditangani oleh pihak swasta harus dirubah
menjadi milik negara. Teorinya: negara adalah pemilik perusahaan yang bekerja sama
dengan mantan pemilik perusahaan terkait yang selama 20 tahun ke depan hanya
boleh memiliki 5% dari nilai perusahaan mereka.68
Para pemilik perusahaan tetap
bekerja sebagai manager dan digaji cukup tinggi, tetapi seorang anggota partai diberi
jabatan sebagai atasan mereka.
3. KOMUNE RAKYAT
Pada tahun 1958 didirikannya Komune Rakyat (renmin gongshe) yaitu,
sebagai wadah kolektivitas produksi pertanian dengan skala besar. Masyarakat
Tiongkok dikelompokkan menjadi unit-unit baru, masing-masing terdiri atas 2000 –
20.000 rumah tangga.69
Dengan sistem ini rakyat menjadi lebih mudah dikendalikan
karena petani harus hidup dalam suatu sistem yang diorganisir dan tidak dibiarkan
melakukan sesuatu atas inisiatif sendiri.
68
Poltak Partogi, Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal. 53 69
Paul H. Clyde, The Far East: A History of the Impact of the West on Eastern Asia,(New
York: Prentice-Hall, 1958), hal. 44
43
4. GERAKAN LOMPATAN JAUH KE DEPAN (GREAT LEAP
FORWARD)
Mao ingin mewujudkan Tiongkok menjadi sebuah kekuatan baru di dunia
dengan melakukan perubahan pada metode dan strategi pembangunan. Metode ini
diterapkan pada Mei 1958 dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi Tiongkok
melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja.
Program industrialisasi tersebut ditargetkan tercapai dalam waktu sepuluh sampai
lima belas tahun. Mao menyebut baja sebagai pilar industri dan memerintahkan untuk
meningkatkan produksi baja dua kali lipat dalam waktu satu tahun, dari 5,35 juta ton
pada tahun 1957 menjadi 10,7 juta ton pada tahun 1958. Mao tidak menjelaskan lebih
lanjut terkait bidang militer dari program tersebut.70
B. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dimulai pada era Deng Xiaoping dengan
“open door policy”. Kebijakan tersebut cenderung lebih pragmatis dan memfokuskan
diri pada bidang militer, industry, perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan Tiongkok mengalami peningkatan
GDP dari US$ 144 milyar (1978) menjadi US$1,6 trilyun (2004) dalam kurun waktu
70
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000), hal. 52
44
seperempat abad saja.71
Hal tersebut menjadikan Tiongkok dipandang sebagai
“threat” dan “opportunity”.
Berikut ini adalah grafik yang menunjukka kenaikan Gross Domestic Product
(GDP) Tiongkok antara tahun 1952 sampai tahun 2005:
GAMBAR III.B.1 GDP Tiongkok Antara 1952-2005
Sumber: World Bank
Di dalam grafik tersebut terlihat Gross Domestic Product (GDP) Tiongkok
yang mengalami kenaikan secara signifikan. Kenaikan grafik GDP tersebut terjadi di
71
Wang Gungwu and Zheng Yongnian, China and the New International Order, (New York:
Routledge, 2008). Page 2
45
tahun 1992 hingga ke tahun 2005. Kenaikan GDP Tiongkok ini sejalan dengan
peningkatan perekonomian Tiongkok. Hingga pada tahun 2014, GDP Tiongkok
berada di peringkat kedua setelah Amerika Serikat yang notabenenya merupakan
negara dengan GDP terbesar di dunia.
GAMBAR III.B.2 GDP Tiongkok 2014
Sumber: World Bank
Perilaku Tiongkok di dunia internasional tersebut mengacu kepada perkataan
Deng Xiaoping bahwa, “It doesn’t matter if a cat is black or white, as long as it
catches mice.” Hal ini berarti bahwa Tiongkok tidak memandang suatu negara
tertentu untuk melakukan kerjasama selama kerjasama tersebut menguntungkan bagi
Tiongkok. Tiongkok menganggap keuntungan itu lebih penting dan setiap negara
baik itu negara kecil maupun besar layak dan perlu untuk dilakukan kerjasama.
46
Bahkan Tiongkok baru saja mengambil alih Amerika Serikat sebagai perekonomian
terbesar di dunia menurut International Monetary Fund (IMF) yang dilansir oleh
BBC.72
Keberhasilan Tiongkok tersebut tidak lepas dari berbagai penerapan kebijakan
yang dilakukan pemerintah yang sangat vital, seperti kebijakan rural and urban
reform.73
Kebijakan ini diterapkan untuk memacu adanya industry rumahan yang
akhirnya menyerap tenaga kerja dan menghasilkan efisiensi produksi. Selain itu
terdapat kebijakan desentralisasi yang digunakan untuk mengatur kader-kader yang
akan menjadi the new owners of enterprises bagi Tiongkok di masa depan.74
Pelatihan kader tersebut bertujuan untuk mempersiapkan calon-calon penerus
perekonomian Tiongkok yang siap bersaing di dunia internasional. Dan yang terakhir
adalah kebijakan sektor edukasi, dimana Tiongkok menerapkan wajib belajar yang
ketat bagi masyarakatnya, melarang adanya pekerja di usia sekolah, serta
mengembangkan vocational education untuk memberikan ketrampilan kepada
masyarakat. Sehingga akan terdapat sumber daya manusia yang mempunyai skill
yang tinggi.75
72
Ben Carter, “Is China’s Economy Really the Largest In the World?”, 16 Desember 2014,
Tersedia di: http://www.bbc.com/news/magazine-30483762 diakses pada 17 Mei 2016 73
Ahmad Syaifuddin Zuhri, S. Ip., I., M., dalam pemaparan di mata kuliah Asia Timur pada
Kamis, 19 Mei 2016 74
Ahmad Syaifuddin Zuhri, S. Ip., I., M., dalam pemaparan di mata kuliah Asia Timur pada
Kamis, 19 Mei 2016 75
Ahmad Syaifuddin Zuhri, S. Ip., I., M., dalam pemaparan di mata kuliah Asia Timur pada
Kamis, 19 Mei 2016
47
Selain itu, peran pemerintah Tiongkok dalam mengatur dan perusahaan-
perusahaan dalam negerinya baik itu perusahaan kecil, menengah, hingga perusahaan
yang berskala internasional. Perusahaan-perusahaan tersebut dilepas ke pasar global
namun tetap dalam pengawasan pemerintah Tiongkok. Sehingga jika terdapat inflasi,
negara masih dapat mengontrol dan mengatasi masalah tersebut.
Seiring dengan peningkatan perekonomian Tiongkok, kebutuhan akan energi
juga meningkat. Hal ini yang menyebabkan Tiongkok mencari sumber daya energi
hingga ke negara lain untuk dapat menopang pertumbuhan perekonomian tersebut.
Pencarian sumber daya energi dilakukan oleh Tiongkok ke negara-negara yang
mempunyai sumber daya energi minyak melimpah seperti negara-negara di Timur
Tengah dan Afrika.
C. Faktor Tiongkok Mengakomodasi Kerjasama Dengan Sudan
Kemajuan industry dan perekonomian Tiongkok yang sangat pesat
membuatnya harus menjalin kerjasama dengan banyak negara, termasuk negara-
negara di Benua Afrika. Hal ini disebabkan Benua Afrika mempunyai banyak sumber
daya alam yang sangat diperlukan dalam menyokong pertumbuhan industrinya.
Kerjasama yang dilakukan Tiongkok lebih bersifat pragmatis yakni tidak lagi
mengarah kepada persamaan ideologi antar negara. Akan tetapi, lebih kepada negara
48
mana saja yang dapat memberikan keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk
Tiongkok.76
Tiongkok merupakan negara di Asia yang memiliki kebutuhan energi
tertinggi dan negara dengan perekonomian yang sangat berpengaruh. Kehadiran
Tiongkok di Sudan diawali dengan masuknya Tiongkok ke Afrika untuk memberikan
berbagai bantuan baik itu bantuan dana, fasilitas, dan infrastruktur. Kunjungan
Presiden Tiongkok, Hu Jintao, ke berbagai negara di Afrika juga memperkuat
hubungan antara Tiongkok dengan negara-negara Afrika.77
Kerjasama yang dilakukan Tiongkok cenderung menguntungkan untuk negara
yang berkerjasama dengannya karena tidak melakukan intervensi internal yang
berbanding terbalik dengan Negara Barat dan Amerika Serikat.78
Tiongkok
membantu negara dengan bantuan ekonomi melalui kerjasama minyak tersebut dan
cenderung melindungi serta menghormati kedaulatan negara yang menjadi partner
kerjasamanya.79
Hal tersebut menyebabkan banyak negara-negara yang memilih
untuk bekerjasama dengan Tiongkok daripada kerjasama dengan Amerika Serikat.
76
Jennifer G. Cooke, “China’s Soft Power and Its Implications for the United States”,
(Washington D.C: Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2009), page 31 77
Kompas. “Presiden Hu Kunjungi Arab Saudi dan Afrika”. Tersedia di:
http://news.kompas.com/read/2009/02/11/04193189/presiden.hu.kunjungi.arab.saudi.dan.afrika
diakses Rabu, 27 April 2016 78
Jennifer G. Cooke, “China’s Soft Power and Its Implications for the United States”,
(Washington D.C: Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2009), page 32 79
Jennifer G. Cooke, “China’s Soft Power and Its Implications for the United States”. 2009.
Page 32
49
Kebijakan tersebut yang juga dilakukan dan diterapkan oleh Tiongkok di
Sudan dan Sudan Selatan. Masuknya perusahaan Petrochina di ladang minyak di
Sudan dan Sudan Selatan setelah hengkangnya perusahaan-perusahaan Barat seperti
Chevron Oil Co., milik Amerika Serikat dan Arakis Energy Co., milik Kanada.
Hengkangnya kedua perusahaan yang disebabkan embargo dari Amerika Serikat
terkait konflik sipil antara Sudan dengan Sudan Selatan yang sempat membuat Sudan
mengalami kesulitan ekonomi.80
Kerjasama Tiongkok dengan Afrika terutama dengan Sudan berlanjut pada
1996, dimana Tiongkok merupakan investor utama bagi Sudan dengan investasi
minyak melalui BUMN Tiongkok yaitu China National Petroleoum Corporations
(CNPC). Yang menginvestasikan tidak hanya dalam hal eksplorasi minyak, tapi juga
dalam hal produksi, infrastuktur, dan trasportasi di Sudan. Sejak tahun 1996, China
National Petroleoum Corporations (CNPC) telah memiliki 40% saham dari
perusahan besar yaitu Greater Nile Petroleoum. Investasi tersebut digunakan untuk
membangun jalur pipa sepanjang 1500 km menuju ke pelabuhan Sudan dan
kemudian pada 2001 perusahaan Tiongkok membangun Stasiun Pembangkit Energi
dengan bantuan sebanyak 110 juta US$ dari pinjaman Bank Exim Tiongkok.81
80
Human Rights Watch, “Sudan, Oil, and Human Rights” Brussels, London, New York,
Washington D.C., 2003, page 92. 81
Cindy Hurst, “China’s Oil Rush in Africa”, the Institute for the Analysis of Global Security,
Washington D.C., 2006. Tersedia di: http://www.iags.org/chinainafrica.pdf diakses 14 Mei 2016
50
Selain bekerjasama di bidang energi minyak, Tiongkok dan Sudan melakukan
kerjasama di bidang perdagangan senjata. Disaat Tiongkok investasi di GNOPC
Desember 1996, juga telah terjalin kerjasama yang cukup lama dibidang perdagangan
senjata kepada pemerintah Sudan yakni pada masa pemerintahan Presiden Nimeiri
(1969-1985). Pembelian senjata tersebut menglami peningkatan pada 1990-an
diakibatkan perang internal di Sudan dan perjanjian antar kedua negara meningkatkan
keuangan dan kredit internasional melalui potensi minyak di Sudan.
Pengiriman senjata dari Tiongkok ke Sudan terjadi sejak 1995. Tiongkok
memasok amunisi, tank, helicopter, dan pesawat tempur ke Sudan. Selain itu,
Tiongkok juga menjadi pemasok utama antipersonnel and antitank mines pasca
1980.82
Pada 1997, SPLA menyerbu kota-kota di pemerintahan Sudan Selatan dan
menemukan beberapa persenjataan milik Tiongkok. Seperti di Kota Yei, terdapat
delapan 122mm towed howitzers, lima T-59 tank buatan Tiongkok, dan satu 37 mm
anti-aircraft gun buatan Tiongkok.83
Senjata yang dijual oleh Tiongkok cenderung lebih murah dari harga senjata
yang ditawarkan oleh Barat. Hal ini yang menyebabkan banyaknya pengimpor senjata
memilih Tiongkok sebagai partner dalam kerjasama tersebut. Selain itu,
perlindungan penuh yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap rekan bisnisnya
82
Human Rights Watch, “Sudan: Global Trade, Local Impact, Arms Transfers to all Sides in
the Civil War in Sudan,” Vol. 10, No. 4 (a) (New York: Human Rights Watch, August 1998), pp. 28-
29. 83
Human Rights Watch, “Sudan: Global Trade, Local Impact, Arms Transfers to all Sides in
the Civil War in Sudan”. pp. 20
51
menjadikan negara tersebut merasa aman dari pihak lain terutama negara Barat.
Namun, tidak dapat dipungkiri bila perdagangan senjata tersebut juga berdampak
langsung terhadap perjanjian kerjasama energi antara Tiongkok dengan Sudan.
52
BAB IV
ANALISIS KEPENTINGAN TIONGKOK DALAM KONFLIK HEGLIG DI
SUDAN
BAB ini berisi analisis kepentingan Tiongkok dalam konflik Heglig di Sudan
periode 2011-2014. Selain itu bab ini juga akan memaparkan upaya yang dilakukan
oleh Tiongkok untuk melindungi perusahaan minyak dan gas miliknya yang berada di
Sudan terutama di wilayah Heglig. Upaya yang dimaksud adalah dengan melakukan
perlindungan terhadap Sudan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dipelopori oleh Amerika Serikat serta sikap netral yang dilakukan oleh Tiongkok
dalam konflik Heglig antara Sudan dengan Sudan Selatan. Kepentingan Tiongkok
tersebut akan dianalisis dengan menggunakan konsep kepentingan nasional dan
konsep energy security yang dijadikan sebagai alat analisa dalam penelitian ini guna
mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian dalam skripsi ini.
A. Kebutuhan Tiongkok akan Sumber Daya Energi di Sudan
Pada tahun 1998, pemerintah Tiongkok melakukan nasionalisasi terhadap
asset perusahaan minyak dan gas yakni China Petrochemical Corporation (Sinopec)
dan China National Petroleum Corporation (CNPC) di Sudan. Selain itu terdapat the
China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang menangani produksi hasil
53
tambang di lepas pantai serta menghasilkan lebih dari 10 persen dari hasil produk
domestik Tiongkok, dan China National Star Petroleum yang didirikan pada 1997.84
Tiongkok merupakan pengembang pertama dari minyak bumi di Sudan, dan
mengimpor sekitar 60 persen dari pengeluaran minyak di Sudan pada 2004.85
Pada
1960-an dan 1970-an, tambang minyak di Sudan dikelola oleh Chevron Corporation
namun ditinggalkan karena perang sipil di negara tersebut pada 1980-an. Pada tahun
1996, Arakis Energy Corporation, yakni sebuah perusahaan milik Kanada, mulai
mengembangkan wilayah Heglig dan Unity yang diduga mengandung sekitar 600 juta
dan 1.2 milyar barrel minyak mentah.86
Letak Heglig dan Unity yang tidak berada di dekat Laut Merah menyebabkan
Arakis harus bergabung dengan the Greater Nile Petroleum Operating Company
(GNPOC) yang merupakan perusahaan konsorsium gabungan milik Sudan,
Tiongkok, Malaysia dan India. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan modal
yang digunakan membangun jaringan pipa sekitar 1000 mil dari ladang minyak ke
terminal minyak Suakim yang terletak di dekat pelabuhan Sudan.
Pada 1998, Arakis menjual sahamnya kepada sebuah perusahaan besar lain
yang berasal dari Kanada, Talisman Energy Inc. Kemudian pada awal Maret 2003,
84
Energy Information Administration, “China”. Tersedia di: http://www.eia.doe.gov diakses
pada Kamis, 9 Desember 2016 85
World Tribune, “China Concludes Oil, Gas Agreement with Algeria”. 2004, tersedia di:
http://216.26.163.62/2004/ea_china_02_08.html diakses pada Kamis, 9 Desember 2016 86
World Tribune, “China Concludes Oil, Gas Agreement with Algeria”. 2004, tersedia di:
http://216.26.163.62/2004/ea_china_02_08.html diakses pada Kamis, 9 Desember 2016
54
Talisman menjual seluruh 25 persen sahamnya di Greater Nile Oil Project to Oil and
Natural Gas Corporation Videsh (ONGC Videsh). Hal ini disebabkan oleh gugatan
yang diajukan pada tahun 2001 oleh the Presbyterian Church of Sudan yang
mengklaim bahwa Talisman memberikan bantuan kepada militer Sudan dalam sebuah
“brutal ethnic cleansing campaign.”87
Sejak Tiongkok mendirikan dan kemudian menasionalisasi perusahaan
minyak yang ada di Sudan, Tiongkok mengambil beberapa peran penting dalam masa
konflik di Sudan. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan Tiongkok dalam jual beli
alutsista kepada pemerintah Sudan.88
Selain itu, Tiongkok memberikan perlindungan
berupa dukungan diplomatik kepada pemerintah Sudan yang dituduh atas kasus
genosida oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di wilayah barat Darfur. 89
Berbagai organisasi hak asasi manusia telah berulang kali menuduh Sudan
yang dianggap secara sistematis membantai warga sipil. Konflik di Sudan telah
menyebabkan banyak korban meninggal dan luka-luka, kekerasan seksual terhadap
perempuan dan anak-anak, menghancurkan rumah warga, serta menyebabkan ratusan
orang mengungsi.90
Di ibukota dan kota utama lainnya, pasukan keamanan Sudan
87
Human Rights Watch, “Sudan: Global Trade, Local Impact, Arms Transfers to all Sides in
the Civil War in Sudan,” Vol. 10, No. 4 (a) (New York: Human Rights Watch, August 1998), pp. 20 88
Human Rights Watch, “Sudan: Global Trade, Local Impact, Arms Transfers to all Sides in
the Civil War in Sudan”, page 20 89
BBC Indonesia, “PBB: Pendudukan Sudan Selatan di Heglig Ilegal”.Tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_unsouthsudan diakses pada Selasa, 28 April
2015 90
Human Rights Watch, “Sudan”. Tersedia di: https://www.hrw.org/africa/sudan diakses
pada Kamis, 9 Desember 2016
55
telah berulang kali mendapatkan perlawanan dari demonstran yang melakukan protes
atas kebijakan pemerintah. Kasus demonstrasi ini berakhir ricuh dan menewaskan
lebih dari 170 orang pada September 2013.91
Selain itu, selama bertahun-tahun pemberontak telah menyerang instalasi
minyak di Sudan. Mereka berharap dapat mengakuisisi atau mengambil alih instalasi
minyak tersebut dari pemerintah dengan cara apapun. Cara yang dilakukan termasuk
dengan konflik bersenjata dengan tentara pemerintah yang notabenenya adalah
sesama warga negara Sudan.92
Tiongkok sendiri mendatangkan warga negaranya untuk bekerja di instansi
minyak miliknya yang berada di Sudan. Tiongkok menyiagakan pasukan bersenjata
pemerintah Sudan yang sebagian besar dengan senjata buatan Tiongkok.93 Hal
tersebutlah yang memicu kecemburuan pemberontak dan semakin memperbesar
konflik karena Tiongkok tidak menggunakan tenaga kerja warga negara Sudan,
melainkan warga negara Tiongkok sendiri. Selain itu, Sudan telah membangun tiga
pabrik senjata dengan bantuan dari Tiongkok untuk membantu menghentikan
91
Human Rights Watch, “Sudan”. Tersedia di: https://www.hrw.org/africa/sudan diakses
pada Jumat, 9 Desember 2016 92
Sudan Tribune, “Plural News and Views About Sudan “. Tersedia di:
http://www.sudantribune.com/+-Sudan-S-Sudan-war,1257-+ diakses pada Jumat, 9 Desember 2016 93
Peter S. Goodman, “China Invests Heavily in Sudan’s Oil Industry,” (Washington Post,
2004). Tersedia di: www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A21143-2004Dec22.html diakses pada
Jumat, 9 Desember 2016
56
pemberontak.94 Tiongkok dilaporkan bersedia mendukung Sudan dengan jaminan
pertukaran minyak milik Sudan. 95
Tiongkok menginvestasikan berbagai hal ke Sudan termasuk uang sejumlah
US$ 20 miliar, hibah, dan bantuan lainnya.96
Pemerintah Sudan bisa mengumpulkan
sebanyak US$ 30 miliar atau lebih dari total pendapatan minyak.97
Sudan merupakan
produsen minyak terbesar ketiga di Benua Afrika dengan memiliki 563.000.000 barel
cadangan minyak.98
Terdapat sekitar 15 perusahaan asing yang beroperasi di bidang energi di
Sudan. Perusahan-perusahaan tersebut sebagian besar berasal dari Asia (Tiongkok,
India, dan Malaysia). Perusahaan milik Barat yang berada di Sudan sebagian besar
mengundurkan diri karena mendapat tekanan dari kelompok-kelompok hak asasi
manusia internasional atau masalah keamanan. Salah satu contohnya adalah Total
yang berasal dari Perancis. Total memiliki perwakilan tetap di Khatoum dan
perusahaan itu mengatakan akan melanjutkan kegiatannya saat perdamaian
94
Mideast Newsline, “Sudan Builds New Weapons Factories with Chinese Help”. Tersedia
di: http://www.freerepublic.com/forum/a3b2cc46d1f1c.htm diakses pada Jumat, 9 Desember 2016 95
Firoze Manji dan Stephen Marks, “African Perspectives on China in Africa” (Fahamu:
Cape Town, Nairobi and Oxford, 2007), hal. 149 96
Happymon Jacob, “India-Sudan Energy Ties: Implications,” Observer Research
Foundation. Tersedia di: http://www.observerindia.com/analysis/A031.htm diakses pada Jumat, 9
Desember 2016 97
Peter S. Goodman, “China Invests Heavily in Sudan’s Oil Industry.” (Washington Post,
2004) tersedia di: www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A21143-2004Dec22.html diakses pada 9
Desember 2016 98
Peter S. Goodman, “China Invests Heavily in Sudan’s Oil Industry.” (Washington Post,
2004) tersedia di: www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A21143-2004Dec22.html diakses pada 9
Desember 2016
57
dipulihkan yakni ketika hubungan antara kelompok oposisi dengan pemerintah telah
membaik dan tercipta keamanan yang efektif serta berkelanjutan.
Tiongkok telah beralih ke sejumlah cara lain yang lebih soft power seperti
memberikan suap agar kepentingan nasional Tiongkok dapat berjalan sesuai yang
diinginkan serta berkelanjutan.99
Tiongkok juga mengumumkan dukungan terhadap
negara-negara dengan kasus hak asasi manusia seperti Sudan, Ethiopia, Gambia, dan
lain-lain. Hal tersebut menyebabkan Tiongkok berada di bawah pengawasan
internasional karena mengabaikan isu hak asasi manusia dan dapat menyebabkan
Tiongkok kehilangan kredibilitas dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (DK PBB) Tiongkok memiliki kemampuan untuk mengendalikan sanksi yang
dikenakan pada berbagai negara. Sebagai contoh, Tiongkok telah menjadi
penghambat bagi upaya Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap
Sudan karena hak vetonya.
99
Happymon Jacob, “India-Sudan Energy Ties: Implications,” Observer Research
Foundation. Tersedia di: http://www.observerindia.com/analysis/A031.htm diakses pada Jumat, 9
Desember 2016
58
Tiongkok menganut five principles of peaceful coexistence dan tidak mungkin
secara langsung mengubah kebijakan negaranya. Five principles of peaceful
coexistence terdiri dari100
:
1. Mutual respect for each other's territorial integrity and sovereignty.
2. Mutual non-aggression.
3. Mutual non-interference in each other's internal affairs.
4. Equality and cooperation for mutual benefit.
5. Peaceful co-existence.
Dari pemaparan prinsip tersebut Tiongkok tidak dapat mengubah secara
langsung mengubah struktur internal negara-negara lain. Namun, Tiongkok lebih
fokus kepada politik, hubungan diplomatik, dan perdagangan untuk kepentingan
perekonomian Tiongkok itu sendiri. Tiongkok sukses menggunakan kebijakan untuk
memperoleh ekuitas di ladang minyak negara lain, khususnya di ladang minyak dari
negara-negara yang relatif sedang krisis seperti Sudan, dan dihindari oleh perusahaan
minyak milik Barat. Keuntungan yang diperoleh Tiongkok dari segi ekonomi
meliputi:
1. Tiongkok mendapatkan jaminan dalam penguasaan sumber minyak di
negara pengekspor.
100
The full text of this agreement (which entered into force on 3 June 1954) is in United
Nations Treaty Series, vol. 299, United Nations, , pp. 57-81. Tersedia di:
http://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20299/v299.pdf diakses pada 7 Desember 2016
59
2. Membeli saham di ladang minyak dapat menurunkan harga minyak yang
diimpor oleh Tiongkok dalam jangka panjang.
3. Tiongkok tidak memiliki kompetitor lain dalam perebutan minyak di
negara-negara yang mengalami krisis karena negara Barat sangat
menghindarinya disebabkan ketakutan akan sanksi yang dijatuhkan.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa baik Tiongkok dan
Sudan memiliki kepentingan nasional yang sama yaitu peningkatan di sektor ekonomi
masing-masing negara. Peningkatan di sektor ekonomi dan menjadikan ekonomi
sebagai kekuatan negara merupakan faktor penting dalam keberlangsungan suatu
negara. Tiongkok dan Sudan terlihat saling mempertahankan keuntungan yang
diperoleh dari kerjasama yang telah terjalin.
Heglig menghasilkan sekitar 55.000 barrel minyak per hari (bph).101
Bagi
perekonomian Sudan, ladang minyak di Heglig sangat penting bagi perekonomian
karena memproduksi hampir setengah dari total output negara yakni 115.000 barel
per hari.102
Kemerdekaan Sudan Selatan menyebabkan Sudan kehilangan tiga
perempat dari output minyaknya. Sementara wilayah perbatasan di sekitar ladang
minyak heglig yaitu di Blok 2 masih dalam kondisi dispute.
101
El-Tayeb Siddig, ”WRAPUP 1-Sudan Says It Pumping Oil From Heglig Field” 2012.
Tersedia di: http://www.reuters.com/article/sudan-oil-idUSL5E8G2GRX20120502 diakses pada Rabu,
22 Desember 2016 102
El-Tayeb Siddig, ”WRAPUP 1-Sudan Says It Pumping Oil From Heglig Field” 2012.
Tersedia di: http://www.reuters.com/article/sudan-oil-idUSL5E8G2GRX20120502 diakses pada Rabu,
22 Desember 2016
60
Terkait dengan kerjasama energi, pemerintah Sudan mengumumkan telah
memperpanjang kerjasama dengan perusahaan the Chinese National Petroleum
Company (CNPC). Perjanjian tersebut akan berjalan selama enam tahun dan
bertujuan untuk meningkatkan produksi minyak di ladang minyak wilayah utara
Heglig dan beberapa wilayah perbatasan dari Abyei yang sedang diperebutkan antara
Sudan dengan Sudan Selatan.103
Sudan memperpanjang kontrak tersebut disebabkan
Tiongkok merupakan investor asing terbesar dan pembeli utama dari minyak mereka.
Fakta tersebut diasumsikan sebagai faktor utama dalam mempertahankan
kerjasama di kedua negara. Bahkan ketika Sudan sedang dilanda konflik internal di
Heglig, kerjasama antara Tiongkok dengan Sudan tetap terjalin. Masalah perebutan
teritori Heglig antara Sudan dengan Sudan Selatan cukup penting melihat nilai
sumber daya alam berupa minyak yang berada di kawasan tersebut. Tetapi kedua
negara ini tetap melanjutkan kerjasama karena memaksimalkan kepentingan nasional
kedua negara yang berpusat pada kerjasama perdagangan minyak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepentingan Tiongkok untuk terus
mengakomodasi dan melindungi kawasan Heglig di Sudan adalah untuk
mempertahankan keuntungan yang telah diperoleh dan untuk meminimalisir kerugian
negara seperti pasokan minyak yang akan terganggu. Keuntungan Tiongkok yang
diperoleh dari Heglig adalah pasokan sumber daya alam berupa minyak yang
103
Sudan Tribune, “Sudan Signs Six-Year Oil Exploration Deal With China”, 2015. Tersedia
di: http://www.sudantribune.com/spip.php?article53824 diakses pada Rabu, 22 Desember 2016
61
mencapai 60%. Pasokan minyak dari Sudan tersebut digunakan oleh Tiongkok untuk
menopang kebutuhan perekonomian negara.
Alasan Sudan untuk terus melanjutkan kerjasama dengan Tiongkok juga
untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Hasil keuntungan melalui ekspor
sumber daya minyak ke Tiongkok dapat digunakan oleh Sudan untuk menopang
pertumbuhan ekonominya yang menurun akibat krisis. Terdapat beberapa wilayah
lain di Sudan yang masih mengalami krisis akibat perang seperti Darfur, Abyei, dan
lain-lain. Akibat perang tersebut defisa negara mengalami penurunan, sebab wilayah
krisis merupakan penghasil minyak. Sementara defisa Sudan sangat bergantung dari
penjualan minyak ke negara lain.
Hans Morgenthau secara umum mendefinisikan kepentingan nasional ke
dalam 6 tipe, yaitu (a) Primary interest, yang berarti bahwa kepentingan nasional
bertujuan untuk melindungi pertahanan keamanan negara, sistem politik dan identitas
nasional. (b) Secondary interest, yaitu kepentingan nasional untuk melindungi warga
negaranya di luar negeri. (c) Permanent interest, yaitu kepentingan nasional yang
bertujuan untuk mencapai kepentingan-kepentingan negara dalam periode masa
tertentu. (d) Variable interest, yaitu kepentingan nasional dapat berdasarkan objek
opini public dan situasi politik dalam negeri. (e) General interest, adalah kepentingan
nasional juga berkaitan dengan perilaku positif berdasarkan luas dan letak geografis,
jumlah populasi, serta beberapa aspek seperti ekonomi, perdagangan, diplomasi, dan
62
hukum internasional. (f) Spesific interest, berarti bahwa kepentingan nasional
berkaitan pada waktu dan isu tertentu.104
Berdasarkan tipe kepentingan nasional tersebut, maka kepentingan Tiongkok
di Sudan khususnya di kota Heglig mengacu kepada tipe primary interest dan general
interest. Primary interest dimaksudkan bahwa masalah energi bagi Tiongkok
merupakan salah satu masalah yang penting dan sangat berpengaruh bagi keadaan
negaranya. Kepentingan nasional Tiongkok di Sudan mempunyai tujuan untuk
melindungi pertahanan keamanan negara, sistem politik dan identitas nasional.
Sedangkan general interest mengacu kepada kepentingan nasional yang
berkaitan dengan perilaku positif berdasarkan luas dan letak geografis daerah Heglig
yang merupakan sumber minyak. Terkait aspek ekonomi dan perdagangan, Tiongkok
yang sedang dalam tahap meningkatkan sektor ekonominya membutuhkan pasokan
minyak dari Sudan. Perdagangan minyak tersebut kemudian ditukar dengan bantuan
luar negeri dari Tiongkok kepada Sudan. Diplomasi yang dilakukan Tiongkok dengan
Sudan selain dari pemberian bantuan luar negeri yakni dengan bantuan di berbagai
sektor seperti pertanian, pengembangan infrastruktur, dan perbaikan fasilitas umum.
B. Terciptanya Interdependensi antara Tiongkok dengan Sudan
Kerjasama antara Tiongkok dan Sudan menjadikan kedua negara tersebut
mengalami tingkat interdependensi atau saling ketergantungan satu sama lain yang
104
Thomas W. Robinson, National Interest, dalam James N. Rosenau (ed.) International
Politics and Foreign Policy, (London: the Free Press, 1969), hal. 183
63
tinggi. Berdasarkan data sebelumnya, Tiongkok bergantung pada pasokan minyak
dari Sudan. Sementara Sudan bergantung dari hasil penjualan atau ekspor minyak ke
Tiongkok. Hasil keuntungan yang didapatkan oleh Sudan digunakan untuk menopang
perokonomian negara.
Kerjasama yang terjadi antara Sudan dengan Tiongkok tidak hanya di sektor
energi, tetapi meluas ke sektor pertanian, industri, dan sektor lainnya. Kesepakatan
terkait kerjasama di sektor pertanian ditandatangani di Ibukota Sudan, Khartoum,
antara Menteri Luar Negeri Sudan Kamal-Eddin Ismail dan Wakil Menteri Luar
Negeri Tiongkok Zhang Ming.105
Kesepakatan tersebut membuat perusahaan
Tiongkok yang bergerak di bidang pertanian dapat melakukan investasi secara
langsung dan bergabung dengan produsen pertanian dalam negeri.106
Sudan berupaya
untuk mentransfer pengalaman Tiongkok dan teknologi yang canggih untuk
meningkatkan produksi pertanian dalam negerinya.
105
Xinhua, “Sudan, China Eye Further Cooperation in Agriculture, Industry”, 2016, tersedia
di: http://news.xinhuanet.com/english/2016-05/16/c_135361060.htm diakses pada Jumat, 9 Desember
2016 106
Sudan Tribune, “China & Sudan Sign Agricultural Agreement”,
http://www.sudantribune.com/spip.php?article47129 diaksen pada Jumat, 9 Desember 2016
64
GAMBAR IV.B.1 Sektor Pertanian Sudan 2012-2014
Sumber: http://www.fao.org/faostat/en/#data/GT/visualize
Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat kenaikan tingkat
pertanian di Sudan setelah investasi dari Tiongkok. Sektor pertanian menyumbang
sekitar 30-35% dari GDP Sudan, 80% dari total ekspor non-minyak, dan sumber
penghidupan bagi sekitar 65% dari total populasi.107
80% penduduk miskin Sudan
tinggal di pedesaan, dengan taraf kemiskinan di pedesaan dua kali lipat lebih besar
dari perkotaan.108
Sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan mengandalkan
sektor pertanian sebagai sumber kehidupan. Pertumbuhan di sektor ini sangat
107
Press Release, “The World Bank Group and Sudan’s Ministry of Agriculture Launch the
2016 Enabling the Business of Agriculture Report”. Tersedia di:
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2016/05/16/the-world-bank-group-and-sudans-
ministry-of-agriculture-launch-the-2016-enabling-the-business-of-agriculture-report diakses pada
Sabtu, 10 Desember 2016 108
Press Release, “The World Bank Group and Sudan’s Ministry of Agriculture Launch the
2016 Enabling the Business of Agriculture Report”
65
diperlukan untuk mengurangi kemiskinan agar kehidupan masyarakan menjadi lebih
makmur.
GAMBAR IV.B.2 Emissi Tiap Sektor, Sudan
Sumber: http://www.fao.org/faostat/en/#data/GT/visualize
Dari diagram yang ada diatas telah diterangkan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi emisi pada sektor pertanian di Sudan. Emisi-emisi tersebut dapat
berasal dari pupuk, tanah, maupun tanaman itu sendiri. Pengelolaan di sektor
pertanian sangat dibutuhkan agar dihasilkan tanaman yang baik.
66
GAMBAR IV.B.3 10 Negara Penyumbang Emisi di Sektor Pertanian Total
Sumber: http://www.fao.org/faostat/en/#data/GT/visualize
Sementara dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa Tiongkok merupakan
negara dengan emisi karbondioksida ( terbesar di dunia. Hal ini didukung atas
peningkatan perekonomian Tiongkok yang menyebabkan industri di dalam negeri
semakin meningkat. Semakin tinggi populasi dan industry dalam negeri maka
semakin tinggi emisi yang dihasilkan.
Ketergantungan Sudan terhadap Tiongkok yang muncul akibat adanya
kerjasama antara keduanya akan berakibat fatal jika salah dalam mengambil
keputusan terkait konflik yang terjadi di Sudan terutama di Heglig. Jika Tiongkok
menarik investasinya dari Sudan akan menimbulkan kerugian besar bagi Sudan
seperti menurunnya defisa negara. Hal ini disebabkan perekonomian Sudan sangat
bergantung dari investasi dan bantuan luar negeri terutama dari Tiongkok.
Sebaliknya, Tiongkok juga tergantung dengan Sudan pada sektor perdagangan
67
minyak. Tiongkok membutuhkan sumber minyak yang sejalan dengan perekonomian
yang mulai meningkat. Kebutuhan tersebut tidak bisa ditopang dengan sumber daya
minyak yang berasal dari Tiongkok karena produksi minyak dalam negerinya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini yang menyebabkan
Tiongkok mencari negara lain yang mempunyai sumber daya minyak berlebih, salah
satunya adalah Sudan.
C. Tiongkok Melakukan Perlindungan Penuh Terhadap Sumber Energinya
Upaya yang dilakukan oleh Tiongkok untuk melindungi sumber daya alam
berupa minyak miliknya dirasa sangat penting. Hal ini dilakukan agar pasokan
minyak tersebut tidak mengalami hambatan. Jika terdapat hambatan, maka akan
mengganggu kegiatan perekonomian di Tiongkok yang saat ini sedang mengalami
peningkatan. Dan jika perekonomian terhambat, maka devisa negara akan mengalami
gangguan pula. Upaya yang dilakukan Tiongkok tersebut salah satunya yakni dengan
melindungi Sudan dari sanksi yang dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang dipelopori oleh Amerika Serikat.
68
GAMBAR IV.C.4 Ekspor Minyak Sudan dan Sudan Selatan 2012
Sumber: Global Trade Atlas and FACTS Global Energy
Dalam diagram diatas dapat diketahui bahwa Tiongkok adalah importer
minyak terbesar bagi Sudan dengan presentase sebesar 80% pada tahun 2012. Posisi
kedua dan ketiga sebagai importer terbesar adalah Jepang dan India. Hal ini membuat
baik Tiongkok maupun Sudan menjaga hubungan baik agar kerjasama ini dapat
terjalin dalam jangka panjang.
69
GAMBAR IV.C.5 Ekspor Minyak Sudan dan Sudan Selatan 2013
Sumber: Global Trade Atlas and FACTS Global Energy
Pada 2013, terjadi kenaikan presentase Tiongkok sebagai negara importer
terbesar di Sudan menjadi 86%. Posisi kedua dan ketiga dipegang oleh Jepang dan
India dengan 8% dan 5%. Terdapat importer baru pada minyak Sudan dan Sudan
Selatan yakni Korea Selatan dengan presentase sebesar 1%.
Amerika Serikat mengeluarkan resolusi kepada PBB untuk menjatuhkan
sanksi perdagangan minyak kepada Sudan atas kegagalan Sudan dalam mengakhiri
krisis kemanusiaan di Darfur, Sudan Barat. Amerika Serikat menyerukan untuk
dilakukan penyelidikan kepada PBB apakah milisi yang didukung oleh pemerintah
Sudan telah melakukan genosida di Darfur, dimana 1,3 juta penduduk kulit hitam
70
telah dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka.109
Selain itu, sekitar 300.000
penduduk meninggal akibat penyakit.110
Inti dari resolusi Amerika Serikat tersebut
merupakan ancaman untuk pembekuan aset negara dan larangan perjalanan bagi siapa
pun yang terlibat dalam hal yang merusak keamanan serta mengganggu proses
perdamaian.111
Tiongkok merespon dengan mengeluarkan hak vetonya terkait resolusi Darfur
PBB atas sanksi minyak terhadap Sudan. Tiongkok adalah salah satu negara yang
menjadi anggota hak veto Dewan Keamanan bersama dengan Rusia, Amerika
Serikat, Perancis dan Inggris. Veto dari Tiongkok tersebut menyebabkan resolusi
tersebut tidak dapat terwujud. Hal ini disebabkan Tiongkok dan Rusia menolak
resolusi itu. Tindakan Tiongkok tersebut untuk melindungi perusahaan petroleum
miliknya yang berada di Sudan dan Sudan Selatan agar terus beroperasi.
Selain upaya Tiongkok dalam melakukan perlindungan terhadap Sudan di
sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dipelopori oleh Amerika Serikat,
Tiongkok juga bersikap netral dalam konflik Heglig antara Sudan dengan Sudan
Selatan. Tiongkok tetap menjadi partner utama bagi kedua negara dalam sektor
penjualan sumber daya alam berupa minyak. Selain itu, saat konflik Heglig sedang
109
Sudan Tribune, “China Threatens to Veto UN Darfur Resolution over Oil Sanctions”.
Tersedia di: http://www.sudantribune.com/spip.php?article5500 diakses pada Senin, 12 Desember
2016 110
BBC News, “Q&A: Sudan’s Darfur Conflict”. Tersedia di:
http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3496731.stm diakses pada Senin, 12 Desember 2016 111
Reuters, “China Questions U.S. Threat of U.N. Sanctions on South Sudan”. Tersedia di:
http://www.reuters.com/article/us-southsudan-un-sanctions-idUSKBN0LV2FR20150227 diakses pada
Senin, 12 Desember 2012
71
terjadi, Tiongkok tidak memutuskan hubungan diplomatik ke kedua negara. Jual beli
senjata antara Tiongkok dengan Sudan dan Sudan Selatan juga tetap terjalin.
Berbagai upaya yang dilakukan Tiongkok untuk melindungi sumber daya
energi yang berupa minyak miliknya selaras dengan konsep keamanan energi (energy
security). Hal ini dapat dilihat ketika negara-negara dunia mulai khawatir akan
keberadaan sumber daya energi yang mulai menipis. Dari permasalahan tersebut
maka banyak negara yang mencari sumber daya energi dengan berbagai cara untuk
memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Suatu negara mempunyai kemampuan untuk mempertahankan dan
mengamankan ketersediaan cadangan energi untuk kebutuhan negaranya. Keamanan
energy dapat menjadi multidimensional concept yaitu terdapat keterkaitan antara
stabilitas politik, ekonomi, militer yang dilakukan suatu negara untuk berusaha
mengamankan energi yang dimilikinya.112
Dinamika ekonomi dan politik turut
mempengaruhi suplai energi bagi kegiatan suatu negara. Hal yang mempengaruhi
batas cadangan energi antara lain adalah ketersediaan cadangan minyak, fluktuasi
harga minyak, ancaman terorisme, instabilitas domestik negara eksportir energi,
adanya perang, persaingan geopolitik, hingga letak negara penghasil energi oleh
112
Florian Bauman, “Energy Security As Multidimensional Concept”, 2008, hal. 4. Research
tersedia di: http://edoc.vifapol.de/opus/volltexte/2009/784/pdf/CAP_Policy_Analysis_2008_01.pdf
diakses pada 14 Desember 2015
72
negara-negara sebagai konsumen energi dengan taraf intensitas yang tinggi dan
biasanya dilakukan oleh negara maju.113
Konsep keamanan energi menekankan pada ketersediaan dan keamanan
pasokan dengan harga yang memadai.114
Keamanan energi dapat dilihat secara
kontekstual tergantung pada peran aktor yang melakukannya. Hal tersebut
menjelaskan bahwa di negara-negara eksportir energi, keamanan energi dilihat dalam
konteks akses terhadap pasar dan tingkat permintaan, sedangkan bagi negara importir,
keamanan energi dilihat dalam konteks cara memperoleh energi bagi negaranya.115
Mengacu kepada konsep tersebut, Sudan adalah negara eksportir energi yang
mempunyai sumber daya alam berupa minyak dengan harga yang memadai. Sudan
membutuhkan akses terhadap pasar dan tingkat permintaan. Sedangkan Tiongkok
yang merupakan negara importer melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dan
melindungi sumber minyak yang berada di Sudan.
Penelitian ini memfokuskan pada minyak sebagai salah satu bagian dari
energi dunia dan minyak juga dapat menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan
kebijakan luar negeri suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara mulai merencanakan
113
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, Jurnal Foreign Affairs vol. 85 no.2, 2006, hal.
69. Tersedia di http://www.un.org/ga/61/second/daniel_yergin_energysecurity.pdf diakses pada 14
Desember 2015 114
Ilgar Mammadov, Geopolitics of Energy in the Caspian Sea Region Azerbaijan’s
Challenges, (2009), hal. 19 115
Sugeng Bob Hadiwinata, “Bringing the State Back in: Energy and National Security in
Contemporary International Relations”, Global Jurnal Politik Internasional vol. 8 no. 2
73
pengembangan energi minyak yang efektif untuk mengantisipasi adanya krisis energi
minyak yang akan terjadi di masa mendatang.
Dalam kebijakan yang dikerluarkan oleh Tiongkok untuk pemenuhan
kebutuhan energi, intervensi dan berbagai upaya yang dilakukakan untuk melindungi
serta mengamankan daerah Heglig dirasa perlu. Hal tersebut disebabkan konflik yang
terjadi akan mempengaruhi pasokan di sumber minyak yang nantinya akan diekspor
ke Tiongkok. Selain itu, Tiongkok ingin meminimalisir kerugian yang muncul akibat
terganggunya pasokan minyak bagi devisa negara.
74
BAB V
KESIMPULAN
Konflik yang terjadi antara Sudan dengan Sudan Selatan sudah berlangsung
cukup lama bahkan setelah kemerdekaan yang diperoleh Sudan dari Inggris hingga
Sudan Selatan yang resmi memerdekakan diri dari Sudan pada Juli 2011. Pasca
kemerdekaan Sudan Selatan, terjadi peningkatan konflik bersenjata di daerah
perbatasan yang kaya akan sumber daya alam berupa minyak. Konflik antara kedua
negara terjadi akibat dari manifestasi kegagalan Comprehensive Peace Agreement
(CPA) pada tahun 2005, dimana belum terwujudnya batas demarkasi, pembagian
hutang dan pembagian hasil minyak, serta penggunaan pipa minyak milik Sudan oleh
Sudan Selatan.
Konflik Heglig terjadi ketika pasukan militer Sudan Selatan merebut wilayah
Heglig yang merupakan ladang minyak dan menjadi sumber utama devisa dari sektor
perekonomian bagi kedua negara. Ladang minyak Heglig dioperasikan oleh Greater
Nile Petroleum Operating Co (GNPOC) yakni, konsorsium gabungan dari Tiongkok,
Malaysia, India, dan Sudan. Produksi minyak di Heglig dikenal sebagai Greater Nile
Oil Project (GNOP). Proyek minyak ini meliputi ladang minyak di Heglig dan Unity
yang merupakan kilang minyak terbesar di kawasan tersebut.
Konflik antara Sudan dengan Sudan Selatan yang terus terjadi tidak membuat
Tiongkok untuk menghentikan kerjasama ekonomi yang telah terjalin dengan kedua
75
negara. Bahkan kerjasama yang awalnya hanya berfokus kepada perdagangan sumber
daya alam berupa minyak, terus meluas dan mengalami peningkatan ke berbagai
sektor seperti pertanian. Selain itu, Tiongkok tetap memberikan bantuan luar
negerinya kepada Sudan dan Sudan Selatan.
Kerjasama yang baik antara Tiongkok dengan kedua Sudan disebabkan karena
kepentingan masing-masing negara yang bersifat materil dan ekonomis jika dilihat
dari kebijakan luar negerinya. Tiongkok memusatkan kebijakan luar negerinya pada
pembangunan ekonomi negara dan memperoleh keuntungan dari kerjasama ekonomi
daripada berperang. Sementara Sudan memperoleh bantuan luar negeri dari Tiongkok
untuk memperbaiki serta membangun fasilitas umum.
Selain kepentingan negara, Tiongkok dan Sudan juga saling ketergantungan
satu sama lain (interdependence) dalam sektor ekonomi. Tiongkok merupakan negara
importer terbesar bagi Sudan atas penjualan minyaknya yang merupakan sumber
utama devisa negara. Sedangkan minyak yang diimpor dari Sudan sangat dibutuhkan
oleh Tiongkok untuk menyokong kebutuhan energinya. Kebutuhan energi tersebut
yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan perekonomian negara.
Tiongkok melakukan berbagai upaya untuk melindungi perusahaan petroleum
miliknya yang berada di Sudan. Upaya tersebut yakni dengan melakukan
perlindungan terhadap Sudan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dipelopori oleh Amerika Serikat serta sikap netral yang dilakukan oleh Tiongkok
76
dalam konflik antara Sudan dengan Sudan Selatan. Tiongkok tidak memihak baik
Sudan maupun Sudan Selatan dalam konflik yang terjadi. Hal tersebut dilakukan
Tiongkok agar pasokan minyak dari perusahaan petroleumnya yang berada di Sudan
tidak menjadi penghambat dalam kemajuan perokonomian Tiongkok.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
“Lenovo to Acquire IBM Personal Computing Division”: 2005, tersedia di:
http://www.lenovo.com/news/us/en/2005/04/ibm_lenovo.html diakses pada
15 Oktober 2016.
“Sudan: Conflict Profile” http://www.insightonconflict.org/conflicts/sudan/conflict-
profile/ diakses pada 6 April 2016
Aljazeera, “Sudan Fighting Escalates over Heglig Oilfield”: 2012, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/04/2012414152014367237.html
diakses pada Sabtu, 10 Desember 2016
Aljazeera, “Sudan Fighting Escalates over Heglig Oilfield”: 2012, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/04/2012414152014367237.html
diakses pada Sabtu, 10 Desember 2016
Bauman, Florian. “Energy Security As Multidimensional Concept”. 2008. Hal. 4.
Research tersedia di
http://edoc.vifapol.de/opus/volltexte/2009/784/pdf/CAP_Policy_Analysis_200
8_01.pdf diunduh pada 14 Desember 2015
BBC Indonesia, “PBB: Pendudukan Sudan Selatan di Heglig Ilegal”. Tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_unsouthsudan diakses
pada Selasa, 28 April 2015
BBC Indonesia, “PBB: Pendudukan Sudan Selatan di Heglig Ilegal”: 2012, tersedia
di: http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_unsouthsudan
diakses pada Selasa, 28 April 2015
BBC Indonesia, “Sudan Selatan Resmi Merdeka”: 2011, tersedia di:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110709_sudanselatan.shtml
diakses pada Selasa, 28 April 2015
BBC News, “Q&A: Sudan’s Darfur Conflict”. Tersedia di:
http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3496731.stm diakses pada Senin, 12
Desember 2016
xiv
BBC, “South Sudan Profile”. Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-africa-
14069082 diakses pada 30 Desember 2015
Bennette, La Verle. “Sudan: A Country Study”, (Federal Research Division US
Government: Library of Congress, 2015). Tersedia di:
http://www.loc.gov/rr/frd/cs/pdf/CS_Sudan.pdf diakses pada Selasa, 14
Desember 2016
Carter, “Observing the 2011 Referendum on the Self-Determination of Southern
Sudan”, The carter center: final report, 2011.
Carter, Ben. “ Is China’s Economy Really the Largest In the World?”, 16 Desember
2014, Tersedia di: http://www.bbc.com/news/magazine-30483762 diakses
pada 17 Mei 2016
Chang, Jung, and John Halliday. Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui, terj. Martha
Wijaya dan Widya Kirana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Cooke, Jennifer G. “China’s Soft Power and Its Implications for the United States”,
(Washington D.C: Center for Strategic and International Studies (CSIS),
2009)
El-Tayeb Siddig. ”WRAPUP 1-Sudan Says It Pumping Oil From Heglig Field” 2012.
Tersedia di: http://www.reuters.com/article/sudan-oil-
idUSL5E8G2GRX20120502 diakses pada Rabu, 22 Desember 2016
Encyclopedia Britannica, “World Affairs: South Sudan”. (Britain: Encyclopedia
Britannica Inc. 2014)
Energy Information Administration, “China”. Tersedia di: http://www.eia.doe.gov
diakses pada Kamis, 9 Desember 2016
Gadir, Ali Abdel., dan Ibrahim A. Elbadawi. “Explaining Sudan‟s Economic Growth
Performance” (Kenya: Working paper 9, 2004)
Goodman, Peter S. “China Invests Heavily in Sudan’s Oil Industry”, (Washington
Post, 2004) tersedia di: www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A21143-
2004Dec22.html
xv
Gungwu, Wang, and Zheng Yongnian. China and the New International Order,
(New York: Routledge, 2008)
Gurley, John G. China’s Economy and the Maoist Strategy, (New York and London:
Monthly Review Press, 1976)
H. Clyde, Paul. The Far East: A History of the Impact of the West on Eastern Asia,
(New York: Prentice-Hall, 1958)
Hadiwinata, Sugeng Bob. Bringing the State Back in: Energy and National Security
in Contemporary International Relations, Global Jurnal Politik Internasional
vol. 8 no. 2
Hamilton, Rebecca. “U.S. Played Key Role in Southern Sudan’s Long Journey to
Independence”, The Atlantic, 9 Juli 2011. Tersedia di:
http://www.theatlantic.com/international/archieve/2011/07/us-played-key-
role-in-southern-sudans-long-journey-to-independence/241660/ diunduh pada
4 April 2016.
Heidelberg Institute for International Conflict Research. 2013. “Disputes Non-Violent
Crises and Limited Wars in South Sudan (SPLA defectors)”. Tersedia di:
http://hiik.de/de/konfliktbarometer/pdf/ConflictBarometer_2013.pdf diunduh
pada 5 April 2016
Holsti, K.J. International Politics, a Framework For Analysis, Ed. (New Jersey:
Prentice H.I, Inc., 1988)
Human Rights Watch, “Sudan: Global Trade, Local Impact, Arms Transfers to all
Sides in the Civil War in Sudan”, Vol. 10, No. 4 (a) (New York: Human
Rights Watch, August 1998).
Human Rights Watch, “Sudan”. Tersedia di: https://www.hrw.org/africa/sudan
diakses pada Kamis, 9 Desember 2016
Human Rights Watch. Sudan, Oil, and Human Rights, (Brussels, London, New York,
Washington D.C., 2003)
xvi
Hurst, Cindy. “China’s Oil Rush in Africa”, the Institute for the Analysis of Global
Security, Washington D.C., 2006. Tersedia di:
http://www.iags.org/chinainafrica.pdf diakses 14 Mei 2016
I., Wibowo. Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan
Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000)
Insight on Conflict. “Sudan: Conflict Profile”. 2009, tersedia di:
https://www.insightonconflict.org/conflicts/sudan/conflict-profile/ diakses
pada Selasa, 14 Desember 2016
International Crisis Group. “Sudan and South Sudan’s Merging Conflicts”, Africa
Report N233, (Brussels: International Crisis Group Headquarter, 2015)
Jacob, Happymon. “India-Sudan Energy Ties: Implications,” Observer Research
Foundation. Tersedia di: http://www.observerindia.com/analysis/A031.htm
diakses pada Jumat, 9 Desember 2016
Kompas Internasional, “Konflik yang Tiada Berakhir”. Tersedia di:
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tia
da.Berakhir. Diakses pada 16 Desember 2015
Kompas. “Presiden Hu Kunjungi Arab Saudi dan Afrika”. Tersedia di:
http://news.kompas.com/read/2009/02/11/04193189/presiden.hu.kunjungi.ara
b.saudi.dan.afrika diakses Rabu, 27 April 2016
Koos, C., & T. Gutchke. 2014. “South Sudan Newest’s War: When two Old Men
Devide a Nation” [pdf]. German Institute of Global and Area Studies, ISSN
2196-2940, No 2. Tersedia di: https://www.giga-
hamburg.de/de/system/files/publications/gf_international_1402_new.pdf
diunduh pada 4 April 2016.
Mammadov, Ilgar. Geopolitics of Energy In The Caspian Sea Region Azerbaijan’s
Challenges, (2009)
Manji, Firoze, Stephen Marks, African Perspectives on China in Africa, (Cape Town,
Nairobi and Oxford: Fahamu, 2007).
xvii
Meisner Maurice, China’s Mao and After: the History of People’s Republic, (New
York: Free Press, 1999)
Mideast Newsline, “Sudan Builds New Weapons Factories with Chinese Help”.
Tersedia di: http://www.freerepublic.com/forum/a3b2cc46d1f1c.htm diakses
pada Jumat, 9 Desember 2016
Ottaway, Marina, dan Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict to Conflict”, (Middle
East: The Carnegie Papers, 2012)
Partogi, Paltak. Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995)
Press Release, “The World Bank Group and Sudan’s Ministry of Agriculture Launch
the 2016 Enabling the Business of Agriculture Report”. Tersedia di:
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2016/05/16/the-world-bank-
group-and-sudans-ministry-of-agriculture-launch-the-2016-enabling-the-
business-of-agriculture-report diakses pada Sabtu, 10 Desember 2016
Rachmawati, Iva. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Aswada Pressindo, 2012.
Rahmayeni, Indah. “Kebijakan China Melakukan Kerjasama Energi Minyak dengan
Sudan (2009-2012) “. Skripsi ini tersedia di:
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/5092/4972 diunduh
pada 2 Mei 2015
Reuters, “China Questions U.S. Threat of U.N. Sanctions on South Sudan”. Tersedia
di: http://www.reuters.com/article/us-southsudan-un-sanctions-
idUSKBN0LV2FR20150227 diakses pada Senin, 12 Desember 2012
Segal, Gerald. “China and Africa” The Annals of the American Academy of Political
and Social Science, Vol. 519 No.1 (January 1992)
Sinaga, Astrid Ezhara. “Keberadaan China dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan
Selatan”, (Universitas Mulawarman, 2013). Skripsi ini tersedia di:
http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
xviii
content/uploads/2013/08/JURNAL%20REVISI%20new%20(08-29-13-05-02-
48).pdf diunduh pada 30 April 2015
Smith, David. “Sudan Referendum Results Confirmed”, The Guardian, 2011.
Tersedia di: http://www.theguardian.com/world/2011/feb/07/sudan-
referendum-result-confirmed diunduh pada 6 April 2016
Sorensen, Robert, Georg. Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Sudan Tribune, “China & Sudan Sign Agricultural Agreement”,
http://www.sudantribune.com/spip.php?article47129 diaksen pada Jumat, 9
Desember 2016
Sudan Tribune, “China Threatens to Veto UN Darfur Resolution over Oil Sanctions”.
Tersedia di: http://www.sudantribune.com/spip.php?article5500 diakses pada
Senin, 12 Desember 2016
Sudan Tribune, “Plural News and Views About Sudan “. Tersedia di:
http://www.sudantribune.com/+-Sudan-S-Sudan-war,1257-+ diakses pada
Jumat, 9 Desember 2016
Sudan Tribune, “Sudan Signs Six-Year Oil Exploration Deal With China”, 2015.
Tersedia di: http://www.sudantribune.com/spip.php?article53824 diakses pada
Rabu, 22 Desember 2016
Tjou, Li Ji. Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, (Jakarta: Pembaruan, 1964)
United Nations Mission in Sudan, “The Comprehensive Peace Agreement Between
The Government of The Republic of The Sudan and The Sudan People’s
Liberation Movement/Sudan People’s Liberation Army”. Tersedia di:
http://peacemaker.un.org/sites/peacemaker.un.org/files/SD_060000_The%20
Comprehensive%20Peace%20Agreement.pdf diunduh pada 6 April 2016
United Nations Treaty Series, vol. 299, United Nations, , pp. 57-81. Tersedia di:
http://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20299/v299.pdf diakses
pada 7 Desember 2016
xix
W. Creswell, John. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. (Thousand Oaks: Sage Publications. 2009), hal 29
W. Robinson, Thomas. National Interest, dalam James N. Rosenau (ed.)
International Politics and Foreign Policy, (London: the Free Press, 1969)
Winata, Arifian. “Upaya Penyelesaian Konflik Negara Antara Sudan dengan Sudan
Selatan”. Skripsi ini tersedia di:
http://www.academia.edu/7051782/UPAYA_PENYELESAIAN_KONFLIK_
NEGARA_ATARA_SUDAN_DENGAN_SUDAN_SELATAN diunduh pada
Rabu, 29 April 2015
World Tribune, “China Concludes Oil, Gas Agreement with Algeria”. 2004, tersedia
di: http://216.26.163.62/2004/ea_china_02_08.html diakses pada Kamis, 9
Desember 2016
Xinhua, “Sudan, China Eye Further Cooperation in Agriculture, Industry”, 2016,
tersedia di: http://news.xinhuanet.com/english/2016-05/16/c_135361060.htm
diakses pada Jumat, 9 Desember 2016
Yergin, Daniel. “Ensuring Energy Security”. Foreign Affairs vol. 85, no.2, 2006.
Hal. 69. Tersedia di
http://www.un.org/ga/61/second/daniel_yergin_energysecurity.pdf diunduh
pada 14 Desember 2015