kepi ting

10
 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002 ) mengklasifikasikan kepiting  bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas: Crustacea Ordo: Decapoda Sub Ordo: Pleocyemata Famili: Portunidae Genus: Scylla Spesies: Scylla spp. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung. Universitas Sumatera Utara

Upload: intanfakhrunniam

Post on 05-Nov-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hhh

TRANSCRIPT

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.)

    Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting

    bakau sebagai berikut;

    Filum: Arthropoda

    Sub Filum: Mandibulata

    Kelas: Crustacea

    Ordo: Decapoda

    Sub Ordo: Pleocyemata

    Famili: Portunidae

    Genus: Scylla

    Spesies: Scylla spp.

    Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.)

    Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut:

    karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah

    duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat

    enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna

    kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu

    kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya

    dilengkapi dengan alat pendayung.

    Universitas Sumatera Utara

  • Menurut Moosa et al. (1985) dalam Mulya (2002) mendeskripsikan

    kepiting bakau sebagai berikut: karapas pipih dan agak cembung berbentuk

    heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang,

    karapas umumnya berukuran lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang

    tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi anterolateral bergigi lima sampai

    sembilan buah. Dahi lebar, terpisah dengan jelas dari sudut supra orbital, bergigi

    dua samapi enam buah, sungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan

    kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua ruas terakhirnya.

    Perbedaan kepiting jantan dan betina terletak pada ruas abdomennya. Ruas

    abdomen kepiting jantan berbentuk seperti segitiga sedang pada betina berbentuk

    sedikit membulat dan lebih melebar (Gambar 1).

    A B

    Gambar 1. Kepiting Bakau Betina (A) dan Kepiting Bakau Jantan (B)

    Habitat dan Daur Hidup

    Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu

    fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Selanjutnya Moosa et.al.

    (1985) dalam Mulya (2002) menyatakan perkembangan Scylla spp. mulai dari

    telur hingga mencapai kepiting dewasa mengalami beberapa tingakat

    Universitas Sumatera Utara

  • perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea, tingkat

    megalopa, tingkat kepiting muda dan tingakat kepiting dewasa, pada tingkat zoe

    membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya berganti kulit menjadi megalopa yang

    bentuk tunuhnya sudah mirip kepiting dewasa. Dari tingkat megalopa ke tingkat

    kepiting muda membutuhkan waktu 11-12 hari.

    Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting

    bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di

    alam biasanya kepiting bakau yang besar akan memakan kepiting bakau yang

    kecil, waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif

    dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan

    nocturnal yang aktif makan di malam hari

    (Queensland Departement of Primary Industries, 1989).

    Preferensi Kepiting Bakau terhadap Parameter Fisik-Kimia Air dan

    Substrat

    Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat

    mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati

    habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya. Untuk

    mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau maka perlu diketahui parameter

    fisik-kimia air dimana organisme ini berada.

    Salinitas

    Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau

    terutama molting. Kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau

    belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan

    Universitas Sumatera Utara

  • kondisi perariran yang bersalinitas redndah. Sebaliknya kepiting dewasa kawin

    dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15 - 20

    dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah (Kasry, 1996).

    Suhu

    Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (molting), aktifitas dan nafsu

    makan kepiting bakau . Suhu air yang lebih rendah dari 20C dapat

    mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis

    (Queensland Departement of Primary Industries, 1989). Wahyuni dan Sunaryo

    (1981) melaporkan di perairan Muara Dua, Segara Anakan kepiting bakau

    didapatkan pada kisaran suhu 28C-36C.

    Derajat Keasaman (pH)

    Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada

    daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,50. Pendapat ini didukung oleh

    Walsh (1967) dalam La Sara (1994) yang menyatakan bahwa kepiting bakau

    dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0, sedang Toro (1987) mendapatkan kepiting

    bakau pada pH 6,16 7,50.

    Kedalaman Air dan Pasang Surut

    Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat

    terjadi perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada

    perairan yang dangkal Mulya (2002). Wahyuni dan Ismail (1987) mendapatkan

    kepiting bakau pada kedalaman 30-79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan

    kedalaman 30 cm- 125 cm di muara sungai.

    Universitas Sumatera Utara

  • Kepiting bakau akan terlihat menuju ke perairan dangkal pada waktu

    siang hari. Kepiting bakau tahap juvenile (first crab) mengikuti pasang tertinggi di

    zona intertidal untuk mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada

    saat surut (Hutching dan Sesanger, 1987).

    Substrat Dasar Perairan

    Tekstur substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur

    dan liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur dan liat mengendap

    dengan cepat karena air disekitarnya relative tenang dan terlindungi. Substrat di

    sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama

    dalam melangsungkan perkawinan, selanjutnya secara bertahap betina akan

    beruaya menuju laut untuk memijah sedangkan yang jantan akan tetap tinggal di

    perairan (Clough et.al. 1986.) Pagcatipunan (1972) menyatakan dalam

    melangsungkan perkawinan, kepiting bakau terlebih dulu akan melepaskan

    karapasnya (molting) dan sebelum molting kepiting tersebut akan masuk ke dalam

    lubang yang mempunyai substrat lunak hingga karapasnya kembali mengeras.

    Pengertian Ekosistem Hutan Mangrove

    Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai

    atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh

    pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di

    sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang

    di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1992). Ekosistem hutan mangrove

    bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena

    ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan

    Universitas Sumatera Utara

  • habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya

    termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai

    kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation

    yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk

    kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan

    (Kusmana, 2008).

    Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik

    dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau

    pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial

    Karakteristik mangrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap

    lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam

    keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem

    perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus

    Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan Sonneratia;

    akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera, dan akan papan (plank roots) yang

    dijumpai pada genus Xylocarpus (Arief, 2001).

    Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan,

    mempunyai peranan fungsi multi guna baik jasa biologis, ekologis maupun

    ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan

    penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan, serta mampu menahan sampah

    yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui system perakarannya.

    Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan

    gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran

    laju sedimentasi dari wilayah atasnya (Gunarto, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi

    kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota

    darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya

    juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan

    tetumbuhan darat. Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan

    tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi kehidupan berbagai jenis biota

    perairan laut, wahana berbagai jenis satwa liar, seperti unggas (burung), reptil dan

    mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasma nutfah

    (Gunarto, 2004).

    Vegetasi Hutan mangrove

    Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :

    1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang

    menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan

    membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur

    komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus

    (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan

    mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya

    adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,

    Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

    2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu

    membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan

    dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus,

    Universitas Sumatera Utara

  • Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon,

    Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

    3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,

    Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

    Zonasi Hutan Mangrove

    Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove

    tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan

    mangrore di Indonesia :

    Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,

    sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi

    Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya

    bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi

    oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan

    Xylocarpus spp.

    Zona tanjang didominasi oleh Bruguiera spp. Terletak di belakang zona

    bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan . keadaan berlumpur agak

    keras, dan agak jauh dari garis pantai.

    Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

    ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

    Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi

    adalah :1)Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air

    (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat

    menyebabkan kerusakan terhadap anakan 2) Tipe tanah yang secara tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase 3)

    Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar

    garam 4) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species

    intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia (Setyawan, 2002).

    Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Hutan Mangrove

    Kepiting bakau (Scylla spp.) adalah salah satu biota perairan yang

    bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan

    hutan mangrove. Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjangnya

    yang saling membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke bawah

    menjadikannya sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Hutan

    mangrove juga dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground),

    pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) bagi

    kepiting bakau terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang

    melimpah pada ekosistem tersebut (Mulya,2002). Keberadaan kepiting bakau juga

    sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia air dan substrat ekosistem hutan

    mangrovenya antara lain: salinitas air, salinitas substrat, pH air, pH substrat, suhu

    air, kedalaman air, dan teksturr substrat dasar perairan. Faktor- faktor tersebut

    dapat berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi kepiting bakau yang

    terdapat di ekosistem hutan mangrove (Canicci, 2008). Hutan mangrove juga

    menjadi tempat hidup biota laut selain kepiting bakau (Gambar 2).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2. Fungsi Hutan Mangrove sebagai Habitat Hidup Fauna.

    Universitas Sumatera Utara