keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan

88
KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR Anne Puspitasari DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: trinhkhanh

Post on 23-Jan-2017

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA

DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR

Anne Puspitasari

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

ABSTRACT

ANNE PUSPITASARI. Food Consumption, Health Status, Depression Level and Nutritional Status of Elderly Participant and Non Participants Home Care in Tegal Alur, West Jakarta. Under direction CLARA M KUSHARTO.

Home care is a service system which is used to overcome problems arising from the increasing number of elderly population, such as malnutrition. The purpose of this study was to identify food consumption, health status, depression level and nutritional status of elderly participants and non participants Home Care, as well as to analyze the relationship. A cross sectional study was conducted on elderly people aged 60 years and above in Tegal Alur, West Jakarta. A total of 60 elderly (30 participant and 30 non participants) were actively followed as participants. They were interviewed on demography and social economic status, one-month semi-quantitative food frequency questionnaire, health status, geriatric depression scale (GDS) short version, and assessed by anthropometric measures. Average level of adequacy energy, protein, calcium, phosphorus dan vitamin C of participant relatively lower than non participants (87,5% vs 95,5%; 80% vs 90%; 51,4% vs 59,2%; 104% vs 116,1% and 73,1% vs74,9%, respectively). The study showed that no significant difference in term food consumption, health status, depression level, and nutritional status between the elderly participant vs non participants. And as much as 63,3 % participant and 53,3% non participants experienced more than one type of health complaince and most of them are well nourished and not depressed. The statistical analysis with correlation test showed that health status of elderly significantly positive with the level of depression. While other variables such as duration of illness significantly negative with level of adequacy of energy, protein, minerals, and nutritional status. Percent RDA of energy, protein and minerals are positively associated with nutritional status. Key words: elderly, home care, health status

RINGKASAN

ANNE PUSPITASARI. Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar. Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta program home care di Tegal Alur, Jakbar. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur; 2) mengidentifikasi karakteristik lansia peserta dan bukan peserta home care; 3) membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta home care; 4) membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta home care, 5) membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care; 6) membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care; 7) menganalisis hubungan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi lansia. Penelitian dilakukan di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat pada bulan September sampai November 2010 dengan menggunakan desain cross sectional study. Contoh dalam penelitian ini diambil secara purposive dengan kriteria inklusi lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik, dan bersedia diwawancara sebagai responden. Jumlah contoh dalam penelitain ini adalah 60 orang lansia, masing-masing 30 orang untuk lansia peserta dan bukan peserta home care.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dan pengukuran langsung. Data primer meliputi data karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living arrangement), konsumsi pangan, status kesehatan (keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, tingkat depresi satu minggu terakhir dan data status gizi. Data sekunder meliputi pelaksanaan home care di Tegal Alur. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007 dan SPSS for Windows versi 16.

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga. Proses/ tahapan penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi, seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon penerima layanan, implementasi program serta monitoring, evaluasi dan pelaporan. Pelayanan yang diberikan berkembang tiap tahunnya, tahun 2004 pelayanan yang diberikan hanya pelayanan sosial berupa kunjungan pendamping 1x/minggu kemudian berkembang pada tahun 2009 dengan program pelayanan kesehatan, ramah lansia, senam lansia, pemberian sembako 1x/bulan dan pinjaman modal UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Tahun 2010, bantuan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia) dari Depsos dan perbaikan kamar lansia dari PT Sido Muncul dapat dilaksanakan.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta berada pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak.

Status pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.

Lansia pada kedua kelompok mengonsumsi nasi lebih dari satu kali dalam 1 hari dengan lauk tempe dan tahu. Pangan sumber protein hewani, sayur-mayur dan buah-buahan hanya dikonsumsi secara mingguan oleh lansia pada kedua kelompok. Jenis pangan lainnya yang dikonsumsi satu kali dalam satu hari adalah kopi (lansia peserta) dan bakwan (lansia bukan peserta).

Rata-rata konsumsi nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari) dengan lauk tempe dan tahu. Ikan basah, telur, dan susu dikonsumsi sebagai protein hewani yang terbesar jumlahnya dikonsumsi. Sayur berdaun hijau dan sayur lain dikonsumsi dengan kuantitas terbesar. Buah-buahan yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar adalah mangga (198,4 g/minggu) pada lansia peserta dan pepaya (298,6 g/minggu) pada lansia bukan peserta. Selain itu, pangan lainnya yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar pada lansia peserta dan bukan peserta adalah bakwan.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata tingkat kecukupan gizi antara kedua kelompok (p>0,05).

Lebih dari separuh lansia peserta (63,3%) dan bukan peserta (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan kesehatan dalam satu bulan terakhir. Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami lansia peserta dan bukan peserta (p>0,05). Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta dan bukan peserta adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah hipertensi, katarak dan rematik, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah hipertensi, asam urat dan maag. Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta dan bukan peserta adalah pegal-pegal. Rata-rata lama sakit terpanjang pada lansia peserta adalah penyakit ISPA, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah TBC. Frekuensi sakit yang paling sering diderita dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun bukan peserta adalah demam. Berdasarkan tindakan pengobatan, persentase terbesar lansia peserta memilih pergi ke puskesmas, sedangkan lansia bukan peserta memilih untuk menggunakan obat warung dalam mengatasi gangguan kesehatan yang dialami.

Menurut kategori tingkat depresi, sebanyak 73,3% lansia peserta dan 66,7% lansia bukan peserta tergolong kategori normal. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Bagian terbesar status gizi lansia peserta (46,7%) dan lansia bukan peserta (56,7%) berstatus gizi normal. Hasil uji T menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi pada kedua kelompok.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor. Artinya semakin lama durasi sakit maka tingkat kecukupan kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor semakin rendah. Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Artinya semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami maka tingkat depresi akan semakin tinggi. Tetapi tidak

terdapat hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi. Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor dengan status gizi. Artinya semakin tinggi tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor maka status gizi akan semakin tinggi. Terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi.

KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA

DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR

ANNE PUSPITASARI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Judul : Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar

Nama : Anne Puspitasari NIM : I14061204

Disetujui :

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M.Sc NIP 19510719 198403 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul “Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan,

Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program

Home Care di Tegal Alur, Jakbar” dilakukan sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. drh. Clara M Kushatro, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan

mengarahkan penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemadu seminar dan penguji

atas masukan dan kritikan yang telah diberikan.

3. Dra. Eva A. J. Sabdono, MBA selaku ketua Yayasan Emong Lansia (YEL)

beserta staff lainnya, terutama Ibu Dida Soerodjo, yang telah memberikan

izin penulis untuk melakukan penelitian

4. Drs. Sofyan Manurung selaku koordinator lapang YEL, Ibu Suciati selaku

koordinator pendamping, ibu-ibu pendamping home care yang telah

membantu kelancaran penelitian serta para lansia yang telah bersedia

diwawancarai.

5. Bapak, mamah, adik, kakak serta keluarga tercinta atas doa, dukungan

dan nasihat yang tiada henti diberikan.

6. Fitria Dwinanda dan Sulastri yang telah meluangkan waktu dan

membantu penulis saat pengambilan data.

7. Karlina, Merita, Siti Masturoh dan Lutfhi selaku pembahas seminar

8. Teman-teman Pondok Assalamah (Mba Tatik, Dewi, Ninda, Evi, Siti, Mey,

Mai, Fathin, Ayu) yang telah memberikan dukungan dan bantuannya

selama penulisan skripsi serta terima kasih atas kehangatan seperti

keluarga yang telah dihadirkan selama kebersamaan kita.

9. Bebeh-bebeh (Hany, Fitri, Yessica, Mpie) dan teman seperjuangan

(Andris, Arina) atas doa, dukungan dan bantuan selama ini, semoga

persaudaraan kita selalu terjaga.

10. Teman – teman Gizi Masyarakat 43 atas segala dukungan yang telah

diberikan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis

berharap penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan bermanfaat bagi

semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bogor, Mei 2010

Anne Puspitasari

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 9 Mei 1988. Penulis

merupakan anak ke empat dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Dede

Setiawan dan Ibu Ai Sumiati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 – 2000

di SDN Tarogong 2. Penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1 Garut pada tahun

2000 – 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis pada tahun 2003 –

2006 di SMA 1 Tarogong Kidul.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Pada tahun 2007,

penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis

tercatat sebagai staf Divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi (KPPG) HIMAGIZI

2007/2008. Penulis juga tercatat sebagai sekertaris OMDA (Organisasi

Mahasiswa Daerah) Garut 2008/2009. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai

kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI, BEM Fakultas Ekologi

Manusia dan OMDA Garut.

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Petir,

Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Penulis juga

melaksanakan Internship Dietetika di RSIJ Pondok Kopi Jakarta pada tahun

2010. Sejak tahun 2010 – 2011 penulis aktif mengajar di pusat bimbingan belajar

Genpi (Generasi Prestasi) sebagai pengajar Matematika dan IPA/IPS.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................ 2 Kegunaan .......................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4

Lansia ................................................................................................ 4 Konsumsi Pangan .............................................................................. 5

Status Kesehatan ............................................................................... 9 Tingkat Depresi .................................................................................. 11

Status Gizi ......................................................................................... 13 Home Care ........................................................................................ 16

KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 19

METODE PENELITIAN ............................................................................. 21

Desain, Tempat, dan Waktu ............................................................... 21 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................. 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 22 Definisi Operasional ........................................................................... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 28

Gambaran Umum Lokasi ................................................................... 28 Home Care di Tegal Alur .................................................................... 29

Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care .............................. 29 Tahapan Penyelenggaraan Home Care ....................................... 30 Sasaran Pelayanan Home Care ................................................... 32 Jenis Pelayanan Home Care ......................................................... 33 Pendamping Home Care ............................................................... 35 Peserta dan Bukan Peserta Home Care ...................................... 36 Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain .............................. 37

Karakteristik Lansia ............................................................................ 39 Usia ............................................................................................. 39 Jenis Kelamin ............................................................................... 40 Tingkat Pendidikan ....................................................................... 40 Pekerjaan ..................................................................................... 41 Sumber Pendapatan .................................................................... 42 Status Pernikahan ........................................................................ 42 Living Arrangement ...................................................................... 43

Konsumsi Pangan .............................................................................. 44 Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan ......................... 44 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi .................................. 50

Status Kesehatan ............................................................................... 53 Keluhan Kesehatan ...................................................................... 53 Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan ....................................... 54 Lama dan Frekuensi Sakit ............................................................. 55 Tindakan Pengobatan .................................................................. 56

Tingkat Depresi .................................................................................. 57 Status Gizi ......................................................................................... 60 Hubungan Antarvariabel ....................................................................... 61

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ...................................................................... 61 Hubungan Status Kesehatan (Keberadaan Keluhan) dengan Tingkat Depresi ............................................................................ 61 Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ........................................................................................ 62 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi ................................................................................... 62 Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi ................................................................................... 62

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 63

Kesimpulan .......................................................................................... 63 Saran ................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65

LAMPIRAN ................................................................................................ 68

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Angka kecukupan gizi untuk lansia per orang per hari ................. 7

2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia ......... 15

3 Variabel dan indikator data yang dianalisis .................................. 24

4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care ............................................................

37

5 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia .... 40

6 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin .................................................................................

40

7 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan .........................................................................

41

8 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan ......................................................................................

41

9 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan ......................................................................

42

10 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan .........................................................................

43

11 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement .......................................................................

43

12 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat peserta dan bukan peserta home care .........................................

44

13 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein hewani peserta dan bukan peserta home care .........................................

45

14 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein nabati peserta dan bukan peserta home care .........................................

46

15 Frekuensi dan jumlah konsumsi sayur-mayur peserta dan bukan peserta home care .............................................................

47

16 Frekuensi dan jumlah konsumsi buah-buahan peserta dan bukan peserta home care .............................................................

49

17 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan lainnya peserta dan bukan peserta home care .............................................................

50

18 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care .............................................................

51

19 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan ...................................................

53

20 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan ....................................................................

55

Nomor Halaman

21 Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir ..........................................................................................

56

22 Tindakan pengobatan yang dilakukan peserta dan bukan peserta home care.........................................................................

56

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu pembentuk 900 .........................................................................

14

2 Posisi lutut membentuk 900 ...................................................... 14

3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang ......................... 14

4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia ...............................................................................

20

5 Sebaran jawaban SDG per pertanyaan ................................... 57

6 Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care ...............................................................................

59

7 Sebaran status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care menurut IMT ...........................................................

60

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care ...................................................................

68

2 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care ........................

69

3 Dokumentasi kegiatan ............................................................. 70

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia, terutama

di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan

kematian bayi, penurunan fertilitas dan peningkatan usia harapan hidup.

Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk

usia lanjut. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010)

melaporkan bahwa Indonesia memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia

(aging structured population) karena pada tahun 2000 jumlah penduduk yang

berusia diatas 60 tahun sebesar 7,18 persen. Pada tahun 2010 diperkirakan usia

harapan hidup penduduk Indonesia adalah 67,4 tahun dengan jumlah lansia

mencapai 23,9 juta jiwa (9,77%) dan diperkirakan akan menjadi 28 juta lebih

pada tahun 2020.

Namun di satu sisi, adanya peningkatan jumlah lansia berdampak

timbulnya berbagai masalah jika tidak ditangani dengan segera. Salah satu

masalah yang mungkin terjadi adalah terkait gizi. Beberapa kelompok dalam

populasi lansia beresiko terkena malnutrisi. Malnutrisi pada lansia sama halnya

seperti pada balita atau dewasa, lansia dapat mengalami gizi kurang maupun gizi

lebih. Boedhi-Darmoyo (1995) diacu dalam Muis (2006) melaporkan bahwa

lansia di Indonesia yang ada dalam keadaan kurang gizi sejumlah 3,4 persen,

berat badan kurang sebesar 28,3 persen, berat badan ideal berjumlah 42,4

persen, berat badan lebih ada 6,7 persen dan obesitas sebanyak 3,4 persen.

Masalah gizi pada lansia dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan

dan status kesehatan mereka. Secara alamiah lansia akan mengalami

kemunduran (degenerasi) fungsi organ-organ tubuh. Sari (2006) menambahkan

dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman dan

pengecapan mulai menurun. Selain itu, hilangnya sebagian geligi sering

menimbulkan lansia tidak nafsu makan dan menyebabkan berkurangnya asupan

makanan pada lansia. Faktor kesehatan yang berperan dalam masalah gizi

adalah naiknya insidensi penyakit degeneratif dan nondegeneratif yang berakibat

pada perubahan asupan makanan, perubahan absoprsi dan utilisasi zat-zat gizi

pada tingkat jaringan serta penggunaan obat-obat tertentu yang harus diminum

lansia karena penyakit yang sedang diderita (Muis 2006).

Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa

hidup sendiri setelah pasangannya meninggal dan rendahnya pemahaman gizi

menyebabkan memburuknya keadaan gizi lansia (Muis 2006). Perubahan-

perubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat

menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia

mengalami gejala depresi. Harris (2004) menyatakan bahwa depresi dapat

mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan

secara keseluruhan.

Home care atau pelayanan berbasis keluarga merupakan salah satu

sistem pelayanan yang dicoba oleh Depsos untuk mengatasi keterbatasan

PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) dalam memberikan pelayanan pada lansia

terlantar. Saat ini home care sudah berjalan di 10 provinsi di Indonesia, salah

satunya di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Home care di Tegal Alur telah

menyelenggarakan berbagai pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup

lansia peserta home care seperti pelayanan sosial, pelayanan kesehatan dan

pemenuhan kebutuhan lansia. Akan tetapi karena keterbatasan pendamping,

belum seluruhnya lansia terlantar di Tegal Alur mendapatkan pelayanan yang

sama. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari

konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia

peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat.

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari keragaan konsumsi

pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan

bukan peserta home care.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur

2. Mengidentifikasi karakteristik contoh, meliputi usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, dan living

arrangement lansia peserta dan bukan peserta home care

3. Membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta

home care

4. Membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta

home care

5. Membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home

care

6. Membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care

7. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, dan

tingkat depresi dengan status gizi lansia.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai konsumsi

pangan, status gizi, status kesehatan, dan tingkat depresi bagi lansia. Selain itu,

hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait

dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.

TINJAUAN PUSTAKA

Lansia

Istilah usia lanjut menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

ke atas. World Health Organization (WHO) diacu dalam Komnas Lansia (2008)

menggolongkan lansia berdasarkan aspek kronologis (batasan usia) menjadi:

1. usia pertengahan (middle age): usia 45-59 tahun

2. usia lanjut (elderly): 60-74 tahun

3. usia tua (old): 75-90 tahun

4. usia sangat tua (very old): diatas 90 tahun

Dahlan diacu dalam Arisman (2004) menyatakan bahwa di Indonesia

orang dikatakan lansia jika telah berumur di atas 60 tahun. Jika mengacu pada

usia pensiun, lansia ialah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun.

Proses Penuaan

Penuaan merupakan proses yang terjadi dari awal kelahiran hingga

kematian. Penuaan, periode hidup setelah usia 30 tahun, adalah proses yang

melibatkan seluruh tubuh. Selama periode pertumbuhan, proses anabolik

melebihi perubahan katabolik. Ketika tubuh mencapai kedewasaan fisiologis, laju

katabolik atau perubahan degeneratif mungkin lebih tinggi dibanding laju

anabolik. Hasil akhir berkurangnya sel dapat membawa pada penurunan efisiensi

dan gangguan fungsional pada berbagai tingkat. (Harris 2004).

Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring

pertambahan usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada

dasarnya meliputi penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera

penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya

perubahan ini juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem syaraf,

sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan

kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).

Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 –

3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia,

berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan

dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya resiko penyakit

kronis. Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga

kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit

infeksi pada lansia. (Harris 2004).

Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat

menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang dan keadaan gizi lebih

(kegemukan/ obesitas). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan

yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur

para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor

keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan

dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata/ kecelakaan, maupun

gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).

Menurut Arisman (2004) terjadi beberapa kemunduran dan kelemahan

yang bisa diderita oleh lansia yaitu:

1. pergerakan dan kelemahan lansia

2. intelektual terganggu (demensia)

3. isolasi diri (depresi)

4. inkontinensia dan impotensia

5. defisiensi imunologis

6. infeksi, konstipasi, dan malnutrisi

7. latrogenesis dan insomnia

8. kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan,

komunikasi, dan integritas kulit

9. kemunduran proses penyembuhan.

Konsumsi Pangan dan Zat Gizi

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang

dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.

Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta

perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang

penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah &

Briawan 1994). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi

kebutuhan tubuh akan zat gizi, pada gilirannya zat gizi tersebut berfungsi untuk

menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh, dan

pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.

Konsumsi makanan haruslah beragam karena tidak ada satu jenis

makanan yang mengandung komposisi zat gizi yang lengkap. Oleh karena itu,

kekurangan gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan

susunan zat gizi jenis makanan yang lain sehingga diperoleh asupan yang

seimbang. Selain itu, konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki

kecukupan akan zat-zat gizi dan menunjukkan perlindungan terhadap serangan

berbagai penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan

(Wirakusumah 2001).

Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ)

Food Frequency Questionnaire (FFQ) bertujuan untuk menilai frekuensi

pangan atau kelompok pangan yang dikonsumsi pada selang waktu tertentu.

Sebenarnya FFQ didisain untuk menyediakan data mengenai pola konsumsi

pangan secara deskriptif kualitatif. Akan tetapi dengan menambahkan perkiraan

jumlah porsi yang dikonsumsi, metode menjadi semi-kuantitatif sehingga

memungkinkan penghitungan energi dan zat gizi terpilih (Gibson 2005). Metode

ini terdiri dari dua komponen dasar yaitu daftar makanan dan frekuensi konsumsi

untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan dikonsumsi.

Keuntungan FFQ terletak pada beban kerja yang relatif rendah bagi

responden disamping analisis kuesioner ini yang cukup sederhana dan murah

karena dapat dilakukan sendiri serta dapat dipindai dengan mesin. Kerugian FFQ

terdapat pada keharusan responden melakukan tugas kognitif yang levelnya

cukup tinggi untuk memperkirakan frekuensi dan ukuran takaran saji yang lazim

(Pietinen & Patterson 2009).

Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yang

memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary

assessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada

lansia karena adanya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history dan

dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yang

dikonsumsi lansia. Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk

menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang

memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal. Metode FFQ yang

menggunakan ukuran porsi (semi-kuantitatif) dapat memberikan estimasi jumlah

makanan atau zat gizi yang dikonsumsi pada masa lampau (Sanjur & Maria 1997

dalam Fatmah 2010).

Perhitungan asupan zat gizi secara keseluruhan pada metode FFQ semi

kuantitatif diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-

masing pangan. Sebagian kuesioner frekuensi justru memasukan pertanyaan

tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen,

penggunaan vitamin dan mineral tambahan serta makanan bermerek lain.

(Arisman 2004).

Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah

dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi

terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh para lansia.

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang

sehat. Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak

(Wirakusumah 2001). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)

mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan

diatas 65 tahun sebagai berikut:

Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari

Zat Gizi

Angka Kecukupan Gizi

Pria Wanita

50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun

Energi (Kal) 2250 2050 1750 1600 Protein (g) 60 60 50 45 Kalsium (mg) 800 800 800 800 Fofor (mg) 600 600 600 600 Vitamin A (RE) 600 600 500 500 Vitamin C (mg) 90 90 75 75

Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang

pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia

berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan

aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk

menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi

dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah

2010).

Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam

makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan

menentukan nilai energinya. Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan

makanan sumber lemak seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-

bijian. Selain itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-

umbian, dan gula murni (Almatsier 2004).

Protein

Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari

serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam

tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu

untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel

darah merah (Fatmah 2010).

Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi

menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk

mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 1-

1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein

akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004).

Bahan makanan hewan merupakan sumber protein yang baik, dalam

jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang.

Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan

tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber

protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004).

Mineral

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,

yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99

persen, berada di tulang dan gigi bersama fosfor membetuk kalsium fosfat, zat

keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum

darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting (Latham 1997).

Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama

tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses

penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem

imunitas tubuh (Fatmah 2010).

Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju. Ikan

dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang

baik. Serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe,

dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan

makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti

serat, fitata, dan oksalat (Almatsier 2004).

Fosfor merupakan mineral kedua yang paling banyak di dalam tubuh dan

jumlahnya 6,5-11 g/kg berat badan dewasa. Sekitar 85% fosfor berada dalam

tulang bersama kalsium (Latham 1997). Fosfor mempunyai berbagai fungsi

dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi,

absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan

pengaturan keseimbangan asam-basa. Fosfor terdapat di dalam semua

makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu

dan hasil olahannya, kacang-kacangan dan hasil olahannya, serta serealia

(Almatsier 2004).

Vitamin

Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh

walau ketersediaannya dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan

diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat

beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan

mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin

C (Fatmah 2010).

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A

esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Vitamin A

berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi

kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker

dan penyakit jantung, dan lain-lain (Almatsier 2004).

Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada

pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber

utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuning-

jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).

Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim

atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai

penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari

serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah

putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit

gusi (Fatmah 2010).

Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu

sayur dan buah terutama yang asam seperti, nenas, rambutan, jeruk, pepaya,

gandaria, dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan

jenis kol (Almatsier 2004).

Status Kesehatan

World Health Organization (WHO) pada tahun 1947 mendefinisikan

kesehatan adalah keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan

sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan

kelemahan. Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu

(Smet 1994). Secara umum, status kesehatan pada lansia tidak sebaik saat usia

muda. Seringkali lansia menderita berbagai penyakit yang umumnya terjadi

akibat penurunan fungsi organ tubuh (McKenzie et. al. 2008).

Penyakit adalah kegagalan tubuh dalam beradaptasi. Secara jelas

penyakit adalah terganggu atau tidak berlangsungnya fungsi-fungsi psikis dan

fisik, yaitu ada kelainan dan penyimpangan yang mengakibatkan kerusakan dan

bahaya pada organ/ tubuh sehingga bisa mengancam kehidupan (Sarafino

1994). Beberapa pengarang membagi pengertian penyakit ini menjadi penyakit

communicable (yang dapat menular) dan non-communicable (yang tidak dapat

menular) (WHO-SEARO 1986, Diekstra 1989). Akan tetapi ada juga yang

membagi penyakit menjadi penyakit infeksi dan penyakit kronis (Smet 1994).

Penyakit-penyakit infeksi adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994).

Sebagai contoh malaria, cacar air, diare, influenza, tipus, dll. Penyakit-penyakit

kronis adalah penyakit-penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun

waktu yang lama seperti jantung, kanker dan stroke. Umumnya, penyakit kronis

adalah non-communicable (tidak menular) sedangkan penyakit infeksi adalah

communicable (menular). Akan tetapi, tidak semua penyakit ini cocok untuk

kategori penyakit infeksi maupun kronis seperti AIDS. AIDS adalah penyakit

infeksi (communicable) karena disebabkan oleh virus dan penyakit kronis (ciri-ciri

degeneratif dan waktu lama) (Smet 1994).

Penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya

berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit

hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung,

gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan,

gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada

usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi,

misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau

infeksi saluran pernapas bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi

kulit (Rahardjo et al. 2009).

Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya

keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan

risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian

dini dan gangguan multi organ (Azad 2002). Malnutrisi merupakan penyebab

utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di

sisi lain keberadaan penyakit, penyakit infeksi, akan meningkatkan kebutuhan

tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami peyakit akan kehilangan

nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi.

Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi.

Suhardjo (2008) menambahkan bahwa antara infeksi dan status gizi kurang

terdapat pola interaksi bolak-balik. Infeksi menimbulkan efek langsung pada

katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan

kehilangan nitrogen.

Tingkat Depresi

Lansia merasa khawatir dengan kesehatan mental mereka, khususnya

mereka fokus pada mulai menurunnya ingatan. Menurunnya ingatan

memungkinkan berdampak negatif mempengaruhi kemampuan merawat diri dari

hari ke hari dan berfungsi secara independen. Salah satu masalah mental yang

dialami lansia adalah depresi (Mezey et. al 1993). Depresi adalah istilah yang

akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Depresi adalah penyakit medis

yang ditandai dengan kesedihan terus menerus, kekecewaan dan hilangnya

harga diri. Depresi mungkin disertai dengan menurunnya energi dan konsentrasi,

masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu makan, kehilangan berat badan,

dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).

Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit

yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi

merupakan masalah yang meluas diantara lansia, akan tetapi seringkali tidak

dapat secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih,

gangguan tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin

dianggap sebagai bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang

menganggap bahwa masalah dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh

perubahan berpikir terkait penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia

mengalami kesulitan untuk berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi

(Better Health Channel 2010).

Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu

depresi. Namun, tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko

depresi pada lansia diantaranya:

1. Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial,

berkurangnya mobilitas karena sakit

2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri

karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik

3. Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi

kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh

4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko

terkena depresi

5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah

keuangan serta kesehatan

6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga

bahkan binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia

Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,

kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para

lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera

makan terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan

berat badan. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak

langsung dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk.

Skala Depresi Geriatrik

Skala depresi dapat bermanfaat untuk memeriksa depresi atau distres

psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes

skrining depresi pada lansia. Konsep dasar dari SDG, depresi pada lansia sama

halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat badan, pesimis

akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala

depresi geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, dan skala pelaporan

sendiri. Meskipun secara normal, SDG didisain sebagai skala pelaporan sendiri,

SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara dan wawancara melalui telepon.

Rentang waktu yang digunakan untuk pengukuran SDG adalah satu

minggu terakhir. Skala depresi geriatrik (SDG) terdiri dari 30 pertanyaan yang

harus dijawab “ya” atau “tidak”. Sheikh dan Yesavage mengusulkan bentuk

singkat dari SDG. Hal ini ditujukan untuk mengurangi masalah kelelahan

terutama pada responden dengan sakit fisik atau demensia. Bentuk singkat SDG

hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala depresi geriatrik (SDG) fokus pada

aspek perasaan dari depresi. Skala ini mudah digunakan dan dilaporkan secara

cepat. Skala depresi geriatrik (SDG) telah digunakan baik pada contoh komunitas

ataupun pasien, dan hasilnya memiliki reliabilitas dan sensitivitas yang tinggi

diantara lansia. Selain itu, SDG versi pendek telah divalidasi untuk kebutuhan

klinis dan penelitian. Validasi dibandingkan dengan SDG versi panjang dengan

nilai r=0,84 (McDowell 2006). Penelitian Matsubayashi et al. (2003) yang

dilakukan di Bandung dan Karawang menyebutkan bahwa SDG versi pendek

memiliki nilai sensitivitas (88% - 92%) dan spesifisitas (62% - 81%) yang cukup

tinggi.

Status Gizi

Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan

yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient

output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak

faktor, seperti tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik dan

faktor yang bersifat relatif yaitu gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan

daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization), dan perbedaan

pengeluaran dan penghancuran (excretion and destruction) dari zat gizi tersebut

dalam tubuh (Supariasa et al. 2001).

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan

keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang

bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku

yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan

laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2004). Penilaian status gizi

dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung

dapat dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik

sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei konsumsi

pangan, statistika vital, dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001).

Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi

fisik dan komposisi tubuh secara umum pada bebagai tahapan umur dan derajat

kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan,

lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia

adalah pola distribusi lemak (Muis 2006).

Penilaian status gizi lansia diukur dengan antopometri atau ukuran tubuh,

yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan

tinggi badan karena kompresi vertebra, kifosis, dan osteoporosis. Pengukuran

tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri

tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan

pengukuran tinggi lutut (menggunakan kaliper tinggi lutut) atau pengukuran

rentang lengan (arm span) (Sari 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi

dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan

seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson

2005).

Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) untuk digunakan sebagai

prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

(lansia). Tinggi lutut diukur dengan sebuah kaliper berupa tongkat pengukur yang

dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 90 derajat. Gambar di

bawah menunjukkan alat pengukur tinggi lutut:

Gambar 1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu 900(kanan)

Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokan pada lutut

dengan sudut 90 derajat (Gambar 2). Salah satu ujung kaliper diposisikan di

bawah, dibagian tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas

bagian lutut (Gambar 3). Batang kaliper disejajarkan dengan tibia dan kemudian

sedikit ditekan pada bagian ujung atas (tempurung lutut).

Gambar 2 Posisi lutut membentuk sudut 900

Gambar 3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau

status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan

kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal

memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.

Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun.

Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu

hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan

khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, aitesis dan hepatomegalia

(Supariasa et.al 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam

kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Berikut merupakan kategori

ambang batas IMT menurut WHO:

Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia

Klasifikasi IMT kg/m2)

Underweight <18,5 Normal 18,5-25 Overweight >25 Obesitas >30

Sumber: WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008

Keadaan Gizi Lansia

Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Azad

(2002) mendefinisikan malnutrisi sebagai keadaan yang diakibatkan oleh terlalu

rendahnya intake makronutrien (defisiensi protein, mineral, vitamin), terlalu

banyak intake makronutrien (obesitas) atau berlebihannya jumlah zat-zat yang

tidak diperlukan, seperti alkohol. Malnutrisi secara nyata dapat mempengaruhi

kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan status fungsional dan membuat

masalah medis semakin buruk.

Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang

bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan,

isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan

fisik, gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga kurangnya

asupan makanan. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan

obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme (Muis 2006).

Faktor-faktor ini dapat menyebabkan malnutrisi pada lansia dan jika bergabung

maka akan mengakibatkan keburukan nutrisi yang akhirnya dapat

membahayakan status kesehatan mereka (Watson 2003).

Kehilangan berat badan dianggap sebagai indikator yang banyak

digunakan untuk mendiagnosa kurang gizi. Kehilangan berat badan 10 persen

dalam 6 bulan, 7,5 persen dalam 3 bulan atau 5 persen dalam 1 bulan dianggap

sangat serius, karena berhubungan langsung dengan kesakitan dan kematian

(Morley et al. 2009).

Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan kemakmuran

dan gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang makin

membaik dan tersedianya makanan siap saji yang enak terutama sumber lemak,

asupannya melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelebihan gizi yang dimulai awal

usia 50 tahun ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas dan dapat pula

disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes

mellitus dan dislipidemia (Muis 2006).

Home care

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lanjut usia dengan

mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga (Depsos 2009a). Sabdono

(2010) menambahkan bahwa home care merupakan pelayanan yang diberikan di

rumah dan bukan di panti maupun di rumah sakit. Home care dapat dilakukan

oleh anggota keluarga ataupun masyarakat. Home care pun dapat dilakukan

oleh tenaga profesional atau tenaga sukarela. Akan tetapi meskipun dilakukan

oleh masyarakat, hal ini bukanlah bermaksud untuk mengambil alih fungsi

keluarga.

Home care dapat dilakukan siang ataupun malam hari. Hal ini

memungkinkan lanjut usia untuk tetap tinggal di lingkungannya sendiri selama

mungkin. Fungsi home care (Depsos 2009a) antara lain pencegahan, promosi,

rehabilitasi, dan perlindungan serta pencegahan. Penyelenggaraan home care

ditujukan bukan hanya bagi lansia itu sendiri, akan tetapi juga bagi keluarga

lansia.

Depsos (2009b) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan home care

antara lain:

1. meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk menerima kondisi kemunduran

fisik, fisiologis dan psikis

2. memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia secara wajar

3. meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan lanjut usia

4. terciptanya rasa aman, nyaman dan tentram bagi lanjut usia.

Penyelenggara home care adalah lembaga/yayasan/lembaga

sosial/badan sosial/lembaga swadaya masyarakat/organisasi sosial/lembaga

kesejahteraan sosial lainnya berstatus badan hukum maupun tidak berbadan

hukum. Sebagai lembaga swadaya masyarakat, home care lanjut usia

membangun kemitraan lintas disiplin dan lintas sektoral. Kemitraan lintas disiplin

antara lain dengan pekerja sosial, dokter, perawat, ahli gizi, psikolog,

rohaniawan, guru, pemadu kebugaran jasmani. Kemitraan lintas sektor antara

lain pemerintah (dinas sosial, dinas kesehatan, pemerintah provinsi /kabupaten/

kota/ kecamatan/ kelurahan/ desa), perguruan tinggi dan dunia usaha (Depsos

2009a). Till (2001) menambahkan bahwa penyelenggara home care bisa

individu, organisasi sosial, dan pemerintah seperti departemen kesehatan dan

departemen sosial.

Bentuk pelayanan yang perlu disediakan dalam home care berupa

perawatan sosial, pendampingan, dan pemenuhan kebutuhan lanjut usia.

Perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial kepada lanjut usia yang

membutuhkan perawatan dengan jangka waktu lama. Bentuk perawatan sosial

umumnya secara fisik maupun emosional yang bersifat non medis.

Pendampingan sosial lanjut usia di rumah merupakan upaya membantu lanjut

usia dan keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan lanjut usia yang

bersangkutan (Depsos 2009b).

Till (2001) menyebutkan bahwa secara umum home care dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu pelayanan sosial dan perawatan kesehatan.

Perawatan sosial mncakup dukungan emosional dan praktek. Hal ini termasuk

bantuan merawat rumah, mengantar atau menyiapkan makanan, menemani

lansia ke tempat-tempat penting, beberapa bantuan perawatan pribadi, dan

pertemanan. Pelayanan sosial biasanya diberikan oleh anggota keluarga, teman,

tetangga, sukarelawan dan pekerja sosial baik terlatih ataupun tidak. Perawatan

kesehatan meliputi pemeriksaan kesehatan, pendidikan kesehatan, perawatan,

dan terapi. Perawatan kesehatan biasanya diberikan oleh orang-orang terlatih

dibawah pengawasan pekerja kesehatan profesional seperti dokter, perawat,

terapis, atau pekerja sosial.

Terdapat beberapa jenis model penyelenggaraan home care, yaitu

volunteer-based home help services, paid home help services, home nursing

services, home-based medical services, dan case management services.

Volunteer-based home help services biasanya merupakan bagian dari program

home care dengan keterbatasan dana dan sumerdaya profesional. Sukarelawan

memegang peranan penting dalam mempertahankan kualitas hidup lansia

dengan menyediakan pelayanana sosial dan pertemanan. Paid home help

services biasanya meliputi perawatan pribadi, rumah tangga, mencuci,

pengaturan rumahtangga, berbelanja, menyiapkan atau mengantarkan makanan.

Home nursing services menyediakan perawatan jangka pendek biasanya untuk

tujuan khusus seperti untuk pengobatan luka. Home-based medical services

memegang peran penting untuk menciptakan akses perawatan medis bagi lansia

yang sangat lemah atau miskin. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal

dan terbatasnya dokter. Case management services meliputi penilaian

kebutuhan lansia dan pengkoordinasian jaringan pelayanan formal dan informal

untuk menyediakan paket perawatan dan dukungan (Till 2001).

KERANGKA PEMIKIRAN

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,

kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis

keluarga. Home care memberikan pelayanan lanjut usia seperti pelayanan sosial,

pelayanan kesehatan, dan pelayanan gizi. Lansia peserta home care

mendapatkan seluruh pelayanan yang disediakan, tetapi bagi lansia bukan

peserta home care hanya mendapatkan pelayanan kesehatan. Diduga, dengan

pemberian berbagai pelayanan tersebut maka kondisi konsumsi pangan, status

kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta home care akan lebih

baik dibanding lansia bukan peserta home care.

Status gizi pada lansia secara langsung dapat dipengaruhi oleh status

kesehatan. Antara status kesehatan (terutama penyakit infeksi) dan status gizi

terdapat pola interaksi yang bolak-balik. Status kesehatan juga secara langsung

dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan tingkat depresi lansia. Seseorang

yang mengalami penyakit, terutama infeksi, akan kehilangan nafsu makan

sehingga menurunkan asupan energi dan zat gizi lainnya. Perasaan depresi

akan muncul jika lansia mengalami suatu gangguan fisik akibat terganggunya

status kesehatan lansia dengan adanya penyakit yang diderita. Perasaan depresi

yang muncul pada lansia memungkinkan timbulnya sikap apatis lansia terhadap

makanan dan lansia cenderung mengurangi konsumsi pangannya. Selain

dipengaruhi oleh status kesehatan, status gizi lansia juga secara langsung

dipengaruhi oleh konsumsi pangannya.

Gambar 4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia

Karakteristik responden: - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Pekerjaan - Sumber pendapatan - Status pernikahan - Living arrangement

Pelayanan sosial

Pelayanan kesehatan

Pelayanan gizi

peserta

Konsumsi Pangan

Status Gizi (IMT): Berat badan Tinggi lutut

Status Kesehatan: - Keluhan kesehatan - Lama sakit - Frekuensi - Pengobatan

Tingkat Depresi

bukan peserta

Pelayanan kesehatan

Keterangan:

Varaibel yang diteliti :

Variabel yang tidak diteliti :

Hubungan yang diteliti :

Hubungan yang tidak diteliti :

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian mengenai keragaan konsumsi pangan, status kesehatan,

kondisi mental dan status gizi pada lansia peserta dan bukan peserta home care

menggunakan disain cross sectional study. Peneliti melakukan observasi pada

lansia tanpa melakukan intervensi. Lokasi penelitian ditentukan secara

purposive. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tegal Alur untuk lansia peserta

(binaan Yayasan Emong Lansia) dan bukan peserta home care. Penelitian

dilaksanakan pada bulan September sampai November 2010.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia berusia 60 tahun ke atas.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

ke atas. Contoh yang diambil harus memenuhi kriteria lansia berusia 60 tahun

atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat

mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan

baik dan bersedia diwawancara sebagai responden.

Lansia peserta dan bukan peserta home care yang telah memenuhi

kriteria inklusi kemudian diambil secara purposive, masing-masing 30 orang

lansia. Penentuan lansia peserta dan bukan peserta home care yang dijadikan

contoh atas bantuan pendamping (caregiver), disesuaikan dengan kriteria inklusi

sama seperti lansia peserta home care. Jumlah seluruh responden adalah 60

orang lansia.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living

arrangement), konsumsi pangan (jumlah, jenis dan frekuensi) satu bulan, data

status gizi (berat badan dan tinggi lutut), status kesehatan (keluhan kesehatan,

lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, dan

tingkat depresi satu minggu terakhir. Data sekunder meliputi data keadaan umum

Yayasan Emong Lansia (YEL) serta pelaksanaan home care di Tegal Alur.

Data karakteristik responden, konsumsi pangan, status kesehatan, dan

tingkat depresi diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu

kuesioner. Konsumsi pangan dinilai dengan kuesioner FFQ semikuantitatif berisi

bahan pangan yang telah disusun sebelumnya, lansia ditanyakan mengenai

kebiasaan makan selama satu bulan terakhir sebelum wawancara serta bahan

pangan lainnya yang mungkin dikonsumsi lansia tetapi tidak terdapat di dalam

kuesioner. Hasil jawaban lansia kemudian akan dikonfirmasi ulang kepada

keluarga atau pendamping yang menemani. Data status kesehatan yang terdiri

dari keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan

ditanyakan satu bulan terakhir sebelum wawancara. Data status kesehatan

diperoleh dengan penilaian subjektif berdasarkan hasil wawancara tanpa

melakukan pemeriksaan klinis.

Tingkat depresi diukur dengan menggunakan kuesioner SDG versi

pendek yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Lansia ditanyakan mengenai

kondisi sesuai dengan kuesioner SDG selama satu minggu terakhir sebelum

wawancara. Jawaban diperoleh dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner

secara langsung maupun tidak langsung (sesuai dengan cerita yang

disampaikan lansia selama proses wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan

untuk mengetahui berbagai alasan yang melatarbelakangi jawaban setiap

pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban yang diberikan lansia.

Penilaian status gizi ditentukan berdasarkan pengukuran berat badan dan

tinggi lutut. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak Health Scale

yang memiliki ketelitian 1kg. Lansia berdiri di atas timbangan dan pandangan

lurus kedepan tanpa menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas,

barang lain dilepas, kemudian angka penunjuk dibaca. Tinggi lutut dipergunakan

sebagai prediktor tinggi badan, diukur dengan menggunakan kaliper pengukur

tinggi lutut (terbuat dari alumunium yang diberi pita meteran) dengan ketelitian

0,1cm. Tinggi lutut diukur dengan posisi berbaring (terlentang) pada kaki kiri,

antara tulang tibia dan tulang paha membentuk 900, kemudian kaliper pengukur

tinggi lutut ditempatkan sejajar tulang tibia, di antara tumit sampai bagia

proksimal dari tulang platela, kemudian skala dibaca. Pengukuran tinggi lutut

dilakukan dua kali pengukuran, kemudian diambil nilai rata-ratanya, untuk

meningkatkan ketelitian pengukuran.

Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data dimulai dari editing, coding, entri, cleaning,

selanjutnya dianalisis. Penyusunan coding sebagai panduan entri dan

pengolahan data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai kode yang telah dibuat

dan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan

data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007

dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows.

Pengolahan data konsumsi pangan menggunakan data yang diperoleh

dari wawancara dengan kuesioner FFQ (food frequency questionnaire) semi

kuantitatif. Data konsumsi dalam ukuran gram per hari kemudian dikonversi

dengan program Microsoft Excel 2007 untuk mendapatkan kandungan energi,

protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor. Jumlah konsumsi energi dan

zat gizi kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004)

untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dapat

dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1990):

𝑇𝐾𝐺𝑖 = 𝐾𝑖

𝐴𝐾𝐺𝑖 𝑥100%

Keterangan: TKGi = tingkat kecukupan zat gizi individu

Ki = konsumsi zat gizi individu

AKGi = angka kecukupan zat gizi individu yang dianjurkan

Status kesehatan responden meliputi keluhan kesehatan, lama sakit,

frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan dikelompokkan

menjadi penyakit infeksi, non infeksi, dan berbagai keluhan lain. Lama sakit dan

frekuensi sakit dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi. Penyakit

infeksi dikelompokkan menjadi penyakit diare, ISPA, demam, dan infeksi lainnya.

Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik

(SDG) versi pendek berisikan 15 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan diberi

skor 1 dan 0 dengan skor maksimal 15. Beberapa pertanyaan ada yang bersifat

invers (kebalikannya). Tingkat depresi dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu

normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), depresi berat (12-15)

(McDowell 2006).

Pengolahan data status gizi menggunakan data hasil pengukuran berat

badan dan tinggi lutut. Tinggi lutut digunakan sebagai prediksi tinggi badan.

Fatmah et al.(2008) merekomendasikan model prediksi tinggi badan lansia, yaitu:

Laki-laki : Prediksi TB = 56,343 + 2,102 tinggi lutut

Perempuan : Prediksi TB = 62,682 + 1,889 tinggi lutut

Status gizi ditentukan dengan IMT, perbandingan berat badan dengan kuadrat

tinggi badan dalam meter. Status gizi dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu

kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT ≤ 24,9 kg/m2), overweight

(IMT ≥ 25,0 kg/m2), obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m2) (WHO 2004 diacu dalam PDGKI

2008).

Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan inferensia. Analisis

deskriptif disajikan berupa tabel frekuensi, rata-rata dan standar deviasi pada

variabel penyelenggaraan home care, karakteristik contoh, konsumsi pangan per

golongan pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi. Uji statistik

yang digunakan yaitu:

1. Uji beda, uji yang digunakan adalah uji T sampel independen

(independent-sampel t test) untuk data rasio dan uji Mann Whitney untuk

data ordinal. Perbedaan konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi serta

status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan

uji T, sedangkan perbedaan tingkat depresi dan status kesehatan lansia

peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan uji Mann

Whitney.

2. Uji hubungan, Uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan tingkat

kecukupan zat gizi dengan status gizi, hubungan lama sakit infeksi

dengan tingkat kecukupan zat gizi, dan hubungan lama sakit infeksi

dengan status gizi. Uji Person digunakan karena data kedua variabel

bersifat rasio. Selain itu, untuk variabel data ordinal digunakan uji korelasi

Spearman untuk menganalisis hubungan keluhan kesehatan dengan

tingkat depresi dan hubungan tingkat depresi dengan tingkat kecukupan

zat gizi.

Pengkategorian variabel disajikan pada tabel di bawah:

Tabel 3 Variabel dan indikator data yang dianalisis No Variabel Kategori variabel

1 Karaktersitik responden

- Umur (WHO) 1. Usia lanjut (60-74 tahun) 2. Usia tua (75-90 tahun)

- Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

- Tingkat pendidikan 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD/sederajat 4. Tamat SMP/sederajat 5. Tamat SMA/sederajat 6. Tamat PT

- Pekerjaan 1. Petani 2. Buruh 3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja 5. Lainnya

No Variabel Kategori variabel

- Sumber pendapatan 1. Sosial 2. Anak 3. Cucu 4. Sendiri 5. Pensiunan 6. Lainnya

- Status pernikahan 1. Menikah 2. Tidak menikah 3. Cerai hidup 4. Cerai mati

- Living arrangement 1. Tinggal sendiri 2. Tinggal bersama keluarga

2 Konsumsi pangan

- Tingkat kecukupan Energi dan Protein (Depkes 1996 diacu dalam Sukandar 2007)

1. Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 3. Defisit tingkat ringan (80-89%AKG) 4. Normal (90-119% AKG) 5. Berlebih (>120% AKG)

- Tingkat kecukupan Kalsium, Fosfor, Vitamin A, dan Vitamin C (Gibson 2005)

1. Kurang (<77% AKG) 2. Cukup (≥77% AKG)

3 Status Gizi (WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008)

1. Kurang (IMT < 18,5 kg/m2)

2. Normal (18,5 kg/m2 ≤

IMT ≤ 25 kg/m

2)

3. Overweight (IMT > 25,0 kg/m2)

4. Obesitas (IIMT ≥ 30,0 kg/m2)

4 Status Kesehatan

- Keluhan kesehatan 1. Tidak ada 2. Terdapat 1 jenis keluhan 3. Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan

- Jenis penyakit dan keluhan

1. Infeksi 2. Non infeksi 3. Keluhan

- Lama sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi

- Frekuensi sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi

- Tindakan pengobatan 1. Puskesmas 2. Dokter 3. Obat warung 4. Obat tradisional

5 Tingkat depresi (McDowell 2006)

1. Normal (0-4) 2. Depresi ringan (5-8) 3. Depresi sedang (9-11) 4. Depresi berat (12-15)

Definisi Operasional

Lansia adalah orang yang lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap

stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau

dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia

diwawancara sebagai responden.

Home care adalah bentuk pelayanan sosial bagi lansia, dibawah naungan

Yayasan Emong Lansia (YEL), yang dilakukan oleh pendamping berupa

pelayanan minimal kunjungan satu kali dalam satu minggu, bantuan

sembako perbulan, pelaksanaan kegiatan ramah lansia serta pelayanan

kesehatan.

Peserta home care adalah lansia yang terdaftar sebagai lansia binaan YEL,

mendapatkan pelayanan kunjungan minimal 1kali seminggu dari

pendamping, bantuan sembako perbulan, serta pelayanan kesehatan

berupa pemeriksaan dokter minimal 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah

lansia, serta pelayanan rujukan ke tempat pelayanan kesehatan setempat

jika mengalami sakit diluar pemeriksaan rutin.

Bukan peserta home care adalah lansia yang tidak terdaftar sebagai lansia

binaan YEL, mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan

dokter 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah lansia.

Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang dijalani

lansia diukur dengan lamanya tahun pendidikan atau jenjang pendidikan

Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia

untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya meliputi sandang, pangan,

dan papan, tidak selalu dalam bentuk uang namun dapat dalam bentuk

lain.

Living arrangement adalah pengaturan tempat tinggal lansia yang menunjukkan

keberadaan tinggal lansia.

Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan oleh lansia dengan tujuan untuk

mendapatkan uang.

Status penikahan adalah status hubungan lansia dengan lawan jenisnya yang

sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya).

Konsumsi pangan adalah jumlah dan frekuensi pangan per kelompok pangan

yang dikonsumsi lansia, diukur satu bulan terakhir dari waktu wawancara

dengan menggunakan FFQ semi-kuantitatif.

Status kesehatan adalah kondisi lansia yang meliputi keluhan kesehatan, lama

sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatannya selama 1 bulan

terakhir.

Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik karena sakit,

kecelakaan atau hal lainnya, termasuk orang yang menderita penyakit

kronis meskipun pada saat pendataan tidak kambuh penyakitnya.

Lama sakit adalah jumlah hari sakit yang dialami lansia sebulan terakhir dari

waktu wawancara

Frekuensi sakit adalah jumlah pengulangan atau kekambuhan penyakit tertentu

yang dialami lansia sebulan terakhir dari waktu wawancara

Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran

berat badan dan tinggi lutut untuk kemudian dihitung IIMT, dikategorikan

menjadi, status gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT

≤ 25 kg/m2), overweight (IMT > 25,0 kg/m2) dan obesitas (IMT ≥ 30,0

kg/m2).

Tingkat depresi adalah keadaan emosi yang dirasakan responden selama 1

minggu terakhir yang diukur menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG)

versi pendek dengan kategori normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi

sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Yayasan Emong Lansia

Yayasan Emong Lansia (YEL)- HelpAge Indonesia adalah organisasi

non-profit berbasis masyarakat, didirikan pada tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta

oleh Steven King mewakili HelpAge Internasional, Mr. Cho Ki Dong (HelpAge

Korea), Ibu Joyce Sosrohadikusumo dan Dr. Tony Setiabudhi, PhD. Terdaftar

pada kantor Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dinas Bina

Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial dengan nomor: 06.12160.118/076.6-B.

Tujuan dari YEL untuk meningkatkan kualitas hidup warga usia lanjut yang

memungkinkan mereka hidup secara terhormat. Visi dari YEL adalah lanjut usia

sehat, mandiri, dan sejahtera sedangkan misi YEL adalah meningkatkan kualitas

hidup warga lanjut usia secara berkesinambungan.

Program kerja yang dilakukan yaitu, home care, sponsor a grandparent,

policy advokasi, access to helath services, pelatihan ITCOA, emergency relief

and rehabilitation, dan informasi. Home care merupakan kunjungan ataupun

pendampingan di rumah bagi lanjut usia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal

sendiri. Pilot project home care dilakukan di Tegal Alur yang kemudian diadopsi

oleh Pemerintah, khususnya Departemen Sosial RI, menjadi Program Nasional

pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah (Home Care) dengan SK

Menteri Sosial RI No. 67/HUK/2006. Alasan diadopsinya program home care ini

dikarenakan beberapa hal seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk

mendirikan sebuah panti jompo (panti werdha), sumber daya manusia yang

terbatas serta budaya Indonesia sendiri yang menganggap bahwa kurang pantas

memasukan orangtua ke panti jompo. Hingga saat ini penyelenggaraan home

care dibawah binaan YEL tidak saja dilakukan di Tegal Alur, tetapi juga dilakukan

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Propinsi Nangroe Aceh

Darussalam (NAD).

Sponsor a grandparent berupa penggalangan dana untuk pelayanan

sosial, terutama bagi lanjut usia yang kurang mampu di bidang pangan, sandang,

kesehatan, spiritual, perbaikan tempat tinggal, olah raga dan rekreasi. Policy

advokasi berupa Lokakarya Nasional yang menghasilkan Rencana Aksi Nasional

(RAN) 2003-2008 dan Komisi Nasional Lanjut Usia dengan Keputusan Presiden

No. 52 tahun 2004.

Yayasan Emong Lansia pun menyelenggarakan access to health

services/ pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dimaksudkan adalah

YEL sebagai fasilitator untuk membuka jejaring dengan puskesmas atau rumah

sakit setempat sehingga lansia dapat melakukan pengobatan secara gratis.

Pelatihan ITCOA (International Training Center on Aging) ditujukan bagi lanjut

usia dan bagi mereka yang terlibat langsung dalam pelayanan baik lokal maupun

internasional. Emergency relief and rehabilitation berupa bantuan sosial bencana

dan sesudahnya sedangkan dalam bidang informasi, YEL menerbitkan majalah

“Gerbang Lansia” secara berkala untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

dan lanjut usia itu sendiri untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang

dihadapi.

Struktur organisasi YEL:

Dewan Penangggung Jawab (Board of Trustees)

1. Ketua : Ibu Y.S. Nasution

2. Anggota : Ibu Soepardjo Roestam

Ibu BRA Mooryati Soedibyo

Dr. Tony Setiabudhi, PhD

Dewan Penasehat (Board of Advisor)

1. Ibu Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo

2. DR. Dr. Nugroho Abikusno, MSc. PhD

3. Bapak Dick S. Sapi-ie

Dewan Pelaksana

1. Ketua : Ibu Eva Sabdono, MBA

2. Wakil Ketua : Ibu Dida Soerodjo

3. Bendahara : Ibu Elfy B Santoso

4. Humas : Ibu Murniyati Arisandi

Bidang Umum

1. Drs. Sofyan Manurung

2. H. Azhari

Sekertaris

1. Siti Rahmawati

2. Sundari

Home Care di Tegal Alur

Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care

Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut

usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,

kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis

keluarga. Latar belakang diadakannya pilot project home care di Indonesia

adalah mengingat kesepakatan antara pemerintahan Korea dan ASEAN

Secretariat untuk mengembangkan home care sebagai pilot project di sepuluh

negara anggota ASEAN melalui HeplAge Korea dan HelpAge Internasional. Pilot

project home care di Indonesia dilaksanakan oleh YEL (HelpAge Indonesia), di

Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat mulai 1 Oktober 2003 hingga Maret 2006

dengan bantuan dana dari HelpAge Korea. Pemilihan tempat di Kelurahan Tegal

Alur merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional tahun 2002 bersama

Komnas Lansia. Lokakarya Nasional yang dihadiri kelompok sosial dan kelompok

kesehatan memilih Tegal Alur sebagai daerah percontohan karena Tegal Alur

merupakan daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lansia yang tinggal di daerah

IDT rentan tinggal sendirian karena anak atau keluarga lainnya sibuk dengan

aktivitas perekonomian.

Tahapan Penyelenggaraan Kegiatan Home Care

Proses penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi,

seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon

penerima layanan, implementasi program, serta monitoring, evaluasi, dan

pelaporan. Penyelenggaraan home care diawali dengan proses sosialisasi.

Sosialisasi dilakukan setelah penentuan lokasi, pada tahun 2004, kepada pihak

pemerintah daerah mulai dari walikota, dinas sosial, kecamatan dan kelurahan

serta organisasi-organisasi sosial yang peduli pada lansia seperti PSM (Pekerja

Sosial Masyarakat), PMI (Palang Merah Indonesia) dan PKK. Tahapan kedua

yang dilakukan adalah seleksi calon pendamping yang berasal dari masyarakat

sekitar dan anggota organisasi-organisasi sosial peduli lansia. Awal pendataan

terdaftar sejumlah 125 orang yang kemudian diseleksi dan diterima sebanyak 40

orang pendamping.

Selanjutnya pendamping yang telah terpilih diberikan pelatihan pertama

oleh ITCOA. Pelatihan yang diberikan kepada pendamping dilakukan dengan

dua cara yaitu berupa pemberian teori dan praktek lapang. Tenaga pendamping

harus mempunyai pengetahuan dasar tentang teknik-teknik pendampingan dan

perawatan lansia (non medis) untuk dapat memberikan pelayanan terhadap

lansia antara lain:

a. permasalahan yang dihadapi lansia baik mental maupun fisik

b. teknik komunikasi

c. pengetahuan dasar tentang konseling

d. pengetahuan dasar tentang asuhan keperawatan (non medis)

e. metode pekerjaan sosial

f. pengetahuan tentang gizi

Praktek lapang dilakukan setelah pemberian teori dilakukan. Praktek lapang ini

ditujukan untuk meningkatkan keterampilan para pendamping. Pendamping

terlebih dahulu magang di tempat-tempat yang menyediakan pelayanan lansia

seperti panti jompo lansia. Pelatihan pendamping tahap kedua selanjutnya

dilakukan bekerjasama dengan BKBI (Balai Keluarga Berencana Indonesia),

BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).

Tahapan kegiatan penyelenggaraan home care selanjutnya adalah

pendataan lansia calon penerima layanan oleh pendamping. Pendataan awal

diperoleh sebanyak 520 orang lansia calon penerima layanan. Jumlah tersebut

kemudian disesuaikan dengan jumlah pendamping dan keterbatasan pelayanan

serta persyaratan lansia peserta, hingga terpilih 60 orang lansia yang terdaftar

sebagai lansia peserta.

Tahapan terpenting dalam penyelenggaraan home care adalah

implementasi program. Penyelenggaraan pelayanan home care perlu didukung

oleh fasilitas dalam bentuk saranan dan prasarana yang memadai. Fasilitas ini

perlu disediakan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan.

Berdasarkan surat Lurah Tegal Alur No. 153/I.864 tanggal 5 Agustus 2004, YEL

mendapatkan izin penggunaan beberapa ruangan yaitu ruang kantor gedung dan

aula kantor kelurahan lama. Tempat tersebut menjadi Pusat Kegiatan Lanjut Usia

(PKLU) Kelurahan Tegal Alur. Sarana penunjang yang dilengkapi yaitu

pembuatan kamar mandi, penyediaan kursi lipat, meja tulis, white board serta

perlengkapan lain yang dibutuhkan sejalan dengan peningkatan pelayanan

kepada lansia. Pemeliharaan kebersihan tempat tersebut dilaksanakan oleh

pendamping dalam bentuk piket harian di PKLU.

Tahapan terakhir dalam penyelenggaraan home care adalah proses

monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Monitoring adalah proses pemantauan yang

dilakukan secara terarah mengenai proses dan kemajuan pelayanan home care

untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelayanan,

dilakukan secara berkala setiap minggu. Monitoring dilakukan saat pertemuan

rutin seluruh pendamping dengan koordinator lapangan dilakukan secara rutin

setiap minggu. Pertemuan tersebut membahas berbagai kendala yang ditemui

selama proses pendampingan dan kemajuan pelayanan yang ada.

Evaluasi adalah proses menghitung, mengukur dan menilai proses

pelayanan dan hasilnya terhadap pelayanan home care. Tujuannnya adalah

teridentifikasinya proses dan hasil pelayanan (keluaran, pencapaian hasil,

manfaat dan dampaknya). Evaluasi dilakukan secara bersama-sama antara YEL

dengan koordinator lapang serta pendamping. Evaluasi dampak dari pilot project

home care pernah dilaksanakan pada tahun 2006, menilai apakah pelayanan

memenuhi kebutuhan masyarakat. Responden pada evaluasi dampak ini dipilih

secara acak, terdiri dari lansia, keluarga lansia, pendamping, anggota

masyarakat, puskesmas, kepala lurah dan kepala RW/RT. Evaluasi dampak ini

menilai lima aspek khusus, yaitu mengukur:

1. berapa banyak orang tahu tentang adanya program

2. penerimaan layanan dari sudut pandang budaya

3. tingkat kepuasan pelayanan

4. tingkat pentingnya perawatan rumah yang dilakukan bagi lansia miskin

5. dampak program itu sendiri

Hasil evaluasi dampak pilot project home care di Tegal Alur adalah

pelayanan yang dilaksanakan YEL memuaskan bagi lansia dan pihak lain yang

terlibat seperti keluarga, pendamping, masyarakat sekitar serta aparat

pemerintah. Evaluasi ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh masyarakat

yang terlibat dalam pelayanan ini memiliki minat yang sama dalam kesejahteraan

lansia dan mendukung semua kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini adalah

upaya yang diselenggarakan oleh, dari dan untuk masyarakat dengan peran aktif

pemerintah daerah.

Pelaporan merupakan pendokumentasian pelayanan home care secara

teknis maupun administratif yang disusun secara lisan maupun tertulis. Laporan

secara lisan biasanya dilakukan saat pertemuan mingguan pendamping dengan

koordintator lapang. Kemudian, setiap bulannya pendamping melaporkan secara

tertulis kondisi umum lansia peserta kepada koordinator lapang. Koordinator

lapang nantinya akan menyusun laporan hasil kinerja secara tertulis kepada

pimpinan YEL.

Sasaran Pelayanan Home Care

Sasaran pelayanan home care ada yang bersifat langsung dan tidak

langsung. Sasaran langsung adalah lanjut usia (berusia 60 tahun lebih), miskin,

tinggal sendiri, terlantar dan mengalami masalah dengan kesehatan atau

aktivitasnya. Lansia yang akan menjadi peserta tidak hanya memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan, tetapi juga harus mendapatkan surat izin dari

keluarga lansia atau kepala RW/RT setempat bagi lansia yang tinggal sendiri.

Jumlah lansia yang menjadi peserta home care dari tahun ke tahun mengalami

perkembangan. Pada awal pelaksanaan, sebanyak 60 lansia terdaftar sebagai

peserta home care. Kemudian, pada tahun 2009 jumlah peserta berjumlah 80

orang lansia. Hingga saat ini pelayanan home care di Tegal Alur baru dilakukan

di 13 RW dari 16 RW yang ada di kelurahan Tegal Alur dengan jumlah lansia

peserta 75 orang. Perubahan jumlah lansia ini disebabkan oleh berubahnya

jumlah pendamping serta beberapa lansia yang sudah meninggal.

Sasaran tidak langsung pelayanan home care adalah keluarga,

masyarakat serta berbagai kelembagaan baik pemerintah maupun organisasi

sosial yang peduli terhadap lansia. Keluarga dalam hal ini diharapkan menjadi

lebih peduli terhadap lansia. Pendamping memotivasi keluarga lansia untuk

merawat lansia seperti yang dilakukan pendamping.

Kelembagaan pemerintah maupun organisasi sosial menjadi salah satu

pihak penting yang menjadi sasaran pelayanan home care. Hal ini berkaitan

dengan proses kerja sama atau kemitraan yang akan dijalin antara YEL dengan

kelembagaan tersebut untuk mendukung terlaksananya pelayanan home care.

Hingga saat ini berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah seperti

Departemen Sosial (Depsos), walikota, kecamatan, kelurahan, RW/RT serta

Puskesmas setempat sudah menjalin kerjasama dengan baik. Selain itu,

organisasi-organisasi sosial seperti PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), PMI

(Palang Merah Indonesia) dan PKK ikut juga terlibat dalam proses

penyelenggaraan pelayanan home care di Tegal Alur disamping beberapa pihak

lain yang tidak ingin nama atau institusinya disebutkan.

Jenis Pelayanan Home Care

Jenis pelayanan home care yang dilaksanakan di Tegal Alur mengalami

perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awal pendirian tahun 2004, pelayanan

dipusatkan pada pelayanan sosial, pendampingan lansia di rumah.

Pendampingan ini berupa kunjungan yang dilakukan pendamping ke rumah

lansia satu kali dalam satu minggu untuk mendengar berbagai cerita atau

keluhan yang dialami lansia. Jika lansia tinggal sendiri atau mengalami

keterbatasan mobilitas, pendamping membantu lansia melakukan aktivitas

keseharian atau kegiatan rumah tangga seperti membersihkan ruangan tempat

tinggal lansia.

Tahun 2009, pelayanan yang diberikan tidak hanya pelayanan sosial,

akan tetapi juga diberikan pelayanan lainnya. Bentuk pelayanan yang

dilaksanakan berupa pelayanan kesehatan. Pendamping bertugas menemani ke

puskesmas atau merujuk ke rumah sakit bila lansia perlu dirawat. Pemberian

bantuan pun diberikan berupa alat bantu bagi lansia yang membutuhkan antara

lain, kursi roda, tongkat, kaca mata. Pelayanan juga ditujukan untuk

meningkatkan gizi lansia peserta meskipun sifatnya terbatas, yaitu dengan

pemberian sembako (beras, susu, biskuit, mie instan) secara berkala setiap satu

bulan satu. Selain itu, diadakan pula kegiatan ramah lansia tingkat RW, senam

lanjut usia serta pemberian pinjaman modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

Kegiatan ramah lansia tingkat RW dilakukan satu kali dalam satu bulan.

Kegiatan rutin yang dilakukan pada kegiatan ramah lansia adalah pemeriksaan

kesehatan dan penyuluhan oleh dokter yang diutus dari puskesmas, sedangkan

untuk kegiatan tambahan seperti pemberian keterampilan beragam setiap

bulannya tergantung kepada pendamping. Pemeriksaan kesehatan yang

dilakukan adalah pemeriksaan umum seperti tekanan darah dan penimbangan

berat badan. Apabila hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa lansia sakit

atau lansia menyatakan berbagai keluhan yang dialaminya, dokter akan

memberikan obat secara gratis kepada seluruh lansia yang mengikuti

pemeriksaan tersebut. Bahkan jika pemeriksaan dianggap cukup parah, dokter

akan memberikan surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke

puskesmas atau rumah sakit daerah.

Senam lansia dilakukan setiap satu kali dalam satu minggu. Senam lansia

dipimpin oleh seorang instruktur senam yang juga pendamping home care.

Pemberian pinjaman modal UEP diberikan pada lansia yang masih produktif atau

keluarga lansia sejumlah Rp 500.000,00. Pemberian modal UEP kepada

keluarga lansia dengan harapan keuntungan dari usaha yang dijalankan dapat

membantu lansia. Jenis usaha yang dijalankan sebagian besar berada pada

lingkup usaha makanan. Tidak ada mekanisme ketat yang mengatur sistem

pengembalian pinjaman modal UEP. Lansia atau keluarga lansia dapat

mengembalikan pinjaman sesuai kemampuan lansia membayar baik dari segi

besarnya uang yang dibayarkan maupun waktu pengembalian.

Tahun 2010, YEL atas dukungan PT Sido Muncul dalam rangka Hari

Lanjut Usia Nasional (HLUN) telah memberikan bantuan perbaikan kamar lansia

kepada 10 orang lansia peserta home care. Sebanyak 14 orang lansia

mendapatkan bantuan program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos

berupa uang sejumlah Rp 300.000,00 per bulan.

Pendamping Home Care

Pelayanan home care didampingi oleh para pendamping yang ditunjuk

dan memenuhi syarat untuk membantu para lansia. Kriteria para pendamping ini

diantaranya, berbadan sehat, tinggal di wilayah pelayanan, usia 21-55 tahun,

pendidikan minimal SD, telah memiliki pengalaman melayani atau merawat

lansia, dan mempunyai motivasi untuk merawat lansia. Selain itu, kriteria yang

harus dipenuhi adalah telah lolos dalam seleksi baik secara lisan (wawancara)

maupun tulisan yang kemudian bersedia mengikuti pelatihan secara penuh dan

bersedia menjadi pendamping selama satu tahun dengan mengunjungi lansia

minimal satu jam sekali seminggu.

Tugas pendamping adalah melakukan penelaahan serta pengungkapan

masalah dan kebutuhan, menghubungkan lansia dengan sumber pelayanan dan

mendampingi lansia dalam kegiatan lansia yang secara terprogram dibuat oleh

YEL. Informasi yang perlu diketahui oleh pendamping adalah berbagai

permasalahan dan kebutuhan lanjut usia baik fisik, psikososial maupun mental

spriritual yang kemudian dilaporkan dalam bentuk jurnal setiap minggunya.

Dalam rangka perbaikan pelayanan kepada lansia, YEL juga melakukan

perbaikan pelayanan bagi pendamping. Pendamping secara bergantian diberikan

kesempatan memperoleh pelatihan yang diselenggarakan oleh Depsos, Depkes

RI. Studi banding juga dilakukan ke Sukabumi, tempat yang menyelenggarakan

home care. Selain itu, beberapa kegiatan yang ditujukan bagi lansia seperti

kegiatan senam lansia dan pemberian bantuan modal usaha (UEP) juga

diberikan bagi pendamping.

Pekerjaan sebagai pendamping home care merupakan pekerjaan sosial

tanpa bayaran apapun. Pendamping yang sebagian besar berasal dari kader,

PKK atau PSM mendapat kartu berobat gratis dari kelurahan untuk 17 rumah

sakit DKI Jakarta. Selain itu, sebagai penghargaan kepada pendamping, YEL

biasanya memberikan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya. Tunjangan ini

bukan berupa uang, tetap biasanya berupa makanan, pakaian, rompi, kerudung

atau sajadah yang tiap tahunnya diberikan berbeda.

Jumlah pendamping dari awal pelaksanaan home care sampai sekarang

mengalami perubahan. Pada awal pendirian terdapat 40 orang pendamping yang

berasal dari kader, PKK, PMI, PSM. Kemudian pada tahun berikutnya, beberapa

pendamping dari PMI mengundurkan diri dengan alasan jarak atau transportasi

yang jauh. Pada tahun 2008, jumlah pendamping hanya 22 orang kemudian

bertambah menjadi 30 orang pada tahun 2009. Pada saat penelitian

dilaksanakan, tahun 2010, jumlah pendamping terdaftar sebanyak 35 orang.

Terdapat beberapa alasan yang mendasari pengunduran diri seorang

pendamping, antara lain dengan alasan sakit-sakitan, pindah domisili, meninggal

atau karena alasan transportasi yang dirasa jauh. Satu pendamping bertugas

mendampingi dua orang lansia, tetapi saat ini dikarenakan jumlah pendamping

berkurang maka terdapat beberapa pendamping yang mendampingi lebih dari

dua lansia.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pendamping mengenai

motivasi, kendala pendampingan serta persepsi mengenai kegiatan yang telah

dilakukan YEL, diperoleh pendapat yang hampir serupa. Seluruh pendamping

menyebutkan bahwa motivasi mereka untuk menjadi pendamping adalah untuk

membantu sesama, terutama lansia. Pendamping merasa tergerak hati

nuraninya untuk menolong lansia yang berada di daerahnya karena mereka

merasa senang jika bisa berbagai kebahagiaan dengan para lansia. Selama

proses pendampingan, para pendamping merasa tidak ada hambatan. Respon

yang diterima pendamping baik dari lansia maupun dari keluarga lansia cukup

baik karena mereka merasa senang ada yang memperhatikan dan mendukung

mereka. Persepsi para pendamping terhadap pelayanan yang telah dilaksanakan

oleh YEL cukup bagus. Para pendamping berharap kedepannya kegiatan

pelayanan home care dapat berlangsung secara kontinu dan lebih ditingkatkan

pelayanannya.

Penyelenggaraan home care ini mengalami berbagai kendala. Kendala

yang dihadapi antara lain transportasi pendamping belum ada, jumlah

pendamping yang terbatas sedangkan jumlah lansia yang memerlukan

pendampingan masih banyak, serta hambatan dalam hal dana.

Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Selama proses penyelenggraan home care di Tegal Alur, berbagai

pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL ternyata tidak hanya menjangkau

lansia peserta tetapi juga menjangkau lansia bukan peserta home care.

Beberapa pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL dapat diikuti baik oleh

lansia peserta maupun bukan lansia peserta home care. Tabel di bawah

menunjukkan perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan

peserta home care:

Tabel 4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care

Jenis Pelayanan Home care

Peserta Bukan peserta

Pelayanan kunjungan dari pendamping 1x/minggu √ − Pemeriksaan kesehatan 1x/bln √ √ Kegiatan ramah lansia (pelatihan kerajinan tangan) √ √ Pengobatan gratis ke puskesmas √ √ Pemberian modal UEP √ − Perbaikan kamar lansia √ − Pemberian JSLU dari Depsos √ √ Pemberian sembako 1x/bulan √ − Senam lansia 1x/minggu √ √

Keterangan: “√”: ya, “−“: tidak

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan 1x/bulan,

kegiatan ramah lansia, pengobatan gratis ke Puskesmas, pemberian JSLU dari

Depsos dan senam lansia 1x/minggu dapat diperoleh baik oleh lansia peserta

maupun bukan peserta home care. Pengajuan JSLU yang dilakukan oleh

pendamping tidak hanya ditujukan bagi lansia peserta home care. Lansia yang

miskin, sakit-sakitan, sudah tidak berdaya serta mendapatkan makanan dari

pemberian orang lain, menjadi sasaran utama calon penerima bantuan JSLU

meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care.

Pelayanan kunjungan pendamping 1x/minggu, pemberian modal UEP,

perbaikan kamar lansia, dan pemberian sembako 1x/bulan hanya diperoleh oleh

lansia peserta home care. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendamping dan

dana untuk bisa menjangkau seluruh lansia yang ada di Tegal Alur. Meskipun

demikian, hal ini tetap menunjukkan bentuk kepedulian YEL terhadap lansia,

meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care meningat

kondisi lansia yang secara psikologis mudah merasa iri atau tersinggung jika ada

lansia lain yang mendapatkan perhatian lebih.

Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain

Penyelenggaraan home care di Indonesia, seperti sudah dijelaskan

sebelumnya, merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Korea (HelpAge

Korea) dengan negara ASEAN untuk mengembangkan home care sehingga

model pelayanan yang diberikan didisain sesuai dengan yang diselenggarakan di

Korea dan tetap disesuaikan dengan kebutuhan lokal, sumbedaya yang ada, dan

budaya masing-masing negara. Model home care yang berhasil dilakasanakan di

Korea adalah volunteer based home care (Volunteer-based home help services)

sehingga HelpAge Korea diminta untuk mengembangkan model tersebut di

ASEAN.

Penyelenggaraan home care di Korean dimulai pada tahun 1982,

diselenggarakan oleh NGO (non-goverenment organization) HelpAge Korea

dengan bantuan dana dari HelpAge Internasional, ditujukan untuk mendukung

lansia miskin dan membutuhkan dukungan. Pertama kali dilakukan dengan

memperkenalkan pendamping (relawan) untuk mengurus lansia yang mengalami

imobilitas, berpendapatan rendah, dan dapat melakukan beberapa perawatan

pribadi sendiri. Home care ditujukan bagi lansia miskin, rentan, dan terisolasi

agar bisa hidup mandiri di masyarakat. Pelayanan yang diberikan berupa

bantuan untuk pekerjaan rumah tangga, perawatan pribadi, pertemanan dan

menjalankan tugas-tugas lainnya. Pemerintah Korea sendiri baru mengadopsi

home care menjadi kebijakan nasional pada tahun 1989 dan kemudian

dikembangkan secara nasional dengan bantuan NGO.

Penyelenggaraa home care di negara ASEAN adalah NGO yang peduli

dengan lansia, baik didanai ataupun tidak oleh pemerintah. Tujuan utama home

care adalah untuk membantu lansia yang rentan untuk terus bisa hidup di

keluarga dan masyarakat, baik secara mandiri atau bersama dengan keluarga

mereka. Populasi yang menjadi sasaran home care adalah lansia miskin, yang

sering tinggal sendiri, memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,

membutuhkan dukungan yang tidak didapat dari keluarga. Pelayanan diberikan

di rumah lansia dengan minimal kunjungan 1 kali dalam 1 minggu. Pendamping

bekerja secara sukarela. Pelayanan mendasar yang diberikan adalah berupa

pertemanan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial, yang berarti

meluangkan waktu untuk bercerita dengan lansia yang kesepian dan

membutuhkan dukungan emosional. Di luar itu, jenis pelayanan bersifat fleksibel,

biasanya berupa bantuan pekerjaan rumah tangga, perawatan diri, atau

mengantar lansia ke tempat penting (dokter, acara sosial, rumah ibadah).

Model penyelenggraan home care yang dikembangkan adalah volunteer

based home care yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,

ekonomi kemudian menghasilkan tiga model utama:

1) Volunteer based home care model, penyelenggara home care

menyediakan pelayanan di rumah secara teratur bagi lansia miskin

dan memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,

pendamping dipilih dari masyarakat sekitar. Model ini dikembangkan

di negara Brunei, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand, dan

Vietnam.

2) Volunteer & older peoples association (OPA) based home care

model, penyelenggara home care bekerja sama dengan asosiasi

lansia di masyarakat memberikan pelayanan sukarela. Model ini

dikembangkan di negara Kamboja dan Filipina.

3) Family caregiver support model, penyelenggara home care

menyediakan pelatihan bagi anggota keluarga atau orang lain yang

tinggal bersama lansia di masyarakat untuk merawat lansia. Model ini

dikembangkan di negara Laos.

Secara garis besar dampak dari penyelenggaraan home care di negara

ASEAN mencakup berbagai pihak, 1) Lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi

terisolasi di masyarakat dan berterima kasih kepada pendamping yang selalu

meluangkan waktu untuk mengunjungi mereka dan memungkinkan mereka untuk

tetap tinggal di rumah selama mungkin, 2) Keluarga menjadi lebih peduli kepada

lansia dan mengapresiasi keberadaan pendamping karena dapat menutupi

kurangnya perhatian dari keluarga, 3) Pendamping merasa puas dengan peran

mereka dan merasa bangga dengan keikutsertaan mereka karena mendapat

tanggapan positif dari keluarga sehingga mereka termotivasi untuk melanjutkan

sebagai pendamping, 4) Masyarakat menjadi sadar bahwa masih banyak lansia

miskin dan terlantar sehingga memotivasi mereka untuk lebih perhatian terhadap

kebutuhan dan perubahan yang terjadi pada lansia, 5) Pemerintah menyadari

bahwa home care telah memenuhi kebutuhan lansia yang ingin tinggal di

masyarakat, terbukti hemat biaya dibandingkan dengan sistem pelayanan

institusi lain serta sesuai dengan tradisi dan budaya masing-masing. Program

home care yang telah diperluas ke provinsi lain oleh NGO dengan bantuan

pemerintah baik secara teknis maupun pendanaan diselenggarakan di 4 negara,

yaitu indonesia, Myanmar, Filipina dan Vietnam.

Karakteristik Lansia

Usia

Contoh pada penelitian ini adalah lanjut usia, pria dan wanita yang

berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Jumlah keseluruhan contoh

adalah 60 orang lansia yang diambil dari peserta dan bukan peserta home care

di Kelurahan Tegal Alur masing-masing sebanyak 30 orang.

Tabel 5 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia

Karakteristik Lansia

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Lanjut usia (60-74 tahun) Lanjut usia tua (75-90 tahun)

23 7

76,7 23,3

25 5

83,3 16,7

48 12

80 20

Total 30 100 30 100 60 100

Usia peserta home care berkisar antara 63-84 tahun dengan rata-rata

71,03 tahun dan standar deviasi 4,94 tahun, sedangkan usia bukan peserta

home care berkisar antara 62-84 tahun dengan rata-rata 68,9 tahun dan standar

deviasi 5,74 tahun. Lebih dari separuh peserta home care (66,7%) dan bukan

peserta home care (83,3%) berada pada kelompok usia lanjut usia yaitu antara

60-74 tahun (WHO diacu dalam Komnas Lansia 2008).

Jenis Kelamin

Sebagian besar lansia peserta (83,3%) dan bukan peserta home care

(90%) berjenis kelamin wanita. Lebih lanjut Abikusno (2007) menyebutkan bahwa

wanita merupakan mayoritas populasi lansia, di sebagian besar negara, dan

bahkan mayoritas terbesar pada populasi lanjut usia tua. Usia harapan hidup

wanita pada tahun 2010 mencapai 70,5 tahun dibanding pria yang hanya 66,9

tahun. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun berikutnya. Tabel 7

menunjukkan sebaran lansia menurut jenis kelamin:

Tabel 6 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin

Jenis kelamin

Home care

Peserta Bukan peserta Total

n % n % n %

Perempuan Laki-laki

25 5

83,3 16,7

27 3

90 10

52 8

86,7 13,3

Total 30 100 30 100 60 100

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh lansia pada kedua

kelompok cukup bervariasi, mulai dari lansia yang tidak pernah sekolah sampai

dengan lansia yang pernah mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah

Atas (SMA)/ sederajat (Tabel 7). Berdasarkan hasil penelitian, lansia yang tidak

pernah sekolah memiliki persentase terbesar yaitu 56,7 persen pada peserta

home care dan 40 persen pada lansia bukan peserta home care. Baik pada

peserta maupun bukan peserta home care, lansia tidak menamatkan jenjang

Sekolah Dasarnya (SD) menempati urutan kedua persentase tertinggi yaitu 30

persen peserta home care dan 33,3 persen lansia bukan peserta home care.

Tabel 7 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan

Home Care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat

17 9 3 0 1

56,7 30,0 10,0 0,0 3,3

12 10 5 1 2

40,0 33,3 16,7 3,3 6,7

29 19 8 1 3

48,3 31,7 13,3 1,7 5,0

Total 30 100 30 100 60 100

Lansia menyebutkan bahwa alasan mereka tidak pernah bersekolah atau

tidak menamatkan SD karena mereka lahir dan mengalami masa kanak-kanak

pada masa kolonial dan awal kemerdekaan RI. Selain jumlah sekolah yang

masih terbatas, akses untuk menuju sekolah dirasa sulit.

Hal ini sejalan dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan

persenyase penduduk lansia yang berpendidikan rendah relatif tinggi. Lansia

yang tidak atau belum pernah sekolah mencapai 33,98 persen dan 33,95 persen

lansia tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Keterbatasan

fasilitas, sarana dan prasarana akibat sisa-sisa penjajahan pada masa

kemerdekaan menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan lansia (BPS 2008).

Pekerjaan

Baik pada peserta maupun bukan peserta home care, kecenderungan

lansia tidak bekerja cukup besar, lansia peserta home care (90%) lebih banyak

yang tidak bekerja dibandingkan bukan peserta home care (76,7%).

Tabel 8 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan

Pekerjaan

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Petani Buruh Wiraswasta Tidak Bekerja Lainnya

0 1 1

27 1

0,0 3,3 3,3 90,0 3,3

1 5 0 23 1

3,3 16,7 0,0 76,7 3,3

1 6 1 50 2

1,7 10,0 1,7 83,3 3,3

Total 30 100 30 100 60 100

Kondisi ini selain terkait masalah usia, juga diduga dipengaruhi oleh rendahnya

pendidikan lansia. Secara umum lansia akan mengalami penurunan produktivitas

kerja seiring menurunnya kondisi fisik (Komnas Lansia 2008). Persentase lansia

bekerja pada lansia bukan peserta home care (23,3%) lebih tinggi dibandingkan

peserta home care (10%). Lansia peserta home care bekerja sebagai buruh,

wiraswasta dan lainnya, sedangkan lansia bukan peserta home care bekerja

sebagai petani, buruh dan lainnya. Alasan penduduk lansia untuk bekerja antara

lain disebabkan oleh jaminan sosial dan kesehatan yang masih kurang,

disamping desakan ekonomi.

Sumber Pendapatan

Sumber pendapatan merupakan asal biaya utama yang secara rutin

digunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti makan,

pakaian dan tempat tinggal, tidak selalu berupa uang.

Tabel 9 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan

Sumber Pendapatan

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Sosial Anak Cucu Sendiri Pensiunan Lainnya (saudara lain/ tetangga)

2 17 2 3 3 3

6,7 56,7 6,7 10,0 10,0 10,0

0 18 0 7 3 2

0,0 60,0 0,0 23,3 10,0 6,7

2 35 2

10 6 5

3,3 58,3 3,3 16,7 10,0 8,3

Total 30 100 30 100 60 100

Dilihat dari sumber pendapatan secara total yang diterima baik oleh lansia

peserta maupun bukan peserta home care, bantuan yang berasal dari anak

menduduki persentase paling tinggi yaitu 56,7 persen (peserta home care) dan

60 persen (bukan peserta home care). Berdasarakan hasil wawancara, bantuan

yang diberikan sebagian besar berupa makanan, disamping pakaian, tempat

tinggal serta pengobatan. Makanan untuk lansia sudah disediakan oleh anaknya

baik berupa bahan mentah maupun makanan yang siap saji.

Peringkat kedua sumber pendapatan pada lansia peserta home care

berasal dari sendiri (10%), pensiunan (10%) dan lainnya (10%). Pada lansia

bukan peserta home care peringkat kedua sumber pendapatan adalah sendiri

(23,3%), artinya pada lansia bukan peserta home care lebih banyak yang masih

bekerja untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Status Pernikahan

Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar lansia baik peserta maupun bukan

peserta home care berstatus cerai mati. Persentase lansia berstatus cerai mati

pada peserta home care (80%) lebih tinggi dibandingkan pada lansia bukan

peserta home care (73,3%). Lansia bukan peserta home care (26,7%) lebih

banyak yang masih menikah dibandingkan lansia peserta home care (20%).

Tabel 10 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan

Status pernikahan

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Menikah Cerai Mati

6 24

20 80

8 22

26,7 73,3

14 46

3,3 76,7

Total 30 100 100 100 60 100

Living Arrangement

Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama

lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living

arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini

berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan

pendamping (caregiver). Lansia yang tinggal sendiri lebih banyak yang miskin

dibandingkan mereka yang tinggal bersama. Living arrangement dikelompokkan

menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (anak, cucu ataupun

keluarga lain). Pada penelitian ini, lansia yang tinggal sendiri memiliki dua

kemungkinan, pertama lansia memang tidak memiliki kerabat sehingga tinggal

sendiri, kedua lansia yang masih memilki kerabat namun memilih untuk tinggal

sendiri dengan berbagai alasan.

Tabel 11 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement

Living arrangement

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Tinggal sendiri Tinggal bersama

3 27

10 90

4 26

13,3 86,7

7 53

11,7 88,3

Total 30 100 30 100 60 100

Sebagian besar peserta home care (90%) dan bukan peserta home care

(86,7%) berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih

banyak tinggal bersama dengan anak beserta cucu dalam satu rumah. Bagi

lansia yang masih berstatus menikah, selain tinggal bersama anak-cucu, juga

tinggal dengan pasangan hidupnya dalam satu rumah.

Sebagian kecil peserta home care (10%) dan bukan peserta home care

(13,3%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara mendalam menyebutkan,

kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah

membangun keluarga baru sehingga meninggalkan orang tua. Meskipun anak-

anaknya mengajak untuk tinggal bersama, tetapi lansia menolak karena merasa

akan menjadi beban. Komnas Lansia (2008) menyebutkan lebih lanjut bahwa

terdapat pergeseran struktur keluarga mengarah menjadi keluarga inti. Kondisi ini

sangat berpengaruh terhadap lansia karena perhatian pada lansia berkurang dan

di sisi lain membuat lansia beranggapan kehadirannya tidak berguna dan hanya

menjadi beban anak.

Konsumsi Pangan

Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang

dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.

Konsumsi pangan dikelompokkan menjadi pangan sumber karbohidrat, sumber

protein hewani, sumber protein nabati, sayur-mayur, buah-buahan serta pangan

lainnya. Pangan yang disajikan di bawah merupakan pangan yang dikonsumsi

oleh minimal 10 persen lansia (lampiran 1).

Pangan Sumber Karbohidrat. Karbohidrat memegang peranan penting

dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi penduduk di dunia

karena banyak di dapat dari alam dan harganya relatif murah. Satu gram

karbohidrat menghasilkan 4 Kal. Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau

serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering dan gula. Hasil olahan seperti

bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup juga merupakan pangan sumber

karbohidrat (Almatsier 2004).

Tabel 12 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Sumber Karbohidrat

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi Konsumsi (kali/minggu): Nasi 16,33 3,83 17,73 4,77

Biskuit/krakers 2,31 2,06 4,53 4,68 Ubi dan hasil olahan 2,07 3,49 1,12 1,01 Roti 2,02 1,87 3,01 2,73 Singkong dan hasil olahan 1,53 1,81 2,94 3,93 Mie 0,98 0,83 2,42 2,58 Kentang dan hasil olahan 0,00 0,00 2,54 3,09 Total 25,25

34,29

Jumlah konsumsi (g/hari):

Nasi 375,0 105,7 386,7 107,4 Singkong dan hasil olahan 25,4 23,7 56,5 100,6 Ubi dan hasil olahan 17,5 25,2 10,7 10,8 Roti 15,9 11,8 23,0 21,8 Biskuit/krakers 12,7 12,6 22,4 19,2 Mie 12,0 12,2 12,7 15,1 Kentang dan hasil olahan 0,0 0,0 12,9 14,5

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa frekuensi konsumsi nasi pada

lansia peserta dan bukan peserta home care adalah 16,3 dan 17,7 kali per

minggu atau 2,33 dan 2,53 kali per hari. Secara kuantitatif, rata-rata konsumsi

nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih

banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari). Hal ini

menunjukkan bahwa nasi masih merupakan makanan pokok sebagian besar

lansia yang diteliti. Berat yang dikonsumsi ini sudah cukup memenuhi Pedoman

Umum Gizi Seimbang (PUGS). Menurut PUGS, dalam sehari konsumsi

nasi/pengganti bagi lansia yaitu 1 ½ - 2 piring dalam sehari atau setara 300-400

gram nasi dalam sehari.

Selain nasi, sumber karbohidrat lain seperti kentang, singkong, ubi jalar

serta hasil olahan tepung (mie dan biskuit) dikonsumsi 0,98-4,5 kali per minggu

(Tabel 13). Meskipun pangan-pangan tersebut dapat dijadikan alternatif pangan

sumber karbohidrat, bagi masyarakat Indonesia secara umum, makanan tersebut

tidak dijadikan sebagai sumber energi utama.

Protein hewani. Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang

penting dalam makanan sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk

sintesis protein tubuh dan senyawa lain yang mengandung protein (Gibson

2005). Protein menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu

protein hewani (berasal dari hewan) dan protein nabati (berasal dari tumbuhan).

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier

2004).

Tabel 13 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Protein hewani

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Ikan basah 4,37 5,40 4,72 4,52

Telur 3,52 2,20 3,35 2,27 Susu 2,89 2,29 5,83 2,17 Daging ayam 1,76 1,85 2,63 2,26

Ikan diawetkan 1,20 2,06 2,72 2,21

Daging sapi 0,57 0,49 1,07 2,15

Udang dan hewan air lainnya segar 0,40 0,16 0,95 0,77

Total 14,70

21,26 Jumlah konsumsi (g/hari):

Telur 27,4 15,4 26,7 15,2 Ikan basah 22,2 20,9 26,4 28,3 Susu 17,7 11,0 29,6 11,4 Daging ayam 8,8 8,2 12,8 11,0 Ikan diawetkan 5,7 8,2 7,1 4,2 Daging sapi 4,2 3,5 8,9 15,2 Udang dan hewan air lainnya segar 2,6 1,2 2,7 1,3

Pangan sumber protein yang paling sering dikonsumsi pada lansia

peserta home care secara berurutan adalah ikan basah, telur dan susu dengan

rata-rata frekuensi masing-masing 4,37; 3,52 dan 2,89 kali per minggu,

sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, ikan basah dan

telur dengan rata-rata frekuensi masing-masing 5,83; 4,72 dan 3,35 kali per

minggu. Hal ini menandakan bahwa pada kedua kelompok, protein hewani hanya

dikonsumsi mingguan bahkan untuk daging serta udang dan hewan air lainnya

dikonsumsi kurang dari satu kali seminggu.

Bahan pangan sumber protein hewani yang jumlahnya paling banyak

dikonsumsi lansia peserta home care secara berurutan adalah telur, ikan basah

dan susu dengan jumlah konsumsi masing-masing 27,4; 22,2 dan 17,7 gram per

hari sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, telur dan

ikan basah dengan jumlah konsumsi masing-masing 29,6; 26,7 dan 26,4 gram

per hari. Menurut PUGS, konsumsi protein hewani 2 potong atau setara 100

gram daging sapi perhari. Jika berat pangan dikalikan dengan frekuensi pangan

per minggu, kemudian dikonversikan dalam satuan hari maka akan kurang dari

anjuran PUGS.

Protein nabati. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan

hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai

merupakan sumber protein nabati yang memiliki mutu atau nilai biologi tertinggi

(Almatsier 2004). Meskipun kacang-kacangan memiliki memiliki kekurangan

dalam beberapa asam amino, akan tetapi campuran makanan nabati jika

dikonsumsi bersamaan maka dapat berfungsi sebagai pengganti protein hewani

(Latham 1997).

Tabel 14 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Protein nabati

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi konsumsi (kali/minggu):

Tahu 7,82 4,02 10,65 5,26 Tempe 7,81 4,25 11,57 5,21 Kacang-kacangan lain 2,36 2,47 1,54 2,04 Oncom 0,00 0,00 3,54 6,64 Total 17,99

27,29

Jumlah konsumsi (g/hr): Tahu 69,2 30,0 74,1 33,8

Tempe 39,5 21,2 51,6 29,7 Kacang-kacangan lain 8,4 8,5 7,6 8,1 Oncom 0,0 0,0 3,5 3,6

Berdasarkan Tabel 14, konsumsi pangan sumber protein nabati relatif

sama. Pangan olahan kacang kedelai, tahu dan tempe, merupakan pangan yang

paling sering dikonsumsi. Lansia peserta home care mengonsumsi tahu dan

tempe masing-masing 7,82 dan 7,81 kali per minggu atau 1,12 kali per hari,

sedangkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi masing-masing 10,65

dan 11,57 kali per minggu atau 1,52 dan 1,65 kali per hari. Hal ini menunjukkan

bahwa tahu dan tempe merupakan sumber protein utama pada lansia peserta

dan bukan peserta home care.

Secara kuantitatif, lansia bukan peserta home care mengonsumsi tahu

(74,1 g/hr) dan tempe (51,6 g/hr) lebih banyak dibandingkan lansia peserta yaitu

69,2 g/hr (tahu) dan 39,5 g/hr (tempe). Hal ini sejalan dengan penelitian

Kusumaratna (2008) yang menunjukkan bahwa asupan protein utama pada

lansia berasal dari protein nabati, seperti produk olahan kacang kedelai (tahu

dan tempe). Menurut PUGS, konsumsi protein nabati adalah 3 potong sehari

atau setara dengan 150 gram tempe. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata jumlah

protein nabati yang dikonsumsi sudah memenuhi anjuran PUGS. Hal ini dikarena

beberapa lansia mengurangi konsumsi protein hewani dan menggantinya

dengan protein nabati dengan berbagai alasan baik karena kurang ekonomi

maupun alasan kesehatan.

Sayur-mayur. Sayur-mayur dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

tiga yaitu, sayuran berdaun hijau, sayuran buah dan sayuran lain. Sayuran

berdaun hijau yang dikonsumsi oleh lansia yaitu bayam, kangkung, sawi, daun

ketela pohon, daun lompong talas, daun katuk, genjer dan daun kecipir. Sayuran

buah meliputi wortel, mentimun, terong, leunca, jengkol, labu, nangka serta

tomat. Sayuran lain meliputi sayur olahan dan sayuran lain yang tidak termasuk

dalam kedua kelompok sebelumnya.

Tabel 15 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Sayur-mayur Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Sayur-mayur

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi konsumsi (kali/minggu):

Sayur lain 5,33 4,61 4,64 4,87 Sayur daun hijau 5,14 4,66 5,46 3,97 Sayur buah/akar 3,51 3,94 4,47 6,34 Total 13,97

14,57

Jumlah konsumsi (g/hr): Sayur lain 47,8 32,9 37,6 22,8

Sayur daun hijau 43,6 37,4 45,1 41,2 Sayur buah 29,1 28,0 29,6 34,8

Tabel 15 menunjukkan data mengenai konsumsi sayur-mayur, tampak

bahwa lansia peserta home care mengonsumsi sayur lain (5,33 kali/minggu)

lebih sering dibandingkan kelompok sayur berdaun hijau (5,14 kali/minggu) dan

sayur buah (3,51 kali/minggu). Lansia bukan peserta home care mengonsumsi

sayuran berdaun hijau (5,46 kali/minggu) lebih sering dibandingkan sayur buah

(4,47 kali/minggu) dan sayur lain (4,64 kali/minggu). Secara kuantitatif, lansia

peserta home care mengonsumsi sayur lain (47,8 g/hari) lebih banyak

dibandingkan sayur berdaun hijau dan sayur buah, sedangkan lansia bukan

peserta home care mengonsumsi sayur berdaun hijau (45,1 g/hr) lebih banyak

dibandingkan sayur lain dan sayur buah.

Baik secara frekuensi dan kuantitatif, lansia bukan peserta home care

mengonsumsi lebih banyak sayur dibandingkan lansia peserta home care. Jika

berat sayuran yang dimakan dikali dengan frekuensi makan dalam satu minggu

kemudian dikonversikan dalam hari maka sudah memenuhi yang dianjurkan di

dalam PUGS yaitu sekitar 1-2 mangkok sayur atau setara 100-200 gram sayur

per hari.

Buah-buahan. Nilai gizi utama yang terkandung dalam buah adalah

vitamin C dan beberapa karoten (Latham 1997). Konsumsi buah dianjurkan

untuk memenuhi makanan lengkap dan seimbang. Tabel 16 menunjukkan bahwa

konsumsi buah-buahan relatif rendah. Buah yang paling sering dikonsumsi lansia

peserta dan bukan peserta home care adalah salak, masing-masing 1,78 kali per

minggu dan 2,94 kali per minggu.

Jenis buah yang paling banyak dikonsumsi oleh peserta home care

adalah mangga (28,3 g/hari), sedangkan buah yang paling banyak dikonsumsi

oleh lansia bukan peserta home care adalah pepaya (42,7 g/hari). Mangga dan

pepaya memiliki berat per porsi yang lebih besar dibandingkan salak per porsi

sehingga secara kuantitatif mangga dan pepaya dikonsumsi lebih banyak pada

kedua kelompok, sedangkan buah yang paling sering dikonsumsi adalah salak.

Menurut PUGS, konsumsi buah yang dianjurkan adalah 3 porsi atau setara 300

gram pepaya sehari. Rata-rata berat yang dimakan masih sangat rendah

dibawah yang dianjurkan. Jika dilihat dari total rata-rata frekuensi konsumsi buah,

buah dikonsumsi hanya satu kali per hari.

Tabel 16 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Buah-buahan Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Buah-buahan

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Salak 1,78 2,94 0,47 0,44

Jeruk 1,71 2,66 1,59 2,20 Semangka 1,67 1,98 1,80 1,36 Melon 1,51 1,62 1,27 1,17 Pepaya 1,33 1,75 2,80 3,66 Pisang ambon 1,29 2,05 1,81 1,93 Pisang lampung 1,13 2,13 1,59 1,13 Mangga 0,91 1,18 0,66 0,72 Apel 0,56 0,39 0,77 0,74 Pir 0,35 0,16 0,00 0,00 Anggur 0,22 0,23 0,00 0,00 Pisang raja 0,00 0,00 0,30 0,16 Jambu air 0,00 0,00 0,89 0,94 Total 12,45

13,96

Jumlah Konsumsi (g/hari): Mangga 28,3 38,7 16,3 15,3

Pisang lampung 24,0 34,8 20,1 16,8 Pisang ambon 21,3 49,4 20,6 28,7 Pepaya 20,4 24,6 42,7 52,0 Salak 14,1 20,4 4,1 2,7 Semangka 13,6 9,7 26,2 19,3 Pir 12,3 8,7 0,0 0,0 Jeruk 12,0 18,0 17,3 22,3 Melon 11,1 9,0 13,0 6,1 Apel 8,9 6,4 14,8 14,1 Anggur 6,6 11,0 0,0 0,0 Pisang raja 0,0 0,0 5,4 3,6 Jambu air 0,0 0,0 11,9 12,0

Selain itu, buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia pada

kedua kelompok adalah pisang dan jeruk. Hal ini diduga buah-buahan tersebut

selain mudah diperoleh karena dapat tumbuh sepanjang waktu, juga mudah

dikunyah karena tekstur buah lunak.

Pangan lainnya. Selain konsumsi pangan sebagai menu utama, terdapat

beberapa pangan yang juga dikonsumsi sebagai makanan selingan. Tabel 17

menunjukkan bahwa jenis pangan yang sering dikonsumsi oleh lansia peserta

home care adalah kopi dengan rata-rata konsumsi 10,89 kali per minggu atau

1,56 kali per hari, sedangkan lansia bukan peserta home care lebih sering

mengonsumsi bakwan dengan rata-rata konsumsi 8,79 kali per minggu atau 1,26

kali per hari.

Selain kopi dan bakwan, teh manis dan pisang goreng hampir dikonsumsi

setiap hari oleh lansia pada kedua kelompok (Tabel 17). Kopi memiliki nilai gizi

yang rendah tanpa penambahan susu atau gula, akan tetapi kopi disukai karena

rasa dan efek stimulan yang ditimbulkan. Kafein yang terkandung di dalam kopi

menjadi penyebab utama stimulasi pada sistem syaraf pusat . Sama halnya

dengan kopi, teh mengandung kafein yang cukup tinggi. Meskipun kafein tidak

menyebabkan keracunan, pada beberapa orang, efek kafein dapat

menyebabkan sulit tidur, perasaan gelisah, nadi yang tidak teratur dan tremor

otot (Wiseman 2002).

Tabel 17 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Lainnya Peserta dan Bukan Peserta Home Care

Pangan lainnya

Home care

Peserta Bukan

Rata-rata SD Rata-rata SD

Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Kopi 10,89 5,09 6,35 1,94

Bakwan 9,80 3,83 8,79 5,18 Teh manis 7,00 0,00 6,70 0,95 Pisang goreng 5,24 4,89 6,06 3,46 Kue-kue tradisional 2,53 3,02 2,61 2,76 Mie bakso 0,60 0,44 0,87 1,00 Jumlah konsumsi (g/hari):

Bakwan 72,0 27,4 67,9 34,1 Pisang goreng 57,7 51,4 64,8 41,4 Kopi 44,3 19,2 25,8 8,9 Teh manis 23,6 3,3 1,3 0,9 Kue-kue tradisional 20,0 24,9 22,6 21,8 Mie bakso 13,0 9,4 19,1 27,7

Keterangan: *)penggunaan gula

Secara kuantitatif, pada lansia peserta dan bukan peserta home care

pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah bakwan, dimana jumlah

konsumsi lansia peserta (72 g/hr) lebih banyak dibanding lansia bukan peserta

home care (67,9 g/hari). Bakwan memiliki berat per porsi yang lebih tinggi

dibanding kopi sehingga secara kuantitatif bakwan dikonsumsi lebih banyak,

sedangkan pangan yang dikonsumsi paling sering adalah kopi.

Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi jumlah konsumsi pangan per

hari. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor,

vitamin A dan vitamin C. Rata-rata konsumsi zat gizi ini kemudian akan

dibandingkan dengan AKG yang dianjurkan bagi lansia untuk melihat tingkat

kecukupannya (Lampiran 2).

Tabel 18 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care

No Zat Gizi

Home care (rata-rata ± sd)

Asupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi (%)

Peserta Bukan Peserta Bukan

1 Energi (Kal) 1478 ± 329,42 1605 ± 306,15 87,5 ± 17,68 95,9 ± 18,83 2 Protein (g) 38,4 ± 10,12 42,8 ± 13,27 80,0 ± 19,04 90,0 ± 27,49 3 Kalsium (mg) 411,2 ± 174,80 473,6 ± 204,61 51,4 ± 21,85 59,2 ± 25,58 4 Fosfor (mg) 623,9 ± 170,23 696,6 ± 203,55 104,0 ± 28,37 116,1 ± 33,92 5 Vitamin A (RE) 590,9 ± 464,74 494,3 ± 339,47 114,1 ± 85,49 97,1 ± 65,44 6 Vitamin C (mg) 56,5 ± 46,79 56,6 ± 40,58 73,1 ± 60,67 74,9 ± 54,57

Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia peserta home care (1478 Kal)

lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (1605 Kal) (Tabel 18).

Persentase rata-rata tingkat kecukupan energi lansia bukan peserta home care

(95,9%) lebih tinggi dibandingkan lansia peserta home care (87,5%). Jika

dikategorikan, maka rata-rata tingkat kecukupan energi peserta home care

berada pada kategori defisist tingkat ringan (80-89%), sedangkan pada lansia

bukan peserta home care normal (90-119% AKG). Uji T menunjukkan tidak ada

perbedaan nyata konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi pada kedua

kelompok (p>0,05).

Beberapa penelitian mengenai konsumsi pangan pada lansia juga

menunjukkan hal serupa, tidak ada lansia yang memenuhi 100 persen kebutuhan

energinya. Penelitian Nadhira (2006) pada lansia laki-laki di Ciampea, Bogor

menunjukkan tingkat kecukupan energi sebesar 85,9 persen. Depkes (2010)

menyatakan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi usia 56 tahun keatas

hanya mencapai 86,9 persen.

Menurut Schlenker (2000), konsumsi energi pada manusia usia lanjut

seringkali menjadi masalah karena banyak manusia usia lanjut yang

mengonsumsi energi di bawah kecukupan yang dianjurkan. Hal ini antara lain

disebabkan karena berkurangnya nafsu makan akibat menurunnya indera

pencicip, kesulitan dalam mengolah makanan akibat kondisi fisiologis, serta

rendahnya ketersediaan pangan karena faktor ekonomi dan lingkungan.

Protein. Rata-rata konsumsi protein pada lansia bukan peserta home

care (42,8 gram) lebih tinggi dibandingkan konsumsi peserta home care (38,4

gram). Rata-rata tingkat kecukupan protein peserta home care 80 persen dan 90

persen pada lansia bukan peserta home care. Jika dikategorikan, rata-rata

tingkat kecukupan protein lansia peserta termasuk ke dalam kategori defisit

ringan (80-89%) sedangkan pada lansia bukan peserta termasuk kategori normal

(90-119%). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi protein nabati, hasil olahan

kacang kedelai (tahu dan tempe), lebih besar pada lansia bukan peserta home

care. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) baik konsumsi

protein maupun tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok.

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa rata-

rata tingkat kecukupan protein usia 56 tahun ke atas mencapai 91,7 persen.

Sebanyak 49,2 persen penduduk Indonesia usia 56 tahun ke atas masih

mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (80%) (Depkes 2010).

Kalsium. Rata-rata konsumsi kalsium lansia peserta home care (411,2

mg) lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (473,6 mg). Hal ini

diduga karena jumlah konsumsi susu pada lansia peserta home care lebih

sedikit. Almatsier (2004) menyebutkan bahwa susu dan produk susu (yoghurt

dan keju) merupakan sumber kalsium utama. Rata-rata tingkat kecukupan

kalsium lansia peserta home care hanya mencapai 51,4 persen sedangkan pada

lansia bukan peserta home care mencapai 59,2. Hal ini berarti, tingkat

kecukupan kalsium pada kedua kelompok berada pada kategori kurang (<77%

AKG). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi susu dan hasil olahannya masih

rendah. Selain karena faktor ekonomi, beberapa lansia cenderung tidak

mengonsumsi susu karena bau amis yang ditimbulkan. Uji T menunjukkan tidak

ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium

pada kedua kelompok.

Fosfor. Rata-rata konsumsi fosfor pada peserta home care (623,9 mg)

lebih rendah dibanding bukan peserta home care (696,6 mg). Tingkat kecukupan

fosfor lansia peserta home care hanya mencapai 104 persen, lebih rendah

dibandingkan lansia bukan peserta home care yang mencapai 116,1 persen. Jika

dikategorikan, tingkat kecukupan kalsium dan fosfor lansia peserta dan bukan

peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77%). Uji T menunjukkan tidak

ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan fosfor pada

kedua kelompok.

Vitamin A. Rata-rata konsumsi vitamin A pada peserta home care (590,9

RE) lebih tinggi dibandingkan bukan peserta home care (494,3 RE). Hal ini

diduga karena jumlah konsumsi sayuran, sumber karotenoid provitamin A, pada

peserta home care lebih tinggi (Tabel 16). Ahmed & Darnton-Hill (2008)

menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga asupan vitamin A di negara industri

berasal dari sumber makanan hewani yang sudah terbentuk sebelumnya

(performed), sementara di negara berkembang masyarakat bergantung pada

senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber makanan nabati.

Tingkat kecukupan vitamin A peserta home care mencapai 114,1 persen,

sedangkan pada lansia bukan peserta home care tingkat kecukupannya 97,1

persen. Jika dikategorikan, tingkat kecukupan vitamin A pada lansia peserta dan

bukan peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77% AKG). Uji T

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat

kecukupan pada kedua kelompok.

Vitamin C. Rata-rata konsumsi vitamin C pada kedua kelompok tidak

jauh berbeda. Konsumsi pada peserta home care sebesar 56,5 mg dengan

tingkat kecukupan 73,1 persen, sedangkan lansia bukan peserta home care

mengonsumsi sebesar 56,6 mg dengan tingkat kecukupan 74,9 persen. Tingkat

kecukupan vitamin C pada kedua kelompok masih tergolong dalam kategori

kurang (<77% AKG). Rendahnya konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C

diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya) dan beberapa sayur

(sayuran daun-daunan dan jenis kol), sebagai sumber utama vitamin C, masih

sedikit. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0,05) konsumsi dan

tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok.

Status Kesehatan

Keluhan Kesehatan

Status kesehatan bagi penduduk lansia tidak boleh terlupakan saat

penilaian status gizi dan sangat penting karena pada umumnya daya tahan tubuh

mereka telah berkurang sehingga mengakibatkan seseorang menjadi rentan atau

mudah terserang penyakit. Indikator kesehatan antara lain angka keluhan

kesehatan, rata-rata lama sakit dan cara berobat penduduk lansia (BPS 2008).

Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi

berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir,

termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh.

Tabel 20 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan

Keberadaan keluhan kesehatan

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Tidak ada keluhan 3 10,0 5 16,7 8 13,3 Terdapat 1 jenis keluhan 8 26,7 9 30,0 17 28,3 Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan 19 63,3 16 53,3 35 58,3

Total 30 100 30 100 60 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa secara secara keseluruhan persentase

terbesar (58,3%) lansia mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan

terakhir. Lebih dari separuh lansia peserta home care (63,3%) dan bukan peserta

home care (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan

terakhir. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 2008 yang

menunjukkan bahwa 55,42 persen lansia mengalami keluhan kesehatan dalam

satu bulan terakhir (BPS 2008). Hal ini menggambarkan bahwa secara umum

derajat kesehatan penduduk lansia cenderung masih rendah. Uji Mann Whitney

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami

lansia peserta home care dan bukan peserta home care (p>0,05). Hal ini diduga

karena pelayanan kesehatan yang diperoleh lansia relatif sama.

Kegiatan ramah lansia yang menyertakan pemeriksaan kesehatan rutin

setiap bulan dapat diikuti oleh seluruh lansia yang berada di wilayah pelayanan

sehingga lansia peserta maupun bukan peserta home care bisa mendapatkan

pelayanan pemeriksaan kesehatan yang sama. Apabila lansia mengalami sakit

diluar pemeriksaan, baik lansia peserta home care maupun bukan peserta home

care dapat tetap melakukan pengobatan gratis ke puskesmas setempat. Selain

itu, metode yang digunakan untuk memperoleh data jenis penyakit yang diderita

lansia adalah wawancara langsung, sehingga kecenderungan lebih subjektif dan

memungkinkan terdapat jenis penyakit yang tidak teridentifikasi lansia, terutama

pada jenis penyakit yang memerlukan pemeriksaan klinis.

Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan

Keberadaan keluhan kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan

menjadi tiga yaitu penyakit infeksi, berbagai keluhan yang dialami satu bulan

terakhir serta penyakit non infeksi meskipun saat wawancara tidak kambuh.

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti

bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994). Jenis penyakit infeksi yang

paling banyak diderita lansia adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut),

lansia peserta home care (33,3%) lebih sedikit menderita ISPA dibandingkan

lansia bukan peserta home care (36,7%). Rahardjo et al. (2009) menyatakan

bahwa pada lansia, khususnya lansia di Indonesia, penyakit infeksi akut juga

masih sering terjadi seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penyakit

diare dialami oleh sebanyak 3,3 persen lansia peserta dan dan 10 persen lansia

bukan peserta home care. Lansia yang terkena demam dalam satu bulan terakhir

sebanyak 10 persen pada lansia peserta dan 16,7 persen pada lansia bukan

peserta home care. Tuberculosis (TBC) hanya diderita oleh lansia bukan peserta

home care dalam jumlah yang sedikit. (Tabel 21).

Tabel 21 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan*

Keberadaan keluhan kesehatan

Home care

Peserta Bukan

n % n %

Infeksi Diare 1 3,3 3 10,0 ISPA 10 33,3 11 36,7 Demam 3 10,0 5 16,7 TBC 0 0,0 1 3,3

Non infeksi Astma (sesak napas) 3 10,0 3 10,0 Hipertensi 7 23,3 5 16,7 Katarak 4 13,3 1 3,3 Rematik 4 13,3 2 6,7 Diabetes 2 6,7 2 6,7 Asam urat 2 6,7 5 16,7 Penyakit jantung 1 3,3 1 3,3 Maag 3 10 5 16,7

Keluhan Pusing 4 13,3 5 16,7

Gatal/alergi 2 6,7 1 3,3 Pegal-pegal 7 23,3 5 16,7 Tangan/kaki kesemutan 5 16,7 2 6,7 Bongkok 2 6,7 0 0,0 Jatuh 1 3,3 0 0,0

Keterangan: *)satu orang bisa menderita lebih dari 1 penyakit

Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah

hipertensi (23,3 %), katarak (13,3 %) dan rematik (13,3 %), sedangkan pada

lansia bukan peserta yang paling banyak diderita adalah hipertensi, asam urat

dan maag masing-masing 16,7 %. Schlenker (2000) menyatakan bahwa

hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang

seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita.

Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia.

Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta adalah pegal-

pegal (23,3 %), sedangkan lansia bukan peserta paling banyak merasakan

pegal-pegal dan pusing masing-masing 16,7 %. Selain itu, keluhan yang dialami

lansia berupa gatal-gatal, tangan/kaki kesemutan, bongkok dan jatuh. Berbagai

keluhan yang dirasakan lansia diduga berhubungan dengan penyakit yang

diderita lansia, misal keluhan pegal-pegal dapat timbul karena penyakit rematik.

Lama dan Frekuensi Sakit

Lama dan frekuensi sakit yang dibahas adalah lama dan frekuensi sakit

penyakit infeksi yang akan digunakan dalam analisis statistik. Tabel 22

menunjukkan rata-rata lama dan frekuensi sakit peserta dan bukan peserta home

care cukup bervariasi.

Tabel 22 Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir

Penyakit infeksi

Home care (rata-rata ± sd)

Peserta Bukan

Lama sakit (hari)

Frekuensi (kali/bln)

Lama sakit (hari)

Frekuensi (kali/bln)

Diare 3,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,6 1,0 ± 0,0 ISPA 6,2 ± 1,7 1,1 ± 0,3 4,5 ± 2,3 1,0 ± 0,0 Demam 2,3 ± 1,2 1,3 ± 0,6 2,6 ± 1,1 1,4 ± 0,5 TBC 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 20,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0

Rata-rata lama sakit pada lansia peserta home care bervariasi antara 2

hingga 6 hari dan frekuensi berkisar antara 1 hingga 1,3 kali. Pada lansia bukan

peserta home care, lama sakit berkisar antara 1 hingga 20 hari dan frekuensi 1

hingga 1,4 kali dalam satu bulan terakhir. Pada lansia peserta home care, lama

sakit terpanjang adalah penyakit ISPA (6 hari), sedangkan pada lansia bukan

peserta home care lama sakit terpanjang adalah TBC (20 hari). Frekuensi sakit

yang paling sering dideria dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun

bukan peserta home care adalah demam, dimana 1,3 kali pada lansia peserta

home care dan 1,4 kali pada lansia bukan peserta home care.

Tindakan Pengobatan

Seseorang yang mengalami sakit biasanya melakukan berbagai cara

agar kesehatannya cepat pulih kembali, salah satu cara yang dilakukan adalah

berobat (BPS 2008). Tindakan pengobatan yang dilakukan antara lain berobat ke

pelayanan kesehatan formal (puskesmas/dokter/bidan), membeli obat warung

dan pengobatan tradisional.

Tabel 23 Tindakan pengobatan yang dilakukan lansia peserta dan bukan peserta home care

Tindakan pengobatan

Home care

Peserta Bukan

n % n %

Puskesmas 15 50,0 4 13,3 Dokter 6 20,0 8 26,7 Obat Warung 8 26,7 14 46,7 Obat Tradisional 1 3,3 4 13,3

Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa separuh (50 %) lansia peserta home

care memilih pergi ke puskesmas untuk tempat berobat, sedangkan 46,7 persen

lansia bukan peserta home care memilih untuk menggunakan obat warung dalam

mengatasi gangguan kesehatan yang dialami. Meskipun diberlakukan

pengobatan gratis bagi seluruh lansia yang berada di Tegal Alur, lansia bukan

peserta home care (13,3%) lebih sedikit yang memanfaatkan fasilitas ini

dibandingkan lansia peserta home care. Hal ini diduga karena lansia peserta

home care bisa mengandalkan pendamping untuk mengantar lansia ke

puskesmas saat mengalami gangguan kesehatan, sedangkan lansia bukan

peserta home care tidak bisa sehingga terkadang tidak ada yang bisa menemani

lansia untuk pergi ke puskesmas.

Lansia mengungkapkan berbagai alasan dalam memilih tindakan

pengobatan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang dialami seperti karena

merasa sudah cocok, pertimbangan biaya serta persepsi tingkat keparahan

penyakit yang mereka alami. Lansia peserta dan bukan peserta home care

memilih dokter karena merasa penyakit yang dialami sudah cukup parah,

sedangkan sedikit lansia pada kedua kelompok masih memilih obat tradisional

(jamu) dengan alasan tidak biasa minum obat-obatan yang berasal dari bahan

kimia.

Tingkat Depresi

Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik-15

(SDG-15). Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini berupa pertanyaan

yang di jawab dengan “ya” atau “tidak”. Pertanyaan ditanyakan kepada lansia,

perasaan yang dialami oleh lansia selama satu minggu terakhir. Pertanyaan

terdiri dari 15 pertanyaan dengan 5 pertanyaan invers (ketika dijawab “tidak”

maka mengindikasikan depresi dan 10 pertanyaan positif (ketika dijawab “ya”

maka mengindikasikan depresi)

Gambar 5 Sebaran jawaban SDG lansia per pertanyaan

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

peserta (%)

bukan peserta(%)

Keterangan: *)pertanyaan invers (pertanyaan 1, 5, 7, 11, 13) 1. Apakah anda puas dengan kehidupan sekarang? 2. Apakah anda mengurangi kegemaran atau aktivitas biasanya? 3. Apakah anda merasa hidup ini hampa? 4. Apakah anda merasa sering bosan? 5. Apakah anda memilki semangat yang cukup baik pada sebagian besar

waktu? 6. Apakah anda takut sesuatu hal buruk akan terjadi? 7. Apakah anda merasa bahagia/ gembira pada sebagian besar waktu? 8. Apakah anda merasa tidak berdaya? 9. Apakah anda memilih tinggal di rumah, dibanding melakukan hal baru? 10. Apakah anda memiliki masalah dengan ingatan dari biasanya? 11. Apakah anda berpikir bahwa bisa hidup sampai saat ini adalah sesuatu yang

menyenangkan? 12. Apakah anda merasa tidak berharga dengan anda sekarang? 13. Apakah anda merasa penuh dengan energi? 14. Apakah anda merasa keadaan saat ini kurang tidak ada harapan? 15. Apakah anda merasa sebagian besar orang lebih baik dari pada anda?

Pada lansia peserta home care, persentase terbesar (43,3%) lansia

menjawab “ya” pada pertanyaan memilih untuk tinggal di rumah dibanding

melakukan hal baru (pertanyaan ke 9). Hal ini diduga diakibatkan karena lansia

peserta home care memiliki keluhan kesehatan yang lebih banyak (Tabel 22).

Terdapat lansia peserta home care yang mengalami jatuh pada 2 minggu

sebelum wawancara, serta sebanyak 3,6 persen lansia mengalami bongkok.

Keadaan ini membuat lansia lebih memilih tinggal di rumah karena jika

beraktivitas dalam intensitas sedang saja mereka akan merasa kelelahan.

Berikut salah satu pernyataan seorang lansia peserta:

“Nenek mengalami bongkong sudah lama, jangankan untuk keluar bersosialisai dengan yang lain, untuk berjalan di rumah saja sudah capek. Gak kuat berdiri lama-lama, paling cuma bisa duduk di depan pintu karena anak nenek kerja setiap harinya.jadi nenek sendirian di rumah”

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat pada lansia bukan peserta home

care persentase terbesar (53,3%) lansia menjawab “ya” pada pertanyaan

mengalami gangguan pada daya ingat pada satu minggu terakhir (pertanyaan ke

10). Takasihaeng (2000) mengatakan bahwa keadaan lupa berjalan sesuai

dengan makin lanjutnya usia. Selain itu, kedaan ini makin parah dengan adanya

penyakit menahun. Keadaan pelupa tidak dapat diobati, dikurangi atau

dihilangkan, hanya dapat diperlambat. Lansia perlu dibantu keluarga terdekat di

sekelilingnya dengan perhatian. Berikut salah satu pernyataan seorang lansia

peserta:

“Akhir-akhir ini memang nenek sering merasa lupa, misal saat menyimpan barang-barang. Maklum sudah tua, tetapi kadang nenek merasa jadi merepotkan anak karena sering bertanya letak barang-barang nenek”

Jawaban pertanyaan SDG-15 kemudian dikelompokkan menjadi 4

kategori untuk melihat tingkat gejala depresif yang dialami lansia, yaitu normal (0-

4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).

Gambar 6 Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia

peserta (73,3 %) dan lansia bukan peserta home care (66,7 %) tergolong

kategori normal. Hanya terdapat 3,3 persen lansia home care yang mengalami

gejala depresif berat. Hal ini diduga karena kondisi keluhan kesehatan yang

dialami lansia.

Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Hal ini dikarenakan

berbagai program yang diselenggarakan oleh YEL mencakup seluruh lansia baik

peserta maupun bukan peserta home care. Misal, pada kegiatan ramah lansia,

bukan hanya pemeriksaan kesehatan saja yang dilakukan, dilkukan juga

kegiatan-kegiatan lain yang beragam setiap bulannya seperti kreativitas

menyulam atau mengolah sampah plastik. Baik kegiatan ramah lansia maupun

senam lansia ditujukan untuk mempertahankan kondisi lansia pada kesehatan

seutuhnya.

Komnas Lansia (2008) menyebutkan bahwa lansia akan lebih baik jika

mempunyai kegiatan di luar rumah. Jika mereka hanya tinggal di rumah saja

maka akan menjadi cepat tua dan sakit-sakitan. Jika lansia aktif mengikuti

berbagai kelompok lansia, mereka bisa bisa bertemu dengan teman-teman dan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Normal Depresi ringan Depresi sedang

Depresi berat

p>0,05

peserta (%)

bukan peserta(%)

bisa saling bercerita pengalaman. Diharapkan lansia dapat menua secara aktif

(Active Ageing) sehingga bisa terhindar dari gejala depresi.

Status Gizi

Status gizi pada penelitian ini ditentukan berdasarkan Indeks massa

tubuh (IMT), merupakan metode pengukuran antropometri, yang mudah dan

sering digunakan untuk mengidentifikasi seseorang berisiko gizi lebih atau

kurang. Indeks massa tubuh merupakan perbandingan berat badan terhadap

tinggi badan kuadrat dalam meter.

Gambar 7 Sebaran status gizi menurut IMT

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

bagian terbesar (51,7%) status gizi lansia berada pada kategori normal

(18,5≤IMT≤25). Hampir separuh (46,7%) peserta home care dan lebih dari

separuh (56,7%) lansia bukan peserta home care berstatus gizi normal.

Persentase terkecil pada kedua kelompok, lansia berada pada status gizi

obesitas masing-masing 6,7 persen. Muis (2006) menyatakan bahwa kelebihan

gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup pada usia sekitar 50

tahun. Kondisi ekonomi yang membaik membuat akses terhadap makanan yang

enak dan tinggi kalori semakin besar. Kelebihan gizi pada usia 50 tahun akan

membawa lansia pada keadaan obesitas dengan berbagia risiko penyakit

degeneratif seperti dislipidemia dan diabetes mellitus.

Persentase lansia yang mengalami gizi kurang pada lansia peserta home

care (30%) lebih tinggi dibandingkan lansia bukan peserta home care (23,3%).

0

10

20

30

40

50

60

<18,5 18,5-25 > 25 ≥ 30

p>0,05

Peserta (%)

Bukan Peserta (%)

Status gizi kurang yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena

berkurangnya nafsu makan serta kemampuan fungsi penyerapan zat gizi dalam

sistem pencernaan yang menurun. Selain itu, status gizi yang rendah akan lebih

buruk lagi apabila lansia menderita penyakit tertentu seperti infeksi (Supriasa et

al. 2002). Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata

(p>0,05) status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care.

Depkes (2010) dalam laporan Riskesdas menyebutkan bahwa persentase

status gizi penduduk lansia menurut IMT cukup beragam. Lansia laki-laki pada

kelompok usia 60-64 tahun hanya 67,8 persen berstatus gizi normal dan sisanya

17,3 persen berstatus gizi kurang, 7,7 persen berstatus gizi overweight serta 7,1

persen berstatus gizi obesitas. Lansia perempuan pada kelompok usia 60-64

tahun, sebanyak 59,1 persen berstatus gizi normal, 18,5 persen berstatus gizi

kurang, 12,4 persen berstatus gizi obesitas dan 10 persen berstatus gizi

overweight. Persentase lansia bersatus gizi kurang, baik pada perempuan

maupun laki-laki, meningkat dengan semakin bertambahnya usia (65 tahun

keatas), sedangkan persentase lansia berstatus gizi normal, overweight dan

obesitas menurun.

Hubungan Antara Variabel

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan

Zat Gizi

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang nyata

dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi (r= -0,266;

p<0,05), tingkat kecukupan protein (r= -0,283; p<0,05), tingkat kecukupan

kalsium (r=-0,284; p<0,05) dan tingkat kecukupan fosfor (r= -0,338; p<0,05). Hal

ini berarti semakin lama lansia mengalami sakit infeksi, maka tingkat kecukupan

energi, protein, kalsium dan fosfor akan semakin rendah. Suhardjo (1989)

menyebutkan bahwa infeksi akut dapat mengakibatkan kurangnya nafsu makan

dan toleransi terhadap makanan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara

lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C (p>0,05).

Hubungan Status Kesehatan (Keluhan Kesehatan) dengan Tingkat Depresi

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hasil yang nyata dan positif

antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi (r=0,304; p<0,05). Hal ini

berarti semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami lansia, maka tingkat

depresi pun akan semakin tinggi. Smith (2010) menyebutkan bahwa salah satu

faktor yang dapat memicu depresi adalah kondisi kesehatan fisik. Penelitian yang

dilakukan Kim et. al (2009) pada lansia Jepang yang tinggal di masyarakat

menunjukkan bahwa persepsi mengenai status kesehatan secara signifikan dan

kuat mempengaruhi depresi.

Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang

nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium,

fosfor, vitamin A, dan vitamin C (p>0,05). Watson (2003) menyebutkan bahwa

secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan

menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan. Sikap negatif ini akan

menurunkan selera dan frekuensi makan. Akan tetapi, pada penelitian ini, tidak

adanya hubungan antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi

diduga karena jumlah lansia yang mengalami depresi terlalu kecil. Berdasarkan

hasil penelitian, sebagian besar lansia termasuk dalam kategori normal.

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi (IMT)

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan

positif sangat nyata antara tingkat kecukupan energi (r= 0,797; p<0,05), tingkat

kecukupan protein (r= 0,598; p<0,05), tingkat kecukupan kalsium (r= 0,334;

p<0,05) serta tingkat kecukupan fosfor (r= 0,401; p<0,05) dengan status gizi (nilai

IMT). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecukupan gizinya, maka nilai IMT

semakin tinggi. Konsumsi pangan secara langsung mempengaruhi status gizi.

Tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak memiliki hubungan yang nyata

dengan status gizi (p>0,05).

Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi (IMT)

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi (r= -0,289; p<0,05).

Artinya semakin lama lansia mengalami sakit infeksi maka semakin menurun

status gizinya. Azad (2002) menyatakan keberadaan penyakit, penyakit infeksi,

akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang

mengalami peyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada

menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh

dan membawa pada kondisi kurang gizi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Proses penyelenggaraan home care terdiri atas sosialisasi, pendataan

relawan, pendataan lansia, implementasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan.

Pelayanan yang diberikan pada lansia yaitu pelayanan sosial berupa kunjungan

setiap minggu, pemberian sembako setiap bulan serta pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan

peserta berada pada kelompok usia lanjut berjenis kelamin perempuan.

Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah

tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak

bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak. Status

pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai

mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk

defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan

kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan

tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan

vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C

termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang

nyata (p>0,05) tingkat kecukupan antara kedua kelompok.

Berdasarkan status kesehatan, persentase terbesar kedua kelompok

mengalami lebih dari satu jenis keluhan dengan ISPA sebagai keluhan yang

paling banyak dialami. Lebih dari separuh lansia pada kedua kelompok tidak

mengalami depresi (normal). Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada

perbedaan yang nyata (p>0,05) status kesehatan dan tingkat depresi pada kedua

kelompok. Persentase terbesar status gizi pada kedua kelompok adalah normal.

Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi kedua

kelompok.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan

negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat

kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor.

Tidak terdapat hubungan yang nyata antara lama sakit infeksi dengan tingkat

kecukupan vitamin A dan vitamin C. Terdapat hubungan yang nyata dan positif

antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Tetapi tidak terdapat

hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi.

Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi,

tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan

fosfor dengan status gizi. Tetapi tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat

kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan status gizi. Terdapat hubungan yang

nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi.

Saran

Mengingat masih kurangnya asupan pangan secara kuailtas maka

diperlukan adanya upaya peningkatan asupan pangan secara kualitas melalui

peningkatan pengetahuan gizi lansia guna mencapai asupan gizi seimbang.

Status kesehatan dan konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap

status gizi lansia. Oleh karena itu, selain pemeriksaan rutin terkait status

kesehatan, status gizi juga penting untuk dilakukan secara berkala pada lansia

sehingga pendamping juga perlu diberikan pengetahuan terkait gizi lansia dan

metode pengukuran status gizi lansia.

Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan

berbagai kondisi antara lansia peserta dan bukan peserta home care, bukan

berarti pelayanan home care ini tidak bermanfaat. Hal ini justru mengindikasikan

bahwa pelayanan yang diberikan home care di Tegal Alur dapat mencakup

lansia peserta dan bukan peserta home care. Jika akan melakukan penelitian

serupa, diharapkan dilakukan di dua lokasi berbeda untuk bisa memisahkan

secara jelas lansia yang mendapatkan pelayanan home care dengan lansia yang

tidak mendapatkan pelayanan home care.

DAFTAR PUSTAKA

Abikusno N. 2007. Older Population in Indonesia: Trends, Issues, and Police

Responses. Thailand: UNFPA Indonesia. Ahmed F, Darnton-Hill. 2008. Defisiensi Vitamin A. Di dalam: Gibney MJ,

Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC. Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Jakarta: Mediyatama

Sarana Perkasa. Azad N. 2002. Nutrition in the elderly. The Canadian Journal of Diagnosis: 83-93 Better Health Channel. 2010. Depression and ageing.

http://www.betterhealth.gov.au [6 Agustus 2010]. [BPS] Badan Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta:

Badan Pusat Statistik. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

Riskesdas Indonesia-Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depsos] Departemen Sosial. 2009a. Pedoman Teknis Home Care Lanjut Usia

Bagi Lembaga Penyelenggara. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________________. 2009b. Buku Saku Home Care: Pendampingan

dan Perawatan Sosial Lanjut Usia Di Rumah. Jakarta: Departemen Sosial RI.

Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono, Rahardjo TWB. 2008. Model prediksi tinggi

badan lansia etnis jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi lutut. Majalah Kedokteran Indonesia 58(12): 509-516.

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford

University Press. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan.

[Diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, IPB.

Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA: Elsevier. hlm. 319-396.

Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2010. Usia Lanjut.

http://www.menkokesra.go.id/ [9 Maret 2010]. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah

Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komnas Lansia. Kim Jeung-Im, Choe Myoung-Ae, Chae YR. 2009. Prevalence and predictors of

geriatric depression in community-dwelling elderly. Asian Nurs Research 3(3) 121-129.

Kusumaratna RK. 2008. Gender differences in nutritional intake and status in

healthy free-living elderly. Universa Medicana 27(3) 113-124. Latham MC. 1997. Human Nutrition in The Developing World. USA: Food and

Agriculture Organization of United Nation. McDowell I. 2006. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and

Questionnaires 3rd ed. Oxford: University Press. McKenzie JF, Pinger PR, Kotecki JE. 2008. An Introduction to Community Health

8th ed. USA: Jones and Bartlett Publisher. Medical Encyclopedia. 2010. Depression elderly. http://www.nlm.nih.gov [10

Desember 2010]. Mezey MD, Rauckhorst LH, Stokes SA. 1993. Health Assessment of The Older

Individula. New York: Springer Publishing Company. Morley et al. 2009. Undernutrition: Diagnosis, Causes, Consequences And

Treatment. Di dalam: Raats M, de Groot L, van Staveren W, editor. Food For the Ageing Population. England: Woodhead Publishing Limited hlm 153-166.

Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R,

editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI hlm. 539-547.

Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi, gaya hidup,

konsumsi pangan, dan status gizi lansia laki-laki di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jabar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tatalaksana

Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI. Pietinen, Patterson. 2009. Penilaian Konsumsi Pangan. Di dalam: Gibney MJ,

Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rahardjo BW et al. 2009. Panduan Menuju Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI).

Sabdono E. 2010. Home care pilot project di Indonesia. Presentasi pada

Lokakarya “Pengembangan Day Care dan Home Care Bagi Lanjut Usia di Indonesia“: Komnas Lansia.

Sarafino EP. 1994. Health Phsychology: Biopsychosocial Interaction 2nd ed.

Canada: John Wiley & Sons Inc. Sari NK. 2006. Deteksi Dini Malnutrisi pada Usia Lanjut. Di dalam: Harjodisastro

D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI Pr. hlm. 51-63.

Schlenker ED. 2000. Nutrition and The Aging Adult. Di dalam: Worthington-

Roberts BS, Williams SR, editor. Nutrition Throughout The Life Cycle 3rd Edition. St Louis: Mosby-Year Book.

Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo. Smith M. 2010. Depression in older adult and elderly. http://helpguide.org [6

Agustus 2010. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan

Kebdayaan Direktorat Jendral Pendikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB.

Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara

bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Asek Pangan, Gizi, dan Sanitasi:

Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Takasihaeng J. 2000. Hidup Sehat di Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Harian

Kompas. Till C. 2001. Ageways: Home care and volunteers. HelpAge International.

http://helpage.org [10 Mei 2011]. Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC. Wirakusumah E S. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara. Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. USA: Taylor & Francis Inc. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di

Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI

Lampiran 1 Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care

Bakan makanan

Home care

Peserta Bukan Total

n % n % n %

Sumber Karbohidrat Nasi 30,0 100,0 30,0 100,0 60,0 100,0 Singkong dan hasil olahan 17,0 56,7 25,0 83,3 42,0 70,0 Ubi dan hasil olahan 18,0 60,0 14,0 46,7 32,0 53,3 Kentang 0,0 0,0 6,0 20,0 6,0 10,0 Biskuit/krakers 27,0 90,0 15,0 50,0 42,0 70,0 Roti 12,0 40,0 18,0 60,0 30,0 50,0 Mie 16,0 53,3 6,0 20,0 22,0 36,7

Protein Hewani Ikan basah 23,0 76,7 23,0 76,7 46,0 76,7 Udang dan hewan air lainnya segar 3,0 10,0 6,0 20,0 9,0 15,0 Ikan diawetkan 15,0 50,0 11,0 36,7 26,0 43,3 Daging sapi 6,0 20,0 7,0 23,3 13,0 21,7 Daging ayam 21,0 70,0 24,0 80,0 45,0 75,0 Telur 25,0 83,3 23,0 76,7 48,0 80,0 Susu 18,0 60,0 12,0 40,0 30,0 50,0

Protein Nabati Kacang-kacangan lain 12,0 40,0 15,0 50,0 27,0 45,0 Tahu 28,0 93,3 28,0 93,3 56,0 93,3 Tempe 29,0 96,7 26,0 86,7 55,0 91,7 Oncom 0,0 0,0 9,0 30,0 9,0 15,0

Sayur-mayur Sayur daun hijau 25,0 83,3 22,0 73,3 47,0 78,3 Sayur buah 16,0 53,3 19,0 63,3 35,0 58,3 Sayur lain 23,0 76,7 25,0 83,3 48,0 80,0

Buah-buahan Jeruk 16,0 53,3 16,0 53,3 32,0 53,3 Mangga 20,0 66,7 19,0 63,3 39,0 65,0 Apel 8,0 26,7 5,0 16,7 13,0 21,7 Salak 5,0 16,7 3,0 10,0 8,0 13,3 Pisang ambon 11,0 36,7 15,0 50,0 26,0 43,3 Pisang raja 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0 Pisang lampung 10,0 33,3 4,0 13,3 14,0 23,3 Pepaya 17,0 56,7 16,0 53,3 33,0 55,0 Jambu air 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0 Semangka 5,0 16,7 7,0 23,3 12,0 20,0 Melon 7,0 23,3 5,0 16,7 12,0 20,0 Pir 4,0 13,3 0,0 0,0 4,0 6,7

Anggur 5,0 16,7 0,0 0,0 5,0 8,3

Pangan lainnya Pisang goreng 13,0 43,3 11,0 36,7 24,0 40,0 Teh manis 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0 Kopi 9,0 30,0 9,0 30,0 18,0 30,0 Mie bakso 4,0 13,3 7,0 23,3 11,0 18,3 Kue-kue tradisional 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0 Bakwan 5,0 16,7 5,0 16,7 10,0 16,7

Lampiran 2 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care

Zat Gizi

Home care

Peserta Bukan

mean sd mean sd

Energi

Konsumsi (Kal) 1478 329,4 1605 306,2

AKG (Kal) 1690 169,9 1680 140,6

Tingkat Kecukupan (%) 87,5 17,7 95,9 18,8

Protein

Konsumsi (g) 38,4 10,1 42,8 13,3

AKG (g) 48 5,7 47,7 4,7

Tingkat Kecukupan (%) 80 19 90 27,5

Kalsium

Konsumsi (mg) 411,2 174,8 473,6 204,6

AKG (mg) 800 0 800 0

Tingkat Kecukupan (%) 51,4 21,8 59,2 25,6

Fosfor

Konsumsi (mg) 590,9 464,7 432,5 147,6

AKG (mg) 600 0 600 0

Tingkat Kecukupan (%) 63,6 23,5 72,1 24,6

Vitamin A

Konsumsi (RE) 590,9 464,7 494,3 339,5

AKG (RE) 516,7 37,9 510 30,5

Tingkat Kecukupan (%) 114,1 85,5 97,1 65,4

Vitamin C

Konsumsi (mg) 56,5 46,8 56,6 40,6

AKG (mg) 77,5 5,7 76,5 4,6

Tingkat Kecukupan (%) 73,1 60,7 74,9 54,6

Lampiran 3 Dokumentasi kegiatan

Kegiatan senam lansia

Kegiatan ramah lansia

Pertemuan mingguan relawan

Pelatihan penggunaan alat pengukur tekanan darah

Penyerahan sembako kepada perwakilan lansia