kerangka teori tinjauan tentang hasil belajar ipseprints.uny.ac.id/7861/3/bab 2 -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan tentang Hasil Belajar IPS
1. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi antara
guru dengan siswa, baik secara langsung dalam proses kegiatan belajar
mengajar maupun secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan media
pembelajaran (Rusman, 2011: 134). Definisi lain mengatakan bahwa
pembelajaran merupakan suatu langkah-langkah tertentu yang ditempuh guru
untuk membangun pengalaman belajar siswa dengan berbagai keterampilan
proses sehingga siswa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru
(Zainon, 2011). Dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran
merupakan aktivitas utama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
dipengaruhi oleh aktivitas guru dalam cara mengajar yang efektif (Indah,
2011). Selanjutnya, Usman, 2000 (Indah, 2011) mengatakan pembelajaran
sebagai suatu proses hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam rangka menunjang proses pembelajaran, maka dibutuhkan
komponen pembelajaran. Komponen pembelajaran diantaranya meliputi
tujuan, bahan atau materi, model atau metode, alat atau media dan penilaian
atau evaluasi (Fendra, 2011). Menurut Sudjana, 1989 (Muhfida, 2011) yang
termasuk dalam komponen pembelajaran adalah tujuan, bahan, metode dan
12
alat serta penilaian. Sejalan dengan pendapat tersebut, definisi lain juga
menyebutkan komponen-komponen pembelajaran yang terdiri atas tujuan,
bahan, media, strategi, dan evaluasi pembelajaran (Rudi Susilana, 2011).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan hubungan timbal balik yang efektif antara guru dan siswa dengan
serangkaian langkah-langkah tertentu yang telah ditentukan guru. Langkah-
langkah pembelajaran yang telah ditentukan oleh guru sebelumnya tersebut
adalah dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai yang disesuaikan
dengan bahan atau materi, media pembelajaran yang mendukung, strategi
pembelajaran baik berupa model atau metode serta evaluasi sebagai bentuk
penilaian hasil dari pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Dengan demikian, agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan
baik, pembelajaran harus disesuaikan terlebih dahulu dengan komponen-
komponen pembelajaran yang ada. Penyesuaian tersebut diharapkan mampu
membangun berbagai keterampilan dan pengalaman siswa dalam situasi
hubungan timbal balik yang efektif guna mencapai hasil belajar yang optimal
dan pencapaian tujuan pembelajaran lain yang ingin dicapai.
2. Proses Pelaksanaan Pembelajaran
Dewasa ini, dunia semakin maju dan berkembang khususnya dalam
dunia pendidikan. Suatu sistem pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari
suatu pembelajaran yang terangkum dalam proses belajar. Dengan
komponen-komponen pembelajaran yang telah disebutkan di atas, dalam
rangka memperlancar pencapaian tujuan pembelajaran, maka salah satu
13
proses pelaksanaan pembelajaran harus didukung oleh model pembelajaran
yang tepat dan sesuai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran IPS, tidak sedikit guru yang masih
menggunkan model pembelajaran konvensional. Penggunaan model
pembelajaran ini sebenarnya mengurangi kemampuan siswa untuk menggali
pengetahuan, pemahaman, dan aktivitasnya sehingga siswa akan terkesan
pasif karena ada kecenderungan verbalis dari pihak guru (Rudy Gunawan,
2011: 118). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa model pembelajaran ini
memiliki ciri-ciri kecenderungan penyampaian informasi yang hanya bersifat
fakta dan kurang memberikan permasalahan dalam proses pembelajaran.
Penyampaian informasi yang hanya bersifat fakta akan cenderung
mengakibatkan hubungan satu arah antara siswa dengan guru sehingga siswa
kurang diberikan kesempatan untuk berpikir kritis dan kreatif. Selain ciri-ciri
tersebut, materi pembelajaran yang disampaiakan guru lebih cenderung
bersifat kognitif karena berupa pengetahuan semata tanpa memperhatikan
aspek pembelajaran yang lain, seperti aspek afektif dan psikomotorik
sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna (Rudy Gunawan, 2011:
119).
Berdasarkan penjelasan di atas, proses pelaksanaan pembelajaran IPS
yang diterapkan di SD Muhammadiyah Mutihan masih bersifat konvensional.
Pernyataan tersebut dibuktikan juga dari hasil tanya jawab dengan Bapak
Fajar Ariyanto selaku guru bidang studi mata pelajaran IPS di SD tersebut.
Berdasarkan hasil tanya jawab, langkah-langkah pembelajaran dalam model
14
pembelajaran ini ditempuh dari kegiatan pendahuluan yang diawali doa,
apersepsi, presensi, menyampaikan tujuan yang ingin dicapai; kegiatan inti
dengan membahas materi secara bersama-sama yang diselingi tanya jawab
dalam kelas umum, mengerjakan soal evaluasi; dan kegiatan penutup yang
ditempuh dengan kegiatan refleksi dan pemberian tindak lanjut.
3. Hasil Belajar IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bidang ilmu yang terintegrasi dari
mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi serta mata pelajaran ilmu
sosial lainnya (Sapriya, 2009: 7). Sebagai suatu mata pelajaran yang
terintergarasi dengan mata pelajaran lain, Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki
objek kajian material yang sama, yaitu manusia (Hidayati, 2004: 4).
Menurut Hidayati (2004: 9), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada
awalnya berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat dengan nama
Social Studies. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang di
dalamnya mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi
yang berkaitan dengan isu sosial dan kewarganegaraan (Arnie Fajar, 2004:
110). Lebih spesifik lagi dijelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial di
Sekolah Dasar merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai
integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan
isu dan masalah sosial lainnya (Sapriya, 2009: 7).
Konsep Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia tidaklah sama persis
dengan konsep Social Studies di Amerika Serikat. Perbedaan konsep tersebut
15
dikarenakan kondisi yang berbeda sehingga perlu disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang merupakan perpaduan
dengan ilmu-ilmu lain seperti Geografi, Ekonomi, Sejarah, Antropologi,
Politik dan ilmu sosial lainnya dalam mengkaji peristiwa, fakta, konsep,
generalisasi yang berkaitan dengan isu atau masalah-masalah sosial yang
hadir di dalam masyarakat. Dengan demikian pelajaran IPS di Sekolah Dasar
dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan karakteristik siswa
dengan taraf kemampuan berpikir holistik.
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran pokok
pada jenjang pendidikan dasar. Keberadaan siswa dengan status dan kondisi
sosial yang berbeda-beda tentunya akan menghadapi masalah yang berbeda
pula dalam perjalanan hidupannya. Oleh karena itu, pembelajaran IPS
sangatlah penting karena materi-materi yang didapatkan siswa di sekolah
dapat dikembangkan dan diintegrasikan menjadi sesuatu yang lebih bemakna
ketika siswa berada di lingkungan masyarakat, baik di masa sekarang ataupun
di masa yang akan datang.
Sesuai dengan tingkat perkembangannya, siswa SD belum mampu
memahami dan memecahkan masalah sosial secara mendalam dan utuh dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, pembelajaran IPS di sekolah
dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan
contoh sikap sebagai bekal untuk menghadapi hidup dengan segala
16
tantangannya. Selain itu, diharapkan melalui pembelajaran IPS kelak siswa
mampu mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kritis dalam
memecahkan masalah-masalah yang terjadi di masayarakat.
Menurut Hidayati (2004: 16-17) alasan pentingnya mempelajari IPS
pada pendidikan dasar adalah agar siswa mampu memadukan bahan,
informasi dan kemampuan yang dimiliki untuk menjadi lebih bermakna.
Selain alasan tersebut, siswa diharapkan lebih peka dan tanggap dalam
berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab. Alasan
penting lainnya adalah agar siswa dapat meningkatkan rasa toleransi dan
persaudaraan sesama manusia.
Dari pengertian yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberian mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar sangatlah penting karena
materi-materi yang terdapat dalam mata pelajaran IPS tersebut dapat
mengembangakan pengetahuan yang berkaitan dengan materi IPS itu sendiri.
Selain itu, mata pelajaran IPS diharapkan mampu mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam menghadapi masyarakat sosial yang beraneka
ragam serta dapat mengembangakan cara berpikir logis dan kritis terhadap
masalah-masalah yang sering dijumpai di masyarakat tersebut.
Beberapa alasan pemberian mata pelajaran IPS telah disampaikan di
atas. Selain alasan pemberian mata pelajaran IPS, fungsi dan tujuan
pembelajaran ini juga perlu diketahui. Fungsi mata pelajaran IPS di SD
adalah untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan
sosial siswa terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
17
(Arnie Fajar, 2004: 110). Setelah mengetahui fungsi mata pelajaran Ilmu
Pengerahuan Sosial, selanjutnya adalah tentang tujuan mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar.
Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar adalah mengajarkan
konsep-konsep dasar Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah, dan
Kewarganegaraan; mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif,
inkuiri, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial. Selain keterangan
tersebut, Ilmu Pengetahuan Sosial bertujuan untuk membangun komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusian; dan meningkatkan
kemampuan kerjasama dan kompetisi dalam masyarakat baik secara nasional
ataupun secara global.
Hampir sama dengan pendapat di atas, tujuan lain diberikannya mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah memberikan kesempatan siswa
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai serta dapat
berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis (Sapriya, 2009: 8).
Sedangkan Chark dalam bukunya Social Studies in Secundary School, A
Hand Book (1973) menyatakan bahwa studi sosial menitikberatkan pada
perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya,
manusia dengan segala kegiatannya dan interaksi antara mereka (Hidayati,
2004: 22).
Thamrin Talut (Hidayati, 2004: 22) menegaskan pula tujuan
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai harapan bagi siswa untuk
menjadi anggota masyarakat yang produktif, berpartisiasi dalam masyarakat
18
yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong dengan
sesama dan mampu mengembangkan nilai-nilai dan ide-ide yang ada di
masyarakatnya.
Ilmu Pengetahuan Sosial harus mencerminkan sifat interdisipliner. Sifat
interdisipliner dapat dilakukan dengan membekali siswa pengetahuan sosial
yang berguna dalam kehidupan masyarakat, membekali kemampuan
mengidentifikasi, menganalisis, dan menyusun alternatif pemecahan masalah
sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarat. Selanjutnya, Ilmu Pengetahuan
Sosial diharapkan mampu membekali siswa kemampuan berkomunikasi antar
sesama, membekali siswa dengan kesadaran, sikap mental positif dan
keterampilan terhadap lingkungan hidup serta membekali siswa dengan
kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi (Hidayati, 2004: 25).
Groos (Solihatin dan Raharjo, 2007: 14) menjelaskan tujuan pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara
yang baik dalam lingkungannya di masyarakat. Selanjutnya, Ilmu
Pengetahuan Sosial pada dasarnya untuk membekali dan mendidik siswa
berupa kemampuan dasar untuk mengembangkan minat, bakat, kemampuan
dan lingkungannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (Solihatin
dan Raharjo, 2007: 15).
Tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) salah satunya adalah mengenalkan
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
19
lingkungannya. Tujuan yang lain adalah untuk mengembangkan kemampuan
dasar berfikir logis dan kritis; rasa ingin tahu; inkuiri; memecahkan masalah;
dan keterampilan dalam kehidupan sosial. Selain itu, tujuan lain diharapkan
agar siswa memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan; memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan
global.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
diberikannya mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar adalah untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa terhadap masalah-masalah sosial
yang berkaitan dengan masyarakat setempat. Tujuan tersebut diharapkan agar
siswa mampu memecahkan masalah-masalah sosial lainnya sebagai bentuk
pengembangan atas pengetahuan yang telah dipelajari, sehingga siswa
mampu menghadapi tantangan kehidupan dengan baik, baik di masa sekarang
ataupun di masa mendatang dengan peran yang semakin komplek.
Selain tujuan, IPS juga memiliki ruang lingkup tersendiri. Secara
harfiah ruang lingkup IPS di SD terbagi menjadi tiga bagian ilmu, yaitu
Geografi, Ekonomi, dan Kependudukan. Sedangkan menurut Arnie Fajar
(2004: 111) ruang lingkup IPS SD antara lain adalah sistem sosial dan
budaya; manusia, tempat, dan lingkungan; perilaku ekonomi dan
kesejahteraan; waktu, keberlanjutan, dan perubahan; sistem berbangsa dan
bernegara.
20
Setelah mengetahui tentang ruang lingkup mata pelajaran IPS, hal lain
yang perlu diketahui pula adalah standar kompetensi. Standar kompetensi
yang harus dikuasai siswa kelas V pada mata IPS adalah keragaman
kenampakan alam, sosial, budaya, dan kegiatan ekonomi di Indonesia;
perjalanan bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha, Islam, sampai masa
kemerdekaan; dan wawasan nusantara, penduduk dan pemerintahan serta
kerja keras para tokoh kemerdekaan (Arnie Fajar, 2004: 112).
Mengetahui banyak tentang IPS, tentunya kita akan semakin tahu apa
yang dimaksud dengan hasil belajar IPS. Hasil belajar merupakan perubahan
perilaku yang terjadi setelah mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan
tujuan pendidikan (Purwanto, 2009: 54). Pengertian lain tentang hasil belajar
adalah perubahan perilaku pada diri pembelajar setelah mengalami proses
belajar (Purwanto, 2009: 185). Berdasarkan pemenggalan katanya, “hasil”
adalah sesuatu yang diusahakan, diperoleh, dibuat, dijadikan, dan sebagainya
oleh usaha, pikiran, dan akibat. Sedangkan “belajar” adalah usaha yang
dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan; berubahnya tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi ke-3 tahun 2001).
Pendapat lain juga dijelaskan bahwa belajar merupakan sebuah proses
sehingga hasil belajar dapat didefinisikan sebagai hasil yang diperoleh
seseorang dari proses belajar (Hamalik, 2007: 106). Menurut Dimyati dan
Mujiono (2009: 3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak
belajar dan tindak mengajar. Tindak mengajar adalah serangkaian aktivitas
21
guru dalam mengajar dengan diakhiri proses evaluasi hasil belajar.
Sedangkan tindak belajar merupakan berakhirnya proses belajar. Dengan
demikian, hasil belajar IPS merupakan hasil optimal siswa baik dalam aspek
kognitif, afektif, ataupun psikomotorik yang diperoleh siswa setelah
memperlajari IPS dengan jalan mencari berbagai informasi yang dibutuhkan
baik berupa perubahan tingkah laku, pengetahuan, maupun keterampilan
sehingga siswa tersebut mampu mencapai hasil maksimal belajarnya
sekaligus memecahkan masalah yang berkaitan dengan masalah sosial dan
menerapkannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini, hasil
belajar IPS yang dimaksud adalah hasil optimal yang diperoleh siswa dalam
aspek kognitif.
B. Tinjauan tentang Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Paradigma sistem pembelajaran yang seharusnya diterapkan saat ini
adalah paradigma konstruktivistik (Santyasa, 2007: 2). Menurut paradigma
ini, pembelajaran lebih mementingkan penyelesaian masalah, pengembangan
konsep, konstruksi alogaritma daripada menghafal prosedur dan
penggunaannya hanya untuk mencari jawaban yang benar. Paradigma
pembelajaran ini ditandai adanya aktivitas ekperimentasi, pertanyaan-
pertanyaan, investigasi, hipotesis dan model-model yang dibangkitkan oleh
keinginan siswa sendiri.
22
Paradigma pembelajaran konstruktivistik sejalan dengan pelaksanaan
pembelajaran kooperatif . Prinsip-prinsip dasar pembelajaran konstruktivistik
ini diantaranya adalah meletakkan permasalahan yang relevan dengan
kebutuhan siswa, menyusun pembelajaran disekitar konsep-konsep utama,
menghargai pandangan dan pendapat siswa, materi pembelajaran disesuaikan
dengan kebutuhan siswa dan menilai hasil pembelajaran dengan kontekstual
(Santyasa, 2007: 2).
Menurut Hamid Hasan, 1996 (Solihatin dan Raharjo, 2007: 4)
Cooperative Learning atau pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
yang mementingkan kerjasama dalam mencapi tujuan bersama. Sehubungan
dengan hal tersebut Slavin, 1984 (Solihatin dan Raharjo, 2007: 4)
mengatakan bahwa cooperative learning merupakan model pembelajaran
kolaboratif dengan jumlah anggota antara 4-6 orang dalam masing-masing
kelompok dengan struktur kelompok yang heterogen. Menurut Solihatin dan
Raharjo (2007: 4) cooperative learning merupakan suatu sikap dan perilaku
bersama dalam kelompok yang dipengaruhi oleh keterlibatan masing-masing
anggota kelompok itu sendiri.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan
bahwa pembelajaran kooperatif atau cooperative learning merupakan suatu
model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerjasama dalam
kelompoknya masing-masing dengan struktur kelompok yang berbeda-beda
antara anggota satu dengan yang lainnya demi mencapai suatu tujuan proses
pembelajaran.
23
2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Ibrahim, dkk. (2000: 7-8) model pembelajaran kooperatif
atau cooperative learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya
tiga tujuan pembelajaran. Ketiga tujuan tersebut adalah.
a. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam
tugas-tugas akademik. Ahli pembelajaran berpendapat bahwa model ini
unggul dalam membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit.
b. Pemberian peluang yang sama kepada siswa yang berbeda latar belakang dan
kondisi, untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas
bersama melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif serta belajar
untuk menghargai satu sama lain.
c. Mengajarkan siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Ibrahim, dkk. (2000: 10) menuliskan langkah-langkah model
pembelajaran kooperatif secara umum seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
1. Menyampaikan tujuan dan
memotifasi siswa
2. Menyajikan informasi
3. Mengorganisasi siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar
4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
5. Evaluasi
6. Memberikan penghargaan
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau lewat bahan bacaan
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
24
Stahl, 1994 dan Slavin, 1983 (Solihatin dan Raharjo 2007: 10-12)
mengatakan langkah-langkah penggunaan model cooperative learning secara
umum adalah sebagai berikut.
a. Guru merancang rencana program pembelajaran dan menetapkan target
pembelajaran yang akan di capai.
b. Guru menyusun lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi
kegiatan siswa dalam belajar secara bersama-sama dalam kelompok.
c. Guru melakukan observasi sekaligus membimbing dan mengarahkan
terhadap kegiatan siswa baik secara individual ataupun kelompok.
d. Guru menjadi moderator dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berdiskusi dan mempresentasikan hasil diskusinya. Dalam presentasi terakhir,
guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran.
Dari penjelasan langkah-langkah yang telah disampaikan di atas dapat
dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pelaksanaan proses
pembelajaran yang dilaksanakan dalam suatu kelompok tertentu, kemudian
diakhir prosesnya diakhiri dengan presentasi hasil kerja kelompok yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Langkah-langkah pembelajaran ini terkadang
sedikit bervariasi disesuaikan dengan pendekatan yang ingin digunakan
dalam pelaksanaan pembelajarannya.
4. Macam-macam Model Pembelajaran Kooperatif
Proses pelaksanaan pembelajaran selalu terkait dengan model
pembelajaran. Gunter, 1990 (Santyasa, 2007: 7) mendefinisikan an
istructional model is step by step procedure that leads to specific learning
25
outcomes. Sejalan dengan pendapat tersebut, Joyce dan Weil (Rusman, 2011:
133) juga mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka atau rencana
konseptual dalam melaksanakan pembelajaran. Demikian pula dengan Syaiful
Sagala, 2005 (Indrawati dan Wanwan Setiawan, 2009: 27) mendefinisikan
model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman siswa untuk mencapai
tujuan belajar tertentu.
Model pembelajaran adalah cara yang digunakan guru untuk mencapai
tujuan pembelajaran (Hamzah B. Uno, 2010: 2). Sugihartono, dkk. (2007: 81)
mengatakan bahwa model pembelajaran berarti cara yang dilakukan guru
dalam proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal.
Model pembelajaran juga didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang
mampu mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran tertentu; dan berfungsi sebagai pedoman
dalam perencanaan pembelajaran bagi guru dalam melaksanakan aktivitas
pembelajarannya (Syaiful Sagala, 2010: 176). Pedoman yang dimaksud disini
memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kegiatan pembelajaran sehingga dalam model pembelajaran
telah terangkum strategi, pendekatan, metode, teknik dan taktik pembelajaran
dalam rangka mencapai tujuan.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
adalah kerangka konseptual proses pembelajaran yang di dalamnya
26
terangkum strategi, pendekatan, metode, teknik dan taktik dengan tahapan-
tahapan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam
lingkup mata pelajaran tertentu. Beberapa macam model pembelajaran
diataranya adalah sebagai berikut (Slavin, 2005: 11-17).
a. STAD (Student Team-Achievment Devision)
Model pembelajaran ini terbagi atas 4-5 siswa yang berbeda-beda
tingkat kemampuannya, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya.
Pelaksanaan model pembelajaran ini diawali guru dengan menyampaikan
materi pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam tim untuk mengerjakan kuis
sesuai dengan materi masing-masing tim. Pelaksanaan kerja tim harus
dipastikan bahwa semua anggota telah menguasai materi dengan baik.
Pelaksanaan selanjutnya dilanjutkan dengan mengerjakan kuis secara individu
dengan tidak diperbolehkan untuk saling membantu. Perolehan poin individu
nantinya akan dijumlahkan untuk memperoleh skor tim. Selanjutnya,
perolehan skor tim akan dibandingkan dengan tim lain untuk mendapatkan
penghargaan bagi kelompok yang memperoleh poin tertinggi.
b. TGT (Team Games-Tournament)
Pembelajaran model ini memiliki prosedur pelaksanaan yang sama
seperti STAD, tetapi peranan kuis dalam STAD digantikan dengan turnamen
mingguan. Siswa memainkan games akademik dengan anggota tim lain untuk
menyumbangkan poin bagi skor timnya. Games dimainkan siswa dalam
“meja turnamen” dengan kemampuan yang sejajar dari masing-masing tim.
Prosedur ini dilakukan dengan “menggeser kedudukan” sebagai bentuk
27
permainan yang adil. Tim dengan kinerja tertinggi akan mendapatkan
sertifikat atau penghargaan tim.
c. Jigsaw II
Model pembelajaran ini memiliki karakteristik yang ada dalam model
STAD dan TGT. Dalam pelaksanaan pembelajaran ini siswa ditugaskan
membaca bab, buku kecil, atau materi lainnya yang bersifat penjelasan
terperinci lainnya. Tiap anggota tim ditugaskan secara acak untuk menjadi
“ahli” dalam aspek tertentu. Setelah membaca materinya masing-masing para
“ahli” dari tim yang berbeda bertemu untuk membicarakan topik yang mereka
bahas. Di akhir pembelajaran ini diadakan kuis atau bentuk penilaian lainnya
untuk semua topik.
d. TAI (Team Accelerated Instruction)
Model pembelajaran ini hampir sama dengan model STAD dan TGT.
Jika dalam STAD dan TGT menggunakan pola pengajaran tunggal untuk satu
kelas, TAI menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran
individual. Selain itu, STAD dan TGT dapat diaplikasikan pada hampir
semua mata pelajaran dan tingkat kelas, sementara TAI dirancang khusus
untuk mengajarkan matematika kepada siswa kelas 3-6. Dalam TAI, siswa
menempati sekuen individual berdasarkan tes penempatan dan kemudian
melanjutkan dengan tingkat kemampuan mereka sendiri. Secara umum,
anggota kelompok bekerja pada unit pelajaran yang berbeda. Teman satu tim
diwajibkan memeriksa hasil kerja dari teman timnya masing-masing dan
membantu dalam kesulitannya. Unit tes yang terakhir akan dilakukan tanpa
28
bantuan teman. Tim yang berhasil mencapai kriteria skor yang didasarkan
pada angka tes akhir akan mendapat sertifikat.
e. CIRC (Cooperatif Integrated Reading and Composition)
Merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan
menulis pada kelas sekolah dasar tingkat tinggi dan juga sekolah menengah
(Maden, Slavin dan Steven, 1986). Model pembelajaran ini sejenis TAI tetapi
lebih ditekankan pada pengajaran membaca, menulis dan tata bahasa.
Model pembelajaran lain dijelaskan pula sebagai berikut (Slavin, 2005: 24-
26).
a. GI (Group Investigation)
Menurut Ibrahim, dkk. (2000: 23-25) dasar-dasar model Group
Investigation (GI) dirancang oleh Herbert Thelen. Selanjutnya, model
pembelajaran ini diperluas dan diperbaiki oleh Sharan dan kawan-kawan dari
Universitas Tel Aviv. Model GI sering dipandang sebagai model yang paling
kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif.
Dibandingkan dengan model STAD dan Jigsaw, model GI melibatkan siswa
sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk
mempelajarinya melalui investigasi. Model ini menuntut keterampilan proses
yang harus dimiliki oleh kelompok (group process skill).
Dalam penerapan model GI umumnya siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok yang beranggotakan 4 hingga 5 siswa dengan karakteristik yang
heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan
berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Siswa memilih
29
topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap
berbagai topik atau subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan
menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Deskripsi
mengenai langkah-langkah model GI adalah sebagai berikut.
1. Seleksi Topik
Siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang
biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Siswa diorganisasikan menjadi
kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang
beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen
baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
2. Merencanakan Kerjasama
Siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas,
dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik atau subtopik yang
telah dipilih seperti pada langkah di atas.
3. Implementasi
Siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah
sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan
keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong siswa untuk
menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar
sekolah. Guru terus menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan
memberikan bantuan jika diperlukan.
30
4. Analisis dan Sintesis
Siswa menganalisis dari berbagai informasi yang diperoleh pada
langkah sebelumnya dan merencanakan bentuk ringkasan dalam suatu
penyajian yang menarik di depan kelas.
5. Penyajian Hasil Akhir
Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai
topik atau subtopik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat satu sama
lain mengenai pembahasan tersebut.
6. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap
kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat
mencakup tiap siswa secara individual, kelompok atau keduanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian model Group Investigation
ini ditempuh dengan langkah-langkah seleksi topik, perencanaan kerjasama
dalam kelompok, implementasi, analisis-sintesis, penyajian hasil akhir, dan
evaluasi.
b. Belajar Besama (Learning Together)
Metode belajar bersama merupakan model permbelajaran yang
melibatkan siswa dalam kelompok. Sama dengan sebagian besar jumlah
anggota kelompok, model ini juga terdiri dari 4-5 anggota dengan latar
belakang yang berbeda. Dalam tahap selanjutnya, masing-masing kelompok
akan menerima satu lembar tugas dan menerima pujian dan penghargaan
berdasarkan hasil kerja kelompok.
31
c. Pengajaran Kompleks (Complex Instruction)
Model pembelajaran ini menekankan pada penggunaan proyek yang
berorientasi penemuan khususnya dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam,
Matematika, dan Ilmu Sosial. Fokus utama dari model ini adalah membangun
respek terhadap semua kemampuan yang dimiliki siswa dengan kelebihan
dalam sesuatu yang akan membantu keberhasilan kelompok. Pembelajaran ini
sering kali dilakukan menggunakan dua bahasa minoritas seperti dalam
bahasa Inggris ataupun Spayol.
d. Metode Struktur Berpasangan (Structure Dyadic Methods)
Model pembelajaran ini dilakukan dengan bergantian untuk menjadi
guru dan murid. Dalam pembelajaran di kelas, model ini dilakukan dengan
memilih teman sekelas sebagai pengajar seperti pada prosedur pelajaran
sederhana, kemudian pengajar menyampaikan masalah kepada yang diajar.
Jika yang diajar dapat menjawab, pengajar akan mendapatkan poin, tetapi jika
yang diajar tidak dapat menjawab, yang diajar harus menuliskan jawaban
yang benar sebanyak tiga kali. Dalam hal ini, setiap sepuluh menit pengajar
dan yang diajarkan akan bergatian peran.
C. Tinjauan tentang Karakteristik Anak Sekolah Dasar Kelas V
1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Masa anak Sekolah Dasar berkisar antara umur 6 tahun dan berakhir
pada kisaran usia 11 atau 12 tahun. Dalam setiap masanya anak memiliki
karakteristik tersendiri dari masa yang lain. J. Piaget (Dalyono, 2009: 39-40)
32
membagi tahap karakteristik utama anak Sekolah Dasar adalah sebagai
berikut.
a. Tahap sensori motoris (0,0-2,0)
Tahap ini disebut sensori-motor karena perkembangan terjadi
berdasarkan informasi dari indera. Anak dalam tahap ini tidak mempunyai
konsepsi tentang objek yang tetap. Dalam tahap ini anak hanya dapat
mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya. Sehingga anak akan
mengembangkan pemahamannya berdasarkan sesuatu yang diraih.
b. Tahap pra operasional (2,0-7,0)
Tahap ini ditunjukkan dengan kemampuan kognitif yang masih
terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai atau dilihat dalam lingkungannya
saja. Saat menjelang tahap ke-2 ini anak mulai mengenal simbol.
c. Tahap operasional konkrit (7,0–11,0)
Dalam tahap ini anak mampu mengenal simbol-simbol matematis,
mulai berpikir logis dan stabil tetapi masih belum mampu menghadapi hal-hal
yang bersifat abstrak. Karakteristik lain dalam tahap ini ditunjukkan dengan
kemampuan anak dalam membuat urutan sebagaimana mestinya seperti
menurut abjad, besar kecilnya dan lain sebagainya. Selain itu, anak dapat
membuat klasifikasi sederhana, mulai dari kemampuan mengembangkan
imajinasinya dari masa lalu ke masa depan atau sebaliknya, mampu
menyelesaikan masalah argumentatif dan memecahkan masalah sederhana
dengan ide-ide yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa, namun masih
belum mampu untuk berpikir abstrak.
33
d. Tahap operasional formal (11,0 tahun ke atas)
Anak telah memiliki pemikiran abstrak pada bentuk-bentuk kompleks.
Seperti dikatakan Flavell (1963) bahwa karakteristik anak pada tahap ini anak
mampu berpikir ilmiah dengan kemampuannya membuat hipotesis, mampu
memberikan statement atau proposisi berdasarkan pada data yang konkrit atau
pada preposisi yang bertentangan dengan fakta pada kondisi tertentu serta
mampu memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebabnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa Sekolah
Dasar berada pada tahap operasional konkrit. Pada tahap ini anak mampu
mengembangkan pemikiran logis walaupun masih terikat dengan fakta-fakta
perseptual atau fakta-fakta yang terpusat pada objek yang konkrit.
2. Sifat Khas Anak Sekolah Dasar Kelas V
Masa kelas V merupakan masa kelas tinggi. Dari tahapan
kakakteristik utama anak Sekolah Dasar yang dijelaskan di atas, dapat
dikatakan bahwa masa kelas tinggi memiliki kisaran umur 9,0 atau 10,0
sampai 12,0 atau 13,0 tahun. Beberapa karakteristik anak kelas ini menurut
Syaiful Bahri Djamarah (2011: 125) adalah:
a. adanya minat terhadap hal-hal praktis sehari-hari yang konkrit.
b. amat realistik, rasa ingin tahu, dan ingin belajar.
c. menonjolnya faktor-faktor atau bakat-bakat tertentu dengan ditunjukkan
adanya minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus.
34
d. sampai kisaran umum 11,0 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa
lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya.
e. pada masa ini anak senang membentuk kelompok sebaya untuk bermain
bersama-sama. Anak tidak terlibat dalam peraturan permainan, melainkan
mulai membuat peraturan sendiri. Dengan demikian, pelaksanaan penelitian
ini dilaksanakan pada siswa kelas V SD Muhammadiyah Mutihan.
D. Kerangka Berpikir
Anggapan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran hafalan
dan membosankan memang tidak asing lagi. Begitu juga apa yang dikatakan
oleh Bapak Fajar Ariyanto selaku guru mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar
Muhammadiyah Mutihan ketika diwawancari oleh peneliti. Dalam hal ini
peneliti memandang bahwa salah satu hal yang menyebabkan minat belajar
siswa terhadap mata pelajaran tersebut menjadi berkurang, sehingga
mengakibatkan kurang maksimalnya hasil belajar siswa.
Hasil belajar erat kaitannya dengan model pembelajaran yang
diterapkan. Model pembelajaran yang diterapkan di SD Muhammadiyah
Mutihan adalah adalah model ceramah yang berorientasi pada teacher center
sehingga keaktifan siswa menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan minat siswa
menjadi rendah sehingga menimbulkan kebosanan terhadap mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial pada khususnya. Melihat kondisi dan permasalah
tersebut, perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang variatif seperti
model Group Investigation (Kelompok Investigasi).
35
Dalam model pembelajaran Group Investigation, siswa dibebaskan
membentuk kelompoknya sendiri dengan memilih topik-topik dari unit yang
dipelajari oleh seluruh kelas. Siswa yang telah memilih topik kemudian
mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah
dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas
secara keseluruhan dalam bentuk presentasi atau sejenisnya. Melalui
pembelajaran ini, siswa akan dilibatkan secara total dalam pembelajaran
sehingga akan memberikan kesempatan siswa untuk aktif dalam kegiatan
belajar mengajar dan meminimalisir kedudukan guru sebagai teacher center
khususnya dalam pembelajaran IPS.
Melalui penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian terhadap
penggunaan model pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar siswa.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mampu mendorong
peningkatan hasil belajar maupun prestari siswa (Solihatin dan Raharjo, 2007:
13). Selain mampu meningkatkan hasil belajar ataupun prestasi siswa,
pembelajaran kooperatif terbukti mampu mewujudkan sikap dan perilaku
siswa yang berkembang ke arah demokratis dan lebih mendorong siswa lebih
termotivasi dalam mempelajari Ilmu Penegtahuan Sosial (Solihatin dan
Raharjo, 2007: 13). Dengan demikian, dapat diambil suatu prediksi bahwa
ada pengaruh penggunaan model pembelajaran model Group Investigation
terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial siswa kelas V Sekolah Dasar
Muhammadiyah, Mutihan, Wates, Kulon Progo.
36
E. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang telah menerapkan model pembelajaran
kooperatif antara lain adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang dilakuakan oleh Webb (1985), menemukan bahwa dalam
penerapan pembelajaran kooperatif mewujudkan sikap dan perilaku siswa
berkembang ke arah demokratis di kelas dan mendorong siswa lebih
termotivasi dalam mempelajarai IPS.
2. Penelitian Snider (1986) terhadap siswa tingkat 9 dalam mempelajari mata
pelajaran Geografi di Amerika menemukan bahwa penggunaan model
pembelajaran kooperatif sangat mendorong peningkatan prestasi belajar siswa
dengan perbedaan hampir 25% dengan kemajuan yang dicapai siswa dengan
sistem belajar kompetisi.
3. Penelitian Dra. Hj. Etin Solihatin, M.Pd, dkk. (2001) pada mahasiswa
Penyetaraan D-3 Tahap II mata kuliah Pendidikan IPS di Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), menemukan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif
sangat mendorong peningkatan prestasi mahasiswa 20% dan dapat
meningkatkan kemampuan untuk belajar mandiri.
F. Hipotesis
Dalam rangka memperoleh jawaban sementara atas rumusan masalah
yang ada, maka diajukan hipotesis sebagai berikut. Adapun hipotesis dalam
penelitian ini adalah terdapat pengaruh pembelajaran kooperatif model Group
Investigation terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial siswa kelas V
Sekolah Dasar Muhammadiyah Mutihan, Wates, Kulon Progo.