kesiapan indonesia dalam afta 2010

40
MENYONGSONG IMPLEMENTASI AFTA 2010: KESEMPATAN DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA Oleh: Dodik Ariyanto Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap- harap cemas, karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai “terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, Penulis adalah PhD candidate bidang Ilmu Politik di University of Canterbury

Upload: dodik-ariyanto

Post on 14-Jun-2015

14.326 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap-harap cemas, karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai “terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, artikel ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira kesiapan Indonesia dalam AFTA+China yang implementasinya akan efektif sejak 1 Januari 2010 yang akan datang.

TRANSCRIPT

Page 1: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

MENYONGSONG IMPLEMENTASI AFTA 2010: KESEMPATAN DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA

Oleh: Dodik Ariyanto

Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap-harap cemas,

karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan

menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota

ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi

seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul

implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota

ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu

China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan

komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai

“terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan

bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama

di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan

memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah

kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan

dinamika tersebut, artikel ini dimaksudkan untuk memberi gambaran

bagaimana kira-kira kesiapan Indonesia dalam AFTA+China yang

implementasinya akan efektif sejak 1 Januari 2010 yang akan datang.

Regionalisasi ekonomi di Asia tenggara dan kemunculan AFTA

Sejak tahun 1980an, terjadi serangkaian perubahan fundamental di

dunia, antara lain : 1) Munculnya lingkungan ekonomi dunia yang

kompetitif dan terjadinya perubahan cepat menuju ekonomi

Penulis adalah PhD candidate bidang Ilmu Politik di University of Canterbury

Page 2: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

berorientasi pasar khususnya di Eropa eks-sosialis dan juga di Asia

yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui privatisasi,

deregulasi dan liberalisasi; 2) Terjadinya revolusi teknologi informasi

yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa traksaksi

perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di dunia ; 3)

Meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya

pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di

berbagai belahan dunia. Pada saat yang sama, negara-negara Asia

pada umumnya mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang

disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang

berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya

kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat

kerja sama ekonomi guna menghadapi tekanan komparatif dari luar

kawasan. Berbagai kecenderungan tersebut kemudian mendorong

para pemimpin negara Asia, khususnya negara-negara anggota

ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia

tenggara.

Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perdebatan yang panjang,

pada Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992,

ASEAN yang saat itu masih beranggotakan 6 negara (Brunei,

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat

membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam

rentang waktu 15 tahun dimulai sejak 1 Januari 1993. Dengan adanya

kawasan perdagangan bebas tersebut maka seluruh negara anggota

ASEAN akan mengurangi hambatan arus perdagangan dan investasi

antar mereka secara bertahap hingga tahun 2008 yang diletakkan

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 2 [email protected]

Page 3: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

dalam skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Vietnam

yang bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995 disusul oleh Laos

dan Myanmar dua tahun kemudian serta Kamboja pada tahun 1999

secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan

dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut.

Melihat latar belakang dibentuknya kawasan perdagangan bebas

ASEAN, oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa keberadaan AFTA

lebih dilandasi oleh tujuan ekonomi dan bukan tujuan lain seperti

keamanan ataupun politik, di mana main goals-nya adalah guna

menarik investasi asing langsung dalam rangka menopang

pertumbuhan ekonomi di kawasan, mempertahankan keunggulan

komparatif, serta untuk menjaga hubungan ekonomi dengan negara-

negara partner utama Asia yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.

Disamping itu, seperti halnya organisasi serupa di kawasan lain,

terdapat tujuan lain yang lebih spesifik yakni guna menggairahkan

hubungan ekonomi dan perdagangan antar sesama anggota ASEAN

yang sebelumnya menunjukkan level kurang menggembirakan (grafik

2). Sekedar ilustrasi, sebagai sebuah kawasan ekonomi strategis,

ASEAN pada tahun 1995 (sebelum bergabungnya Laos, Myanmar

dan Kamboja) memiliki pangsa pasar lebih dari 420 juta jiwa, namun

perdagangan antar anggotanya tidak pernah melampaui angka 20%.

Sebaliknya, hubungan perdagangan negara-negara ASEAN justru

lebih dominan dijalin secara unilateral dengan negara-negara partner

di luar Asia tenggara, sehingga AFTA pada dasarnya dapat dilihat

sebagai « stimulus » yang dimaksudkan guna mengintensifkan

perdagangan internal antar anggota ASEAN.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 3 [email protected]

Page 4: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Krisis ekonomi regional

Sejak awal tahun 1990an, ekonomi Indonesia sangat sustainable dan

attractive bagi investasi asing hingga terjadinya krisis moneter di Asia

pada 1997. Selama tiga dekade sebelumnya, ekonomi Indonesia

tumbuh rata-rata 7% dan GDP riil rata-rata 7-8 % hingga tahun 1996.

Pertumbuhan ekspor sangat sehat dan balance of payments dalam

tataran aman, sehingga apabila dibandingkan dengan negara lain di

lingkup regional, Indonesia adalah salah satu yang memiliki defisit

anggaran paling rendah dan rasio cadangan devisa yang paling tinggi.

Trend positif tersebut berubah ketika terjadi gelombang moneter di

Asia yang bermula pada tanggal 2 Juli 1997 ketika Bank sentral

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 4 [email protected]

Page 5: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Thailand menyerah terhadap tekanan yang menyerang kurs nasional-

nya. Thailand memutuskan untuk memotong tali yang

menghubungkan Baht dengan US dollar sehingga memprovokasi

jatuhnya Baht vis-à-vis US$. Beberapa hari kemudian, Filipina

mengikuti langkah yang ditempuh Thailand. Dengan maksud

memproteksi cadangan devisanya, Filipina melepaskan standard

tukar mata uangnya--biasa disebut ‘peg’-- terhadap US$, sehingga

Peso Filipina jatuh hingga sepersepuluh dari nilai sebelumnya. Efek

domino tersebut kemudian mempengaruhi Malaysia dan Indonesia

beberapa waktu setelahnya. Pada Juli 1997, tekanan yang kuat

terhadap kurs tukar Rupiah disambut dengan keputusan Bank Sentral

Indonesia dengan menaikkan level peg tertinggi dan menurunkan

level peg terendah hingga 12%. Namun, pertahanan atas rupiah

tersebut hanya bertahan sebulan karena pada tanggal 14 Agustus

1997 Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan upaya

mempertahankan diri dari gempuran moneter tersebut sehingga nilai

rupiah tiba-tiba jatuh terhadap US$. Dalam beberapa minggu, nilai

Rupiah merosot dari 2.449 pada 30 Juni menjadi 3.800 per US$ pada

minggu kedua Oktober 1997.

Badai ekonomi tersebut berlanjut pada tahun berikutnya. Pada akhir

Mei 1998, kurs nilai tukar rupiah jatuh bebas pada level Rp.11.000 per

US$ dari Rp 2.300 per US$ atau setara dengan sepertujuh dari nilai

sebelum krisis. Sebagai konsekuensi, barang-barang impor menjadi

luar biasa mahal dalam takaran rupiah, memicu penyerbuan barang-

barang impor dan komoditas utama di pasar-pasar perkotaan. GDP riil

menurun hingga 10-20%, inflasi mencapai 70-100%, pengangguran

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 5 [email protected]

Page 6: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

meningkat, dan kemiskinan menyapu hampir seluruh prestasi

ekonomi yang dibangun selama tiga dekade sebelumnya. Masih lagi,

pemerintah harus menghadapi persoalan lain yaitu jatuhnya harga

minyak hingga hanya mencapai level 10-12$ per barrel. Dapat

dibayangkan kondisi keuangan negara pada saat tax revenue

menurun drastis sedangkan expenditure meningkat tajam. Kondisi

inilah yang dikenal sebagai era runtuhnya infrastruktur ekonomi

Indonesia, sebuah tragedi yang sampai saat ini masih terus

diupayakan pemulihannya.

Krisis moneter tersebut sudah pasti mempengaruhi kesiapan masing-

masing anggota ASEAN dalam menghadapi AFTA, namun cukup sulit

untuk memprediksi kesiapan aktual peserta AFTA berdasarkan

perspektif ini. Terdapat paling tidak tiga alasan yang mendasarinya,

yaitu: Pertama, masing-masing anggota ASEAN memiliki tingkat

kecepatan recovery ekonomi yang bervariasi. Sebagai misal, Malaysia

dan Singapura saat sekarang bisa dikatakan telah pulih hampir 100%

namun Indonesia mungkin masih dikisaran 90% atau bahkan kurang;

Kedua, menggunakan indikator yang ada sekarang akan

menimbulkan bias mengingat beberapa negara masih berada dalam

proses recovery sementara negara lain telah berada pada titik balik

(berdasarkan teori conjunctur ekonomi), dan; Ketiga, seluruh negara

anggota ASEAN mengalami krisis moneter, sehingga Indonesia

bukanlah satu-satunya negara yang terkena dampaknya. Berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut maka analisis komparatif

kapasitas Indonesia terhadap anggota ASEAN lainnya lebih

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 6 [email protected]

Page 7: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

difokuskan pada indikator-indikator pada sekitar awal berdirinya

AFTA.

Prospek AFTA Bagi Indonesia

Inti dari CEPT dalam persetujuan AFTA adalah pengurangan berbagai

tarif impor dan penghapusan hambatan non-tarif atas perdagangan

dalam lingkup ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia

berupa perubahan harga relatif produk-produk Indonesia yang

diekspor ke negara-negara ASEAN disamping akan menjadi insentif

bagi masuknya investasi asing yang selama ini menjadi salah satu

pilar untuk memutar roda perekonomian nasional. Oleh karena itu,

dalam hal ini profil perdagangan dan investasi Indonesia, dengan

perbadingan profil negara-negara anggota lainnya, sangat penting

diketahui guna melihat sejauh mana AFTA akan membawa dampak

positif bagi Indonesia.

Pertama dan yang paling penting dalam sistem ekonomi pasar adalah

perdagangan. Tabel 1 menunjukkan Index keunggulan komparatif

produk ekspor andalan anggota-anggota ASEAN yang dinyatakan

dalam skema CEPT. Dalam tabel tampak bahwa Indonesia tidak

cukup dominan dalam hal keunggulan comparatif produk-produk

ekspornya, bahkan dibandingkan dengan Kamboja yang terhitung

sebagai pemain baru dalam transaksi perdagangan regional. Dari

seluruh produk unggulan, hanya produk kayu lapis dan plywood yang

tidak tersaingi oleh anggota lainnya dengan index 37, disusul

kemudian oleh produk karet alam dimana Indonesia hanya menduduki

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 7 [email protected]

Page 8: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

tempat ketiga setelah Kamboja dan Thailand. Prestasi peningkatan

volume ekspor Indonesia pada tahun 2000 seperti diuraikan di atas

tiada lain lebih merupakan hasil transaksi perdagangan Indonesia

dengan pihak di luar ASEAN, khususnya dengan Jepang dan Amerika

Serikat. Sementara itu, dalam transaksi perdagangan di kawasan,

sepertinya Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak. Terlebih jika

mengingat bahwa produk kayu lapis dan plywood berbahan dasar

kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di Indonesia

mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun.

Dengan kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat

dijadikan produk andalan dalam jangka menengah apalagi jangka

panjang, mengingat semakin langkanya bahan baku kayu.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 8 [email protected]

Page 9: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Tabel 1Revealed Comparative Advantage of Export Index: Indonesia and ASEAN Countries

SITC Description Indonesia Philippine Thailand Malaysia Sgpore Brunei C-bodia Myanmar Vietnam

036 Shellfish: fresh, frozen 7 9 13 - - - 3 12 38037 Fish: prepared, preserved - 20 - - - - - - -042 Rice - - 33 - - - - 60 65054 Vegetables: fresh, preserved - - - - - - - 30 -057 Fruits, nuts: fresh, dried - 6 - - - - - - 4071 Coffe and subtitudes - - - - - - - - 11222 Seeds for ‘soft’ fixed oils - - - - - - 12 12 9223 Seeds for other fixed oils - - - - - - 10 - -232 Natural rubber, gum 27 - 30 22 - - 94 - -233 Rubber: Synthetic, reclaimed - - - - - - 63 - -245 Fuel wood, charcoal - - - - - - 59 - -247 Wood: roughed, squared - - - 18 - - 175 71 -248 Wood: shaped, sleepers - - - 7 - - 12 12 7269 Waste of textile fabrics - - - - - - 15 - -287 Base metal ores 7 - - - - - - - -332 Coal, lignite and peat - - - - - - - - 9333 Crude petroleum 4 - - 2 - 10 - - 6334 Petroleum products: refined 2 - - - 6 2 - - -341 Gas: natural, manufactured 13 - - 3 - 41 - - -424 Fixed vegetable oil: non-soft - 34 - 43 - - - - -634 Veneers, plywood 37 - - - - - 8 - -653 Woven man-made fibre

fabrics5 - - - - - - - -

667 Pearl, precious, semi-precious stones

- - 4 - - 0 - 13 0

752 Automatic data processing equipment

- - - - 7 - - - -

759 Offices machines: parts, accessories

- - 3 3 3 - - - -

761 Relevision receivers - - - - 5 - - - -

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 9 [email protected]

Page 10: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Continued….

SITC Description Indonesia Philippine Thailand Malaysia Sgpore Brunei C-bodia Myanmar Vietnam

762 Radio broadcast receivers - - - 12 8 - - - -763 Sound recorders,

phonographs- - - - 4 - - - -

764 Telecom equipment, parts, accessories

- 2 - 2 2 - - - -

772 Switch gears, parts - - - - 1 - - - -773 Electrical distributing

equipment- 5 - - - - - - -

776 Transistors, valves - 5 2 7 4 - - - -778 Electrical machinery - - - - 1 - - - -842 Men’s outerwear, not knitted - - - - - 0 16 - 8843 Womens outerwear, not

knitted3 4 4 - - 0 5 3 6

844 Undergarments, not knitted - -- - - - - 45 9 -845 Outerwear, knitted non

elastic- 4 - - - 1 4 - -

846 Undergarments, knitted - 8 - - - 1 5 - -851 Footwear 5 4896 Works of art 0 18931 Special transactions 8 0 8

Sumber: UNCTAD (1996)

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 10 [email protected]

Page 11: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Hal lain yang menghambat peningkatan volume perdagangan intra

regional dan pada gilirannya kurang menguntungkan Indonesia

khususnya, adalah fakta dimana produk-produk ekspor andalan

negara anggota AFTA secara umum lebih bersifat ‘subtitutif’ daripada

‘komplementer’, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung

serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat

menyerap produk mereka satu sama lain. Bahkan di pasar produk-

produk mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk yang

tidak unggul secara komparatif. Seperti terlihat pada tabel, dari

seluruh anggota AFTA hanya Singapura yang relatif memiliki produk

unggulan berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan

teknologi elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada

pertanian dan hasil alam. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana

agar di dalam pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang

memiliki variasi produk unggulan tidak tenggelam dalam persaingan,

dimana hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan awal

dibentuknya organisasi ini. Tantangan inilah diantara yang harus

dijawab oleh AFTA dan anggota-anggotanya, khususnya Indonesia.

Apabila pemerintah mampu memecahkan persoalan ini dan dapat

secara jeli memetakan dan kemudian memanfaatkan pasar regional

ASEAN yang saat ini mencapai lebih dari setengah milyar jiwa,

terdapat dua peluang besar terbuka bagi Indonesia terkait dengan

perdagangan, yaitu kesempatan untuk fully-recovered pasca krisis

ekonomi; dan yang kedua adalah kesempatan untuk memacu

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 11 [email protected]

Page 12: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

pertumbuhan ekonomi yang stabil dan signifikan sebagaimana yang

terjadi pada periode tahun 1970an hingga menjelang krisis ekonomi

1997.

Di sisi lain, dengan adanya pengurangan hambatan dan tariff

perdagangan, sudah barang tentu akan terjadi peningkatan volume

transaksi perdagangan antar anggota AFTA, namun muncul

pesimisme bahwa peningkatan tersebut akan mencapai jumlah yang

signifikan dan mampu bertahan dalam waktu yang lama. Sejauh ini

kekhawatiran tersebut memang belum cukup terbukti dan memang

untuk sementara ini secara umum AFTA telah menunjukkan

efektifitasnya. Sebagai misal, pada tahun 1994, setahun setelah

percobaan implementasi AFTA, total perdagangan ASEAN dengan

dunia tumbuh sebesar 21% (dari US$ 448 milyar pada tahun 1993

menjadi US$ 543 milyar pada tahun 1994, dan perdagangan Intra

ASEAN juga meningkat dari US$ 89 milyar tahun 1993 menjadi US$

110 milyar tahun 1994 atau naik sebesar 24%. Terlebih mengingat

keunggulan komparatif bukanlah satu-satunya indikator penentu

keberhasilan perdagangan suatu negara. Namun demikian tidak ada

salahnya, khususnya bagi Indonesia, untuk memperkirakan berbagai

kemungkinan di masa datang di dalam AFTA, dan yang lebih utama

lagi guna meyakinkan manfaat organisasi ini bagi masing-masing

anggotanya.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 12 [email protected]

Page 13: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Selain perdagangan, yang juga vital adalah investasi. Ketika Sukarno

memerintah mulai awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun

1960an, perekonomian nasional dirangsang dengan fiscal stimulus

yang dibiayai dengan cara mencetak uang dan mendevaluasikan

mata uang. Akibatnya terjadi inflasi yang parah hingga mencapai

1,500 persen disertai dengan langkanya barang-barang produksi dan

meroketnya pengangguran. Ketika Suharto mulai memerintah pada

tahun 1966, strategi ini dirubah 180 derajad. Perekonomian nasional

disusun berdasarkan program nasional terencana dengan rentang

waktu 5 tahun dengan menekankan pertanian dan hasil alam sebagai

mesin penggeraknya. Mulai tahun 1986, seiring dengan kuatnya

tekanan ekonomi yang berorientasi pasar dan kebijakan ekonomi

nasional Indonesia yang memperlebar peran swasta dalam

perekonomian, investasi asing langsung mulai mengambil peran

menentukan dalam pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Seperti

tampak dalam Grafik 3, Investasi asing terus mengalami peningkatan

secara drastis dari tahun ke tahun dan mencapai puncaknya pada

tahun 1996, setahun sebelum krisis ekonomi. Sebagai gambaran

peran penting investasi ini, dalam grafik terlihat bahwa pertumbuhan

GDP nasional cenderung meningkat dengan peningkatan nilai

investasi yang masuk, dan sebaliknya menurun drastis seiring dengan

penurunan angka investasi. Seperti diketahui, pada saat terjadi krisis

ekonomi tahun 1997 terjadi pelarian modal dari tanah air secara

besar-besaran dari tanah air yang dikenal dengan capital flight.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 13 [email protected]

Page 14: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Secara common sense, ada dua manfaat investasi yang mungkin bagi

perekonomian Indonesia, yaitu: pertama, sebagai penggerak

perekonomian nasional. Pada tataran yang lebih teknis, untuk

menggerakkan perekonomian diperlukan capital yang pembiayaannya

dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya pendapatan

pemerintah, investasi, tabungan, atau dengan privatisasi aset-aset

negara. Namun diantara sumber-sumber tersebut, yang paling mudah,

praktis, efektif, dan memungkinkan bagi Indonesia saat ini adalah

investasi karena disamping sifatnya yang langsung, sumber-sumber

pembiayaan lain masih sulit diandalkan. Krisis multidimensional

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 14 [email protected]

Page 15: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-1998 telah mengurangi

secara drastis kemampuan pemerintah untuk membiayai

pembangunan. Pada saat yang sama, tuntutan pihak-pihak donor

agar pemerintah Indonesia memperkecil defisit anggaran biaya

negara sebagai prasyarat pengucuran paket bantuan, telah

meniadakan kemungkinan pemerintah memberikan stimulus fiskal dari

sumber APBN. Usaha pemerintah yang memprivatisasi perusahaan-

perusahaan milik negara sejak tahun 1999 memang cukup membantu

mengangkat perekonomian, tetapi masih jauh dari target yang

diinginkan; dan, kedua, investasi berperan sebagai sarana untuk

memfasilitasi terjadinya transfer kemampuan dan tehnologi yang

biasanya menyertai investasi. Keuntungan kedua ini memang tidak

cukup mendesak dalam jangka pendek bagi Indonesia karena

prioritas recovery economy tentunya lebih utama dan pada periode

boom investasi sejak tahun 1980-an transfer kemampuan dan

tehnologi tersebut telah terjadi, bahkan sempat membawa Indonesia

pada status negara semi-industri di kawasan Asia. Namun dalam

jangka menengah pasca krisis, penguasaan Indonesia atas teknologi

khususnya tehnologi produksi akan sangat vital apabila tidak ingin

ditinggalkan oleh negara lain di kawasan. Apalagi dengan pesatnya

perkembangan tehnologi informasi yang demikian dahsyat selama

satu dekade terakhir.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 15 [email protected]

Page 16: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Namun ternyata tidak mudah bagi Indonesia menarik minat para

investor asing untuk masuk ke Indonesia. Meskipun gebrakan-

gebrakan pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan good

governance semakin gegap gempita digalakkan, hingga saat ini trend

investasi asing langsung masih menunjukkan grafik naik turun.

Berbagai upaya menarik kembali para investor telah dilakukan

pemerintah, seperti misalnya restrukturisasi sistem perbankan

nasional, perbaikan sistem hukum, dan privatisasi asset negara.

Namun sejauh ini berbagai upaya tersebut belum membuahkan hasil

seperti yang diharapkan dan mungkin adanya kekhawatiran akan

efektifitas kebijakan desentralisasi yang digulirkan sejak tahun 2001

tampaknya merupakan penyebab Indonesia belum cukup menarik di

mata investor.

Di sinilah tampaknya Indonesia akan berharap banyak dengan

keberadaan AFTA. Tidak dapat dipungkiri bahwa AFTA secara tidak

langsung telah menjadi penghubung yang dapat diandalkan antara

kawasan Asia Tenggara dengan dunia luar. Potensi pasar kolektif

yang demikian besar dan pertumbuhan ekonomi yang relatif signifikan

selama beberapa dekade terakhir memungkinkan hal tersebut dapat

terealisasi. Jika selama masa sebelum berdirinya AFTA, tiap-tiap

anggota cenderung bergerak secara individual, sehingga dalam

perekonomian dunia secara keseluruhan mereka kurang memiliki

daya tawar signifikan, maka dengan keberadaan AFTA tiap-tiap

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 16 [email protected]

Page 17: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

anggota, atas nama kolektif, dapat “memaksa” dunia luar untuk lebih

berpihak pada kepentingan mereka. Singkatnya, keberadaan AFTA

diharapkan akan mampu meningkatkan daya tawar masing-masing

anggotanya terhadap dunia luar kawasan sekaligus meningkatkan

image di mata investor.

Sebagai konsekuensi logis sistem perdagangan bebas, Indonesia

sudah barang tentu akan dihadapkan pada negara-negara partner

ekonomi di dalam organisasi AFTA yang menjanjikan berbagai

peluang keuntungan, namun pada saat yang sama Indonesia juga

akan mempunyai pesaing-pesaing baru karena prinsip perdagangan

bebas (yang menjadi landasan AFTA) akan mendorong tiap-tiap

anggota untuk memperbesar keunggulan komparatif masing-masing,

di mana pada akhirnya hanya negara yang punya keunggulan

komparatif terbesarlah yang cenderung meraih keuntungan optimal.

Dalam kerangka ini, perlu kiranya kita melihat profil makro ekonomi

Indonesia dan negara-negara partner, sehingga kita akan dapat

melihat sampai dimana sesungguhnya kesiapan Indonesia

dibandingkan dengan anggota lainnya dalam free market di Asia

Tenggara. Sehubungan dengan hal itu, analisis berdasarkan data-

data pada tabel 2 kiranya cukup memberi gambaran obyektif.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 17 [email protected]

Page 18: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Tabel 2Indikator Ekonomi Indonesia (1997-2000)

KATEGORI 1997 1998 1999 2000

Pertumbuhan ekonomi (%) 4.7 -13.01 0.31 4.54PDB (nominal US$ milliar) 208 99 130 183

PDB per kapita (US$) 1,030 487 693 847Inflasi (%) 11.05 77.63 2.01 9.35Ekspor (US$ milliar) 56,29 50,37 46,37 51,6(**)Impor (US$ milliar) 46,22 31,94 29,99 26,53(**)Surplus perdagangan (US$ m) 10,07 18,43 17,38 25,07Penjualan mobil (unit) 386.709 58.033 933.814 275.307(*)Penjualan motor (unit) 1.801.066 431.485 487.759 790.463(*)Penjualan semen (juta ton) 27,9 21,1 27,9 24,4(***)Konsumsi semen DN (juta ton) 27,4 19,3 18,8 20,0(***)Konsumsi listrik (gWh) 64,295 65.357 72,680

* Per Oktober 2000** Per November 2000*** Per Agustus 2000

Sumber: Biro Pusat Statistik

Pertama berdasarkan indikator pendapatan perkapita dan

pertumbuhan GDP tahun 1970 -1997. dari pendapatan perkapita

tahun 1995, di situ tampak bahwa Indonesia bersama-sama dengan

Filipina, Thailand, dan Vietnam termasuk negara miskin di kawasan,

bahkan dalam daftar masuk urutan ke dua terbawah setelah Vietnam

atau setara dengan sepertigapuluh pendapatan perkapita Singapura.

Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber

daya alam mulai dari minyak hingga kekayaan tropis yang beraneka

ragam, kenyataan ini terkesan kontradiktif dan memprihatinkan.

Disamping karena besarnya jumlah penduduk, tentu ada faktor-faktor

lain yang tidak perlu diuraikan dalam tema ini. Sementara

pertumbuhan GDP relatif stabil dari tahun ke tahun dengan rata-rata

7.3% pertahun. Berdasarkan indikator ini, dibandingkan dengan

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 18 [email protected]

Page 19: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

negara anggota lainnya, Indonesia bisa dibilang cukup siap, setara

dengan Malaysia dan Singapura. Begitu pula dengan saving ratio dan

investasi, dimana Indonesia termasuk yang cukup berhasil

menggalang saving dan investasi dengan ukuran rata-rata anggota

AFTA. Yang mengkhawatirkan dan selalu menjadi bahan pemikiran

para pakar ekonomi Indonesia adalah persoalan hutang luar negeri,

dimana jumlahnya telah mencapai angka diatas 50% dari GDP. Angka

tersebut hingga 1997 sebenarnya telah masuk dalam kategori “kritis”

berdasarkan ukuran ekonomi, namun krisis ekonomi yang diikuti

dengan penurunan secara drastis nilai tukar rupiah pada kurun waktu

1997-1999 telah membengkakkan hutang negeri Indonesia yang

mayoritas dalam bentuk US$ (Sebagai catatan: di antara anggota

AFTA, hanya Indonesia, Vietnam dan Filipina yang dicekam persoalan

hutang luar negeri).

Serangkaian kebijakan telah diterapkan, termasuk rescheduling

hutang luar negeri dan konversi capital. Akan tetapi dengan cara ini

bukan berarti persoalan hutang luar negeri telah selesai karena

recheduling hutang pada dasarnya hanya merupakan upaya

penundaan kewajiban dan bahkan justru dapat memperberat

perekonomian Indonesia di masa setelahnya. Hal ini-lah yang

sebenarnya menjadi tugas terberat tim ekonomi pemerintah yang saat

ini masih harus terbebani oleh persoalan-persoalan semi-politis.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 19 [email protected]

Page 20: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Persoalan inflasi juga tak kalah pelik. Seperti tampak pada tabel 3,

dapat diasumsikan bahwa budaya inflasi telah melekat dengan

Indonesia. Sejak tahun 1990, inflasi selalu mencapai angka hampir

dua digit. Apabila dianalisa, fenomena inflasi tergolong unik. Berdasar

teori ekonomi, inflasi terjadi karena suplay barang dan jasa yang lebih

rendah daripada uang beredar. Namun yang dominan terjadi di

Indonesia adalah inflasi rutin menjelang hari-hari besar agama tiap

akhir tahun. Jadi inflasi lebih di picu oleh ekspektasi inflasi oleh

masyarakat.

Tabel 3Pergerakan angka inflasi (1997-2000)

Bulan 1997 1998 1999 2000

Januari 1.03 6.88 2.97 1.32Februari 1.05 12.76 1.26 0.07Maret -0.12 5.49 -0.18 -0.45April 0.56 4.770 -0.68 0.56Mei 0.119 5.24 -0.28 0.84Juni -0.17 44.64 -0.34 0.50Juli 0.66 8.56 -1.05 1.28Agustus 0.88 6.30 -0.93 0.51September 1.29 3.75 -0.66 -0.06Oktober 1.99 -0.27 -0.06 1.16Nopember 1.65 0.08 0.25 1.32Desember 2.04 1.42 1.73 1.94

Total 11.05 77.63 2.01 9.35

Sumber: Biro Pusat Statistik

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 20 [email protected]

Page 21: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Tabel 2Data Ekonomi Makro Indonesia dan ASEAN-6

A. Income Per Kapita dan Pertumbuhan GDP

Per CapitaGDP1995(US$)

GDP Growth(average % per annum)

GDP Growth(% per annum)

1970-80 1981-90 1990 1991 1992 1993 1994

Indonesia 980 7.2 6.0 9.0 8.9 7.2 7.2 7.5Malaysia 3,890 7.9 5.2 9.7 8.6 7.8 8.4 9.4Philippines 1,050 5.9 1.0 3.0 -0.6 0.3 2.1 4.4Singapore 26,730 8.3 6.5 9.0 6.7 6.3 10.4 10.3Thailand 2,740 7.1 7.9 11.2 8.4 7.8 8.3 8.8Vietnam 275 0.5 5.0 4.9 6.0 8.6 8.1 8.8

B. Savings-Rasio GDP, 1991-1997 (% dari GDP)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Indonesia 33.5 35.3 35.3 35.3 35.8 37.4 30.0Malaysia 32.0 35.0 35.4 37.6 37.2 37.5 35Philippines 16.6 14.9 13.8 14.9 14.7 16.1 16.9Singapore 44.0 47.2 48.5 51.3 52.0 55.9 56.4Thailand 35 .2 35.2 35.0 35.2 36.5 35.0 32.0Vietnam 9.1 16.9 17.4 16.9 17.0 16.7 17.7

C. Investasi-Rasio GDP, 1991-1997 (% dari GDP)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Indonesia 32.0 32.4 33.2 34.0 37.8 39.0 -Malaysia 35.8 33.6 35.3 38.4 40.6 41.5 42.8Philippines 20.2 21.3 24.0 24.1 22.3 23.2 24.7Singapore 35.1 36.4 38.4 32.2 33.9 34.5 35.4Thailand 42.2 39.9 40.9 41.6 43.1 41.7 35.0Vietnam 11.6 17.6 24.9 25.5 27.1 27.9 25.4

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 21 [email protected]

Page 22: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

D. Current Account, 1991-1997 (% dari GDP)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Indonesia -3.3 -2.0 -1.3 -1.6 -3.5 -3.4 -3.8Malaysia -8.9 -3.8 -4.5 -5.9 -9.9 -4.9 -4.8Philippines -2.3 -1.9 -5.5 -4.6 -2.7 -4.7 -4.0Singapore 5.1 9.5 6.3 15.0 18.0 18.0 17.2Thailand -7.7 -5.7 -5.1 -5.7 -8.1 -7.9 -2.2Vietnam -2.3 -0.7 -12.4 -8.9 -10.0 -11.0 -10.0

E. External Debt Ratios, 1991-1997 (% dari GDP)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Indonesia 62.1 63.3 56.4 54.6 53.6 48.7 50.5Malaysia 38.6 34.3 40.7 40.7 39.3 29.1 28.3Philippines 71.4 62.3 66.1 62.4 53.2 52.6 52.4Singapore 11.1 9.5 9.5 10.8 9.8 14.9 15.8Thailand 38.4 37.6 34.2 33.6 33.9 48.8 46.5Vietnam 86.0 130.1 138.9 149.0 181.3 - -

F. Budget-GDP Ratio, 1990-1995 (% dari GDP)

1990 1991 1992 1993 1994 1995

Indonesia 1.8 -0.7 -0.4 -0.4 0.2 -0.2Malaysia -3 -2 -0.8 0.2 2.4 0.3Philippines -3.5 -1.8 -1.2 -1.4 1.0 0.5Singapore 2.7 4.7 5.5 4.4 3.6 5.1Thailand 4.9 4.0 2.6 1.9 2.7 2.8Vietnam -8.0 -3.7 -3.7 -6.0 -2.5 -1.1

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 22 [email protected]

Page 23: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

G. Consumer Price Inflation, 1991-1997 (% per tahun)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Indonesia 9.0 8.3 9.3 8.5 9.3 6.5 11.6Malaysia 4.0 4.8 3.6 3.7 3.4 3.5 2.6Philippines 19.0 8.4 7.8 9.4 7.9 8.4 5.1Singapore 3.4 2.3 2.3 3.1 1.7 1.4 2.0Thailand 6.0 3.8 3.6 5.3 5.0 5.8 5.6Vietnam 67.6 17.5 5.2 14.5 12.7 4.5 4.4

Sumber : Asian Development Bank (1996)

Bertarung dalam lumpur AFTA

AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi,

perdagangan bebas menyediakan sederet peluang dan harapan,

namun di sisi lain berpotensi menggilas yang tidak siap melalui

persaingan tanpa ampun. Beberapa hal, oleh karenanya perlu

ditekankan kembali agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat

selalu diproyeksikan pada peningkatan daya saing sembari

memperhatikan ketahanan ekonomi nasional, yaitu bahwa: 1)

ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan akan

semakin besar dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian

domestik Indonesia, khususnya yang paling perlu diwaspadai adalah

transaksi perdagangan dan arus investasi asing langsung; 2) melihat

berbagai indikator yang ada, Indonesia tidak dapat berharap terlalu

banyak dari AFTA kecuali Indonesia dapat menciptakan terobosan-

terobosan di bidang perdagangan secara cukup spektakuler.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 23 [email protected]

Page 24: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Keunggulan komparatif yang relatif rendah, kemiripan produk-produk

ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, adalah antara lain

yang mendasari asumsi ini; 3) Indonesia masih cukup dapat berharap

banyak dari transaksi perdagangan unilateral maupun perdagangan

melalui media lain seperti APEC, dimana partner-partner dagang

tradisional Indonesia berada. Namun hal ini bukan berarti Indonesia

harus meninggalkan AFTA karena bagaimanapun AFTA adalah

fenomena regional yang menyiratkan lebih banyak ketidakpastian

apabila dihindari. Belajar dari pengalaman Inggris dalam konteks

masyarakat ekonomi eropa, yang kiranya perlu dilakukan adalah

menyiasati agar lahan yang sebenarnya “menjanjikan” tersebut dapat

bermanfaat seoptimal mungkin bagi perekonomian nasional; 4)

dibidang investasi, keberadaan AFTA menjadi penting bagi Indonesia

untuk menarik kembali sepenuhnya capital flight yang terjadi selama

periode krisis ekonomi. Oleh karenanya, disamping perlu menciptakan

suasana kondusif di dalam negeri, Indonesia juga perlu semakin aktif

melakukan promosi keluar. Meskipun faktor kekayaan alam yang

melimpah serta jumlah pasar yang besar (210 juta orang) secara

natural akan memposisikan Indonesia sebagai lahan subur bagi

investasi, namun perlu diingat bahwa investasi selalu bergerak

berdasarkan motivasi profit dari revenue. Perlu diingat bahwa negara-

negara lain seperti China, India, Thailand, Vietnam, dan bahkan

Kamboja dapat menjadi lebih menarik di mata investor jika Indonesia

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 24 [email protected]

Page 25: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

tidak jeli menangkap peluang yang ada. Dalam rangka ini AFTA

tampaknya akan dapat diandalkan sebagai mediator yang efektif.

Akhir kata, impian untuk menjadi kekuatan ekonomi yang solid di

kawasan Asia Tenggara dengan berbasis pada kekayaan sumber

daya alam, jumlah penduduk (pasar) yang besar, dan pertumbuhan

ekonomi yang stabil tampaknya masih memerlukan kerja keras dan

kecerdasan extra. Menurut teori pembangunan terencana Suharto dan

berbagai fakta pertumbuhan selama masa pemerintahannya,

semestinya Indonesia sudah berada dalam tahap tinggal landas

dalam artian telah lepas dari berbagai bentuk keterbelakangan

ekonomi sekaligus confident dalam mengantisipasi fenomena-

fenomena strategis semisal perdagangan bebas. Namun

kenyataannya, memasuki tahun kesepuluh millenium kedua ini

Indonesia masih berjuang dengan krisis-krisis multidimensi yang tidak

hanya cenderung melemahkan performance ekonomi melainkan juga

meniadakan kemampuan untuk memanfaatkan setiap peluang yang

ada sekaligus menyisakan perasaan khawatir akan terlindas roda

ekonomi global yang semakin hari semakin berputar cepat.

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 25 [email protected]

Page 26: Kesiapan Indonesia Dalam AFTA 2010

Referensi:Asian Development Bank (ADB), Key Indicators of Developing Asian and Pacific

Countries 1996, Manila, 1996ASEAN Website (2002), http//www.asean.or.idASEAN Secretariat, AFTA Reader, Question and Answer on the CEPT for AFTA,

Jakarta, 1995ASEAN Secretariat, AFTA Reader, Vol IV: The fifth ASEAN Summit, Jakarta,

1996AFTA Watch, ‘Regional Cooperation: Vision 2020 Plan Take Shape’, AFTA

Monitor 5 N°7, Juli 1997AFTA in the Changing International Economy, Institute of Southeast Asean

Studies, 1996AFTA in the Changing International Economy, Institute of Southeast Asean

Studies, 1996Baldwin, P., Planning for ASEAN: How to Take Advantage of Southeast Asia’s

Free Trade Area, Economic Intellegence Unit, London, 1997Boisseau du Rocher, Sophie, l’ASEAN et la Construction Régionale en Asie du

Sud-Est, l’Harmattan, 1998Coopération et Intégration Régionales en Asie, Organisation de Coopération et

de Développement Economiqiques, Asian Development Bank, 1995_____, The Economic Transformation of Asia, Times Academic Press, 1997_____, Asian Development Outlook 1996-1997, Manila, 1997Defarges, Philippe Moreau, La Mondialisation Vers la Fin de Frontières ?,

DUNOD 1993De Sacy, Alain S., l’Asie du Sud-Est: l’unification à l’épreuve, Gestion

Internationale, HEC Eurasia Institute, 1999

Tan, Gerald, ASEAN Economic Development dan Cooperation, Times Academic Press, 1996

Gray, Malcolm, Foreign Direct Investment and Recovery in Indonesia: Recent Events and Their Impacts, Institute of Public Affairs Ltd., Melbourne, 2002

Henriot, Alain & Rol, sandrine, l’Europe Face à la Concurrence Asiatique, l’Harmattan, 2001

Raychaudory, B., Probable Enlargement of the ASEAN Free Trade Area and Implications for Investment Flows in Southeast Asia, paper presented at the conference on “Enhancing of Trade and Investment Cooperation in Southeast Asia: Challenges and Opportunities for ASEAN-10 and Beyond”, organisé par ESCAP, au Jakarta, 19-21 Fevrier 1996

UNCTAD, Handbook of Economic Integration and Cooperation Groupings of Developing Countries, Volume 1, 1996

World Bank, World Development Report, 1992, OxforUniversity Press for World Bank, 1992

Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 26 [email protected]