ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 23-36
ISSN: 1412-8004
Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 23
KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK
BUAH (Phytophthora palmivora Butl.)
Resistance of Cocoa to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl.)
RUBIYO dan WIDI AMARIA
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jl. Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Jawa Barat - Indonesia
e-mail:[email protected]
Diterima: 9 Desember 2012; Disetujui: 16 Mei 2013
ABSTRAK
Peningkatan produksi kakao menghadapi banyak
kendala, antara lain serangan penyakit busuk buah
kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora
palmivora. Penyakit ini merugikan karena dapat
menurunkan produksi sampai 44%. Pengendalian
yang biasa dilakukan adalah penggunaan secara
periodik fungisida kimiawi yang memerlukan biaya
besar, dan dapat berdampak negatif terhadap manusia
dan lingkungan. Penggunaan bahan tanam tahan BBK
merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut. Cara ini juga bersifat jangka panjang
sehingga diperlukan informasi mengenai mekanisme
ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora.
Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit
dibedakan atas mekanisme struktural dan biokimia,
baik sebelum maupun sesudah penetrasi penyakit.
Aktifitas penyebaran inokulum P. palmivora pada daur
penyakit dipengaruhi oleh ciri morfologi buah kakao
terhadap deposisi, pertumbuhan prapenetrasi
inokulum dan kemampuan penetrasi inokulum ke
dalam jaringan buah. Varietas kakao di Indonesia yang
termasuk kategori tahan BBK adalah ICCRI3, ICCRI 4,
Sca 6, Sca 12 dan DRC 16.
Kata kunci: kakao, mekanisme ketahanan, Phytoph-
thora palmivora Butl.
ABSTRACT
The increase of cocoa production faces many problems
such as black pod disease caused by Phytophthora
palmivora. The disease may reduce the production of
cocoa up to 44%. Control of the disease by chemical
fungicides is costly and creates negative impact to
humans and environment. Utilizing plant material
which is resistant to black pod disease is an alternative
to overcome this problem. It is also a long-term
solution, which require information on the mechanism
of cocoa resistance. Mechanism of plant resistance to
diseases determined by structural and biochemical
mechanism that work on the entire cycle of disease,
both before penetration and after infection.
Distribution activity of inoculum of P. palmivora in the
disease cycle is influenced by the morphological
characters of cocoa pod as a deposition of inoculum
pre-penetration and inoculum penetration ability into
the fruit tissue. Cocoa varieties in Indonesia resistant to
black pod disease are ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12
dan DRC 16.
Key words: cocoa, mechanism of resistance,
Phytophthora palmivora Butl.
PENDAHULUAN
Budidaya kakao (Theobroma cacao) menghadapi banyak kendala, antara lain
serangan organisme pengganggu yang dapat
menurunkan produksi tanaman. Penyakit
penting kakao baik di Indonesia maupun negara
produsen lain adalah busuk buah (blackpod) yang
disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora
Butl. Kerugian akibat penyakit ini berbeda antar
daerah atau negara. Pada umumnya besarnya
kerugian akibat penyakit ini mencapai 20-30%
dan kematian tanaman 10% pertahun (ICCO,
2012). Serangan penyakit ini mampu
menurunkan produksi kakao hingga 44%. P.
palmivora merupakan salah satu patogen yang
paling serius pada kakao di seluruh dunia, dan di
Asia Tenggara spesies ini ditemukan hampir

24 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
pada semua penyakit yang disebabkan
Phytophthora palmivora.
Besarnya kerugian akibat penyakit busuk
buah kakao (BBK) karena usaha pengendalian
yang dilakukan seringkali memberikan hasil
yang tidak konsisten. Hal ini disebabkan oleh
kompleksnya epidemi penyakit tersebut. Epidemi
penyakit BBK didukung oleh beberapa faktor,
yaitu (1) kakao diusahakan di daerah yang
mempunyai kondisi iklim cocok untuk
perkembangan penyakit busuk buah, (2) jenis
kakao yang diusahakan pada umumnya
mempunyai ketahanan sedang sampai rendah,
(3) umur buah sampai panen berkisar antara 5-7
bulan, (4) patogen dapat menyerang semua organ
kakao dan serangan pada buah terjadi pada
semua tahap pertumbuhannya, (5) tersedianya
inokulum pada tanaman kakao, dan (6) patogen
mempunyai tanaman inang yang luas. Pada
umumnya penyakit busuk buah kakao
dikendalikan secara preventif menggunakan
fungisida kimiawi baik yang bersifat kontak
maupun sistemik dengan aplikasi secara periodik
sehingga memerlukan biaya lebih besar.
Disamping itu, fluktuasi harga kakao yang sering
tidak menentu juga menyebabkan pengendalian
kimiawi menjadi tidak ekonomis, oleh karena itu
diperlukan alternatif pengendalian lain yang
secara bertahap dapat mengurangi ketergan-
tungan pada fungisida kimiawi. Selain secara
ekonomis kurang menguntungkan, penggunaan
fungisida kimiawi juga berdampak negatif pada
kesehatan manusia dan lingkungan terutama
kehidupan musuh alami dan mikroorganisme
yang bermanfaat.
Salah satu alternatif pengendalian penyakit
yang aman untuk lingkungan dan merupakan
komponen dalam pengendalian penyakit terpadu
adalah penggunaan varietas tahan, yang
bermanfaat karena bersifat ramah lingkungan
(Akrofi dan Opoku, 2000). Mc.Mohan dan
Purwantara (2004) menambahkan bahwa langkah
pengendalian yang paling efektif adalah
pengenalan genotif kakao tahan. Selain koleksi
plasma nutfah, juga pemeliharaan onfarm
variabilitas genetik sehingga memudahkan
dalam seleksi di bidang pemuliaan. Varietas
kakao dengan tingkat ketahanan tertentu lebih
mudah ditemukan di antara bahan tanam yang
ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi
dapat menjadi cara terbaik untuk mengatasi BBK
(Muller, 1974). Dijelaskan bahwa penggunaan
bahan tanam tahan dalam pengendalian
preventif dapat memperlambat perkembangan
epidemi penyakit (Campbell and Madden, 1990)
sehingga dapat meringankan beban petani.
Iswanto dan Winarno (1992) menjelaskan,
pemuliaan kakao di Indonesia ditujukan untuk
menemukan bahan tanam unggul dengan ciri
memiliki potensi hasil tinggi, kualitas biji baik,
dan tahan terhadap hama dan penyakit penting
seperti busuk buah (P. palmivora) dan vascular
streak dieback (Oncobasidium theobromae).
Keberhasilan ketahanan terhadap
Phytophthora di lapangan ditentukan oleh
interaksi antara inang, patogen dan lingkungan.
Konsentrasi inokulum dan kondisi lingkungan
menentukan seberapa efektif ketahanan inang
untuk menekan kejadian penyakit. Hal tersebut
tidak mudah terutama patogen yang memiliki
kisaran inang luas (André Drenth dan David,
2004). Menurut van der Vossen (1997), ketahanan
tanaman terhadap P. palmivora merupakan
program pemuliaan prioritas pada negara
produsen kakao, namun kemajuan yang dicapai
kurang memuaskan karena kurangnya
keanekaragaman plasma nutfah kakao, belum
ada metode uji saring yang efisien, tidak adanya
strategi pemuliaan yang efektif, dan kurangnya
penelitian mengenai genetika dan mekanisme
ketahanan inang. Dengan demikian, informasi
serta pemahaman mengenai mekanisme
ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora
sangat membantu usaha di bidang pemuliaan
ketahanan.
BIOEKOLOGI DAN EPIDEMI PENYAKIT
BUSUK BUAH KAKAO
P. palmivora dapat menyerang semua organ
atau bagian tanaman, seperti akar, daun, batang,
ranting, bantalan bunga, dan buah pada semua
tingkatan umur. Tetapi serangan pada buah
paling merugikan (Opeke and Gorenz, 1974),
terutama serangan buah yang belum matang. P.
palmivora dapat menginfeksi seluruh permukaan
buah, namun bagian paling rentan adalah
pangkal buah. Buah yang telah terinfeksi patogen

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 25
akan berwarna cokelat kehitaman pada
permukaannya, menjadi busuk basah, dan
selanjutnya gejala menyebar menutupi seluruh
permukaan buah. Pada bagian yang menghitam
akan muncul lapisan berwarna putih bertepung
yang merupakan spora jamur sekunder dan
terdapat juga sporangium Phytophthora
(Semangun, 2000). Jika kondisi lingkungan
(kelembaban) sesuai maka miselium yang
berwarna putih dan mengandung sporangium
Gambar 1. Gejala penyakit busuk buah kakao (foto: Rubiyo)

26 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
Gambar 2. Siklus hidup P. palmivora (Erwin dan Ribeiro, 1996)
akan menutupi seluruh permukaan buah. Guest
(2007) menjelaskan bahwa awalnya bercak pada
buah berukuran kecil seperti spot-spot yang
kotor, tebal dan terdapat pada setiap fase
perkembangan buah, kemudian bercak
berkembang dengan cepat menutupi jaringan
internal dan seluruh permukaan buah, termasuk
biji. Patogen menyerang jaringan internal buah
dan menyebabkan biji kakao berkerut serta
berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya
menjadi hitam dan mumi. Gejala busuk buah
dapat ditemukan dari ujung, pangkal, tengah,
buah pentil, muda, tua, buah yang berada di
bawah, di tengah, maupun di atas pohon. Bila
buah kakao terserang dibelah maka nampak biji-
biji dan daging buah busuk, berwarna cokelat
(Gambar 1). Pada infeksi lanjutan, biji kakao akan
berubah warna dan berkerut (Bowers et al., 2001).
Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan hasil
dan rendahnya kualitas buah.
Penyebaran penyakit P. palmivora dapat
melalui air, semut, tikus, tupai, bekicot yang
dijumpai di perkebunan kakao. Selama daur
hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa
inokulum yang berperan dalam perkembangan
penyakit pada kakao, yaitu miselium,
sporangium, oospora, dan klamidospora.
Sporangium berkecambah secara langsung
dengan membentuk pembuluh kecambah, dan
tidak langsung dengan membentuk zoospora
(Semangun, 2000). Menurut Erwin dan Ribeiro
(1996) Phytophthora memiliki miselium coenocytic
tanpa atau sedikit sekat dan di dalam air dapat
menghasilkan zoosporangia. Oospora seksual
terbentuk secara tunggal dalam oogonium
setelah pembuahan oleh inti dari antheridium
tersebut. Dinding sel mengandung selulosa
mikrofibril dan B-1,3-glukan (Gambar 2).
Morfologi P. palmivora yaitu sporangium ovoid
dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas (Drenth
dan Sendall, 2001). Sporangium mempunyai
panjang 35-40 µm dan lebar 23-28 µm, nisbah
panjang/lebar 1,4-1,6, ukuran ini bervariasi sesuai
dengan medium, inang, umur biakan, lengas dan
cahaya. Panjang pedikel 2-10 µm. Umumnya di
alam sporangium menghasilkan 15-30 spora
kembara. Sporangium dapat pula menjadi
sporangium sekunder atau konidium (Waterhouse,
1974).
Bentuk klamidospora P. palmivora dapat
bertahan dalam tanah kurang dari 10 bulan
(ICCO, 2012). Selain itu, berupa miselium pada
bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang
pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 27
tersebar di tanah, yang kemudian dapat menjadi
sumber inokulum BBK. Sumber inokulum
tersebut memiliki peranan yang berbeda,
tergantung pada lingkungan maupun iklim
setempat. Umumnya tanah dan akar berperan
sebagai sumber inokulum primer yang
memberikan inokulum infektif pada awal musim
hujan untuk dimulainya epidemi busuk buah,
sedangkan buah dan bagian kanopi yang sakit
berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan
berhubungan langsung dengan kehilangan hasil
(Pereira, 1995).
Epidemi penyakit BBK terjadi akibat
penyebaran inokulum P. palmivora secara vertikal
(dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon).
Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak
langsung antara buah sakit dan buah sehat,
penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari
buah sakit ke buah sehat di bawahnya, bantuan
serangga vektor, dan percikan air hujan dari
tanah kebuah di sekitar pangkal batang.
Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan
bantuan serangga, kontak antar pohon dan angin
(Muller, 1974). Penyebaran horizontal terjadi
lebih lambat daripada penyebaran vertikal.
Penyakit busuk buah sukar dikendalikan
karena epidemi penyakit ini kompleks dan belum
dapat diungkapkan secara tuntas. Pembuangan
sumber inokulum primer yang terdapat di pohon
(buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah
(serasah dan kulit buah) tidak menyebabkan
penundaan terjadinya epidemi pada musim
hujan. Hal ini menunjukkan adanya sumber
inokulum lain yang memperbesar inokulum
primer (Dennis dan Konam, 1994).
Thorold (1975) menjelaskan bahwa
perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh
kelembaban udara, yaitu 80-95% selama 2-4 jam
yang mendukung infeksi spora kembara P.
palmivora. Pada kondisi lembab, P. palmivora
dapat menghasilkan sampai 4 juta sporangia
yang disebarkan melalui hujan, semut, serangga,
tikus, kelelawar maupun peralatan pemangkasan
yang terkontaminasi (ICCO, 2012). Disamping
itu, busuk buah juga berhubungan langsung
dengan jumlah buah di pohon dan curah hujan,
namun jumlah buah berbanding terbalik dengan
curah hujan sehingga ada interaksi antara curah
hujan, keragaan (performance) tanaman dan
penyakit (Thorold, 1975). Hasil penelitian Rubiyo
et al. (2008a) dengan menguji isolat P. palmivora
dari berbagai daerah sentra kakao di Indonesia
dengan membasahi buah kakao dan daun kakao
spora mampu menginfeksi, umumnya
memberikan tingkat patogenisitas yang tinggi
terhadap tanaman kakao di buah maupun di
bibit.
Menurut Purwantara (1990) kebasahan
permukaan buah dan kelembaban udara
berperan langsung terhadap infeksi P. palmivora
pada buah kakao. Dalam hal ini peranan curah
hujan terjadi secara tidak langsung melalui
terjadinya kebasahan permukaan buah dan
meningkatnya kelembaban udara. Demikian juga
pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi
terjadi secara tidak langsung, melalui
pengaruhnya terhadap kelembaban udara dan
kebasahan buah.
VARIETAS KAKAO TAHAN BUSUK BUAH
Varietas tahan merupakan salah satu cara
pengendalian penyakit yang sangat dianjurkan
karena ramah lingkungan (Akrofi dan Opoku,
2000). Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu
yang ditemukan di antara bahan tanam yang ada
atau yang dihasilkan melalui hibridisasi
merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk
buah kakao (Muller, 1974). Menurut Muller
(1974), ketahanan kakao terhadap penyakit busuk
buah dibedakan atas ketahanan sejati (true
resistance) dan ketahanan semu (false resistance
atau diseaseavoidance). Ketahanan pertama
merupakan hasil dari karakteristik anatomi,
fisiologi dan biokimia, sedangkan ketahanan
kedua hasil dari karakteristik fenologi pohon
sehingga terhindar dari infeksi P. palmivora.
Penggunaan bahan tanam tahan dapat
memperlambat perkembangan epidemi penyakit
(Campbell dan Madden, 1990). Berdasarkan
epidemilogi, ketahanan tanaman dapat bekerja
dengan cara: a) mereduksi jumlah infeksi, b)
mereduksi laju perluasan bercak, c) mereduksi
sporulasi patogen, d) memperpanjang masa
inkubasi, dan e) mereduksi deposisi spora
(Berger, 1977).
Sumber gen ketahanan terhadap penyakit
BBK dapat ditemukan antara lain pada daerah

28 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
asal tanaman bersangkutan, yaitu dari hulu
sungai Amazon (Brazil). Klon atau hibrida tahan
dari wilayah ini (Iquinitos, Nanay, dan Parinari)
adalah P 7, P 30, Pa 35, Na 32, T.85/799 (IMC 60 x
Na 34), T 87 (IMC 60 x Na 34), T. 79/501 (Na 32 x
Pa 7), T 60 (Pa 7 x Na 32), T 86/2 (Pa 35 x Pa 7), T
65/7 (P 7 x IMC 47). Klon tahan lain adalah Sca 6,
Sca 12 (dari Ekuador), TSH 565, 516, 774 (dari
Trinidad) (Soria, 1974). Hasil pengujian
dibeberapa negara menunjukkan bahwa Sca 6
dan Sca 12 memberikan ketahanan mantap
(Iswanto dan Winarno, 1992; Philip-Mora, 1999).
Klon tahan lain di Indonesia adalah ICS 6, DRC
16, Sca 12, Sca 6, ICCRI 3 an ICCRI 4 sedangkan
GC 7, DR 2, DR 38, DRC 9, Sca 89 moderat, dan
DR 1 rentan (Iswanto dan Winarno, 1992). Klon
anjuran yang tahan terhadap penyakit BBK
adalah P 300, RRC 71, RCC 73. Menurut Winarno
dan Sukamto (1986), hibrida DR 1 x Sca 12, DRC
16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 tidak menunjukkan
beda nyata dalam luas bercak hasil inokulasi
miselium P. palmivora dibanding dengan klon
DRC 16, Sca 6 dan Sca12 yang tahan. Bila
dibandingkan dengan klon DR 1 yang bersifat
rentan, maka hibrida-hibrida tersebut tahan
terhadap patogen P. palmivora. Hasil penelitian
Rubiyo et al. (2008b) menunjukkan bahwa apabila
klon kakao dari tetua yang rentan disilangkan
dengan klon kakao dengan yang tahan akan
menghasilkan hibrida yang cenderung tahan.
Ketahanan semu disebabkan oleh
bergesernya periode pembungaan dari musim
yang mendukung perkembangan patogen. Di
Kamerun, klon UPA 134 berbunga melimpah
pada pertengahan musim kemarau sehingga
buah dapat tahan dari serangan P. palmivora.
Klon serupa adalah SNK 10, 12, 16,136, 213, 459;
ICS 39, 40, 43, 46, 61 (Muller, 1974). Di Nigeria,
puncak produksi kakao klon T 24/12 tercapai 2-3
bulan setelah musim hujan sehingga umumnya
buah masih kecil dan kerugian akibat busuk buah
rendah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi
antara ukuran buah dan serangan P. palmivora.
Fenomena escape diamati pula di Pantai Gading
(Kebe et al., 1999).
Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora
dapat pula dicari dari jenis kakao lain. Buah T.
grandiflora tahan terhadap inokulasi spora
patogen tersebut, sebaliknya T. bicolor, T. spiciosa,
T. simiarum dan T. mammosum rentan (Hansen,
1961 dalam Soria, 1974). Penggunaan jenis ini
sebagai sumber gen tahan menghadapi kendala
karena keberhasilan hibridisasinya dengan T.
cacao sangat terbatas. Hibrid F1 T. cacao x T.
grandiflora mempunyai pertumbuhan lambat,
lemah dan fertilitas rendah (Soria, 1974).
SIFAT, PROSES DAN MEKANISME
KETAHANAN KAKAO TERHADAP
PENYAKIT BUSUK BUAH
Sifat Ketahanan
Simmonds (1994) menyatakan bahwa
ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora
diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada
vertikal. Umumnya ketahanan horizontal
diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan,
seperti kakao, namun tidak mudah dalam
penanganannya terutama berhubungan dengan
pemuliaan tanaman. Zadoks (1997) menyatakan
bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora
dan jamur patogen lain cenderung bersifat tidak
lengkap (partial resistant) yang didasarkan pada
satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat
atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain.
Menurut Agrios (2005) bahwa ketahanan
tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa
rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya
diimbas oleh serangan patogen), melibatkan
mekanisme struktural dan biokimia. Ketahanan
tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi
ketahanan struktural, penghalang struktural
terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi
senyawa antimikrobia.
Iwaro et al. (1995) menjelaskan ketahanan
buah kakao terhadap P. palmivora merupakan
sistem multikomponen yang terekspresi dalam
dua tahap, yaitu ketahanan prapenetrasi dan
pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi
berhubungan dengan faktor morfologi yang
mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan
penetrasi patogen, serta menentukan jumlah
bercak yang terjadi. Ketahanan pascapenetrasi
berhubungan dengan mekanisme biokimia yang
dapat mempengaruhi luasnya jaringan tanaman
(ukuran bercak) yang diinfeksi patogen. Fry
(1982) menyatakan walaupun patogen berhasil

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 29
mempenetrasi jaringan inang, sering kali
perkembangan selanjutnya terhambat.
Proses Infeksi Patogen
Proses infeksi patogen diawali dengan
penetrasi P. palmivora pada buah kakao, yaitu
beberapa saat setelah patogen berkontak dengan
air, spora kembara mulai dibebaskan, mengkista
dan kemudian menghasilkan buluh kecambah.
Penetrasi buluh kecambah melalui mulut kulit.
Bintik nekrotik kehitaman terlihat antara 24
sampai 36 jam setelah infeksi pada tempat
inokulasi. Gejala awal pada kultivar tahan sama
dengan kultivar rentan, yaitu adanya sel yang
mempunyai granula berwarna kecokelatan
(Tarjot, 1974). Sel yang berkontak dengan hifa
jamur menjadi kecokelatan dan tampak granula
kecil, kemudian sel menjadi nekrosis, dinding sel
menjadi cokelat dan tebal, dan kadang terlihat
hifa di dalam sel. Kejadian ini mengawali
munculnya bercak busuk buah. Patogen P.
palmivora tetap mempenetrasi buah tahan
maupun buah rentan, namun terjadi perbedaan
penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah
kakao (Tarjot, 1974). Pada buah rentan, jamur
tidak dapat bertahan lama dalam sel, sel rusak
dengan cepat dan segera terlihat granula
kecokelatan. Ada penyebaran patogen yang cepat
dari satu ke sel lain, sehingga periode
inkubasinya pendek dan perkembangan busuk
berlangsung cepat. Berbeda pada buah tahan,
jamur tetap bertahan lebih lama di dalam sel
sebelum munculnya nekrosis. Jamur mengalami
degenerasi lambat, dan perpindahan dari sel
yang satu ke sel lainnya menjadi terhambat, serta
menghasilkan periode inkubasi yang lama atau
bahkan terjadi ketahanan sempurna (Tarjot, 1972
dan 1974).
Mekanisme Ketahanan
Mekanisme ketahanan pada tanaman kakao
terdiri dari struktural dan biokimia.
a. Struktural
Mekanisme ketahanan struktural dapat
berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry
(1982) walaupun seringkali mekanisme
ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi,
karakteristik struktural dapat mempengaruhi
ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan
morfologi buah kakao berpengaruh pada
deposisi dan penyebaran efektif inokulum P.
palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi
inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan
spora P. palmivora. Karena spora jamur ini bersifat
hidrofilik, spora berada dalam lapisan air
permukaan buah dan biasanya menempel pada
bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan
bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh
besar pada perkecambahan spora.
Ketahanan struktural yang dipengaruhi sifat
morfologi dan anatomi, dijelaskan pada beberapa
tanaman lain, sebagai contoh ketebalan kutikula
dan kerapatan mulut kulit merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan ketahanan
ubi jalar terhadap infeksi Sphacelomabatatas (Baijit
and Gapasin, 1987 dalam Iwaro et al., 1997).
Ketahanan kecipir terhadap Phoma sorghina
diketahui berhubungan dengan lapisan lilin,
ketebalan kutikula dan kerapatan mulut kulit.
Penelitian mengenai ketahanan Dioscorea alata
terhadap antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides)
mengungkapkan bahwa kultivar tahan
mempunyai mulut kering yang tenggelam
dengan pori lebih pendek yang dikelilingi oleh
sel sklerenkim (Nwankiti and Okpala, 1984 dalam
Iwaro et al., 1997).
Penelitian Tarjot (1972) menunjukkan bahwa
jumlah mulut kulit dan rambut-rambut pada
epidermis tidak berkorelasi dengan ketahanan
buah kakao terhadap P. palmivora. Parasit ini
selalu dapat melakukan penetrasi kedalam
jaringan buah rentan maupun tahan.
Diperkirakan ketahanan terhadap jamur ini
terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di
bawah epidermis. Phillips-Mora (1999)
menyatakan bahwa hubungan antara jumlah,
panjang, lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar
mulut kulit tidak dapat menjelaskan ketahanan
kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun
ada perbedaan nyata antarkultivar, kultivar
tahan (P 7) dan moderat (UF 668) mempunyai
jumlah mulut kulit terbanyak, sebaliknya CATIE
1000 (tahan) dan P 12 (rentan) mempunyai
jumlah mulut kulit yang lebih sedikit.
Iwaro et al. (1997) yang mengkaji hubungan
Monilia roreri dan T. cacao menunjukkan tidak ada

30 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
perbedaan anatomi eksternal antara buah kakao
tahan dan rentan. Penelitian berbeda
menunjukkan adanya korelasi nyata antara
ketahanan penetrasi (jumlah bercak) dengan
kerapatan mulut kulit dan panjang pori.
Ketahanan ini tidak berkorelasi dengan lapisan
lilin pada permukaan epidermis, ketebalan,
kekerasan, dan kandungan lengas perikarp. Ciri
morfologi buah tidak berkorelasi dengan
ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan
kemungkinan peran mekanisme biokimiawi
Iwaro et al. (1997). Setiap buah kakao yang tahan
terhadap M. roreri mempunyai cellular
arrangement parenkim sub epidermis yang berbeda
dibandingkan buah rentan. Buah tahan
mempunyai sel-sel yang kompak dan juga
mengandung sejumlah besar senyawa fenolat.
Lignifikasi dinding sel merupakan suatu
bentuk ketahanan tanaman terhadap penetrasi
patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam
lamela tengah, dinding sel primer dan sekunder
(Akai dan Fukutomi, 1980). Penggabungan lignin
ke dalam dinding sel tanaman memberikan
kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding
sel lebih tahan terhadap degradasi enzim patogen
(Goodwin dan Mercer, 1990). Dinding sel yang
terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat
mencegah pergerakan hara sehingga patogen
dapat mengalami kelaparan. Prekursor lignin
berpengaruh toksis pada patogen. Semua
perubahan dinding sel setelah infeksi dapat
meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan
patogen secara langsung atau memperlambat
proses penetrasi sehingga tanaman dapat
mengaktifkan mekanisme pertahanan
selanjutnya. Lignifikasi dapat pula terjadi pada
sel jamur. Menurut Toxopeus dan Jacob (1970)
dalam Wood (1985) ada perbedaan ketebalan kulit
buah dan tingkat lignifikasinya antarkultivar
kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan
sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit
busuk buah.
Mekanisme ketahanan struktural kakao
terhadap penyakit BBK, juga diteliti oleh
Winarno dan Sukamto (1986), melaporkan
perkembangan diameter bercak tongkol kakao
yang diinokulasi dengan P. palmivora diketahui
perkembangan diameter bercak hibrida DR1x Sca
12, DRC 16x Sca6 dan DRC 16x Sca12 tidak
berbeda nyata dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca
12. Penelitian lain (Suhendi et al., 2005)
menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan
antar klon kakao terhadap penyakit busuk buah.
Klon tahan Sca 12 dan TSH 858 mempunyai
bercak yang paling kecil, diikuti oleh klon yang
moderat DRC 16 dan klon ICS 60, dan klon
rentan NIC 4 dan GC 7. Disamping itu penelitian
berkaitan dengan ciri morfologi buah kakao
dilaporkan oleh Wirianata (2004), bahwa panjang
pori mulut kulit kakao, kedalaman dan lebar alur
primer menunjukkan peran yang lebih besar
dalam ketahanan buah kakao terhadap P.
palmivora dibandingkan dengan kerapatan mulut
kulit. Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang
mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan
panjang pori yang besar berhubungan dengan
mekanisme ketahanan struktural yang lain dan
faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi
patogen pasca penetrasi.
Mekanisme ketahanan struktural ini
dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam
dan morfologi luar yang masing-masing
menunjuk pada ciri morfologi buah dan
anatomi/histologi jaringan buah kakao.
Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman
dan lebar alur primer permukaan buah. Klon Sca
12 mempunyai kedalaman dan lebar alur primer
yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang
rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer
terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini
menentukan kondisi habitat mikro permukaan
buah kakao yang selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi
(perkecambahan dan pertumbuhan buluh
kecambah) inokulum patogen. Meskipun
penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui
mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak
mempengaruhi katahanan kakao terhadap
patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858
mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan
sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.
b. Biokimia
Mekanisme ketahanan biokimia tanaman
dihubungkan dengan produksi senyawa
antimikrobia tanaman dari jalur metabolisme
sekunder. Senyawa ini pada ketahanan aktif
disebut fitoaleksin, sedangkan pada ketahanan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 31
pasif disebut fitoantisipin (Van Etten et al., 1994
dalam Osbourn, 1996). Fitoaleksin mempunyai sifat
sebagai berikut: (1) metabolit sekunder yang
mempunyai berat molekul rendah, dihasilkan
sebagai tanggapan terhadap kematian lokal sel
tanaman, (2) sintesis fitoaleksin terjadi dalam sel-
sel sehat sebagai tanggapan terhadap bahan yang
merembes dari sel yang mati, (3) sintesis
fitoaleksin melibatkan banyak enzim.
Serangan patogen dapat meningkatkan
respirasi jaringan tanaman yang tahan. Hal ini
terkait dengan aktivasi sistem pertahanan
tanaman yang memerlukan energi dan prekursor
bagi biosintesis senyawa yang berperan langsung
(bersifat antimikrobia) maupun tidak langsung
(sebagai prekursor ketahanan struktural)
Metabolisme sekunder yang terkait erat dengan
peningkatan respirasi tersebut adalah biosintesis
senyawa fenolat (Agrios, 2005). Biosintesis
senyawa fenolat pada tumbuhan memerlukan
prekursor asam amino aromatik yang berasal dari
jalur shikimat, malonat, dan mevalonat. Umumnya
jalur shikimat terdapat pada tumbuhan dan
mendapatkan pasokan karbohidrat dari glikolisis
dan pentosafosfat (Goodman et al., 1986). Jalur ini
menghasilkan asam shikimat yang merupakan
prekursor sintesis fenilalanin dan tirosin
(Herrmann, 1995).
Metabolisme fenilpropanoid merupakan jalur
karbon utama dari metabolisme primer ke
metabolisme sekunder. Jalur ini diawali dengan
deaminasi fenilalanin oleh phenylalanine ammonia
liase (PAL) (enzim 1) menghasilkan asam sinamat,
prekursor biosintesis senyawa fenolat melalui jalur
fenilpropanoid (Goodman et al., 1986; Goodwin
dan Mercer, 1990). Asam sinamat dihidrolisis
oleh sinamat-4-hidroksilase (enzim 3)
menghasilkan ρ-kumarat. Asam ini dapat pula
dihasilkan melalui deaminasitirosin oleh
tirosinamonialiase (enzim 2). Kemudian asam
kumarat dihidrolisis menjadi asam kafeat oleh
asam ρ-kumarathidroksilase (enzim 4). Asam kafeat
membentuk ester dengan asam kuinat
menghasilkan asam klorogenat. Metilasi asam
kafeat oleh o-metiltransferase (enzim 5)
menghasilkan asam ferulat. Enzim tersebut juga
dapat mengubah asam ferulat menjadi asam
hidroksi ferulat dan asam sinapat. Asam-asam ini
merupakan prekursor sintesis lignin. Asam ρ-
kumarat dapat pula diubah menjadi kumaroil-KoA
oleh asam sinamat: KoAligase (enzim 6).
Ekspresi gen yang menyandi PAL,
cinnamate-4 hydroxylase dan cinnamate: CoAligase
dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk
serangan patogen. Ekspresi gen tersebut
berhubungan produk senyawa fenolat yang dapat
larut dan yang terikat dalam dinding sel tanaman
Wirianata (2004) menyatakan bahwa aktivitas
PAL pada buah kakao belum dapat menunjukkan
tingkat ketahanan terhadap P. palmivora.
Beberapa fenilpropanoid sederhana (C6-C3
dari fenilalanin) dihasilkan dari senyawa sinamat
melalui serangkaian reaksi hidroksilasi, metilasi,
dan dehidrasi, meliputi asam ρ-kumarat, asam
kafeat, asam ferulat, asam sinapat, dan kumarin.
Asam hidroksinamat yang bersifat anti jamur
adalah asam ρ-kumarat, asam ferulat, asam kafeat,
asam sinapat, dan asam klorogenat. Senyawa ini
terdistribusi dalam banyak jenis tanaman (Grayer
dan Harborne, 1994).
Pada umumnya senyawa fenolat dalam
jaringan tumbuhan dihubungkan dengan
ketahanan terhadap penyakit, seperti kandungan
asam klorogenat dalam jaringan umbi kentang
berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap
Streptomyces, Verticillium alboatrum, dan
Phytophthora infestans. Fenol sederhana seperti
asam klorogenat dihubungkan dengan ketahanan
tanaman sebagai preformed antibiotics maupun
dengan ketahanan terimbas. Senyawa fenolat
dapat pula berperan tidak langsung dalam
ketahanan, yaitu sebagai komponen lignin dan
esterfenol yang membentuk ikatan-lintas (cross-
linking) sehingga memperkuat dinding sel,
adanya lignin dapat ditunjukkan dengan adanya
senyawa asam siringat (Donaldson, 2001).
Tanin adalah senyawa polifenol yang larut
dalam air yang berbeda dengan senyawa fenolat
alami lain dalam kemampuannya mengendapkan
protein. Tanin dapat terakumulasi dalam jumlah
besar dalam organ atau jaringan tertentu seperti
kulit, kayu, daun dan akar.
Spance (1961) dan Prendergast (1965) dalam
Iwaro et al. (1999) mengemukakan keterlibatan
polifenoloksidase dalam mekanisme ketahanan
tahap pascapenetrasi buah kakao terhadap P.
palmivora. Okey (1996) dalam Iwaro et al. (1999)
menunjukkan bahwa klon tahan mempunyai

32 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
kandungan tanin yang lebih tinggi dan fenol
spesifik ini mungkin terlibat dalam mekanisme
ketahanan. Terdapat variasi kandungan
karbohidrat, asam amino, dan fenol dalam
perikarp buah empat hari setelah infeksi P.
megakarya. Penurunan kandungan karbohidrat
lebih besar diamati pada klon SNK 10 (sangat
rentan) daripada klon SNK 413 (tahan) dan ICS
95 (agak tahan), ini menunjukkan bahwa
senyawa ini dipergunakan oleh jamur. Pada saat
yang sama kandungan asam amino meningkat
dalam buah ketiga klon tersebut. Ada
peningkatan kandungan fenol empat hari setelah
infeksi. Klon kakao yang tahan mempunyai
kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi,
baik dalam buah sehat maupun yang sakit.
Namun, kandungan fenolat dalam buah sehat
belum dapat berperan sebagai preformat
inhibitor, seperti ditunjukkan dengan gejala
busuk buah pada semua klon kakao. Secara
komulatif senyawa fenolat dapat membatasi
perkembangan busuk buah pada klon kakao
yang tahan.
Penghambatan perkecambahan spora P.
palmivora dihasilkan oleh fenol total yang berasal
dari Sca 12 dan terkecil dari GC 7, sedangkan
fenol total yang berasal dari TSH 858, DRC 16,
ICS 60 dan NIC 4 menghasilkan penghambatan
perkecambahan yang sama besar. Penghambatan
panjang buluh kecambah P. palmivora yang
terbesar dihasilkan oleh fenol total yang berasal
dari Sca 12 dan DRC 16, diikuti NIC 4,
penghambatan terkecil dihasilkan oleh GC7.
Hasil ini berhubungan erat dengan kandungan
senyawa fenolat dalam ekstrak buah masing-
masing klon kakao. Penghambatan ini didukung
oleh pendapat bahwa pertumbuhan inokulum
merupakan proses enzimatik, padahal senyawa
fenolat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
protein sehingga senyawa ini dapat berperan
sebagai inhibitor enzim (Grayer dan Harborne,
1994).
PENGUJIAN KETAHANAN KAKAO
TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa ketahanan buah kakao
ditentukan oleh mekanisme ketahanan struktural
yang terdiri atas morfologi buah khususnya
kedalaman alur primer dan panjang pori mulut
kulit, dan lignifikasi perikap pascainfeksi
patogen, serta mekanisme biokimia yang
melibatkan peningkatan kandungan senyawa
fenolat pascapenetrasi. Ada keterkaitan erat
antara mekanisme biokimia dan struktural, yaitu
melalui peran langsung maupun tidak langsung
senyawa fenolat dalam ketahanan kakao
terhadap penyakit busuk buah. Hubungan ini
dapat ditunjukkan oleh kedalaman alur primer
dan panjang pori mulut kulit dengan kandungan
asam klorogenat, asam ferulat dan asam siringat.
Di samping itu, ada perbedaan kepekaan antara
perkecambahan spora dan pertumbuhan buluh
kecambah P. palmivora terhadap pengaruh fenol
total dari klon yang sama. Hasil ini disebabkan
oleh toksisitas asam tanat yang lebih tinggi
dibanding asam fenolat. Dibandingkan dengan
perkecambahan spora, proses metabolisme yang
terlibat dalam pertumbuhan buluh kecambah
lebih komplek sehingga lebih memungkinkan
bekerjanya mekanisme penghambatan oleh asam
tanat.
Pengujian ketahanan pada buah kakao di
laboratorium telah dilakukan oleh Suhendi et al.
(2005) tentang luas bercak akibat infeksi P.
palmivora pada buah dan diameter bercak busuk
buah dari enam klon kakao. Winarno dan
Sukamto (1986) dan Rubiyo et al. (2008b) tentang.
perkembangan diameter bercak tongkol kakao
yang di inokulasi dengan P. palmivora, Wirianata
(2004) tentang ciri morfologi buah dari enam klon
kakao. Dari hasil pengujian tersebut dapat
disimpulkan bahwa panjang pori mulut kulit
kakao, kedalaman dan lebar alur primer
menunjukkan peran yang lebih besar dalam
ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora
dibandingkan dengan kerapatan mulut kulit.
Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang
mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan
panjang pori yang besar berhubungan dengan
mekanisme ketahanan struktural yang lain dan
faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi
patogen pasca penetrasi.
Mekanisme ketahanan struktural ini
dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam
dan morfologi luar yang masing-masing
menunjuk ke ciri morfologi buah dan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 33
anatomi/histologi jaringan buah kakao.
Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman
dan lebar alur primer permukaan buah. Sca 12
mempunyai kedalaman dan lebar alur primer
yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang
rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer
terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini
menentukan kondisi habitat mikro permukaan
buah kakao yang selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi
(perkecambahan dan pertumbuhan buluh
kecambah) inokulum patogen. Meskipun
penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui
mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak
mempengaruhi katahanan kakao terhadap
patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858
mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan
sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.
Klon kakao yang tahan mempunyai
kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi,
baik dalam buah sehat maupun yang sakit.
Namun kandungan fenolat dalam buah sehat
belum dapat berperan sebagai preformat
inhibitor, seperti ditunjukkan adanya gejala
busuk buah pada semua klon kakao. Secara
komulatif senyawa fenolat dapat membatasi
perkembangan busuk buah pada klon kakao
yang tahan.
Di negara lain, penelitian pengujian
ketahanan banyak dilakukan. Sebagai contoh
yang telah dilaporkan oleh Nyadanu et al. (2012)
yang menguji ketahanan struktural dari 12
genotipe kakao dengan dan tanpa lapisan lilin
(epicuticular wax) pada buah dan daun. Dijelaskan
bahwa genotipe kakao yang di permukaannya
mengandung lapisan lilin lebih tinggi dapat
mempertahankan air dan lebih cepat menguap,
kelembaban di permukaan menjadi berkurang
sehingga dapat mencegah penyebaran patogen.
Lebih lanjut Nyadanu et al. (2013) melaporkan
untuk pengujian ketahanan biokimia dari 12
genotipe kakao, bahwa senyawa dari gula larut,
flavanoid, tanin dan lignin adalah faktor biokimia
yang berperan penting dan dapat diandalkan
serta digunakan sebagai penanda sifat untuk
ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao.
KESIMPULAN
Penyakit busuk buah kakao yang
disebabkan oleh jamur P. palmivora merupakan
penyakit utama kakao di Indonesia, bahkan
penyakit ini dapat menyerang semua bagian
tanaman kakao. Ketahanan kakao terhadap
penyakit busuk buah P. palmivora lebih bersifat
horizontal daripada vertikal dengan mekanisme
ketahanan secara struktural dan biokimia.
Mekanisme ketahanan struktural kakao terhadap
penyakit busuk buah dipengaruhi oleh cirri
morfologi buah, dan ketahanan biokimia
dihubungkan dengan senyawa fenolat yang
dominan dalam perikarp buah kakao, klon tahan
mempunyai kandungan senyawa fenolat pasca
infeksi yang lebih tinggi daripada klon moderat
dan rentan. Klon kakao ICS 6, Sca 12, Sca 6 DRC
15, DRC 16, ICCRI 4 dan ICCRI 3 merupakan
klon kakao yang mempunyai tingkat ketahanan
lebih baik dibandingkan klon yang lain di
Indonesia sehingga klon–klon kakao tersebut
mempunyai potensi untuk dapat digunakan
sebagai tetua dalam merakit verietas baru
maupun dikembangkan sebagai bahan tanam
klonal.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition.
Elsevier Academic Press. USA. 922 p.
Akai, S. and M. Fukutomi. 1980. Preformed
internal Physical Defenses. Dalam: J.A.
Bailey & B.J. Deverall (Eds).Dynamic of
Host Defence. Academic Press. Sydny.
Akrofi, A. Y. dan I. Y. Opoku. 2000. Managing
Phytophtora megakarya pod root disease.
Ghana experience. Proc. 3rdInt. Seminar of
International Permanent Working Group for
Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu,
Sabah Malaysia. 16-17th October.
André Drenthand I. David. 2004. Principles of
Phytophthora Disease Management.
Dalam: Diversity and Management of
Phytophthora in Southeast Asia. p. 154-
160.
Berger, R.D. 1977. Application of epidemiological
principles to achieve plant desease

34 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
control.Annu. Rev.Phytopatol. 15: 165-
183.
Bowers, J. H., B.A. Bailey, P.K. Hebbar, S. Sanogo,
and R. Lumsden. 2001. The impact of
plant diseases on world chocolate
production. American Phytopathological
Society. Feature Story.
http://www.apsnet.org/online/feature/cac
ao/top.html [November 2012].
Campbell, C.L. and L.V. Madden. 1990.
Intruduction to Plant Disease Epidemio-
logy. John Wely & Sons, New York. 532p.
Drenth A. dan Sendall B. 2001. Pratical guide to
Detection and Identification of
Phytophthora. CRC for Tropical Plant
Protection, Brisbane, Australia. 41 p.
Dennis, J. J. and Konam. 1994. Phytophthora
palmivora Cultur Control Methodes and
The Relationship to Disease Epidemio-
logy on Cocoa in Papua New Guinea.
Proc.11st Int.Cocoa Res. Conf.
Yamoussoukro, Coted’Ivoire. 18-24 July.
p. 953-957.
Donaldson, L. A. 2001. Lignification and lignin
topochemestry: an ultrastructural viuw.
Phytocemistry 57: 859-873.
Erwin, D. C., and O. K. Ribeiro, 1996.
Phytophthora palmivora var. palmivora.
Dalam: D. C. Erwin, and O. K. Ribeiro.
Phytophthora Diseases Worlwide.
American Phytopathological Society. St.
Paul, Minnesota. p. 408-421.
Fulton, R.H. 1989. Cocoa disease trilogy: black
pod, monilia pod rot and witches broom.
Plant Disease 73(7): 601-603.
Fry, W. E. 1982. Principles of Plant disease
Management. Academic Press, New
York. 376 p.
Goodman, R. N., Z. Kiraly, and K. R. Wood. 1986.
Biochemistry and Physiology of Plant
Disease. Univ. Missouri Press. Colombia.
433 p.
Goodwin, T. W. and E. I. Mercer. 1990.
Introduction to Plant Biochemistry.
Pergamon Press, Oxford. 677p.
Gorenz, A. M. 1974. Chemical control of black
pod. Dalam: P.H. Gregory (ed.).
Phytophthora Disease of Cocoa. Longman,
London. p. 235-257.
Grayer, R.J. and J.B. Harborne. 1994. A survey of
anti fungal Compounds from higher
plants, 1982-1993. Phytochemistry 37(1):
19-42.
Guest, D. 2007. Black pod: Diverse pathogens
with a global impact on cocoa yield.
Phytopathology 97(12):1650-1653.
Herrmann, K. M. 1995. The Shikimate Pathway as
an entry to aromatic secondary
metabolism. Plant Physiol. 107: 7-12.
ICCO [International Cocoa Organization]. 2012.
Pest and Disease. http://www.icco.org/
about-cocoa/pest-a-diseases.html.
[Desember 2012].
Iswanto, A. dan H. Winarno, 1992. Cocoa
Breeding at RIEC Jember and The Roll of
Planting Material Risistant to VSD and
Black Pod. Dalam: P.J. Keane & C.A.J.
Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease
Management in Southeast Asia and
Australasia. FAO Palnt Production and
Protection Paper No. 112. p. 163-169.
Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan.
1995. Differential reaction of cocoa clones
to Phytophthora palmivora infection. CRU,
Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan.
1997. Phytophthora palmivora resistance in
cocoa (Theobromacacao): Influence of pod
morphological characteristics. Plant
Pathology 46: 557-565.
Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan., Umaharan, and
J. A. Spence 1999. Studies on black pod
disease in Trinidad. Prc. Int. Workshop
on the Contribution of Disease Resistance
to Cocoa Vareity Improvement..
Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
p. 67-74.
Kebe, I. B., J. A. K. N. Goran, G.H. Tahi, D.Paulin,
D. Clement, and A.B. Eskes, 1999.
Phatology and breeding for resistance to
black pod in Cote d’Ivorie. Proc. Int.
Workshop on the Contribution of Disease
Resistance to Cocoa Vareity
Improvement. Salvador Bahia, Brasil. 12-
26th November. p. 135-140.
Mc. Mahon, P. and A. Purwantara. 2004.
Phytophthora on Cocoa. Dalam: Diversity

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 35
and Management of Phytophthora in
Southeast Asia. p.104-115.
Muller, R.A. 1974. Integrated Control Methods.
Dalam: P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora
Disease of Cocoa. Longman, London. p.
259-265.
Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C.
Kwoseh, H. Dzahini Obiatev, S. T. Lowor,
A. Y. Akrofi, and M.K. Assuah. 2012.
Host plant resistance to Phytophthora pod
rot in cacao (Theobroma cacao L.): The role
of epicuticular wax on pod and leaf
surfaces. International Journal of Botany
8 (1): 13-21.
Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C.
Kwoseh, S. T. Lowor, H. Dzahini Obiatev,
A. Y. Akrofi, F. Owusu Ansah, Yaw
Opoku Asiama, and M.K. Assuah. 2013.
Biochemical mekanisme of resistance to
black pod disease in cocoa (Theobroma
cacao L.). American Journal of
Biochemistry and Molecular Biology 3
(1): 20-37.
Opeke, L. K and A. M. Gorenz. 1974. Phytophthora
Pod rot: Symtoms and Economic
Importance. Dalam:P.H. Gregory(Eds.).
Phytophthora Disease of Cocoa.
Longman, London. p. 117-124.
Osbourn, A.E.1996. Preformed antimicrobial
compounds and plant defense against
fungal attack. Plant Cell. 8:1821-1831.
Purwantara, A. 1990. Pengaruh beberapa unsur
cuaca terhadap infeksi Phytophthora
palmivora pada buah kakao. Menara
Perkebunan 58(3): 78-83.
Periera, J.L. 1995. Phytophthora Pod Rot of Cocoa:
Advences and Prospects. Proc.1stIn Cocoa
Pest and Disease Seminar. p.76-97 Accra,
Ghana.6-10 Nov.
Philips-Mora, W.1999. Studies on resistance to
black pod disease(Phytophthora palmivora
Butler) at CATIE. Proc.Int.Workshop on
the Contribution of Disease Resistance to
Cocoa Variety Improvement. Salvador,
Bahia, Brasil. 24-26th November. p. 41-50.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto, dan
Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous
Phytophthora palmivora from Indonesia,
their morphological and pathogenicity
characterizations. Pelita Perkebunan 24 :
37- 49.
Rubiyo, A. Purwantara, D. Suhendi,
Trikoesoemaningtyas, S. Ilyas, dan
Sudarsono. 2008b. Uji katahanan kakao
(Theobroma cacao L) terhadap penyakit
busuk buah dan efektivitas metode
inokulasi. Pelita Perkebunan 24 : 95-113.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman
Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 835 hlm.
Simmonds, N. W. 1994. Horizontal resistance to
cocoa disease. Cocoa Growers Bul. 47:42-
52.
Soria, J. 1974. Sources of Resistance to
Phytophthora palmivora Dalam: P.H
Gregory (ed.) PhytophthoraDisease of
cocoa. Longman, London. p. 197-202.
Suhendi, D., H.Winarno dan A.W. Susilo. 2005.
Peningkatan produksi dan mutu hasil
kakao melalui penggunaan klon baru.
Pro.Simp. Kakao. Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia, Jogjakarta, 4-5
Oktober 2004. Hlm. 98-111.
Thorold, C. A. 1975. Disease of Cocoa. Clarendon
Press, Oxford. 423 p.
Tarjot, M. 1967. Etude de la pourriture des
cabosses due an Phytophthora palmivora en
Côte d'Ivoire. Café Cacao Thé 11:321-330.
Tarjot, M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse
de Cacaoyer en Relation avec Lattaque
du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int.
Cacao Research Conf. St Augustine,
Trinidad. 8-18thJanuary. p. 379-397.
Tarjot, M. 1974. Physiology of the fungus. Dalam:
P.H. Gregory (ed.). Phytophthora disease
of cocoa. Longman, London. p. 103-116
Thurston, H. D. 1998. Tropical Plant Disease.
APS. St. Paul, Minnesota. 2nd Ed. 200 p.
Van der ossen, H.A.M. 1997. Strategies of Variety
Improvement on Cocoa with Emphasis
on Durable Disease Resistance.
INGENIC. Reading, UK. 32p.
Waterhouse, G. M. 1974. Phytophthora palmivora
and some Related Species. P.H. Gregory
(Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa.
Longman, London. p. 51-70.
Winarno, H dan Sukamto. 1986. Uji laboratorium
ketahanan tongkol beberapa hibrida

36 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36
kakao terhadap penyakit busuk buah
(Phytopthora palmivora Butler). Pelita
Perkebunan 2(3): 115-119.
Wirianata, H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao
Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi
S3 UGM Yugyakarta (tidak diterbitkan),
130 hlm.
Wood, G.A.R. 1985. Establishment. Dalam: G.A.R.
Wood and R.A. Lass (Eds.) Cocoa.
Longman, London. p. 119-165.
Wood, G.A.R. 1985. History and development.
Dalam: G.A.R. Wood and R.A. Lass.
Cocoa. Fourth Edition. Longman,
London, New York. p. 1-10.
Zadooks. 1997. Disease Resistance Testing in
Cocoa. INGNIC. UK. 58 p.
Zentmyer, G. A. 1974. Variation Genetics and
Giographical Distribution of Mating
Type. Dalam: P.H. Gregory (Ed.)
Phytophthora Disease of Cocoa: Longman,
London. p. 89-102.
____________.1988. Origin and distribution of
four species of Phytophthora Tranc. Br.
Mycol. Soc. 91(3): 367-378.