ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk...

14
Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 23-36 ISSN: 1412-8004 Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 23 KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) Resistance of Cocoa to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl.) RUBIYO dan WIDI AMARIA Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops Jl. Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Jawa Barat - Indonesia e-mail:[email protected] Diterima: 9 Desember 2012; Disetujui: 16 Mei 2013 ABSTRAK Peningkatan produksi kakao menghadapi banyak kendala, antara lain serangan penyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora. Penyakit ini merugikan karena dapat menurunkan produksi sampai 44%. Pengendalian yang biasa dilakukan adalah penggunaan secara periodik fungisida kimiawi yang memerlukan biaya besar, dan dapat berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Penggunaan bahan tanam tahan BBK merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Cara ini juga bersifat jangka panjang sehingga diperlukan informasi mengenai mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan atas mekanisme struktural dan biokimia, baik sebelum maupun sesudah penetrasi penyakit. Aktifitas penyebaran inokulum P. palmivora pada daur penyakit dipengaruhi oleh ciri morfologi buah kakao terhadap deposisi, pertumbuhan prapenetrasi inokulum dan kemampuan penetrasi inokulum ke dalam jaringan buah. Varietas kakao di Indonesia yang termasuk kategori tahan BBK adalah ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12 dan DRC 16. Kata kunci: kakao, mekanisme ketahanan, Phytoph- thora palmivora Butl. ABSTRACT The increase of cocoa production faces many problems such as black pod disease caused by Phytophthora palmivora. The disease may reduce the production of cocoa up to 44%. Control of the disease by chemical fungicides is costly and creates negative impact to humans and environment. Utilizing plant material which is resistant to black pod disease is an alternative to overcome this problem. It is also a long-term solution, which require information on the mechanism of cocoa resistance. Mechanism of plant resistance to diseases determined by structural and biochemical mechanism that work on the entire cycle of disease, both before penetration and after infection. Distribution activity of inoculum of P. palmivora in the disease cycle is influenced by the morphological characters of cocoa pod as a deposition of inoculum pre-penetration and inoculum penetration ability into the fruit tissue. Cocoa varieties in Indonesia resistant to black pod disease are ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12 dan DRC 16. Key words: cocoa, mechanism of resistance, Phytophthora palmivora Butl. PENDAHULUAN Budidaya kakao (Theobroma cacao) menghadapi banyak kendala, antara lain serangan organisme pengganggu yang dapat menurunkan produksi tanaman. Penyakit penting kakao baik di Indonesia maupun negara produsen lain adalah busuk buah (blackpod) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora Butl. Kerugian akibat penyakit ini berbeda antar daerah atau negara. Pada umumnya besarnya kerugian akibat penyakit ini mencapai 20-30% dan kematian tanaman 10% pertahun (ICCO, 2012). Serangan penyakit ini mampu menurunkan produksi kakao hingga 44%. P. palmivora merupakan salah satu patogen yang paling serius pada kakao di seluruh dunia, dan di Asia Tenggara spesies ini ditemukan hampir

Upload: phungquynh

Post on 17-Aug-2019

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 23-36

ISSN: 1412-8004

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 23

KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK

BUAH (Phytophthora palmivora Butl.)

Resistance of Cocoa to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl.)

RUBIYO dan WIDI AMARIA

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar

Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jl. Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Jawa Barat - Indonesia

e-mail:[email protected]

Diterima: 9 Desember 2012; Disetujui: 16 Mei 2013

ABSTRAK

Peningkatan produksi kakao menghadapi banyak

kendala, antara lain serangan penyakit busuk buah

kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora

palmivora. Penyakit ini merugikan karena dapat

menurunkan produksi sampai 44%. Pengendalian

yang biasa dilakukan adalah penggunaan secara

periodik fungisida kimiawi yang memerlukan biaya

besar, dan dapat berdampak negatif terhadap manusia

dan lingkungan. Penggunaan bahan tanam tahan BBK

merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi

masalah tersebut. Cara ini juga bersifat jangka panjang

sehingga diperlukan informasi mengenai mekanisme

ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora.

Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit

dibedakan atas mekanisme struktural dan biokimia,

baik sebelum maupun sesudah penetrasi penyakit.

Aktifitas penyebaran inokulum P. palmivora pada daur

penyakit dipengaruhi oleh ciri morfologi buah kakao

terhadap deposisi, pertumbuhan prapenetrasi

inokulum dan kemampuan penetrasi inokulum ke

dalam jaringan buah. Varietas kakao di Indonesia yang

termasuk kategori tahan BBK adalah ICCRI3, ICCRI 4,

Sca 6, Sca 12 dan DRC 16.

Kata kunci: kakao, mekanisme ketahanan, Phytoph-

thora palmivora Butl.

ABSTRACT

The increase of cocoa production faces many problems

such as black pod disease caused by Phytophthora

palmivora. The disease may reduce the production of

cocoa up to 44%. Control of the disease by chemical

fungicides is costly and creates negative impact to

humans and environment. Utilizing plant material

which is resistant to black pod disease is an alternative

to overcome this problem. It is also a long-term

solution, which require information on the mechanism

of cocoa resistance. Mechanism of plant resistance to

diseases determined by structural and biochemical

mechanism that work on the entire cycle of disease,

both before penetration and after infection.

Distribution activity of inoculum of P. palmivora in the

disease cycle is influenced by the morphological

characters of cocoa pod as a deposition of inoculum

pre-penetration and inoculum penetration ability into

the fruit tissue. Cocoa varieties in Indonesia resistant to

black pod disease are ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12

dan DRC 16.

Key words: cocoa, mechanism of resistance,

Phytophthora palmivora Butl.

PENDAHULUAN

Budidaya kakao (Theobroma cacao) menghadapi banyak kendala, antara lain

serangan organisme pengganggu yang dapat

menurunkan produksi tanaman. Penyakit

penting kakao baik di Indonesia maupun negara

produsen lain adalah busuk buah (blackpod) yang

disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora

Butl. Kerugian akibat penyakit ini berbeda antar

daerah atau negara. Pada umumnya besarnya

kerugian akibat penyakit ini mencapai 20-30%

dan kematian tanaman 10% pertahun (ICCO,

2012). Serangan penyakit ini mampu

menurunkan produksi kakao hingga 44%. P.

palmivora merupakan salah satu patogen yang

paling serius pada kakao di seluruh dunia, dan di

Asia Tenggara spesies ini ditemukan hampir

Page 2: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

24 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

pada semua penyakit yang disebabkan

Phytophthora palmivora.

Besarnya kerugian akibat penyakit busuk

buah kakao (BBK) karena usaha pengendalian

yang dilakukan seringkali memberikan hasil

yang tidak konsisten. Hal ini disebabkan oleh

kompleksnya epidemi penyakit tersebut. Epidemi

penyakit BBK didukung oleh beberapa faktor,

yaitu (1) kakao diusahakan di daerah yang

mempunyai kondisi iklim cocok untuk

perkembangan penyakit busuk buah, (2) jenis

kakao yang diusahakan pada umumnya

mempunyai ketahanan sedang sampai rendah,

(3) umur buah sampai panen berkisar antara 5-7

bulan, (4) patogen dapat menyerang semua organ

kakao dan serangan pada buah terjadi pada

semua tahap pertumbuhannya, (5) tersedianya

inokulum pada tanaman kakao, dan (6) patogen

mempunyai tanaman inang yang luas. Pada

umumnya penyakit busuk buah kakao

dikendalikan secara preventif menggunakan

fungisida kimiawi baik yang bersifat kontak

maupun sistemik dengan aplikasi secara periodik

sehingga memerlukan biaya lebih besar.

Disamping itu, fluktuasi harga kakao yang sering

tidak menentu juga menyebabkan pengendalian

kimiawi menjadi tidak ekonomis, oleh karena itu

diperlukan alternatif pengendalian lain yang

secara bertahap dapat mengurangi ketergan-

tungan pada fungisida kimiawi. Selain secara

ekonomis kurang menguntungkan, penggunaan

fungisida kimiawi juga berdampak negatif pada

kesehatan manusia dan lingkungan terutama

kehidupan musuh alami dan mikroorganisme

yang bermanfaat.

Salah satu alternatif pengendalian penyakit

yang aman untuk lingkungan dan merupakan

komponen dalam pengendalian penyakit terpadu

adalah penggunaan varietas tahan, yang

bermanfaat karena bersifat ramah lingkungan

(Akrofi dan Opoku, 2000). Mc.Mohan dan

Purwantara (2004) menambahkan bahwa langkah

pengendalian yang paling efektif adalah

pengenalan genotif kakao tahan. Selain koleksi

plasma nutfah, juga pemeliharaan onfarm

variabilitas genetik sehingga memudahkan

dalam seleksi di bidang pemuliaan. Varietas

kakao dengan tingkat ketahanan tertentu lebih

mudah ditemukan di antara bahan tanam yang

ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi

dapat menjadi cara terbaik untuk mengatasi BBK

(Muller, 1974). Dijelaskan bahwa penggunaan

bahan tanam tahan dalam pengendalian

preventif dapat memperlambat perkembangan

epidemi penyakit (Campbell and Madden, 1990)

sehingga dapat meringankan beban petani.

Iswanto dan Winarno (1992) menjelaskan,

pemuliaan kakao di Indonesia ditujukan untuk

menemukan bahan tanam unggul dengan ciri

memiliki potensi hasil tinggi, kualitas biji baik,

dan tahan terhadap hama dan penyakit penting

seperti busuk buah (P. palmivora) dan vascular

streak dieback (Oncobasidium theobromae).

Keberhasilan ketahanan terhadap

Phytophthora di lapangan ditentukan oleh

interaksi antara inang, patogen dan lingkungan.

Konsentrasi inokulum dan kondisi lingkungan

menentukan seberapa efektif ketahanan inang

untuk menekan kejadian penyakit. Hal tersebut

tidak mudah terutama patogen yang memiliki

kisaran inang luas (André Drenth dan David,

2004). Menurut van der Vossen (1997), ketahanan

tanaman terhadap P. palmivora merupakan

program pemuliaan prioritas pada negara

produsen kakao, namun kemajuan yang dicapai

kurang memuaskan karena kurangnya

keanekaragaman plasma nutfah kakao, belum

ada metode uji saring yang efisien, tidak adanya

strategi pemuliaan yang efektif, dan kurangnya

penelitian mengenai genetika dan mekanisme

ketahanan inang. Dengan demikian, informasi

serta pemahaman mengenai mekanisme

ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora

sangat membantu usaha di bidang pemuliaan

ketahanan.

BIOEKOLOGI DAN EPIDEMI PENYAKIT

BUSUK BUAH KAKAO

P. palmivora dapat menyerang semua organ

atau bagian tanaman, seperti akar, daun, batang,

ranting, bantalan bunga, dan buah pada semua

tingkatan umur. Tetapi serangan pada buah

paling merugikan (Opeke and Gorenz, 1974),

terutama serangan buah yang belum matang. P.

palmivora dapat menginfeksi seluruh permukaan

buah, namun bagian paling rentan adalah

pangkal buah. Buah yang telah terinfeksi patogen

Page 3: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 25

akan berwarna cokelat kehitaman pada

permukaannya, menjadi busuk basah, dan

selanjutnya gejala menyebar menutupi seluruh

permukaan buah. Pada bagian yang menghitam

akan muncul lapisan berwarna putih bertepung

yang merupakan spora jamur sekunder dan

terdapat juga sporangium Phytophthora

(Semangun, 2000). Jika kondisi lingkungan

(kelembaban) sesuai maka miselium yang

berwarna putih dan mengandung sporangium

Gambar 1. Gejala penyakit busuk buah kakao (foto: Rubiyo)

Page 4: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

26 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

Gambar 2. Siklus hidup P. palmivora (Erwin dan Ribeiro, 1996)

akan menutupi seluruh permukaan buah. Guest

(2007) menjelaskan bahwa awalnya bercak pada

buah berukuran kecil seperti spot-spot yang

kotor, tebal dan terdapat pada setiap fase

perkembangan buah, kemudian bercak

berkembang dengan cepat menutupi jaringan

internal dan seluruh permukaan buah, termasuk

biji. Patogen menyerang jaringan internal buah

dan menyebabkan biji kakao berkerut serta

berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya

menjadi hitam dan mumi. Gejala busuk buah

dapat ditemukan dari ujung, pangkal, tengah,

buah pentil, muda, tua, buah yang berada di

bawah, di tengah, maupun di atas pohon. Bila

buah kakao terserang dibelah maka nampak biji-

biji dan daging buah busuk, berwarna cokelat

(Gambar 1). Pada infeksi lanjutan, biji kakao akan

berubah warna dan berkerut (Bowers et al., 2001).

Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan hasil

dan rendahnya kualitas buah.

Penyebaran penyakit P. palmivora dapat

melalui air, semut, tikus, tupai, bekicot yang

dijumpai di perkebunan kakao. Selama daur

hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa

inokulum yang berperan dalam perkembangan

penyakit pada kakao, yaitu miselium,

sporangium, oospora, dan klamidospora.

Sporangium berkecambah secara langsung

dengan membentuk pembuluh kecambah, dan

tidak langsung dengan membentuk zoospora

(Semangun, 2000). Menurut Erwin dan Ribeiro

(1996) Phytophthora memiliki miselium coenocytic

tanpa atau sedikit sekat dan di dalam air dapat

menghasilkan zoosporangia. Oospora seksual

terbentuk secara tunggal dalam oogonium

setelah pembuahan oleh inti dari antheridium

tersebut. Dinding sel mengandung selulosa

mikrofibril dan B-1,3-glukan (Gambar 2).

Morfologi P. palmivora yaitu sporangium ovoid

dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas (Drenth

dan Sendall, 2001). Sporangium mempunyai

panjang 35-40 µm dan lebar 23-28 µm, nisbah

panjang/lebar 1,4-1,6, ukuran ini bervariasi sesuai

dengan medium, inang, umur biakan, lengas dan

cahaya. Panjang pedikel 2-10 µm. Umumnya di

alam sporangium menghasilkan 15-30 spora

kembara. Sporangium dapat pula menjadi

sporangium sekunder atau konidium (Waterhouse,

1974).

Bentuk klamidospora P. palmivora dapat

bertahan dalam tanah kurang dari 10 bulan

(ICCO, 2012). Selain itu, berupa miselium pada

bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang

pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang

Page 5: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 27

tersebar di tanah, yang kemudian dapat menjadi

sumber inokulum BBK. Sumber inokulum

tersebut memiliki peranan yang berbeda,

tergantung pada lingkungan maupun iklim

setempat. Umumnya tanah dan akar berperan

sebagai sumber inokulum primer yang

memberikan inokulum infektif pada awal musim

hujan untuk dimulainya epidemi busuk buah,

sedangkan buah dan bagian kanopi yang sakit

berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan

berhubungan langsung dengan kehilangan hasil

(Pereira, 1995).

Epidemi penyakit BBK terjadi akibat

penyebaran inokulum P. palmivora secara vertikal

(dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon).

Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak

langsung antara buah sakit dan buah sehat,

penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari

buah sakit ke buah sehat di bawahnya, bantuan

serangga vektor, dan percikan air hujan dari

tanah kebuah di sekitar pangkal batang.

Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan

bantuan serangga, kontak antar pohon dan angin

(Muller, 1974). Penyebaran horizontal terjadi

lebih lambat daripada penyebaran vertikal.

Penyakit busuk buah sukar dikendalikan

karena epidemi penyakit ini kompleks dan belum

dapat diungkapkan secara tuntas. Pembuangan

sumber inokulum primer yang terdapat di pohon

(buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah

(serasah dan kulit buah) tidak menyebabkan

penundaan terjadinya epidemi pada musim

hujan. Hal ini menunjukkan adanya sumber

inokulum lain yang memperbesar inokulum

primer (Dennis dan Konam, 1994).

Thorold (1975) menjelaskan bahwa

perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh

kelembaban udara, yaitu 80-95% selama 2-4 jam

yang mendukung infeksi spora kembara P.

palmivora. Pada kondisi lembab, P. palmivora

dapat menghasilkan sampai 4 juta sporangia

yang disebarkan melalui hujan, semut, serangga,

tikus, kelelawar maupun peralatan pemangkasan

yang terkontaminasi (ICCO, 2012). Disamping

itu, busuk buah juga berhubungan langsung

dengan jumlah buah di pohon dan curah hujan,

namun jumlah buah berbanding terbalik dengan

curah hujan sehingga ada interaksi antara curah

hujan, keragaan (performance) tanaman dan

penyakit (Thorold, 1975). Hasil penelitian Rubiyo

et al. (2008a) dengan menguji isolat P. palmivora

dari berbagai daerah sentra kakao di Indonesia

dengan membasahi buah kakao dan daun kakao

spora mampu menginfeksi, umumnya

memberikan tingkat patogenisitas yang tinggi

terhadap tanaman kakao di buah maupun di

bibit.

Menurut Purwantara (1990) kebasahan

permukaan buah dan kelembaban udara

berperan langsung terhadap infeksi P. palmivora

pada buah kakao. Dalam hal ini peranan curah

hujan terjadi secara tidak langsung melalui

terjadinya kebasahan permukaan buah dan

meningkatnya kelembaban udara. Demikian juga

pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi

terjadi secara tidak langsung, melalui

pengaruhnya terhadap kelembaban udara dan

kebasahan buah.

VARIETAS KAKAO TAHAN BUSUK BUAH

Varietas tahan merupakan salah satu cara

pengendalian penyakit yang sangat dianjurkan

karena ramah lingkungan (Akrofi dan Opoku,

2000). Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu

yang ditemukan di antara bahan tanam yang ada

atau yang dihasilkan melalui hibridisasi

merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk

buah kakao (Muller, 1974). Menurut Muller

(1974), ketahanan kakao terhadap penyakit busuk

buah dibedakan atas ketahanan sejati (true

resistance) dan ketahanan semu (false resistance

atau diseaseavoidance). Ketahanan pertama

merupakan hasil dari karakteristik anatomi,

fisiologi dan biokimia, sedangkan ketahanan

kedua hasil dari karakteristik fenologi pohon

sehingga terhindar dari infeksi P. palmivora.

Penggunaan bahan tanam tahan dapat

memperlambat perkembangan epidemi penyakit

(Campbell dan Madden, 1990). Berdasarkan

epidemilogi, ketahanan tanaman dapat bekerja

dengan cara: a) mereduksi jumlah infeksi, b)

mereduksi laju perluasan bercak, c) mereduksi

sporulasi patogen, d) memperpanjang masa

inkubasi, dan e) mereduksi deposisi spora

(Berger, 1977).

Sumber gen ketahanan terhadap penyakit

BBK dapat ditemukan antara lain pada daerah

Page 6: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

28 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

asal tanaman bersangkutan, yaitu dari hulu

sungai Amazon (Brazil). Klon atau hibrida tahan

dari wilayah ini (Iquinitos, Nanay, dan Parinari)

adalah P 7, P 30, Pa 35, Na 32, T.85/799 (IMC 60 x

Na 34), T 87 (IMC 60 x Na 34), T. 79/501 (Na 32 x

Pa 7), T 60 (Pa 7 x Na 32), T 86/2 (Pa 35 x Pa 7), T

65/7 (P 7 x IMC 47). Klon tahan lain adalah Sca 6,

Sca 12 (dari Ekuador), TSH 565, 516, 774 (dari

Trinidad) (Soria, 1974). Hasil pengujian

dibeberapa negara menunjukkan bahwa Sca 6

dan Sca 12 memberikan ketahanan mantap

(Iswanto dan Winarno, 1992; Philip-Mora, 1999).

Klon tahan lain di Indonesia adalah ICS 6, DRC

16, Sca 12, Sca 6, ICCRI 3 an ICCRI 4 sedangkan

GC 7, DR 2, DR 38, DRC 9, Sca 89 moderat, dan

DR 1 rentan (Iswanto dan Winarno, 1992). Klon

anjuran yang tahan terhadap penyakit BBK

adalah P 300, RRC 71, RCC 73. Menurut Winarno

dan Sukamto (1986), hibrida DR 1 x Sca 12, DRC

16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 tidak menunjukkan

beda nyata dalam luas bercak hasil inokulasi

miselium P. palmivora dibanding dengan klon

DRC 16, Sca 6 dan Sca12 yang tahan. Bila

dibandingkan dengan klon DR 1 yang bersifat

rentan, maka hibrida-hibrida tersebut tahan

terhadap patogen P. palmivora. Hasil penelitian

Rubiyo et al. (2008b) menunjukkan bahwa apabila

klon kakao dari tetua yang rentan disilangkan

dengan klon kakao dengan yang tahan akan

menghasilkan hibrida yang cenderung tahan.

Ketahanan semu disebabkan oleh

bergesernya periode pembungaan dari musim

yang mendukung perkembangan patogen. Di

Kamerun, klon UPA 134 berbunga melimpah

pada pertengahan musim kemarau sehingga

buah dapat tahan dari serangan P. palmivora.

Klon serupa adalah SNK 10, 12, 16,136, 213, 459;

ICS 39, 40, 43, 46, 61 (Muller, 1974). Di Nigeria,

puncak produksi kakao klon T 24/12 tercapai 2-3

bulan setelah musim hujan sehingga umumnya

buah masih kecil dan kerugian akibat busuk buah

rendah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi

antara ukuran buah dan serangan P. palmivora.

Fenomena escape diamati pula di Pantai Gading

(Kebe et al., 1999).

Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora

dapat pula dicari dari jenis kakao lain. Buah T.

grandiflora tahan terhadap inokulasi spora

patogen tersebut, sebaliknya T. bicolor, T. spiciosa,

T. simiarum dan T. mammosum rentan (Hansen,

1961 dalam Soria, 1974). Penggunaan jenis ini

sebagai sumber gen tahan menghadapi kendala

karena keberhasilan hibridisasinya dengan T.

cacao sangat terbatas. Hibrid F1 T. cacao x T.

grandiflora mempunyai pertumbuhan lambat,

lemah dan fertilitas rendah (Soria, 1974).

SIFAT, PROSES DAN MEKANISME

KETAHANAN KAKAO TERHADAP

PENYAKIT BUSUK BUAH

Sifat Ketahanan

Simmonds (1994) menyatakan bahwa

ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora

diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada

vertikal. Umumnya ketahanan horizontal

diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan,

seperti kakao, namun tidak mudah dalam

penanganannya terutama berhubungan dengan

pemuliaan tanaman. Zadoks (1997) menyatakan

bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora

dan jamur patogen lain cenderung bersifat tidak

lengkap (partial resistant) yang didasarkan pada

satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat

atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain.

Menurut Agrios (2005) bahwa ketahanan

tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa

rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya

diimbas oleh serangan patogen), melibatkan

mekanisme struktural dan biokimia. Ketahanan

tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi

ketahanan struktural, penghalang struktural

terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi

senyawa antimikrobia.

Iwaro et al. (1995) menjelaskan ketahanan

buah kakao terhadap P. palmivora merupakan

sistem multikomponen yang terekspresi dalam

dua tahap, yaitu ketahanan prapenetrasi dan

pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi

berhubungan dengan faktor morfologi yang

mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan

penetrasi patogen, serta menentukan jumlah

bercak yang terjadi. Ketahanan pascapenetrasi

berhubungan dengan mekanisme biokimia yang

dapat mempengaruhi luasnya jaringan tanaman

(ukuran bercak) yang diinfeksi patogen. Fry

(1982) menyatakan walaupun patogen berhasil

Page 7: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 29

mempenetrasi jaringan inang, sering kali

perkembangan selanjutnya terhambat.

Proses Infeksi Patogen

Proses infeksi patogen diawali dengan

penetrasi P. palmivora pada buah kakao, yaitu

beberapa saat setelah patogen berkontak dengan

air, spora kembara mulai dibebaskan, mengkista

dan kemudian menghasilkan buluh kecambah.

Penetrasi buluh kecambah melalui mulut kulit.

Bintik nekrotik kehitaman terlihat antara 24

sampai 36 jam setelah infeksi pada tempat

inokulasi. Gejala awal pada kultivar tahan sama

dengan kultivar rentan, yaitu adanya sel yang

mempunyai granula berwarna kecokelatan

(Tarjot, 1974). Sel yang berkontak dengan hifa

jamur menjadi kecokelatan dan tampak granula

kecil, kemudian sel menjadi nekrosis, dinding sel

menjadi cokelat dan tebal, dan kadang terlihat

hifa di dalam sel. Kejadian ini mengawali

munculnya bercak busuk buah. Patogen P.

palmivora tetap mempenetrasi buah tahan

maupun buah rentan, namun terjadi perbedaan

penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah

kakao (Tarjot, 1974). Pada buah rentan, jamur

tidak dapat bertahan lama dalam sel, sel rusak

dengan cepat dan segera terlihat granula

kecokelatan. Ada penyebaran patogen yang cepat

dari satu ke sel lain, sehingga periode

inkubasinya pendek dan perkembangan busuk

berlangsung cepat. Berbeda pada buah tahan,

jamur tetap bertahan lebih lama di dalam sel

sebelum munculnya nekrosis. Jamur mengalami

degenerasi lambat, dan perpindahan dari sel

yang satu ke sel lainnya menjadi terhambat, serta

menghasilkan periode inkubasi yang lama atau

bahkan terjadi ketahanan sempurna (Tarjot, 1972

dan 1974).

Mekanisme Ketahanan

Mekanisme ketahanan pada tanaman kakao

terdiri dari struktural dan biokimia.

a. Struktural

Mekanisme ketahanan struktural dapat

berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry

(1982) walaupun seringkali mekanisme

ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi,

karakteristik struktural dapat mempengaruhi

ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan

morfologi buah kakao berpengaruh pada

deposisi dan penyebaran efektif inokulum P.

palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi

inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan

spora P. palmivora. Karena spora jamur ini bersifat

hidrofilik, spora berada dalam lapisan air

permukaan buah dan biasanya menempel pada

bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan

bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh

besar pada perkecambahan spora.

Ketahanan struktural yang dipengaruhi sifat

morfologi dan anatomi, dijelaskan pada beberapa

tanaman lain, sebagai contoh ketebalan kutikula

dan kerapatan mulut kulit merupakan faktor

penting yang berhubungan dengan ketahanan

ubi jalar terhadap infeksi Sphacelomabatatas (Baijit

and Gapasin, 1987 dalam Iwaro et al., 1997).

Ketahanan kecipir terhadap Phoma sorghina

diketahui berhubungan dengan lapisan lilin,

ketebalan kutikula dan kerapatan mulut kulit.

Penelitian mengenai ketahanan Dioscorea alata

terhadap antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides)

mengungkapkan bahwa kultivar tahan

mempunyai mulut kering yang tenggelam

dengan pori lebih pendek yang dikelilingi oleh

sel sklerenkim (Nwankiti and Okpala, 1984 dalam

Iwaro et al., 1997).

Penelitian Tarjot (1972) menunjukkan bahwa

jumlah mulut kulit dan rambut-rambut pada

epidermis tidak berkorelasi dengan ketahanan

buah kakao terhadap P. palmivora. Parasit ini

selalu dapat melakukan penetrasi kedalam

jaringan buah rentan maupun tahan.

Diperkirakan ketahanan terhadap jamur ini

terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di

bawah epidermis. Phillips-Mora (1999)

menyatakan bahwa hubungan antara jumlah,

panjang, lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar

mulut kulit tidak dapat menjelaskan ketahanan

kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun

ada perbedaan nyata antarkultivar, kultivar

tahan (P 7) dan moderat (UF 668) mempunyai

jumlah mulut kulit terbanyak, sebaliknya CATIE

1000 (tahan) dan P 12 (rentan) mempunyai

jumlah mulut kulit yang lebih sedikit.

Iwaro et al. (1997) yang mengkaji hubungan

Monilia roreri dan T. cacao menunjukkan tidak ada

Page 8: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

30 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

perbedaan anatomi eksternal antara buah kakao

tahan dan rentan. Penelitian berbeda

menunjukkan adanya korelasi nyata antara

ketahanan penetrasi (jumlah bercak) dengan

kerapatan mulut kulit dan panjang pori.

Ketahanan ini tidak berkorelasi dengan lapisan

lilin pada permukaan epidermis, ketebalan,

kekerasan, dan kandungan lengas perikarp. Ciri

morfologi buah tidak berkorelasi dengan

ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan

kemungkinan peran mekanisme biokimiawi

Iwaro et al. (1997). Setiap buah kakao yang tahan

terhadap M. roreri mempunyai cellular

arrangement parenkim sub epidermis yang berbeda

dibandingkan buah rentan. Buah tahan

mempunyai sel-sel yang kompak dan juga

mengandung sejumlah besar senyawa fenolat.

Lignifikasi dinding sel merupakan suatu

bentuk ketahanan tanaman terhadap penetrasi

patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam

lamela tengah, dinding sel primer dan sekunder

(Akai dan Fukutomi, 1980). Penggabungan lignin

ke dalam dinding sel tanaman memberikan

kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding

sel lebih tahan terhadap degradasi enzim patogen

(Goodwin dan Mercer, 1990). Dinding sel yang

terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat

mencegah pergerakan hara sehingga patogen

dapat mengalami kelaparan. Prekursor lignin

berpengaruh toksis pada patogen. Semua

perubahan dinding sel setelah infeksi dapat

meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan

patogen secara langsung atau memperlambat

proses penetrasi sehingga tanaman dapat

mengaktifkan mekanisme pertahanan

selanjutnya. Lignifikasi dapat pula terjadi pada

sel jamur. Menurut Toxopeus dan Jacob (1970)

dalam Wood (1985) ada perbedaan ketebalan kulit

buah dan tingkat lignifikasinya antarkultivar

kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan

sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit

busuk buah.

Mekanisme ketahanan struktural kakao

terhadap penyakit BBK, juga diteliti oleh

Winarno dan Sukamto (1986), melaporkan

perkembangan diameter bercak tongkol kakao

yang diinokulasi dengan P. palmivora diketahui

perkembangan diameter bercak hibrida DR1x Sca

12, DRC 16x Sca6 dan DRC 16x Sca12 tidak

berbeda nyata dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca

12. Penelitian lain (Suhendi et al., 2005)

menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan

antar klon kakao terhadap penyakit busuk buah.

Klon tahan Sca 12 dan TSH 858 mempunyai

bercak yang paling kecil, diikuti oleh klon yang

moderat DRC 16 dan klon ICS 60, dan klon

rentan NIC 4 dan GC 7. Disamping itu penelitian

berkaitan dengan ciri morfologi buah kakao

dilaporkan oleh Wirianata (2004), bahwa panjang

pori mulut kulit kakao, kedalaman dan lebar alur

primer menunjukkan peran yang lebih besar

dalam ketahanan buah kakao terhadap P.

palmivora dibandingkan dengan kerapatan mulut

kulit. Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang

mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan

panjang pori yang besar berhubungan dengan

mekanisme ketahanan struktural yang lain dan

faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi

patogen pasca penetrasi.

Mekanisme ketahanan struktural ini

dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam

dan morfologi luar yang masing-masing

menunjuk pada ciri morfologi buah dan

anatomi/histologi jaringan buah kakao.

Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman

dan lebar alur primer permukaan buah. Klon Sca

12 mempunyai kedalaman dan lebar alur primer

yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang

rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer

terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini

menentukan kondisi habitat mikro permukaan

buah kakao yang selanjutnya akan

mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi

(perkecambahan dan pertumbuhan buluh

kecambah) inokulum patogen. Meskipun

penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui

mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak

mempengaruhi katahanan kakao terhadap

patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858

mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan

sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.

b. Biokimia

Mekanisme ketahanan biokimia tanaman

dihubungkan dengan produksi senyawa

antimikrobia tanaman dari jalur metabolisme

sekunder. Senyawa ini pada ketahanan aktif

disebut fitoaleksin, sedangkan pada ketahanan

Page 9: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 31

pasif disebut fitoantisipin (Van Etten et al., 1994

dalam Osbourn, 1996). Fitoaleksin mempunyai sifat

sebagai berikut: (1) metabolit sekunder yang

mempunyai berat molekul rendah, dihasilkan

sebagai tanggapan terhadap kematian lokal sel

tanaman, (2) sintesis fitoaleksin terjadi dalam sel-

sel sehat sebagai tanggapan terhadap bahan yang

merembes dari sel yang mati, (3) sintesis

fitoaleksin melibatkan banyak enzim.

Serangan patogen dapat meningkatkan

respirasi jaringan tanaman yang tahan. Hal ini

terkait dengan aktivasi sistem pertahanan

tanaman yang memerlukan energi dan prekursor

bagi biosintesis senyawa yang berperan langsung

(bersifat antimikrobia) maupun tidak langsung

(sebagai prekursor ketahanan struktural)

Metabolisme sekunder yang terkait erat dengan

peningkatan respirasi tersebut adalah biosintesis

senyawa fenolat (Agrios, 2005). Biosintesis

senyawa fenolat pada tumbuhan memerlukan

prekursor asam amino aromatik yang berasal dari

jalur shikimat, malonat, dan mevalonat. Umumnya

jalur shikimat terdapat pada tumbuhan dan

mendapatkan pasokan karbohidrat dari glikolisis

dan pentosafosfat (Goodman et al., 1986). Jalur ini

menghasilkan asam shikimat yang merupakan

prekursor sintesis fenilalanin dan tirosin

(Herrmann, 1995).

Metabolisme fenilpropanoid merupakan jalur

karbon utama dari metabolisme primer ke

metabolisme sekunder. Jalur ini diawali dengan

deaminasi fenilalanin oleh phenylalanine ammonia

liase (PAL) (enzim 1) menghasilkan asam sinamat,

prekursor biosintesis senyawa fenolat melalui jalur

fenilpropanoid (Goodman et al., 1986; Goodwin

dan Mercer, 1990). Asam sinamat dihidrolisis

oleh sinamat-4-hidroksilase (enzim 3)

menghasilkan ρ-kumarat. Asam ini dapat pula

dihasilkan melalui deaminasitirosin oleh

tirosinamonialiase (enzim 2). Kemudian asam

kumarat dihidrolisis menjadi asam kafeat oleh

asam ρ-kumarathidroksilase (enzim 4). Asam kafeat

membentuk ester dengan asam kuinat

menghasilkan asam klorogenat. Metilasi asam

kafeat oleh o-metiltransferase (enzim 5)

menghasilkan asam ferulat. Enzim tersebut juga

dapat mengubah asam ferulat menjadi asam

hidroksi ferulat dan asam sinapat. Asam-asam ini

merupakan prekursor sintesis lignin. Asam ρ-

kumarat dapat pula diubah menjadi kumaroil-KoA

oleh asam sinamat: KoAligase (enzim 6).

Ekspresi gen yang menyandi PAL,

cinnamate-4 hydroxylase dan cinnamate: CoAligase

dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk

serangan patogen. Ekspresi gen tersebut

berhubungan produk senyawa fenolat yang dapat

larut dan yang terikat dalam dinding sel tanaman

Wirianata (2004) menyatakan bahwa aktivitas

PAL pada buah kakao belum dapat menunjukkan

tingkat ketahanan terhadap P. palmivora.

Beberapa fenilpropanoid sederhana (C6-C3

dari fenilalanin) dihasilkan dari senyawa sinamat

melalui serangkaian reaksi hidroksilasi, metilasi,

dan dehidrasi, meliputi asam ρ-kumarat, asam

kafeat, asam ferulat, asam sinapat, dan kumarin.

Asam hidroksinamat yang bersifat anti jamur

adalah asam ρ-kumarat, asam ferulat, asam kafeat,

asam sinapat, dan asam klorogenat. Senyawa ini

terdistribusi dalam banyak jenis tanaman (Grayer

dan Harborne, 1994).

Pada umumnya senyawa fenolat dalam

jaringan tumbuhan dihubungkan dengan

ketahanan terhadap penyakit, seperti kandungan

asam klorogenat dalam jaringan umbi kentang

berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap

Streptomyces, Verticillium alboatrum, dan

Phytophthora infestans. Fenol sederhana seperti

asam klorogenat dihubungkan dengan ketahanan

tanaman sebagai preformed antibiotics maupun

dengan ketahanan terimbas. Senyawa fenolat

dapat pula berperan tidak langsung dalam

ketahanan, yaitu sebagai komponen lignin dan

esterfenol yang membentuk ikatan-lintas (cross-

linking) sehingga memperkuat dinding sel,

adanya lignin dapat ditunjukkan dengan adanya

senyawa asam siringat (Donaldson, 2001).

Tanin adalah senyawa polifenol yang larut

dalam air yang berbeda dengan senyawa fenolat

alami lain dalam kemampuannya mengendapkan

protein. Tanin dapat terakumulasi dalam jumlah

besar dalam organ atau jaringan tertentu seperti

kulit, kayu, daun dan akar.

Spance (1961) dan Prendergast (1965) dalam

Iwaro et al. (1999) mengemukakan keterlibatan

polifenoloksidase dalam mekanisme ketahanan

tahap pascapenetrasi buah kakao terhadap P.

palmivora. Okey (1996) dalam Iwaro et al. (1999)

menunjukkan bahwa klon tahan mempunyai

Page 10: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

32 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

kandungan tanin yang lebih tinggi dan fenol

spesifik ini mungkin terlibat dalam mekanisme

ketahanan. Terdapat variasi kandungan

karbohidrat, asam amino, dan fenol dalam

perikarp buah empat hari setelah infeksi P.

megakarya. Penurunan kandungan karbohidrat

lebih besar diamati pada klon SNK 10 (sangat

rentan) daripada klon SNK 413 (tahan) dan ICS

95 (agak tahan), ini menunjukkan bahwa

senyawa ini dipergunakan oleh jamur. Pada saat

yang sama kandungan asam amino meningkat

dalam buah ketiga klon tersebut. Ada

peningkatan kandungan fenol empat hari setelah

infeksi. Klon kakao yang tahan mempunyai

kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi,

baik dalam buah sehat maupun yang sakit.

Namun, kandungan fenolat dalam buah sehat

belum dapat berperan sebagai preformat

inhibitor, seperti ditunjukkan dengan gejala

busuk buah pada semua klon kakao. Secara

komulatif senyawa fenolat dapat membatasi

perkembangan busuk buah pada klon kakao

yang tahan.

Penghambatan perkecambahan spora P.

palmivora dihasilkan oleh fenol total yang berasal

dari Sca 12 dan terkecil dari GC 7, sedangkan

fenol total yang berasal dari TSH 858, DRC 16,

ICS 60 dan NIC 4 menghasilkan penghambatan

perkecambahan yang sama besar. Penghambatan

panjang buluh kecambah P. palmivora yang

terbesar dihasilkan oleh fenol total yang berasal

dari Sca 12 dan DRC 16, diikuti NIC 4,

penghambatan terkecil dihasilkan oleh GC7.

Hasil ini berhubungan erat dengan kandungan

senyawa fenolat dalam ekstrak buah masing-

masing klon kakao. Penghambatan ini didukung

oleh pendapat bahwa pertumbuhan inokulum

merupakan proses enzimatik, padahal senyawa

fenolat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap

protein sehingga senyawa ini dapat berperan

sebagai inhibitor enzim (Grayer dan Harborne,

1994).

PENGUJIAN KETAHANAN KAKAO

TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat

dinyatakan bahwa ketahanan buah kakao

ditentukan oleh mekanisme ketahanan struktural

yang terdiri atas morfologi buah khususnya

kedalaman alur primer dan panjang pori mulut

kulit, dan lignifikasi perikap pascainfeksi

patogen, serta mekanisme biokimia yang

melibatkan peningkatan kandungan senyawa

fenolat pascapenetrasi. Ada keterkaitan erat

antara mekanisme biokimia dan struktural, yaitu

melalui peran langsung maupun tidak langsung

senyawa fenolat dalam ketahanan kakao

terhadap penyakit busuk buah. Hubungan ini

dapat ditunjukkan oleh kedalaman alur primer

dan panjang pori mulut kulit dengan kandungan

asam klorogenat, asam ferulat dan asam siringat.

Di samping itu, ada perbedaan kepekaan antara

perkecambahan spora dan pertumbuhan buluh

kecambah P. palmivora terhadap pengaruh fenol

total dari klon yang sama. Hasil ini disebabkan

oleh toksisitas asam tanat yang lebih tinggi

dibanding asam fenolat. Dibandingkan dengan

perkecambahan spora, proses metabolisme yang

terlibat dalam pertumbuhan buluh kecambah

lebih komplek sehingga lebih memungkinkan

bekerjanya mekanisme penghambatan oleh asam

tanat.

Pengujian ketahanan pada buah kakao di

laboratorium telah dilakukan oleh Suhendi et al.

(2005) tentang luas bercak akibat infeksi P.

palmivora pada buah dan diameter bercak busuk

buah dari enam klon kakao. Winarno dan

Sukamto (1986) dan Rubiyo et al. (2008b) tentang.

perkembangan diameter bercak tongkol kakao

yang di inokulasi dengan P. palmivora, Wirianata

(2004) tentang ciri morfologi buah dari enam klon

kakao. Dari hasil pengujian tersebut dapat

disimpulkan bahwa panjang pori mulut kulit

kakao, kedalaman dan lebar alur primer

menunjukkan peran yang lebih besar dalam

ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora

dibandingkan dengan kerapatan mulut kulit.

Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang

mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan

panjang pori yang besar berhubungan dengan

mekanisme ketahanan struktural yang lain dan

faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi

patogen pasca penetrasi.

Mekanisme ketahanan struktural ini

dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam

dan morfologi luar yang masing-masing

menunjuk ke ciri morfologi buah dan

Page 11: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 33

anatomi/histologi jaringan buah kakao.

Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman

dan lebar alur primer permukaan buah. Sca 12

mempunyai kedalaman dan lebar alur primer

yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang

rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer

terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini

menentukan kondisi habitat mikro permukaan

buah kakao yang selanjutnya akan

mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi

(perkecambahan dan pertumbuhan buluh

kecambah) inokulum patogen. Meskipun

penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui

mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak

mempengaruhi katahanan kakao terhadap

patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858

mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan

sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.

Klon kakao yang tahan mempunyai

kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi,

baik dalam buah sehat maupun yang sakit.

Namun kandungan fenolat dalam buah sehat

belum dapat berperan sebagai preformat

inhibitor, seperti ditunjukkan adanya gejala

busuk buah pada semua klon kakao. Secara

komulatif senyawa fenolat dapat membatasi

perkembangan busuk buah pada klon kakao

yang tahan.

Di negara lain, penelitian pengujian

ketahanan banyak dilakukan. Sebagai contoh

yang telah dilaporkan oleh Nyadanu et al. (2012)

yang menguji ketahanan struktural dari 12

genotipe kakao dengan dan tanpa lapisan lilin

(epicuticular wax) pada buah dan daun. Dijelaskan

bahwa genotipe kakao yang di permukaannya

mengandung lapisan lilin lebih tinggi dapat

mempertahankan air dan lebih cepat menguap,

kelembaban di permukaan menjadi berkurang

sehingga dapat mencegah penyebaran patogen.

Lebih lanjut Nyadanu et al. (2013) melaporkan

untuk pengujian ketahanan biokimia dari 12

genotipe kakao, bahwa senyawa dari gula larut,

flavanoid, tanin dan lignin adalah faktor biokimia

yang berperan penting dan dapat diandalkan

serta digunakan sebagai penanda sifat untuk

ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao.

KESIMPULAN

Penyakit busuk buah kakao yang

disebabkan oleh jamur P. palmivora merupakan

penyakit utama kakao di Indonesia, bahkan

penyakit ini dapat menyerang semua bagian

tanaman kakao. Ketahanan kakao terhadap

penyakit busuk buah P. palmivora lebih bersifat

horizontal daripada vertikal dengan mekanisme

ketahanan secara struktural dan biokimia.

Mekanisme ketahanan struktural kakao terhadap

penyakit busuk buah dipengaruhi oleh cirri

morfologi buah, dan ketahanan biokimia

dihubungkan dengan senyawa fenolat yang

dominan dalam perikarp buah kakao, klon tahan

mempunyai kandungan senyawa fenolat pasca

infeksi yang lebih tinggi daripada klon moderat

dan rentan. Klon kakao ICS 6, Sca 12, Sca 6 DRC

15, DRC 16, ICCRI 4 dan ICCRI 3 merupakan

klon kakao yang mempunyai tingkat ketahanan

lebih baik dibandingkan klon yang lain di

Indonesia sehingga klon–klon kakao tersebut

mempunyai potensi untuk dapat digunakan

sebagai tetua dalam merakit verietas baru

maupun dikembangkan sebagai bahan tanam

klonal.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition.

Elsevier Academic Press. USA. 922 p.

Akai, S. and M. Fukutomi. 1980. Preformed

internal Physical Defenses. Dalam: J.A.

Bailey & B.J. Deverall (Eds).Dynamic of

Host Defence. Academic Press. Sydny.

Akrofi, A. Y. dan I. Y. Opoku. 2000. Managing

Phytophtora megakarya pod root disease.

Ghana experience. Proc. 3rdInt. Seminar of

International Permanent Working Group for

Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu,

Sabah Malaysia. 16-17th October.

André Drenthand I. David. 2004. Principles of

Phytophthora Disease Management.

Dalam: Diversity and Management of

Phytophthora in Southeast Asia. p. 154-

160.

Berger, R.D. 1977. Application of epidemiological

principles to achieve plant desease

Page 12: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

34 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

control.Annu. Rev.Phytopatol. 15: 165-

183.

Bowers, J. H., B.A. Bailey, P.K. Hebbar, S. Sanogo,

and R. Lumsden. 2001. The impact of

plant diseases on world chocolate

production. American Phytopathological

Society. Feature Story.

http://www.apsnet.org/online/feature/cac

ao/top.html [November 2012].

Campbell, C.L. and L.V. Madden. 1990.

Intruduction to Plant Disease Epidemio-

logy. John Wely & Sons, New York. 532p.

Drenth A. dan Sendall B. 2001. Pratical guide to

Detection and Identification of

Phytophthora. CRC for Tropical Plant

Protection, Brisbane, Australia. 41 p.

Dennis, J. J. and Konam. 1994. Phytophthora

palmivora Cultur Control Methodes and

The Relationship to Disease Epidemio-

logy on Cocoa in Papua New Guinea.

Proc.11st Int.Cocoa Res. Conf.

Yamoussoukro, Coted’Ivoire. 18-24 July.

p. 953-957.

Donaldson, L. A. 2001. Lignification and lignin

topochemestry: an ultrastructural viuw.

Phytocemistry 57: 859-873.

Erwin, D. C., and O. K. Ribeiro, 1996.

Phytophthora palmivora var. palmivora.

Dalam: D. C. Erwin, and O. K. Ribeiro.

Phytophthora Diseases Worlwide.

American Phytopathological Society. St.

Paul, Minnesota. p. 408-421.

Fulton, R.H. 1989. Cocoa disease trilogy: black

pod, monilia pod rot and witches broom.

Plant Disease 73(7): 601-603.

Fry, W. E. 1982. Principles of Plant disease

Management. Academic Press, New

York. 376 p.

Goodman, R. N., Z. Kiraly, and K. R. Wood. 1986.

Biochemistry and Physiology of Plant

Disease. Univ. Missouri Press. Colombia.

433 p.

Goodwin, T. W. and E. I. Mercer. 1990.

Introduction to Plant Biochemistry.

Pergamon Press, Oxford. 677p.

Gorenz, A. M. 1974. Chemical control of black

pod. Dalam: P.H. Gregory (ed.).

Phytophthora Disease of Cocoa. Longman,

London. p. 235-257.

Grayer, R.J. and J.B. Harborne. 1994. A survey of

anti fungal Compounds from higher

plants, 1982-1993. Phytochemistry 37(1):

19-42.

Guest, D. 2007. Black pod: Diverse pathogens

with a global impact on cocoa yield.

Phytopathology 97(12):1650-1653.

Herrmann, K. M. 1995. The Shikimate Pathway as

an entry to aromatic secondary

metabolism. Plant Physiol. 107: 7-12.

ICCO [International Cocoa Organization]. 2012.

Pest and Disease. http://www.icco.org/

about-cocoa/pest-a-diseases.html.

[Desember 2012].

Iswanto, A. dan H. Winarno, 1992. Cocoa

Breeding at RIEC Jember and The Roll of

Planting Material Risistant to VSD and

Black Pod. Dalam: P.J. Keane & C.A.J.

Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease

Management in Southeast Asia and

Australasia. FAO Palnt Production and

Protection Paper No. 112. p. 163-169.

Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan.

1995. Differential reaction of cocoa clones

to Phytophthora palmivora infection. CRU,

Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.

Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan.

1997. Phytophthora palmivora resistance in

cocoa (Theobromacacao): Influence of pod

morphological characteristics. Plant

Pathology 46: 557-565.

Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan., Umaharan, and

J. A. Spence 1999. Studies on black pod

disease in Trinidad. Prc. Int. Workshop

on the Contribution of Disease Resistance

to Cocoa Vareity Improvement..

Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.

p. 67-74.

Kebe, I. B., J. A. K. N. Goran, G.H. Tahi, D.Paulin,

D. Clement, and A.B. Eskes, 1999.

Phatology and breeding for resistance to

black pod in Cote d’Ivorie. Proc. Int.

Workshop on the Contribution of Disease

Resistance to Cocoa Vareity

Improvement. Salvador Bahia, Brasil. 12-

26th November. p. 135-140.

Mc. Mahon, P. and A. Purwantara. 2004.

Phytophthora on Cocoa. Dalam: Diversity

Page 13: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.) 35

and Management of Phytophthora in

Southeast Asia. p.104-115.

Muller, R.A. 1974. Integrated Control Methods.

Dalam: P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora

Disease of Cocoa. Longman, London. p.

259-265.

Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C.

Kwoseh, H. Dzahini Obiatev, S. T. Lowor,

A. Y. Akrofi, and M.K. Assuah. 2012.

Host plant resistance to Phytophthora pod

rot in cacao (Theobroma cacao L.): The role

of epicuticular wax on pod and leaf

surfaces. International Journal of Botany

8 (1): 13-21.

Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C.

Kwoseh, S. T. Lowor, H. Dzahini Obiatev,

A. Y. Akrofi, F. Owusu Ansah, Yaw

Opoku Asiama, and M.K. Assuah. 2013.

Biochemical mekanisme of resistance to

black pod disease in cocoa (Theobroma

cacao L.). American Journal of

Biochemistry and Molecular Biology 3

(1): 20-37.

Opeke, L. K and A. M. Gorenz. 1974. Phytophthora

Pod rot: Symtoms and Economic

Importance. Dalam:P.H. Gregory(Eds.).

Phytophthora Disease of Cocoa.

Longman, London. p. 117-124.

Osbourn, A.E.1996. Preformed antimicrobial

compounds and plant defense against

fungal attack. Plant Cell. 8:1821-1831.

Purwantara, A. 1990. Pengaruh beberapa unsur

cuaca terhadap infeksi Phytophthora

palmivora pada buah kakao. Menara

Perkebunan 58(3): 78-83.

Periera, J.L. 1995. Phytophthora Pod Rot of Cocoa:

Advences and Prospects. Proc.1stIn Cocoa

Pest and Disease Seminar. p.76-97 Accra,

Ghana.6-10 Nov.

Philips-Mora, W.1999. Studies on resistance to

black pod disease(Phytophthora palmivora

Butler) at CATIE. Proc.Int.Workshop on

the Contribution of Disease Resistance to

Cocoa Variety Improvement. Salvador,

Bahia, Brasil. 24-26th November. p. 41-50.

Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto, dan

Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous

Phytophthora palmivora from Indonesia,

their morphological and pathogenicity

characterizations. Pelita Perkebunan 24 :

37- 49.

Rubiyo, A. Purwantara, D. Suhendi,

Trikoesoemaningtyas, S. Ilyas, dan

Sudarsono. 2008b. Uji katahanan kakao

(Theobroma cacao L) terhadap penyakit

busuk buah dan efektivitas metode

inokulasi. Pelita Perkebunan 24 : 95-113.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman

Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta. 835 hlm.

Simmonds, N. W. 1994. Horizontal resistance to

cocoa disease. Cocoa Growers Bul. 47:42-

52.

Soria, J. 1974. Sources of Resistance to

Phytophthora palmivora Dalam: P.H

Gregory (ed.) PhytophthoraDisease of

cocoa. Longman, London. p. 197-202.

Suhendi, D., H.Winarno dan A.W. Susilo. 2005.

Peningkatan produksi dan mutu hasil

kakao melalui penggunaan klon baru.

Pro.Simp. Kakao. Pusat Penelitian Kopi

dan Kakao Indonesia, Jogjakarta, 4-5

Oktober 2004. Hlm. 98-111.

Thorold, C. A. 1975. Disease of Cocoa. Clarendon

Press, Oxford. 423 p.

Tarjot, M. 1967. Etude de la pourriture des

cabosses due an Phytophthora palmivora en

Côte d'Ivoire. Café Cacao Thé 11:321-330.

Tarjot, M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse

de Cacaoyer en Relation avec Lattaque

du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int.

Cacao Research Conf. St Augustine,

Trinidad. 8-18thJanuary. p. 379-397.

Tarjot, M. 1974. Physiology of the fungus. Dalam:

P.H. Gregory (ed.). Phytophthora disease

of cocoa. Longman, London. p. 103-116

Thurston, H. D. 1998. Tropical Plant Disease.

APS. St. Paul, Minnesota. 2nd Ed. 200 p.

Van der ossen, H.A.M. 1997. Strategies of Variety

Improvement on Cocoa with Emphasis

on Durable Disease Resistance.

INGENIC. Reading, UK. 32p.

Waterhouse, G. M. 1974. Phytophthora palmivora

and some Related Species. P.H. Gregory

(Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa.

Longman, London. p. 51-70.

Winarno, H dan Sukamto. 1986. Uji laboratorium

ketahanan tongkol beberapa hibrida

Page 14: KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan... · Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan

36 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 23 -36

kakao terhadap penyakit busuk buah

(Phytopthora palmivora Butler). Pelita

Perkebunan 2(3): 115-119.

Wirianata, H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao

Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi

S3 UGM Yugyakarta (tidak diterbitkan),

130 hlm.

Wood, G.A.R. 1985. Establishment. Dalam: G.A.R.

Wood and R.A. Lass (Eds.) Cocoa.

Longman, London. p. 119-165.

Wood, G.A.R. 1985. History and development.

Dalam: G.A.R. Wood and R.A. Lass.

Cocoa. Fourth Edition. Longman,

London, New York. p. 1-10.

Zadooks. 1997. Disease Resistance Testing in

Cocoa. INGNIC. UK. 58 p.

Zentmyer, G. A. 1974. Variation Genetics and

Giographical Distribution of Mating

Type. Dalam: P.H. Gregory (Ed.)

Phytophthora Disease of Cocoa: Longman,

London. p. 89-102.

____________.1988. Origin and distribution of

four species of Phytophthora Tranc. Br.

Mycol. Soc. 91(3): 367-378.