ketegangan peran
DESCRIPTION
ketegangan peran askep gerontikTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Penuaan merupakan perubahan biologik, psikologik dan sosial yang terjadi seiring
dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Peningkatan usia harapan hidup
mempengaruhi populas lansia. Umur harapan hidup (UHH) pada perempuan 66,7 tahun
dan npada laki-laki 62,9 tahun (Depkes, 2010), sedangkan untuk umur harapan hidup
(UHH) untuk tahun 2007 tidak berdasarkan jenis kelamin yaitu 70,5 tahun (Depkes,
2009).
Lansia akan mengalami kondisi penurunan fungsi tubuh akaibat bebrbagi
perubahan yang tejadi. Masalh penyakit degeneratif sering menyertai lansia dan bersifat
kronis bserta multipatplogis (Depkes, 2010). Mayoritas individu lansia mengalami
kondisi penyakit kronis yaitu sebesar 94% dan kondisi ketidak mampuan lainnya
(Allender & Spradley, 2005).
Kondisi yang dialami oleh lansia dengan pertambahan usia dan perubahan-
perubahan kondisi tubuh pada lansia, menyebabkan lansia dikategorikan dalam kelompok
resiko tinggi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia baik perubahan fisiologik
maupun psikososial menyebabkan lansia mengalami kelemaham dan keterbatasan fungsi.
Perubahan fungsi fisiologik berupa keterbatasan, kelemahan dan ketergantungan akan
mempengaruhi kondisi psikososial lansia berupa gangguan atau perubahan fungsi
psikososial. Perubahan fungsi psikososial pada lansia akan berdampak terhadap
terjadinya kerusakan fungsi psikososial pada lansia. Kerusakan funsi psikososial menjadi
faktor resiko bagi lansia.
Pandangan masyarakat dan keluarga terhadap lansia bahwa apa yang dialami oleh
lansia merupakan hal yang alami dan wajar, seperti lansia sering sakit, cepat marah dan
curiga. Akibat pandangan yang salah menyebabkan kondisi kesehatan fisik, mental
maupun kebutuhan lansia tidak tertangani, dan tidak terpenuhi dengan baik (Depkes,
2010). Pemahaman yang keliru terhadap lansia akan beresiko untuk tidak terpenuhi
kebutuhannya, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat ataupun keluarga mengalami
kegagalan dalam memberikan pelayananan lansia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lansia ?
2. Perubahan apa yang terjadi pada lansia?
3. Permasalahan apa yang terjadi pada kehidupan lansia?
4. Bagaimana Peran Keluarga pada lansia?
5. Apa alasan keluarga merawat lansia di rumah?
6. Bagaimana Respon keluarga selama merawat lansia?
7. Apa dampak pada keluarga selama merawat lansia?
8. Apa kebutuhan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan keluarga dalam merawat
lansia?
9. Apa saja pelayanan keperawatan pada lansia?
10. Bagaimanakah peran perawat dalam penatalaksanaan pemberian askep pada lansia?
11. Bagaimanakah bentuk asuhan keperawatan nya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari lansia
2. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada lansia
3. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada kehidupan lansia
4. Untuk mengetahui peran Keluarga pada lansia
5. Untuk mengetahui alasan keluarga merawat lansia di rumah
6. Untuk mengetahui Respon keluarga selama merawat lansia
7. Untuk mengetahui dampak pada keluarga selama merawat lansia
8. Untuk mengetahui kebutuhan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan keluarga dalam
merawat lansia
9. Untuk mengetahui pelayanan keperawatan pada lansia
10. Untuk mengetahui peran perawat dalam penatalaksanaan pemberian askep pada
lansia
11. Untuk mengetahui bentuk asuhan keperawatan nya
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN LANSIA
Lanjut usia adalah orang yang sistem-sistem biologinya mengalami perubahan
struktur dan fungsinya akibat faktor usia (Aswim, 2003). Menurut Depkes RI (2000) lanjut
usia (lansia) adalah seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik
secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal tidak mampu
berperan aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Sedangkan UU Kesehatan No.23 Tahun
1992, lanjut usia merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis,
fisik, kejiwaan, dan sosial (Kushariyadi, 2011).
1. Batasan Lansia
Menurut WHO lanjut usia dikategorikan seperti usia pertengahan (middle age) yaitu
kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia antara 60-74 tahun, lanjut usia
tua (old) yaitu usia antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu di atas 90
tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998, bab 1 pasal 1 ayat 2,
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2004).
Menurut Setyonegoro dalam Nugroho (2004), lansia dikelompokkan sebagai berikut : (1)
usia dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun, (2) usia dewasa penuh
(middle years) atau maturitas : 25-60 tahun atau 65 tahun, dan (3) lanjut usia (geriatric
age) : lebih dari 65 atau 70 tahun dimana lanjut usia terbagi dalam : (a) umur 70-75 tahun
(young old), (b) 75-80 tahun (old), dan (c) lebih dari 80 tahun (very old).
2. Perubahan Pada Lansia
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Potter & Perry (2009) yaitu:
a. Perubahan fisiologis
Terdapat banyak perubahan fisiologis yang normal pada lansia. Perubahan ini tidak
bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan terhadap penyakit.
b. Perubahan Fungsional
Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit dan
dapat mempengaruhi kemampuan fungsional dan kesejahteraan seorang lansia. Pada
beberapa lansia merasa sulit untuk menerima perubahan yang terjadi pada seluruh
aspek kehidupannya dan biasanya akan menyangkal adanya perubahan dan terus
mengharapkan penampilan yang sama tanpa mempedulikan usiannya. Sebaliknya, ada
juga lansia yang melebih-lebihkan kondisi dan membatasi kegiatannya.
c. Perubahan Kognitif
Perubahan kognitif pada lansia diakibatkan karena adanya beberapa perubahan
struktur dan fisiologis otak (penurunan jumlah sel, deposisi lipofusin dan amiloid pada
sel, dan perubahan kadar neurotransmiter). Tiga kondisi utama yang mempengaruhi
kognisi lansia adalah delirium, demensia, dan depresi.
d. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan proses transisi
kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia seseorang, maka akan semakin
banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Biasanya perubahan
psikososial pada lansia meliputi masa pensiun, isolasi sosial, seksualitas, kondisi
rumah dan lingkungan, serta kematian.
3. Permasalahan Yang terjadi pada Kehidupan Lansia
Menurut Tamher & Noorkasiani (2009) permasalahan lansia yang umumnya terjadi
yaitu :
a. Penurunan kemampuan pada lansia dipengaruhi oleh proses menua yang menimbulkan
berbagai masalah seperti biologis, mental, maupun sosial ekonomi. Hal ini
mengakibatkan kemunduran pada peran-peran sosial sehingga lansia mengalami
gangguan dalam mencukupi kehidupannya.
b. Berkurangnya kesibukan sosial mengakibatkan gangguan integrasi dengan
lingkungannya sehingga memberikan dampak terhadap kebahagiaan lansia.
c. Sebagian para lansia masih mempunyai kemampuan bekerja dimana permasalahannya
yaitu bagaimana cara untuk memfungsikan tenaga dan kemampuan mereka ke dalam
dunia kerja.
d. Masih ada sebagian lanjut usia dalam keadaan terlantar, tidak mempunyai
pekerjaan/penghasilan, dan tidak mempunyai keluarga/sebatang kara.
B. PERAN KELUARGA LANSIA
Peran didefinisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang secara realatif homogen,
dibatasi secara normatif dan diharapkan dari seorang yang menempati posisi sosial. Banyak
peran yang terkait dengan posisi sosial dasar dalam konteks keluarga. Konsep penting dalam
peran yaitu pengambilan peran. Anggota keluarga harus mampu membayangkan diri dalam
peran pendamping atau mitra peran, dan mampu memberi tugas sebuah peran kepada orang
lain dan juga dapat memahami lebih baik bagaimana berprilaku dan juga dapat memahami
lebih baik bagaimana berperilaku dalam peran tersebut (Friedman, Browden & Jones, 2003).
Keluarga mempunyai peran penting dalam kehidupan lansia. Ketika lansia
membutuhkan bantuan, maka keluarga yang akan memberikan bantuan tersebut. Keluarga
menyiapkan atau memberikan bantuan dan dukungan pada lansia paling sedikit 80%. Anak
dewasa merupakan sumber utama pemberi dukungan pada orang tua atau lansia (Meiner &
Lueckonette, 2006).
Keluarga mempunyai peran penting dalam kehidupan lansia. Khususnya ketika
adanya perubahan yang terjadi pada lansia yaitu perubahan fungsi fisik dan mental.
Keluarga secara umum pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan dan memberi pelayanan
bantuan pada lansia (Noelker, 1994 dalam Meiner & Lueckonette, 2006).
Salah satu cara penyediaan pelayanan keluarga adalah melalui dukungan pengasuhan
keluarga. Pengasuhan keluarga melibatkan pelayanan dan aktifitas perawatan diri bagi
anggota keluarga. Aktifitas pengasuhan meliputi perawatan diri (mandi, makan, berdandan),
mengawasi komplikasi dan efek samping obat, melakukan aktifitas harian penting
(berbelanja atau kegiatan rumah tangga lainya), dan memberi dukungan emosional maupun
pengambilan keputusan yang penting (Potter & Perry, 2009).
C. ALASAN KELUARGA MERAWAT LANSIA DI RUMAH
Alasan utama merawat lansia di rumah meliputi kepuasan personal,ekonomi
keluarga ,pekembangan kondisi kesehtan lansia,dan kondisi keehatan lansia.Alasan
penunjang termasuk menjaga kestabilan keluarga.Alasan lainnya yaitu keterbatasan sistem
pendukung.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa perawatan lansia bersifat jangka panjang dan
melibatkan seluruh aspek fisik ,psikologis,emosional dan finansial bagi keluarga
(Friedman,2003;Potter and Perry,2005).Selain itu sesuai dengan karakteristik keluarga di
indonesia yang mempunyai ikatan erat ,keluarga besar dan sangat menghormati orang tua
menyebabkan keluarga tinggal bersama dan mengasuh lansia sampai akhir
hayatnya(effendy,1998).
Alasan keluarga merawat lansia dalam hal untuk menjaga kestabilan keluarga berbeda
dengan penelitian yang dilakukan conell (2003). Conell menggambarkan bahwa merawat
lansia di rumah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan peran pemberi asuhan. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena budaya yang berbeda dimana pemberi asuhan di indonesia
utamanya di daerah pedesaan yang cenderung tinggal di rumah dan tidak mempunyai
kesibukan lain di luar rumah sehingga peran pemberi asuhan dapat dilakukan dengan baik
dengan merawat lansia di rumah.
D. RESPON KELUARGA SELAMA MERAWAT LANSIA
Kegiatan merawat lansia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Varisai perasaan muncul selama merawat lansia berupa senang, tidak senang, dan menerima.
Penelitian lain yang dilakukan martire (2006) juga menggambarkan terjadinya variasi
perasaan selama merawat lansia di rumah, yaitu perasaan sedih, tidak punya harapan ke
depan, dan kesulitan konsentrasi.
Ketergantungan lansia yang tinggi meningkatkan risiko kekerasan dan penelantaran,
terutam jika anggota keluarga yang merawat lansia tidak mempunyai mekanisme koping
yang baik. Mekanisme kopping adaptif yang dapat dilakukan keluarga dari sumber internal
adalah fleksibilitas peran dan meningkatkan kohesivitas (friedman, 2003; sally, 2001;
stanhope & lancaster, 2002). Dukungan terhadap keluarga yang merawat lansia dapat berasal
dari internal dan eksternal keluarga. Penelitin lain yang dilukukan stewart et al. (1998)
menggambarkan bahwa dalam dukungan sosial dari keluarga yang juga merawat lansia
berupa informasi dan strategi koping yang didasarkan pada pengetahuan pengalaman mereka
serta dukungan emosional.
E. DAMPAK TERHADAP KELUARGA SELAMA MERAWAT LANSIA
Perubahan peran, fungsi, dan tugas keluarga merupakan dinamika keluarga yang
merawat lansia. Perubahan peran ini dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak
langsung pada fungsi ekonomi keluarga.
Dampak pada pemberi suhak akibat merawat lansia dapat berupa hassless, strain, dan
burden. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa dampak pada pemberi asuhan akibat
merawat lansia berupa hassles, strain, dan burden. Hal ini sesuai dengan penelitian lain
yang dilakukan oleh Stommel et al. (1990) yang menggambarkan bahwa dampak pemberi
asuhan kepada lansia terhadap finansial, perasaan yang terbuang, dampak pada jadwal kerja,
dampak terhadap kesehatan, dan perasaan terisolasi.
F. KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN YANG DIPERLUKAN KELUARGA
DALAM MERAWAT LANSIA
Kebutuhan pelayanan keperwatan terhadap keluarga yang merawat lansia di rumah
adalah ketersediaan pelayanan sesuai kebutuhan .ni sesuai dengan pendpat Rice (2001)
bahwa ketersediaan pelayanan keperawatan terhadap keluarga harus di imbangi dengan
kemampuan keluarga dalam memanfaatkan pelayanan tersebut ,baik dalam hal jarak,waktu
dan finansial.Hl sebaliknya terjadi di indonesia.Wakil ketua komisi IX DPR
2004;2009,Aisyah salekan mengatakan masyarakat pemiik askeskin masih mengalami
kesulitan memperoleh fasilitas perawatan keseatan gratis karena hambatan pada administrasi
yang lambat akibat jumlah petugas sangat minim serta jarak terlalu jauh .Fasilitas pelayanan
kesehatan lansia bag keluarga yang merawat lansia di rumah ,berupa tempat fasilitas
pelayanan penunjang maupun kunjungan rumh belum tersedi,khususnya di daerah-daerah
seperti Malang.
G. PELAYANAN KEPERAWATAN LANSIA
1. Pelayanan Sosial di Keluarga Sendiri
Home care service merupakan bentuk pelayanan sosial bagi lanjut usia yang
dilakukan di rumah sendiri atau dalam lingkungan keluarga lanjut usia. Tujuan pelayanan
yang diberikan adalah membantu keluarga dalam mengatasi dan memecahkan masalah
lansia sekaligus memberikan kesempatan kepada lansia untuk tetap tinggal di lingkungan
keluarganya.
Pelayanan ini dapat diberikan oleh:
A. Perseorangan : perawat, pemberi asuhan
B. Keluarga
C. Kelompok
D. Lembaga / organisasi sosial
e. Dunia usaha dan pemerintah
Jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa bantuan makanan, bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari, bantuan kebersihan dan perawatan kesehatan, penyuluhan gizi.
Pelayanan diberikan secara kontinu setiap hari, minggu, bulan dan selama lansia atau
keluarganya membutuhkan.
2. Foster Care Service
Pelayanan sosial lansia melalui keluarga pengganti adalah pelayanan sosial yang
diberikan kepada lansia di luar keluarga sendiri dan di luar lembaga. Lansia tinggal
bersama keluarga lain karena keluarganya tidak dapat memberi pelayanan yang
dibutuhkannya atau berada dalm kondisi terlantar.
Tujuan pelayanan ini adalah membantu memenuhi kebutuhan dan mengatasi
masalah yang dihadapi lansia dan keluarganya. Sasaran pelayanannya adalah lansia
terlantar, tidak dapat dilayani oleh keluarganya sendiri.
Jenis-jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa :
A. Bantuan makanan, misalnya menyiapkan dan member makanan
B. Peningkatan gizi
C. Bantuan aktivitas
D. Bantuan kebersihan dan perawatan kesehatan
E. Pendampingan rekreasi
f. Olah raga dsb
3. Pusat Santunan Keluarga (pusaka)
Pelayanan kepada warga lansia ini diberikan di tempat yang tidak jauh daritempat
tinggal lansia. Tujuan pelayanan ini adalah membantu keluarga/lanjut usia dalam
mengatasi permasalahan, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah lansia sekaligus
member kesempatan kepada lansia untuk tetap tinggal di lingkungan keluarga.
Sasaran pelayanan adalah lansia yang tinggal/berada dalam lingkungan keluarga
sendiri atau keluarga pengganti. Lansia masih sehat, mandiri tetapi mengalami
keterbatasan ekonomi.
4. Panti Sosial Tresna Wherda
Institusi yang memberi pelayanan dan perawatan jasmani, rohani, sosial dan
perlindungan untuk memenuhi kebutuhan lansia agar dapat memiliki kehidupan secara
wajar.
Pelayanan yang diberikan dalam bentuk kegiatan, antara lain:
a. Kegiatan rutin
1) Pemenuhan makan 3x/hari
2) Senam lansia (senam pernafasan, senam jantung, senam gerak latih otak dsb)
3) Bimbingan rohani/keagamaan sesuai dengan agama
4) Kerajinan tangan (menjahit, menyulam, merenda)
5) Menyalurkan hobi (bermain angklung, menyanyi, karaoke, berkebun)
b. Kegiatan waktu luang
1) Bermain (catur, pingpong)
2) Berpantun/baca puisi
3) Menonton film
4) Membaca Koran
H. PERAN PERAWAT DALAM PENATALKASANAAN PEMBERIAN ASKEP PADA
LANSIA
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial,
baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang
diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 1995).
Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam
praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi
kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung keperawatan secara
professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan
sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan
Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai berikut:
1. Sebagai Care Giver/ pemberi asuhan langsung
Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien, menggunakan pendekatan
proses keperawatan yang meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan
data dan informasi yang benar, menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil
analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi berdasarkan respon
klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan
kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan lebih dari
sekedar sembuh dari penyakit tertentu, sekalipun pemberi ketrampilan tindakan yang
meningkatkan kesehatan fisik merupakan hal yang penting bagi pemberi asuhan. Perawat
memfokuskan asuhan pada kebutuhan klien secara holistik, meliputi gaya
mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan
bantuan bagi klien dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut
dengan menggunakan energi dan waktu yang minimal.
2. Sebagai Pendidik klien lansia
Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya
melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medik
yang diterima sehingga klien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal
yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan
kesehatan kepada klien lansia yang beresiko tinggi, kader kesehatan, dan lain sebagainya.
Perawat menjalankan peran sebagai pendidik ketika klien, keluarga atau kelompok
masyarakat dianggap memerlukan pengajaran. Hubungan pengajar - orang yang belajar
adalah tingkatan lebih lanjut dari hubungan pertolongan perawatan. Di dalam hubungan
saling ketergantungan ini akan terbangun suatu kepercayaan. Perawat membangun rasa
percaya tersebut dengan berbagi pandangan objektif klien.
Peran ini, dapat dalam bentuk penyuluhan kesehatan, maupun bentuk desiminasi
ilmu kepada klien
3. Sebagai komunikasi ( comunicator )
Setiap perawat yang berkeinginan menjadi perawat yang memberikan
perawatan secara efektif, hal pertama yang harus dipelajari adalah cara berkomunikasi.
Komunikasi yang baik menjadikan perawat mengetahui tentang klien mereka yang
akhirnya mampu mendiagnosa dan menemukan hal - hal yang mereka butuhkan selama
proses perawatan.
4. Sebagai pemberi bimbingan/konseling klien (Counselor)
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien
terhadap keadaan sehat-sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar dalam
merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan
konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan
sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada individu/keluarga dalam mengintegrasikan
pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan
pada masalah keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat.
5. Sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi klien
(Coordinator)
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi
maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang
terlewatkan maupun tumpang tindih.
Dalam menjalankan peran sebagai koordinator, perawat dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
b. Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
c. Mengembangkan sistem pelayanan keperawatan
d. Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan keperawatan
pada sarana kesehatan
6. Rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan
lainnya. Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan
mereka dan perawat membantu klien beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan
tersebut. Rentang aktivitas rehabilitatif dan restoratif mulai dari mengajar klien berjalan
dengan menggunakan kruk sampai membantu klien mengatasi perubahan gaya hidup
yang berkaitan dengan penyakit kronis.
7. Pembuat keputusan klinik ( Collabolator )
Untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya
berpikir secara kritis melalui proses keperawatan. Perawat membuat keputusan ini
sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam setiap situasi seperti ini,
perawat bekerja sama dan berkonsultasi dengan pemberi perawatan kesehatan profesional
lainnya ( Keeling dan Ramos, 1995 ).
8. Sebagai Caring
Tanggung-jawab etis seorang perawat secara umum telah diuraikan dalam
kaitannya dengan caring dan perlindungan. Reverby melacak sejarah keperawatan
Amerika pada awal abad ke-19. Selama waktu tersebut, hampir tiap-tiap perempuan
menghabiskan sebagian dari hidupnya untuk memperhatikan macam-macam penyakit dan
kelemahan teman-teman dan sanak keluarga. Pada saat keperawatan dikenal sebagai
suatu pekerjaan professional dan tempat dalam merawat dipindahkan dari rumah sakit,
tugas merawat ditafsirkan berarti ketaatan terhadap perintah dokter. Menurut Reverby,
caring keperawatan baru-baru ini telah mengalami suatu perubahan bentuk. Berbeda dari
sebelumnya, sekarang akan ditemui perawat menuntut hak untuk menentukan bagaimana
tugas merawat didapatkan. Sekarang perawat menginginkan suatu model caring yang
menyertakan hak-hak terhadap otonomi dengan nilai-nilai ideal tradisional mengenai
hubungan dan azas mengutamakan orang lain.
Pakar teori ilmu perawatan modern yang melanjutkan untuk mengidentifikasi
caring sebagai hal yang utama untuk merawat juga menekankan bahwa teori ilmu
keperawatan itu harus dibangun dari praktek keperawatan dibandingkan dengan
gambaran ideal dalam keperawatan. Benner dan Wrubel sebagai contoh, mengembangkan
penafsiran teori caring keperawatan dari pengamatan empiris dalam praktik keperawatan.
Mereka mendefenisikan caring sebagai suatu perhatian kepada orang lain, peristiwa,
pekerjaan, dan hal-hal lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa caring memungkinkan
untuk keperawatan karena memadukan pemikiran, perasaaan, dan tindakan serta
memberikan arah dan motivasi untuk perawat.
Swanson juga mengemukan suatu model induktif caring. Menurut model ini,
caring memberikan bantuan dengan suatu cara yang memelihara martabat manusia,
mempertahankan kemanusiaan, dan menghindari penurunan status moral seseorang.
Caring, menurut Swanson, melibatkan lima komponen:
a. Mengetahui atau berusaha keras untuk memahami suatu peristiwa sebagai sesuatu
yang yang mempunyai arti dalam hidup orang lain
b. Mendukung atau menunjukan keberadaan secara emosional kepada yang
c. Mengurus atau melakukan sehingga orang lain akan melakukan untuk dirinya jika itu
mungkin
d. Memungkinkan atau memudahkan orang lain melalui pergantian hidup dan peristiwa
yang lazim
e. Mempertahankan kepercayaan yang mengisyaratkan kepercayaan dalam kapasitas
lain untuk melalui suatu pergantian atau peristiwa untuk menghadapi masa depan
yang terpenuhi.
Walupun sebagai keperawatan sering dihubungkan dengan fungsi pelayanan, baik
dokter maupun perawat peduli tentang dan untuk pasien dan caring adalah pusat tujuan
pelayanan kesehatan yang etis. Selain itu, karena keterampilan untuk perawat secara
medis dan secara teknis lompleks. Praktek keperawatan telah meningkat dari keperawatan
domestik yang lebih sederhana di dalam rumah menjadi pembedahan dan anastesi
didalam unit perawatan intensif (UFI) yang modern. Akhirnya, caring dan tidak hanya
meliputi membantu orang lain, tapi juga menahan diri dari mengunakan berbagai bentuk
terapi dan pengobatan.
9. Sebagai Advokasi
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan
tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien
dan klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim
kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional. Peran advokasi sekaligus
mengharuskan perawat bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap
pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam
menjalankan peran sebagai advokat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan
memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
II. ASKEP KETEGANGAN PEMBERI ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Menurut Cynthia
DX: KETEGANGAN PEMBERI ASUHAN KEPERAWATAN
Definisi
Ketegangan pemberi asuhan keperawatan adalah Perasaan kesulitan dalam merawat
anggota keluarga yang sudah lansia akibat kompleksitas yang aktual atau yang di
rasakan.
Pengkajian
1. Status budaya, meliputi usia pemberi asuhan, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, kesehatan secara umum, kebangsaan, area kediaman
(pedesaan,pinggiran kota), hubungan dengan karakter anggota keluarga yang
sudah lansia; keyakinan dan sikap tentang penuaan dan lansia.
2. Status keluarga, meliputi peran, aturan, komunikasi, subsistem keluarga,
kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pemberi
asuhan dan anggota keluarga yang sudah lansia, faktor social dan ekonomi, pola
koping, bukti adanya penganiayaan, riwayat kesehatankeluarga.
3. Status psikologis pemberi asuhan, meliputi kualitas hubungan dengan anggota
keluarga yang sudah lansia, rasa harga diri, hobi, aktivitas rekreasional, riwayat
psikiatrik, perubahan hidup baru-baru ini.
4. Status perawatandari anggota keluarga yang sudah lansia, kondisi medis,
penggunaan alat bantu, kemampuan berfungsi, aktivitas sehari-hari.
5. Status spiritual pemberi asuhan, meliputi afiliasi keagamaan; persepsi tentang
keagamaan dan kepercayaan, kehidupan, kematiandan penderitaan; jaringan
pendukung.
Batasan karakteristik
1. Perubahan aktivitas pemberi asuhan
2. Perubahan status kesehatan pemberi asuhan (contoh, hipertensi, penyakit
kardiovaskular,diabetes, sakit kepala, gangguan GI, perubahan berat badan, ruam)
3. Kekhawatiran tentang perawatan pasien jika pemberi asuhan sakit atau
meninggal.
4. Kekhawatiran tentang kemungkinan penerima asuhan terinstitusionalisasi.
5. Kekhawatiran tentangkesehatan penerima asuhan pada masa yang akan datang
dan kemampuan pemberi asuhan untuk emberikan perawatan.
6. Kesulitan melakukan aktivitas yang di perlukan
7. Ketidakmampuan menyelesaikan tugas pemberian perawatan
8. Preokupasi dengan perawatan rutin
Diagnose medis yang berhubungan (dipilih)
Kerentanan pemberi asuhan untuk mengalami kesulitan dalam memberikan
perawatan
Hasil yang di harapkan
1. Pemberi asuhan menggambarkan kewajibannya saat ini
2. Pemberi asuhan dapat membedakan kewajiban yang harus ia penuhi dari sesuatu
yang dapat di kendalikan atau di batasi.
3. Pemeberi asuhan mengidentifikasi keterampilan koping yang digunakan untuk
menghadapi krisis yang di alaminya pada masa lalu
4. Pemberi asuhan menggambarkan system pendukung baik formal dan informal
yang dapat memenuhi kewajiban pada saat ini
5. Pemberi asuhan menyatakan kodependensi dan melakukan langkah-langkah yang
tepat untuk menerima bantuan dan dukungan
6. Pemberi asuhan mendemonstrasikan peningkatan keterampilan mengatur waktu
7. Pemberi asuhan menggunakan system pendukung baik formal maupun informal
untuk mencapai pemulihan
Intervensi dan rasional
1. Bantu pemberi asuhan dalam mengidentifikasi kewajibannya, termasuk merawat
anggota keluarga yang sudah lansia dan individu lainnya, bekerja, dan
mengemban tanggung jawab sisoal untuk mengevaluasi persepsinya terhadap
situasi
2. Bantu pemeberi asuhan dalam membedakan kewajiban yang tidak dapat ia
kendalikan dengan kewajiban yang dapat ia batasi untuk meningkatkan rasa
control
3. Bantu pemberi asuhan untuk mengidentifikasi situasi penuh stres yang sama dan
bagaimana ia mengatasinya untuk meningkatkan kesadaran akan keterampilan
koping
4. Bila pemberi asuhan terlihat sangat cemas atau bingung, secara perlahan tunjukan
kenyataan tentang kondisi mental anggota keluarga yang sudah lansia. Perspektif
pemberi asuhan sering kali di kelabui oleh riwayat panjang tentang keterlibatan
emosi. Masukan anda mungkin dapat membantu pemberi asuhan melihat situasi
secara lebih objektif. Bila anda memercai bahwa keterlibatan emosi yang
berlebihan dapat menghalangi kemampuan pemberi asuhan untuk berfungsi,
rekomendasikan suatu kelompok pendukung (mis., Codependent’s
Anonymous)bagi individu yang fikirannya di penuhi dengan hubungan yang
dapat menimbulkan penderitaan yang kronis dan penurunan keefektifan untuk
memberikan dukungan berkelanjutan.
5. Dorong pemberi asuhan untuk berpartisipasidan memberikan informasi tentang
organisasi tertentu seperti alzheimer’s association atau children of aging parents
untuk meningkatkan upaya saling mendukung dan memberikan kesempatan
kepadanya untuk mendiskusikan perasaannya dengan menjadi pendengar yang
empatik.
6. Ajarkan kepada pemberi asuhan cara menggunakan waktu secara efisien , sebagai
contoh, mengisi format asuransi pada saat berkunjung ke penerima asuhan.
Pengaturan waktu yang lebih baik dapat membantu pemberi asuhan menurunkan
stres.
7. Temukan kewajiban mana yang diyakini sulit terpenuhi oleh pemberi asuhan
untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan dukungan tambahan.
8. Bantu pemberi asuhan untuk melaukan kontak dengan sumber dukungan
informal, seperti kelompok keagamaan dan sukarelawan di komunitas, untuk
mendapatkan dukungan dan pemulihan.
9. Anjurkan pemberi asuhan untuk menggunakan lembaga dukungan formal, seperti
layanan social dan lembaga pelayanan kesehatan di rumah, klinik, dan pusat
perawatan sehari orang dewasa (adult day-care centers), untuk mendapatkan
pemulihan tambahan.
10. Rujuk pemberi asuhan kelembaga yang tepat untuk membantu pemberian
perawatan yang kontinu.
Dokumentasi
1. Semua stresor yang di identifikasi oleh pemberi asuhan
2. Observasi respon pemberi asuhan terhadap situasi yang menimbulkan stres
3. Rujukan yang di berikan
4. Semjua system pendukung yang di gunakan oleh pemberi asuhan
5. Strategi koping yang dapat di identifikasi oleh pemberi asuhan dan perawat
6. Bukti peningkatan kemampuan pemberi asuhan untuk melakukan koping
7. Evaluasi untuk setiap hasil yang diharapkan
DX: RESIKO KETEGANGAN PEMBERI ASUHAN KEPERAWATAN
Definisi
Resiko ketegangan pemberi asuhan keperawatan adalah Kerentanan pemberi asuhan
untuk mengalami kesulitan dalam memberikan perawatan
Pengkajian
1. status fisik dan mental pemberi asuhan, meliputi masalak kesehatan kronis,
kemampuan perawatan diri, keterbatasan mobilitas dan tingkat fungsi kognitif.
2. Status fisik dan mental penerima perawatan, meliputi penyakit, keterbatasan
mobilitas dan tingkat fungsi kongnitif.
3. System pendukung meliputi sumber-sumber keuangan, keluarga dan teman-
teman, layanan kominitas, layanan terkait kesehatan seperti perawatan sehari
geriatric (geriatric day care). Home health aids.
4. Lingkungan rumah meliputi hambatan structural, tata ruang rumah, tuntutan akan
adanya peralatan atau alat bantu, tersedianya transportasi.
5. Latar belakang budaya, suku, dan agama.
6. Kewajiban yang di rasakan atau actual pada pemberi asuhan.
7. Kekuatan personal pemberi asuhan, meliputi kemampuan memecahkan masalah
dan melakukan koping yang biasa dilakukan. Partisipasi dalam aktivitas hiburan
dan hobi.
Faktor risiko
1. Faktor risiko perkembangan, seperti keterlambatan perkembangan atau ketidak
mampuan penerimaan perawatan atau pemberi asuhan; kekurangsiapan peran
pemberi asuhan; contohnya, seorang dewasa muda yang harus melakukan
perawatan yang tidak diinginkan terhadap orang tuanya yang berada pada usia
pertengan.
2. Faktor risiko patofisiologis, seperti masalah kongnitif yang disebabkan oleh
disfungsi otak yang dialami penerima perawatan, adiksi obat atau alcohol,
penyakit berat, munculnya penyakit yang tidak dapat di prediksi atau
ketidakstabilan kondisi kesehatan penerima perawatan.
3. Faktor risiko psikologis, seperti kodependensi; perilaku menyimpang dan aneh
pada sebagian penerima perawatan; bukti adanya disfungsi pola koping keluarga
yang muncul sebelum situasi penyimpangan di alami penerima perawatan; bukti
kurangnya kemampuan koping pada sebagian pemberi asuhan; bukti adanya
masalah psikologis pada penerim perawatan; hubungan tidak baik pada pemberi
asuhan dan penerima perawatan.
4. Faktor risiko situasional, separti persaingan komitmen peran pada sebagian
pembari asuhan; pemulangan anggota keluarga dengan kebutuhan perawatan di
rumah ang signifikan; lingkungan atau fasilitas yang tidak adekuat untuk
memberikan perawatan; isolasi pemberi asuhan; kuranganya pengalaman pada
sebagian pemberi asuhan; kurangnya istirahat atau rekreasi pada pemberi asuhan;
durasi yang lama pada antisipasi pemberi asuhan; tugas pemberi asuhan yang
banyak dan rumit; adanya penganiayaan atau perilaku kekerasan; kejadian
simultan yang dapat menimbulkan stress terhadapkeluarga, seperti kehilangan
kerabat dekat, bencana alam, atau krisis ekonomi.
Diagnosis medis yang berhubungan (dipilih)
1. Sindrom defisiensi imun di dapat (Acquired immunodeficiency syndrome, AIDS);
penyakit Alzheimer’s sclerosis lateral amiotrofik; kanker; paralisis serebral,
penyakit paru obstruktif kronis; demensia; adiksi obat atau alcohol; penyakit
ginjal; penykit jantung atau paru derajat akhir, gagal jantung, penyakit
Huntington, sklerosismultipel, distrofi otot, paralisis, penyakit parkinson,
skizofrenia,cedera medulla spinalis dan stroke.
Hasil yang diharapkan
1. Pemberi asuhan megidentifikasi stresor terkini
2. Pemberi asuhan mengidentifikasi strategi koping yang tepat dan menyatakan
rencananya untuk memasukan strategi tersebut ke dalam rutinitas sehari-hari.
3. Pemberi asuhan menyatakan maksudnya untuk terlibat dalam aktivitas
rekreasional ke dalam rutinitas sehari-harinya.
4. Pemberi asuhan melaporkan kepuasan terhadap kemampuan mengatasi stress
yang di sebabkan oleh tanggung jawab pemberi asuhan.
Intervensi dan rasional
1. Bantu pemberi asuhan dalam mengidentifikasi stressor terkini. Tanyakan apakah
stres kemungkinan akan meningkat atau menurun pada masa mendatang untuk
mengevaluasi risiko ketegangan peran pemberi asuhan.
2. Anjurkan pemberi asuhan untuk mendiskusikan keterampilam koping yang di
gunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stress pada masa lalu untuk
menguatkan rasa percaya diri pemberi asuhan terhadap kemampuannya untuk
mengtasi situasi terkini dan mengungkap cara untuk menerapkan strategi koping
sebelum pemberi asuhan mengalami kejenuhan.
3. Bantu pemberi asuhan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dukungan
informal, seperti anggota keluarga, teman, kelompok keagamaan, dan
sukarelawan komunitas, untuk merencanakan jadwal istirahat sementara atau
teratur.
4. Bantu pemberi asuhan untuk mengidentifikasi layanan pendukung formal yang
ada, seperti home halth ageney, layanan social kota atau Negara, pekerja social
rumah sakit, dokter, klinik dan day care center, untuk membantu meringankan
risiko ketegangan pada pemberi asuhan.
5. Dorong pemberi asuhan untuk mendiskusikan hobinya atau aktivitasrekreasi.
Aktivitas menyenangkan yang dimasukan ke dalam jadwal harian atau mingguan
akan memberikan kesempatan kepada pemberi asuhan untuk beristirahat untuk
menghilangkan kejenuhan dalam merrawat pasien dan menurunkan stress.
6. Dorong pemberi asuhan keperawatan untuk berpartisipasi dalam kelompok
pendukung. Berikan informasi mengenai organisasi tertentu, seperti the
Alzheimer’s Association, Children of Aging Parants, atau layanan rujukan AIDS
komunitas untuk meningkatkan upaya yang saling mendukung dan memberikan
jalan ke luar dalam mengungkapkan perasaan sebelum terjadi frustasi berlajut.
7. Sarankan cara mengefisiensikan waktu yang dapat di gunakan oleh pemberi
asuhan; contohnya, pemberi asuhan mungkin dapat menghemat waktu dengan
mengisi format asuransi pada saat mengunjungi dan bercakap-cakap dengan
penerim peawtan. Pengelolaan waktu yang lebih baik dapat membantu pemberi
asuhan dalam menurunkan stress.
Dokumentasi
1. Stressor terkini yang dapat diidentifikasi oleh pemberi asuhan.
2. Faktor risiko ketegangan peran pemberi asuhan yang dapat diidentifikasi oleh
perawat (perkembangan, patofisiologis, psikologis, situasional).
3. Pernyataan pemberi asuhan ynag mengidentifikasi kan maksud untuk melakukan
tindakan meminimalkan stress, seperti mencari bantuan dari layanan pendukung,
dan penjadwalan untuk aktivitas rekreasional.
4. Strategi koping yang dapat diidentifikasi oleh pemberi asuhan dan perawat.
5. Observasi respons pemberi asuhan terhadap situasi yang menimbulkan stres.
6. Rujukan yang diberikan.
7. Evaluasi setiap hasil yang diharapkan