ketela pohon, masalah dan solusinya sebagai … · web viewkomoditi ketela pohon merupakan komoditi...
TRANSCRIPT
1
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Ketahanan pangan adalah upaya memenuhi pangan bagi rumah tangga
(Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Pembangunan tersebut
diarahkan pada peningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian
pangan. Permasalahan dan tantangan muncul, seperti bertambahnya kebutuhan
pangan oleh laju pertumbuhan penduduk. Diperkuat dari data populasi penduduk
Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 273,1 juta. Apabila laju pertumbuhan
penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka pada tahun 2050 penduduk
Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Konsekuensinya menimbulkan
krisis pangan, untuk itu perlu meningkatkan produksi pangan agar memenuhi
kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan diversifikasi pangan menjadi salah
satu solusi untuk mencapai ketahanan pangan. dan merupakan suatu usaha untuk
menurunkan tingkat konsumsi beras dengan jalan penganekaragaman pangan pokok.
Produksi Pangan Indonesia Peringkat 20 Besar (FAO, 2010)
2
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Impor Pangan Indonesia (Peringkat 20 Besar) (FAO, 2010)
Komoditi ketela pohon merupakan komoditi tanaman pangan yang penting di
Indonesia setelah padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, yaitu sebagai
bahan pangan, pakan dan bahan baku industri baik hulu maupun hilir. Di samping itu
komoditi tersebut merupakan tanaman dengan daya adaptasi yang luas, mudah
disimpan, mempunyai rasa enak sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan petani beserta keluarganya. Komoditi ketela pohon selain
berperan untuk memenuhi kebutuhan sumber karbohidrat untuk substitusi beras, juga
sebagai bahan untuk diversifikasi pangan. Ketela pohon juga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pakan, bahan baku industri dan bahan baku bioetanol.
Upaya peningkatan produktivitas dan produksi ketela pohon pada tahun 2011
terfokus pada pengembangan melalui dem area (pengelolaan tanaman terpadu)
dengan luasan yang terbatas 550 ha di 11 Kabupaten sentra produksi, diharapkan
salah satu pemicu peningkatan produktivitas ketela pohon. Berdasarkan kebijakan
Kementerian melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan fokus kegiatan utama
adalah komoditas padi, jagung, kedelai, oleh karena itu dem area ketela pohon
dilaksanakan pada MT. 2012.
3
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional
Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia (2009-2012)
4
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Data statistik dari Deptan bahwa indonesia mengimpor singkong sebesar
166.813 (2009), 294.832 (2010), 435.419 (2011), dan 194,854 (2012 triwulan I).
Impor singkong akan sangat merugikan petani di saat harga singkong sedang
berpihak kepada petani dengan kisaran harga Rp. 1.500 untuk singkong kering
(red:gaplek) dan Rp. 700 untuk singkong basah, akan beresiko menurunkan harga
singkong dipasaran.
Persentase Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan menurut Kelompok Barang
Makanan, Indonesia, 1999, 2002-2009
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, Modul Konsumsi 1999, 2002 dan 2005
(2003, 2004 dan 2006 (2003, 2004 dan 2006 hanya mencakup panel
10.000 rumahtangga, sedangkan 2007, 2008 dan 2009 mencakup panel
68.800 rumahtangga)
Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa pengeluaran untuk makanan
kelompok padi-padian merupakan pengeluaran tertinggi bahkan persentasenya sangat
jauh dibandingkan dengan pengeluaran kelompok makanan lainnya. Umbi-umbian
berada pada persentase yang paling rendah. Palimbong (2010) mengatakan bahwa
5
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
pada dasarnya kandungan karbohidrat, protein, gizi, dan mineral kimia bermanfaat
lainnya dari ubi kayu, jagung, sukun dan ubi jalar tidak jauh berbeda dengan beras
padi, bahkan khususnya ubi kayu atau ketela pohon bukan hanya umbinya akan tetapi
daunnya juga mempunyai manfaat yang sangat baik sebagai sayuran. Oleh karena itu,
umbi-umbian sebenarnya dapat menggantikan atau mengurangi ketergantungan
masyarakat dari mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok.
Laju peningkatan produktivitas ubi kayu dari tahun 1968 sampai 2009 secara
nasional berlangsung lambat, yaitu 2.1% per tahun.
Produksi Ubikayu (Ketela Pohon)
TAHUN
LUAS
PANEN
(Ha)
PENING
KATAN
%
HASIL
(Ku/Ha)
PENING
KATAN
%
PRODUKSI
(Ton)
PENING
KATAN
%
2002 1.276.533 - 132 - 16.913.104 -
6
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
2003 1.244.543 (2,51) 149 12,88 18.523.810 9,52
2004 1.255.805 0,90 155 4,03 19.424.707 4,86
2005 1.213.460 (3,37) 159 2,58 19.321.183 (0,53)
2006 1.227.459 1,15 163 2,52 19.986.640 3,44
2007 1.200.612 (2,19) 165 1,23 19.802.508 (0,92)
Rate 1.236.402 (1,20) 154 4,65 18.995.325 3,27
Sumber : Deptan, 2012
Produksi, Ekspor dan Impor Ketela Pohon (1999-2009)
Andil Ketela Pohon Terhadap Inflasi
7
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Selama bulan Pebruari 2013, sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan
hasil-hasilnya disusun oleh komoditas beras, ketela pohon, mie kering instant. Sub
kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya memberikan andil positif terhadap
inflasi hanya komoditas mie kering instant sebesar 0,0012%, Sedangkan komoditas
beras dan komoditas ketela pohon masing-masing memberikan andil negatif terhadap
inflasi sebesar 0,0008% dan 0,0002%.
Andil Ketela Pohon Terhadap Inflasi, Pebruari 2013
Berikut ini adalah daftar wilayah sentra penanaman ketela pohon :
8
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
WILAYAH SENTRA
KOMODITI : KETELA POHON
No Kabupaten / Kota Produksi
1 Garut Bungbulang, Pakenjeng
2 Tasikmalaya Tamansari, Kawalu, Cibereum
3 Sumedang Buah Dua, Jati Gede
4 Sukabumi Jampang Kulon, Jampang Tengah, Cibadak
5 Bogor Leuwiliang, Cibungbulang
6 Cianjur Bojong Pincung, Mande
7 Ciamis Parigi, Batu Karas,
8 Purwakarta Wana Jaya, Campaka
9 Subang Tanjung Siang, Sagala Herang
10 Kuningan Ciniru, Darma
11 Majalengka Talaga, Banjaran, Cikijing
12 Bandung Sorenang, Cikancung, Nagrek, Cipatat
Permasalahan Yang Terjadi : Indonesia Importir Singkong Terbesar
Jumlah singkong impor di Indonesia terus meningkat. Ini karena rendahnya
kapasitas pengolahan singkong menjadi tapioka. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), total impor singkong yang dilakukan Indonesia dari Januari hingga
Oktober 2012 mencapai 13.300 ribu ton dengan nilai US$ 3,4 juta atau Rp 32,3
miliar. Pada Oktober lalu kembali terjadi impor singkong sebesar 6.200 ton senilai
US$ 1,6 juta atau Rp 15,2 miliar dari Thailand. Padahal hampir 3 bulan sebelumnya
tidak terdapat impor singkong ke Indonesia. Selain impor singkong dari Thailand di
Oktober, pada April dan Mei 2012, sebanyak 5.057 ton singkong asal China diimpor
9
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
dengan nilai US$ 1,3 juta. Impor ini kemudian berhenti pada Mei ini.Sementara itu,
pada Mei impor singkong dilakukan dari Vietnam. Sebanyak 1.342 ton singkong
dengan nilai US$ 340 ribu masuk ke Indonesia. Dari Juli sampai September 2012,
tidak terdapat impor singkong dari negara manapun. Di Januari-Juni 2011, Indonesia
juga tercatat mengimpor ubi kayu dengan total 4.730 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu,
sedangkan pada 2010 impor kembali melonjak hingga 290 ribu ton.
Singkong sebagai bahan pangan pokok alternatif mendukung diversifikasi
pangan nasional telah masuk ke jajaran Kadin Indonesia, menjadi salah satu
komoditas strategis pangan nasional. Dengan adanya import singkong yang semakin
meningkat sampai mencapai sekitar 2 juta ton tahun 2012, merupakan peluang emas
bagi Masyarakat Singkong Indonesia dan Pemerintah Indonesia untuk memotivasi
peningkatan produksi tepung berbahan baku singkong (Tapioca Starch, Cassava Flour
dan Mocaf) melalui pelaksanaan program GERNAS SSB 2013-2016 diseluruh
IndonesiaMenurut Bustanul, penyebab impor adalah besarnya kebutuhan sektor
industri yang menggunakan bahan baku singkong. Pemerintah, harus segera
mengambil langkah untuk memperbaiki kondisi pangan dalam negeri. Selama ini
singkong hanya dihargai rendah. Pada saat panen, harga jatuh. Ini membuat para
petani tidak bergairah menanam singkong. Melihat hal tersebut dukungan kepada
Menteri BUMN untuk mengucurkan CSR dari BUMN untuk mendukung
pelaksanaan GERNAS SSB 2013-2016 untuk memproduksi tepung singkong
sebanyak :
a. Tahun 2013 memproduksi 1,2 juta ton tepung singkong
b. Tahun 2014 memproduksi 2,4 juta ton tepung singkong
c. Tahun 2015 memproduksi 4,8 juta ton tepung singkong
d. Tahun 2016 memproduksi 9,6 juta ton tepung singkong
Sementara Direktur Budi Daya Tanaman Kacang dan Umbi Kementerian
Pertanian (Kementan) Maman Suherman, mengakui kalau selama ini pemerintah
masih mengimpor singkong untuk bahan baku industri seperti singkong kering
(chips) dan tapioka. Hal ini dikarenakan panen singkong yang tidak merata sehingga
10
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
membuat pasokan kurang di musim tertentu. "Ekspor pun kami lakukan, kalau
produksi tinggi ya ekspor, kalau produksi turun ya impor," katanya.
Berdasarkan data Kementan, ekspor singkong 2010 sebanyak 169 ribu ton
turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 181,1 ribu ton. Sementara impor 2010
tercatat naik menjadi 23,9 juta ton dari yang tadinya hanya 22 juta ton di 2009. Dalam
meningkatkan ketahanan pangan, Kementan terus berupaya menurunkan tingkat
konsumsi beras masyarakat dengan mencari pengganti pangan seperti singkong.
Namun karena dinilai sebagai pangan kelas dua, singkong kurang diminati. Menurut
Direktur Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen P2HP Kementan, Nazaruddin strategi
upaya peningkatan minat makan singkong dimulai dengan cara pengolahan singkong
untuk menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tambah dan bernilai jual tinggi.
Saat ini di beberapa daerah di Indonesia singkong sudah dijadikan sebagai
bahan pangan seperti dalam bentuk blok, chips, gaplek yang tahan disimpan. Strategi
ini tidak lepas dari strategi 4P
yaitu Product (produk), Price (harga), Promotion (promosi) dan Place (strategi
distribusi).
Suharyo menyatakan tahun lalu luas panen Singkong diperkirakan mencapai
1,2 juta hektare dengan produktivitas sebesar 19,5 ton per hektare, maka dihasilkan
sekitar 23,5 juta ton singkong basah. Walau naik1,7 persen pada 2011 luas panen
singkong cenderung turun selama 10 tahun terakhir. "Produksi singkong cenderung
naik, rata-rata 4,3 persen per tahun. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan
hasil per hektare dari 12,9 ton menjadi 19,5 ton per hektare," kata Suharyo Husen
(2013).
Contoh Strategi Pengelolaan Produksi Ketela Pohon Dinas Pertanian Jabar
Pencapaian peningkatan produksi ketela pohon tahun 2012 dilakukan
beberapa strategi sebagai berikut:
1) Peningkatan Produktivitas
Upaya peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui:
a. Perakitan dan penerapan paket teknologi tepat guna spesifik
11
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
b. Penerapan dan pengembangan teknologi
c. GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi)
d. Perlindungan tanaman dari gangguan OPT dan DPI, dan
e. Pengurangan kehilangan hasil panen
2) Perluasan Areal dan Optimasi Lahan
Perluasan areal dan optimasi lahan dilaksanakan melalui:
a. Pemberdayaan atau optimalisasi lahan kering/lahan terlantar pada daerah-
daerah transmigrasi/Perhutani/Inhutani/PTPN, dan
b. Optimasi lahan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP)
3) Pengembangan Diversifikasi Pangan
Pengembangan diversifikasi pangan dilaksanakan melalui:
a. Pengembangan lahan pekarangan,
b. Pengembangan pangan untuk orang miskin (Pangkin), dan
c. Pengembangan agroindustri aneka tepung berbahan baku lokal
4) Perbaikan Manajemen Pengembangan
a. Kebijakan Perbaikan sistem perkreditan pertanian (Penguatan sistem data)
b. Pengembangan kawasan food estate
c. Pengembangan sistem resi gudang
d. Penguatan petugas lapangan
e. Pemanfaatan pola pengadaan saprodi
f. Penataan kebijakan subsidi pertanian
Sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem daulat pasar, bukan daulat
rakyat. Pada dasarnya daulat pasar menjauhkan Indonesia dari kesejahteraan, untuk
itu perlu ditumbuhkan kembali kedaulatan yang berdasar atas rakyat. Kedaulatan
rakyat ini bisa dengan membangun suatu koperasi ditiap daerah agar tidak terjadi
pemerintahan yang terpusat (sentralisasi). Berikut ini beberapa solusi untuk
membangun perekonomian negara yang berdasar atas rakyat :
Lumbung Pangan : Sarana Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal
12
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Akses terhadap pangan yang cukup merupakan bagian penting dalam hak
asasi manusia. Hak atas pangan mencakup hak untuk bebas dari kelaparan
memperoleh air minum yang aman, akses terhadap sumberdaya, termasuk bahan
bakar untuk memasak. Hak atas pangan yang cukup berarti setiap orang, perempuan,
laki-laki, dan anak-anak secara individu dan komunitas harus memiliki akses, baik
secara fisik dan ekonomi, terhadap pangan sepanjang waktu. Pemerintah sebagai
pihak yang paling bertanggungjawab terhadap terpenuhinya hak atas pangan perlu
mengembangkan kebijakan dan berbagai program untuk memenuhi hak rakyat atas
pangan. Namun sistem pangan kita saat ini menjadi kian runyam saat proses
liberalisasi pangan kian menguat. Banjir pangan impor murah hasil dumping dari
negara-negara kaya menyebabkan harga pangan petani dalam negeri jatuh. Tekanan
berbagai institusi internasional terhadap pemerintah menyebabkan hilangnya peran
negara untuk melindungi kepentingan petani dalam negeri. Berbagai tekanan inilah
yang menyebabkan terkikisnya kedaulatan dan kemandirian negara dalam
membangun sistem pangan nasional yang kokoh dan berkelanjutan (Witoro, 2005).
Sebagai hak asasi, pangan harus ada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya
terjamin dan berkelanjutan. Oleh karenanya pangan hak atas pangan harus
dikembalikan kepada rakyat. Mengembalikan hak rakyat atas pangan dapat dilakukan
dengan melokalisasikan pangan atau memperkuat sistem pangan komunitas agar lebih
tahan atau lentur terhadap gempuran globalisasi. Pemenuhan pangan dengan
memproduksi secara lokal akan menurunkan bahkan menghilangkan pemborosan
biaya transpor dan pencemaran yang diakibatkan pengiriman pangan dari
negaranegara lain yang jaraknya ratusan ribuan kilometer. Pembaruan ini akan
memberi pilihan leluasa kepada komunitas lokal guna membuat kebijakannya sendiri
dalam mengelola produksi, penyimpanan, distribusi, dan konsumsi pangan. Sistem
pangan lokal merupakan alternatif atau bentuk perlawanan terhadap menguatnya
sistem pangan global.
Sistem pangan desa dapat terwujud jika warganya bergotong-royong
memproduksi sendiri aneka pangan yang dibutuhkan dengan memanfaatkan berbagai
sumber produksi pangan yang ada di wilayahnya. Hasil produksi diutamakan untuk
13
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
memenuhi kebutuhan seluruh warga. Sisanya disimpan di lumbung keluarga atau
komunitas sebagai cadangan pangan untuk mengantisipasi paceklik. Perdagangan
dilakukan saat kebutuhan pangan hingga musim berikut telah terjamin. Perdagangan
lokal menjadi prioritas dengan memperpendek jarak dan meningkatkan hubungan
antara produsen dan konsumen.
Lumbung pangan merupakan lembaga pangan yang sejak lama ada dan
terbukti mampu menjadi andalan petani dan warga desa lainnya dalam memenuhi
pangan sepanjang musim. Lumbung desa menujukkan bahwa pangan sungguh berada
di tangan rakyat sehingga mudah diakses sepanjang waktu. Keberadaan dan peran
lumbung desa semakin memudar seiring dengan kebijakan pengembangan cadangan
pangan nasional pada masa Orde Lama dan liberalisasi pasca 1997. Sebagai
akibatnya pangan tidak lagi ada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan para
perusahaanperusahaan.
Menghidupkan dan memperkuat lumbung desa merupakan jalan untuk
merebut kembali kedaulatan rakyat atas pangan dari kepentingan perusahaan yang
bermotoif utama mengeruk keuntungan. Membangun kembali lumbung pangan yang
selama ini terpinggirkan bukanlah persoalan sederhana, tetapi sebuah tantangan yang
besar. Diperlukan kebijakan yang sungguh-sungguh dari Pemerintah untuk
melindungi sekaligus dukungan yang kuat untuk memperkuat lumbung yang
sederhana menjadi lumbung yang berperan untuk menjamin kecukupan pangan warga
desa dan menjadi lembaga ekonomi yang tangguh dan menguntungkan seluruh warga
desa. Penguatan terhadap lumbung desa perlus dilakukan untuk memperbaiki
kelembagaan, kegiatan usaha, administrasi, manajerial dan pemantauan serta
evaluasinya. Mengingat sebagian besar petani merupakan petani kecil berlahan
sempit, maka untuk dapat bertahan dan berkembang dalam situasi perdagangan yang
adil dilakukan melalui kerjasama di antara mereka. Kerjasama ini dilakukan untuk
mengimbangi kelemahannya untuk melakukan penghematan akan sumber-sumber
dan memperoleh kemajuan skala ekonomi. Lumbung desa dapat dikelola seperti
koperasi produsen kecil untuk membangun kekuatan bersama. Kerja-sama secara
tradisional dari koperasi lumbung desa adalah melakukan pembelanjaan bahan-bahan
14
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
baku secara kolektif, produksi dan memperdagangkan hasil produksi, pengangkutan
bahan baku dan hasil produksi, penyimpanan bahan baku dan hasil produksi,
pengolahan bahan atau industri kecil pengolahan pangan, dan sebagainya.
Penguatan lebih lanjut dilakukan dengan membangun kemitraan dengan
lembaga pangan lain atau gerakan pangan lokal lainnya. Gerakan pangan lokal
mempersatukan para aktivis masyarakat, petani kecil, pecinta lingkungan, guru,
pengusaha kecil, dan konsumen pangan sehat. Gerakan ini berpotensi untuk
mewujudkan kedaulatan pangan di tingkat lokal. Sukses yang telah dicapai di
beberapa negara menunjukkan bahwa program pangan lokal dapat menjadi landasan
pembangunan di tingkat lokal atau desa, memperbaiki ketahanan pangan dan gizi,
meningkatkan solidaritas masyarakat, dan mendukung berkembangnya usaha tani
keluarga petani kecil (Schwind, 2005).
Gerakan penguatan pangan lokal atau kembali ke pangan lokal juga
merupakan bagian dari upaya menjawab degradasi atau kerusakan lingkungan dan
pengurangan angka kelaparan dan kemiskinan. Menjadi saat yang tepat bagi gerakan
untuk melakukan kampanye dan advokasi dari berbagai kisah sukses pengembangan
sistem pangan lokal di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Gerakan ini
juga dilakukan untuk melindungi dan membangun kembali sistem pangan lokal
sebagai suatu strategi kemandirian, perjuangan budaya, dan pembangunan yang
berpihak kaum miskin. Seperti platform kedaulatan yang dirumuskan Via Campesina,
“mendahulukan produksi pertanian lokal dalam rangka memenuhi betuhan pangan
rakyat,” serta mengembangkan tata perdagangan baru berdasar konsep tersebut.
Menata Ulang ”Ruang” Demi Pasar
Pilihan untuk lebih menguatkan kebijakan desentralisasi di Indonesia sejak
tahun 2000, pada awalnya, lebih merupakan bentuk akomodasi pemerintah Pusat
terhadap munculnya resistensi and isu self determination di beberapa daerah kaya
sumberdaya alam (Bertrand, 2004:45; Aspinnall & Fealy, 2003). Kecenderungan
pemerintahan rejim sebelumnya yang membangun basis stabilitas nasional di atas
kebijakan politik yang hipersentralistik ternyata menjadi bom waktu yang memicu
15
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
perlawanan daerah ketika negara mahadaya (power house state) tersebut mengalami
krisis ekonomi dan politik. Pola hubungan Pusat-daerah yang sifatnya asimetris
dengan Jakarta sebagai satu-satunya centrum kekuasaan akhirnya ditata ulang
kembali. Jakarta kemudian merelakan sebagian besar urusan atau kewenangan kepada
daerah.
Perubahan struktur politik di ranah nasional tersebut tampaknya gayung
bersambut dengan perubahan struktur ekonomi politik global yang semakin
meneguhkan gagasan-gagasan neoliberalisme. Dua dekade sebelumnya, para pemikir
neoliberal sudah rajin meneriakkan pentingnya desentralisasi. Misalnya, dengan
menggunakan “bendera” good governance, Bank Dunia dan beberapa lembaga donor
internasional lainnya sangat aktif mengadvokasi, mempromosikan dan bahkan
berusaha memastikan berlangsungnya praktek desentralisasi di negara-negara yang
ada di Benua Afrika dan Asia. Meskipun sekarang mereka mulai menuai berbagai
macam suara-suara skeptis yang mempertanyakan apakah betul desentralisasi bisa
menjadi alternatif (Devas & Delay, 2006: 679). Bank Dunia dan lembaga-lembaga
donor internasional tersebut tampaknya cukup dibuat frustasi oleh model-model
pembangunan ekonomi komando dan tata pemerintahan yang sentralistik di berbagai
belahan dunia yang hanya membuahkan ketidakefisienan, membuat korupsi dan
ekonomi biaya tinggi semakin menjamur dan tetap melanggengkan kemiskinan.
Singkatnya, mulai tahun 1980-an, bentuk-bentuk sentralisasi politik dan kebijakan
ekonomi serta peran negara sebagai satu-satunya agen pembangunan ekonomi dan
modernisasi sosial sudah digugat karena dianggap tidak bisa membuat mekanisme
pasar yang ada berjalan sempurna dan justru menimbulkan patologi sosial dan
ekonomi.
Para pemikir neoliberal dan lembaga-lembaga donor internasional yang ada
tentu saja lebih mengedepankan alasan-alasan normatif yang bernuansa ekonomi
yang diklaim lebih bersifat rasional fungsional dibandingkan alasan-alasan politik-
ideologis, yaitu alasan ”economics of size”. Bila desentralisasi pada hakekatnya
adalah urusan ”ukuran” (size), maka desentralisasi yang dibayangkan oleh lembaga-
lembaga pendukung neoliberalisme merupakan mekanisme untuk menata ulang
16
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
”ukuran ruang” agar mekanisme pasar berjalan sempurna dan proses akumulasi
modal bisa berjalan secara efektif dan efisien. Sebagaimana kita ketahui, ideologi
neoliberal sangat percaya pada kredo supremasi pasar sehingga mereka selalu
berusaha mentransformasikan masyarakat melalui kehidupan ekonomi yang
didominasi oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu agenda dasar setiap perubahan
yang didorong oleh ideologi neoliberal dipastikan untuk menjadikan seperti apa yang
disebut oleh Polanyi- masyarakat yang berjalan sebagai bagian yang menyokong
mekanisme pasar (MacEwan, 2005:172).
Bagi pemuja ideologi Kanan, desentralisasi diyakini akan mendorong efisiensi
dimana permintaan (demands) untuk pelayanan publik yang bersifat lokal bisa
terpenuhi dan penyediaan public goods secara optimal akan terpenuhi. Lebih jauh,
model pembuatan keputusan lokal ala pasar melihat desentralisasi sebagai sarana
untuk memperluas jangkauan pilihan konsumen diantara public goods yang ada.
Pilihan yang lebih bersifat lokal dan residensial akan berkontribusi terhadap realisasi
nilai individual dan kesejahteraan kolektif. Desentralisasi dikatakan akan bisa
menekan biaya (cost), memperbaiki keluaran (output) dan akan mendorong
pemanfaatan sumberdaya manusia yang lebih efektif (Smith, 1985:14).
Polisentrisme Radikal dan ”Anti Politik”
Selain mendorong proses ketatapemerintahan yang bersifat market driven,
para pemikir Kanan juga berkepentingan untuk menstimulasi adanya keragaman aktor
dalam proses politik yang ada. Demokrasi dalam nalar Kanan identik dengan
perayaan pluralitas aktor yang diharapkan bisa mematuhi mekanisme demokrasi
sebagai ‘the only one games in town’. Oleh karena itu, desentralisasi menjadi
mekanisme untuk memendarkan kekuasaan secara wilayah yang pada akhirnya
berujung pada penciptaan watak politik yang semakin plural.
Pluralitas yang dimaksud bukan hanya plural dalam arti level pemerintahan
tapi juga pluralitas aktor politik dan tata pemerintahan. Desentralisasi tidak hanya
dipahami sebagai bentuk transfer kekuasaan, otoritas, tanggungjawab dalam
pemerintahan tapi juga pembagian otoritas dan sumberdaya kepada aktoraktor negara
17
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
di dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan (Cheema & Rondinelli
2007:6). Oleh sebab itu, mereka mendorong kecenderungan polisentrisme radikal.
Yang dimaksud dengan polisentrisme radikal adalah serangkaian ide yang meyakini
bahwa entitas-entitas masyarakat sipil, pelaku pasar dan pemerintah lokal -yang tidak
terkoordinasi dan sangat terdesentralisasi- akan bersinergi dan berkelindan satu sama
lain dalam pola hubungan yang saling menguntungkan untuk menghasilkan sesuatu
yang baik untuk seluruh rakyat (Harriss, Stokke, Törnquist, 2004:8). Semangat
semangat ini kemudian banyak dibungkus dalam bentuk jargon good governance,
kemitraan publik-privat, dan sebagainya.
18
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKABertrand, Jaques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia : Cambridge.
Buletin RI. 2013. Bulanan Indikator Makro Sektor Pertanian, Pusat Data dan Sistem Pertanian. Kementrian Pertanian Republik Indonesia : Jakarta selatan.
Departemen Pertanian. 2012. Data Produktivitas Tanaman Pangan Ketela Pohon. tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/Pedlak%20Akabi%202012.pdf. [Diakses 25 Mei 2013]
Devas, Nick dan Simon Delay (2006), “Local Democracy and Challenges of Decentralising State: An International Perspective”, Local Government Studies, vol. 32 No. 5, 677-695, Nopember 2006.
Harriss, John, Kristian Stokke & Olle Törnquist, eds. 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation. Palgrave : Macmillian.
Husen, Suharyo. 2013. Impor singkong Indonesia. http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-04-18/206056 [Diekses 25 Mei 2013].
MacEwan, Arthur (2005), “Neoliberalism and Democracy: Market Power Versus Democratic Power”, dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds.), Neoliberalism: A Critical Reader : Pluto Press.
Nurjanah, Siti. 2011. Sikap dan Perilaku Konsumsi Masyarakat Terhadap Beras Padi (oryza sativa) dan Beras Singkong (manihot esculenta) Sebagai Bahan Pangan Pokok (Kasus Masyarakat Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia : Institut Pertanian Bogor.
Pasaribu, Rowland. 201. Ketahanan Pangan Nasional. http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/13-ketahanan-pangan-nasional.pdf [Diakses 25 Mei 2013]
Rini Dwiastuti, Suhartini, dan Tatiek Koerniawati. 2011. Pertanian Berlanjut : Kode pti4208, Produksi - Konsumsi Pangan dan Energi di Indonesia. Malang : Universitas Brawijaya.
19
Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia
Smith, B.C. (1985), Desentralization: The Teritorial Dimension of The State. George Allen dan Uhwin.
Suwarto. 2012. Menjadikan Ubi Kayu Sebagai Sumber Ketahanan Pangan Dan Energi Di Indonesia. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60103/PRO2012_SUW.pdf?sequence=1 [Diakses 26 Mei 2013].
VECO Indonesia. 2006. Lumbung Pangan Jalan Menuju Ketersediaan Pangan. KRKP : Kota Bogor.