keterangan presiden atas permohonan pengujian …
TRANSCRIPT
1
KETERANGAN PRESIDEN
ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR: 7/PUU-IX/2019
Kepada:
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
di
J a k a r t a
Dengan Hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini:
1. Nama : Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
2. Nama : Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan;
Dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk
dan atas nama Presiden Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut
PEMERINTAH). Perkenankanlah kami menyampaikan Keterangan Presiden
baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak
terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan
Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (selanjutnya disebut UU Penerbangan) [BUKTI
PEMERINTAH – 1] terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) [BUKTI
PEMERINTAH – 2] yang dimohonkan oleh Annabel Salihah, S,H.,M.Kn.
untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON, sesuai Registrasi di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-IX/2019 tanggal 18 Maret
2019 dengan perbaikan permohonan tanggal 25 Maret 2019.
Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas
permohonan pengujian UU Penerbangan sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON
Bahwa PEMOHON adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang
merupakan istri dari Kevin Siahaan yang merupakan korban meninggal
dunia dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 Boeing 737 MAX 8 yang
merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual terlanggar atau
2
setidak-tidaknya berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 359 ayat (1)
UU Penerbangan yang melarang hasil investigasi Komisi Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) dijadikan sebagai alat bukti dalam proses
peradilan, dan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan yang mengualifikasikan
sebagian hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai informasi rahasia
Bahwa menurut PEMOHON hasil investigasi KNKT sepanjang berkaitan
dengan kejadian dan kecelakaan penerbangan tidak dapat dikualifikasikan
sebagai informasi rahasia karena hak PEMOHON untuk mendapatkan
informasi berkaitan dengan kecelakaan penerbangan menjadi hilang. Di
samping itu PEMOHON menilai bahwa hasil investigasi KNKT merupakan
alat bukti kuat untuk membuktikan kesalahan pengangkut dalam peradilan
perdata yang sedang dijalani oleh PEMOHON, akan tetapi larangan hasil
investigasi untuk dapat dijadikan alat bukti di pengadilan mengakibatkan
terlanggarnya hak PEMOHON untuk membuktikan gugatannya dan untuk
menyampaikan informasi.
Bahwa menurut PEMOHON rumusan Pasal 359 ayat (1) dan (2) UU
Penerbangan menghalangi hak konstitusional PEMOHON untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan kecelakaan penerbangan dan
menjadikannya sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Sehingga
PEMOHON kesulitan dalam mencari informasi yang berkaitan dengan
kecelakaan pesawat bahkan terhadap informasi yang diumumkan tetap tidak
dapat disampaikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya
suatu Undang-Undang, yaitu:
“PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara.”
3
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945;
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
PEMOHON yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu PEMOHON harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana yang disebut
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi
dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai
akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005 [BUKTI PEMERINTAH – 3], Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007
[BUKTI PEMERINTAH – 4], dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK [BUKTI
PEMERINTAH – 5] harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual,
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara
pengujian undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai PEMOHON.
III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) yang dikemukakan
PEMOHON, PEMERINTAH memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Tidak ada hak konstitusional PEMOHON yang dilanggar dengan
berlakunya ketentuan undang-undang a quo yang diuji.
4
Perkara perdata yang sedang diproses oleh pemohon belum sampai pada
putusan hakim yang menyatakan pemohon kalah atau kekurangan alat
bukti. Pemerintah memandang bahwa pemohon hanya khawatir dan
baru menduga-duga terhadap suatu putusan yang belum pasti.
Sedangkan terkait terbukti atau tidaknya dalil gugatan atas peristiwa
yang disengketakan dalam perkara perdata pemohon akan bergantung
pada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan
2. Permohonan obscuur libel.
PEMOHON tidak mengkonstruksikan hak mana dan kerugian
konstitusional seperti apa yang telah dan/atau akan dialami oleh
PEMOHON dari pemberlakuan pasal yang diuji oleh PEMOHON,
sehingga tidak dapat diketahui kerugian yang spesifik, nyata, atau
potensial akan terjadi.
3. Hasil Investigasi KNKT bukan satu-satunya sarana untuk
membuktikan dalil gugatan PEMOHON di persidangan perdata.
PEMOHON dapat mengajukan alat bukti lain yang tidak dilarang
peraturan perundang-undangan. Artinya PEMOHON tidak dapat
membuktikan bahwa Undang-Undang a quo telah melanggar hak
konstitusionalnya dan tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang
yang dimohonkan pengujian, sehingga pandangan PEMERINTAH
terhadap Undang-Undang a quo tidak dapat dikatakan melanggar hak
konstitusional PEMOHON.
4. PEMOHON tidak mendalilkan kerugian apa yang akan pulih (legal
remedy).
PEMOHON tidak menjelaskan akibat hukum dari putusan MK terhadap
materi permohonan PEMOHON, sehingga dalam hal ini PEMOHON
tidak dapat mendeskripsikan keadaan seperti apa yang akan terjadi jika
MK mengabulkan permohonan PEMOHON dan pemulihan hak (legal
remedy) yang akan didapatkan atau dialami PEMOHON.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka PEMERINTAH berpendapat
bahwa adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana
menyatakan permohonan PEMOHON tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklard).
Namun demikian, PEMERINTAH menyerahkan sepenuhnya kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
PEMOHON memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak
dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang a quo, sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan Putusan
MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007.
5
IV. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG
DIMOHONKAN UNTUK DIUJI
PENDAHULUAN
Sebelum PEMERINTAH menegaskan hal yang diuraikan pada bagian ini
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan keterangan terkait dengan
materi muatan yang dimohonkan untuk diuji, perkenankanlah
PEMERINTAH terlebih dahulu menerangkan Politik Hukum penggantian
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai berikut:
Keberadaan pesawat udara sebagai salah satu moda transportasi telah
mendorong perubahan besar di dunia. Penyelengaraan transportasi udara
merupakan bagian dari pelaksanaan tugas negara sebagai penyedia jasa
transportasi, baik sebagai “servicing function” maupun “promotion function”
yang melekat pada pertumbuhan ekonomi masyarakat pengguna jasa
transportasi udara. Pertumbuhan penumpang domestik pesawat udara di
Indonesia dari tahun 1999 hingga 2006 menunjukkan angka peningkatan
hingga 550. Pada tahun 1999 jumlah penumpang domestik yang diangkut
berkisar 6 juta orang, sementara pada tahun 2006 melonjak hingga 34 juta
orang(Jusman Syafii Djamal, From ST. Louis To Seulawah, Masa Depan
Transportasi udara dalam Zaman Yang Berubah, RoneBook, 2014, hlm.153)
[BUKTI PEMERINTAH – 6]. Hal ini diikuti dengan pembukaan rute baru
dan penambahan frekuensi penerbangan. Menilik peristiwa tersebut,
terdapat satu kepastian bahwasanya terjadi peningkatan atas penggunaan
pesawat di Indonesia.
Ditinjau dari segi ekonomi, mobilitas masyarakat yang tinggi terutama
dengan menggunakan pesawat udara memberikan sinyal positif bahwa
perekonomian berjalan dan berkembang dengan baik. Namun, berbeda
halnya jika ditinjau dari sisi keselamatan. Catatan KNKT di Indonesia dari
Tahun 1998 hingga Tahun 2009 memperlihatkan, terjadi 457 peristiwa
kejadian dan kecelakaan penerbangan. Sebanyak 282 kecelakaan di antaranya
menyebabkan pesawat hancur total atau menyebabkan penumpang
meninggal dunia. Kecelakaan pesawat terbang yang pernah terjadi di alami
hampir semua maskapai penerbangan.
6
Bahkan pada tahun 2006, terjadi banyak kecelakaan yang berlangsung secara
berurutan dalam selang waktu yang pendek. Hilangnya pesawat Adam Air
yang tenggelam di palung laut sekitar Makassar, tenggelamnya kapal Ro-ro
Senopati dan anjloknya kereta api yang kemudian masuk ke sungai
merupakan kecelakaan menakutkan bagi pengguna wahana transportasi dan
menurunkan kredibilitas Indonesia di dunia Internasional.
Bencana kecelakaan transportasi yang telah merenggut banyak korban jiwa
dan harta benda masyarakat mengakibatkan pengguna jasa transportasi
kehilangan rasa aman dan takut berpergian di wilayah Indonesia. Rangkaian
peristiwa kecelakaan tersebut kemudian melahirkan larangan terbang ke
Eropa bagi maskapai Indonesia pada bulan Juli tahun 2007. Tamparan keras
bagi Indonesia di saat Uni Eropa melalui tim keselamatan penerbangannya
menjatuhkan sanksi kepada Indonesia yang mengacu pada rendahnya
kinerja dalam kurun waktu tahun-tahun sebelumnya terhadap tingkat
keselamatan penerbangan pesawat udara di Indonesia (Jeff Mason, Marcin
Grajewslo, “EU Bans All Indonesians Airlines from Its Airspace,
https://www.reuters.com/article/us-airlines-eu-blacklist/eu-bans-all-
indonesian-airlines-from-its-airspace-idUSBRU00577920070628).[BUKTI
PEMERINTAH – 7]
Sejak kejadian itu, pemerintah merekonstruksi kembali peraturan di bidang
penerbangan guna memperbaiki standar keamanan penerbangan di
Indonesia. Salah satu caranya adalah bekerjasama dengan Uni Eropa dan
otoritas penerbangan sipil Australia, yang juga menaruh concern yang sama
dengan Indonesia dalam hal peningkatan keselamatan penerbangan
maskapai. Di mana pemerintah melakukan safety audit terhadap Direktorat
Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU) pada tanggal 5-9 November 2007 yang
berkesimpulan pada kebijakan untuk memprioritaskan kerangka kerja
otoritas penerbangan di Indonesia pada empat unsur utama yang harus
dilakukan, yakni: re-organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
0
10
20
30
40
50
1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
Grafik Perkembangan Jumlah Kecelakaan Transportasi Udara
Laporan KNKT
Inciden Accident Total
7
peningkatan alokasi anggaran untuk bidang keselamatan; peningkatan
kualitas sumber daya manusia; dan peningkatan pelaksanaan pengawasan
keselamatan penerbangan.
Terdapat pula beberapa tahapan aksi program Roadmap to Zero Accident yang
dibuat Indonesia pada masa itu, yaitu [VIDE BUKTI PEMERINTAH – 6]:
Pertama, berdasarkan amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
dilaksanakan perubahan terhadap Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Melalui payung hukum undang-undang ini, langkah pembenahan sistem,
struktur dan mekanisme organisasi otoritas penerbangan sipil dilaksanakan.
Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam mewujudkan hal
ini adalah membuat investigasi teknis yang dilakukan oleh KNKT
bertujuan untuk menemukan penyebab sebenarnya dari suatu kecelakaan
agar tidak terjadi lagi pada penerbangan berikutnya, haruslah dipisahkan
dari tujuan untuk mencari kesalahan maupun pertanggungjawaban.
Kedua, atas amanah UU Penerbangan secara sistematis, bertahap, berjenjang,
dan berkesinambungan dilakukan peningkatan pengaturan keselamatan
penerbangan di Indonesia. Sebab, sejak terjadinya peristiwa 11 September di
Amerika Serikat, peraturan penerbangan tidak hanya mencakup isu
keselamatan, melainkan juga keamanan penerbangan. Untuk peningkatan
keselamatan penerbangan, revisi peraturan yang berhubungan dengan
peralatan canggih yang berkaitan dengan teknologi peringatan dini di dalam
pesawat terbang perlu dilakukan. Terdapat pula penambahan pengaturan
tentang proses sertifikasi bengkel perawatan pesawat terbang, pengujian
secara berkala tingkat kesehatan pilot dan co-pilot, jam kerja dan jam istirahat
awak kabin, serta training profesi pilot dan co-pilot. Demikian pula
profesionalisme dan mekanisme audit teknis maskapai penerbangan secara
berkala oleh inspektor otoritas penerbangan sipil. Termasuk persyaratan
yang lebih ketat terhadap tata cara pendirian dan operasi maskapai
penerbangan.
Ketiga, pengawasan otoritas penerbangan sipil Indonesia atas tata cara,
mekanisme organisasi, serta sistem manajemen keselamatan penerbangan
secara regular dan berjenjang perlu dijadikan mekanisme baku serta menjadi
bagian penting dari tupoksi otoritas penerbangan Indonesia. Dimana
Indonesia kini melakukan audit maskapai penerbangan secara berkala
sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap moda transportasi
udara. Bahkan jika diperlukan, inspeksi mendadak di bandara oleh inspektur
keselamatan penerbangan yang memiliki otoritas dan keahlian dapat
8
dilaksanakan secara berkala. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali potensi
dan benih kecelakaan yang kasatmata untuk tindakan pencegahan.
Keempat, dilakukan audit terhadap maskapai penerbangan secara berkala
serta proses surveillance melalui ramp inspection untuk menciptakan sistem
peringkat dan klasifikasi keselamatan penerbangan tiap maskapai
penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Untuk memberikan standar
kualitas penerbangan, Departemen Perhubungan menetapkan tiga
kategorisasi maskapai di tanah air. Tingkat pertama adalah maskapai
penerbangan yang memenuhi semua kriteria keselamatan; kedua adalah
maskapai yang memiliki kelemahan dan temuan defisiensi yang berakibat
munculnya potensi dan benih kecelakaan jika tidak segera diperbaiki dan
ketiga adalah maskapai yang memiliki tingkat dan benih kecelakaan yang
secara sistematis tersembunyi dalam sistem tata kelola dan sistem perawatan
armada pesawat. Kategorisasi ini didukung pula oleh dunia internasional
guna mencegah terjadinya kecelakaan pesawat terbang dan memberikan
transparansi kepada masyarakat.
Langkah lain yang dilakukan dalam rangka mengurangi serta menghindari
kecelakaan transportasi udara adalah dengan menegakkan seluruh regulasi
keselamatan penerbangan. Sistem transportasi udara memerlukan overhaul
secara bertahap, sistematis, dan berkesinambungan untuk meningkatkan
kualitas keselamatan dengan mengubah paradigma investigasi kecelakaan
sebelumnya yang dapat diintervensi oleh kepentingan tertentu menjadi
investigasi yang memaksimalkan pencegahan kecelakaan pesawat yang
diiringi pula dengan cara-cara sebagai berikut [VIDE BUKTI PEMERINTAH
– 6]:
a. Cegah keterbatasan jumlah tenaga professional dan lakukan pelatihan
yang memadai
b. Cegah persaingan tidak sehat di antara maskapai penerbangan
c. Cegah proses perawatan pesawat yang tidak sempurna
d. Peningkatan kualitas sarana-prasarana kebandarudaraan.
Negara mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan
memfokuskan seluruh kegiatan berkaitan dengan transportasi udara
termasuk investigasinya guna menemukan langkah pencegahan terhadap
kecelakaan keselamatan penerbangan. Peningkatan efektivitas peraturan
penerbangan merupakan salah satu upaya dalam mencapai tujuan
Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, serta menciptakan sistem transportasi nasional
yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat,
menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta
9
memerlukan jaminan kesalamatan dan keamanan yang optimal. Hingga
dikembangkanlah potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta
membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis.
Selain itu, keuntungan paling besar dari terselesaikannya masalah mengenai
penurunan angka kecelakaan penerbangan serta peningkatan kualitas
pengoperasian pesawat udara adalah sustainability atau keberlanjutan dari
suatu maskapai penerbangan yang menjadi tujuan utama dalam penerapan
regulasi mengenai pelarangan penggunaan hasil investigasi sebagai alat
bukti di peradilan. Dengan harapan, pengusaha ataupun seluruh pihak
terlibat dalam pengoperasian pesawat udara dapat terfokus dalam
memperbaiki kualitas keselamatan dan keamanan penerbangan. Dilihat dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum pembentukan
UU Penerbangan yang baru adalah untuk meningkatkan kualitas
keselamatan dan keamanan penerbangan Indonesia.
Adapan terhadap materi yang dimohonkan, berikut keterangan yang dapat
PEMERINTAH jelaskan:
A. Tujuan Pelaksanaan Investigasi Kecelakaan atau Kejadian
Penerbangan adalah untuk Mencegah Terjadinya Kecelakaan Bukan
Mencari Pertanggungjawaban
1. Penerbangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penerbangan, adalah suatu
kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat
udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan,
keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang
dan fasilitas umum lainnya.
2. Pengaturan industri penerbangan di Indonesia dilandasi oleh
keanggotaan Indonesia sebagai salah satu negara anggota Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization,
disingkat ICAO). Keberadaan ICAO sendiri dilandasi oleh Pasal 47
Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional sehingga
ketentuan-ketentuan penerbangan internasional sebagaimana tercantum
dalam Konvensi Chicago 1944 beserta Annex (lampirannya), dokumen
teknis operasional serta konvensi-konvensi internasional terkait lainnya,
merupakan ketentuan yang harus ditaati sesuai dengan kepentingan
nasional dan kepentingan internasional.
3. Konstruksi dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai hukum
udara internasional nyatanya mengakui adanya kedaulatan negara. Di
mana dikatakan bahwa:
10
“The Contracting States recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the air-space above its territory” Berdasarkan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa Konvensi Chicago
1944 mengakui kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas ruang udara
yang dimiliki setiap negara di atas wilayahnya. Artinya, pengaturan
mengenai transportasi dibidang udara pada akhirnya dikembalikan
kepada kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing negara.
4. PEMERINTAH sebagai regulator dalam menjalankan kekuasaannya
membentuk peraturan perundang-undangan dalam bidang penerbangan
melandaskan kebijakannya kepada UUD 1945 dan instrumen hukum
internasional. Oleh sebab itu, PEMERINTAH akan menjabarkan seluruh
alasan mengenai ketentuan yang terdapat dalam industri penerbangan di
Indonesia yang telah disesuaikan dengan konstitusi negara Indonesia.
5. Keamanan serta kenyamanan moda transportasi udara sendiri telah
menjadi isu utama dalam menentukan sustainability dari usaha di bidang
pengangkutan. Kedua hal ini menjadi penting untuk memelihara
kepercayaan konsumen agar mereka tetap percaya dan menjadikan
pesawat udara sebagai pilihan pertama dalam melakukan perjalanan.
Karena, ketika terjadi kecelakaan pesawat udara akan tercipta brand image
yang buruk dari maskapai penerbangan dan pelanggan tidak mungkin
memilih maskapai penerbangan yang beroperasi seperti “flying coffin”
atau “peti mati terbang”. Hal ini lah yang menyebabkan bahwa
keamanan serta kenyamanan transportasi udara penting untuk
keberlangsungan usaha di bidang pengangkutan.
6. Undang-undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 sebagai pengganti
atas UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan sangat menjanjikan
terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena undang-
undang ini secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara
sebagaimana diatur dalam Konvensi Cape Town 2001, berlakunya
Undang-Undang secara ekstra-teritorial, kedaulatan atas wilayah udara
Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas,
produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan
keamanan di dalam pesawat udara, asuransi pesawat udara,
indenpendensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan
majelis profesi penerbangan, dan lembaga penyelenggaraan pelayanan
umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU). Undang-
undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya
103 pasal dalam perkembangannya berubah menjadi 466 pasal (Dr. H. K.
Martono,S.H.,LL.M, “Menyikapi Lahirnya Undang-Undang Tentang
Penerbangan 2009 bagian I”, 2009, http://www.ilmuterbang.com/artikel-
11
mainmenu-29/peraturan penerbanganmainmenu81/19-peraturan-
penerbangan-umum/167-undang-undang-penerbangan-17-des-2008).
[BUKTI PEMERINTAH – 8]
Perbaikan regulasi PEMERINTAH terkait penerbangan ini telah
memberikan dampak positif sedikit demi sedikit dalam dunia
penerbangan Indonesia, hal ini ditujukan oleh indeks penerbangan yang
membaik.
7. Pasal 3 UU A Quo menjelaskan tujuan penyelenggaraan penerbangan
sebagai berikut:
a. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur,
selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan
menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
b. Memperlancar arus perpindahan orang dan/barang melalu udara
dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam
rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
c. Membina jiwa kedirgantaraan;
d. Menjunjung kedaulatan negara;
e. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan
industri angkutan udara nasional;
f. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional;
g. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka
perwujudan Wawasan Nusantara;
h. Meningkatkan ketahanan nasional; dan
i. Mempererat hubungan antarbangsa.
8. Dalam Cetak Biru Transportasi Udara yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, ditetapkan bahwa peran
12
pemerintah dalam industri penerbangan adalah sebagai fasilitator
untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dalam
menghadapi perkembangan ekonomi global. Selain itu, dikatakan
bahwa setelah transportasi udara telah menjadi kegiatan usaha yang
menguntungkan, maka negara berperan untuk menjadi regulator yang
bertugas menerbitkan berbagai aturan guna menjamin terlaksananya
pelaksanaan transportasi udara yang memenuhi standar keselamatan
penerbangan. Oleh karena itu, dalam aspek yang menyangkut
keamanan dan keselamatan penerbangan, penyelenggaraannya
merupakan tanggung jawab pemerintah. (Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara, “Konsep Akhir Cetak Biru Transportasi Udara 2005
– 2024”, Departemen Perhubungan, 2005) [BUKTI PEMERINTAH - 9].
9. Kegiatan usaha di bidang transportasi udara tidak terlepas dari
kecelakaan moda transportasi. Article 5.1 Annex 13 To the Convention on
International Civil Aviation; Aircraft Accident and Incident Investigation
(Annex 13) [vide Bukti P-40] mengamanatkan bahwa setiap negara wajib
melembagakan lembaga investigasi dalam menghadapi suatu kecelakaan
dan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi kecelakaan
penerbangan. [BUKTI PEMERINTAH - 10]
10. Merujuk pada Chapter 1 Annex 13 dari Konvensi Chicago 1944,
investigasi diartikan sebagai,
“A process conducted for the purpose of accident prevention which includes the gathering and analysis of information, the drawing of conclusions, including the determination of causes and, when appropriate, the making of safety recommendations.” Dari penjelasan di atas PEMERINTAH menyimpulkan bahwa investigasi
adalah suatu tindakan atau proses yang dilakukan oleh lembaga
investigasi khusus dalam menemukan penyebab terjadinya suatu
kecelakaan dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan di masa yang
akan datang. Tindakan ini meliputi pula pengumpulan dan analisis
informasi, penarikan kesimpulan, menentukan penyebab kecelakaan
secara tepat, dan termasuk pula pemberian rekomendasi keselamatan.
11. Tujuan utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan merujuk
pada Pasal 3 UU A Quo adalah untuk keselamatan. Lebih lanjut secara
spesifik dinyatakan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil bagian 830 (Civil Aviation Safety Regulation Part 830)
tentang Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat
13
Udara Sipil, tepatnya pada Lampiran Sub Bagian 830.3 [BUKTI
PEMERINTAH - 11] adalah:
“Tujuan Investigasi kecelekaan atau kejadian serius adalah pencegahan
kecelakaan dan kejadian serius. Maksud dari investigasi tersebut tidak
untuk mencari kesalahan atau pertanggungjawaban”
12. Hal senada terdapat dalam Chapter 3 Annex 13 [BUKTI PEMERINTAH-
12] bahwa tujuan investigasi adalah:
“Chapter 3. 3.1. The sole objective of the investigation of an accident or incident shall be the prevention of accidents and incidents. It is not the purpose of this activity to apportion blame or liability.”
Bahwa menurut Annex 13 Chicago Convention 1944 tujuan utama
investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan adalah untuk
mencegah hal serupa terjadi di masa depan. Pemisahan tujuan investigasi
juga diungkapkan di bagian lain dari Annex 13 pada chapter 5:
“5.4.1. Recommendation.— Any judicial or administrative proceedings to apportion blame or liability should be separate from any investigation conducted under the provisions of this Annex.” Bagian ini mengatakan bahwa setiap proses pengadilan atau administrasi
untuk menyalahkan atau bertanggung jawab secara proporsional harus
terpisah dari investigasi yang dilakukan berdasarkan ketentuan ini.
Kemudian, pemisahan ini memunculkan dua jenis investigasi yaitu
investigasi teknis dan investigasi hukum. (Atip Latipulhayat, “The
Function and Purpose of Aircraft Accident Investigation According to
The International Air Law”, Mimbar Hukum Vol. 27. No. 2. 2015., hlm. 314)
[BUKTI PEMERINTAH - 13]. Investigasi teknis berorientasi pada
penelitian tentang penyebab kecelakaan dan tindakan untuk
mencegahnya, sementara investigasi hukum bertujuan untuk
menentukan siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kecelakaan
itu.
13. Investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan memiliki banyak
tujuan tergantung pada jenis kecelakaan yang terjadi. Hendrick dan
Benner mengatakan tujuan investigasi harus mencerminkan tiga
karakteristik utama, yaitu: i) realistis, (ii) dilakukan dalam kerangka kerja
non-kausal yang menghasilkan deskripsi objektif dari peristiwa-peristiwa
yang mengarah pada kecelakaan, dan (iii) konsisten. [VIDE BUKTI
PEMERINTAH – 13]
14. UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 1]
menyebutkan bahwa:
“hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
peradilan”
Larangan penggunaan hasil investigasi KNKT dalam suatu proses
peradilan memiliki landasan yang jelas. Salah satunya adalah investigasi
14
yang dilakukan oleh KNKT itu sendiri tidak bertujuan untuk mencari
pihak yang bersalah atau yang bertanggungjawab dalam suatu
kecelakaan dan kejadian penerbangan, sehingga hasil investigasi ini tidak
dapat dikualifikasikan ke dalam alat bukti yang dibutuhkan karena
penggunaannya itu sendiri dilarang oleh undang-undang.
15. Ketika hasil investigasi KNKT dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
proses peradilan, maka investigasi yang awalnya bertujuan untuk
mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan, kemungkinan besar
menjadi tidak objektif dan berkurang keorisinalitasannya karena
investigasi KNKT akan berubah orientasinya untuk mencari kesalahan
atau pihak yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan penerbangan
tersebut. Selain itu, hasil investigasi ketika dijadikan sebagai alat bukti
dapat mendorong saksi-saksi atau pihak yang terlibat memberikan
keterangan yang tidak objektif karena takut dipersalahkan, dan juga
pihak lain seperti korban, keluarga korban, perusahaan pengangkutan
udara dan lain sebagainya dapat mengintervensi investigasi yang
dilakukan oleh KNKT untuk kepentingan pribadi mereka masing-
masing. Selanjutnya para ahli penerbangan berpendapat bahwa ketika
adanya campur tangan penyidik dalam penggunaan hasil investigasi
sebagai alat bukti dalam proses peradilan terdapat kekhawatiran bahwa
hasil investigasi yang awalnya objektif akan dipengaruhi oleh
kepentingan bisnis dan politik yang kemudian dijadikan dasar dalam
penuntutan pidana. [BUKTI PEMERINTAH - 14]
16. Keberadaan jaminan perlindungan bagi setiap orang yang dimintai
informasi terkait dengan suatu kecelakaan atau kejadian penerbangan
dalam tahap investigasi merupakan kebutuhan yang nyata bagi
objektifitas investigasi tersebut. Amerika pada tahun 2002, masih
memiliki paradigma bahwa suatu investigasi teknis kecelakaan
penerbangan dapat digunakan juga untuk menentukan kesalahan atau
pertanggungjawaban dari kecelakaan tersebut. Akhirnya, dalam
melakukan investigasi National Transportation Safety Board (NTSB /
lembaga yang bertugas melakukan investigasi) justru dibayang-bayangi
atau bahkan dikesampingkan oleh investigasi hukum yang dilakukan
oleh FBI (Federal Bureau of Investigation), FAA (Federal Aviation
Administration), the DOT’s Office of Inspector General, and/or the EPA’s
Criminal Enforcement Division. Hal ini berdampak kepada sulitnya
ditemukan hasil invesigasi yang objektif karena pihak-pihak yang terlibat
akan berusaha melindungi kepentingannya masing-masing dari jerat
hukum yang mungkin dilimpahkan kepadanya. (NTSB Bar Association,
Select Committee On Aviation Public Policy, “Aviation Proffesionals and
the Threat of Criminal Liability – How Do We Maximize Aviation
15
Safety”, Journal of Air Law and Commerce, Vol.67, Issues 3, 2002, hlm. 910,
https://scholar.smu.edu/jalc/vol67/iss3/6) [VIDE BUKTI PEMERINTAH –
14]. Oleh sebab itu, jaminan perlindungan wajib diberikan bagi seluruh
pihak yang terlibat investigasi teknis berupa larangan penggunaan hasil
investigasi sebagai alat bukti di pengadilan.
17. Larangan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan
seperti yang tertuang dalam UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1)
dibutuhkan sebagai imunitas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
proses investigasi itu sendiri. Hal ini akan memudahkan KNKT sebagai
investigator untuk mendapatkan informasi yang akurat karena saksi
sebagai pihak yang mengalami suatu kecelakaan atau kejadian
penerbangan dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya
tanpa ada rasa takut karena investigasi tidak berfokus untuk mencari
orang yang bersalah sehingga secara tidak langsung saksi telah
dilindungi oleh undang-undang.
18. Contoh lainnya terkait kegagalan dalam pemisahan investigasi teknis dan
investigasi hukum diungkapkan oleh Neil Alexander Haywood
Campbell, Alan Leslie Stray, dan Michael Gordon Hill sebagai pejabat
Australian Transport Safety Bereau (ATSB) bahwa kasus serupa pernah
terjadi pula di Australia. Pada tanggal 12 Desember 1985, suatu tabrakan
helikopter yang fatal terjadi di Black Reef di Queensland. Menyusul
diserahkannya laporan investigasi The Bureau of Air Safety Investigation
(BASI/lembaga investigasi udara australia) kepada publik, surat
penggeledahan dan penyitaan dilakukan oleh anggota polisi dari
Kepolisian Negara Bagian Queensland terhadap manajer BASI pada
waktu itu di Brisbane. Diketahui bahwa Queensland Police pada waktu itu
sedang melakukan investigasi atas kecelakaan helikopter itu dan bahwa
surat geledah dan sita diterbitkan dalam hubungannya dengan
persidangan pidana. Dokumen-dokumen hasil investigasi dari BASI
diserahkan kepada Quenssland Police untuk memenuhi surat geledah dan
sita tersebut. Adanya dokumen ini menyebabkan Presiden Federasi Pilot
Pesawat Udara Australia mengeluarkan surat edaran kepada anggotanya
untuk tidak berbicara kepada personil BASI yang sedang melakukan
investigasi terhadap kecelakaan dan insiden pesawat-pesawat terbang
(Neil Alexander, Haywood Campbell, Alan Leslie Stray, dan Michael
Gordon Hill, Keterangan Saksi pada kasus Marwoto, Putusan Nomor
348/Pid.B/2008/PN.SLMN) [BUKTI PEMERINTAH - 15]. Hingga pada
akhirnya Australia mengundangkan Transportation Safety Investigation Act
(TSI Act) pada tahun 2003 yang salah satunya memberikan perlindungan
guna mencegah terjadinya situasi seperti ini di Australia. Ketentuan ini
menunjukkan pentingnya pemisahan investigasi teknik dan investigasi
16
hukum. Secara objektif telah kita lihat bahwa industri transportasi akan
bereaksi dengan cara mengancam untuk menolak akses informasi apabila
pemisahaan ini dilanggar. Padahal, keterangan pilot sangat penting
untuk mengungkapkan penyebab kecelakaan dan kejadian penerbangan.
19. Kekhawatiran akan terjadinya kejadian seperti pada pembahasan
sebelumya diperkuat dengan tulisan Health and Safety Executive,
dikatakan bahwa suatu investigasi itu seharusnya ditujukan untuk
mengidentifikasi akar dari permasalahan tersebut. di mana investigasi itu
harus memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan di masa
yang akan datang, bukan mencari kesalahan. Mencari kesalahan dalam
investigasi teknis adalah suatu langkah yang kontraproduktif, karena
dalam pelaksanaannya orang akan menjadi defensif dan tidak mau
bekerja sama. (Health and Safety Executive, Investigating accident and
incident; a workbook for employers, unions, safety representatives and safety
professionals, http://www.hse.gov.uk/pubns/hsg245.pdf , hlm. 9) [BUKTI
PEMERINTAH - 16]. Istilah lain dari kekhawatiran ini adalah
criminalization terhadap pilot ataupun pihak terkait lainnya
menggunakan hasil investigasi teknis. Sehingga larangan hasil investigasi
teknis sebagai alat bukti dalam proses peradilan adalah untuk mencegah
adanya kriminalisasi ini terhadap pihak terkait yang sebenarnya tidak
bersalah. [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 13]
20. National Transportation Safety Board, Lembaga investigasi Amerika,
pada tahun 2000 membuat peryataan terkait dengan terhambatnya
investigasi teknis sebagai akibat dari berjalannnya investigasi hukum
yang mengintervensi pelaksanaan investigasi teknis. Bahkan dalam
beberapa investigasi, pengadilan memerintahkan untuk menangguhkan
NTSB dari pengujian instrument penting hingga akhirnya tidak bisa
mewawancarai operator transportasi sebagai akibat dari meningkatnya
kasus peradilan perdata maupun pidana. Sehingga penundaan yang
diakibatkan dari permintaan penuntutan ini telah membatasi kemampuan
lembaga investigasi untuk menentukan secara tepat dan cepat mengenai
kemungkinan penyebab kecelakaan serta rekomendasi keselamatannya.
Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa lembaga investigasi dapat
bertindak secara objekitf dan cepat dibutuhkan penegasan atas
kewenangan dari lembaga investigasi itu sendiri agar tidak dapat di
intervensi oleh lembaga lainnnya. [VIDE BUKTI PEMERINTAH – 14]
21. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa investigasi,
baik berdasarkan hukum nasional, hukum internasional, dan pendapat
ahli memiliki tujuan utama yaitu untuk mencegah kecelakaan dan
kejadian penerbangan terjadi kembali di masa yang akan datang.
Meskipun terdapat tujuan-tujuan lain guna dilaksanakannya investigasi,
17
fokus utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan atau
investigasi teknis di Indonesia dilakukan oleh KNKT adalah keselamatan
penerbangan (Aviation Safety) dan keamanan penerbangan (Aviation
Security) bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau yang
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Karena sejatinya investigasi
teknis tidaklah sama dengan investigasi hukum (Penyidikan) yang
tujuannya memang untuk mencari pertanggungjawaban ketika
ditemukan indikasi tindak pidana dalam suatu kecelakaan dan kejadian
penerbangan. Untuk itu perlu ditekankan lagi bahwa terdapat
perbedaan yang fundamental terkait tujuan investigasi teknis dan
investigasi hukum khususnya dalam peristiwa kecelakaan dan
kejadian penerbangan sehingga kedua investigasi tersebut harus
dipisahkan.
22. Uni Eropa. Article 14 Regulation (EU) No. 996/2010 in Protection of Sensitive Safety Information [BUKTI PEMERINTAH- 17]. Dikatakan bahwa: “1. The following records shall not be made available or used for purposes other
than safety investigation.” (a) all statements taken from persons by the safety investigation authority in
the course of the safety investigation; (b) records revealing the identity of persons who have given evidence in the
context of the safety investigation; (c) information collected by the safety investigation authority which is of a
particularly sensitive and personal nature, including information concerning the health of individuals;
(d) material subsequently produced during the course of the investigation such as notes, drafts, opinions written by the investigators, opinions expressed in the analysis of information, including flight recorder information;
(e) information and evidence provided by investigators from other Member States or third countries in accordance with the international standards and recommended practices, where so requested by their safety investigation authority;
(f) drafts of preliminary or final reports or interim statements; (g) cockpit voice and image recordings and their transcripts, as well as voice
recordings inside air traffic control units, ensuring also that information not relevant to the safety investigation, particularly information with a bearing on personal privacy, shall be appropriately protected, without prejudice to paragraph 3.
Berdasarkan klausul tersebut, kita dapat menemukan bahwa mengenai
hasil investigasi, Uni Eropa menerapkan aturan yang didalamnya
melarang pembuatan hasil investigasi selain untuk tujuan keselamatan
itu sendiri baik dalam laporan awal maupun dalam laporan akhir
investigasi. Kemudian, laporan juga harus menyatakan bahwa satu-
satunya tujuan investigasi adalah keselamatan dan pencegahan
kecelakaan serta kejadian di masa depan tanpa menunjukkan kesalahan
atau tanggung jawab.
23. Amerika Serikat. U.S.C. Title 49 – Transportation § 1154 (b) (BUKTI
PEMERINTAH- 18) mengatakan:
(b) Reports.—No part of a report of the Board, related to an accident or an investigation of an accident, may be admitted into evidence or used in a civil action for damages resulting from a matter mentioned in the report.
18
Regulasi Amerika Serikat telah melarang penggunaan seluruh hasil
investigasi untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses
peradilan untuk menjaga objektivitas dari investigasi tersebut, sekalipun
hasil investigasi memiliki keterkaitan langsung dengan kecelakaan
penerbangan.
B. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Kecelakaan dan Kejadian
Penerbangan untuk Dijadikan Alat Bukti di Pengadilan Telah Selaras
dengan UUD 1945.
23. Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (UU Penerbangan) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 1] tidak
terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai sesuai
staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) dan
staatsgrundgesetz (Pasal-Pasal UUD 1945) [VIDE BUKTI
PEMERINTAH – 2] sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam konsiderans menimbang, UU Penerbangan
menyatakan:
a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara
kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan
dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang
diftetapkan oleh Undang-Undang;
b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta
memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi
nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi,
pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan
memperkukuh kedaulatan negara;
c. bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi
nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam
waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal,
manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan
dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan
peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya
pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan
internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran
serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen,
ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan
nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi
daerah;
19
e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan
lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan
saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Penerbangan.
24. Lebih jauh, dalam bagian mengingat UU Penerbangan yang memuat
sumber hukum dan dasar hukum, selain Pasal-Pasal UUD 1945 mengenai
kekuasaan dan kewenangan membentuk undang-undang (oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20
ayat (1) dan (2) UUD 1945) dan mengenai wilayah negara (dalam Pasal
25A UUD 1945, karena penerbangan berkaitan dengan lalu lintas di
wilayah udara suatu negara), UU Penerbangan juga melandaskan diri
pada Pasal 33 UUD 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial. Artinya, ada cita-cita besar agar dunia
penerbangan berkontribusi untuk mewujudkan ekonomi atas dasar
kekeluargaan, juga demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. [BUKTI PEMERINTAH – 19]
25. Selain itu, perlu juga dilihat politik hukum yang mendasari pembentukan
UU Penerbangan ini. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup
pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Sementara itu,
Soedarto mendefiniskan politik hukum sebagai kebijakan negara melalui
badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dan terakhir, T. M. Radhie
menyatakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun (dalam Moh.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-3, 2012, hlm. 13-14) [BUKTI
PEMERINTAH - 20].
26. Dilihat dari naskah akademik (misalnya dapat dilihat dari landasan
filosofis, sosiologis, dan yuridis), risalah sidang [BUKTI PEMERINTAH -
21], serta semua pasal dalam UU Penerbangan, politik hukum yang ada
dalam UU Penerbangan pada dasarnya adalah menjamin kualitas
keselamatan yang baik serta memaksimalkan peranan pemerintah
sebagai penguasa cabang produksi yang berkaitan dengan hajat hidup
20
orang banyak (termasuk penerbangan) untuk mencapai kemakmuran
bagi masyarakat.
Penjelasan mengenai Pasal 33 UUD 1945
27. Pasal 33 UUD 1945 [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 2] selengkapnya
berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
28. Bagir Manan mengatakan Pasal 33 UUD 1945 merupakan pesan moral
dan pesan budaya dalam konstitusi Republik Indonesia di bidang
kehidupan ekonomi. Pasal ini bukan sekedar memberikan petunjuk
tentang susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur
kegiatan perekonomian, melainkan mencerminkan cita-cita, suatu
keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten
oleh para pimpinan pemerintahan (Bagir Manan, Pertumbuhan dan
Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm.
45).
29. Pesan konstitusional tersebut tampak jelas, bahwa yang dituju adalah
suatu sistem ekonomi tertentu, yang bukan ekonomi kapitalistik
(berdasar paham individualisme), namun suatu sistem ekonomi
berdasar kebersamaan dan berdasar atas asas kekeluargaan (Herman
Soewardi dalam Elli Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar
dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”, Jurnal Konstitusi,
Volume 9, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 50) [BUKTI PEMERINTAH - 22].
Para penyusun UUD 1945 mempunyai kepercayaan, bahwa cita-cita
keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran
yang merata, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh
karena itu, dibentuklah oleh para perumus konstitusi dahulu dalam
Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang berada dalam Bab XIV
dengan judul “Kesejahteraan Sosial“. Maksudnya, Pasal 33 UUD 1945
adalah suatu sistem ekonomi yang pada cita-citanya bertujuan mencapai
kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD 1945 itu adalah sendi utama bagi
21
politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia (Elli
Ruslina, “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar dalam Pembangunan
Hukum Ekonomi Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1,
Maret 2012, hlm. 50) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 22].
30. Usaha bersama adalah suatu mutualism dan asas kekeluargaan adalah
brotherhood. Dalam konteks moralitas dan tuntunan agama mutualism
adalah ber-jemaah dan brotherhood atau asas kekeluargaan adalah ber-
ukhuwah. Itulah sebabnya, maka sesuai paham
kolektivisme/komunitarianisme yang berdasar mutualism dan brotherhood
ini, kepentingan masyarakat (societal-interest) ditempatkan sebagai yang
utama. Mengingat makna demokrasi ekonomi adalah pengutamaan
“...kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang-seorang...”,
maka kemakmuran masyarakat dan kedudukan rakyat ditempatkan
dalam posisi “sentral-substansial”, dan tidak boleh direduksi menjadi
posisi “marginal-residual” (Sri-Edi Swasono, Tentang Demokrasi Ekonomi
Indonesia, Jakarta: Bappenas, 2008, hlm. 3).
31. Selain itu, Pasal 33 UUD 1945 dalam ayat (2) menyatakan bahwa,
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang mengusai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara...”. Perkataan “yang
penting bagi negara” dapat diinterpretasikan dengan tanggungjawab
negara, yaitu “...untuk melindungi bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.
Secara singkat dikatakan bahwa “penting bagi negara” adalah cabang-
cabang produksi strategis. Interpretasi bahwa “dikuasai” oleh negara
tidak harus diartikan “dimiliki” oleh negara (artinya boleh dimiliki oleh
usaha swasta atau asing, namun pemerintah bertindak sebagai regulator)
hanya dapat diterima dalam konteks jiwa Pasal 33 Undang Undang
Dasar 1945. Maksudnya pemerintah benar-benar memegang kendali,
sehingga ayat (3) Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 terlaksana [VIDE
BUKTI PEMERINTAH- 2].
32. Mengenai ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada
negara untuk menguasai “...cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak...” tidaklah
dimaksudkan demi kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai
maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana
disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 tadi. Makna yang terkandung
dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan bahwa negara harus
menjadikan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang
dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan
masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang
22
merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak [VIDE BUKTI
PEMERINTAH - 2]
33. Berdasarkan beberapa pengertian yang terkandung dalam Pasal 33 UUD
1945 sebagaimana diuraikan di atas, maka pasal tersebut mengandung
makna yang sangat esensial yaitu tercermin adanya demokrasi ekonomi.
Makna demokrasi ekonomi ada relevansinya dengan makna demokrasi
di Indonesia. Demokrasi dalam hal ini adalah demokrasi sosial,
berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar
individualisme (bukan demokrasi Barat) [VIDE BUKTI PEMERINTAH -
21].
34. Sebagaimana diusulkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, bahwa
demokrasi yang dikehendaki adalah permusyawaratan yang memberi
hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang
kesejahteraan sosial. Kemudian menjelaskan yang dimaksud paham Ratu
Adil adalah social rechtvaardigheid (rakyat ingin sejahtera), rakyat yang
semula merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan
dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu
Adil. Oleh karena itu yang dikehendaki oleh rakyat adalah prinsip
sociale rechtvaardigheid, yaitu bukan saja persamaan politiek, tetapi
pun di atas lapangan ekonomi harus ada persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya (Soekarno, Lahirnya Pantja-
Sila: Pidato Pertama tentang Pancasila, Blitar: Departemen Penerangan
Republik Indonesia, 2003, hlm. 22-23).
35. Demokrasi politik tidak cukup mewakili rakyat berdaulat. Demokrasi
politik harus dilengkapi demokrasi ekonomi, karena tanpa demokrasi
ekonomi, maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu
atau beberapa kelompok yang kemudian akan membentukkan
kekuasaan ekonomi yang dapat “membeli” atau “mengatur” kekuasaan
politik” [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 21].
36. Pihak-pihak yang berkontribusi dalam perekonomian Indonesia, baik
Badan Usaha Milik Negara, koperasi, atau swasta (Perseroan Terbatas,
Firma dan CV) dan sebagainya harus memiliki jiwa/semangat koperasi,
karena sesuai dengan pernyataan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945,
ayat (1) bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 21].
37. Dalam Sidang BPUPKI dijelaskan bahwa: “...Perekonomian Indonesia
Merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong dan usaha
bersama yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan
mengembangkan koperasi. Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar
yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang
menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah
pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial. Apabila buruk
baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di
23
dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang
berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus
menjadi pengawas dan pengatur, dengan diawasi dan juga disertai
dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya
bagi perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin
banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana,
semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah…” (RM.A.B. Kusuma,
Lahirnya Undang Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik,
Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2009, hlm. 436).
38. Maka dapat disimpulkan, cita-cita yang terletak dalam
staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) dan
staatsgrundgesetz (UUD 1945, utamanya dalam Pasal 33 UUD 1945) adalah
mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dengan cara dapat
mencapai kemakmuran yang merata dan kesejahteraan sosial yang
sebaik-baiknya, termasuk untuk memenuhi tiga hal yang menjadi
kepentingan masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2)
distribusi yang merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak.
Kaitan Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan dengan Pasal 33 UUD 1945
39. Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan yang berbunyi “Hasil investigasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan” tidak
dapat terlepaskan dari keseluruhan pasal dalam UU Penerbangan yang
mempunyai tujuan sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33
UUD 1945 seperti yang telah dijelakan di atas.
40. Larangan hasil investigasi KNKT dijadikan sebagai alat bukti dalam
proses peradilan sebagai suatu pembatasan hak asasi manusia
(terhadap hak untuk menyampaikan informasi sesuai Pasal 28F UUD
1945) merupakan sesuatu yang sah (legitimate) dan penting untuk
menjamin kualitas keselamatan yang merupakan bagian dari keamanan,
yakni perlindungan terhadap keselamatan individu, kehidupan atau
integritas fisik mereka, maupun perlindungan atas property mereka. Ini
juga merupakan tanggung jawab negara sesuai Pembukaan UUD 1945,
yakni, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia.”
Tanpa adanya ketentuan perundang-undangan yang melarang
penggunaan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan,
independensi investigator dari komite independen (di Indonesia
adalah KNKT) akan sulit untuk dijaga dan akan menyulitkan
tercapainya tujuan dari investigasi itu sendiri, yaitu keselamatan
(sebagai bagian dari keamanan yang merupakan salah satu tujuan
legitime untuk melakukan pembatasan HAM menurut Pasal 28J UUD
1945).
24
Dengan berbagai tekanan yang ada (baik dari media, perwakilan korban,
dan lain sebagainya), ketika hasil investigasi dapat dijadikan alat bukti,
KNKT hanya akan berfokus pada siapa yang salah dan harus
bertanggung jawab saja sehingga mengabaikan untuk mencari
penyebab kecelakaan yang sebenarnya. Padahal, menemukan faktor
utama penyebab kecelakaan adalah sesuatu yang sangat penting untuk
mencegah kecelakaan melalui safety recommendation dari hasil
investigasi. Abainya KNKT akan penyebab utama dari kecelakaan justru
menjadi sesuatu hal yang mengerikan karena negara berarti
mengabaikan keselamatan penumpang pesawat di masa depan yang
sangat mungkin mengalami peristiwa serupa (kecelakaan dengan
penyebab yang sama) karena KNKT tidak fokus untuk mencegah
peristiwa yang sama terulang kembali (Chloe A. S. Challinor, “Accident
Investigators Are The Guardians of Public Safety: The Importance of
Safeguarding the Independence of Air Accident Investigations as
Illustrated by Recent Accidents”, Volume 42 Air and Space Law, Issue 1,
2017, hlm. 43) [BUKTI PEMERINTAH - 23]. Lebih jauh, faktor
keselamatan yang terabaikan akan menyebabkan terpuruknya dunia
penerbangan, utamanya dalam hal perekonomian.
41. Faktor keselamatan menjadi faktor paling penting dalam dunia
penerbangan yang dapat mempengaruhi citra suatu negara di mata
internasional dan maskapai di mata publik. Ketika suatu negara dan
maskapai dianggap tidak kompeten dalam menjamin keselamatan
penumpang, maka akan berpengaruh kepada jumlah penumpang yang
mau menggunakan jasa suatu maskapai (operator) serta berpengaruh
juga kepada jumlah orang yang mau memasuki suatu negara (karena
sulitnya mencari direct flight untuk menuju negara tersebut atau
karena kekhawatiran akan regulasi yang dibuat negara tersebut tidak
mendukung kualitas keselamatan).
42. Akibatnya bagi maskapai, karena minat penumpang yang rendah untuk
menggunakan jasa mereka, akan menyebabkan terjadinya kerugian yang
besar hingga terlilit utang karena permintaan tidak sesuai dengan
penawaran, padahal biaya operasional yang dikeluarkan maskapai untuk
melakukan perawatan terhadap pesawat, membiayai pegawai, dan lain
sebagainya juga sangat besar. Dampak paling parah dari hal tersebut
adalah menyebabkan maskapai menjadi mengalami kebangkrutan.
43. Contoh paling nyata dari hal ini adalah Adam Air yang dicabut izin
terbangnya (Aircraft Operator Certificate) pada tahun 2008 dan berhenti
beroperasi akibat tidak berhasil untuk memperbaiki kualitas keselamatan
pasca jatuhnya pesawat Adam Air KI 574 di perairan Majene saat terbang
menuju Manado, Sulawesi Utara pada 1 Januari 2007 dan menewaskan
102 orang (Sakina Rakhma Diah Setiawan, “6 Maskapai Ini Pernah Hiasi
Langit Indonesia, 2017,
25
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/27/060200826/6-maskapai-ini-
pernah-hiasi-langit-indonesia?page=all) [BUKTI PEMERINTAH - 24].
Selain Adam Air, penghentian operasi perusahaan juga terjadi pada
Mandala Airlines yang mengalami pasang surut dalam bisnis, utamanya
pasca Mandala Airlines Boeing 737 RI 091 gagal mengudara saat take off
dari Bandara Polonia, Medan (pada tahun 2005) yang mengakibatkan
pesawat melewati pagar batas bandara, menabrak pemukiman
penduduk yang ada di sebelahnya, serta menyebabkan 100 orang
penumpang juga awak pesawat tewas, dan 41 korban jiwa dari kalangan
masyarakat sipil yang tertabrak. Akhirnya, pada 2014 maskapai ini
bangkrut akibat beban operasional yang tak sebanding dengan
pendapatan setelah sempat jatuh bangun pada 2006 dan 2011 (Luthfia
Ayu Azanella, “5 Tragedi Kecelakaan Pesawat di Indonesia yang
Timbulkan Banyak Korban”, 2018,
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/30/08210001/5-tragedi-
kecelakaan-pesawat-di-indonesia-yang-timbulkan-banyak-
korban?page=all) [BUKTI PEMERINTAH - 25]. Dampaknya kepada
masyarakat akibat semakin banyaknya maskapai yang bangkrut dan
berhenti beroperasi adalah semakin sedikitnya pilihan maskapai yang
tersedia untuk memberikan jasa angkutan udara sehingga muncul
oligopoli seperti saat ini dan menyebabkan naiknya tarif angkutan udara
secara drastis (Caesar Akbar, “Faisal Basri: Ada Indikasi Oligopoli
Kenaikan Harga Tiket Pesawat, 2019,
https://bisnis.tempo.co/read/1165556/faisal-basri-ada-indikasi-oligopoli-
kenaikan-harga-tiket-pesawat/full&view=ok) [BUKTI PEMERINTAH -
26]. Hal ini tentu tidak sesuai dengan demokrasi ekonomi sesuai Pasal
33 UUD 1945 yang menginginkan kesejahteraan sosial dan
perekonomian yang efisiensi berkeadilan dengan terjangkaunya harga
bagi orang banyak. Dampaknya, yang memiliki akses untuk dapat
menggunakan transportasi udara hanyalah masyarakat kelas atas saja,
sementara mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah sangat
sulit mengakses transportasi udara. Padahal, angkutan udara adalah
salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak karena angkutan udara adalah transportasi
yang sangat cepat, dibutuhkan bagi mobilisasi di dunia yang sudah
dalam era globalisasi, dan keberadaannya belum tentu bisa tergantikan
dengan transportasi lainnya (utamanya untuk jarak yang sangat jauh dan
untuk rute yang sulit dicapai). Oleh karena itu, negara mempunyai
kewajiban untuk membuat peraturan perundang-undangan yang
memiliki dampak baik bagi kualitas keselamatan penerbangan agar
permasalahan-permasalahan perekonomian bagi dunia penerbangan
seperti di atas dapat diatasi, termasuk dengan membuat dan
mempertahankan ketentuan “larangan hasil investigasi untuk
26
dijadikan sebagai alat dalam proses peradilan” dalam Pasal 359 ayat (1)
UU Penerbangan demi mencapai kualitas keselamatan yang lebih baik.
44. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa ini bukan hanya
berdampak kepada jatuh bangunnya maskapai, tapi juga berdampak
kepada citra negara sebagai regulator di mata internasional. Pada tahun
2007, seluruh maskapai Indonesia dilarang terbang dan masuk ke dalam
European Union Flight Safety List (daftar bagi maskapai yang masih
memiliki masalah soal keamanan penerbangannya) karena berbagai
kekurangan dalam pemenuhan aturan keselamatan penerbangan.
Indonesia sebagai regulator dianggap tidak cukup baik dalam membuat
regulasi-regulasi penerbangan yang baik untuk memenuhi kualitas
keselamatan penerbangan. Pencabutan larangan terbang bagi semua
maskapai Indonesia baru terjadi 9 tahun (2018) setelah UU Penerbangan
disahkan (2009). Artinya, ada kemajuan yang cukup baik pasca adanya
UU Penerbangan (termasuk dengan adanya Pasal 359 ayat (1) UU
Penerbangan) dengan semakin banyaknya jumlah maskapai yang
larangan terbangnya dicabut oleh Uni Eropa, yang awalnya hanya 7
maskapai (pada 2009) menjadi 62 maskapai dicabut larangan terbangnya
(pada 2018) dan dapat mengudara kembali ke Eropa (Shintaloka Pradita
Sicca, “Alasan Maskapai Indonesia Tak Lagi Dilarang Terbang di Uni
Eropa”, 2018, https://tirto.id/alasan-maskapai-indonesia-tak-lagi-
dilarang-terbang-di-uni-eropa-cMLh) [BUKTI PEMERINTAH - 27].
Dengan dicabutnya larangan tersebut, dari sisi bisnis, orang-orang dari
berbagai negara, khususnya Uni Eropa akan percaya dengan
penerbangan Indonesia. Maka bisnis penerbangan bakal tumbuh lebih
baik. Serta dari sisi layanan, bisa meningkatkan kualitas dari maskapai
dalam negeri serta meningkatkan kepercayaan Indonesia sebagai
regulator karena direct flight dari Eropa ke Indonesia juga dapat dibuka
dengan dicabutnya larangan terbang serta kemungkinan calon jumlah
penumpang yang mau memakai jasa penerbangan dari maskapai
Indonesia sehingga bermanfaat bagi masyarakat Indonesia pula karena
sektor pariwisata Indonesia juga dapat bertumbuh dengan baik
(Domianus Andreas, “Yang Terjadi Usai Eropa Cabut Larangan Terbang
Maskapai Indonesia”, 2018, https://tirto.id/yang-terjadi-usai-eropa-cabut-
larangan-terbang-maskapai-indonesia-cMo9) [BUKTI PEMERINTAH -
28]. Kembali sekali lagi, kualitas keselamatan menjadi faktor kunci bagi
dunia penerbangan dan bagi kesejahteraan sosial masyarakat
Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sesuai yang telah dijelaskan,
makna demokrasi ekonomi adalah kemakmuran masyarakat bukan
kemakmuran orang-seorang, maka kemakmuran masyarakat dan
kedudukan rakyat ditempatkan dalam posisi “sentral-substansial. Maka,
sekali lagi PEMERINTAH menegaskan pembatasan hak
menyampaikan informasi yang terkandung dalam Pasal 28F dengan
27
adanya Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan telah sesuai dengan
kepentingan perlindungan akan keamanan dalam Pasal 28J UUD 1945
dan jangan sampai Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan dihapuskan agar
kepentingan masyarakat yang sangat besar akan safety, security, dan
welfare (dalam Pasal 33 UUD 1945) menjadi tidak terabaikan.
C. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Sebagai Alat Bukti di
Pengadilan Tidak Mempengaruhi Proses Pembuktian dalam Peradilan
Perdata.
45. Dalam Pengangkutan Udara kita mengenal terdapat 3 (tiga) konsep dasar
tanggung jawab hukum yakni Tanggung Jawab Hukum atas dasar
Kesalahan (Based on Fault Liability), Tanggung Jawab Praduga Bersalah
(Presumption of Liability), Tanggung jawab Hukum Tanpa Bersalah
(Liability Without Fault). Konsep tanggung jawab hukum yang utama
digunakan dalam UU Penerbangan adalah konsep tanggung jawab
hukum tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak (Absolute Liability
atau Strict Liability) khususnya dalam hal penumpang yang meninggal
dunia, cacat tetap atau luka-luka, yang berarti perusahaan penerbangan
bertanggungjawab mutlak terhadap kerugian yang timbul akibat
kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya barang dan/atau orang dari
pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.
46. Latar Belakang lahirnya konsep tanggung jawab mutlak (strict liability)
merupakan representasi dari gugatan masyarakat lapisan bawah atas
ketidakadilan adanya Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19 yang
hanya menguntungkan para industriawan tetapi memberikan dampak
negatif bagi mereka. Sehingga dalam gugatannya masyarakat lapisan
bawah menginginkan hukum harus menjamin perlindungan terhadap
masyarakat banyak. Hukum juga harus menjamin kehidupan ekonomi,
sosial, budaya maupun politik dalam masyarakat banyak, yang
kemudian lahir doktrin yang menggugat tanggung jawab para
industriawan. (Martono dan Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional
dan Nasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hlm.18) [BUKTI
PEMERINTAH - 29]
47. Sebagai konsekuensi tanggung jawab mutlak, maka pengangkut selalu
harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita korban terlepas
dari ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pihak pengangkut.
Sebagai kompensasi (imbalan) atas diberlakukannya prinsip strict
liability, tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas (limited)
sebesar jumlah kerugian yang ditetapkan dalam konvensi internasional
atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku. Akan tetapi,
apabila kerugian penumpang tersebut timbul karena tindakan sengaja
28
(willful misconduct) atau kesalahan (blame) dari pengangkut atau orang
yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggungjawab atas kerugian
yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-
undang ini untuk membatasi besarnya ganti rugi yang menjadi tanggung
jawabnya, artinya tanggung jawab pengangkut tidak terbatas (unlimited
liability). Dalam hal penumpang pesawat udara yang menjadi korban
kecelakaan atas kesalahan pengangkut, maka ahli waris atau korban
dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti
rugi tambahan selain besarnya ganti yang ditetapkan.
48. Mengenai dalil PEMOHON yang menyatakan dengan adanya
pembatasan pada hasil investigasi kecelakaan dan kejadian
penerbangan berpotensi menyulitkan proses pembuktian dalam
peradilan perdata khususnya membuktikan kesalahan dari
pengangkut, PEMERINTAH berpendapat bahwa alat bukti yang dapat
diajukan dalam proses pembuktian perkara perdata sebagaimana diatur
dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata yang
diantaranya tidak hanya meliputi pengajuan alat bukti surat saja
sebagaimana PEMOHON akan mengkualifikasikan hasil investigasi awal
kedalam alat bukti surat, namun masih terdapat alat bukti lainnya yang
dapat diajukan oleh PEMOHON, baik itu alat Bukti dengan saksi; Bukti
dengan Persangkaan; Bukti dengan Pengakuan; Bukti dengan Sumpah;
atau bahkan alat bukti lainnya yang sah menurut hukum. [BUKTI
PEMERINTAH – 30]
49. Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, ada beberapa cara yang dapat
ditempuh. Seperti halnya Penggugat dapat mengajukan sepucuk surat
kepada hakim yang isinya menerangkan tentang adanya peristiwa
tertentu ketika peristiwa tersebut tidak dapat dihadapkan di muka
persidangan. Selain itu, masih ada kemungkinan untuk membuktikan
suatu peristiwa tertentu, yaitu apabila peristiwa “a” sukar
pembuktiannya, maka untuk membuktikan peristiwa itu dibuktikan
dengan peristiwa “b” yang masih memiliki korelasi dengan peristiwa
“a”. Dengan berhasilnya pembuktian peristiwa “b”, maka peristiwa “a”
dianggap terbukti. (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal. 149) [ BUKTI PEMERINTAH-
31]. Pemerintah berpendapat bahwa sejatinya pada proses pembuktian
perkara perdata memang masih banyak alternatif lain untuk
membuktikan dalil gugatan Penggugat selain daripada berpaku kepada
hasil investigasi KNKT.
50. Dalam Permohonan, PEMOHON menyatakan bahwa dengan tidak dapat
dijadikannya hasil investigasi sebagai alat bukti maka akan menyulitkan
proses pembuktian unsur-unsur PMH dalam peradilan perdata terutama
29
unsur kesalahan guna mendapat ganti rugi lebih dari yang ditetapkan
perundang-undangan. Padahal, PEMOHON dalam perkara perdatanya
belum sampai hingga tahap pembuktian. Sehingga, kata
“menyulitkan” dalam dalil PEMOHON tidak termasuk kerugian
potensial menurut penalaran yang wajar akan terjadi. PEMOHON
harus memahami bahwa penilaian terhadap alat bukti yang diajukan
ke persidangan adalah kewenangan hakim sehingga hasil investigasi
KNKT belum tentu memiliki kekuatan alat bukti yang sempurna, selain
itu hasil investigasi bukanlah satu satunya alat bukti yang dapat
membuktikan dalil gugatan PEMOHON.
51. Kita dapat mengambil contoh pada perkara Sigit Suciptoyono melawan
Singapore Airlines Limited. Dalam perkara tersebut Sigit Suciptoyono
menggugat Singapore Airlines untuk memberikan kompensasi tambahan
atas kerugian yang diderita akibat kesalahan atau kelalaian Pilot
Tergugat, yang menggunakan landasan pacu yang ditutup karena dalam
perbaikan untuk melakukan “take-off” di Bandara CKS, Taipei, Taiwan
dan mengakibatkan pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong
menjadi tiga bagian hingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang
crews meninggal dunia. Kemudian, hakim dalam pertimbangan hukum
pada putusan majelis tingkat pertama maupun pada putusan banding
mengambil kesimpulan bahwa pilot telah melakukan willful misconduct
yang menyebabkan kecelakaan sehingga pembatasan tanggung jawab
sebagaimana diatur dalam Konvensi Warsawa menjadi tidak berlaku.
Dalam eksepsi, pihak Singapore Airlines pada tingkat kasasi dengan
nomor putusan No. 1517 K/Pdt/2009 menyatakan bahwa dalam Judex
Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian karena dalam
pertimbangan hukum pada putusan majelis tingkat pertama maupun
pada tingkat banding, bukti laporan media yang diajukan Sigit
Suciptoyono (Penggugat) yakni laporan media massa berupa petikan
berita harian “Straits Times” tanggal 20 September 2003 dan juga Laporan
Kantor Berita Prancis, Agence France Presse (AFP) tanggal 16 Agustus 2002
berulang kali disebutkan untuk mendukung dalil yang dikemukakan
Sigit Suciptoyono. Sedangkan alat bukti yang diajukan Singapore
Airlines Limited (Tergugat) yakni berupa laporan Aircraft Accident
Report No. ASC-AAR-02-04-001 yang dikeluarkan oleh Aviation Safety
Council dari Taiwan, Republic of China sama sekali tidak disebutkan
baik dalam pertimbangan hukum pada putusan majelis tingkat
pertama maupun pada putusan banding. Akan tetapi, Mahkamah
Agung menyatakan bahwa alasan eksepsi tersebut tidak dapat
dibenarkan karena Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan
dengan perbaikan putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar,
30
serta tidak salah dalam menerapkan hukuman yang berlaku, dan kasasi
yang diajukan Singapore Airlines tersebut ditolak.
52. Terhadap kasus di atas PEMERINTAH berpendapat bahwa keberadaan
hasil investigasi yang dijadikan sebagai alat bukti tidak menjamin
seseorang akan mutlak dinyatakan menang dalam suatu proses
peradilan, yang kemudian harus mengesampingkan keberadaan alat
bukti lainnya yang secara tegas tidak dilarang oleh hukum.
53. Berdasarkan uraian diatas, PEMERINTAH berpendapat bahwa norma
yang terkandung dalam Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Penerbangan tidak mempengaruhi proses pembuktian dalam peradilan
perdata. Menilik kasus yang sudah dipaparkan di atas telah
membuktikan bahwa hasil investigasi bukan satu satunya informasi
yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dan juga tidak terkualifikasi
sebagai alat bukti sempurna dalam kecelakaan penerbangan. Oleh
karena itu Pemerintah menilai bahwa hasil investigasi sebagai alat bukti
dalam proses peradilan tidak memiliki pengaruh besar bagi pihak-
pihak yang berkepentingan untuk membuktikan dalilnya. Namun
sebaliknya, apabila hasil investigasi menjadi alat bukti akan
membahayakan kepentingan masyarakat umum yang lebih luas yakni
keselamatan dalam dunia penerbangan sesuai dengan Alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “… untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
indonesia …” ketentuan saat ini telah tepat bahwa hasil investigasi tidak
dapat dijadikan alat bukti di persidangan adalah untuk melindungi
keselamatan bangsa Indonesia.
D. Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tentang Dirahasiakannya Sebagian
Informasi dari Hasil Investigasi KNKT Memberikan Kejelasan
Rumusan dan Kepastian Hukum serta sesuai dengan UUD 1945.
54. Sebagai negara pihak Konvensi Chicago dan negara anggota ICAO,
Indonesia terikat dan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam Konvensi Chicago beserta berbagai annex yang telah dibuat
oleh ICAO sebagai petunjuk teknis pelengkap Konvensi Chicago yang
dibuat pada tahun 1944 karena dunia penerbangan selalu mengalami
perkembangan teknologi secara cepat.
55. Salah satu annex pelengkap Konvensi Chicago adalah Annex 13 to the
Convention on International Civil Aviation yang membahas mengenai
“Aircraft Accident and Incident Investigation”. Dalam Annex 13 tersebut,
ICAO secara clear menyatakan bahwa: “OBJECTIVE OF THE INVESTIGATION 3.1 The sole objective of the investigation of an accident or incident shall be the prevention of accidents and incidents. It is not the purpose of this activity to apportion blame or liability.
31
56. Lebih lanjut dalam dokumen ini, selaras dengan tujuan yang ada dalam Article 3.1, terdapat ketentuan mengenai “non-disclosure of records” atau “informasi yang tidak diungkapkan”, yang berbunyi: “Non-disclosure of records 5.12 The State conducting the investigation of an accident or incident shall not make the following records available for purposes other than accident or incident investigation, unless the appropriate authority for the administration of justice in that State determines that their disclosure outweighs the adverse domestik and international impact such action may have on that or any future investigations: a) all statements taken from persons by the investigation authorities in the
course of their investigation; b) all communications between persons having been involved in the operation
of the aircraft; c) medical or private information regarding persons involved in the accident or
incident; d) cockpit voice recordings and transcripts from such recordings; and e) opinions expressed in the analysis of information, including flight recorder
information. 5.12.1 These records shall be included in the final report or its appendices only when pertinent to the analysis of the accident or incident. Parts of the records not relevant to the analysis shall not be disclosed. Note 1.— Information contained in the records listed above, which includes information given voluntarily by persons interviewed during the investigation of an accident or incident, could be utilized inappropriately for subsequent disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings. If such information is distributed, it may, in the future, no longer be openly disclosed to investigators. Lack of access to such information would impede the investigation process and seriously affect flight safety. Note 2.— Attachment E contains legal guidance for the protection of information from safety data collection and processing systems.”
57. Selanjutnya, Attachment E dari Annex 13 menyatakan sebagai berikut: “ATTACHMENT E. LEGAL GUIDANCE FOR THE PROTECTION OF INFORMATION FROM SAFETY DATA COLLECTION AND PROCESSING SYSTEMS 1. Introduction 1.1 The protection of safety information from inappropriate use is essential to ensure its continued availability, since the use of safety information for other than safety-related purposes may inhibit the future availability of such information, with an adverse effect on safety. This fact was recognized by the 35th Session of the ICAO Assembly, which noted that existing national laws and regulations in many States may not adequately address the manner in which safety information is protected from inappropriate use.
1.2 The guidance contained in this attachment is therefore aimed at assisting States enact national laws and regulations to protect information gathered from safety data collection and processing systems (SDCPS), while allowing for the proper administration of justice. The objective is to prevent the inappropriate use of information collected solely for the purpose of improving aviation safety. 1.3 Because of the different legal systems in States, the legal guidance must allow States the flexibility to draft their laws and regulations in accordance with their national policies and practices. 1.4 The guidance contained in this attachment, therefore, takes the form of a series of principles that have been distilled from examples of national laws and regulations provided by States. The concepts described in these principles could be adapted or modified to meet the particular needs of the State enacting laws and regulations to protect safety information.
32
1.5 Throughout this attachment: a) safety information refers to information contained in SDCPS established for
the sole purpose of improving aviation safety, and qualified for protection under specified conditions in accordance with 3.1 below;
b) inappropriate use refers to the use of safety information for purposes different from the purposes for which it was collected, namely, use of the information for disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings against operational personnel, and/or disclosure of the information to the public;
c) SDCPS refers to processing and reporting systems, databases, schemes for exchange of information, and recorded information and include: 1) records pertaining to accident and incident investigations, as described in
Annex 13, Chapter 5; 2) mandatory incident reporting systems, as described in Chapter 5, 5.1, of
this Annex; 3) voluntary incident reporting systems, as described in Chapter 5, 5.1, of
this Annex; and 4) self-disclosure reporting systems, including automatic data capture
systems, as described in Annex 6, Part I, Chapter 3, as well as manual data capture systems.
Note.— Information on safety data collection and processing systems can be found in the Safety Management Manual (SMM) (Doc 9859). 2. General principles 2.1 The sole purpose of protecting safety information from inappropriate use is to ensure its continued availability so that proper and timely preventive actions can be taken and aviation safety improved. 2.2 It is not the purpose of protecting safety information to interfere with the proper administration of justice in States. 2.3 National laws and regulations protecting safety information should ensure that a balance is struck between the need for the protection of safety information in order to improve aviation safety, and the need for the proper administration of justice. 2.4 National laws and regulations protecting safety information should prevent its inappropriate use. 2.5 Providing protection to qualified safety information under specified conditions is part of a State’s safety responsibilities. 3. Principles of protection 3.1 Safety information should qualify for protection from inappropriate use according to specified conditions that should include, but not necessarily be limited to, whether the collection of information was for explicit safety purposes and if the disclosure of the information would inhibit its continued availability 3.2 The protection should be specific for each SDCPS, based upon the nature of the safety information it contains. 3.3 A formal procedure should be established to provide protection to qualified safety information, in accordance with specified conditions. 3.4 Safety information should not be used in a way different from the purposes for which it was collected. 3.5 The use of safety information in disciplinary, civil, administrative and criminal proceedings should be carried out only under suitable safeguards provided by national law. 4. Principles of exception Exceptions to the protection of safety information should only be granted by national laws and regulations when:
33
a) there is evidence that the occurrence was caused by an act considered, in accordance with the law, to be conduct with intent to cause damage, or conduct with knowledge that damage would probably result, equivalent to reckless conduct, gross negligence or wilful misconduct;
b) an appropriate authority considers that circumstances reasonably indicate that the occurrence may have been caused by conduct with intent to cause damage, or conduct with knowledge that damage would probably result, equivalent to reckless conduct, gross negligence or wilful misconduct; or
c) review by an appropriate authority determines that the release of the safety information is necessary for the proper administration of justice, and that its release outweighs the adverse domestik and international impact such release may have on the future availability of safety information.
5. Public disclosure 5.1 Subject to the principles of protection and exception outlined above, any person seeking disclosure of safety information should justify its release. 5.2 Formal criteria for disclosure of safety information should be established and should include, but not necessarily be limited to, the following: a) disclosure of the safety information is necessary to correct conditions that
compromise safety and/or to change policies and regulations; b) disclosure of the safety information does not inhibit its future availability in
order to improve safety; c) disclosure of relevant personal information included in the safety
information complies with applicable privacy laws; and d) disclosure of the safety information is made in a de-identified, summarized or
aggregate form. 6. Responsibility of the custodian of safety information Each SDCPS should have a designated custodian. It is the responsibility of the custodian of safety information to apply all possible protection regarding the disclosure of the information, unless: a) the custodian of the safety information has the consent of the originator of the
information for disclosure; or b) the custodian of the safety information is satisfied that the release of the safety
information is in accordance with the principles of exception. 7. Protection of recorded information Considering that ambient workplace recordings required by legislation, such as cockpit voice recorders (CVRs), may be perceived as constituting an invasion of privacy for operational personnel that other professions are not exposed to: a) subject to the principles of protection and exception above, national laws and
regulations should consider ambient workplace recordings required by legislation as privileged protected information, i.e. information deserving enhanced protection; and
b) national laws and regulations should provide specific measures of protection to such recordings as to their confidentiality and access by the public. Such specific measures of protection of workplace recordings required by legislation may include the issuance of orders of non-public disclosure.”
58. Kemudian, ketentuan non-disclosure of records di Annex 13 tersebut
diejawantahkan di Indonesia dalam UU Penerbangan, tepatnya pada
Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan yang berbunyi, “Hasil investigasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai
informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.”
59. Penjelasan undang-undang dari pasal a quo menyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan “informasi rahasia (non disclosure of records)”,
antara lain:
a pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;
34
b rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat
di dalam pengoperasian pesawat udara;
c informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang
terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;
d rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan kata
demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut;
e rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas
penerbangan (air traffic services); dan
f pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk
rekaman informasi penerbangan (flight data recorder).
60. Menurut PEMOHON, pasal ini telah bertentangan dengan Pasal 28F
UUD 1945 karena menyebabkan terlanggarnya hak PEMOHON untuk
memperoleh informasi dari hasil investigasi KNKT. Selain itu, menurut
PEMOHON, pasal ini tidak memiliki rumusan yang jelas dan tidak
memberikan kepastian hukum. Alasannya karena apa yang menjadi
informasi rahasia tidak dicantumkan dalam batang tubuh dan hanya ada
dalam bagian penjelasan.
Jawaban Pemerintah terkait kejelasan rumusan dan kepastian hukum
61. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, setiap produk hukum
memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik yang dimiliki peraturan
perundang-undangan adalah harus bersifat umum, abstrak, dan
berlaku terus-menerus (Maria Farida Indrati dalam Zaka Firma Aditya
dan M. Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia”, Jurnal Negara Hukum, Volume 9 Nomor 1, Juni
2018, hlm. 85) [BUKTI PEMERINTAH - 32]. Norma hukum umum
adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak
(addressatnya) atau dengan kata lain umum dan tidak tertentu. Umum di
sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua
orang atau semua warganegara. Norma hukum abstrak adalah suatu
norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada
batasnya dalam arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini
merumuskan suatu perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebut
dengan kata: “…mencuri…”, “…membunuh…”, “…menebang
pohon….” Norma hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig)
adalah norma hukum yang berlakunya (mempunyai daya laku) tidak
dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja terus-menerus, sampai
peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru (Maria Farida
Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Kanisius, 2018, hlm. 26) [BUKTI PEMERINTAH - 33].
62. Oleh sebab itu, rumusan norma “hasil investigasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat
diumumkan kepada masyarakat” pada dasarnya telah memenuhi
35
karakteristik abstrak, umum, dan terus-menerus. Mengapa saat itu
pembentuk undang-undang membuat pasal tersebut dengan rumusan
demikian? Hal ini dikarenakan penyebab kecelakaan penerbangan pada
suatu peristiwa pasti berbeda dengan peristiwa lainnya. Bisa saja dalam
suatu peristiwa, kecelakaan penerbangan disebabkan oleh tindak pidana
terorisme, tapi pada peristiwa kecelakaan penerbangan yang lain justru
disebabkan oleh mesin pesawat. Dengan perbedaan penyebab
kecelakaan tersebut, maka informasi yang dicantumkan dalam laporan
akhir hasil investigasi dan informasi yang dirahasiakan tentu tidak
akan sama atau tidak akan persis sama pada setiap kecelakaan.
Peraturan perundang-undangan haruslah dibentuk dengan rumusan
abstrak dan umum seperti tadi agar bisa berlaku dalam semua konteks
sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak usang oleh
zaman.
63. Kejelasan rumusan dan kepastian hukum sebenarnya telah ada dalam
jiwa pasal tersebut, yaitu berupa hasil investigasi yang bukan rahasia
pasti akan diumumkan kepada masyarakat. Terkait informasi mana
yang rahasia dan mana yang bukan, hal itu adalah kompetensi KNKT
sebagai pihak yang berwenang melaksanakan investigasi terhadap
kecelakaan dan kejadian penerbangan, karena sesuai annex 13,
informasi yang dapat diumumkan adalah segala informasi yang
berkaitan dengan kecelakaan, telah dianalisis, dan masuk ke dalam
laporan akhir hasil investigasi KNKT. Tentu, informasi mana yang
terkait dengan kecelakaan dan informasi yang tidak terkait kecelakaan,
hal tersebut tergantung penyebab kecelakaan yang terjadi dan akan
berbeda pada kecelakaan yang satu dengan yang lainnya. Misalnya,
dalam kecelakaan penerbangan yang disebabkan oleh penggunaan
narkotika oleh kru pesawat, informasi mengenai kesehatan kru pesawat
tersebut pasti dicantumkan dalam laporan akhir hasil investigasi, tapi
tentu jika kecelakaan penerbangan tersebut berkaitan dengan kerusakan
mesin, tidak ada kepentingan KNKT untuk mencantumkan informasi
kesehatan dalam laporan akhir hasil investigasi karena informasi tersebut
tidak berkaitan dengan kecelakaan dan tidak berguna pula berkaitan
safety recommendation yang diberikan KNKT dalam laporan akhir hasil
investigasi tersebut. Maka, menurut PEMERINTAH, ketentuan dalam
Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan telah sesuai dengan asas kejelasan
rumusan dan asas kepastian hukum.
64. Terkait dengan jenis-jenis informasi rahasia yang tercantum dalam
bagian Penjelasan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan, PEMERINTAH
harus menegaskan bahwa itu hanyalah tafsir autentik dan bukan
merupakan norma yang mengikat. Namun, Penjelasan Pasal a quo
memang merujuk kepada Article 5.12 Annex 13 terkait non-disclosure of
records. Informasi tersebut memanglah rahasia dan tidak dapat dibuka ke
36
publik, namun dalam artian dokumen yang belum diolah, seperti
misalnya dokumen informasi kesehatan, dokumen asli dari keseluruhan
rekaman suara (cockpit voice recorder), dan lain sebagainya. Informasi yang
dapat dibuka ke publik hanyalah analisis KNKT terhadap informasi-
informasi rahasia tadi yang berkaitan dengan kecelakaan dan telah
dimasukan ke dalam laporan akhir hasil investigasi. Dengan kata lain,
sesuai Annex 13, yang dapat diumumkan ke publik adalah sumber yang
bersifat sekunder, yaitu analisis KNKT dalam laporan akhir hasil
investigasi, bukan sumber primernya.
65. Dapat disimpulkan, terkait rumusan pasal, tidak ada permasalahan sama
sekali karena rumusan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan memang
memiliki karakteristik abstrak dan umum agar bisa menyesuaikan
dengan setiap kecelakaan dan kejadian penerbangan yang terjadi. Pasal a
quo tidak bermasalah karena sesuai Annex 13 yang dapat diinformasikan
ke publik adalah informasi yang tidak rahasia, yaitu laporan akhir hasil
investigasi KNKT yang memuat analisis KNKT terhadap berbagai
informasi yang terkait dengan kecelakaan. Begitu pun dengan penjelasan
pasal a quo telah sesuai pula dengan Annex 13 yang memang menyatakan
informasi-informasi tersebut, yang masih belum diolah, belum dianalisis
KNKT, dan tidak masuk ke dalam laporan akhir hasil investigasi tidak
boleh diumumkan kepada masyarakat.
Jawaban terkait pelanggaran Pasal 359 ayat (2) terhadap Pasal 28F UUD
1945
66. Seperti yang telah dikatakan oleh Annex 13 di atas, bahwa informasi
kecelakaan dan kejadian penerbangan dikumpulkan hanya untuk
mencapai tujuan: pencegahan kecelakaan dan peningkatan kualitas
keselamatan. Karenanya, informasi ini harus dilindungi untuk
kepentingan-kepentingan di luar pencapaian tujuan yang telah
disebutkan tadi.
67. Di dalam Lampiran E Annex 13, dinyatakan: 5. Public disclosure 5.1 Subject to the principles of protection and exception outlined above, any person seeking disclosure of safety information should justify its release. 5.2 Formal criteria for disclosure of safety information should be established and should include, but not necessarily be limited to, the following: a) disclosure of the safety information is necessary to correct conditions that
compromise safety and/or to change policies and regulations; b) disclosure of the safety information does not inhibit its future availability in
order to improve safety; c) disclosure of relevant personal information included in the safety
information complies with applicable privacy laws; and d) disclosure of the safety information is made in a de-identified, summarized or
aggregate form. 68. Dari lampiran E Annex 13 tersebut, pengungkapan informasi dinyatakan
bertujuan untuk memperbaiki kondisi yang membahayakan keselamatan
dan jika seandainya berkaitan dengan privasi, maka harus relevan
37
dengan tujuan keselamatan. Artinya, jika privasi atau informasi pribadi
tersebut tidak sesuai dengan tujuan keselamatan, maka seharusnya tidak
diungkapkan. Tentu, informasi pribadi yang relevan adalah informasi
yang terkait dengan kecelakaan karena bermanfaat bagi KNKT untuk
mempersiapkan safety recommendation atau rekomendasi keselamatan
demi pencegahan kecelakaan dan kejadian penerbangan di masa depan.
69. Seperti yang dijelaskan oleh Centre for Law and Democracy bersama
Indonesian Center for Enviromental Law, informasi yang bersifat privasi
memang tetap dapat dibatasi demi kepentingan publik yang lebih besar.
Namun, hal ini harus benar-benar proporsional bahwa informasi yang
diungkapkan memang hanyalah informasi yang berkaitan dengan
kepentingan publik saja (Dessy Eko Prayitno, dkk, Penafsiran atas
Pengecualian dalam Hak atas Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara
Lain, Jakarta: Centre for Law and Democracy bersama Indonesian Center
for Enviromental Law, 2012, hlm. 66-67) [BUKTI PEMERINTAH - 34].
Artinya, negara harus tetap menjamin perlindungan kepada privasi
semua orang yang berada di wilayahnya jika memang tidak ada
kepentingan publik yang bersinggungan dengan privasi tersebut.
70. Dalam kecelakaan penerbangan, hal itu telah diakomodasi dengan Pasal
359 ayat (2) UU Penerbangan, bahwa publik dapat mengakses informasi
yang berkaitan dengan kepentingan publik, yaitu informasi terkait alasan
mengapa suatu kecelakaan dan kejadian penerbangan dapat terjadi di
dalam laporan hasil investigasi dari KNKT. Di luar informasi yang terkait
dengan kecelakaan penerbangan itu, seharusnya publik tidak dapat
mengakses informasi-informasi lainnya yang dikumpulkan KNKT karena
informasi tersebut tidak masuk domain publik.
71. Hal ini dikarenakan informasi pribadi atau privasi sangat penting dalam
negara demokrasi serta pembatasan yang tidak proporsional dan tidak
legitimate terhadapnya akan menyebabkan kehancuran terhadap
demokrasi itu sendiri. Secara definisi, privasi menurut Warren and
Braindes adalah Right to be left alone, sementara menurut Slyke and
Belanger adalah kemampuan seseorang untuk mengatur informasi
mengenai dirinya sendiri. Perlindungan privasi dikembangkan untuk
mengatur perilaku orang lain yang dapat mengganggu dalam berbagai
cara pada kehidupan seseorang. Privasi dalam konteks ini dapat
dipahami secara umum membatasi kemampuan orang lain untuk
mendapatkan, menyebarkan, atau menggunakan informasi tentang diri
sendiri (Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Menyeimbangkan Hak:
Tantangan Perlindungan Privasi dan Menjamin Akses Keterbukaan Informasi
dan Data di Indonesia, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, hlm.
3) [BUKTI PEMERINTAH - 35]. Sementara itu, menurut Komisi
Informasi India, “Dalam percakapan umum, ‘informasi pribadi’
umumnya digunakan untuk alamat, nama, pekerjaan, status fisik dan
38
mental, termasuk status medis, misalnya, apakah seseorang menderita
penyakit seperti diabetes, tekanan darah, asma, TB, kanker, dll. Termasuk
juga status keuangan seseorang, seperti pendapatan atau aset dan
liabilitas dirinya atau anggota keluarga lain. Pernyataan ini juga dapat
digunakan untuk merujuk pada hobi seseorang seperti melukis, musik,
olahraga, dsb. Sebagian besar dari hal-hal yang disebutkan di atas
merupakan informasi pribadi seseorang dan orang tersebut mungkin
tidak suka untuk membaginya dengan orang asing. Dalam hal ini,
informasi tersebut dapat diperlakukan sebagai rahasia.” (Dessy Eko
Prayitno, dkk, Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas Informasi:
Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain, Jakarta: Centre for Law and
Democracy bersama Indonesian Center for Enviromental Law, 2012, hlm.
66-67) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 34]. Oleh sebab itulah, akibat
ketidaknyaman atau ketidaksukaan seseorang untuk membaginya
dengan orang lain, maka Pasal 359 ayat (2) menyatakan terdapat
beberapa informasi yang dirahasiakan, sesuai Annex 13, yaitu yang tidak
berkaitan dengan kecelakaan demi menjaga privasi dari setiap orang
yang berada dalam pesawat yang mengalami kecelakaan.
72. Dapat disimpulkan, dengan adanya Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan,
PEMERINTAH telah mengakomodasi kepentingan publik untuk
mengetahui penyebab kecelakaan sekaligus menjaga informasi pribadi
tiap orang yang tidak berkaitan dengan kecelakaan. Maka, tidak ada
sama sekali pelanggaran terhadap hak memperoleh informasi yang
dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945. Pembatasan memperoleh
informasi yang tidak berkaitan dengan kecelakaan, semata-mata hanya
untuk melindungi tujuan lain yang sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945,
yaitu hak dan kebebasan orang lain, yaitu privasi orang lain.
V. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik
Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian
(constitusional review) ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
tentang Penerbangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1) menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2) menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima (niet onvankelijke verklaard);
3) menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
39
4) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan
5) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Atau
Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik
Indonesia, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 8 April 2019
Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia,
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
MENTERI
PERHUBUNGAN,
………………………………...
………………………………...
YASONNA H. LAOLY BUDI KARYA SUMADI