keterkaitan pola konversi lahan pertanian dengan rencana...
TRANSCRIPT
KETERKAITAN POLA KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH DI KABUPATEN KUDUS
Deny Meitasari, Joko Sutrisno, Emi Widiyanti Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp./ Fax. (0271) 637457
Email : [email protected] Telp : 085640585102
Abstract : This research aims to determine the pattern of agriculture land
conversion, the spatial pattern of agricultural land conversion, and the
suitability of the pattern of agriculture land conversion with spatial planning
in Kudus. The basic method used descriptive analysis. Kudus as location was
chosen purposively. The data used is secondary data. Data analysis method
used are overlay maps of land use and correlation analysis. The results show
that 1) The pattern of agriculture land conversion in Kudus Regency is based
on objective used for residential, industrial, and others; based on the type of
agricultural land that changed are irrigated land, rainfed land and un-irrigated
agricultural field; based on farmers’ reasons are off-farm capital, construction
or renovation of house, tuition, pilgrimage, farming risk, and price
speculation. 2) The results of map overlay shows agricultural land conversion
occurred in all regions of Kudus district. Regions close to the center of
economic growth tend to experience changes in land use to house, residential
and industrial, and the areas far from the centers of economic growth just
turned into house. 3) The Result of correlation analysis showed that the
agriculture land conversion is not correlate with Spatial Plan No. 8 2003 in
Kudus Regency.
Keywords : The Patterns of Land Conversion, Spatial Planning, Map
Overlay, Spatial Pattern
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konversi lahan
pertanian, pola spasial konversi lahan pertanian, serta keterkaitan pola
konversi lahan pertanian dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten
Kudus. Metode dasar yang digunakan deskripsi analitis. Lokasi penelitian di
pilih secara sengaja di Kabupaten Kudus. Data yang digunakan adalah data
sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah overlay peta
penggunaan lahan, dan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan 1)
Pola konversi lahan pertanian berdasarkan tujuan penggunaan adalah untuk
pemukiman, industri, dan lahan tidur; berdasarkan jenis lahan pertanian yang
dikonversi adalah sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ lading;
berdasarkan alasan konversi oleh petani adalah untuk modal usaha,
pembangunan atau renovasi tempat tinggal, biaya pendidikan, biaya naik haji,
risiko usahatani, dan spekulasi harga. 2) Hasil overlay peta menunjukkan
konversi lahan pertanian terjadi di seluruh wilayah Kabupaten Kudus.
Wilayah dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi cenderung berubah
menjadi pemukiman, perumahan dan industri, dan wilayah yang jauh dari
pusat pertumbuhan ekonomi hanya berubah menjadi pemukiman. Hasil
analisis korelasi menunjukkan pola konversi lahan pertanian yang terjadi di
Kabupaten Kudus tidak berhubungan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
No 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus.
Kata Kunci : Pola Konversi Lahan Pertanian, Rencana Tata Ruang Wilayah,
Overlay Peta, Pola Spasial
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian
memiliki arti yang sangat strategis,
tidak hanya untuk negara-negara
berkembang, bahkan untuk negara
maju, pertanian tetap mendapat
perhatian dan perlindungan yang
lebih mengingat arti penting
pertanian dalam menjaga
kelangsungan hidup manusia.
Peranan sektor pertanian tersebut
diantaranya adalah sebagai penyedia
bahan pangan, bahan sandang dan
bahan papan. Indonesia merupakan
salah satu negara yang
mengedepankan sektor pertanian
sebagai salah satu sektor yang
mendukung struktur perekonomian
negara. Deptan (2005) menyatakan
sektor pertanian merupakan sektor
yang menjadi penggerak
perekonomian di Indonesia. Hal ini
tercermin dari sumbangan sektor
pertanian terhadap Pendapatan
Domestik Bruto, dalam penyerapan
tenaga kerja, sebagai penghasil
devisa, serta peranan tidak langsung
dalam pelestarian lingkungan hidup.
Salah satu kegiatan pertanian
yang menjadi tumpuan penduduk
Indonesia adalah praktek budidaya
tanaman dengan lahan sebagai
sumber daya pertanian yang utama.
Lahan merupakan salah satu jenis
sumber daya pertanian yang
mempunyai nilai ekonomi sangat
tinggi. Hampir semua sektor
pembangunan fisik seperti sektor
pertanian, pertambangan, industri,
jasa, bangunan, perdagangan,
pengangkutan dan komunikasi
memerlukan lahan. Perkembangan
kegiatan masyarakat yang
membutuhkan lahan sebagai
wadahnya meningkat dengan sangat
cepat sejalan dengan perkembangan
jumlah penduduk dan pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya terjadi
persaingan pemanfaatan lahan,
terutama pada wilayah yang telah
berkembang dimana ketersediaan
lahan relatif terbatas. Pada akhirnyan
konversi lahan sangat sulit untuk
dihindarkan.
Sejalan dengan peningkatan
jumlah penduduk dan perkembangan
ekonomi wilayah, Provinsi Jawa
Tengah mengalami konversi lahan
pertanian. Salah satu wilayah di
Provinsi Jawa Tengah yang
mengalami perkembangan ekonomi
yang cukup pesat adalah Kabupaten
Kudus. Kabupaten Kudus dengan
potensi wilayah yang terletak di jalur
strategis pantai utara dengan
topografi daerah relatif datar serta
potensi sumber daya alam yang
cukup melimpah sedang mengalami
perkembangan yang cukup pesat
sebagai kota industri. Menurut
Kuncoro (2012) dalam studinya
menemukan bahwa pusat industri
manufaktur Indonesia berlokasi di
Pulau Jawa khusus di Jawa Tengah
berlokasi di Kota Semarang, Kota
Surakarta dan Kabupaten Kudus.
Lebih lanjut Kasiran (1999)
menyatakan bahwa kondisi dimana
pergeseran struktur ekonomi dari
pertanian ke industri dan jasa akan
mengakibatkan banyak lahan
pertanian yang dikonversi.
Berdasarkan data Kudus Dalam
Angka, Kabupaten Kudus telah
mengalami penurunan luas lahan
pertanian sebesar 990 ha selama
kurun waktu 10 tahun (2000 – 2010).
Jumlah yang cukup besar mengingat
wilayah pantura merupakan salah
satu daerah penyangga pangan
nasional. Pemerintah Kabupaten
Kudus telah berupaya untuk
melakukan pengendalian konversi
lahan pertanian ke non-pertanian
melalui penyusunan beberapa
kebijakan, diantaranya adalah
Rencana Tata Ruang Wilayah yang
ditetapkan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Kudus Nomor 8 Tahun
2003 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kudus.
Namun pada kenyataanya
konversi lahan pertanian yang terjadi
di Kabupaten Kudus masih
dikategorikan besar. Hal ini
menunjukkan bahwa peraturan yang
disusun belum terimplementasi
dengan baik. Menurut Nasoetion
(2003) dalam Bappenas (2012) tiga
kendala mendasar yang menjadi
alasan peraturan pengendalian
konversi lahan sulit dilaksanakan
yaitu: (1) kebijakan yang
kontradiktif; (2) cakupan kebijakan
yang terbatas; (3) kendala konsistensi
perencanaan.
Dalam jangka panjang menurut
Sjafrizal (2012) pengaturan tata
raung wilayah yang yang tidak
tertata dengan baik bahkan
cenderung semrawut akan
menyebabkan tidak seimbangnya
penggunaan lahan untuk masing –
masing kegiatan ekonomi wilayah
yang selanjutnya akan cenderung
mengakibatkan terjadinya
ketidakefisienan penggunaan lahan
perkotaan, kemacetan lalu lintas,
serta banyaknya daerah kumuh dan
kurangnya keindahan kota. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pola
konversi lahan pertanian, pola spasial
konversi lahan pertanian, serta
keterkaitan pola konversi lahan
pertanian dengan rencana tata ruang
wilayah di Kabupaten Kudus.
METODE PENELITIAN
Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis. Penelitian
dilakukan di Kabupaten Kudus.
Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive).
Pemilihan lokasi penelitian
berdasarkan pada pertimbangan
Kabupaten Kudus merupakan salah
satu wilayah di Jawa Tengah yang
mengalami perkembangan ekonomi
yang sangat pesat dibandingkan
daerah lain, sehingga kondisi ini
akan membuat banyak lahan
pertanian dikonversi menjadi non
pertanian. Perkembangan
perekonomian di Provinsi Jawa
Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2000 dan Tahun 2010
Kabupaten/ Kota PDRB Tahun 2000 (Juta/Tahun)
PDRB Tahun 2010
(Juta/Tahun)
Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian
Cilacap 2.414.081,71 4.096.308,76 5.766.720 86.470.210,00
Banyumas 790.758,09 1.835.560,46 2.259.019 8.076.919,68
Purbalingga 565.883,57 899.176,52 1.803.788 3.966.347,27
Banjarnegara 880.471,49 766.189,60 2.564.624 4.136.847,75
Kebumen 979.481,23 1.169.380,70 2.277.770 4.343.320,00
Purworejo 755.631,52 1.110.983,20 2.091.277 4.375.614,60
Wonosobo 700.815,45 603.274,75 1.863.380 2.063.901,15
Magelang 1.015.700,31 1.696.833,98 2.374.671 5.647.651,98
Boyolali 1.075.716,61 1.448.307,88 3.011.969 5.089.715,29
Lanjutan Tabel 1.
Kabupaten/ Kota PDRB Tahun 2000 (Juta/Tahun)
PDRB Tahun 2010
(Juta/Tahun)
Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian
Klaten 762.541,01 2.186.274,38 2.062.576 9.209.829,35
Sukoharjo 705.123,58 1.809.776,31 1.931.943 7.979.566,44
Wonogiri 1.207.208,94 855.961,13 3.263.455 3.181.130,47
Karanganyar 547.679,21 1.994.103,88 2.167.315 7.056.909,74
Sragen 758.689,00 1.896.007,00 2.407.195 4.339.654,22
Grobogan 803.177,44 901.837,78 2.845.126 3.654.467,90
Blora 753.830,71 731.266,32 2.258.688 2.213.627,00
Rembang 716.962,73 651.323,08 2.261.476 2.708.302,00
Pati 1.196.868,02 1.293.103,71 3.394.613 5.990.888,63
Kudus 323.500,82 7.658.727,39 866.993 30.576.814,27
Jepara 650.767,95 2.092.998,33 1.903.741 7.214.746,11
Demak 883.974,02 989.290,83 2.661.663 3.271.132,35
Semarang 604.750,15 2.165.618,89 1.657.509 9.414.101,00
Temanggung 627.932,03 1.012.437,63 1.678.615 3.182.162,07
Kendal 1.098.161,92 2.680.358,35 2.816.798 7.959.852,76
Batang 527.135,83 1.205.932,68 1.546.888 3.721.685,04
Pekalongan 468.540,53 1.943.905,15 1.497.434 5.729.283,19
Pemalang 878.842,46 1.433.030,48 2.141.580 5.920.712,75
Tegal 521.534,26 1.522.220,41 1.120.896 6.815.132,77
Brebes 1.631.034,20 1.417.527,19 7.722.700 6.907.229,22
Magelang 30.456,00 845.567,00 66.127 2.039.101,00
Kota Surakarta 55.186,75 2.909.942,16 5.533 9.935.603,77
Kota Salatiga 31.193,94 543.594,74 97.208 1.752.067,91
Kota Semarang 172.834,90 12.713.726,86 507.479 42.890.711,76
Kota Pekalongan 177.334,62 1.068.406,93 261.201 3.542.808,53
Kota Tegal 113.564,46 685.356,62 223.963 2.411.280,70
Sumber : Daerah Dalam Angka, 2000 dan 2011
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang
digunakan untuk menganalisis pola
konversi lahan pertanian digunakan
rumus di bawah ini:
Pij =
Dimana Pij adalah persentase
lahan pertanian yang dikonversi ke
penggunaan jenis ke- i selama tahun
2004 – 2010; Aij adalah luas lahan
pertanian yang dikonversikan ke
penggunaan jenis ke- i selama tahun
2004 – 2010 atau Jenis lahan pertanian
ke-i yang dikonversikan selama tahun
2004 – 2010; dan Bj adalah Total luas
lahan pertanian yang dikonversi selama
tahun 2004 – 2010
Untuk mengidentifikasi lokasi
spasial konversi lahan pertanian di
Kabupaten Kudus digunakan data
Sistem Informasi Geografis (SIG).
Konversi lahan yang terjadi di
Kabupaten Kudus akan dianalisis
lokasi – lokasi yang telah mengalami
konversi lahan pertanian dengan
menggunakan peta Rupa Bumi
Kabupaten Kudus tahun 2000 dan peta
penggunaan lahan hasil citra landsat
tahun 2009. Melalui peta penggunaan
lahan ini, peta akan dibuat overlay,
sehingga diperoleh perbedaan
penggunaan lahan sebagai indikator
perubahan penggunaan lahan dari tahun
2000 sampai tahun 2009.
Metode analisis data yang
digunakan untuk analisis keterkaitan
atau kesesuaian pola konversi lahan
pertanian dengan rencana tata ruang
wilayah di Kabupaten Kudus
digunakan rumus di bawah ini:
r xy = n –
n – n –
Dimana x adalah Persentase
jenis lahan pertanian ke- i yang
dikonversi di kecamatan ke-j selama
tahun 2004 – 2010 dan lahan pertanian
yang dikonversikan ke penggunaan
jenis ke- i di kecamatan ke-j selama
tahun 2004 – 2010 dan y adalah
Persentase lahan pertanian ke- i yang
tercantum dalam Perda RTRW No.8
Tahun 2003 Kabupaten Kudus di
Kecamatan ke-j selama tahun 2004 –
2010 dan lahan pertanian ke-i yang
tercantum dalam Perda RTRW No.8
Tahun 2003 Kabupaten Kudus di
Kecamatan ke-j selama tahun 2004 –
2010
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pola Konversi Lahan Pertanian
Pola konversi lahan pertanian
berdasarkan tujuan penggunaan
berdasarkan hasil analisis data pada
Tabel 2. menunjukkan bahwa tujuan
penggunaan sebagian besar digunakan
untuk memenuhi kebutuhan
pemukiman dan industri. Lebih dari
separuh penggunaannya diperuntukan
untuk pemukiman. Kebutuhan lahan
untuk pembangunan pemukiman wajar
terjadi di semua wilayah karena pada
dasarnya jumlah penduduk selalu
meningkat sedangkan jumlah lahan
tidak berubah. Namun untuk
pembangunan industri hanya dapat
terjadi di wilayah tertentu termasuk di
Kabupaten Kudus.
Hal ini merupakan efek dari laju
pertumbuhan penduduk yang terus
menerus meningkat sehingga
kebutuhan primer akan tempat tinggal
harus terpenuhi. Selain laju
pertumbuhan penduduk yang
meningkat, diduga kebutuhan
pemukiman terus bertambah
disebabkan karena kedatangan kaum
pendatang dari luar Kabupaten Kudus.
Kabupaten Kudus merupakan salah
satu Kabupaten yang mempunyai daya
tarik jika dibandingkan dengan daerah
lain disekitarnya. Daya tarik tersebut
adalah banyaknya jumlah industri yang
berkembang di Kabupaten Kudus yang
secara otomatis akan membuka banyak
lapangan pekerjaan. Para pendatang ini
tentu juga membutuhkan tempat
tinggal. Implikasinya adalah banyaknya
pemukiman yang dibangun di atas
lahan – lahan pertanian, karena
pertumbuhan penduduk meningkat
namun tidak diikuti meningkatnya luas
lahan. Dampak yang ditimbulkan
selanjutnya adalah para investor akan
tertarik ikut menanamkan modal
mereka untuk membangun industri –
industri yang sejenis. Sektor pertanian
yang kurang mampu memberikan
banyak kontribusi pendapatan bagi
masyarakat Kabupaten Kudus jika
dibandingkan dengan sektor industri
akan dipilih untuk dikorbankan dengan
cara mengkonversikan lahan pertanian.
Tabel 2. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Tujuan Penggunaan di
Kabupaten Kudus Tahun 2004 – 2010 Penggunaan Setelah Konversi Konversi Lahan Pertanian (Ha) (%)
Pemukiman 180,57 54,27
Industri 135,92 40,85
Lainnya 16,23 4,88
332,72 100, 00
Sumber : Analisis Data Sekunder, 2013
Tabel 3. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Jenis Lahan Pertanian yang
Dikonversi di Kabupaten Kudus Tahun 2004 – 2010 Jenis Lahan Pertanian Konversi Lahan Pertanian (Ha) (%)
Sawah irigasi 275,73 82,87
Sawah tadah hujan 29,54 8,88
Tegalan/ ladang 27,45 8,25
332,72 100,00
Sumber : Analisis Data Sekunder, 2013
Jika dianalisis lebih lanjut, pola
konversi lahan pertanian berdasarkan
jenis lahan pertanian yang dikonversi
dilihat pada Tabel 3. lahan pertanian
yang dikonversi paling banyak adalah
jenis sawah irigasi. Lokasi sawah
irigasi yang dikonversi diantaranya
berada pada Kecamatan Bae, Jati,
Mejobo, Jekulo, dan Kaliwungu.
Sawah irigasi ini terletak di lokasi
strategis atau dekat dengan pusat
pertumbuhan ekonomi sehingga dalam
perkembangannya sawah irigasi ini
tidak terelakkan untuk dikonversikan.
Sejalan dengan pernyataan Sjafrizal
(2012) bahwa lokasi yang dekat dengan
perkotaan atau pusat pertumbuhan
ekonomi akan mempunyai sewa tanah
(land rent) yang tinggi dan cenderung
semakin menurun jika jauh dari pusat
kota. Lokasi yang strategis membuat
harga lahan mahal sehingga petani
tidak berpikir ulang mengenai ada atau
tidaknya irigasi sawah untuk menjual
lahan sawah mereka karena petani
hanya mempertimbangkan aspek harga.
Sawah tadah hujan dan tegalan di
Kabupaten Kudus banyak ditanami
petani dengan tanaman tebu. Saat
pendapatan yang diperoleh dari
produksi tanaman tebu tidak
memberikan pendapatan yang lebih
besar jika dibandingkan harga lahan
yang ditawarkan, maka petani akan
lebih memilih menjual sawah maupun
tegal mereka.
Sesuai dengan hasil analisis pada
Tabel 4 pola konversi lahan pertanian
berdasarkan alasan konversi
menunjukkan bahwa petani
mempunyai lebih dari satu alasan untuk
mengkonversikan lahan pertanian
mereka. Penyebab beberapa petani
berspekulasi atas harga lahan adalah
nilai lahan yang akan terus menerus
naik. Sjafrizal (2012) menyatakan
bahwa fluktuasi sewa tanah maupun
harga tanah sejalan dengan hokum
permintaan dan penawaran yang
berlaku secara umum dalam pasar
barang dan jasa. Penawaran lahan
adalah bersifat tetap (fixed) karena
lahan tidak dapat diproduksi,
sedangkan permintaan terhadap lahan
mempunyai kecenderungan terus naik.
Tabel 4. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Alasan Konversi di
Kabupaten Kudus Tahun 2012 Alasan Konversi Jumlah Persentase (%)
Modal Usaha 14 46,67
Membangun atau Renovasi Rumah 14 46,67
Biaya Pendidikan 6 20,00
Biaya Naik Haji 5 16,67
Ketidakpastian Usahatani 4 13,33
Spekulasi Harga Lahan 7 23,33
Sumber: Analisis Data Primer, 2013
Pola Spasial Konversi Lahan
Pertanian
Konversi lahan pertanian yang
terjadi di Kabupaten Kudus merupakan
salah satu dampak dari berkembangnya
wilayah Kabupaten Kudus menjadi
kota industri. Terdapat Sembilan
kecamatan di Kabupaten Kudus,
konversi lahan pertanian terjadi hampir
di seluruh wilayah di Kabupaten Kudus
walaupun luas lahan yang dikonversi
tidak sama untuk tiap kecamatan.
Berdasarkan peta perubahan lahan,
wilayah di Kabuapten Kudus yang
mengalami konversi lahan pertanian
dengan luas lahan yang besar
diantaranya adalah Kecamatan Bae,
Kecamtan Jati, dan Kecamatan
Kaliwungu. Kecamatan Bae merupakan
wilayah yang paling banyak mengalami
konversi lahan pertanian yaitu seluas
203 Ha. Wilayah yang paling sedikit
mengalami konversi lahan pertanian
adalah Kecamatan Undaan dengan
konversi seluas 17,1 Ha. Beberapa
contoh peta perubahan penggunaan
lahan pertanian ke non pertanian dapat
dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, dan
Gambar 3.
Gambar 1. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di
Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Tahun 2000 – 2009
Gambar 2. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di
Kecamatan Jati Kabupaten Kudus Tahun 2000 – 2009
Gambar 3. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus Tahun 2000 – 2009
Jika digabungkan dalam satu peta
wilayah berdasarkan teori lokasi Von
Thunen, wilayah Kabupaten Kudus
dapat dibuat ilustrasinya pada gambar
4. Sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Von Thunen bahwa
suatu wilayah terdiri dari satu pusat
kota sebagai pasar yang dikelilingi oleh
beberapa cincin (ring). Cincin yang
pertama adalah pusat industri, cincin
yang selanjutnya adalah pertanian
intensif, kemudian hutan, dan pertanian
ekstensif. Kecamatan Bae sebagai
daerah yang dekat dengan pusat kota
mengalami pergeseran penggunaan
lahan pertanian menjadi lahan untuk
industri dan pemukiman. Demikian
juga wilayah lain yang berada disekitar
Kecamatan Kota Kudus yaitu
Kecamatan Jati, Kecamatan Kaliwungu
dan Kecamatan Mejobo mengalami hal
yang serupa yaitu konversi lahan
pertanian menjadi bentuk industri dan
pemukiman.
Gambar 4. Ilustrasi Teori Lokasi Von Thunen di Kabupaten Kudus
Kecamatan Undaan dan
Kecamatan Dawe merupakan
wilayah yang jauh dari pusat kota
serta wilayah yang tidak terlalu
banyak terjadi konversi lahan
pertanian, karena wilayah ini tidak
mempunyai nilai sewa lahan atau
harga lahan setinggi wilayah dekat
pusat kota. Sjafrizal (2012)
menjelaskan dalam rangka
memaksimalkan keuntungan,
perusahaan akan cenderung memilih
lokasi dimana land-rent lebih rendah
dibandingkan bid-rent yang dapat
menghasilkan. Logika ini terutama
akan terjadi pada perusahaan atau
kegiatan pertanian yang memerlukan
tanah relatif banyak dibandingkan
perusahaan industri atau
perdagangan yang memerlukan tanah
lebih sedikit.
Karakteristik yang khas di
wilayah dekat pusat kota adalah
konversi lahan pertanian yang
berubah menjadi pemukiman berupa
perumahan yang dibangun oleh para
developer. Perumahan ini dapat
ditemukan di Kecamatan Bae,
Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan
Kaliwungu, Kecamatan Jati dan
Kecamatan Mejobo. Perumahan ini
merupakan wujud dari
berkembangnya perekonomian akibat
dari adanya industri yang mampu
menarik tenaga kerja pendatang dari
wilayah lain yang membutuhkan
tempat tinggal. Sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Irawan (2005)
bahwa konversi lahan yang yang
Keterangan :
1 : Pusat kota
2 : Industri
3 : Pemukiman
4 : Pertanian
ditujukan untuk pembangunan
kompleks perumahan di kawasan
pantura umumnya mendekati daerah
– daerah pusat pertumbuhan
ekonomi. Hal ini menunjukkan
bahwa konversi lahan tersebut
dirangsang oleh berkembangnya
kegiatan ekonomi di suatu daerah.
Jika dibandingkan antara
pemukiman dan industri, kebutuhan
akan pemukiman menyebabkan
banyaknya lahan pertanian yang
dikonversi sebesar 622,6 Ha.
Kebutuhan akan pemukiman
merupakan konsekuensi dari
pertumbuhan penduduk yang pesat.
Namun jika dilihat per kecamatan di
Kabupaten Kudus, Kecamatan
Undaan dan Kecamatan Dawe
merupakan wilayah yang mengalami
perkembangan pemukiman paling
lambat. Hal ini dikarenakan corak
kehidupan masyarakatnya masih
agaris.
Pembangunan industri di
Kabupaten Kudus ternyata tidak
terletak atau terpusat di wilayah
tertentu. Berdasarkan peta
penggunaan lahan, beberapa industri
tersebar di beberapa wilayah yaitu di
Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan
Bae, Kecamatan Jati, Kecamatan
Mejobo, Kecamatan Kaliwungu, dan
Kecamatan Jekulo. Berdasarkan peta
penggunaan lahan terlihat bahwa
pembangunan industri terletak
berdekatan dengan pemukiman
penduduk. Hal ini tentu saja sangat
disayangkan mengingat pernayataan
dari Sumaryanto (1994) bahwa
kompleks pemukiman hendaknya
tidak berdampingan dengan
kompleks industri untuk
menghindarkan penduduk dari polusi
pabrik. Konversi lahan pertanian
yang terjadi di Kabupaten Kudus
mempunyai kecenderungan
membentuk pola menyebar. Hal ini
berdampak pada tata ruang yang
semrawut, karena rencana tata ruang
yang telah disusun tidak mampu
diimplementasikan dengan baik
bahkan banyak yang dilanggar.
Kondisi ini selanjutnya akan
menyebabkan ketidakseimbangan
penggunaan lahan masing – masing
wilayah.
Keterkaitan Pola Konversi Lahan
Pertanian dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah
Data yang dianalisis
menggunakan analisis korelasi
multivariate dengan menggunakan
program SPSS didapatkan hasil pada
Tabel 7 dan Tabel 8. Berdasarkan
hasil analisis data pada Tabel 7 dan
Tabel 8 untuk menguji keterkaitan
pola konversi lahan dengan RTRW
Kabupaten Kudus menunjukkan
bahwa tidak terdapat korelasi antara
pola konversi lahan pertanian dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah.
Walaupun Kabupaten Kudus telah
menyusun RTRW sebagai Peraturan
Daerah, namun kenyataannya jika
melihat kondisi di lapang masih
bayak terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaannya. Sebagian besar
penggunaan lahan tidak sesuai
dengan arahan fungsi kawasan yang
tercantum dalam RTRW.
Penggunaan tanah yang tidak
sesuai dengan arahan fungsi kawasan
yang tercantum dalam RTRW
Kabupaten Kudus. contoh
Kecamatan Bae yang sebagian
wilayahnya diarahkan untuk kawasan
pertanian campuran, namun
realitanya penggunaan tanah pada
akhir tahun 2010 berubah sebesar
39,67 Ha untuk pemukiman dan
industri. Demikian juga dengan
Kecamatan Kaliwungu yang
wilayahnya sebagian ditetapkan
untuk kawasan pertanian campuran
dan pertaniann lahan basah telah
menjadi pemukiman, industri dan
kebun campur sebesar 37,97 Ha
hanya dalam kurun waktu 6 tahun.
Artinya antara konversi lahan
pertanian yang terjadi di Kabupaten
Kudus tidak berjalan beriringan
dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah di Kabupaten Kudus.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pengetahuan masyarakat mengenai
RTRW yang berlaku di Kabupaten
Kudus masih kurang, sehingga
pemahaman mengenai pentingnya
pengaturan tata ruang wilayah juga
kurang. Konversi lahan pertanian
yang dilakukan oleh masyarakat
khususnya petani di Kabupaten
Kudus tidak mempertimbangkan
aspek tata ruang wilayah yang
disusun oleh pemerintah daerah. Hal
yang menjadi pertimbangan dalam
mengkonversikan lahan pertanian
mereka adalah pertimbangan dari diri
pribadi dan pihak investor. Selain itu
dari sisi pemerintah yang
memberikan izin
Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi Pola Konversi Lahan Pertanian Periode 2004 –
2010 Berdasarkan Jenis Sawah yang Dikonversi dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah No. 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus Correlations
Korelasi Koefisien korelasi Sig Ket
RTRW – Sawah Irigasi -0,453 0,221 Ns
RTRW – Tadah hujan 0,198 0,610 Ns
RTRW – Tegalan -0,291 0,447 Ns
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder, 2013
Tabel 8. Hasil Analisis Korelasi Pola Konversi Lahan Pertanian Periode 2004 –
2010 Berdasarkan Tujuan Penggunaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
No. 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus Correlations
Korelasi Koefisien korelasi Sig Ket
RTRW – Pemukiman 0,590 0,095 Ns
RTRW – Industri 0,065 0,869 Ns
RTRW – Lainnya -0,119 0,761 Ns
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder, 2013
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan hasil penelitian adalah
sebagai berikut: pola konversi lahan
pertanian di Kabupaten Kudus
berdasarkan tujuan konversi adalah
digunakan untuk pemukiman, industri,
dan lahan tidur; berdasarkan jenis
lahan pertanian yang dikonversi adalah
lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan
dan tegalan/ ladang; berdasarkan alasan
konversi oleh petani adalah untuk
modal usaha, pembangunan atau
renovasi tempat tinggal, biaya
pendidikan, biaya naik haji, risiko
usahatani, dan spekulasi harga.
Konversi lahan pertanian terjadi di
seluruh wilayah di Kabupaten Kudus.
Wilayah yang paling banyak
melakukan konversi lahan pertanian
adalah Kecamatan Bae, sedangkan
wilayah yang paling sedikit melakukan
konversi adalah Kecamatan Undaan.
Wilayah yang dekat dengan pusat
pertumbuhan ekonomi cenderung
mengalami perubahan penggunaan
lahan menjadi pemukiman, perumahan
dan industri, sebaliknya wilayah yang
jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi
hanya berubah menjadi pemukiman.
Pola konversi lahan pertanian di
Kabupaten Kudus tidak berkaitan atau
berhubungan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Kudus.
Saran
Saran yang dapat diberikan
adalah melindungi lahan sawah
beririgasi dari konversi lahan dengan
cara lebih selektif dalam memberikan
ijin lokasi dan ijin mendirikan
bangunan; menetapkan sebuah
kawasan untuk industri yang benar –
benar jauh dari pemukiman penduduk
agar limbah dari pabrik tidak
mencemari masyarakat; menyamakan
persepsi untuk seluruh instasi
pemerintahan (Bappeda, BPN,
Departemen Pertanian, dan Dinas
BPESDM) yang ada di kabupaten
dalam penentuan kriteria konversi
lahan sebagai dasar penyusunan
kebijakan sehingga kebijakan yang
dibuat akan sesuai jika diterapkan di
lapangan; dalam penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah tidak hanya
melibatkan para pegawai daerah namun
juga ikut melibatkan tokoh masyarakat
masing – masing kecamatan maupun
desa sehingga dalam penyusunan
RTRW memang sesuai dengan realita.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus
melalui tokoh masyarakat setempat
hendaknya mengkomunikasikan
Peraturan Daerah RTRW kepada
masyarakat agar masyarakat
mempunyai pengetahuan dan
pemahaman bahwa pengaturan
penatagunaan tanah merupakan salah
satu hal penting untuk jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2011. Konversi Lahan
Pertanian. www.bappenas.go.id.
Diakses 15 Januari 2013
Deptan. 2005. Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan kehutanan.
www.litbang.deptan.go.id.
Diakses 15 Januari 2013
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan
Sawah : Potensi, Dampak, Pola
Pemanfaatan, dan Faktor
Determinan. Jurnal Forum
Penelitian Agro Ekonomi, 23 (1)
: 1 – 18.
Isa, I. 2006 . Strategi Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Badan Pertanahan Nasional.
Jakarta.
Kasiran. 1999. Konversi Lahan Sawah
di Jawa. Jurnal Air, Lahan,
Lingkungan, dan Mitigasi
Bencana, 4 (1) : 62 – 66.
Kuncoro, M. 2012. Perencanaan
Daerah, Bagaimana Membangun
Ekonomi Lokal, Kota dan
Kawasan?. Salemba Empat.
Jakarta.
Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan
Perkotaan. PT Raja Grafindo
Persada. Depok.