ketikan kolangitis

8
Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholitiasis tidak jarang memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif minimal seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan cholesistectomy dapat dilakuka setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik. Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu, maka selanjutnya dapat dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus dilakukan cholesistectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru dilakukan ERCP untuk mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah waktu operasi yang relatif singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian yang terlalu tinggi namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi. Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yag terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi dan anestesiologi. VII. Kasus Kolangitis di Bandung : Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus kolangitis, penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam periode tahun 1983-1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan pengelolaannya oleh penulis di Rumah Sakit besar seperti di RS Hasan Sadikin, RS St Boromeus, RS Advent dan RS Kebonjati. Dari sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut: Tabel 7. Ringkasan kasus-kasus kolangitris di Bandung

Upload: ali-sibra-mulluzi

Post on 15-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

aa

TRANSCRIPT

Page 1: Ketikan Kolangitis

Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholitiasis tidak jarang memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif minimal seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan cholesistectomy dapat dilakuka setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik. Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu, maka selanjutnya dapat dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus dilakukan cholesistectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru dilakukan ERCP untuk mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah waktu operasi yang relatif singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian yang terlalu tinggi namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi.

Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yag terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi dan anestesiologi.

VII. Kasus Kolangitis di Bandung :

Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus kolangitis, penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam periode tahun 1983-1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan pengelolaannya oleh penulis di Rumah Sakit besar seperti di RS Hasan Sadikin, RS St Boromeus, RS Advent dan RS Kebonjati. Dari sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut:

Tabel 7. Ringkasan kasus-kasus kolangitris di Bandung

Jumlah kasus operasi saluran empedu 1574Jumlah kasus kolangitis 308 (96,56%)

Jumlah penderita :Laki—lakiPerempuan

162 orang146 orang

Rata-rata umur (tahun) 50,09Morbiditas : komplikasi pembedahan 5 kasus (1,62%)

Mortalitas 3 kasus (0,97%)

Tabel 8. Jenis kausa kolangitis yang ditemukan pada 308 kasus :

Etiologi Jumlah kasus PersentaseCholecystitits + Cholelitiasis 103 33,44%

Choledocolithiasis + Cholecystitits + Cholelitiasis

171 55,51%

Hepatolithiasis 9 2,92%Sclerosis cholangitis 3 0,97%

Page 2: Ketikan Kolangitis

Cacing 3 0,97%Striktur 4 1,29%

Kista Choledocus 4 1,29%Tumor pankreas 2 0,64%

Ca Empedu 5 1,62%Post ERCP 3 0,97%

Batu pankreas 1 0,32%Total 308

Penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus tersebut adalah sesuai dengan protokol yang telah diuraikan pada makalah ini yaitu tidak dilakukannya tindakan bedah emergency, namun terlebih dahulu diberikan terapi konservatif untuk memperbaiki keadaan umum dan kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis kausanya. Setelah persiapan operasi yang cukup yaitu keadaan pasien yang membaik dan diagnosis yan benar telah ditegakkan, maka dilakukan pembedahan definitif secara elektif. Dengan pola pengelolaan seperti tersebut di atas, maka tingkat mortalitasnya sangat rendah yaitu 0,97%.

Page 3: Ketikan Kolangitis

PENYAKIT PERADANGAN SALURAN EMPEDU

Kolangitis Akuta

Kolangitis akuta menunjukkan infeksi bakteri invasif dari batang saluran empedu dengan gejala sisa sistemik seperti bakteremia atau septikimia. Secara klasik kedua bentuk telah diuraikan, yang hanya berbeda dalam derajat keparahan. Kolangitis akuta yang dulu dinamai kolangitis nonsupurativa biasanya disertai dengan obstruksi saluran empedu sebagian, dimana gejala saluran empedu dominan dalam simtomatologi. Terapi dengan antibiotika parenteral biasanya menyembuhkan koalngitis ini. Sebaliknya kolangitis yang dulu disebut kolangitis supurativa merupakan penyakit yang mengancam nyawa yang sering disertai dengan nanah dalam batang saluran empedu yang tersumbat total. Terapi memerlukan dekompresi saluran empedu.

Patogenesis

Untuk timbulnya kolangitis harus ada dua faktor : 1. Tekanan intraduktus dalam batang saluran empedu harus meningkat dan 2. Empedu harus terinfeksi. Obstruksi berhubungan dengan koledokolithiasis atau striktura saluran empedu setelah pembedahan saluran empedu. Striktura ganas batang saluran empedu (karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma) tidak biasa ditemukan meneyebabkan kolangitis. Stasis empedu seperti yang timbul pada anomali saluran empedu kongenital bisa juga berhubungan dengan kolangitis. Tak jarang kolangitis sepintas timbul selama atau tepat setelah opasifikasi radiografi pipa T, retrograd endoskopi atau transhepatik perkutis. Disamping peningkatan tekanan intraduktus, empedu harus terinfeksi. Kolangitis akuta tidak akan timbul dengan empedu terinfeksi tanpa peningkatan tekanan intraduktus atau dengan obstruksi tanpa empedu terinfeksi. Pasien bisa mempunyai empedu dengan kolonbisasi bakteri menahun, tetapi tanpa obstruksi, pasien tetap asimtomatik. Sebagai contoh, setelah pintas saluran empedu-usus atau sfingteroplasti semua pasien menderita menderita refluks bebas isi usus ke dalam batang saluran empedu, sehingga menderita bekterobilia, tetapi tanpa obstruksi dan striktura anastomosis, kolangitis tidak timbul. Tetapi dengan obstruksi saluran empedu relaif, tekanan dalam batang saluran empedu meningkat di atas nilai fisiologi 6 sampai 12 cmH2O serta bisa mencapai 30 cmH2o yang menyamai tekanan sekresi hati maksimum. Dengan adanya bakterobilia, tekanan saluran empedu yang meningkat memungkinkan refluks bakteri ke dalam saluran limfe dan darah. Dengan adanya obstruksi total, empedu terinfeksi bisa berlanjut ke supurasi hebat dan menyebabkan kolangitis toksis. Abses hati timbul pada sekitar 15% pasien kolangitis toksik.

Penyajian Klinik

Gejala klasik kolangitis akuta (trias Charcot) mencakup demam dan kedinginan, ikterus dan nyeri abdoemn kuadran kanan atas atau kolik bilier. Walaupun ketiga komponen trias ini biasanya ada pada suatu waktu selama perjalanan kolangitis akuta, namun hanya 50% pasien akan mempunyai ketiganya selama perawatan di rumah sakit. Pada kolangitis toksik, gejala sisa sistemik septikemia yang mengancam nyawa seperti obtundasi mental, syok septik dan hipotermia dapat mengalihkan seluruh gejala empedu, biasanya pemeriksaan fisik

Page 4: Ketikan Kolangitis

menunjukan demam dan nyeri tekan kuadran kanan atas. Nyeri tekan ringan bahkan bisa tidak ada. Adanya nyeri tekan kuadran kanan atas yang jelas, nyeri tekan dan tanda peritoneum seharusnya menyadarkan dokter bagi kemungkinan proses intra abdomen lain seperti kolesistitis akuta, pankreatitis atau ulkus duodeni perforata. Evaluasi laboratorium menunjukan leukositosis, hiperbilirubinemia dan peningkatan kadar alkali fosfatase. Kadar enzim hati juga meningkat. Amilase serum akan meningkat yang menekankan koledokolitiasis sebagai patologi dasar yang terlazim.

Diagnosis

Sering diagnosis memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi. Kolangitis akuta harus selalu dipertimbangkan pada pasien demam dan ikterus, bahkan tanpa gambaran lain. Dalam keadaan klinik ini, adanya bakteremia cukup menbggambarkan kolangitis. Radiograf abdomen penyaring untuk mendeteksi udara dalam batang saluran empedu harus dibuat. Bukti opbyektif patologi saluran empedu bisa didapat dengan USG atau CT scan. Tetapi tes noninvasif ini bisa nondiagnostik dan diagnosis klinik harus mencakup tindakan diagnosa invasif untuk memviasualisasi batang saluran empedu harus ditunda bila mungkin sampai kolangitis menyembuh.

Terapi

Kolangitis akuta di masa lampau dianggap kedaruratan bedah, tetapi dengan terapi antibiotik kebanyakan kasusnya dapat dikendalikan sehingga dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik setelah gejala mereda. Dan tindakan bedah dapat terencana. Bateriologi kolangitis akut berasal dari usus. Anaerob 20 persen dan lebih dari 50 persen biakan empedu menghasilkan lebih dari satu organisme E coli dan Klebsiella merupakan bakteri gram negatif dominan. Enterokokus gram positif merupakan organisme terlazim yang didapat dari biakan. Organisme anaerob dominban adalah Bacteroides fragilis dan spesies klostridium. Pemilihan antibiotika yang tepat untuk kolangitis akuta mencakup aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga, ampisilin dan klindamisin atau metronidazol. Pada kasus ringan dapat diberikan sefalosporin generasi kedua.

Pasien dengan gambaran klinik kolangitis toksik dan gagal cepat mebaik dengan emberian antibiotika intravena memerlukan dekompresi gawat darurat saluran empedu dengan operasi memasang pipa T. Manipulasi peralatan apapun di dalam koledokus dilakukan seminimum mungkin karena khawatir terjadi bakteremia lebih lanjut dan resiko abses hati.

Dengan pengembangan intubasi saluran empedu perkutis, transhepatik dan drainase empedu eksterna, maka intervensi bedah gawat darurat dapat dihindari. Batang saluran empedu diintubasu dan didekompresi dan diterapi agresif dengan antibiotika parenteral dosis tinggi. Sehingga koreksi bedah definitif dapat ditunda sampai pasien telah membaik dari sepsis yang mengancam jiwa. Jarang dilakukan sfingterotomi endoskopi gawat darurat, dan pembuangan dengan endoskopi digunakan untuk memastikan dekompresi saluran empedu dan untuk mencegah pembedahan gawat darurat. Pada pasien abses hati terisolasi dan kolangitis, drainase perkutis dapat dilakukan dengan panduan USG atau CT scan.

Page 5: Ketikan Kolangitis

Kolangitis Sklerotikan

Kolangitis sklerotikans merupakan kelainan idiopatik menahun yang ditandai oleh fibrosis peradangan obliteratif progresif dan striktur dari batang saluran empedu intra dan ekstrahepatik. Insidensi pria 70 persen usia sebelum 40 tahun. Ada hubungan penyakit peradangan usus (50 persen) terutama kolitis supurativa, pankreatitik kronika (15 persen) dan jarang tiroiditis Riedel, fibrosis retroperitoneum dan skleroderma.

Patologi

Fibrosis saluran empedu obliteratif melibatkan infiltrat peradangan menahun pada dinding saluran empedu intra dan ekstrahepatik yang menyebabkan penebalan dinding progresif dengan obliterasi lumen. Daerah peneblan duktus hepatikus sering merupakan tempat paling parah. Limfadenopati reaktif periportal nonspesifik dapat ditemukan cukup menonjol. Biopsi hati bersifat nonspesifik di awal perjalan penyakit. Dengan berlalunya waktu, perubahan sirosis empedu sekunder muncul dengan gejala sisa potensial hipertensi portal, perdarahan varises dan gagal hati.

Etiologi

Kelainan ini bersifat idiopatik tanpa bukti herediter. Banyak etiologi telah diusulkan. Mungkin yang paling menarik adalah konsep bakteremia vena porta. Bukti percobaan teori ini menggabungkan ke penelitian dengan model hewan yang memperlihatkan gambaran histologi perikolangitis setelah bakteremia vena porta. Lebih lanjut, pasien kolitis ulseratif mempunyai insidensi tinggi sampai 25 persen bakteremia berulang. Infeksi bakteri berulang atas sistem empedu tampak