khulu

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks (libidoseksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia, maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat manusia yakni melalui perkawinan. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawaddah warahmah. Kamus besar Indonesia mengartikan kata “Nikah” sebagai : 1. Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). 2. Perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping secara majazi diartikannya dengan”hubungan seks”.

Upload: muhammad-ibrahim

Post on 14-Jun-2015

3.170 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

just read ok

TRANSCRIPT

Page 1: KHULU

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks

(libidoseksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji

pada diri manusia, maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai

dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan

derajat manusia yakni melalui perkawinan. Akan tetapi perkawinan bukanlah

semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain

untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan

dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah

didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentraman dan

kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawaddah warahmah.

Kamus besar Indonesia mengartikan kata “Nikah” sebagai :

1. Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan

resmi).

2. Perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut,

disamping secara majazi diartikannya dengan”hubungan seks”.

Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebayak 23 kali. Secara

bahasa, pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti ”berhimpun” Tujuan

perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pemenuhan kewajiban

suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadi transaksi (akad nikah).

Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak sebagai suami dalam

keluarga. Begitu pula seseorang perempuan yang menjadi istri memperoleh

hak sebagai istri dalam keluarga. Di samping keduanya mempunyai

kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain.1

1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1

Page 2: KHULU

Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya

membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara

timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan

hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami.2 Suami

istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya

untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram.

Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga

yang harmonis dan tentram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap

berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Al- Qur’an mengajurkan kerja

sama diantara mereka.

Di dalam nas al- Qur’an menyebutkan, bahwa seorang suami dan istri

itu agar bergaul dengan (secara) yang baik, dalam istilah makruf sebagaimana

ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al- Qur’an An-Nisa’ (4): 19.

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai

wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An-Nisa’ (4): 19)

Dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir, MA, bahwa yang

dikatakan menggauli istri yang ma’ruf adalah:

1. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta

meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama,akhlak, dan

ilmu pengetahuan yang diperlukan.

2. Melindungi dan menjaga nama baik istri

2Sugeng Harahab, Majalah Sunnah, Edisi 121, 2005. hal.45-56

Page 3: KHULU

3. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri.

Hajat biologis adalah pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib

memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup

perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan

yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam

perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan istri disebabkan

perasaan kecewa dalam hal ini.

Hukum positif Indonesia telah menentukan bahwa nafkah atau

pemenuhan hidup keluarga menjadi kewajiban suami. Undang-undang nomor

1 tahun 1974 menjelaskan bahwa suami berkewajiban memberi segala

keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian

ketentuan tersebut dipertegas oleh Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam

(Inpres Nomor 1 Tahun 1991) yang menyebutkan,”sesuai dengan

penghasilannya suami menanggung:

1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri dan anak.

2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengibatan bagi istri dan

anak.

3. Biaya pendidikan bagi anak”.

Sedangkan perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh antara

suami dan istri, karena dalam berumah tangga sudah tidak ada keharmonisan

lagi. Walaupun demikian sebelum mengambil keputusan antara suami istri

sebelumya harus memikirkan dampak yang akan terjadi dalam perceraian.

Apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan, perkara

tersebut dapatmenimbulkan persoalan hukum yang baru, karena ketidakpuasan

seksual segabagai alasan perceraian tidak diatur dalan ketentuan hukum

tersebut.

Demikian terkadang terjadi anomali-anomali dari apa yang ada (das

sain) dengan apa yang semestinya (das sollen) itu berlaku, akan tetapi dalam

realitasnya tidak sama.

Alasan perceraian yang demikian haruslah mendapat perhatian yang

cermat dari Pengadilan Agama, karena perkara tersebut pelik dan

Page 4: KHULU

membutuhkan pertimbangan hukum yang komprehensif. Penyusun memilih

judul tersebut karena adanya persolan yang harus di selesaikan persoalannya.

Sedangkan penyusun memilih tahun 2005 karena hannya pada tahun

ini di temukan putusan perkara ketidakpuasan seksual dan penyusun memilih

satu kasus karena hannya terdapat satu putusan.

B. Rumusan Masalah

Bagi orang yang hendak mengadakan suatu penelitian ilmiah, hal

pertama yang harus dilakukan bagaimana ia mampu mengumpulkan masalah

masalah yang berkaitan dengan suatu hal yang hendak diteliti, apa yang

menjadi permasalahan harus dirumuskan sejelas-jelasnya dan sebaik mungkin

serta disusun dalam bentuk pertanyaan. Merumuskan suatu permasalahan

bukanlah suatu persoalan yang mudah, karena tidak dapat dirumuskan dalam

waktu sekali jadi, melaikan melalui suatu proses yang dilakukan secara

intensif, misalnya dalam bentuk diskusi-diskusi ilmiah, seminar atau melalui

lokakarya (Dr. Suharsimi Arikuto 1993 : 40)

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam dan yang akan di

kaji dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian gugatan cerai menurut bahasa dan istilah?

2. Bagaimana hukumnya jika istri menggugat cerai suami?

3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara

perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian?

4. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap perkara ketidakpuasan

seksual sebagai alasan perceraian?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan merupakan factor yang sangat vital yang berfungsi

sebagai arah yang hendak dicapai oleh penulis itu sendiri. Pada umumnya kita

mengenal adanya rumusan-rumusan formal tentang tujuan penulisan dimana

Page 5: KHULU

tujuan yang lebih umum di jabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus namun

tetap mengarah pada pencapain tujuan yang lebih khusus namun tetap

mengarah pada pencapaian tujuan umum tersebut. (DR. Suharsimi Arikunto,

1993 : 63)

1. Tujuan

a. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan putusan perkara

ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian dengan melihat

pertimbangan hukum yang diberikan hakim di Pengadilan Agama.

b. Untuk mengetahui masalah tersebut dilihat dari hukum Islam.

2. Adapun kegunaan penulisan ini

a. Terapan

Makalah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran

bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama dalam

menyelesaikan perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual

sebagai alasan perceraian

b. Ilmiah

Makalah ini diharapkan mampu manambah pengembangan pemikiran

hukum Islam bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas terutama

terkait perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan

perceraian.

D. Metode Penulisan

1. Jenis Penulisan

Penulisan ini menggunakan library research (penelitian

kepustakaan) yaitu menggunakan data, dan informasi dari berbagai materi

yang di peroleh dari perpustakaan. Penekanan penulisan ini pada kajian

teori-teori, kazanah ilmu, konsep, paradikma, prinsip hokum, postulat dan

asumsi keilmuan yang relevan dengan masalah yang dibahas. (IKIP

Malang, 1992 : 29)

2. Pendekatan Penulisan

Page 6: KHULU

Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan referensi

(kepustakaan) yang menggunakan paradikma penelitian kualitatif.

Kemudian dipertegas oleh Koendjaraningrat bahwa: “penelitian kualitatif

adalah penelitian dalam bidang social dan kemanusiaan dengan aktifitas

berdasarkan disiplin ilmu untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan,

menganalisis dan menafsirkan fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan dan

rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dalam

usaha mencapai hal-hal tersebut.” (kendjaraningrat, 1991 : 44)

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan makalah ini

sebagaimana diungkap Sanapiah Faisol (1992:59) adalah data prime, yaitu

data dari pengamatan yang menyaksikan secara langsung peristiwa, seperti

teks ilmiah, majalah, surat kabar, bulletin dan telivisi. Data sekunder, yairu

pengamatan yang menyaksikan secara tidak langsung tetapi melaporkan

apa yang diuraikan dari peristiwa. Adapun sumber data yang digunakan

Dalam penulisan makalah ini adalah buku yang berkaitan dengan

pembahasan yang dimaksud dan beberapa karya lain, sebagai referensi

penunjang.

4. Teknik Penulisan

a. Teknik pemikiran deduktif

Teknik pemikiran deduktif adalah suatu analisa yang berangkat

dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada

pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai kejadian yang

khusus.

b. Teknik pemikiran induktif

Teknik pemikiran induktif adalah suatu analisa yang berangkat

dari fakta-fakta yang khusus kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa

khusus kongkrit itu generilisasi yang mempunyai sifat umum. (Hadi,

1993 : 42)

Library research : Penelitian pada buku-buku yang ada hubunganya

dengan penulisan makalah ini.

Page 7: KHULU

Deduktif : Mengumpulkan data-data yang bersifat umum,

kemudian menyimpulkan dari data tersebut.

E. Keterbatasan Penulisan

Dalam hal ini kami ingin mengungkapkan bahwa keterbatasan ysng

paling dominan terletak pada ruang lingkup kami yang berada di lingkungan

pesantren, dimana ruang gerak yang ada disibukkan dalam kegiatan

kepesantrenan. Tentunya dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan

dan kesalahan. Penyusunan semata selaku manusia biasa yang tak lepas dari

khilaf dan lupa. Karena keterbatasan penyusun dalam mengumpulkan

literatur-literatur, sehingga informasi yang diperoleh sangat jauh dari yang

diharapkan dan juga karena keterbatasan dana serta waktu dalam penyusunan

makalah. Akan tetapi kami tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tetap

mendapatkan informasi atau literatur-literatur yang berkaitan dengan

pembahasan makalah kami, baik buku-buku tentang metode-metode

pendidikan.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis mencantumkan sistematikan

penulisan guna mempermudah bagi si pembaca sebagaimana berikut :

1. Pada Bab I Pendahuluan berisi;

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Masalah

d. Keterbatasan Penulisan

e. Metode Penulisan

f. Sistematika penulisan

2. Pada Bab II Pembahasan berisi Tentang :

a. Kajian Dalil

1) Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’)

2) Syarat Sah Khulu’

Page 8: KHULU

3) Hukum Al-Khulu’

4) Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’

5) Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit

Isterinya

b. Fenomena

c. Analisa Masalah

3. Bab III Penutup

a. Kesimpulan

b. Saran-saran

4. Daftar Pustaka

Page 9: KHULU

BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN DALIL

1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’)

Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-

Khulu dengan didhommahkan hurup kha’-nya dan disukunkan huruf Lam-

nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian.

Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk

melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai

pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Artinya : “Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” [Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para Ulama mengatakan

dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian,

bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara

sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan

pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.3 Adapaun Syaikh Al-

Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah “Perceraian suami-isteri dengan

pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan

lafazh yang khusus”

1. Secara Bahasa; Melepaskan

2. Secara Istilah; Tuntutan cerai yang diajukan oleh istri dengan

mengembalikan mahar yang diberikan kepadanya .

2. Syarat Sah Khulu’

3 Kitab Fathul Bari

Page 10: KHULU

Jika persengketaan antara suami isteri kian parah dan tidak

mungkin lagi diambil langkah-langkah kompromistis supaya mereka

bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu untuk bercerai

dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan

suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti

dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai

dengannya, Allah SWT berfirman :

Artinya : ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Hadits nabi :Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276).

Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :a. Hendaknya masing-masing pasangan merasa rela .

b. Hendaknya istri merupakan objek yang sah untuk menjatuhkan thalaq

kepadanya .

c. Hendaknya khulu’ dijatuhkan oleh suami sah yang berhak

menjatuhkan thalaq dan dia adalah suami yang memenuhi syarat

Page 11: KHULU

kelayakan .

d. Hendaknya lafal yang diucapkan menggunakan kata khulu’/ sesuatu

yang memiliki pengertian yang sama, seperti lafal Pembebasan dan

Tebusan .

e. Hendaknya khulu’ terjadi dengan tebusan yang diberikan oleh pihak

istri .

3. Hukum Al-Khulu’

a. Makruh

b. Wajib

c. Haram

d. Sunah

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah

SWT.

Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’” [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Saw., dalam hadits Ibnu Abbas r.a. Artinya : “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan

Page 12: KHULU

akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah

tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah4, Ibnu Taimiyyah5, Al-

Hafizh Ibnu Hajar6, Asy-Syaukani7, dan Syaikh Abdullah Al-Basam8,

Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma

tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin

Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang

pensyariatannya.

4. Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’

Khulu’ diperbolehkan apabila pihak istri memintanya, ataupun

pihak suami sudah menjatuhkan thalaq,dan keduanya memandang bahwa

pernikahannya sudah tidak dapat lagi menjalankan Hukun Allah SWT

dalam QS.Al-Baqarah : 228 .

Jamhur ulama berpendapat bahwa Khulu’ termasuk thalaq ba’in .

Artinya; suami istri tidak boleh rujuk kecuali keduanya memutuskan untuk

menikah dengan orang lain lalu keduanya bercerai tanpa ada faktor

kesengajaan dan diadakan pernikahan ulang . Lafal Khulu’ dibagi menjadi 4 Majmu Fatawa, hal. 282.5 Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali

Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H

6 Fathul Bari, hal. 9/3157Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, hal. 6/260 8 Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, hal. 5/468

Page 13: KHULU

dua : secara sharih dan Secara kinayah. Tebusan Khulu’ besarnya tidak

ditentukan oleh pengadilan agama melainkan keputusan dari kedua belah

pihak baik suami ataupun istri.

Apabila seorang wanita mengkhulu’ suaminya maka ia wajib

mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh suaminya . Seorang

istri dapat menjatuhkan Khulu’ apabila suaminya tidak melaksanakan

kewajibannya sebagai suami . Apabila seorang suami meninggalkan

istrinya selama satu bulan atau lebih dan tidak meminta izin terlebih

dahulu kepada istriya maka istri boleh menjatuhkan Khulu’ kepada

suaminya .

Khulu’ seorang wanita bisu dapat dilaikukan dengan isyarat

ataupun dengan tulisan . Apabila seorang istri baru mengetahui bahwa

suaminya mempunyai penyakit kelamin atau sejenisnya maka istri dapat

menjatuhkan Khulu’ dan suami pun harus mengerti apa yang istri

inginkan.9

5. Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya

Manakala seorang suami tidak senang kepada isterinya dan benci

kepadanya karena suatu hal, maka hendaklah mentalaknya dengan cara

yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Ia tidak boleh

manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri. Allah

SWT berfirman :

9 Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t. h. 238

Page 14: KHULU

Artinya : ”Dan apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:231).

Dan, Allah SWT berfirman :

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu

mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19).

Dari Tsauban r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda :

Artinya : “Setiap wanita yang mau talak kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium seberbak surga.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah I:662 no:20555 dan Tirmidzi II:329 no:1199).

Darinya (Tsauban) r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda:

Artinya : “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329 no:1198).

Page 15: KHULU

B. FENOMENA

Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan

gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si

penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis

terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau

karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga

rumah tangga mereka terselamatkan.

Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah

dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip

dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub

dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya

bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu

bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih

sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda

bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan

dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-

rahmah.

Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga

yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan

haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam

Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya

(“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah

talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).

Sedangkan fenomena yang pernah aku lihat di lapangan ada sebuah

putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian No.

451/Pdt.G/2005/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman yang dilihat dalam

undang-undang tidak termasuk dalam alasan yang sah untuk melakukan

perceraian, maka bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengambil

putusan dan bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap ketidakpuasan

Page 16: KHULU

seksual sebagai alasan perceraian.10

Dalam penyusunan makalah ini, penggunaan metode yang penyusun

gunakan adalah metode-induktif. Maka pendekatan yang penyusun gunakan

adalah pendekatan normatif-yuridis dan pengkajian buku yang berkaitan erat

dengan masalah tersebut, pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji

apakah sesuai dengan norma dan kebutuhan masyarakat yang didasarkan

hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil dari

penelitin ini adalah bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara perceraian

yang alasannya tidak atau kurang jelas dalam peraturan hokum di Indonesia,

hakim dalam pertimbangan putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai

alasan perceraian mengembalikan perkara tersebut ke akibat dari

ketidakpuasan seksual dan dalam tinjauan hukum Islam pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan tersebut telah sesuai dalam aturan hukum Islam.

C. ANALISA MASALAH

Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya.

Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak

untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak

dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia

adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan

menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut; ”Dan yang menunjukkan khulu’

bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang

berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut

telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.11

1. Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.

2. Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak

halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan

10 Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/26011 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t h. 30

Page 17: KHULU

pernah bercampur dengannya.

3. Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari

iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits)

dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.

Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat

bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh.

Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh

melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga.12

Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab

itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu

boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang

baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah

kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat

melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada

dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus

dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali,

karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir

(kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di

atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi

mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau

meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah

SWT berfirman :

12 Ibid, hal. 40

Page 18: KHULU

Artinya : ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan

setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan

dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam

kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir

Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah

mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan.

Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-

hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah

yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para

shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).13

Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang

sangat diinginkan oleh Islam, maka dikatakan bahwa”Ikatan antara suami istri

adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. ”Selaras dengan tujuan

perkawinan yaitu membentuk keutuhan ketuhanan Yang Maha sa. Sehingga

setiap usaha yang menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya

dibenci oleh Islam karena kehancuran keluarga yang disebabkan oleh pecah

belah perkawinan akan dirasakan bukan saja oleh individu-individu dalam

keluarga itu melainkan akan tercemin keguncangan di dalam masyarakat.

Rasullulah SAW bersabda: Abghodu al-halal ila Allahi ta'ala at-thalaq

Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk

mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan dan ingin hidup bersama

sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa itu kandas di tengah jalan.

Kadang-kadang pasangan suami istri karena kesibukannya masing-masing

lupa menerapkan petunjuk Allah SWT. dan tergelincir kelembah pertengkaran

yang hebat diantara mereka. keadaan tersebut tidak dapat diselesaikan atau

didamaikan bahkan menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran

terus-menerus. Seperti ini maka Allah SWT menganjurkan, hendaklah 13 Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby, 1957, h. 23

Page 19: KHULU

ditunjuk seorang penengah. Allah SWT. Berfirman dalam surat an-Nisa

(4):35.

Terjemah :Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Berangkat dari suatu pemikiran bahwa perkawinan yang sah

menimbulkan akibat hukum, mempunyai implikasai bahwa suami istri

mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Di antara

kewajiban suami adalah memenuhi nafkah keluarga. Adapun nas al-Qur’an

yang berbicara tentang kewajiban suami memberi nafkah dalam keluarga.

Perundang-undangan Indinesia juga telah mengatur kewajiban pemenuhan

hidup keluarga atau nafkah. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 menyebutkan, ”Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuami dengan kemampuannya.”

kemudian dipertegas oleh ketentuan Kompilasi Hukum Islam, “sesuai dengan

penghasilannya suami menanggung:

1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri

2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan

anak

3. Biaya pendidikan anak Undng-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menerangkan, bahwa perkawinan dapat putus karena

kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

Kemudian dalam pasal yang lain disebutkan bahwa perceraian hannya

dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak,

dan untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami istri

itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri

Page 20: KHULU

Adapun alasan-alasan perceraian yang cukup alasan (sah) disebutkan

dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Penjelasan

pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: 1. Salah satu pihak

berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya

yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama

2 Tahun (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang

sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat

hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukumyang lebih berat setelah

perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mengalami kekejaman atau

penganiayaan yang sangat berat yang membahayakan pihak yang lain. 5.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau istri. 6. Antar suami dan

istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Adapun alasan perceraian yang cukup alasan (sah) dalam Kompilasi

Hukum Islam diatur dalam Pasal 116 yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina

atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena

hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara

5 (lima) tahun atau hokum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak mengalami kekejaman atau penganiayaan yang sangat

berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat

cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan

kewajibannya sebagai suami atau istri. 6. Antar suami dan istri terus-menerus

terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun

lagi dalam rumah tangga. 7. karena melanggar takliq- talaq 8. Peralihan agama

atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah

tangga. Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia,

terlihat bahwa ketidakpuasan seksual tidak termasuk alasan perceraian dalam

ketentuan hukum. Untuk itu, bangunan pemikiran penyusunan Makalah ini

Page 21: KHULU

adalah menggunakan teori pemenuan hukum (rechtsvinding) dan metode

tematik Jika ditarik ke pokok masalah makalah, maka teori penemuan hokum

digunakan untuk mencari jawaban atas sikap yang diberikan hakim terhadap

permasalahan yang tidak diatur dalam ketentuan hukum. Metode tematik

digunakan untuk melakukan pemahaman terhadap nas yang menekankan pada

pembahasan berdasarkan tema yaitu ketidakpuasan seksual sebagai alas an

perceraian. Teori dan metode tersebut dapat digunakan untuk melakukan

pemahaman secara menyatu dan terpadu terhadap ketentuan-ketentuan

normatif dan yuridis yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama

Sleman terhadap putusan perkara No.451/Pdtr.G/2005/PA.Smn Selanjutnya,

dalam memeriksa dan mengadili perkara maka hakim wajib untuk melakukan

3 (tiga) tindakan secara bertahap yaitu: 1. Mengkonstatiring, artinya mengecek

kebenaran fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak. Fakta ialah keadaan

atau peristiwa yang pernah terjadi atau perbuatan yang dilakukan dalam

dimensi ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dinyatakan terbukti apabila telah

diketahui kapan, di mana dan bagaimana terjadinya berdasarkan alat-alat bukti

yang sah menurut cara-cara dalam hukum permbuktian. Bertujuan untuk

memperoleh kepastian bahwa suatu fakta yang diajukan oleh pihak-pihak

memang benar-benar terjadi. 2. Mengkualifisir pada umumnya berarti

menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan hukum terhadap peristiwa

suatu kegiatan yang umumnya bersifat logis. 14

Tetapi dalam kenyataannya, menemukan hukum tidak sekedar

menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Terlebih lagi jika

peraturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas pula. 3. Mengkontituir, yaitu

menetapkan hukumnya yang kemudian dituangkan dalam amar putusan. Hal

yang harus di pertimbangkan oleh hakim dalam putusan adalah demi

kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, jangan sampai terdapat salah satu

pihak yang merasa tertekan dan dirugikan, seperti disebutkan dalam kaidah

fiqh berikut ini:

14 H. Abdurrahman, S.H, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:

Page 22: KHULU

dar u al-mafasid muqaddamun 'ala al-jalbi al-mashalih.

Page 23: KHULU

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hadits Rasululllah Saw, “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci

Allah adalah talak (cerai)”. Namun, bila kondisinya darurat (terpaksa), maka

jalan tersebut (cerai) diperbolehkan.

Ada beberapa kemungkinan dalam kehidupan rumah tangga yang

dapat memicu terjadinya perceraian. Salah satunya adalah adanya nusyuz yang

bermakna kedurhakaan. Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri,

tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami, nusyuz hanya

datang dari pihak istri. Kemungkinan suami nusyuz dapat terjadi dalam bentuk

kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik

nafkah lahir maupun nafkah batin.

Terjemah :Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Firman Allah SWT. di atas menganjurkan perdamaian. Istri diminta

untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi

untuk sementara waktu agar perceraian tidak terjadi. Akan tetapi, sebagian

ulama berpendapat, jika suami melalaikan kewajiban dan istrinya berulangkali

mengingatkannya, namun tetap tidak ada perubahan baik, maka taklik talak

Page 24: KHULU

adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita.

Jadi, gugat cerai atau khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas

permintaan istri, dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas

persetujuan suami.

Secara tekstual dalam Al-Qur’an, istilah gugat-cerai tidak ditemukan.

Namun, QS. An-Nisa’/4: 128 di atas dipahami oleh sebagian ulama

dibolehkan untuk melakukan gugat-cerai terhadap suami jikaa berorientasikan

pada kebaikan (mashlahat). Wallahu a’lam bissawab.

Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia,

terlihat bahwa ketidakpuasan seksual tidak termasuk alasan perceraian dalam

ketentuan hukum. Untuk itu hal demikian inilah yang perlu dipertimbangkan

dalam upaya lebih mengkaji lagi serta perlunya enterpretasi masa kini.

Menurut pendapat penulis, khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk

talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas.

Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri),

walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu,

isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai

terhadap suaminya melalui khulu’ maupun fasakh.

B. SARAN-SARAN

Dalam penulisan makalah ini, masih banyak koreksi yang perlu adanya

pembenahan dikemudian hari. Antara lain adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana nantinya teman-teman mahasiswa dapat mengkonstruk kajian

hukum secara universal dan individual terhadap kompilasi hukum-hukum

Negara Indonesia dalam bidang, hukum nikah.

2. Berdasarkan alasan penceraian dalam hukum positif di Indonesia terlihat

ketidakpuasan seksual menjadikan suatu pijakan dalam problem khulu',

untuk itu diperlukan hukum yang menangani studi kasus tersebut. Karna

pada dasarnya alasan penceraian dalam kaitannya ketidak puasan seksual

belum tersedia dalam hukum yang ada diindonesia.

Page 25: KHULU

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................4

C. Tujuan Penulisan....................................................................................5

D. Metode Penulisan...................................................................................5

E. Keterbatasan Penulisan..........................................................................7

F. Sistematika Penulisan.............................................................................7

BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................9

A. Kajian Dalil............................................................................................9

1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’).................................................9

2. Syarat Sah Khulu’..........................................................................10

3. Hukum Al-Khulu’ .........................................................................11

4. Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’ ........................................12

5. Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit

Isterinya..........................................................................................13

B. Fenomena.............................................................................................15

C. Analisa Masalah...................................................................................17

BAB III : PENUTUP.................................................................................................................23

A. Kesimpulan..........................................................................................23

B. Saran-saran...........................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................25

Page 26: KHULU

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H, S.H, 2004, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo.

Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t

Sabiq, Sayyid, 1404 H, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham Al-Usrah al-Hudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Yusuf Al-Qardhawi, 1978, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami, Beirut.

Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, 1957, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1

Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t. h. 238

Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby, 1957, h. 23

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t h.

Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham Al-Usrah al-Hudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV, 1404 H, h 85

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami, Beirut, 1978, h. 181