klhs jabar

34

Upload: rezha-maulana-azhar

Post on 10-Dec-2015

250 views

Category:

Documents


84 download

DESCRIPTION

KLHS Ciayumajakuning dsb

TRANSCRIPT

i

Daftar Isi ................................................................................................... i

Daftar Lampiran ................................................................................................... ii

Daftar Gambar ................................................................................................... ii

Daftar Istilah ................................................................................................... ii

BAB 1. Hasil Ikhtisar ................................................................................................... 1

BAB 2. KLHS Ciayumajakuning - gardang ................................................................................................... 4

2.1 Penyelenggaraan KLHS ................................................................................................... 4

2.2 Lingkup dan Kedudukan ................................................................................................... 4

2.3 Kaitan KLHS dengan Pengambilan Keputusan ................................................................................................... 5

2.4 Permasalahan, Pendekatan dan Metode ................................................................................................... 6

2.5 Perlakuan terhadap Institusi dan Keterikatan Publik ................................................................................................... 8

BAB 3. KLHS Cekungan Bandung ................................................................................................... 10

3.1 Cekungan Bandung Hulu Citarum ................................................................................................... 10

3.2 Lingkungan Cekungan Bandung ................................................................................................... 10

3.3 KLHS dan Pengambilan Keputusan ................................................................................................... 11

3.4 Permasalahan, Kerangka Pikir dan Metoda ................................................................................................... 12

3.5 Perlakuan Terhadap Institusi dan Keterikatan Publik ................................................................................................... 15

BAB 4. KLHS Kartamantul ................................................................................................... 16

4.1 Pendahuluan ................................................................................................... 16

4.2 Keterkaitan antara KLHS dan Pengambilan Keputusan Saran ................................................................................................... 17

4.3 Isu Pokok Permasalahan di Kartamantul ................................................................................................... 17

4.4 Metode Pendekatan ................................................................................................... 19

4.5 Penanganan isu–isu institusional dan keterlibatan masyarakat ................................................................................................. 20

dalam proses KLHS

4.6 Rekomendasi untuk pelaksanaan tahap kelanjutan ................................................................................................... 21

BAB 5. KLHS Bima ................................................................................................... 22

5.1 Kondisi Umum Kota Bima ................................................................................................... 22

5.2 KLHS dan Pengambilan Keputusan ................................................................................................... 25

5.3 Permasalahan, Kerangka Pikir dan Metoda ................................................................................................... 26

5.4 Proses Partisipasi Publik ................................................................................................... 27

5.5 Rekomendasi ................................................................................................... 27

BAB 6. Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................................................................... 28

6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 28

6.2 Rekomendasi ................................................................................................... 28

Daftar Isi

ii

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Ringkasan Pilot Project

Lampiran 2. Minutes of Meeting Workshop

Lampiran 3. Expense Report

Daftar Gambar

Gambar 2 – 1 : Daur Pemantauan Perencanaan Kawasan Lindung

Gambar 3 - 1 : Kerangka Pikir Penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung

Gambar 3 - 2 : Keterkaitan antar tiga undang-undang

Gambar 4 – 1 : Peta Administrasi Kawasan Kartamantul Provinsi D.I. Yogyakarta

Gambar 5 – 1 : Penyebaran kecamatan diseluruh wilayah Kota Bima

Gambar 5 – 2 : Peta lokasi banjir di Kota Bima

Gambar 5 – 3 : Permasalahan Kota Bima dan hubungannya antar permasalahan

Gambar 5 – 4 : Kondisi delta di Kota Bima

Daftar Istilah

1. Bakorwil : Badan Koordinasi Wilayah

2. BPLH : Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup

3. BPLHD : Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah

4. BWK : Bagian Wilayah Kota

5. DAS : Daerah Aliran Sungai

6. KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis

7. KRP : Kabijakan, Rencana, Program

8. Perda : Peraturan Daerah

9. Pergub : Peraturan Gubernur

10. PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap

11. PPLH : Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup

12. Rapergub : Rancangan Peraturan Gubernur

13. RPJMD : Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah

14. RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

15. RTRK : Rencana Tata Ruang Kawasan

16. RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

17. SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

18. SLHD : Status Lingkungan Hidup Daerah

iii

1KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Sebagaimana ulasan yang disampaikan oleh Barry Sad-dler dalam bukunya berjudul “SEA at the Policy level: Recent Progress, Current Status and Future Prospects”

(2005) bahwa KLHS sebagai instrumen untuk pengambilan keputusan bagi perumusan Kebijakan dan Perencanaan pembangunan masih mencari bentuk yang tepat dan layak diterapkan pada suatu negara. Bentuk yang tepat disini maksudnya adalah sesuai dengan kondisi karakteristik sistem pemerintah dan hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, selain juga karena karakteristik fenomena pembangunan dan kehidupan yang unik dimasing-masing negara. Ada negara yang sistem internal pemerintahnya tidak bisa lepas dari sistem internasional regional yang disepakati, seperti anggota negara-negara masyarakat Eropah. Namun ada juga negara yang secara otonom dapat begitu saja meru-muskan sendiri peraturan perundangan, seperti umumnya negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Situasi ini tentu juga membawa konsekuensi pada penyusunan pedoman teknis pelaksanaan instrumen KLHS. Ada yang dapat meletakkan pedoman ini dengan status Directive atau Protocol yang tegas (sebagai mandatory), seperti di sejumlah negara-negara ang-gota masyarakat Eropa, Cina, dan juga Vietnam. Dan ada pula yang menetapkannya sebagai sukarela (voluntary) secara konseptual walaupun secara normatif mereka juga mengacu pada ketetapan-ketetapan normatif, seperti di Negara-negara Eropah dan juga Selandia Baru.

Perkembangan proses pengembangan KLHS sebagai instrumen bagi penguatan rumusan Kebijakan-Rencana-Pro-gram (KRP) berorientasi pada pengarus-utamaan Pembangu-nan Berkelanjutan menunjukkan arah seperti yang dikem-bangkan di negara-negara yang menganut penerapan KLHS sebagai mandatory. Di Indonesia, saat ini sedang dirancang satu instruksi presiden bagi integrasi perencanaan pemban-gunan melalui aplikasi instrumen KLHS dan satu pedoman penerapan KLHS melalui keputusan peraturan menteri LH. Peraturan-peraturan ini secara teknis akan mengikat penye-lenggara sektor-sektor pembangunan dan juga pemerin-tahan daerah untuk menyelenggarakan KLHS dalam setiap proses penyusunan KRP masing-masing, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan yang bersifat strategis.

Menyadari sistem pemerintah yang desentralisasi sejak ditetapkannya UU Pemerintahan Daerah, Departemen Dalam Negeri sebagai penanggung jawab pembinaan penyeleng-garaan pemerintah daerah juga telah berupaya menga-dopsi perkembangan ini ke dalam rancangan Permendagri tentang pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah yang mengarah pada kewajiban aplikasi KLHS dalam setiap penyusunan RPJPD/ RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah Daerah) dan juga RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

perkembangan penerapan instrumen KLHS di dalam penye-lenggaraan pembangunan, khususnya saat penyusunan KRP telah menunjukkan indikasi perkembangan yang memantap-kannya sebagai protokol yang bersifat wajib.

Sebagai instrumen yang relatif baru untuk diterapkan di Indonesia tentu peningkatan kapasitas (sistem, lembaga dan SDM) penerapan KLHS diantara para pihak penyusun rumu-san KRP seyogyanya menjadi prioritas yang tinggi dan untuk itu perlu disegerakan. Lebih dari itu pemantapan konsep dan aplikasi penerapannya mulai dari penjabaran konsep, metode dan teknik analisis, serta mekanisme proses pengambilan keputusan untuk KRP perlu diuji melalui kegiatan pilot (pilot project). Hal terakhir ini sangat relevan mengingat begitu beragamnya karakteristik fenomena pembangunan berikut sumber-sumber daya yang dimanfaatkan dan beragamnya tingkat kapasitas serta perilaku sistem politik dan administrasi publik di masing-masing lembaga penyelenggara pemban-gunan, baik per sektor pembangunan maupun daerah pem-bangunan. Oleh karena itu pemilihan dan penetapan pen-anganan pilot project yang dapat mencakup atau mewakili keberagaman ini sangat menentukan dalam memberikan kontribusi yang signifikan bagi proses pemantapan penyusu-nan substansi perturan perundangan penerapan KLHS dan penyusunan Pedoman Pelaksanaan KLHS di Indonesia.

Berbagai perkembangan konsep aplikasi KLHS dalam dua dekade terakhir oleh berbagai negara, tenaga ahli telah menghasilkan beberapa konsep yang menjadi acuan utama bagi negara-negara yang kemudian mengadopsi KLHS, seperti di Indonesia. Diantara konsep-konsep KLHS tersebut yang banyak dijadikan acuan adalah OECD, IAIA dan pengalaman serta pembelajaran dari sejumlah negara, baik yang berhasil menerapkan maupun yang perlu melalui proses legitimasi yang panjang. Berdasarkan kajian terhadap bahan-bahan pembelajaran tersebut maka dapat dikatakan bahwa substansi kegiatan pada pilot project yang dipilih dan dilaksanakan pada tahun 2008 di dalam kerangka ESP2 ini dapat dikatakan layak untuk menjadi wadah uji coba penerapan konsep KLHS. Ada dua hal sebagai alasan utama kelayakan ini yaitu pemilihan isu atau obyek permasalahan yang memenuhi criteria

nilai strategis (interdependensi/keterkaitan, ke- 9seimbangan, dan keadilan) dan keterlibatan proses pengambilan keputusan bagi 9rumusan KRP.

Dengan pengertian ke dua hal tersebut maka proses uji coba penerapan KLHS ini dapat memberikan kekayaan pengetahuan dan menjadi asupan berharga, tidak hanya untuk kepentingan perumusan Inpres ataupun PermenLH,

2 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Permendagri, dan KRP terkait; tetapi juga sekaligus merupa-kan proses internalisasi ide, konsep dan metode aplikasi KLHS bagi pihak-pihak yang terlibat.

Melalui kemiripan cross cutting issue yang dipilih yaitu permasalahan sumber daya air maka ketiga pilot project yaitu Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung, Karta-mantul dan Bima bisa dikaji dalam kerangka studi banding pula. Beberapa catatan yang diperoleh dari hasil perbandin-gan pelaksanaan pilot project ini adalah sebagai berikut:

Permasalahan pengelolaan sumber daya air da-a. pat dibedakan atas karakteristik alam dan sistem manajemen pengelolaannya. Dari segi karakteris-tiknya secara fungsional selalu dikaitkan dengan sistem DAS dan sistem manajemen yang dimaksud menitikberatkan perhatian pada sistem distribusi berikut kelembagaannya. Adapun dalam konteks sifat sumberdayanya di ketiga daerah ini sumber daya alam diperlakukan sekaligus sebagai public goods dan private goods (atau public pool goods). Ci-ayumajakuning mempunyai karakteristik geografis di daerah daratan berbukit dan bergunung sebagai satu kerangka sistem DAS dengan Cekungan Bandung sebagai daerah hulu yang luasnya mencapai 434 ribu Ha dan dihuni lebih dari 7 juta jiwa. Di Kartamantul juga satu DAS, tetapi eksposurnya merupakan wilayah gunung dan wilayah endapan di wilayah pesisirnya. Secara kewilayahan hubungan 3 wilayah Kartamantul dapat diungkapkan sebagai berikut. Wilayah Sleman sebagai bagian hulu yang berada pada sisi selatan gunung Merapi dan tengah, wilayah Kota Yogyakarta sebagai bagian tengah dan fungsi pusat kegiatan, disamping wilayah Bantul sebagai bagian tengah dan bagian hilir. Sementara itu dalam kasus Kota Bima terbatas pada entitas perkotaan dengan jumlah penduduk sekitar 127 ribu jiwa di wilayah pesisir yang relatif bentang alamnya landai. Pada kasus Ciayumajakuning cakupan permasalahan-nya sampai pada tingkat lintas kabupaten/kota, hal yang serupa juga di Kartamantul. sementara di Bima relatif hanya di satu pemerintahan Kota. Pertumbuhan pesat kota Bandung sebagai pusat keg-b. iatan di Jawa Barat dan ada dalam lingkungan pilot (Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung) merupakan sentral perhatian bagi permasalahan penataan sumber daya air dan tentu kawasan hutan sebagai sumber mata air. Konflik pemanfaatan tata guna tanah akibat alih fungsi lahan merupakan salah satu bagian penting dan sensitif dengan tekanan kepentingan yang kompleks dan juga mencakup area yang relatif luas. Sementara itu kasus Kartamantul dan Kota Bima relatif memiliki tipikal permasalahan yang mirip namun skala dan intensitas interelasinya berturut-turut lebih rendah dibandingkan dengan kasus pada Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung. Jika di Ciayumajakuning-gardang, Cekungan Band-c. ung, dan Kartamantul menghadapi kemungkinan ke-langkaan sumder daya air akibat meningkat pesatnya permintaan layanan sumberdaya air, sedangkan di

Bima lebih pada permasalahan distribusi sumber daya air berikut pengendalian sistem aliran air permukaan.Karena permasalahannya lintas batas kabupaten d. maka baik Ciayumajakuning-gardang, Cekungan Bandung, dan Kartamantul penanganan memerlukan keterlibatan pemerintah daerah yang lebih tinggi yaitu tingkat provinsi. Sementara itu permasalahan di Kota Bima relatif cukup ditangani oleh Pemerintah Kota Bima.

Berdasarkan hasil kajian (KLHS) oleh tim tenaga ahli pada masing-masing daerah pilot dapat dikatakan bahwa per-masalah perumusan KRP dalam menangani permasalahan pengelolaan sumber daya air adalah sebagai berikut:

Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung-a. Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap struktur atau formasi geo-hidrologis dan rasio tutupan lahan dalam sistem DAS pada Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung maka teridentifikasi bahwa permasalahan fundamental bagi keberlangsungan ketersediaan sumber daya air dan pendistribusian-nya ada pada pengelolaan hutan, khususnya hutan lindung. Sudah banyak hutan lindung di Cekungan Bandung dan Gardang (sebagai hulu dari sistem DAS di wilayah pilot ini) yang beralih fungsi lahannya menjadi pemukiman dan kegiatan komersial. Secara langsung perubahan fungsi lahan ini akan mempen-garuhi sistem tata air di wilayah ini dan cenderung menjadi sulit terkendali pola debit aliran airnya. Pada musim kering ada kecenderungan terjadi kelangkaan persediaan sumber daya air dan pada musim hujan cenderung terjadi meluasnya daerah banjir. Untuk itu tim tenaga ahli menetapkan peraturan terhadap ke-beradaan kawasan hutan lindung perlu ditinjau ulang dan diperkuat kedudukan hukumnya agar tidak lagi terjadi pelanggaran, seperti pengalihan atau pengeru-sakan hutan lindung. Sesuai dengan hirarki hukum dan kelembagaan, maka SK Gubernur atau Perda Provinsi untuk memberikan kekuatan hukum atas pengaturan proteksi atau kelestarian hutan lindung menjadi prioritas bagi perumusan KRP bagi pengelo-laan sumber daya air di lingkungan sistem DAS yang mencakup wilayah Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung. Selain itu, pemanfaatan dan pen-gendalian hutan lindung dapat diwujudkan melalui rumusan kebijakan pembangunan daerah yang tera-komodir pada dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wialayah) provinsi dan kemudian diterjemahkan atau dioperasionalisasikan pada RTRW tingkat Kabupaten ataupun RTRK (Rencana tata Ruang Kawasan).

Kartamantul b. Provinsi DI Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki sejumlah kebijakan dan peraturan tingkat provinsi, seperti SK Gubernur yang mengatur pemanfataan dan pengendalian jumlah serta kualitas sumber daya air. Namun hasil kajian ternyata menunjukkan bahwa kebijakan dan peraturan tersebut dapat dikatakan tidak efektif. Dalam 5 sampai 10 tahun terakhir perkembangan wilayah Kartamantul justru menun-jukkan peningkatan tekanan terhadap ketersediaan

3KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

sumber daya air, terutama dengan pesatnya pem-bukaan lahan di wilayah hulu (Kabupaten Sleman), khususnya bagi peruntukkan pemukiman dan komer-sial. Ironisnya secara geo-hidrologis, wilayah tengah DIY Yogyakarta sebelumnya merupakan kantong sumber daya air yang depositnya cukup besar. Hal ini telah menciptakan kelangkaan ketersediaan sumber daya air (termasuk sumber yang berasal dari air tanah) meningkat sehingga sudah banyak masyarakat yang membeli air bersih di wilayah tengah khususnya. Melalui kajian ini yang diinisiasi oleh BPLH DI Yog-yakarta diarahkan rekomendasi bagi rumusan RTRW propinsi DIY yang lebih memperhatikan keberadaan dan ketersediaan sumber daya air sebagai isu pokok strategis dan prioritas atau orientasi pembangunan propinsi DIY.`

Kota Bima c. Pada saat ini sedang dalam proses untuk merumus-kan kebijakan dan peraturan daerah Pemerintah Kota untuk mengelola sumber daya air. Hasil KLHS menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan peraturan daerah tersebut untuk men-jaga daya dukung, kelestarian sumber daya air dan upaya layanan pada publik.

Kasus-kasus di atas pada dasarnya menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air masih tidak dapat lepas dari pemahaman bahwa sumber daya air adalah sumber daya alam yang terbaharukan. Pada kenyataannya, meskipun air tergolong sumber daya terbaharukan namun jika pengelo-laannya tidak baik, air akan menjadi sumber daya alam yang sangat mahal untuk diperbaharui. Untuk itu air harus dikelola dengan usaha-usaha yang mengedapankan prinsip-prinsip keberlanjutan. Oleh karena air merupakan produk alami dan masih sangat memiliki nilai sebagai aset publik, maka peran pemerintah harus mempunyai kekuatan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya air dan mengendalikan pemanfaa-tan melalui otoritas penetapan peraturan pemanfaatannya.

Dalam kaitan ini, pendekatan aplikasi KLHS dapat mem-berikan kontribusi berupa :

identifikasi permasalahan pokok strategis, 9mengkaji konstelasi realistis kebijakan dan peraturan 9berikut sistem kelembagaan penyelenggara yang terkait. Lebih dari itu KLHS juga dapat memberikan kontribusi 9berupa rekomendasi bagi penguatan peran otoritas pemerintah dalam mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya air.

4 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

2.1 Penyelenggaraan KLHS

Penyelenggaraan KLHS Ciayumajakuning Gardang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama kajian dilakukan pada Juli s/d September 200t di Ciayumajakuning (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan). Kajian ini difokuskan pada pengelolaan sumberdaya air. Tahap kedua dilakukan pada bulan Oktober s/d Desember 2008 di Ciayumajakuning dan Gardang (Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang) sebagai kelanjutan dan perluasan tahap pertama.

Pentahapan ini tidak direncanakan sebelumnya, tetapi merupakan temuan dari telaah atas sumberdaya air di Ciayumajakuning. Tahap kedua diselenggarakan atas dasar rekomendasi tahap pertama yang menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya air permukaan jauh lebih penting daripada air tanah dalam. Padahal air permukaan di Ciayumajakuing sangat ditentukan oleh Gardang, sebagai satu kesatuan wilayah sungai Cimanuk dan Cisanggarung.

Pada tahap pertama KLHS diupayakan menjadi bahan bagi kebijakan bersama pengelolaan sumberdaya air pemerintah daerah di Ciayumajakuning yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Wilayah (BAKORWIL) Ciayumajakuning. Pada waktu itu diharapkan dapat diterbitkan suatu peraturan Daerah Kota/Kabupaten tentang sumberdaya air di kelima wilayah administrasi ini. Walaupun perda tersebut diterbitkan oleh masing-masing daerah tetapi substansinya telah dipadukan dan dikoordinasikan.

Dengan maksud menciptakan peraturan daerah pengelolaan sumberdaya air yang terintegrasi dan terkoordinasi tersebut dua lembaga dipilih sebagai pemegang peranan utama, yaitu BAKORWIL dan DPRD. Untuk itu antara lain diupayakan terbentuknya Forum Anggota DPRD untuk Lingkungan di Ciayumajakuning yang bersama BAKORWIL menjadi wahana komunikasi antar daerah.

Lingkup kajian yang meluas kearah Kabupaten Garut dan Sumedang merubah pelaku dan pemegang peranan dalam pengambilan keputusan, diantaranya BOKORWIL Ciayumajakuning tidak lagi dapat berperanan secara maksimal. Selain itu ada batasan teknis yang menyebabkan lingkup kajian tidak dapat mencakup keseluruhan permasalahan pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena

KLHS Ciayumajakuing Gardang perlu menentukan kembali kedudukan (repositioning) dan lingkupnya.

2.2 Lingkup dan kedudukan

Menurut UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air, kegiatan pengelolaan sumberdaya air mencakup: konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air pada setiap wilayah sungai. Dari tiga cakupan pengelolaan sumberdaya air, KLHS ini dikonsentrasikan pada konservasi sumberdaya air, sebagai hulu permasalahan. Meskipun terkonsentrasi pada segi konservasi, tetapi dapat dipastikan hal ini akan berkaitan juga dengan pendaya gunaan dan pengendalian daya perusaknya juga.

Konservasi sumberdaya air mencakup dua segi (aspek) yaitu kualitas dan ketersediaan atau kuantitasnya. Kajian ini ditujukan untuk menjaga kuantitasnya dan ini yang berhubungan dengan kawasan lindung. Mengkonservasi air tidak dalam arti menambah ketersediaannya, karena air yang memang bersumber dari hujan tidak akan bisa ditambah. Apa yang dapat dilakukan adalah bagaimana caranya menyimpan air agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan tidak membiarkan terbuang percuma kelaut.

Air yang berasal hujan dapat tersimpan dengan tiga cara, pertama tersimpan oleh sistem vegetasi yang ada, yaitu daun, batang dan akarnya. Pada hutan hujan tropis alami, komunitas vegetasi yang beragam mempunyai struktur sedemikian sehigga penguapan dari satu jenis vegetasi ditangkap oleh vegetasi yang lain. Demikian juga halnya dengan air yang jatuh dari dedaunan suatu vegetasi, tidak langsung ketanah dan mengalir tetapi diterima vegetasi yang lain. Tanaman rerumputan, serasah yang jatuh dan mikroorganisme akan membentuk suatu lapisan permukaan tanah yang mampu menyerap dan menyimpan air. Penyimpanan ini juga disebut sebagai penyimpanan kanopi (canopy storage). Kedua menyimpannya dalam tanah. Penyimpanan ini dapat terjadi didalam tanah yang dangkal dan tanah yang dalam. Air tanah dangkal merupakan persediaan yang banyak dimanfaatkan sebagai sumur. Sebagian mengalir pada lapisan tanah dangkal sebagai aliran dasar (base flow) yang muncul sebagai mata air. Ketiga menyimpan di penampungan di permukaan tanah yaitu di danau, rawa, situ.

Penyimpanan inilah yang berkaitan dengan penataan ruang yang berarti juga penentuan lokasi dan alokasi ruang tempat dimana dan dengan cara bagaimana sebaiknya air tersimpan. Walaupun demikian bukan hanya penyimpanan air jatuh ke tanah yang perlu dipertimbangkan dalam

5KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

penataan ruang. Karena air ini juga dapat mengena tanah, menggerus serta menghilangkan kesuburan dan juga mungkin merangsang terjadinya gerakan tanah. Larutan tanah yang dibawa kemudian diendapkan disungai, waduk, situ yang akhirnya merusak penyimpanan air. Kesemuanya inilah yang menjadi persoalan kawasan lindung yang kemudian ditentukan sebagai lingkup KLHS ini.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 2/2006 tentang Pengendalian Kawasan Lindung menentukan aneka kawasan lindung, tetapi yang dipersoalkan dengan KLHS adalah kawasan lindung yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya air. Hal ini mencakup alokasi ruang untuk penyimpanan air di kanopi vegetasi, permukaan tanah dan di dalam tanah serta pengendalian erosi. Untuk ini jelas memerlukan kajian yang detail dan teliti. Apalagi alokasi tersebut tidak dilakukan dalam ruang yang kosong, tetapi sudah terlanjur terisi oleh aneka pemanfaatan yang acak dan sering kurang terkendali.

Oleh batasan teknis yang ada, upaya untuk menentukan alokasi, lokasi dan pengendalian ruang tersebut tidak dapat dilakukan dalam lingkup KLHS yang dilaksanakan ini. Karena itu sasaran KLHS ini adalah pengembangan sistem institusi yang diharapkan dapat melaksanakan upaya tersebut secara berkelanjutan. Hasil KLHS Ciayumajakuning Gardang diarahkan untuk dapat dialihkan (transform) menjadi kebijakan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan itu dengan sendirinya mencakup seluruh wilayah provinsi Jawa Barat dan Ciayumajakuning Gardang hanya sebagian dan suatu kasus pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat. Oleh karena itu bersama kajian dan pengalaman lain perlu dikonvergensikan menjadi kebijakan Gubernur Jawa Barat. Digagas hasil KLHS ini akan tertuang dalam Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Maksud memberi kontribusi pada Peraturan Gubernur inilah yang menentukan kaitan antara KLHS dengan pengambilan keputusan.

2.3 Kaitan KLHS dengan pengambilan keputusan

2.3.1 Jalur pengambilan keputusan

Kebijakan yang akan dilegalkan melalui berbagai bentuk produk hukum apakah peraturan gubernur atau peraturan daerah harus menempuh jalur birokrasi tertentu yang sudah menjadi tradisi. Siapa mengambil keputusan dan bagaimana prosedurnya dapat diikuti dengan jelas. Formulasi keputusan disiapkan oleh satuan kerja yang bertanggungjawab atas substansi yang akan diputuskan, kemudian diverifikasi oleh Biro Hukum dan akhirnya melalui Sekretaris Daerah disampaikan kepada pengambil keputusan terakhir yaitu Gubernur. KLHS perlu mengenali dan memahami prosedur tersebut agar dapat menempatkan diri dan memberi kontribusi secara tepat. Walaupun demikian, sebagaimana halnya dengan kebijakan publik di negara demokratis, ada proses non birokratik yang tidak baku. Jalur non birokratik inilah yang harus dirancang dan dibangun melalui KLHS.

KLHS yang menghasilkan saran kebijakan ini juga harus

menempuh dua jalur tersebut. Apabila tidak, KLHS hanya akan menjadi dokumen kajian yang tidak mempunyai efek apapun meskipun mungkin kandungan informasinya akurat dan bermutu. Kedua jalur tersebut adalah:

Prosedur birokratik yang terstruktur dan baku 1. (standardize). Proses birokratik ini telah menjadi tradisi dan telah dipahami oleh setiap satuan kerja yang berprakarsa, dalam kasus ini adalah Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. Proses non birokratik. Proses non birokratik ini terdiri 2. dari proses akademik atau teknikal (technical) dan proses “politik”. Proses akademik atau teknikal adalah upaya mencari kesepahaman dan kesepakatan yang berbasis pada pengetahuan dan informasi. Sedang proses politik adalah negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang didasarkan pada kepentingan dan aspirasi. Dalam prakteknya kedua proses tersebut sering tidak dapat atau sengaja tidak dipisahkan dengan maksud digunakan sebagai proses pembelajaran para birokrat atau untuk melegitimasikan pandangan birokrat.

Pada kebijakan berbentuk peraturan daerah, proses politik tersebut akhirnya bermuara di DPRD, sedang untuk peraturan gubernur proses politik tersebut bermuara di pimpinan daerah itu sendiri. Dengan demikian jelas bahwa pelaku dalam proses pengambilan keputusan peraturan daerah dan peraturan gubernur berbeda.

Secara umum proses “politik” yang harus ditempuh KLHS mungkin tidak sederhana, diantaranya karena adanya perbedaan pandangan antara tujuan membangun dan tujuan konservasi. Proses “politik” KLHS yang merupakan respon atas suatu kebijakan atau mendorong adanya pengintegrasian pertimbangan lingkungan kedalam suatu kebijakan sektoral atau regional mungkin lebih pelik. Dalam kondisi demikian inil bukan mustahil akan muncul resistensi dari perancang atau perencana pembangunan.

KLHS yang dilakukan untuk Ciayumajakuing Gardang ini justru mengenai suatu kebijakan lingkungan. KLHS ini tidak untuk mengintegrasikan kebijakan lingkungan tetapi lebih ditujukan untuk membuat kebijakan lingkungan menjadi lebih efektif. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa resistensi terhadap KLHS yang membawakan nilai lingkungan akan sangat minim

a. Proses birokratik

Suatu prosedur telah ditetapkan dengan peraturan perundangan untuk digunakan sebagai kerangka kerja dan pedoman bagi para pelaku proses pengambilan keputusan. Hal ini memang diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, ke-efisienan dan membuat pelakunya tidak lagi berkedudukan sebagai pribadi (impersonal). Proses birokratik pengambilan keputusan atas rancangan peraturan gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung yang didukung KLHS ini sepenuhnya ditangani oleh BPLHD Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian apa kandungan informasi dan nilai yang dianut KLHS harus benar-benar

6 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

dipahami oleh BPLHD untuk kemudian dibawakan kepada pengambil keputusan terakhir yaitu Gubernur. Penyusun KLHS membantu BPLHD menjelaskan mengapa diperlukan adanya peraruran ini dan apa isinya kepada pengambil keputusan tearakhir yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Wakil Gubernur yang memang mendapatkan tugas menangani lingkungan hidup.

Termasuk dalam proses birokratik adalah upaya untuk menjamin bahwa kebijakan yang tertuang dalam peraturan gubernur mempunyai dasar hukum dan secara legal dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demkian KLHS yang tertuju pada perumusan peraturan gubernur, juga harus menggali paraturan perundangan yang menjadi rujukannya.

Peraturan gubernur yang digagas ini merupakan tindak

lanjut dan peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah No 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Selain itu juga harus dipertimbangkan berbagai peraturan perundangan dan pengaturan kawasan lindung yaitu: undang-undang tata ruang, undang pengelolan sumberdaya air dan undang kehutanan.

Diantara undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung, undang-undang kehutananlah yang telah jauh dirinci dan diimplementasikan. Bahkan Perda No.2/2006 banyak mengacu dan mengadopsi peraturan perundangan kehutanan. Meskipun undang-undang sumberdaya air tergolong lebih muda dari undang-udang kehutanan tetapi mengelola kawasan lindung dalam kaitannya dengan konservasi air telah menjadi nilai yang dianut lembaga pengelola sumber daya air

Disatu sisi hal ini dapat diartikan bahwa kawasan lindung telah jauh mendapat perhatian. Disisi lain justru bisa menimbulkan masalah dan ketidakefisienan karena terjadinya tumpang tindih dan perebutan kewenangan diantara lembaga yang merasa mendapat otoritas berdasarkan undang-undang yang berbeda. Hal ini menjadi permasalahan institusional yang dicakup oleh KLHS .

b. Proses non-birokratik

Apa yang dimaksud dengan proses non birokratik adalah proses yang tata caranya tidak dibakukan, meskipun ditandai dan ditetapkan eksistensinya dalam peraturan perundangan, misalnya proses partisipasi dan konsultasi publik. Dalam proses ini kesepahaman dan kesepakatan tentang nilai yang dianut, asumsi yang digunakan, apa permasalahan yang akan diatasi dan bagaimana caranya lebih penting daripada prosedurnya. Sering ada upaya untuk membirokrasikan proses dengan memberikan pedoman pelaksanaan partisipasi atau konsultasi publik. Akibatnya partisipasi atau konsultasi publik lebih ditujukan untuk memenuhi prosedur daripada membahas substansinya.

Proses non birokratik tidak secara langsung membuahkan keputusan, tetapi menghasilkan apa yang harus diputuskan. Mungkin membuahkan suatu usulan kebijakan yang bulat atau mungkin suatu pilihan kebijakan (policy options). Proses ini pada umumnya memang tidak mengikuti suatu struktur

herarki dan prosedur yang baku. Walaupun demikian dalam proses ini bermain kekuatan pengetahuan, kekuasaan dan kearifan yang tidak selalu terorganisasikan secara formal. Dengan kondisi yang demikian apa yang dapat dilakukan KLHS adalah menyiapkan suatu kerangka kerja yang memungkinkan segala pengetahuan, aspirasi dan potensi dapat disalurkan dan ditempatkan pada tempat yang sesuai.

KLHS Ciayumajakuning Gardang melaksanakan proses non birokratik melalui tiga tahap yaitu:

Menggali informasi dan mencoba menemukan 1. permasalahanMengkonfirmasi asumsi, kriteria dan 2. mengembangkan gagasanMengkonfirmasi gagasan. Gagasan ini pula yang 3. kemudian dikomunikasikan dengan pengambil keputusan dan pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Proses ini dilakukan dengan diskusi dan dialog formal (dengan undangan resmi) maupun tidak formal dengan pihak yang dipilih. Dalam kasus Ciayumajakuning Gardang ini diskusi dan dialog lebih banyak bersifat teknikal dan belum banyak bersangkut paut dengan kepentingan dan aspirasi. Proses politik yaitu negosiasi kepentingan dan aspirasi hanya dilakukan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan apa yang dipersoalkan dalam KLHS Ciayumajakuning Gardang ini baru mencakup sebagian wilayah provinsi padahal peraturan gubernur yang dimaksud mencakup seluruh wilayah provinsi.

Setelah semua proses diatas dilakukan, tim KLHS memberikan substansi pada rancangan pergub tentang petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut:

a. indikator penetapan kawasan iklim, sifat tanah, kelerengan, imbuhan dan luahan air

b. telaahan termasuk pemantauan atas faktor pendorong dan penyebab perubahan penggunaan serta tutupan lahan dan dampaknya terhadap kondisi sumberdaya air

2.4 Permasalahan, Pendekatan dan Metoda

2.4.1 Permasalahan

Meskipun KLHS Ciayumajakuning Gardang hanya sebagian dan suatu kasus di Provinsi Jawa Barat tetapi temuannya memang diniatkan untuk memberikan kontribusi pada peraturan gubernur yang mencakup keseluruhan provinsi. Karena itu KLHS ini harus menggali akar permasalahan yang menjadi perhatian (concern) pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Menurut pola ruang yang ditetapkan dalam RTRW 2003 dan menjadi lampiran Perda N0.2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, luas kawasan lindung di Ciayumajakuning Gardang adalah 491 409,54 Ha atau sekitar 47,1% luas wilayah administrasi. Hutan hujan tropis alami (hutan primer) dengan komposisi, kerapatan, serasah dan akar vegetasinya mampu menahan air mampu menahan dan menyimpan 60%

7KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

s/d 80% air hujan di Ciayumajakuning Gardang hanya seluas 21 681, 4 Ha, hanya 4,4% luas kawasan lindung atau hanya 2% dari luas seluruh wilayah.

Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung di seluruh Ciayumajakuning Gardang adalah 175.956,62 Ha, sekitar 68.660 Ha berada diluar daerah aliran Sungai Cimanuk sungai utama yang penggunannya intensif. Bahkan hutan lindung diluar daerah aliran Sungai Cimanuk tersebut tidak jelas fungsinya. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan kawasan lindung sangat terpaku pada formula curah hujan, lereng, sifat tanah dan kurang memperhatikan fungsi lindungnya sendiri.

Penetapan kawasan lindung masih menggunakan formula Keputusan Menteri Pertanian No.837/Kpts/um/1980 sesungguhnya ditujukan untuk pengendalian erosi. Kawasan yang berpotensi sangat besar sebagai peresapan adalah kawasan yang justru datar dengan kelerengan 0 s/d 8% yang mencakup kawasan seluas 592,474.98 Ha dan dapat dipertimbangkan berpotensi besar adalah kawasan dengan lereng lebih besar dari 8% s/d 15% seluas 158,484.93 Ha. Resapan inilah yang akan menjadi aliran dasar dan air tanah dangkal yang masih menjadi sumber utama pasokan air bersih masyarakat. Daerah pesisir dengan air tanah payau dan permukiman padat bermasalah dengan air tanah dangkal ini.

Daerah imbuhan air karena karakteristik resapan litologi yang berpotensi mengisi cekungan air tanah belum dipertimbangkan sebagai kawasan lindung. Daerah yang karakter litologinya berpotensi meresapkan air sekitar 15% sd 35% curah hujan yang di Indramayu seluas 53,621.13 tidak ditetapkan bahkan tidak diidentifikasi sebgai kawasan lindung.

Fungsi kawasan lindung sebagai pengendali tata air belum efektif, hal ini diindikasikan dari rasio debit maksimum (Qmax) debit minimum (Qmin) masih 251, padahal data tersebut dari hasil pemantauan di bendungan Rentang yang berperanan sebagai pengendali air. Data Qmax juga (1004 m3/detik) jauh melampaui informasi tentang debit banjir yaitu 674 m3/detik. Dengan demikian jelas bahwa debit maksimum identik dengan banjir.

Fungsi hidrologis (penyimpanan air) hutan lindung hasil reboisasi dan perkebunan tidak akan dapat menyamai fungsi hutan hujan tropis alami, tetapi produk komersialnya memang lebih langsung dan lebih tinggi. Perhitungan antara nilai hasil konservasi air serta unsur lain dibanding dengan nilai komersial hasil reboisasi hutan atau pengembangan perkebunan dan siapa penerima manfaat belum digunakan sebagai pertimbangan penentuan kawasan lindung.

Hutan lindung dan bahkan keseluruhan kawasan yang berfungsi mengendalikan air larian dan mencegah erosi telah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian, perumahan perdesaan. Invasi usaha pertanian di Ciayumajakuning Gardang adalah pendorong utama penggunaan kawasan lindung untuk budidaya.

Sawah yang terutama terletak di daerah hulu yaitu di Kabupaten Garut seluas 18,615.68 ha dan Sumedang 2,541.50 Ha dan sebagian sawah di Kabupaten Majalengka dan Kuningan belum dipertimbangkan sebagai kawasan lindung. Dengan demkian juga dengan perkebunan akar wangi seluas sekitar 2400 Ha.

Telah banyak prakarsa dan uapaya untuk mengelola kawasan lindung. Kemauan politik untuk mewujudkan kawasan berfungsi lindung seluas 45% dari luas wilayah Jabar dibakukan dalam Peraturan Daerah No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Untuk mengelola kawasan lindung dan mewujudkan kawasan lindung 45% dari luas wilayah telah diterbitkan peraturan daerah tentang: pengendalian dan rehabilitasi lahan kritis, sempadan sumber air, kawasan bandung utara dan peraturan daerah tentang pengelolaan kawasan lindung. Walaupun demikian kesemuanya belum menunjukkan akan adanya kawasan lindung yang akan lebih terkendali.

Belum ada rencana jangka panjang yang menentukan cara penyimpanan dan penggunaan air dan bagaimana penyimanan tersebut harus dilakukan. Berapa besar air yang harus disimpan dalam simpanan kanopi (canopy storage), di dalam tanah dan di permukaan tanah.

Upaya yang selama ini telah banyak dilakukan belum efektif disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

Belum ada kejelasan dan pandangan yang sama atas apa a. yang harus dilakukan terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dibiarkan, dipulihkan menjadi hutan alam atau boleh dibudidayakan dengan syarat. Pemahaman atas arti lahan kritis sebagai upaya b. memulihkan kawasan lindung belum sama. Ada yang menggunakan formula erosi yang berkaitan pertanian tetapi juga ada kriteria pragmatis seperti lahan kosong tidak produktif; lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi; lahan rawan bencana longsorRTRW yang dituangkan pada peta berskala 1:250.00 c. belum dapat menjelaskan fungsi lindung yang lebih dari 20 macam kategorinya. Karena itu RTRW masih masih bisa ditafsirkan berbeda ketika diacu untuk rencana pelaksanaannya.Pemantauan lemah, sistem informasi tidak berfungsi d. dan tidak cukup memberi masukan untuk perbaikan perencanaan dan kebijakan.Data tidak lengkap, tidak akurat dan sering dimanipulasi e. untuk tujuan spesifik. Sasaran pencapaian sebatas pada luas penanaman dan f. belum mencakup efek yang hendak dicapai (belum ada sasaran nyata berapa erosi yang dicegah, berapa air yang disimpan)Acuan tindak yang tidak akurat mengakibatkan tindak g. nyata umumnya sporadis, simbolik dan hanya berupa fragmen kegiatan.

2.4.2 Pendekatan dan Metoda

KLHS dimaksud mendukung perumusan Pergub Pelaksanaan Pengeloaan Kawasan Lindung, untuk itu misinya

8 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

adalah:Menganalisis kesenjangan antara apa yang ditetapkan a. dalam perda kawasan lindung dengan realita di lapangan dengan kasus Ciayumajakuning GardangMengidentifikasi program pewujudan kawasan lindung b. yang secara aktif dilaksanakan oleh berbagai pihak Mengidentifikasikan peraturan perundangan yang c. berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung yang acuan pelaksnaan programMenyarankan langkah strategis untuk menutup d. kesenjangan yang terjadi dan mengoptimalkan berbagai upaya yang telah dilakukan.

KLHS ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif sistematis, terbatas dan dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

Diskusi multi pihak yang terdiri dari penjabat pemerintah a. dari daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat untuk mengembangkan informasi dan mengidentifikasi permasalahan tentang kondisi maupun pelaksanaan pewujudan kawasan lindung Diskusi ahli, untuk mengkonfirmasikan permasalahan dan b. mengembangkan gagasanDialog kebijakan, membahas konsep dan saran strategi c. untuk mengatasi masalah pelaksanaan perda kawasan lindung. Diskusi antar pihak yang mempunyai posisi dapat mempengaruhi keputusan. Dialog ini dilakukan secara formal maupun informal

Pengembangan informasi dan analisis oleh tim pelaksana KLHS dilakukan dengan dengan cara merangkum dan memverifikasi hasil diskusi serta dialog dan mengembangkan informasi sendiri dengan cara sebagai berikut:

Analisis keterkaitan dan indentifikasi masalah dengan a. menggunakan sistem informasi geografis berbasis peta tematik berskala 1:100.000, dan didukung dengan data statistik. Analisis difokuskan pada tumpang susun (overlay) antara kawasan lindung dengan berbagai kondisi.Analisis empirik berdasarkan pengamatan, dialog b. lapangan dan pengalaman pribadi. Oleh karena apa yang dikaji bukan masalah baru, dapat dipastikan banyak kajian dan pengalaman yang tersebar diantara peneliti dan pengamat.Analisis legal dan normatif yang menjadi acuan dan c. koridor kegiatan. Analisis ini terutama ditujukan pada UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No.19/2004 tentang Kehutanan dengan berbagai peraturan perundangan pelaksanaannya.

KLHS ini diselenggarakan paralel dengan penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur (Rapegub) tentang pengelolaan kawasan lindung. Karena itu disamping penyelenggarakan KLHS dilakukan upaya khsusus untuk menyalurkan informasi dan pengetahuan tentang kawasan lindung ke Rapergub. Hasil kegiatan diskusi dan dialog tentang permasalahan lindung dan analisis tentang substansi maupun institusi pengurusan kawasan lindung, diupayakan menjadi bahan penyusun Rapergub.

2.5 Perlakuan terhadap institusi dan keterikatan publik

KLHS di Indonesia memang perlu diarahkan untuk memperkuat institusi pengelolaan lingkungan. Ini karena institusi yang harus memadukan dan menyeimbangkan pertimbangan lingkungan dengan pembangunan belum dapat mengimbangi institusi pembangunan. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan orde baru, institusi pembangunan memang mendapat peluang untuk berkembang sedang institusi pengaturan dan pengendalian yang antara lain untuk tujuan konservasi kurang mendapatkan kesempatan untuk memperkuat diri.

Apa yang dimaksud dengan institusi disini adalah sistem yang memungkinkan suatu kebijakan mempunyai efek nyata dalam kehidupan nyata. Ini terdiri kebijakan dan norma yang tertuang dalam peraturan perundangan, struktur pengorganisasian, mekanisme kerja dan sarana kerja untuk melakukan suatu tindak nyata yang mempunyai efek terhadap kenyataan. Efek nyata ini dipantau untuk menghasilkan pengetahuan guna memperbaiki atau menyusun kembali kebijakan tersebut.

KLHS hanya memicu untuk perbaikan kebijakan dan yang paling jauh yang dapat dilakukan hanya sampai pada perbaikan atau penguatan peraturan perundangan. Perbaikan dan peningkatan kapasitas institusi itu sendiri akan memerlukan waktu lebih panjang dan energi yang lebih besar. KLHS Ciayumajakuning Gardang mengupayakan agar peraturan perundangan yang berwujud peraturan gubernur dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki pengorganisasian pengelolaan kawasan lindung di Jawa barat selanjutnya.

Perda Provinsi Jawa Barat No.2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung meng-amanatkan agar Gubernur mengkoordinasikan pengurusan Kawasan Lindung. Disarankan agar Gubernur memberi tugas dan otoritas kepada Kepala BPLHD untuk melaksanakan koordinasi perencanaan, pemantauan hasil perencanaan dan inventarisasi pengelolaan kawasan lindung. Untuk itu disarankan agar BPLHD mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan fungsi dan peranannya dalam mengkoordinasikan perencanaan, pemantauan dan inventarisasi, terutama fasilitas untuk mengelola informasi (dan peta).

Penguatan BPLHD tersebut disarankan menjadi jiwa Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang sedang disiapkan sebagai tindak lanjut Perda No.2/2006. Untuk itu penyusun KLHS menyiapkan usulan dengan format yang diharapkan akan memudahkan perancang kebijakan untuk mengadopsinya.

Dalam rangka perbaikan peraturan pengelolaan yang ada KLHS menyimpulkan bahwa:

Perlu rasionalisasi data dan informasi. Berbagai formula, a. koefisien, indeks yang menjadi dasar perancangan kebijakan dan penyusunan rencana perlu diuji kembali dengan realita.

9KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Perlu dikembangkan sistem perencanaan dan b. pemantauan kawasan lindung yang sistematis dan efektif. Sistem yang dapat mengintegrasikan rencana yang disiapkan oleh satuan kerja nasional, satuan kerja pemerintah kabupaten/Kota dan satuan kerja pemerintah kabupaten/KotaPerlu mengoptimalkan sumber dan sumber daya yang c. tersedia. Sesungguhnya banyak sumberdaya yang dikelola oleh lembaga pemerintah tingkat nasional maupun daerah, usaha swasta dan lembaga swadaya masyarakat dengan bantuan lembaga internasional maupun usaha masyarakat sendiri. Mengacu pada Undang-Undang Kehutanan dan berbagai peruran pelaksnaannya Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai merencanakan dan melaksanakan pemeliharaan, rehabilitasi dan pemulihan kawasan lindung di daerah aliran sungai. Demikian juga halnya dengan Balai besar Wilayah Sungai, mengacu pada UU tentang Sumberdaya Air juga menyiapkan renacana dan melaksanakan pemeliharaan, rehabilitas dan pemulihan kawasan lindungPerlu dihindari kebijakan dan tindak yang bersifat d. reaktif, instan, tergrafmentasi dan sporadik dalam pengurusan kawasan lindung. Karena rehabilitasi fungsi dan pemulihan kawasan lindung dan lingkungan pada umumnya memerlukan langkah-langkah sistematis jangka panjnag.

Sebagai langkah mendasar untuk mengatasi kelemahan pengelolaan kawasan lindung: perlu ditata kembali sistem perencanaan dan pemantauan kawasan lindung dan,

Kebijakan danProgram Nasional

RTRW (1:250.000)

Perda Kaw Lind

Perda Lain2

Inventarisasi (5 tahun sekali)

Pemantauan

Perkembangan diluar rencana

Kesesuaian hasil dng rencana

Pelaksanaan

Rencana Kaw Lind Tahunan

Rencana Kaw Lind Jangka Panjang

(1:100.000)

Gambar: 2-1Daur Pemantauan Perencanaan Kawasan Lindung

perlu ditetapkan satuan kerja yang mengkoordinasikan, memadu serasikan dan menggerakan berbagai upaya yang diselenggarakan berbagai pihak. Disarankan agar perencanaan dan pemantauan diselenggarakan mengikuti daur yang digambarkan sebagai berikut.

Kelemahan pengambilan keputusan di Indonesia pada umumnya adalah:

Putusan tidak disertai telaah (1. assessment) yang memadai, keputusan itu tidak disertai komitmen, 2. kurang atau bahkan tidak ada pemantauan dan 3. penilaian kembali atas pelaksanaan keputusan tersebut. KLHS Ciayumajakuning Gardang mencoba menyiapkan telaah untuk mendukung keputusan atas Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan kawasan lindung. Selain itu proses, pendekatan dan metoda yang diterapkan juga dimaksud untuk membangun komitmen berbagai pihak yang terlibat.

Proses yang ditempuh oleh KLHS Ciayumajakuning ini diniatkan untuk mengikat publik dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung, tetapi hal ini belum dapat dilakukan pada taraf dan aras (level) ini. Perlu langkah yang lebih detail dan langsung pada tindak nyata. Diharapkan apabila sistem perencanaan dapat diwujudkan seperti yang disarankan komtimen publik akan jauh lebih mengikat.

10 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

3.1 Cekungan Bandung Hulu Citarum

Cekungan Bandung adalah hulu daerah aliran sungai Citarum yang merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Cekungan Bandung adalah kawasan yang unik seluas 343.087 ha, merupakan cekungan (basin) yang dikitari oleh perbukitan dan gunung berapi yang keseluruhannya merupakan daerah tangkapan air bagi sungai Citarum. Cekungan yang juga merupakan sisa danau purba ini pada tahun telah 2005 dihuni sekitar 6,9 juta penduduk dan merupakan kawasan yang paling mengkota (urbanized) di Jawa Barat. Kini cekungan ini dicakup oleh lima daerah administrasi yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan sebagian dari Kabupaten Sumedang.

Sungai Citarum telah dikelola secara intensif dan telah diperlakukan dengan investasi besar sejak 50 tahun yang lalu. Pada sungai ini telah dibangun tiga waduk dan bendungan besar yaitu Saguling dibagian paling hulu, Cirata dan Jatiluhur dibagian paling hilir. Cekungan Bandung merupakan daerah tangkapan air yang secara langsung memasok Saguling.

Pembangunan ketiga waduk tersebut menjadikan banjir Citarum di bagian hilir telah dapat dikendalikan dan pemanfaatannya untuk irigasi menjadi intensif, sehingga daerah hilirnya yaitu Kabupaten Karawang dan Bekasi dapat dipertahankan sebagai lumbung padi Indonesia. Selain berfungsi untuk pertanian, waduk dan bendungan juga memberi manfaat sebagai pemasok bahan baku air bersih Jakarta dan Bekasi. Di ketiga waduk tersebut juga juga dibangun pembangkit listrik, dimanfaatkan untuk perikanan dan juga sebagai obyek wisata. Kini waduk tersebut terutama Saguling mendapatkan tekanan kemerosotan fungsi karena pasokan air Citarum sangat fluktuatif, bisa hanya sekitar 5,4 m3/detik pada musim kemarau dan bisa mencapai 455 m3/detik pada musim hujan. Kualitasnya pun terus merosot oleh masuknya sampah dan air yang sangat tercemar ke Citarum sungai yang kemudian terakumulasi di Saguling. Rasio debit air maksimum minimum dan kualitas air yang masuk ke Saguling mengindikasikan bahwa Citarum sangat tidak sehat.

Penyebab utama tidak sehatnya Citarum hulu Saguling adalah terus meningkatnya aktivitas dan perubahan penggunaan serta tutupan di di cekungan Bandung yang tidak diimbangi kemampuan mengendalikannya. Tercatat jumlah penduduk di cekungan Bandung pada tahun 2000 sebesar 6,1 juta jiwa, tahun 2005 sebesar 6,9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi 11,3 juta jiwa.

Dalam rangka mengembangkan program pengelolaan

sumberadaya air Citarum secara terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Program) dengan dukungan ADB, Nippon Koei Co., Ltd. and Associates Strategic Environmental Assessment tahun 2006 telah menyelenggarakan KLHS juga. Kajian ini selain mencakup seluruh wilayah sungan Citarum, hasil akhirnya ditujukan untuk mengembangkan prosedur telaah (assessment) dan pembahasan aspek lingkungan atas suatu proyek. Hal ini antara lain dilakukan dengan melakukan pengukuran atas lembaga yang terlibat dalam pengelolan sumberdaya air. KLHS ADB tersebut tampaknya memang dimaksudkan untuk meperlancar AMDAL bagi masing-masing proyek dalam rangka program pengelolaan sumberdaya air Citarum secara terpadu. Dengan demikian meskipun KLHS Cekungan Bandung hanya mencakup wilayah hulu Citarum tetapi lingkup permsalahan bisa lebih luas.

3.2 Lingkungan Cekungan Bandung

Kondisi lingkungan cekungan Bandung ini telah banyak dikaji dan juga banyak kebijakan pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota yang diterbitkan untuk mengendalikan lingkungan di cekungan ini. Bahkan secara khusus tahun 1982 telah diterbitkan Keputusan Gubernur tentang Bandung Utara, yang kemudian dikembangkan menjadi Peraturan Daerah No.1/2008 tentang Kawasan Bandung Utara.

Keputusan Gubernur No.181/SK.1624-Bapp/1982 diniatkan untuk mengendalikan penggunaan dan penutupan lahan di bagian utara cekungan Bandung yang diyakini menjadi daerah imbuhan utama air tanah dalam di cekungan Bandung. Padahal air tanah dalam masih menjadi pasokan air bersih bagi kota Bandung. Upaya ini tidak berhasil bahkan tinggi permukaan air tanah dalam terus merosot sehingga tidak lagi bisa diandalkan sebagai pasokan bagi air bersih kota Bandung.

Oleh perkembangan perkotaan dan industri sumberdaya air di cekungan ini juga terancam kualitasnya. Kajian yang ada menunjukkan bahwa dari tahun ketahun kualitas terus menerus menujukkan kecenderngan menurun. Konflik laten maupun manifes oleh pencemaran air sampai kini belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Pengelolaan sampah merupakan masalah yang dihadapi di cekungan Bandung. Kota Bandung yang menjadi sumber sampah terbesar mulai kehabisan tempat untuk membuang. Kabupaten sekitarnya juga tidak lagi dapat menyediakan ruang yang cukup dan dapat diterima diterima masyarakat untuk pembuangan sampah. Disisi lain produksi sampah belum dapat dikurangi dan teknologi pengolahan sampah

11KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

yang tepat masih dicari.Kondisi lingkungan Cekungan Bandung tidak hanya

terancam oleh kondisi sumberdaya air dan sampah tetapi juga oleh kualitas udara. Bentang alam cekungan Bandung membuat emisi tidak mudah tersapu angin sehingga diduga menurunkan kualitas udara Bandung dan menimbulkan efek rumah kaca lokal. Sumber utama pencemaran udara adalah transportasi diantaranya karena populasi kendaraan bermotor terus meningkat tanpa dapat dikendalikan. Sumber pencemar kedua adalah industri yang ada kecenderungan mengganti bahan bakarnya dengan batubara.

Permasalahan (issues) sumberdaya air, persampahan dan pencemaran udara inilah yang awalnya digagas sebagai lingkup KLHS cekungan Bandung. Oleh karena cekungan Bandung mencakup lima wilayah administrasi Kabupaten dan Kota, permasalahan ini perlu dibahas dan disepakati oleh kelimanya. Walaupun demikian oleh batasan teknis yang ada, akhirnya KLHS terarah pada kebijakan tingkat Provinsi.

3.3 KLHS dan Pengambilan Keputusan

3.3.1 Kesepakatan atas lingkup permasalahan

KLHS adalah hal baru bagi penjabat urusan perencanaan dan urusan lingkungan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang. Walaupun demikian introduksi yang dilakukan mendapatkan respon positif, terlebih lagi karena introduksi menjanjikan manfaat hasil KLHS bagi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota.

Ada perbedaan pandangan tentang apa permasalahan yang dipilih menjadi lingkup kajian. Wakil Kota Bandung menghendaki ketiga permasalahan yaitu: sumberdaya air, persampahan dan pencemaran udara digarap bersama. Sedangkan wakil Kabupaten dan Kota lain memilih sumberdaya air sebagai lingkup KLHS dan juga menjadi permasalahan bersama Dua kali pertemuan diantara wakil kelima wilayah tersebut belum membuahkan kesepakatan tentang lingkup KLHS Cekungan Bandung. Meskipun belum diputuskan lingkupnya, tetapi telah dibayangkan bahwa hasil KLHS adalah kegiatan untuk memberi masukan bagi Rencana Tata Ruang Wilayah. Artinya KLHS diselenggarakan untuk kebijakan dan rencana yang akan datang.

3.3.2 Keputusan tingkat Provinsi.

Oleh karena KLHS diselenggarakan bukan atas prakarsa pembuat kebijakan atau rencana tetapi berupa bantuan teknis, pertanyaannya adalah bagaimana agar bantuan tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Oleh karena itu harus dipertimbangkan benar segala batasan yang ditentukan oleh pemberi bantuan tersebut. Dengan demikian KLHS tidak dapat ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang ada tetapi sebaliknya bertolak dari batasan teknis yang ada, yang dicoba digali apa yang KLHS Cekungan Bandung dapat lakukan secara maksimal. Untuk itu keputusan dialihkan pada tingkat provinsi. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) lah yang kemudian memberi persetujuan tentang seberapa jauh lingkup

KLHS tersebut harus dilakukan dan secara aktif mengikuti pelaksanaan KLHS.

BPLHD menyepakati agar KLHS Cekungan Bandung dipertimbangkan sebagai kasus untuk mendukung penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pelaksanaan Kawasan Lindung. Pergub ini merupakan tindak lanjut atas Peraturan No.2/2006 tentang Kawasan Lindung yang belum operasional dan memang mengamanatkan harus adanya peraturan gubernur untuk pelaksanaannya.

Perda 2/2006, telah menentukan adanya 25 macam kawasan lindung yang menurut karakteristiknya seharusnya ditangani dengan kerangka kerja, pengorganisasian dan instrumen yang berbeda. Oleh keterbatasannya KLHS harus memilih mana kawasan lindung yang strategis yaitu yang mencakup kawasan yang luas dan hajat hidup masyarakat luas. Pembahasan antara tim penyusun KLHS dan BPLHD menentukan kawasan lindung yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air menjadi menjadi lingkup kegiatan.

Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung ini akan mencakup seluruh wilayah provinsi. Merupakan pengejawantahan kebijakan publik yang berada dalam batasan wewenang Gubernur sebagai representasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Cekungan Bandung hanya salah kasus yang dipelajari untuk mendukung kebijakan yang lebih luas. Karena itu KLHS cekungan Bandung harus dirangkum dengan KLHS di wilayah lain.

3.3.3 Manfaat KLHS dalam pengambilan keputusan

Gubernur telah melimpahkan koordinasi penyelenggaraan lingkungan kepada Wakil Gubernur. Dengan demikian Wakil Gubernur-lah yang akan menjadi pengambil keputusan dan pembahasan terakhir atas Peraturan Gubernur untuk pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Oleh karena itu hasil KLHS yang merupakan telaah atas pelaksanaan Perda No.2/2006 selayaknyalah dikomunikasikan kepada Wakil Gubernur. Komunikasi dengan Wakil Gubernur inilah yang memang diniatkan oleh KLHS sebagai bagian keterkaitan KLHS dengan pengambil keputusan. Walapun demikian perlu dipahami bersama bahwa KLHS berkaitan dengan proses pengambilan keputusan (decision making) dan tidak hanya dengan pengambil keputusan (decision maker) terakhir saja.

Pada umumnya KLHS diselenggarakan dengan maksud agar suatu kebijakan telah mempertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan dan telah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Untuk kondisi di Indonesia KLHS diselenggarakan dengan maksud lebih luas lagi yaitu untuk membangun proses demokratisasi dan desentralisasi yang lebih sehat dan konstruktif.

KLHS Cekungan Bandung diselenggarakan dalam kaitannya dengan suatu kebijakan lingkungan oleh karena itu tidak ada persoalan bagaimana mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam suatu kebijakan. Persoalan

12 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

yang dihadapi adalah bagaimana agar kebijakan itu mempunyai efek nyata. Partisipasi luas dalam KLHS Cekungan Bandung ini tidak dimaksud untuk mengintegrasikan lingkungan tetapi lebih merupakan untuk memperjelas, mengoreksi dan mengembangan sistem pengelolaan kawasan lindung yang ada agar pelaksanaannya lebih efektif.

Pada dasarnya kebijakan publik mengandung kegiatan: pendefinisian masalah, perumusan apa yang hendak dicapai (cita-cita, tujuan, sasaran) dan pengembangan instrumen pelaksanaan untuk mewujudkan apa yang hendak dicapai tersebut. Partisipasi dalam perumusan kebijakan ini dapat dilakukan secara urut mulai dari perumusan masalah. Bisa dilakukan dengan pendekatan pragmatis mulai dari ketersediaan dan kemampuan intrumen, bisa juga dilakukan secara simultan yang merupakan proses bolak balik antara perumusan masalah, penentuan tujuan dan sasaran, dan pengembangan instrumen. Masing-masing dapat diputuskan oleh pihak dan waktu yang berbeda, dapat juga sebagai kegiatan yang dilakukan dalam waktu dan pihak yang sama.

KLHS Cekungan Bandung melaksanakan kegiatan partisipasi secara simultan tetapi dengan peserta yang berbeda dalam dua tahap. Tahap pertama dengan dengan multi pihak yang tujuan utamanya untuk mendefinisikan masalah. Tahap kedua dengan para ahli, untuk mendefinisikan tujuan dan sasaran. Walaupun demikian dalam pendefinisian masalah tidak tertutup kemungkinan dibahasnya instrumen pelaksanaannya. Juga dalam penentuan tujuan dan sasaran terbahas permasalahan dan intrumen penerapan kebijakan.

Dari partisipasi yang sesungguhnya berupa konsultasi publik tersebut terungkap bahwa:

(1) definisi dan kriteria kawasan lindung perlu ditinjaui kembali;

(2) perlu ada penegasan antara kawasan yang perlu dilindungi dan kawasan yang mempunyai fungsi melindungi;

(3) dalam penetapan kawasan lindung perlu ada penegasan apa yang perlu dilindungi.

3.4 Permasalahan, kerangka pikir dan metoda

3.4.1 Permasalahan Sumberdaya Air

Sumber air adalah hujan. Analisis terhadap data historis curah hujan rata-rata tahunan wilayah DAS Citarum Hulu (Cekungan Bandung) dari tahun 1896 sampai 1994 menunjukkan fakta adanya kecenderungan penurunan curah hujan yang nyata di wilayah ini, yaitu sebesar 6 mm per tahun. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa di wilayah Cekungan Bandung tengah terjadi perubahan iklim yang sangat berarti. Walaupun curah hujan yang terjadi di tempat ini cenderung terus menurun, namun pada musim hujan semakin basah, dan pada musim kemarau semakin kering.

Dari tahun 1950 hingga tahun 1975 di Cekungan Bandung stasiun Nanjung diperoleh gambaran bahwa ada kecenderungan ketidak-sesuaian antara pola fluktuasi curah hujan dengan pola fluktuasi air lariannya. Curah hujan yang

tinggi tidak dengan sendirinya air larian larian sungai. Hal ini menunjukkan bahwa cekungan Bandung waktu itu masih mampu menahan atau meredam fluktuasi air hujan yang turun.

Dari tahun 1986 hingga tahun 2004 diperoleh gambaran terjadinya kecenderungan penurunan aliran dasar (base flow) dan sangat jelas terlihat pada tahun 1992. Selain itu terdapat kemiripan antara pola fluktuasi curah hujan terhitung dengan pola fluktuasi debit aliran terukur yang menunjukkan bahwa bahwa Cekungan Bandung tidak mampu lagi meredam curah hujan yang turun. Hal ini menjadi indikator bahwa Cekungan Bandung telah mengalami degradasi lingkungan.

Sebagian besar anak Sungai Citarum mengalir melalui wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, kemudian terkumpul di Waduk Saguling. Anak sungai tersebut mengalir melalui daerah perkotaan, pedesaan, industri dan persawahan sehinga kualitasnya sangat terpengaruh oleh kegiatan pada daerah aliran sungai (DAS), khususnya Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Meskipun sebagian besar sungai tersebut sering dilanda banjir pada musim hujan, debit sungai selama musim kering sangat rendah dan tingkat pencemarannya sangat tinggi, terutama induk Sungai Citarum Hulu. Menurut BPLHD Jawa barat (2001) pencemaran tersebut disebabkan oleh limbah domestik mencapai 50%, limbah industri 40%, limbah peternakan 8% dan limbah pertanian 2%.

Banjir merupakan bencana rutin di musim hujan yang selalu menimpa dataran terendah di wilayah Cekungan Bandung. Pada tahun 1931 terjadi banjir di Cekungan Bandung dengan luas genangan mencapai 9.300 hektar. Pada tahun 1986, curah hujan sekitar 2.550 mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genangan mencapai 7.450 hektar. Pada tahun 1998, curah hujan sekitar 2.350 mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genangan mencapai 6.200 hektar. Pada tahun 1988, 1994, 1995, 1996, curah hujan rata-rata sekitar 1.700 mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genangan sekitar 4.000 hektar. Pada tahun 2000 dan tahun-tahun berikutnya, curah hujan rata-rata juga sekitar 1.700 mm/tahun, namun luas genangan banjir yang terjadi rata-rata 2.000 hektar bahkan pada tahun 2002, 2004, 2005 lebih sempit lagi.

Air tanah juga menunjukkan kecenderungan menurun. Berdasarkan hasil monitoring berbagai instansi dan dari hasil penelitian para ahli menunjukan penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung sejak tahun 1972 sampai 2002 antara 0,05 m sampai 7,70 m per tahun. Sehingga pada tahun 2002 sebagian besar muka air tanah di kota Bandung telah berada sekitar 100 m dibawah muka tanah.

Pengambilan air tanah di Cekungan Bandung disebabkan karena pemerintah baik kota maupun kabupaten tidak bisa menyediakan air bersih dan air baku bagi masyarakat dan industri, oleh karenanya masyarakat dan industri kemudian mengusahakan airnya sendiri yang berasal dari air tanah. Akibat dari pengambilan air tanah tersebut maka muka air tanah di Cekungan Bandung turun, dan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah industri maka

13KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

penurunan air tanah semakin cepat.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui penurunan muka air tanah di Kota Bandung dan sekitarnya rata-rata sekitar 4 m/tahun. Lembaga tersebut mempunyai 4 titik pemantauan air tanah yaitu di Leuwigajah, Majalaya, Rancaekek, dan Kebon Kawung. Pada titik-titik pantau tersebut sekarang kedalaman muka air tanah sudah mencapai -80 m sampai -90 m. Pada 20 tahun sampai 25 tahun yang lalu, muka air tanah di titik pantau tersebut tercatat antara 0 meter sampai + 10 meter. Sehingga apabila permukaan air tanah terus turun diperkirakan dalam waktu 20 tahun mendatang akan terjadi ancaman krisis air tanah. Bahkan untuk daerah-daerah tertentu krisis air bisa terjadi sekitar 10 tahun mendatang. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah Propinsi Jawa Barat telah menetapkan zona air bawah tanah kritis dan rawan.

Turunnya muka air tanah tersebut kemudian diikuti dengan turunnya muka tanah (amblesan). Dari hasil pemantauan yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2000, amblesan tanah yang terjadi berkisar antara 2,1 cm sampai dengan 21,1 cm. Akibatnya daerah amblesan ini menjadi daerah rawan genangan banjir.

3.4.2 Tutupan Lahan

Pemerintah Daerah menetapkan kawasan lindung berdasarkan pada tiga kriteria yaitu: kelerangan, jenis tanah dan intensitas hujan yang dirumuskan dan sistem pensekoran. Dengan membuat peta tumpang susun atas kriteria tersebut dengan menggunakan peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, dan peta intensitas hujan saja, diperoleh angka luas kawasan lindung seluas sekitar 52% dari total luas Cekungan Bandung. Walaupun demikian angka tersebut belum memperhitungkan kawasan untuk peresapan. Apabila kawasan resapan potensial, diperkirakan luas kawasan lindung Cekungan Bandung menjadi sekitar 67%. Dengan demikian di Cekungan Bandung kawasan lindung lebih besar dari kawasan budidaya.

Tahun 1982 Pemda Propinsi Jawa Barat telah mengeluarkan SK Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara. Berdasarkan Tata Guna tanah yang dikeluarkan BPN yang disusun berdasarkan SK gubernur tersebut total Kawasan Bandung Utara 38.609 Ha dengan rincian: putan 9.982 Ha, pertanian dan perkebunan 22.980 Ha, perumahan/permukiman 5.697 Ha

Dari hasil pantauan di Kawasan Bandung Utara telah terjadi perubahan tata guna lahan sejak 1983, 1993, hingga 2002. Perubahan tersebut dicirikan dengan berkurangnya area hutan dan lahan bervegetasi lainnya sebesar 54% dan meningkatnya area terbangun sampai 223% (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, 2004). Perubahan tutupan lahan tidak hanya terjadi di kawasan Bandung Utara namun terjadi juga di bagian lainnya dari Cekungan Bandung.

Kawasan hutan di Cekungan Bandung tinggal tersisa pada bagian puncak puncak gunung atau lembah sungai yang terjal. Luas total hutan di Cekungan Bandung sekitar 90.261 Ha dimana sekitar 15.588 Ha adalah hutan konservasi dan sisanya hutan lindung dan hutan produksi. Kawasan hutan di Cekungan Bandung menghadapi beberapa persoalan seperti penjarahan hutan yang dilakukan oleh para petani dan pencuri kayu,seperti misalnya pada tahun 2003 seluas 15.397,49 Ha, tahun 2005 seluas 635,53 Ha dan tahun 2006 seluas 1.153,77 Ha dirambah oleh 3010 KK penggarap. Luas lahan yang digarap umumnya tergantung pada kondisi ekonomi setempat (KPH Bandung Selatan, 2008).

Disamping penjarahan dan pencurian kayu kawasan hutan di Cekungan Bandung rawan terhadap kebakaran. Dalam 5 tahun terakhir 4.103 Ha hutan terbakar. Kebakaran hutan umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia dikawasan hutan seperti membuang puntung rokok yang masih menyala atau dari kegiatan membakar semak belukar di lahan pertanian di sekitar hutan. Terbakarnya hutan mencerminkan kondisi hutan yang kering kondisi ini pada dasarnya sangat jarang dijumpai pada hutan alami, hutan yang ditanami tanaman sejenis umumnya rentan terhadap kebakaran.

Peran vegetasi dalam mengatur tata air merupakan kebenaran yang diterima baik oleh kalangan ilmuwan maupun awam. Peran vegetasi dalam mengatur tata air dapat dijelaskan dalam siklus hidrologi sebagai berikut:

Peran vegetasi dalam daur hidrologi adalah a. membantu proses infiltrasi (peresapan air), dan evapotranspirasi (penguapan air). Artinya air hujan yang jatuh ke bumi tidak seluruhnya menjadi air larian tetapi sebagian disimpan dalam tanah untuk kemudian dilepaskan sebagai mata air dan sebagian lagi di uapkan kembali ke udara.Air yang di infiltrasikan kedalam tanah tidak b. sepenuhnya ditentukan oleh vegetasi karena peranan tanah dan struktur geologi memegang peran penting juga. Vegetasi membantu prosesnya sehingga proses infiltrasi bisa berjalan dengan baik. Sedangkan air yang di evapotranspirasikan sangat c. tergantung pada kerapatan vegetasi, biomasa, sistem perakaran, dan kelembaban mikro.Vegetasi hutan tropis alami yang tajuknya berstrata d. dengan sistem perakaran cukup dalam dan tanahnya memiliki lapisan humus serta serasah merupakan struktur vegetasi yang paling baik perannya dalam mengendalikan tata air, sedangkan struktur vegetasi dengan tajuk tanpa strata dan tidak memiliki serasah dan humus (kebun tanaman sejenis, padang rumput) merupakan kondisi vegetasi yang tidak baik perannya dalam mengendalikan tata air. Struktur vegetasi tanaman pertanian semusim e. dicirikan dengan kerapatan sekitar 40%-60% dengan sistem perakaran dangkal merupakan struktur yang kurang baik untuk tata air. Namun demikian kondisi tanah tanpa vegetasi merupakan kondisi terburuk perannya dalam pengendalian tata air.Peningkatan banjir karena perubahan penggunaan f. lahan didaerah tangkapan hujan bisa dijelaskan jika

14 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

perubahan penggunaan lahan juga menjelaskan perubahan struktur vegetasinya.

3.4.3 Perkembangan Kawasan Budidaya.

Cekungan Bandung seluas 343.087 hektar ditempati oleh 5 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Kabupaten/Kota ini terbagi dalam 76 Kecamatan, yang terbagi lagi dalam 641 Desa/Kelurahan.

Jumlah penduduk tahun 2000 mencapai hampir 6.178.955 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 2,7% per tahun. Kepadatan penduduk terendah 3 jiwa/hektar berada di Kecamatan Pasir Jambu dan Rancabali, Kabupaten Bandung. Sedangkan kepadatan tertinggi berada di Kiaracondong 305 jiwa/hektar dan Bojongloa Kaler 280 jiwa/hektar, semuanya berada di Kota Bandung.

Jumlah penduduk pada tahun 2000: 6.178.955 jiwa, tahun 2005: 6.923.900 jiwa dan diproyeksikan tahun 2010 menjadi 7.867.006 jiwa, tahun 2015 : 9.107.259 jiwa, tahun 2020: 10.190.304 jiwa dan pada tahun 2025 menjadi 11.382.200 jiwa. Dengan demikian jelas bahwa perubahan penggunaan tanah akan terus berlangsung dan kebutuhan air rumah tangga akan terus meningkat.

Dengan demikian jelas bahwa cekungan Bandung akan terus menerus mendapatkan tekanan perkembangan. Persoalannya adalah bagian mana dan seberapa luas yang harus dilestatrikan sebagai kawasan lindung yang mengandalkan pada vegetasi dan bagian mana dan seluas berapa yang harus dikombinasikan dengan teknologi.

3.4.4 Kerangka Pikir dan Metoda

KLHS Cekungan Bandung diselenggarakan dengan 1. kerangka lingkungan terdiri dari komponen statis dan

komponen dinamis. Komponen statis adalah komponen yang tidak dapat diubah oleh manusia atau mengalami perubahan sendiri dalam jangka yang sangat panjang yang diantaranya dipengaruhi manusia, yaitu bentang alam dan atmosfer. Sedangkan komponen dinamis adalah komponen yang terus berkembang dan selalu berubah karena perkembangan dan perilaku manusia. Komponen dinamis inilah yang harus diatur dan dikendalikan. Kerangka pikir inilah yang menjadi dasar penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung.

Berdasarkan kerangka pikir inilah dilakukan urutan sebagai berikut:

mengumpulkan data dasar. Pada proses ini 1. dikumpulkan data-data dasar yang berhubungan dengan sumberdaya air Cekungan Bandung untuk memahami struktur yang membangunnya. Data mengenai berbagai persoalan dan penyebabnya juga dikumpulkan sehingga bisa diketahui persoalan yang memerlukan perhatian khusus. Pengumpulan data dasar dan analisisnya menggunakan kerangka dasar keterkaitan komponen-komponen yang membangun sumber daya air yang meliputi dinamika atmosfer, karakteristik bentang alam, pengelolaan tutupan lahan, pengelolaan perdesaan/perkotaan, dan pengelolaan sumber daya air. mempelajari Undang-Undang yang mengatur 2. sumberdaya air dan tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya air yang ingin dicapainya. menentukan atau memilih lingkup KLHS berdasar 3. Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memiliki hubungan dengan persoalan sumberdaya air seperti disebutkan pada butir kedua diatas.menentukan sasaran dan indikator pengelolaan 4. sumberdaya air sebagai tolok ukur keberhasilan pengelolaan sumberdaya air untuk Cekungan Bandung.

Gambar 3 - 1: Kerangka Pikir Penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung

ATMOSFER :Iklim Lokal

Iklim GlobalPerubahan Iklim

HujanAnginSuhu

Kelembaban

PERKEMBANGAN:PedesaanPerkotaan

Tekanan PendudukEksploitasi SDA

TUTUP LAHAN :Vegetasi

Kapasitas Tampung tajukNon Vegetasi

Gubahan Muka Tanah

AIR DI BUMI :Air Permukaan

(Sungai, Waduk)Air Tanah DangkalAir Tanah Dalam

Kuantitas AirKualitas Air

Daya Rusak Air

PENGELOLAAN :HUTAN, PERKEBUNAN, PERTANIAN

PENGELOLAAN :SD AIR

BENTANG ALAM :Relief (Morfologi)

KetinggianKemiringan Lereng

Tanah/Batuan(Geologi)

Erosivitas TanahKelulusan Air

PENGELOLAAN :PERDESAAN,PERKOTAAN

15KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Gambar 3 - 2: Keterkaitan antar tiga undang-undang

3.5 Perlakuan terhadap institusi dan keterikatan publik

Dari KLHS awal selama dua bulan yang dilakukan di Cekungan Bandung ini kaitan KLHS dengan institusi Cekungan Bandung diharapkan terjadi karena selain sebagai tindak lanjut Perda No.2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung juga menyandarkan pada tiga undang-undang, yaitu UU No.26/2007, UU N0.7/2005 tentang Sumberdaya Air dan UU No.19/2004 (atau No 41/1999) tentang Kehutanan.

Keterkaitan UU tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Sedangkan bagaimana akan mengikat publik belum dapat diformulasikan. Tingkat pendidikan publik cekungan Bandung relatif tinggi, sehingga akan segera memahami permasalahan yang ada dan peka terhadap berbagai keputusan yang mempengaruhi lingkungan. Walaupun demikian komitmennya terhadap tindak nyata tidak diketahui secara pasti.

Kepada publik mungkin data ditawarkan kondisi ideal sebagai berikut:

Gambar 3 - 2: Keterkaitan antar tiga undang-undang

Kawasan lindung kembali menjadi 178.394,74 a. hektar atau sekitar 52% dari total luas Cekungan Bandung seperti hutan alami , sehingga kapasitas penyimpanan kanopinya (canopy storage capacity) mencapai 28 m3/detik.Koefisien limpasan air sebesar 0,38 seperti ketika b. tahun 1964Koefisien Rejim Sungai (KRS = Qmax/Qmin) <50c. Debit aliran normal rata-rata = 41 m3/detikd. Daerah resapan air seluas 39.000 hektar, dengan e. asumsi koefisien permeabilitas 0,00001 cm/detik, sehingga mampu menyerap air hujan 39 m3/detik Erosi < 15 ton /ha/th f.

Konsekuensi dari pemulihan tata air seperti kondisi alami tersebut jelas rumit dan perlu kajian yang lebih mendalam. Hal ini akan merupakan sesuatu yang pelik dan mungkin memang tidak dapat diwujudkan. Kemungkinan lain adalah dikembangkan alternatif terbaik untuk dinegosiasikan (best alternatives to negotiate) yang seyogyanya menjadi hasil KLHS yang sepenuhnya.

16 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

4.1. Pendahuluan

Perkembangan perubahan penggunaan lahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di sekitar Kota Yogyakarta terjadi dengan cepatnya sehingga menimbulkan berbagai dampak pada lingkungan, baik yang berupa dampak pada aspek fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini terjadi pula di Wilayah Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul) yang dijadikan sebagai daerah kajian. Wilayah kajian merupakan daerah yang terintegrasi, antara dua kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Daerah ini merupakan daerah yang mencakup beberapa satuan ekosistem yang saling terkait. Daerah Kabupaten Sleman sebagian besar terletak di dalam kawasan ekosistem Gunungapi Merapi. Kota Yogyakarta mempunyai karakeristik sebagai ekosistem kota, sedangkan Kabupaten Bantul sebagian besar terdiri dari ekosistem dataran alluvial dengan sebagian dalam ekosistem pantai dan ekosistem pegunungan. Kabupaten Sleman yang terletak di bagian utara mempunyai curah hujan yang tinggi: dengan kelerengan ke arah selatan, kabupaten ini merupakan sumber air dari daerah di hilirnya, yaitu kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

Perkembangan ketiga daerah ini sedemikian cepat, sehingga perkembangan ini pula memerlukan persediaan dan penyediaan air yang cukup untuk mendukung berbagai kegiatan di daerah tersebut, baik untuk saat ini maupun untuk saat yang akan datang.

Sebagai kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa ekosistem ketiga wilayah tersebut saling terkait dalam sistem ekologi, yang diantaranya adalah system sumberdaya air. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman bertambah dengan laju yang sangat cepat. Hal ini menyebabkan porsi hujan yang menjadi aliran langsung menjadi lebih besar dan porsi air hujan yang meresap ke dalam tanah menjadi semakin kecil. Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat pemborosan penggunaan air serta pemanfaatan air yang kurang tepat. Satu contoh masalah adalah banyaknya hotel dan industri yang mengambil airtanah untuk mencukupi keperluannya. Penggunaan air tanah oleh hotel dan industri relatif belum baik. Beberapa industri menggunakan air tanah dengan kualitas yang baik, padahal sebetulnya masih ada sumber air lain yang dapat digunakan selain airtanah.

Wilayah Kartamantul memiliki karakteristik perkembangan sebagai berikut.

Kepadatan penduduk sangat tinggi, dengan konsentrasi pada kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta.Ada kecenderungan pemanfaatan sumberdaya air tanah yang berlebihan, yang melebihi kapasitas produksinya.Kebutuhan tempat menghuni, tempat berusaha, tempat bekerja, tempat berekreasi yang tidak terkendali, yang menjadikan terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang sangat cepat dan intensitas tinggi.Berbagai kegiatan kehidupan di atas bentang muka bumi wilayah mempengaruhi terbentuknya penurunan kualitas ruang wilayah (perkembangan area terbangun horisontal, padat dan dalam situasi dan kondisi kekumuhan).Perkembangan hal hal di atas ini menjadikan menurunnya daya dukung lingkungan dan semakin sulitnya ditemukan sumber air baku.Dari sisi kependudukan, semakin banyak warga masyarakat yang tidak mampu berkompetisi dalam hidup, berkontribusi nyata pada peningkatan angka kemiskinan. Fungsi kawasan pertanian yang ada seperti pertanian

lahan basah dan pertanian lahan kering juga harus dilindungi. Konversi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian akan menjadi ancaman bagi sumberdaya air Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa lahan pertanian dikonversi menjadi kawasan fungsi non pertanian yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.

Tata ruang dan lingkungan hidup wilayah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di dalam aturan normatif yang sudah ada dalam Raperda RTRW Provinsi DI Yogyakarta sudah disebutkan bahwa hal tersebut sudah digariskan dan bagaimana wujud strateginya sudah ada. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan bagaimana lingkungan hidup wilayah terkena dampaknya masih belum terdeteksi secara riil di lapangan pada saat ini.

17KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Gambar 4-1. Peta Administrasi Kawasan Kartamantul

Provinsi D.I. Yogyakarta

4.2. Keterkaitan antara KLHS dan Pengambilan Keputusan

Temuan-temuan dalam KLHS kawasan Kartamantul mengerucut pada :

Kesimpulan – kesimpulan pokok (kaitan sumberdaya a. air – tata ruang);Langkah – langkah pencegahanan pengendalian b. agar perlakuan masyarakat terhadap sumberdaya air dan tata ruang kawasan kartamantul dapat menjaga berfungsinya lingkungan berkelanjutan;Kapasitas SDM instansi pemerintah yang terkait c. dengan pengelolaan SDA, LH, penataan ruang masih sangat beragam dan umum serta masih belum memadai. Kapasitas ini diperlukan untuk dapat melaksanakan dan menegakkan syarat-syarat pembangunan secara lebih berkelanjutan.Berdasarkan hasil penjaringan pendapat dari d. masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, masyarakat sebenarnya mau dan patuh dalam melaksanakan aturan pembangunan yang lebih

berkelanjutan. Masyarakat memerlukan bimbingan dan contoh penerapan peraturan yang konsisten dari pemerintah;

Keempat temuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dan instrumen pengambilan keputusan pembangunan daerah. Untuk itu berbagai Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) yang akan menjadi keputusan pembangunan selayaknya mempertimbangkan ke empat faktor / unsur hasil KLHS tersebut.

Sebagai implementasi keterkaitan tersebut, setiap KRP yang akan dilaksanakan / diberlakukan di kawasan Kartamantul (yang seharusnya sudah mempertimbangkan 4 faktor tersebut) harus diterbitkan resmi oleh setiap pemerintah daerah dan tersedia bagi masyarakat yang memerlukannya. Disamping itu perlu disebarluaskan kepada setiap satuan kerja perangkat daerah, agar para stakeholders terkait dapat mengawasi secara transparan bagaimana perangkat daerah pelaksanaan KLHS

4.3. Isu Pokok Permasalahan di Kartamantul

Isu pokok permasalahan lingkungan hidup dan sumberdaya air serta tata ruang kawasan Kartamantul dapat

18 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

diungkapkan sebagai berikut :

a. Permasalahan lingkungan dan sumberdaya air.Dalam melakukan kajian atau analisis sumberdaya air

hal yang sangat diperlukan adalah adanya ketersediaan data sumberdaya air, yang tidak hanya merupakan data sesaat, tetapi juga merupakan data yang berkesinambungan. Tetapi data yang tersedia adalah data yang terputus-putus dan kadang hanya data sesaat. Data tersebut tidak terdapat secara merata di seluruh kawasan.

Upaya pemanfaatan lahan pada kawasan resapan air belum mendapatkan upaya pengaturan yang memadai. Pada kawasan resapan air di wilayah Kabupaten Sleman banyak terjadi gangguan terhadap berfungsinya resapan air tersebut dengan maraknya pembangunan permukiman dan fungsi lain, karena kurang efektifnya upaya pengendalian pemanfaatan lahan/ruang.

Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya air sebagai komponen lingkungan geofisik kimia belum sepenuhnya diperhatikan oleh masyarakat umum dalam pemanfaatan ruang wilayah.

Dalam tataran pemerintah pusat maupun daerah (propinsi dan kabupaten/kota), sebetulnya peraturan yang mengatur sumberdaya air sudah tersedia. Bahkan di tingkat Provinsi DI Yogyakarta pengaturan sumberdaya air juga sudah dipunyai sampai kepada SK Gubernur, seperti pembuangan limbah, baku mutu dan sebagainya. Namun demikian apabila kondisi kualitas air sebagaimana yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sungai sungai masih memiliki kualitas air yang kurang baik. Hal ini berarti terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataannya.

Perubahan penggunaan lahan yang begitu cepat merubah fungsi lingkungan hidup karena terutama desakan dan orientasinya kepada ekonomi dan kurang berpihak kepada kualitas lingkungan hidup. Kecenderungan mahalnya beaya produksi dalam bidang pertanian, menyebabkan orang lebih baik menjual tanah pertanian untuk dikonversi untuk penggunaan lainnya, yang secara ekonomi lebih menguntungkan, seperti misalnya untuk pengadaan kompleks perumahan dengan segala fasilitas yang dimilikinya.

b. Permasalahan Kependudukan dan sosial budayaKesadaran dan pengetahuan mengenai pengelolaan

lingkungan hidup masih sangat kurang, khususnya pada aspek konservasi air. Sebagian besar masyarakat masih memiliki anggapan bawah sumber daya air masih tersedia dengan cukup dan dengan itu perlindungan sumber air tidak diperlukan. Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini.

Kepentingan pribadi (private domain) lebih menonjol daripada kepentingan umum (public domain). Cara masyarakat pada umumnya menguasai dan menempati (okupansi) ruang wilayah lebih menuruti kemauan/kepentingan individu sendiri/keluarga daripada menaati aturan umum untuk kepentingan umum bersama. Hal ini berpengaruh pada perwujudan tata ruang yang dipengaruhi

pasar, yang menjadikan perkembangan loncat katak bangunan kawasan.

Perilaku “begini saja cukup” dan “cari mudahnya saja” yang dimiliki banyak pihak dalam melakukan sesuatu kerja dalam ruang, sehingga mewujudkan upaya penataan ruang yang dibawah standard dan tidak menaati aturan ruang dan aturan lingkungan hidup yang ada. Kondisi ini berpengaruh besar pada perwujudan tata kehidupan masyarakat pada umumnya memiliki kualitas ruang hdiup dan kualitas lingkungan hidupnya yang rendah, disamping memiliki perangkat kerja yang dibawah kualitas standard, yang menghasilkan tata ruang dan kondisi lingkungan hidup yang tidak memadai.

c. Permasalahan EkonomiFokus permasalahan terletak pada pada permasalahan

ekonomi yang pada kasus wilayah Kartamantul-berkaitan dengan meningkatnya laju konversi lahan pertanian. Dalam hal ini diketahui bahwa:

Desakan dan orientasinya kepada ekonomi dan kurang 1. berpihak kepada lingkungan hidup. Kecenderungan mahalnya beaya produksi dalam bidang 2. pertanian.Kesadaran masyarakat yang belum optimal dalam 3. mengelola lingkungan hidup, khususnya dalam konservasi air.Mengejar 4. orientasi kepentingan ekonomi bagi kehidupan masyarakat pada umumnya, tanpa mengindahkan norma standar penataan ruang dan lingkungan hidup, yang menjadikan perwujudan tata ruang wilayah menjadi memiliki kekumuhan dan kesemrawutan. Hal ini berpengaruh pada faktor penurunan kualitas lingkungan hidup pada ruang hidup kawasan pada umumnya. d. Permasalahan KelembagaanPada aspek kelembagaan problem sumberdaya air di

Kartamantul dapat dilihat sebagai berikut :1. Belum optimalnya kebijakan lingkungan Meski sudah ada kebijakan lingkungan dan tata ruang,

namun masih kurang dalam hal kualitas, sinergitas, implementasi dan evaluasinya. Lingkungan selalu ditempatkan pada proses yang eksploitatif. Disamping lemahnya koordinasi lintas bidang dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang, menjadikan kurang optimalnya pengawasan/pengendalian, dan karenanya menjadi lemah dalam hal pelaksanaan aturan hukum.

2. Lemahnya koordinasi kelembagaan antar daerah Sumberdaya air dan tata ruang dikelola oleh beragam

institusi tingkat daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota. Pelaksanaannya sesuai kebutuhan dan kepentingan sektoral, terkoordinasikan secara transparan lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pelaku yang sering menimbulkan kerancuan di lapangan.

3. Belum adanya lembaga pengendalian Pengelola sumberdaya air dan tata ruang belum

memiliki lembaga pelaksana pengendalian di lapangan, menjadikan pelik pada tataran pelaksana lapangan berkaitan dengan kewenangan – kewenangan yang tumpang tindih.

19KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

4. Kurang pelibatan peran stakeholder non pemerintah. Kawasan Kartamantul yang sebetulnya memerlukan

peran aktif seluruh pihak berkepentingan, namun kurang nyata pelibatan yang non pemerintah.

5. Lemahnya data dan sistem informasi. Pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang belum

didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Data dan informasi yang ada terbatas pada hal ihwal kependudukan yang mengkait sumberdaya air dan tata ruang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dinamikan kegiatan ekonomi dan dinamika ketataruangan serta dinamika lingkungan hidup belum memadai untuk analisis perencanaan sumberdaya air dan tata ruang.

e. Permasalahan Situasi Politik AdministrasiAdministrasi pemerintahan yang dijewantahkan dalam

hal pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan umum, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah tampaknya dapat digambarkan sebagai suatu upaya pasif. Terfokus pada kedudukan pelaksana pelayanan, tidak proaktif menjangkau kemasyarakat sebagai objek dan sekaligus subjek pembangunan. Hal ini menjadikan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang tidak banyak menjangkau situasi – kondisi kenyataan lapangan dan permasalahan – permasalahannya.

4.4. Metode Pendekatan

a. Lingkungan dan Sumberdaya airPermasalahan sumberdaya air didekati dan dipecahkan

dengan mengawalinya dari perolehan data yang baik sebagai bahan analisis. Data yang diperoleh dari instansi yang bertanggungjawab. Perbaikan dalam metode dan cara perolehan data diperlukan. Data hendaknya bukanlah data yang hanya sesaat dan meyebar secara proporsional diperlukan di wilayah Kartamantul. Data kualitatif juga diperlukan, seperti informasi dari penduduk setempat sangat juga diperlukan dalam melihat perubahan sumberdaya air dan lingkungan hidup. Baerbagai cara untuk mendapatkan data semacam ini, antara lain dengan wawancara mendalam dengan penduduk setempat. Analisis sumberdaya air diterapkan berdasarkan satuan ekosistem, dengan memperhatikan wilayah administrasi. Selain instansi yang bertanggungjawab, keterlibatan masyarakat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan hidup.

b. KependudukanPermasalahan penduduk terkait dengan masalah budaya.

Pendekatan yang harus dilakukan harus memperhatikan budaya masyarakat setempat. Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan penduduk adalah dengan mempertahankan budaya dan kearifan lokal dari intervensi budaya dari luar. Pendekatan-pendekatan secara persuasif diperlukan. Pertemuan-pertemuan dan bentuk-bentuk komunikasi dengan masyarakat setempat perlu dilakukan secara teratur dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal.

c. EkonomiDesakan kebutuhan ekonomi sangat besar yang

mendorong masyarakat mengabaikan kepentingan lingkungan hidup. Oleh sebab itu pendekatan ekonomi lingkungan diperlukan. Artinya, memperhatikan lingkungan hidup di dalam perkembangan perekonomian secara proporsional. Keuntungan ekonomi hendaknya tidak hanya dilihat dari keuntungan jangka pendek. Dalam hal ini diperlukan pemahaman dari pihak-pihak yang terkait, termasuk pemerintah dan masyarakat. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan yang bersfat kelembagaan dan juga pendekatan persuasif kepada masyarakat.

d. KelembagaanSebagai kunci solusi bagi masalah kelembagaan

pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan kartamantul terletak pada 2 hal berikut ini yang utama.1). Adanya lembaga pengawal terhadap penyelamatan

lingkungan hidup dan penataan ruang.2). Diselenggarakannya pertemuan–pertemuan koordinasi

yang efektif lintas pelaku, lintas sektoral dan lintas daerah dalam upaya pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang.

Di samping itu perlu didukung dengan semangat kerja yang memenangkan ”public domain” daripada ”private domain” dengan dilandasi kegiatan pelayanan/penanganan masalah penanggulangan penyimpangan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang, sedang metode kerja yang digunakan oleh pihak berkepentingan, terfokus pasca cara kerja yang terpadu dan menyeluruh (integrated & comprehensive).

e. Politik AdministrasiPendekatan yang perlu digalakkan dalam upaya

pemanfaatan hasil KLHS untuk pembinaan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang adalah disepakatinya oleh para pengambil keputusan pembangunan daerah yang ”berkomitmen” dalam menjaga kelestarian berfungsinya syarat lingkungan hidup dan tata ruang yang berkelanjutan”. Di sisi lain, dapat dimilikinya wacana ”sustainable development” sebagai acuan untuk kerja pembangunan daerah.

Metode kerja yang perlu digalakkan adalah: upaya

penggalangan kekuatan kerjasama lintas SKPD dalam pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang.

f. Pengaturan Tata RuangAtas dasar sifat situasi dan kondisi fisik bentang dan

wilayah Kartamantul yang terbagi dalam acuan kelerengan dan iklim yang ada dalam 3 bagian kawasan: atas, tengah, bawah atau utara, tengah dan selatan, dipakai sebagai landasan bekerja analisis dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang tentunya didukung oleh informasi ”kesesuaian lahan” yang akan memberikan ketetapan pilihan upaya pembangunan kegiatan ekonomi dan upaya penjagaan kelestarian berfungsinya lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Berkaitan dengan metode kerja pengaturan tata ruang ini

20 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

dapat diungkapkan sebagai berikut:Kemudahan mengakses bagi masyarakat untuk bisa 1) mengetahui dan memanfaatkan rencana pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang wilayah yang ada di kawasan Kartamantul.Dilakukannya sosialisasi dan familiarisasi aturan 2) hukum pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang di lingkungan satuan kerja perangkat daerah dan di lingkungan komunitas masyarakat, agar para stakeholder menjadi ” masyarakat sadar lingkungan hidup dan tata ruang”Disediakannya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk 3) teknis bagi pelaksanaan sektoral untuk kepentingan operasi pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang, untuk menjadi pelaksana yang andal dan terpercaya.Dilakukannya pengawasan dan pengendalian yang 4) memadai terhadap upaya pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya air dan ruang wilayah oleh masyarakat.

4.5. Penanganan isu–isu institusional dan keterlibatan masyarakat dalam proses

KLHS

Berdasarkan penelaahan pustaka, diskusi dengan stakeholder dan pengamatan di lapangan, maka hasil yang diperoleh sebagai screening dan scoping sekaligus bidang sumberdaya air dan bidang tata ruang dapat diringkaskan secara umum kebutuhan analisis KLHS sebagai berikut ini.

a. Institusi / kelembagaanPenelitian1. yang terkait dengan potensi dan permasalahan sumber daya air dan tata ruang sudah banyak dilakukan, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh perguruan tinggi dalam bentuk kerjasama dengan instansi pemerintah maupun sebagai bagian dari penelitian dosenn dan tugas akhir para mahasiswa, dalam bentuk laporan penelitian maupun publikasi lain. Namun demikian penelitian tersebut bersifat sporadis, dan tidak berkesinambungan, dan belum terinformasikan ke daerah. Diperlukan pemanfaatan informasi untuk analisis lebih lanjut.Peraturan perundangan2. yang terkait dengan lingkungan hidup dan tata ruang kawasan Kartamantul terutama menyangkut sumberdaya air dan pemanfaatan lahan sudah cukup banyak tersedia, hanya di dalam implementasinya di lapangan menghadapi berbagai macam kendala, antara lain adalah pemahaman masyarakat terhadap perundangan tersebut. Peraturan tersebut biasanya tidak memberikan dampak langsung kepada penduduk dan sifatnya lebih kepada pengaturan untuk melakukan sesuatu dan larangan untuk tidak melakukan sesuatu yang dampaknya belum tentu bisa dipahami secara jelas oleh masyarakat awam. Peraturan tersebut pada umumnya masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi antara sektor satu dengan sektor yang lain, khususnya belum bermuatan wawasan berkelanjutan. Diperlukan pengembangan substansi untuk analisis lebih lanjut.Peningkatan kapasitas 3. secara kontinyu bagi para

pelaksana pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang untuk menambah wawasan dan ketrampilan dalam melancarkan upaya pelestarian berfungsinya lingkungan hidup yang berkesinambungan.Perlunya secara kontinyu diselenggarakan konsultasi 4. publik untuk kelancaran setiap KRP yang perlu berwawasan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan pembangunan kawasan Kartamantul.Perlunya dibentuk lembaga pengawal pemberlakuan 5. KLHS bagi kepentingan pembangunan kawasan Kartamantul. Bisa dititipkan fungsi dan tugas lembaga ini pada badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi DIY, ataupun bias berbentuk lembaga independent yang dilembagakan sebagai Forum Stakeholder Pelaksanaan KLHS.Perlunya secara kontinyu diadakan dialog koordinasi 6. penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan hidup serta tata ruang kawasan Kartamantul untuk mendapatkan progress neraca keseimbangan kemajuan sumberdaya air dan penataan ruang.Diperlukan lembaga yang dapat melakukan deteksi 7. lapangan dengan cermat untuk mengkaji perubahan lingkungan hidup yang diperlukan bagi analisis lebih lanjut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa daerah penelitian sebagian mengalami kekurangan air untuk musim kemarau, terjadi banjir untuk daerah-daerah hilir pada waktu musim penghujan. Konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian berjalan cepat, menyebabkan berubahnya kemampuan tanah untuk meresapkan air ke dalam tanah, menimbulkan banjir di sebelah hilir, disamping membentuk nuansa ruang yang sesak. Diperlukan koordinasi yang baik dalam menangani 8. dan memecahkan masalah sumberdaya air (banjir, kekeringan, kekritisan air) antar instansi, dengan koordinator instansi yang bertanggungjawab pada sumberdaya air. Disamping itu juga harus melibatkan masyarakat secara komprehensif.

b. Keterlibatan MasyarakatKepedulian masyarakat1. akan lingkungan, termasuk dalam hal ini terhadap sumberdaya air dan tata ruang kawasan sangat bervariasi. Masyarakat awam tidak memperhatikan dengan seksama akan terjadinya fenomena perubahan sumberdaya air yang semakin berkurang. Hal ini dapat terjadi karena dulu daerahnya tidak pernah mengalami kekurangan air, sehingga beranggapan bahwa air selalu tersedia sepanjang waktu. Masyarakat Awam juga tidak peduli pada kesesakan pemanfaatan ruang, yang penting mereka dapat tempat bertengger sesuai kepentingan hidup mereka; ruang dianggap masih longgar selalu disediakan oleh Yang Maha Kuasa. Pada hal, perubahan lingkungan terjadi sedemikian cepat sehingga akan mempengaruhi pula ketersediaan sumberdaya air, dan sumberdaya air semakin menyusut, mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata ruang kawasan yang juga menjadi semakin tidak nyaman dan semakin diliputi rawan bencana. Diperlukan pencermatan terhadap

21KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

pergeseran pemanfaatan lahan, disamping alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian untuk melihat kemungkinan penghidupan masyarakat lebih baik di masa depan.Peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya 2. pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang,utk dapat memiliki stakeholder yang mantap dan berwacana positif bagi kepentingan dilibatkannya dalam forum pertemuan KLHS ini.Diselenggarakannya forum diskusi masyarakat 3. di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten / kota di wilayah kawasan Kartamantul dalam membahas persoalan – persoalan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang, untuk mendapatkan wacana perkembangan lingkungan hidup yang berkesinambungan.Ada perwakilan masyarakat umum dan tokoh 4. masyarakat yang duduk dan berfungsi nyata dalam lembaga pengawal pelaksanaan beroperasinya hasil keputusan KLHS.Peningkatan kapasitas anggota lembaga legislatif 5. daerah di 3 kawasan Kartamantul dalam bidang pemahaman konsep KLHS. Proses kerja KLHS dan operasi hasil keputusan KLHS, untuk mendapatkan dukungan komunitas politik.

4.6. Rekomendasi untuk pelaksanaan tahap kelanjutan

Bagi kepentingan kelanjutan proses KLHS kawasan Kartamantul ini agar menjadi suatu hasil kerja yang menyeluruh dan terpadu, dapat diungkapkan beberapa hal berikut yang dijaring melalui 2 bidang ini:

a. Kebijakan yang diperlukan untuk tahap aksi berikutnya.

Kebijakan politis yang mempunyai bentuk dan 1. kedudukan hukum, menempatkan komitmen pimpinan daerah untuk mengarus-tamakan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan teknis pembangunan daerah Kebijakan substansi yang memposisikan hasil KLHS 2. sebagai materi dasar bagi konsep dan strategi pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan.

Kebijakan normatif yang menempatkan wacana 3. aturan hukum lingkungan hidup dalam bidang pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang / kawasan menjadi masukan pokok dalam upaya setiap ”legal drafting” sektoral untuk pembangunan kawasan Kartamantul yang berkelanjutan.Kebijakan teknis yang mengatur / mengarusutamakan 4. pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan yang berwawasan pembangunan berkelanjutan sebagai acuan kerja teknis seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah di tiga wilayah tersebut.Kebijakan psikologis yang menempatkan harapan 5. terciptanya masyarakat Kartamantul yang berbudaya pembangunan berkelanjutan sebagai bentukan semangat kerja operasi hasil KLHS bagi semua stakeholders.

b. Peran dan Posisi KLHS dalam peluang pembangunan kawasan Kartamantul pada masa mendatang

KLHS sebagai suatu kerangka pemikiran dan kerangka kerja pembangunan daerah yang berkelanjutan perlu diperankan dan dioperasikan sebagai preposisi/semboyan membangun yang lebih baik bagi kawasan Kartamantul dan bagi wilayah DIY secara keseluruhan, untuk itu diperlukan upaya pengarusutamaan dalam setiap tahap kegiatan yang perlu ”ber-KLHS” dalam urutan perumusan Kebijakan – Rencana – Program sampai dengan operasi implementasi setiap jenis pembangunan sektoral khususnya operasi pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan, sampai kepada upaya pemantauan dan evaluasinya untuk mendapatkan progress kerja sektoral berwawasan berkelanjutan.

Disamping itu untuk tingkat Provinsi DIY diperlukan kelanjutan kerja KLHS dengan kelengkapan pada Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul sekaligus satu kesatuan pengerjaan.

22 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

5.1 Kondisi Umum Kota Bima

Secara geografis Kota Bima terletak antara 118o41’ – 118o48’ BT dan 8o30’ – 8o20’ LS, dengan batas-batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima, dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bima.

Secara spasial penyebaran 5 lima kecamatan di Kota Bima dapat dilhat pada Gambar 1.

Landform wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 5 landform utama yaitu landform Aluvial, Landform Marin, landform Volkanik, dan landform karst. Dikota Bima landform alluvial dapat dibedakan menjadi dataran banjir (didaerah dekat pantai), dataran alluvial (di Kota Bima), dan dasar lembah (jalur aliran sungai). Di wilayah Kota Bima landform marin dibedakan menjadi dua bagian yaitu

pesisir (pesisir pasir dan pesisir lumpur) dan tebing batuan. Landform volkanik menduduki wilayah yang paling luas di kota Bima, dan secara spasial menduduki wilayah bagian utara Kota Bima. Landform karst menduduki wilayan paling utara dan bagian tenggara, kota Bima.

Wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok ketinggian tempat yaitu ketnggian antara 0 - 25 m, 25 – 50 m dan lebih dari 50 m. Berdasarkan data Kota Bima dalam angka (2007) wilayah dengan ketinggian tempat lebih dari 50 m, menduduki luasan yang paling besar, sedangkan wilayah dengan ketinggian 0 -25 m yang menduduki luasan yang paling sempit.

Berdasarkan data geologi dan data kedalaman efektif, kawasan Kota Bima memiliki stabilitas tanah dan geologi yang tinggi, kecuali pada dareah yang mempunyai kemiringan lereng diatas 30 %, dan, tingkat erosi rendah, resapan air tanah dangkal relatif besar serta relatif aman

Gambar 5 - 1. Penyebaran kecamatan diseluruh wilayah Kota Bima

23KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

terhadap bencana. Dengan demikian kawasan ini potensial untuk kawasan perkotaan, terutama dengan daya dukung lahan terhadap beban kegiatan yang ada diatasnya. Kawasan seperti tersebut terutama berada di pusat Kota Bima. Dengan kondisi fisik alamiah yang sedemikian rupa dan lahannya relatif masih banyak yang kosong, memungkinkan ke depan untuk pengembangan fisik kota. Akan tetapi saat ini lahan tersebut sebagian masih berupa lahan pertanian, yang tentunya dalam pengembangan wilayah juga harus dipertimbangkan.

Hidrologi air permukaan pada umumnya berasal dari bendungan, dam dan sungai-sungai yang mengalir di Kota Bima. Di Kota Bima terdapat dua sungai besar yaitu Sori Dodu dan Sori Na’e sedangkan sungai-sungai lain yang melewati Kota Bima adalah Sori Padolo, Sori Rontu, Sori Tambe, Sori Ntobo, Sori Nangarade dan Sori Melayu. Sungai-sungai ini sifat dan kondisinya keairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, vegetasi dan batuan penyusunnya terhadap sifat air.

Selain air hujan, sumber utama lain dari air sungai ini adalah mata air. Di Kota Bima terdapat 4 sumber mata air yaitu mata air Witi yang mempunyai debit 25 liter/detik, mata air Oi Fo’o dengan debit 20 liter/detik, mata air Mada Masa dengan debit 15 liter/detik dan mata air Oi Si’i yang berdebit 2.5 liter/detik. Semua mata air ini berada di Kecamatan Rasana’e Timur yang merupakan daerah hilir dari Kota Bima. Pemanfaatan air tanah oleh masyarakat Kota Bima lebih banyak digunakan sebagai sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga. Kedalaman air tanah, yang direpresentatifkan oleh kedalaman sumur masyarakat berbeda-beda, dipengaruhi oleh keadaan topografi wilayah dan kondisi

curah hujan. Pada wilayah berbukit, kedalam air sumur pada musim hujan berkisar antara 7-12 meter sedangkan pada musim kemarau kedalaman sumur rata-rata lebih dari 15 meter. Di wilayah dataran rendah kedalaman sumur pada musim hujan berkisar antara 4-5 meter dan pada musim kemarau kedalaman sumur antara 6-9 meter.

Gambar berikut memberikan ilustrasi lokasi-lokasi banjir di Kota Bima.

Kota Bima didominasi oleh tanah-tanah yang masih muda dan peka terhadap erosi seperti jenis tanah Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol serta jenis tanah Kompleks Litosol Mediteran Coklat Kemerahan dan Mediteran Coklat. Jenis tanah Kompleks mediteran dan Litosol merupakan tanah yang mempunyai solum tanah yang dangkal dan kurang subur untuk budidaya pertanian. Bentuk topografi yang beragam dengan tingkat kelerengan yang cukup curam juga merupakan salah satu kondisi alam yang mempengaruhi besarnya tingkat erosi tanah. Berdasarkan hasil prediksi erosi dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) dan Sistem Informasi Geografi memperlihatkan bahwa didaerah-daerah timur, selatan dan utara kota Bima mempunya tingkat erosi aktual yang beragam, sedangkan di daerah pusat kota tingkat erosi aktual cukup seragam. Bentuk lereng dan keadaan jenis tanah sangat mempengaruhi besarnya erosi aktual di daerah pinggiran Kota Bima. Erosi-erosi aktual yang sangat tinggi terjadi di desa/kelurahan Rabadompu, desa Sambina`e dan desa Lampe.

Secara umum, kondisi alam lingkungan Kota Bima sangat dipengaruhi oleh adanya kondisi dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Musim hujan kejadiannya

Gambar 5 - 2. peta lokasi banjir di Kota Bima

24 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

sangat singkat yaitu selama tiga bulan (bulan Desember sampai dengan bulan Februari), sedangkan sisanya adalah musim kemarau yang terjadi selama 9 bulan yaitu mulai bulan Maret sampai bulan November. Musim kering yang lama, menyebabkan Kota Bima mengalami defisit air hingga 8 bulan yaitu mulai April – November. Defisit air tertinggi terjadi pada bulan (Agustus – Oktober). Hal ini terjadi karena curah hujan yang tinggi pada bulan basah (Desember – Februari) semuanya mengalir ke laut, sehingga tidak dapat dimanfaatkan kembali pada waktu musim kemarau. Melalui rekayasa lingkungan seperti membuat waduk atau embung, meningkatkan imbuhan air tanah dengan membuat sumur resapan dan biopori, melakukan penghjauan dan reboisasi di daerah hulu, di daerah hulu, meningkatkan luasan hutan minimal 30 % pada setiap DAS yang bermuara ke Kota Bima dan penetapan hutan rakyat pada lahan pertanian dapat mengendalikan banjir dan erosi dimusim hujan dan mengatasi kekeringan dimusim kemarau.

Kota Bima dengan luas 222,25 km2 mempunyai jumlah penduduk 127.373 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 573 jiwa/km2. Namun jumlah penduduk ini tidak tersebar secara merata dan tingkat kepadatan tertinggi terjadi pada 2 kecamatan yaitu Kecamatan Rasanae Barat ( 2.812 jiwa/km2) dan kecamatan Mpunda (1.669 jiwa/km2). Jumlah penduduk sebesar 127.373 jiwa dapat memproduksi sampah 96 m3/hari. Sampah ini tidak semuanya dapat diangkut ke TPA. Jumlah penduduk yang cukup besar selain memproduksi sampah yang cukup besar, juga memerlukan tempat permukiman dan sumber pendapatan yang memadai, hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan degradasi hutan.

Kebijakan pembangunan Kota Bima dalam kurun waktu lima tahun (2003 – 2008) yang tertuang dalan Rencana Strategis Kota Bima yang berkaitan erat dengan lingkungan hidup wilayah Kota Bima adalah kebijakan fisik dan ekonomi.

Di bidang fisik, kebijakan tersebut difokuskan pada sektor pemukiman, sarana dan prasarana wilayah, dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti permukiman dan penyehatan lingkungan dalam rangka peningkatan kesejahteraan penduduk, serta meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang (fisik dan kelembagaan) untuk mengakselerasikan berbagai kegiatan ekonomi lokal.

Kebijakan ekonomi Kota Bima dijabarkan ke dalam kebijakan sektor-sektor unggulan. Disektor pertanian secara umum rencana pembangunan pertanian Kota Bima diarahkan untuk pengembangan dan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya pertanian, kehutanan, perkebunan, dan peternakan yang berorientasi pada pengembangan agribisnis dan agroindustri agar mampu meningkatkan keunggulan kompetitif dan tetap mempertahankan keunggulan komparatif. Disamping itu, rencana pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas juga menyangkut peningkatan usaha rehabilitasi, konservasi dan efesiensi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan perkotaan. Kebijakan pembangunan pertanian

di Kota Bima terdiri dari peningkatan pelayanan saprodi dan penyuluhan bagi peningkatan produksi tanaman pangan dan holtikultura, pembuatan demplot irigasi tetes pada lahan kering dan tabulapot dan tabulakar, perlindungan tanaman dan pengamanan produksi pada lahan pekarangan, peningkatan SDM tentang tata cara pengelolaan agribisnis dan usaha tani berwawasan agribisnis (SL-UBA), dan pengembangan sentra produksi tanaman obat-obatan meliputi songga, nonu/mengkudu.

Kebijakan pembangunan di bidang perkebunan adalah pengembangan tanaman kelapa, tanaman wijen, pengembangan tanaman jahe, tanaman mangga (buah segar, buah kakeng) dan tanaman jambu mente (mente kering). Di bidang peternakan meliputi pengembangan ternak sapi bibit, ternak kambing/domba, ternak unggas (ayam, itik, bebek dan telur) serta kerbau dan kuda.

Sementara di bidang kehutanan adalah pembentukan kelompok mitra pengamanan hutan, pengendalian kerusakan hutan, peningkatan pendapatan kelompok usaha tani terpadu, peningkatan fungsi hutan sesuai peruntukannya.

Kebijakan pembangunan disektor perikanan dan kelautan adalah Peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan perekonomian masyarakat; Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidayaan ikan, dan masyarakat pesisir; Perlindungan dan pengawasan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan beserta ekosistemnya; Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas sumberdaya manusia, aparatur, masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan; dan Pengembangan teknologi dan sistem informasi perikanan dan kelautan.

Struktur pengembangan wilayah mencakup lima BWK (Bagian Wilayah Kota) yang meliputi: BWK Pusat kegiatan sebagai daerah komersial (perdagangan dan jasa) serta pelayanan umum (perkantoran dan fasilitas sosial); BWK Selatan dengan fungsi sebagai kawasan perdagangan skala regional, kawasan permukiman dan jasa skala regional; BWK Utara dengan fungsi sebagai pusat kegiatan bongkar muat barang dan orang disekitar pelabuhan Bima, perikanan, perdagangan skala lokal hingga regional dan kegiatan industri menengah dan pergudangan; BWK Timur dengan fungsi sebagai kawasan pertanian, pertambangan, perikanan darat, permukiman dan perdagangan skala lokal serta transportasi skala lokal; dan BWK Tenggara dengan fungsi sebagai kawasan pertanian, permukiman dan perdagangan skala lokal serta transportasi skala lokal.

Rencana sistem transportasi jalan raya terdiri atas rencana sistim jaringan jalan, rencana sirkulasi, rencana angkutan umum dan rencana pengembangan terminal.

Rencana sistem jaringan jalan meliputi pengembangan jalan lingkar (ring road) yang terdiri dari jalan lingkar Utara - Barat, jalan lingkar Utara – Timur, jalan lingkar Timur – Selatan dan jalan lingkar Barat – Selatan serta pengembangan jalan lintas utara Pulau Sumbawa yang melintasi Kota Bima melalui peningkatan akses yang berbatasan dengan Kecamatan Wera Kabupaten Bima melalui Kelurahan Melayu dan Kolo; Rencana sirkulasi disesuaikan dengan rencana jaringan jalan

25KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

lingkar luar; Rencana angkutan umum diarahkan untuk dapat melayani jalur-jalur utama kota dan dapat mencapai berbagai lokasi utama kota. Rencana pengembangan terminal diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan penumpang dan barang skala pelayanan lokal, regional dan nasional yang berlokasi di Kelurahan Paruga.

Rencana sistem transportasi laut Kota Bima meliputi pelabuhan bongkar muat dan pelabuhan penumpang; Pelabuhan bongkar muat untuk jalur distribusi barang kearah pulau Sulawesi, Kalimantan dan NTT, untuk komoditi wilayah Kota Bima; Pelabuhan penumpang diarahkan pada pengaturan waktu penyeberangan jenis kapal dan jenis kendaraan; dan Pengembangan pelabuhan rakyat diarahkan pada kegiatan penataan kualitas kawasaan dermaga beserta fasilitas pendukungnya.

Pengembangan jaringan listrik berupa, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang diarahkan pada Kecamatan Asakota Kota Bima; Pembangunan Gardu Induk dan jaringan tegangan tinggi/SUTT.

Rencana pengembangan jaringan penyediaan air minum berupa pengembangan sumber-sumber mata air, pengembangan sistem jaringan air bersih dan peningkatan kualitas air minum/bersih;

Rencana pengembangan jaringan drainase, berupa pengembangan saluran pembuangan air hujan dan pembuangan limbah rumah tangga; membangun sumur resapan pada tiap kawasan pemukiman; Pengembangan saluran pembuangan limbah rumah tangga dengan pengadaan saluran drainase di kiri-kanan jalan pada kawasan terbangun.

Pola Ruang untuk kawasan lindung, yaitu mempertahankan Kawasan-kawasan resapan air; kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan seperti Istana Raja dan Mesjid Sultan Salahuddin; Sempadan Pantai; Sempadan Sungai; Kawasan ruang terbuka hijau; Kawasan Rawan Bencana; Kawasan Bakau.

Pola ruang kawasan budidaya, yaitu meliputi kawasan terbangun dan tidak terbangun.

kawasan terbangun - yang diarahkan di luar BWK Pusat, •terutama di BWK Utara; pembatasan kegiatan terbangun dan secara bertahap dilakukan pembebasan lahan disekitar bantaran sungai. Rencana pengembangan kawasan perdagangan dan jasa yaitu kawasan perdagangan campuran meliputi usaha garment/konveksi, elektronik, dealer motor, biro perjalanan, jasa perbankan; Pusat pembelanjaan berupa pasar raya, plasa, pasar swalayan yang diarahkan pada sekitar BWK Pusat; Pasar Lingkungan lokasinya menyebar merata di Kota Bima, Pedagang Kaki Lima diarahkan pada lokasi-lokasi yang mempunyai aksesibilitas yang tinggi. Rencana pengembangan kawasan wisata berupa pengembangan obyek wisata belanja, wisata olahraga dan wisata alam. Rencana pengembangan kawasan industri berupa Rencana pengembangan kawasan industri dan pergudangan.

Rencana pengembangan kawasan pertanian berupa Kawasan pertanian yang dipertahankan secara mutlak; Kawasan pertanian lahan kering yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan terbangun di Kelurahan Kolo, Jatiwangi, jatibaru dan sebagian Kelurahan Santi; Memanfaatkan lahan pertanian produktif yang ada di sekitar pusat kota atau kawasan pertanian yang berada pada area yang merupakan arah kecenderungan perkembangan kota, seperti di sekitar kawasan jalan Gatot Subroto.

Dari sisi sosial budaya, Bima mendekatkan penghuninya pada kehidupan yang esoteris bahkan transeden. Tradisi Islam yang kuat menjadi mesin pendorong pada orang Bima untuk menjadi orang-orang tangguh, ulet dan punya karakter. Dalam sejarah Bima peranan ulama sangat menentukan. Mereka menjadi bagian penting dari lembaga kerajaan. Nasehat para ulama menjadi salah satu dasar keputusan raja. Kehidupan sosial budaya dan religius di daerah ini sangat berjalan harmonis dan rasa saling hormat menghormati atas keyakinan yang berbeda sangat tinggi. Berdasarkan data statistik tahun 2007, sebanyak 97,82 % dari penduduk kota Bima adalah beragama Islam dan hanya sekitar 2 % beragama yang lain seperti Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.

5.2 KLHS dan Pengambilan Keputusan

Kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah Kota Bima adalah menggunakan KLHS dalam rangka pengayaan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, terutama untuk mengetahui masalah lingkungan hidup yang paling menonjol di Kota Bima, mengetahui penyebab terjadinya masalah lingkungan hidup di Kota Bima, mengetahui sudah terintegrasi tidaknya masalah lingkungan dalam kebijakan, rencana dan program serta merumuskan alternatif kebijakan rencana dan program yang dapat diusulkan dalam menangani masalah lingkungan tersebut.

Pemerintah Daerah dalam hal ini diwakili oleh institusi Bappeda dan BLH Kota Bima bersepakat akan memanfaatkan hasil KLHS sebagai bahan dan sarana pendukung pengambilan keputusan; mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas masalah-masalah yang ada di kota Bima; mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi; basis untuk tata pengaturan yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi serta memfasilitasi kerja sama lintas batas untuk mencegah konflik berbagai pemanfaatan sumber daya alam dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.

Dukungan dari Environmental Support Program (ESP-DANIDA) adalah tim coaching kepada konsultan lokal yang telah dikontrak oleh Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) regional Bali dan Nusa Tenggara, staff PPLH Regional Bali dan Nusa Tenggara, Bappeda dan BLH Kota Bima. Coaching dilakukan melalui kehadiran tenaga ahli dalam

26 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

2 kali workshop. Pada kunjungan pertama, tim coaching memberikan ilustrasi langkah-langkah KLHS dan menapis isu strategis. Kunjungan kedua dimaksudkan untuk memberikan review atas hasil KLHS tim lokal.

5.3 Permasalahan, kerangka pikir dan metoda

Dalam penyusunan studi, tim melakukan desk study terhadap:

a) data primer (Landform, Erosi & banjir, kekeringan); b) data sekunder (Bima Dalam Angka, PDRB Peta Rupa

Bumi, Geologi, Tanah); dan c) KRP (Rencana Tata Ruang, Status Lingkungan Hidup

Daerah (SLHD), Rencana Strategis); mendapatkan permasalahan strategis berupa banjir, erosi, kekeringan, alih fungsi lahan, degradasi hutan, dan sampah.

Hubungan antara masalah yang satu dengan masalah yang lainya dapat dilihat pada Gambar 3.

5.3.1 Pelingkupan berdasarkan geologi

Metoda lain yaitu pelingkupan berdasarkan kondisi lingkungan geologi, yang ditunjukkan tim coaching memberikan dimensi lain dalam KLHS Kota Bima. Kota Bima terletak di lembah, pedataran aluvial; terletak pada endapan alluvial, batuan gunung api (pliosen), batugamping (miosen), batuan gunung api (miosen). Secara umum, dengan kondisi geologi tersebut, kota Bima mempunyai potensi air yang kurang bagus kuantitas dan kualitasnya. Dari kuantitas, kondisi umumnya intensitas curah hujan sedang dan kecil, debit sungai di musim kemarau kecil dikarenakan base flow kecil, sehingga air tanah menjadi sumber air strategis.

Bila melihat secara spesifik fungsi ekonomis Kota Bima, sedimentasi di Teluk Bima akan menjadi salah satu masalah strategis lainnya untuk Kota Bima. Muara yang sempit serta bentuk sedimentasi atau aliran air yang menyerupai pita terbentuk alami sepanjang garis pantai di teluk Bima. Bentuk teluk (memanjang dan sempit) dan pola pembentukan sedimentasi dan genangan di Kota Bima (long-shore current - arus sepanjang panjang, yang ada didepan (teluk Flores) tidak bisa menyebarkan endapan) akan memicu terjadinya sedimentasi lebih cepat di Teluk Bima. Mudahnya pembentukan sedimentasi di teluk Bima akan mengganggu aktivitas di Pelabuhan Bima dan transpotasi laut (padahal transportasi laut adalah transportasi yang paling vital untuk Bima, karena Bima sangat sulit dijangkau melalui transportasi darat dan udara); dan juga akan mengganggu kegiatan usahan perikanan, kelautan dan penambangan garam. Selain itu, juga akan mengganggu rencana pengembangan wisata kota Bima khususnya pengembangan kawasan wisata pantai. Secara gamblangnya, seiring waktu, sedimentasi di Teluk

- Topografi- Topografi- Vegetasi - Lereng - Jenis tanah- Geologi

Iklim

EROSI

BANJIR

PendudukALIH FUNGSI LAHAN

KEKERINGAN DEGRADASI HUTAN

SAMPAH

Kondisi fisik Kota Bima

Gambar 5 - 3.Permasalahan Kota Bima dan hubungannya antar permasalahan

Bima akan mengganggu kegiatan pengembangan ekonomi di Kota Bima, atau bahkan akan mengganggu keberadaan kota Bima. Upaya mitigasi yang bisa dilakukan adalah pengelolaan wilayah dengan penetapan zona budidaya untuk mengurangi terbentuknya sedimentasi maupun zona rawan gelombang pasang, untuk menghindari dampak bahaya yang disebabkannya. Keduanya membutuhkan upaya bersama

27KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

Gambar 5 - 4. kondisi delta di Kota Bima

5.4 Proses partisipasi publik

Dari konsultasi publik yang dihadiri oleh multistakeholder di Kota Bima, SKPD maupun LSM yang dilibatkan menanggapi hasil studi yang ada sekarang masih dalam ranah teknis saja, studi ini masih perlu diperkaya dengan melakukan kajian terhadap implikasi KRP maupun kebijakan payung (visi, misi) terhadap kebutuhan dasar masyarakat dan nilai-nilai sosial. Apabila memungkinkan, juga memasukkan kajian mengenai model mekanisme insentif yang bisa diterapkan khususnya bagi masyarakat yang beraktivitas di daerah konservasi.

Dari ilustrasi sisi waktu maupun besaran yang diakibatkan oleh perubahan iklim (terutama banjir dan ketersediaan air), LSM juga merasa perlu untuk memasukkan ruang lingkup alternatif KRP dalam mitigasi perubahan iklim dengan mempertimbangkan secara serius aspirasi masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai subyek tidak hanya obyek.

Dinas pertanian mengharapkan memasukkan rekomendasi penyeleksian jenis kegiatan pertanian yang sesuai dengan karakteristik alam Kota Bima.

5.5 Rekomendasi

Untuk melanjutkan proses KLHS setelah proses penapisan dilakukan,

Dari sisi kelembagaan, keterlibatan pemerintah daerah diharapkan lebih aktif. Pembentukan tim KLHS lokal yang ditunjuk oleh Kepala pemerintah diharapkan bisa menginternalisasi KLHS kedalam kegiatan rutin pemerintahan daerah. Dari sisi metodologi perlu dilanjutkan dengan melakukan overlaying skenario KRP program-program pemerintah daerah Kota Bima (apa yang akan dibangun) dan dimana akan dibangun (RTRW) melalui pendekatan rasional. Dengan demikian, orientasi dan implikasi KRP terhadap pembangunan berkelanjutan di Kota Bima sudah dapat diilustrasikan

28 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

6.1 Kesimpulan

Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi arus-utama (main-streaming) bagi pembangunan di Indonesia sebagaimana yang diamanahkan dalam Rencanan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah merupakan konsep atau pemikiran yang tidak dapat begitu saja didefinisikan secara kaku (rigid), seperti yang disampaikan oleh Jacquet (2009):

“Sustainable Development is, above all, a social and political concept. It cannot be decreed, and cannot be defined by purely scientific methods. Against a backdrop of increasingly precise but still incomplete scientific research, sustainable development is being carried forward by groups who have their own value systems and interests and who are negotiating to define what the world id or should be”.

Dengan pengertian di atas, maka KLHS yang bertujuan untuk mewujudkan kapasitas pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Pendekatan penerapan eksplorasi aspirasi publik seperti yang diterapkan pada percontohan di Ciayumajakuning diharapkan menjadi satu pendekatan yang wajar dalam kerangka KLHS. Lebih dari itu pola kegiatan penerapan tahapan KLHS di daerah pilot Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung memungkinkan untuk direplikasi sebagai model penerapan KLHS berbasis partisipasi masyarakat. Kegiatan percontohan di Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung dirancang untuk menjadi asupan bagi perumusan Peraturan Gubernur (PerGub), Perda (Peraturan Daerah) dan rumusan RTRW bagi pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air. Sementara itu percontohan di Kartamantul ataupun Kota Bima, yang juga memfokuskan pada masalah pengelolaan sumber daya air menggunakan pendekatan yang lebih konvensional dalam mengkaji hasil kerja KLHS. Contoh terakhir merupakan kegiatan penilaian terhadap hasil penerapan KLHS. Dalam menilai hasil KLHS di Kartamantul dan di Kota Bima digunakan kerangka kriteria yang dikembangkan oleh IAIA (International Association for Impact Assessment. Hasil KLHS dan reviewnya dapat dimanfaatkan untuk proses penguatan rumusan RTRW yang sedang dalam proses legislasi.

Sejumlah hambatan ditemui saat pelaksanaan pilot dimasing-masing daerah pilot. Hambatan yang utama dari pelaksanaan KLHS ini disebabkan oleh

Tidak mudahnya menyusun jadwal keterlibatan 1. stakeholders (para pemangku-jabatan) dalam satu kelompok diskusi.Belum seragamnya pemahaman dan manfaat konsep 2. KLHS

KLHS baru diterima secara terbatas dan belum 3. sepenuhnya diakomodir dalam Acuan Kerja (berupa ToR) operasional di tingkat Pemerintah Daerah.

Dari pelaksanaan pilot project di tahun 2008 banyak hal patut diapresiasi. Di DI Yogyakarta, pemerintah propinsi berinisiatif melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis bagi perbaikan proses perencanaan pembangunan. Inisiasi ini tidak berhenti pada tahapan penapisan (screening) dan pelingkungan (scooping), namun juga berlanjut pada tahapan selanjutnya. Hasil kajian KLHS telah dipaparkan kepada Gubernur DIY. Pada Tahun Anggaran 2009, KLHS diperluas untuk Kulonprogo dan Gunung Kidul dan telah dianggarkan melalui alokasi anggaran propinsi.

Inisiasi pilot project di Kota Bima berasal dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) regional Bali Nusa Tenggara. Kegiatan pilot ini tidak hanya dimanfaatkan untuk menguji coba instrumen KLHS, akan tetapi dipergunakan juga untuk mensosialisasikan penggunaan instrumen serta membangun kapasitas internal PPLH. Sedangkan bagi Kota Bima, mendapatkan manfaat langsung dalam perbaikan perencanaan pembangunan mereka serta mendapatkan pendampingan dan alih pengetahuan dari para ahli nasional.

Dalam pelaksanaan pilot project Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung, pemerintah propinsi sangat berkomitmen untuk mendampingi dan mensosialisasikan proses dan hasil kajian. Untuk tindak lanjut, pemerintah propinsi telah berkomitmen untuk meneruskan proses ini sampai penerbitan SK Gubernur dan memfasilitasi dan mendampingi pemerintah kota/kabupaten dalam mengoperasionalisasikan KRP mengenai pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air.

6.2 Rekomendasi

Memahami situasi yang berkembang dan antisipasi kebutuhan akan langkah-langkah selanjutnya maka dapat disusun rekomendasi sebagai berikut:

Pilot project masih diperlukan mengingat keragaman 1. problematika di Indonesia khususnya untuk penanganan cross cutting issue yang strategis dan banyak terjadi di sejumlah pemerintahan daerah lain di Indonesia, misalnya pembangunan energi yang penanganannya lintas daerah atau melingkup urusan kepentingan nasional. Kerjasama antar daerah merupakan isu penting bagi pembangunan secara institusi maupun sosial, ekonomi dan politik. KLHS merupakan bagian yang mampu memberikan 2.

29KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi

kontribusi signifikan bagi proses pengambilan keputusanPemahaman dari pengalaman yang diperoleh 3. dari hasil pelaksanaan pilot ini akan memperkaya substansi peraturan perundangan yang akan menjadi landasan penerapan KLHSDari penyelenggaraan pilot project juga sekaligus 4. dapat dibangun kapasitas kelembagaan dan SDM pemerintahan setempat berikut para pemangku-jabatan terkait yang terlibat. Bahkan lebih dari itu dapat meningkatkan kapasitas jejaring (network) antar para pemangku jabatan.Pelaksanaan pilot project di daerah sebaiknya 5. menyesuaikan dengan jadwal mekanisme pembangunan di daerah yang bersangkutan sehingga bisa lebih selaras untuk kepentingan koordinasi dan sinkronisasi program. Lebih dari itu keselarasan ini akan lebih banyak memberi manfaat ke bagi pihak-pihak sejalan dengan program yang dijalankan. Kriteria penetapan daerah pilot sebaiknya juga 6. memperhatikan momentum cross cutting issue yang menjadi obyek atau fokus kegiatan agar perhatian dan antusiasme pemerintah daerah pada posisi yang tinggi. Dengan demikian akan lebih mudah untuk menawarkan pendekatan aplikasi KLHS.

30 KLH - ESP 2 DanidaGFI Agendi