komodifikasi pusaka budaya pura tirta
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Setiap bangsa di dunia ini memiliki sejarahnya sendiri, yang masing-
masing relatif berbeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan
itu mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi sosial budaya,
lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Sejarah masa lalu ternyata telah
membentuk kepribadian suatu bangsa, seperti yang direfleksikan oleh kebudayaan
nasional bangsa yang bersangkutan. Proses sejarah manusia berjalan terus sebagai
suatu kesinambungan hidup yang tidak mungkin dapat di potong-potong dengan
mudah. Berkaitan dengan hal itu, di kalangan ahli sejarah ada yang berpendapat
bahwa sejarah akan berulang kembali, tetapi akan muncul dalam nuansa yang
berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pada suatu kurun waktu tertentu
(Sutaba, 1991 : 1).
Sejarah bangsa Indonesia telah membuahkan kepribadian nasional
seperti yang tercermin dalam kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa mencakup
kebudayaan lama sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh tanah air.
Sebagian dari kebudayaan lama ini adalah sejumlah pusaka budaya yang tersebar
hampir di seluruh pelosok nusantara, antara lain di Sumatra, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur. Adapun pusaka budaya itu,
misalnya sisa-sisa keraton kerajaan Sriwijaya di Palembang, Candi Borobudur dan
1

Prambanan di Jawa Tengah, Keraton Majapahit di Jawa Timur, Pura Besakih, Goa
Gajah, Pura Tirta Empul di Bali, sisa-sisa kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,
dan lain-lain. Semua itu adalah sebagian dari kekayaan budaya bangsa (national
cultural property) sebagai bukti sejarah yang gemilang, yang memberikan
gambaran tentang berbagai aspek kehidupan masa lalu. Pusaka budaya itu
memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan yang telah dicapai,
misalnya kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya
Pusaka budaya yang merupakan sebagian dari kebudayaan masa lalu,
juga merupakan hasil tanggapan manusia pendukungnya terhadap lingkungan
alam dalam usahanya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Bagi bangsa
Indonesia yang pernah mengalami masa lalu yang gemilang, tentu pusaka budaya
yang telah melahirkan kepribadian bangsa akan menempati kedudukan yang
sangat penting dalam pembangunan yang berakar pada sejarahnya sendiri.
Pusaka budaya (heritage) dewasa ini telah mendapat perhatian yang
luas. Tumbuhnya kesadaran tentang perlunya penyelamatan benda budaya yang
merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi
pariwisata yang memanfaatkan benda budaya tersebut, melahirkan berbagai upaya
pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan untuk kepentingan peningkatan
kehidupan masyarakat. Jika benda-benda tersebut dikelola secara baik dan
profesional, sebagai bagian dari suatu kebudayaan, pusaka budaya bisa menjadi
alat pemberdayaan bagi pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah selaku
pemegang kebijakan politik, pengusaha dalam bidang ekonomi, dan masyarakat
sebagai pemilik kebudayaan.
2

Dalam konteks pengembangan pariwisata, Indonesia merupakan salah
satu negara di Asia Tenggara yang memiliki paling banyak pusaka budaya, baik
yang berasal dari masa prasejarah, Hindu Buddha, Islam, dan masa kolonial, yang
tersebar di seluruh nusantara (Ardika, 2007 : 47-48). Di tingkat Asia Tenggara
pemanfaatan pusaka budaya yang dikaitkan dengan industri pariwisata membuat
beberapa negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations
(ASEAN), menandatangani Deklarasi Borobudur yang dilampiri dengan rencana
kerja Borobudur Plan of Actions pada Agustus 2006. Penandatanganan
kesepakatan tersebut merupakan rangkaian agenda Simposium Internasional
bertema ”Jejak-jejak Peradaban” (trails of civilization), yang isinya berupa
komitmen untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi
pusaka peradaban bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan budaya.
Banyak negara di dunia yang mengembangkan sektor pariwisata sebagai
sumber pendapatan menjadikan aspek budaya negerinya sebagai salah satu
andalan daya tarik wisata. Keinginan untuk memanfaatkan pusaka budaya sebagai
daya tarik wisata mulai muncul tahun 1963 ketika Dewan Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) mengadakan konferensi tentang
”international travel and tourism” di Roma. Dalam laporan Konferensi Roma itu
UNESCO menyajikan laporan bertajuk The Cultural Factors in Tourism (Aspek-
aspek Budaya dalam Pariwisata), yang isinya selain menekankan pentingnya
pariwisata untuk mempromosikan perdamaian, persahabatan antarnegara, laporan
itu juga menegaskan pentingnya negara-negara untuk melestarikan (preserve) dan
mempromosikan (promote) pusaka budaya dalam pembangunan ekonominya.
3

Pengenalan pusaka budaya ditempuh untuk memperkaya pengalaman wisatawan
dan pada saat yang bersamaan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari industri
pariwisata dapat digunakan untuk meningkatkan program konservasi dan
pembangunan budaya (Darma Putra, 2002 : 149).
Pilihan mengembangkan industri pariwisata dengan memanfaatkan
kekayaan pusaka budaya dan memanfaatkan hasil industri untuk melestarikan
budaya juga menjadi strategi banyak negara. Negeri Cina, Mesir, dan Indonesia,
dalam pengembangan pariwisata masing-masing juga memanfaatkan pusaka
budaya, baik dalam pengertian fisik maupun nilai dan gaya hidup untuk memikat
wisatawan. Cina yang membuka diri kepada dunia luar sejak akhir tahun 1970-an,
sangat menyadari betapa besar arti pusaka budaya yang mereka miliki untuk
mengembangkan industri pariwisata. Negeri berpenduduk 1,2 milyar ini terkenal
memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan peninggalan budaya yang eksotik
dan monumental (Tembok Cina). Dalam berbagai promosinya, Cina menonjolkan
dirinya sebagai destinasi wisata yang beralam indah, memiliki tempat
bersejarah/purbakala yang mengagumkan, dan kebudayaan yang beranekaragam.
Fakta bahwa ribuan wisatawan yang datang ke tempat ini menjadi bukti bahwa
pusaka budaya itulah yang menjadi daya tarik utama Cina.
Keajaiban dunia yang lain, yakni piramida dan candi-candi kuno yang
terdapat di Mesir juga dijadikan sarana bagi pemerintah negeri itu untuk menarik
wisatawan. Pemerintah Mesir sangat menyadari bahwa pertumbuhan sektor
pariwisata sangat tergantung pada pusaka budaya piramida dan peninggalan
sejarah, serta bangunan tradisional lainnya. Meskipun Mesir mengembangkan
4

objek wisata baru, maskot promosinya tetap menonjolkan warisan budaya
bersejarah sehingga wisatawan dunia mau menempatkan Mesir sebagai daftar
untuk dikunjungi. Demikian juga Indonesia memiliki banyak situs arkeologi yang
diakui sebagai warisan budaya dunia. Situs-situs itu antara lain ialah situs manusia
purba di Sangiran, Candi Prambanan di Yogyakarta, Candi Borobudur di
Magelang Jawa Tengah, dan lain-lain.
Bali merupakan ekologi pulau kecil yang memiliki keterbatasan sumber
daya alam, kecil dalam jumlah penduduk, namun besar dalam potensi
kebudayaan. Dalam perjalanan sejarah yang amat panjang dengan melewati masa
prasejarah dan kemudian masuk ke dalam era sejarah serta peradaban modern,
Bali dengan manusia dan kebudayaannya berkembang secara horizontal dan
vertikal.
Dalam perkembangan yang berdimensi horizontal, wilayah, manusia,
dan kebudayaan Bali terbuka serta terkomunikasi secara lokal, nasional, global
menembus batas-batas etnik, ras, dan nasion. Dalam perkembangan yang
berdimensi vertikal, wilayah, manusia, dan kebudayaan Bali terbuka dan tumbuh
mengikuti perkembangan peradaban umat manusia yang diindikasikan melalui
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan informasi melalui revolusi
telekomunikasi, transportasi, perdagangan, serta pariwisata.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada manusia dan kebudayan Bali
juga berkembang fenomena global yang manifes secara simultan melalui
terjadinya pola-pola kehidupan masyarakat yang merefleksikan gerak globalisasi
dan Balinisasi. Gerak globalisasi diindikasikan oleh makin meluas dan
5

berkembangnya jaringan relasi yang terbuka secara internasional, sementara itu
gerak Balinisasi diindikasikan oleh pencarian jatidiri manusia Bali yang tiada
henti disertai dengan proses involusi ekologis, sosial, dan budaya (Geriya,
2008 : 47).
Kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang
bersifat Bhineka Tunggal Ika, dalam dua dekada terakhir ini memperlihatkan
dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Fenomena internal yang mendorong
perubahan adalah trasformasi struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri
dan jasa, perubahan ekologi, serta perkembangan visi orang Bali sebagai etnik
melalui kemajuan pendidikan. Fenomena eksternal yang mendorong perubahan
mencakup dampak telekomunikasi, transportasi, perdagangan, pariwisata, dan
intensifnya sentuhan peradaban global.
Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transisi dan
masyarakat yang bergerak makin heterogen mendukung sekaligus dikhotomi
kebudayaan, yaitu kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Interaksi
antara kebudayaan tradisional dengan kebudayaan modern, disatu sisi
menunjukkan proses integrasi adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan dialektik
antagonistik. Berbagai benturan budaya muncul dalam beberapa kasus dengan
membawa dampak negatif, seperti fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi
sampai dengan berbagai pelecehan kultural (Geriya, 2008 : 2).
Bali mempunyai potensi yang besar di bidang pusaka budaya.
Keindahan alam dan budaya telah menjadi image kepariwisataan daerah ini.
Pemerintah Daerah Bali telah mencanangkan bahwa pariwisata yang
6

dikembangkan adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu (Ardika,
2004 : 21). Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam
pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai potensi dasar, yang di
dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik yang serasi,
selaras, dan seimbang antara pariwisata dan kebudayaan.
Terkait dengan pengembangan pariwisata budaya, Bali atau Gianyar
khususnya, sesungguhnya sangat beruntung karena sejak lama telah mendapat
citra yang positif. Citra itu ternyata memiliki sejarah, yaitu sebagai kreasi orang-
orang Barat yang pada akhirnya diambil alih oleh orang Bali sendiri. Miguel
Covarrubias dalam bukunya Island of Bali menyebutkan Bali sebagai surga dunia
yang terakhir (1972 : 14). Representasi Covarrubias tentang Pulau Bali adalah
Bali yang eksotis, Bali dengan identitas perempuan yang “bertelanjang dada”.
Pemerintah kolonial Belanda juga berhasil menciptakan citra tentang Bali sebagai
sebuah pulau Hindu yang dikelilingi oleh lautan dan ribuan pulau di sekitarnya.
Dengan demikian, identitas keagamaan orang Bali dibangun sebagai sesuatu yang
berbeda dengan pulau-pulau sekitarnya yang masyarakatnya mayoritas beragama
Islam. Citra Bali sebagai pulau surga merupakan salah satu produk politik
representasi yang populer dalam enam puluh tahun terakhir ini (Dwipayana, 2005:
x-xi). Bahkan sejak tahun 1970-an ketika Bali benar-benar terintegrasi dengan
sistem kapitalisme pariwisata global, citra tersebut semakin hegemonik.
Gianyar adalah salah satu di antara delapan kabupaten di Provinsi Bali.
Masyarakat Gianyar mempunyai sejarah masa lalu yang amat panjang, seperti
terbukti dari tinggalan purbakala/arkeologi dalam jumlah dan ragam yang sangat
7

banyak, bahkan terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali.
Oleh karena itu, Gianyar, khususnya Desa Pejeng dan sekitarnya sering disebut
sebagai desa “museum hidup”. Tinggalan arkeologi cukup padat di Kabupaten
Gianyar merupakan pusaka budaya yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan
demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat diketahui bahwa pusaka budaya
tersebut ternyata memperlihatkan kemampuan masyarakat Gianyar yang
signifikan, yang kemudian menjadi landasan kuat bagi perkembangan budaya
hingga dewasa ini. Sampai sekarang bukti-bukti sejarah masyarakat Gianyar
ditemukan tersebar di desa-desa yang terletak di antara Sungai Pakerisan dan
Sungai Petanu, antara lain berpusat di desa-desa Panempahan, Tampaksiring,
Basangambu, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya. Bukti-bukti sejarah tersebut secara
umum dapat dikelompokkan menurut bahan-bahannya, yaitu ada yang dibuat dari
kayu, tulang, batu bata, batu padas, dan dari logam (besi, kuningan, perunggu,
emas). Di samping itu, dapat juga dikelompokkan sebagai benda-benda bergerak
(moveable), seperti prasasti, arca-arca kuno, dan benda-benda tidak bergerak
(unmoveable), seperti candi dan pura-pura kuno.
Penglompokan pusaka budaya di Kabupaten Gianyar dapat juga
dilakukan secara kronologis, yaitu ada yang berasal dari zaman prasejarah ketika
masyarakat belum mengenal aksara dan dari zaman sejarah ketika masyarakat
telah mengenal tulisan. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang sudah ditemukan
dapat diketahui bahwa masyarakat Gianyar baru mulai membangun kehidupannya
pada masa bercocok tanam kira-kira 4.000 tahun yang lalu seperti terbukti dari
8

temuan beberapa buah alat-alat pertanian berupa beliung persegi, belincung, di
Desa Taro, Pejeng, Tatiapi, Bedulu dan Keramas (Sutaba, 1980 : 34-35). Alat-alat
pertanian tersebut telah dikerjakan dengan cermat dan digosok/diupam hingga
halus.
Perkembangan teknologi pertanian telah mengantarkan masyarakat
Gianyar memasuki masa perundagian hingga mencapai tingkat teknologi yang
lebih maju, yaitu teknologi seni tuang logam (metalurgi), yang memerlukan
tenaga-tenaga terampil (Soejono, 1984 : 238-239). Penguasaan teknologi logam
terbukti telah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan potensi
lokal yang menghasilkan kearifan lokal (local genius). Salah satu produksinya
yang terpenting pada masa itu adalah ”bulan Pejeng”, sebuah nekara perunggu
sekarang tersimpan di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng dan dianggap sebagai
media pemujaan yang sakral (Sutaba, 2007 : 13).
Sementara itu, kawasan budaya di antara Sungai Pakerisan dan Petanu
berkembang semakin maju. Di kawasan ini terjadi persentuhan dengan budaya
dari India yang membawa aksara dan agama Hindu-Buddha. Sungai Pakerisan
dan Sungai Petanu menjadi terkenal dalam sejarah Bali kuno karena telah
membangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih
menjadi kawasan yang sakral (sacred area) bagi masyarakat sekitarnya. Penelitian
arkeologi yang dimulai pada awal abad ke-20 telah mendapatkan bukti-bukti
bahwa kawasan tersebut menyimpan sejumlah pusaka budaya yang sampai
sekarang masih berfungsi sakral. Salah satu diantaranya adalah Pura Tirta Empul.
9

Pura Tirta Empul memiliki ciri khas dan keunikan bila dibandingkan
dengan tinggalan budaya lainnya, sehingga sangat menarik minat wisatawan,
lebih-lebih didukung dengan tetap difungsikannya sebagai tempat suci, tempat
persembahyangan umat Hindu (living monument). Tidak mengherankan, Pura
Tirta Empul di Tampaksiring merupakan sebuah daya tarik wisata yang cukup
banyak menyerap pengunjung dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan
wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, selain Gua Gajah dan Gunung Kawi.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul telah diajukan sebagai Warisan Budaya Dunia.
Pura Tirta Empul dipilih sebagai obyek penelitian, selain sesuai dengan
hal-hal yang telah dikemukakan, secara lebih khusus juga dilandasi pada hal-hal
berikut. Pertama, tersedianya sumber data berupa prasasti, yaitu prasasti
Manukaya untuk mengungkap sejarah pendirian pusaka budaya tersebut. Selain
prasasti Manukaya, sejarah yang berkaitan dengan pura ini dijumpai pula dalam
kitab Usana Bali. Dalam hal-hal tertentu, keadaan itu diharapkan dapat
memberikan peluang atau kemungkinan untuk mengembangkan pemahaman serta
uraian yang lebih jelas. Kedua, berdasarkan pengamatan terhadap Pura Tirta
Empul, ternyata situs ini menunjukkan perpaduan yang harmonis antara konsep
pura, bangunan tradisional, dan konsep taman. Keberadaan sejumlah tinggalan
arkeologi di dalamnya serta ditunjang oleh hawa yang sejuk dan panorama yang
indah di dalam pura, menjadikan situs ini menarik untuk diteliti dalam konteks
pariwisata global.
Dewasa ini, Gianyar telah mengalami perkembangan secara signifikan
sebagai akibat dari perkembangan dan pertumbuhan sektor pariwisata.
10

Perkembangan pariwisata tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan
pembangunan inprastruktur, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan globalisasi,
termasuk globalisasi di sektor pariwisata.
Secara empirik perkembangan pariwisata di Gianyar mulai terjadi pada
tahun 1970-an, diawali sejak munculnya kebijakan tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Bali dalam tahun 1971. Dengan berpijak kepada
kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan induk pariwisata maka
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali telah menetapkan Perda No.3/1974 dan
kemudian diganti dengan Perda No. 3/1991 tentang Pariwisata Budaya. Melalui
peraturan ini diharapkan bahwa pengembangan dan pembinaan industri pariwisata
di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya berorientasi kepada
kebudayaan daerah. Penetapan peraturan daerah ini merupakan tindakan yang
bijaksana, karena pemerintah daerah telah menetapkan kebudayaan daerah sebagai
modal dasar pembangunan. Kecuali sektor pertanian, pemerintah daerah telah
memberikan prioritas yang tinggi kepada sektor kepariwisataan yang telah
memberi penghidupan kepada penduduk setempat.
Dampak dari perkembangan aktivitas pariwisata yang semakin maju
pada tahun 1980-an, ternyata pusaka budaya telah dimanfaatkan sebagai daya
tarik pariwisata budaya di Kabupaten Gianyar (Rata, 1988 : 94-95). Sejumlah
daya tarik wisata yang mengandung tinggalan arkeologi dikelola secara kemitraan
antara masyarakat dan pemerintah daerah.
11

Beberapa tours ditawarkan kepada wisatawan oleh biro perjalanan.
Pusaka budaya mulai dari masa prasejarah yang tersimpun di Museum Gedong
Arca di Desa Bedulu, di pura-pura, serta tinggalan budaya dari masa klasik
(Hindu, Buddha) merupakan tujuan wisata dalam setiap program tour. Dengan
demikian pusaka budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pengembangan
pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Gianyar.
Pariwisata budaya menawarkan potret budaya masa lalu pada masa kini
di mana bentuk baru reproduksi budaya masa lalu berkorelasi dengan pola
konsumsi wisatawan, yaitu terlihat secara langsung dan total dengan budaya
setempat. Perpaduan antara lokal dan global dapat dilihat sebagai manifestasi
posmodernisme. Dalam masyarakat posmodern, pariwisata sering dikonsep-
tualisasikan sebagai sebuah rangkaian kompleks tentang kegiatan yang
berhubungan dengan produksi. Posmodernisme ditandai oleh perkembangan
teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang menjadikan
bagian-bagian dunia sangat dekat, sehingga banyak orang dapat melakukan
perjalanan wisata sesuai keinginan dan kecendrungan global (Nuryanti, 1996 :
250).
Namun demikian, dibalik perkembangan pesat pariwisata di Kabupaten
Gianyar ternyata menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan (Bagus, 1991 :
17). Fenomena globalisasi yang bercirikan budaya modernisme seperti nilai-nilai
rasionalisme, individualisme, konsumerisme, dan komersialisme di tenggarai
mempunyai kekuatan dasyat yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan
masyarakat serta komunitas lokal. Hanna (1972 : 18-19) secara tajam
12

memaparkan tentang komersialisasi budaya yang diakibatkan oleh pariwisata. Dia
melihat buktinya dalam transformasi yang terjadi dalam kesenian Bali, baik dalam
bidang seni rupa yang diubah menjadi barang yang dijual dan menjadi sovenir-
sovenir kasar, maupun dalam bidang seni pertunjukkan yang disesuaikan dengan
selera dan batasan pemahaman penonton asing. Selain itu, ia juga melihat telah
terjadi komersialisasi budaya untuk kepentingan pariwisata seperti (1) warisan
budaya dijadikan suatu komodite yang dijual pada pengunjung asing, (2)
pemalsuan tradisi-tradisi asli yang diubah demi memenuhi harapan wisatawan, (3)
pelecehan upacara agama yang dijadikan pertunjukkan-pertunjukkan komersial,
dan (4) hilangnya nilai-nilai yang dapat menimbulkan anomi umum masyarakat.
Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Gianyar tidak hanya
milik orang Gianyar saja, karena yang mencitrakan Gianyar sebagai daerah tujuan
wisata adalah perpaduan antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreativitas seni.
Berkat keterpikatan wisatawan terhadap Gianyar, kebudayaan yang merupakan
modal utama harus dimanfaatkan, dipasarkan, dipromosikan di pasaran
pariwisata. Keharusan ini menimbulkan suatu sikap mendua di kalangan
masyarakat ketika menanggapi kebudayaannya. Bila sebelum kedatangan
wisatawan kebudayaan ditanggapi sebagai “warisan” yang harus diselamatkan
atau dilestarikan, sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan dijadikan
“modal” untuk pengembangan pariwisata budaya.
Berbagai permasalahan segera muncul yang dipandang sebagai sebuah
tantangan. Tantangan tersebut cenderung bersifat mengancam keberadaan dan
kelestarian pusaka budaya. Ancaman tersebut umpamanya bisa dalam bentuk (1)
13

perusakan/penelantaran, (2) pemanfaatan secara komersial, (3) sisi gelap
pariwisata (pencurian, perdagangan) dan (4) pemugaran nonkonservatif.
Walaupun pusaka budaya dan pariwisata dianggap memunculkan suatu
kontradiksi, yaitu antara tradisi yang memerlukan stabilitas keberlanjutan dan
pariwisata yang sifatnya dinamis dan penuh dengan perubahan, pusaka budaya
harus memiliki kemampuan untuk mengikuti perubahan tersebut. Terjadi sinergi
di antara keduanya, sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan. Pusaka
budaya bisa bermanfaat dan pendapatan dari pariwisata dapat digunakan untuk
pelestarian dan pengembangannya.
Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata diakui penuh
risiko dan potensial menimbulkan masalah, antara lain karena faktor manusia
(pengunjung), dan yang paling mengkhawatirkan adalah ekspansi komersial yang
dapat merusak tatanan lingkungan pura tersebut. Pariwisata telah menjadi
generator penggerak dalam pembangunan ekonomi dan menjadi lokomotif dalam
perubahan sosial budaya di beberapa daerah tujuan wisata. Internasional lewat
pariwisata, khususnya pariwisata budaya, telah membawa masyarakat lokal
terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka wajib memelihara
tradisi adat dan budayanya, di sisi lain secara sengaja membenturkan kebudayaan
lokal tersebut dengan dunia modern. Ini memberi peluang besar bahwa budaya
lokal akan hanyut dalam derasnya gelombang budaya global (Picard, 2006 : 117).
Masyarakat setempat yang sangat religius sebagaimana manusia Bali
pada umumnya, memberi perhatian yang sangat besar pada Pura Tirta Empul
sebagai tempat suci. Dengan sifatnya sebagai living monument berarti masyarakat
14

sangat mensakralkan tempat suci tersebut, yang diyakini dapat memberi
keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman rohani. Dengan demikian, secara
tidak langsung masyarakat telah melaksanakan upaya pelestarian melalui
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Sejak Pura Tirta Empul menjadi salah satu tujuan wisata, maka
komersialisasi budaya tidak dapat terhindarkan. Komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih
mendalam terkait dengan sosial budaya dan segala aspek kehidupan masyarakat
pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal
maupun asing sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial
ekonomi masyarakat. Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal tersebut memunculkan budaya
konsumerisme dan kapitalisme yang dapat menimbulkan komodifikasi pada setiap
aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis menggunakan segala cara untuk
mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan ranah kebudayaan, termasuk
pusaka budaya Pura Tirta Empul. Globalisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta
Empul berkembang, tidak saja berfungsi sakral tetapi juga berfungsi ekonomi
dalam kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Adanya kepentingan
selera pasar telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemaknaan dan
pendefinisian terhadap sakralitas Pura Tirta Empul, pergeseran nilai terhadap
pemahaman Pura Tirta Empul, serta perubahan perilaku dan praktik-praktik
budaya masyarakat Desa Manukaya. Tarik-menarik kepentingan dalam proses
komodifikasi Pura Tirta Empul kini sedang dan telah terjadi. Sudah tentu hal
15

seperti itu merupakan permasalahan, dan bila tidak dicermati secara mendalam,
maka akan dapat mengganggu keseimbangan manusia dalam usaha mencapai
kesejahteraan lahir maupun batin.
Dialektika antara pariwisata global di satu sisi dan Balinisasi atau jatidiri
di sisi lain, sebagaimana yang terjadi di Pura Tirta Empul merupakan suatu
fenomena yang layak, dan relevan diangkat sebagai sebuah kajian dari perspektif
cultural studies.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang hendak
dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
pariwisata global?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global?
3. Bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam
konteks pariwisata global?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkap fenomena
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Permasalahan
pusaka budaya sebagai jatidiri dan pengaruh budaya global melalui pariwisata
16

menjadi menarik untuk diteliti karena ada tarik-menarik kepentingan. Selain itu
penelitian ini ingin mengkaji fenomena budaya lokal dalam perspektif kajian
budaya dalam mengungkap faktor penyebab di balik fenomena komodifikasi Pura
Tirta Empul yang berkaitan dengan kehadirannya serta upaya pemanfaatan atau
pelestariannya sebagai bagian dari khasanah budaya nasional yang harus
diselamatkan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian adalah (1) untuk mengetahui dan
memahami proses komodifikasi Pura Tirta Empul, (2) mengungkap faktor-faktor
yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3) menginterpretasikan
dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global. Dengan mencermati semua data yang diperoleh di lapangan dari para
informan atau data dari perpustakaan, maka akan dilakukan kajian yang
mendalam, sehingga memperoleh jawaban mengenai hal-hal yang terkait dengan
permasalahan yang diajukan di atas.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan manfaat
praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaannya sebagai
sebuah kajian budaya yang terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam
17

konteks pariwisata global. Salah satu sisi penting posisi teoretis-konseptual kajian
budaya adalah karakteristiknya yang multidisipliner, sehingga memberi kontribusi
untuk penelitian bagi berbagai disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademis karena dapat dipakai
sebagai acuan, referensi, tentang arti penting pusaka budaya dikaitkan dengan
pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh pemerintah dewasa ini. Tema
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain, terutama yang melakukan
penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak,
yakni sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh pemerintah sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan pembangunan yang
menyangkut pemberdayaan pusaka budaya dalam era globalisasi,
termasuk dalam pengembangan pariwisata modern yang berbasis
budaya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada para
pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu
kebijakan di tingkat lokal dan nasional sebagai sumber rujukan dalam
memecahkan berbagai persoalan pembangunan, khususnya
pembangunan pariwisata budaya.
3. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai proses
transformasi, partisipasi, dan keterlibatan aktif semua pihak dalam
18

pemanfaatan pusaka budaya terkait dengan pengembangan pariwisata
dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
4. Bagi kebudayaan dan pengembangan pariwisata dalam rangka
pemberdayaan modal budaya (cultural capital) menjadi modal
ekonomi (economic cultural) melalui pariwisata untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan,
khususnya Pura Tirta Empul.
19

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dimaksud di sini adalah tinjauan mengenai hasil-
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli, baik dalam
bentuk laporan penelitian, jurnal, artikel ilmiah, makalah, buku, dan sebagainya,
yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. Hasil-hasil penelitian atau
buku-buku tersebut selanjutnya dicermati untuk mengetahui apakah topik dan
masalah yang akan dikaji telah diteliti oleh peneliti lain.
Kajian pustaka yang dijadikan rujukan terutama adalah pustaka yang
memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan dan berfungsi sebagai
pelengkap informasi serta dapat menunjang penelitian ini. Kajian terhadap
pustaka perlu dilakukan secara komprehensif agar diperoleh benang merah yang
mampu menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu
dengan penelitian sekarang ini.
Upaya memahami peranan pusaka budaya dalam pembangunan nasional
telah lama menjadi wacana di kalangan para ahli. Pusaka budaya memiliki fungsi
yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Pusaka budaya mencerminkan cipta,
rasa, dan karya leluhur yang dapat memberi inspirasi dalam pembangunan bangsa.
20
20

Sehingga dengan demikian pusaka budaya harus dipelihara, dilindungi, dan
dikelola secara profesional agar tetap lestari (Tjandrasasmita, 1980, 104-105).
Upaya inventarisasi dan penulisan tinggalan arkeologi sebagai pusaka
budaya di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya, telah lama dimulai.
Pada tahun 1929 W.F. Stutterheim berhasil membuat laporan tentang
kepurbakalaan di daerah ini dalam bukunya yang berjudul ”Oudheden van Bali”.
Buku yang menggunakan bahasa Belanda ini memuat uraian deskriptif tentang
kepurbakalaan yang ada di Desa Pejeng, Bedulu, Tampaksiring, dan sekitarnya. Ia
mengemukakan bahwa tinggalan arkeologi yang tersebar di Bali merefleksikan
nilai-nilai budaya agama Hindu. Buku ini mempunyai relevansi yang sangat
penting terkait dengan penelitian ini karena di dalamnya menguraikan nilai
historis situs Pura Tirta Empul.
Tiga puluh satu tahun setelah terbit karya WF. Stutterheim itu, Bernet
Kempers menerbitkan kitab Bali Purbakala (1960). Kitab ini juga memuat
petunjuk singkat tentang kepurbakalaan di daerah Bali pada umumnya atau
Gianyar khususnya. Beberapa kepurbakalaan di Kabupaten Gianyar yang
mendapat perhatian dan disinggung dalam kitab itu antara lain : situs Gua Gajah,
relief Yeh Pulu, Pura Kebo Edan, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura
Pengukur-ukuran, Candi Padas Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, Pura Bukit
Dharma, Candi Padas Kelebutan, Candi Padas Krobokan, dan sebagainya.
Tentang Pura Tirta Empul disinggung secara sepintas Prasasti Manukaya yang
bertahun 844 Saka/962 Masehi yang berkaitan erat dengan sejarah pendirian Pura
Tirta Empul. Prasasti Manukaya adalah prasasti pertama yang menyebut nama
21

Tirta Empul. Kitab ini berguna bagi peneliti untuk memahami sejauh mana kajian-
kajian terhadap Pura Tirta Empul telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli,
sehingga penulis memperoleh data umum tentang situs tersebut.
Pada tahun 1970-an, secara empirik terjadi perkembangan pariwisata di
daerah Bali. Tidak dapat dimungkiri bahwasanya pariwisata mempunyai andil
besar dalam laju pesat pertumbuhan ekonomi Bali dan terutama dalam
pembenahan fisik yang semakin berkembang di pulau ini. Dengan kata lain,
pariwisata merupakan solusi terbukti dari semakin progresif dinamisnya
kehidupan sosial, seni dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain pariwisata
mendatangkan banyak kerugian, kegelisahan, kekhawatiran, dan bahkan ancaman
bagi kelangsungan kebudayaan Bali.
Terkait dengan kekhawatiran banyak orang tentang dampak negatif
pariwisata terhadap kebudayaan Bali, reaksi keras pertama-tama muncul dari
Willard Hanna, seorang warga Amerika Serikat pemerhati Asia Tenggara. Dalam
artikelnya yang berjudul “Bali in the Seventies” (1972) dipaparkan tentang
kerusakan atau polusi sosial budaya yang diakibatkan pariwisata Bali. Lebih jauh
ia mengatakan bahwa meskipun pariwisata dapat sukses komersial” tetapi tragedi
kemerosotan kebudayaan tak dapat dihindarkan.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Millau dua tahun kemudian.
Begitu pemerintah Indonesia di zaman Orde Baru dengan gigih mengembangkan
pariwisata Bali, kritik tajam muncul pada sebuah majalah Pariwisata “Pitie pour
Bali” (1974). Majalah tersebut memperingatkan bahwa pariwisata siap
menghancurkan keajaiban sebuah kebudayaan termurni yang pernah ada di dunia.
22

Kedua artikel tersebut dapat membantu penulis dalam upaya pemahaman yang
lebih mendalam tentang dampak negatif pariwisata terhadap kebudayaan.
Pada tahun 1980-an, studi-studi mengenai dampak sosial budaya
pariwisata serta seminar-seminar tentang hubungan antara pariwisata dan
kebudayaan semakin sering dibicarakan. Froment (1981) dalam artikel majalah
Pariwisata berjudul “Ferie a Bali” kembali mengingatkan bahwa Bali telah
kehilangan nyawanya. Pulau indah dengan ribuan pura serta aneka upacara adat
kini sudah tercemar. Sistem sosial keagamaan Bali yang luar biasa rumitnya itu
sedang berada diambang kehancuran akibat dampak pariwisata seperti halnya
artikel Hanna dan Millau. Artikel ini merupakan bahan masukan penting untuk
memahami bagaimana pariwisata berdampak negatif terhadap kelestarian pusaka
budaya.
Berkaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan pusaka budaya,
tulisan Cleere (1990) yang berjudul International the Rationale of Archeological
Heritage Management perlu juga diperhatikan. Cleere berpendapat bahwa pusaka
budaya harus dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas
serta berorientasi ke masa depan. Pusaka budaya sebagaimana sumberdaya
lainnya adalah warisan untuk seluruh masyarakat sehingga pemanfaatannya perlu
diketahui oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat luas harus diutamakan dalam
pengelolaannya, di samping juga memperhatikan keberlanjutan dari pusaka
budaya tersebut agar dapat diwariskan kepada masyarakat. Pustaka ini bermanfaat
dalam upaya memahami cara-cara pemanfaatan dan pelestarian pusaka budaya
sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.
23

Terkait dengan manajemen sumberdaya budaya, perlu juga disimak tesis
S2 Drajat (1991) yang berjudul “Exploitative Management of the Archaeological
Heritage Management in Indonesia”. Penelitian ini secara khusus menyoroti
manajemen sumberdaya budaya terhadap tinggalan purbakala (arkeologi) di
Indonesia. Ia mencatat bahwa pengelolaan sumberdaya budaya mencakup dua
strategi yang bersifat dikotomis, yaitu antara pelestarian dan pemanfaatan. Dalam
penerapannya kedua konsep tersebut sering menimbulkan konflik akibat
perbedaan kepentingan dari berbagai pihak. Dampak konflik kepentingan itu
adalah menurunnya kualitas sumberdaya budaya. Fenomena tersebut dapat dilihat
pada pemanfaatan pusaka budaya sebagai objek pariwisata. Dari tesis ini penulis
memperoleh informasi tentang model pengelolaan pusaka budaya sesuai dengan
prisip-prinsip yang telah disepakati, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
Terkait dengan keberadaan Pura Tirta Empul di Tampaksiring, hasil
penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul ”Kemitraan Lembaga Adat dengan
Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa
Manukaya, Tampaksiring, Gianyar” (1999) Karya I Ketut Jaman perlu dicermati.
Dari hasil kajiannya diperoleh informasi tentang bentuk kemitraan antara desa
adat Manukaya dengan pemerintah Kabupaten Gianyar terkait dengan pembagian
wilayah pengelolaan dan pembagian hasil retribusi melalui pariwisata. Tesis ini
berguna sebagai referensi untuk mengetahui sejauh mana pusaka budaya Pura
Tirta Empul memberi kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebuah artikel yang menyoroti hubungan antara kebudayaan dan
pariwisata ditulis oleh Darma Putra (2002). Pada intinya artikel tersebut
24

memaparkan bagaimana Pemda Bali memutuskan untuk menetapkan konsep
pariwisata budaya sebagai ideologi, roh, rambu-rambu atau solusi pengembangan
pariwisata Bali. Di satu pihak pilihan itu merupakan solusi terbukti dari semakin
progresifnya kehidupan sosial, seni, dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain
pariwisata mendatangkan banyak keraguan, kegelisahan, bahkan kecaman, bahwa
pariwisata budaya sebagai polusi. Dampak positif dan negatif pariwisata terhadap
kebudayaan Bali menjadi pengamatan yang tidak kalah penting dalam artikel yang
berjudul “Pariwisata Budaya, Antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dari
artikel ini penulis memperoleh informasi tentang dampak positif negatif
pariwisata terhadap kebudayaan suatu daerah, sehingga artikel ini menjadi
penting dalam upaya memahami dampak pariwisata terhadap kebudayaan.
Tentang ketahanan kebudayaan Bali akibat pengaruh pariwisata, tulisan
Michel Picard (2006) yang berjudul Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya
Pariwisata perlu juga diperhatikan. Peneliti yang bekerja di Pusat Penelitian Ilmu
Pengetahuan Nasional Prancis ini melihat pariwisata sebagai pengembangan dari
ekonomi moneter, memasarkan pemandangan dan hasil budaya serta mengubah
kawasan menjadi produk pariwisata. Menurut Picard, dibalik kegiatan pemasaran,
sesungguhnya berlangsung juga proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa,
serta bagaimana memahami dampak-dampak kongkrit dalam hal budaya dari
pengembangan pariwisata pada masyarakat Bali. Buku ini sangat membantu
penulis karena memberi banyak informasi tentang pariwisata, kebudayaan, serta
tanggapan masyarakat Bali atas posisi kebudayaanya ketika berhadapan dengan
pariwisata.
25

Terkait dengan dampak pariwisata terhadap kebudayaan, artikel yang
berjudul “Industri Budaya Dalam Pariwisata Bali” karya Pitana (2006) sangat
layak untuk diperhatikan. Menurut pakar pariwisata ini bahwa pariwisata budaya
pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena dalam
sistem pariwisata budaya, ada proses produksi, pengemasan, distribusi, presentasi
dan konsumsi. Selanjutnya dikatakan bahwa pariwisata dengan industrialisasi
budayanya merupakan “musuh” dalam pelestarian budaya dan sebaliknya
pariwisata juga merupakan wahana yang sangat baik dalam pelestarian
kebudayaan. Artikel ini sangat penting karena telah memberi pemahaman baru
tentang hubungan pariwisata dengan industri budaya.
Sebuah buku yang relatif berhubungan dengan penelitian ini adalah
Pusaka Budaya dan Pariwisata karya Ardika (2007). Buku tersebut menyangkut
isu betapa pusaka budaya yang berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologi dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan pariwisata. Komponen budaya
dijadikan sebagai produk untuk dikonsumsi oleh para wisatawan. Komponen
budaya yang dimaksud antara lain (1) situs arkeologi dan museum, (2) arsitektur,
(3) seni (art), patung, kerajinan, festival budaya, (4) musik dan tari, (5) drama
(teater, film), (6) bahasa dan sastra, (7) upacara agama, dan (8) budaya tradisional
(Richards, 1999 : 22 ; Ardika, 2004 : 23). Buku ini menjadi penting dalam
kaitannya dengan penelitian ini, karena di dalamnya memaparkan betapa
tinggalan arkeologi mempunyai peranan penting dalam upaya pengembangan
pariwisata budaya di daerah Bali.
26

Tentang isu globalisasi, meskipun tidak secara khusus membahas secara
mendalam, buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan tulisan Irwan Abdullah
(2007) perlu juga disebutkan di sini. Menurut Abdullah, globalisasi telah menjadi
kekuatan besar yang ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu
tatanan global. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Perbedaan-perbedaan cara hidup
telah melahirkan proses individualisasi yang meluas dan menjauhkan manusia
dari konteks generalnya. Selanjutnya dikatakan bahwa sejalan dengan arus
komunikasi yang canggih, unsur-unsur kebudayaan (baca kebudayaan Bali) bukan
hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah dapat ditemukan
diberbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Ekspansi pasar
melalui teknologi telah mempengaruhi pembentukan praktik, nilai dan ide-ide
baru dalam kehidupan sosial. Buku ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam
upaya memahami konsep globalisasi dalam kaitannya dengan kehidupan sosial
budaya dan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini.
Dari beberapa kajian pustaka tersebut di atas menunjukkan bahwa belum
ada penelitian kajian budaya tentang komodifikasi Pura Tirta Empul sebagaimana
penelitian ini. Penelusuran pustaka seperti yang sudah disebutkan di atas sudah
jelas berbeda paradigma dengan substansi penelitian ini, baik secara ontologi,
yaitu hubungan setema dengan penelitian maupun secara epistemologi, yaitu yang
terkait dengan konsep, teori, model, termasuk kaitannya dengan aksiologi, yaitu
27

tujuan dan manfaat penelitian. Dengan demikian kiranya cukup jelas bahwa
masalah tersebut masih menunggu penelitian yang seksama.
2.2 Konsep
Konsep sebagai alat analisis merupakan konstruksi terhadap gejala
sesuatu sehingga konsep merupakan gambaran pikiran tentang sesuatu. Alwi
(2002 : 588) mengartikan konsep sebagai proses atau upaya akal budi untuk
memahami sesuatu objek, keadaan, atau benda. Dengan demikian konsep adalah
semacam konstruksi pikiran (ide) tentang segala sesuatu. Dengan kata lain,
konsep adalah suatu abstraksi yang digunakan oleh peneliti untuk membangun
proposisi yang diharapkan dapat menerangkan sesuatu fenomena. Untuk itu
penelitian ini akan dikemukakan tiga satuan konsep yang mendukung penelitian,
yaitu konsep komodifikasi, pusaka budaya Pura Tirta Empul, dan konteks
pariwisata global.
2.2.1 Komodifikasi
Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang
sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (Piliang, 2004 : 21).
Dengan kata lain, komodifikasi secara umum adalah menjadikan sesuatu yang
pada awalnya bukan dagangan menjadi produk yang dapat dijual-belikan.
Komodifikasi diasosiasikan dengan kapitalisme yang mengubah objek dan tanda-
tanda sehingga menjadi komoditas yang layak untuk dijual (Barker, 2005 : 517).
Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang semata. Komodifikasi menyangkut
28

seluruh bidang ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairlough,
1995 : 2007).
Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi
dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.
Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use
value), tetapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi,
yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar,
merupakan satu bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme (Adorno, 1991 : 27).
Komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan
konsumer, tetapi telah merambat pada bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan
masyarakat kapitalisme pada kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada
hukum komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti itu hanya menghasilkan
kebudayaan industri (culture industry), yaitu satu bentuk kebudayaan yang
ditujukan untuk massa dan produksinya berorientasi pada mekanisme pasar.
Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut
masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang
barang-barang yang diperjualbelikan, tetapi permasalahan bagaimana barang-
barang tersebut diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi termasuk juga di
dalamnya.
Dalam kaitannya dengan komodifikasi Pura Tirta Empul, pada awalnya
pusaka budaya ini bukan dibuat untuk tujuan komersial, melainkan sebagai tempat
suci untuk memuja kebesaran/keagungan Tuhan dengan segala manifestasinya.
Pengaruh globalisasi dan westernisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta Empul juga
29

mengarah ke fungsi lain yang bertendensi ekonomi. Proses komodifikasi
dimainkan oleh pengusaha dan berelasi dengan pemerintah daerah dalam
memproduksi dan mendistribusi Pura Tirta Empul termasuk kepentingan
masyarakat pendukung budaya. Pada dewasa ini Pura Tirta Empul yang dulunya
tidak dikomersialkan mengalami komodifikasi karena dikembangkan untuk tujuan
tertentu, yaitu dijadikan daya tarik untuk kepentingan pariwisata.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan komodifikasi dalam penelitian ini adalah sebuah proses
menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan merupakan benda komoditas, tetapi
kini menjadi komoditas berupa situs Pura Tirta Empul beserta lingkungannya
yang dibuat, ditata, dikembangkan, serta dimanfaatkan di samping sebagai tempat
suci juga untuk kepentingan pariwisata demi meningkatnya kesejahteraan hidup
masyarakat Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar.
2.2.2 Pusaka Budaya Pura Tirta Empul
Pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya, lahir
dari proses perjalanan sejarah. Pusaka budaya sebagai salah satu representasi
identitas etnis selalu bersinggungan dengan kekuasaan, yang kemudian terkait
dengan kepentingan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul yang muncul sebagai daya tarik wisata
menjadi potensi besar dalam menarik kunjungan wisatawan di Tampaksiring
Gianyar. Keberadaan Pura Tirta Empul dengan lokasi yang strategis ternyata
membawa manfaat besar bagi masyarakat Desa Manukaya dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Gianyar.
30

Pusaka budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 712)
diartikan dengan harta benda peninggalan leluhur yang tidak boleh dijual. Pusaka
budaya merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan
dengan kebudayaan, pengembangannya, perlindungannya, maupun pemanfaatan-
nya. Pusaka budaya pada dasarnya dapat berupa karya-karya budaya yang
mempunyai nilai luhur dalam suatu masyarakat (Sedyawati, 2002 : 10).
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai pusaka budaya
dunia terkait dengan perlindungan pusaka budaya menjelaskan cakupan pusaka
budaya sebagai (1) monumen (monuments), (2) kelompok bangunan (group of
building), dan (3) situs (sites) (Nuryanti, 1996 : 251).
Kecenderungan pariwisata global menunjukkan bahwa pusaka budaya
menjadi salah satu daya tarik wisata. Hal ini dilandasi oleh pemikiran
posmodernisme bahwa wisatawan ingin menikmati pusaka budaya dianggap asli
atau autentik. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya dilakukan
dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara. Pusaka budaya
sering dimanfaatkan sebagai modal dalam pengembangan pariwisata budaya
(Ardika, 2006 : 160). Di antara pusaka budaya tersebut ada yang dilindungi oleh
Undang-undang, oleh karena itu disebut “benda cagar budaya” (Sedyawati, 2008:
207).
Sementara itu, mengenai Pura Tirta Empul dapat diuraikan sebagai
berikut. Konsep pura dalam penelitian ini berarti tempat beribadah atau
bersembahyang bagi umat Hindu Dharma (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 711).
Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1978 : 460)
31

pura diartikan sebagai tempat suci umat Hindu Dharma. Dalam konteks ini pura
berfungsi sebagai tempat untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya
(para Dewa) dan roh suci leluhur yang telah menyatu dengan-Nya. Kata tirta
berarti ”air suci” dalam rangka upacara agama bagi umat Hindu, dan kata empul
berarti ”sumber (mata) air yang menyembul dari dalam tanah.
Pura Tirta Empul sebagaimana namanya adalah sebuah tempat suci umat
Hindu yang terletak di Desa Manukaya yang mempunyai sumber mata air yang
sangat jernih dan dengan debit air yang cukup tinggi. Mata air ini oleh masyarakat
setempat diyakini sebagai sumber kekuatan magis yang dapat memberi
kehidupan, kemakmuran, dan menghilangkan berbagai penyakit karena terkena
kekuatan magis.
Dalam konteks penelitian ini, objek penelitian Pura Tirta Empul yang
dimaksud adalah areal Pura Tirta Empul yang terdiri atas Pura Tirta Empul
dengan tiga halaman (dalam, tengah, luar), pertamanan di depan pura, kios-kios
yang menjual cenderamata yang berada di bagian paling selatan pura, serta tempat
parkir kendaraan bagi para pengunjung.
2.2.3 Konteks Pariwisata Global
Terkait dengan konsep ”konteks pariwisata global” dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kata konteks pada hakikatnya berarti situasi yang ada
hubungannya dengan sesuatu kejadian (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1988 : 458). Sementara itu, tentang pariwisata berbagai definisi telah
dikemukakan oleh para ahli. Namun demikian definisi pariwisata belum ada yang
diterima secara universal, karena hal itu sangat tergantung dari cara pandang
32

terhadap pariwisata itu sendiri. Ada tiga pengertian yang sering digunakan, yaitu
(1) pariwisata sebagai industri yang ditunjukkan oleh adanya keterlibatan berbagai
usaha, lembaga, dan manusia yang saling berkompetisi dalam menghasilkan
barang dan jasa, (2) sebagai aktivitas, meliputi hubungan berbagai usaha yang
mengakomodasi kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan perjalanan dalam
skala regional, nasional, maupun internasional di luar tempat tinggalnya, dan (3)
pariwisata sebagai suatu sistem yang mencakup berbagai subsistem yang saling
mempengaruhi perjalanan manusia, dari mulai tempat tinggalnya, ke tempat
tujuan, hingga kembali ke tempat tinggalnya (Cooper, dkk., 1996 : 2-3).Menurut
Richard (1997 : 20) pariwisata adalah :
”the temporary short-term movement of people to destivation outside the place where they normaly live and work, and activities during their stay at these destination : it includes movement for all purposes, as well as day visits and excursions”.
Hal itu menegaskan bahwa wisatawan bermaksud bersenang-senang
mencari sesuatu yang berbeda serta tidak menetap, namun kembali lagi ke tempat
asalnya. Kehadirannya para imigran ke suatu tempat dilakukan untuk sementara
waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari pekerjaan, tetapi semata-mata
sebagai konsumen untuk menikmati dan memenuhi kebutuhannya.
Pariwisata mencakup pergerakan manusia dari tempat tinggalnya ke
tempat lain, perjalanan bersifat sementara, dan dilakukan untuk berbagai tujuan,
kecuali menetap dan bekerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 649)
disebutkan pariwisata berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi,
pelancongan, dan turisme. Pariwisata menyangkut berbagai macam kegiatan
33

wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh
masyarakat, pemerintah, dan pengusaha.
Dari beberapa keterangan tersebut di atas, kiranya dapat difahami bahwa
pariwisata pada hakikatnya adalah menyangkut pergerakan/perpindahan orang
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan sesuatu yang berbeda. Dengan
kata lain, pariwisata menyangkut proses bepergian seseorang atau kelompok
orang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya untuk sementara waktu
dengan tujuan bersenang-senang mencari kepuasan dan tidak untuk tujuan bekerja
yang mendapatkan penghasilan. Dorongan kepergiannya menurut Ardika (2007 :
105) adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi,
sosial, budaya, politik, agama, maupun kepentingan lain, seperti karena sekedar
ingin tahu, menambah pengalaman, atau untuk belajar.
Kata global memiliki makna universal yang dapat berarti sedunia,
sejagat. Konsep global melahirkan konsep-konsep, seperti konsep kepentingan
bersama (common interest), warisan bersama umat manusia (common heritage of
mankind), dan kerjasama (cooperation) untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama
(Putra, 1998 : 2). Dari kata global berkembang kata globalisasi yaitu sebuah
istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa, antarmanusia, di seluruh dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain,
sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Globalisasi memiliki pengertian
yang dapat dijabarkan berawal dari kata “global” yang maknanya ialah universal.
Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali
34

sekedar definisi kerja, sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada
yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses
alamiah yang akan membawa seluruh negara di dunia semakin terikat satu sama
lain dengan mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan meningkatkan
batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang di
usung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan
negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain
adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang
kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara
miskin semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Globalisasi
cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh
terhadap bidang-bidang lain, seperti budaya dan agama.
Isu globalisasi dewasa ini semakin ramai diperbincangkan oleh para
ilmuwan, khususnya ilmuwan sosial. Hal ini disebabkan karena kecenderungan
historis yang sangat menonjol di era modern ini adalah perubahan menuju
globalisasi. Seiring dengan akselerasi kekuatan arus globalisasi yang semakin luas
daya jelajahnya, maka semakin kuat pula intensitas daya pengaruhnya. Hampir
tidak ada wilayah negara pada dewasa ini yang luput dari pengaruh proses
tersebut. Kemajuan bidang komunikasi merupakan salah satu faktor penting bagi
pencapaian percepatan, perluasan, dan pengintensifan pengaruh globalisasi yang
melanda hampir semua negara di dunia (Astra, 2004 : 107). Masyarakat di
35

seluruh dunia menjadi saling bergantung di semua aspek kehidupan, terutama
kehidupan politik, ekonomi, dan kultural (Sztompka, 2007 : 102).
Globalisasi telah menimbulkan proses perkembangan kehidupan
manusia dan menjadikan seluruh kehidupan di muka bumi ini terkesan menyatu
tanpa batas-batas yang jelas. Proses globalisasi diikuti oleh adanya kemajuan
dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, dan
komunikasi. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan itu telah menimbulkan
transformasi sosial dan merombak tata kehidupan masyarakat yang dilanda,
termasuk di dalamnya masyarakat Bali.
Globalisasi merupakan hasil interaksi antara konsep global dengan
konsep-konsep liberalisme yang berkembang bersamaan dengan liberalisasi
perdagangan dunia. Interaksi kedua konsep ini melahirkan konsep liberalisasi,
nondiskriminasi, persaingan bebas, jujur dan terbuka, serta pengabaian batas-batas
negara atau globalisasi. Hasil interaksi ini juga melahirkan persyaratan-
persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap orang, masyarakat, dan
negara, yaitu kemampuan individual, kemampuan kerjasama, kemampuan
bersaing, jujur, dan nondiskriminasi.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya
fenomena globalisasi di dunia.
1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan
barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet
menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya.
36

2. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda
menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan
internasional dan peningkatan pengaruh perusahaan multi nasional.
3. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media
massa (terutama televisi, film, musik) saat ini, dan kita mendapat pengalaman
baru tentang hal-hal yang melintas beraneka ragam budaya.
4. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang
lingkungan hidup, krisis multi nasional, inflasi regional dan lain-lain
(Giddens, 2003 : 18-19).
Proses globalisasi ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu
tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam
pembentukan subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan
ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan
telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam (Featherstone, 1991 : 36).
Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respons tepat,
karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan
kekayaan bagi berbagai kelompok dan masyarakat. Proses ini telah membawa
“pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tata nonsosial.
Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas, sekaligus
mengaburkan batas-batas sosial budaya (Appadurai, 1996 : 71-78).
Sementara itu, globalisasi kultur juga terjadi benturan-benturan ketika
peradaban Barat merasuk ke dalam kultur pribumi di kawasan jajahan mereka.
37

Pada periode belakangan ini kultur pada skala global umumnya ditampilkan
melalui media massa terutama melalui TV. Imperialisme media makin lama
mengubah dunia menjadi “dusun global” yang mana lingkup pengalaman kultural
dan produknya pada dasarnya adalah sama. Akhirnya, kultur tradisional muncul
dalam batas komunitas, terpaku pada ruang dan waktu, sedangkan kultur modern
melintasi jarak ruang dan waktu melalui teknologi komunikasi dan transportasi
tanpa terikat pada ruang dan waktu (Adullah, 2007 : 55-56).
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada dalam
masyarakat, termasuk di antaranya aspek budaya. Berkembangnya globalisasi
kebudayaan dicirikan oleh hal-hal berikut, yaitu (1) berkembangnya pertukaran
kebudayaan internasional, (2) penyebaran prinsip multi kebudayaan, (3)
berkembangnya pariwisata, (4) berkembangnya mode yang berskala global, dan
(5) bertambah banyaknya peristiwa-peristiwa berskala global.
Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang
menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang
bertumpu pada proses identifikasi diri. Hampir tidak ada satu masyarakat pun
yang terbebas sepenuhnya dari pengaruh globalisasi yang semakin kuat sejalan
dengan perbaikan transportasi dan teknologi komunikasi. Kapitalisme telah
menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu
menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat
menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada
pembentukan status dan kelas tertentu.
38

Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan konteks pariwisata global dalam penelitian ini adalah situasi yang ada
hubungannya dengan mendunianya pergerakan manusia dari satu tempat ke
tempat lain untuk bersenang-senang, mencari suatu yang baru, sehingga terjadi
proses penyatuan, kesalingberkaitan, dan kesalingterhubungkan antarmanusia di
seluruh dunia.
2.3 Landasan Teori
Kebudayaan Bali dalam dua dekade ini telah memperlihatkan suatu
dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Pendorong utama dari perubahan ini
adalah fenomena internal dan eksternal yang sangat berpengaruh dalam
menstraformasi struktur masyarakat yang semula bersifat agraris kini beralih
menuju masyarakat industri dan jasa. Adanya berbagai pengaruh, baik secara
intern maupun secara ekstern Pura Tirta Empul sebagai produk budaya tradisi
sudah terkomodifikasi bentuk, fungsi, dan maknanya. Berdasarkan asumsi dan
rumusan masalah, akan dirujuk beberapa teori yang diharapkan mampu
membangun berangka analisis atas data yang dikumpulkan sesuai dengan
karakteristik kajian budaya.
Untuk memahami permasalahan yang diteliti, penelitian ini dilakukan
berdasarkan pendekatan kajian budaya (culture studies). Kajian budaya
merupakan bidang penelitian interdisipliner yang mempelajari produksi dan peta-
peta makna, serta menaruh perhatian pada isu-isu kekuasaan dalam praktik
pemaknaan formasi-formasi kehidupan manusia (Barker, 2005 : 515). Fokus
kajian budaya sesungguhnya terletak pada persoalan bagaimana budaya
39

dipraktikkan atau bagaimana praktik budaya memungkinkan berbagai budaya dan
kelas berjuang melawan dominasi kebudayaan. Cultural studies secara konsisten
menaruh perhatian pada masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan
akan perubahan sosial.
Kebudayaan yang menjadi ontologi kajian budaya mempunyai
pengertian yang berbeda dengan pemahaman umum. Kebudayaan dalam kajian
budaya adalah kebudayaan dalam arti luas yang terkait dengan isu-isu politik,
sosial, dan ideologis. Kebudayaan dalam kajian budaya merupakan suatu ajang
pertikaian ideologi. Dengan kata lain, kebudayaan dalam kajian budaya
didefinisikan secara politis daripada secara estetis. Obyek penelitian kajian
budaya bukanlah kebudayaan dalam pengertian sempit, tetapi kebudayaan sebagai
teks-teks dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari (Storey, 1996 : 2-3).
Untuk mendapatkan hasil penelitian sesuai dengan yang diharapkan,
penelitian ini menggunakan teori-teori kritis yang tergolong posmodern. Teori-
teori sebelumnya (tradisional dan modern) dianggap gagal mencapai
emansipatoris dalam rangka menjelaskan perkembangan masyarakat kontemporer,
dianggap bersifat tertutup, tidak kritis, dan terlalu berputar-putar pada prinsip-
prinsip umum. Teori-teori kritis menawarkan suatu ciri dan karakter yang
berbeda, yakni (1) curiga dan kritis terhadap masyarakat, (2) berpikir secara
historis, dan (3) menelaah kontradiksi-kontradiksi secara totalitas (Sindhunata,
1983 : 80-84).
Teori kritis berlawanan dengan pandangan positivisme yang menyatakan
bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori kritis
40

percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historis, yaitu terus mengalami
perubahan. Peran teori kritis bersifat politis karena berpartisipasi dalam
mendorong perubahan sosial. Selanjutnya, teori kritis berpandangan bahwa
dominasi bersifat struktural, yakni kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi
oleh institusi sosial seperti politik, ekonomi, budaya, diskursus, gender, dan ras.
Teori ini mengungkap struktur untuk membantu masyarakat dalam memahami
akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Pada level ini, teori kritis
berkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran palsu
manusia,dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni
(Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan
(Derrida) (Agger, 2007 : 7-9).
Teori kritis mencoba mengungkap kesadaran palsu tersebut dan
meyakini adanya kemampuan untuk mengubahnya. Perubahan itu dapat dilakukan
dari diri sendiri, keluarga, dan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang
struktur dapat dijadikan dasar untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil.
Manusia bertanggung jawab atas kebebasannya dan berkewajiban untuk
mencegah agar tidak terjadi penindasan antarsesama. Teori kritis menolak
pragmatisme revolusioner karena kebebasan dan keadilan tidak boleh diraih
dengan mengorbankan kebebasan (Lubis, 2006 : 63).
Teori Mazhab Frankfurt merupakan salah satu teori yang memberikan
pengaruh sangat luas terhadap kajian budaya kontemporer. Ide-ide teori kritis
berpengaruh pada praksis yang bertujuan melawan kemiskinan dunia, kehidupan
yang ditimbulkan oleh rasionalitas sistem dunia, dan kehidupan sebagai akibat
41

dominasi rasionalitas instrumental. Ada empat teori yang dipakai untuk
membedah permasalahan dalam penelitian ini, yaitu teori komodifikasi,
hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika.
2.3.1 Teori Komodifikasi
Arus globalisasi telah melanda kehidupan manusia di seluruh penjuru
dunia, baik di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Globalisasi politik dan
ekonomi tampak dari fenomena semakin meluasnya pengaruh penetrasi sistem
organisasi modern yang menembus sekat-sekat negara, sedangkan globalisasi
pada level budaya mengacu pada persebaran prinsip-prinsip hidup modern, seperti
rasionalisasi, komersialisasi, dan konsumerisme (Triono, 1996 : 136). Globalisasi
budaya sangat sulit dikontrol lebih-lebih adanya kemajuan teknologi komunikasi
dan transportasi yang memudahkan kontak antarmanusia secara intensif. Sebagai
akibat dari kecendrungan itu maka terjadi apa yang disebut sebagai
“universalisme budaya”, di mana wajah budaya dunia dipandang menuju ke satu
arah, yaitu homogenisasi budaya modernitas dan memudarnya magis serta tradisi
lokal.
Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalis atau membela
kepentingan modal dapat menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi adalah proses
yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda
diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk
dijual di pasar (Barker, 2005 : 517). Komoditas dipahami sebagai suatu hasil
produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain, komoditas adalah
segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Akibat ekonomi uang yang
42

berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya
mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor kehidupan.
Orientasi pencarian keuntungan pada masyarakat kapitalis menyebabkan
terciptanya produk-produk beragam dan luas. Akhirnya pada masyarakat
pascamodern komoditi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan dan ranah
kebudayaan (Lury, 1998 : 64). Gejala ini oleh penganut postrukturalis disebut
sebagai “merkantilisme”, yaitu berubahnya status segala wacana, termasuk
pengetahuan, pendidikan, dan informasi menjadi komoditi (Piliang, 2006 : 296).
Fenomena demikian menjadikan komoditas tidak semata-mata terhenti pada nilai
tukar (exchange value) dan nilai guna (use value), namun sudah sampai ke nilai
tanda (sign value) (Baudrillard, 1981 : 18).
Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut
masalah produksi komoditas tentang barang yang diperjualbelikan. Permasalahan
bagaimana barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi juga termasuk di
dalamnya. Komodifikasi bukan merupakan suatu proses baru, tetapi saat ini telah
memperoleh kekuatan sebagai suatu aspek kebudayaan perusahaan.
Komodifikasi di berbagai dimensi kehidupan ini telah melahirkan
masyarakat komoditas (commodity society). Dalam hubungan ini Ibrahim (1997 :
24-25) memerinci masyarakat komoditas sebagai berikut.
Masyarakat komoditas memiliki empat ciri, yaitu (1) suatu masyarakat komoditas adalah masyarakat yang menampakkan produksi barang-barang bukan demi kebutuhan semata, tetapi kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental ; (2) dalam masyarakat komoditas muncul kecenderungan ke arah konsentrasi kapital luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa ; (3) masyarakat komoditas sarat dengan antagonisme sebagai akibat hubungan produksi yang terus membelenggu kekuatan produksi yang ada, dan (4) meningkatnya
43

tuntutan terus menerus sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat melalui sarana yang tersedia.
Komodifikasi sudah merambah ke seluruh sektor pariwisata dan sistem
kapitalis. Dalam dunia pariwisata, komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah
menyentuh langsung pada makna-makna kebudayaan, lebih-lebih ketika
melibatkan atau memanfaatkan simbol-simbol, ikon-ikon seni, budaya, dan
agama. Dengan penggunaan teknologi media, komodifikasi sudah menjadi suatu
ritual usaha ekonomi. Fenomena merebaknya industri kebudayaan untuk publik
seperti menjamurnya majalah populer, televisi swasta, kawasan wisata, pusat
hiburan, dan perbelanjaan modern menempatkan Bali sebagai masyarakat
komoditas (Darmadi, 2006 : 67 – 68).
Dalam pengembangan pariwisata yang memanfaatkan pusaka budaya
atau tinggalan arkeologi (artefak, fitur, situs) harus digarisbawahi bahwa
pariwisata pusaka budaya merupakan manifestasi dari komodifikasi kebudayaan
(comodification of culture). Hancurnya atau hilangnya batas-batas antara
kebudayaan dan ekonomi adalah sebagai sebuah penanda penting posmodernitas
(Richards, 1996 : 262 – 263). Perlu dikemukakan bahwa komodifikasi tidak
semata-mata dilakukan oleh para pelaku ekonomi, seperti pemodal pariwisata,
masyarakat lokal pun berpotensi dan bahkan sering melakukannya.
Dewasa ini sebagian masyarakat telah mengalami gejala touristifikasi
dan menjadi “touristic society”. Proses touristifikasi mempunyai dampak yang
sangat tinggi terhadap eksistensi kebudayaan lokal dan mampu
mentransformasikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Banyak kalangan
khawatir dengan touristifikasi ini, karena akan dapat mengubah inti kebudayaan,
44

terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, serta hilangnya bentuk-
bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat (Pitana,
2006 : 260).
Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah mengalami
erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan, tanpa mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri, terjadinya komodifikasi terhadap
kebudayaan, terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian, dan profanisasi
kegiatan ritual atau tempat suci.
Beberapa studi kasus telah dilakukan oleh sejumlah peneliti mengenai
proses komodifikasi terhadap komponen budaya dalam kaitannya dengan
pengembangan pariwisata. Menurut Ardika (2008 : 4-5) komodifikasi pada
umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan keinginan masyarakat, seniman, perajin, dan faktor
eksternal karena permintaan konsumen, selera pasar, pariwisata, dan kondisi
ekonomi. Berbagai barang kerajinan dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi
selera pasar atau wisatawan. Namun, tanpa disadari bahwa budaya, khususnya
barang-barang kerajinan dan benda-benda seni, dibuat sesuai dengan pesanan
wisatawan tanpa memperhatikan jatidiri budaya setempat. Kenyataan ini perlu
diantisipasi agar budaya tidak kehilangan jatidirinya yang berlandaskan pada
nilai-nilai spiritual agama Hindu.
Globalisasi telah menjadi kekuatan besar pada dewasa ini. Pasar dalam
hal ini muncul sebagai kekuatan dalam membangun dunia kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan
45

tatanan sosial. Pasar telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batas-
batas sosial budaya. Pasar sekaligus menguburkan batas-batas itu akibat
berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Appadurai, 1994 : 49).
Teori komodifikasi dikaitkan dengan industri pariwisata, relasinya
dengan kebutuhan untuk mengonsumsi suatu produk kebudayaan adalah sebagai
trend global yang sedang berkembang dewasa ini. Hal semacam ini tidak bisa
ditolak dan tentu saja mengarah pada komodifikasi kebudayaan sejalan dengan
pelayanan jasa yang ditawarkan oleh industri pariwisata dengan menjual produk
kebudayaan tersebut. Oleh Picard (2006 : 164) disebut turistifikasi, yaitu suatu
budaya dan masyarakat dijadikan sebagai produk pariwisata. Dalam penelitian ini
teori komodifikasi diposisikan sebagai teori payung dan digunakan sebagai
landasan kajian untuk membedah rumusan masalah yang telah ditetapkan.
2.3.2 Teori Hegemoni
Teori hegemoni (hegemony) dari Antonio Gramsci (1891 – 1937)
menduduki posisi sentral dan sangat penting dalam kaitannya dengan kajian
budaya. Konsep hegemoni dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap
konsep-konsep Marxis Ortodok. Hegemoni mencakup sarana kultural dan
ideologis yang di dalamnya kelompok-kelompok penguasa menjalankan atau
melestarikan kekuasaannya atas masyarakat melalui konsensus terhadap pihak-
pihak yang didominasi. Gramsci (1971) menggunakan istilah hegemoni untuk
mengacu pada cara kelompok dominan dalam masyarakat mendapat dukungan
dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual
dan moral.
46

Gramsci menyoroti persoalan baru yang sebelumnya tidak dipikirkan
oleh pemikir Marxisme. Integritas intelektual kaum filsuf adalah persoalan yang
muncul secara orisinal dalam pengalaman politik di Italia di bawah rezim fasis
Mussolini. Dalam hubungan ini Simon (2004 : xv-xvi) menulis sebagai berikut.
”Dalam realitas sosial yang dianalisis Gramsci menunjukkan bahwa formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini ternyata tidak secara otomatis melahirkan revolusi sosial, malah muncul gejala menguatnya “deproletarisasi”, di mana para buruh rela dan “concern” menerima penderitaan, bahkan mendukung keberadaan rezim Mussolini. Pengalaman penyerahan ideologi dan budaya kaum tertindas terhadap golongan yang menindas ini menarik perhatian Gramsci, dan reaksi intelektual atas kejadian itu, Gramsci mencetuskan teorinya tentang hegemoni. Teori ini pada dasarnya menjadi antitesa terhadap model perubahan sosial yang sangat positivistik dalam teori Marxisme saat itu”.
Hal-hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemikiran Gramsci
berpengaruh besar terhadap penyadaran kritis. Beberapa pemikirannya mengenai
civil society, counter hegemony dan terutama konsepnya mengenai war of
position telah mendorong munculnya gerakan tandingan terhadap hegemoni
dominan.
Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (1929-1933), Gramsci
mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya
berakhir pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar
kebudayaan dan politis. Ideologi memegang peranan penting dalam teori
hegemoni. Sebagaimana postrukturalisme yang bermaksud menanggulangi
kelemahan strukturalisme, teori hegemoni bertujuan merevisi kelemahan konsep-
konsep marxisme, seperti perkembangan politik dianggap sebagai akibat langsung
perkembangan ekonomi. Meskipun demikian, sesuai dengan paradigmanya,
cultural studies melangkah lebih jauh, di satu pihak dengan menempatkan
47

kebudayaan sebagai titik pusat pembicaraan dalam memperjuangkan kepentingan
kelompok, di pihak lain bagaimana kebudayaan memberikan bentuk historis pada
struktur sosial.
Sebagaimana ciri-ciri aliran Marxis pada umumnya, hegemoni Gramsci
sesungguhnya mengandung ide-ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan
sosial secara radikal dan revolusioner (Ratna, 2005 : 185). Pluralisme
multikultural dan budaya marginal yang menjadi isu pokok dalam cultural
studies, pada dasarnya telah terkandung dalam gagasan Gramsci. Teori hegemoni
Gramsci secara tidak langsung menolak reduksi manusia, termasuk narasi kecil,
menolak konsep-konsep yang menjunjung tinggi kebenaran mutlak, baik yang
terkandung dalam aliran Marxisme maupun nonmarxisme.
Hegemoni menurut Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan
relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas. Konsep hegemoni
tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, akan tetapi yang lebih
penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral. Menurut Gramsci, dominasi
kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat
penerimaan publik, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas.
Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa
dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip
hegemoni. Makna (meaning) dan nilai-nilai (value) dominan yang dihasilkan
lewat berbagai media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu
sendiri (Piliang, 2009 : 136).
48

Dengan mengacu para pakar yang membahas gagasan Gramsci,
misalnya, Simon (2004 : 21-22), Fakih (2002 : 64) bahwa kelas berkuasa selalu
berkeinginan memertahankan kekuasaannya dengan cara dominasi maupun
hegemoni. Dominasi adalah kontrol sosial eksternal dengan menggunakan
hukuman dan ganjaran, bahkan bisa juga kekerasan, sedangkan hegemoni
merupakan kontrol sosial internal dengan membentuk keyakinan pada norma yang
berlaku. Pemertahanan kekuasaan acap kali tidak bisa hanya mengandalkan pada
dominasi, melainkan harus disertai dengan hegemoni. Jika hegemoni berhasil,
maka peluang bagi pemertahanan kekuasaan menjadi lebih mudah.
Dengan mengikuti gagasan Gramsci (dalam Sugiono, 1999 : 17) dalam
hubungan yang hegemonik, kelompok berkuasa mendapatkan persetujuan
kelompok subordinat atas subordinasinya. Kelompok berkuasa yakin dalam hal ini
Pemda Gianyar beserta jajarannya tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai,
yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilai-nilai,
norma-norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri
oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai
norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi.
”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya politis, kultural, dan inetelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti bahwa kelompok penguasa harus ”menguniversalkan” pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa, tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat” (Sugiono, 1999 : 41).
49

Pencapaian sasaran ini memerlukan berbagai cara, misalnya melalui
lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan secara langsung maupun tidak
langsung struktur-struktur kognitif dan efektif masyarakat.
Hegemoni sebagai kekuasaan berdasarkan konsensus telah
mempengaruhi struktur-struktur kognitif yang dikuasai. Pihak-pihak yang di
hegemoni menerima gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok
penghegemoni tidak karena dipaksa atau dibujuk, tetapi karena mereka sendiri
memiliki alasan-alasan tertentu untuk menerimanya. Dengan kata lain, proses
hegemoni terjadi jika cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran
masyarakat kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya
hidup kelompok elite yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Dalam
hegemoni, konsensus dibuat oleh para penghegemoni tetapi konsensus tersebut
dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan yang terhegemoni. Dengan
demikian, hegemoni kelihatan mengekspresikan apa-apa yang menjadi keinginan
yang terhegemoni tersebut. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan
kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan
kepemimpinan politik dan ideologi (Simon, 2004 : 38).
Terkait teori hegemoni, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu
bahasa, pendapat umum, dan folklor. Bahasa merupakan sarana yang sangat
penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyebaran konsep-konsep
ideologi tertentu. Makin luas dan makin banyak penguasaan bahasa, maka makin
mudah penyebaran ideologi yang dapat dilakukan. Sementara itu, pendapat umum
meskipun tidak sistematis dan bersifat kolektif, tetapi memiliki sifat pervasif yang
50

cukup kuat. Pendapat umum telah menjadi arena penting dalam pertarungan
ideologi serta berfungsi untuk melawan ideologi. Sedangkan folklor yang pada
umumnya terkait dengan sistem kepercayaan, opini, dan takyul juga berperanan
dalam menopang hegemoni, karena dalam folklor tersembunyi kekuatan yang
berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan (Ratna, 2005 : 188). Lebih-
lebih hegemoni didukung oleh kaum intelektual yang secara terus menerus
menyokong, mengembangkan, dan menyebarkan ideologi hegemoni penguasa.
Dalam setiap masyarakat kelompok intelektual memegang peranan penting.
Berbeda dengan pendapat umum yang biasanya memberikan ciri kepada
kemampuan rasio, Gramsci lebih banyak melihatnya melalui posisinya dalam
kelas sosial. Dengan demikian, pada dasarnya hegemoni tidak dipaksakan dari
atas, tidak berkembang secara bebas, tidak disengaja, tetapi hegemoni diperoleh
melalui negosiasi dan kesepakatan.
Hegemoni sebagai sarana maupun ideologis tempat kelompok-kelompok
yang dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya melalui persetujuan
sepontan kelompok-kelompok subordinat. Melalui penciptaan negosiasi
konsensus politik maupun ideologis kemudian menyusup ke dalam kelompok-
kelompok dominan maupun yang didominasi. Konsep hegemoni mengandung
pengertian bahwa kelas politik tersebut telah berhasil membujuk kelas-kelas lain
dalam masyarakat untuk menerima nilai-nilai moral, politik, maupun kulturalnya.
Kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan, nilai-nilai, maupun
kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan disebabkan secara fisik atau
mental diindoktrinasi secara ideologis, melainkan karena mereka punya alasan-
51

alasan tersendiri. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni ini akan
mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok subordinat
tersebut. Hegemoni bukanlah suatu perintah fungsional kapitalisme, melainkan
merupakan sekumpulan gagasan konsensus yang membentuk kelas maupun
konflik-konflik sosial lainnya.
Dengan menggunakan kerangka hegemoni tersebut, semakin setuju
pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin berhasil
hegemoni yang terjadi. Dalam hal ini ide-ide yang dijalankan dalam kekuasaan
tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari yang dikuasai
dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada internalisasi
ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi politik.
Teori hegemoni relevan digunakan untuk menganalisis bentuk hegemoni
pemerintah (Kabupaten Gianyar) dalam aktivitas komodifikasi pusaka budaya
Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata budaya. Melalui lembaga Diparda
Kabupaten, Kecamatan, sampai ke tingkat desa, pemerintah mengeluarkan
instruksi, kebijakan, dan peraturan untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan
membentuk pola pikir masyarakat.
Berdasarkan prinsip teori hegemoni tersebut, maka penelitian ini
diarahkan pada pencermatan komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta Empul yang
bersinggungan dengan ideologi kekuasaan atau pihak yang berkepentingan. Teori
hegemoni digunakan sebagai landasan kajian untuk mengungkap faktor-faktor
apakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.
2.3.3 Teori Dekonstruksi
52

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam
teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran,
penolakan, penghancuran, dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula
(Ratna, 2005 : 250-251).
Istilah dekonstruksi yang digunakan oleh Jacques Derrida, sebenarnya
sudah digunakan oleh ahli tata bahasa Prancis dalam mengungkap kaidah-kaidah
konstruksi kalimat, khususnya tentang keberlakuan kalimat dalam keadaan yang
berbeda-beda (difference). Menurut Stuart Sim, ada tiga asumsi dasar
dekonstruksi yaitu pertama, menyangkut ketidakstabilan makna bahasa, kedua,
tidak ada metode analisis yang memiliki klaim istimewa atas otoritas tafsir
tekstual, dan ketiga, tafsir lebih merupakan kegiatan yang tak terbatas dan lebih
mirip dengan permainan daripada analisis (Sim, 2002 : 28).
Bertolak dari asumsi tersebut, tampak jelas bahwa dekonstruksi
mementingkan pencarian makna baru. Untuk mencapai tujuan itu, maka
dekonstruksi menangguhkan semua yang sebelumnya sudah mapan. Bagi Derrida,
relasi signifier (penanda) dengan signified (petanda) tidak statis. Pemaknaan tanda
merupakan proses pembongkaran tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
penyusunan kembali ke dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan
hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Derrida menunjukkan bahwa dalam proses pemahaman
makna tanda bukan sekedar karena ada proses oposisi atau differensiasi, tetapi
karena ada proses ”penundaan” hubungan antara penanda (bentuk tanda) dan
53

petanda (makna) untuk menemukan makna lain atau makna baru (Norris, 2008 :
69). Proses dalam hubungan yang baru ini disebut Derrida dengan differance.
Differance menunjukkan sebuah perbedaan pasif sebagai kondisi dari penandaan
serta sebuah tindakan membedakan atau menunda yang menghasilkan perbedaan.
Dengan demikian, inti teori dekonstruksi Derrida adalah perbedaan (differance)
sekaligus penundaan untuk mendekonstruksi legitimasi oposisi biner.
Derrida tampil sebagai seorang ahli membuat makna ganda dan makna
tersembunyi. Ia mengajak menuju cara baru dalam membaca dan menulis dan
beranggapan bahwa semua yang ada merupakan ”teks”. Bahan pokok semua teks,
masyarakat, dan apa pun adalah makna-makna yang perlu diurai atau
didekonstruksi. Guna mencapai makna-makna itu, menurut Derrida, harus
dilakukan tafsir atau hermeneutika.
Dalam kaitan dengan hakikat bahasa, Derrida mencoba menemukan
bagaimana bahasa mempunyai arti. Derrida mengkritik filsuf-filsuf Barat karena
meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai untuk
menggambarkan realitas yang sebenarnya. Untuk itu, Derrida menggunakan
konsep perbedaan (difference) yang dicetuskan pertama kali oleh Ferdinand de
Sousssure. Namun demikian, ia tidak memakainya begitu saja, melainkan
membuat perubahan dan mengubah maknanya. Dengan sentuhan artistiknya,
Derrida mengubah ”difference” menjadi ”differance” yang berarti berbeda atau
menuda. Lewat kata ”differance”, Derrida mengkritik tradisi Barat yang
mengatakan bahwa tulisan hanyalah gambaran dari ucapan manusia, karena
ucapan lebih langsung sifatnya dibandingan dengan tulisan.
54

Dekonstruksi adalah segala sesuatu yang ditolaknya. Konsep ini
memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam konsep logo sentrisme.
Ia mencegah agar tidak terlalu cepat menyingkap arti dalam sebuah teks. Derrida
menunjukkan berbagai kesulitan yang ada dalam teori-teori yang memaksakan
diri mencari kebenaran arti tunggal. Sebuah teks senantiasa berkorelasi dan
mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang lain
(Sutrisno, dkk., 2005 : 171).
Derrida merupakan pemikir yang sangat konsisten dengan sikap
kritisnya. Ia terus berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan tradisi
pemikiran lama, yaitu tradisi pemikiran yang baginya tidak memberi ruang pada
sesuatu yang berbeda. Di sini dapat dilihat bahwa Derrida memang sosok yang
tidak terlalu simpatik pada konsep pemikiran yang hanya berkutat pada satu
tujuan, yaitu pencapaian kebenaran atau makna tunggal yang obyektif dan berlaku
universal. Dengan konsep dekonstruksi, Derrida berusaha mengadakan perubahan
dengan sesuatu yang dapat dihasilkannya sendiri, sesuatu yang tidak sekedar
mengambil dari apa yang sudah tersedia dalam pemikiran yang hendak
dikritiknya.
Untuk melawan kesewenang-wenangan cara berpikir yang selalu
berusaha menemukan makna tunggal sebuah teks, Derrida berpendapat bahwa
konsep pemikiran masa modern mesti di ubah, dihancurkan, atau didekonstruksi.
Dasar pemikiran Barat modern harus terlebih dahulu di hancurkan agar dapat
dibangun kembali suatu cara berpikir baru yang terbuka, yang mau menerima
model pendekatan apa saja terhadap realitas sebagai teks. Derrida sangat
55

menekankan keanekaragaman cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang
ada. Ia memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks
yang akan membawa pada keberagaman makna (Lubis, 2006: 120). Sebuah teks
atau realitas yang sama dapat dibaca secara berbeda oleh orang lain. Dengan kata
lain, dengan adanya kesadaran bahwa makna dari realitas itu beragam, maka
setiap orang diharapkan akan lebih siap untuk merayakan keberagaman itu.
Dalam penelitian ini teori dekonstruksi digunakan untuk mengkritisi,
membongkar, tanda-tanda konvensi kultural yang tersembunyi dari ideologi
dominan. Teori dekonstruksi dijadikan sebagai salah satu strategi budaya dalam
mengkritisi ideologi dibalik komodifikasi Pura Tirta Empul. Selain
mendekontrduksi ideologi intelektual yang selama ini dianggap memiliki
kompetensi yang relatif tetap dan permanen dalam memperkuat struktur
kekuasaan. Pada tataran makna, teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar
dampak dan makna komodifikasi pusaka budaya dalam konteks pariwisata global,
khususnya pada makna-makna yang terlahir sebagai akibat konvensi budaya yang
tersembunyi dari ideologi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan makna-makna baru, bukan dalam tataran
makna yang monolitik, tetapi makna pluralistik. Dalam penelitian ini, teori
dekonstruksi digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga,
yaitu faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, serta dampak
dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global.
2.3.4 Teori Semiotika
56

Dalam upaya memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam
konteks pariwisata global digunakan pula teori semiotika. Semiotika berasal dari
kata Yunani semeion yang berarti ”tanda” sehingga semiotika berarti ”ilmu
tanda”. Tanda dianggap mewakili suatu objek secara representatif. Istilah
semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dengan kata lain
semiotika maupun semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana
istilah itu populer.
Di antara banyak ahli yang membicarakan tentang tanda, terdapat dua
tokoh yang hasil penelaahannya hingga kini tetap menjadi dasar kajian serta terus
dipelajari oleh para ahli. Kedua tokoh tersebut berasal dari negara yang berbeda
yaitu Charles Sanders Peirce (1834-1914) dari Amerika Serikat dan Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dari Swiss. Peirce adalah seorang ahli filsafat dan logika,
sedangkan Saussure adalah ahli bahasa bahkan dianggap sebagai Bapak
Linguistik Modern (Van Zoest, 1992 : 1-2 ; Ratna, 2006 : 98).
Menurut Peirce yang harus dipelajari dalam logika adalah bagaimana
cara orang bernalar. Penalaran itu menurut Pierce dilakukan melalui tanda-tanda
yang memungkinkan untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan
memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kajian tentang
tanda tersebut oleh Peirce dinamakan dengan semiotika yang sebenarnya sinonim
dengan logika. Sementara itu, Saussure mengembangkan dasar-dasar teori
linguistik umum. Menurutnya, bahasa sebagai suatu gejala budaya dapat dijadikan
objek studi, kekhasan teorinya adalah menganggap bahasa sebagai sistem tanda.
57

Teori tentang tanda linguistik perlu ditempatkan dalam suatu teori yang lebih
umum, untuk hal itu diusulkanlah nama semiologi.
Kajian ini selanjutnya didasarkan pada pendapat Peirce, sebab menurut
Peirce terdapat kemungkinan luas dalam keanekaragaman tanda. Menurut Peirce
(dalam Endraswara, 2003 : 65) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara
tanda dengan yang ditandakan, yaitu (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren
memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk, (2) indeks, yaitu tanda yang
mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan, dan (3) simbol, yaitu
tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan sesuai dengan
konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan pengertian itu Peirce
berpendapat bahwa teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan dalam berbagai
bidang ilmu termasuk ilmu budaya.
Dalam analisis semiotika, Pierce menawarkan sistem tanda yang harus
diungkap. Menurut dia, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu
tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam
batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi
(menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi di benak penerima.
Hasil interpretasi itu merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan.
Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika pasca Saussure dan Peirce
dikembangkan oleh beberapa ilmuwan, salah satu di antaranya adalah Umberto
Eco. Ia adalah tokoh semiotika asal Italia yang bertolak dari pandangan Peirce dan
mendorong penelitian berbagai bidang ilmu dengan menggunakan teori semiotika.
Dalam kaitannya dengan penelitian sastra sebagai bagian dari kebudayaan,
58

Umberto Eco mengemukakan bahwa pengarang haruslah berusaha agar perangkat
sandi yang diyakini dapat ditangkap pembaca. Pengarang harus dapat memahami
pembacanya. Menurutnya, sandi dan konvensi gaya yang dipakai dalam teks
bukan hanya memikat pembaca, namun juga mengonstruksinya dengan cara
memberi petunjuk untuk memahami teks tersebut.
Penggunaan semiotika sebagai teori di dalam berbagai cabang keilmuan
dimungkinkan, oleh kaerna ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang
berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena
bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat
dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda
(Piliang, 2003 : 257).
Dalam kaitan dengan penelitian ini, kajian struktural semiotik akan
mengungkap produk budaya sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan
sarana komunikasi yang bersifat estetis, karena setiap tanda membutuhkan
pemaknaan. Teori semiotika relevan digunakan secara ekletik untuk membedah
permasalahan yang terkait dengan makna komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai
produk budaya masyarakat Desa Manukaya.
2.4 Model Penelitian
Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global ini dapat digambarkan dalam model berikut :
59

Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan : Hubungan langsung dua arahHubungan langsung satu arah
Penjelasan Model
60
BudayaLokal
Budaya Global
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam Konteks
Pariwisata Global
Faktor Internal Perubahan Pola Pikir
Kreativitas masyarakatMotivasi Kesejahteraan
Faktor EksternalPariwisata
Industri BudayaMedia Massa
Hegemoni Pemerintah
Faktor-faktor yang mendorong
Komodifikasi Pura Tirta Empul
Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta
Empul
Proses Komodifikasi Pura
Tirta Empul
Konstruksi Identitas Kebalian

Model penelitian ini (Gambar 2.1) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dalam penelitian ini ada dua unsur besar yang mempengaruhi masyarakat
Manukaya, Tampaksiring, terkait komodifikasi Pura Tirta Empul. Dua unsur
tersebut adalah budaya global dan budaya lokal. Budaya global dengan indikator
masuknya dimensi orang/pariwisata, industri budaya, media massa, dan hegemoni
pemerintah. Sedangkan unsur budaya lokal dengan indikator perubahan pola pikir
masyarakat, kreativitas masyarakat, dan motivasi peningkatan kesejahteraan.
Di satu sisi budaya lokal termasuk di dalamnya Pura Tirta Empul
berusaha mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus
pengaruh budaya global yang sulit dibendung kekuatannya, tetapi di sisi lain
budaya global yang wujudnya kapitalisme memainkan peran penting dalam
perubahan. Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru, tidak bisa dibendung
dan itu berarti banyak aspek dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
mengalami perubahan.
Fenomena yang berkembang memunculkan beberapa masalah yang
terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam kehidupan sosial masyarakat
pendukungnya. Terkait dengan masalah-masalah tersebut, ada tiga masalah yang
hendak dianalisis secara mendalam, yakni (1) proses komodifikasi Pura Tirta
Empul (2) faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3)
dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul.
Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis dengan
menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi,
teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori semiotika. Dengan demikian, dalam
61

analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal yang baru tentang
komodifikasi Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Gianyar, dalam konteks
pariwisata global.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global merupakan penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan
kajian budaya (cultural studies). Kajian budaya (Lubis, 2006 : 145-152) menaruh
perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang
muncul dari informasi media massa. Selain itu, cultural studies juga mengkaji
berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan.
Dengan demikian, cultural studies adalah kajian yang menekankan keterkaitan
budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari.
Lubis (2006, 145-146) menguraikan beberapa karakteristik cultural
studies yaitu (1) cultural studies bertujuan mengkaji berbagai kebudayaan dan
praktik budaya yang berkaitan dengan kekuasaan, (2) cultural studies tidak
membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik, akan tetapi
mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik, (3) dalam cultural studies
budaya dikaji dari aspek objek dalam tradisi kritis, (4) cultural studies berupaya
62
62

mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional, serta
berupaya mendamaikan pengetahuan yang obyektif, dan (5) cultural studies
melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta
tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan demikian, cultural studies tidak
hanya bertujuan memahami realitas masyarakat atau budaya, tetapi merubah
struktur dominasi, struktur sosial budaya yang menindas, khususnya dalam
masyarakat kapitalis industrial (Sardar & Van Loon, 1997 : 9). Cultural studies
mencoba mendekonstruksi pandangan lama dan mengangkat budaya yang
terpinggirkan itu pada tingkat yang wajar. Bertitik tolak dari penjelasan tersebut
dan mengingat budaya populer merupakan narasi kajian budaya, maka teori
komodifikasi, teori hegemoni, dan teori dekonstruksi digunakan untuk
menganalisis data. Penggunaan teori tersebut dipandang relevan untuk memahami
komodifikasi Pura Tirta Empul dengan fenomena yang sangat kompleks.
Oleh karena penelitian ini merupakan sebuah penelitian kajian budaya
(cultural studies), maka penelitian ini mengintegrasikan disiplin-disiplin lain. Hal
ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya,
seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial. Di samping itu, kajian ini
bersifat multidisiplinner dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya,
seperti pariwisata, politik historis, sosial budaya, lingkungan, arkeologi, dan
sebagainya.
Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri
63

dominan penelitian kualitatif menurut Bungin (2007 : 62-64) adalah (1) sumber
datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci,
(2) bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan pada makna proses daripada hasil,
(4) analisis datanya bersifat induktif, dan (5) makna merupakan perhatian utama
dalam pendekatan penelitian.
Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain. Kajian budaya
menggunakan metode yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah
sosial dan kehidupan sehari-hari. Ciri kualitatif sesungguhnya sudah terlihat
dalam setiap penelitian kajian budaya, karena penelitian kualitatif merupakan
paradigma penelitian yang berkepentingan dengan makna dan penafsiran.
3.2 Lokasi Penelitian
Areal Pura Tirta Empul sebagai obyek penelitian berlokasi di Desa
Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini berada pada
sebuah lembah di antara Istana Kepresidenan Tampaksiring dan Candi
Pegulingan. Sesuai dengan namanya, pura ini berlokasi pada suatu sumber mata
air (tirta) yang mengalir ke Sungai Pakerisan. Kawasan ini sekarang telah
berkembang menjadi kawasan wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan
lokal, domestik, maupun wisatawan mancanegara.
Keaslian dari situs Pura Tirta Empul masih terlihat pada beberapa
bangunan kuno serta temuan arca-arca kuno dan lingga yoni yang berada di
halaman jeroan pura ini. Temuan lingga yoni merupakan bukti bahwa terdapat
aliran siwaistis yang berkembang pada abad X di daerah itu. Sementara itu,
64

bangunan pura secara menyeluruh merupakan bangunan yang dibuat belakangan
sebagai konskuensi adanya perubahan konsep pemujaan ketika pengaruh
Majapahit datang dari Jawa Timur.
Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini Pura Tirta Empul juga
dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Sebagai daya tarik wisata, Pura
Tirta Empul banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dalam maupun luar
negeri. Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks.
Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke
sendi-sendi kehidupan manusia tidak bisa ditolak. Pengaruh arus budaya global
berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme, seperti munculnya industri
budaya yang mengacu pada komodifikasi bentuk-bentuk budaya. Pura Tirta
Empul tidak hanya menjadi perangkat budaya yang magis religius, melainkan
juga menjadi hiburan yang lebih mengarah ke komersial.
Proses komodifikasi Pura Tirta Empul didasarkan atas suatu
kecenderungan untuk menjadikannya sebagai komoditas yang dapat dijual untuk
memperoleh keuntungan ekonomi. Pura Tirta Empul disajikan dalam konteks
selera konsumen. Hal seperti itu terjadi karena berbagai faktor yang
mempengaruhi komodifikasi Pura Tirta Empul menjadi barang komoditas.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif
dan data kuantitatif (yang sifatnya menunjang data kualitatif). Data kualitatif
adalah data dalam bentuk uraian kata-kata, kalimat atau narasi, dan ungkapan
yang berkaitan dengan keberadaan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
65

pariwisata global di Desa Manukaya Gianyar. Data kuantitatif sebagai data
penunjang terutama yang terkait dengan jumlah dan informasi yang dinyatakan
dalam bentuk angka-angka, seperti jumlah penduduk, jumlah kunjungan wisata,
dan lain-lain. Data kualitatif penulis peroleh dari hasil observasi lapangan, dan
rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka.
Sementara data kuantitatif diperoleh melalui dokumen-dokumen, buku, majalah,
jurnal, dan transkrip lainnya.
Sementara itu, sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah obyek yang diobservasi langsung di
lapangan dan para informan yang diwawancarai. Dengan kata lain, data primer
adalah data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian, melalui proses
wawancara dengan para informan, seperti tokoh adat dan agama, aparat
pemerintah, pemuka masyarakat, masyarakat pemanfaat pura, pedagang, perajin,
pelaku pariwisata, pecalang, dan lain-lain. Data ini juga dilengkapi dengan data
foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data primer.
Sumber data sekunder adalah berupa dokumen atau sumber-sumber
tertulis pada umumnya, seperti monografi desa, statistik penduduk, brosur/iklan.
Data sekunder diperoleh dari sejumlah tempat, kantor dan lembaga. Data sekunder
ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang
permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.
3.4 Instrumen Penelitian
Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan
sebagai instrumen utama dalam penelitian. Hal ini terkait dengan penggunaan cara
66

pengamatan dan pengamatan terlibat dalam penelitian. Sementara itu, untuk
teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka
yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih
spesifik.
Demikian pula untuk melakukan perekaman dengan mencatat segala
kejadian yang ada sekaligus, baik melalui alat perekam maupun catatan-catatan
singkat. Instrumen ini disiapkan untuk kepentingan menggali informasi dari
informan. Posisi peneliti, menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan
peristiwa, dan berusaha menjalani hubungan yang wajar, penuh keakraban dengan
informan.
3.5 Penentuan Informan
Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang data yang
diperlukan. Dalam penentuan informan teknik yang digunakan adalah purposif,
yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti (Endraswara, 2006 :
115). Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan penentuan informan
kunci. Apabila informan ini memahami benar masalah yang akan dikaji dan dapat
memberikan informasi data yang dibutuhkan, maka dapat saja peneliti
menetapkannya sebagai informan kunci. Seorang informan yang baik adalah
informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan
peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk
wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki
pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001 : 91).
67

Berdasarkan uraian di atas, informan kunci yang dipilih peneliti adalah
Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata. Selanjutnya, dari keterangan yang
diberikan informan, peneliti kemudian menginventarisasi informan-informan lain
yang dapat memberikan keterangan terhadap masalah dan tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini. Bilamana data yang telah diperoleh sudah dianggap
cukup dan telah memenuhi tujuan yang diinginkan, maka pengumpulan data
dihentikan. Dengan kata lain, pencarian informan akan dihentikan ketika data
yang diperlukan dianggap telah cukup sesuai dengan kebutuhan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini dikumpulkan melalui tiga cara, yaitu observasi,
wawancara, dan studi dokumen.
3.6.1 Observasi
Observasi adalah cara memperoleh data melalui pengamatan langsung
ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang
diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah.
Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatan-
pencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah
dirumuskan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam observasi adalah
membuat dokumentasi berupa foto. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya
dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan
maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan
68

pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang
dapat dijadikan data penelitian ini.
3.6.2 Wawancara
Wawancara adalah sebuah percakapan dengan tujuan-tujuan tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Adapun maksud mengadakan wawancara
adalah mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi,
kepedulian, memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang
dikembangkan oleh peneliti (Moleong, 1999 : 86). Dalam kaitannya dengan
pelaksanaan penelitian lapangan, wawancara mutlak dilakukan untuk menjaring
data melalui para informan.
Adapun jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam, yaitu teknik wawancara berdasarkan daftar pertanyaan
berupa pedoman wawancara yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya
(Koentjaraningrat, 1983 : 174-175). Kepada para informan yang diwawancarai
diajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan. Informan diberikan
keleluasaan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan
tujuan agar peneliti secara langsung dapat mengetahui situasi dan kondisi hal-hal
yang diteliti, sehingga lebih mudah melakukan analisis dan menyimpulkannya.
Untuk memperoleh data yang memadai digunakan teknik wawancara
pembicaraan informal, yaitu hubungan antara peneliti dan para informan
69

disituasikan sedapat mungkin berada dalam suasana santai, bersahabat, akrab,
seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Catatan-catatan dan
pertanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman wawancara sesuai
dengan situasi selama melakukan wawancara menuju pada kedalaman
percakapan. Titik berat perhatian diusahakan pada pandangan emik, yaitu peneliti
menaruh perhatian penuh pada masalah penelitian melalui keterangan data yang
diberikan informan sebagai pemilik budaya, sebaliknya tidak berdasarkan
pandangan etik, yaitu dari pandangan dan pemahaman peneliti.
3.6.3 Studi Dokumen
Di samping wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan
studi dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang sukar
ditangkap dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi
dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan
yang terkait dengan permasalahan komodifikasi Pura Tirta Empul. Dokumen yang
digunakan adalah buku-buku, laporan penelitian, foto, klip media massa, majalah,
dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah
dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data sekunder yang
relevan dengan permasalahan penelitian.
3.7 Teknik Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis, semua data yang telah terkumpul, baik data
primer maupun data sekunder diidentifikasi dan diklasifikasi sesuai dengan
permasalahan yang diajukan. Selanjutnya data diklasifikasi, dianalisis dengan
70

mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Adapun analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan
interpretatif. Analisis seperti ini merupakan bagian dari prosedur penelitian
kualitatif yang lebih menekankan pada upaya memahami makna atau menafsirkan
realitas empirik dari obyek penelitian (Singarimbun, 1995 : 143)
Proses analisis kualitatif meliputi tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilahan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah
merangkai dan menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya
penyederhanaan informasi yang kompleks, selektif, dan mudah difahami.
Penyajian data menggunakan bentuk teks naratif yang dilengkapi dengan jaringan
kerja, sehingga semua informasi yang disusun mudah dilihat dan dimengerti.
Menarik simpulan adalah suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang
terhadap catatan-catatan di lapangan, yakni dengan maksud menguji kebenaran,
kecocokan, dan validitas makna-makna yang muncul di lokasi penelitian
(Sudikan, 2001 : 99).
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian
Tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil penelitian dalam
wujud tulisan secara urut dan integral. Dalam konteks ini penyajian hasil
penelitian dilakukan secara informal, yaitu penyajian hasil penelitian dilakukan
menggunakan deskripsi kata-kata dengan bahasa ragam ilmiah ditunjang dengan
71

teknik penyajian formal berupa tabel, bagan, dan gambar atau foto. Penyajian
dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena real
budaya masyarakat yang diteliti.
72

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
DAN PURA TIRTA EMPUL
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pada subbab ini diuraikan gambaran umum Desa Manukaya dengan
penjelasan menurut metode etnografis. Seperti diketahui bahwa Pura Tirta Empul
yang menjadi objek penelitian ini terletak di desa tersebut. Adapun tujuan uraian
etnografis adalah untuk mendeskripsikan struktur sosial dan budaya suatu
masyarakat dengan melakukan observasi ke lapangan. Pola penulisan gambaran
umum ini termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan
etnografi analitis. Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis
disesuaikan dengan konteks relevansi kajian.
4.1.1 Letak dan Kondisi Geografis
Pura Tirta Empul sebagai objek penelitian berlokasi di Desa Manukaya,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali (lihat Gambar 4.1). Desa ini
mempunyai lingkungan alam yang menghijau menggambarkan kesuburan dengan
hamparan tanah pertanian yang produktif. Di desa ini terdapat beberapa buah
sungai, antara lain yang terpenting ialah Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu,
merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat
sekitarnya. Kedua sungai tersebut mendapatkan air dari sumbernya di kaki
pegunungan Kintamani, sehingga hampir tidak pernah kekurangan cadangan air.
73
72

Air dari sungai-sungai itu selanjutnya dialirkan ke sawah-sawah
pertanian dengan harapan agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah.
Kecuali kedua sungai tersebut di atas, Desa Manukaya juga mempunyai sejumlah
mata air yang cukup besar, terdapat di antara Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu,
yaitu petirtaan Pura Tirta Empul dan petirtaan Pura Mangening yang dianggap
suci dan mendapat resapan air yang tidak pernah kering dari kaki pegunungan
Kintamani (Sutaba, 2007 : 5).
Hutan di bagian perbukitan atau di daerah dataran tinggi Desa Manukaya
dengan berbagai pepohonan antara lain, ialah ada yang menghasilkan buah-
buahan seperti durian, mangga, pisang, telah menciptakan suasana yang
memberikan kesan tersendiri. Di tengah-tengah hutan yang serba hijau, terdapat
sejumlah fauna sebagai penghuninya, ternyata telah melengkapi ekosistem desa
tersebut. Dari bagian dataran tinggi menurun ke arah selatan, terdapat dataran
rendah yang dimanfaatkan sebagai permukiman penduduk dengan membangun
desa untuk tempat hunian. Sebagian dari dataran ini adalah tanah sawah pertanian
yang subur karena mengandung endapan material vulkanik dari Gunung Batur
yang meletus berkali-kali. Tanah sawah penduduk yang berteras-teras adalah
ekosistem kehidupan alami yang sangat menarik dan menawarkan keharmonisan,
keseimbangan hidup, kepada masyarakat pemukimnya.
Bentang alam dan lingkungan hidup seperti di atas, memperlihatkan
wajah yang sarat dengan tinggalan sejarah masa lalu, yang sudah lama menarik
perhatian para ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan. Dua di antara sungai-
sungai tersebut di atas, yakni Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi
74

terkenal dalam sejarah Bali Kuno. Di sepanjang aliran kedua sungai ini telah
dibangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi
kawasan sakral (sacred area) bagi masyarakat (Sutaba, 2007 : 6).
Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad XX telah
mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan ini memang menyimpan sejumlah
tinggalan arkeologi yang sampai sekarang masih berfungsi sakral (sacred living
monuments), tersebar di Desa Panempahan, Desa Manukaya, dan Tampaksiring.
Padatnya populasi pusaka budaya di kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu
indikasi mengenai pemukiman masyarakat dan padatnya hunian atau tingginya
mobilitas sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi pusaka budaya di desa ini
dapat pula dianggap bahwa peradaban Bali Kuno lahir di kawasan budaya ini.
Pusaka budaya yang tersebar di kawasan ini salah satu diantaranya adalah Pura
Tirta Empul.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa Desa Manukaya adalah salah satu
desa yang ada di Kecamatan Tampaksiring. Desa ini berjarak 18 km dari ibukota
Kabupaten Gianyar dan 38 km dari Kota Denpasar. Desa Manukaya relatif datar,
dengan beberapa buah sungai kecil membelah desa dan mengalir ke sawah-sawah
yang ada di wilayah desa tersebut. Pertanian basah yang relatif subur telah
menghasilkan padi yang berlimpah, sementara pertanian kering yang cukup luas
dapat menghasilkan berbagai komoditi, seperti kacang tanah, jagung, ketela
pohon, dan ketela lambat. Lahan perkebunan yang ada di wilayah Desa Manukaya
menghasilkan cengkeh, kopi, panili, dan kelapa.
75

Gambar 4.1. Peta Keletakan Pura Tirta Empul di Kabupaten Gianyar(Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB,
NTT, 2009)
76

Secara geografis Desa Manukaya memiliki posisi yang strategis, karena
berada di jalur pariwisata yang berhubungan dengan jalur wisata Kintamani dan
Besakih. Secara topografis bentuk lahan di wilayah ini adalah berupa dataran yang
cukup subur dan terletak pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut.
Curah hujan dalam setiap tahunnya mencapai 1488 mm, dengan suhu udara yang
cukup sejuk sekitar 27 OC ( Balai Penyuluh Pertanian Tampaksiring, 2007).
Secara administratif wilayah Desa Manukaya terdiri atas sembilan desa
adat dan 13 banjar/dusun. Kesembilan desa adat tersebut ialah Desa Adat
Manukaya Let, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan,
Basangambu, Maniktawang, dan Mancingan. Sedangkan ke-13 banjar yang ada di
wilayah Desa Manukaya adalah Banjar Manukaya Let, Tatag, Bantas, Manukaya
Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Belahan,
Maniktawang, dan Panedengan (Lihat Tabel 4.2).
Adapun batas teritorial Desa Manukaya (Gambar 4.2) adalah sebagai
berikut.
(1) Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengelumbaran (Bangli).
(2) Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Susut Bangli.
(3) Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tampaksiring (Gianyar), dan
(4) Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Pupuan Tegallalang (Gianyar).
77

Gambar 4.2 Peta Desa Manukaya(Sumber : Monografi Desa Manukaya, 2007)
78

4.1.2 Kependudukan
Berdasarkan hasil registrasi kepadatan penduduk pada akhir tahun 2008,
Desa Manukaya memiliki jumlah penduduk 9630 jiwa (2.449 KK), terdiri atas
penduduk laki-laki 4918 jiwa dan penduduk perempuan 4712 jiwa, dengan
kepadatan penduduk 687 orang per km2. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat
umur dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Manukaya Berdasarkan Tingkat Umur
No UmurJenis Kelamin
JumlahLaki-laki Perempuan
1. 0 – 4 th 478 412 8902. 5 – 9 th 443 400 8433. 10 – 14 th 580 540 11204. 15 – 24 th 944 907 18515. 25 – 45 th 1499 1554 30536. 50 th ke atas 974 899 1873
Jumlah 4918 4712 9630Sumber : Kantor Kepala Desa Manukaya Tahun 2009
Berdasarkan jumlah penduduk pada Tabel 4.1, ternyata penduduk
dengan tingkat umur 25-45 tahun jumlah yang paling banyak, disusul oleh
penduduk dengan tingkat umur 50 tahun ke atas, dan umur 15-24 tahun.
Sementara itu, tingkat umur antra 5-9 tahun menduduki tingkat terendah.
Keseluruhan jumlah data kependudukan di atas, sudah termasuk dengan para
pendatang lainnya, sebagai penduduk di Desa Manukaya. Umumnya, mata
pencaharian penduduk adalah sebagai PNS/ABRI, petani, tukang, pedagang, dan
perajin.
4.1.3 Sistem Kemasyarakatan
79

Dalam hidupnya manusia cendrung mengadakan hubungan antara
sesamanya yang akhirnya membentuk suatu masyarakat. Pola hubungan antara
sesama manusia menjadi dasar dari suatu interaksi sosial di antara kelompok serta
terciptanya kelompok-kelompok sosial. Selain itu, hubungan juga berkembang
dengan lingkungannya sebagai usaha untuk menanggapi secara aktif lingkungan
alam tersebut. Beberapa bentuk atau pola hubungan yang berkembang serta pola
tanggapan manusia terhadap lingkungannya memunculkan bentuk atau pola-pola
kehidupan yang khas disebut sebagai pola-pola kebudayaan manusia (Astika,
1986 : 11).
Masyarakat Hindu di Desa Manukaya menganut sistem sosial yang
mengikat terdiri atas beberapa sistem sosial. Sesuai dengan sistem pemerintahan,
bahwa di desa tersebut sekarang terdapat dua jenis desa, yakni desa dinas dan desa
adat. Desa dinas adalah merupakan kesatuan wilayah administrasi terkecil dalam
suatu susunan wilayah pemerintahan. Kepala desa dinas disebut perbekel atau
lurah berkedudukan sebagai aparat pemerintah di desa yang berfungsi
melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Para warga desa terikat oleh kesatuan fungsi
yang dijalankan oleh desa sebagai bagian dari struktur vertikal pemerintahan
resmi sebagai kesatuan administratif. Kesatuan ini dibatasi oleh adanya wilayah
desa yang jelas batas-batasnya, penduduk atau warga desa yang bertempat tinggal
di wilayah desa tersebut, dan sistem aturan pemerintahan desa. Warga desa dinas
mempunyai fungsi memelihara dan mengaktifkan kegiatan dalam desa serta
tunduk pada sistem aturan yang berlaku.
80

Desa adat adalah merupakan suatu kesatuan atau persekutuan wilayah
berdasarkan atas kesatuan tradisi dari tatakrama pergaulan hidup yang di warisi
secara turun-temurun serta diikat oleh suatu kahyangan tiga, yaitu Pura Desa,
Pura Puseh, dan Pura Dalem (Ardana dkk., 1983 : 10). Dengan kata lain, desa adat
merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat
dan agama Hindu, serta merupakan satu kesatuan wilayah di mana para
anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan
yang ditata oleh suatu sistem budaya (Pitana, 1994 : 139). Meskipun pada
mulanya desa adat menangani segala urusan sosial kemasyarakatan atau segala
urusan yang berhubungan dengan kehidupan bersama masyarakat manusia,
namun dewasa ini kegiatannya cenderung hanya terbatas kepada kegiatan-
kegiatan yang menyangkut adat-istiadat atau sosial religius dari masyarakat,
karena fungsi-fungsi lainnya telah diambil alih oleh desa dinas. Namun demikian,
rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh adanya karang desa
(pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa) dan awig-awig desa (sistem
aturan desa yang dibuat dan diberlakukan kepada segenap warga desa).
Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di
pegunungan dan desa-desa adat di dataran. Desa-desa adat di pegunungan
biasanya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang-orang asli yang lahir
di desa itu. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama
desa) dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada
hari-hari tertentu. Desa-desa adat di tanah datar biasanya lebih besar dan meliputi
daerah yang relatif luas, demikian pula keanggotaannya.
81

Kekuasaan tertinggi pada desa adat terdapat pada rapat anggota atau
sangkep, sedangkan bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari
krama desa adat dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang berhubungan
dengan eksistensi desa adat. Desa adat juga mempunyai harta kekayaan, baik
berupa material maupun immaterial. Salah satu kekayaan desa adat adalah pura-
pura dengan tanah pelabanya, karena keberadaan desa adat terkait langsung
dengan kepemilikan kahyangan tiga.
Desa adat juga mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.
Otonomi ke luar diartikan sebagai kebebasan untuk mengadakan kontak langsung
dengan institusi di luar desa adat, sedangkan otonomi ke dalam berarti kebebasan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Dalam hubungan ini, Griadhi (1991 : 58-59) menulis sebagai berikut.
”Sesungguhnya otonomi tersebut merupakan otonomi yang bersifat asli, yang muncul dari kelahiran desa adat itu sendiri yang merupakan kekuasaan untuk mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan. Otonomi desa adat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) otonomi dalam bidang keorganisasian, yang merupakan kekuasaan desa adat untuk mengatur kehidupan sebagai suatu organisasi, (2) otonomi dalam bidang sosial ekonomi, yang merupakan kekuasaan untuk mengatur hubungan antar anggota dengan kelompok masyarakat serta mengelola berbagai kekayaan desa adat, dan (3) otonomi di bidang religius, yang menyangkut kepemilikan atas berbagai sarana dan prasarana upacara serta pengaturan terhadap hak dan kewajiban warga desa terhadap berbagai tempat pemujaan yang ada di desa.
Dalam perkembangannya, desa adat senantiasa mengalami perubahan-
perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungannya.
Demikian pula Desa Adat Manukaya Let. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat
dipandang sebagai suatu progress dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
yang lebih kompleks atau modern. Berbagai perubahan tersebut seiring dengan
82

usaha desa adat di dalam mengadakan berbagai penyesuaian terhadap situasi
lingkungan luar, yang meliputi lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, politik,
dan teknologi.
Intensitas kontak kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar meningkat,
terkait erat dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat di bidang
komunikasi dan transportasi, serta keberhasilan Bali menjadi daerah tujuan
wisata. Adanya perkembangan kepariwisataan dengan berbagai implikasinya,
menyebabkan terjadinya banyak perubahan pada masyarakat Bali, termasuk pula
lembaga tradisional desa adat. Desa adat telah mengalami transformasi.
Transformasi pada lembaga ini umumnya menuju kepada usaha peningkatan
efisiensi kerja dan nilai praktis pelaksanaan berbagai kegiatan (Pitana, 1994 :
159).
Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa desa adat bergerak
dalam bidang adat-istiadat dan agama, namun dewasa ini banyak desa adat secara
aktif bergerak di bidang ekonomi, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
pembangunan. Di beberapa desa adat, termasuk Desa Adat Manukaya Let, telah
terjadi pemanfaatan azet desa adat untuk mendatangkan pendapatan ekonomis,
termasuk pengontrakan tanah desa kepada masyarakat untuk pembangunan
prasarana kepariwisataan. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai kegiatan
tersebut digunakan untuk membiayai pelestarian dan pengembangan obyek
wisata, rehabilitasi tempat suci, pelaksanaan upacara, dan sebagainya.
Dengan dua pengertian seperti itu, jelas dapat dibedakan pengertian desa
adat sebagai suatu kesatuan masyarakat dalam satu wilayah desa yang secara
83

bersama-sama mengaktifkan suatu sistem upacara yang berhubungan dengan
kesucian desa. Sedangkan desa dinas adalah suatu kesatuan masyarakat dalam
wilayah pemerintahan desa yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
administratif bagi kelancaran sistem pemerintahan dan pengaturan warga desa.
Banjar adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa dan
menjadi bagian dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial. Sebagai
bentuk komunitas kecil, banjar mempunyai peranan penting dalam membentuk
kehidupan masyarakatnya. Banjar juga menjadi pusat orientasi para anggota
masyarakat untuk suatu kegiatan tertentu serta pilihan untuk pengadaan tenaga
dalam upacara. Sebagai bagian dari desa, banjar juga mempunyai ciri-ciri yang
khas sebagai kesatuan kelompok sosial (Astika, 1986 : 2).
Banjar sebagai organisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua, yakni
banjar adat dan banjar dinas atau banjar patus. Banjar adat mempunyai tugas
dan kewajiban khusus dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu atau banjar
suka-duka, sedangkan banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari
organisasi pemerintahan negara di bawah desa dinas. Banjar adat merupakan
organisasi di bawah pemerintahan desa adat yang kini berdasarkan Peraturan
Daerah Bali No. 3 Tahun 2001 disebut dengan nama desa pakraman. Desa
pakraman pada hakikatnya adalah kesatuan masyarakat adat yang anggotanya
adalah mereka yang beragama Hindu dan terkait dengan kahyangan tiga secara
turun temurun.
Sementara itu, azas yang melandasi persekutuan hidup sosial dalam
sistem banjar adalah azas kebersamaan dan kekeluargaan. Azas kebersamaan dan
84

kekeluargaan itu mendorong munculnya jiwa dan semangat gotong-royong di
kalangan warga banjar itu sendiri. Dengan demikian maka dapat difahami bahwa
fungsi pokok organisasi banjar adalah mewujudkan gotong royong dalam
persekutuan hidup bersama di kalangan warga banjar, baik dalam keadaan suka
maupun duka.
Desa Manukaya sebagai desa administrasi terdiri atas sembilan desa adat
dan 13 banjar/dusun. Untuk lebih lengkapnya keberadaan lembaga-lembaga
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 4.2 Desa Adat dan Banjar Dinas di Desa Manukaya
No Nama Desa Adat Jumlah Nama Banjar1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Desa Adat Manukaya Let
Desa Adat Manukaya Anyar
Desa Adat Panempahan
Desa Adat Malet
Desa Adat Temen
Desa Adat Keranjangan
Desa Adat Basangambu
Desa Adat Maniktawang
Desa Adat Mancingan
3
1
1
1
1
1
2
2
1
Banjar Manukaya LetBanjar TatagBanjar Bantas
Banjar Manukaya Anyar
Banjar Panempahan
Banjar Malet
Banjar Temen
Banjar Keranjangan
Banjar BasangambuBanjar Belahan
Banjar ManiktawangBanjar Panedengan
Banjar MancinganSumber : Kantor Kepala Desa Manukaya, 2009.
Setiap desa adat telah memiliki awig-awig tertulis yang disusun
berdasarkan paruman desa adat. Desa adat dipimpin oleh bendesa adat dan
dibantu penyarikan (sekretaris). Desa adat sangat berperan dalam melestarikan
tradisi dan budaya, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
85

Selain banjar, di Desa Manukaya ada juga penglompokkan sosial lain
dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingannya, cakupan
wilayah, maupun jumlah anggotanya, yang disebut seka. Kadang-kadang seka ini
merupakan bagian dari organisasi banjar, tetapi sering pula seka-seka tersebut
lepas dari ikatan banjar. Pada beberapa kasus bahkan anggota seka bisa terdiri
atas anggota banjar, sehingga merupakan suatu bentuk organisasi sosial yang
khas (Astika, 1994 : 111).
Seka adalah lembaga atau kelompok sosial dari beberapa orang anggota
banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama. Setiap seka
mempunyai jenis kegiatan yang berbeda, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Namun satu hal yang menonjol dari keberadaan seka adalah walaupun berbeda
dalam kegiatannya, tetapi tetap berorientasi pada kehidupan masyarakat dan tidak
terlepas dari banjar. Kegiatan seka, di samping aktivitas yang menyangkut
kepentingan anggotanya, juga banyak membantu kegiatan banjar. Seperti halnya
banjar, seka mempunyai anggota, struktur pimpinan, aturan atau awig-awig dan
fungsi tertentu dalam kaitannya dengan kelompok sosial di lingkungan banjar.
Seka-seka yang populer misalnya seka manyi untuk menanam padi, seka numbeg
untuk mengolah tanah sawah, seka memula untuk menanam padi, seka gong
untuk menabuh gamelan, seka kecak kelompok penari kecak, seka baris
perkumpulan tari baris, seka arja perkumpulan tari arja, dan masih banyak lagi
seka-seka yang lain.
Keberadaan sebuah seka dalam struktur organisasi banjar atau desa
kadang-kadang lebih bersifat struktural, artinya suatu jenis seka memang harus
86

ada, seperti misalnya seka teruna, seka gong, seka kidung. Sementara itu, ada juga
seka di lingkungan banjar terus aktif dan berfungsi dalam menunjang kegiatan
banjar seperti seka subak, yang bergerak di bidang irigasi untuk kepentingan
pertanian. Hampir seluruh petani terikat dengan seka atau organisasi ini.
Organisasi subak adalah para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air
irigasi dari bendungan-bendungan yang diurus oleh subak (Bagus, 1979 : 291).
Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-
anggotanya, dan organisasi ini sangat terkenal di seluruh dunia. Sebagai suatu
organisasi, subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian atau
awig-awig, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Sebagaimana halnya organisasi tradisional, organisasi subak
menggunakan dasar filosofi tri hita karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa
kebahagiaan manusia akan dapat dicapai jika manusia mampu menjaga
keharmonisan hubungan antara tiga faktor dari filosofis tersebut, yaitu
parhyangan (unsur ketuhanan) pawongan (manusia) dan palemahan (unsur alam).
Seperti desa-desa lainya di Bali, di Desa Manukaya eksistensi seka
meliputi beberapa aspek kehidupan masyarakat di antaranya menyangkut aspek
sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam aspek sosial beberapa seka yang eksis adalah
seka-teruna-teruni (perkumpulan muda-mudi) dari seluruh anggota banjar.
Fungsinya adalah membantu para anggotanya dalam kegiatan suka-duka,
melaksanakan kegiatan-kegiatan kepemudaan (olah raga, kesenian), dan
membantu kegiatan-kegiatan yang ada di banjar.
87

Dalam aspek budaya, seka yang ada di Desa Manukaya adalah seka
gong (perkumpulan penabuh) dan seka pesantian (perkumpulan nyanyian
keagamaan). Seni tabuh gong sudah berkembang sejak lama, sedangkan seka
pesantian telah ada sejak tahun 1990-an. Selain itu, masing-masing banjar adat
memiliki perangkat gong lengkap dengan seka gongnya, serta beberapa jenis seni
pertunjukkan, seperti tari rejang, tari baris, tari topeng, wayang kulit, tari lepas,
dan lain-lain.
Dalam aspek ekonomi, seka yang pernah eksis di Desa Manukaya adalah
seka memula (kelompok menanam padi), seka manyi (kelompok menanam padi),
dan seka numbeg (kelompok mencangkul). Seka-seka tersebut awalnya dibentuk
untuk mempererat hubungan kerjasama dalam kegiatan-kegiatan pertanian.
Munculnya teknologi modern di bidang pertanian menyebabkan penduduk beralih
ke teknologi yang lebih maju, sehingga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka
tersebut. Demikian juga perkembangan pariwisata di Desa Manukaya dan
sekitarnya juga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka yang ada, karena mata
pencaharian penduduk sebagian beralih ke sektor pariwisata.
4.1.4 Perekonomian
Perekonomian suatu masyarakat erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan di mana mereka bertempat tinggal. Selain itu, perekonomian juga
ditentukan oleh kemampuan manusia dalam beradaptasi dan memanfaatkan
potensi lingkungan hidup itu sendiri. Dalam hal ini, daya kreatif sangat
diperlukan, sehingga peluang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam
memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
88

Penampilan kehidupan ekonomi di daerah pedesaan, khususnya di Desa
Manukaya, dimaksudkan untuk memberi gambaran ringkas mengenai kondisi
sosial ekonoi masyarakat desa tersebut. Secara geografis, Desa Manukaya
sesungguhnya mempunyai bentang alam yang menghijau dengan hamparan tanah
pertanian yang subur. Dengan demikian, Desa Manukaya merupakan daerah
agraris dengan lahan pertanian berupa persawahan dan tegalan untuk perkebunan,
peternakan, dan tanaman pangan. Walaupun sebagian penduduk menekuni
kerajinan, tetapi pertanian tetap merupakan pencaharian pokoknya. Selain
menghasilkan padi dari pertanian sawah, di Desa Manukaya menghasilkan
tanaman perkebunan, terutama cengkeh, kopi, panili, kelapa, pisang, dan jagung.
Peternakan sapi diusahakan terutama di dusun-dusun yang memiliki tanah tegalan
yang cukup luas, seperti dusun Malet, Panempahan, Basangambu, dan
Mancingan. Selain sapi, penduduk juga memelihara babi dan ayam. Binatang
piaraan itu tentu sangat membantu dalam menunjang perekonomian masyarakat.
Penduduk Desa Manukaya juga merespon kegiatan pemerintah dengan
membuka kios cenderamata dan toko seni (artshop) di daerah daya tarik wisata
Pura Tirta Empul dan sepanjang jalan protokol jurusan Denpasar – Kintamani.
Jumlah kios dan toko seni di wilayah Desa Manukaya tahun 2008 sebanyak 116
buah (Sumber : Profil Desa Manukaya, 2009). Perkembangan pariwisata di daerah
Tampaksiring dan sekitarnya telah mempengaruhi lahan pertanian yang digarap
sebagai mata pencaharian utama. Meskipun kena pengaruh pariwisata, lahan
pertanian masih tetap dipertahankan mendominasi menjadi spasial lahan agraris di
89

wilayah desa tersebut. Pertanian tampaknya masih menjadi pilar pendukung bagi
perekonomian masyarakat.
Dari luas keseluruhan wilayah Desa Manukaya, tanah pertanian masih
merupakan bagian terbesar. Hal itu dapat dilihat dalam Tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3 Data Penggunaan Lahan di Desa Manukaya Tahun 2007.
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)1.
2.
3.
4.
5.
Tanah sawah
Tanah pekarangan
Tanah tegalan/kebun
Hutan
Kolam
141
76,97
891,97
25
0,90Sumber : Diolah dari Monografi Desa Manukaya Tahun 2009.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lahan perkebunan merupakan spasial
terbesar (891,97 ha) dari keseluruhan luas tanah yang mencapai 1.496 ha.
Walaupun demikian, tampak juga kenyataan bahwa bidang pertanian atau
perkebunan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh penduduk akibat beralih
ke profesi lain.
Manukaya dengan daya dukung keindahan alam yang dimilikinya, baik
sumberdaya budaya (cultural resource) maupun sumberdaya alam (natural
resource), telah membuat kawasan ini menampilkan diri sebagai wilayah wisata
yang memiliki ciri khas, yaitu wisata pusaka budaya. Wisata pusaka budaya
menawarkan potret masa lalu yang menjadi identitas pengembangan pariwisata di
daerah Tampaksiring dan sekitarnya. Beberapa daerah yang memiliki potensi
keindahan alam dan pusaka budaya ditumbuhi berbagai spasial kawasan dalam
bentuk kios-kios untuk menjual sovenir.
90

Bagi penduduk Desa Manukaya, pariwisata mempunyai arti yang sangat
penting, misalnya dapat menambah kesempatan kerja, meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat, mengurangi urbanisasi, dan lain-lain. Seperti
halnya desa-desa lain di Kabupaten Gianyar, Desa Manukaya memiliki
kemampuan yang cukup memadai untuk merespon perkembangan kepariwisataan,
dengan mewujudkan bentuk-bentuk barang kerajinan dan pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan serta memberi corak yang khas terhadap kebudayaan Bali.
Letak geografis Desa Manukaya yang berada di jalur utama Jurusan
Denpasar – Kintamani dan letaknya relatif dekat dengan desa-desa yang
merupakan daerah tujuan wisata seperti Tampaksiring, Sebatu, Bedulu, serta
Kintamani memberi peluang kepada masyarakat untuk membuka kios-kios
kesenian sekaligus sebagai tempat pemasaran industri kerajinan masyarakat.
Masyarakat Desa Manukaya sangat bersyukur dengan adanya Pura Tirta Empul
dan Istana Presiden RI Tampaksiring. Keberadaan Pura Tirta Empul dan Istana
Presiden tersebut telah membawa dampak positif bagi perkembangan industri
kerajinan. Kedua pusaka budaya itu merupakan potensi yang besar bagi
pengembangan kepariwisataan di Desa Manukaya.
Sementara itu, pembangunan sektor perindustrian berlangsung cukup
pesat di Desa Manukaya, karena didukung oleh sarana perhubungan yang cukup
lancar. Adanya konsumen asing dan domestik serta adanya tempat pemasaran,
terutama toko-toko seni dan kios-kios cenderamata di daerah Kuta, Ubud, dan
Tampaksiring. Jenis kerajinan yang banyak diproduksi oleh masyarakat Desa
Manukaya antara lain patung, ukiran, dan asesoris. Dengan adanya perkembangan
91

industria kecil maka 46,15% penduduk angkatan kerja menekuni kerajinan
sebagai mata pencaharian pokok. Petani yang jumlahnya 37,01% dari jumlah
penduduk juga menggunakan waktu luangnya terutama pada malam hari dengan
kegiatan kerajinan sebagai upaya menambah pendapatan (Informasi Kepala Desa
Manukaya, 24 Mei 2010).
Di sektor perdagangan terjadi peningkatan jumlah fasilitas, seperti
pengembangan pasar tradisional untuk kepentingan pengembangan ekonomi
masyarakat pedesaan. Suasana pedesaan dari aktivitas pasar tradisional tercermin
dari komoditas yang dijual, yang pada umumnya berupa kebutuhan pokok sehari-
hari.
Perdagangan memegang peranan penting dalam menunjang
perekonomian masyarakat Desa Manukaya. Hasil-hasil bumi dan barang-barang
kerajinan merupakan komoditi penting dalam perdagangan. Barang-barang
kerajinan yang merupakan ciri khas produk Tampaksiring banyak digemari oleh
para wisatawan yang berkunjung, baik wisata domestik maupun wisatawan manca
negara.
4.1.5 Agama dan Kepercayaan
Seperti diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Manukaya memeluk
agama Hindu. Agama Hindu, seperti diketahui, berasal dari daratan India. Sebagai
negara besar di kawasan Asia Selatan, sejak lama India telah memainkan peranan
penting bahkan pengaruhnya, terutama pengaruh budaya sampai ke daratan Asia
Tenggara. Kenyataan itu telah memperkuat pendapat betapa luasnya pengaruh
92

kebudayaan India baik dalam bentuk Hinduisme maupun Buddhisme (Yadav,
1998 : 5).
Desa Manukaya, proses kehidupan sejarah masyarakat dimulai sejak
munculnya pengaruh agama Hindu pada sekitar pertengahan abad IX. Keberadaan
agama Hindu dapat diketahui berdasarkan temuan fragmen prasasti berbahasa
Sanskerta yang ditemukan di Desa Pejeng, Blahbatuh, dan Tatiapi. Di antara
bagian-bagian yang masih terbaca antara lain berbunyi .... siwas .... ddha.... yang
diperkirakan selengkapnya berbunyi siwasiddhanta (Astra, 1997 : 52). Hal itu
memberi petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan,
dalam hal ini agama Hindu sekte Siwa (Stutterheim, 1929 : 62).
Desa Manukaya sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang.
Beberapa tinggalan arkeologi yang ada di wilayah desa ini memperlihatkan
adanya aktivitas kehidupan masa lalu, yang sudah lama menarik perhatian para
ahli khususnya ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan.
Bukti-bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat
Manukaya sejak lama telah menganut agama dan kepercayaan dengan berbagai
alirannya. Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami hasil-hasil
budaya masyarakat tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar
belakangnya. Dalam semua zaman, hasil utama budaya didasarkan pada gagasan-
gagasan keagamaan dan diabadikan untuk tujuan keagamaan (Zoetmulder, 1965 :
327).
Pernyataan Dawson yang dikutip oleh Zoetmulder itu berlaku pada
situasi dan kondisi Desa Manukaya, sebab tampak bahwa sejumlah hasil budaya
93

materi dari masa lalu menunjukkan latar belakang dan semangat keagamaan. Pura
Tirta Empul beserta sejumlah tinggalan arkeologi di dalamnya jelas menunjukkan
fungsinya sebagai benda yang dibuat untuk kepentingan agama, khususnya
Agama Hindu. Oleh karena mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, pola
pikir dan perilaku masyarakat sampai saat ini masih kental mencerminkan budaya
Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Budaya Bali mempengaruhi baik karakter
maupun orientasi hidup sebagian besar masyarakat Manukaya. Budaya Bali dan
Agama Hindu saling berinteraksi, berintegrasi, sekaligus merupakan landasan
bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya.
Agama merupakan hak dasar manusia yang paling hakiki dan sekaligus
merupakan ciri yang universal bagi kehidupan sosial manusia. Masyarakat
Manukaya melaksanakan ajaran agama dilandasi oleh tiga kerangka dasar Agama
Hindu, yakni tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Penerapan
falsafah Tri Hita Karana merupakan pengejawantahan dari hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta makhluk lainnya, dan
hubungan manusia dengan alam lingkungannya di mana ia berada. Hal ini
merupakan proyeksi dari keyakinan Agama Hindu yang disebut panca sradha,
yaitu lima dasar keyakinan Agama Hindu yakni percaya adanya Tuhan, Atman,
punarbhawa, karmaphala, dan moksa, ke dalam tata kehidupan masyarakat, baik
secara individual maupun kolektif. Pada akhirnya, tujuan akhir agama Hindu
adalah moksartham jagadhitaya ca iti dharmah yang berarti tujuan beragama
(dharma) ialah untuk mencapai kelepasan, kebebasan atau kesempurnaan roh
94

(moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian, dan kelestarian dunia
(jagadhita).
4.2 Gambaran Umum Pura Tirta Empul
4.2.1 Keadaan Pura dan Lingkungannya
Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.3) dapat dicapai dengan mudah,
karena telah dihubungkan oleh jalan raya yang sangat baik. Dari Kota Denpasar,
perjalanan akan menempuh jarak lebih kurang 32 km melalui jurusan Desa
Bedulu – Pejeng – Tampaksiring. Untuk sampai di lokasi, pada pertigaan jalan
sebelum memasuki area Istana Presiden Tampaksiring terdapat jalan membelok
ke kanan. Setelah menempuh jarak sekitar 600 meter maka tibalah di Pura Tirta
Empul.
Gambar 4.3 Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
95

Secara astronomis, posisi Pura Tirta Empul terletak pada koordinat
115018’43’ Bujur Timur dan 8010’30’ Lintang Selatan serta berada pada
ketinggian 479 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata pada situs ini adalah
23 oC dan curah hujan pertahun mencapai 1618 mm, dengan kelembaban udara
76%. Kondisi klimatologis seperti itu menyebabkan suhu yang sejuk di dalam
pura. Lingkungan mikro yang cukup lembab ini mungkin disebabkan oleh karena
letak Pura Tirta Empul boleh dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan
tempat sekitarnya yang merupakan perbukitan kecil. Tempat yang rendah ini
tampaknya disebabkan karena pusaka budaya ini berorientasi pada mata air yang
pada umumnya terdapat pada bagian yang paling rendah.
Memasuki areal Pura Tirta Empul, tampak panorama yang cukup indah.
Tidak jauh dari pura, tepatnya di sebelah timur sungai kecil terdapat puluhan kios
yang menjual barang cendramata. Selain itu, terdapat pula halaman parkir yang
cukup luas untuk menampung kendaraan pengunjung. Fasilitas ini tersedia karena
Pura Tirta Empul merupakan salah satu daya tarik wisata dan mendapat
kunjungan wisatawan yang cukup banyak.
Sebagaimana namanya, situs Pura Tirta Empul mempunyai sumber mata
air yang sangat jernih. Mata air yang dianggap suci ini terletak di bagian halaman
tengah pura, lalu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar melalui
lubang pancuran (Gambar 4.4) dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang
berada di sisi timur pura. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai
sumber kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan dan kemakmuran serta
menyucikan diri.
96

Gambar 4.4 Kolam Permandian Beserta Pancurannya(Dok. Setiawan, 2010)
Keadaan pura saat ini secara keseluruhan terawat dengan baik, karena
merupakan daya tarik wisata yang secara langsung mendapat pengawasan dari
pemerintah maupun desa adat setempat. Sebagai daya tarik wisata yang banyak
dikunjungi oleh para wisatawan, kawasan ini telah ditatat sesuai dengan konsep
pelestarian yang diamanatkan oleh Undang-undang Benda Cagar Budaya. Selain
itu, diupayakan pula untuk membedakan kawasan yang bersifat profan dan sakral.
Kawasan sakral sama sekali tidak boleh ada bangunan lain kecuali terkait dengan
kegiatan upacara keagamaan. Sedangkan kawasan profan diperuntukkan untuk
kepentingan umum seperti toilet, artshop, lahan parkir, tiketing, warung makan,
dan sebagainya.
97

4.2.2 Sejarah Pura
Pura Tirta Empul merupakan representasi dari pura taman air yang
dikembangkan oleh para penguasa di masa lalu. Pemilihan mata air sebagai lokasi
tempat suci tampaknya sangat sesuai dengan konsep India Kuno yang
mensyaratkan bahwa lokasi sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan
dengan sumber air (Acharya, 1933 : 13-14). Karena itu, tidaklah mengherankan
jika di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan ditemukan cukup banyak
bangunan bersejarah berbentuk candi atau pura, seperti Candi Gunung Kawi,
Candi Mangening, Pura Pengukur-ukuran, Candi Tegallinggah, dan Tirta Empul
itu sendiri.
Untuk dapat mengungkap sejarah pendirian Pura Tirta Empul, ada
beberapa sumber tertulis yang dapat digunakan, antara lain Prasasti Manukaya
dan pustaka lontar Usana Bali. Prasasta Manukaya adalah sebuah prasasti yang
dipahatkan pada sebuah batu, sekarang prasasti tersebut tersimpan pada sebuah
palinggih (bangunan suci) di Pura Puseh Desa Manukaya.
Sejak tahun 1924 Prasasti Manukaya telah menarik perhatian di
kalangan para ahli purbakala, khususnya ahli purbakala dari Belanda. Diantara
mereka yang menaruh minat besar terhadap prasasti ini adalah W.F. Stutterheim.
Stutterheim adalah orang pertama yang berhasil membaca Prasasti Manukaya dan
kemudian diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali
(Stutterheim, 1929 : 68-69). Selanjutnya prasasti ini dibaca ulang oleh R. Goris
dan diterbitkannya dalam bukunya yang berjudul Prasasti Bali I (Goris, 1954 :
75-76).
98

Prasasti Manukaya yang sangat disucikan oleh masyarakat setempat
dipahatkan pada sebuah batu kedua sisi, namun huruf-huruf yang terpahat sudah
demikian ausnya, sehingga tidak semua isi prasasti dapat dibaca. Sisi pertama (A)
terdiri atas 15 baris tulisan, sedangkan sisi kedua (B) terdiri atas 8 baris tulisan.
Prasasti Manukaya menggunakan bahasa dan huruf Bali Kuno.
Sisi A yang masih dapat dibaca antara lain menyebut tahun dikeluarkan
prasasti yaitu 882 Saka /960 Masehi, serta menyebut nama raja Jayasingha
Warmadewa. Selain itu, prasasti ini juga memuat perintah raja untuk memugar
atau memperbaiki telaga atau tirtha di air Mpul (sekarang Tirta Empul di
Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air.
Telaga itu sampai saat ini masih dianggap suci oleh masyarakat terutama sekaa
barong di daerah Gianyar. Setiap tahun sekali diadakan odalan, dan prasasti batu
tersebut diarak ke Pura Tirta Empul untuk disucikan. Dengan demikian, jika
angka tahun prasasti tersebut di atas dianggap sebagai tahun berdirinya tempat
suci ini, maka dapat dipastikan bahwa umur Pura Tirta Empul saat ini sudah
mencapai 1050 tahun.
Selain keterangan prasasti tersebut di atas, sejarah Pura Tirta Empul juga
dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat yang berkembang hingga saat ini yang
bersumber dari Kekawin Usana Bali. Isi lontar itu terutama mengisahkan bahwa
pada zaman dahulu pasukan apsara dari surga yang dipimpin oleh Dewa Indra
berangkat dari Kahyangan ke Bali. Dewa Indra dengan pasukannya turun di
Kahyangan Basukih, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan ke barat untuk
menyerang Raja Mayadanawa di Bedahulu. Raja Mayadanawa adalah raja yang
99

sangat sombong, angkuh dan melarang rakyat mengadakan persembahan kepada
Dewa. Sikap Mayadanawa yang demikian menyebabkan para Dewa menjadi
marah. Dewa Indra dengan Patih Citranggada, Citrasena dan Jayanta beserta
pasukankannya membagi tugas mengatur siasat perang untuk melawan
Mayadanawa. Suara kendang berdentuman alunan gong bergemuruh, bendera
berkibar, bala tentara berjalan menjejal menuju Desa Bedahulu.
Mayadanawa menghina dan mencela tiada henti-hentinya dengan
sombong, congkak, dan kasar, diikuti oleh raksasa yang lain. Mengetahui akan
musuhnya datang, pasukan Mayadanawa segera menghadang. Maka terjadilah
pertempuran yang sangat dasyat antara pasukan Dewa Indra melawan pasukan
Mayadanawa. Beribu-ribu pasukan bertempur bergemuruh hingga banyak korban
bergelimpangan.
Entah beberapa lama perang berlangsung, akhirnya pasukan Dewa Indra
berhasil mendesak mundur pasukan Mayadanawa. Dari keretanya Mayadanawa
melihat kekalahan pasukannya, sehingga ia turun ke medan perang. Pertempuran
dasyat kembali terjadi. Mayadanawa sangat marah gemertak giginya dan bersuara
menggelegar. Mayadanawa menantang berperang berhadap-hadapan (perang
tanding), sementara Dewa Indra dengan tenang terus mendesak raksasa itu dengan
melepaskan beberapa anak panah.
Karena terdesak, Mayadanawa akhirnya melarikan diri ke arah utara dan
terus dikejar oleh pasukan Dewa Indra. Sampai di Desa Manukaya, raja
Mayadanawa berubah wujud menjadi manuk (ayam jantan). Akhirnya manuk ini
dipanah oleh Dewa Indra, maka matilah raksasa itu. Konon darah Mayadanawa
100

dari mulutnya menyembul pusaran air, aliran air Petanu namanya. Air sungai itu
tidak boleh diminum, tidak boleh digunakan untuk mandi atau cuci muka karena
air itu dipercaya bersumber dari darah raksasa (Pupuh xv : 1).
Sementara itu, di sebelah selatan desa Manukaya terdapat suatu tempat
yang bernama Alas Pagulingan. Di tempat inilah Patih Kalawong (Patih
Mayadanawa) membuat tirta mala yang menyebabkan kematian pasukan apsara.
Melihat keadaan seperti itu, lalu Dewa Indra menciptakan air suci. Air ini lalu
diperciki kepada para pasukan apsara yang telah mati, sehingga berhasil hidup
kembali. Air suci ini kemudian bernama Tirta Empul.
Jika kaum Brahmana dan ksatria mandi dan cuci muka di sini, wajah dan
tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka. Jika kaum Wesya
dan Sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang
berbudi luhur akan mendapat keberuntungan. Mereka yang datang diharapkan
menghaturkan sesaji diiringi puja mantra memuja Dewa Siwa. Untuk jelasnya
berikut dikutipkan Kakawin Usana Bali Pupuh xiv 1-4 (Kusuma : 2005, 74-75)
sebagai berikut.
Pupuh xiv1. Byaktitan patining mahasura Maya radin atisaya tustaning sabhuwana,
hyang sakra ndan asighra mantuk umareng nguwu saha balakusa wahana kabeh, ndararyan tepining nadi parama nirmala siratelas adyu sahyas asalin, ngka muja ribhatara suksma siwa tarppana ginawayarat kasugatin.
2. Airampul pengaranya dengku lingiramarapati kateka tekeng helem ike, atyanteki pawitraning parama tirtha saphala gumawe suka parimita, monsang brahmana yan ksimatriya kuneng mahasa-hasa lanadyusa sring arahup, mukta klesa sarira punyaguna labda tinemu nira papa pataka hilang.
3. Towi praptanira agawe widhi-whidana gelaring anustanakya tinata, mudhra mantra tkeng pranayana jiwas marana sahaja kuta mantra ri tengah, sang weruh mangkana bhagya yadjapi tatar weruh irika
101

manganugraha nemu phala, ngkana jadma nijadma sidha bayu manggihing ika sang atirthayatra ri helem.
4. Yadyastun hana waisya sudra tuwisawakan ika jadi tuccha jati datenga, byakta mangguha sasinadhyan ika yan duga-duga ring ulahnya labha katemu, nahan pajarira Hyang Indra ri sedengnira lumekasaken siwaccana widhi, matrongkara sakeng langit kusuma warssa jaya-jaya susiddi rasthu.
Artinya : 1. Setelah kematian Mayadanawa dunia menjadi tentram, Dewa Indra
kembali ke pesanggrahannya diikuti oleh seluruh pasukannya, beristirahat di tepi sumber air ciptaannya itu lalu mandi dan mengganti busana, selanjutnya memuja kehadapan Dewa Siwa agar dianugrahi kebahagiaan.
2. Kata Dewa Indra ”ini ku namai air empul” sampai kelak, siapa yang diperciki air ini akan mendapat keberhasilan dan keselamatan, jika kaum Brahmana dan Kesatrya mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka.
3. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji walaupun sangat sederhana, diiringi puja mantra sambil memuja kehadapan Dewa Siwa yang di tengah, bagi yang mengetahui akan berbahagia dan bagi yang belum mengetahui akan dianugrahi kesuksesan, mereka yang melakukan tirtayatra di sana akan mendapat keselamatan di kemudian hari.
4. Jika kaum wesya dan sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur mendapat keberuntungan. Begitulah permohonan Dewa Indra saat memuja Dewa Siwa, terdengar sabda dari angkasa kemenangan yang mengharumkan.
4.2.3 Struktur Pura
Secara horizontal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.5) terbagi atas tiga
bagian, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan
(halaman dalam). Pembagian atas tiga halaman seperti itu tampaknya mempunyai
dasar pemikiran filosofis, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang
melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka.
Jaba pura melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan
manusia. Jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat
102

kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan jeroan melambangkan swarloka
yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa.
Adapun struktur tiga bagian Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.
1. Jaba pura, adalah halaman paling luar. Di hadalam ini terdapat balai
wantilan dan sebuah kolam. Balai wantilan adalah bangunan terbuka berfungsi
sebagai tempat keramaian pada waktu upacara piodalan, sebagai tempat
mengadakan sabungan ayam yang berfungsi tabuh rah (korban darah), tempat
pertemuan, dan tempat untuk kepentingan upacara lainnya. Sedangkan kolam
yang berada di sebelah barat balai wantilan berfungsi untuk memperindah
areal pura, dengan sejumlah ikan hias di dalamnya. Pada bagian barat kolam
berdiri beberapa buah bangunan sebagai tempat untuk memajang barang-
barang kerajinan/souvenir yang diperjualbelikan kepada para pengunjung.
Barang-barang souvenir di tempat ini dikelola oleh sebuah koperasi dibawah
koordinasi Bendesa Adat Manukaya Let. Kompleks kolam ini dibatasi oleh
tembok penyengker berbentuk persegi empat dengan arsitektur tradisional
Bali. Di bagian utara halaman luar juga terdapat dua buah pelinggih apit
lawang yang mengapit pintu masuk menuju kolam di mana orang melakukan
prosesi melukat (menyucikan diri).
2. Jaba tengah, adalah halaman tengah dari Pura Tirta Empul. Di
halaman ini terdapat taman suci, yaitu berupa kolam dengan ukuran panjang
20 meter dan lebar 10 meter. Kolam yang berbentuk persegi empat panjang ini
pada bagian tengahnya terdapat mata air yang muncul dari dalam tanah (tirta
empul). Tirta berarti ”air suci” dan empul artinya air yang memancur dari
103

tanah (kelebutan). Selanjutnya, air dari sumber mata air ini dialirkan ke kolam
permandian yang lebih rendah di sebelah selatan melalui 26 buah pancoran.
Empat buah pancoran berada pada kolam paling barat berderet dari utara ke
selatan, dan 22 buah pancoran berderet dari timur ke barat menghadap ke
selatan. Masing-masing pancoran menurut tradisi masyarakat setempat
mempunyai nama tersendiri, di antaranya pancoran penglukatan, pebersihan,
sudamala, panglebur gering, dan panegtegan. Pada pancuran yang
menghadap ke selatan inilah banyak orang menyucikan diri (melukat), yaitu
mandi dengan tetap menggunakan pakaian adat dan pada umumnya mereka
juga memper-sembahkan sesajen berupa canang sebelum melukat. Pada hari-
hari tertentu, misalnya hari raya (Umanis Galungan, Umanis Kuningan, Banyu
Pinaruh), Purnama (bulan terang), Tilem (bulan mati) atau pada hari libur
banyak orang melukat di kolam tersebut, hingga penuh sesak. Di kolam ini
orang tidak diperkenankan memakai sabun, tidak diperkenankan mencuci
pakaian, serta diwajibkan menghaturkan sesajen seperlunya. Selain taman suci
dan kolam permandian, pada halaman ini juga terdapat beberapa bangunan,
seperti Bale Pegat, Bale Agung, dan Bale Gong. Bale Pegat terletak di bagian
barat halaman ini, Bale Agung di bagian timur, dan Bale Gong di sebelah
selatan menghadap ke arah utara. Di tengah-tengah halaman ini juga terdapat
tinggalan megalitik berupa batu yang masih disucikan oleh masyarakat
setempat.
3. Jeroan, adalah halaman yang paling dalam, paling hulu, dan
merupakan bagian halaman yang tersuci. Di halaman ini terdapat pelinggih-
104

pelinggih/ (bangunan suci) untuk memuja Tuhan, para Dewa, atau Bhatara-
bhatari. Untuk mencapai tempat ini harus melalui sebuah pintu masuk yang
disebut candi bentar. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi dari halaman
tengah, sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura bertingkat-tingkat
semakin meninggi. Bangunan suci terpenting yang terdapat di sini adalah
bangunan tepasana berbentuk segi empat menyerupai bangunan candi.
Bangunan suci dengan tinggi lebih kurang 5 meter ini adalah tempat
bersthananya Dewa Indra, seperti yang diceritakan dalam kitab Usana Bali. Di
depan pelinggih inilah biasanya orang atau masyarakat bersembahyang mohon
keselamatan, kebahagiaan, ketentraman lahir dan batin. Selain pelinggih
tepasana, di halaman ini masih terdapat banyak pelinggih yang lain, berderet
dari barat ke timur, antara lain bale priasan, bale pemereman, bale pewedan,
pelinggih Mayadanawa, bale priasan Dewa, gedong pengemit, gedong dewa,
bale penyimpenan, gedong limas, gedong sari, dan bale pengaruman. Di
bagian barat halaman ini terdapat bale penandingan dan bale gong,
sedangkan di bagian selatan menghadap ke arah utara terdapat bale peselang
dan bale pecanangan.
Selain ketiga halaman pura tersebut, masih ada satu halaman khusus
yang terletak pada sudut barat laut pura, yaitu halaman penyucian (lihat Gambar
4.5). Di halaman ini terdapat beberapa buah bangunan yang berfungsi untuk
melakukan persiapan upacara. Bangunan yang terdapat di halaman ini antara lain,
bale penandingan, bale penyelaman, bale gede, bale pertemuan, dan bale kulkul.
105

4.2.4 Karakter Pura
Pura sebagai tempat suci umat Hindu tersebar di seluruh wilayah Pulau
Bali, baik di daerah pegunungan, dataran, atau tepi pantai. Dari ribuan jumlah
pura yang ada, berdasarkan karakternya dapat dikelompokkan atas empat
kelompok besar sebagai berikut.
1. Pura Umum, adalah pura yang mempunyai ciri umum sebagai tempat
pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya (para dewa). Pura yang
tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut
”Kahyangan Jagat Bali”. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri
tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang, Pura Andakasa,
Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan sebagainya.
Pura-pura lain yang juga tergolong umum adalah pura di samping
berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan, juga untuk memuja kebesaran
seorang pendeta guru suci atau Dang Guru, karena pada hakikatnya umat
Hindu merasa berhutang jasa kepada Beliau atas dasar ajaran agama Hindu
yang disebut Rsi Rna. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah
Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Silayukti, Pura Sakenan, Pura Tanah Lot, dan lain-lain. Pura-pura tersebut
berkaitan dengan dharmayatra (perjalanan suci) yang dilakukan oleh Empu
Kuturan dan Dang Hyang Nirartha, karena peranannya sebagai Dang Guru
Suci.
106

Gambar 4.5 Denah Pura Tirta Empul(Sumber Kantor BP3, Bali, NTB, NTT, 2009)
107

2. Pura Teritorial, adalah pura yang mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial)
sebagai tempat pemujaan dari warga desa yang diikat oleh kesatuan wilayah
dari suatu desa. Ciri khas suatu desa adat di Bali adalah memiliki tiga buah
pura yang disebut Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa atau Bale Agung, Pura
Puseh, dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk
memuja Dewa Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa dengan
fungsinya masing-masing sebagai dewa pencipta, pemelihara, dan pemeralina
segala yang ada di dunia ini.
3. Pura Fungsional, adalah pura yang mempunyai karakter khusus dan umat
penyungsungnya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai profesi
yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup, seperti petani, pedagang,
dan nelayan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah Pura
Subak, Pura Ulun Danu, Pura Masceti, dipuja oleh para petani, dan Pura
Melanting yang pada umumnya didirikan di dalam suatu pasar dipuja oleh
para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4. Pura Kawitan, yaitu pura yang mempunyai karakter yang ditentukan oleh
adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Pura
yang tergolong karakter ini adalah Pura Dadya dipuja oleh kelompok keluarga
yang berasal dari leluhur yang sama. Tempat pemujaan satu keluarga inti
disebut sanggah atau merajan yang ada di dalam masing-masing rumah
dengan pelinggih/bangunan pokok kemulan taksu. Klen besar merupakan
kelompok kerabat yang lebih luas terdiri atas beberapa kelompok kerabat
108

dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat
pemujaan yang disebut Paibon atau Pura Panti (Ardana, 1982 : 116-117).
Berdasarkan uraian di atas Pura Tirta Empul termasuk pura berkarakter/
berstatus sebagai pura jagat atau Dang Kahyangan. Hal ini terbukti dari
banyaknya orang dari seluruh Bali bersembahyang ke pura ini. Sebagai pura jagat,
Pura Tirta Empul berfungsi sebagai tempat persembahyangan, penyucian, baik
penyucian pretima (arca, prasasti) maupun penyucian diri (melukat) untuk
mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan lahir batin.
4.2.5 Tinggalan Arkeologi
Seperti pada umumnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul secara
horizontal terbagi atas tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah, dan
halaman dalam. Pada halaman luar (jaba) terdapat beberapa bangunan seperti
wantilan dan kolam beserta ikan hias untuk memperindah pura. Di halaman
tengah terdapat beberapa bangunan, antara lain, Bale Pegat, Bale Agung, Bale
Gong, dan Taman suci. Pada halaman dalam yang merupakan halaman tersuci
terdapat sejumlah bangunan suci pemujaan seperti Bale Piyasan, Bale
Pemereman, Bale Pawedan, Pelinggih Mayadanawa, Pelinggih Patih
Mayadanawa, Bale Priyasan Dewa, Gedong Pengemit, Gedong Dewa, Tepasana,
Gedong Sari, Bale Pengaruman, dan Bale Peselang.
Tinggalan arkeologi yang merupakan ciri kekunaan Pura Tirta Empul
terdapat di halaman tengah dan halaman dalam pura. Beberapa tinggalan
arkeologi yang terdapat di Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.
109

1. Empat buah batu alam
Batu-batu alam ini berada di halaman dalam pura, letaknya di dekat bangunan
Gedong Sari. Batu-batu alam ini masih dianggap suci oleh masyarakat
pengempon pura. Dari pengamatan yang seksama dapat dikatakan bahwa batu-
batu itu kemungkinan besar adalah menhir atau tahta batu yang terkait untuk
kepentingan keagamaan. Menhir adalah batu tegak yang didirikan sebagai
tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat
berdiri tegak atau berkelompok. Menhir merupakan refresentasi monumen
megalitik yang didirikan oleh sekelompok masyarakat di tempat-tempat
tertentu dan akan melegitimasikan hubungan antar kelompok masyarakat
dengan leluhur atau nenek moyangnya. Sementara itu tahta batu adalah salah
satu hasil teknologi batu yang mula-mula berfungsi sakral sebagai tahta arwah
nenek moyang atau pemimpin yang dihormati. Penelitian di lapangan
menunjukkan bahwa tahta batu itu dibangun dengan teknik susun tumpuk,
yaitu dengan jalan menyusun tumpuk batu-batu menurut keperluan tanpa
mengubah bentuk aslinya (Sutaba, 1995 : 74-75). Dalam perkembangan
selanjutnya, teknik susun tumpuk telah mengalami penyempurnaan sehingga
menjadi teknik susun timbun dalam pembangunan candi-candi. Dengan
demikian terbukti bahwa teknik susun tumpuk telah menjadi dasar teknik
pembangunan yang berkembang belakangan di daerah Bali. Di Kabupaten
Gianyar hanya ditemukan dua buah tahta batu, yaitu sebuah tahta batu yang
dibuat dari sebuah batu kali yang dipangkas menjadi bagian sandaran dan alas
tempat duduk. Tahta batu ini sampai sekarang dipandang sebagai media
110

pemujaan yang sakral disimpan di Pura Sakenan, Ubud, bersama-sama dengan
bentuk-bentuk megalitik lainnya. Tahta batu yang kedua, adalah deretan tahta
batu disusun memanjang, ditemukan di Desa Lebih yang juga berfungsi
sakral. Menurut fungsinya dewasa ini, tahta batu itu berfungsi sebagai media
pemujaan kepada leluhur atau pemimpin dengan harapan dapat memberi
kesejahteraan kepada masyarakat.
2. Lingga-Yoni
Lingga yoni terdapat pada sebuah pelinggih arca di halaman tengah di sebelah
barat kolam suci Tirta Empul (lihat Gambar 4.6). Lingga yang terletak
(berdiri) pada lubang yoni dibuat dari bahan batu padas, dengan ukuran tinggi
21 cm dan lebar 16 cm. Sedangkan yoni yang berada di bawahnya, bagian
sisinya berukuran 50 cm. Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui
melambangkan kesatuan Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Parwati.
Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada lingganya. Sedangkan lingganya dapat
diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Pura Pusering
Jagat, di Desa Pejeng, Gianyar. Pasangan lingga-yoni pada umumnya
dijumpai pada bilik candi-candi Hindu, di daerah Jawa Timur maupun Jawa
Tengah untuk menggantikan arca Dewa yang seharusnya terdapat dalam
sebuah candi. Ada kalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu
bangunan yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya
lingga-yoni sebagai lambang kesuburan.
Yoni adalah benda berbentuk seperti lumpang batu yang mempunyai cerat
pada salah satu sisinya. Menurut kepercayaan Hindu, yoni merupakan simbol
111

pasangan Dewa Siwa dalam wujud lingga. Oleh karena itu, yoni mempunyai
pasangan berupa lingga yang bentuknya seperti tiang atau batu penumbuk
yoni juga merupakan lambang unsur wanita, sedangkan lingga merupakan
lambang unsur laki-laki. Persatuan kedua unsur tersebut dianggap sebagai
lambang penciptaan dan kesuburan (Kempers, 1956 : 42-43).
Gambar 4.6 Lingga Yoni di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
3. Arca Binatang
Tokoh binatang tentu paling mudah diketahui karena jelas identitasnya.
Namun, dalam kaitannya dengan dunia kedewataan, arca binatang seringkali
bukanlah binatang dalam arti biasa, tetapi merupakan kendaraan Dewa
tertentu, sehingga kehadiran tokoh ini seringkali dapat dijadikan petunjuk
mengenai Dewa Utama yang hadir bersamanya. Di Pura Tirta Empul
112

ditemukan dua arca binatang, yaitu lembu dan singa yang ditempatkan
bersama-sama dengan lingga-yoni tersebut di atas. Sebuah arca lembu dari
bahan batu padas ditemukan di Pura Tirta Empul (Gambar 4.7). Arca ini
berukuran panjang 82 cm dengan lebar 37 cm. Binatang ini pada umumnya
dijumpai sebagai arca, baik sebagai kendaraan Dewa Siwa maupun sebagai
musuh Durga (Mahisa Asura). Arca lembu pada umumnya ditampilkan
sebagai binatang dalam posisi mendekam. Sebagai wahana Dewa Siwa, lembu
biasanya ditampilkan terpisah dari Siwa. Namun sebagai musuh Durga, lembu
(bersama asura) selalu digambarkan dalam bentuk adegan di mana Durga
dalam posisi menginjaknya. Penggambaran seperti itu ditemukan di Pura
Bukit Dharma, Desa Kutri, Gianyar. Sedangkan Arca Singa terutama yang
terbuat dari bahan batu padas umumnya dipajang sebagai penjaga bangunan
suci.
Gambar : 4.7 Arca Lembu/Nandi di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
113

4. Fragmen Arca Perwujudan
Di samping kiri Bale Peselang kompleks Pura Tirta Empul dijumpai beberapa
buah arca perwujudan seorang tokoh (Gambar 4.8) . Arca yang sudah agak aus
ini ada yang berukuran tinggi 49 cm dan lebar 27 cm, dibuat dari bahan batu
padas. Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca adalah sarana ritual yang
digunakan untuk melambangkan kehadiran seorang tokoh.
Gambar 4.8 Pragmen Arca Perwujudan yang sangat aus(Dok. Setiawan, 2010)
Arca dipandang sebagai media yang dapat ”hidup” ketika esensi tokoh tertentu
masuk ke dalamnya melalui suatu upacara tertentu. Dalam pemikiran
keagamaan Hindu cara pandang di atas dinyatakan dalam perwujudan arca.
Temuan arca-arca seperti tersebut di atas merupakan bukti bahwa sistem relegi
114

masyarakat berpusat kepada kultur nenek moyang. Pada waktu itu masyarakat,
percaya kepada roh nenek moyang yang dapat memberikan keselamatan dan
kesejahteraan kepada masyarakat yang masih hidup. Masyarakat juga percaya
bahwa arwah nenek moyang itu bersemayam di puncak gunung atau bukit.
Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa gunung sebagai tempat suci.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Agama Hindu masuk ke Bali,
gunung tetap dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para
Dewa. Paparan di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa
manusia Bali (baca Manukaya) pada akhir masa prasejarah, atau menjelang
masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial budaya, religi,
teknologi, yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah mereka
menyongsong kehadiran pengaruh budaya asing, yaitu budaya Hindu-Buddha
yang berasal dari daratan India. Pada masa Bali Kuno atau masa pengaruh
Hindu-Buddha, pengertian arca dihubungkan dengan istilah vigraha atau
bimba yang dalam bahasa Sanskerta berarti ”perwujudan dewa”. Selain itu, di
Bali dikenal pula istilah pralina, yaitu penggambaran tokoh/raja yang sudah
diperdewakan. Kedua jenis penggambaran tersebut digunakan sebagai media
untuk mengadakan hubungan secara langsung dengan dewa yang
digambarkan. Menurut kepercayaan Hindu, dewa adalah personifikasi
kekuatan alam. Menurut pemikiran tersebut, angin, gunung, laut, matahari,
bulan, api, air, dan sebagainya adalah kekuatan yang berada di luar diri
manusia dan diwujudkan dalam bentuk manusia super. Kekuatan manusia
super tersebut antara lain diwujudkan melalui penggambarannya yang tidak
115

wajar, misalya mempunyai kepala lebih dari satu atau mempunyai lengan
banyak. Setiap dewa atau dewi mempunyai laksana (ciri atau atribut) yang
membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Selain laksana, dewa juga
dapat dibedakan melalui mudra (sikap atau posisi tangan), dan asana (posisi
duduk atau berdiri seorang tokoh). Dengan demikian, laksana, mudra, dan
asana merupakan penentu identitas tokoh (Atmosudiro, 2001 : 75-76).
5. Fragmen Bangunan dan Bangunan Tepasana
Tidak jauh dari temuan arca perwujudan, ditemukan pula fragmen bangunan.
Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan
bagian dari susunan atap prasada atau candi. Fragmen yang berbahan dari batu
padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian
sudut dan bawahnya dalam keadaan aus. Selain fragmen bangunan, di Pura
Tirta Empul terdapat bangunan utama, yaitu tepasana yang mirip dengan
bentuk candi (lihat Gambar 4.9). Candi adalah salah satu bangunan
keagamaan yang mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buddha. Dari kitab
Negarakertagama dan Pararaton diperoleh keterangan bahwa pembangunan
candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi
didirikan sebagai tempat untuk mengabadikan dharma-Nya dan memuliakan
rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Seokmono, 1993 : 67).
Secara konseptual bentuk fisik candi yang menjulang tinggi merupakan
replika gunung, tempat bersemayam para Dewa dan roh-roh suci. Candi yang
berfungsi sebagai kuil pemujaan agama Hindu dan Buddha biasanya
mempunyai ruang untuk menempatkan arca/patung yang menggambrkan
116

Dewa, sekaligus raja titisannya. Di Bali, roh leluhur lebur menyatu dengan
Dewa yang di dunia manusia diwakili oleh raja. Dengan demikian, pemujaan
terhadap Dewa agama Hindu dan Buddha waktu itu merupakan bentuk baru
dari pemujaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (Atmosudiro, 2001 :
47).
Gambar 4.9 Bangunan Tepasana Tempat Memuja Dewa Indra(Dok. Setiawan, 2010)
Secara vertikal candi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh
candi, dan atap candi. Ketiga bagian itu melambangkan tiga tingkatan dunia,
yaitu bhurloka, bhuwah loka, dan swahloka. Kaki candi melambangkan
bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Di dalam kaki candi
117

di bagian tengah terdapat sumuran untuk menempatkan pripih, yaitu wadah
berisi kepingan-kepingan logam, batu mulia, dan biji-bijian, yang menjadi
media bagi para Dewa untuk memasukkan ”zat inti” kedewaannya. Tubuh
candi melambangkan bhuwahloka, yaitu dunia tengah tempat kehidupan
manusia yang sudah disucikan, Dalam tubuh candi di atas sumuran itulah
ditempatkan arca Dewa atau obyek pemujaan lainnya. Sedangkan atap candi
melambangkan swahloka, yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa.
Bangunan tepasana di Pura Tirta Empul yang mirip dengan candi berfungsi
sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Indra.
6. Petirtaan
Sebagaimana telah disebutkan di atas di kompleks situs Pura Tirta Empul
terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Mata air ini terletak di bagian
halaman tengah pura dan merupakan air suci yang dimanfaatkan untuk
kepentingan upacara keagamaan. Selain itu masyarakat meyakini bahwa mata
air tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat menghilangkan segala
macam mala (kotor) dalam tubuh manusia. Sumber mata air itu dialirkan ke
kolam permandian yang ada di halaman luar pura. Di situlah pada hari-hari
tertentu banyak orang datang dan melukat untuk membersihkan tubuhnya/
menyucikan dirinya (lihat Gambar 4.10). Di Pura Tirta Empul sekarang
terdapat tiga buah kolam, yaitu kolam utama sebagai pusat sumber air,
sedangkan kolam kedua dan ketiga sebagai tempat penampungan air melalui
beberapa pancuran yang berjajar dari barat ke timur. Dari satu mata air yang
dianggap suci, air dialirkan melalui pancuran yang dibutuhkan oleh manusia
118

dalam kehidupannya. Di antara air suci (tirta) itu, ada di antaranya yang
berfungsi untuk pembersihan, untuk pengobatan, untuk menghilangkan
kutukan, dan untuk upacara keagamaan. Tidak terhitung jumlah orang yang
datang menyucikan diri ke kolam suci Pura Tirta Empul. Dari hari biasa
sampai pada hari tertentu yang dianggap suci, jumlah umat yang datang
sungguh luar biasa. Mereka rela menunggu giliran dalam antrean panjang,
dengan kesabaran dan ketulusan hari untuk memohon berkah dari yang Maha
Kuasa. Air dari kolam ini sebagian dialirkan ke jaringan irigasi untuk mengairi
sawah di Desa Pejeng, dan sebagian lagi dialirkan ke sebuah kolam
permandian yang ada di sebelah timur, dan sisanya dialirkan ke Sungai
Pakerisan yang berada di sisi timur pura.
Gambar 4.10 Umat Sedang Melakukan Prosesi Melukat di Kolam Suci Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
119

4.2.6 Fungsi Pura
4.2.6.1 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Peribadatan
Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum
tahun 1980-an pura ini belum populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci.
Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui berdasarkan keterangan
Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno Jayasingha
Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di Desa Manukaya,
Tampaksiring, Gianyar (Goris, 1954 : 75-76). Selain Prasasti Manukaya, sejarah
Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan Kitab Kakawin Usaha Bali
karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa
dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta
pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-96). Tirta Empul adalah ”air suci” yang
diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, seperti membersihkan diri (melukat), membuang aib, termasuk juga
untuk kepentingan upacara keagamaan.
Dari kedua sumber tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada
mulanya Pura Tirta Empul jelas didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan
kata lain, Pura Tirta Empul sebagai tempat suci berkaitan erat dengan kehidupan
keagamaan bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya,
Tampaksiring, Gianyar. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan
kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib atau supernatural yang
berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu
menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap
120

mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu
dan masyarakat yang mempercayainya (Agus, 2006 : 1).
Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan
sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan
masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib telah ada sejak zaman purba
bahkan sampai ke zaman modern sekarang ini. Kepercayaan itu diyakini
kebenarannya sehingga menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan
religius. Mengadakan upacara-upacara pada hari-hari tertentu, pada suatu tempat,
juga berlangsung sejak lama hingga zaman modern ini. Mempercayai sesuatu
sebagai yang suci atau sakral juga ciri khas kehidupan beragama. Demikian juga
adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri
kehidupan beragama. Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan beragama
merupakan gejala universal yang ditemukan dalam kehidupan individu dan
masyarakat (Koentjaraningrat, 1977 : 228-229).
Di samping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini sudah
demikian kompleks. Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat
penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk-pikuk ekonomi dan sosial politik sehari-
hari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan
ekonomi dan sosial politik. Di samping itu, ada pula yang dijadikan alasan untuk
mendapatkan ketenangan, kebahagiaan rohani, dan keselamatan dalam kehidupan
di dunia ini.
Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu, hampir setiap hari
didatangi umat dengan tujuan bersembahyang. Lebih-lebih pada hari purnama
121

(bulan terang), tilem (bulan gelap), kajeng keliwon, atau hari-hari libur lainnya,
umat membludak datang ke tempat suci ini. Di samping melakukan
persembahyangan, kebanyakan di antara mereka melakukan pembersihan jasmani
rohani (melukat) pada kolam suci yang terdapat di halaman luar Pura Tirta Empul.
Karena banyaknya umat datang untuk melukat pada hari-hari tertentu belakangan
ini, desa adat dewasa ini telah menyiapkan tempat ganti pakaian berupa kotak-
kotak yang terbuat dari papan kayu. Dengan menyewa sebesar Rp. 3.000,- mereka
dapat menaruh pakaian pada kotak-kotak tersebut disertai kunci untuk membuka
dan menutup kotak.
Gambar 4.11 Suasana Ketika Umat Sedang Bersembahyang di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
122

Sembahyang adalah perwujudan rasa bakti manusia terhadap Hyang
Widhi/Tuhan dengan segala manifestasinya. Dengan ketulusan hati serta rasa
cinta kasih yang mendalam umat menyembah Tuhan mohon anugrahNya agar
selalu dibimbing dalam kehidupan di dunia ini. Selain itu, umat juga memohon
berkah dan kekuatan untuk menjalani segala ujian dan cobaan yang mungkin
datang setiap saat. Pada pokoknya upacara persembahyangan itu terdiri atas dua
macam kegiatan yang harus dilakukan oleh para umat, yaitu ”mebanten” atau
mempersembahkan sesaji dan ”mebaktii” atau menjalankan persembahyangan.
Desa Adat Manukaya, Panempahan, dan Malet yang terdiri atas lima
banjar merupakan satu kesatuan wilayah kemasyarakatan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Tirta Empul. Pemerintahan desa adat
dalam mengaktifkan upacara-upacara keagamaan tampak memiliki rasa kesatuan
sebagai desa adat dengan menjalankan konsep filosofi kearifan lokal yang disebut
Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan
dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga
faktor, yaitu parhyangan (unsur ketuhanan), pawongan (manusia) dan palemahan
(unsur alam).
Parhyangan adalah merupakan jiwa dari pada palemahan (karang desa)
yang tidak bisa dipecah-pecah dengan seluruh aktivitas kehidupan desa.
Palemahan adalah karang desa yang ditentukan secara definitif batas-batasnya,
dan pawongan adalah kerama desa yang merupakan warga desa itu sendiri.
Oleh karena Pura Tirta Empul sebagai tempat suci yang disakralkan,
maka diadakan tata tertib masuk ke dalamnya. Beberapa larangan masuk ke pura
123

yang tertulis dalam awig-awig desa antara lain : dalam keadaan sebel karena
punya kematian, sebel karena kotor kain, sebel karena sakit lepra (gede),
menyusui anak, dan membuang air kecil/besar (wawancara dengan dengan
Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata Tgl. 12 Mei 2010).
Pura Tirta Empul merupakan tempat suci untuk memuja Tuhan dengan
segala manifestasinya. Dengan demikian, upacara untuk menghormati Tuhan/Ida
Sang Hyang Widhi yang dilakukan disini bermacam-macam dan sangat kompleks.
Perkataan upacara artinya sama dengan istilah aci, karya, yaitu suatu istilah yang
umum digunakan untuk menyebutkan upacara yang berlaku pada pura-pura di
Bali. Upacara ini dilaksanakan dengan cara menghaturkan persembahan berupa
upakara, yaitu alat-alat perlengkapan upacara berbentuk saji-sajian dan
perlengkapan kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan
dan kesejahteraan untuk semua makhluk.
Adapun jenis-jenis upacara dilaksanakan di Pura Tirta Empul menurut
Jero Mangku Gde Wenten yang diwawancarai (14 Mei 2010) mengatakan.
Boleh dikata hampir setiap hari di sini (Pura Tirta Empul) ada upacara persembahan yang dilakukan oleh umat yang tidak saja berasal dari Desa Adat Manukaya tetapi juga dari desa-desa lain terutama di Kabupaten Gianyar dan Bangli. Selain itu, setiap hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon upacara rutin diadakan, lebih-lebih belakangan ini banyak sekali umat datang dengan maksud membersihkan diri/melukat, sudah tentu juga ngaturin canang untuk memohon izin serta mengharapkan keselamatan dari Ida Bhatara yang melinggih di pura ini.
Selain upacara sehari-hari, berdasarkan jangka waktu, maka upacara
rutin yang berlangsung di Pura Tirta Empul dilaksanakan setiap 6 bulan (210 hari)
dan setiap satu tahun (420 hari). Upacara setiap 6 bulan adalah upacara ngebekin
yang dilaksanakan bertepatan dengan hari Raya Galungan dan Kuningan.
124

Sebelum upacara ini juga diadakan upacara ngeresigana yang diadakan pada hari
Sugihan Jawa (enam hari sebelum Galungan). Sedangkan upacara setiap satu
tahun adalah upacara petirtaan atau odalan yang dilaksanakan setiap purnama
kapat yang jatuh setiap bulan Oktober. Petirtaan atau odalan pada hakikatnya
adalah hari ulang tahun suatu pura atau hari ulang tahun peresmian (pemelaspas)
bangunan itu. Penyelenggara upacara dilakukan oleh pemangku Pura Tirta Empul
dengan berkoordinasi dengan Bendesa Adat Manukaya.
Pura Tirta Empul juga memiliki fungsi memperkokoh kehidupan
beragama, khususnya agama Hindu. Agama dan kehidupan beragama demikian
kompleks. Untuk memahami fenomena kehidupan beragama, diperlukan
pengetahuan tentang aspek yang dimiliki oleh agama. Koentjaraningrat (1987 :
80) menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurutnya
ada lima komponen religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3)
sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama.
Agama sebagaimana yang difahami, adalah pandangan dan prinsip hidup
yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh
dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap
menyakralkan sesuatu, baik tempat maupun benda. Bagi penganut agama atau
masyarakat yang menyucikan benda sakral, sifat suci pada benda itu tentu
dianggap sifat sungguhan. Benda suci itu dipercaya suci karena punya kelebihan.
Sesuatu yang sakral selalu dipuja, dihormati, disembah, dan diperlakukan dengan
tata cara dan upacara tertentu. Dalam agama, upacara ritual biasa dikenal dengan
ibadah, kebaktian, berdoa atau sembahyang. Sembahyang bagi umat Hindu berarti
125

bersujud atau menyembah kepada yang disucikan, yang dimuliakan sebagai obyek
pemujaan, yaitu Tuhan dengan segala manifestasinya.
Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi
umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Agama pada hakikatnya
menyangkut kepercayaan atau keyakinan suci kepada Tuhan beserta ajarannya
yang selalu dijunjung tinggi dan dalam pelaksanaannya dipakai sebagai pegangan
untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin (Agus, 2006 : 33).
Pada dasarnya agama mempunyai tiga unsur pokok atau tiga kerangka
dasar, yaitu (1) filsafat agama (tattwa), (2) etika (tata susila), dan (3) ritual
(upacara). Filsafat agama adalah yang pertama menjawab persoalan yang
berkaitan dengan dunia ini, baik mengenai asal-usul maupun mengenai nasib
seseorang. Hanya saja filsafat agama memberi semua jawaban dalam bentuk
mitos, wahyu, yang sukar dibuktikan kebenarannya dengan akal. Dalam filsafat
agama biasanya dipaparkan secara teoretis dan filosofis tentang berbagai doktrin
atau ajaran pokok keagamaan, seperti konsep theologi (ketuhanan) beserta sifat-
sifatnya, kosmologi (wujud alam), kosmogoni (terjadinya alam), dewa-dewa, roh
nenek moyang, makhluk halus, dan lain sebagainya. Ajaran pokok keyakinan
biasanya diuraikan secara panjang lebar dan merupakan inti hakikat ajaran agama.
Kerangka kedua adalah etika/tatasusila. Etika adalah tingkah laku yang
berpola diatur oleh aturan-aturan tertentu (norma) sehingga tindakan itu disebut
baik atau buruk. Jadi yang menjadi sasaran etika adalah manusia, khususnya sikap
dan tingkah lakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang disebut baik
126

adalah sesuatu yang dibenarkan menurut agama, sebaliknya apa yang disebut
tidak baik adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Kemudian mengenai ritual/upacara dapat dikatakan sebagai realisasi dari
agama itu yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan
kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, roh nenek moyang, dan
makhluk-makhluk lainnya. Upacara agama berlangsung berulang-ulang, setiap
hari, setiap bulan, tiga bukan, enam bulan, setahun, dan seterusnya. Dalam agama,
upacara ritual ini biasanya disebut ibadah, berdoa, sembahyang. Setiap agama
mengajarkan berbagai macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan pada momen-
momen tertentu. Kecendrungan agama mengajarkan ibadah dalam kehidupan
sehari-hari agar manusia selalu ingat dengan Tuhan.
Agama juga mengatur tindakan manusia, baik dalam hukum maupun
ajaran moral. Hukum dan moral perilaku lahiriah dalam kehidupan sehari-hari
menjadi perhatian hampir setiap agama. Ada makanan dan minuman yang
diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan. Ada perilaku yang
diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan dan diwajibkan. Agama
pada umumnya mengajarkan sikap tertentu dalam kehidupan sehari-hari secara
keseluruhan.
Menurut Durkheim (1965 : 38-42), upacara-upacara ritual dan ibadah
berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat, menghilangkan perhatian
kepada kepentingan individu, serta memperkokoh kehidupan beragama.
Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, dalam konteks ini jelas
127

fungsinya adalah memperkokoh kehidupan beragama, khususnya agama Hindu,
bagi masyarakat Desa Manukaya.
Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai tempat suci pemujaan bagi umat
Hindu, khususnya di wilayah Desa Manukaya. Masyarakat senantiasa memohon
keselamatan dan kesejahteraan di sana dengan cara bersembahyang dan
menghaturkan sesajen pada hari-hari tertentu. Pemanfaatan Pura Tirta Empul
sebagai tempat pemujaan adalah merupakan tujuan dari pelestariannya.
Pelestarian pusaka budaya living monument hendaknya dikaitkan dengan
keamanan dan kegunaannya, sehingga pelaksanaannya bertalian erat dengan
peningkatan kualitas bagi pemakainya.
Sementara itu, kepercayaan keagamaan oleh masyarakat penyungsung
Pura Tirta Empul didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa yang berada di atas alam ini. Tuhan Yang Maha Esa, roh,
tenaga gaib, alam gaib adalah hal-hal di luar alam nyata. Kepercayaan kepada
adanya kekuatan gaib dalam ilmu Antropologi lebih dikenal dengan supernatural
beings, merupakan inti kepercayaan keagamaan.
Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa difahami adalah
pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan atas kepercayaan adanya kekuatan
gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Wujud supernatural pertama
dalam kehidupan beragama adalah kepercayaan kepada adanya Tuhan. Tuhan
dipercaya sebagai yang mahakuasa, mahaadil, mahapenyayang, mahapengasih,
mahasuci, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Hindu, Tuhan Yang Maha Esa
adalah satu, ekam evadvityam brahman (hanya ada satu Tuhan Brahman, tiada
128

duanya). Demikian disebutkan di dalam Mahavakhya yang berarti ungkapan
agung atau wahyu yang utama kitab suci Weda, kitab sucinya agama Hindu.
Selain percaya akan adanya Tuhan, umat Hindu juga percaya dengan
adanya para Dewa yang jumlahnya banyak. Dewa-dewa itu bukanlah Tuhan,
tetapi perwujudan atau personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau
keagungan Tuhan yang mengatur alam semesta, dunia, dan akhirat dengan segala
isinya. Selain itu, roh-roh suci, para Nabi atau Maha Rsi, roh raja-raja, roh orang-
orang yang berjasa dan rohaniawan yang dianggap telah menjadi Dewa. Demikian
juga arwah-arwah leluhur yang telah disucikan dari dosa-dosanya melalui
persembahan suci dan permohonan pengampunan kepada Tuhan. Semua itu
dibuatkan tempat-tempat suci yang disebut pelinggih di pura-pura pemujaan.
Itulah menyebabkan terdapat banyak pelinggih/bangunan sudi di pura pemujaan
di Bali termasuk di Pura Tirta Empul yang pada umumnya berbentuk meru,
gedong, padmasana, dan lain-lain. Kompleksitas pemujaan itulah yang
sesungguhnya merupakan aspek kehidupan budaya, khususnya kehidupan agama,
yang cukup banyak mengikat partisipasi anggota masyarakat di lingkungan desa
adat. Sejumlah upacara dan kegiatan lain yang menunjang kehidupan agama
memerlukan partisipasi dan aktivitas dari sebagian besar warga masyarakat
demikian pula Pura Tirta Empul. Para pengempon pura adalah warga yang
terhimpun dalam sebuah desa adat secara bersama-sama mengorganisasikan dan
menggiatkan upacara di pura yang bersangkutan. Para pengempon pura
melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara,
129

pencarian dana atau biaya upacara, menjaga kesucian pura, membangun dan
memperbaiki bangunan-bangunan/ pelinggih-pelinggih yang ada di pura.
Umat Hindu memfungsikan pura sebagai tempat persembahyangan.
Persembahyangan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan
tulusan akan menumbuhkan rasa cinta kasih pada setiap diri manusia. Rasa cinta
kasih dapat mendorong tenggang rasa/toleransi, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan solidaritas di antara sesama manusia.
4.2.6.2 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Penyucian Diri
Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah
menjadikan Bali sebagai masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian
pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu
suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses
tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan
beragama atau religiusitas masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat
melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan ritual, intensitas
keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan
manusia, dan keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-148).
Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang
mempengaruhi kehidupan manusia masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu
dewasa ini. Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol dan objek diyakini
mempunyai kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan
objek tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan
niskala, sehingga objek tersebut benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat
130

Bali (Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat diamati dalam setiap
kegiatan ritual. Banyak masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius
sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti
kelompok-kelompok spiritual, kelompok tirta yatra, dan sejenisnya.
Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat
kunjungan dari kelompok spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta Empul
sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri (melukat) memungkinkan
masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan prosesi ritual
keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai
dilakukan masyarakat di kolam suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah
orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di kompleks pura tersebut,
mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari
mancanegara.
Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk
menyucikan badan jasmani dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang
dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul, proses melukat yang dilakukan oleh
masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani dan rohani,
tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran
rejeki, keselamatan perjalanan, dan sebagainya.
Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta
Empul (menurut Kakawin Usana Bali) adalah untuk mengobati pasukan para
Dewa dari penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur melawan pasukan
Mayadanawa. Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain
131

menyembuhkan penyakit, juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa
yang sudah mati. Keterangan Kitab Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan
khasiat air suci tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong
masyarakat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan
dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam
kehidupan ini.
Mata air keramat ini tidak pernah kering sepanjang zaman. Dalam
Kekawin Usana Bali disebutkan pula bahwa kolam suci di Pura Tirta Empul juga
sebagai tempat permandian para Dewa serta dilengkapi dengan tempat pemujaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Dewa Pasupati. Mata air
Tirta Empul diciptakan dengan tujuan untuk memelihara alam semesta beserta
isinya, seperti untuk kesuburan alam, pengobatan, pembersihan, dan untuk
upacara keagamaan.
4.2.6.3 Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang
menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan
untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain serta
keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran
budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumberdaya
budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk
melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).
Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya
budaya sebagai modal utama dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata
132

ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya mulai dari seni
pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga
bangunan bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi
wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai kekayaan atau
keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak pribadi
secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus
tentang suatu objek budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat
suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Seperti diketahui
bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik.
Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu
berharap mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang
mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau dari keunggulan
mutu dari benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan
dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan
khas, serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang
ditemukan di dalam pura.
Wisata budaya secara umum bertujuan mendekatkan bangsa-bangsa,
baik pada dimensi kultural maupun kemanusiaannya. Sudah tentu dari segi
penyelenggara pariwisata sendiri yang penting adalah keuntungan yang dapat
diperoleh. Namun untuk menjamin kepercayaan konsumen atau wisatawan, maka
kualitas layanan merupakan prasyarat yang tidak dapat dianggap remeh. Pura
Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, telah berkembang menjadi
daya tarik wisata (lihat Gambar 4.12).
133

Gambar 4.12 Pura Tirta Empul Sebagai Obyek Wisata(Dok. Setiawan, 2010)
Sebagai daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, Pura Tirta
Empul mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Seiring dengan
meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, jumlah kunjungan wisatawan ke
Pura Tirta Empul dalam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah
ini.
Tabel 4.4 Perbandingan Kunjungan Wisatawan Asing di Beberapa Obyek Daya Tarik Wisata Unggulan di Kabupaten Gianyar Tahun 2007-2009.
NoNama Daya Tarik
WisataTahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
1
2
3
Goa Gajah
Tirta Empul
Gunung Kawi
109.668
218.621
71.032
113.418
221.034
65.740
121.067
232.971
67.421Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010.
134

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa Pura Tirta Empul mendapat
kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan dengan daya tarik wisata lain di
Kabupaten Gianyar. Selain faktor keindahan alam, Pura Tirta Empul juga
didukung oleh daya tarik wisata lain yang berdekatan, seperti Pura Mangening
dan Istana Presiden Tampaksiring. Pura Tirta Empul sebagai salah satu
sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar
dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap pengunjung diharapkan
tetap menaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Manukaya Let yang
menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Tirta Empul adalah sebuah
tempat suci. Untuk pengamanan Pura Tirta Empul, siang dan malam dijaga oleh
petugas keamanan secara bergiliran yang ditunjuk berdasarkan aturan yang
menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Para petugas, selain memungut retribusi,
juga menjaga kebersihan, keamanan, serta ketertiban di objek dan daya tarik
wisata.
Untuk membantu umat yang akan melakukan persembahyangan di Pura
Tirta Empul, Desa Adat Manukaya Let menugaskan tiga orang pemangku. Mereka
bertugas secara bergiliran setiap hari mulai sekitar pukul 09.00 hingga 17.00 Wita,
kecuali pada hari-hari tertentu (hari-hari besar Hindu) disesuaikan dengan
kehadiran umat yang datang bersembahyang. Dengan bantuan sejumlah prejuru
adat, pemangku berkewajiban memimpin upacara serta mengawasi semua
kegiatan ritual di pura tersebut.
Selain petugas tersebut, secara khusus Desa Adat Manukaya Let
menunjuk warga untuk menjaga dan mengamankan pura beserta seluruh warisan
135

budaya yang ada di dalamnya. Untuk siang hari, pura ini dijaga oleh enam orang
pecalang, sedangkan di malam hari dijaga oleh sembilan orang pekemit, yang
diatur bendesa adat secara bergiliran. Keberadaan para petugas tersebut di atas
diharapkan dapat menjamin kelangsungan pura sebagai tempat suci dan sekaligus
sebagai daya tarik wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Seorang wisatawan yang selesai berkunjung ke suatu obyek wisata,
termasuk kunjungan ke Pura Tirta Empul, akan memperoleh kesan tertentu
mengenai citra obyek yang dikunjunginya itu. Apabila banyak wisatawan, dan
dari berbagai asal kebangsaan, mendapatkan kesan citra yang sama, maka citra itu
akan benar-benar menjadi citra umum dari bangsa dan negara bersangkutan. Suatu
hasil budaya yang menggambarkan suatu pencapaian tertentu di masa lalu,
umumnya dikagumi. Pencapaian itu dapat dalam hal teknologi, konsep yang
direpresentasikan, nilai keindahan, atau kesemuanya. Pura Tirta Empul
merupakan suatu contoh produk budaya yang memiliki ketiga jenis keunggulan
tersebut.
Dewasa ini Pura Tirta Empul telah menjadi daya tarik wisata budaya
unggulan di Kabupaten Gianyar. Mengingat sifatnya sebagai pusaka budaya,
maka obyek tersebut pada pertamanya harus digarap sebagai sumber ilmu, sumber
belajar, sumber informasi, dan bukan sebagai tempat hiburan (Sedyawati, 2008 :
249). Kalaulah harus memiliki kualifikasi rekreasi, maka haruslah rekreasi yang
bermanfaat dan terjaga tingkat akurasi informasinya. Perlu diingat bahwa
wisatawan tidak semata-mata terdiri dari orang-orang dangkal yang hanya
mencari hiburan. Tidak sedikit di antara mereka mungkin tergolong sebagai
136

special interest tourists yang bepergian ke luar dari tempat tinggalnya untuk
mendapatkan pengetahuan mendalam tentang suatu kebudayaan.
Menurut penjelasan Bourdieu (dalam Barker, 2005), kekayaan budaya
seperti itu oleh masyarakat pemiliknya dapat dijadikan modal budaya (cultural
capital). Masyarakat Desa Manukaya telah mencoba mentransformasikan modal
budaya (baca Pura Tirta Empul) menjadi modal ekonomi (economic capital)
dalam pengembangan pariwisata budaya. Kawasan pariwisata berbasis pusaka
budaya di Desa Manukaya sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa
komponen industri pariwisata.
Sebagai daerah wisata, desa ini tidak hanya memiliki kekayaan pusaka
budaya Pura Tirta Empul, tetapi juga berbagai komponen industri pariwisata
lainnya. Hanya, Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya di desa ini dapat
dikatakan modal terpenting kepariwisataan, sehingga tetap membutuhkan
berbagai komponen industri pariwiasta lainnya. Hal ini membutuhkan kerjasama
bisnis pariwisata dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal
pengembangan pariwisata, merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam
posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan daerah. Untuk itu, proses
tersebut dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara
sengaja dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi
barang dagangan yang siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami
proses komodifikasi karena menjadi komoditas. Menurut Barker (2005 : 408),
137

komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.
Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama
terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan dengan pariwisata budayanya,
menjadi penanda penting posmodernitas.
138

BAB V
PROSES KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL DALAM
KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada pembahasan mengenai
masalah bagaimana proses terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa
Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. Untuk mendapatkan pemahaman yang
berkaitan dengan hal tersebut, maka analisis pembahasan menggunakan teori
komodifikasi.
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dijelaskan
mengenai istilah proses. Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1988 : 703) berarti runtunan perubahan peristiwa dalam perkembangan sesuatu,
atau rangkaian tindakan, pembuatan/pengolahan yang menghasilkan produk.
Perkembangan sesuatu yang dimaksud di sini adalah komodifikasi Pura Tirta
Empul menjadi produk komoditas. Dalam kerangka pikir Fairclough komodifikasi
tidak hanya menyangkut produksi, tetapi juga distribusi dan konsumsi. Meminjam
kerangka pikir Fairclough tersebut, analisis proses komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam penelitian ini menyangkut proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
Produksi adalah barang, dalam hal ini produk budaya Pura Tirta Empul yang
dihasilkan dari suatu sistem yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai
tukar. Distribusi adalah menyalurkan atau mempromosikan produk budaya agar
diketahui masyarakat, dan konsumsi adalah pengguna atau pemakai suatu produk
(budaya).
139
138

5.1 Proses Produksi Pura Tirta Empul
5.1.1 Awal Komodifikasi
5.1.1.1 Gejala Komodifikasi
Masyarakat Desa Manukaya sebagaimana umumnya masyarakat Bali
cenderung menjalankan kehidupannya ke sisi religius. Nilai religiusitas ini
diasumsikan dapat membangun sikap pikir yang selalu berusaha menemukan
keseimbangan terhadap alam sekitarnya. Sikap ini dilandasi oleh kesadaran bahwa
alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain terkait dan
membentuk sistem kesemestaan. Totalitas alam yang demikian itu memiliki
kekuatan untuk menarik orientasi religi manusia agar selalu menyesuaikan diri
dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan
yang mengitarinya. Mereka pada umumnya senantiasa ingin menciptakan suasana
kedamaian dan ketentraman, tidak saja sesama makhluk, namun juga terhadap
elemen-elemen alam raya.
Pola pemukiman masyarakat Desa Manukaya yang berbasis kosmologi
semacam itu tidak saja dipedominya dalam menjalankan kehidupan sosialnya,
tetapi juga ketika memutuskan untuk membangun suatu bangunan dalam ruang
tertentu. Dalam kawasan yang lebih luas, topografi kawasan pedesaan tradisional
Bali, misalnya masih dapat dilihat adanya pengejawantahan konsep keseimbangan
tri hita karana yang membawakan pesan filosofis. Konsep filosofis tri hita
karana menghendaki adanya hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan
ketuhanan. Bagus (1996 : 32) menyebutkan bahwa keterkaitan tersebut telah
140

mengikat masyarakat, yang kemudian melahirkan berbagai bentuk kegiatan dan
kreativitas dalam wujud budaya agraris.
Persoalannya kemudian ketika industrialisasi pariwisata masuk ke
kawasan wisata, termasuk Pura Tirta Empul, tentulah terdapat nilai-nilai baru
yang terbawa oleh industrialisasi pariwisata dan mempengaruhi prilaku sosial
ekonomi masyarakat setempat. Sebagai desa agraris yang kini sedang mengalami
dinamika sosial, penduduk Desa Manukaya tetap mengkonsepsikan diri bahwa
desa adalah bagian dari dirinya sendiri. Persepsi loyalitas etnis ini menyebabkan
mereka memandang semua warga desa adalah keluarga. Perwujudan dari perasaan
bersama itu dituangkan melalui adanya pusat orientasi bersama berupa tempat
pemujaan, yaitu Pura Tirta Empul. Sebagai pusat orientasi bersama, maka semua
warga dapat dikelompokkan ke dalam satu wilayah yang disebut desa adat.
Perkembangan tata nilai tersebut dipengaruhi oleh adanya transformasi budaya
dari budaya agraris ke sektor pariwisata/industri. Perubahan dalam masyarakat
dan kebudayaan terjadi pesat sejak Bali menjadi pusat pengembangan pariwisata
(Bagus, 1980 : 297).
Sejalan dengan proses komodifikasi, produk budaya Pura Tirta Empul
sebagai salah satu bagian dari ikon budaya masyarakat Desa Manukaya pun
mengalami dinamika dalam dialektika sakral dan profan. Di satu sisi masyarakat
dengan berbagai komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh
berbagai faktor, khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan,
menjadikan masyarakat pendukung budaya Pura Tirta Empul dilematis.
141

Kedatangan para wisatawan dengan berbagai latar belakang budaya ke
Pura Tirta Empul sesungguhnya secara tidak langsung telah menggeser nilai-nilai
sakral ke nilai profan. Pergeseran Pura Tirta Empul dari sakral ke profan tidak
dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui suatu proses pertentangan-pertentangan,
sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Selanjutnya, jika dikaitkan
dengan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta terbukanya akses-akses pengaruh luar terhadap pandangan hidup masyarakat
Desa Manukaya, maka perlahan-lahan, disadari atau pun tidak, mulai terjadi
pergeseran nilai-nilai tradisi.
Sesuatu dikatakan sakral terkait dengan Pura Tirta Empul di Desa
Manukaya, dibangun dan berkaitan dengan adanya klasifikasi terhadap eksistensi
Pura Tirta Empul yang lebih menekankan fungsi ritual daripada fungsi lainnya
sebagai produk budaya yang hanya memenuhi tuntutan wisatawan dan selera
pasar. Namun demikian, jika tetap mempertahankan nilai kesakralan, maka lambat
atau pun cepat akan ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Hal itu terjadi sebagai
akibat proses globalisasi yang tidak bisa dihindari melanda seluruh penjuru dunia.
Potensi budaya yang dimiliki Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, masuk
ke dalam industri budaya.
Strinati (2003 : 67-68) memberikan penjelasan bahwa masuknya produk
budaya ke dalam industri budaya, berarti dia tunduk kepada hukum ekonomi
sehingga dia berubah menjadi budaya massa. Perubahan ini berimplikasi terhadap
aura kebudayaan yang tidak lagi mengikuti kehendak pembuatnya, tetapi tunduk
kepada mekanisme pasar. Akhirnya produk budaya terlepas dari pengalaman
142

estetis dan terkena fetisisme komoditi sehingga nilai gunanya dilepaskan, diganti
dengan nilai tukar.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa gejala yang
tampak pada Pura Tirta Empul pada dasarnya mencerminkan produk budaya itu
telah masuk ke dalam industri budaya. Gejala ini berkaitan dengan motif mencari
keuntungan atau usaha memanfaatkan kebudayaan sebagai modal budaya menjadi
modal ekonomi, sehingga komodifikasi terhadap Pura Tirta Empul tidak
terhindarkan. Kesemuanya ini tidak bisa dilepaskan dari keinginan masyarakat
untuk mendapatkan uang. Uang sangat penting, karena globalisasi mengakibatkan
manusia terjerat pada ideologi pasar.
Kondisi ini menjangkit masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta
Empul. Hal ini berkaitan pula dengan perubahan yang dialami oleh masyarakat,
yakni dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, bahkan lebih jauh lagi,
yakni masyarakat pascamodern atau pascaindustri. Bersamaan dengan itu maka
masyarakat pun terjangkit pemikiran modern, yakni apa yang bisa dikomodifikasi
termasuk modal budaya guna mendapatkan uang.
5.1.1.2 Kreativitas Memperindah Pura
Proses komodifikasi sebagai dasar pengembangan pariwisata Pura Tirta
Empul tidak terlepas dari semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke pura
tersebut. Komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses produksi, distribusi,
dan dalam berbagai bentuk konsumsi, baik sebagai satu kesatuan elemen budaya,
maupun komodifikasi pada unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari Pura
Tirta Empul. Produksi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif sendiri dan secara
143

kelembagaan dengan adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya
memperindah dan melestarikan sebuah produk budaya. Sejak kedatangan pada
wisatawan, Pura Tirta Empul menjadi kajian yang tiada habisnya. Demikian juga
ketika Pura Tirta Empul dijadikan daya tarik wisata, Pura Tirta Empul lebih
dikenal sebagai tempat yang indah, perpaduan antara tempat suci yang agung dan
pertamanan yang layak untuk dikunjungi.
Menarik untuk dikaji, yang terjadi di Pura Tirta Empul, termasuk
tradisionalisasi, tidak terlepas dari pengaruh pariwisata. Segala sesuatu yang
terjadi di Pura Tirta Empul selalu dibungkus dalam wacana tradisi dan
kebudayaan, yang justru selama ini dianggap harus dilestarikan daripada disikapi.
Pembangunan dan pariwisata pada akhirnya mereduksi kebudayaan menjadi
sebuah benda, objek berharga, yang bisa diberi merk dagang dan dijual kepada
wisatawan melalui jalur pariwisata budaya. Akhirnya masyarakat pemilik
kebudayaan melakukan tradisionalisasi diri, menyesuaikannya dengan
”permintaan pasar” dengan tujuan untuk mendapat keuntungan finansial dari
pariwisata.
Terkait dengan hal itu dan seirama dengan perkembangan pariwisata,
Pura Tirta Empul lalu ditata, dikembangkan atau direproduksi sehingga semakin
menarik untuk dikunjungi. Renovasi dilakukan secara bertahap, mulai dari
pelinggih-pelinggih (bangunan suci) di halaman pura, kolam suci, bale wantilan,
pertamanan di depan pura, dan perluasan parkir.
Dalam kaitan ini, Made Mawi Arnata yang diwawancarai (26 April
2010) mengatakan :
144

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkali-kali mengalami renovasi sesuai dengan kemampuan masyarakat pengempon pura, mulai dari hanya mengganti atap bangunan dari alang-alang dengan ijuk, mengganti bahan-bahan kayu yang rusak dengan kayu yang lebih berkualitas. Demikian pula memperbaiki kembali pura yang bahannya sudah aus dengan bahan baru yang lebih modern serta penambahan berbagai variasi berupa ragam hias sesuai dengan kreativitas para undagi untuk memperindah pura. Sudah tentu penambahan berbagai jenis ragam hias ini disesuaikan dengan peruntukan serta nilai-nilai simbolis yang terkandung di dalamnya sehingga tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam Kitab Asta Kosala Kosali.
Untuk renovasi bangunan suci diperlukan perancang ahli dan pelaksana
yang mampu mewujudkan gagasan dan ide ke dalam bentuk bangunan.
Penentuan bentuk bangunan, pengumpulan bahan, dan tenaga pekerja merupakan
langkah-langkah persiapan untuk renovasi bangunan. Dalam proses pelaksanaan
suatu bangunan, setiap langkah harus disertai atau didahului oleh suatu upacara.
Penyusunan rencana kerja pada tahap persiapan diawali dengan musyawarah
anggota penyungsung/penyiwi pura. Langkah-langkah pelaksanaan disesuaikan
pula dengan kemampuan, keadaan, dan peraturan adat untuk suatu bangunan.
Rancangan untuk mewujudkan ide dimusyarawahkan dengan undagi dan
sangging. Demikian pula untuk ragam hiasnya. Penentuan hari baik atau dewasa
ayu dalam proses reproduksi bangunan dimusyawarahkan dengan pengarah
upacara, yaitu Pedanda, Pemangku dan tukang banten yang akan membuat
banten sebagai sarana upacara.
Untuk bangunan, lebih-lebih bangunan suci, selain memenuhi
persyaratan fisik juga harus memenuhi persyaratan tataguna dan penempatan
sesuai dengan macam dan fungsi bangunan. Untuk keserasian hubungan dengan
manusia dan alam, pengadaan bahan berusaha memilih bahan-bahan dari alam
145

sekitarnya. Batu bata sebagai batu buatan dan batu alam dari berbagai jenis
dipasang dalam keadaan telanjang untuk bebaturan atau dinding tembok. Kayu,
bambu, ijuk, genteng, juga dipasang telanjang agar menampakkan warna alam
atau warna aslinya. Pemantapan estetika dalam bangunan tradisional terletak pada
proporsi, komposisi, ragam hias, dan pemakaian bahan. Keindahan bangunan
adalah keselarasan bangunan, manusia, alam, dan lingkungan (Gelebet, 1986 :
126).
Ragam hias pada bangunan-bangunan tradisional umumnya
menampakkan warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam. Untuk
bentuk-bentuk lelengisan dan pepalihan, keindahan warna alam merupakan
penonjolan keindahan hiasan. Keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung
oleh keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau jenis-jenis kayu
yang diukir. Hitamnya batu bazolt, merah bata, kelabunya batu padas merupakan
pokok-pokok warna yang dapat divariasi dalam berbagai kombinasi. Warna
buatan sebagai pewarna hiasan pada bentuk-bentuk hiasan memakai warna pokok,
biru, merah, kuning, dan hijau. Hitam dan putih juga merupakan warna yang
digunakan untuk mempermuda atau mempertua warna dalam suatu susunan irama
warna.
Bentuk-bentuk hiasan yang dilukiskan dengan pewarnaan umumnya
menggunakan warna kontras. Pewarnaan pepulasan memakai dua warna, yaitu
warna dasar dan warna yang di pulaskan di atas bidang pulasan. Warna kuning
perade emas sebagai warna pulasan di atas kayu diberi warna-warna pokok.
Merah, biru, hijau, jingga, hitam merupakan warna dasar dipulas dengan warna
146

kuning emas perade atau perade gede. Hampir semua bangunan suci di halaman
dalam Pura Tirta Empul, terutama bagian konstruksi kayunya yang berukir
dipulas dengan perade, sehingga kelihatan sangat indah dan agung, seperti
Gambar 5.1 dibawah ini.
Gambar 5.1 Konstruksi Kayu Berukir Dengan Pulasan Perada Untuk Memperindah Pura(Dok. Setiawan, 2010)
Selain bangunan suci, kolam suci juga telah dimodifikasi. Modifikasi
kolam suci ini diawali dengan perbaikan dinding pada ke empat sisi. Batu-batu
lama yang kebanyakan telah aus diganti dengan batu-batu baru yang merupakan
batu-batu alam yang lebih keras. Bebaturan dibuat dengan pasangan batu tegak
sebagai tepi lantai di atas pasangan pondasi dasar bebaturan. Pasangan tegak tepi
bebaturan juga merupakan pondasi pasangan dinding tembok kolam. Tangga
naik dengan lebar atampak ngandang dibuat pada sisi-sisi arah naik turun dari
147

halaman ke kolam atau dari kolam ke halaman. Bagian lantai dasar kolam diisi
kerikil atau batu-batu kali warna hitam yang sangat keras. Sejumlah pancoran
tampak juga ada berbagai hiasan dengan beberapa varian-varian ukiran untuk
memperindah. Tahap akhir dari pekerjaan konstruksi adalah penyelesaian bagian-
bagian konstruksi yang memerlukan penyelesaian akhir. Menghias dinding
tembok kolam, menghaluskan elemen-elemen konstruksi, dan merapikan sudut-
sudut kolam. Untuk bagian-bagian elemen yang dihias, ragam hias juga
dikerjakan pada tahap penyelesaian sebagai tahap akhir.
Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, dan penempatannya semua
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan dibentuk dalam pola-pola
yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari sebuah
bangunan atau elemen-elemen yang memerlukannya. Benda-benda alam yang
dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakkan identitas walaupun diolah
dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahan. Estetik, etika, dan logika juga
merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah, dan
menempatkan ragam hias. Secara umum, ragam hias yang digunakan untuk
memperindah bangunan suci (baca Pura Tirta Empul) adalah flora, fauna, dan
alam (Gelebet, dkk., 1986 : 331).
1. Flora
Motif-motif flora ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan
bidang dalam bentuk pahatan relief. Cerita-cerita pewayangan, legenda, dan
kepercayaan yang dituangkan ke dalam pahatan relief umumnya dilengkapi
dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan untuk menunjang
148

penampilannya. Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam
bentuk simbolis dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan yang sagat indah.
Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan kompleks
Pura Tirta Empul dari jenis-jenis flora umumnya dipahatkan pada kekarangan dan
pepatraan. Kekarangan umumnya menampilkan suatu bentuk hiasan yang
berusaha mendekati bentuk-bentuk flora dengan penekanan pada bagian-bagian
keindahan. Ada tiga jenis kekarangan yang tampak pada bangunan-bangunan suci
di Pura Tirta Empul, yaitu karang simbar, karang bunga dan karang suring.
Karang simbar adalah suatu hiasan rancangan yang menyerupai tumbuh-
tumbuhan dengan daun terurai ke bawah (simbar manjangan). Karang simbar
dipakai untuk hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu sebuah
bangunan. Karang bunga adalah suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga
dengan kelompok dan sehelai daun, yang juga digunakan untuk hiasan sudut-
sudut bebaturan atau hiasan tonjolan bidang-bidang tertentu. Sedangkan karang
suring adalah suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus
yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh dalam bentuk singa bersayap
(Ardana, dkk., 1993 : 108).
Tentang pepatraan yang menghias bangunan suci Pura Tirta Empul juga
banyak didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora. Ragam hias yang
tergolong pepatraan merupakan pola berulang yang dapat diwujudkan dalam
pola berkembang. Masing-masing pepatraan memiliki identitas yang kuat untuk
penampilannya, sehingga mudah diketahui.
149

Gambar 5.2 Hiasan Patra Punggel Pada Pelinggih di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan 2010
Beberapa jenis pepatraan yang dapat diamati antara lain (1) patra sari,
(2) patra punggel, (3) patra samblung, dan (4) patra sulur. Patra sari bentuknya
menyerupai flora dari jenis daun berbatang jalar melingkar timbal balik berulang.
Penonjolan sari bunga merupakan ciri khas patra ini. Daun-daun dan bunga-bunga
dilukiskan melalui batang yang melingkar merupakan pola-pola identitas yang
mudah dikenali. Patra punggel umumnya mengambil bentuk dasar liking paku,
yaitu sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun pohon paku (lihat Gambar
5.2). Bagian-bagiannya ada yang disebut batun poh, kuping guling, util, sebagai
identitas patra punggel. Pola patra ini merupakan pengulangan dengan lengkung
timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut atap bangunan. Patra punggel
paling banyak digunakan, selain bentuknya yang murni dan utuh, patra ini pada
umumnya melengkapi segala jenis dan bentuk kekarangan. Patra samblung
150

umumnya berbentuk pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk
samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dihias
lengkung-lengkung yang sangat harmonis. Serupa dengan patra samblung, ada
pula patra olanda, patra Cina, patra Bali yang banyak menghias bangunan suci
Pura Tirta Empul. Terakhir adalah patra sulur. Patra ini melukiskan pohon jalar
jenis beruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun berulang-ulang.
2. Fauna
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk
kekarangan yang merupakan pola tetap, relief dan patung yang bervariasi dari
berbagai macam binatang. Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya
mengambil jenis kera dari cerita Ramayana.
Gambar 5.3 Hiasan Karang Gajah pada bagian sudut bebaturan bangunan suci(Dok. Setiawan, 2010)
151

Gambar 5.4 Hiasan Karang Goak(Dok. Setiawan, 2010)
Ukiran fauna pada bidang relief di dinding, panil, umumnya berbentuk
cerita rakyat, legenda, dan Cerita Tantri dari dunia binatang. Ragam hias dari
jenis-jenis fauna umumnya mengandung arti dan maksud edukatif konstruktif
(Gelebet, 1986: 372). Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai
materi hiasan dalam bentuk kekarangan dan patung. Ragam hias kekarangan
fauna yang banyak ditemukan di Pura Tirta Empul adalah bentuk gajah, burung
goak, dan binatang-binatang khayal. Karang gajah/asti (Gambar 5.3) mengambil
bentuk gajah yang diabstrakkan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan
dengan bentuk kekarangan. Karang asti melukiskan kepala gajah dengan belalai
dan taring gadingnya bermata bulat. Sesuai dengan kehidupan gajah, karang asti
ini ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah
152

bangunan. Tentang karang goak (Gambar 5.4), bentuknya menyerupai kepala
burung gagak/goak. Karang goak digambarkan paruh atas bertaring, gigi runcing,
dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan burung gagak sebagai binatang
bersayap, hiasan karang goak ini ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di
bagian atas sebuah bangunan.
Karang goak umumnya disatukan dengan karang simbar dari jenis flora
yang ditempatkan di bagian bawah karang goak. Terakhir adalah ragam hias
fauna yang mengambil bentuk binatang, yaitu karang boma dan karang sae.
Karang boma berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap
dengan hiasan dan mahkota yang diambil dari cerita Bomantaka. Karang boma
ada yang tanpa tangan dan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan
dengan jari-jari mekar. Karang boma di Pura Tirta Empul dilengkapi dengan
patra punggel, ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu masuk sebuah
kori agung. Sedangkan karang sae berbentuk kepala kelelawar raksasa bertanduk
dengan gigi-gigi runcing. Seperti halnya karang boma, karang sae dilengkapi
dengan hiasan flora patra punggel.
Mengenai ragam hias fauna yang berbentuk patung umumnya
mengambil bentuk-bentuk burung dan binatang, misalnya burung garuda,
binatang singa, dan naga. Patung Garuda sebagai ragam hias dibuat dengan sikap
tegak siap terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Patung ini ditempatkan
pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak
atap bangunan. Patung singa berwujud seekor singa bersayap. Fungsinya sama
dengan patung Garuda untuk sendi alas tugeh. Sedangkan patungnya merupakan
153

perwujudan ular naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong
leher, anting-ating telinga, rambut terurai, rahang terbuka, taring gigi runcing, dan
memiliki lidah api bercabang. Patung naga (Gambar 5.5) digambarkan dalam
sikap tegak, bertumpu pada dada, ekor menjulang ke atas, dan gelang permata di
ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit
tangga menghadap ke depan, dan lekuk-lekuk ekornya mengikuti tingkatan tangga
ke arah atas. Pemakaian patung naga sebagai pengapit tangga digunakan pada
tangga bangunan suci sebagai tempat pemujaan.
Gambar 5.5 Ular Naga Sebagai Hiasan Simbolik Pada Bangunan Suci(Dok. Setiawan, 2010)
3. Alam
Ragam hias alam sebagai ungkapan keindahan banyak dijumpai pada
bangunan-bangunan suci di kompleks Pura Tirta Empul. Ragam hias alam adalah
154

perwujudan yang alamiah dan naturalis benda-benda alam yang tampak di alam
raya ini. Berbeda dengan pepatraan yang menampilkan keindahan bagian-bagian
flora dan fauna, alam sebagai ragam hias umumnya ditampilkan dalam keadaan
lengkap sebagaimana adanya di alam ini, misalnya pohon kayu digambarkan
lengkap dengan akar-akarnya, batang, cabang, dan daun-daunnya. Benda-benda
alam sebagai hiasan diwujudkan sebagaimana adanya sesuai dengan kebebasan
kreativitas para seniman atau sangging.
Nama-nama ragam hias alam diambil dari nama unsur yang menjadikan
adanya alam beserta isinya, misalnya air, api, awan, gunung, kekayuan, dan lain-
lain. Air dalam penampilannya sebagai ragam hias berwujud sebagai kolam/
telaga, danau, sungai, dan laut. Dalam penampilannya, ragam hias air biasanya
dilengkapi dengan ragam hias yang lain, seperti pepohonan, bebatuan, atau ikan-
ikan yang berada dalam air. Demikian juga ragam hias yang memperlihatkan
suasana di udara menampilkan awan yang ada di langit, atau suasana pegunungan
dengan berbagai pepohonan sering dijumpai dalam relief-relief bangunan suci.
Kayu-kayu sebagai isi alam merupakan ragam hias naturalis yang melukiskan
keadaan yang sebenarnya dan pada umumnya ragam hias ini melengkapi
penampilan suatu cerita dalam bentuk relief.
Ragam hias yang diambil dari alam, perwujudannya mendekati keadaan
yang sebenarnya dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, dan pepulasan. Ragam
hias dalam bentuk ukiran dibuat dalam dinding yang relatif luas. Pasangan batu
padas sebagai dinding tembok di Pura Tirta Empul diukir dengan menampilkan
cerita-cerita yang dilatarbelakangi keadaan alam. Bentuk-bentuk ukiran relief
155

dengan materi alam disesuaikan dengan imajinasi dan kreasi para sangging sesuai
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya.
Alam sebagai materi ragam hias ada pula yang ditampilkan dalam
bentuk tatahan. Pada bentuk-bentuk ukiran relief, penampilan tiga dimensi dari
satu sisi memungkinkan penampilan yang lebih jelas. Bentuk tatahan memperjelas
penampilan dengan warna kontras atau gelap terang. Hiasan yang mengambil
materi dari unsur-unsur alam juga dibuat dengan bentuk-bentuk pepulasan. Pada
bentuk-bentuk pepulasan bahan pewarna tidak diharuskan sama dengan warna
benda alam yang dijadikan materi hiasan. Pepulasan dengan komposisi beberapa
jenis mengutamakan keindahan dan kemegahan dan tidak sepenuhnya menyamai
warna alam.
Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya
ditempatkan sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dalam bangunan
suci mengandung arti dan maksud-maksud tertentu, antara lain sebagai unsur yang
membangun keindahan, ungkapan simbolis, dan sebagai media pendidikan dan
komunikatif. Berbagai jenis hiasan yang menghias sebuah bangunan dimaksudkan
untuk memperindah penampilannya. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat
mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan
tampak lebih indah, agung, megah, dan menyegarkan. Sementara itu, ragam hias
untuk ungkapan simbolis dapat mengungkap simbol-simbol yang terkandung di
dalamnya. Penampilan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan
simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Beberapa jenis
hiasan fauna, seperti berdawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan
156

di bumi dijadikan dasar bangunan tepasana di Pura Tirta Empul. Demikian juga
patung singa bersayap, gajah sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan. Terakhir
adalah ragam hias sebagai alat komunikasi dan edukatif. Dengan bentuk hiasan
yang dikenakan pada bangunan tertentu dapat memberi informasi dari hiasan-
hiasan tersebut. Ragam hias dari jenis-jenis fauna misalnya, bagian-bagian cerita
Tantri sebagai legenda yang telah memasyarakat mengandung arti dan maksud
edukatif konstruktif.
Sesungguhnya banyak cerita-cerita Tantri yang digunakan sebagai ragam
hias suatu bangunan mengandung arti dan maksud edukatif. Cerita-cerita wayang
Mahabharata dan Ramayana yang dipahatkan pada relief juga mengandung
maksud-maksud edukatif, yaitu menanamkan pengertian kebenaran,
kepahlawanan, dan sikap hidup sesuai ajaran agama. Falsafah keagamaan atau
nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam bentuk
perwujudan ragam hias pada bangunan suci. Tata cara penempatan, fungsi, dan
bentuk penampilannya memperhatikan ketentuan-ketentuan etika yang berlaku
dalam agama Hindu. Dengan kata lain, sebagai pelengkap, peralatan, dan sarana
keagamaan, ragam hias juga menerapkan nilai ajaran agama dan kepercayaan
dalam berbagai bentuk perwujudan simbolis.
5.1.2 Komodifikasi Pura Tirta Empul Tahun 1980-an Sampai Sekarang
5.1.2.1 Komodifikasi Tahun 1980-an
Dalam rentang waktu sejak tahun 1980-an Pura Tirta Empul sebagai
tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Perkembangan Pura Tirta Empul itu tampaknya sangat berkaitan erat
157

dengan perkembangan kepariwisataan di daerah Bali yang menuju kearah
modernisasi. Dalam proses modernisasi yang didorong pula oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan
yaitu komersialisasi produk budaya, yang sebelumnya hanya untuk kepentingan
upacara, sekarang sudah berorientasi pada pasar. Berbicara masalah modernisasi,
memang mencakup pengertian yang sangat luas, termasuk pembangunan dan
pengembangan budaya secara fisik, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran
dalam pola-pola akupasi masyarakat. Terkait dengan Pura Tirta Empul, pada
mulanya masyarakat hanya berorientasi pada kepentingan agama dan
kepercayaan, tetapi karena berbagai kemajuan seperti transportasi, sehingga
mereka berubah kepada kegiatan perdagangan serta berorientasi kepada pasar
(Geriya, 2008 : 103).
Dalam dekade sejak tahun 1980-an perkembangan di bidang
kepariwisataan di Bali sangat berpengaruh terhadap aspek mobilitas sosial yang
ditandai oleh meningkatnya mobilitas penduduk, baik antar daerah maupun antar
negara. Proses transformasi ini sangat meluas dan membesar melalui fenomena
globalisasi dengan substansi yang berintikan empat revolusi utama (four
revolutions), yakni telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata
(Abdullah, 2007 : 29-30). Transformasi ini berangkat dari sistem fisik dan lahirlah
menembus dengan sangat pesat ke dalam tataran kelembagaan dan sistem nilai
sampai menyentuh jiwa kebudayaan Bali.
Pada tataran fisik, berkembang pesat berbagai kegiatan konstruksi,
rekonstruksi, renovasi bangunan. Pembangunan kebudayaan lebih diwujudkan
158

melalui pembangunan sarana dan pelestarian artefak dibandingkan dorongan
kreativitas budaya, revitalisasi nilai-nilai dasar dan konstruksi nilai-nilai baru
yang cocok bagi kemajuan peradaban. Demikian pula pembangunan agama
menekankan pembangunan tempat ibadah dibandingkan usaha pendalaman
kesradaan.
Pada tataran ideal, nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi dari
lingkungan dan perspektif materialisme atau komersialisme, sehingga
memanifestasikan fenomena keserakahan dan feodalisme baru. Pada hakikatnya
transformasi membuka peluang secara sangat luas dan beragam yang terkait
dengan kemajuan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dengan kata lain, di satu
pihak membuka berbagai peluang yang bersifat ekonomi, teknologi, sosial, dan
kultural, serta di pihak lain membawa ancaman komersialisme, materialisme, dan
individualisme.
Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Bali tidaklah hanya milik
orang Bali saja, karena yang mencitrakan Bali sebagai daerah tujuan wisata
adalah perpaduan yang khas antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreaktivitas
seni. Sehingga berkat keterpikatan wisatawan terhadap Bali, kebudayaan yang
merupakan salah satu modal utama harus dimanfaatkan, dipasarkan,
dipromosikan, di pasaran pariwisata internasional, termasuk di antaranya adalah
Pura Tirta Empul.
Dalam kaitan dengan hal ini, Picard (2006 : 270) menyatakan sebagai
berikut.
159

”Bagaimanapun juga, justru adanya peralihan dari nilai warisan ke nilai modal yang memungkinkan wacana pariwisata budaya memperoleh pembenaran dengan memberi prioritas kepada pengembangan pariwisata, oleh karena kini pariwisata yang dianggap mampu membina kebudayaan yang melandasi perkembangannya. Sebetulnya, meskipun berkali-kali dilontarkan pernyataan bahwa nilai-nilai budaya tidak akan dikorbankan demi kepentingan industri pariwisata, ternyata instansi-instansi Bali justru menyerukan kepada masyarakat agar melestarikan kebudayaannya oleh karena nilai ekonomi modal pariwisata Bali sangat tergantung pada nilai kultural warisan budayanya, atau dengan perkataan yang lebih gamblang, untuk lebih banyak menarik wisatawan datang ke Bali. Dan kebudayaan yang dimaksud di sini bukan lagi warisan budaya, tetapi sudah merupakan modal pariwisata, karena dia tidak berubah dari suatu nilai budaya yang harus dipertahankan menjadi nilai ekonomi yang harus dibuat berlimpah- ruah”.
Pariwisata budaya tampak sebagai suatu ragam pariwisata yang
melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang
mengembangkan budaya. Sumberdaya yang dapat dikelola adalah kebudayaan
dan jenis produk yang dapat dipasarkan adalah produksi-produksi seni, upacara,
dan pusaka budaya yang telah mengangkat reputasi Pulau Bali di mata para
pengunjung.
Wisatawan yang mengunjungi Bali diajak ke desa-desa yang merupakan
pusat-pusat yang sesungguhnya dari kebudayaan Bali tradisional. Wisatawan
diajak menyaksikan kegiatan budaya “asli Bali”. Kegiatan tersebut umpamanya
terdiri dari berbagai perayaan dan upacara, seperti upacara di pura, arak-arakan,
upacara pembakaran mayat yang menyajikan tontotan serba megah yang amat
menarik. Dengan menarik wisatawan untuk mengunjungi desa-desa pedalaman,
diharapkan para wisatawan memberikan sumbangan nyata pada pembangunan
merata di Pulau Bali.
160

Demikian juga, melalui kekayaan pusaka budaya yang penuh dengan
nilai sejarah, termasuk di antaranya Pura Tirta Empul, merupakan potensi
pariwisata yang luar biasa. Namun demikian, pariwisata budaya bukanlah sekedar
cara untuk memenuhi harapan wisatawan yang mencari kegiatan-kegiatan budaya
asli, tetapi juga diusahakan suatu perlindungan sejenis benteng untuk
menempatkan kebudayaan di luar jangkauan sentuhan komersialisasi budaya.
Karena dalam proses pencampuran itu terdapat benih penodaan dan pencemaran
budaya, yang pada akhirnya akan berpeluang menghilangkan identitas (Ardika,
1995 : 7 ; Pitana, 1997 : 18).
Untuk menghindari ancaman “polusi budaya” masyarakat Manukaya
hendaknya memperkuat lembaga-lembaga adat dan keteguhan moral, dengan
pengertian bahwa semakin kokoh landasan pijakan, dalam hal ini dasar religius
yang menjadi jatidiri, semakin teguh pula sikap dalam menghadapi godaan-
godaan yang ditimbulkan oleh uang para wisatawan.
Selain itu, kesadaran tentang betapa tingginya nilai pusaka budaya Pura
Tirta Empul harus lebih dipertajam, sehingga orang merasa berkepentingan
melindunginya. Ajaran agama harus dikembangkan agar dapat meningkatkan
pemahaman tentang landasan filsafat dan upacara-upacara yang sangat semarak.
Harus disadari bahwa kegiatan seni berasal dari agama. Apabila semangat dan
pemahaman religius berhasil ditanamkan, diharapkan makin sedikit orang
dipengaruhi oleh materialistis yang lazim dilakukan para wisatawan terhadap
pura-pura dan upacara-upacara lainnya.
161

Usaha membedakan mana yang termasuk budaya dan mana yang
tergolong pariwisata hendaknya difahami oleh masyarakat. Intisari budaya
senantiasa diusahakan berada di luar jangkauan wisatawan, sedangkan yang dapat
diberikan hanyalah “kulit” budayanya.
Akhirnya masalah yang dihadapi orang Bali adalah sejauh mana nilai-nilai budaya mereka dapat diukur dengan takaran ekonomi. Bila mereka tidak mampu membedakan apa yang termasuk budaya dan mana yang tergolong pariwisata, mereka menanggung resiko tidak mampu juga memisahkan nilai-nilai mereka dari nilai-nilai wisatawan. Dan seandainya itu terjadi, pertanda budaya Bali sudah menjadi “kebudayaan pariwisata”, yaitu suatu situasi gamang di mana nilai budaya dan nilai pariwisata bercampur aduk (Picard, 2006 : 199).
Untuk menghindari budaya berubah menjadi kebudayaan pariwisata,
dianjurkan agar sebagian dari keuntungan yang didapat dari industri pariwisata
dipakai untuk usaha pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Hal itu berarti harus
meyakinkan perusahaan-perusahaan pariwisata, bahwa mereka juga
berkepentingan menanam modal dalam sektor kultural, demi melestarikan
sumberdaya. Berkat sumber pembiayaan itu, pusaka budaya Pura Tirta Empul
tetap tegak dan lestari, upacara-upacara agama serta pertunjukkan-pertunjukkan
terkait lainnya akan dapat diselenggarakan dengan megah, sehingga para
wisatawan akan lebih banyak jumlahnya datang guna menyaksikan dan
menikmatinya. Oleh karena itu, sejak Pura Tirta Empul ditetapkan oleh
pemerintah untuk dijadikan daerah tujuan wisata yang utama, pemerintah sendiri
berkepentingan seperti juga industri pariwisata untuk melindungi, melestarikan,
dan membina kelestariannya.
Upaya-upaya pengembangan pariwisata pusaka budaya dilakukan dengan
adanya kesadaran akan pentingnya kekayaan warisan sejarah. Hal itu
162

menunjukkan pentingnya dikembangkan pariwisata postmodern, yaitu pariwisata
pusaka budaya (heritage tourism). Seluruh jenis pengembangan pariwisata mutlak
membutuhkan peran dan partisipasi masyarakat di sekitarnya, termasuk dalam
pengembangan pariwisata pusaka budaya. Dalam pariwisata pusaka budaya,
faktor masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah
pemilik, pendukung, dan pelaku kebudayaan.
5.1.2.2 Komodifikasi Tahun 1990-an
Mulai tahun 1990-an sampai tahun 2000-an komodifikasi Pura Tirta
Empul terjadi secara besar-besaran, seiring semakin banyaknya kunjungan
wisatawan ke pura tersebut. Uang yang diperoleh dari pariwisata digunakan untuk
merenovasi semua bangunan yang ada di pura tersebut termasuk lingkungannya.
Masyarakat menyadari akan keberadaan Pura Tirta Empul yang mempunyai
potensi besar untuk mendatangkan keuntungan ekonomi.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, proses modernisasi melalui
pembangunan yang sangat kapitalisme dapat menyebabkan komodifikasi.
Komodifikasi pembangunan yang dimaksud di sini adalah bagaimana Pura Tirta
Empul dijadikan komoditas oleh pemiliknya untuk memperoleh uang sebanyak-
banyaknya. Komodifikasi Pura Tirta Empul harus diakui tidak saja terjadi pada
proses pembangunan kebudayaan, tetapi juga pada proses pengembangan
pariwisata budaya. Secara teoretis, komodifikasi telah merambah pariwisata
sedemikian intens. Dalam konteks ini Pura Tirta Empul yang merupakan produk
budaya masyarakat Desa Manukaya mengalami objektivasi dan menjadi daya
tarik wisata sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang
163

dan pemenuhan kepuasan wisatawan. Pura Tirta Empul memang secara sengaja
dipromosikan sebagai suatu yang menjadi alasan mengapa wisatawan harus
datang dan melihatnya. Dengan paparan di atas, maka sesungguhnya komodifikasi
telah dan sedang terjadi pada daya tarik wisata Pura Tirta Empul. Sebagai produk
komoditas, Pura Tirta Empul yang sebelumnya tidak diperjualbelikan, tetapi
sekarang sudah menjadi produk komersial yang memiliki nilai jual.
Proses komodifikasi Pura Tirta Empul di era globalisasi adalah Pura
Tirta Empul diproduksi, didistribusi dalam bentuk kemasan objek yang indah dan
menarik untuk disaksikan dan dinikmati. Namun demikian, dibalik itu semua
sesungguhnya perlahan tapi pasti, ketradisian dan kesakralannya diabaikan. Pura
Tirta Empul sebagai produk budaya oleh masyarakat pendukungnya
dikomersialisasikan seperti barang dan jasa atau dikomodifikasi dalam berbagai
bentuk dan tampilan. Komersialisasi produk budaya dapat juga dianggap sebagai
bentuk adaptif dengan budaya global melalui pariwisata yang menghasilkan
bentuk dan makna baru (Piliang, 2004 : 286-287). Kecenderungan pengaruh
budaya kapitalisme membawa budaya konsumerisme, budaya citra, dan budaya
tontonan, yang sesungguhnya proses produksi kapitalisme global sedang dalam
proses penghancuran budaya lokal.
Di era tahun 1990-an Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi karena
diciptakan, diproduksi untuk dijadikan barang dan jasa perdagangan dalam bentuk
tampilan. Dengan demikian, pembahasan dalam subbab ini akan diarahkan pada
sejumlah permasalahan komodifikasi yang memerlukan penjelasan sejalan dengan
pemikiran Fairclough (2005 : 206-207), bahwa komodifikasi difahami sebagai
164

suatu proses produksi komoditas yang tidak terbatas pada lingkup ekonomi yang
sempit, yaitu hanya pada persoalan penjualan barang-barang kebutuhan, tetapi
juga mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi,
distribusi, dan konsumsi.
Perubahan budaya masyarakat dari budaya agraris ke budaya pariwisata
membawa dampak yang sangat besar terhadap perubahan pola ruang Pura Tirta
Empul. Hal ini sejalan dengan pendapat Rochim (2004 : 154) yang menyatakan
bahwa perubahan pola aktivitas manusia akan berpengaruh terhadap pola ruang
yang mewadahinya.
Pertumbuhan industri jasa pariwisata yang dilanjutkan dengan
pembangunan inprastruktur (listrik, jalan, telepon, dan lain-lain) menimbulkan
pergerakan dalam fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi sebagaimana
dicirikan oleh pergerakan manusia, uang, teknologi, media massa, dan ideologi,
telah mendorong terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Desa Manukaya
yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong
pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik
kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan
diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik
sosial (Abdullah, 2007 : 107).
Informasi yang disalurkan melalui berbagai media telah membentuk
ideologi yang paling mendasar, yakni perbedaan karena pilihan informasi begitu
seragam sehingga banyak pilihan tersedia untuk membangun perbedaan-
perbedaan (Bourdieu, 1994 : 27). Perbedaan merupakan tanda penting dalam
165

kehidupan masyarakat modern. Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu
jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan
masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan
perbedaan antara orang.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi yang kurang ideal sebelum
tahun 1990-an dan masuknya peluang industri pariwisata sebagai alternatif baru
yang menjanjikan, menyebabkan sebagian masyarakat Desa Manukaya membuat
keputusan secara rasional dengan beralih profesi dan mulai menekuni profesi
ganda. Pariwisata semakin berkembang dan hal ini tentu dimanfaatkan sebaik-
baiknya sebagai peluang untuk membuka usaha demi peningkatan tarap hidup.
Sementara itu, Pura Tirta Empul sebagai produk budaya juga selalu ramai
mendapat kunjungan para wisatawan.
Meningkatnya pendapatan masyarakat dimaknai sebagai rakhmat dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga wajib untuk mempersembahkan kembali
sebagai bagian dari upacara pengorbanan atau yadnya. Yadnya yang dibuat
dilakukan secara tulus sebagai umat beragama yang bakti kepada Tuhan dan
Leluhur. Untuk itu, salah satu bentuk yajna adalah kesepakatan masyarakat Desa
Adat Manukaya Let untuk merenovasi secara menyeluruh pola ruang Pura Tirta
Empul dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam lontar
Asta Bumi dan Asta Kosala-kosali.
Pura Tirta Empul yang pada mulanya hanya dikelola secara parsial oleh
warga Banjar Manukaya Let dianggap relevan untuk dijadikan pemersatu warga
Desa Adat Manukaya Let, yang terdiri dari tiga banjar, yaitu Manukaya Let,
166

Bantas, dan Tatag. Aktualisasinya adalah keterlibatan seluruh warga Desa Adat
Manukaya Let dalam bentuk ayah-ayahan pada saat upacara odalan.
Perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat,
terutama ketika umat melakukan persembahyangan yang dirasa sudah sangat
sesak, sehingga memerlukan ruang yang lebih luas daripada kondisi sebelumnya.
Hal itu juga menjadi pemikiran bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk
memperluas halaman pura, bahkan melengkapi dengan halaman-halaman yang
belum tersedia. Berdasarkan hal itu, globalisasi yang merambah sebagian besar
masyarakat telah menggeser wujud-wujud kebudayaannya, dari wujud nilai ke
wujud perilaku, dan wujud fisik, sebagaimana yang akhirnya terlihat saat ini di
Pura Tirta Empul.
Perkembangan pariwisata yang terus meningkat tahun 1990-an
berpengaruh terhadap perkembangan Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul
kemudian terus direnovasi dan dimodifikasi dengan pola tri mandala, yaitu yang
terdiri atas tiga halaman, yaitu jeroan, halaman tengan dan halaman luar. Pada
masing-masing halaman terdapat sejumlah bangunan sesuai dengan peruntukan
dan fungsinya.
Pertamanan di depan pura (Gambar 5.6 dan 5.7) ditata sedemikian rupa
sehingga menambah kenyamanan, kesejukan, dan keindahan aral Pura Tirta
Empul. Para pengunjung dapat memanfaatkan pertamanan untuk beristirahat atau
melepas lelah setelah bersembahyang atau melukat di Pura Tirta Empul.
167

Gambar 5.6 Pertamanan di depan Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 5.7 Penataan pertamanan yang asri sebagai pelestarian lingkungan(Dok. Setiawan 2010)
168

Antusias dan semangat masyarakat Desa Adat Manukaya Let secara
kelembagaan untuk merenovasi Pura Tirta Empul secara total menunjukkan
bahwa konsep rna (hutang) yang diwariskan sejak dahulu tetap dipertahankan,
sehingga sesungguhnya di Desa Adat Manukaya Let telah terjadi global paradox,
yaitu pergerakan informasi dan teknologi modern yang direspon dengan
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai
agama Hindu. Pengembangan pola ruang terhadap area Pura Tirta Empul yang
dilakukan oleh masyarakat pengemong pura, baik dengan tujuan memperluas
halaman atau memperindah mandala pura pada hakikatnya merupakan praktik-
praktik komodifikasi.
Selain pola ruang, komodifikasi juga dilakukan terhadap pola bangunan.
Pola bangunan yang dimaksud dalam perspektif spasial bangunan suci adalah
bentuk bangunan serta tata letak bangunan dalam lingkungan mandala. Hal ini
perlu dikaji karena bentuk bangunan, dalam pengertian denah dan dimensi
bangunan yang berubah akan berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan.
Demikian pula perubahan tata letak bangunan, baik pengurangan maupun
penambahan bangunan pada area pura akan berpengaruh pada luas halaman pura.
Pura Tirta Empul yang telah mengalami renovasi secara total mulai
tahun 1990-an meliputi semua bangunan pelinggih yang ada di halaman dalam/
jeroan, di halaman tengah, dan di halaman luar. Demikian pula renovasi
dilakukan terhadap Candi Bentar dan Candi Kurung (Gambar 5.8) yang
membatasi masing-masing halaman pura. Dari segi bentuk denahnya, bangunan-
169

bangunan yang direnovasi tidak mengalami perubahan yang berarti dari bentuk
aslinya.
Gambar 5.8 Candi Kurung beserta kolam yang dipenuhi ikan-ikan hias di bagian Barat Daya, Kompleks Pura Tirta Empul.(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas berupa kolam dan candi kurung yang direnovasi tahun
1992 sebagai wujud pengembangan dan perubahan pola bangunan. Selain
perubahan pola bangunan, perubahan yang menonjol terjadi pada ornamen dan
ragam hiasnya. Walaupun secara dimensional ornamen dan ragam hias tidak
banyak mempengaruhi spasial, namun secara persepsi dapat memberikan kesan
yang berbeda. Secara filosofi, penempatan ornamen pada bangunan tidak
mengalami perubahan, misalnya ornamen pada bataran pelinggih berwujud
karang asti, pada bagian atas berupa karang goak, dan di atas pintu berupa
karang boma atau karangsae. Namun secara estetika, hal itu mengalami
170

perubahan menurut perkembangan zaman. Perubahan yang lain adalah
penggunaan bahan bangunan yang jauh lebih baik kualitasnya dari bahan
sebelumnya, baik bahan yang berasal dari kayu maupun dari batu yang digunakan
untuk membuat bangunan, seperti kayu jati, nangka, atau paras hitam, batu bata
yang mempunyai kualitas tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi dan tingkat kehidupan
yang semakin baik.
Bagi masyarakat Manukaya, salah satu wujud dalam membayar hutang
kepada Tuhan adalah dengan memperbaiki pura sebagai sthanaNya sesuai dengan
keyakinan dan kemampuan masyarakat. Pura sebagai life monument diusahakan
selalu disempurnakan, lebih-lebih pada dewasa ini Pura Tirta Empul banyak
memberi materi finansial bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk
membangun desanya.
”Kami bersyukur keberadaan Pura Tirta Empul yang sangat kami banggakan telah banyak memberi keuntungan finansial bagi masyarakat di sini. Kunjungan wisatawan baik lokal maupun asing telah mendatangkan sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat. Kami memandang hal itu sebagai berkah yang harus disyukuri sebagai pican Ida Bhatara, semoga pica itu terus menerus turun, sehingga kami dapat membangun desa ke arah kemajuan yang lebih baik di kemudian hari” (wawancara dengan Ngh. Putu Sujana, 26 April 2010).
Pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa materi uang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Namun demikian kesucian pura semaksimal mungkin berusaha dipertahankan,
sehingga kebutuhan jasmani dan rohani berjalan secara seimbang.
Selain konsep rna, sistem terbuka masyarakat juga memberi peluang
untuk melakukan perubahan yang bersifat selektif-adaptif. Sikap selektif-adaptif
171

masyarakat terhadap perubahan tercermin dari penggunaan material bagian pura.
Misalnya bahan atap alang-alang yang banyak dipakai tahun 1970-an sekarang
diganti ijuk, sehingga lebih memberikan kesan sakral dan magis. Produk-produk
modern sebagai bagian dari budaya asing diterima sebagai penunjang aktivitas di
pura selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat.
Hal itu dapat dilihat pada ruang dapur umum dan bangunan wantilan di Pura Tirta
Empul. Dapur yang digunakan untuk menyiapkan konsumsi bagi para pemangku
dan pengayah pura, serta wantilan yang multifungsi ditata dengan pola modern.
Demikian juga toilet dan lampu penerangan telah memanfaatkan teknologi
modern. Dalam perkembangan dewasa ini Pura Tirta Empul mengalami proses
komodifikasi mengikuti perubahan zaman dan selera kreativitas masyarakat. Pola
ruang dan pola bangunan beserta ornamen dan ragam hiasannya diciptakan
sebagai sebuah tanda yang dapat menjadi komoditi.
5.1.2.3 Komodifikasi Tahun 2005 Sampai Sekarang
Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks.
Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke
segenap sendi-sendi kehidupan manusia tidak bisa dibendung atau ditolak.
Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru telah tiba, dan hal ini berarti
banyak aspek tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat yang
berubah. Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dengan fokus
penekanannya pada masalah ekonomi. Wacana globalisasi turut memberikan
kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional
172

saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker,
2005 : 133).
Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya
kapitalisme, seperti munculnya industri budaya yang mengacu pada komodifikasi
bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada awalnya Pura Tirta
Empul bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan komersial. Di era
kekinian produk tersebut telah mengalami komodifikasi karena dibuat dengan
tujuan dijadikan barang dagangan untuk berbagai kepentingan. Proses
berlangsungnya industri budaya, di dalamnya termasuk industri pariwisata dapat
menyebabkan komodifikasi. Gejala komodifikasi Pura Tirta Empul tampak pada
objek, kualitas, ruang, tanda, serta pola-pola hias dijadikan sebagai komoditas
untuk menarik selera konsumen (pasar).
Gambar 5.9 Kunjungan wisatawan asing ke Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
173

Sebagai suatu proses, komodifikasi dapat dirujuk dari pemikiran Marx,
bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan kapitalisme, semangat
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala
komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang disebabkan oleh industri
pariwisata sesungguhnya telah dan sedang berlangsung, lebih-lebih Bali telah
ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan (Pitana, 2005 : 156-
157).
Gambar 5.10 Beberapa wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta Empul juga melakukan prosesi melukat dan bersembahyang.(Dok. Setiawan 2010)
Gambar 5.9 dan 5.10 di atas menunjukkan betapa ramainya wisatawan
asing berkunjung ke Pura Tirta Empul, bahkan ada di antara wisatawan itu ikut
melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Mereka membayar kontribusi ketika
memasuki pura sebagai turis atau melukat di kolam suci dengan menyewa kotak
174

tempat pengganti pakaian. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa betapa Pura
Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkembang ke arah komersialisasi sebagai
wujud ideologi pasar.
Membicarakan ideologi pasar atau selera konsumen, erat kaitannya
dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Pada dewasa ini, apa pun produk yang
dihasilkan, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul, keinginan pasar atau
ideologi pasar memegang peranan penting. Ideologi menurut Atmaja (2008 : 247)
adalah salah satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media
utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia. Ideologi pasar tujuan
utamanya adalah mengalihkan modal budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul
menjadi modal ekonomi. Pemanfaatan modal budaya sebagai modal ekonomi
berimflikasi atas pemaknaan manusia terhadap barang, yakni segala hal adalah
komoditas. Setiap barang tunduk pada logika komodifikasi, yakni bisa ditukarkan
lewat pasar guna mendapatkan uang. Logika komodifikasi memunculkan
pemaknaan yang berbeda terhadap produk budaya.
Masyarakat yang menganut logika komodifikasi memaknai produk
budaya Pura Tirta Empul adalah komoditas atau barang dagangan. Dengan
meminjam Hobermas (2006 : 87-88) bisa pula dikatakan bahwa masyarakat
pendukung Pura Tirta Empul telah terjebak pada rasionalitas instrumental. Hal itu
menimbulkan imflikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta Empul, yakni bukan saja
sebagai tempat yang sakral, melainkan sebagai instrumen untuk mendapatkan
uang. Uang adalah bagian dari nafas kehidupan, mengingat bahwa pemenuhan
lima indra manusia bergantung pada uang. Manusia terjerat pada budaya
175

konsumsi, budaya tontonan, dan materialisme. Kesemuanya itu sangat bergantung
pada uang, karena apa pun yang mereka konsumsi lewat pasar mutlak
memerlukan uang.
Berkenaan dengan itu, maka meminjam gagasan Barthes (2007 : 14)
bahwa zona suci pura telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang
dilandasi oleh nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, Atmaja (2008 : 249)
mengatakan sebagai berikut.
”Masyarakat telah mengalami perubahan sehingga zona suci telah mengalami difersifikasi makna. Zona suci telah mengalami pembongkaran semiologis dan dekonstruksi untuk memperoleh makna lain yang baru, yakni ruang, yang dapat mendatangkan uang dan nilai ekonomi”.
Marx memberi makna bahwa melalui kerja dihasilkan suatu produk, dan
apa pun yang diproduksi adalah untuk diperjualbelikan. Sebagai sebuah
komoditas, produk tidak hanya penting dan berguna tetapi juga berdaya jual.
Masyarakat konsumen adalah mereka yang menikmati Pura Tirta Empul sebagai
suatu barang komoditas. Budaya konsumen dipandang sebagai bentuk yang
spesifik dari budaya materi/benda yang memberi jarak kritis mengenai
pemahaman (konsep) konsumsi sehari-hari dengan konsumsi dalam praktik-
praktik budaya.
Menurut Boudrillard (2009 : 28) ciri adanya suatu masyarakat
komodifikasi adalah adanya suatu masyarakat konsumen yang tidak lagi membeli
suatu barang untuk mendapatkan nilai guna dari benda tersebut, melainkan dibeli
sebagai tanda suatu komoditas. Konsumsi tidak lagi difahami sebagai konsumsi
nilai manfaat suatu kebutuhan berdasarkan fungsi material, tetapi sebagai
konsumsi tanda (Featherstone, 2008 : 142).
176

Kebudayan posmoderinisme telah memutarbalikkan kategori-kategori
kebudayaan atau menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya, serta berperan besar
dalam menciptakan perubahan kultural. Posmodernisme mengusulkan narasi-
narasi kecil yang plural, membangun heterogenitas budaya, menghidupkan
kembali lokalitas dan etnisitas dalam rangka menghargai perbedaan. Selain itu,
posmodernisme merupakan dekonstruksi terhadap tembok pemisah antara budaya
tinggi dan budaya rendah, sehingga klaim-klaim luhur/murahan, indah/tidak indah
tidak lagi relevan.
Menurut Piliang (2004 : 427-429) posmodernisme dapat juga dilihat
sebagai sebuah kecenderungan ”politik kebudayaan”, yaitu bagaimana
kebudayaan berhimpitan dengan soal kekuasaan, yang di dalamnya ada
kecenderungan-kecenderungan baru beroperasinya kekuasaan dalam kebudayaan,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Politik konsumsi, artinya politik kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari
ekonomi politik kapitalisme, yang di dalamnya berkembang masyarakat
konsumer (consumer society). Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang
menjadikan konsumsi sebagai ideologi, yaitu bagaimana nilai dan makna
kehidupan diperoleh lewat tindak konsumsi. Objek konsumsi tidak lagi
bersadar pada logika fungsi dan kebutuhan, melainkan pada logika tanda.
2. Politik tontonan, artinya masyarakat posmodern adalah masyarakat tontonan
(society of the spetacle). Di dalam tontonan (televisi, hiburan, iklan, musik)
menjadi titik pusat kehidupan budaya dan tontonan menjadi penentu relasi di
177

antara kelompok-kelompok sosial. Tontonan adalah cara manusia memaknai
hidup atau menjajah dunia kehidupan.
3. Politik tanda, artinya budaya posmodern adalah budaya tanda (sign culture)
dalam bentuknya yang baru. Tanda digunakan bukan untuk menyampaikan
pesan, tetapi menampakkan kelucuan atau kegilaan. Motif komunikasi telah
berakhir dari pencarian pesan ke arah keterpesonaan yang ditimbulkan oleh
permainan dan kecanggihan teknologi media.
4. Politik citra, yaitu strategi dalam sistem produksi dan konsumsi yang di
dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada
objek konsumsi untuk dijadikan memori publik. Citra (image) atau pencitraan
(imagology) merupakan instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa serta
mengatur tingkah laku eskternal setiap orang yang dipengaruhinya. Citra
menjadi landasan rasional dalam memilih, menentukan baik-buruk, benar,
salah, berguna-tak berguna.
Bertolak dari kecenderungan politik kebudayaan posmodern tersebut
maka dapat dikemukakan bahwa tindakan mengkomodifikasikan Pura Tirta
Empul memiliki latar belakang ideologis. Artinya, apa yang mereka lakukan tidak
saja merupakan pengaplikasian dari suatu ideologi, tetapi juga untuk
mempertahankannya. Hal itu sejakan dengan gagasan Althusser (2004 : 31)
bahwa ideologi diselinapkan pada setiap aktivitas manusia. Karena itu, suatu
ideologi bisa bersembunyi dibalik suatu aktivitas sehingga seseorang tidak
menyadarinya.
178

Dengan mengacu kepada gagasan Marcuse (2004 : 27) masyarakat
industi modern dewasa ini adalah masyarakat berdimensi satu. Cirinya adalah
segala segi kehidupan diarahkan pada satu tujuan, yakni sistem kapitalisme.
Manusia melakukan kegiatan ekonomi secara bebas dengan sasaran mendapatkan
laba sebanyak-banyaknya. Sistem ekonomi kapitalis pada masyarakat secara luas
mempengaruhi unsur superstruktur ideologi. Pengungkapan-pengungkapan
simbolik yang memiliki nilai estetika, emosional atau intelektual bagi suatu
masyarakat, berubah menjadi komoditas guna mendapatkan keuntungan bagi
pendukung suatu produk budaya.
Sementara itu, Sanderson (1993 : 27) menyatakan apapun bentuk
tindakan manusia tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada dibaliknya.
Superstruktur ideologi berfungsi sebagai resep bertindak bagi seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat. Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan
yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok (Oenil, 2001 :
33). Sedangkan menurut Steger (2005 : 7), ideologi sebagai sistem gagasan
dengan diikuti keyakinan yang berpola, norma, dan nilai terpadu, serta gagasan-
gagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan/kebenaran oleh suatu
kelompok masyarakat.
Dengan demikian, ideologi merupakan suatu gagasan yang di dalamnya
mencakup nilai dan norma yang diyakini benar oleh penganutnya. Karena itu,
gagasan tersebut diaktualisasikan sebagai praktik material guna melakukan
penataan terhadap kenyataan sosial. Aspek-aspek yang bertentangan dengannya,
sengaja disembunyikan guna memberikan pembenaran terhadap gagasan yang
179

tercakup dalam ideologi yang mereka anut. Ideologi bisa dijumpai dalam praktik
kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya dalam bentuk ide-ide tertentu, tetapi bisa
pula melahirkan jurang kekuasaan. Namun orang tidak menyadarinya, karena
mereka terbius secara ideologis (Storey, 2003 : 8).
Bertolak dari gagasan tersebut maka dapat dikemukakan bahwa
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global memiliki latar
belakang ideologis, yaitu ideologi pasar. Ideologi pasar semakin kuat melandasi
kehidupan masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul bersamaan
dengan adanya globalisasi. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan
bahwa ideologi pasar tidak saja melandasi globalisasi, tetapi sekaligus juga nafas
atau semangat yang diembuskan oleh globalisasi.
Pasar telah menjadi kekuatan penting terutama melalui proses integrasi
dan ekspansi. Integrasi pasar telah menghasilkan suatu penyatuan sistem kerja dan
ketergantungan pada struktur pasar yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
ekonomi. Ekspansi pasar tidak hanya memperkenalkan barang-barang baru, tetapi
juga memperluas jaringan distribusi barang yang mempengaruhi tata nilai dan
hubungan-hubungan sosial. Ekspansi pasar juga kemudian mengubah kehidupan
menjadi suatu proses transaksi dan setiap orang menghitung cost dan benefit dari
setiap hubungan sosial (Abdullah, 2007 : 112). Pasar kemudian berfungsi ganda,
yaitu sebagai penekan dengan batasan-batasan dan pengaturan, serta sebagai
solusi yang memberikan jalan ke luar dengan menyediakan berbagai fasilitas
untuk meningkatkan kapasitas pribadi dalam usaha memenuhi aturan main yang
ditetapkan oleh pasar.
180

Etos kerja kapitalistik yang terbentuk merupakan contoh nyata dari
ekspansi pasar di mana orang berorientasi kepada pencarian kehidupan yang lebih
baik dalam berbagai bentuk dan tingkat. Segmentasi pasar, yang menentukan
keterlibatan seseorang berdasarkan prasyarat yang ditentukan untuk kepentingan
pasar, merupakan kekuatan baru yang mempengaruhi tata kehidupan.
Pariwisata sebagai media yang memperkuat daya tarik Pura Tirta Empul,
telah menempatkan masyarakat Desa Manukaya pada jalan bercabang. Di satu sisi
mereka berusaha untuk bertahan dalam ketradisionalannya, namun di sisi lain,
pada saat yang sama mereka ingin menjadi modern dengan memanfaatkan
pariwisata untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Akibatnya, Pura Tirta Empul
mengalami komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
pariwisata global, artinya Pura Tirta Empul diproduksi, didistribusi, dan
dikonsumsi dalam bentuk tampilan yang indah, tetapi sesungguhnya perlahan-
perlahan ketradisian kesakralannya diabaikan. Pura Tirta Empul
dikomersialisasikan, diperdagangkan seperti barang atau komoditi. Pura Tirta
Empul sebagai komoditi dalam konteks ini dimaksudkan sebagaimana dialami
sekarang, yaitu pengalaman lahir karena budaya konsumsi dan didukung oleh
teknologi informasi baru. Dengan kata lain, produk budaya ini lahir dan bertahan
karena kehendak media (dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi. Media dan
konsumsi menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan
kognisi dengan ikatan estetik (Strinati, 2007 : 13).
Pura Tirte Empul sebagai daya tarik wisata budaya unggulan di
Kabupaten Gianyar tidak pernah sepi dari kunjungan wisawatan, baik lokal
181

maupun asing. Mereka dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan leluasa
berkeliling di areal pura bahkan dapat memasuki halaman dalam tersuci dari
sebuah pura (Gambar 5.11 dan 5.12)
Gambar 5.11 Suasana sehari-hari di halaman dalam Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
Status kekinian yang diemban Pura Tirta Empul sebagai budaya massa
dimulai ketika produk budaya tersebut mengalami komodifikasi. Dengan status ini
maka Pura Tirta Empul dalam proses produksi dan distribusi tidak lagi
memperhatikan kaidah-kaidah estetika sebagai suatu ilmu, tetapi telah bergeser
dari estetika sakral ke estetika profan, dengan fungsi pemaknaannya untuk tujuan
mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Pura Tirta Empul lebih
diapresiasi sebagai barang dagangan/komoditas yang keberhasilannya diukur dari
berapa jumlah keuntungan yang didapatkan.
182

Gambar 5.12 Umat dan wisatawan asing berbaur di halaman dalam pura(Dok. Setiawan, 2010)
Produk budaya Pura Tirta Empul didistribusi sebagai budaya massa
boleh dikatakan bersifat sementara, karena sifat budaya massa sangat tergantung
pada konsumen atau pasar. Pura Tirta Empul bukan lagi menjual estetika
sakralitas, tetapi estetika posmodern berupa keindahan arsitektur bangunan,
panorama alam, atau permandian suci beserta pancuran-pancuran yang berjejer
menghiasinya. Parameter budaya massa berkaitan erat dengan apresiasi
pengunjung/penonton, karena tujuan utamanya adalah menarik perhatian massa.
Kepopuleran Pura Tirta Empul yang didasarkan atas keuntungan sebesar-besarnya
semakin nyata ketika agen distribusi memainkan peran aktifnya melalui televisi,
majalah, brosur, koran, dan media lainnya, menjadikan Pura Tirta Empul semakin
populer, tidak saja di Bali, tetapi di berbagai tempat belahan dunia.
183

Dalam kaitannya dengan kapitalisme, azas pertukaran akan selalu
mendominasi azas manfaat, karena ekonomi kapitalis berputar-putar di sekitar
produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas yang selalu mendominasi
kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Uang merupakan contoh betapa berbagai relasi
sosial di antara masyarakat bisa mengambil perwujudan luar biasa dari suatu
hubungan, sekaligus merupakan sarana utama tempat nilai komoditas dalam
masyarakat kapitalis (Strinati, 2007 : 101). Pura Tirta Empul sebagai budaya
massa menjadi objek pertarungan makna dan ideologi yang berlangsung terus
menerus dalam rangka mengejar citra dan merebut hati konsumen.
Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global yang tidak
terelakkan akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan
komunikasi internasional dengan batas-batas yang tidak begitu jelas. Namun
demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang berlawanan, yaitu
suatu proses untuk mencari identitas melalui pendalaman ajaran agama. Selain
munculnya kegairahan pendalaman tattwa (membawa kitab agama), muncul pula
kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual experience) dalam masyarakat
Bali. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual yang
melakukan tirta yatra (perjalanan ke tempat-tempat suci) untuk memperoleh
ketengan batin.
Tirta yatra dalam bahasa sehari-hari adalah mendatangkan tempat-
tempat suci, tempat yang mendukung konsentrasi untuk melakukan prosesi
pemujaan kehadapan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi. Penyucian lahir dan batin
pada diri manusia dapat dianggap sebagai tujuan melakukan tirta yatra. Umat
184

tampaknya semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah sebuah yadnya yang
mudah dilakukan oleh siapa pun. Bagi masyarakat umum atau masyarakat yang
mempunyai tingkat pemahaman spiritual yang belum begitu tinggi, maka kegiatan
tangkil ke pura atau tirta yatra mempunyai tujuan praktis, yaitu memohon
keselamatan, kesehatan, penebus dosa, kesuksesan atau ketenangan jiwa.
Pura Tirta Empul salah satu tempat suci yang sangat ideal sebagai
tempat tirta yatra. Areal pura yang cukup luas, hawa yang cukup sejuk, suasana
yang tenang, sangat memungkinkan orang melakukan kegiatan keagamaan untuk
memperoleh ketenangan lahir batin. Mulai pada sekitar tahun 2005 (informasi dari
Bendesa Adat Manukaya Let dan Jero Mangku Pura Tirta Empul) umat banyak
sekali datang melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Tidak terhitung
jumlah orang yang datang terutama melukat di kolam suci pura. Mereka rela
bergiliran dalam antrean panjang melakukan prosesi tersebut. Mereka umumnya
percaya bahwa air suci di pura tersebut memiliki khasiat untuk menyucikan diri
bahkan dapat menyembuhkan penyakit, seperti yang disampaikan oleh Wayan
Kantun (58 tahun) dari Payangan (wawancara 5 Juni 2010) yang menyatakan
sebagai berikut.
”Tiang mencoba datang ke sini karena mendengar informasi bahwa air suci di pura ini juga dapat menyembuhkan penyakit. Tiang menderita penyakit rematik, dan sudah tiga kali melukat di kolam suci melalui pancuran-pancuran itu. Dengan ketulusan hati tiang memohon kemurahan Ida Bhatara yang melinggih di Pura Tirta Empul, melalui sarana canang sari, agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah. Dan tiang merasakan ada sedikit perubahan pada kedua kaki ini, tiang akan terus tangkil di sini, mudah-mudahan permohonan tiang dikabulkan oleh Ida Bhatara”.
185

Pengharapan yang sama juga disampaikan oleh Ketut Rembyok (52
tahun) dari Desa Batuan yang menderita penyakit kulit (wawancara 25 Mei 2010)
yang mengatakan:
Saya secara rutin seminggu sekali melakukan melukat di kolam ini. Saya senantiasa berdoa agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah untuk kesembuhan penyakit ini. Selain melakukan prosesi melukat, saya juga melakukan persembahyangan, semoga doa-doa saya didengar oleh Ida Bhatara.
Pernyataan kedua orang di atas jelas memperlihatkan betapa yakinnya
mereka terhadap khasiat air suci di Pura Tirta Empul. Namun demikian mereka
sepenuhnya menyerahkan semua itu kepada Ida Bhatara. Tidak hanya dilakukan
oleh masyarakat lokal, turis asing pun banyak yang melakukan kegiatan melukat
ini. Mereka umumnya ingin tahu dan terlibat langsung sebagai pengalaman
pribadi. Wisatawan melakukan sesuatu kegiatan yang terkait dengan objeknya,
yaitu untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya. Kegiatan pariwisata sendiri
adalah salah satu ungkapan budaya. Mungkin tidak semua kebudayaan
mempunyai konsep yang sama mengenai kegiatan berwisata. Bahkan mungkin
ada yang sama sekali tidak mengenalnya. Pariwisata sebagai sebuah upaya yang
sengaja, bertujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di
luar kawasan hunian wisatawan.
Seperti halnya cerita pemutaran Gunung Mandara, ketika air laut diaduk
oleh para Dewa dan Raksasa, maka keluarlah air suci. Demikian pula mata air
suci di Pura Tirta Empul menghasilkan bermacam tirta yang keluar dari masing-
masing pancuran, yang berfungsi berbeda-beda. Di antara fungsi-fungsi air
pancuran itu, ada yang berfungsi sebagai tirta pembersihan, tirta menghilangkan
186

kutukan, dan tirta untuk penyembuhan penyakit (informasi Pemangku Pura Tirta
Empul).
Tirta (air suci) adalah air yang telah mendapat berkah dari Tuhan. Dalam
hal ini berkah itu dapat berupa limpahan energi atau sinar suci. Tirta sebaai media
penyembuhan bukanlah semata-mata air dalam pengertian harfiah, melainkan
lebih pada pengertian yang dipengaruhi oleh sosiokultural, di mana air suci itu
dipercaya dapat memberikan pengaruh pada diri manusia (Astawa, tt, 38). Untuk
mendapatkan manfaat seperti telah disebutkan di atas, satu hal yang harus
diperhatikan adalah melakukan secara ikhlas dan pasrahkan semuanya kepada
Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi, karena semua yang terjadi adalah kuasa Tuhan
semata.
5.2 Proses Distribusi Pura Tirta Empul
Distribusi dalam penelitian ini adalah menyalurkan dalam arti
memperkenalkan, mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul, agar dapat
diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan nusantara dan wisatawan
asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan Pura Tirta Empul masyarakat
luas menjadi tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui lebih dekat bahkan
mengonsumsinya. Mengonsumsi sesungguhnya adalah tujuan akhir dari proses
produksi dan distribusi.
5.2.1 Media Elektronik
Di zaman ini, setelah kebudayaan manusia dikatakan telah mengalami
lonjakan perkembangan ilmu informatika, maka ranah informasi menjadi
187

berfungsi strategis bagi proses pembentukan kebudayaan dalam berbagai skala.
Benda-benda hasil industri pun dapat diisi dengan informasi budaya, sehingga
berkembanglah apa yang secara umum diberi label ”industri budaya”. Benda-
benda ini melalui kandungan isinya, mempunyai dampak budaya terhadap siapa
pun yang menjadi konsumennya. Perdagangan produk-produk industri budaya di
satu sisi dapat menyumbangkan kepada pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain
dapat merupakan penyelinapan budaya yang dapat menggerogoti jatidiri budaya
suatu daerah yang diposisikan sebagai konsumen bagi kebudayaan asing
(Sedyawati, 2008 : vii). Sejajar dengan ini adalah industri budaya, yaitu media
elektronik (radio, televisi, internet).
Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan yang ada di balik media tersebut. Di dalam perkembangan media
mutakhir, ada satu kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi
(economic interest). Keberadaan sebuah iklan yang media massa seperti sekarang
ini bukanlah wacana yang langka dalam diskursus kultur ekonomi kapital. Iklan di
media massa bukan lagi sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan
kapitalisme, melainkan telah menjadi salah satu instrumen paling vital di era
globalisasi seperti sekarang ini. Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat
untuk membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi
citra yang dibangunnya. Iklan difahami sebagai aktivitas penyampaian pesan-
pesan visual kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau
mempengaruhi mereka untuk membeli produk barang dan jasa yang direproduksi
(Kasiyan, 2009 : 149). Iklan dirancang sebagai penyampaian pesan untuk
188

mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima penawaran produk dengan
mengeluarkan biaya.
Kehadiran televisi (TV) merupakan tanda dari perubahan peradaban.
Pada saat TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas
sebagai titik pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai berpusat
pada TV. Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan
seorang penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara
menghadirkan ”suatu” yang dia pilih dalam proses konsumsi waktu luang.
TV sesungguhnya telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya
sehingga menciptakan ”deteritorialisasi” suatu dunia baru dengan batas-batas
wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu
proses penting, karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang
memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial (Abdullah, 2007 : 55).
Program TV secara langsung mentransformasikan sistem nilai yang berlaku.
Suatu hal yang sangat mencolok bahwa TV telah
mentransformasikan suatu produk menjadi simbol yang terkait pada sistem
pemaknaan tertentu. Nilai-nilai simbolik dari suatu praktik dewasa ini
menjadi sangat dominan dibandingkan dengan kegunaan dari produk itu
sendiri. Suatu corak kehidupan yang dihadirkan oleh TV menjadi model
dari realitas sosial telah melanda masyarakat modern. Kehidupan sebagai
proses etis tampaknya mengalami pergeseran secara mendasar sejalan
dengan dominannya nilai simbolik dalam proses kehidupan sosial yang
menunjukkan adanya kecenderungan penekanan pada aspek material.
189

Proses produksi pun mengalami estetisasi di mana suatu nilai telah
menjadi kekuatan dalam produksi suatu barang yang dipresentasikan di
berbagai acara dalam berbagai bentuk wacana yang dibangun dalam
pertukaran sosial di TV.
Selain TV, radio juga merupakan salah satu media elektronik yang bisa
dimanfaatkan oleh seseorang atau masyarakat untuk mengiklankan produk, baik
radio milik pemerintah maupun radio milik swasta. Radio mempunyai visi dn misi
yang cukup kompleks, tidak hanya sebagai lembaga penyampaian berita, tetapi
juga sebagai media pendidikan, media hiburan, serta media yang bersifat sosial
dan ekonomis.
TV, radio, dan internet dimanfaatkan oleh banyak pihak yang
berkepentingan untuk mengiklankan produknya, termasuk produk budaya Pura
Tirta Empul. Media elektronik tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk
mempromosikan Pura Tirta Empul dalam bentuk tayangan atau pengumuman
yang dikemas dalam acara sosial. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat
diketahui dan sekaligus mampu menarik minat masyarakat, baik lokal maupun
asing. Tayangan produk budaya Pura Tirta Empul dalam TV One melalui acara
”Riwayatmoe Doeloe” dan TV lokal (Dewata TV) melalui acara ”Prasasti
Dewata” dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menarik minat masyarakat
untuk mengonsumsinya.
5.2.2 Media Massa Cetak
Selain media massa elektronik, media massa cetak juga digunakan untuk
mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul. Media massa cetak
190

mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk lembaran
kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang menarik dari
produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat kabar, majalah,
brosur, selebaran, dan poster.
Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan
dengan kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya,
pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang beroperasi
di baliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang
membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan
pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134). Dalam upaya memperebutkan
penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai
peranan yang sangat penting.
Persoalan ideologi pada media muncul ketika apa yang disampaikan
media memunculkan berbagai problematika di dalam kehidupan sosial budaya.
Rekayasa di dalam media juga sering kali berlangsung secara halus dan tidak
tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu rekayasa. Salah satu bentuk
rekayasa media adalah apa yang disebut dengan ”hiperealitas media”, yaitu
penciptaan realitas-realitas artifisial di dalam media yang menciptakan realitas
tandingan. Istilah hiperealitas media digunakan oleh Jean Baudrillard untuk
menjelaskan perekayasaan makna di dalam media. Hiperealitas media
menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan
dianggap lebih nyata dari pada kenyataan.
191

Berkembangnya hiperealitas media tidak terlepas dari perkembangan
teknologi media, yang disebut teknologi simulasi. Dalam konteks media, simulasi
adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu para realitas di dunia
nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realias kedua yang
refrensinya adalah dirinya sendiri yang disebut simulakra. Simulakra tampil
seperti realitas yang sesungguhnya, pada hal ia adalah realitas artifisial, yaitu
realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga pada tingkat tertentu
realita media ini dipercaya lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya (Piliang,
2009 : 141).
Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya
juga telah dipromosikan melalui media massa cetak. Beberapa media massa cetak
telah digunakan untuk mendistribusikan Pura Tirta Empul kepada konsumen.
Berbagai benda cetakan tersebut diantaranya ada yang berbentuk brosur, koran,
dan buku, seperti Gambar 5.13 di bawah ini
192

Gambar 5.13 Pura Tirta Empul dalam berbagai media massa cetak(Dok. Setiawan, 2010)
5.3 Proses Konsumsi Pura Tirta Empul
5.3.1 Karakteristik Konsumen
Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pemakai atau
pengguna suatu produksi. Dalam kontek penelitian ini, konsumsi Pura Tirta
Empul ditekankan pada analisis bagaimana Pura Tirta Empul dikonsumsi oleh
para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohaninya melalui kegiatan
wisata, khususnya wisata budaya. Seperti diketahui bahwa tujuan wisata yang
berupa kebudayaan pada dasarnya diarahkan kepada terjadinya suatu penghayatan
pengalaman bagi wisatawan, yang sering kali merupakan sesuatu yang baru dan
dirasakan unik. Pada diri wisatawan diharapkan tumbuh kesan yang dalam serta
penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu.
Seorang atau serombongan wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta
Empul sebagai daya tarik wisata sudah tentu berharap untuk mendapatkan sesuatu
yang memberinya kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat
diperolehnya dari keunikan atau dari keunggulan suatu objek yang bersangkutan.
Mereka dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana Pura Tirta Empul
yang nyaman dan khas, atau merasa puas karena mendapat pengetahuan baru dari
apa yang dilihat di sana.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang menjadi
konsumen produk budaya Pura Tirta Empul adalah masyarakat lokal, wisatawan
193

nusantara, dan wisatawan asing. Masing-masing konsumen tentu mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat lokal hanya mengonsumsi Pura Tirta
Empul terkait dengan kepentingan keagamaan, terutama bersembahyang untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan atau melukat (menyucikan diri) di kolam suci
Pura Tirta Empul untuk memperoleh ketenangan lahir dan batin. Aktivitas yang
dilakukan oleh umat Hindu seperti itu lazim disebut tirta yatra, yaitu perjalanan
suci mengunjungi tempat-tempat suci untuk bersembahyang dan membersihkan
diri melalui air suci (tirta). Penyucian diri baik lahir maupun batin dipandang
sebagai tujuan dari tirta yatra melalui pelaksanaan bakti, tekun, tulus ikhlas, dan
sungguh-sungguh. Umat Hindu semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah
sebuah yadnya yang paling mudah dilakukan oleh siapapun.
Kegiatan tirta yatra pada dasarnya adalah upaya orang untuk
mendekatkan diri dengan sumbernya, yakni Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi. Pendekatan diri dengan Sang Pencipta dapat dilakukan dengan
melatih diri dan dari hati sanubari yang paling dalam. Kesucian hati menyebabkan
orang memperoleh kebahagiaan, seperti disampaikan oleh Putu Ayu, wanita asal
Desa Angantaka, Badung (wawancara, 2 Agustus 2010) sebagai berikut.
”Saya sering melukat di Pura Tirta Empul. Saat ini saya bersama keluarga menekuni pengobatan alternatif. Setiap kali selesai proses pengobatan selalu diakhiri dengan melukat, sebagai penguat dari proses pengobatan tersebut. Saya merasakan vibrasi yang sangat kuat ketika melukat pada pancoran di tirta gering”.
Dalam prosesi melukat, umumnya orang memakai pakaian adat
sebagaimana layaknya hendak melakukan pembersihan. Orang laki-laki memakai
kain dan selendang seperti hendak bersembahyang, sedangkan para wanita juga
194

memakai kain, baju, dan selendang. Seperti tertulis dalam papan petunjuk, maka
setiap orang yang hendak melukat harus menaati aturan, seperti tidak dibenarkan
hanya memakai pakaian dalam dan berenang seperti di kolam renang, tidak
diperbolekan mandi dengan menggunakan sabun, karena dapat menodai kesucian
tempat tersebut.
Sementara itu, para wisatawan (asing, nusantara) yang mengonsumsi
Pura Tirta Empul secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk
mendapatkan kesenangan. Mereka ingin melihat/menyaksikan secara langsung,
sehingga memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru tentang sesuatu objek
wisata. Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat pula pariwisata
minat khusus. Para wisatawan minat khusus ini melakukan sesuatu kegiatan yang
terkait dengan objek Pura Tirta Empul, seperti ikut bersembahyang (lihat Gambar
5.14) dan juga melakukan prosesi melukat berbaur dengan masyarakat lokal.
Mereka melakukan kegiatan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman
budaya.
195

Gambar 5.14 Wisatawan asing ikut bersembahyang di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
Wisatawan nusantara yang berkunjung ke Pura Tirta Empul umumnya
adalah rombongan pelajar yang memanfaatkan liburan sekolah. Selain pelajar ada
juga kelompok-kelompok lain atau sebuah keluarga dengan berbagai macam
kepentingan. Sementara, itu wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta
Empul umumnya melalui agen-agen pariwisata. Umumnya mereka tinggal di
resort-resort di pinggir laut, seperti Nusa Dua, Sanur, Kuta, dan Jimbaran. Selain
di tempat-tempat tersebut di atas, wisatawan yang berkunjung ke Pura Tirta
Empul sebagian tinggal di daerah pariwisata yang cukup terkenal, yaitu daerah
Ubud. Berbeda dengan resort-resort pinggir pantai, Ubud berfungsi rangkap
sebagai kawasan pemukiman dan tujuan wisata. Daerah Ubud menarik wisatawan
yang lebih melihat Bali dalam citra seni atau desa pelukis.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan wisatawan asing di
lapangan dapat dikatakan bahwa sesungguhnya wisata belum menjadi kebutuhan
utama, tetapi wisata menjadi pilihan dalam kehidupan ini. Perjalanan wisata
bukan merupakan keharusan, tetapi selalu direncanakan secara matang dan
dipersiapkan jauh-jauh hari agar biaya perjalanan bisa dikumpulkan. Jika ada
kebutuhan kehidupan lain yang dianggap lebih penting seperti pendidikan, maka
dana untuk perjalanan wisata menurut mereka akan dialihkan dan rencana liburan
ditunda. Destinasi yang dipilih tidak harus mewah dan terkenal, tetapi daerah
tujuan wisata harus bisa memenuhi kebutuhannya. Wisata yang dilakukan harus
196

memberikan pengalaman yang berimbang dengan beban biaya, waktu, dan tenaga
yang disisihkan. Mereka umumnya senang berinteraksi dengan budaya baru
bahkan dijadikan hidup. Mereka tidak canggung untuk melakukan kontak sosial
dengan budaya, bahkan sangat senang saling bercerita dan bertukar pengalaman
dengan masyarakat setempat. Dengan demikian, lintas budaya sudah menjadi
bagian dalam perjalanan wisata.
5.3.2 Konsumsi dan Pelestarian Pusaka Budaya
Industri pariwisata memiliki hubungan yang sangat erat dengan daya
tarik wisata, dalam hal ini Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul merupakan aset
pariwisata budaya dan mendapatkan dampak karena sifat situs yang rapuh
(fragile) dan tak terpisahkan (inseparability). Bersifat rapuh karena situs
merupakan karya manusia yang jika dirusak belum tentu kembali seperti
sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi situs untuk
dapat menikmatinya. Secara teoretis, hubungan situs dengan pariwisata harus
mutual dan bermanfaat. Wisatawan menikmati situs dan pendapatan yang dibayar
wisatawan digunakan untuk pelestarian dan memelihara situs guna
keberlangsungan pariwisata.
Pura Tirta Empul sebagai BCB wajib dilestarikan. Pelestarian BCB
paling tidak mempunyai dua tujuan, yakni (1) pelestarian wujud fisik dan (2)
pelestarian nilai-nilai budaya. Pelestarian fisik bertujuan melestarikan atau
menyelamatkan fisik sebuah BCB (baca Pura Tirta Empul) beserta
lingkungannya, baik lingkungan alam maupun masyarakat di sekitarnya. Hal ini
sangat perlu, karena suatu BCB bersama lingkungannya dalam pengertian yang
197

luas merupakan suatu kesatuan ekosistem, yang secara ideal diharapkan berada
dalam suatu kondisi dan hubungan yang selaras dan serasi. Jika salah satu dari
unsur ekosistem itu mengalami gangguan, maka akan terjadi ketidakharmonisan
yang dapat merusak keindahan (Sutaba, 1991 : 12).
Tujuan yang kedua ialah melestarikan nilai-nilai budaya (cultural
values) yang terkandung di dalam BCB untuk diwariskan kepada generasi
penerus. Penerusan nilai-nilai budaya kepada masyarakat luas sangat perlu
dilakukan secara terencana, untuk mencegah hilangnya nilai-nilai luhur itu dari
masyarakat. Dengan demikian, kesenjangan budaya dalam masyarakat dapat
dihindari. Hal itu berarti bahwa transformasi nilai-nilai akan berjalan dengan baik,
sehingga ketahanan budaya akan menjadi kokoh. Jika ketahanan budaya yang
kokoh dapat diciptakan, maka kepribadian bangsa tidak tergoyahkan, sehingga
pembangunan berkesinambungan dan berwawasan budaya akan berjalan dengan
baik.
Di dalam Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintah
”memajukan kebudayaan naisonal Indonesia”. Untuk melaksanakan
pembangunan yang bertujuan memajukan kebudayaan nasional tersebut perlu
keterpaduan sehingga terwujud keselamatan dan keseimbangan antar bidang.
Salah satu unsur sosial budaya yang perlu diperhatikan pelestariannya adalah
BCB, yang merupakan pusaka budaya bangsa.
BCB sebagai warisan mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan,
sejarah, dan kebudayaan. Pusaka budaya juga sangat berguna bagi pendidikan,
yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa kebanggaan nasional, memperkokoh
198

kesadaran jatidiri sebagai bangsa, serta untuk memperkaya pengetahuan pada
umumnya (Sedyawati, 2008 : 188).
Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa nilai, tradisi, dan
peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa perlu
terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk cinta tanah air. Perencanaan
tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan
benda yang mengandung nilai sejarah. Oleh karena itu, dalam upaya lebih
menjamin terpeliharanya BCB dari proses kerusakan dan kemusnahan,
pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang BCB
(UU-BCB) yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1992.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa BCB sebagai aset budaya yang
tak ternilai harganya itu sampai saat ini masih mendapat ancaman kepunahan.
Ancaman tersebut dapat berupa peristiwa alam seperti gempa bumi, letusan
gunung, cuaca, maupun oleh adanya ancaman karena kegiatan manusia, seperti
perusakan, pencurian, dan pengembangan lahan yang berkaitan dengan aktivitas
kegiatan pembangunan.
Dalam era pembangunan dewasa ini sering terjadi perbedaan
kepentingan yang tidak jarang mengancam kelestarian BCB, khususnya BCB
yang bergerak. Selain itu, juga masih dirasakan adanya berbagai usaha yang
mengarah kepada penggelapan terhadap BCB. Untuk menanggulangi hal tersebut
perlu usaha melestarikan BCB dalam bentuk kegiatan yang mempunyai sasaran
pokok tertentu, misalnya (1) mewujudkan pelestarian BCB dengan berbagai aspek
pemanfaatan secara luas, (2) melindungi BCB secara utuh, (3) mewujudkan
199

pengamanan dengan cara mengarahkan pada pemanfaatan untuk kepentingan
pendidikan, sosial, dan lain-lain, dan (4) menggugah kepedulian dan partisipasi
masyarakat luas dalam mendukung pelestarian dan pemanfaatan BCB
(Tjandrasasmita, 1983 : 10 ; Sedyawati, 2008 : 189).
BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan,
sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan dalam rangka membentuk rasa
kebanggaan dan memupuk rasa memiliki jati diri bangsa. Oleh karena itu,
pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk melindungi dan melestarikan
bangunan yang bernilai sejarah dan purbakala. Bangunan bersejarah merupakan
jatidiri dari identitas suatu bangsa.
Gambar 5.14 Pura Tirta Empul sebagai benda cagar budaya(Dok. Setiawan, 2010)
200

Pelestarian dan pemanfaatan bangunan aset budaya dapat dilakukan
tanpa meninggalkan prinsip atau kaidah pelestariannya. Kedua prinsip tersebut
dapat berjalan bersamaan dengan mematuhi seperangkat ketentuan ICOMOS
(1992) yang menyangkut tentang keaslian suatu bangunan, yaitu keaslian bahan,
bentuk/desain, tata letak, serta keaslian cara-cara pembuatannya. Dengan
demikian, setiap perubahan atau perusakan pada suatu bangunan dianggap
mengurangi tingkat keaslian yang seharusnya dipertahankan atau dilestarikan.
Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian pusaka
budaya, termasuk Pura Tirta Empul, yaitu kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Untuk masyarakat Desa Manukaya, kunci pemertahanan budaya ada di kekuatan
institusi keagamaan untuk integrasi internal dengan mempertahankan keberdayaan
institusi-institusi tradisional. Di luar itu ada pula sejumlah institusi modern,
seperti pendidikan formal dan organisasi-organisasi lintas banjar, yang dapat
berperan sebagai dinamisator ”penantang”. Kedua jenis institusi itulah yang harus
dilihat sebagai kekuatan kelembagaan inti, sedangkan institusi-institusi ekonomi,
termasuk di dalamnya kepariwisataan dan industri budaya, adalah institusi-
institusi ”pinggir”, dalam arti yang mengambil manfaat dalam upaya-upaya
pemasaran. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum masyarakat, institusi
ekonomi sangat penting, namun tidak boleh dilupakan bahwa sumber inti
kreatifnya harus tetap dijaga kekuatannya.
Aspek strategi yang kedua menyangkut sumberdaya manusia.
Sumberdaya manusia yang dimaksud di sini adalah anggota masyarakat Desa
Manukaya dalam berbagai peranannya. Mereka yang merupakan pelaku dalam
201

perumusan nilai-nilai (pemimpin, pendidik formal dan non formal), sumber
keahlian, adalah mereka yang harus dijaga kemandiriannya dan keberadaannya.
Di samping mereka yang berperan sebagai pelaku dalam penerusan
pusaka budaya, terdapat pula mereka yang berkedudukan sebagai penerima, yaitu
khalayak ramai. Melalui jalur-jalur pendidikan dan media massa masyarakat luas
dapat dilayani untuk membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan
sadar sejarah. Warga masyarakat yang demikianlah pada gilirannya mampu
menjadikan masyarakatnya masyarakat yang kuat juga dalam segi budaya.
Pengembangan pariwisata hendaknya juga memperhatikan prinsip-
prinsip Kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism), yang
antara lain menyatakan bahwa para pelaku pariwisata dan wisatawan wajib
memperhatikan tradisi atau praktik-praktik sosial budaya dari masyarakat
pendukung budaya tersebut. Kegiatan pariwisata harus dilakukan dalam kondisi
yang harmonis sesuai kekhasan dan tradisi daerah yang bersangkutan, serta
menghormati Undang-undang, adat-istiadat, dan kebiasaan yang berlaku di daerah
tersebut. Selain itu, penduduk setempat harus diikutsertakan dalam kegiatan
kepariwisataan dan secara adil menikmati keuntungan ekonomi yang didapat (cf.
Chris Ryan dan Aicken, 2005 : 5-6). Dengan kata lain, pengelolaan pusaka
budaya untuk kepentingan pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, baik
dalam perencanaan maupun implementasinya. Pemanfaatan pusaka budaya untuk
pariwisata harus menguntungkan masyarakat lokal.
Memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata dunia tersebut di
atas, maka sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian
202

pusaka budaya atau keberadaan budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan
pariwisata. Kode etik telah mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk
menghormati dan mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah. Sementara itu,
dalam pengertian yang lebih luas pelestarian dalam konteks ini juga menyangkut
masalah perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan.
a. Perlindungan
Sarana perlindungan terhadap pusaka budaya adalah berupa peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini UU No. 5/1992 tentang benda-benda cagar
budaya. Dalam UU tersebut telah diatur mengenai penguasaan, pemilikan,
penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan
pengawasan. Semua itu harus ada izin tertulis dari Direktur Jenderal Sejarah dan
Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kemudian diatur pula
masalah pemindah tanganan sebuah artefak, penemuan, larangan penggalian
benda-benda monumen tanpa izin tertulis. Terdapat pula pasal mengenai sanksi
pelanggaran bahkan diatur pula tentang denda-denda lainnya.
Kecuali sarana hukum untuk perlindungan pusaka budaya, pemerintah
juga telah membentuk struktur organisasi yang menangani bidang tersebut dengan
tugas antara lain sebagai berikut.
1. Menyelenggarakan pemeliharaan, konservasi, pemugaran, perlindungan,
pengawasan terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak beserta
situs-situsnya yang mempunyai nilai sejarah dan purbakala.
2. Menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, bimbingan dan penyuluhan
kesejarahan dan kepurbakalaan serta situs-situsnya.
203

3. Menyelenggarakan pendokumentasian, inventarisasi, dan publikasi, dan
4. Menyusun saran tentang perlindungan dan perizinan mengenai benda cagar
budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Tjandrasasmita, 1980 : 99).
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sudah barang tentu Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala di pusat dan di dearah-daerah
bekerja sama dengan semua instansi yang berkepentingan. Lebih-lebih dalam
masalah perlindungan atau pengamanan bahkan pemeliharaan dan pemugaran
perlu bekerja sama dengan kepolisian, bea cukai, Departemen Dalam Negeri,
Pemerintah Daerah, Kejaksaan, dan sebagainya. Bahkan kerjasama itu tidak hanya
di dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri khususnya dengan badan-badan
yang mengelola peninggalan sejarah dan purbakala. Kerjasama dengan badan-
badan di luar negeri ada kaitannya dengan UNESCO melalui konvensi-konvensi
dan rekomendasi-rekomendasinya serta Badan-badan Internasional seperti
ICOMOS (International Council of Monuments and Sites), ICOM (International
Council of Monuments), SPAFA (Seameo Project in Archaeology and Fine Arts),
dan lain-lain.
b. Pengelolaan
Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya dewasa ini telah ditetapkan
sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Pusaka budaya merupakan kekayaan budaya
yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dalam kerangka memupuk kepribadian masyarakat
dan bangsa. Selain itu, Pura Tirta Empul sebagai bangunan suci, secara implisit
204

mencerminkan dekatnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Dikatakan
demikian karena pada hakikatnya bangunan suci merupakan hasil adaptasi
manusia dengan lingkungan alam, dalam mengatasi berbagai tantangan kehidupan
manusia di alam ini.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat dan disertai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, serta
kegiatan industri, khususnya pariwisata yang berkembang dewasa ini,
menimbulkan perubahan-perubahan yang kurang terkendali, sehingga dapat
membahayakan dan mengancam kelestarian produk budaya tersebut. Karena itu,
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kerusakan dan pengrusakan BCB dan
lingkungannya, perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya secara proaktif.
Pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan terpadu untuk menjaga
kelestarian dan keseimbangan sosial ekonomi, budaya, dan ekologi dalam nuansa
pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pengelolaan pusaka budaya dalam
hal ini dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan produk budaya
dan fungsi lingkungannya melalui kebijakan perlindungan, pembinaan, dan
pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan.
Perkembangan pariwisata di daerah Bali dewasa ini, selain memberi
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, di sisi lain juga membawa
dampak negatif terhadap kelangsungan suatu produk budaya, lebih-lebih
pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya. Dengan kata lain, dalam
wacana kepariwisataan dikenal apa yang disebut sebagai wisata budaya (cultural
tourism). Badan dunia seperti UNESCO menaruh perhatian sungguh-sungguh
205

pada penggalakan, namun sekaligus penanganan yang amat hati-hati terhadap
subjek budaya. Di satu sisi wisata budaya menjanjikan peningkatan dan
pendalaman interaksi manusia antarbangsa, namun di sisi lain pemanfaatan
khasanah budaya, sekaligus mengandung bahaya ”keausan”. Maka di sinilah
terdapat relevansi untuk membicarakan kebijakan pengelolaan terhadap objek-
objek budaya yang dijadikan sasaran kunjungan wisatawan.
Sebagai landasan berpijak bagi suatu pembahasan mengenai pengelolaan
kebudayaan untuk memenuhi berbagai fungsi, serta kebijakan yang mendasarinya,
perlu lebih dahulu pemahaman mengenai kebudayaan secara komprehensif. Inti
kebudayaan terdiri atas perangkat ide-ide yang terintegrasi, yang terwujud ke
dalam berbagai produk mental, seperti konsep dan nilai, yang selanjutnya dapat
membangun perangkat-perangkat ide yang lebih khusus, seperti norma, ideologi,
estetika, struktur sosial, kaidah pelaksanaan agama, filsafat, dan lain-lain. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa inti kebudayaan sesungguhnya terdapat di dalam
akal-budi manusia.
Menurut Sedyawati (2008 : 132) perangkat ide-ide itulah yang
memberikan arahan bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat, serta juga
sejalan dengan tujuan-tujuan hidup tertentu mengarahkan penciptaan atau
pembuatan benda-benda hasil budaya, yang pada gilirannya juga dapat menandai
suatu masyarakat atau suatu bangsa. Justru perbedaan budaya di antara bangsa-
bangsa inilah yang seringkali dapat menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik
wisata.
206

Daya tarik terhadap produk budaya Pura Tirta Empul pada dasarnya
berkisar sekitar dua hal pokok. Pertama, terdapatnya makna sejarah yang tinggi
pada produk budaya bersangkutan dan merupakan sumbangan dalam sejarah
peradaban manusia. Sedangkan penyebab daya tarik kedua, adalah terdapatnya
unsur yang ”aneh, eksotis”, yaitu yang asing dan jauh berbeda dengan
kebudayaan pemirsa.
Bagi orang awam, atau di mata pelaku ekonomi yang berwawasan
sempit, kebudayaan seolah-olah hanya terwakili oleh karya-karya budaya yang
terlihat dominan di pasar. Bahkan melalui selera dan pertimbangan sendiri,
produsen karya-karya industri budaya pun dapat menciptakan pasar dan
mempengaruhi selera massa. Maka yang dibutuhkan adalah, di samping para
pembina kebudayaan yang aktif di kawasan hulu, juga pelaku-pelaku ekonomi di
kawasan hilir yang semakin cerdas serta berwawasan budaya yang luas dan
mendalam, sehingga yang akan terjadi adalah sinergi antara hulu dan hilir, dan
juga antara pencipta, mediator, dan konsumen. Suatu keniscayaan yang tak dapat
diingkari adalah bahwa produk-produk budaya harus senantiasa dirawat dan
dilestarikan agar tidak menjadi kering dan mati. Apabila produk-produk itu kering
maka yang ”dijual” pun lama-kelamaan akan menjadi ”tidak bersaing”.
Jika diambil contoh-contoh konkret mengenai daya tarik wisata budaya,
maka dapat diajukan klasifikasi sebagai berikut. Pertama, yang daya tariknya
berasal dari makna sejarah kebudayaan dari suatu unsur khasanah masyarakat, dan
kedua, yang daya tariknya disebabkan oleh keunikan atau keanehannya. Golongan
pertama misalnya antara lain : (1) tempat atau peninggalan sejarah budaya yang
207

arti pentingnya disebabkan oleh karena peninggalan tersebut merupakan contoh
yang spesifik dari suatu pencapaian teknologi maupun gaya arsitektur, dan (2)
suatu tempat atau peninggalan sejarah yang arti pentingnya disebabkan oleh
adanya peristiwa sejarah penting yang terjadi di tempat tersebut.
Adapun golongan kedua yang berdasarkan daya tarik karena keunikan,
adalah pelaksanaan tradisi yang berlaku khusus dalam masyarakat, yaitu
melakukan prosesi melukat secara masal di kompleks kolam suci Pura Tirta
Empul. Prosesi melukat belakangan ini semakin banyak dilakukan oleh
masyarakat sehingga menarik perhatian para wisatawan, bahkan beberapa di
antara wisatawan tersebut ikut pula melakukan prosesi ini.
Dengan menggunakan kerangka klasifikasi tersebut, maka pembinaan
budaya untuk menunjang pariwisata dapat diarahkan dengan tepat sasaran.
Sarana-sarana industri budaya perlu diperkuat untuk mengarah ke dua sasaran
sekaligus, yaitu untuk pendidikan masyarakat sendiri dan untuk meningkatkan
daya tarik wisata. Pengemasan dan penyebarluasan informasi budaya merupakan
lahan garapan yang amat luas, dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan
apabila tidak menghendaki terpuruknya budaya masyarakat. Kebijakan wisata
budaya perlu tetap dipusatkan pada peningkatan produk industri budaya yang
bermutu, menjualnya dengan harga pantas sehingga memungkinkan imbalan yang
pantas pula bagi para masyarakat pendukung budaya tersebut, serta sekaligus
memperhitungkan imbal-baliknya untuk perawatan sumber-sumber kreatif bagi
keberlanjutan kebudayaan itu sendiri. Dengan itulah pembinaan dan
208

pengembangan industri budaya dan wisata dapat menjadi bermakna untuk
menciptakan kesejahteraan bersama.
c. Pemanfaatan
Dalam Undang-undang No. 5/1992 tentang BCB pasal 19 disebutkan
bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial,
pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Demikian pentingnya
sebuah BCB, maka pelestariannya sebagai bagian dari kebudayaan nasional,
sangat mutlak diperhatikan.
Dalam batasan pengertian mengenai ”pelestarian budaya” yang
dirumuskan dalam Undang-undang tentang kebudayaan (1999) dijelaskan bahwa
pelestarian budaya berarti pelestarian terhadap eksistensi suatu kebudayaan dan
bukan berarti membekukan kebudayaan dalam bentuk-bentuknya yang sudah
pernah dikenal. Dalam kenyataannya, kebudayaan senantiasa berada dalam proses
berkembang, menyusut, berubah atau berstransformasi. Dalam batasan tersebut di
atas pelestarian dilihat sebagai suatu yang terdiri atas tiga aspek, yaitu
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dalam aspek pemanfaatan itulah
terdapat kepentingan pariwisata.
Untuk mendeskripsikan konteks yang tepat, maka perlu ditambahkan
penjelasan bahwa pemanfaatan pusaka budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul
dapat diarahkan ke berbagai tujuan, bukan hanya pariwisata. Ada tiga tujuan
pemanfaatan pusaka budaya (Sedyawati, 2008 : 152), yaitu sebagai berikut.
209

(1) Pendidikan (formal maupun non formal, berstruktur maupun tidak
berstruktur).
(2) Industri, dalam hal ini untuk menghasilkan produk kemasan industri budaya.
(3) Pariwisata, baik untuk wisatawan umum maupun wisatawan minat khusus.
Pemanfaatan pusaka budaya untuk tujuan pendidikan adalah sebagai
substansi untuk disosialisasikan dalam berbagai tujuan yang lebih khusus, seperti
(1) untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat
integritas sebagai bangsa yang mampu menunjang moral yang tinggi, (2) untuk
menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar golongan, dan (3)
untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran sejarah.
Pemanfaatan untuk tujuan pengembangan industri budaya berarti
memberikan pada kemasan-kemasan industri budaya (buku, video, film) isi yang
bermanfaat. Kemanfaatan isi tersebut dilihat dari kekuatan pengaruhnya untuk
meningkatkan mutu pengetahuan orang mengenai berbagai hal yang bersifat
budaya, serta dari kegunaannya sebagai pemberi hiburan yang sehat. Kenyataan
yang ada sekarang adalah bahwa pasar dibanjiri oleh produk-produk industri
budaya asing, atau sebaliknya produk industri budaya lokal yang meniru isi
produk asing, yang semuanya sama sekali tidak berfungsi mencerdaskan,
melainkan sebaliknya cenderung menggerakkan efek kecanduan. Dalam hal ini,
jika industri budaya lokal dapat meningkatkan daya saing dengan sekaligus
mengangkut muatan budaya lokal yang dapat dibanggakan, maka dengan besar
hati pula produk-produk itu dapat ”dijajakan” kepada wisatawan mancanegara, di
samping dipakai sendiri untuk menambah kekuatan jati diri budaya bangsa.
210

Pemanfaatan pusaka budaya yang ketiga yaitu pemanfaatan untuk
pariwisata. Pariwisata budaya merupakan aktivitas yang memungkinkan
wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan
cara hidup orang lain merefleksikan tradisi religiusnya, dan ide-ide intelektual
yang terkandung dalam pusaka budaya yang belum dikenalnya. Pusaka budaya
Pura Tirta Empul sebagai hasil karya manusia mempunyai nilai estetis, simbolis,
dan informatif, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Lebih-
lebih Pura Tirta Empul sebagai living monument sehingga pemeliharaan dan
pelestarian dilakukan secara berkesinambungan oleh masyarakat setempat atau
pengemong pura bersangkutan. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik
wisata diharapkan memberi dampak positif bagi kelestarian pura tersebut.
211

212

BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KOMODIFIKASI PURA
TIRTA EMPUL DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor-faktor yang mendorong
komodifikasi Pura Tirta Empul. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
suatu produk kebudayaan termasuk Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi.
Bagi masyarakat Desa Manukaya, produk kebudayaan Pura Tirta Empul
merupakan pusaka budaya yang dibanggakan serta merupakan bagian hakiki dari
suatu identitas. Eksistensi Pura Tirta Empul dalam bentuknya yang sekarang
terkait erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal
maupun faktor eksternal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata di era globalisasi
dewasa ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Desa Manukaya
kekinian dalam berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Produk budaya Pura Tirta
Empul dalam perkembangan dan perubahannya juga mengikuti dinamika
perubahan sosial budaya masyarakat. Perubahan adalah suatu proses yang harus
terjadi dalam kehidupan, sehingga apa pun itu, termasuk produk budaya Pura
Tirta Empul mengalami perubahan dalam bentuk penampilan. Gejala ke arah itu
sesungguhnya telah terjadi pada produk budaya Pura Tirta Empul, seperti dapat
disimak keberadaannya dewasa ini menjadi produk komoditas yang dipasarkan
untuk mendapatkan keuntungan finansial.
213
211

Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya
lokal masyarakat Desa Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi
lahir dari dalam diri masyarakat (faktor internal) sendiri, sebagai tanggapan aktif
masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik
budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor
eksternal secara signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global.
Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
komodifikasi Pura Tirta Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal terdiri atas munculnya paradigma baru dalam pola pikir
masyarakat lokal, kreativitas memperindah pura, dan motivasi untuk peningkatan
kesejahteraan. Selanjutnya faktor eksternal terdiri atas perkembangan pariwisata,
kapitalisme dan industri budaya, serta peranan media massa.
6.1 Faktor Internal
6.1.1 Munculnya Paradigma Baru dalam Pola Pikir Masyarakat Lokal
Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam
masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan
suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan
kebudayaan. Tidak ada suatu masyarakat yang statis. Setiap masyarakat selalu
mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang
mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2).
214

Demikian juga masyarakat Desa Manukaya, suatu perubahan selalu
berlaku pada semua masyarakat. Proses perubahan bisa berlangsung secara lambat
atau cepat. Globalisasi pariwisata telah membawa dampak sosial budaya yang
signifikan, sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi
masyarakat. Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol,
sementara pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih
besar. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi.
Tradisi kultur pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga
menyebabkan kultur konsumen atau budaya model Barat menjalar dalam
kehidupan masyarakat.
Paradigma secara normatif berarti kerangka berpikir, pola/model dalam
teori ilmu pengetahuan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 648). Paradigma dalam
konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi
untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam
kehidupan sehari-hari (Ratna : 2008 : 2).
Paradigma adalah sebuah teknik atau cara yang sistematis dipraktikkan
di lingkungan masyarakat untuk menanamkan suatu kesan bahwa kehidupan
dengan cara lama harus mulai ditinggalkan. Berbagai nilai yang akan dirasakan
oleh masyarakat dengan melaksanakan paradigma baru, secara terus menerus
ditanamkan dalam masyarakat dengan berbagai cara. Pengenalan paradigma baru
ini juga disertai dengan alasan tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang
berhasil mengantarkan masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah
proses perubahan paradigma dicanangkan dalam rangka meningkatkan
215

kesejahteraan masyarakat. Paradigma yang dimaksud adalah untuk mewujudkan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berbagai sumberdaya yang
merupakan modal sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata,
termasuk Pura Tirta Empul.
Masyarakat Desa Manukaya sebagai salah satu bagian dari masyarakat
Bali tidak terlepas dari fenomena ini. Bahkan proses itu terjadi cukup cepat,
terkait dengan kenyataan bahwa Pura Tirta Empul merupakan aset daya tarik
wisata yang potensial dan menarik banyak pengunjung, baik oleh wisatawan
lokal, nusantara, maupun mancanegara. Kedatangan para wisatawan dari berbagai
negara dengan aneka ragama budayanya, sehingga mau tidak mau masyarakat
lokal dan kebudayaannya harus berkomunikasi dengan budaya aneka bangsa yang
beraneka ragam tersebut. Akibatnya, masyarakat Desa Manukaya berada dalam
masa transisi dari masyarakat dengan budaya ekonomi agraris menuju masyarakat
dengan budaya ekonomi jasa.
Pengaruh globalisasi tampaknya telah berpengaruh terhadap dinamika
sosial budaya masyarakat Desa Manukaya sebagai pendukung produk budaya
Pura Tirta Empul. Roh globalisasi telah membungkus sedemikian rupa sehingga
tanpa terasa keberadaan Pura Tirta Empul, mengalami pergeseran pemaknaan.
Masyarakat desa ingin menjadi modern sambil melestarikan budayanya. Untuk
itu mereka membutuhkan uang para wisatawan, yang merupakan wahana
modernisasi. Akibatnya, terdorong oleh alasan pelestarian budaya dan kebutuhan
ekonomi, masyarakat membina tradisinya demi mendapatkan uang yang
dibutuhkan untuk modernisasi. Unsur-unsur sakralitas, magis, religius berjalan
216

bersama-sama dengan selera konsumen yang menjadikan Pura Tirta Empul
sebagai barang komoditi yang telah bergeser fungsi sosialnya.
Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul dalam
perannya untuk pengembangan pelestarian budaya tidak bisa dimungkiri sangat
dipengaruhi oleh globalisasi. Secara otomatis syarat-syarat global harus dipenuhi,
yang cenderung kepada budaya instan dan populer dalam mengapresiasi sebuah
produk budaya. Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul adalah
masyarakat egaliter dan terbuka terhadap modernisasi. Dalam pola pikirnya,
mereka memiliki cara untuk menjaring semua yang diperoleh dari pengaruh
global untuk ditolak atau digunakan dalam mempertinggi nilai budaya.
Dalam proses menuju masyarakat industri/jasa dan kemudian dalam arus
globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, tidak sedikit tantangan yang harus
dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut bisa saja menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan sosial budaya atau bahkan bisa mengancam kelangsungannya apabila
tidak diantisipasi dengan cermat dan diupayakan agar tantangan-tantangan itu
dapat dijadikan peluang bagi masyarakat untuk memperkuat jati dirinya pada
masa-masa mendatang sesuai dengan tuntutan modernisasi.
Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab moral masyarakat, khususnya
masyarakat Desa Manukaya agar Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya yang
bernilai luhur dapat dilestarikan, dalam arti, bukan hanya mempertahankan nilai-
nilai lama, tetapi sekaligus menjaga dan mengembangkannya. Dalam hal ini
unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan supaya diperkokoh, sedangkan
217

unsur-unsur yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan, baik masa
kini maupun masa datang dapat dicarikan pemecahan permasalahannya.
Terkait dengan kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul Bendesa Adat
I Made Mawi Arnata mengatakan sebagai berikut.
”Dari pengamatan setiap hari tentang kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul, baik wisatawan lokal, domestik, atau mancanegara, kami mempunyai keyakinan bahwa produk budaya Pura Tirta Empul yang kami banggakan sebagai tempat suci dan juga sebagai daya tarik wisata yang potensial di desa kami, akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena nilai finansial yang diperoleh kami kembalikan untuk membangun desa” (wawancara Tgl. 5 April 2010).
Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah, dan
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT, bekerjasama dengan
Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Manukaya secara rutin memberi
pembinaan dan ide-ide dalam upaya pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya
tarik wisata budaya.
Ide-ide yang dilontarkan ke tengah masyarakat lebih banyak mengandung
muatan tentang strategi yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk memperoleh
keadaan yang lebih baik. Melalui penerapan ide-ide baru tersebut, cara-cara hidup
lama yang hanya mengharapkan dari hasil pertanian, perkebunan, harus diganti.
Berbagai wacana yang disampaikan oleh penguasa dan tokoh masyarakat
menunjukkan adanya kekuasaan yang sangat besar untuk mempengaruhi
masyarakat lokal. Hal itu sesuai dengan pendapat Foucoult (2002 : 175) yang
mengatakan bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga-lembaga sosial,
tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya.
218

Berbagai nilai yang akan dirasakan oleh masyarakat dengan melaksanakan
paradigma baru, secara terus menerus ditanamkan dalam masyarakat dengan
berbagai cara. Penganalan paradigma baru juga disertai dengan alasan-alasan
tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang berhasil mengantarkan
masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah proses perubahan
paradigma dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Paradigma yang dimaksud adalah bahwa untuk
mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, sumberdaya yang
tersedia, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang merupakan
modal yang bernilai tinggi sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan
pariwisata di Desa Manukaya.
Tidak ada pilihan lain bagi kami untuk melaksanakan paradigma baru. Kami harus mempersiapkan diri untuk dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang segera akan berubah, hingga berbagai sumberdaya yang kami miliki akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan sakralitas pura” (wawancara dengan Nyoman Negara, Tgl. 5 April 2010).
Paradigma yang dicanangkan tersebut mempunyai implikasi akan
terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat lokal dalam hal pemanfaatan Pura
Tirta Empul, yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Dalam proses
perubahan paradigma tersebut, diperlukan proses sosialisasi yang tidak hanya
memerlukan waktu, tetapi harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang
disegani dalam lingkungan masyarakat setempat.
Untuk meningkatkan kesejahteraan, kita harus merubah pola pikir dan mengikuti perkembangan zaman. Tradisi-tradisi lama yang kiranya menghambat sebuah kemajuan harus ditinggalkan, sementara hal-hal baru yang membawa perubahan ke arah kemajuan dan kesejahteraan, itulah yang harus dikejar. Terkait tentang Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, saya
219

tetap menyucikan sebagai tempat untuk memohon keselamatan/kerahayuan. Namun kemajuan zaman harus pula diikuti sepanjang hal itu dapat membawa kesejahteraan (wawancara dengan I Made Suja, Tgl. 1 April 2010).
Pernyataan di atas jelas bahwa masyarakat Desa Manukaya terbuka
terhadap hal-hal yang modern dan mengejar sesuatu bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat terbuka terhadap berbagai perubahan yang
memang tidak bisa dihindarkan. Namun demikian, prinsip-prinsip kesakralan
diusahakan tetap dapat dipertahankan sebagai cerminan identitas budaya
masyarakat Desa Manukaya.
Pura Tirta Empul salah satu produk budaya dibangun dalam proses
akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan representasi masyarakat Manukaya
sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitas
didomain oleh masyarakat pendukungnya dalam mereduksi wujud komodifikasi
makna baru, sesuai dengan representasi yang dibangun oleh mereka untuk
kepentingan ekonomi.
Representasi dapat saja lahir dari dalam diri masyarakat sendiri (faktor
intern), sebagai tanggapan aktif masyarakat Desa Manukaya terhadap diri dan
lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik budaya yang direpresentasikan
melalui Pura Tirta Empul. Hal inilah yang memberi tantangan dilematis pada
masyarakat Manukaya sebagai pemilik budaya antara melestarikan tradisi magis
religius Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitasnya atau
mendapatkan ’dolar’ sebagai representasi baru. Dengan semangat kapitalisme
Pura Tirta Empul telah menjadi produk komoditas mengikuti selera konsumen.
220

Pura Tirta Empul yang merupakan bukti sejarah, identitas, dan
kebanggaan masyarakat telah dikomodifikasi oleh “pemiliknya” dengan dukungan
pemerintah untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Komponen budaya
telah dijadikan komoditas atau mengalami proses komodifikasi untuk dikonsumsi
oleh wisatawan sehingga menimbulkan kesan komersialisasi dan mungkin saja
terjadi penurunan kualitas sebuah kebudayaan.
6.1.2 Kreativitas Pengembangan Estetis
Faktor internal lain yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul
adalah kemampuan kreativitas masyarakat. Kreativitas adalah salah satu
kemampuan intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan memecahkan
masalah, berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru
yang berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau
mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya, atau kreativitas adalah
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 : 313).
Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya,
dalam proses kehadirannya, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas
manusia yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan. Kreativitas
pengembangan estetis Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiran-
pemikiran kreatif manusia sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu
tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa keindahan yang terus-menerus.
Ngakan Putu Sujana seorang undagi (wawancara 2 Mei 2010) mengatakan
bahwa.
221

”Wujud penampilan Pura Tirta Empul seperti yang sekarang ini sesungguhnya adalah merupakan proses kreativitas orang-orang Desa Manukaya yang tidak pernah berhenti dan terus-menerus. Dia akan selalu berproses dan berproses serta terus berkreativitas untuk penyempurnaan-penyempurnaan dalam mencapai nilai estetika tertinggi sebagai identitas suatu etnis”.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kreativitas
yang tinggi untuk mencapai nilai estetika tertinggi. Berbagai kreativitas
ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan yang ditampilkan pada
bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial bangunan suci adalah bentuk
massa (bangunan) dan tata letak massa dalam lingkungan mandala. Bentuk massa
berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola
massa berpengaruh terhadap perubahan spasialnya. Sebelum tahun 1980, bentuk
dan massa bangunan yang mengalami renovasi total mencerminkan
kesederhanaan, tetapi tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian.
Pura Tirta Empul yang direnovasi secara besar-besaran tahun 1990-an
meliputi semua pelinggih di jeroan dan jaba tengah, candi bentar, dan bataran
bangunan. Dari segi bentuk (lay-out)nya, bangunan-bangunan yang direnovasi
tidak mengalami perubahan dari aslinya. Perubahan hanya terjadi pada ragam
hiasannya, sehingga memberikan kesan yang berbeda, seperti penggunaan
berbagai hiasan pepatraan pada beberapa pelinggih pura. Dengan kesejahteraan
yang mulai meningkat, timbul keinginan untuk memperbaiki pelinggih-pelinggih
dengan membongkar bangunan yang lama dan mengganti dengan bangunan baru,
dengan ukuran yang lebih besar, material yang lebih baik, dan tampilan ornamen
serta ragam hias yang lebih baik. Dengan kata lain, perubahan terjadi tidak saja
222

terbatas pada bentuk-benutk luar bangunan, tetapi juga detail bangunan, seperti
bahan, ornamen, dan warna (lihat Gambar 6.1 dan 6.2) di bawah ini.
Gambar 6.1 Bentuk kreativitas diwujudkan dalam bentuk ukiran kayu yang sangat indah pada bangunan suci.(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 6.2 Ukiran kayu yang dipulas dengan pulasan prada berwarna emas pada pelinggih/bangunan suci.(Dok. Setiawan, 2010)
223

Ukiran kayu dengan pulasan prada pada bangunan suci di atas
memperlihatkan betapa besar perhatian masyarakat Desa Manukaya Let terhadap
parahyangan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi, sebagai wujud penerapan
kearipan lokal tri hita karana. Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat
Manukaya, yang merupakan pedoman keseimbangan antara krama desa (warga
desa), pekraman (teritorial desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa).
Sesuai dengan maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan
antara kedamaian rohani yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni
serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Desakan dari prinsip
ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap
hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan
sebagai objek komersial. Atau sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan dengan
mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-bentuk baru.
Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup
menjanjikan kehidupan yang lebih baik, berpengaruh terhadap dinamika
kesadaran budaya masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan orientasi bahwa
ruang dalam konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan
uang atau keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang
dan membentuk identitas ke arah komersialisasi, yang ditandai dengan sikap
promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi pura,
memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan
lingkungan, pembuatan taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan
komersial.
224

Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi
juga memberikan corak tertentu terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari
fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah menyajikan suatu bentuk
pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan bahan
yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi, atap
bangunan dari alang-alang diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan dari
tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan bentangan lebar, yang
sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton cor.
Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi mutakhir,
serta komunikasi yang intensif dengan pihak luar melalui pariwisata dan media-
media informasi, mempertegas pergeseran pusaka budaya Pura Tirta Empul
sebagai situs komersial.
Apa yang ditampilkan oleh Pura Tirta Empul dewasa ini adalah hasil
kreativitas manusia Desa Manukaya. Dalam berkreativitas, kemampuan adalah
faktor penentu. Manusia memiliki ide, kreasi, kemauan dan kemampuan dalam
mengekspresikan pengalaman jiwanya.
”Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalaman untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain (Wirakusuma, 2005 : 30-31).
Pendapat yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kreativitas adalah
persoalan kebebasan pribadi dalam berkarya. Kebebasan berkreativitas hendaknya
dapat menyatu dengan kehidupan sehari-hari dan selalu berada di tengah-tengah
kehidupan bersama. Kreativitas masyarakat dalam upaya memperindah pura, baik
225

sebagai tempat suci maupun sebagai daya tarik wisata, secara langsung atau tidak
langsung, berperan ikut mempercepat atau mendorong komodifikasi Pura Tirta
Empul.
Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak
ditentukan oleh para sponsor, yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik yang
mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura Tirta Empul. Lembaga atau
instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas Pariwisata
Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, Pemerintah
Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan giat mencari
berbagai farmasi yang mungkin bisa dikembangkan untuk menambah pemasukan
daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai modal dalam
upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta Empul menjadi semacam
”magnet” yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung
dan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan aset daya
tarik wisata Pura Tirta Empul.
Secara politis, hegemoni di sekitar praktik-praktik pariwisata datang dari
pemerintah atau pemegang otoritas (misalnya melalui kebijakan), sebagian lagi
datang dari kalangan pengusaha (ekonomi), dan masyarakat, dalam hal ini
masyarakat Desa Manukaya yang memang berkeinginan memanfaatkan Pura Tirta
Empul untuk menambah pendapatan finansial. Kelompok-kelompok itu bergerak
dalam bidang-bidang yang berbeda, tetapi saling berhubungan dalam suatu
formasi sosial. Dalam konteks ini, teori hegemoni menjadi berguna dalam
226

menelusuri bentuk-bentuk hegemoni pemegang kekuasaan (politis), sosial, dan
budaya.
Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya
bagi sebagian masyarakat memahaminya sebagai peristiwa atau proses
kebudayaan dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi
di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan
demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu
faktor pendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.
6.1.3 Motivasi Untuk Peningkatan Kesejahteraan
Sejumlah studi menunjukkan bahwa masyarakat miskin di pedesaan
masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan
kultur pedesaan. Mereka umumnya belum mempunyai pendapatan yang cukup
untuk bebas dari kekurangan. Mereka masih dililit oleh ketidakberdayaan.
Ideologi dan teknologi baru yang diperkenalkan kepada mereka acapkali di respon
secara negatif, terutama karena tidak memiliki jaminan sosial yang cukup untuk
menghadapi resiko kegagalan (Usman, 1998 : 32).
Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi
pembangunan hendaknya berisi usaha untuk memberdayakan masyarakat
sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Untuk
mengatasi hal itu, pemerintah sesungguhnya telah mencanangkan berbagai macam
program pembangunan pedesaan. Salah satu diantaranya adalah pembangunan
melalui pengembangan pariwisata. Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu
227

situs dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, sebuah proses transaksi
ekonomi harus terjadi. Realita seperti itu secara nyata terjadi atas situs Pura Tirta
Empul. Arus manusia dari berbagai penjuru dunia datang berkunjung untuk
menikmati apa sesungguhnya yang ada di area situs tersebut.
Pembangunan pedesaan, meskipun kini telah memasuki era baru yang
dikatakan “Orde Reformasi” pasca pemerintahan Orde Baru yang sentralistik,
permasalahan mendasar pembangunan masih muncul, terutama keseimbangan
antara pembangunan pertanian dan industri pariwisata. Masyarakat Desa
Manukaya yang secara geografis dan topografis berbasis pertanian, makin lama
makin kehilangan budaya pertaniannya. Tradisi pertanian di sawah, ladang,
kebun, mulai ditinggalkan. Sebaliknya, pariwisata yang kelihatan modern dan
menjanjikan dolar menjadi ideologi baru. Para anak muda di desa tidak lagi
tertarik untuk menjadi petani, tetapi lebih memilih pekerjaan di sektor pariwisata
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Sang Putu Alit (wawancara 11 April 2010) mengatakan:
Kehidupan modern yang pada awalnya kami yakini akan mampu memberi kesejahteraan jangka panjang, ternyata juga menimbulkan dampak negatif. Masuknya budaya asing yang tidak dapat dibendung tentu menimbulkan kekhawatiran kami akan dapat merusak nilai-nilai budaya lama yang diwariskan oleh leluhur kami”.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung
dalam aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari
sepenuhnya bahwa budaya kapitalisme maupun konsumerisme yang mulai
tumbuh di wilayah mereka akan dapat mengancam budaya lokal. Sadar akan
kenyataan tersebut, berbagai aktivitas yang bernuansa sosial budaya sebagai
228

bentuk revitalisasi terhadap berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat
lokal, selalu mendapat prioritas dalam pelaksanaannya.
Ramainya kunjungan para wisatawan ke Pura Tirta Empul menimbulkan
berbagai dampak, khususnya dampak ekonomi yang sangat dirasakan oleh
masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai aktivitas ekonomi
tidak lepas dari usaha-usaha yang secara serius diusahakan, baik oleh masyarakat
maupun pemerintah. Bagi masyarakat lokal, melibatkan diri secara langsung
dalam mengelola usaha pariwisata merupakan suatu usaha untuk meningkatkan
taraf hidup mereka.
Aktivitas dan berbagai kepariwisataan tidak hanya berdampak kepada
pelaku pariwisata yang ada di lingkungan kawasan tersebut, tetapi juga
menciptakan berbagai usaha di luar kawasan yang merupakan aktivitas
komplementer. Berbagai peluang usaha tumbuh dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Berbagai konskuensi dari kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku
pariwisata di dalam kawasan, kebutuhan makan dan minum serta kebutuhan
lainnya dirasa sangat mendesak oleh para karyawan yang bekerja di berbagai
fasilitas pariwisata yang ada di sekitar area Pura Tirta Empul. Masyarakat lokal
membaca peluang yang ada, berbagai keputusan bisnis diambil, misalnya
membuka warung makan dan minum, menyediakan oleh-oleh sebagai
cenderamata, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini
I Wayan Parsa Susila yang diwawancarai 11 April 2010 mengatakan :
”Pengembangan dan modifikasi Pura Tirta Empul yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus memiliki tujuan untuk memperindah pura, di samping subakti kepada Ida Bhatara sebagai pralingganya. Kemudian pura yang tampak sekarang ini setidak-tidaknya dapat pula menarik
229

kunjungan para wisatawan. Dengan demikian denyut pariwisata akan terus berjalan, sehingga keuntungan ekonomi bisa di dapat. Keuntungan ekonomi itu tentulah berdampak positif terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sini.
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Pura Tirta Empul sebagai
produk kebanggaan masyarakat mempunyai peranan penting dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan tempat suci tersebut dewasa
ini telah dirasakan manfaatnya, terutama manfaat ekonomi sehingga masyarakat
berkewajiban memelihara dan melestarikannya.
Pemerintah Kabupaten Gianyar mendorong pembangunan kepariwisata-
an yang ditujukan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas
kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mendorong pembangunan desa untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat. Pembangunan pariwisata juga diarahkan
untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk lokal.
Sejalan dengan pembangunan bidang ekonomi, pembangunan kebudayaan
diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna dalam segenap dimensi
kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan ditujukan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia, jatidiri, dan kepribadian, mempertebal rasa harga diri, serta
memperkokoh jiwa persatuan sebagai pencerminan pembangunan yang
berbudaya. Dalam mengembangkan kebudayaan, perlu ditumbuhkan kemampuan
untuk mengembangkan nilai budaya daerah yang luhur dan beradab, serta
menyerap nilai budaya asing yang positif untuk memperkaya kebudayaan daerah
(Erawan, 1993 : 283).
Sejak tahun 1990-an telah terjadi perubahan penting dalam cara
memandang dan mendefinisikan kebudayaan, serta perubahan fungsi kebudayaan
230

dalam masyarakat kontemporer, terutama dalam statusnya sebagai komoditi.
Telah terjadi peralihan sejak tiga dasawarsa terakhir ini dari masyarakat industri
menuju masyarakat posindustri, dan dari kebudayaan modern menuju posmodern.
Peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri telah
mempengaruhi bagaimana makna-makna dimuati dalam objek-objek kebudayaan
dikomunikasikan melalui media massa. Objek-objek pada masyarakat masa lalu
dikaitkan dengan upacara-upacara, ritual, magis, mitos, atau pada masyarakat
industri dikaitkan dengan upaya-upaya kemajuan dan transformasi, kini pada
masyarakat konsumer didefinisikan kembali dengan kode-kode yang baru, dengan
bahasa estetik yang baru, dan dengan makna-makna yang baru (Piliang,
2003 : 62).
Masyarakat Desa Manukaya memiliki motivasi yang tinggi untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Motivasi mengandung pengertian dorongan yang
selalu menginginkan yang lebih baik/banyak. Keinginan tersebut akan terus-
menerus dan baru berhenti jika akhir hayatnya tiba. Motivasi muncul karena
meningkatnya kebutuhan hidup. Terdapat beberapa faktor yang melandasi
terjadinya pergeseran kehidupan masyarakat dari cara hidup sederhana ke cara
hidup modern. Pergeseran cara hidup ditandai dengan perberdayaan berbagai
sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Manukaya termasuk Pura Tirta
Empul. Masyarakat telah merasakan dampak pariwisata dan terjadi interaksi yang
intensif antara masyarakat dan para pengunjung yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda. Nuansa kehidupan masyarakat lokal dengan budaya
masyarakat telah tumbuh.
231

Lubis (2004 : 3), modernitas adalah suatu bentuk pengalaman, suatu
peristiwa perubahan sejarah, sementara modernisme adalah peningkatan
kesadaran tentang aspirasi kemajuan. Modernitas identik dengan perubahan
kebudayaan yang sedang berkembang dan terkait dengan proses modernisasi. Pura
Tirta Empul dalam konteks modernisasi berperan penting untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa Manukaya, baik kesejahteraan jasmani maupun
rohani.
Pura Tirta Empul merupakan produk budaya yang memiliki peran
penting dalam kehidupan masyarakat Manukaya. Tampilnya Pura Tirta Empul
dalam bentuk baru, bagi orang Manukaya merupakan suatu proses untuk
memelihara dan menunjukkan identitas kolektifnya serta menguatkan ikatan-
ikatan sosial dan budaya.
Identitas dibangun secara berkesinambungan, terus-menerus mengikuti
perubahan zaman. Dalam batasan tertentu, membicarakan identitas, erat
hubungannya dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik
sebagai penanda identitas budaya. Ada kekuatan politik dan ekonomi yang turut
memodifikasi Pura Tirta Empul sebagai konstruksi budaya. Keterlibatan
pemerintah dan masyarakat lokal serta kekuatan ekonomi politik lainnya,
menjadikan Pura Tirta Empul seperti dalam bentuknya yang sekarang.
Dampak pariwisata terhadap perekonomian masyarakat Desa Manukaya
sangat positif, baik dilihat dari peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi
masyarakat, penciptaan kesempatan kerja, sebagai sumber penghasil devisa, untuk
mendorong ekspor, khususnya barang-barang hasil industri kerajiinan, serta
232

merubah struktur ekonomi masyarakat ke arah yang lebih seimbang. Banyak
konsepsi-konsepsi budaya masyarakat desa yang mampu untuk mendukung
pengembangan pariwisata budaya, dan ternyata pariwisata lebih berinteraksi
secara dinamis dengan kebudayaan lokal, baik secara horizontal maupun vertikal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pariwisata dengan kebudayaan
mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat. Perkembangan pariwisata
pada dasarnya disebabkan oleh unik dan tingginya kebudayaan masyarakat daerah
tujuan wisata. Di lain pihak, dengan majunya pariwisata maka kebudayaan dapat
dilestarikan dan bahkan ditingkatkan.
Perkembangan kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya Pura Tirta
Empul di Desa Manukaya, telah mengakibatkan meningkatnya perekonomian
masyarakat, yang berarti keadaan sosial ekonominya mengalami peningkatan. Hal
ini telah menyebabkan meningkatkan kemandirian perekonomian pedesaan, yang
pada akhirnya sudah barang tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat. Berdasarkan uraian di atas, ternyata motivasi untuk meningkatkan
kesejahteraan merupakan bagian faktor internal yang menyebabkan terjadinya
komodifikasi Pura Tirta Empul.
6.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal dalam uraian subbab ini adalah faktor yang cenderung
kepada standarisasi budaya datang dari luar, yang mempengaruhi dan mendorong
terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul. Dalam hal ini faktor eksternal yang
mendorong terjadinya komodifikasi adalah pariwisata, kapitalisme dan industri
budaya, peranan media massa, dan hegemoni pemerintah. Perkembangan
233

pariwisata yang berawal pada tahun 1980-an membuka peluang secara sangat luas
dan beragam terkait dengan kemajuan ekonomi, iptek, politik, sosial, dan budaya.
Pariwisata membuka peluang ekonomi dan kesempatan kerja yang
berskala regional. Era informasi dan komunikasi membuka peluang dialog iptek,
serta peluang membangun relasi-relasi multietnis, multinasion secara global.
Budaya global dan budaya kapitalisme memainkan peranan penting dalam
menentukan eksistensi Pura Tirta Empul. Ada dua wajah berbeda yang
diperkenalkan globalisasi kebudayaan dalam sistem kapitalisme. Di satu sisi,
globalisasi mengarahkan semua kebudayaan pada pola kebudayaan yang seragam,
namun di sisi yang lain, globalisasi kebudayaan telah memunculkan resistensi dari
budaya-budaya lokal yang merasa resistensinya terancam oleh arus penyeragaman
tersebut. Kecenderungan ini membuat produk budaya lokal (baca Pura Tirta
Empul) menjadi ladang kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan untuk
mengekspresikan jati diri.
6.2.1 Pariwisata
Pariwisata mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap
komodifikasi, karena pariwisata meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan
dengan wisata, pengusaha, daya tarik wisata, serta usaha lainnya yang terkait.
Pembangunan pariwisata pada hakikatnya merupakan upaya untuk
mengembangkan dan memanfaatkan daya tarik wisata yang berbentuk keindahan
alam, keragaman flora dan fauna, kemajemukan tradisi dan budaya, serta
peninggalan sejarah dan purbakala atau pusaka budaya. Pemaduan daya tarik
wisata dengan pengembangan usaha jasa dan sarana pariwisata, akan berfungsi
234

meningkatkan daya tarik wisatawan maupun pengembangan obyek wisata baru
dan daya tariknya.
Pariwista atau etnoschapes adalah salah satu dimensi gerakan yang
dikemukakan oleh Appadurai dari lima dimensi gerakan globalisasi, yaitu
pergerakan manusia, baik untuk menetap maupun sebagai turis, dari satu tempat
ke tempat lain, dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu negara ke negara
lain. Kehadiran manusia sebagai individu atau berkelompok ke suatu tempat yang
dilakukan untuk sementara waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari
pekerjaan, namun semata-mata sebagai konsumen untuk menikmati dan
memenuhi kebutuhannya, diartikan sebagai pariwisata (Ismayanti, 2010 : 3).
Pariwisata mempunyai sifat berlingkup global, berpengaruh luas
terhadap ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, perencanaan dan
pembangunan pariwisata perlu dilakukan secara terpadu antara berbagai
komponen yang menentukan dan menunjang keberhasilannya, seperti daya tarik
wisata, akomodasi, transportasi, telekomunikasi, industri cenderamata, maupun
peranan swasta dan masyarakat. Semua itu perlu didukung oleh sumberdaya
manusia yang merupakan pelaku utama dalam pembangunan kepariwisataan.
Pura Tirta Empul dewasa ini, selain berfungsi sebagai tempat suci umat
Hindu, juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya melalui kebijakan
kepariwisataan. Pariwisata budaya menurut Sedyawati (2007 : 213) dapat dipilah
ke dalam tiga jenis menurut sasarannya, yaitu (1) kebudayaan yang hidup, (2)
warisan budaya masa lalu yang bersifat benda, dan (3) bentang alam budaya.
235

Tujuan wisata berupa kebudayaan yang hidup pada dasarnya diarahkan
kepada terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi para wisatawan, yang
seringkali merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Daya tarik wisata
budaya jenis ini dapat berupa sajian kesenian, upacara keagamaan dengan
berbagai jenis persembahan, tata cara bersembahyang, dan lain-lain. Kebijakan
dalam hal ini adalah agar pada diri wisatawan tumbuh kesan yang dalam, serta
penghargaan yang baik terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Oleh karena
itu maka pemahaman nilai-nilai di balik semua ekspresi budaya yang ditampilkan
itu perlu dimiliki oleh para pemandu wisata, serta tertuang dalam bahan-bahan
informasi yang disediakan.
Jenis tujuan wisata budaya yang lain adalah warisan budaya masa lalu,
khususnya yang bersifat tangible. Inilah selanjutnya yang dapat dipilah ke dalam
struktur-struktur binaan yang “tak bergerak” (benteng, istana, candi, pura, dan
lain-lain), dan aneka benda “bergerak” yang dapat dipindah-pindahkan. Yang
disebutkan terakhir inilah yang dapat dijadikan koleksi dalam suatu museum,
meskipun mungkin pula bahwa bangunan museumnya sendiri adalah juga sebuah
warisan budaya.
Sementara itu, kunjungan untuk menikmati suatu bentang alam budaya
adalah bagian dari wisata budaya yang mempunyai komponen penyerapan
kekhasan alam yang kuat. Objeknya adalah bentang alam, namun makna dari
bentang alam tersebut adalah makna budaya. Sebagai contoh dapat disebutkan
teras-teras persawahan yang indah dan mengesankan di suatu daerah
pegunungan. Sawah itu sendiri adalah suatu hasil budaya, termasuk teknologi
236

pembuatan teras serta pengairannya, dan juga tahap-tahap pengerjaannya. Dalam
hal ini wisatawan akan memperoleh kesan yang mendalam, lebih-lebih dapat
dijelaskan mengenai teknologi beserta adat istiadat yang berkaitan dengan
pengerjaan sawah tersebut.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul sesungguhnya telah memiliki ketiga
kriteria wisata budaya tersebut, sehingga menarik untuk dikunjungi. Wisatawan
secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan
kesenangan. Dalam upaya memenuhi kepuasan wisatawan untuk menikmati
produk pariwisata budaya, sangat diperlukan tenaga profesional yang dapat
memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada wisatawan. Para pemandu
wisata harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya Bali, baik
mengenai budaya fisik maupun nonfisik.
Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat apa yang
dinamakan “pariwisata minat khusus”. Pariwisata jenis ini objeknya bisa alam dan
bisa pula budaya. Dalam wisata minat khusus ini terdapat varian antara yang
“pasif” dan yang “aktif” (Sedyawati, 2008 : 67). Untuk yang pasif, wisatawan
hanya menerima sajian, dalam arti menikmati suatu lingkungan alam yang
mengagumkan atau menyaksikan produk-produk budaya yang khas dan mungkin
langka seperti upacara keagamaan. Untuk yang aktif, wisatawan melakukan suatu
kegiatan yang terkait dengan objeknya, seperti misalnya “ikut melukat berpakaian
adat Bali” di kolam kompleks Pura Tirta Empul untuk mendapatkan suatu
pengalaman budaya. Ternyata banyak wisatawan mancanegara yang melakukan
237

kegiatan melukat atau melihat aktivitas-aktivitas keagamaan di halaman dalam
Pura Tirta Empul (lihat Gambar 6.3) di bawah ini.
Pariwisata sebagai sebuah upaya yang sengaja, bertujuan untuk
mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di luar kawasan hunian
para wisatawan, untuk kemudian kembali pulang, adalah suatu konsep yang
pertama kali muncul di kalangan orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat sebagai
suatu kelanjutan yang lebih “lunak” dari semangat eksplorasi, yang pada
gilirannya beberapa abad yang lalu telah membuahkan kolonisasi dan
imperialisme oleh bangsa-bangsa Barat. Kini pariwisata telah menjadi kegiatan
umum yang dikenal dan dijalankan di hampir semua negara yang ada di dunia ini.
Jenis kegiatan ini pun telah berkembang dalam suatu jaringan kerjasama lintas
bangsa dengan dilandasi azas saling menguntungkan.
Gambar 6.3 Wisatawan asing dengan sangat leluasa melakukan apa saja di halaman dalam pura.(Dok. Setiawan, 2010)
238

Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali, termasuk Pura Tirta
Empul tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global. Dikatakan
demikian, karena sejak dua dekade terakhir ini di Eropa mulai digalahkan
kembali pariwisata budaya (cultural tourism) (Ardika, 2004 : 23). Komponen
budaya dianggap sebagai produk dikemas sedemikian rupa untuk dikonsumsi oleh
para wisatawan. Daya tarik wisata budaya Pura Tirta Empul yang mendapat
banyak kunjungan wisatawan tidak jarang dikemas dalam bentuk tampilan untuk
turis dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Berbagai komponen produk
wisata seperti taman, bangunan suci, kolam pemandian ditata sedemikian rupa,
dimodifikasi, diperbaharui, demi menambah daya tarik untuk menarik kunjungan
wisatawan. Dalam konteks ini, komodifikasi budaya tidak dapat dihindari. Dalam
hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan budaya dan
kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering kali harus diambil.
Namun yang memerlukan kehati-hatian lebih besar adalah dalam mengemas
sajian-sajian yang bermakna relegi bagi masyarakat pemiliknya.
Dalam tiga dasa warsa terakhir terdapat perubahan yang sangat jelas
terhadap masyarakat Bali. Masyarakat mengalami lompatan yang sangat
signifikan di bidang ekonomi akibat perkembangan pariwisata. Dalam kaitannya
dengan lompatan itu, Sutawan (2002 : 216) mengungkapkan :
“Dalam kurun waktu antara tahun 1970-2000 telah terjadi perubahan struktur yang sangat mendasar dalam perekonomian Daerah Bali. Secara relatif peranan sektor pertanian (sektor primer) telah menurun cukup drastis terhadap PDRB Bali. Sebaliknya, sektor industri (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) kontribusinya terhadap PDRB meningkat pesat. Dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, maka struktur perekonmian Bali didominasi oleh sektor jasa karena peranan industri pariwisata. Keadaan ini
239

mencerminkan bahwa masyarakat Bali telah berada di ambang pintu masyarakat industri dan sekaligus jasa. Dengan kata lain, masyarakat Bali telah berada dalam keadaan transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri jasa”.
Pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, dapat menyediakan lapangan pekerjaan,
meningkatkan penghasilan dan standar hidup, serta dapat mendorong timbulnya
bidang-bidang kegiatan baru atau menstimulasi sektor-sektor produktivitas
lainnya. Kondisi itu dapat dilihat di sekitar area Pura Tirta Empul, secara otomatis
bermunculan usaha-usaha baru yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Hal
itu dapat dilihat antara lain pada maraknya perkembangan berbagai macam
kerajinan tangan, baik secara kuantitas, kualitas, variasi, dan gayanya.
Adapun kesenian-kesenian yang terdorong berkembang pesat seirama
dengan pesatnya perkembangan kepariwisataan antara lain seni lukis, seni patung,
seni ukir, dan lain sebagainya. Jika sebelumnya seni lukis, seni pahat, seni ukir,
hanya dibuat di pura dan puri, dewasa ini penduduk biasa pun mampu
memperindah rumah tinggalnya dengan seni-seni tersebut. Fakta yang terjadi
dalam pengembangan pariwisata memang identik dengan pengembangan budaya.
Oleh karena itu, dengan sifat budaya yang dinamis terhadap pengaruh luar yang
berboncengan dengan pariwisata, maka tidak bisa dihindari budaya telah
mengalami perubahan atau pergeseran. Kendatipun sesungguhnya kebudayaan di
mana pun di dunia ini sulit menghindari perubahan, lebih-lebih di era globalisasi
dewasa ini.
Perubahan hampir terjadi dalam segala hal. Hanya melalui perubahan
sesuatu itu menjadi kelihatan maju atau mundur, termasuk kebudayaan. Begitu
240

juga halnya dengan produk budaya Pura Tirta Empul tidak bisa terhindar dari
perubahan atau pergeseran. Tidak ada kebudayaan yang terhindar dari perubahan
dalam kurun waktu tertentu (Bagus, 1989 : 27). Perubahan tidak dapat dibendung
dengan kekuatan apa pun. Hal yang harus dilakukan adalah tidak lain menerima
perubahan itu, selanjutnya dikelola secara sistematis dan cermat sehingga pada
akhirnya perubahan itu justru dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap
masyarakat setempat. Terlebih lagi, kalau yang dikembangkan adalah pariwisata
budaya. Pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri
budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya ada proses produksi, distribusi,
presentasi, dan konsumsi. Pariwisata budaya merupakan salah satu bentuk
“pemanfaatan” berbagai aspek kebudayaan secara massal.
Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, aspek pariwisata tidak terelakkan lagi
sebagai bagian dari suatu proses komodifikasi yang mulanya bersifat kontemporer
lalu menjadi semakin permanen. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam industri
pariwisata memunculkan etos kapitalisme yang secara terselubung terdapat
hegemoni yang halus, tak terasa, dan karenanya mendapat persetujuan.
Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya
memperlihatkan segala dan fenomena yang terkomodifikasi ke arah wujud yang
baru, sebagai alat politik, ekonomi, aset pariwisata, hiburan yang semuanya telah
ke luar dari sifat ketradisian. Selera pasar turut menentukan arah komodifikasi
dalam berbagai wujudnya dengan tujuan menjadikan Pura Tirta Empul sebagai
241

alat komoditas untuk dijual, di mana obyek, kualitas, dan tanda diubah untuk
dijadikan komoditas yang tujuan utamanya adalah selera pasar.
Pura Tirta Empul pada awalnya bukan produk budaya yang diciptakan
untuk tujuan komersial. Namun pada masa kini Pura Tirta Empul mengalami
komodifikasi karena diciptakan untuk dijadikan barang dan jasa dalam rangka
memenuhi selera pasar. Kepentingan kapitalis menjadikan Pura Tirta Empul
sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Di masa lampau peran Pura Tirta Empul
sangat besar dalam berbagai aktivitas kehidupan keagamaan. Fenomena budaya
Pura Tirta Empul dewasa ini mengalami perubahan dan degradasi pemaknaannya
bagi masyarakat pendukungnya. Perubahan Pura Tirta Empul sebagai akibat
pengaruh pariwisata global memang sudah dan sedang berlangsung seperti adanya
perubahan dari sakral ke profan dari ritual ke teatrikal, dan dari ekspresi
seremonial ke limitasi waktu temporal. Akibatnya, memudarnya nilai-nilai sakral
sebagai dampak modernisasi dan globalisasi.
Kegiatan pariwisata ada karena para wisatawan. Mereka datang dengan
waktu yang tidak terlalu lama, dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Hal
seperti itu oleh industri pariwisata diterjemahkan dengan ekonomi juga, yakni
produk Pura Tirta Empul dijadikan paket wisata yang tidak terlalu lama dan
dengan biaya yang dapat dijangkau wisatawan. Industri pariwisata menjadikan
Pura Tirta Empul sebagai produk komoditas belaka dan komoditinya sebenarnya
adalah ”kreativitas individu atau kelompok”. Padahal jika ditarik latar sejarahnya,
hakikat Pura Tirta Empul adalah produk budaya komunal yang di dalamnya
kebersamaan, kerjasama, dan persatuan menjadi landasan hidup manusia
242

Manukaya. Oleh karena pasar industri pariwisata, justru yang berkembang adalah
kreativitas individual untuk kebutuhan memenuhi industri wisata. Fungsi Pura
Tirta Empul pun bergeser dari fungsi ritual melebar konteksnya menjadi nonritual
yang komersial dan terkomodifikasi.
Komodifikasi Pura Tirta Empul adalah komersialisasi dan mengarah
pada produk budaya massa (lihat Gambar 6.4). Dalam praktik kehidupan manusia
sehari-hari di zaman kontemporer ini, indoktrinasi perekayasaan industri budaya
menjadi tuntutan manusia. Oleh Berthes (2006 : viii) berbagai produk budaya
populer sesungguhnya tidak lebih dari sekedar mitos, metorika, ideologi, yang
menjelma dalam masyarakat komunikasi. Budaya populer adalah budaya massa
yang dihasilkan oleh industri budaya yang mengamankan stabilitas maupun
kesinambungan kapitalisme. Pura Tirta Empul telah mengalami proses perubahan
yang relatif sangat panjang dan terbuai mengikuti arus globalisasi dengan bentuk
dan wujud yang beraneka rupa (komodifikasi) ke konsumsi massa (pasar), yang
nilainya menjadi diskursus bagi masyarakat Manukaya.
Komodifikasi kebudayaan yang disebabkan oleh industri pariwisata telah
terjadi dan sedang berlangsung di Manukaya. Komodifikasi kebudayaan adalah
proses mengemas dan menjual objek-objek kebudayaan termasuk Pura Tirta
Empul. Proses ini termasuk dalam menetapkan sebuah nilai moneter, segala
sesuatu diukur dengan nilai uang terhadap berbagai aspek kehidupan manusia,
yang sebelumnya memiliki nilai yang berbeda, terlepas dari konsep pasar,
khususnya pasar pariwisata.
243

Gambar 6.4 Suasana Kunjungan Wisatawan asing di Pura Tirta Empul sebagai wujud komersialisasi tempat suci.(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas adalah realitas sehari-hari di Pura Tirta Empul. Mereka
dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan bebas memasuki tempat suci
dan berkeliling sepuasnya. Praktik-praktik pemaknaan tradisi ini pun menjadi
kontestasi makna yang beragam untuk pelestarian dengan dikotomi filosofi
kesakralan atau mengejar nilai dolar dan kepopuleran. Semua itu terpusat pada
akhlak representasi manusia yang memandang Pura Tirta Empul sebagai
representasi diri yang telah diobok-obok oleh kapitalisme yang mengikuti selera
pasar.
Dalam konteks sosial kekinian Pura Tirta Empul memiliki stereotip baru,
baik dalam pandangan manusia di Desa Manukaya sendiri maupun masyarakat
lain yang peduli dengan kelenyapan suatu tradisi. Identitas suatu masyarakat
244

dipresentasikan melalui banyak cara, salah satu diantaranya adalah melalui
representasi pusaka budaya Pura Tirta Empul untuk memperkenalkan dan
mempertahankan identitasnya.
Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam
proses akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi
masyarakat Desa Manukaya sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai
representasi masyarakat telah dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang
dibangun sendiri untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai
ideologi baru. Dengan semangat kapitalisme, Pura Tirta Empul telah menjadi
komoditas produk yang diupayakan untuk mengikuti selera pasar.
6.2.2 Kapitalisme dan Industri Budaya
Uraian pada bagian ini difokuskan pada pembahasan mengenai
kapitalisme dan industri budaya sebagai faktor pendorong eksternal komodifikasi
Pura Tirta Empul. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun
berdasarkan suatu keyakinan dan memberikan kepercayaan penuh pada
mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan (Piliang : 2004 : 364).
Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah bahwa agar pertumbuhan
tetap berlangsung, maka di satu pihak, industri harus tetap berproduksi, di lain
pihak, orang harus tetap terus mengkonsumsi. Dengan kata lain, agar tetap hidup
kapitalisme harus memproduksi konsumsi itu sendiri.
Kapitalisme dibangun di atas dasar prinsip persaingan dalam usaha
menguasai pasar, kehendak mendominasi pihak lain untuk mendapat keunggulan
kapital sebesar-besarnya. Kehendak untuk mendominasi kapital tanpa batas, telah
245

mendorong diterapkannya berbagai strategi dalam menarik konsumen untuk
mengkonsumsi dengan pola tertentu, yang dikaitkan dengan gaya hidup.
Kapitalisme dalam bentuknya dewasa ini telah membuka peluang bagi
berkembangnya berbagai logika baru kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di
antara logika-logika tersebut adalah logika tanda, logika citra, dan logika gaya
hidup (Piliang, 2004 : 366).
Kapitalisme telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini,
yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga
mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-
perbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas dengan orientasi
tertentu. Setiap praktik sosial kemudian menjadi bagian dari politik identitas
dalam rangka memposisikan sosial individu dalam prinsip-prinsip baru yang
mengarah pada kelimpahruahan materi. Kapitalisme kemudian menggiring
masyarakat ke arah krisis spiritual dan krisisi moral, dan sebaliknya berperan
besar dalam menanamkan ideologi materialisme.
Di dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi
dijadikan komoditi untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.
Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use
value), tapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi,
yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar,
merupakan bentuk nyata kapitalisme (Piliang, 1999 : 34). Komodifikasi tidak saja
menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumen, tetapi telah merambah pada
bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme pada
246

kebudayaan adalah menjadikannya ”patuh” pada hukum komoditi kapitalisme.
Masyarakat seperti itu akan menghasilkan industri budaya, suatu bentuk
kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada
mekanisme kekuasaan produsen dalam menentukan bentuk gaya, dan maknanya.
Industri budaya digerakkan oleh penguasa ekonomi atau kapitalisme,
sebagai suatu sistem yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara natural
menciptakan komoditas adalah inti dari ideologi kapitalisme.
”Pura Tirta Empul pada awalnya diproduksi untuk kepentingan keagamaan oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pura tersebut. Dalam perkembangannya, terutama sejak tahun 1980-an sampai sekarang akibat dampak pariwisata, Pura Tirta Empul selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (Nyoman Negara, wawancara 28 April 2010).
Penjelasan di atas memberi informasi bahwa selain sebagai tempat suci
yang sudah ada sejak lama, Pura Tirta Empul belakangan diproduksi secara
profesional dan dijadikan objek pengumpulan modal dan mendatangkan
keuntungan melalui penampilan yang indah dan menarik. Pura Tirta Empul ditata
dan dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjadi daya tarik, sekaligus
menjadi modal ekonomi potensial bagi masyarakat Desa Manukaya.
Di lain pihak, pola-pola kehidupan sosial dan kultural sehari-hari
masyarakat Manukaya memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari
apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society)
dan budaya global (global culture) lewat berbagai teknologi (teknologi informasi,
telekomunikasi, televisi, internet), berbagai agen (kapitalis, produser), dan
berbagai produk (barang, tontonan, hiburan) budaya global yang terus menerus
menerpa dan mempengaruhi masyarakat. Sebagian masyarakat telah menerima
247

berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup. Keadaan
seperti itu ternyata telah mengancam eksistensi berbagai bentuk warisan adat,
kebiasaan, nilai-nilai, identitas, dan simbol-simbol yang berasal dari budaya lokal.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa Pura Tirta Empul sudah
menjadi budaya populer. Dalam masyarakat kontemporer, modus praktik-praktik
budaya kepada pengalihan nilai-nilai orientasi budaya dari yang sakral-religius
kepada sifat profan, materialis, sedang berlangsung sebagai bentuk perkembangan
ekonomi industri kapitalisme lanjut. Perkembangan masyarakat seperti itu
menurut Piliang (2004 : 251), tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
masyarakat konsumer, yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada
suatu kondisi sosial yang di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan.
Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah erat kaitannya dengan
masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-pratik budaya
kapitalisme. Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan industri budayanya
memerlukan eksploitasi sumber, seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam,
termasuk sumber-sumber budaya yang dalam konteks penelitian ini adalah Pura
Tirta Empul. Eksploitasi yang dilakukan secara terus-menerus terhadap
sumberdaya dengan tujuan mencari keuntungan modal akan mengakibatkan
menurun atau dangkalnya nilai budaya dari produk budaya tersebut.
Sebagai suatu produk budaya masyarakat, Pura Tirta Empul diciptakan
dalam suatu proses pengalaman berbudaya yang sangat panjang, baik secara
individual maupun secara berkelompok. Produk budaya Pura Tirta Empul setelah
tahun 1990-an diproduksi untuk tujuan komersial sebagaimana yang terjadi dalam
248

proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk.
Produk budaya apa pun yang dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah menjadikan suatu produk memiliki daya pesona, sehingga mampu mendominasi azas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas (Strinati, 2007 : 68-69).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak bisa dihindari pusaka
budaya Pura Tirta Empul telah dijadikan sebagai salah satu produk fetisisme
komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang disejajarkan dengan
produk-produk budaya lainnya, misalnya makanan tradisional, arsitektur,
kesenian, dan lain-lain. Industri budaya sebagai agen utama produksi kapitalisme
bersama-sama dengan agen-agen distribusinya, cenderung membuat Pura Tirta
Empul sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk komodifikasi.
Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses
distribusi melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat
dan berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila
suatu produk budaya memiliki nilai pasar maka komodifikasi bentuk akan
mengalami proses standarisasi, artinya produk budaya tersebut mendapatkan
bentuknya yang sama pada semua komoditas (Strinati, 2007 : 70). Jaringan modal
kuasa melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan
masyarakat pemilik dan pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka dalam
naungan dominasi kuasa kapitalisme.
Fenomena standarisasi dalam Pura Tirta Empul bukanlah hal yang baru.
Hal itu dikondisikan oleh modal kuasa dan modal finansial, kapitalisme dengan
249

modal ekonominya, atau pemerintah dengan hegemoninya. Jaringan modal kuasa
melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan
masyarakat pemilik atau pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka
dalam bayangan dominasi kuasa kapitalisme.
6.2.3 Peran Media Massa
Media massa mempunyai peran penting dalam proses komodifikasi Pura
Tirta Empul. Melalui media massa Pura Tirta Empul dikomodifikasi sehingga
menjadi budaya populer. Media, dalam hal ini media massa, di satu sisi
merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan alat atau sarana
proses pembudayaan bagi masyarakat luas. Dengan perkataan lain, media sebagai
wahana bagi berbagai macam pesan, termasuk pesan nilai-nilai budaya
(Sedyawati, 2008 : 126).
Adapun sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai
kekuatan tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai.
Media massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya)
yang efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat daripada pendidikan formal
sebagai sarana pembudayaan.
Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua
kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest)
dan kepentingan kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan
kekuasaan politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif.
Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan
objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak, ketika
250

ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang
menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi
perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di pihak
lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (political-economy of
information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai satu prinsip dasar
dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134).
Era globalisasi menempatkan media sebagai salah satu faktor
komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui
media, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media dapat
diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang
melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen publikasi,
baik secara visual maupun secara tertulis.
Gambar 6.5 Pura Tirta Empul dalam Harian Bali Post (Sumber Bali Post 21 Juli 2008)
251

Gambar 6.5 menunjukkan bangunan produk budaya Pura Tirta Empul
menjadi ajang promosi melalui media massa. Media berperan penting dalam
mengantarkan produk budaya dalam sistem ekonomi kapitalisme. Media dengan
multimedianya sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari manusia. Dalam
perkembangannya dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi
telah berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan
menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini.
Sebagai bagian dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi
pola pikir manusia. Media massa sebagai bagian dari ruang publik yang di
dalamnya bahasa dan simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah
sebuah hegemoni. Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya
perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas
gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan
penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai
peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang
dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial
(Ritzer dan Goodman, 2007 : 599).
Dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul, media menempatkan
dirinya sebagai agen pemegang kekuasaan distribusi. Tawaran-tawaran media
menjadikan suatu produk budaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Tanpa disadari, media telah menggiring manusia menjadi konsumen yang
diselaraskan dengan ideologi melalui suatu budaya hiburan. Media memediasi
252

budaya menjadi budaya instan demi kepentingan bisnis atau kepentingan
komersial.
Sementara itu, politik media sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
beberapa konsep dasar ideologi yang berkaitan dengan media, terutama konsep
hegemoni. Hegemoni, dalam pengertian tradisionalnya diartikan sebagai sistem
kekuasaan atau dominasi politik. Istilah tersebut dalam tradisi Marxisme diperluas
ke arah pengertian hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial, khususnya
kelas berkuasa.
Gambar 6.6 Pemasaran Pura Tirta Empul melalui Brosur(Sumber Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2009)
Gambar 6.6 menunjukkan bagaimana ideologi media meng-
komodifikasikan Pura Tirta Empul, dan hal tersebut semata-mata memberi kesan
hanya untuk kepentingan komersial. Media massa modern dewasa ini merupakan
253

suatu makanan sehari-hari bagi siapa saja, tidak terbatas pada kaum elite, kaya,
atau kaum penguasa. Karena perangkatnya yang multi-lambang, maka yang dapat
disampaikannya pun bukan hanya signal-signal, tetapi dapat menyampaikan
pesan dalam berbagai gradasi seperti pemberitahuan, pendalaman pengetahuan,
anjuran, bujukan, peringatan, kritik, ancaman, dan lain-lain. Kalangan pengisi
utama dari media massa adalah kelompok manusia yang sesungguhnya sangat
berkuasa dalam pembentukan pendapat umum, sikap-sikap dalam kehidupan, dan
nilai-nilai budaya. Oleh keluasan jangkauannya inilah maka dapat ditekankan
bahwa media massa mempunyai peran yang sangat besar dalam proses
pembentukan kebudayaan suatu bangsa.
Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia, mengembangkan pengertian
hegemoni secara lebih luas, sehingga tidak hanya digunakan untuk menjelaskan
relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, termasuk relasi
komunikasi dan media lewat penerimaan publik (public consent). Pembentukan
opini publik merupakan hal yang sangat sentral dalam prinsip hegemoni.
Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip hegemoni. Makna dan nilai-nilai dominan yang dihasilkannya (lewat berbagai media), sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu sendiri. Meskipun demikian, di dalam prinsip hegemoni, bahasa, makna, dan nilai-nilai dominan tidak pernah berada dalam kondisi stabil. Ia selalu dipertanyakan, digugat, ditantang, dan dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan politik pertandaan (politics of signification) (Piliang, 2009 : 136).
Berdasarkan pemahaman konsep hegemoni tersebut di atas, maka media
massa membentuk sebuah ruang untuk memperebutkan hegemoni dalam sebuah
proses persaingan yang demokratis. Artinya, media mempunyai tugas untuk
254

selalu menyerap berbagai kepentingan dan ideologi lain yang ada dalam
masyarakat, agar ia mendapatkan penerimaan publik yang lebih luas. Pemaksaan
dan rekayasa di dalam media seringkali berlangsung secara halus dan tidak
tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu pemaksaan atau rekayasa. Artinya,
semuanya berlangsung tanpa disadari oleh orang yang menerimanya.
Melalui promosi iklan, media massa mampu menjadi industri yang tidak
hanya memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, tetapi juga
menghidupkan logika industri budaya kapitalisme. Melalui iklan, media massa
memoles produk budaya Pura Tirta Empul menjadi produk hiburan massa yang
sesuai dengan keinginan citra rasa masyarakat. Inilah cara media mendorong dan
menciptakan pasar untuk mencari keuntungan. Media massa berperan besar
menjadikan produk budaya Pura Tirta Empul yang sebelumnya bukan barang
komoditi menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan ekonomi. Berikut
diberikan contoh bagaimana Pura Tirta Empul di Desa Manukaya dimediakan
seperti (Gambar 6.7 dan 6.8) di bawah ini.
Gambar 6.7 Promosi Pura Tirta Empul Lewat Brosur(Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010)
255

Gambar 6.8 Promosi Pura Tirta Empul Lewat Tayangan TV One dalam acara ”Riwayatmoe Doeloe” 30 Mei 2010, dan 6 Juni 2010.
6.2.4 Hegemoni Pemerintah
Hegemoni pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar dalam upaya pengembangan pariwisata mendorong komodifikasi Pura
Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam upaya pengembangan
pariwisata berhasil dibungkus oleh hegemoni melalui diskursus yang segera
mendapat persetujuan masyarakat setempat. Janji pemberdayaan ditebarkan dalam
diskursus tersebut, seperti membuka lapangan kerja, kesempatan berusaha, yang
akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Satu hal pada era reformasi yang menyebabkan sebuah kabupaten
mengalami objektivikasi pembangunan yang berlebihan adalah upaya kabupaten
itu sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berlindung
256

dibalik gerakan otonomi daerah. Era reformasi sebagai dekonstruksi terhadap
Orde Baru yang sentralistik, ternyata tidak selalu menyediakan dampak positif.
Semua itu berawal dari terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (saat ini menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004),
dengan otonomi daerah yang berlangsung di setiap kabupaten/kota Indonesia.
Pada masa reformasi seperti dewasa ini terdapat kecenderungan justru pemerintah
kabupaten yang menjual aset-aset yang dimilikinya. Akibatnya, budaya dan
pusaka budaya juga dilihat bagai aset, yaitu bagaimana caranya agar budaya dan
tinggalan budaya yang ada dapat mendatangkan uang untuk meningkatkan PAD.
Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalistis dapat
menyebabkan komodifikasi. Menurut Marx dan Simmel (Turner, 1992 : 115-118),
akibat dari ekonomi uang yang berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan
sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor
kehidupan. Pura Tirta Empul dikomodifikasi oleh pemiliknya dan Pemerintah
Kabupaten Gianyar untuk dijadikan komoditas. Agar terjadi monetisasi, yakni
proses untuk mendatangkan uang, apa pun aset kabupaten “dijual”, termasuk
bangunan bersejarah Pura Tirta Empul, yang tidak lain merupakan bukti sejarah,
identitas, dan kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Pembangunan dijadikan
kesempatan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk memperoleh uang
sebanyak-banyaknya. Pembangunan direduksi menjadi sekadar pembangunan
ekonomi dengan cara memanfaatkan produk budaya dalam pengembangan
pariwisata.
257

Dengan mengikuti gagasan Gramsci dalam hubungan yang hegemonik,
kelompok berkuasa dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui
Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gianyar mendapat persetujuan kelompok
subordinat dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya atas subordinasinya.
Kelompok berkuasa yakni Pemda Gianyar tidak ditentang oleh kelompok yang
dikuasai yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilai-
nilai, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh
kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai-nilai,
norma-norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi sehingga
penggunaan dominasi oleh Pemda Gianyar terhadap masyarakat Desa Adat
Manukaya menjadi tidak penting lagi.
”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan yang sama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus menguniversalkan pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat (Sugiono, 1999 : 41-42)”.
Upaya-upaya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat untuk
pengembangan pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam
komodifikasi Pura Tirta Empul. Secara teoretis, komodifikasi yang telah
merambah pariwisata sedemikian intens di antaranya dijelaskan oleh Watson
(1994 : 263) dan Darmadi (2006 : 18). Dalam konteks penelitian ini, Pura Tirta
Empul sebagai bangunan bersejarah dan bernilai arkeologis yang menjadi produk
utama pariwisata budaya mengalami objektivasi dan menjadi daya tarik wisata
258

sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang dari
pemenuhan kepuasan wisatawan.
Dalam komodifikasi pengembangan pariwisata, semua pihak yang
terlihat, termasuk usaha kecil dan menengah, serta masyarakat banyak potensial
memperoleh pendapatan yang layak. Hal ini karena pembangunan pariwisata yang
diharapkan pada dasarnya berbasis masyarakat (community based). Pendapatan
yang diperoleh dari kantong wisatawan, dalam banyak hal, dapat digunakan untuk
membantu upaya pelestarian pusaka budaya. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang
terkait dengan pengembangan pariwisata budaya di Desa Manukaya bersifat
saling memberi dan menunjukkan suatu model simbiosis mutualisme yang baik
dengan upaya pelestarian produk budaya yang menjadi modal pariwisata.
Sementara itu, Istana Presiden yang letaknya berdampingan dengan Pura
Tirta Empul (Gambar 6.9 di bawah ini) juga mempunyai peranan yang cukup
penting dalam proses pekembangan situs budaya Pura Tirta Empul. Tidak jarang
tamu-tamu terhormat yang berkunjung ke Istana Presiden di Tampaksiring
meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat Pura Tirta Empul
yang memiliki keindahan dan sumber mata air suci yang dialirkan melalui
pancuran yang berjejer di kolam halaman luar pura. Semaraknya upacara-upacara
keagamaan dan aktivitas-aktivitas ritual lainnya telah menjadikan Pura Tirta
Empul tidak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan, baik lokal maupun asing.
Keberadaan Istana Presiden di Tampaksiring juga memberi pengaruh cukup besar
dalam mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.
259

Gambar 6.9 Istana Presiden di Tampaksiring yang berdampingan dengan Pura Tirta Empul.(Dok. Setiawan, 2010)
Istana Presiden di Tampaksiring di atas mempunyai andil yang cukup
besar bagi perkembangan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, situs cagar
budaya, maupun objek wisata budaya. Keindahan alam dan bangunan Istana
Presiden juga membawa dampak positif terhadap popularitas Pura Tirta Empul,
baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Popularitas ini pada
akhirnya mengantarkan Pura Tirta Empul sebagai sebuah tempat atau objek yang
menarik untuk dikunjungi karena memiliki keindahan alam, nilai religius, nilai
sejarah, dan nilai budaya.
260

BAB VII
DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL
DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Pembahasan
pertama berkenaan dengan dampak komodifikasi Pura Tirta Empul, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan makna komodifikasi Pura Tirta Empul pada
subbab berikutnya. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam konteks penelitian
ini mengandung pengertian pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik positif
maupun negatif. Dampak positif berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, sedangkan dampak negatif berpengaruh terhadap kehidupan sosial
budaya masyarakat Desa Manukaya. Adapun subbab makna, mencakup makna
komodifikasi dalam hubungan Pura Tirta Empul yang telah menjadi komoditas.
Makna dalam penelitian ini diartikan sebagai objek, maksud, arti, yang diberikan
oleh penulis, pembaca, terhadap suatu bentuk kebahasaan baik berupa kata,
kalimat, maupun wacana (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 548).
Di dalam sistem pemaknaan kapitalisme, benda-benda diproduksi
sebagai tanda, yang tidak hanya mengcu pada realitas di luar dirinya, tetapi
sebagai artefak yang terbentuk lewat manipulasi medium. Dunia realitas dikemas
lewat mekanisme komodifikasi tanda-tanda. Elemen-elemen tanda yang
merupakan bagian dari dunia realitas dikombinasikan dengan elemen-elemen
tanda yang bukan realitas secara eklektik sehingga menghasilkan realitas baru
261
259

dengan pemaknaan yang baru pula. Menemukan maksud dalam konteks ini
adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat bersangkutan
dalam merasa dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilai-
nilai yang sesuai (Geertz, 1992 : vii).
7.1 Dampak Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata
Global
7.1.1 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat
Dewasa ini, globalisasi secara perlahan-lahan membuat dunia menjadi
satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin
kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus
bergerak, dan teknologi komunikasi menjadi serba canggih, sehingga tidak
menutup kemungkinan terjadi mobilitas sosial. Pergerakan orang (pariwisata)
demikian cepat membawa kapitalisme telah masuk ke dunia bisnis kebudayaan.
Komodifikasi budaya terjadi karena pasar cenderung memperlakukan budaya
sebagai barang dagangan ketimbang memperlakukan budaya sebagai sebuah
medan nilai.
Selera ideologi pasar telah merajalela ke sendi-sendi budaya tradisi
dengan arus global kontemporernya menghanyutkan nilai-nilai estetik fondasi
kehidupan masyarakat Desa Manukaya yang dipresentasikan melalui pusaka
budaya Pura Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul menggugat akar
budaya manusia yang diterminasinya kepada filosofi, jatidiri, dan pandangan
hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, selalu dibayangi oleh
kekuatan globalisasi. Oleh karena itu, ideologi selalu melatarbelakangi penilaian
262

tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti Pura Tirta Empul sebagai tempat
suci ikut bergeser dan didekonstruksi. Dekonstruksi ideologi membongkar dan
membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan pergerakan zaman.
Dekonstruksi di sini dimaksudkan membongkar kemapanan sedemikian rupa,
sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna
akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat dengan pandangan hipersemiotika yang
dikembangkan oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna. Dekonstruksi
merupakan satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, karena
mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya
kontemporer (Featherstone, 2005 : 14).
Idelogi yang mendasari komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
pariwisata global merujuk dan mengarah pada ideologi pasar. Hal ini terjadi
karena ada kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik kebudayaan
Pura Tirta Empul termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar”
peradaban masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan
kapitalisme dibidang ekonomi. Pura Tirta Empul yang semula merupakan tempat
suci, kemudian merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Kedua sisi itu
tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling melengkapi dan
memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang menjadikan Pura Tirta
Empul sebagai tempat suci dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan atau
pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk
memperoleh keuntungan ekonomi.
263

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global
disambut sebagai industri yang membawa aliran devisa, lapangan pekerjaan, dan
cara hidup modern. Menurut Ismayanti (2010 : 186), industri pariwisata
memberikan keunikan tersendiri dibandingkan dengan sektor ekonomi lain karena
(1) pariwisata adalah industri ekspor fana (invisible export industry), yaitu segala
transaksi yang terjadi berupa pengalaman yang dapat diceritakan kepada orang
lain, (2) setiap wisatawan mengunjungi destinasi, selalu membutuhkan barang dan
jasa, seperti transportasi dan air bersih, dan (3) pariwisata sebagai produk yang
terpisah-pisah, tetapi terintegrasi dan langsung mempengaruhi sektor ekonomi
lain.
7.1.1.1 Peningkatan Struktur Ekonomi
Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudyaaan
antara kebudayaan tuan rumah, kebudayaan wisatawan, dan kebudayaan
pendatang pencari kerja. Konskuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja
membuka diri untuk dikunjungi wisatawan adalah masuknya berbagai pengaruh
kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh
kebudayaan asing akan terasa semakin meningkat ketika perkembangan
pariwisata mengarah pada pariwisata massa (Pujaastawa, dkk., 2005 : 31).
Dampak pariwisata global dewasa ini adalah masyarakat mengalami
globalisasi sehingga orang menjadi bagian dari kampung global (global village).
Hal itu menimbulkan implikasi bahwa masyarakat tidak bisa menghindarkan diri
dari sasaran yang diinginkan oleh negara-negara pendukung globalisasi, seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa, yakni menjadikan
264

kebergantungan kepada sistem ekonomi kapitalisme. Mereka tidak henti-hentinya
memasukkan berbagai bentuk kebudayaan global ke dalam masyarakat melalui
pasar. Kebudayaan global sarat dengan muatan ideologi, tidak saja kapitalisme,
tetapi juga ideologi pasar, hedonisme, materialisme, konsumerisme, dan
individualisme (Fakih, 2002 : 17 ; Piliang, 2006 : 113). Kesemuanya itu
mempengaruhi pandangan orang, termasuk di dalamnya bagaimana mereka
memaknai sesuatu untuk kepentingan kehidupannya. Dalam konteks ini Pura Tirta
Empul yang sejak semula dibuat untuk kepentingan keagamaan, mengalami pula
perubahan makna yang terus berlanjut pada aspek-aspek lain yang terkait
dengannya.
Konsep pariwisata budaya kiranya harus dipandang sebagai mekanisme
pertahanan jatidiri bagi komunitas lokal. Hal itu dipandang penting mengingat
pariwisata tidak selalu membawa anugrah tetapi terkadang juga musibah. Oleh
karena itu, pengembangan pariwisata hendaknya dilakukan melalui pendekatan
terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien). Pendekatan
terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan mengintegrasikan
beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994 : 3).
Kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata
berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, mengingat dalam kenyataannya
selama ini manfaat pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal
yang umumnya berasal dari luar masyarakat setempat. Pembangunan pariwisata
berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang berasal
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya
265

merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan lebih banyak
peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara efektif dalam
kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal itu berarti memberi wewenang kepada
masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri dalam
mengelola sumberdaya yang dimiliki. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran
utama dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-
kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.
Pembangunan pariwisata berwawasan budaya dipandang sangat penting
dan relevan mengingat pariwisata dipandang sebagai fenomena modern yang telah
lama disadari mengandung sejumlah konskuensi terhadap kebudayaan masyarakat
lokal atau tuan rumah. Menurut Smith (1989 : 16-17), perkembangan pariwisata
pada tingkat tertentu di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian,
juga sering menimbulkan ancaman bagi keberadaan tuan rumah. Menyadari hal
tersebut, maka pengembangan pariwisata di daerah Bali, kiranya sangat perlu
mengedepankan potensi kebudayaan setempat sebagai daya tarik sekaligus
sebagai upaya untuk mempertahankan kelestariannya.
Terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata
budaya, pengelolaannya paling tidak melibatkan dua lembaga, yaitu Desa Adat
Manukaya sebagai penyungsung pura dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar.
Dewasa ini, dalam pelaksanaan di lapangan, desa adat mengelola wilayah dalam
pura dengan menyewakan selendang dan kain bagi para pengunjung yang ingin
masuk ke dalam pura serta menyewakan tempat untuk menaruh pakaian ganti
berbentuk kotak dari kayu bagi pengunjung yang melukakatan prosesi melukat di
266

kolam suci Pura Tirta Empul. Dinas pariwisata Kabupatn Gianyar sebagai
perpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten Gianyar menangani tiket masuk
wisatawan, parkir, pertamanan, dan kebersihan. Penanganan oleh kedua lembaga
ini diharapkan dapat mendukung konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism development).
Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Desa Manukaya pada
umumnya, antara lain adalah meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya
lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan mendorong
pertumbuhan sektor perdagangan. Masyarakat Desa Manukaya dan sekitarnya
sangat merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini memberi inspirasi
kepada sebagian penduduk untuk membuka kios yang menjual makanan,
minuman dan cenderamata di sekitar areal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 7.1 di
bawah ini.
Gambar 7.1 Berbagai jenis pakaian jadi untuk souvenir dijual di kios-kios areal Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)
267

Gambar di atas menunjukkan bahwa betapa masyarakat memanfaatkan
kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul dengan membuka kios-kios untuk
menjual berbagai makanan, minuman, dan barang-barang cenderamata. Para
pedagang umumnya adalah penduduk sekitar yang mencoba mengais rejeki untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Penduduk menurut jenis pekerjaannya, secara asumtif dapat dikatakan
telah terjadi pergeseran orientasi pekerjaan yaitu bergesernya sektor agraris ke
sektor industri/jasa pariwisata. Sejalan dengan pemikiran Sifullah (1994 : 27-28)
menyatakan bahwa segala yang terjadi di Desa Manukaya dapat disebut sebagai
mobilitas lapangan kerja. Ada dua hal pokok yang menjadi dasar mobilitas
lapangan kerja itu, pertama, semakin melemahnya sektor agraris memberi daya
serap bagi pertumbuhan penduduk desa dan semakin kompleksnya variasi
lapangan kerja yang muncul di luar sektor itu. Hal yang kedua, terkait erat dengan
perkembangan kepariwisataan di daerah Tampaksiring dan sekaligus menjadi
faktor dominan dalam orientasi ekonomi penduduk. Perkembangan pariwisata
telah memacu kreativitas masyarakat untuk menciptakan produk-produk baru
tentang berbagai barang cenderamata untuk kepuasan konsumen (lihat Gambar
7.2).
Terlepas dari surplus produksi, kedua sektor ekonomi di atas terkait
dengan penilaian sosial yang tumbuh dan berkembang dalam karakter masyarakat
Desa Manukaya. Adapun perbedaan penilaian mengenai jenis-jenis profesi antara
dua sektor, mengakibatkan cenderung muncul sikap-sikap yang lebih
mengutamakan gengsi suatu jenis profesi daripada prinsip ekonomi lainnya.
268

Sementara di kalangan tertentu memandang bahwa profesi sebagai petani
menunjukkan identitas sosial yang rendah. Sedangkan di luar sektor itu (terutama
sektor pariwisata) kendatipun terkadang ke luar dari prinsip-prinsip moral, mereka
masih tetap memandang bahwa profesi ini lebih memberi pretise sosial.
Gambar 7.2 Berbagai jenis barang kerajinan dari kayu, lukisan dan barang kerajinan lainnya dipajang di kios-kios sebagai barang cenderamata(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas menunjukkan betapa tinggi kreativitas masyarakat dalam
menciptakan karya seni, terutama karya seni dari bahan kayu dan tulang.
Keseluruhan bentuk ekonomi baru ini memberi arah dan karakter tertentu bagi
kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Pergeseran orientasi pekerjaan semacam
ini tampaknya juga dapat disejajarkan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh
Arsana (1991 : 35), sebagai proses pemecah katup-katup pengaman prinsip
ekonomi subsistensi. Mereka tidak lagi berproduksi untuk memenuhi konsumsi
269

terbatas yang biasa ditandai dengan penuh rasa loyalitas, tetapi terlibat dalam
prinsip-prinsip ekonomi yang penuh persaingan.
7.1.1.2 Meningkatnya Pendapatan Masyarakat
Walaupun telah terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari
pekerjaan pokok sebagai petani, ke sektor industri, Desa Manukaya masih tetap
mencerminkan subkultur agraris sebagai ciri-ciri yang menonjol. Desa adat yang
merupakan kesatuan wilayah dan para warganya secara bersama-sama
mengaktifkan upacara-upacara keagamaan yang ditata menurut konsep tri hita
karana. Penyatuan wilayah dengan tata dasar konsep tri hita karana terkait
dengan tiga perwujudan tata ruang desa, yakni ruang peribadatan desa
(parhyangan), warga (pawongan), dan ruang-ruang lain sebagai tempat para
warganya untuk melangsungkan berbagai kegiatan dan aktivitasnya (palemahan).
Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan orientasi masyarakat
Manukaya ke masa depan. Harapan tersebut selain didukung oleh potensi-potensi
internal, juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi internal bersumber
dari masyarakat itu sendiri karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi
memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada keadaan sebelumnya.
Sementara faktor-faktor eksternal di antaranya adalah program-program
pemerintah dalam bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja budaya pariwisata.
Rendahnya pendapatan petani dari hasil pertanian, pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya adalah
menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di luar sektor pertanian,
khususnya sektor pariwisata.
270

Putu Sarini seorang pedagang souvenir yang diwawancarai tanggal 2 Mei
2010 mengatakan :
Kami para pedagang bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang melinggih di Pura Tirta Empul, karena kemurahan hati-Nya, kami dapat berjualan di sini, yaitu menjual barang-barang kerajinan sebagai souvenir, kepada para pengunjung. Walaupun penghasilan setiap hari tidak menentu namun setidak-tidaknya dapat membantu penghasilan suami untuk menunjang kehidupan keluarga. Tentang penghasilan yang diperoleh sangat tergantung dengan kondisi kunjungan wisatawan. Pada bulan-bulan tertentu seperti Desember – Januari, Juli– Agustus, hasil penjualan bisa mencapai antara Rp. 400.000 – Rp. 700.000 tetapi pada bulan-bulan yang lain biasanya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 400.000. Namun demikian, hal itu tetap kami syukuri.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keberadaan para pedagang yang
menempati kios-kios tersebut setidak-tidaknya dapat menambah pendapatan untuk
kesejahteraan keluarganya. Lapisan masyarakat Manukaya yang merupakan
lapisan dengan sistem terbuka, memberi kemungkinan adanya gerak sosial
vertikal yang luas, atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju
atas dasar kemampuan sendiri. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan sebagian
masyarakat Manukaya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani, karena
menganggap pekerjaan tersebut mempunyai tingkatan lebih rendah dari pekerjaan
lainnya, khususnya pekerjaan di sektor pariwisata.
Wacana mengenai pembangunan pariwisata berwawasan kerakyatan
merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan konglomerat yang
selama ini lebih berpihak pada pemilik modal. Pembangunan berwawasan
kerakyatan lebih mengedepan-kan peningkatan ekonomi rakyat dan
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat sebagai pemilik atas sumberdaya setempat
justru sering mengalami marginalisasi sehingga kualitas kehidupannya justru
271

menurun dibandingkan sebelum adanya pembangunan. Atas dasar itu berbagai
ahli menekankan pentingnya pembangunan dari bawah (Pujaastawa, dkk., 2005 :
30). Pembangunan dengan paradigma ini menuntut adanya partisipasi masyarakat
lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan
benar-benar dilakukan oleh masyarakat atau community management (Korten,
1988 : 31-33).
Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan
pariwisata berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, lebih-lebih daya
tarik wisata yang ditawarkan dalam bentuk sumberdaya budaya. Pembangunan
pariwisata berdimensi kerakyatan pada dasarnya merupakan model pemberdayaan
masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembangunan
demi kesejahteraannya. Hal itu berarti memberi wewenang atau kekuasaan kepada
masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuannya sendiri dalam mengelola
sumberdaya budaya yang dimiliki untuk meningkatkan pendapatannya.
Dalam konteks ini, pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat
Desa Manukaya untuk memperoleh berbagai manfaat dengan cara menawarkan
barang atau jasa yang lazim disebut produk wisata. Produk wisata tersebut terdiri
atas (1) daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk pula citra yang dibayangkan
oleh para wisatawan, (2) fasilitas di daerah tujuan wisata yang mencakup
akomodasi usaha pengelolaan makanan, usaha cenderamata, rekreasi, dan (3)
kemudahan-kemudahan mencapai daerah tujuan wisata. Produk wisata itu
dihasilkan oleh berbagai perusahaan, masyarakat, dan alam. Jasa angkutan,
penginapan, dan penyelenggaraan wisata merupakan jasa yang disediakan oleh
272

berbagai perusahaan, jasa seperti keramahtamahan penduduk, keamanan, dan
kenyamanan merupakan jasa yang disediakan oleh masyarakat, dan keindahan
pemandangan alam disediakan oleh alam. Dalam kaitan ini tentu tidak bisa pula
diabaikan beraneka rupa produk wisata yang berbentuk benda seperti makanan,
minuman, cenderamata, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh para
wisatawan. Keseluruhan barang dan jasa atau beberapa di antaranya merupakan
hal yang bisa ditawarkan oleh masyarakat setempat kepada para wisatawan untuk
meningkatkan pendapatannya.
Tidak berlebihan apabila pariwisata dimasukkan ke dalam bidang
ekonomi yang pembangunannya mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Dalam
program pembangunan ekonomi yang demikian, keberhasilan industri pariwisata
selalu diukur dari target (angka) kedatangan wisatawan. Dengan perkataan lain,
program pengembangan pariwisata ingin mencapai target kedatangan wisatawan
karena kedatangan mereka dapat menambah kekayaan devisa dan kemakmuran
masyarakat setempat.
Implementasi dari program itu, tentu saja memerlukan berbagai upaya
yang mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Implementasi kaedah-kaedah ekonomi
yang baik membutuhkan manajemen profesional (SDM berkualitas, terampil,
profesional), di samping modal dan orientasi keuntungan berlipat. Tuntutan
demikian dianggap wajar karena pariwisata harus dikelola secara modern
(Atmaja, 2010, 193). Akan tetapi, modernisasi berjalan seiring dengan
kapitalisasi. Karena kapitalisasi dan modernisasi bergerak seiring ibarat sepasang
roda yang memiliki dua sisi, yakni sisi satu yang berorientasi keuntungan dan sisi
273

lain adalah idealisme dengan keinginan mensejahterakan masyarakat di daerah
tujuan wisata dengan dolar.
Dengan demikian, setiap kegiatan wisata menghasilkan pendapatan,
khususnya bagi masyarakat Desa Manukaya. Pendapatan itu dihasilkan dari
transaksi antara wisatawan dengan mereka dalam bentuk pembelanjaan yang
dilakukan oleh wisatawan. Pengeluaran wisatawan terdistribusi tidak hanya ke
pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri pariwisata seperti hotel,
restoran, biro perjalanan wisata, pemandu wisata, namun juga terserap ke sektor-
sektor yang lain seperti pertanian, industri kerajinan, angkutan, komunikasi, dan
sektor lain yang terkait. Peningkatan pendapatan masyarakat Desa Manukaya dari
industri pariwisata membuat struktur ekonomi masyarakat menjadi lebih baik.
Masyarakat bisa memperbaiki kehidupan dari bekerja di industri pariwisata.
Akhirnya, pariwisata membuka peluang untuk berwirausaha dengan menjajakan
berbagai kebutuhan wisatawan, baik produk barang maupun produk jasa.
7.1.1.3 Menciptakan Lapangan Kerja Baru
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global dewasa
ini diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan masyarakat Manukaya serta
mampu memberikan manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara
merata dan berkelanjutan. Sebagai komoditas, pariwisata mencakup mata rantai
kegiatan yang sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi
lainnya dengan jangkauan yang sangat luas. Sejumlah tenaga kerja terserap ke
dalam sektor pariwisata dan sektor-sektor lainnya yang terkait. Semua itu akan
274

memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja khususnya bagi masyarakat
Desa Manukaya serta sekaligus menyebarkan pemerataan.
Terkait dengan hal itu, Kepala Desa Manukaya yang diwawancarai
tanggal 30 Maret 2010 mengatakan sebagai berikut.
Pura Tirta Empul sebagai salah satu daya tarik wisata di samping beberapa daya tarik wisata yang lain, seperti Pura Pegulingan, Pura Mangening dan Pura Sakenan sangat membantu perekonomian masyarakat Manukaya. Dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian masyarakat terdistribusi terutama sektor industri dan kerajinan. Peranan pariwisata juga dapat dilihat dari konstribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, walaupun tidak ada angka pasti dalam catatan statistik. Menurut Kepala Desa Manukaya, penyerapan tenaga kerja melalui sektor pariwisata hanya mencapai 10-15% dari jumlah penduduk saat ini.
Komodifikasi Pura Tirta Empul juga diarahkan untuk mendorong
pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk budaya masyarakat setempat.
Keuntungan yang paling jelas akibat adanya pengembangan pariwisata dari segi
ekonomi adalah mendatangkan devisa, terciptanya kesempatan kerja, serta adanya
kemungkinan bagi masyarakat Manukaya penerima wisatawan untuk
meningkatkan tingkat pendapatan dan standar hidup. Dengan demikian, dampak
pariwisata terhadap perekonomian masyarakat sangat positif, baik dilihat dari
peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi masyarakat dalam menciptakan
kesempatan kerja, efek penggandaan yang ditimbulkan, sebagai sumber penghasil
devisa, untuk mendorong ekspor khususnya barang-barang hasil industri
kerajinan, dan merubah struktur ekonomi masyarakat ke arah yang lebih
seimbang (Erawan, 1993 : 293).
Pariwisata juga dapat memunculkan perubahan pada struktur pekerjaan
dan struktur sosial ekonomi masyarakat Manukaya. Kecenderungan ini tentu
275

dapat dianggap sebagai fenomena yang bersifat positif, karena peluang ekonomi
dan sosial yang tercipta dapat mengurangi “ketimpangan sosial” (Dean, 1999 :
64). Akan tetapi, peluang sosial ekonomi saja tidaklah cukup untuk menyatakan
bahwa masyarakat lokal (baca Manukaya) telah mencapai tarap kesejahteraan
lahir dan batin. Peluang ekonomi dan sosial pastilah juga menimbulkan
perubahan-perubahan karakter masyarakat Desa Manukaya, seperti misalnya
memasak yang sebelumnya menggunakan kayu bakar, kini menggunakan kompor
gas. Demikian juga sebelumnya masyarakat berbelanja untuk keperluan sehari-
hari di pasar tradisional, sekarang mereka berbelanja di pasar swalayan.
Sebagaimana halnya teknologi, prasarana transportasi, juga membawa
serta berbagai masalah dalam kehadirannya di kawasan komunal. Tataguna ruang
yang dilandasi oleh norma-norma agama dan adat-istiadat, tergeser oleh tuntutan
ruang gerak kendaraan bermotor. Masuknya lintasan-lintasan umum ke pelosok-
pelosok desa, juga berpengaruh terhadap sikap ”malu” sebagai warga desa untuk
melakukan aktivitas-aktivitas petani seperti halnya mencangkul, memelihara itik,
atau kegiatan-kegiatan di sawah lainnya.
Dengan bersandar pada tradisi dan konsepsi-konsepsi yang terlanjur
dianggap “lokal genius”, seperti tri hita karana, yang juga dianggap (belum tentu
sepenuhnya dilaksanakan) menjadi pedoman berperilaku sehingga masyarakat
Desa Manukaya semakin tampak romantis dan emosional. Bahkan, aktivitas
bisnis atau perdagangan dapat merusak sistem nilai yang memang semakin
berkurang kapasitasnya. Reduksi atas sebagian nilai luhur semacam itu juga telah
menimbulkan “kejutan budaya”, paling tidak dalam menerima pengaruh budaya
276

global yang terbawa oleh pergaulan antarbangsa melalui kegiatan pariwisata dan
menciptakan lapangan kerja baru.
Bagaimana pun upaya menjadikan peluang ekonomi sebagai acuan dalam
pembangunan fasilitas wisata patut dibenarkan. Karena itu, konsep pembangunan
semacam itu tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga sebagian penduduk
lokal, terutama yang bertempat tinggal di pinggir-pinggir jalan utama. Mereka
secara bersama-sama membangun fasilitas wisata yang dapat diprediksi akan
menimbulkan dampak positif dengan mengesampingkan dahulu dampak
negatifnya. Sudah dapat diprediksi bahwa dampak positifnya antara lain
meningkatkan kesempatan kerja masyarakat lokal.
Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang melibatkan banyak orang serta
menghidupkan berbagai bidang usaha. Pariwisata juga dapat dianggap sebagai
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah, sebagai usaha jasa wisata. Usaha
jasa wisata meliputi penyediaan jasa pelayanan dan jasa penyelenggaraan wisata,
antara lain terdiri atas usaha jasa perjalanan wisata, pengatur dan pramuwisata,
informasi pariwisata, dan impresariat pariwisaa.
Usaha jasa perjalanan wisata merupakan usaha biro perjalanan wisata dan
usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha
penyediaan jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata. Usaha agen
perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket
dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.
277

Jasa biro perjalanan wisata merupakan kegiatan usaha yang bersifat
komersial yang mengatur, menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan bagi
seseorang atau kelompok orang untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama
berwisata. Bisnis utamanya membuat atau menyusun paket wisata, menjual
kepada wisatawan, dan memberi pelayanan kepada wisatawan yang membeli
paket wisata. Paket wisata itu berupa beberapa komponen pariwisata, seperti
transport, hotel, makan-minum, objek wisata, pertunjukkan, yang dirangkai
menjadi satu paket perjalanan dan dijual dalam satu kesatuan harga.
Usaha jasa pariwisata merupakan usaha yang menyediakan tenaga
pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Pramuwisata adalah
seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk
tentang objek wisata. Usaha jasa pramuwisata merupakan kegiatan usaha bersifat
komersial yang mengatur, mengkoordinasikan, dan menyediakan tenaga
pramuwisata untuk memberikan layanan bagi seseorang atau kelompok orang
yang melakukan perjalanan wisata.
Jasa informasi wisata merupakan jasa penyediaan informasi, penyebaran
dan pemanfaatan informasi kepariwisataan, seperti objek, kalender wisata, adat
istiadat, penukaran mata uang, akomodasi dan promosi. Kegiatan usaha jasa
informasi pariwisata meliputi usaha penyediaan informasi, penyebaran, dan
pemanfaatan informasi kepariwisataan. Informasi kepariwisataan disusun secara
lengkap sehingga mampu memberikan daya tarik untuk berwisata dan mampu
memberikan kejelasan mengenai daya tarik wisata. Termasuk ke dalam kegiatan
penyediaan jasa informasi pariwisata berupa kegiatan promosi dan pemasaran
278

yang dapat dilakukan oleh badan usaha bidang pariwisata, perseorangan, atau
kelompok sosial di dalam masyarakat.
Terakhir, adalah usaha jasa impresariat atau usaha penyelenggaraan
kegiatan hiburan dan rekreasi. Usaha ini merupakan kegiatan pengurusan
penyelenggaraan hiburan, mulai dari mendatangkan, mengirim, dan
mengembalikan, dan menentukan tempat, waktu, serta jenis hiburan. Hiburan
merupakan bentuk penyajian atau pertunjukkan seni untuk memberi rasa senang
kepada pengunjung dengan mendapatkan imbalan jasa, dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan kesusilaan (Ismayanti, 2010 : 113-
120).
Berdasarkan paparan di atas maka tidak terbantahkan bahwa
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global melibatkan
banyak orang. Pariwisata merupakan industri yang menawarkan beragam jenis
pekerjaan kreatif, sehingga mampu menampung jumlah tenaga kerja yang cukup
banyak.
7.1.2 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Desa Manukaya, sesungguhnya telah lama menjadi perhatian khusus para
pakar arkeologi dan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Prasasti Manukaya pada abad
X mencatat intensifnya prosesi ritual keagamaan yang memberi warna tersendiri
bagi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Latar belakang sejarah
masyarakat Desa Manukaya terbentuk dari perpaduan yang serasi antara agama
Hindu, adat-istiadat, seni, pandangan hidup, dan lembaga-lembaga sosial budaya
279

yang ada. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, perubahan dan
kelangsungan selalu terjadi dalam perjalanan sejarah.
Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan sosial budaya, maka
adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga mengalami perubahan. Perubahan dan
pergeseran tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah membawa dampak
sosial budaya bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya.
Pura Tirta Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya
yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan
masa kini Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi yang mengarah
komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut
Sifullah (1994 : 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas
yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Kepentingan kapitalisme
menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam
hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi Pura Tirta Empul dalam
penampilannya, yakni objek, kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan
akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan
tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.
Berdasarkan asumsi dasar mengenai keterkaitan antara komoditas Pura
Tirta Empul dengan kehidupan sosial budaya masyarakat, maka Pura Tirta Empul
sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan dari suatu sistem
yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara
unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, dan komersial tidak
berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling
280

bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan saling terkait tersebut
berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu
kesatuan secara menyeluruh.
Pengaruh arus budaya global yang berkembang dewasa ini berimplikasi
pada praktik-praktik budaya kapitalisme yang mengacu pada komodifikasi
bentuk-bentuk budaya, semakin memperjelas arah pergeseran terhadap kondisi
sosial budaya masyarakat. Salah satu dampak komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global adalah teralihnya orientasi nilai-nilai magis
religius ke nilai profan. Pergeseran dari sakralitas ke profanitas tidak dengan
sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan
dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kemudian, jika dikaitkan dengan
perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
terbukanya akses pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan
hidup manusia, maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi.
Di era globalisasi Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi untuk
dijadikan barang dagangan dalam bentuk tampilan. Sebagai sebuah kegiatan
ekonomi, pariwisata berpeluang besar dalam proses komodifikasi sebuah produk
budaya. Industri pariwisata telah memunculkan etos kapitalisme secara
terselubung (Picard, 2006 : 189).
Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat, sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat
setempat. Bahkan pariwisata mempunyai energi pendobrak yang kuat dan mampu
281

membuat masyarakat setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan
maupun ke arah penurunan (degradasi) dalam berbagai aspek.
Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993 : 26) muncul karena
industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu wisatawan, masyarakat setempat,
dan hubungan wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul apabila
terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan
membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan
sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal
dan tradisional menjadi konsumsi ekonomi. Pengusaha pariwisata mengubah
sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan
masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan
munculnya ide-ide baru.
Terkait dengan penelitian ini, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat
tidak dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat
tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap kehidupan
sosial budaya masyarakat Manukaya cenderung bersifat negatif yang dapat
mendatangkan kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya
identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala
hiperspiritualitas.
282

7.1.2.1 Komersialisasi Tempat Suci
Pura adalah tempat suci, tempat peribadatan bagi umat Hindu. Demikian
pula Pura Tirta Empul, adalah tempat suci bukan saja bagi umat Hindu Desa
Manukaya, tetapi juga umat Hindu dari daerah lain di Bali. Dalam pandangan
hidup masyarakat Manukaya sebagai suatu perwujudan nilai budaya Bali yang
dijiwai oleh agama Hindu, terkandung suatu konsep dasar mengenai kehidupan
yang dicita-citakan serta pemikiran-pemikiran mengenai wujud kehidupan yang
dinilai baik. Pandangan hidup yang demikian merupakan suatu kristalisasi dari
nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat dan diyakini kebenarannya. Oleh karena
itu, masyarakat Desa Manukaya membangkitkan tekad warganya untuk
mewujudkannya.
Demikian pula dalam sistem nilai budaya masyarakat Manukaya terdapat
suatu pandangan menilai fungsi suatu kehidupan yang didasarkan atas azas
kebersamaan, azas kekeluargaan, dan zas berbakti. Ketiga azas itu berpangkal
pada pandangan hidup masyarakat yang menganggap bahwa manusia tidak hidup
sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakat, dan alam
sekitarnya. Alam pikiran seperti itu disebut sistem makrokosmos, yaitu manusia
merasakan dirinya sebagai unsur kecil dari alam semesta ini.
Tatakrama kemasyarakatan di Desa Manukaya yang lazimnya disebut
sistem sosial, memotivasi warga masyarakat untuk berorientasi kepada pentingnya
nilai suka-duka di dalam kehidupan masarakat. Nilai suka-duka memancar dalam
semangat gotong-royong yang tampak jelas dalam aktivitas-aktivitas sosial. Di
samping itu, nilai suka-duka juga merupakan refleksi daripada solidartas sosial
283

yang muncul dari azas kebersamaan dan kekeluargaan. Gotong-royong sebagai
realisasi pernyataan rasa solidaritas persekutuan hidup bersama dalam kelompok
sosial, juga merupakan suatu proses yang menjurus kepada kegiatan sosialisasi.
Secara konseptual, sosialisasi berarti suatu proses belajar tentang norma-norma
dalam masyarakat dan belajar tentang nilai-nilai kepribadian. Nilai-nilai
kehidupan luhur warisan budaya yang telah melembaga dalam adat-istiadat yang
diwariskan turun-temurun, merupakan landasan fundamental dalam menciptakan
suasana kehidupan yang tentram dalam menuju kesejahteraan.
Sementara itu, azas kebersamaan juga mendorong manusia untuk
berorientasi kepada sesama dan berbakti kepada yang Maha Kuasa. Sesuai dengan
keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Manukaya, bahwa rasa bakti
diwujudkan dalam bentuk yadnya, yaitu persembahan suci yang ditujukan kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa, dan para leluhur. Pandangan hidup
seperti itu menjadi pedoman masyarakat Manukaya yang terhimpun dalam sebuah
lembaga adat yang disebut desa adat. Lembaga ini merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan sosial budaya, maka
tradisi dan budaya yang berlaku dalam masyarakat juga bergeser dan berubah.
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam alam postmodern, sebagai wilayah kajian
budaya dalam penelitian ini berubah tampilan ke arah yang lebih menonjolkan
keindahan melalui ragam hias dan ornamen sebagai unsur baru yang disesuaikan
dengan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat pendukung produk
284

budaya tersebut. Produk budaya Pura Tirta Empul kemudian dimanfaatkan untuk
memenuhi keperluan hidup masyarakatnya agar mencapai kehidupan yang lebih
baik. Dengan demikian, produk budaya yang berbentuk Pura Tirta Empul, selain
difungsikan untuk kepentingan keagamaan, juga dimanfaatkan untuk kebutuhan
ekonomi masyarakat pendukungnya.
Masyarakat Desa Manukaya amat menyadari akan perubahan yang
memang harus terjadi. Perubahan adalah suatu proses, bahkan perubahan itu
diterima sebagai konskuensi perkembangan zaman yang harus terjadi di mana pun
juga. Perkembangan pariwisata yang membawa budaya global dewasa ini semakin
memperjelas arah perubahan dan pergeseran kondisi sosial budaya masyarakat.
Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya
kapitalisme. Akibatnya, penginternalisasian berbagai gagasan yang tercakup
dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi masyarakat Desa Manukaya.
Bersamaan dengan itu, maka ide-ide yang tercakup dalam neoliberalisme tersebar
pada masyarakat (Atmadja, 2008 : 244). Karena itu, tindakan komersialisasi Pura
Tirta Empul tidak terlepas dari pengaruh liberalisme.
Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak-kotak/locker tempat
menaruh pakaian terkait dengan banyaknya pengunjung yang melakukan prosesi
melukat di Pura Tirta Empul, terutama pada hari Minggu, Kajeng Kliwon,
Purnama, Tilem, dan hari-hari tertentu lainnya. Dengan membayar uang Rp.
4.000, pengunjung dapat memanfaatkan locker tersebut beserta kunci yang
diberikan untuk membuka dan menutup.
285

Gambar 7.3 Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak untuk menaruh pakaian(Dok. Setiawan, 2010)
Logika komodifikasi memunculkan pemaknaan baru terhadap pura
sebagai tempat suci. Logika komodifikasi memaknai pura sebagai suatu
komoditas atau barang dagangan. Logika komodifikasi terjebak pada rasionalitas
instrumental. Hal itu menimbulkan implikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta
Empul sebagai tempat suci, yakni bukan sebagai zona yang sakral melainkan
sebagai instrumen untuk mendapatkan uang. Kesucian Pura Tirta Empul telah
kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai
agama. Masyarakat Manukaya telah mengalami perubahan, sehingga zona suci
telah mengalami pembongkaran semiologis dan didekonstruksi untuk memperoleh
makna lain yang baru, yakni makna ekonomi.
286

Gambar 7.4 Komersialisasi pura lewat penyewaan selendang dan kain bagi wisatawan untuk memasuki pura(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas menunjukkan bahwa para wisatawan yang ingin masuk
pura diharapkan memakai kain dan selendang dengan cara menyewa sebesar
Rp.5.000. Kain dan selendang tersebut dikembalikan lagi ketika para wisatawan
sudah selesai mengunjungi Pura Tirta Empu.
Gambar 7.3 dan 7.4 memperlihatkan bagaimana Pura Tirta Empul
dikomersialisasikan untuk mendatangkan uang. Dalam kaitan ini, Bendesa Adat
Manukaya, I Made Mawi Arnata (wawancara, 25 April 2010) mengatakan :
”Dalam lembaga dengan pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, sesungguhnya hati nurani saya kurang senang, karena pura adalah tempat suci, bukan objek wisata. Tetapi karena bakti kepada pemerintah dan sifat toleransi, serta dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat maka hal tersebut dapat diterima dengan catatan kesucian pura betul-betul dipertahankan. Kami mendukung usaha pemerintah dalam rangka pengembangan pariwisata untuk meningkatkan taraf hidup masyaskarat”.
287

Pernyataan di atas jelas mengisyaratkan bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat maka potensi dan sumber daya yang dimiliki, termasuk
sumber budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai komoditi untuk
dipasarkan, karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan bisa
mengangkat taraf hidup masyarakat di Desa Manukaya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pasar adalah tempat membeli dan
menjual komoditas. Pura Tirta Empul merupakan komoditas bagi pengelolanya,
dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya. Di dalamnya mencakup modal
kultural, yakni spesifik, memiliki keindahan, keunikan sebagai sebuah pusaka
budaya. Penguasa ekonomi telah mampu memainkan perannya untuk memenuhi
hasrat manusia dalam berbudaya. Produk budaya Pura Tirta Empul menjadi
komoditi bersama-sama dengan promosi komoditi lainnya, yang dibungkus
dengan tujuan melestarikan dan memperkenalkan Pura Tirta Empul di dalam dan
di luar negeri. Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah
memprakarsai program-program duta wisata, duta budaya, dalam rangka
kerjasama antar daerah dengan paket kemasan Pura Tirta Empul sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Mereka merintis kerjasama dengan para sponsor
sehingga kebebasan berekspresi dan memodifikasi, memproduksi Pura Tirta
Empul dalam wujud yang sesuai dengan selera konsumen.
Penekanan pada nilai tukar mengharuskan Pura Tirta Empul meningkat-
kan penampilannya agar selera konsumen terpenuhi secara optimal. Untuk itu,
pengelola berupaya terus mengembangkan kreaktivitas dan memodifikasi produk
288

budaya untuk menarik konsumen. Strategi ini mengakibatkan Pura Tirta Empul
bergeser menjadi barang komoditi.
7.1.2.2 Kaburnya Identitas dan Nilai Sejarah
Pusaka budaya dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang luas di
kalangan mayarakat. Tumbuhnya kesadaran tentang arti penting pusaka budaya
yang merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi
yang diberikan, melahirkan berbagai upaya pengembangan dan pemanfaatan
untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat.
Di era globalisasi dewasa ini, salah satu kecenderungan masyarakat luas
adalah tumbuhnya kesadaran untuk memahami warisan budaya masa lalu yang
berwujud pusaka budaya. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya
dilakukan dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara.
Wisatawan dapat mengkonsumsi pusaka budaya sebagai daya tarik karena
estetika, emosi, dan nilai sejarah yang dimiliki oleh suatu objek (Ardika,
2007 : 47).
Menurut Bourdieu (dalam Harker, 2005 : 56-57), kekayaan budaya
seperti itu oleh masyarakat pemilik kebudayaan dapat dijadikan modal budaya.
Modal budaya adalah kemampuan untuk membaca dan memahami kode-kode
budaya, tetapi kemampuan itu tidak didistribusikan secara merata di antara kelas-
kelas sosial. Sebuah produk budaya mempunyai makna hanya bagi mereka yang
memiliki modal dan bagi yang dapat membaca kode-kode budaya tersebut. Dalam
menggali makna selera untuk reproduksi sosial, Bourdieu melihat hubungan
289

timbal balik antara modal budaya dan modal ekonomi. Orang secara aktif
menanamkan modal budaya untuk mendapatkan modal ekonomi.
Masyarakat Manukaya telah berupaya mencoba mentransformasikan
modal budaya berupa Pura Tirta Empul menjadi modal ekonomi (dalam konsep
Bourdieu). Dalam teorinya, pusaka budaya berupa Pura Tirta Empul di Desa
Manukaya yang dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata
merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari
sistem pembangunan setempat. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi
karena dijadikan komoditas untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996 : 262)
mengidentifikasi hal seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya
batas-batas budaya dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik
kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya.
Hal penting dari keberadaan Pura Tirta Empul adalah identitas itu
sendiri, tercermin dari elemen-elemen fisik bangunan yang ada. Identitas adalah
penanda benda, baik secara individual maupun secara kolektif, terlebih benda
tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang membedakan dengan identitas
lainnya. Pura Tirta Empul sebagai hasil kebudayaan yang memiliki estetika dari
suatu masyarakat, memiliki identitas yang membuatnya tidak sama dengan yang
lain. Komodifikasi Pura Tirta Empul menyebabkan kaburnya sebuah identitas
budaya.
Selain mengaburkan identitas, komodifikasi Pura Tirta Empul
berdampak pula pada hilangnya nilai sejarah. Dalam kasus Pura Tirta Empul,
bukannya sejarah itu tidak ada, tetapi sejarah itu dihilangkan melalui komodifikasi
290

bangunan-bangunan yang ada. Pusaka budaya di mana pun, termasuk Pura Tirta
Empul, mampu menceritakan sejarahnya sendiri. Sejarah sangat terkait dengan
identitas dan kebanggaan masyarakat. Tidak mengherankan, Pura Tirta Empul
saat ini berada dalam ancaman kehilangan sejarah dan identitas akibat
komodifikasi terus berlangsung demi memperoleh keuntungan ekonomi.
Dalam kaitan ini IGN Cakradana (yang diwawancarai 26 April 2010)
mengatakan.
”Pura Tirta Empul sesungguhnya merefleksikan semangat orisinal dan sumber identitas. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang tidak memiliki identitas/jatidiri. Jadi, jika komodifikasi terus terjadi, tidak ada lagi nilai sejarah yang dikandung dalam Pura Tirta Empul, pura kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Bangunan-bangunan yang berdiri adalah gudang penyimpanan bagi memori sosial budaya yang membingkai kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Bangunan-bangunan yang ada merupakan sumber inspirasi untuk menginterpretasikan peristiwa sejarah dan pengalaman masa lalu”.
Pernyataan di atas jelas sangat menyayangkan terjadinya komodifikasi
Pura Tirta Empul yang mengakibatkan kaburnya sebuah identitas, bahkan
hilangnya nilai sejarah yang sangat diperlukan oleh generasi yang akan datang. Ia
sendiri mengaku menyukai sejarah yang bisa dilihat dari arsitektur bangunan.
Jadi, jika bangunan bersejarah yang ada dikomodifikasi, maka tak ada yang
istimewa dari sebuah produk budaya Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul hanya
tinggal tidak lebih dari suatu komoditas yang bisa menghasilkan uang dari para
wisatawan. Masyarakat Desa Manukaya, cepat atau lambat segera akan
kehilangan identitas dan nilai sejarah dari sebuah produk budaya yang bernama
Pura Tirta Empul.
291

7.1.2.3 Pencemaran Kesucian Pura dan Munculnya Hiperspiritualitas
Pura bukanlah objek kunjungan wisatawan, melainkan suatu tempat suci
untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan roh suci leluhur.
Meskipun demikian karena pura memancarkan suasana estetik dan artistik dalam
lingkup kesucian, maka pura sebagai tempat suci banyak mendapat kunjungan
para wisatawan. Demikian pula Pura Tirta Empul.
Pura Tirta Empul sangat disucikan oleh masyarakat Desa Adat
Manukaya. Mereka selalu berusaha menjaga kesuciannya serta memanfaatkannya
sebagai tempat persembahannya untuk mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan dalam kehidupan ini. Tuhan menurunkan agama ke dunia ini untuk
menuntun manusia mengembangkan moral yang luhur dan mental yang tangguh.
Moral yang luhur dapat menjalin kehidupan bersama yang harmonis, saling
mengasihi, tolong-menolong, dan menghilangkan kebencian satu sama lain.
Tuntunan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan agar hidup ini
memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.
Pura Tirta Empul, seperti diketahui, banyak mendapat kunjungan dari
para wisatawan mancanegara. Tidak jarang para wisatawan itu bahkan masuk ke
dalam pura sampai ke halaman dalam, halaman tersuci dari sebuah pura. Mereka
ingin mengetahui lebih mendalam tentang keberadaan tempat suci umat Hindu,
seperti bentuk bangunan suci, cara bersembahyang, proses upacara keagamaan,
sesaji persembahan kepada Tuhan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sulit
menjaga kesucian pura, sehingga memerlukan suatu proses penyucian kembali
secara berulang-ulang.
292

Pemangku Pura Tirta Empul Dewa Gde Wenten (wawancara, 10 Mei
2010) mengatakan :
”Sesajen untuk upacara pembersihan pura dihaturkan setiap tiga bulan sekali untuk membersihkan areal pura dari keletehan/kecemaran akibat kunjungan wisatawan yang kita tidak tahu kualitasnya. Bagaimana pun pariwisata telah banyak memberi materi finansial kepada desa adat, dan semua itu harus disyukuri. Para pengunjung kami harapkan selalu berpakaian sopan, paling tidak menggunakan selendang jika masuk pura. Kita sudah memasang pengumuman untuk pelarangan bagi kondisi-kondisi tertentu, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya orang itu ”ketika berkunjung ke tempat suci”.
Selanjutnya I Gde Udara mengungkapkan seperti di bawah ini :
”Saya tahu dengan jelas batas antara yang sakral dan yang profan, antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi”. Saya tahu bagaimana memanfaatkan potensi pariwisata untuk memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat dan meminimalkan kerugian (polusi sosial dan budaya) (wawancara, 29 Maret 2010).
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat
sesungguhnya sadar akan dampak negatif pariwisata terhadap kesucian sebuah
daya tarik wisata berupa pura. Mereka berusaha meminimalkan dampak-dampak
tersebut melalui proses upacara untuk pembersihan kembali.
Para wisatawan lebih memandang pura sebagai objek rekreasi semata-
mata tanpa menghindarkan nilai kesucian pura. Ada perasaan kurang khusyuk di
kalangan umat Hindu yang sedang melakukan persembahyangan atau upacara
agama jika dikerumuni oleh para wisatawan, seperti penuturan Putu Sulastri
(wawancara 2 April 2010) dari Dusun Tatag sebagai berikut.
“Ketika sedang bersembahyang dengan khusyuk tiba-tiba datang rombongan wisatawan mancanegara yang ingin melihat-lihat dan mengambil foto di halaman dalam Pura Tirta Empul, mereka dengan bebasnya berkeliaran ke sana-ke mari tanpa begitu mempedulikan orang yang sedang bersembahyang. Bahkan mereka juga dengan seenaknya
293

mengambil foto bangunan suci di depan orang yang lagi sembahyang, dan itu tentu sangat mengganggu konsentrasi umat”
Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh I Made Puja (wawancara
22 April 2010) dari Desa Manukaya Anyar.
”Saya lebih sering bersembahyang di Pura Tirta Empul pada malam hari, karena sangat tenang tidak ada gangguan para wisatawan. Pada pagi dan siang hari Pura Tirta Empul banyak dikunjungi para wisatawan yang dirasa sangat mengganggu ketenangan dalam bersembahyang”.
Kedua pernyataan di atas memperjelas bahwa kedatangan para
wisatawan pada saat melakukan persembahyangan sangat mengganggu
konsentrasi umat. Konsep pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Bali tampaknya masih perlu dipertegas, terutama mengenai
sejauh mana para wisatawan diperbolehkan memasuki sebuah tempat suci.
Perjalanan pariwisata budaya memang senantiasa diuji dan berbagai
permasalahan yang menyentuh adat dan agama tidak terpecahkan, sehingga
menggelisahkan umat atau membuat umat seperti kehilangan bahasa untuk
memahami hubungan antara fenomena pariwisata dengan kebudayaannya.
Masalah wisatawan boleh atau tidak masuk ke pura, mesti berselendang atau
tidak, selama ini juga tidak mendapat penanganan dan perwujudan yang standar
dan seragam. Pemerintah sudah mengeluarkan larangan untuk wisatawan
memasuki Pura Besakih karena dianggap oleh masyarakat aktivitas wisatawan itu
mencemarkan kesucian tempat suci, tetapi di banyak pura lain, termasuk Pura
Tirta Empul wisatawan boleh leluasa masuk ke pura. Di depan pura ada
pengumuman dalam bahasa Indonesia dan Inggris (Gambar 7.5) yang antara lain
menyebutkan hanya turis yang “datang bulan” yang tidak boleh masuk dan ada
294

petugas yang siap menyambut wisatawan dengan selendang. Wisatawan pun
diarahkan untuk memasukkan uang di kotak donasi yang telah disiapkan.
Gambar 7.5 Pengumuman Larangan untuk Memasuki Tempat Suci Lewat Papan Pengumuman(Dok. Setiawan, 2010)
Papan pengumuman di atas sesungguhnya bertujuan untuk menjaga
kesucian Pura Tirta Empul dari perilaku-perilaku yang tidak pantas ketika
memasuki sebuah tempat suci. Kunjungan para wisatawan juga dirasa cukup
mengganggu konsentrasi umat ketika bersembahyang (Gambar 7.6). Bagaimana
tidak, sedang khusyuknya bersembahyang, tiba-tiba datang serombongan
wisatawan dengan berbagai tujuan dan kepentingannya masing-masing.
Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan
oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup
konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah
295

menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya.
Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut
(komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di
dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari
makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).
Gambar 7.6 Kunjungan wisatawan di halaman dalam/jeroan pura sangat mengganggu konsentrasi umat yang sedang bersembahyang(Dok. Setiawan, 2010)
Kedatangan wisatawan di halaman dalam Pura Tirta Empul cukup
mengganggu konsentrasi umat di dalam persembahyangan. Walaupun demikian,
umat tetap melakukan kegiatan keagamaan sebagai wujud bakti bakti kepada
Tuhan dan para leluhur. Mereka datang ke pura dengan mengaturkan sesajen,
bersembahyang, dan nunas tirta.
296

Aktivitas ritual keagamaan adalah aktivitas keagamaan yang dilakukan
oleh setiap pemeluk agama termasuk masyarakat Desa Manukaya pada waktu
yang ditentukan, sebagaimana bentuk-bentuk ibadah lainnya mengikuti contoh
yang ada sebelumnya. Artinya ritual keagamaan adalah kegiatan “reproduksi”
prinsip dan sifat yang telah ada, meskipun aspek budaya materi yang berkaitan
dengan pelaksanaannya bisa beranekaragam, sesuai dengan keragaman tempat,
kebiasaan, dan budaya yang berbeda.
Ketika berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan secara hakiki tidak lagi
berkaitan dengan model yang dicontohkan, maka yang berkembang adalah apa
yang disebut sebagai hiper-ritual, yaitu realitas ritual keagamaan yang telah
melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk
realitas ritual artifisial dengan berbagai budaya materi dan gaya hidup yang
menyertainya, justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang
penyucian jiwa. Kegiatan ritual keagamaan sebaliknya berkembang menjadi ruang
pemanjaan jiwa, lewat berbagai bentuk tanda, citra, gaya hidup, dan pesona objek
yang ditawarkan di dalamnya.
Hiperealitas adalah realitas ritual yang bersifat artifisial, yang tidak lagi berkaitan dengan realitas ritual sejati, referensi, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya, sesuai dengan ajaran kitab suci. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari realitas awal yang menjadi modal atau rujukan. Hiperitualitas menciptakan sebuah kondisi yang di dalamnya tanda ritual (ritual signs) atau citra ritual (ritual image) dianggap sebagai realitas ritual seperti ajaran kitab suci. Di dalamnya, kesemuan dianggap sebagai kenyataan, kepalsuan dianggap sebagai kebenaran. Antara bentuk kebenaran dan kepalsuan ritual, antara citra dan realitas ritual tumpang tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan (Piliang, 2009 : 338).
Perkembangan budaya komoditi, budaya pencitraan, dan gaya hidup
dalam masyarakat konsumer telah mengiring kegiatan ritual keagamaan di Pura
297

Tirta Empul ke dalam komodifikasi ritual keagamaan. Dengan kata lain, kegiatan
ritual keagamaan digiring ke dalam perangkat budaya massa, yang di dalamnya
berbagai bentuk artifisialitas dan citra dikembangkan sebagai cara dalam
menciptakan imajinasi kolektif dan manipulasi pikiran massa, yang di dalamnya
berlangsung komodifikasi kesucian (Storey, 2003 : 19).
Dua atau tiga tahun belakangan ini terjadi lonjakan yang sangat tajam kedatangan umat untuk melukat di kolam suci Pura Tirta Empul, terutama hari-hari tertentu. Kolam suci dipenuhi umat dari pagi hingga malam, mereka secara tertib melakukan prosesi melukat melalui air pancuran yang jumlahnya dua puluh dua buah dari barat ke timur. Bapak bisa lihat tumpukan canang pada masing-masing pancuran dan tempat-tempat lain di sekitarnya (wawancara dengan pecalang Made Suja, 3 Mei 2010).
Pernyataan di atas menarik untuk dikaji bahwa umat menghaturkan
canang pada masing-masing pancuran, karena fungsi air pada masing-masing
pancuran berbeda-beda, ada yang disebut tirta penglukatan, tirta pelebur mala,
tirta pelebur ipian ala, tirta sudamala, dan lain-lain. Penyebutan fungsi masing-
masing tirta pancuran juga menarik mengingat sumber mata airnya adalah satu
yaitu yang terletak di halaman tengah Pura Tirta Empul.
Gambar 7.7 Suasana prosesi melukat, canang-canang dipersembahkan pada masing-masing pancuran.(Dok. Setiawan, 2010)
298

Gambar di atas menunjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat
terhadap khasiat tirta (air suci) di Pura Tirta Empul yang mengalirkan air dari
sumbernya di halaman tengah pura melalui pancuran-pancuran yang ada di
halaman luar. Kehidupan spiritual tampak masih sangat kuat dalam masyarakat
Bali.
Dalam konteks ini, kehidupan spiritual yang terjadi bukan merupakan
realitas, walaupun secara riil memang ada. Fenomena seperti itu oleh Baudrillard
(1997 : 36-37) disebut dengan simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem,
semua hal yang ada, merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepura-
puraan atau simulasi. Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri,
tetapi hanya pura-pura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya
sekedar tampilan fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat
dilihat bahwa masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun
sesungguhnya ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang
modern yang berpura-pura tradisional.
Sebagai simulakra, tradisionalisasi yang dilakukan masyarakat dapat
dilihat sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, yaitu gejala yang hanya dapat
dimengerti bila kita melihat konteksnya. Geertz (1992 : 17) menyatakan bahwa
kebudayaan adalah sebuah konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal dapat
dijelaskan secara mendalam. Sebuah peristiwa tidak dapat hadir dalam ruang
kosong, melainkan selalu hadir di tengah-tengah berbagai hal yang
melingkupinya.
299

Simulakra sebagai sebuah konsep merupakan satu bentuk kepura-puraan,
bahwa segala sesuatu yang terjadi bukanlah hal yang sesungguhnya dan tidak ada
yang orisinal. Simulakra yang dilakukan oleh masyarakat adalah sandiwara
tradisionalisasi yang tidak hanya ditujukan untuk wisatawan, tetapi juga untuk
dirinya sendiri.
Secara prinsipil, kegiatan ritual keagamaan seharusnya membawa
perubahan yang signifikan pada pola perilaku sosial dan keagamaan, sebagai
akibat logis meningkatnya kualitas spiritual. Kegiatan ritual keagamaan menjadi
sebuah ruang tempat penempaan kualitas spiritual, dengan cara mengekang
berbagai aspek materialitas. Akan tetapi, ketika aktivitas ritual itu terperangkap di
dalam jagad komoditi, maka aktivitas ritual akan terpenjara di dalam jagad
materialitas yang dikondisikan untuk merayakan citra, tanda, penampakan
permukaan, ketimbang makna hakiki, nilai spiritual, dan hikmah-hikmah di balik
kegiatan ritual itu sendiri. Yang terjadi adalah pendangkalan ritual itu sendiri,
yang semakin tercabut dari makna hakikinya.
Hiperitualitas meredusir ritual menjadi fenomena permukaan (surface),
penampakan (appearance), dan tanda-tanda (signs), serta menjauhkan setiap
orang pada makna dan nilai-nilai spiritual. Ritual direduksi menjadi simbol-
simbol yang digunakan sebagai sebuah ungkapan, identitas, dan kepuasan, sebagai
sebuah proses semiotisasi ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak
bersifat hakiki. Kegiatan ritual ini tidak berkaitan dengan konteks ibadah, akan
tetapi diciptakan dan dikonstruksi sedemikian rupa, seakan-akan prosesi itu
menjadi bagian dari wacana ibadah. Hiperitualitas menjadikan ibadah ritual
300

menjadi bagian dari gaya hidup (life-style) yang mengelompokkan masyarakat
Manukaya menjadi kelompok-kelompok gaya hidup, yang menampakkan ciri,
tanda, simbol, dan identitas lewat pakaian, hiasan yang dikenakan. Ada kelas-
kelas sosial dalam prosesi ritual yang memasukkan logika komoditi kapitalisme
dan konsumerisme di dalamnya. Nilai guna pakaian dan perhiasan telah bergeser
ke arah nilai tanda (sign value) yang menjauhkan setiap orang Manukaya dari
hakikat ritual yang sesungguhnya. Kegiatan ritual keagamaan telah menjelma
menjadi bagian dari budaya konsumerisme.
7.2 Makna Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata
Global
Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang
ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya,
serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui
proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu
objek. Untuk memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
pariwisata global, teori semiotika menjadi sangat penting, karena semiotika
merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna sebagai bagian dari kehidupan
social. Penggunaan teori semiotika dalam berbagai cabang keilmuan
dimungkinkan, karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai
diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena
bahasa.
Barthes (Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan ke
dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi
301

(connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan
tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti.
Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka
terhadap berbagai kemungkinan.
Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan
konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam konteks
komodifikasi Pura Tirta Empul berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan
dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat
sekitarnya. Komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai sebuah tanda dalam ruang
budaya dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru
mengenai tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang
diciptakan terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global berkaitan erat
dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu produksi, distribusi, dan
konsumsi.
Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya Pura Tirta
Empul telah menjadikan Pura Tirta Empul sebagai barang komoditi. Untuk
kepentingan industri pariwisata, Pura Tirta Empul dikonstruksi kapitalisme
sebagai suatu bentuk representasi budaya masyarakat Manukaya dengan tujuan
komersial. Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata
sebagai bagian dari upaya pelestarian menyebabkan Pura Tirta Empul menjadi
produk budaya tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah
302

ikut ambil bagian dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul. Hegemoni
Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam mengkomodifikasikan Pura Tirta Empul
diterima oleh masyarakat Desa Manukaya tanp protes apa pun. Makna
komodifikasi Pura Tirta Empul terkait dengan penelitian ini dapat ditelusuri dari
makna relegius, pelestarian budaya, kesejahteraan, dan identitas budaya.
7.2.1 Makna Religius
Komodifikasi Pura Tirta Empul mengandung makna religius bagi
masyarakat Desa Manukaya. Makna religius sebagai dasar pengembangan
pariwisata dapat memperkuat jatidiri dan keyakinan krama desa adat terhadap hal-
hal yang bersifat religius magis serta mempertebal rasa religiusitas. Di Desa Adat
Manukaya bisa disaksikan aktivitas krama desa adat yang bersifat sakral berjalan
bersamaan dengan aktivitas pariwisata yang profan sehingga terjadi fenomena
pospiritualitas, yakni berbaurnya hal-hal duniawi dengan yang illahi.
Pariwisata memaksa masyarakat dan budaya lokal berinteraksi dengan
budaya global. Namun demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses
yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas ke masa
lalu yang bisa disebut sebagai proses tradisionalisasi. Proses ini antara lain
ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama serta memunculkan
fenomena meningkatnya tingkat religiusitas masyarakat, seperti intensitas
pelaksanaan ritual, keyakinan akan adanya alam gaib, keyakinan akan adanya
benda (objek) sakral dan profan, serta perilaku keseharian yang mencerminkan
dogma agama (Pitana, 2005 : 147-148). Makna religiusitas Pura Tirta Empul juga
ditunjukkan oleh sebuah patung tokoh Bima yang membawa tirta kamandalu
303

yang ditempatkan di depan Pura Tirta Empul (Gambar 7.8). Tirta kamandalu
merupakan air suci yang dapat memberikan kehidupan seperti halnya air suci di
Pura Tirta Empul yang mempunyai multifungsi terkait dengan prosesi retual
keagamaan.
Gambar 7.8 Patung Bima memegang Tirta Kamandalu di Kompleks Pertamanan Pura Tirta Empul)(Dok. Setiawan, 2010)
Intensitas pelaksanaan ritual dalam kehidupan masyarakat Desa
Manukaya di Pura Tirta Empul dewasa ini tidak mengalami penurunan, bahkan
meningkat, baik dilihat dari aspek frekuensi maupun kemegahannya. Berbagai
jenis upacara besar yang dahulu jarang dilakukan akibat keterbatasan ekonomi,
justru sekarang ini dapat dilakukan dengan kegairahan masyarakat, bahkan
kegiatan ritual justru berjalan lebih semarak dan megah. Pada saat ada upacara
besar di Pura Tirta Empul, sebagai besar masyarakat mengalihkan perhatian
sepenuhnya dari bisnis ke upacara.
304

Sehubungan dengan hal itu, Dewa Gde Wenten, pemangku Pura Tirta
Empul (diwawancarai 1 April 2010) mengatakan:
“Kegairahan beragama masyarakat belakangan ini terlihat sangat meningkat. Hampir setiap hari ada saja umat “ngaturang bakti” ke sini (Pura Tirta Empul), lebih-lebih pada hari-hari bulan Purnama, tilem atau kajeng kliwon umat membludak datang melukat atau bersembahyang. Seiring dengan keyakinan ini, berbagai simbol dan objek diyakini mempunyai kekuatan niskala. Berbagai perilaku umat terhadap obyek sakral dapat diamati dalam setiap prosesi ritual, baik dalam skala besar maupun kecil”.
Pernyataan di atas memperlihatkan betapa kegiatan ritual berlangsung
secara semarak di Pura Tirta Empul, bersamaan dengan maraknya kunjungan
wisatawan baik domestik maupun asing. Dari indikator yang telah disebutkan di
atas, secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa religiusitas masyarakat Manukaya
tidaklah memudar akibat kemajuan ekonomi dan transformasi yang terjadi dewasa
ini. Di samping pengalaman religius yang datang dengan sendirinya, banyak pula
masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius, sebagaimana dipraktikkan
dalam berbagai aliran pendalaman agama. Selain munculnya kegairahan
pendalaman tatwa, muncul pula kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual
experience), seperti dapat dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual,
kelompok tirta yatra, dan sejenisnya. Di samping kegairahan beragama,
tradisionalisasi ini juga bisa dilihat dari semakin menguatnya ikatan-ikatan
kewargaan. Pengamatan pada warga yang menyungsung Pura Tirta Empul di Desa
Manukaya secara meyakinkan menunjukkan bahwa religiusitas yang tinggi telah
bermuara kepada kebanggaan akan warga, serta termanifestasikan melalui
kegairahan di dalam melakukan upacara di Pura Tirta Empul.
305

Di era globalisasi melalui pintu pariwisata yang menyebabkan
perubahan, memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat dan
kebudayaan Desa Manukaya. Makna religius dimaksudkan sebagai makna yang
berhubungan dengan niskala (gaib). Dalam perubahan tersebut ada tindakan
demistifikasi di dalamnya, yaitu semacam proses degradasi kesucian, terutama
dalam hal arsitektur tradisional Bali yang masih ada di zaman pariwisata seperti
sekarang. Akibatnya adalah hal-hal yang sebelumnya dianggap suci dan tidak bi
sa di utak-atik dengan alasan apa pun, kemudian dianggap biasa-biasa saja dan
dapat digunakan sekehendak hati.
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Nilai-nilai kebudayaan luar yang
beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri
sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi
baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam.
Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara
meluas.
Cara-cara orang mempraktikkan agama juga mengalami perubahan,
bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi, tetapi karena budaya
yang mengkontekstualisasi agama itu dengan tata nilai yang berbeda. Agama
dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup,
tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Wisata religius mulai
menjadi produk alternatif dalam industri pariwisata. Kecenderungan ini
306

menunjukkan proses komodifikasi kehidupan sehari-hari yang dikatakan oleh
Baudrillard melibatkan manipulasi tanda, sehingga yang dikonsumsi bukanlah
objek, tetapi sistem obyek (Featherstone, 1992 : 270).
Sejalan dengan proses komodifikasi, agama kemudian menjadi faktor
dalam pembentukan identitas diri yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan
pluralitas agama dan penganutnya. Tampak di sini bahwa agama tidak lagi
menjadi suatu sistem ideologi yang memberikan basis pengetahuan dalam proses
evaluasi dan praktik kehidupan seseorang, karena agama lebih merupakan
”pelengkap” kehidupan. Pasar telah membuat kehidupan beragama begitu mudah,
dengan fasilitas-fasilias yang mampu menghadirkan sesuatu yang jauh menjadi
begitu dekat. Konteks ini telah mengikis sifat-sifat sakral dan praktik keagamaan
menjadi praktik sehari-hari dengan nilai yang jauh lebih profan.
Demistifikasi arsitektural dalam Pura Tirta Empul masa kini merupakan
dampak dari gerakan industralisasi pariwisata dalam kehidupan, yang pada
dasarnya bersifat tradisi. Era globalisasi melalui pintu pariwisata membuat ruang
arsitektur yang ada ikut mengalami posmodernisasi. Hal itu terkait dengan apa
yang dalam proses budaya disebut komodifikasi, khususnya dalam hal bagaimana
produk-produk seni dan budaya dikonsumsi secara baru dan berbeda oleh
pemakainya.
Terkait dengan religiusitas, pergerakan dan pergeseran juga terjadi pada
penggunaan ukiran-ukiran di rumah-rumah penduduk Desa Manukaya. Pada masa
lalu tidak sembarang orang boleh menggunakan ukiran tertentu, karena ukiran
memiliki perlambang dan kekuatan magis. Ukiran Boma misalnya, pada saat ini
307

sah saja digunakan oleh kelompok masyarakat mana pun. Keangkeran
penggunaannya pada masa lalu telah digeser oleh modernisasi pariwisata,
sehingga secara dialektis, pertemuan keduanya melahirkan estetika kontemporer,
yaitu bentuk-bentuk budaya yang muncul, seperti ukiran Boma hanya mengikuti
kesenangan pemakainya. Hal yang pasti, sebagai akibat dari komersialisasi, terjadi
apa yang dalam bidang kajian budaya disebut sebagai proses komodifikasi.
Dengan kata lain, komodifikasi budaya telah terjadi akibat kepentingan pariwisata
untuk alasan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Perkembangan pariwisata yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, ternyata tidak serta merta mengubah jatidiri masyarakat Desa
Manukaya yang memegang teguh kebudayaan Bali dan agama Hindu yang
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ini berarti, sesuai teori
kritis Agger (2007 : 64) masyarakat telah mampu merespons secara kritis,
bermanfaat, dan bermakna, perubahan yang terjadi di sekitarnya. Namun
demikian dari kajian yang dilakukan tampak terjadi penurunan makna religius
pada pusaka budaya Pura Tirta Empul. Keadaan itu tentu disebabkan oleh
perkembangan pariwisata yang terjadi belakangan ini melalui praktik-praktik
bisnis sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat Desa Manukaya.
7.2.2 Makna Pelestarian Budaya
Komodifikasi Pura Tirta Empul juga mengandung makna pelestarian
budaya. Pada dasarnya, setiap kebudayaan sebagai milik suatu masyarakat, dalam
intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan.
Itu berarti bahwa dari waktu ke waktu dapat terjadi perubahan seiring dengan
308

perubahan lingkungan dalam arti luas. Lingkungan dalam arti luas meliputi
lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial. Sejarah suatu kebudayaan dapat
dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu (1) pembentukan, umumnya dibentuk pada
zaman prasejarah, (2) pemantapan, melalui pembangunan tradisi disertai
ketentuan pola tindakan sebagai sarana intensifikasi, (3) perluasan jelajah, seiring
dengan dinamika kependudukan atau dinamika politik, dan (4) pembentukan citra
budaya baru, sebagai akibat dari proses akulturasi atau asimilasi (Sedyawati,
2008 : 290).
Kesadaran budaya bagi seluruh masyarakat Manukaya kiranya perlu
senantiasa ditumbuhkembangkan, agar berkembang kepekaan untuk menghargai
budayanya. Informasi budaya yang menanamkan pemahaman multikultural, tetapi
sekaligus juga memupuk nasionalisme yang sehat, kiranya perlu diberi perhatian
serius oleh semua pihak, termasuk oleh media massa. Dewasa ini terlalu banyak
pertimbangan komersial dimenangkan terhadap pertimbangan moral dan jatidiri.
Pura Tirta Empul merupakan pusaka budaya yang strategis untuk
pemertahanan budaya dan sekaligus juga sebagai jatidiri masyarakat Desa
Manukaya. Adapun upacara adat dan hukum adat dalam konteks masyarakat yang
berubah dewasa ini, kiranya memerlukan reinterpretasi dalam kehidupan masa
kini. Tradisi-tradisi masyarakat dapat dilestarikan eksistensinya, tetapi agar tetap
relevan bagi kehidupan tidak ada salahnya diberi modifikasi di mana perlu.
Jadikan tradisi sesuatu yang indah, dan bukan yang memaksa atau mengekang.
Deklarasi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai “the
309

right to culture” pada dasarnya harus diartikan untuk mengambil bagian dalam
kehidupan berbudaya, dan mendapat kebahagiaan dari kebudayaan.
Pelestarian Pura Tirta Empul dilaksanakan melalui sejumlah program
pembangunan kebudayaan, adalah bagian dari pembangunan budaya yang sangat
luas dan kompleks. Hal itu sudah jelas, karena tujuan pembangunan ialah untuk
membangun manusia/masyarakat seutuhnya, baik yang bersifat material maupun
spiritual secara selaras dan seimbang. Pembangunan kebudayaan yang dilakukan
oleh pemerintah dapat dianggap sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang
Dasar Republik Indonesia 1945 khususnya pasal 32 beserta penjelasannya. Dalam
pembangunan itu, tentu saja termasuk pembangunan produk budaya Pura Tirta
Empul sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Dengan demikian, maka
jelaslah betapa pentingnya usaha-usaha pelestarian pusaka budaya, yang tidak
semata-mata bertujuan melestarian atau menyelamatkan bangunan kuno, tetapi
yang lebih penting adalah melestarikan nilai-nilai luhur yang dimilikinya.
Dalam kaitannya dengan pariwisata budaya yang dikembangkan di
daerah Bali, pelestarian Pura Tirta Empul harus menghadapi berbagai masalah.
Seperti diketahui, kecuali menjadi daerah tujuan wisata, Bali juga menjadi pusat
pengembangan kepariwisataan Indonesia bagian tengah, sehingga perkembangan
pariwisata sangat pesat. Dengan demikian, maka interaksi masyarakat lokal
dengan wisatawan mancanegara yang mempunyai latar belakang sosial budaya
berbeda menjadi sangat intensif.
Pelestarian nilai-nilai budaya sesungguhnya adalah suatu seleksi dan
sekaligus pemeliharaan nilai-nilai yang secara fungsional benar-benar dirasakan
310

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, diyakini manfaat dan kegunaannya.
Dalam pelestarian inilah akan tercermin seberapa jauh tingkat kesadaran,
keyakinan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai tadi. Dalam hal ini terjadi pula
memperkaya unsur-unsur yang telah lama dimilikinya dengan unsur-unsur baru
yang bermanfaat, tanpa mengalahkan unsur-unsur yang telah berakar dalam
masyarakat (Sutaba, 1991 : 28). Sebaliknya mungkin ada unsur-unsur lama yang
ditinggalkan, karena sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Demikianlah akan berlangsung proses perubahan dan penerusan nilai-nilai dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam usaha pelestarian nilai-nilai yang terdapat pada pusaka budaya,
baik lewat proses pewarisan atau proses lainnya, sebenarnya mengandung makna
yang mendalam. Pewarisan nilai-nilai budaya sesungguhnya juga bermakna
pelestarian yang di dalamnya terdapat makna yang sangat dalam dan penting bagi
masyarakat dan bangsa, yaitu pelestarian untuk memperkuat ketahanan budaya.
Ketahanan budaya sangat diperlukan sebagai landasan bagi pembangunan
manusia seutuhnya, di atas kepribadian sendiri yang berakar pada sejarah leluhur.
Dalam kaitannya dengan perkembangan dunia internasional atau pariwisata
dewasa ini, maka ketahanan budaya menjadi senjata penangkal untuk menghadapi
pengaruh luar yang tidak selamanya menguntungkan.
7.2.3 Makna Identitas Budaya
Masyarakat Bali (baca Hindu) terikat oleh adanya kesatuan budaya dan
diperkuat pula oleh pemakaian bahasa yang sama. Kebudayaan Bali yang dijiwai
oleh agama Hindu merupakan bagian dari kebudayaan nasional dan sekaligus
311

sebagai identitas orang Bali. Dalam perspektif historis, kebudayaan Bali secara
garis besar berkembang dalam tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar,
dan tradisi modern (Geriya, 2008 : 2-3).
Tradisi kecil adalah kebudayaan lokal yang merupakan elemen-elemen
kebudayaan Austronesia, sedangkan tradisi besar merupakan akulturasi antara
kebudayaan Bali lokal dengan agama dan kebudayaan Hindu, merupakan refleksi
dari budaya ekspresif dengan ciri pokok dominan berupa nilai religius, estetika,
dan solidaritas. Tradisi modern yang datang kemudian memperlihatkan
karakteristik dominannya ciri-ciri kekuasaan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi, individualisme, dan materialisme. Sifat-sifat tradisi modern ini lebih
menunjukkan karakteristik budaya progresif (Geriya, 2008 : 142).
Dalam kaitannya dengan arus kebudayaan global, terutama dengan
perkembangan pariwisata, telah berkembang dialog nilai-nilai lama dengan nilai-
nilai baru dalam kebudayaan Bali. Dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade
(1980-2010), proses pembangunan Bali diwarnai dengan terjadinya konflik dan
kompromi antara sektor pariwisata dan kehidupan sosial budaya. Hal itu bisa
dilihat dari dominannya wacana atau perdebatan sosial di media massa, antara
kalangan profesional (intelektual, seniman, pengusaha pariwisata) dan pemerintah
yang terfokus pada dampak positif dan negatif pariwisata.
Kenyataan menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan
Bali adalah karena pariwisata. Sebaliknya, pariwisata senantiasa memikat, karena
daya tarik kebudayaan. Kebudayaan yang ekspresif mampu berkembang ke arah
watak kebudayaan progresif, yakni yang memberikan pendukungnya peluang
312

untuk meraih manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi itu terasa lewat komodifikasi
produk budaya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul.
Dalam penelitian ini, terkait dengan makna identitas budaya dapat
dikatakan bahwa identitas merupakan ciri khas, yaitu tanda dari kepribadian yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Identitas digambarkan sebagai gejala yang
ditimbulkan oleh adanya interaksi antara manusia dan lingkungannya (Sadali,
2000 : 12). Sementara identitas budaya adalah ciri khas suatu kebudayaan yang
membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan yang lain. Identitas
terbentuk dari unsur-unsur kebudayaan, seperti lambang, sistem nilai, norma, adat
dan kesenian (Koentjaraningrat, 1987 : 43). Sehubungan dengan komodifikasi
Pura Tirta Empul sebagai makna identitas budaya, mengandung pengertian
produk budaya tersebut memiliki ciri khas yang merepresentasikan idenitas
budaya masyarakat Desa Manukaya. Dengan kata lain, identitas budaya di
ekspresikan dalam kajian ini terakumulasi lewat penggambaran melalui produk
budaya Pura Tirta Empul. Dalam kehadirannya, Pura Tirta Empul
mereprestasikan sesuatu lewat tanda dan simbol. Tanda dan simbol itu adalah teks
(Barker, 2005 : 11). Produk budaya Pura Tirta Empul, sebagaimana halnya sebuah
teks, menyimpan berbagai kemungkinan pembacaan yang beragam dari pembaca
teks. Teks-teks tersebut adalah segala sesuatu yang menghasilkan makna melalui
praktik pemaknaan.
Pura Tirta Empul dewasa ini telah menjadi teks dengan menerima dan
menyesuaikan diri dari segala perbedaan dan mengakui satu identitas budaya
masyarakat Desa Manukaya. Ikon budaya sebagai bentuk identitas merupakan
313

efek dari sifat ikon budaya yang mengikat masyarakat pendukungnya melalui
relasi pandangan dan latar belakang budaya yang sama. Berdasarkan paparan di
atas dapat dikatakan bahwa makna idenditas budaya tampak semakin melemah
akibat terjadinya komodifikasi budaya.
7.2.4 Makna Kesejahteraan
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global
mengandung makna kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Komodifikasi
Pura Tirta Empul hadir dalam bentuk tampilan baru yang diarahkan untuk
kepentingan ekonomi. Komodifikasi Pura Tirta Empul dilakukan untuk
kepentingan pariwisata, karena pariwisata dianggap dapat memberi nilai ekonomi
bagi masyarakat Manukaya. Undang-undang No. 22 tahun 1999 juga memberi
peluang yang lebih luas bagi daerah atau desa dalam pengelolaan berbagai potensi
sumberdaya, termasuk sumberdaya budaya Pura Tirta Empul. Penekanan otonomi
di tingkat daerah dapat merangsang pengembangan pariwisata untuk peningkatan
pendapatan masyarakat. Dengan demikian, daerah atau desa-desa akan berusaha
menggali dan mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sosial budaya
sebagai daya tarik wisata, karena pariwisata mempunyai potensi yang cukup besar
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi pariwisata digali
dan dimanfaatkan untuk mendukung bermacam-macam kegiatan ekonomi,
menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh pendapatan, dan motif-motif
ekonomi lainnya.
Di masa lalu penduduk Manukaya bersandar pada mata pencaharian
pertanian sebagai pekerjaan utama. Belakangan muncul lapangan kerja tambahan
314

seperti menciptakan hasil karya seni yang terkait dengan dunia pariwisata. Dalam
perkembangannya muncul lapangan kerja baru sejalan dengan perkembangan
pariwisata yang semakin intensif. Aktivitas pariwisata melahirkan lapangan kerja
lain, seperti perdagangan, jasa, bahkan perdagangan barang seni. Benda-benda itu
tidak lagi dibuat untuk kepentingan pribadi, tetapi dirancang untuk kepentingan
komoditi yang ikut meramaikan semaraknya pariwisata. Benda-benda seni, seperti
patung, kerajinan tangan, ukiran, dibuat dengan tujuan komersial.
Pergeseran nilai terjadi terhadap kreativitas budaya. Akibat
pengembangan pariwisata, kegiatan dan hasil seni yang semula bersifat tradisional
murni, mulai bergeser ke arah penyesuaian pasar. Bahkan kegiatan dan hasil karya
seni yang semula mengacu kepada kepentingan agama dan adat, kini mulai
dimasuki oleh kepentingan komersial. Pariwisata dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat Manukaya. Peningkatan pendapatan melalui sektor
ekonomi, kemudian mendorong dilakukannya perbaikan-perbaikan terhadap
sejumlah pura lainnya yang ada di wilayah Desa Ada Manukaya (wawancara
dengan Bendesa Adat, 20 April 2010). Namun perbaikan itu, tentu saja tidak
terlepas dari tuntutan kebutuhan akibat meningkatnya jumlah penduduk di Desa
Manukaya.
Perkembangan pariwisata menghasilkan manfaat pada kehidupan
masyarakat. Kehidupan ekonomi meningkat, rumah-rumah penduduk tampak
lebih bagus dari sebelumnya. Demikian juga nuansa seni, tanpa mengabaikan
kepentingan-kepentingan tradisi dan agama. Hubungan penduduk, pariwisata,
315

ekonomi, tradisi, dan agama adalah satu keterkaitan adanya pertumbuhan
pembangunan yang merupakan prinsip dari fungsi sosial kemasyarakatan.
Proses industrialisasi pariwisata juga menyebabkan pergeseran-
pergeseran dalam tatanan sosial masyarakat setempat, terutama solidaritas baru
dalam cara individu berhubungan dengan individu lainnya akibat modernisasi
pariwisata. Namun dalam hubungan sosial di lingkup parhyangan terjadi
solidaritas yang bersifat positif. Mereka mensyukuri dan berterima kasih karena
berkat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan segala anugrahnya,
pariwisata dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Mereka pun secara tulus
membayar hutang (rna) dengan cara memperbaiki fisik pura-pura yang ada,
termasuk Pura Tirta Empul dan menggelar upacara-upacara yang dibutuhkan.
Pura yang semakin bagus (luas, indah, estetik) di era globalisasi modern dengan
hadirnya bisnis pariwisata, pada gilirannya membuat komunikasi semua warga
masyarakat Manukaya semakin meningkat.
Seorang pedagang Putu Sarini yang diwawancarai 6 April 2010
mengatakan :
”Sebagai pedagang cenderamata di areal kompleks Pura Tirta Empul saya merasa bersyukur bisa memperoleh rejeki, meskipun tidak terlalu banyak. Rejeki yang saya dapatkan dari berjualan paling tidak dapat membantu kebutuhan sehari-hari atau membantu uang sekolah untuk anak-anak. Rejeki itu sudah barang tentu amat membantu ekonomi keluarga saya”.
Selanjutnya Desak Ketut Widiasih mengungkapkan hal yang sama di
bawah ini :
Saya bersyukur atas perkembangan pariwisata karena pariwisata sangat membantu kehidupan saya sekeluarga. Sebelum berjualan di sini saya bekerja sebagai buruh dan petani sambilan yang pekerjaannya sangat melelahkan dan hasilnya sangat sedikit. Penghasilan berjualan barang-
316

barang kerajinan di sini tidak melelahkan, walaupun hasilnya tidak terlalu banyak tapi sangat berarti bagi kelangsungan keluarga. Saya tetap bersyukur dan senantiasa memohon berkah dan berbakti kehadapan yang melinggih di Pura Tirta Empul (wawancara, 26 Mei 2010).
Ungkapan kedua pedagang tersebut di atas sebagai rasa bersyukur atas
rejeki yang mereka dapatkan dari berjualan cenderamata di areal sekitar Pura Tirta
Empul. Apa yang mereka peroleh dirasakan sangat membantu ekonomi
keluarganya. Pariwisata telah terbukti menjadi salah satu alternatif dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepariwisataan telah memberikan
dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Manukaya,
walaupun harus diakui bahwa tidak semua masyarakat secara merata terkena
imbas sektor pariwisata, karena pariwisata merupakan fenomena bisnis dan
ekonomi. Makna kesejahteraan di sini mengacu pada dampak pariwisata terhadap
masyarakat setempat, dalam hal ini baik masyarakat yang hidup atau tinggal di
sekitar Pura Tirta Empul, maupun masyarakat lain dalam dimensi yang lebih luas.
Menurut penuturan Made Yatna dan Ketut Ludra (wawancara, 17 April
dan 6 Mei 2010) :
”Saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kehadiran wisatawan di tempat ini membuat saya mendapatkan dampak ekonomi dan kesejahteraan. Kegiatan pariwisata di Pura Tirta Empul sungguh bermakna bagi saya, dan bersyukur pula karena warga tidak pernah mengeluarkan uang untuk perbaikan dan upacara di Pura Tirta Empul. Perbaikan bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pura Tirta Empul dan segala kegiatan upacara termasuk piodalan, dananya bersumber dari hasil retribusi. Sekarang ini boleh dikatakan keadaan pembangunan di pura cukup baik, sehingga dana yang diperoleh juga untuk perbaikan tempat suci/pura lain di lingkungan Desa Adat Manukaya.
Pernyataan di atas memperjelas bahwa Pura Tirta Empul sebagai daya
tarik wisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam Undang-undang
317

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 (terlampir) tentang kepariwisataan,
pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, Pura Tirta Empul
tampaknya telah dapat memberi kesejahteraan kepada warga masyarakat Desa
Adat Manukaya pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dari hasil pengelolaan
pariwisata yang diterima oleh desa adat tersebut. Berberdasarkan informasi yang
diperoleh dari Bendesa Adat Manukaya, dana-dana tersebut selain dimanfaatkan
untuk biaya pembangunan, rehabilitasi, dan upacara di Pura Tirta Empul, juga
dimanfaatkan untuk perbaikan pembangunan pura-pura lain di wilayah Desa Adat
Manukaya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan warga, krama desa juga mendirikan
koperasi yang menjual berbagai barang kerajinan hasil karya masyarakat (Gambar
7.9). Keberadaan koperasi ini diharapkan dapat membantu kesulitan-kesulitan
ekonomi yang dihadapi oleh warga desa dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan
Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata juga telah memberi kesejahteraan
kepada krama desa adat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, daya tarik wisata Pura Tirta Empul telah memberikan peningkatan
kesejahteraan kepada para pedagang, yaitu dengan memberi kesempatan, yang
berarti pula memberi kemudahan untuk memperoleh penghasilan yang dapat
digunakan untuk menunjang ekonomi keluarga, seperti biaya sekolah anak, biaya
upacara adat dan agama, dan biaya kehidupan sehari-hari.
318

Gambar 7.9 Koperasi Perajin di Kompleks Pura Tirta Empul Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.(Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 7.10 Kios-kios yang menjual berbagai barang kerajinan yang dapat menambah pendapatan masyarakat.(Dok. Setiawan, 2010)
319

Secara tidak langsung, keberadaan Pura Tirta Empul telah memberi keringanan
dan jaminan kepada masyarakat berupa bantuan dana untuk biaya pembangunan
dan upacara di pura. Dengan demikian komodifikasi Pura Tirta Empul
mengandung makna kesejahteraan terhadap masyarakat Desa Manukaya.
Temuan Baru Penelitian
Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global menghasilkan beberapa temuan yang merupakan pemahaman baru. Adapun
temuan baru penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Pura Tirta Empul, selain sebagai tempat suci juga sebagai situs
cagar budaya dan daya tarik wisata budaya. Oleh karena itu, pengelolaannya
dilakukan oleh masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan bahkan pemerintah
pusat. Proses komodifikasi Pura Tirta Empul, yaitu mulai proses produksi,
distribusi, dan konsumsi dilakukan oleh masyarakat pemilik kebudayaan,
pemerintah, dan pemilik modal (kapitalisme). Mereka menjadikan Pura Tirta
Empul sebagai barang komoditas. Proses komodifikasi berjalan secara terencana,
karena didorong oleh sikap krama desa adat dan adanya hegemoni pemerintah
daerah menerima pariwisata dengan sikap terbuka dan kreatif.
Kedua, produk budaya Pura Tirta Empul ternyata dalam konteks
kekinian terjadi perkembangan pemaknaan sebagai sebuah ciri kajian budaya,
yaitu munculnya praktik pemakmaan terhadap suatu produk budaya.
Perkembangan makna itu dapat dilihat pada munculnya ikon Pura Tirta Empul
dalam media massa sebagai industri budaya. Dengan munculnya Pura Tirta Empul
sebagai industri budaya, berkembanglah pemaknaan Pura Tirta Empul ke makna
320

ekonomi, yaitu pengguna ikon Pura Tirta Empul sesungguhnya telah
menggunakan modal budaya untuk mengumpulkan modal ekonomi. Dengan
demikian, pengumpulan modal ekonomi akan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, berkembangnya industri pariwisata global juga menyebabkan
bergesernya nilai-nilai religius ke nilai-nilai profan. Dalam pengamatan di
lapangan, sesungguhnya telah terjadi hiperealitas dalam aspek spiritualitas atau
hiperspiritualitas. Namun demikian, fungsi pura masih tetap sama, yaitu sebagai
sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, dan roh suci leluhur beserta
segala manifestasinya yang bersifat niskala. Dalam perkembangannya fungsi
sekala mengikutinya. Globalisasi yang intens masuk ke dalam ranah kehidupan
masyarakat telah mengubah pandangan sebagian orang tentang hal-hal yang
religius magis. Bahkan hal itu membuat semakin menifisnya keyakinan
masyarakat terhadap nilai-nilai religius.
Refleksi
Keindahan alam dan potensi budaya yang dimiliki, Bali akhirnya
memutuskan dan menetapkan konsep pariwisata budaya (cultural tourism)
sebagai ideologi pengembangan pariwisata. Tahapan kesadaran untuk menetapkan
budaya sebagai daya tarik, akhirnya sampai pada wujud legitimasi penetapan
Perda No. 3/1991 (terlampir) tentang pariwisata budaya. Perda No. 3/1991 Bab I,
Pasal 1 mendefinisikan pariwisata budaya sebagai berikut.
”Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai
321

potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal-balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang”.
Rumusan di atas tampak jelas bahwa pengembangan pariwisata di Bali
menggunakan budaya sebagai modal utama. Rumusan itu bersifat dialogis, karena
secara eksplisit menegaskan hubungan timbal-balik antara pariwisata dan
kebudayaan. Target yang ingin dicapai dalam pembangunan pariwisata budaya
adalah terwujudnya kemajuan yang serasi, selaras, dan seimbang antara sektor
pariwisata dan budaya.
Dewasa ini pariwisata sudah menjadi bagian integral dari kehidupan
masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Desa Manukaya pada khususnya.
Internasionalisasi lewat pariwisata, khususnya pariwisata budaya yang
dikembangkan di Bali, membawa masyarakat Manukaya terjepit di antara dua
kutub kekuatan. Di satu pihak mereka wajib memelihara tradisi dan adat
budayanya yang merupakan komoditas yang dapat dijual, di sisi lain,
internasionalisasi melalui jaringan pariwisata berarti membenturkan kebudayaan
lokal dengan dunia modern.
Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Manukaya secara dinamis dan
kreatif telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dengan tradisionalisasi
untuk melakukan metamorfosis. Jika dilihat dalam kurun waktu yang panjang,
masyarakat dan kebudayaan sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat.
Perubahan sosial budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan
internasionalisasi dan tradisionalisasi menyebabkan masyarakat Desa Manukaya
seakan-akan melakukan ”konversi”. Namun konversi tersebut dilakukan tetap
322

dalam agama Hindu dengan nuansa Bali. Meskipun terjadi kontak yang intensif
dengan pariwisata, identitas kebalian ternyata masih tetap kuat. Masyarakat Desa
Manukaya sadar bahwa mereka harus beradaptasi dengan dunia yang sedang
berubah, sementara pada saat yang sama mereka juga sadar untuk menjaga
kontinyuitas budaya dan identitasnya. Dengan cara ini masyarakat Manukaya
secara terus-menerus mengukir kembali identitasnya, sementara benang merah
masa lalunya tidak diputus.
Pengembangan pariwisata, khususnya pariwisata budaya, dapat
menyebabkan komodifikasi budaya. Pariwisata budaya yang dikembangkan
Pemerintah Daerah Provinsi Bali sangat berpotensi terjadinya komodifikasi
sebuah produk budaya, termasuk Pura Tirta Empul. Dalam kehidupan di era
globalisasi dewasa ini serta maraknya semangat desentrasilisasi dan otonomi
daerah, komodifikasi sulit dihindarkan. Ketika lahan semakin dibutuhkan untuk
pengembangan pembangunan ekonomi sebagai pendapatan, pusaka budaya yang
seharusnya dilestarikan justru dikomodifikasi untuk mendatangkan keuntungan
ekonomi.
Upaya pengembangan pariwisata berbasis pusaka budaya harus
melibatkan empat pilar, yakni masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan pusaka
budaya. Masyarakat merupakan pilar sosial, pemerintah merupakan pilar politik,
pengusaha merupakan pilar ekonomi, dan pusaka budaya merupakan pilar budaya.
Pusaka budaya merupakan aset pariwisata yang dapat dimasukkan ke dalam
industri pariwisata.
323

Dalam pandangan Nuryanti (1996 : 250), para wisatawan tua menjadi
pasar potensial pariwisata budaya, karena mereka umumnya ingin mencari dan
mengkonstruksi pemahaman sendiri mengenai objek-objek yang dilihat. Abad ke-
20 ditandai dengan kesadaran baru untuk mencari cara-cara baru dalam
berkomunikasi dengan masa lalu. Hal itu merefleksikan adanya kecenderungan di
antara wisatawan global mencari sesuatu yang baru melalui pencarian nilai-nilai
sosial tradisional. Semua itu dapat ditemui melalui pariwisata budaya. Pariwisata
budaya dan pusaka budaya sendiri baru dikenal sejak dua dasawarsa terakhir
sebagai pasar pariwisata spesifik (Richards, 1996 : 265).
Pariwisata budaya mencakup semua jenis pariwisata yang menyangkut
kebudayaan, baik dalam pengertian ideofact, sociofact, dan artefact, sehingga
pariwisata pusaka budaya atau bangunan bersejarah merupakan bagian daripada
pariwisata budaya. Masuknya serangkaian perkembangan budaya yang disebut
paradigma budaya baru dalam pariwisata dan munculnya kondisi-kondisi
sosiologis masyarakat masa kini, merupakan sesuatu yang diistilahkan sebagai pos
modernisme.
Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya serta menyimpan sejumlah
tinggalan arkeologi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. Tinggalan
arkeologi mempunyai peran penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya, karena produk budaya tersebut memiliki potensi untuk
dijual kepada para wisatawan. Nilai ekonomi yang diperoleh akan sangat berguna
bagi pengembangan berbagai macam pembangunan untuk kemakmuran
masyarakat. Melalui pusaka budaya Pura Tirta Empul, masyarakat Desa
324

Manukaya bisa memperoleh pendapatan yang cukup besar bagi kesejahteraan
hidup masyarakatnya. Namun demikian, keuntungan ekonomi yang diperoleh
hendaknya dikembalikan untuk pelestariannya dan pengembangan kehidupan
sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang sebagai identitas
dan kebanggaan budaya.
Berbagai program penyelamatan pusaka budaya, pengembangan budaya,
akan lebih lancar jika kesadaran masyarakat akan program pembangunan
pariwisata tersebut sudah jelas. Untuk itulah, sosialisasi ideologi pariwisata
budaya harus dilaksanakan secara berlanjut, dengan memanfaatkan lembaga-
lembaga modern dan tradisional yang ada, termasuk melalui media massa.
Sasarannya adalah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pemerintah
mempunyai kekuatan dan kewenangan untuk mengatur dan mengkoordinasikan
komponen-komponen yang ada, pengusaha mempunyai kekuatan di bidang
finansial, dan masyarakat sebagai penerima informasi dan pemilik kebudayaan
juga mempunyai kekuatan dalam upaya pelestarian produk budaya. ICOMOS
(International Council of Monument and Site) pada sidangnya bulan Oktober
1999 (Ardika, 2007 : xi-xii) telah mengadopsi International Cultural Tourism
Charter dalam kaitannya dengan pemanfaatan pusaka budaya sebagai daya tarik
wisata. Pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan pariwisata harus
melibatkan dan menguntungkan masyarakat lokal.
325

BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang komodifikasi Pura
Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Berdasarkan pembahasan dengan
menggunakan teori komodifikasi, hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika
maka mengenai proses komodifikasi Pura Tirta Empul, faktor-faktor yang
mendorong komodifikasi, serta dampak dan makna komodifikasi dapat
dikemukakan simpulan-simpulan sebagai berikut.
Pura Tirta Empul sebagai tempat suci merupakan suatu yang ideal di
masa lampau. Namun dalam perkembangannya, perubahan zaman menghasilkan
perubahan budaya telah mengakibatkan apa yang menjadi patokan atau awig-
awig tidak selalu berjalan mulus. Semua bergulir dan berubah. Pura Tirta Empul
yang sebelumnya bukan merupakan komoditi, kini menjadi komoditi melalui
proses komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya telah
mengalami proses sejarah yang panjang, diawali dengan adanya gejala
komodifikasi yang cenderung mengarah pada pergeseran nilai-nilai yang
dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pengusaha dalam memproduksi dan
mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan pasar. Gejala-gejala
komodifikasi Pura Tirta Empul seperti dialektika sakral dan profan atau
memudarnya aspek ritual sehingga komodifikasi Pura Tirta Empul hadir dalam
bentuk tampilan yang indah, namun perlahan-lahan dan pasti kesakralan
326
324

diabaikan. Bentuk-bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses
produksi, distribusi, dan konsumsi, sebagai satu kesatuan. Produksi dan distribusi
bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri
dan secara kelembagaan dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT.
Meningkatnya pendapatan masyarakat dari bisnis pariwisata yang
berkembang, estetika tradisi pun mengalami reinterpretasi. Pariwisata berintikan
peristiwa bisnis, yaitu kegiatan jual-beli produk, termasuk produk budaya Pura
Tirta Empul. Dalam konteks kehadiran industri pariwisata, tidak dipungkiri bahwa
masyarakat Manukaya berhasil menanggapi secara positif melalui proses
adaptasi. Industri pariwisata berhasil membawa perubahan masyarakat ke arah
rasionalitas, khususnya rasionalitas ekonomi. Dari sisi lain dapat dikatakan bahwa
masyarakat Desa Manukaya telah mengalami modernisasi. Produk budaya dalam
sistem kepariwisataan telah dimanfaatkan sebagai modal budaya oleh masyarakat
setempat yang dapat ditransformasikan menjadi modal ekonomi.
Faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul
mencakup faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang
muncul dari konstruksi budaya lokal, seperti munculnya pola pikir baru
masyarakat pendukung kebudayaan, kreativitas dan inovasi untuk memperindah
pura di tengah-tengah pusaran arus budaya global. Adapun faktor eksternal adalah
faktor yang cenderung kepada penguasaan, stadarisasi, yang dapat melengserkan
budaya lokal. Faktor eksternal adalah bagaimana arus budaya global, budaya
kapitalisme memainkan peran dalam menentukan eksistensi Pura Tirta Empul,
327

seperti perkembangan pariwisata, industri budaya, peran media massa, dan
hegemoni Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata.
Dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul adalah implikasi
yang kuat berkaitan dengan bergesernya nilai magis-religius. Komodifikasi Pura
Tirta Empul berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Dampak
terhadap kehidupan sosial ekonomi adalah meningkatnya taraf kesejahteraan
kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Hasil modernisasi melalui pariwisata juga
dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali kehidupan tradisinya. Mereka tidak
melupakan tradisi yang dimiliki, begitu mereka menapaki keberhasilan dalam
kehidupan modernitas. Uang yang diperoleh dari penyedaiaan fasilitas wisata
kepada wisatawan dikembalikan kepada adat dan tradisi, seperti pelaksanaan
upacara-upacara keagamaan serta sarana dan prasarana yang mendukungnya. Dari
sisi ini tampak bahwa masyarakat Desa Adat Manukaya Let begitu arif memaknai
keberhasilan yang diperolehnya. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara agama
secara lebih teratur dan berkualitas, di samping memperbaiki pura sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial
budaya cenderung kurang menguntungkan karena telah terjadi komersialisasi
tempat suci. Komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan bergesernya atau
menurunnya nilai-nilai religius dalam tempat suci tersebut.
Makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global,
selain makna komodifikasi itu sendiri, lahir pula makna-makna lainnya seperti
makna religius yang berkaitan dengan keagamaan, makna pelestarian budaya
terkait dengan keberlangsungan produk budaya. Makna identitas budaya yang
328

menghadirkan makna-makna lain seperti makna kebanggaan, makna ideologi,
makna sosial, makna solidaritas, makna kebersamaan, dan makna komunikasi
budaya. Makna identitas budaya secara internal diekspresikan ke dalam banyak
hal melalui elemen-elemen bangunan seperti ragam hias dan ornamen-ornamen
yang menghias bangunan sehingga menghadirkan makna-makna baru. Dan yang
terakhir adalah makna kesejahteraan yang terkait dengan peningkatan pendapatan
masyarakat melalui berbagai usaha dengan memanfaatkan Pura Tirta Empul
sebagai daya tarik wisata.
Masyarakat Manukaya pun memaknai secara baru segala seluk-beluk
pemaknaan konsep-konsep kebalian. Hal itu dianggap penting karena jika mereka
justru kaku pada penerapannya, mereka akan tergilas dan tidak bisa berjalan
dengan kebutuhan pariwisata, yang berarti bahwa peluang ekonomi akan hilang
begitu saja. Apa yang dilakukan sekarang, keuntungan didapat karena di satu sisi
masyarakat dapat menjalankan kehidupan adat dan budayanya secara
berkesinambungan, sementara di sisi lain, mereka dapat menjawab peluang-
peluang pariwisata secara menguntungkan.
8.2 Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk
penelitian lebih lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu sesuai dengan
karakteristik kajian budaya yang multidisipliner. Modal budaya berupa pusaka
budaya dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar
dapat memberikan kontribusi yang signifikasn dalam pembangunan untuk
329

mensejahterakan masyarakat, dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal sebagai cirikhasnya.
Ditinjau dari segi nilai-nilai budaya, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
budaya lama dan baru bukanlah merupakan dua hal yang bersifat terpisah. Cukup
banyak nilai budaya yang masih dianut dewasa ini pada hakikatnya merupakan
produk masa lampau. Dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya lama dalam
menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan
menyeleksi agar didapat nilai-nilai yang betuk-betul bermanfaat bagi kehidupan.
Kepada para peneliti yang tertarik dengan permasalahan pusaka budaya
dalam kaitannya dengan pariwisata atau penelitian sejenis dengan topik dan
permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik, dan
terbuka untuk penelitian lanjutan, untuk dikaji secara mendalam agar mendapat
pemahaman yang lebih kritis berbagai dimensi komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global.
Penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan
kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu
kebijakan di tingkat desa, kabupaten, pimpinan organisasi kelembagaan sosial
budaya dengan memecahkan berbagai permasalahan untuk kesejahteraan bersama.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan
disiplin ilmu kajian budaya, di samping sebagai sumber rujukan dalam dinamika
kreativitas kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Manukaya.
330

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Acharya, Prasanna Kumar. 1933. Architecture of Manasara. London : Oxford University Press.
Adorno, Theodor. 1991. The Culture Industry : Selected Essay on Mass Culture Routledge : London.
Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis, Praktik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana.
Agus Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Alam, Bahtiar. 1988. “Globalisasi dan Perubahan Budaya Perspektif Teori Kebudayaan” dalam Antropologi Indonesia. Vol. 21 No. 54, h. 1-11.
Althusser, L. 2004. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.
Anderson, Ben. 1991. Imagined Communities. London : Verso.
Appadurai, Arjun. 1993. “Disjuncture and Difference in the Global Economy”. Dalam Featherstone (ed) Global Culture, Nationalism, Globalization and modernity. London : SAGE Publication Ltd. Hal. 295-310.
_______. 1996. Modernity at Large : Cultural Dimensions of Globalization. London : Routledge.
Ardana, I Gst. Gde. Dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-aspek Nilai Budaya Bali. Denpasar. Pemda Provinsi Bali.
Ardika, I Wayan. 1995. “Nilai dan Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Sumberdaya Budaya”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi IAAI Komda Bali.
_______. 2004. “Pariwisata Bali : Membangun Pariwisata Budaya dan Mengendalikan Budaya Pariwisata” dalam Bali Menuju Jagadhita. Aneka Persepktif. Denpasar : Pustaka Bali Post.
331
329

________. 2006 “Pengelolaan Warisan Budaya Sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Denpasar : Universitas Udayana.
_______. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar : Pustaka Larasan.
_______. 2008. “Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali”. Dalam Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas. Denpasar : Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unud.
Arsana, I.G.A. dkk. 1991. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat Bali. Jakarta : Departemen P & K.
Astawa, I Made, t.th. Tirta Empul Untuk Kesehatan Fisik dan Mental. Denpasar : Dharma Duta.
Astika, I Ketut Sudhana. 1986. Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali : Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. 1994. ”Seka Dalam Kehidupan Masyarakat Bali”. Dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Penerbit Bali Post.
Astra, I Gede. Semadi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafis (Diss. belum diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
_______. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Global” Dalam Politik Kebudayaan dan Indentitas Etnik. Denpasar. Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press.
Atmaja, Nengah Bawa. 2008. “Ideologi Tri Hita Karana – Noeliberalisme = Vilanisasi Radius Suci Pura (Perspektif Kajian Budaya”) Dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Unud.
Atmaja, Jiwa. 2010. ”Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Bali”. Dalam Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar : Udayana University Press.
Atmosudiro, Sumijati, dkk. 2001. Jawa Tengah : Sebuah Potret Warisan Budaya. Yogyakarta.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1971. “Kebudayaan Bali” Dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal 279-299. Jakarta : Penerbit Jambatan.
_______. 1975. Bali Dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar.
332

_______. 1999. “Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun di Bali : Beberapa Catatan Tentang Perubahan Sosial di Era Globalisasi”. Dalam Panggung Sejarah Persembahan Kepada Prof. D. Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik (terjemahan : Tim Kunci Cultural Studies Centre). Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Pustaka).
Barthes, Roland. 2006. Mitologi (penerjemah Nurhadi, A. Sihabul Millah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Baudrillard, Jean P. 1981. For Critique fot The Political Economy of the Sign. United States : Telos Press.
_______. 1997. Simulacra and Simulation. Michigan : The University of Michigan.
_______. 2009. Masyarakat Konsumsi (penerjemah : Wahyunto). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Cambridge : Polity.
Budhisantoso. 1980. “Pariwisata dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa” Dalam Analisis Kebudayaan, Tahun I, No. 1. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 11-19.
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cleere, Henry F. 1990. “International The Rationale of Archaeological Heritage Management”. Dalam Archaeological Heritage Management in the Modern World. London : Unwin – Hyman.
Coover, C. et.al. 1993. Tourism Principles and Pratice. London : Pitman Publishing.
Couteau, J. 1986. Milicu et Peinture, Lecas de Bali. (Thesis) Untuk Memperoleh Gelar Doktor di EHEES. Paris.
Covarrubias, Miquel. 1972. Island of Bali. Oxford : University Press.
Darmadi, IGN. Eka. 2006 “Pariwisata Antara Kewirausahaan dan Kewirabudayaan”. Jurnal Kajian Budaya. Vol. 3. No. 5. Januari. Hal. 67-87.
333

Dean, Y. Gee. 1999. International Tourism : A Global Perspektive. USA : University of Hawai at Manoa.
Drajat, Hari Untoro. 1991. Exploitative Management of The Archaeological Heritage Management in Indonesia. A Thesis of Subsmitted for the Degree of Master Art in Archaeological Heritage Management. University of York. England.
Dwipayana, A.A. GN. Ari. 2005. Globalism : Pergulatan Politik Representasi Atas Bali. Denpasar : Uluangkep Press.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan Teknik Penelitian Kebudayaani. Yogyakarta : Pustaka Widyatama.
Erawan, I Nyoman. 1993. ”Pariwisata Dalam Kaitannya dengan Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra.
Fairclough N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge : Polity Press.
Fakih, M. 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Featherstone, Mike, 1991. Consumer Cultural and Post Modernism. London. Sage Publication.
_______. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Foucoult, Michel. 1980. Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings. 1972-1977. New York : Partheon.
Froment, GJ. 1981. Feril a Bali “Repertoire des Voyages, 351 : 75-84.
Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pajajaran.
Geertz, C. 1977. Penjaja dan Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi
di Dua Kota Indonesia (Penerjemah R. Soepomo). Jakarta : PT. Gramedia.
Gelgel, I Putu. 2006. Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa. Bandung : PT. Refika Aditama.
334

Geriya, I Wayan. 1993 “ Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata Pada Masyarakat Bali”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra.
_______. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya: Penerbit Paramita.
Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity. Cambridge : Polity Press.
Gollsmit, Marshall. 1998. “Global Commnities of Choice”. dalam Community of The Future. San Fransisco : Jassy-Bass Publishers.
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung : NV Masa Baru.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Note Books. New York : International Publisher.
Griaddhi, I Ketut Writa. Dkk. 1991. “Subak Dalam Perspektif Hukum”. Dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar : Upada Sastra.
Hanna, W.A. 1972. “Bali in The Seventies Cultural Tourism” American Universities Field Staff Report, Southeast Asia Series. 20/2 : 1-7.
Harker, Richards (eds). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprejensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.
Hebermas, J. 2007. Teori Tindakan Komunikatif, Kritik Atas Rasio Fungsionalis (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hidayat, R. 2004. Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta : Jendela.
Ibrahim, Idi Subandy. 1997. “Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”. Dalam Ecstasi Gaya Hidup. Bandung : Mizan.
Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jaman, I Ketut. 1999. Kemitraan Lembaga Adat dengan Pemerintah dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa Manukaya Tampaksiring (Tesis). Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya.
335

Jary, David, dkk. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow : Harfer Collins Publisher.
Kaeppler, AL. 1997. ”Polynesian Dance as Airport Art”. Dalam Asean and Pacific Dance. St. Al. Card. Hal. 71-84.
Kasiyan. 2009. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Kempers, AJ. Bernet. 1960. Bali Purbakala : Petunjuk Tentang Peninggalan Purbakala di Bali. Djakarta : PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar.
Korten, David. C. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyakatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kekawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha. Denpasar : Pustaka Larasan.
Lee, Martin. 2006. Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Bentang.
Lipe. W.D. 1984. “Value and Meaning in Cultural Resource”, Dalam Approaches to The Archaeological Heritage. Hal. 1-11. Cambridge : University Press.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern, dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Macdonell, Diane. 2005. Teori-teori Diskursus, Kematian Strukturalisme dan Kelahiran Poststrukturalisme, dari Althusser Hingga Foucault (Terjemahan). Jakarta : Teraju – Mizan.
Marcuse, H. 2004. Cerita dan Peradaban (Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mariyah, Emiliana. 2006. “Kekinian Kajian Budaya di Bali” Dalam Jurnal Kajian Budaya. Hal. 1-18. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Meleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Miles, Matthew B. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : UI Press
336

Millau, C. 1974 “Pitie four Bali” Le Nouveau Guide 68 : 66-72.
Mundardjito. 1993. Tantangan Arkeologi Indonesia Dalam Pembangunan Nasional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap. Fakultas Sastra UI. Jakarta.
Norris, Christopher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta : Ar Ruzz.
Nuryanti, Wiendu. 1996. “Heritage and Posmodernism Tourism”. Dalam Heritage and Tourism, Special Issue, Annals of Tourism Research Social Sciences, Jurnal, Vol. 23 Number 2. hal. 249-260.
O’neil. WF. 2001. Ideologi-ideologi Pendidikan (Penerjemah Omi Intan Naomi). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper Realitas Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. _______. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta : Jalasutra.
______. 2006a. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung : Percetakan Jalasutra.
______. 2006b. ”Cultural Studies dan Posmodernisme” : Isyu, Teori, dan Metode” hal. 19-34. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Pitana, I Gede. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post.
_______. 1999. ”Kepariwisataan Bali Dalam Konteks Kompetisi Global dan Otonomi Daerah”. Denpasar.
_______. 2006, “Industri Budaya dalam Pariwisata Bali : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi dan Konservasi Kebudayaan”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana.
_______. 2008. ”Kepariwisataan Bali dalam Jejaring Nasional dan Global”. Dalam Kebudayaan dan Modal Budaya Bali Dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Denpasar : Widya Dharma.
337

Pitana, I Gde, Gayatri, Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Pujaastawa, I.B.G. dkk. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar : Penerbit Universitas Udayana.
Putra, IB. Wyasa. 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar : PT. Upada Sastra.
Putra, I Nyoman Darma. 2002. “Pariwisata Budaya antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar : Progam Studi Magister (Kajian Budaya Universitas Udayana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
_______, 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural Tourism”. Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283.
_______. 1997. Cultural Toursm in Europe : The Social Context of Cultural Tourm. London : CAB International.
_______. 1999. Cultural Tourism in Europe. London : Cab International.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan). Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Ritzer, Geog, and Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenata Media Group.
Ryan, Chris and Michelle Aicken. 2005. Indigenous Tourism : The Commodification and Management of Culture. Advances in Tourism Research Series.
Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 1997. Cultural Studies for Beginners. Cambridge : Icon Book Ltd.
Sedyawati, Edi, 2002. “Pembagian Peranan dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya” dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra
338

________, 2007. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_______. 2008. Keindonesiaan Dalam Budaya. Jakarta : Penerbit Wedatama Widia Sastra.
Seojono, RP. 1977. Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali (Disertasi) Belum Diterbitkan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam Majalah Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41.
Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Jendela.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern. Jakarta : Gramedia.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survay. Jakarta : LP3ES.
Smith, V.L. 1989. Host and Guests the Anthropology of Tourism. Philadelphia : The University of Pensylvania Press.
Sodali, Ahmad. 2000. ”Azas-azas Identitas Seni Rupa Nasional” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta : Balai Pustaka.
Soedarsono, RM. 1993. “Industri Pariwisata : Sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara Berkembang”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali.
Soekmono, R. 1993. “Peninggalan-peninggalan Purbakala Zaman Majapahit” Dalam 700 Tahun Majapahit. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana
Steger, M.B. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar (Penerjemah Heru Prasetia). Yogyakarta : Lofadi Pustaka.
339

Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskop Konseptual “Cultural Studies” (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Qalam.
______. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Pengantar Paling Komprehensif Teori dan Metode (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.
Strinati, Dominic. 2007. Popular Cultural : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terjemahan). Yogyakarta. Penerbit Jejak.
Stutterheim, WF. 1929. Oudheden van Bali I, Het Oude Rijk van Pejeng. Singaradja : Kirtya Lieffrinck van der Tuuk.
Sugiono, M. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sutaarga, Moh. Amir. 1992. ”Museum dan Pelayanannya Kepada Masyarakat” dalam Analisis Kebudayaan. No. X Tahun II. Hal. 40-49. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutaba, I Made. 1991. Pelestarian Peninggalan Purbakala di Daerah Bali Dalam Pembangunan Berwawasan Budaya. Denpasar : Universitas Warmadewa.
______. 2000. “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pada Milenium Ketiga”. Dalam Forum Arkeologi No. II, hal. 27-33. Denpasar.
______. 2007. Sejarah Gianyar dari Zaman Prasejarah Sampai Masa Baru – Modern. Pemerintah Kabupaten Gianyar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.
Sutawan, I Nyoman. 2002. “Prospek Kajian Subak dalam Pergeseran Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam pembangunan. Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya UNUD.
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto, ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media Group.
Tim Penyusun Kamus, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
340

Tjandrasasmita, Uka. 1980. “Fungsi Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Pembangunan Nasional”. Dalam Analisis Kebudayaan No. 4 Tahun IX. Jakarta Dep. P & K hal. 95-102.
Triono, Lambang. 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa : Tantangan Integrasi Nasional Dalam Konteks Global”. Analisys CSIS Tahun XXV No. 2.
Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wallace, W.L. 1973. The Logic of Science in Sociology. Chicago : Aldine.
Wiana, I Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar : Penerbit PT. Bali Post.
Wignyosubroto, Sutandyo. 2003. “Globalisasi, Budaya dan Hukum”. Dalam Suara Udayana. Mei 2003 No. 10/15-V.
Wirakusuma, I Nengah. 2005. Perkembangan Kreativitas Fotografer dan Seni Fotografi. Mudra Jurnal Seni Budaya. Vol. 13. No. 3 September, hal. 25-32.
Yadav. Jai Singh. 1998. ”Seni dan Filosofi Bangunan Candi di Indonesia-India”. Dalam Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Cempaka Kencana.
Zoest, Aart Van. 1992. ”Interpretasi dan Semiotika”. Dalam Serba-serbi Semiotika. Jakarta : PT. Gramedia.
341

342

DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Made Mawi Arnata
Umur : 57 tahun
Pendidikan : Diploma III
Pekerjaan : Bendesa Adat Manukaya
Alamat : Dusun Manukaya Let
2. Nama : Dewa Putu Kencana
Umur : 46 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Kepala Desa Manukaya
Alamat : Dusun Manik Tawang
3. Nama : Dewa Gde Mangku Wenten
Umur : 63 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pemangku Pura Tirta Empul
Alamat : Dusun Bantas
4. Nama : Dewa Gde Mangku Moyo
Umur : 57 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pemangku Pura Tirta Empul
Alamat : Dusun Manukaya Let
343Lampiran 1
340

5. Nama : Nyoman Negara
Umur : 37 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Sekretaris Desa Manukaya
Alamat : Br. Bantas
6. Nama : I Gde Udara
Umur : 31 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Kelian Dinas Br. Bantas
Alamat : Br. Bantas
7. Nama : I Wayan Gerinda
Umur : 34 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Kelian Dinas Br. Manukaya Let
Alamat : Br. Manukaya Let
8. Nama : I Made Yatna
Umur : 38 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Kelian Dusun Tatag
Alamat : Dusun Tatag
9. Nama : Putu Sulastri
Umur : 31 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dusuh Tatag
344

10. Nama : Putu Sarini
Umur : 41 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Tampaksiring
11. Nama : Desak Ketut Widiasih
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Dusun Manukaya Let
12. Nama : Sang Putu Alit
Umur : 38 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Perajin Patung
Alamat : Dusun Manukaya Let
13. Nama : I Made Suja
Umur : 35 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Perajin tulang
Alamat : Dusun Manukaya Anyar
14. Nama : Drs. I Nyoman Sumartika
Umur : 55 tahun
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali
Alamat : Bedulu, Gianyar
345

15. Nama : Drs. I Wayan Parsa Susila
Umur : 52 tahun
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Guru SMK 2 Sukawati Gianyar
Alamat : Br. Kelandis, Denpasar
16. Nama : I Wayan Suarsana
Umur : 42 tahun
Pendidikan : Diploma III
Pekerjaan : Praktisi Pariwisata
Alamat : Jl. Kecubung 12 Denpasar
17. Nama : Dewa Ketut Margi
Umur : 44 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Perajin tulang
Alamat : Dusun Manukaya Anyar
18. Nama : Wayan Padit
Umur : 41 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Perajin ukiran kayu
Alamat : Dusun Tatag
19. Nama : I Ketut Ludra
Umur : 39 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Kelian Dinas Dusun Malet
Alamat : Dusun Malet
346

20. Nama : Ngakan Nyoman Wisnu Wardana
Umur : 45 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Staf Kepala Desa
Alamat : Manukaya Anyar
21. Nama : Ngakan Putu Sujana
Umur : 60 tahun
Pendidikan : PGAH
Pekerjaan : Tokoh Masyarakat
Alamat : Manukaya Let
22. Nama : IGN. Cakradana
Umur : 61 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Mantan Bendesa Adat
Alamat : Manukaya Let
347

PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara
dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Pura Tirta
Empul Dalam Konteks Pariwisata Global”. Sebagai pedoman dalam bentuk bahan
pertanyaan, seluruh pertanyaan yang ditulis tidak disampaikan secara kaku,
melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat melakukan
wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku catatan yang telah disiapkan
sebelumnya.
Wawancara dilakukan terhadap empat jenis informan, yaitu kelompok
masyarakat, pemerintah, praktisi pariwisata dan industri pariwisata.
A. Pertanyaan Untuk Umum
1. Apa yang Anda ketahui tentang Pura Tirta Empul?
2. Bagaimana latar belakang sejarah Pura Tirta Empul?
3. Bagaimana status Pura Tirta Empul?
4. Siapa saja yang menyungsung Pura Tirta Empul?
5. Kapan upacara/piodalan diadakan dan siapa yang melaksanakan?
6. Siapa yang dipuja di Pura Tirta Empul?
7. Apa fungsi Pura Tirta Empul?
8. Pura Tirta Empul di samping sebagai tempat suci juga sebagai sebagai daya
tarik wisata. Bagaimana partisipasi masyarakat tentang adanya wisatawan
berkunjung ke sana?
9. Bagaimana Desa Adat menjaga kebersihan dan kesucian Pura Tirta Empul?
10. Peninggalan purbakala apa saja yang ada di Pura Tirta Empul?
11. Ada kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata Pura Tirta
Empul?
348Lampiran 2
345

B. Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Pura Tirta Empul
1. Bagaimana perkembangan Pura Tirta Empul sejak dulu sampai sekarang ?
2. Sebagai daya tarik wisata, apa yang sesungguhnya menarik dari Pura Tirta
Empul?
3. Sejak kapan Pura Tirta Empul dikunjungi wisatawan?
4. Berapa jumlah wisatawan rata-rata berkunjung ke pura ini setiap hati/bulan?
5. Bagaimana upaya perbaikan dan pengembangan Pura Tirta Empul?
6. Siapa saja pihak yang terlibat dalam perbaikan dan pengembangan tersebut?
7. Apa saja yang dilakukan pemerintah dalam upaya pelestarian Pura Tirta
Empul?
8. Bagaimana kerjasama antara desa adat dengan aparat pemerintah dalam
pengelolaan Pura Tirta Empul?
9. Apakah ada pihak lain (swasta, LSM) yang ikut melakukan kegiatan
pelestarian Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global?
C. Pertanyaan Mengenai Faktor-faktor Pendorong Komodifikasi Pura
Tirta Empul
1. Faktor apa yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul?
2. Upaya apa yang dilakukan agar Pura Tirta Empul tetap menarik para
wisatawan?
3. Apa yang paling menarik Anda di Pura Tirta Empul?
4. Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan Pura Tirta Empul seperti
sekarang ini ?
5. Apa kelebihan daya tarik Pura Tirta Empul dibandingkan dengan obyek
yang lainnya?
6. Apakah faktor politik kebudayaan lokal dan kebudayaan global
mempengaruhi perkembangan dan perubahan Pura Tirta Empul ?
7. Dengan tetap berkomitmen pada pengembangan pariwisata, apa harapan
Anda kepada pemerintah?
349

D. Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta
Empul
1. Seberapa besar nilai atau makna Pura Tirta Empul bagi Anda dan
kebudayaan masyarakat Desa Manukaya?
2. Makna apa yang melatarbelakangi masyarakat Manukaya melakukan
komodifikasi Pura Tirta Empul?
3. Sejauh mana dampak ekonomi dan sosial budaya Pura Tirta Empul memiliki
arti bagi Anda?
4. Adakah kecenderungan semakin lemah dan hilangnya sakralitas Pura Tirta
Empul?
5. Apa dampak pariwisata bagi pemerintah dan masyarakat di sekitar Pura
Tirta Empul?
6. Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata, apakah yang harus
dilakukan terkait dengan situs Pura Tirta Empul?
7. Ketika sedang bersembahyang, apa Anda merasa terganggu dengan
kedatangan para wisatawan?
8. Bagaimana pemaknaan Pura Tirta Empul yang berkembang saat ini ?
9. Apa sajakah makna Pura Tirta Empul yang Bapak ketahui sekarang ?
10. Apakah Pura Tirta Empul dapat menjanjikan kesejahteraan bagi
masyarakat?
350

LAMPIRAN 1
DAFTAR INFORMAN
351

LAMPIRAN 2
PANDUAN WAWANCARA PENELITIAN
352

LAMPIRAN 3
UNDANG-UNDANG NO. 10/2009
TENTANG KEPARIWISTAAAN
353

LAMPIRAN 4
PERATURAN DAERAH NO. 3/1991
TENTANG PARIWISATA BUDAYA
354