komplikasi pasca pembedahan turp
TRANSCRIPT
DISKUSI TOPIK
DISUSUN OLEH:
JOSEPB NUGROHO HALOMOAN SIMARMATA
NIM I11106032
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
PONTIANAK
2011
KOMPLIKASI TRANSURETRAL RESECTION
OF PROSTATE (TURP)
Komplikasi Pasca Pembedahan TURP (Trans Urethral Resection
of the Prostate)
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang berhubungan
dengan penuaan yang paling sering terjadi pada pria. Gejala yang dirasakan dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari yang normal dan menganggu pola tidur. Gejala
yang dialami biasanya berupa peningkatan frekuensi berkemih, urgensi,
penururnan aliran air kencing dan adanya rasa tidak puas setelah buang air kecil.
Tatalaksana BPH mencakup tatalaksana non bedah dan pembedahan.
Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah Transurethral
Rectoplasty of the Prostate (TURP). TURP masih merupakan salah satu terapi
standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi
uretra. Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar
negeri dan berkembang terus dengan makin majunya peralatan yang dipakai. Tapi
di Indonesia ini relatif baru. Terapi ini populer karena trauma operasi pada TURP
jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka.
Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter
yang dilakukan secara visual. Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan
sisa-sisa jaringan dan untuk menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena
perdarahan. Karena seringnya tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan
serta pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
Komplikasi pasca TUR dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu
komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut
adalah ruptur dari vesika urinaria, perforasi rectal, inkontinensia, insisi pada
orifisum uretra sehingga dapat terbentuk striktura, perdarahan, epididimitis, sepsis
dan TUR syndrome. Sementara itu komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi
antara lain adalah: ejakulasi retrograd, gangguan ereksi, inkontinensia, perlunya
operasi ulang.
Komplikasi Akut
1. Sindroma TUR
a. Definisi
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan
kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan
elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-
vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama
operasi
b. Angka kejadian
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami
Sindrom TUR dari berbagai tingkat. Suatu penelitian yang dilakukan di
Filipina menunjukkan angka kekerapan sebesar 6%. Penelitian yang lain
menunjukkan frekuensi Sindoma TUR sampai 10%. Penelitian Marrero
menunjukkan frekuensi Sindrom TUR meningkat bila:
1) Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr
2) Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3) Pasien yang mengalami hiponatremi relatif
4) Cairan irigasi 30 liter atau lebih
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin bahwa
operasi pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi menurut
penelitian ternyata Sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang
berlangsung 30 menit. Sebaliknya risiko Sindrom TUR akan menurun bila:
1) Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik)
2) Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah
mungkin
c. Gejala
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase perioperatif dan dapat
terjadi beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa
jam setelah selesai pembedahan. Penderita dengan anestesi regional
menunjukkan keluhan-keluhan sebagai berikut:
Pusing
Sakit kepala
Mual
Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
Napas pendek
Gelisah
Bingung
Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun. Bila penderita
tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan
dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala
neurologis. Mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil
mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir
dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari
sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda adalah
kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan
sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen
ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada
pasien yang mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran
karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat.
d. Patogenesis
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila sinus
vena terbuka secara dini atau bila operasi berlangsung lama. Rata-rata
diperkirakan terjadi penyerapan 20cc cairan permenit atau kira-kira 1000-
1200cc pada 1 jam pertama operasi, sepertiga bagian di antaranya diserap
langsung ke dalam sistem vena. Dan hal ini akan menimbulkan
hiponatremia dilusional
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah
circulatory overload, keracunan air, dan hiponatremia
Circulatory Overload
Dengan adanya circulatory overload, volume darah meningkat, tekanan
darah sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah jantung.
Cairan yang diserap akan menyebabkan pengenceran kadar protein serum,
menurunnya tekanan osmotik darah. Pada saat yang sama, terjadi
peningkatan tekanan darah dan cairan di dorong dari pembuluh darah ke
dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan cerebri. Di
samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar
cairan dapat terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga
peritoneal. Setiap 100 cc cairan yang masuk ke dalam cairan interstitial
akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya pembedahan berhubungan
dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas terbukti
tinggi bila pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit.
Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat
sedang penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul
prostat. Circulatory overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram.
Faktor penting yang berhubungan dengan kecepatan penyerapan cairan
adalah tekanan hidrostatik dalam jaringan prostat. Tekanan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan dalam
kandung kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah 60
cm yang dapat memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan
visualisasi yang baik
Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari
keracunan air karena meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita
menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat terjadi kejang-kejang dan
koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan refleks babinsky
yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan air terjadi
bila kadar Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal.
Hiponatremia
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan
kejang-kejang. Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan
penurunan kontraktilitas otot jantung. BIla kadar Na di bawah 115
meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang melebar, gelombang
ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100
meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel,
fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
e. Pilihan Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin
tidak dapat dipakai karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan
akan mengganggu proses pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus
listrik dapat dihantarkan ke alat resektoskop dan dapat mengenai ahli
bedah. Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih
moderen yang dapat menggunakan salin sebagai cairan irigasinya tapi alat
tersebut masih sangat mahal. Salin merupakan cairan irigasi yang ideal
karena sifatnya yang isotonik sehingga tidak mengganggu bila terserap.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau
2,2%. Cairan lain yang dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di
negara maju air steril sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam
jumlah besar dapat menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler
dan hiperkalemia. Karena itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak
dipakai. Sorbitol/manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis
intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah hiponatremia dilusional karena
bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa penambahan
natrium.
Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi
penyerapan glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa akibat
dan sebenarnya cairan sorbitol dan manitol lebih baik dibandingkan
dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non ionik yang dapat
dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk negara yang sedang
berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan pemakaian
dektrose 5% yang lebih ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan
lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih aman dibandingkan air
steril. Tetapi larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan
hipoglikemi tissue charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa
lengket pada sarung tangan ahli bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat,
cairan irigasi yang paling banyak dipakai adalah Cytal yang merupakan
campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%.
f. Terapi
Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide
intravenous dan infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini
akan menurunkan kelebihan beban cairan melalui diuresis dan menjaga
kadar Na dalam batas normal. Pemberian furosemide sebaiknya dimulai
selama pasien masih di dalam kamar operasi kalau terjadi perdarahan yang
banyak dan waktu operasi lebih dari 90 menit atau bila kadar natrium
menurun. Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline
sebanyak 150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu
disertai furosemide intravena, terutama pada pasien dengan risiko
terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian hipertonik saline ini dapat
diulangi bila perlu.
Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus diperikasa
tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada penderita
hiponatremia yang menunjukkan gejala, gejala itu bisa dihilangkan dengan
peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama,
hanya setengah dari kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan
pemberian saline 3%. Setelah itu, pemberian saline 3% sebaiknya segera
digantikan dengan normal saline.
Jangan meningkatkan kadar natrium lebih dari 20 meq/liter dalam
waktu 24 jam. Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara
perlahan. Karena pemberian saline 3% hanya dipakai untuk tidak lebih
dari separuh dari penggantian kalium, maka pada pasien dengan
hiponatremia berat hanya memerlukan 300-500cc saline 3%.
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan
ventilasi tekanan positif dengan menggunakan oksigen 100%. Bila terjadi
kehilangan darah yang banyak maka transfusi dilakukan dengan
menggunakan Packed Red Cells (PRC). Bila terjadi DIC diberikan
fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan pemberian heparin
2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per jam. Dapat juga diberikan
fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari profil koagulasi.
g. Pencegahan
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk
mencegah manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan
pembedahan urologi endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi yang
terjadi sebelum operasi terutama pada pasien-pasien yang mendapat
diuretik dan diet rendah garam harus segera dikoreksi. Karena itu
pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR perlu dilakukan. Pemberian
antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting dalam
pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan
penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri
pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya
operasi TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih
dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan
natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan
koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu dilakukan pemberian
furosemid profilaksis untuk mencegah overload cairan. Bila perlu
dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan PRC bukan dengan
whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya dengan
menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C
2. Perdarahan
Komplikasi tersering pasca TURP adalah perdarahan. Perdarahan dapat
disebabkan oleh spasme prostat ataupun pergerakan. Teknik hemostasis saat
pembedahan yang baik dan pemasangan kateter dan inflasi balon yang cukup
dapat mengontrol perdarahan yang terjadi. Sumber perdarahan umumnya
berasal dari pembuluh darah vena. Tindakan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan komplikasi ini adalah : pemeriksaan tanda vital tiap 4 jam,
observasi jumlah dan warna urin tiap 2 jam, tingkatkan irigasi dari kandung
kemih untuk mencegah terjadinya obstruksi.
Pasien dapat diminta untuk tetap berbaring atau seapruh duduk. Hal ini
dikarenakan posisi duduk dapat mengakibatkan peningkatan aliran balik dan
tekanan kandung kemihsehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan.
Tatalksana yang dilakukan adalah penggantian darah yang terbuang, dapat
fengan tranfusi atau cairan intra vena lainnya. Hal ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik.
Perdarahan dapat pula terjadi setelang selang beberapa hari hingga minggu
pasca operasi. Hal ini dapat terjadi akibat aktivitas fisik yang berat atau
kontraksi dari vasika urinaria. Untuk mencegahnya, pasien diindtruksikan
untuk meminum air minimal 12 gelas per hari dam menghindari konsumsi
alkohol, kafein dan makanan pedas yang dapat menstimulasi kandung
kencing. Pasein hendaknya tidak melakukan aktivitas yang berat selama
paling tidak 2 minggu. Juga pasien hendaknya diminta untuk kembali ke
dokter apabila perdarahan yang terjadi tidak berhenti dalam 1 jam setelah
penghentian aktivitas maupun peningkatan frekuensi minum.
3. Infeksi-Bakteremia
Bakteri yang berada di saluran kencing dapat memasuki sirkulasi sistemik
melalui pembuluh darah prostat yang terbuka saat pembedahan. Pasien-pasien
berkateter memilki resiko 50% lebih tinggi. Semakin lama kateter terpasang,
semakin besar pula resiko terjadinya infeksi. Dilaporkan bahwa terdapat
bakteri pada urin pasien yang telah 10 hari dipasngi kateter. Kejadian infeksi
saluran kemih bisanya terjadi pada saat 2 minggu pasca operasi. Bila
pemasangan kateter jangka opanjang diperlukan pasca TURP, maka perlu
dilakukan perwatan yang seksama dan hati-hati. Komplikasi terberat adalah
berupa syok septik yang terjadi pada saat bakteri berhadil memasuki sirkulasi
sitemik. Bakteremia dapat diatasi dengan pemberian antibiotik
aminoglikosida sebelum pembedahan. Irigasi dari kateter harus selalu
menjadi perhatian. Tanda-tanda dari syok septik yang perlu diwaspadai antara
alin adalah : mengigil, hipotensi yang mendadak, takikardi dan hipertermia.
4. Obstruksi Kateter
Kateter urin dapat tersumbat oleh bekuan darah atau sisa sisa jaringan.
Untuk mengatasinya dapat dilakukan irigasi untuk membuang bekuan dan
debris. Pembersihan bekuan juga dapat dilakukan dengan memindah-
mindahkan posisi berbaring pasien. Irigasi dapat dialkukan secara berkala
(intermitten blader irigation) atau terus menerus (continous blader irrigation).
Cairan yang digunakan adalah normal salin. Irigasi dilakukan hingga
didapatkan cairan yang keluar berwarena jerbih atau merah terang.
Komplikasi Jangka Panjang
Sebagian besar pasien tidak mengalami masalah jangka panjang setelah
menjalani TURP. Namun beberapa efek jangka panjang yang dapat dialami
setelaha menjalani TURP antara alin adalah :
1. Ejakulasi retrograd
Salah satu komplikasi pasca operasi TURP adalah “dry orgasm” atau
ejakulsai retrograd. Kondisi ini terjadi pada 65% pasien. Saat ejakulasi
terjadi, sememn yang diproduksi justru dikeluarkan ke arah kandung kemih,
bukannya ke arah penis seperti sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak
berbahaya. Semen akan dikeluarkan saat pasien buang air kecil. Gairah
seksual dan pencapaian orgasme tidak terganggu.
2. Disfungsi ereksi
Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis terletak dio dekat
kelenjar prostat. Nervus ini bisa saja rusak saat operasi dilakukan. Namun
banyak penelitian menyatakan bahwa TURP tidak mengakibatkan gangguan
ereksi. Beberapa trial justru menyatakan bahwa fungsi ereksi justru membaik
pasca dilakukannya TURP.
3. Kelenjar prostat yang membesar lagi
Komplikasi lainnya adalah terbentuknya jaringan fibrotik. Hal ini dapat
mengakibatkan terajdinya striktura uretra atau kontraski dari leher kandung
kemih.kurang dari 7% pasien yang mengalamikomplikasi ini. Intervensi
bedah diperlukan untuk mengatasi komplikasi ini. Selain itu, kelenjar prostat
juga dapat mengalami pembesaran kembali setelah dilakukannya operasi.
Hal ini terjadi pada 5 % pasien yang menjalani TURP. Hal ini dapat
mengakibatkan seorang pasien dapat menjalani TURP lebih dari satu kali.
Dari hasil penelitian didapatkan hanya 15% pasien yang memerlukan
pembedahan lagi pasa\ca ditangani dengan TURP.
4. Inkontinensia
1 dari 50 pasien yang menjalani TURP mengalami inkontinensia.
Inkontinensia dapat terjadi bila otot sphincter di leher kandung kemih rusak
saat operasi dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Priyadarshi S. 2007. Management of BPH-An update. Online article at
www.emedicine.com/MED/tropic/3071.htm. (dilihat pada tanggal 3 Mei
2011)
2. Laksono, BT., Suhardjendro,Soemohardjo, S. 2008. Sindroma TUR. Jurnal
Online http://biomedikamataram.wordpress.com (dilihat pada tanggal 3 Mei
2011)
3. Tanagho, EA., Mc Anninch, JW. 2008. Chapter 10 Retrograde
Instrumenstation in Urinary Tracts in Smith’s General Urology 17th Edition.
Mc Graw Hill: New York.
4. NHS Direct. 2006. Transurethral resection of the prostate (TURP) An
operation to cut away part of your enlarged prostate. Online Artikle from
British Medical Journal. www.nhsdirect.nhs.uk (dilihat pada tanggal 3 Mei
2011)
5. Wasson, D. 2006. Transurethral Resection of the Prostate. Jurnal Online
http://perspective/transuretral_resection_vol01.pdf (dilihat pada tanggal 3 mei
2011)