komunikasi empati dokter-pasien
TRANSCRIPT
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang cerdas. Ia berbeda dengan binatang karena
manusia memiliki akal budi. Sebagai makhluk hidup, tentunya manusia tidak bisa disamakan
dengan mesin. Setiap manusia memiliki jiwa dan raga.
Effective patient care involves an aprreciation not only of the biological but also of the
psychological and social dimensions of every case.1 Dengan kata lain, pasien (manusia)
adalah makhluk biopsikososial. Perawatan pasien tidak bisa hanya memperhatikan sisi
biomedis saja. Seorang pasien harus diperhatikan dari sisi fisik, mental, dan sosial.
Untuk sisi fisik, seorang dokter dapat memeriksa dan mengobati pasien dengan
peralatan klinik. Namun untuk sisi mental dan sosial, peralatan klinik ini membantu. Maka
dari itu, agar dapat memperhatikan pasien dari sisi mental dan sosial, seorang dokter perlu
menguasai keterampilan komunikasi dan empati serta ilmu perilaku.
1.2 Tujuan
1. Memahami komunikasi dokter – pasien
2. Memahami empati
3. Memahami ilmu perilaku
1.3 Hipotesis
1. Dokter dalam kasus tidak berempati
2. Komunikasi dokter – pasien tidak berjalan dengan semestinya
1.4 Manfaat
1. Memperdalam pemahaman komunikasi dokter – pasien
2. Memperdalam pemahaman empati
3. Memperdalam pemahaman ilmu perilaku
1
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan komunikasi sebagai pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud
dapat dipahami; hubungan; kontak.2 Dari definisi ini, kita dapat melihat bahwa komunikasi
berlangsung antara dua orang atau lebih. Komunikator adalah orang atau kelompok orang
yang menyampaikan pesan kepada komunikan, sedangkan komunikan adalah penerima pesan
dalam komunikasi.2
Komunikasi dokter-pasien memiliki pengertian hubungan yang berlangsung antara
dokter/dokter gigi dengan pasiennya selama proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang
terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka
membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien.3
Dalam hubungan komunikasi dokter-pasien, komunikasi yang berlangsung harus
merupakan komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah adalah komunikasi yang komunikan
dan komunikatornya di satu saat bergantian memberikan informasi.2 Dengan demikian,
seorang dokter tidak hanya berbicara kepada pasien (komunikator), tetapi juga mendengarkan
apa yang dikatakan pasien (komunikan). Tentunya komunikasi ini berlangsung dalam kondisi
kedudukan dokter dan kedudukan pasien adalah setara.
Komunikasi dokter-pasien merupakan bagian penting dalam proses perawatan dan
pengobatan pasien. Melalui komunikasi, seorang dokter dapat menetapkan diagnosis yang
berasal dari hasil komunikasi antara dirinya dengan pasien. Diagnosis ini mempengaruhi
proses perawatan dan pengobatan yang akan dijalani sang pasien, yang tentunya akan
mempengaruhi kesehatan pasien. Maka dari itu, seorang dokter harus membina komunikasi
dokter-pasien yang efektif.
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud
oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan
tidak ada hambatan untuk hal itu.3 Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan
pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk
dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien
bagi keduanya.3 Komunikasi efektif tidak memerlukan waktu yang lama. Komunikasi efektif
terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien
(tidak hanya ingin sembuh).3
2
Untuk sampai pada tahap tersebut, diperlukan berbagai pemahaman seperti
pemanfaatan jenis komunikasi (lisan, tulisan/verbal, non-verbal), menjadi pendengar yang
baik (active listener), adanya penghambat proses komunikasi (noise), pemilihan alat
penyampai pikiran atau informasi yang tepat (channel), dan mengenal mengekspresikan
perasaan dan emosi.3
Menurut Kurtz, dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang digunakan:
Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk
penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.4
Illness centered communication style atau patient centered communication style.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu
merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya,
apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.4
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta
kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan
waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style.3
3
2.2 Empati
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati memiliki definisi: keadaan mental yang
membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau
pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.2 Empati adalah keterampilan seseorang
untuk menempatkan diri dalam sepatu orang lain; dalam arti menempatkan diri dalam
situasi / kondisi yang dialami orang lain.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai empati, ada baiknya bila kita membahas
terlebih dahulu perbedaan empati dengan simpati. Empati memiliki definisi sda., sedangkan
simpati memiliki definisi rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka.2 Berikut kutipan yang
menjelaskan perbedaan antara empati dengan simpati:
Some authors state that sympathy is wholly distinct from empathy. 20,21,24 These authors note that physicians who sympathize with patients share their suffering, which could lead to lack of objectivity and emotional fatigue, whereas empathy has a uniformly positive impact on physician-patient interactions.5
Dapat dikatakan bahwa simpati berarti merasakan perasaan (penderitaan) pasien dan
dokter ikut terlarut di dalamnya; sedangkan empati juga berarti merasakan perasaan pasien,
tetapi dokter tidak ikut terlarut di dalamnya.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisan mereka tentang Emphatic
Communication in Physician-Patient Encounter (2002), mengembangkan 6 tingkat empati
yang dikodekan dalam suatu sistem:3
Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien.
Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu.
Level 2 : Dokter mengenail sudut pandang pasien secara implisit.
Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien.
Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien.
Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien.3
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang
pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit.3
4
2.3 Ilmu Perilaku
Perilaku memiliki definisi: tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan.2 Definisi ini menekankan kata perilaku pada tanggapan, reaksi, wujud nyata
dalam bentuk tindakan. Terhadap kondisi yang sama, perilaku seseorang berbeda dengan
perilaku orang yang lain. Perilaku setiap manusia berbeda satu sama lain karena setiap
manusia adalah unik.
Telah disebutkan bahwa perilaku setiap manusia berbeda satu sama lain. Hal ini
dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masing-masing manusia.
Salah satu dari faktor ini adalah kepribadian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepribadian didefinisikan: sifat hakiki yang
tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau
bangsa lain.2 Bila perilaku menekankan pada tindakan nyata seseorang, kepribadian
menekankan pada sifat dan sikap seseorang. Sifat dan sikap seseorang tentunya memengaruhi
perilaku orang tersebut.
Salah satu studi yang membantu menjelaskan ilmu perilaku adalah Analisa
Transaksionil. Studi ini dikembangkan oleh Eric Berne pada akhir tahun 1950-an. Dalam
Analisa Transaksionil, Eric Berne mencoba menjelaskan relasi antar manusia dengan
menggunakan ego state. Ada tiga ego state yang dikenal: orang tua, dewasa, dan anak-anak.
The parent ego state is based on thoughts and feelings copied from parents or parent figures;
the adult ego state relates to thoughts and feelings in the here and now; and the child ego
state is based on thoughts and feelings replayed from childhood.6
Dalam komunikasi dokter-pasien, dokter harus menyesuaikan diri dengan ego state
pasien. Bila ego state dokter sesuai dengan ego state pasien, diharapkan akan terjadi transaksi
yang sehat (transaksi komplementer). Bila ego state dokter sesuai dengan ego state pasien,
dikhawatirkan komunikasi tidak berjalan dengan baik (transaksi silang). Hasil dari transaksi
komplementer tentunya lebih optimal dari transaksi silang.
Selain menyesuaikan diri dengan oknum / ego state pasien, dokter diharapkan mampu
membimbing dan menuntun komunikasi sehingga komunikasi berlangsung di antara ego state
dewasa. Ego state dewasa didasarkan pada kemampuan berpikir dan mengambil keputusan,
sehingga hasil komunikasi dokter-pasien akan lebih optimal.
5
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dokter dalam kasus tidak berempati
2. Komunikasi dokter – pasien tidak berjalan dengan semestinya
6
DAFTAR PUSTAKA
1. Russell, Andrew. Lecture Notes: The Social Basis of Medicine. Singapore: Utopia
Press; 2009.
2. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. KAMUS BESAR BAHASA
INDONESIA. Jakarta: Balai Pustaka; 2005.
3. Ali, Mulyohadi, Ieda Poernomo Sigit Sidi, Huzna Zahir, editor. Manual Komunikasi
Efektif Dokter-Pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.
4. Kurtz, S., Silverman, J. & Drapper, J. Teaching and Learning Communication Skills in
Medicine. Oxon: Radcliffe Medical Press; 1998.
5. Stepien, Kathy A,B.S., M.A., Baernstein A. Educating for Empathy. Journal of Internal
General Medicine. 2006 May;21(5):524-530.
6. Lawrence, Lesa. Applying Transactional Analysis and Personality Assessment to
Improve Patient Counseling and Communication Skills. American Journal of
Pharmaceutical Education. 2007 August;71(4):81.
7