kondisi kesehatan masyarakat jawa abad ke-19

Upload: baladewa75

Post on 10-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tulisan ini akan berusaha menjelaskan mengenai kondisi kesehatan masyarakat Jawa secara umum dan bagaimana kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam merespon kondisi kesehatan masyarakat Jawa itu. Beberapa indikator yang akan digunakan dalam melihat kondisi kesehatan masyarakat Jawa pada abad ke-19 adalah tingkat mortalitas terutama yang berhubungan dengan wabah penyakit, kondisi gizi, dan ketersediaan sarana dan prasana kesehatan.

TRANSCRIPT

  • KONDISI KESEHATAN MASYARAKAT JAWA

    PADA ABAD KE-19

    Oleh: Baha` Uddin

    Tulisan ini akan berusaha menjelaskan mengenai kondisi kesehatan

    masyarakat Jawa secara umum dan bagaimana kebijakan pemerintah Hindia

    Belanda dalam merespon kondisi kesehatan masyarakat Jawa itu. Beberapa

    indikator yang akan digunakan dalam melihat kondisi kesehatan masyarakat

    Jawa pada abad ke-19 adalah tingkat mortalitas terutama yang berhubungan

    dengan wabah penyakit, kondisi gizi, dan ketersediaan sarana dan prasana

    kesehatan.

    A. Pola Wabah Penyakit dan Tingkat Mortalitas Penduduk di Jawa

    Beberapa laporan demografi menggambarkan bahwa pada abad ke-

    19, penduduk Jawa mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Menurut

    Boomgaard, pertumbuhan rata-rata penduduk Jawa setiap tahun pada abad

    itu adalah sekitar 2,2 2,3%.1 Boomgaard memperkirakan bahwa penduduk

    pulau Jawa pada tahun 1800 berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa dan 14 juta jiwa

    pada tahun 1850. Sementara itu pada tahun 1900, jumlah penduduk Jawa

    diperkirakan berjumlah 30,4 juta jiwa.2 Beberapa peneliti lain juga

    berpendapat sama seperti apa yang diungkapkan oleh Breman, Gooszen, dan

    Bram Peper. Yang membedakan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh

    orang-orang tersebut di atas adalah mengenai dasar perhitungan dan

    1Lihat Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: sejarah sosial dan ekonomi

    Jawa 1795 1880 (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 1 2Ibid, Lihat juga Hans Gooszen, A Demographic History of the Indonesia

    Archipelago 1880-1942 (Leiden: KITLV Press, 1999).

  • 36

    argumen yang dikemukakan untuk menjelaskan pertumbuhan penduduk

    Jawa pada akhir abad ke-19 tersebut.3

    Menurut Peter Boomgaard, peningkatan penduduk Jawa yang luar

    biasa terutama pada abad ke-19 ini disebabkan oleh beberapa faktor antara

    lain adalah:

    1. Kondisi kesehatan masyarakat Jawa yang lebih baik di bawah

    pemerintah kolonial,

    2. Tidak adanya peperangan lagi antara berbagai penguasa pribumi

    setelah Belanda dapat mengkonsolidasikan kekuasaannya di seluruh

    Pulau Jawa

    3. Adanya perbaikan standar hidup

    Sedikit senada dengan Boomgaard, menurut Breman pertumbuhan

    penduduk Jawa terutama pada paruh kedua abad ke-19 sangat dipengaruhi

    oleh pembangunan sistem komunikasi oleh pemerintah kolonial Belanda.4

    Dengan adanya sistem komunikasi tersebut maka bencana kelaparan dan

    wabah-wabah penyakit yang terjadi di beberapa daerah di Jawa dapat

    dengan segera ditangani.

    Sementara itu, menurut Peper pertumbuhan penduduk Jawa pada

    masa ini tidak terlepas dari kesuksesan pemerintah kolonial Belanda dalam

    melakukan vaksinasi terutama terhadap penyakit cacar. Namun Peper tidak

    sependapat terhadap pendapat Boomgaard yang menyatakan bahwa

    pertumbuhan tersebut disebabkan karena adanya perbaikan kondisi

    kesehatan masyarakat Jawa secara umum. Peper hanya menekankan pada

    satu pokok permasalahan yaitu bahwa perbaikan tersebut hanya pada faktor

    3Lihat J.C. Breman, Djawa Pertumbuhan Penduduk dan Struktur Demografis

    (Jakarta: Bhratara, 1971); Bram Peper. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Asli di Jawa dalam Abad ke-19: suatu pandangan lain khususnya mengenai masa 1800-1850. (Jakarta: Bhratara, 1975).

    4Menurut Breman, laju pertumbuhan penduduk Jawa pada paruh kedua

    abad ke-19 adalah 1,6 % per tahun, sedangkan untuk paruh pertama sebesar 1,4% per tahun, ibid.

  • 37

    vaksinasi penyakit cacar saja dan tidak pada sektor kesehatan masyarakat

    lainnya.

    Widjojo Nitisastro menolak anggapan para peneliti Barat yang

    menyatakan bahwa pada akhir abad ke-19 terjadi ledakan penduduk di Jawa.

    Menurutnya anggapan tersebut cenderung membesarkan manfaat dari

    kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial atas

    kesejahteraan penduduk.5

    Pendapat Widjojo memang sangat beralasan. Memang pada sepanjang

    abad ini terjadi pertumbuhan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya

    kelahiran namun di samping itu tingkat mortalitas penduduk Jawa pada masa

    ini juga masih tergolong tinggi. Sehingga anggapan bahwa pertumbuhan

    penduduk Jawa disebabkan oleh adanya perbaikan kondisi kesehatan

    masyarakat merupakan suatu hal yang harus dikaji secara mendalam.

    Tingginya tingkat mortalitas penduduk Jawa pada abad ke-19

    terutama terjadi pada paruh pertama. Selain dikarenakan banyaknya wabah

    penyakit yang menyebabkan kematian, tingginya mortalitas pada waktu itu

    juga disebabkan oleh kegagalan panen, bencana alam dan peperangan

    (Perang Jawa). Secara umum, menurut Boomgaard, rata-rata tingkat

    mortalitas penduduk Jawa antara tahun 1832 sampai dengan 1880 adalah

    2,3% per tahun (23 per seribu). 6 Pada saat terjadi Perang Jawa pada tahun

    1825-1830, rata-rata tingkat kematian penduduk Jawa mencapai 2,8% per

    tahun (28 per seribu). Kalkulsi mengenai tingkat kematian penduduk di Jawa

    dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

    5Widjojo Nitisastro, Population Trend in Indonesia (Ithaca: Cornell University

    Press, 1970) 6Peter Boomgaard, Morbidity and Mortality in Java, 1820-1880: Changing

    Pattern of Disease and Death dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History (Singapore: Oxford University Press, 1987)

  • 38

    Tabel 1 Kalkulasi Angka Kematian Penduduk di Jawa

    Periode 1820-1880

    Periode Angka Kematian

    1820 - 1929 2,8% 1830 -1839 2,2% 1840 - 1849 2,6% 1850 - 1859 2,3% 1860 - 1869 2,1% 1870 - 1880 2,2%

    Rata-rata 1820 -1880 2,4%

    Sumber: Peter Boomgaard, Morbidity and Mortality in Java, 1820-1880: Changing Pattern of Disease and Death dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History, (Singapore: Oxford University Press, 1987)

    Seperti disinggung di atas, beberapa sejarawan meyakini bahwa

    tingkat kematian penduduk di Jawa pada paruh pertama abad ke-19 lebih

    tinggi dibandingkan dengan paruh kedua. Selain faktor pengaruh dari

    terjadinya Perang Jawa dan dampak dari diberlakukannya kebijakan Tanam

    Paksa, Boomgaard mensinyalir paling tidak terdapat tiga faktor

    penyebabnya.

    Pertama periode dasawarsa antara 1800 1820 dibuka dan ditutup

    dengan panen yang gagal dan kekurangan beras yaitu pada tahun

    1789/1800, 1804/1805, 1809 dan 1819/1822. Peristiwa ini kemudian

    menyebabkan penuruan konsumsi tahunan rata-rata penduduk Jawa yang

    kemudian sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatannya dan berujung

    dengan tingginya angka kematian.

    Kedua walaupun pada abad ini terdapat proyek pembangunan

    transportasi namun dampak panen yang gagal pada tingkat lokal lebih parah

    pada awal abad ke-19 daripada sekitar tahun 1880. Ketiga sepanjang abad ini

    banyak terjadi epidemi penyakit yang mengakibatkan korban kematian baik

  • 39

    dari kalangan mampu maupun tidak mampu. Hal yang sama juga terjadi pada

    kasus endemi.7

    Tabel 2 Perkiraan Angka Kematian Penduduk Jawa 1820 1880

    dan Penyebabnya

    Tahun Jumlah

    Kematian Penyebab Utama

    1821 125 000 Kolera 1825 1830 200 000 Perang Jawa

    1834 1835 140 000 Cacar, kolera, migrasi, kegagalan panen yang disebabkan oleh pengenalan Sistem Tanam Paksa

    1846 1851 600 000 Demam tipus, kegagalan panen, kelaparan, kolera, cacar

    1864 1865 125 000 Kolera, malaria 1874 1875 175 000 Kolera, malaria

    1880 100 000 Malaria, kegagalan panen

    Sumber: Peter Boomgaard, Morbidity and Mortality in Java, 1820-1880: Changing Pattern of Disease and Death dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social, Medical, and Demographic History (Singapore: Oxford University Press, 1987)

    Jika mengacu pada tabel 2 di atas penyebab kematian penduduk Jawa

    antara tahun 1800 1880 dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:

    1. Pola penyakit yang berubah-ubah (kolera, cacar, deman tipus, dan

    malaria)

    2. Faktor ekonomi (kegagalan panen, dampak Sistem Tanam Paksa)

    3. Faktor Politik (Perang).

    Pada tabel berikut digambarkan pengaruh masing-masing faktor tersebut di

    atas terhadap tingkat kematian penduduk Jawa.

    7Peter Boomgaard (2004), Ibid, hlm. 326.

  • 40

    Tabel 3 Pengaruh Sejumlah Faktor terhadap Tingkat Kematian

    Penduduk Jawa pada Periode 1820-1880

    Faktor 1800-1820 1820-1850 1850-1880

    a. Vaksinasi Kolera Demam Tipus

    - ++ +

    -- +

    b. Komunikasi Tingkat Gizi Sistem Tanam Paksa De-urbanisasi

    + -

    - + + -

    -- - -

    c. Perang +

    Keterangan: -(-) = mempunyai pengaruh yang kuat dalam menurunkan

    angka kematian

    +(+) = mempunyai pengaruh yang kuat dalam menaikkan angka kematian

    Sumber: Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: sejarah sosial dan ekonomi Jawa

    1795 1880 (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 327

    Pada paruh kedua abad ke-18 dan awal abad ke-19, beberapa epidemi

    dan endemi penyakit sangat berpengaruh terhadap tingkat kematian

    penduduk Jawa. Penyakit-penyakit ini telah menyebabkan tingkat kematian

    penduduk Jawa di atas tingkat kematian normal. Penyakit-penyakit tersebut

    antara lain kolera, disentri, demam (kemungkinan malaria atau tipus), lepra,

    dan cacar. Penyakit-penyakit tersebut diyakini telah meningkatkan angka

    kematian penduduk Jawa di atas 1% per tahun. Namun angka-angka yang

    diperoleh dari laporan kolonial banyak diragukan oleh sejarawan karena

    memang sampai periode ini belum ada informasi yang sistematis mengenai

    kematian dan penyakit yang berkembang di Jawa.

    Antara tahun 1832-1880, gabungan faktor penyakit dan kegagalan

    panen telah mengakibatkan tingkat kematian penduduk Jawa lebih dari 0,3%

    (3 per seribu) setiap tahunnya, atau sekitar 10% dari total populasi. Dari

  • 41

    angka tersebut, sekitar 90%-nya agaknya merupakan akibat dari endemi

    penyakit dan sebab-sebab kematian yang normal.8

    Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit di Jawa

    pada masa ini selain disebabkan tidak jelasnya kebijakan pemerintah

    kolonial dibidang kesehatan juga sebagai akibat diskriminasi. Sampai periode

    ini hanya orang-orang Eropa saja yang bisa mendapatkan pengobatan medis.

    Sementara dilain pihak, penduduk pribumi di Jawa lebih mempercayakan

    pengobatan penyakit yang dideritanya kepada pengobatan tradisional yang

    selama ini dipercaya oleh mereka.

    Persoalan lain yang sangat menarik adalah terdapatnya beberapa

    konsentrasi perkembangan penyakit kelamin di wilayah-wilayah yang

    terdapat banyak pemukiman orang-orang Eropa. Penyakit syphillis dan juga

    gonorrhoea pada pertengahan abad ke-19 ini merajalela di wilayah pantai

    utara Jawa yang banyak ditinggali para pegawai Belanda, tentara, dan para

    pelaut.

    Seperti halnya kekacauan pemahaman masyarakat pribumi yang

    terjadi untuk menyebut sebuah penyakit yang hanya didasarkan pada gejala

    fisik semata seperti antara penyakit demam, tipus, dan malaria. Ketiga

    penyakit itu oleh masyarakat Jawa pada waktu itu disebut dengan penyakit

    demam karena memang gejala yang ditimbulkannya adalah demam. Hal

    yang sama juga terjadi terhadap penyakit syphillis ini. Penduduk pribumi

    tidak bisa membedakan gejala fisik antara penyakit syphillis dengan patek

    atau framboesia.

    Paruh pertama abad ke-19 paling tidak terdapat 3 epidemi penyakit

    ganas yang menimbulkan angka kematian penduduk Jawa di atas normal.

    Epidemi penyakit tersebut adalah cacar, kolera dan demam tipus. Sementara

    itu fokus laporan Kolonial Verslag setelah tahun 1855 dititikberatkan kepada

    beberapa epidemi penyakit yang disebutnya sebagai the great killer in

    8Peter Boomgaard (1987), op.cit, hlm. 50.

  • 42

    nineteenth century Java. Penyakit tersebut adalah disentri, kolera, demam

    (kemungkinan besar adalah malaria dan tipus) dan cacar. 9

    1. Penyakit Cacar

    Antara tahun 1775 dan 1815, cacar telah menyebar di beberapa kota

    besar di Jawa antara lain Bogor, Priangan, Yogyakarta dan Surakarta.10 Pada

    akhir abad ke-18, tingkat kematian yang disebabkan oleh cacar didaerah

    Bogor dan Priangan diperkirakan mencapai 20%. Pada periode yang sama, di

    Pekalongan cacar telah menyerang setiap dua atau dua tahun sekali.

    Sementara di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, cacar merupakan penyakit

    endemik yang paling penting sebelum tahun 1820. Khusus untuk wilayah

    Yogyakarta, dari keseluruhan anak-anak yang dilahirkan pada periode

    tersebut 10% diantaranya meninggal dunia karena cacar. Sementara untuk

    anak sampai berumur 14 tahun tingkat kematiannya mencapai 14%.11

    Sepanjang abad ke-19, cacar telah menjadi penyakit endemik dan sekaligus

    epidemi, artinya pada kurun waktu tersebut cacar senantiasa menyerang

    kesehatan penduduk Jawa namun pada periode tertentu intensitasnya

    meningkat tajam. Dengan pola perkembangan tersebut kemudian

    menimbulkan suatu pemahaman bahwa sebuah penyakit akan muncul pada

    periode tertentu (siklis). Pada abad ke-19, umumnya dibeberapa daerah,

    cacar akan muncul secara epidemi setiap tujuh tahun kecuali di daerah

    Pekalongan yang muncul setiap dua sampai tiga tahun. Sehingga terdapat

    puncak-puncak intensitas perkembangan cacar pada penduduk di Jawa.

    9Hans Gooszen, op.cit, hlm. 174; Peter Boomgaard (1987), op.cit, hlm. 51. 10Penyakit ini telah berkembang menjadi epidemi dan menyerang Ternate

    pada tahun 1558 dan Ambon pada 1564. Peter Boomgaard, Smallpox, Vaccination, and The Pax Nerlandica Indonesia, 1550-1930 dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en, Volkenkunde, 159.4, 2003, hlm. 592.

    11Peter Boomgaard (1987), op.cit, hlm. 61-62.

  • 43

    Puncak-puncak tersebut adalah pada tahun 1820, 1835, 1842, 1849, 1862

    dan 1870.12

    Grafik 1

    Laporan Kematian yang disebabkan oleh Epidemi Cacar Di Jawa dan Madura, 1870-1900

    Sumber: Koloniaal Verslag 1871-1901, dikutip dari Peter Gardiner and

    Mayling Oey, Morbidity and Mortality in Java 1880-1940: The Evidence of the Colonial Reports dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History (Singapore: Oxford University Press, 1987), hlm. 79.

    2. Penyakit Kolera

    Berbeda dengan dua penyakit sebelumnya, kolera mulai ditemukan

    pertama kali di Nusantara pada awal abad ke-19. Pada bulan Desember tahun

    1819 pemerintah Hindia Belanda di Batavia menerima peringatan mengenai

    kematian massal yang disebabkan oleh epidemi kolera di Mauritius, Penang,

    12Ibid.

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

  • 44

    dan Malaka, khususnya di Provinsi Queda.13 Persebaran kolera ke Mauritius

    dan Malaka disebabkan adanya hubungan dagang keduanya dengan Bengal,

    tempat yang diyakini merupakan asal muasal timbulnya kolera.14 Di India,

    kolera timbul sebagai sebuah epidemi pada tahun 1818. Satu tahun

    kemudian penyakit ini telah ditemukan di Jawa karena daerah ini merupakan

    salah satu pusat jaringan perdagangan di Nusantara yang mempunyai

    hubungan langsung baik ke Malaka maupun ke India.15

    Sampai tahun 1860, dikalangan para medis masih terjadi

    perdebatan mengenai sifat persebaran penyakit ini.16 Namun diyakini bahwa

    manusia memegang peranan utama dalam penyebarluasan kolera karena

    persebarannya ternyata mengikuti jalur hubungan manusia dalam

    melakukan aktivitasnya. Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya,

    kolera merupakan penyakit yang dengan cepat bisa menyebar luas di seluruh

    wilayah sebuah komunitas.17

    Pola persebaran kolera di Jawa pada abad ke-19 berhubungan erat

    dengan sanitasi lingkungan, iklim, pola hidup dan kebiasaan masyarakat.

    Makanan dan minuman merupakan faktor transmitter utama penularan

    13D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During

    three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) (The Hague: Netherlands Indian Public Health Service, 1937), hlm. 121.

    14Kolera disebabkan oleh baksil yang disebut dengan vibrio- cholera. Baksil

    ini menyerang bagian pencernaan atau usus manusia dan dapat mengakibatkan gejala berupa muntah-muntah dan berak. Selain itu penderita pada tingkat akut akan mengalami kejang-kejang dan gangguran saluran kencing dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian.

    15Slamet Ryadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat; dasar-dasar dan Sejarah

    Perkembangannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 42. 16Satrio, et al, Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia I (Jakarta: Depkes,

    1978), hlm.59. 17Peter Gardiner and Mayling Oey, Morbidity and Mortality in Java 1880-

    1940: The Evidence of the Colonial Reports dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social, Medical, and Demographic History, (Singapore: Oxford University Press, 1987), hlm.75.

  • 45

    penyakit ini, selain kontak langsung. Kebiasaan masyarakat pada waktu itu

    yang membuang air besar di sungai dan tidak melindungi makanan dengan

    baik menjadikan baksil kolera dengan mudah berpindah karena baksil kolera

    banyak ditemukan di kotoran manusia. Dengan kata lain, kolera menyerang

    penduduk yang tinggal di lingkungan yang kotor dan kekurangan air bersih,

    sehingga bibit penyakit mudah bersarang.

    Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda ketika mendapat berita

    tentang epidemi kolera di Bengal, Mauritius, Penang dan Malaka telah

    melakukan beberapa tindakan preventif agar penyakit itu tidak masuk ke

    Jawa. Tindakan itu berupa melakukan karantina terhadap orang yang

    dicurigai sudah terinfeksi dan semua kapal yang datang dari daerah-daerah

    tersebut.18 Namun ternyata kebijakan karantina tersebut terbukti tidak

    efektif untuk membendung tersebarnya kolera ke Jawa terbukti akhirnya

    penyakit ini ditemukan juga di Jawa. Daerah yang pertama terindikasi

    penyakit ini adalah di sepanjang pantai utara Jawa seperti Batavia, Semarang,

    dan Surabaya. Hal ini semakin menguatkan bahwa kontak man to man

    dalam perdagangan internasional pada waktu itu menjadi jalan masuk kolera

    ke Jawa.

    Karesidenan Semarang merupakan daerah ideal bagi ber-

    kembangnya penyakit ini. Epidemi penyakit ini mengakibatkan kematian

    yang tidak sedikit dari penduduk yang tinggal di daerah ini. Sebagai contoh

    pada tahun 1821 tercatat 45.283 kematian, 13.444 pada tahun 1.822, dan

    9.745 pada tahun 1823.19 Dari daerah-daerah itu, kolera kemudian dengan

    cepat menyebar luas ke seluruh wilayah Nusantara. Terdapat pola yang sama

    dalam perkembangan dan hilangnya kolera di suatu daerah. Pertama terjadi

    penambahan beberapa kasus dengan sangat cepat, kemudian terjadi stagnasi

    18D. Schoute, op.cit, hlm. 122. 19Mengenai epidemi kolera di Semarang selengkapnya baca Ridwan Hasyim,

    Epidemi Kolera di Karesidenan Semarang, 1900-1920 dalam Lembaran Sejarah Vol.4. No.2, 2002.

  • 46

    pada tingkat tertentu untuk beberapa minggu lamanya dan selanjutnya

    secara perlahan mengalami penurunan jumlah kasus, dan akhirnya penyakit

    ini menghilang dari daerah tersebut.

    Pola yang sama juga terjadi pada persentase jumlah korban yang

    diakibatkannya, pada permulaan epidemi persentase kematian korbannya

    sangat tinggi kemudian mengalami penurunan hanya dalam beberapa kasus

    baru, dan akhirnya hanya beberapa orang saja.20 Untuk lebih jelasnya

    mengenai pola kematian yang disebabkan oleh kolera di Batavia tahun 1821

    lihat grafik 2 di bawah ini.

    Grafik 2 Fluktuasi Jumlah Korban Epidemi Kolera

    di Batavia dari April-Juli 1821

    Sumber: Diolah dari D. Schoute, Occidental Therapeutics in the

    Netherlands East Indies During three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900), (The Hague: Netherlands Indian Public Health Service, 1937), hlm. 123-124.

    Rentang waktu antara puncak terjadinya epidemi kolera dengan

    puncak epidemi berikutnya antara 10 sampai 17 tahun. Sehingga bisa

    dikatakan rata-rata setiap 13 tahun terjadi epidemi penyakit kolera pada

    abad ini di suatu daerah Jawa. Menurut Boomgaard, setelah terjadi epidemi

    ketiga dalam suatu wilayah di Jawa, kolera kemudian biasanya muncul

    20D. Schoute, op.cit., hlm.123.

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    200

  • 47

    sebagai endemi.21 Tahun-tahun puncak epidemi kolera pada abad ke-19 di

    Jawa adalah pada tahun 1821, 1834, 1857, 1864, 1874, 1882, 1889, 1892,

    dan 1897.

    Grafik 3 Laporan Kematian yang Disebabkan oleh Epidemi Kolera

    Di Jawa dan Madura, 1870-1900

    Sumber: Koloniaal Verslag 1871-1901, dikutip dari Peter Gardiner and Mayling Oey,

    Morbidity and Mortality in Java 1880-1940: The Evidence of the Colonial Reports dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History, (Singapore: Oxford University Press, 1987) hlm. 79.

    Walaupun masih sebatas estimasi, namun jumlah korban kolera di

    Jawa pada saat terjadinya epidemi pada grafik 1 dan 2 di atas sangat besar

    jumlahnya. Dari tahun 1820 sampai dengan 1880, penduduk Jawa yang

    menjadi korban keganasan kolera mencapai 125 000 jiwa. Jumlah tersebut

    merupakan jumlah korban murni dari epidemi yang terjadi pada tahun-

    tahun yang disebutkan di atas. Artinya, jumlah yang sebenarnya lebih besar

    karena selain epidemi penyakit ini juga menjadi endemi pada suatu daerah

    tertentu. Gardiner dan Boomgaard sependapat mengenai persentase

    kematian yang diakibatkan oleh kolera di Jawa pada abad ke-19. Menurut

    21Peter Boomgaard (1987), op.cit, hlm. 50-51

    0

    5000

    10000

    15000

    20000

    25000

    30000

  • 48

    keduanya rata-rata 40 60% penderita kolera di Jawa pada abad ke-19

    meninggal dunia.

    Kecuali Banten, semua karesidenan yang terletak di pantai utara Jawa

    termasuk Madura pernah dihinggapi oleh kolera. Sementara di daerah

    pedalaman dan karesidenan yang terletak di pantai selatan Jawa, kecuali

    Bagelen, juga pernah dihinggapi oleh penyakit yang sama. Pola

    persebarannya sangat jelas bahwa pertama-tama epidemi kolera selalu

    masuk melalui lautan, dan kemudian menghinggapi wilayah pantai kemudian

    seiring dengan perpindahan penduduk yang cepat penyakit ini kemudian

    hadir di wilayah perkotaan di pedalaman.

    3. Penyakit Malaria

    Secara historis penyakit malaria22 telah lama dikenal oleh manusia. Penyakit

    ini pertama kali ditemukan oleh manusia pra-sejarah di Afrika dan dari

    wilayah ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di India malaria

    telah dikenal beberapa abad sebelum Masehi. Ganasnya penyakit ini dapat

    dibayangkan ketika beberapa sejarawan menduga bahwa kota di Srilangka

    dan Angkor di Kamboja ditinggalkan oleh penghuninya pada dekade awal

    Masehi dikarenakan oleh malaria.23

    Di Indonesia penyakit ini pertama kali diketahui di daerah Sambas,

    Kalimantan pada pertengahan abad ke-18 dan mulai menyebar ke hampir

    22Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria

    yang berasal dari kelas protozoa, suku haemosprida dan marga plasmadium. Plasmadium ini hidup dan berkembang didalam tubuh nyamuk anopheles, terutama di bagian perutnya. Penyakit ini mempunyai gambaran gejala fisik berupa demam periodik, anemia, dan pembesaran limpa. Gejala-gejala ini sangat mempengaruhi terhadap kinerja beberapa organ vital tubuh manusia seperti otak, hati, dan ginjal. Lihat Aldo Castellani and Albert J. Chalmus, manual of Tropical Medicine, (London: baillere Tindal & Cox, 1913) hlm. 848, Korte Bericht Het Hoofdebereau van den BGD, Oonoodige Dooden (Weltevreden: Dukkerij Volklectuur, 1922), hlm.11, dan T. Hermaya, Ensikopedi Kesehatan (Jakarta: PT. Adhi Pustaka, 1992), hlm. 341.

    23Ensiklopedi Nasional Indonesia 10 (Jakarta: PT. Cipta Adhi Karsa, 1990),

    hlm.40.

  • 49

    seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19 dan 20. Secara historiografis,

    permasalahan yang ditimbulkan oleh malaria ini sangat besar. Istilah malaria

    sebenarnya jarang sekali digunakan pada paruh kedua abad ke-19, dan

    masyarakat luas pada waktu itu biasa menyebut malaria dengan gejala yang

    ditimbulkannya yaitu sakit demam (fevers, koortsen: Belanda). Padahal

    penyakit yang mempunyai gejala demam pada waktu itu tidak hanya malaria.

    Pada tahun 1846 di Jawa terjadi 50 epidemi penyakit (demam) tipus dan

    pada tahun 1873 sekitar setengah dari penyakit demam yang dilaporkan

    mungkin disebabkan oleh dengue. Kecuali dua kasus di atas, penyakit demam

    pada waktu itu dapat dianggap sebagai malaria.24

    Dalam statistik laporan kolonial, angka kematian yang disebabkan

    oleh malaria selalu menduduki peringkat atas. Oleh karena itu pada paruh

    kedua abad ke-19, khususnya antara tahun 1853-1858 dan 1867-1880,

    penderita malaria merupakan orang yang oleh dokter-dokter Eropa dianggap

    paling penting untuk segera ditangani. Biasanya dalam beberapa kasus

    epidemi suatu penyakit, angka kematian normal diwilayah tersebut adalah

    antara 5-15%, namun pada kasus epidemi malaria yang terjadi di Cirebon

    antara tahun 1852-1853 angka kematian mencapai 25-35%.25

    Secara umum karakteristik persebaran penyakit malaria di Jawa

    dapat dibedakan antara paruh pertama abad ke-19 dan paruh kedua pada

    abad yang sama. Pada paruh pertama abad ke-19 terdapat dua tipe ekologis

    yang berbeda pada pemukiman penduduk yang dijadikan sebagai

    pengembangbiakannya. Tipe ekologis pertama adalah kota-kota besar yang

    mempunyai beberapa kanal dan sungai seperti Batavia, Semarang, dan

    Surabaya. Sementara tipe ekologis kedua adalah daerah pantai yang berawa

    seperti Cirebon.

    24Peter Boomgaard (1987), op.cit, hlm.56. 25Ibid.

  • 50

    Tabel 4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya

    Epidemi dan Endemi Malaria di Jawa Pada Abad ke-19

    Faktor Manusia

    Aktivitas pembangunan dalam skala besar di pesisir (A.

    Sundaicus) atau di pedalaman (A. Maculatus) Pembukaan hutan oleh penduduk lokal untuk digunakan

    lahan persawahan Sama dengan poin di atas, tetapi dilakukan oleh para

    migran yang telah terjangkit Malaria (non-immune) Perubahan tahapan areal sawah dari penggarapan yang

    bersamaan ke tahapan pemanenan yang tidak bersamaan (A. Aconitus, A. Hyrcanus)

    Meningkatnya intensitas migrasi karena semakin tersedianya komunikasi dan transportasi yang lebih baik

    Faktor Alam

    Pengaruh iklim tropis Peningkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi

    dengan ternak, terutama sapi (A. Maculatus) Dikenalnya vector-vector baru

    Sumber: Peter Boomgaard, Morbidity and Mortality in Java, 1820-1880: Changing Pattern of Disease and Death dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History (Singapore: Oxford University Press, 1987)

    Selama paruh kedua abad ke-19 persebaran malaria semakin meluas

    ke daerah-daerah pegunungan, terutama daerah-daerah yang arealnya

    merupakan persawahan. Di tempat-tempat inilah anopheles menemukan

    rumah yang nyaman untuk berkembang biak. Sebenarnya pergeseran pola

    pengembangbiakan anopheles ini terjadi ketika petani dalam waktu yang

    bersamaan mempersiapkan sawah mereka untuk ditanami. Sehingga pola

    penanaman sawah seperti ini selalu menyediakan tersedianya air yang cukup

    bagi anopheles.26

    Dibandingkan dengan penyakit yang lain, sebab-sebab terjadinya

    epidemi dan endemi penyakit malaria menunjukkan permasalahan yang

    26Ibid.

  • 51

    kompleks karena berhubungan erat baik dengan faktor manusia (human

    factor) maupun faktor alam (natural factor). Untuk mengetahui lebih lanjut

    mengenai hal ini pada abad ke-19 di Jawa lihat tabel 4 di atas.

    4. Penyakit Demam Tipus

    Seperti telah dijelaskan di atas bahwa terdapat kekacauan

    pemahaman masyarakat antara demam tipus dan malaria. Hal ini kemudian

    menyulitkan para pejabat baik pribumi maupun kolonial dalam membuat

    laporan. Oleh karena itu, sebenarnya sebelum tahun 1846 di Jawa diyakini

    telah berkembang penyakit ini namun belum mencapai proporsi sebagai

    penyakit epidemik. Antara tahun 1846 dan 1850, penyakit ini menyerang

    semua karesidenan di Jawa Tengah.27 Namun pada periode yang sama dan

    didaerah yang sama terjadi pula banjir, kegagalan panen dan kelaparan.

    Sehingga beberapa pengamat berkesimpulan bahwa antara penyakit dan

    kelaparan saling memperkuat untuk menimbulkan kematian.

    Mula-mula penyakit ini muncul di Karesidenan Kedu pada Juni 1846

    pada tahap epidemik. Pada akhir tahun tersebut penyakit ini telah menyebar

    ketiga karesidenan yang berdekatan dengan Kedu dan bahkan ke Surakarta.

    Semua karesidenan ini pada tahun 1844 dan 1845 merupakan wilayah yang

    terkena musibah banjir dan menyebabkan kegagalan panen.

    Penyebab munculnya penyakit ini pada periode itu masih menjadi

    perdebatan para sejarawan. Namun terdapat sebuah analisa bahwa

    perluasan Sistem Tanam Paksa yang terlalu ambisius oleh pemerintah

    kolonial Belanda telah menyebabkan kurangnya makanan bagi penduduk

    Jawa. Hal tersebut kemudian menimbulkan gizi buruk dan pada taraf akut

    memperbesar dampak dari demam tipus ini.28

    Pada tahun 1847, sebanyak delapan karesidenan telah terjangkiti

    epidemi demam tipus, sedangkan pada tahun selanjutnya mengamuk di enam

    27Peter Boomgaard (2004), op.cit. hlm. 328-329. 28Ibid.

  • 52

    karesidenan. Tingkat presentase kematian tertinggi yang diakibatkan oleh

    demam tipus adalah pada tahun 1847 yaitu 47% sedangkan pada tahun 1846

    sebanyak 30% dan 41% pada tahun 1848.

    B. Tingkat Gizi Masyarakat

    Seperti telah disinggung di atas bahwa periode 1845 sampai dengan

    1850 merupakan masa buram bagi tingkat gizi masyarakat Jawa. Sebagai

    akibat dari kegagalan panen dan dampak dari Sistem Tanam Paksa telah

    mengakibatkan kelaparan bagi penduduk Jawa terutama di wilayah Jawa

    Tengah. Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk menyatakan bahwa

    pada kurun waktu di atas tingkat gizi masyarakat Jawa rendah adalah

    konsumsi per kapita. Konsumsi per kapita masyarakat Jawa Tengah pada

    tahun 1845 sangat rendah bila dibandingkan dengan pada tahun 1815 atau

    1880.29

    Masuknya Sistem Tanam Paksa pada tahun 1830 telah menyebabkan

    suatu perubahan yang besar dalam struktur perekonomian dan masyarakat

    Jawa. Kaum tani kecil yang tersebar luas resah dan sebagai akibatnya adalah

    terjadinya migrasi besar-besaran terutama ketika pada awal tahun 1830-an

    banyak karesidenan yang mengalami kegagalan panen dan kekurangan

    makanan.

    Walaupun setelah tahun 1835 undang-undang dan peraturan

    mengenai kebijakan ini telah diperbaiki namun tanah garapan di bawah

    tanaman wajib tetap diperluas. Selain itu semakin banyak tenaga kerja untuk

    tanaman-tanaman ini ditarik dari sektor pertanian asli dan jumlah landrente

    yang harus dibayarkan terus meningkat. Gabungan dari dampak inflasi dan

    hilangnya tanah, tenaga kerja dan bencana alam inilah yang kemudian

    menimbulkan guncangan hebat bagi ketersediaan pangan masyarakat Jawa

    Tengah pada waktu itu. Jelas bahwa Sistem Tanam Paksa di wilayah ini tidak

    memberi kontribusi perbaikan kemakmuran masyarakatnya.

    29Ibid, hlm. 331.

  • 53

    Sementara itu pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa (kecuali

    wilayah Batavia, Madura dan Vostenlanden) setelah tahun 1880, pelaksanaan

    politik liberal telah terganggu dengan menurunnya kemakmuran penduduk.

    Hal itu dapat dilihat dari menurunnya ketersediaan pangan per orang di Jawa

    terutama beras pada periode itu (lihat tabel 5). Selain hal tersebut di atas

    fenomena sosial yang dapat menjelaskan rendahnya tingkat gizi masyarakat

    Jawa pada masa ini adalah merebaknya penyakit beri-beri.30 Walaupun

    penyakit ini telah menjadi endemi dalam kehidupan masyarakat Jawa namun

    pemerintah kolonial tidak menganggapnya sebagai ancaman yang serius atau

    sebagai the great disease sampai pertengahan abad ke-19.31

    Tabel 5

    Perkiraan Ketersediaan Pangan Beras dan Jagung Untuk Setiap Orang di Jawa 1880 1900

    (dalam Kg)

    Tahun Beras Jagung Jumlah

    1880 120 19 139 1885 119 24 143 1890 102 26 128 1895 108 28 136 1900 103 32 135

    Sumber: A.P. den Hartog, Toward Improving Public Nutrition: Nutrition Policy in Indonesia before Independence dalam AM. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi, 1989) hlm. 106.

    Pada tahun 1835 Residen Probolinggo menyatakan bahwa salah satu

    distrik di wilayahnya yang berpenduduk padat telah diserang oleh beri-beri

    dan mengakibatkan 100 penderitanya meninggal dunia. Paruh kedua abad

    30Lihat A.P. den Hartog, Toward Improving Public Nutrition: Nutrition

    Policy in Indonesia before Independence dalam AM. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi, 1989), hlm 107-108.

    31D. Schoute, De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de

    negentiende eeuw (Batavia Centrum: Druk G Kolff & Co., 1936), hlm. 363

  • 54

    ke-19, Beri-beri muncul di Semarang pada tahun 1861. Penyakit ini

    menjangkiti anak-anak yang berada di panti asuhan yang dikelola oleh

    Katholik dan Protestan di kota tersebut. Anak-anak yang diasuh di panti

    asuhan Katholik terdiri dari 66 anak laki-laki dan 175 anak perempuan, 114

    diantaranya telah dijangkiti oleh beri-beri dan mengakibatkan 12 anak

    meninggal dunia. Sementara itu anak-anak yang tinggal di panti asuhan

    Protestan terdiri dari 68 anak laki-laki dan 152 anak perempuan. Dari jumlah

    tersebut tidak diketahui secara pasti berapa anak yang tenderita beri-beri,

    namun 12 penderitanya meninggal dunia.32

    Selain diakibatkan oleh rendahnya nutrisi dan vitamin yang

    dikonsumsi melalui makanan, penyakit ini juga disebabkan buruknya rumah

    atau tempat tinggal. Kasus di Semarang ini disinyalir kuat disebabkan oleh

    hal tersebut di atas. Anak-anak yang terserang beri-beri adalah anak-anak

    yang tinggal di rumah lantai dasar dari rumah tingkat. Di lantai dasar rumah

    tersebut akses untuk mendapatkan udara segar dan sinar matahari sangat

    kurang. Selain itu diperparah dengan buruknya sumber air yang digunakan

    untuk air minum sehari-hari.

    Pada tahun 1865 dan 1870 penderita beri-beri semakin meningkat

    terutama yang terjadi diantara nara pidana di Batavia. Untuk mengatasi hal

    tersebut pasien beri-beri ini kemudian dipindahkan ke barak-barak yang

    dibangun di Bogor. Setelah tahun 1870, di Batavia kemudian dibangun

    semacam rumah perawatan khusus penderita beri-beri yang terletak di

    Kampung Makassar. Di tempat ini diharapkan pasien akan lebih cepat

    disembuhkan dari pada perawatan dilakukan di rumah sakit Weltevreden.

    Pada tahun 1871, 434 pasien beri-beri telah dirawat di Kampung Makassar,

    12 diantaranya meninggal dunia dan 50% penderitanya dapat disembuhkan

    32D. Schoute (1937), op.cit, hlm. 172.

  • 55

    dengan cepat.33 Tabel di bawah ini menunjukkan peningkatan penderita beri-

    beri yang dipindahkan dari Batavia ke Bogor.

    Tabel 6 Penderita Beri-Beri yang dipindahkan

    dari Batavia ke Bogor

    Tahun Jumlah

    Penderita Tahun

    Jumlah Penderita

    1859 1860 1861 1862 1864

    61 13 18 30 6

    1866 1867 1868 1869 1870

    45 31

    250 334 172

    Sumber: D. Schoute, De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw (Batavia Centrum: Druk G Kolff & Co., 1936), hlm. 365

    C. Upaya Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Ketersediaan

    Sarana Kesehatan

    Hampir semua pengamat sependapat bahwa tidak ada upaya

    kesehatan yang sistematis dan terencana dengan baik yang dilakukan oleh

    pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 ini kecuali vaksinasi. Jika pada

    sekitar tahun 1800, epidemi cacar bisa menyebabkan 40 kematian per seribu

    orang, maka menjelang tahun 1870 proporsi tersebut berkurang sampai

    dengan 1 per seribu menjelang tahun 1870. Menurut Boomgaard, penurunan

    yang luar biasa dalam jumlah kematian karena penyakit cacar ini umumnya

    disebabkan oleh dilaksanakannya vaksinasi.34

    Namun Peper dan Widjojo tidak sependapat dengan Boomgaard,

    menurut mereka kampanye vaksinasi yang dikerahkan oleh penguasa

    kolonial tidak mungkin efektif karena pada waktu itu persyaratan organisasi

    dan ilmiah supaya langkah-langkah itu berhasil masih kurang sekali. Paling

    33Ibid. 34Peter Boomgaard (2004), op.cit, hlm. 329.

  • 56

    tidak ada dua alasan penting mengapa mereka menyangsikan keberhasilan

    vaksinasi tersebut. Pertama bahwa mustahil vaksinasi bisa mencapai seluruh

    penduduk. Kedua kalaupun misalnya semua orang telah berhasil divaksinasi,

    vaksin yang digunakan sering telah mati, karena sampai akhir abad ke-19

    sarana untuk menjaga agar vaksin itu tetap aktif tidak ada.

    Persoalan lain yang sangat menarik dalam hubungannya dengan hal

    ini pada abad ke-19 adalah upaya pemberantasan penyakit kelamin terutama

    syphilis. Seperti telah sedikit disinggung di atas bahwa penyakit ini lebih

    berkembang di kota-kota yang menjadi pusat-pusat pemukiman bagi orang

    Eropa. Menurut Ingleson, penyakit kelamin pada abad ke-19 semakin meluas

    keberadaannya setelah tahun 1870 seiring dengan semakin pesatnya

    perkembangan perusahaan perkebunan swasta asing di Jawa. Rumah sakit

    syphilis pertama kali didirikan oleh Raffles di Yogyakarta pada tahun 1811.35

    Kebijakan ini kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan

    mendirikan bangunan-bangunan yang terbuat dari bambu di sekitar areal

    prostitusi. Bangunan ini dimaksudkan untuk menampung pasien penderita

    penyakit kelamin terutama para wanita pelacur. Kemunculan rumah sakit

    (stadsverband) di kota-kota besar Jawa mulai pada pertengahan abad ini

    kemudian dijadikan sebagai tempat penampungan para pelacur yang

    mengidap penyakit kelamin. Misalnya dalam inspeksinya di Surabaya pada

    tahun 1851, Dr. Bosch, Kepala Dinas Kesehatan pada waktu itu, menemukan

    180 pelacur yang mengidap syphilis ditempatkan dalam sebuah ruangan

    yang sempit. Dalam ruangan itu satu tempat tidur ditempati 2 atau 3 orang

    pasien.36

    Sementara itu untuk usaha kuratif, sampai tahun 1880 dapat

    dikatakan tidak ada rumah sakit sipil selain di kota-kota besar Jawa yaitu

    Batavia, Semarang, dan Surabaya. Orang-orang Eropa yang memerlukan

    35John Ingleson, Prostitution in Colonial Java dalam David P. Chandler and

    M.C.Riklefs (ed), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. (Victoria: Southeast Asia Studies Monash University, 1986), hlm. 123.

    36D. Schoute, 1937, op.cit. hlm. 157.

  • 57

    perawatan kesehatan ditampung di rumah sakit-rumah sakit tentara.

    Sementara rumah sakit sipil pada masa ini sebenarnya tidak lebih untuk

    merawat para wanita tuna susila yang terjangkit penyakit kelamin,

    sedangkan untuk para penderita sakit jiwa dirawat di penjara.