kondisi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota dan ... · terjadi di suatu negara, baik di negara...
TRANSCRIPT
KONDISI KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH SOULMA ARUM MARDIANA
H14080055
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
SOULMA ARUM MARDIANA. H14080055. Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).
Ketimpangan ekonomi antar wilayah disebabkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah. Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001 hingga 2010 yang dianalisis menggunakan Indeks Williamson menunjukkan adanya konvergensi. Namun, terdapat perbedaan yang sangat jauh antara PDRB per kapita tertinggi dengan terendah pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, sehingga kecenderungan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur masih cukup tinggi. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam mengatasi ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah relatif tertinggal dan memacu pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat dan Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan kuantitatif, yakni tujuan pertama diukur menggunakan Indeks Williamson, tujuan kedua diidentifikasi menggunakan Klassen Typology, dan tujuan ketiga dianalisis menggunakan metode data panel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang diukur menggunakan Indeks Williamson cenderung menurun, namun masih termasuk dalam ketimpangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,52-0,58. Ketimpangan ekonomi selama periode analasis berfluktuasi dan cenderung menurun sebesar 0,034 poin pada tahun 2010 apabila dibandingkan dengan tahun 2001. Berdasarkan klasifikasi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menggunakan Klassen Typology, terdapat enam kabupaten/kota yang masuk daerah maju dan pertumbuhan cepat dengan persentase sebesar 15,80 persen dari jumlah total kabupaten/kota, sembilan kabupaten/kota masuk dalam daerah berkembang cepat dengan persentase sebesar 23,68 persen dari jumlah kabupaten/kota, dua kabupaten/kota masuk daerah maju tetapi tertekan dengan persentase sebesar 5,26 persen dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota, dan 21 kabupaten/kota masuk daerah relatif tertinggal dengan persentase sebesar 55,26 persen dari keseluruhan kabupaten/kota. Berdasarkan analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, tabungan dan anggaran pembangunan signifikan berpengaruh terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah yang sebaiknya dilakukan yaitu meningkatkan jumlah guru di daerah tertinggal agar kualitas pendidikan dapat meningkat dengan cara memberikan insentif dan fasilitas yang memadai kepada guru yang mau mengajar di daerah tersebut, meningkatkan jumlah dokter di daerah tertinggal agar kualitas kesehatan dapat meningkat dengan cara memberikan tunjangan maupun rumah dinas bagi dokter yang bersedia mengabdi di daerah tersebut, dan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan ekonomi agar dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah relatif tertinggal. Misalnya mengembangkan sektor pertanian yang memiliki peranan paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Pengembangan agribisnis dengan basis padat karya sebaiknya dilakukan agar lapangan pekerjaan di daerah tertinggal dapat meningkat dan hal ini juga dapat meningkatkan daya saing dari komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran pembangunan di daerah relatif tertinggal untuk pembiayaan perbaikan dan pengembangan infrastruktur maupun kualitas pendidikan dan kesehatan, serta sektor-sektor lain yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu lebih cepat.
KONDISI KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH SOULMA ARUM MARDIANA
H14080055
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Soulma Arum Mardiana
NIM : H14080055
Judul Skripsi : Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar
Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap
Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa
Timur
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 1957 0904 1983031005
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 1964 1022 1989031003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2012
Soulma Arum Mardiana H14080055
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Soulma Arum Mardiana lahir pada tanggal 3 Januari 1990
di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Penulis merupakan anak kedua dari
dua bersaudara, dari pasangan Nurud Dhuha dan Sri Supadmi Rahayu. Jenjang
pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menyelesaikan jenjang sekolah
dasar pada SDN Pucang II Sidoarjo, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Sidoarjo
dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 3
Sidoarjo dan lulus pada tahun 2008.
Pada tahun 2008, penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Koperasi
Mahasiswa dan beberapa kepanitiaan yang diadakan himpunan mahasiswa.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul skripsi ini
adalah “Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan
Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”.
Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan salah satu permasalahan di
Indonesia yang belum mampu diatasi dengan baik. Pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur yang tinggi, tidak membuat daerah tersebut terbebas dari
masalah ketimpangan antar wilayah. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut dan
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan
perekonomian, terutama pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Disamping
hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis selama
proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama yang
telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Deniey Adi Purwanto, M.SE selaku dosen penguji komisi pendidikan yang
telah memberikan masukan untuk skripsi ini.
4. Kedua orang tua penulis, Nurud Dhuha dan Sri Supadmi Rahayu, serta
seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan restu kepada penulis selama
menyelesaikan skripsi ini.
5. Dedi Budiman Hakim, Ph.D sebagai Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
6. Teman-teman penulis, khususnya Ilmu Ekonomi 45 untuk kebersamaannya.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2012
Soulma Arum Mardiana H14080055
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ v
I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......... 11
2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah .................................. 11
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ................................................. 14
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ................................................................................. 17
2.3.1 Sumber Daya Manusia................................................. 17
2.3.2 Infrastruktur .................................................................. 18
2.3.3 Anggaran Pembangunan............................................... 19
2.3.4 Tabungan ...................................................................... 19
2.4 Penelitian Terdahulu .............................................................. 20
2.6 Kerangka Pemikiran ............................................................... 24
III. METODE PENELITIAN ................................................................ 27
3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 27
3.2 Metode Analisis ...................................................................... 27
3.2.1 Analisis Ketimpangan EkonomiAntar Wilayah ........... 27
3.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah ................... 29
3.2.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB .................................................................... 30
3.3 Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik .............................. 34
3.3.1 Multikolinearitas ........................................................... 34
3.3.2 Autokorelasi .................................................................. 34
ii
3.3.3 Heteroskedastisitas ........................................................ 35
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ...................... 36
4.1 Kondisi Geografis .................................................................. 36
4.2 Wilayah Administratif dan Kependudukan ........................... 36
4.3 Kondisi Sosial ........................................................................ 39
4.4 Kondisi Perekonomian ........................................................... 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 44
5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur ........................................................... 44
5.2 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur .......................................................... 45
5.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Daerah Tertinggal di Provinsi Jawa Timur ............................ 47
5.4 Implikasi Kebijakan untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah Relatif Tertinggal di Provinsi Jawa Timur ................. 52
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 59
6.1 Kesimpulan ............................................................................. 59
6.2 Saran ....................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 61
LAMPIRAN ............................................................................................. 64
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Nasional Tahun 2004-2010 (Persen) ..................... 4
1.2 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (juta Rupiah) ................................................................ 8
3.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen .............................................................................. 30
4.1 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) ........................................ 43
5.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Menurut Tipologi Klassen ........................................... 46
5.2 Hasil Uji Hausman ........................................................................... 48
5.3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB di Daerah Relatif Tertinggal menggunakan Fixed Effect Model ...... 49
5.4 Notasi Variabel Bebas dan Deskripsi pada Model Estimasi Laju PDRB Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur ........... 51
5.5 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur ......................................................................... 52
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................................... 16
2.2 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 26
4.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2006-2010 (persen) ............................ 41
5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 1998-2010 ........................................... 44
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 ........ 65
2. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ........ 66
3. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 (Rp Juta) ......................................... 67
4. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 (Rp Juta) ......................................... 68
5. Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur ......................................... 69
6. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ................................................ 70
7. Hasil Uji Hausman ........................................................................... 71
8. Hasil Estimasi Model ....................................................................... 72
9. Cross Section Effects ........................................................................ 73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena
global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara
dunia ketiga saja. Kesenjangan ekonomi telah menjadi permasalahan yang umum
terjadi di suatu negara, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara maju timbul karena dianutnya sistem
ekonomi kapitalis pada negara tersebut. Sistem tersebut justru menyebabkan
kesenjangan semakin melebar, bahkan menimbulkan krisis seperti yang terjadi di
Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.
Ketimpangan ekonomi antar wilayah yang terjadi pada negara berkembang
umumnya muncul karena adanya proses pembangunan yang sedang berlangsung.
Pembangunan ekonomi lebih banyak dilakukan pada daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya yang baik. Sedangkan potensi sumber daya di
setiap daerah berbeda. Kemampuan yang dimiliki setiap wilayah untuk
membangun daerahnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya yang
dimiliki daerah tersebut, misalnya sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya buatan (modal dan infrastruktur), sumber daya sosial yang meliputi
ekonomi, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, letak geografis,
sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi
perkembangan pembangunan dan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan yang dicapai masyarakat di setiap daerah berbeda.
2
Pembangunan ekonomi merupakan cara bagi suatu negara untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan ekonomi
dilakukan secara berkesinambungan dan terencana untuk dapat menciptakan
kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Program pembangunan ekonomi
sebaiknya dilakukan di seluruh penjuru negara agar lebih merata. Pembangunan
ekonomi bukan hanya dikerjakan di wilayah pusat pemerintahan saja, tetapi juga
di daerah-daerah lain agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua kalangan
masyarakat. Program yang sebaiknya dijalankan oleh suatu negara adalah dengan
cara memacu sektor industri terutama yang berbasis padat karya, sehingga dapat
menyerap tenaga kerja yang banyak dan akan mengurangi pengangguran.
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) juga
dapat dijadikan program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Negara yang
telah sukses mengembangkan program ini adalah India dengan koperasi susunya.
Pemerintah juga harus memperhatikan infrastruktur yang ada di wilayahnya.
Infrastruktur yang memadai dapat menarik pemodal untuk menginvestasikan
dananya di wilayah tersebut. Infrastruktur juga salah satu modal yang dimiliki
suatu daerah dalam meningkatkan produktivitasnya. Faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi pembangunan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia,
peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Malaysia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki laju
pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat inflasi rendah. Pertumbuhan ekonomi
yang baik ini didukung oleh tenaga terdidik dan trampil yang cukup banyak, serta
kondisi politik yang stabil. Pemerintah Malaysia telah mengadakan investasi yang
besar dalam bidang pendidikan. Berkat keberhasilan investasi pendidikan dan
3
program penciptaan lapangan kerja, Malaysia memiliki angka kemiskinan yang
tergolong rendah di kalangan negara-negara berkembang, yaitu sekitar 15 persen.
Program yang dilakukan oleh Cina pada tahun 1975 untuk meningkatkan
perekonomiannya dikenal dengan istilah “Program Empat Modernisasi”. Program
ini bertujuan untuk melipatgandakan produksi pertanian secara cepat,
mengembangkan industri, memacu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta memperkuat pertahanan nasional. Pada tahun 1980, disahkan rencana
pembangunan yang mencakup pengembangan reformasi pertanian (pemberian hak
sewa tanah dalam jangka panjang dan pemberian ijin kepada para petani untuk
melakukan spesialisasi dalam bercocok tanam serta terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan nonpertanian), hak swamanajemen, pengenalan persaingan pasar yang
lebih besar, keringanan pajak bagi perusahaan swasta, dan pemberian aneka
fasilitas kemudahan bagi pengusaha Cina untuk menjalin hubungan langsung
dengan mitra-mitranya atau semua pengusaha di mancanegara. Reformasi ini
membuahkan keberhasilan yang besar. Tingkat pendapatan nasional, output
pertanian dan industri meningkat 10 persen per tahun selama periode 1980-1990.
Pendapatan riil petani meningkat dua kali lipat, penghasilan para pekerja di
perkotaan naik setengahnya. Cina juga berhasil dalam swasembada pangan.
Sektor industri di pedesaan berkembang pesat dan mampu menyerap surplus
tenaga kerja (Todaro, 2003).
Penelitian pertama mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia dilakukan
oleh Hendra Esmara pada tahun 1975 menggunakan Indeks Williamson sebagai
ukuran ketimpangan antar wilayah. Namun penelitian ini belum menghasilkan
kesimpulan yang jelas karena keterbatasan data. Kemudian penelitian dilanjutkan
4
oleh Uppal dan Handoko pada tahun 1986, dari penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia lebih
tinggi daripada di negara maju. Selain itu, indeks ketimpangan cenderung
meningkat, hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah di Indonesia
belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan antar wilayah membawa
implikasi negatif dan mendorong timbulnya kecemburuan sosial daerah
terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan permasalahan sosial
dan politik apabila tidak segera diatasi (Sjafrizal, 2008).
Provinsi Jawa Timur menjadi penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau
Bali. Lokasi Jawa Timur yang strategis menjadikan provinsi ini sebagai pintu
gerbang perdagangan antara Kawasan Tengah, Kawasan Timur dan Kawasan
Barat Indonesia. Sehingga Jawa Timur memiliki peluang yang besar dalam
pembangunan ekonomi.Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diduga dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi. Provinsi Jawa Timur
menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta yang memiliki laju pertumbuhan
paling tinggi.
Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Nasional Tahun 2004-2010 (dalam persen)
Daerah Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
DKI Jakarta 5,65 6,01 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51 Jawa Barat 4,77 5,60 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09
Banten 5,63 5,88 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94 Jawa Tengah 5,13 5,35 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84
DI Yogyakarta 5,12 4,73 3,70 4,31 5,03 4,43 4,87 Jawa Timur 5,83 5,87 5,80 6,11 6,16 5,01 6,68
Nasional 5,05 5,60 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi
nasional. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Jawa Timur terus mengalami
5
kemajuan. Meskipun perekonomian di Jawa Timur menunjukkan kemajuan, tetapi
berdasarkan hasil pendapatan daerah, namun kemajuan ekonominya tidak
diimbangi dengan adanya pemerataan antar kabupaten/kota. Hal ini
mengindikasikan bahwa Provinsi Jawa Timur tidak terbebas dari masalah
ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota.
Kesenjangan ekonomi antar wilayah masih banyak terjadi di Indonesia,
khususnya di Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu
provinsi yang Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat memberikan dampak
negatif, misalnya adanya urbanisasi dari desa ke kota.Menurut Todaro (2003),
migrasi dapat memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota
secara langsung. Dalam sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan
meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui batasan
pertumbuhan penduduk. Kehadiran para pendatang cenderung melipatgandakan
tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga yang
sangat bernilai di pedesaan semakin berkurang.
Ketidakseimbangan struktural akibat migrasi dalam sisi permintaan yaitu
penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal
daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, sehingga permintaan tenaga kerja
di perkotaan cenderung menurun. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi
dapat memperburuk tingkat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan
keterbelakangan di pedesaan. Migrasi meningkatkan pengangguran di perkotaan
yang dapat menimbulkan permasalahan sosial, seperti kriminalitas. Oleh karena
itu, masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah penting untuk segera diatasi
oleh pemerintah, agar tidak terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota.
6
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan ketimpangan ekonomi di Indonesia sudah muncul sejak tahun
1970-an.Perbedaan potensi sumber daya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia
menjadi salah satu penyebab ketimpangan yang terjadi di negara ini.Kurang
lancarnya mobilitas barang dan jasa, perbedaan pengelolaan ekonomi wilayah,
kondisi demografis juga menjadi penyebab lain dari ketimpangan ekonomi antar
wilayah. Masalah ketimpangan ekonomi antara Indonesia bagian barat dengan
Indonesia bagian timur pernah menjadi isu politik bahkan menimbulkan gerakan
separatisme. Adanya perbedaan pembangunan antara Indonesia bagian barat
dengan timur menimbulkan kecemburuan dari masyarakat di Indonesia bagian
timur. Pembangunan lebih diutamakan di daerah Indonesia bagian barat, termasuk
Pulau Jawa. Sehingga masyarakat di kawasan Indonesia timur melakukan
tindakan separatisme dengan membentuk suatu perkumpulan seperti Republik
Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kesenjangan
sosial-ekonomi bukan hanya terjadi diantara Pulau Jawa dengan Luar Jawa.
Permasalahan ini juga muncul di dalam Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa
Timur.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai pemerataan
sejak tahun 1969 dengan adanya program pembangunan jangka panjang yang
disebut Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Namun pada saat itu, pemerataan
belum menjadi prioritas utama. Sejak memasuki Pelita III (1979-1984) hingga
Repelita VI (1994-1999), pemerataan menjadi prioritas utama. Akan tetapi,
program ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kesejahteraan
masyarakat di Indonesia meningkat daripada masa-masa sebelumnya, tetapi
7
peningkatan ini tidak dengan sendirinya mengurangi ketimpangan ekonomi.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada masa Orde Baru dalam
mengatasi ketimpangan ekonomi adalah dengan membuat kebijakan mengenai
Otonomi Daerah, kemudian dibentuklah Undang-undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada Undang-undang ini,
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Meskipun telah dibentuk UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah
sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia, ketergantungan Pemerintah Daerah masih relatif tinggi
terhadap Pemerintah Pusat.
Setelah masa Orde Baru berakhir, UU No. 5 Tahun 1974 kemudian
digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengatasi
masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah. Keberadaan Otonomi Daerah
memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk membangun
wilayahnya dengan lebih baik dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di
daerahnya. Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk melakukan
pembangunan ekonomi dalam rangka mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
Karena wewenang ada pada Pemerintah Daerah maka diharapkan kegiatan
pembangunan yang dilakukan dapat lebih merata dan tepat sasaran, sehingga pada
akhirnya akan mengurangi kesenjangan antar wilayah.
8
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa masih ada jarak yang cukup jauh antara
PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari nilai PDRB
per kapita tertinggi pada tahun 2010 diduduki oleh Kota Kediri dengan nilai
sebesar 88,65 juta rupiah. Sedangkan PDRB per kapita terendah hanya sebesar
2,66 juta rupiah, sangat jauh dari rata-rata provinsi yang sebesar 9,49 juta rupiah.
Hal ini menunjukkan masih belum meratanya distribusi pendapatan antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
Tabel 1.2 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (juta Rupiah) No. Kode Kabupaten/Kota Nilai
1. 71 Kota Kediri 88,652. 78 Kota Surabaya 33,333. 73 Kota Malang 18,334. 15 Kab. Sidoarjo 14,375. 25 Kab. Gresik 14,126. 77 Kota Madiun 12,507. 76 Kota Mojokerto 10,788. 74 Kota Probolinggo 9,549. 16 Kab. Mojokerto 8,15
10. 4 Kab. Tulungagung 8,0011. 72 Kota Blitar 7,6712. 79 Kota Batu 7,5613. 10 Kab. Banyuwangi 7,0714. 23 Kab. Tuban 6,8615. 8 Kab. Lumajang 6,3916. 13 Kab. Probolinggo 6,3417. 75 Kota Pasuruan 6,1918. 7 Kab. Malang 6,1619. 12 Kab. Situbondo 5,45
No. Kode Kabupaten/Kota Nilai20. 18 Kab. Nganjuk 5,2321. 17 Kab. Jombang 5,2122. 6 Kab. Kediri 5,2123 20 Kab. Magetan 5,1024. 24 Kab. Lamongan 5,0425. 5 Kab. Blitar 5,0326. 9 Kab. Jember 4,9427. 22 Kab. Bojonegoro 4,8128. 29 Kab. Sumenep 4,5729. 14 Kab. Pasuruan 4,5630. 19 Kab. Madiun 4,5031. 3 Kab. Trenggalek 4,4232. 11 Kab. Bondowoso 4,4033. 2 Kab. Ponorogo 3,8434. 26 Kab. Bangkalan 3,7235. 21 Kab. Ngawi 3,6936. 27 Kab. Sampang 3,3037. 1 Kab. Pacitan 2,7538. 28 Kab. Pamekasan 2,66
Rata-rata Provinsi Jawa Timur 9,49Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Kesenjangan masih menjadi persoalan yang penting untuk diatasi oleh
pemerintah Provinsi Jawa Timur. Apabila kesenjangan tidak segera diselesaikan,
maka masalah ini dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kondisi sosial,
ekonomi, dan politik. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan
yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah:
9
1. Bagaimana kecenderungan ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Timur?
2. Apabila ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin melebar atau telah
berkurang namun masih cukup tinggi, berapa banyak daerah yang
termasuk daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di
daerah yang tertinggal?
4. Bagaimana implikasi kebijakan yang tepat dalam memacu pertumbuhan
ekonomi di daerah relatif tertinggal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.
2. Mengidentifikasi daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan.
4. Merumuskan implikasi kebijakan yang tepat dalam memacu
pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan dan masukan bagi pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam
10
merumuskan dan menentukan kebijakan yang tepat, sehingga dapat mengatasi
kesenjangan ekonomi di masa yang akan datang. Penelitian ini diharapkan juga
dapat berguna bagi masyarakat yang akan melakukan penelitian sejenis sebagai
bahan acuan untuk pengembangan pembangunan ekonomi khususnya di Provinsi
Jawa Timur dan wilayah lain secara umum.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menganalisis ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Salah satu cara untuk mengurangi
ketimpangan ekonomi adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada
daerah-daerah tertinggal di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, analisis faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan hanya pada
daerah-daerah yang tertinggal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah
Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan
pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah
merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.
Ketimpangan muncul karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan
perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah.
Sehingga kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi
berbeda. Oleh karena itu, pada setiap daerah terdapat wilayah maju dan wilayah
terbelakang. Ketimpangan juga memberikan implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antar wilayah yang akan mempengaruhi formulasi
kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah (Sjafrizal,
2008).
Beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi menurut
Sjafrizal (2008) adalah:
a. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya
alam pada masing-masing daerah mendorong timbulnya ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam
mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah
dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat
memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah
12
dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan
sumberdaya alam lebih rendah. Sehingga pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan menjadi lebih cepat.
b. Perbedaan Kondisi Demografis
Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat
pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan
dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam
tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat
daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan
cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal
ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
daerah.
c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah
dan migrasi. Apabila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan
produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang
membutuhkan. Migrasi yang kurang lancar dapat menyebabkan kelebihan
tenaga kerja pada suatu daerah. Akibatnya daerah terbelakang sulit
mendorong proses pembangunannya.
d. Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah
yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi cukup besar. Kondisi ini
13
akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah
Investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih
besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta
akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang
lebih cepat.
Upaya untuk menanggulangi ketimpangan ditentukan oleh faktor-faktor
penyebab ketimpangan yang telah diuraikan sebelumnya. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yaitu (a) penyebaran pembangunan
prasarana perhubungan; (b) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (c)
pengembangan pusat pertumbuhan; dan (d) pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi uang dihasilkan oleh
beberapa orang saja akan menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan yang
semakin parah. Kemiskinan dan ketimpangan akan menimbulkan pengaruh
negatif yang dapat merugikan masyarakat. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim
menyebabkan inefisiensi ekonomi, masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak
mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan bagi anak mereka ataupun
mengembangkan bisnis.
Disparitas (kesenjangan) pembangunan antar daerah dapat dilihat dari
kesenjangan dalam: (a) pendapatan perkapita, (b) kualitas sumber daya manusia,
(c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan
telekomunikasi, (d) pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dsb., dan (e)
14
akses ke perbankan. Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama
ini terutama disebabkan oleh: (a) distorsi perdagangan antar daerah, (b) distorsi
pengelolaan sumber daya alam dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan.
Distorsi sistem perkotaan-perdesaan menggambarkan tidak berfungsinya hierarki
sistem kota, sehingga menimbulkan over-concentration pertumbuhan pada kota-
kota tertentu, terutama kota-kota besar dan metropolitan di Pulau Jawa. Di sisi
lain, pertumbuhan kota-kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Padahal
idealnya, sebagai suatu sistem perkotaan-perdesaan, terdapat keterkaitan dan
interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara perkotaan dengan
perdesaan. Dalam perspektif tersebut, perkotaan perdesaan merupakan satu
kontinum (Daryanto, 2003).
Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang pertama kali
dikemukakan adalah Indeks Williamson pada tahun 1966. Indeks ini digunakan
oleh Jeffrey G. Williamson untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar
wilayah.
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat
yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added
value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam
nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah
tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar
dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah
15
selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut,
juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian
pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar
wilayah (Tarigan, 2004).
Boediono (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase
pertambahan output harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah
penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu
akan berlanjut. Ada ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu
pertumbuhan harus bersumber dari proses interen perekonomian tersebut,
ketentuan yang terakhir ini sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah
karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu
tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan
pertumbuhan itu terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti
ini sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh. Wajar apabila suatu wilayah
terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di
bandingkan wilayah lain. Akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu, wilayah
tersebut harus tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang
berlebihan.
Menurut Mankiw (2004), untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para
ekonom menggunakan data produk domestik bruto (PDB), yang mengukur
pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow
menunjukkan bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi dan kemajuan
teknologi mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya
16
sepanjang waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal
dan tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula
persediaan modal dan semakin tinggi output.
k
c Investasi = sf(k)
Output = f(k)
Depresiasi = δk y
i
Sumber: Mankiw, 2004 Gambar 2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam
Pertumbuhan Ekonomi
Terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu
investasi (i) dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan
usaha dan peralatan baru, hal ini menyebabkan persediaan modal bertambah.
Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, sehingga menyebabkan persediaan
modal berkurang. Setiap nilai k, jumlah output ditentukan oleh fungsi produksi
f(k), dan alokasi output itu di antara konsumsi (c) dan tabungan ditentukan oleh
tingkat tabungan s.
Dumairy (1996) menuliskan bahwa PDB secara umum disebut agregat
ekonomi, yang berarti angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi
suatu negara. Dari agregat ekonomi ini dapat diukur pertumbuhan ekonomi.
Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, harus menghilangkan pengaruh
17
perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga
berlaku, sehingga terbentuk angka agregat ekonomi menurut harga konstan.
Pola pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis menggunakan Klassen
Typology. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama,
yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Terdapat empat
karakteristik pola pertumbuhan ekonomi dalam tipologi ini, yaitu daerah maju dan
pertumbuhan cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan
daerah relatif tertinggal.
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Kemampuan suatu daerah dalam memajukan wilayahnya pasti dipengaruhi
oleh bermacam-macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi perlu diteliti agar dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Apabila
pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu, maka diharapkan hal ini
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
2.3.1 Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu modal yang penting bagi
pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Prahara (2010), sumber daya yang
dicerminkan pada kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, dan jumlah penduduk
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia
berhubungan dengan proses produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor
18
positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja merupakan modal
utama bagi suatu daerah untuk berproduksi.
Kualitas sumber daya manusia juga akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Apabila kualitas sumber daya manusia di suatu daerah
baik, maka diharapkan perekonomiannya juga akan lebih baik. Kualitas sumber
daya manusia dapat dilihat dari kualitas pendidikan, kesehatan, atau indikator-
indikator lainnya. Tingkat pendidikan yang baik akan mempengaruhi
perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk, sehingga akan
meningkatkan produktivitas dan kreativitas, serta menentukan kemampuan dalam
menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.
Kualitas pendidikan yang tinggi tidak akan berarti jika tingkat kesehatan
masyarakat relatif rendah. Tingkat kesehatan yang rendah akan memberikan
dampak pada produktivitas yang tidak maksimal. Sehingga kualitas kesehatan
harus dijaga dengan cara memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi
masyarakat. Sehingga produktivitas tenaga kerja semakin baik dan mampu
meningkatkan produksi yang berarti akan meningkatkan perekonomian.
2.3.2 Infrastruktur
Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha,
pembangunan, proyek, dan sebagainya. Infrastruktur menjadi elemen penting bagi
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah karena infrastruktur
memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan ekonomi. Contoh-contoh
infrastruktur adalah jalan raya, fasilitas air bersih, telekomunikasi, pertanian
teririgasi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, infrastruktur dianalisis melalui
panjang jalan, produksi air yang disalurkan kepada masyarakat, dan luas sawah
19
yang teririgasi. Kondisi jalan yang baik dapat memperlancar mobilitas barang dan
jasa. Fasilitas irigasi dapat memperbaiki kualitas lahan pertanian, sehingga
produktivitasnya akan meningkat. Ketersediaan air bersih merupakan penunjang
bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat. Selain itu air bersih juga menjadi
penunjang proses produksi suatu komoditi (Todaro, 2003).
2.3.3 Anggaran Pembangunan
Anggaran pembangunan merupakan dana yang dialokasikan untuk
pembangunan bagi suatu daerah. Pada penelitian yang dilakukan Prahara (2010),
anggaran pembangunan menjadi salah satu variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Anggaran tersebut menjadi salah satu alat yang
berperan penting dalam peningkatan pembangunan agar dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber
kekayaan daerah. Masyarakat yang sejahtera merupakan salah satu indikator
bahwa daerah tersebut telah berkembang dan mengalami kemajuan perekonomian.
2.3.4 Tabungan
Menurut model pertumbuhan Solow tingkat tabungan dalam jangka panjang
pada perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal. Semakin tinggi
tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output
(Mankiw, 2004). Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memunculkan
periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat
ketika kondisi mapan yang baru dicapai. Sehingga tabungan diduga dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah.
20
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai ketimpangan regional untuk tingkat nasional pernah
dilakukan oleh Prasasti (2006) dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil
yang diperoleh dari penelitian ini adalah kesenjangan ekonomi antar provinsi di
Indonesia selama periode 1993-2003 semakin merata, sebagaimana terlihat pada
Indeks Williamson yang semakin menurun. Nilai ketimpangan distribusi PDRB
per kapita pada tahun 1993 sebesar 1,5247. Nilai ketimpangan hingga pada tahun
1996 terus mengalami peningkatan menjadi 1,6794. Namun nilai ketimpangan
pada tahun 1997 menjadi 1,6778 dan terus mengalami penurunan. Sehingga pada
tahun 2003 nilai ketimpangan ini menjadi 0,8974. Hasil perhitungan konvergensi
yang bernilai negatif menunjukkan bahwa PDRB per kapita di daerah miskin
tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya dan telah terjadi penurunan kesenjangan.
Besarnya laju konvergensi adalah 4,5 persen per tahun selama periode 1993-
2003.
Fitria (2006), melakukan penelitian yang menganalisis kesenjangan
pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 1993-2004 dengan
menggunakan formulasi Williamson. Dari hasil analisis diperoleh bahwa tingkat
kesenjangan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis ekonomi periode
1993-1998 tinggi, sedangkan setelah krisis pada periode 1998-2004 tingkan
kesenjangan mulai menurun. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan pendapatan
sebesar 0,9908, sedangkan pada tahun 1996 menurun menjadi 0,9900. Pada
periode setelah krisis tahun 1998, tingkat kesenjangan kembali meningkat menjadi
0,9924, namun pada tahun 2004 kesenjangan menurun menjadi 0,9910.
Menurunnya tingkat kesenjangan ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang
21
lebih baik dan kualitas sumberdaya manusia yang meningkat juga. Perubahan
sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistis juga turut memberikan
pengaruh terhadap adanya penurunan kesenjangan. Otonomi daerah memberikan
kesempatan pada masing-masing wilayah untuk dapat mengembangkan potensi
sehingga daerahnya semakin maju dan pembagian pendapatn lebih merata. Hasil
analisis konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004
menunjukkan tidak ada konvergensi, dengan kata lain terjadi divergensi. Nilai
koefisien regresi lebih besar dari nol, maka tingkat pendapatan antar
kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak merata. Hasil pengujian faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan PDRB adalah: untuk periode 1993-1994 faktor yang
signifikan yaitu tingkat pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB periode 1997-1998 adalah
pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan pendidikan. Pada periode 2003-
2004 yang signifikan berpengaruh adalah jumlah penduduk. Untuk periode tahun
1993-2004 yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB antar
kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah tingkat pendapatan dan jumlah penduduk.
Penelitian yang dilakukan oleh Bhinadi (2003) mengenai disparitas
pertumbuhan ekonomi Jawa dengan luar Jawa menggunakan metode fixed effect
menunjukkan bahwa perbedaan angka pertumbuhan pendapatan per kapita riil
antara Jawa dengan luar Jawa terutama disebabkan oleh perbedaan produktivitas
faktor total. Pertumbuhan kapital secara positif juga signifikan di dalam
mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita dan mempunyai peran paling
besar dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas sumber
daya manusia. Peran pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas SDM
22
sangat kecil dan tidak signifikan di dalam model pertumbuhan ekonomi regional.
Pertumbuhan tenaga kerja mempunyai kontribusi negatif, dan kontribusi
pertumbuhan kualitas SDM kontribusinya positif. Hasil pengujian secara statistik
menggunakan uji t dan uji F untuk mengetahui ada tidaknya disparitas regional di
Indonesia memberikan hasil bahwa tidak terdapat disparitas pertumbuhan
pendapatan per kapita antara Jawa dengan luar Jawa.
Permasalahan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur pernah diteliti oleh
Kristiyanti (2007). Dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sektor Basis
Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur”, Kristiyanti mengatakan bahwa
ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori
ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1
(satu). Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat
analisa yang digunakan yaitu Location Quotient(LQ)untuk mengetahui sektor
basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk menghitung
tingkat ketimpangan pendapatan daerah.
Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan
indikator pendapatan daerah atau PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat
lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun
2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik,
gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor
pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis
yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar
23
dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan
ekspor daerah.
Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat
pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata
sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan
sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi
tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan
pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif
terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata
selama perode pengamatan sebesar 45 persen.
Purnamasyari (2010) melakukan penelitian mengenai kesenjangan
pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun
2001-2008 dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Williamson, Klassen
Typology dan model data panel. Indeks Ketimpangan Williamson digunakan
untuk mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend
kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota. Berdasarkan Indeks Ketimpangan
Williamson pada periode pengamatan tahun 2001-2008 kesenjangan pendapatan
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi
dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,61 sampai 0,69 yang berarti berada di
atas 0,50 sebagai batas kesenjangan taraf sedang. Ketimpangan selama periode
analisis berfluktuasi dan cenderung menurun dengan penurunan sebesar 0,03 poin
pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2001. Klassen Typology digunakan
untuk mengetahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota.
Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi
24
pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan
pertumbuhan cepat sebanyak 18,18 persen dari jumlah total kabupaten/kota.
Sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang
termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63,64 persen dari jumlah total
kabupaten/kota di Jawa Barat. Sedangkan model data panel digunakan untuk
mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota sehingga dapat diketahui faktor-faktor
yang dapat mendorong untuk membantu peningkatan PDRB terutama bagi daerah
miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Hasil analisis menggunakan data
panel menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan
terhadap PDRB, sedangkan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri
berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Indeks pendidikan dan
indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.
2.5 Kerangka Pemikiran
Karakteristik alam, ekonomi, sosial, dan budaya yang beraneka ragam pada
masing-masing daerah menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda.
Hal ini menyebabkan adanya beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat
sementara wilayah lain tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk
bertumbuh menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan
antar wilayah, sektor, golongan, dan desa-kota. Desentralisasi sistem pemerintah
merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan.
Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam
mengatur pembangunan wilayahnya. Setiap daerah diharapkan dapat
25
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh daerahnya agar dapat meningkatkan
kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Tujuan pembangunan ekonomi dapat dicapai melalui suatu perencanaan
yang baik dan terkendali. Perencanaan yang dibuat harus sesuai dengan
karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada
diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang besar dalam
penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan
dan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini
berupaya menjawab beberapa tujuan yaitu mengukur tingkat kesenjangan
ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan
Indeks Williamson. Besarnya nilai ketimpangan ekonomi setiap tahun selama
periode penelitian dapat diketahui, kemudian diplot ke dalam sebuah grafik agar
terlihat trend ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.
Analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan menggunakan Klassen
Typology. Klassen Typology dianalisis menggunakan data PDRB per kapita dan
laju pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah di Provinsi Jawa Timur.
Sehingga diperoleh hasil wilayah-wilayah yang mengalami kemajuan atau
kemunduranpada tahun 2010.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB di setiap kabupaten/kota yang
masuk ke dalam daerah tertinggal pada Klassen Typologydianalisis menggunakan
metode data panel dengan beberapa indikator yaitu kualitas pendidikan,
kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas
pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan. Setelah diketahui
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju PDRB, diharapkan pemerintah dapat
26
menentukan kebijakan yang sesuai agar terjadi peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan pada akhirnya mampu mengurangi ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Analisis Ketimpangan Ekon(Indeks Williamson)
omi
• Daerah maju dan pertumbuhan cepat • Daerah berkembang cepat • Daerah maju tetapi tertekan • Daerah relatif tertinggal
Rekomendasi Kebijakan Pemerintah
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB Daerah Tertinggal
Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah
(Klassen Typology)
Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota
Ketidakseimbangan Pertumbuhan Ekonomi Antar Wilayah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode
tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten dan kota yang dianalisis berjumlah 38, terdiri dari 29 kabupaten dan 9
kota. Data yang diperlukan meliputi: (1) jumlah penduduk, (2) PDRB, (3) jumlah
pekerja, (4) luas pertanian teririgasi, (5) panjang jalan, (6) anggaran pembangunan
daerah, (7) produksi air yang disalurkan, (8) tabungan, (9) rasio murid terhadap
guru, (10) rasio dokter setiap puskesmas. Sumber data tersebut diperoleh dari: (1)
BPS Pusat, (2) BPS Provinsi Jawa Timur, dan (3) literatur lain yang mendukung.
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010
dan software Eviews 6.
3.2 Metode Analisis
Metode yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan ekonomi
antar wilayah, analisis trend ketimpangan, dan analisis pola pertumbuhan
ekonomi dilakukan dengan metode deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB.
3.2.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah
Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diukur
menggunakan Indeks Williamson. Rumus Indeks Williamson adalah sebagai
berikut:
28
∑ .CVW =
Dimana:
CVW : Indeks Williamson
fi : Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa)
f : Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur (jiwa)
Yi :PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (Rp juta)
Y : PDRB per kapita Provinsi Jawa Timur (Rp juta)
Apabila nilai ketimpangan kurang dari 0,35 maka di daerah tersebut terdapat
ketimpangan namun rendah. Jika nilai ketimpangan di atas 0,5 maka ketimpangan
yang ada di daerah tersebut termasuk tinggi. Kriteria yang digunakan untuk
menentukan taraf ketimpangan adalah:
CVW < 0,35 : Kesenjangan taraf rendah
0,35 < CVW< 0,5 : Kesenjangan taraf sedang
CVW > 0,5 : Kesenjangan taraf tinggi
Trend ketimpangan diamati dari perkembangan nilai indeks ketimpangan
ekonomi antar wilayah yang diperoleh dari hasil perhitungan Indeks Williamson
yang digambarkan dalam sebuah grafik. Kemudian dianalisis secara deskriptif
bagaimana trend ketimpangan dalam grafik tersebut dapat terjadi.
Pada penelitian ini terdapat dua indeks Williamson, yaitu nilai indeks
Williamson berdasarkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dan nilai
indeks Williamson kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tanpa Kota Kediri dan
Kota Surabaya. Apabila menggunakan nilai indeks Williamson yang pertama,
maka nilai yang dihasilkan yaitu lebih dari 1 (Lampiran 5) sehingga tidak sesuai
29
dengan teori yang menyebutkan bahwa nilai indeks Williamson yaitu antara 0
hingga 1. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis nilai indeks Williamson
yang kedua, tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya, karena nilai yang dihasilkan
sesuai dengan teori. Nilai PDRB per kapita di Kota Kediri dan Kota Surabaya
yang sangat jauh dari rata-rata merupakan penyebab dari nilai indeks Williamson
yang melebihi 1. Sehingga penelitian ini tidak memasukkan Kota Kediri dan Kota
Surabaya ke dalam perhitungan nilai indeks Williamson yang dianalisis.
3.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Klasifikasi pertumbuhan ekonomi daerah dianalisis menggunakan Klassen
Typology (Tipologi Klassen). Tipologi Klassen membagi daerah berdasarkan dua
indikator utama, yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita.
Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan
ekonomi yang berbeda, yaitu:
1. Daerah maju dan pertumbuhan cepat, adalah daerah yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi
dibandingkan provinsi.
2. Daerah berkembang cepat, adalah daerah yang memiliki
tingkatpertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi pendapatan per kapitanya
lebih rendahdibandingkan provinsi.
3. Daerah maju tetapi tertekan, adalah daerah yang memiliki
tingkatpertumbuhan ekonomi rendah sedangkan pedapatan per
kapitanya lebih tinggi dibandingkan provinsi.
30
4. Daerah relatif tertinggal, adalah daerah yang memiliki
tingkatpertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah
dibandingkan provinsi.
Tabel 3.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen
PDRB per Kapita
Laju Pertumbuhan
Pendapatan per Kapita di Atas Rata-rata Provinsi
Pendapatan per Kapita di Bawah Rata-rata Provinsi
Laju Pertumbuhan di atas Rata-rata Provinsi
Daerah Maju dan Pertumbuhan Cepat
Daerah Berkembang Cepat
Laju Pertumbuhan di bawah Rata-rata Provinsi
Daerah Maju Tetapi Tertekan Daerah Relatif Tertinggal
Sumber: Sjafrizal, 2008
3.2.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur maka menggunakan analisis panel data.
Faktor-faktor yang dianalisis adalah kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah
pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi,
tabungan, dan anggaran pembangunan.
LPDRBit = α + β1 PDKit + β2KESit + β3 LNTKit + β4 LNJLNit + β5 LNAIRit
+ β6 LNPTNit + β7 LNTABit + β8 LNPEMit + eit
Dimana:
α : Intersep
β : Slope
i : Individu ke-i
t : Periode waktu ke-t
LPDRB : Laju PDRB (persen)
LNDIK : Logaritma natural rasio murid terhadap guru (orang)
LNKES : Logaritma natural jumlah penduduk terhadap jumlah dokter (orang)
31
LNTK : Logaritma natural jumlah pekerja (jiwa)
LNJLN : Logaritma natural panjang jalan (km)
LNAIR : Logaritma natural produksi air bersih (m3)
LNPTN : Logaritma natural luas pertanian teririgasi (Ha)
LNTAB : Logaritma natural tabungan (Rupiah)
LNPEM : Logaritma natural anggaran pembangunan (Rupiah)
e : Error
Berdasarkan hasil analisis data panel akan didapat besarnya nilai t-statistik,
F-statistik, dan R2. Nilai t-statistik menunjukkan apakah variabel bebas
berpengaruh signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan F-
statistik menunjukkan apakah variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh
signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Nilai R2 digunakan untuk
melihat sejauh mana keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas
terhadap variabel terikat.
Menurut Baltagi (1995), keunggulan penggunaan metode panel data
dibandingkan time series dan cross-section adalah:
1. Estimasi data panel dapat menunjukkan adanya heterogenitas dalam tiap
individu.
2. Dengan data panel, data lebih informatif dan bervariasi, sehingga
mengurangi kolinearitas antar variabel dan meningkatkan derajat
kebebasan (degree of freedom), serta lebih efisien.
3. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan
dinamis dibandingkan dengan studi berulang dari cross-section.
32
4. Data panel mampu mendeteksi dan mengukur efek yang secara
sederhana tidak dapat diukur oleh data time series atau cross-section.
5. Data panel membantu menganalisis perilaku yang lebih kompleks.
6. Data panel mampu meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi
individu karena unit data yang banyak.
Dalam analisis model data panel terdapat tiga macam pendekatan yaitu
Pooled Least Square (PLS), Model Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Model
Efek Acak (Random Effect Model). Ketiga pendekatan pada model data panel
akan dijelaskan berikut ini:
1. Pooled Least Square (PLS)
Dalam pendekatan ini terdapat regressor (K) dalam (xit), kecuali
konstanta. Jika efek individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan
spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan
model regresi biasa. Jika nilai αi sama untuk setiap unitnya, maka OLS
akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk α dan β.
PLS merupakan pendekatan yang sederhana, namun hasilnya tidak
memadai karena setiap pengamatan diperlakukan seperti pengamatan
yang berdiri sendiri.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Asumsi intersep dan slope yang konsisten pada model data panel
umumnya sulit terpenuhi. Variabel dummy berguna dalam mengatasi
masalah tersebut, sehingga perbedaan nilai parameter pada cross-
section maupun time series diperbolehkan. Pendekatan dengan
33
memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan istilah fixed effect
model (FEM) atau Least Square Dummy Variable (LSDV).
3. Random Effect Model (REM)
Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam FEM dapat
mengurangi besarnya derajat kebebasan, sehingga efisiensi dari
parameter yang diestimasi akan berkurang. Model data panel yang di
dalamnya melibatkan korelasi antar error term akibat berubahnya
waktu karena berbedanya observasi dapat diatasi dengan pendekatan
model efek acak (random effect model).
Untuk menentukan model yang layak digunakan maka model diuji
menggunakan uji Hausman. Uji Hausman adalah pengujian statistik sebagai dasar
pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Uji
Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : REM
H1 : FEM
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan Statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
m = (β - b)(M0 - M1)-1(β - b) ~X2 (K)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor
statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed
effect modeldan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model.
Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari X2-Tabel, atau nilai Hausman Test
lebih besar dari taraf nyata, maka tidak cukup bukti untuk melakukan penerimaan
34
).
ij2
terhadap H0. Sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, demikian pula
sebaliknya.
3.3 Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik
3.3.1 Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti terdapatnya hubungan linier yang sempurna
diantara beberapa variabel yang menjelaskan model regresi. Indikasi
multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak
koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-
hitung signifikan, maka patut dicurigai adanya multikolinearitas. Tanda-tanda
penyebab multikolinearitas yaitu :
• R2 tinggi tetapi uji individu tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak
ada yang nyata.
• Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (Rij tinggi
• R2< R
Nilai koefisien korelasi tidak boleh melebihi rule of thumb 0,8 karena
diduga mengandung multikolinearitas, namun hal ini dapat diabaikan dengan uji
Klen yaitu apabila nilai R2 lebih besar daripada koefisien korelasi variabel
eksogen.
3.3.2 Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu dan ruang. Akibat dari autokorelasi dapat
mempengaruhi efisiensi dan estimatornya. Dampak lain dari autokorelasi pada
model adalah varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada
35
semestinya sehingga menyebabkan R2 menjadi lebih tinggi. Untuk mendeteksi
adanya autokorelasi dapat menggunakan uji Breusch-Godfrey Correlation LM
atau dengan melihat nilai Durbin-Watson.
Hipotesis pada uji Breusch-Godfrey Correlation LM adalah sebagai berikut :
H0 : β = 0, tidak ada autokorelasi
H1 : β ≠ 0, ada autokorelasi
Cara menguji autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW) yaitu dengan
melihat nilainya. Apabila nilainya mendekati 2, maka menunjukkan tidak ada
autokorelasi.
3.3.3 Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model
BLUE adalah semua variasi dari faktor pengganggu adalah sama. Jika pada model
dijumpai hetersokedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak
bias dan konsisten. Dengan kata lain, apabila regresi tetap dilakukan meskipun
ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan tetap terjadi
misleading (Gujarati, 2003).
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada pengolahan data panel
yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu
dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum
Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted
Statistics lebih kecil dari Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi
heteroskedastisitas.
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR
4. 1 Kondisi Geografis
Provinsi Jawa Timur membentang antara 111° 0’ BT - 114° 4’ BT dan
7° 12’ LS - 8°48’ LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian
utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian selatan
berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Selat
Bali, dan daerah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Letak Jawa
Timur yang strategis memberikan keuntungan bagi daerah ini karena menjadi
penghubung antara wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian tengah.
Topografi di Provinsi Jawa Timur beragam, ada yang berupa pegunungan,
perbukitan, dan kepulauan. Oleh karena itu, wilayah ini memiliki sumber daya
pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertambangan yang potensial. Iklim di daerah
Jawa Timur termasuk dalam tropis lembab dengan curah hujan rata-rata 2.100 mm
setiap tahun. Suhu udara di daerah ini berkisar antara 18°-35° Celcius.
Struktur geologi di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh batuan sedimen
Alluvium. Batuan hasil gunung berapi juga tersebar di bagian tengah wilayah
Jawa Timur sehingga daerah ini relatif subur. Beragam jenis batuan yang tersebar
di Jawa Timur menyebabkan besarnya ketersediaan bahan tambang di wilayah ini.
4.2 Wilayah Administratif dan Kependudukan
Provinsi Jawa Timur memiliki 229 pulau dengan luas wilayah daratan
sebesar 47.130,15 km2 dan wilayah lautan seluas 110.764,28 km2. Provinsi ini
37
terbagi menjadi 29 kabupaten, meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek,
Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi,
Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang,
Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik,
Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, serta 9 kota, yaitu Surabaya,
Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto.
Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur
(Bakorwil) dibentuk guna memantapkan dan meningkatkan koordinasi
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta dalam rangka meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat di seluruh wilayah Jawa Timur. Terdapat empat
Bakorwil yaitu, Bakorwil-I yang berkedudukan di Kota Madiun, dengan wilayah
kerja meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten
Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung,
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Nganjuk.
Bakorwil-II berkedudukan di Kabupaten Bojonegoro, dengan wilayah kerja
meliputi Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban,
Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Kediri,
dan Kota Kediri. Bakorwil-III berkedudukan di Kota Malang, dengan wilayah
kerja meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan,
Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan
Kabupaten Bondowoso. Bakorwil-IV berkedudukan di Kabupaten Pamekasan,
dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan,
38
Kabupaten Sumenep, Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik,
dan Kabupaten Sidoarjo.
Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998 dari hasil
proyeksi penduduk oleh BPS Jawa Timur adalah sebanyak 33.447.470 jiwa. Kota
Surabaya menjadi daerah yang mempunyai jumlah penduduk paling besar, yaitu
2.373.082 jiwa. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah
Kota Mojokerto dengan 107.123 jiwa. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus
meningkat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur mencapai
37.070.731 jiwa. Dari data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi
Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki berdasarkan
data tersebut sebesar 49,37 persen dan penduduk perempuan sebesar 50,63 persen.
Sejak tahun 2000, pertumbuhan penduduk di Jawa Timur sudah berada di
bawah satu persen, yaitu sebesar 0,7 persen per tahun. Laju pertumbuhan
penduduk Provinsi Jawa Timur selama sepuluh tahun terakhir, periode 2000-
2010, seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan laju penduduk kecuali
Kabupaten Lamongan. Kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan penduduk
tertinggi adalah Kabupaten Sidoarjo dengan laju sebesar 2,21 persen per tahun.
Sepuluh kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan penduduk di atas 1
persen adalah Kabupaten Gresik dengan laju 1,59 persen, Kabupaten Sampang
dengan laju 1,58 persen, Kabupaten Pamekasan dengan laju 1,44 persen, Kota
Probolinggo dengan laju 1,26 persen, Kota Batu dengan laju 1,22 persen,
Kabupaten Mojokerto dengan laju 1,20 persen, Kabupaten Bangkalan dengan laju
1,20 persen, Kota Pasuruan dengan laju 1,02 persen, Kota Blitar dengan laju 1,01
persen, dan Kabupaten Pasuruan dengan laju 1,00 persen. Sedangkan
39
kabupaten/kota lainnya memiliki laju pertumbuhan penduduk di bawah 1 persen,
dan yang paling rendah lajunya adalah Kabupaten Lamongan dengan laju minus
0,02 persen.
4.3 Kondisi Sosial
Kondisi sosial di Jawa Timur berkaitan dengan kualitas pendidikan dan
kesehatan untuk masyarakat di daerah ini. Jawa Timur merupakan provinsi
dengan jumlah perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia. Kota Surabaya
memiliki lima perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Airlangga, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Negeri Surabaya, Politeknik Negeri
Surabaya dan IAIN Sunan Ampel. Sedangkan di Malang terdapat empat
perguruan tinggi negeri. Selain itu masih banyak lagi perguruan tinggi negeri yang
tersebar di wilayah Jawa Timur. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Provinsi
Jawa Timur diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah ini.
Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Timur pada tahun
1999 adalah 61,8 menduduki peringkat ke 22. Nilai IPM Jawa Timur dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, nilai IPM Jawa Timur sebesar
69,18 menduduki peringkat 20. Sedangkan pada tahun 2010, nilai IPM sebesar
71,62 berada di peringkat 18 dari 33 provinsi.
Kondisi kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
pengetahuan tentang pola hidup sehat, upaya pencegahan dan pengobatan
penyakit, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang terjangkau,
ketersediaan tenaga medis dan paramedis, apotik dan toko obat, lingkungan hidup,
tempat tinggal yang sehat dan bersih, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan diberikan
40
oleh Dinas Kesehatan bagi masyarakat di Provinsi Jawa Timur. Pemantauan
kesehatan pada anak balita dan anak pra sekolah dilakukan melalui deteksi dini
tumbuh kembang. Pemeriksaan tumbuh kembang di Jawa Timur pada tahun 2010
telah dilakukan pada 2.321.542 anak balita dan pra sekolah. Sedangkan pelayanan
kesehatan untuk anak usia sekolah difokuskan pada Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS).
Kualitas kesehatan didukung juga oleh keberadaan sarana kesehatan.
Terdapat 10 jenis sarana kesehatan yang ada di Provinsi Jawa Timur, yaitu Rumah
Sakit sebanyak 309 unit, Puskesmas sebanyak 950 unit, Puskesmas Pembantu
sebanyak 2.273 unit, Puskesmas Keliling sebanyak 1.063, Pondok Kesehatan
Desa sebanyak 1.608 unit, Desa Siaga sebanyak 8.501 unit, Posyandu sebanyak
45.603 unit, Pondok Bersalin Desa sebanyak 4.580 unit, Rumah Bersalin
sebanyak 236 unit, dan Balai Pengobatan Klinik 804 unit. Selain itu, kualitas
kesehatan untuk masyarakat juga didukung oleh banyaknya tenaga kesehatan di
Jawa Timur yang mencapai 64.400 orang.
4.4 Kondisi Perekonomian
Angka pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perubahan nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah yang dinilai atas dasar harga
konstan, sehingga dinamika perekonomian yang terjadi benar-benar berasal dari
pertambahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Semakin banyak jumlah
barang dan jasa yang diproduksi, maka semakin tinggi sisi permintaan barang dan
jasa dari konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pertumbuhan
ekonomi.
41
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur saat ini relatif stabil.
Berdasarkan Gambar 4.1 laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004-2006
cenderung konstan. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan pada tahun 2009, terjadi penurunan laju pertumbuhan
ekonomi, namun hal ini dapat diatasi, karena pada tahun 2010 laju pertumbuhan
ekonomi Provinsi Jawa Timur kembali meningkat.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Laju PDRB
(persen)
Tahun
Gambar 4.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010 (persen)
Laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998
mencapai angka negatif yaitu sebesar -6,71 persen. Hal ini terjadi karena adanya
krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Sehingga laju pertumbuhan ekonomi di
Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi mencapai nilai positif pada tahun 2001. Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2001 memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,37. Daerah
dengan laju pertumbuhan paling tinggi pada saat itu adalah Kabupaten Madiun
42
sebesar 10,11 persen. Sedangkan daerah yang memiliki laju pertumbuhan paling
rendah adalah Kabupaten Sampang dengan laju sebesar 1,53 persen.
Pada tahun 2010, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur mencapai
6,68 persen. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang tertinggi saat itu
sebesar 10,97 persen terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan laju
pertumbuhan ekonomi yang paling rendah sebesar 5,40 persen di Kabupaten
Sampang.
Kondisi perekonomian daerah juga dapat dilihat dari PDRB tiap sektor.
Sektor yang memberikan kontribusi besar dalam PDRB Jawa Timur pada tahun
1998 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran. Sektor tersebut
memberikan kontribusi sebesar 32.069.409,12 juta rupiah. Selain sektor
Perdagangan, Hotel, dan Restauran, sektor Industri Pengolahan, sektor Jasa-jasa,
dan sektor Pertanian turut berperan besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur.
Sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi sekitar 17,25 persen terhadap
PDRB, sektor Jasa-jasa berkontribusi sebesar 13,59 persen bagi PDRB, dan sektor
Pertanian memiliki kontribusi sebesar 11,24 persen bagi PDRB Jawa Timur.
Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi paling kecil adalah sektor
Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,57 persen. Kontribusi yang kecil ini
terjadi karena pada masa itu, sektor Pertambangan dan Penggalian belum terlalu
dieksploitasi karena masih minimnya teknologi yang dimiliki.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran memberikan kontribusi yang
tinggi bagi pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Timur, hal ini disebabkan
karena letak Jawa Timur yang strategis. Provinsi Jawa Timur menjadi
penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali dan Pulau Kalimantan.
43
Sehingga sektor perdagangan terus berkembang pesat dan memberikan dampak
yang besar bagi pembentukan PDRB. Peranan sektor ini pada tahun 1998 hingga
2002 menunjukkan peningkatan mencapai 42 persen. Namun pada tahun 2003,
peranannya menurun menjadi 27 persen. Sebaliknya, sektor Industri Pengolahan
justru menunjukkan peningkatan kontribusi terhadap PDRB yaitu sebesar 28
persen. Tiga sektor dengan kontribusi paling tinggi dalam pembentukan PDRB
tahun 2010 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran dengan kontribusi
sebesar 31 persen, sektor Industri Pengolahan berkontribusi sebesar 25 persen,
dan sektor Pertanian dengan kontribusi sekitar 15 persen.
Tabel 4.1 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen)
Lapangan Usaha Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pertanian 17,43 16,71 16,24 15,81 15,65 14,99Pertambangan dan Penggalian 1,96 2,02 2,11 2,17 2,21 2,26 Industri Pengolahan 27,55 27,27 26,92 26,52 25,96 25,38Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,72 1,33 1,43 1,39 1,36 1,36 Konstruksi 3,47 3,49 3,34 3,24 3,21 3,21 Perdagangan, Hotel, dan Restauran 29,07 28,55 29,17 29,75 29,91 31,03Pengangkutan dan Komunikasi 5,66 6,31 6,41 6,60 7,10 7,32 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4,94 5,19 5,30 5,40 5,42 5,45 Jasa-jasa 8,17 9,10 9,07 9,10 9,17 8,97
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2011
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
dihitung menggunakan data PDRB Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduk yang
terus meningkat dari tahun ke tahun juga mempengaruhi PDRB per kapita yang
diperoleh dari pembagian antara PDRB Provinsi Jawa Timur dengan jumlah
penduduk.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2001-2010 (diolah)
Ga upaten/Kota di Provinsi
Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
diamati melalui indeks ketimpangan antar wilayah yang dihitung dengan teori
Williamson (Lampiran 5). Nilai tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah
grafik. Grafik pada Gambar 5.1 yang berfluktuasi menunjukkan adanya perbedaan
ketimpangan pendapatan yang berbeda setiap tahun. Trend ketimpangan pada
0.48
0.5
0.52
0.54
0.56
0.58
0.6
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai CVW
Tahun
mbar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi KabJawa Timur Tahun 2001-2010
45
ndeks Williamson yang kecil menggambarkan tingkat kesenjangan
renda
5.2 lasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
diana
gambar cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2002.
Namun mulai tahun 2004 hingga 2009 trend ketimpangan cenderung terlihat stabil
pada nilai 0,54. Hasil akhir analisis trend ketimpangan berdasarkan grafik tersebut
menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan mengalami penurunan sebesar 0,015
pada akhir periode analisis yaitu tahun 2010. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur mengalami
penurunan, meskipun masih termasuk dalam karakteristik ketimpangan dengan
taraf tinggi.
Nilai I
h ataupemerataan yang baik, dan sebaliknya nilai Indeks Williamson yang
besar maka tingkat kesenjangan semakin tinggi. Indeks Williamson Provinsi Jawa
Timur menunjukkan nilai lebih dari 0,5 yang berarti ketimpangan ekonomi di
daerah tersebut tinggi. Nilai indeks tertinggi diperoleh pada tahun 2003 sebesar
0,59. Namun nilai Indeks Williamson dari tahun ke tahun menunjukkan
penurunan. Hal ini menandakan adanya peningkatan pemerataan antar wilayah di
Provinsi Jawa Timur. Sedangkan nilai Indeks Williamson yang terendah terjadi
pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,52. Meskipun masih dalam taraf kesenjangan
yang tinggi, tetapi Provinsi Jawa Timur telah berhasil mengurangi ketimpangan
yang terjadi di daerahnya.
K
Pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
lisis menggunakan Tipologi Klassen.Tipologi Klassen dilakukan dengan
cara membandingkan PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota dengan
46
Tahun 2010 Menurut Tipologi Klassen
PDRB per Kapita Provinsi Jawa Timur dan membandingkan laju pertumbuhan
ekonomi masing-masing kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data pada lampiran 6, Provinsi Jawa Timur
dapat dibagi menjadi empat klasifikasi Tipologi Klassen sebagai berikut:
Tabel 5.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur
PDRB per kapita (y) y1> y y1< y
Laju Pertumbuhan (r) r1> r Daerah maju dan
pertumbuhan cepat:
ggoto
Daerah berkembang cepat:
Kab. Tulungagung
Kab. Gresik Kota Malang
Kota Probolin Kota Mojoker Kota Madiun Kota Surabaya
Kab. Pacitan
Kab. Malang Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Bojonegoro Kab. Lamongan Kota Batu Kota Blitar
r1< r Daerah maju tetaptertekan:
Kot
latif l:
K Kab. Trenggalek
ng
i oso
an
i Daerah re
Kab. Sidoarjo a Kediri
tertinggaab. Ponorogo
Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Lumaja Kab. Jember Kab. Banyuwang Kab. Bondow Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Tuban Kab. Bangkal Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Pasuruan
47
Berdasarkan Tabel 5.2, terdapat enam daerah yang m asi
daerah maju dan pertumbuhan cepat. Lima daerah yang termasuk ke dalam daerah
maju dan pertumbuhan cepat merupakan wilayah perkotaan dan satu wilayah
enunjukkan bahwa daerah perkotaan bertumbuh lebih cepat
dan m
ilan daerah. Sisanya berada pada kategori daerah
maju tapi tertekan, yaitu sebesar 5,26 pe
Fokus utama yang dianalisis pada penelitian ini adalah melihat seberapa
besar pengaruh kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan,
produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran
latif tertinggal di Provinsi Jawa Timur yang
diperoleh dari hasil analisis Tipologi Klassen. Faktor-faktor yang mempengaruhi
asuk dalam klasifik
kabupaten. Hal ini m
aju daripada daerah kabupaten. Sedangkan pada daerah relatif tertinggal
didominasi oleh daerah kabupaten. Terdapat 21 wilayah yang masuk ke dalam
daerah relatif tertinggal, 20 wilayah merupakan daerah kabupaten dan satu daerah
perkotaan, yaitu Kota Pasuruan.
Daerah relatif tertinggal memiliki persentase sebesar 55,26 persen.
Sedangkan daerah maju dan pertumbuhan cepat memiliki persentase sebesar
15,80 persen. Kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah berkembang cepat ada
23,68 persen atau sebanyak semb
rsen. Dari perbandingan persentasi pada
masing-masing kategori wilayah, terlihat bahwa jumlah daerah relatif tertinggal di
Provinsi Jawa Timur masih sangat banyak, sedangkan hanya beberapa daerah saja
yang maju. Hal ini membuktikan bahwa ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur masih tinggi.
5.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRBDaerah Tertinggal di Provinsi Jawa Timur
pembangunan pada daerah re
48
laju P
itian. Heterogenitas unit cross sectionyang
ditun
DRB pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dianalisis agar
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Sehingga
daerah-daerah relatif tertinggal dapat memacu pertumbuhan ekonominya dengan
membuat kebijakan yang sesuai dan pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan
yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Kabupaten/kota yang
termasuk dalam daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur diestimasi
menggunakan metode data panel. Keunggulan dari metode data panel adalah
model ini memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk melihat heterogenitas tiap
unit cross section dari contoh penel
jukkan oleh perbedaan antar kabupaten/kota dapat diperoleh dengan
pendekatan fixed effect ataupun pendekatan random effect. Uji Chow tidak
digunakan dalam penelitian ini karena apabila menggunakan pendekatan pooled
least square, heterogenitas tiap unit cross section tidak dapat diestimasi. Dasar
statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan fixed effect
atau random effect menggunakan Uji Hausman. Nilai probabilitas Uji Hausman
sebesar 0,0000, lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Artinya tolak H0, maka
model yang digunakan adalah model fixed effect.
Tabel 5.2 Hasil Uji Hausman
Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 32.934585 8 0,0001
Hasil estimasi menggunakan fixed effect model dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Berdasarkan tabel tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh signifikan
aerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur. secara statistik terhadap PDRB d
49
R-squ efisien deter hasil estimasi se 0,466575
yang menunjukkan PDRB daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dapat
dijela
Daerah Relatif Tertinggal menggunakan Fixed Effect Model
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistik Prob.
ared (R²) atau ko minasi pada besar
skan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 46,66 persen.
Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pada tingkat
kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen), nilai probabilitas F-statistic yaitu
0,000000 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu variabel bebas
yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan dapat dinyatakan pula
bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. Uji signifikansi
individu (uji t) menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 5 persen yang
dibandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi, menunjukkan
bahwa empat variabel penjelas signifikan mempengaruhi variabel terikat. Satu
variabel penjelas lainnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dan terdapat tiga
variabel yang tidak signifikan dari delapan variabel bebas yang digunakan.
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB di
LNAIR
LNJLN
LNPEM
0,146504
0,300261
0,083601
0,094421
0,190789
0,029128
1,551596
1,573783
2,870121
0,1225
0,1173
0,0046*
LNDIK
LNKES
LNPTN
LNC
-0,380196
-0,417015
-0,114202
-17,98781
0,119492
0,094195
0,249117
5,378209
-3,181757
-4,427126
-0,458425
-3,344573
0,0017*
0,0000*
0,6472
0,0010
LNTAB TK
-0,028604 1,364902
0,016568 0,275378
-1,726493 4,956470
0,0860** 0,0000*
Kriteria Statistik Nilai RA -sqF-Pr istiD tson
-squared djusted R uared statistic ob(F-stat c) urbin-Wa stat
0,466575 0,384056 5,654159 0,000000 1,453012
∗ S pad a 5 p** S pad a 10
ignifikan a taraf nyat ersen ignifikan a taraf nyat persen
50
Men t Guj ), u pe l y k harus
memenuhi asumsi regresi klasik, model harus terbebas dari asalah
dalam itu heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Untuk
mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas, diberikan perlakuan
bandingkan Sum Square Resid pada
Weig
kan.
si sebagai berikut:
uru arati (2003 ntuk mem roleh mode ang bai
masalah-m
regresi ya
Generalized Least Square (GLS) dan mem
hted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Karena
model fixed effect yang digunakan telah diberi perlakuan GLS dengan Cross-
section weights maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat dihilangkan.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai
probabilitas t-statistik dan nilai probabilitas F-statistik. Dari hasil regresi, empat
variabel bebas signifikan pada taraf nyata 5 persen dan satu variabel signifikan
pada taraf nyata 10 persen, sedangkan nilai probabilitas F-statistik signifikan pada
taraf nyata 10 persen. Sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabai
Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi, maka dideteksi dengan
melihat nilai Durbin-Watson statistik. Nilai Durbin-Watson sebelum diberi bobot
dibandingkan dengan nilai sesudah diberi bobot. Apabila nilai Durbin-Watson
setelah diberi bobot lebih besar, maka asumsi adanya autokorelasi dapat
diabaikan.
Berdasarkan estimasi dan pengujian asumsi regresi klasik terhadap model
fixed effect, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut layak untuk
digunakan. Berdasarkan hasil estimasi model data panel dengan menggunakan
fixed effect setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan
hasil estima
51
LPDR
ggal di Provinsi Jawa Timur antara lain : kualitas
endidikan (LNDIK), kesehatan (LNKES), jumlah pekerja (LNTK), anggaran
pembangunan (LNPEM), dan tabungan (LNTAB). Sedangkan interpretasi dari
hasil estimasi adalah sebagai berikut:
Tabel 5.4 Notasi Variabel Bebas dan Deskripsi pada Model Estimasi Laju
Bit = 0,1465 LNAIRit – 0,3802 LNDIKit + 0,3003 LNJLNit – 0,4170
LNKESit + 0,0836 LNPEMit – 0,1142 LNPTNit - 0,0286
LNTABit + 1,3649 LNTKit - 17,9878 + [CX=F] + eit
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi
laju PDRB daerah relatif tertin
p
PDRB di Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur
No. Notasi Variabel Deskripsi
1.
LNDIK
Setiap peningkatan rasio murid terhadap guru sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris paribus).
sebesar 1 satuan 2.
7.
8.
LNKES
NPTN
Setiap peningkatan rasio jumlah penduduk terhadap dokter maka laju PDRB akan berkurang sebesar
0,4170 satuan (ceteris paribus).
(ceteris paribus).
3. LNTK Setiap peningkatan jumlah pekerja sebesar 1 orang maka laju PDRB akan meningkat sebesar 1,3649 satuan
4.
5.
6.
LNPEM
LNTAB
LNAIR
LNJLN
L
Setiap peningkatan anggaran pembangunan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan meningkat sebesar 0,0836 satuan (ceteris paribus).
Setiap peningkatan tabungan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris paribus).
Produksi air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
Panjang jalan tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
Lahan pertanian teririgasi tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
52
5.4 Implikasi Kebijakan untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah Re tin
1. Sumber Daya
Su a
be bu ga
embangunan ekonomi. Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi dapat
empengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah
an jumlah pekerja akan mampu meningkatkan
produ
2006 2007 2008 2009 2010
latif Ter ggal di Provinsi Jawa Timur Manusia
mber day manusia merupakan modal bagi pertumbuhan ekonomi karena
rhu ngan den n faktor produksi. Pekerja merupakan salah satu modal dalam
p
m
pekerja memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, peningkat
ktivitas, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu. Agar jumlah pekerja
dapat meningkat, maka perlu meningkatkan lapangan kerja. Pemerintah daerah
sebaiknya memperhatikan sektor apa saja yang memiliki potensi. Sehingga sektor-
sektor yang berpotensi tersebut dapat dikembangkan dengan baik agar
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
Tabel 5.5 Peranan Sekotor-sektor Perekonomian Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur
Lapangan Usaha Tahun
Pertanian
Perdagangan, Hotel, dan Restauran
Industri Pengolahan
Lainnya
37,79
22,69
13,13
26.39
37,34
23,43
13,08
26,15
37,24
23,41
14,24
25,11
36,80
23,65
14,16
25,39
36,07
23,92
14,06
25,95
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
Sekto nggulan di Provinsi Jawa Timur adalah sektor
perdagangan, hotel, dan restauran, sektor pertanian, dan sektor industri
. Namun pada daer if ter , pe ma
pengembangan pada sektor pertanian perlu dilakukan oleh pemerintah agar dapat
r-sektor yang menjadi u
pengolahan ah relat tinggal rtanian sih menjadi sektor
yang memiliki peranan cukup besar terhadap perekonomian. Oleh karena itu,
53
aing daer if ter . Selain itu, peranan dari industri
perlu ditingkatkan, indu il b padat karya sehingga
membutuhkan jumlah pekerja yang lebih banyak. Kebijakan yang sebaiknya
dilakukan oleh pemerintah yaitu mengembangkan lapangan pekerjaan di sektor
pertanian dengan basis padat karya agar dapat mempekerjakan orang lebih
banyak.
Peningkatan jumlah pekerja dinilai mampu meningkatkan laju PDRB bagi
daerah relatif tertinggal, namun peningkatan ini juga harus diiringi dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
berhubungan dengan kualitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Agar
kualitas sumber daya manusia membaik dan memiliki potensi dalam memajukan
perekonomian daerahnya maka kualitas pendidikan dan kesehatan harus
ditingkatkan.
Jumlah guru di daerah tertinggal harus ditingkatkan, sehingga rasio murid
terhadap guru akan berkurang dan memberikan pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Agar jumlah guru di daerah tertinggal dapat meningkat,
maka pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi guru-guru yang berkenan
mengajar di daerah tersebut. Misalnya memberikan rumah dinas, kendaraan dan
fasilitas-fasilitas lainnya agar banyak guru yang mau mengajar di daerah
tertinggal.
Berdasarkan Departemen Pendidikan Nasional, rasio murid terhadap guru di
Indonesia yaitu sebesar 1:14, sedangkan rasio murid terhadap guru di daerah
relatif tertinggal Provinsi Jawa Timur yaitu 1:16. Oleh karena itu perlu dilakukan
penambahan jumlah guru agar rasionya berkurang. Pemerataan jumlah guru juga
meningkatkan daya s ah relat tinggal
kecil juga karena stri kec erbasis
54
didikan di daerah tertinggal dapat merata.
erajinan agar masyarakat
memi
eningkatan jumlah
dokte
perlu dilakukan, agar guru-guru tidak terpusat di wilayah perkotaan saja, tetapi
juga di daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Hal ini perlu dilakukan agar
kualitas pen
Kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu
memberikan beasiswa kepada murid-murid berprestasi untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi. Namun dengan syarat apabila telah lulus, mereka akan
mengabdi di daerah asalnya sebagai guru. Dengan begini jumlah guru di daerah
tertinggal dapat mengalami peningkatan. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas yang memadai,
misalnya dengan mengadakan program pelatihan k
liki kemampuan khusus dan memiliki daya saing tinggi.
Kualitas kesehatan juga turut mempengaruhi potensi sumber daya manusia,
apabila kesehatan pekerja memburuk, maka dapat mengurangi produktivitas.
Sehingga peningkatan pelayanan kesehatan perlu dilakukan agar proses produksi
tidak terganggu dan berjalan lancar. Kualitas kesehatan diukur menggunakan rasio
jumlah penduduk terhadap dokter. Rasio jumlah penduduk terhadap dokter di
Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 1:12458, sedangkan rasio ini di daerah
tertinggal mencapai 1:15000. Oleh karena itu, perlu dilakukan p
r di daerah tertinggal.
Upaya peningkatan laju PDRB dapat dilakukan melalui penambahan jumlah
dokter pada setiap rumah sakit maupun puskesmas di daerah tertinggal. Agar
banyak dokter yang tertarik untuk betugas di puskesmas, maka pemerintah dapat
memberikan insentif seperti rumah dinas, kendaraan, ataupun tunjangan kepada
dokter yang mau bertugas di daerahnya. Pemerintah juga sebaiknya memberikan
55
aik, maka hal ini akan memberikan pengaruh positif
terhad
silitas-fasilitas yang dibutuhkan masyarakat
enunjang produktivitas di daerah tersebut. Oleh
karen
PDRB. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan tabungan berarti mengurangi
penyuluhan mengenai pentingnya kebersihan dan kesehatan bagi masyarakat.
Apabila kualitas kesehatan b
ap produktivitas masyarakat, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di daerah relatif tertinggal.
2. Anggaran Pembangunan
Anggaran pembangunan berguna untuk memberdayakan berbagai sumber
ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan per kapita dan mengurangi
kesenjangan ekonomi. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan memberikan
peranan penting dalam sektor perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Daerah dengan pembangunan yang maju dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonominya, karena fa
telah tersedia sehingga dapat m
a itu, pemerintah daerah sebaiknya meningkatkan anggaran pembangunan
untuk mengembangkan daerahnya. Pemasukan untuk anggaran pembangunan
dapat ditingkatkan melalui penggalian potensi-potensi sumber daya yang dimiliki
daerah tersebut. Anggaran ini dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur
ataupun kualitas pendidikan dan kesehatan di daerah tertinggal agar pertumbuhan
ekonomi di daerah ini dapat melaju dengan cepat dan tinggi.
3. Tabungan
Model Solow menunjukkan bahwa tingkat tabungan adalah determinan
penting dari persediaan modal. Jika tingkat tabungan tinggi, maka perekonomian
akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi.
Namun pada penelitian ini, tabungan signifikan berpengaruh negatif terhadap laju
56
an menurun dan laju
nomi juga menurun.
Dalam penelitian ini, infrastruktur diukur
melal
rdagangan antar wilayah akan
baik dan migrasi tenaga kerja akan berjalan lancar. Sehingga
keleb
ada
pertu
konsumsi, apabila konsumsi berkurang maka hasil kegiatan produksi tidak
memberikan keuntungan sebesar dahulu. Sehingga PDRB ak
pertumbuhan eko
Pemerintah sebaiknya berinvestasi dalam bentuk selain tabungan, misalnya
investasi pada sektor-sektor yang memiliki potensi yang besar terhadap
perekonomian seperti pertanian. Pemerintah dapat memberikan modalnya untuk
mengembangkan agribisnis dari hulu ke hilir agar dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal.
4. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha,
pembangunan, proyek, dan lain-lain.
ui panjang jalan, produksi air yang disalurkan, dan luas pertanian teririgasi.
Ketiga variabel tersebut belum mampu memberikan pengaruh terhadap
peningkatan laju PDRB pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur.
Jalan merupakan penunjang bagi proses mobilisasi barang dan jasa. Apabila
mobilitas barang dan jasa lancar, maka kegiatan pe
berkembang dengan
ihan produksi di suatu wilayah dapat disalurkan ke wilayah lain agar
memperoleh keuntungan. Migrasi tenaga kerja yang berjalan lancar dapat
mengurangi efek negatif dari kelebihan penawaran tenaga kerja, sehingga
kelebihan tenaga kerja di suatu daerah dapat disalurkan ke daerah lain yang
membutuhkan. Namun pada penelitian ini, panjang jalan tidak berpengaruh p
mbuhan ekonomi. Hal ini mungkin terjadi karena masih banyak jalan-jalan
yang rusak di daerah tertinggal. Jumlah jalan yang rusak di daerah relatif
57
oses produksi suatu komoditi.
Sehin
mungkin terjadi karena jumlah lahan pertanian teririgasi hanya
sekita
tertinggal mencapai 30 persen. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya
memperbaiki jalan-jalan di daerah tertinggal dan menambah jumlahnya agar dapat
meningkatkan perekonomian di daerah tersebut.
Penyediaan air bersih merupakan salah satu infrastruktur yang dapat
menunjang proses produksi di suatu daerah. Air bersih juga digunakan dalam
kegiatan produksi. Penyediaan air bersih dapat meningkatkan produktivitas,
sehingga air bersih ikut memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Namun pada penelitian ini produksi air bersih tidak berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Hal ini mungkin terjadi
karena produksi air yang disalurkan lebih banyak digunakan untuk konsumsi
masyarakat saja, bukan untuk penunjang pr
gga produksi air tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah
relatif tertinggal.
Pertanian teririgasi merupakan salah satu infrastruktur yang turut
menunjang perekonomian di suatu daerah. Pertanian merupakan salah satu sektor
yang memberikan kontribusi cukup besar bagi PDRB. Oleh karena itu,
peningkatan infrastruktur pada sektor pertanian mampu memberikan pengaruh
positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi pada daerah relatif tertinggal di
Provinsi Jawa Timur. Namun pada penelitian ini lahan pertanian teririgasi tidak
memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah relatif
tertinggal. Hal ini
r 10 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Lahan pertanian tidak hanya
dilihat dari besarnya jumlah sawah teririgasi, tetapi ada pula lahan pertanian
58
bukan sawah. Sehingga lahan pertanian teririgasi tidak mempengaruhi laju
pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal.
Pemerintah daerah sebaiknya mengalokasikan anggaran pembangunan
untuk mengembangkan atau memperbaiki infrastruktur di daerah tertinggal. Agar
infrastruktur yang ada dapat efektif memberikan pengaruh terhadap peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Selain itu, bantuan dana
dari pemerintah pusat juga diperlukan agar daerah tertinggal dapat meningkatkan
kualitas infrastruktur di daerah tersebut.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
selama periode analisis tahun 2001-2010 berada pada kesenjangan taraf
tinggi, yaitu lebih dari 0,50. Trend ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota berfluktuatif dan nilainya cenderung menurun dari tahun ke
tahun. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk dapat mengatasi
ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
2. Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2010, pola pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang masuk
dalam daerah relatif tertinggal, dengan persentase lebih dari 50 persen. Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal perlu dipacu
agar dapat mengejar daerah maju, sehingga ketimpangan ekonomi dapat
berkurang.
3. Berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB
daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah
pekerja, anggaran pembangunan dan tabungan mampu mempengaruhi laju
PDRB di daerah tertinggal.
4. Kebijakan pemerintah yang sebaiknya dilakukan yaitu meningkatkan jumlah
guru di daerah tertinggal agar kualitas pendidikan dapat meningkat dengan
cara memberikan insentif dan fasilitas yang memadai kepada guru yang mau
mengajar di daerah tersebut, meningkatkan jumlah dokter di daerah tertinggal
60
agar kualitas kesehatan dapat meningkat dengan cara memberikan tunjangan
maupun rumah dinas bagi dokter yang bersedia mengabdi di daerah tersebut,
dan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki peranan besar terhadap
pertumbuhan ekonomi agar dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah
relatif tertinggal. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran
pembangunan di daerah relatif tertinggal untuk pembiayaan perbaikan dan
pengembangan infrastruktur maupun kualitas pendidikan dan kesehatan, serta
sektor-sektor lain yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
6.2 Saran
1. Pemerintah daerah sebaiknya mengembangkan sektor pertanian yang
memiliki peranan paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan agribisnis sebaiknya dilakukan agar lapangan pekerjaan di
daerah tertinggal dapat meningkat dan hal ini juga dapat meningkatkan daya
saing yang dimiliki daerah tersebut. Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah
meningkatkan anggaran pembangunan untuk mengembangkan infrastruktur
dan meningkatkan kualitas pendidikan maupun kesehatan, agar pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu lebih cepat.
2. Pemerintah pusat sebaiknya menyediakan dana alokasi khusus kepada daerah
tertinggal agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki daerah tertinggal
dan membangun daerahnya dengan baik. Sehingga daerah tertinggal dapat
berkembang dengan cepat dan masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah
bisa diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2001. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 1998-2001. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2003. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 2000-2003. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 2004-2008. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur: Kabupaten/Kota Se Jawa Timur 2006-2010. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2001. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2001. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2002. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2002. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2003. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2003. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2005. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2005. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2006. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2006. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2007. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2007. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2008. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2008. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2009. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2009. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2010. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2010. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2011. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2011. Surabaya: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2001-2003. Jakarta: BPS.
62
Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2003-2004. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2004-2005. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2005-2006. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2006-2007. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2007-2008. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2008-2009. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2009-2010. Jakarta: BPS.
Bhinadi, Ardito. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa. Dalam: Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 8 (1): 39-48.
Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis. Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. Yogyakarta: BPFE.
Daryanto, Arief. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan Indonesia. Dalam Agrimedia Vol. 8 No. 2: 30-39.
Dumairy, M. A. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Fitria, Endang. 2006. Analisis Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Pulau Jawa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Firdaus, Muhammad. 2011. Ekonometrika: Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill.
Kristiyanti, L. 2007. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpoangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Mankiw, N. Gregory. 2004. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
63
Prahara, Guntur. 2010. Analisis Disparitas Antar Wilayah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prasasti, Diah. 2006. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita 30 Provinsi Di Indonesia Periode 1993-2003: Pendekatan Disparitas Regional dan Konvergensi. Dalam: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 21 (4): 344-360.
Purnamasyari, Meika. 2010. Analisis Kesenjangan Pendapatan Regional Kabupaten/Kota Periode Tahun 2001-2008 di Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.
Tarigan, Robinson. 2004. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2002
Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 Kab. Pacitan 532.726 535.674 538.392 542.556 546.150Kab. Ponorogo 864.424 866.995 869.359 875.448 880.701Kab. Trenggalek 663.790 667.582 671.076 677.185 682.465Kab. Tulungagung 949.197 954.853 960.067 968.983 976.691Kab. Blitar 1.100.663 1.105.902 1.110.726 1.121.716 1.131.222Kab. Kediri 1.454.244 1.464.954 1.474.840 1.493.209 1.509.135Kab. Malang 2.322.699 2.331.120 2.338.865 2.368.372 2.393.959Kab. Lumajang 987.939 993.971 999.533 1.009.349 1.017.839Kab. Jember 2.205.492 2.219.175 2.231.793 2.248.968 2.263.794Kab. Banyuwangi 1.526.870 1.533.679 1.539.948 1.552.867 1.564.026Kab. Bondowoso 700.692 704.831 708.646 714.836 720.183Kab. Situbondo 613.778 617.570 621.067 626.600 631.382Kab. Probolinggo 1.017.365 1.027.181 1.036.262 1.048.616 1.059.322Kab. Pasuruan 1.381.027 1.401.079 1.419.716 1.443.550 1.464.297Kab. Sidoarjo 1.592.385 1.638.669 1.682.278 1.738.285 1.787.771Kab. Mojokerto 938.758 954.161 968.502 989.965 1.008.740Kab. Jombang 1.152.962 1.163.083 1.172.439 1.187.178 1.199.958Kab. Nganjuk 1.015.318 1.022.050 1.028.260 1.041.812 1.053.569Kab. Madiun 653.421 655.243 656.918 660.873 664.282Kab. Magetan 621.738 621.222 620.750 621.160 621.511Kab. Ngawi 833.944 837.072 839.949 846.355 851.884Kab. Bojonegoro 1.195.706 1.204.542 1.212.700 1.226.691 1.238.811Kab. Tuban 1.061.529 1.069.618 1.077.088 1.087.121 1.095.795Kab. Lamongan 1.221.528 1.229.000 1.235.890 1.249.867 1.261.972Kab. Gresik 1.026.488 1.043.747 1.059.822 1.081.800 1.101.000Kab. Bangkalan 864.279 875.584 886.077 907.651 926.560Kab. Sampang 812.575 823.498 833.640 855.405 874.512Kab. Pamekasan 722.148 731.487 740.154 755.331 768.587Kab. Sumenep 1.016.812 1.024.843 1.032.260 1.045.501 1.056.985Kota Kediri 251.697 251.872 252.033 253.287 254.367Kota Blitar 122.683 123.027 123.344 124.203 124.944Kota Malang 756.294 762.155 767.567 773.703 779.002Kota Probolinggo 196.591 198.493 200.252 203.056 205.490Kota Pasuruan 172.840 174.859 176.730 179.587 182.072Kota Mojokerto 110.100 111.087 111.999 114.339 116.383Kota Madiun 169.595 169.536 169.481 170.260 170.931Kota Surabaya 2.633.067 2.647.283 2.660.381 2.681.092 2.698.972Kota Batu 170.030 173.763 177.256 181.631 185.467Prov. Jawa Timur 35.633.394 35.930.460 36.206.060 36.668.408 37.070.731Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002
66
Lampiran 2. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010
Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 Kab. Pacitan 549.768 553.865 557.029 558.644 540.756Kab. Ponorogo 885.986 892.527 895.921 899.074 855.087Kab. Trenggalek 687.786 691.207 675.380 675.765 674.928Kab. Tulungagung 984.460 992.248 988.731 992.048 990.841Kab. Blitar 1.140.809 1.144.528 1.070.122 1.070.446 1.116.870Kab. Kediri 1.525.231 1.531.187 1.451.630 1.451.861 1.500.340Kab. Malang 2.419.822 2.442.422 2.413.779 2.425.311 2.447.051Kab. Lumajang 1.026.400 1.034.334 1.024.849 1.028.103 1.007.251Kab. Jember 2.278.718 2.293.740 2.320.844 2.327.957 2.349.213Kab. Banyuwangi 1.575.265 1.580.441 1.531.753 1.535.701 1.556.101Kab. Bondowoso 725.571 727.790 707.242 708.905 737.347Kab. Situbondo 636.200 638.537 623.042 624.888 648.249Kab. Probolinggo 1.070.137 1.081.063 1.043.671 1.044.237 1.096.933Kab. Pasuruan 1.485.342 1.496.474 1.448.370 1.452.629 1.512.767Kab. Sidoarjo 1.838.666 1.869.350 1.781.405 1.802.948 1.952.376Kab. Mojokerto 1.027.871 1.041.269 1.005.486 1.013.988 1.025.566Kab. Jombang 1.212.876 1.233.279 1.285.739 1.301.459 1.202.827Kab. Nganjuk 1.065.459 1.073.126 1.000.132 1.002.530 1.017.108Kab. Madiun 667.709 667.841 642.518 642.638 662.249Kab. Magetan 621.862 622.966 625.424 626.092 620.216Kab. Ngawi 857.449 860.029 834.847 836.767 817.123Kab. Bojonegoro 1.251.051 1.263.411 1.263.551 1.270.876 1.209.729Kab. Tuban 1.104.538 1.107.691 1.078.641 1.080.956 1.118.651Kab. Lamongan 1.274.194 1.281.176 1.189.087 1.189.615 1.179.770Kab. Gresik 1.120.541 1.142.817 1.194.821 1.215.603 1.180.299Kab. Bangkalan 945.863 965.568 956.996 973.681 909.059Kab. Sampang 894.046 914.016 902.429 919.548 879.238Kab. Pamekasan 782.076 795.801 835.101 851.690 797.429Kab. Sumenep 1.068.595 1.076.592 1.016.907 1.017.147 1.042.859Kota Kediri 255.452 258.734 270.374 272.610 267.832Kota Blitar 125.689 127.338 132.278 133.408 132.239Kota Malang 784.337 791.970 816.637 820.857 820.787Kota Probolinggo 207.953 210.446 226.643 230.464 217.417Kota Pasuruan 184.591 185.507 174.073 174.173 186.636Kota Mojokerto 118.464 119.051 113.201 113.327 120.327Kota Madiun 171.605 173.447 178.291 179.391 170.965Kota Surabaya 2.716.971 2.720.156 2.630.079 2.631.305 2.768.729Kota Batu 189.384 192.059 187.813 189.604 190.176Prov. Jawa Timur 37.478.737 37.794.003 37.094.836 37.286.246 37.523.341Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
67
Lampiran 3. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 (Rp Juta)
Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 Kab. Pacitan 0,66 0,67 0,68 2,06 2,13 Kab. Ponorogo 0,80 0,83 0,85 2,82 2,92 Kab. Trenggalek 0,80 0,82 0,84 2,48 2,57 Kab. Tulungagung 1,23 1,27 1,32 5,77 6,01 Kab. Blitar 1,02 1,06 1,09 3,68 3,84 Kab. Kediri 1,04 1,05 1,08 3,36 3,47 Kab. Malang 1,26 1,20 1,24 4,42 4,59 Kab. Lumajang 0,99 1,01 1,04 4,53 4,71 Kab. Jember 1,04 1,07 1,11 3,48 3,64 Kab. Banyuwangi 1,21 1,24 1,28 5,17 5,38 Kab. Bondowoso 0,86 0,89 0,91 2,36 2,46 Kab. Situbondo 1,46 1,48 1,54 4,11 4,28 Kab. Probolinggo 1,39 1,43 1,46 4,67 4,84 Kab. Pasuruan 1,09 1,12 1,14 3,36 3,48 Kab. Sidoarjo 2,50 2,52 2,61 10,79 11,13 Kab. Mojokerto 1,40 1.,42 1,45 4,38 4,53 Kab. Jombang 0,97 0,99 1,03 3,82 3,98 Kab. Nganjuk 1,15 1,18 1,23 3,35 3,50 Kab. Madiun 0,91 0,93 0,96 3,06 3,18 Kab. Magetan 1,03 1,06 1,10 3,85 4,03 Kab. Ngawi 0,84 0,85 0,87 2,69 2,80 Kab. Bojonegoro 0,87 0,93 0,95 3,46 3,59 Kab. Tuban 1,12 1,15 1,18 4,09 4,35 Kab. Lamongan 0,94 0,97 0,99 2,96 3,07 Kab. Gresik 4,58 4,72 4,83 10,26 10,80 Kab. Bangkalan 0,94 0,96 0,98 2,83 2,91 Kab. Sampang 0,70 0,71 0,73 2,36 2,40 Kab. Pamekasan 0,68 0,68 0,69 2,05 2,11 Kab. Sumenep 0,92 0,93 0,95 3,72 3,81 Kota Kediri 25,96 25,23 26,07 74,01 73,88 Kota Blitar 1,43 1,48 1,53 4,37 4,59 Kota Malang 3,28 3,53 3,65 12,40 13,01 Kota Probolinggo 2,29 2,37 2,44 7,06 7,37 Kota Pasuruan 1,65 1,69 1,74 4,51 4,71 Kota Mojokerto 2,25 2,41 2,49 7,76 8,04 Kota Madiun 1,78 1,86 1,93 4,97 5,20 Kota Surabaya 5,33 5,50 5,73 21,00 22,18 Kota Batu - - 1,15 4,93 5,14 Prov. Jawa Timur 2,12 2,14 2,18 6,76 6,96 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
68
Lampiran 4. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 (Rp Juta)
Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 Kab. Pacitan 2,20 2,30 2,42 2,50 2,75 Kab. Ponorogo 3,04 3,22 3,39 3,45 3,84 Kab. Trenggalek 2,67 2,80 3,03 4,16 4,42 Kab. Tulungagung 6,29 6,60 7,00 7,49 8,00 Kab. Blitar 4,01 4,23 4,78 4,95 5,04 Kab. Kediri 3,59 3,73 4,11 5,08 5,21 Kab. Malang 4,80 5,05 5,39 5,83 6,16 Kab. Lumajang 4,91 5,14 5,47 5,91 6,39 Kab. Jember 3,82 4,02 4,22 4,70 4,94 Kab. Banyuwangi 5,59 5,89 6,43 6,75 7,08 Kab. Bondowoso 2,58 2,71 2,94 4,33 4,40 Kab. Situbondo 4,48 4,72 5,09 5,34 5,45 Kab. Probolinggo 5,06 5,31 5,82 6,27 6,34 Kab. Pasuruan 3,64 3,83 4,20 4,47 4,56 Kab. Sidoarjo 11,44 11,89 13,07 14,69 14,37 Kab. Mojokerto 4,69 4,91 5,38 7,72 8,16 Kab. Jombang 4,16 4,34 4,41 4,52 5,21 Kab. Nganjuk 3,67 3,87 4,40 4,99 5,23 Kab. Madiun 3,31 3,48 3,82 4,37 4,49 Kab. Magetan 4,24 4,46 4,67 4,78 5,10 Kab. Ngawi 2,93 3,07 3,33 3,39 3,69 Kab. Bojonegoro 3,76 3,93 4,16 4,26 4,81 Kab. Tuban 4,65 4,98 5,48 6,69 6,86 Kab. Lamongan 3,21 3,38 3,87 4,68 5,05 Kab. Gresik 11,33 11,86 12,05 12,84 14,12 Kab. Bangkalan 2,98 3,07 3,24 3,29 3,72 Kab. Sampang 2,45 2,49 2,64 2,99 3,30 Kab. Pamekasan 2,16 2,23 2,24 2,36 2,66 Kab. Sumenep 3,92 4,07 4,48 4,45 4,57 Kota Kediri 77,38 79,85 79,98 82,17 88,65 Kota Blitar 4,84 5,07 5,19 7,13 7,67 Kota Malang 13,70 14,41 14,84 17,19 18,33 Kota Probolinggo 7,71 8,11 7,97 8,46 9,54 Kota Pasuruan 4,90 5,15 5,78 6,26 6,19 Kota Mojokerto 8,33 8,78 9,73 10,73 10,78 Kota Madiun 5,47 5,74 5,93 11,14 12,50 Kota Surabaya 23,44 24,88 27,34 32,63 33,33 Kota Batu 5,37 5,66 6,19 7,08 7,56 Prov. Jawa Timur 7,28 7,61 8,01 8,95 9,49 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
69
Lampiran 5. Indeks Willi mson Provinsi Jaw Timur a a
Tahun f Y (Rp juta) ∑(Yi-Y)².fi/f CVW 2001 35.463.364 2,11839513 5,976215683 1,1540 2002 35.756.697 2,141752722 5,803169837 1,1248 2003 36.206.060 2,182541336 6,147504048 1,1360 2004 36.668.408 6,762334754 56,27689359 1,1093 2005 37.070.731 6,964751065 58,38940262 1,0971 2006 37.478.737 7,283740683 64,241617 1,1004 2007 37.794.003 7,612085289 70,08324792 1,0998 2008 37.094.836 8,013551045 78,04702057 1,1024 2009 37.286.246 8,950280651 96,37785508 1,0969 2010 37.523.341 9,488442824 105,7307258 1,0837
Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur Tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya
Tahun f Y (Rp juta) ∑(Yi-Y)².fi/f CVW 2001 32.578.600 1,345527 0,556599 0,554471 2002 32.857.542 1,386190 0,661335 0,586662 2003 33.293.646 1,420178 0,695715 0,587317 2004 33.734.029 4,498724 5,904927 0,540154 2005 34.117.392 4,683265 6,466784 0,542995 2006 34.506.314 4,887805 7,052579 0,543326 2007 34.815.113 5,125613 7,741769 0,542843 2008 34.194.383 5,477609 8,662544 0,537318 2009 34.382.331 6,258428 11,21820 0,535176 2010 34.486.780 6,627198 11,88644 0,520231
CVW = ∑ .
70
Lampiran 6. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010
Kode Kabupaten/ Kota
Laju Pertumbuhan PDRB (Persen)
PDRB per kapita (Rupiah)
1 Kab. Pacitan 6,66 2.751.4632 Kab. Ponorogo 5,89 3.840.2173 Kab. Trenggalek 6,16 4.423.3344 Kab. Tulungagung 6,65 8.000.4295 Kab. Blitar 6,12 5.036.5226 Kab. Kediri 6,07 5.213.2297 Kab. Malang 6,57 6.162.1088 Kab. Lumajang 5,94 6.387.7749 Kab. Jember 6,16 4.949.43110 Kab. Banyuwangi 6,26 7.076.06511 Kab. Bondowoso 5,69 4.401.97012 Kab. Situbondo 5,89 5.448.05013 Kab. Probolinggo 6,25 6.344.98214 Kab. Pasuruan 6,23 4.565.88815 Kab. Sidoarjo 5,92 14.372.75016 Kab. Mojokerto 6,87 8.156.36117 Kab. Jombang 6,65 5.213.42818 Kab. Nganjuk 6,32 5.232.56019 Kab. Madiun 5,96 4.499.14220 Kab. Magetan 5,81 5.105.78521 Kab. Ngawi 6,19 3.695.46422 Kab. Bojonegoro 10,97 4.811.07323 Kab. Tuban 6,30 6.863.53824 Kab. Lamongan 6,86 5.047.90425 Kab. Gresik 6,89 14.119.22826 Kab. Bangkalan 5,47 3.723.31027 Kab. Sampang 5,40 3.305.63028 Kab. Pamekasan 5,77 2.662.16329 Kab. Sumenep 5,51 4.575.25071 Kota Kediri 5,99 88.649.98872 Kota Blitar 6,66 7.672.40373 Kota Malang 6,60 18.335.82374 Kota Probolinggo 6,41 9.543.54975 Kota Pasuruan 5,99 6.194.10576 Kota Mojokerto 6,66 10.783.24177 Kota Madiun 6,97 12.503.15178 Kota Surabaya 7,47 33.331.72679 Kota Batu 7,16 7.561.791
Provinsi 6,68 9.488.443Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
71
Lampiran 7. Hasil Uji Hausman
H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01 Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 32.934585 8 0.0001
Nilai Prob (0,0001) < α 5% maka tolak H0, artinya model yang dipilih adalah model Fixed Effect.
72
Lampiran 8. Hasil Estimasi Model
Dependent Variable: LPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/18/12 Time: 22:33 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 21 Total panel (balanced) observations: 210 Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNAIR 0.146504 0.094421 1.551596 0.1225 LNDIK -0.380196 0.119492 -3.181757 0.0017 LNJLN 0.300261 0.190789 1.573783 0.1173 LNKES -0.417015 0.094195 -4.427126 0.0000 LNPEM 0.083601 0.029128 2.870121 0.0046 LNPTN -0.114202 0.249117 -0.458425 0.6472 LNTAB -0.028604 0.016568 -1.726493 0.0860 LNTK 1.364902 0.275378 4.956470 0.0000
C -17.98781 5.378209 -3.344573 0.0010
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.466575 Mean dependent var 1.682097 Adjusted R-squared 0.384056 S.D. dependent var 0.627735 S.E. of regression 0.255320 Sum squared resid 11.79911 F-statistic 5.654159 Durbin-Watson stat 1.453012 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.423570 Mean dependent var 1.495141 Sum squared resid 11.99207 Durbin-Watson stat 1.428532
73
Lampiran 9. Cross Section Effect
Daerah CROSSID Effect Kab. Ponorogo 1 0.045778 Kab. Trenggalek 2 0.345440 Kab. Blitar 3 -0.086570 Kab. Kediri 4 -0.900387 Kab. Lumajang 5 -0.134400 Kab. Jember 6 -1.213286 Kab. Banyuwangi 7 -0.866002 Kab. Bondowoso 8 0.198859 Kab. Situbondo 9 0.318449 Kab. Probolinggo 10 0.126292 Kab. Pasuruan 11 -0.785522 Kab. Nganjuk 12 -0.174383 Kab. Madiun 13 0.527946 Kab. Magetan 14 0.240138 Kab. Ngawi 15 0.178651 Kab. Tuban 16 -0.025408 Kab. Bangkalan 17 0.137540 Kab. Sampang 18 0.150267 Kab. Pamekasan 19 0.169234 Kab. Sumenep 20 -0.684677 Kota Pasuruan 21 2.432044