konsentrasi perbandingan mazhab fikih program...
TRANSCRIPT
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT
TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Moehammad Abdul Aziz
NIM: 1110043100012
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015 M/1437 H
ii
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT
TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Moehammad Abdul Aziz
NIM. 1110043100012
Di bawah Bimbingan:
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA.
NIP: 197608072003121001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015 M/1437 H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN
UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ” telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan
Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 15 Desember 2015
Mengesahkan
Dekan
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si ( ........................ )
NIP. 197412132003121002
Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA ( ........................ )
NIP. 197402162008012013
Pembimbing I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. ( ......................... )
NIP. 197608072003121001
Penguji I : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A ( ......................... )
NIP. 194512301967122001
Penguji II : Dr. H.Muhammad Taufiki, M.Ag ( ......................... )
NIP. 1965511191998031002
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu pernyataan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 03 Rabi’ al-Awwal 1437 H
15 Desember 2015 M
Moehammad Abdul Aziz
1110043100012
v
ABSTRAK
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM
MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ adalah skripsi hasil karya
Moehammad Abdul Aziz, NIM 1110043100012, pada konsentrasi Perbandingan
Mazhab Fikih, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M/1436 H.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti segi maslahah dalam Fatwa MUI
tentang Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, yang mana beliau
berpendapat agar memeperhatikan kemaslahatan duniawi dengan tidak
mengesampingkan kemashlahatan ukhrawi. Selanjutnya, penulis membandingkan
dengan review studi terdahulu yang membahas mengenai golput dan sistem
pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru. Sebagai pembeda, penulis
lebih menekankan kepada pembahasan maslahah yang terdapat dalam
rekomendasi MUI ini.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menekankan
kualitas data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis
yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan
menginterpretasikannya. Pengumpulan data dengan kajian kepustakaan dari
berbagai buku, artikel, berita dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan
dengan objek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan adanya relevansi antara teori maslahah al-
Syâthibî dengan maslahah yang ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Yaitu
sama-sama membahas kemaslahatan dunia dan akhirat, maslahah dunianya
merupakan idealnya seorang pemimpin dan maslahah akhiratnya adalah
ketakwaan serta keimanan seorang pemimpin.
Kata kunci : Fatwa MUI tentang Pemilu, teori maslahah al-Syâthibî
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2014
vi
بسم اهلل الّرحمن الّرحيم
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, puji serta syukur penulis ucapkan dan panjatkan
kehadirat Ilahi Rabbi, Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan
kemudahan, sehingga dengan izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada baginda Rasulullah
SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Allâhumma salli wa sallim wa bârik
‘alaihi.
Dan penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum dan Ibu Siti Hanna Lc.
M. Ag selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, serta memberikan arahan dalam
membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang
bermanfaat dan bapak dan ibu selalu mendapat pahala serta rakmat Allah
SWT.
vii
5. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staf perpustakaan
Sekolah Pascasarjana, dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ungkapan terima kasih, yang mungkin tidak bisa penulis ungkapkan dengan
kata, kepada kedua orang tua penulis: Ayah Saerozi dan Ibu Suparmi. Dan
juga kepada adik tercinta Siti Aulia Musyayyadah. Kalian yang terbaik.
7. Teman-teman kelas PMF A 2010, yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
8. Teman-teman Asatidz/dzah Pondok Pesantren Daarurrahmah, dan khususnya
Ust Yudi. Lc, Ust Veri Rosyadi, Ust Rio Purnomo, Ust Rivan M Arifin,
saudara Saifullah, Fakhri, Wahyudin A dan Ibnu M, Iin S kalian seperti
saudara.
9. Teman-teman KKN SOS 2013, atas pengalaman berharga bersosialisasi
dengan warga selama satu bulan dan terimakasih atas segala tawa dan
semangatnya.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan untuk para pembaca yang budiman, meskipun masih
terdapat banyak kekurangan dalam isi maupun penulisan skripsi ini. Dan semoga
amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Jakarta, 04 Safar 1437 H
17 November 2015 M
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 11
BAB II SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI
INDONESIA ........................................................................................ 12
A. Sekilas Tentang MUI ........................................................................ 12
1. Sejarah MUI ................................................................................ 13
2. Produk MUI ................................................................................. 15
B. Pemilihan Umum .............................................................................. 18
1. Pengertian Pemilu ........................................................................ 19
2. Tujuan Pemilu .............................................................................. 21
3. Sekilas tentang Sistem Pemilihan Umum .................................... 25
ix
4. Gambaran secara Umum Pemilu di Indonesia ............................. 27
BAB III MASLAHAH DALAM PANDANGAN AL-SYȂTHIBȊ ...................... 31
A. Pengertian Maslahah ..................................................................... 31
1. Pengertian secara Etimologi .......................................................... 31
2. Makna Terminologi ....................................................................... 32
B. Penerapan Maslahah ....................................................................... 36
C. Maslahah bagi al-Syâthibî ............................................................... 38
D. Pembagian Maslahah ..................................................................... 43
BAB IV ANALISIS TEORI MASLAHAH Al-SYȂTHIBȊ TERHADAP
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU ............................... 56
A. Rekomendasi MUI Tentang Pemilihan Umum ............................... 56
1. Teks Tentang Pemilu ................................................................... 56
2. Dasar Penetapan ........................................................................... 57
B. Relevansi Fatwa MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî ........... 61
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 72
A. Kesimpulan ...................................................................................... 72
B. Saran ................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Metode penerapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan sebagai
cara-cara menetapkan, meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber
dari nas-nas hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia, baik
menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu
disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu usȗl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang
membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (ijmâl). Cara
pemanfaatannya, dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yakni mujtahid.1
Salah satu konsep dalam syarak ialah usȗl al-fiqh yang mana sebagian besar
pembahasannya adalah kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan lafadz atau
arti dari kata seperti signifikasi amar adalah wajib dan signifikasi larangan adalah
haram.2 Dan usȗl al-fiqh, atau dasar-dasar hukum Islam, menguraikan tentang
indikasi-indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fikih dari sumber-
sumbernya. Indikasi-indikasi ini terutama ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah
yang merupakan sumber pokok dari syariah.3 Di antara materi yang termasuk
dalam fikih adalah menyelami tujuan syariah, mengetahui rahasia-rahasia serta
1. Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-Istiqra‟ aL-
ma‟nawi al-Syâthibî. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 79. 2. Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawâ‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset
2009, Cet. kedua), h. 64. 3. Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, Penerjemah
Noorhaidi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1996, Cet. Pertama), h. 1.
2
„illah-„illah (sebab)-nya, mengaitkan antara satu bagian dengan yang lain,
mengembalikan cabang-cabang pada aslinya, mengembalikan pula bagian-bagian
terkecil pada keseluruhannya, tidak berhenti pada zahirnya saja, dan tidak hanya
terikat pada arti tekstualnya.4
Mengenai sumber hukum Islam, diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa Umar r.a
pernah mengirim surat intruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “Apabila
engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam kitab
Allah, maka putuskan masalah itu dengannya, dan jangan seorang pun dapat
memalingkan keputusanmu darinya. Apabila masalah itu tidak dapat dalam kitab
Allah, tetapi terdapat dalam Sunnah Rasulullah SAW, maka putuskanlah masalah
itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat dalam Kitab Allah juga Sunnah
Rasulullah SAW, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh
imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak dalam Kitab-
Nya, Sunnah Rasulullah SAW maupun dalam keputusan para imam yang
mendapat petunjuk, maka anda bisa memilih di antara dua alternatif. Pertama,
berijtihad dengan pendapatmu. Kedua, meminta pertimbangan kepadaku. Aku
yakin anda meminta pertimbangan kepadaku tentu hanya akan membuat anda
lebih selamat.5”
Dari Hadis di atas dapat disimpulkan, bahwasanya sumber hukum Islam
mulai dari al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, lalu ada yang disebut dengan
ijtihad, metode inilah yang kebanyakan digunakan oleh ulama fikih dalam
4 . Yusuf Qardawî, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting,
Penerjemah Moh. Nurhakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 80. 5. Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khatab Ensiklopedia
Berbagai Persoalan Fikih, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009, Cet. Pertama), h. 9.
3
menetapkan suatu hukum. Dalam berijtihad, seorang mujtahid terkadang
menyampaikan bunyi lafaz dalam teks-teks syariah dan memberinya pengertian
baru, meskipun asing bagi lafaz itu. Cara ini disebut dengan metode maknawi,
suatu cara yang banyak digunakan ahli qiyâs, istihsân, istislâh.6
Tujuan-tujuan syariah ialah tujuan akhirnya serta rahasia-rahasia yang
diletakkan oleh Allah di dalam setiap ketentuan hukumnya. Dengan demikian
maka syariah itu pada dasarnya untuk mewujudkan tujuan umum dalam alam
nyata yaitu membahagiakan individu dan jama‟ah, memelihara aturan serta
menyemarakan dunia dengan segenap saran yang akan menyampaikannya kepada
jenjang-jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang paling
menonjol.7 Sesungguhnya norma perilaku ideal dan jalan hidup lurus yang sesuai
dengan syariah, memiki ruang lingkup dan tujuan yang jauh lebih luas dari pada
tata hukum biasa dalam sistem kehidupan hasil pemikiran barat. Melalui proses
ini, syariah bertujuan mengatur hubungan antar manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam serta lingkungannya.
Dengan asusmsi inilah, maka hukum syariah tak dapat dipisahkan dengan aspek
akhlak yang Islami (al-akhlâqu al-karîmah).8 Dalam tujuan hukum syarak, yang
merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam
setiap hukum Islam, ialah maslahah (kemaslahatan). Maslahah Islâmiyah yang
diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nas-nas
6. Hamka Haq, Falsafat Usȗ l al- Fiqh, (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h.
203. 7. Wahbah Al-Zuhaylî, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Munawar, M. Hadri Hasan (Ciputat Jaksel: Gaya
Media Pratama 1997, Cet. Pertama), h. 47. 8. Abdur Rahman, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, Penerjemah Basri Iba Asghary, Wadi
Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993, Cet. Pertama), h. 10.
4
agama adalah maslahah hakiki. Maslahah ini mengacu kepada pemeliharaan
terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini
disebabkan dunia, tempat hidup manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar
kehidupan yang lima itu. Tanpa terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai
kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.9
Kemaslahatan hidup duniawi maupun ukhrawi, baik untuk diri sendiri
maupun orang lain (dalam kasus ini keluarga) harus sama-sama diraih. Dengan
demikian, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih
kemaslahatan bagi dirinya apabila hal itu dapat menimbulkan mudarat bagi yang
lain. Demikian juga, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih
kemaslahatan ukhrawi dengan mengabaikan kemaslahatan duniawi, atau
sebaliknya.10
Dalam hal ini penulis mencoba untuk menganalisis segi maslahah yang
ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Fatwa adalah hasil ijtihad ulama yang
mempunyai kompetensi dalam hal ini. Seperti apa yang dibangun oleh Syâfi‟i,
sekali Syâfi‟i telah membangun landasan tekstual otoritatif bagi ijtihâd (qiyâs), ia
membatasi cakupan metode ini. Jelas, ketika al-Quran ataupun Sunnah telah
memberikan solusi hukum bagi sebuah persoalan tertentu, intervensi tidak
dibutuhkan. Akan tetapi, ketika muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak
memberikan suatu solusi, melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan,
melainkan kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang telah
9. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗ l al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet Basyir
dkk, (Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014, Cet. Ketujuh Belas), h. 579. 10
. Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah &
Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 39.
5
diformulasikan, seorang ahli fikih harus mencari kasus yang tekstual yang sama
untuk mencari solusi yang diberikan.11
Pemilu merupakan wadah untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
duduk di kursi pemerintahan, pada pemilu ini ada mekanisme dalam menentukan
pilihan bagi masyarakat yang mempunyai hak pilih tersebut. Sedangkan
pengertian pemilu yang dijelaskan dalam fatwa MUI tentang pemilu adalah upaya
untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi
terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan
bangsa. Dan dasar penetapan fatwa ini adalah firman Allah SWT:
/ (85:4)النساء
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu supaya menyampaikan amanat
kepada ahlinya. Apabila kamu menetapkan keputusan di antara manusia
hendaklah menetapkan dengan dalil. Sesungguhnya Allah memberikan
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”.
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah agar menyampaikan
amanat kepada ahlinya, meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan
pengembalian kunci Ka‟bah, karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan
oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau
mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana Hadis Nabi, maka hukum ayat
ini mencakup segala jenis amanat yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu,
Ibnu Abbas berkata, “Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni,
11
. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh Mazhab
Sunni, (Jakarta: PT Raya Grafindo, 2000, Cet. Pertama), h. 34.
6
amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada
ahlinya.”
Amanat yang dijelaskan dalam ayat di atas merupakan dasar penetapan
fatwa MUI tentang pemilihan umum, dan amanat ini harus diberikan kepada yang
pantas menerimanya, karena demi kemaslahatan semua rakyat di Indonesia.
Selanjutnya penulis ingin mengkaji segi maslahah yang ada dalam fatwa ini
dengan menggunakan teori maslahah al-Syâtibî yang menjelaskan tentang
maqâsid syarîah beserta pengertian maslahah. Untuk itu penulis termotivasi
mengkaji permasalahan dalam skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI
TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-
SYȂTHIBȊ”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan tidak berbeli-belit dan tidak berujung, maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini seputar metode penetapan
fatwa MUI mengenai pemilihan umum. Adapun hukum Islam yang dimaksud di
sini dilihat dari teori maslahah al-Syâtibî.
Setelah membatasi pembahasan, maka Penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI Tentang
Pemilu ?
2. Bagaimana Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan
teori maslahah al-Syâthibî ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI mengenai
Pemilu
2. Untuk mengetahui Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan
teori maslahah al-Syâthibî
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Program Studi PMH/Fakultas Syariah dan Hukum
Memberikan sumbangan Karya Ilmiah dan menambah literatur
perpustakaan atas tinjauan teori maslahah al-Syâtibî mengenai
Rekomendasi MUI tentang pemilu.
2. Bagi penulis
Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis serta pembentukan pola
berpikir kritis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
syariah.
D. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di
teliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau sama sekali belum pernah
diteliti. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah
melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu
yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh
penulis jika dilihat secara umum, namun jika ditelusuri lebih mendalam tentu ada
8
perbedaan dari sudut pembahasan maupun objek kajian di dalam penelitian ini.
Adapun penelitian tersebut di antaranya:
1. Fenomena golput di Indonesia pasca orde baru (studi kasus pada pemilu
2004) oleh Acu Nurhidayat dalam skripsi ini hanya menjelaskan masalah
golput, sejarah pemilu di Indonesia dan hanya menganalisis pada pemilu
2004. Namun sebagai pembeda, penulis membahas pemilu mulai dari
pengertian, sistem pemilu dan gambaran umum pemilu di Indonesia serta
lebih cenderung membahas Rekomendasi MUI tentang Pemilu, mulai dari
awal terbentuknya, dasar penetapannya teks tersebut. Dengan melihat
relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî dengan rekomendasi Fatwa ini.
Karena menurut hasil wawancara penulis dengan ketua komisi fatwa MUI
pusat, ada relevansi antara keduanya. Dari segi maslahah duniawi dan
maslahah ukhrawi.
2. Pelaksanaan Pemilihan Umum dalam Sejarah Nasional Indonesia oleh
Friska Friyati pada tahun 2005, dalam skripsi ini dijelaskan mengenai
sistem pelaksanaan Pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru,
namun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian pemilu, maka
yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang ingin penulis angkat ialah
penulis sedikit menjelaskan mengenai makna dari pemilu itu sendiri dan
lebih condong ke penelitian Rekomendasi MUI tentang Pemilu dari segi
maslahahnya.
Maka dengan melihat perbandingan objek kajian di atas dengan penelitian
yang akan diteliti oleh penulis, dapat diambil kesimpulan bahwasanya penulis
9
lebih memfokuskan penelitian terhadap kemaslahatan yang ada dalam rekomedasi
MUI tentang Pemilu ini serta melihat relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî.
E. Metode Penelitian
Metode yang dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,
sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Adapun metode yang akan penulis gunakan antara lain
adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis
yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara
mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa,
mengevaluasi, dan menginterpretasikannya.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian
kepustakaan (library reseach). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
mencari data melalui buku-buku sebagai literatur yang berkaitan dengan
persoalan yang dibahas, seperti karya tulis skripsi, majalah, koran serta
bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini. Adapun
metode yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian
kulaitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
10
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.12
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu:
a. Sumber Primer, yaitu berupa buku Fatwa MUI mengenai pemilihan
umum dan buku-buku usȗl al-fiqh, kitab al-Syâtibî, buku-buku
mengenai pemilu.
b. Sumber Sekunder, yaitu memberikan penjelasan dan menguatkan data
primer yang menyangkup karya tulis berupa, koran, majalah, jurnal,
maupun data dari internet (website).
Sedangkan jenis data dalam penelitian ini berupa bahan pustaka,
dokumen, keadaan, atau yang bercorak individual atau lembaga.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, Penulis menganalisis buku-buku,
dokumen, naskah (studi pustaka) yang menjelaskan tentang teori maslahah
al-Syâthibî, buku-buku usȗl al-fiqh dan konsep maslahah dalam Fatwa
MUI mengenai Pemilihan Umum.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”
12
. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005, Cet. Kesepuluh), h. 4.
11
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana pada tiap-tiap
bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan variasi
ringkas secara garis besar mengenai hal pokok yang dibahas guna mempermudah
dalam memahami dan melihat satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada
setiap bab adalah sebagai berikut:
1. Bab Pertama merupakan pendahuluan yang memuat di dalamnya latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab Kedua merupakan kajian teoritis yang menjelaskan tentang teori-
teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan yaitu mengenai MUI
dan pengertian pemilu secara umum.
3. Bab Ketiga menguraikan tentang definisi maslahah serta
pembagianya, pandangan al-Syâthibî dan ulama lainnya mengenai
maslahah, serta contoh penerapan maslahah.
4. Bab Keempat menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan,
yaitu mengenai teks Rekomendasi MUI tentang Pemilu dan
relevansinya dengan teori maslahah al-Syâthibî.
5. Bab Kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan
saran penulis.
12
BAB II
SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Sekilas tentang MUI
Kemajuan dalam bidang Iptek dan tuntutan pembangunan yang telah
menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan
dan kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru.
Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan
tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini
semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan
keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat berhak mendapatkan jawaban
yang tepat dari pandangan ajaran Islam. Telah menjadi kesadaran bersama bahwa
membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam
kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara Syar’i.
Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera memberikan jawaban dan
berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan
dengan persoalan yang mereka hadapi.13
Maka penulis akan membahas secara singkat seputar sejarah MUI dan
produk-produk MUI berupa fatwa dan lainnya.
13
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Mukadimah Penetapan
Fatwa, (Jakarta: penerbit Erlangga, 2011), h. 3.
13
1. Sejarah MUI14
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Mejelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26
Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas
Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-
Washliyah, Matla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan al-Ittihadiyah, 4 orang
ulama dari dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang tertuang
dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional MUI.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
14
. Profil MUI, di akses hari jumat tgl 1 Oktober 2015, jam 20.21 WIB dari
mui.or.id/tentang-mui/profil-mui.html.
14
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris
tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk
berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang
pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan
kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tangtangan global
yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas
etika dan moral, serta budaya global didominasi Barat, serta pendewaan
kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas
masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu, kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam
pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi
politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu
kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Dalam perjalanannya, selam dua puluh lima tahun Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zua’ma dan cendekiawan
muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridoi Allah
SWT, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
15
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penghubung antara
ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan
pemerintah guna mensukseskan pengbangunan nasional, meningkatkan hubungan
serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam
dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara tibal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima
fungsi dan peran utama MUI yaitu:
A. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
B. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)
C. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-Ummah)
D. Sebagai gerakan Islah wa al-Tajdid
E. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Selanjutnya, penulis akan membahas sedikit mengenai produk-produk
MUI dari awal didirikannya sampai saat ini.
2. Produk MUI
Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia, telah
membuat produk berupa ketetapan-ketetapan seperti fatwa, buku, majalah dan
sertifikasi halal bagi produk makanan dan lainnya. Selanjutnya penulis akan
membahas sekilas tentang produk-produk MUI.
16
a. Fatwa
Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah
keagamaan dan berlaku untuk umum. Sedangkan fatwa MUI adalah fatwa tentang
suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.15
Fatwa MUI telah dimuat dalam sebuah buku tentang Himpunan Fatwa-Fatwa
MUI sejak tahun 1975.
b. Sertifikasi Halal16
Selain fatwa, MUI juga mengeluarkan sertifikat halal bagi industri
pengolahan seperti pangan, obat, kosmetika, Rumah Potong Hewan (RPH),
restoran, maupun industri jasa seperti distributor, transporter. Maka bagi yang
ingin mendapatkan sertifikasi halal, harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal
yang tertuang dalam Buku HAS 2300 (kebijakan, prosedur, dan kriteria).
Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan dalam
menetapkan SJH, asalkan dapat memenuhi 11 kriteria SJH, di antara lain yaitu:
kebijakan halal, tim manajemen halal, pelatihan dan edukasi, bahan, produk dan
lainnya.
Secara umum prosedur sertifikasi halal melalui beberapa tahapan yaitu:
Pertama, perusahaan yang mengajukan, dapat melakukan pendaftaran secara
online melalui website LPPOM MUI, Kedua, mengisi data pendaftaran, Ketiga,
membayar biaya pendaftaran, Keempat, mengisi dokumen yang dipersyaratkan,
Kelima, pemeriksaan kecukupan dokumen dan penerbita sertifikat halal.
15
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Metode Penetapan Fatwa,
h. 3. 16
. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia,
Persyaratan Sertifikasi Halal, artikel diakses pada 2 Oktober 2015 dari
www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/39/page/1.
17
c. Majalah
Sebagai metode dakwah MUI tidak hanya menetapkan fatwa dan
sertifikat halal, MUI menerbitkan sebuah majalah sebagai bahan bacaan yang
bermanfaat bagi umat Islam khususnya. Seperti Majalah Mimbar Ulama edisi
Januari 2014, dalam majalah ini terdapat banyak berita-berita baru seperti kabar
larang jilbab bagi Polwan, para panghulu mogok alias tidak mau menikahkan di
hari libur dan lainnya.17
d. Rekomendasi
Rekomendasi yang dimaksud adalah rekomendasi hasil Musyawarah
Nasional (Munas), seperti contoh fatwa yang tentang wajibnya umat Islam
memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Kepala Daerah yang muslim.18
e. Buku terbitan MUI
Selain majalah, MUI juga menerbitkan sebuah buku seperti Himpunan
Fatwa MUI yang di dalamnya dimuat fatwa-fatwa MUI sejak tahun 1975, lalu
Himpunan Fatwa DSN-MUI mengenai fatwa-fatwa tentang ekonomi Syariah, dan
Daftar Belanja Produk Halal yang berisi tentang daftar produk yang sudah
mendapat sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.19
17
.Ahmad Thaha, Majalah Mimbar Ulama edisi Januari 2014, artikel diakses pada 02
Oktober 2015 dari mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/majalah-mimbar-ulama-edisi-januari-
2014.html. 18
. Agung Sasongko, Rekomendasi MUI : Umat Islam Wajib Pilih Pemimpin yang
Muslim, artikel diakses pada 02 Oktober 2015 dari m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-
Nusantara/15/08/27-rekomendasi mui-umat-islam-wajib-pilih-pemimpin-yang-muslim.
18
B. Pemilihan Umum
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.20
Sebagai Negara yang berdemokrasi, Indonesia termasuk dari Negara-negara yang
menggunakan sistem pemilu dalam sistem kepemerintahannya. Sedikit pengertian
mengenai pemilu yaitu merupakan suatu proses memilih orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, anggota DPR dan DPD,
gubernur, bupati/walikota dan kepada desa.21
Pemilihan umum di Indonesia telah
diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014, serta Pemilihan umum di Indonesia menganut
asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman orde baru.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara
langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang
sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
20
. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008, Cet. Pertama), h. 17. 21
. Kamus Pemilu di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.58 WIB dari
http://www.pemiluindonesia.com/kamus.
19
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang
merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa
pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan
bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan
kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang
sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun
diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat
tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara
pemilu.22
Selanjutnya, penulis akan membahas hal-hal yang menyangkut masalah
pemilu, khususnya di Indonesia.
1. Pengertian Pemilu
Dalam review studi, penulis mengambil contoh sebuah skripsi yang ditulis
oleh Acu Nurhidayat yang membahas sejarah pemilihan umum nasional
Indonesia, yang mana penulis dalam skripsinya menjelaskan mengenai sistem
pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru, serta membandingkan
tentang sistem pemilu pada masa orde lama sampai dengan masa orde baru,
namun tidak dijelaskan pengertian pemilu itu sendiri, maka sebagai pembeda dari
22
. Ign Christian, Artikel Politik dan pemerintahan Indonesia, pada hari jumat 5/6/2015,
jam 13.27 diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
20
skripsi sebelumnya penulis mencoba untuk sedikit menjelaskan makna dari
pemilu.
Dalam UU No. 22/2007 disebutkan bahwasanya pemilihan umum adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.23
Adapun pendapat lain tentang makna pemilihan umum yaitu, salah
satu hak azasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka
pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk
melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang
berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk
menentukannya.24
Yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat
mempunyai kekuasaan tertinggi, dan yang menentukan arah tujuan suatu
pemerintahan. Suatu negara yang penduduknya sedikit dan luas wilayahnya tidak
terlalu besar, kedaulatan rakyat tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya.
Apalagi dalam negara modern di mana jumlah penduduknya sudah banyak,
wilayahnya cukup luas maka tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang
demi seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan.25
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem
demokrasi. Oleh sebab itu tujuan Pemilihan Umum untuk mengimplementasikan
23
. UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf, h. 3 24
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (T.tp.,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”,
2010, Cet. Kedua Belas), h. 329 25
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (T.tp., Prestasi Pustaka
Publisher, 2006, Cet. Pertama), h. 247.
21
prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di Badan
Perwakilan Rakyat.26
Karena luasnya wilayah daerah dan banyaknya penduduk
yang hidup di dalamnya, maka demokrasi secara langsung tidak mungkin
dilaksanakan lagi. Yang ada hanya demokrasi yang diwakilkan atau demokrasi
tidak langsung.27
Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi
dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.28
Kenyataannya, apapun
alasannya hanya pemerintahan yang representatiflah yang dianggap memiliki
legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur pemerintahan. Sehingga
dengan melalui pemilu, klaim jajaran elit pemerintahan bekerja untuk dan atas
nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.29
Sebagaimana hasil wawancara,
syarat-syarat yang ideal bagi seorang pemimpin menurut pandangan MUI ialah
dari segi kapabilitas, kompetensi, keahlian, dan mampu dalam kapasitasnya.30
2. Tujuan Pemilihan Umum
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan norma-
norma konstitusi (UUD Pasal 1 ayat 2). Oleh karena itu, agar derap demokrasi
dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga.
26
. B. Hestu Cipto Handoyono, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asassi
Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003, Cet. Pertama), h. 207. 27
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hal. 129-
130. 28
. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 461. 29
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 249. 30
. Wawancara pribadi dengan Hasanudin AF, di MUI Pusat, (Jakarta, Selasa 9
September 2015).
22
Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam kegiatan pemilihan umum,
pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga negara. Salah satu
ciri negara demokrasi yaitu adanya pelaksanaan pemilihan umum di negara
tersebut, untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan
umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:31
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan
tertib;
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.
Kemampuan seseorang ada batasnya. Karena itu adalah suatu hal yang
sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian pemerintahan. Pergantian
pemerintahan di negara-negara totaliter berbeda dengan apa yang terjadi di
negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter pergantian pemerintahan itu
ditentukan oleh sekelompok orang. Tidak demikian halnya dalam negara
demokrasi. Di negara ini pergantian pemerintahan itu ditentukan oleh rakyat
caranya adalah mengadakan pemilihan umum.
Karena itu pemilihan umum disebutkan bertujuan untuk memungkinkan
terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini tidak berarti
bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus ada pergantian
pemerintahan, sebab mungkin saja terjadi suatu partai politik dalam sistem
pemerintahan parlementer pemerintahan untuk dua, tiga, atau empat kali, atau
seorang menjadi Presiden di Amerika Serikat untuk dua kali masa jabatan. Yang
31
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h. 330
23
dimaksudkan dengan kata memungkinkan di sini adalah bahwa pemilihan umum
itu harus membuka kesempatan sama untuk menang bagi tiap peserta. Pemilihan
umum yang demikian itu hanya mungkin terjadi apabila dilaksanakan dengan
jujur. Di samping itu masih diperlukan syarat lain untuk memungkinkan
terjadinya peralihan pemerintahan itu, yaitu adanya Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang susunan anggotanya sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar
1945.
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pembukaan dan pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945, maka Republik Indonesia menganut azas
kedaulatan rakyat. Bahwa kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain
tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.
Karena itu adalah dalam rangka untuk memberikan kesempatan kepada warga
negara untuk melaksanakan haknya.
Sejak lahir ke dunia seseorang telah mempunyai hak. Orang itu mungkin
warga negara dari suatu negara atau berstatus orang asing di negara tempat dia
berdomisili. Sebagai warga negara maka salah satu hakya dalam bidang politik
yang terpenting adalah hak untuk memilih siapakah wakilnya itulah yang akan
menjalankan kedaulatan yang dipunyainya. Di samping itu terbuka pula baginya
kesempatan untuk duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat sebagai wakil yang
dipercayakan oleh para pemilihnya untuk menjalankan kedaulatan yang dipunyai
oleh rakyat. Dilihat dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam
suatu organisasi partai politik, maka pemilihan umum itu sangat besar artinya bagi
suatu partai politik, karena dengan pemilihan umum itu mereka dapat mengetahui
24
seberapa besar sesungguhnya para pendukung. Apabila terbuka bagi mereka untuk
menang, maka pemilihan umum itu adalah suatu media untuk menjalankan
programnya.
Karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan, apabila suatu pemerintahan
telah memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilihan umum, maka orang akan
mengatakan demokrasi di negara itu telah mulai sirna.
Dari uraian di muka dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan umum
tidak saja penting untuk warganegara, partai politik, tapi juga pemerintah sendiri.
Bagi pemerintah yang dihasilkan dari suatu pemilihan umum yang jujur berarti
bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.
Sebaliknya kalau pemeritahan yang dibentuk dari hasil pemilihan yang tidak atau
kurang jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.
Dilihat dari sudut pemilihan umum, maka ketiga tujuan itu baru dapat
tercapai kalau pelaksanaan pemilihan umum benar-benar jujur, sehingga setiap
warga negara yang berhak memilih memberikan pilihannya sesuai dengan hati
nuraninya. Dan, adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945
dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu
sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.32
32
. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 268
25
3. Sekilas tentang Sistem Pemilihan Umum
Karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan wakil-
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka
dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut
mana pandangan ditunjukan terhadap rakyat, apakah ia dipandang sebagai
individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan
dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah rakyat hanya dipandang sebagai
anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa wakilnya
yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, atau juga tidak berhak untuk
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka sistem pemilihan umum dapat
dibedakan dua macam:
a. Sistem pemilihan mechanis;dan
b. Sistem pemilihan organis.
ad.a. Sistem pemilihan mechanis.
Pandangan mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-
individu yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme dan Komunisme semuanya
berdasarkan pandangan mechanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan
individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks
hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktuil, sedangkan
Sosialisme dan khususnya Komunisme mengutamakan totalitet kolektif
masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitet kolektif itu. Tetapi
26
semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengenali hak pilih aktif dan
memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang
masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam pemilihan
umum.
ad.b. Sistem pemilihan organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-
individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup
berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi,
industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga
sosial (Universitas). Masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisme yang
terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam
totalite organisme itu, seperti persekutuan hidup itulah yang diutamakannya
sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali hak
untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyrakat.
Menurut sistem pemilihan mechanis, partai-partai yang mengorganisir
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy
Party (Liberalisme Sosialisme) atau Uni Party (Komunis). Sedangkan menurut
sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena
pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam
lingkungannya sendiri.33
33
. Ibid, h. 332-334
27
4. Gambaran Umum Pemilu di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak
itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan
dibanding dengan yang lain.
Sebenarnya pemilihan umum sudah direncanakan mulai bulan Oktober
1945, tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanudin Harahap pada tahun
1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu
kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk
memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem pemilihan yang
digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang
dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang
dikenal dan dimengerti oleh pemimpin negara.
Pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana khidmat, karena
merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan
umum berlangsung sangat demokratis; tidak ada pembatasan partai-partai, dan
tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai-partai
sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Pula
administrasi berjalan lancar dan jujur.34
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa
pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur, dan adil demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
34
. Ibid. h. 473-474
28
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah
tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat.35
Pemilihan Umum Indonesia
1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun
1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling
demokratis.36
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan
Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde
Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut
hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut
kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.37
Kondisi Politik menjelang
Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru
sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) secara sistematik yang pada gilirannya
mengakibatkan kritis multi-dimensional. Kondisi semacam inilah yang kemudian
mengakibatkan kompromi-kompromi di kalangan elit politik.38
Kompromi yang
adil merupakan salah satu proses yang paling produktif untuk mengatasi konflik
atas dasar konsensus, di mana cara ini diterima oleh semua pihak melampaui
aturan, sasaran, dan hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang di masyarakat.39
35
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 262 36
. Redaksi, Sejarah Pemilu 1995 di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.54 dari
http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html. 37
. Ibid, di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015,
http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html, 38
. B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia, h. 223. 39
. Thomas Meyer, Jalur Idela Menuju Demokrasi, Friedrich-Eber-Stiftung (FES), (T.tp.,
Sumber Rezeki Print, 2008, Cet. Pertama), h. 33.
29
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat
memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres
2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua
putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih
dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai
persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh
pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan
merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian
kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini
adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai presiden. Sedangkan pemilu pada zaman reformasi, seperti
juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.
Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara
bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam
pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai.
Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya
presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.
Keempat, diadakan “electoral threshould”, yaitu ketentuan bahwa untuk
pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota
badan legislatif pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik
30
harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau
5% dari perolehan suara secara nasional.40
Setiap pemilihan umum mempunyai
azas-azas yang tertentu. Demikian pula pemilihan umum tahun 1955. Dan azas
pemilihan umum itu disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1950 yang
berbunyi: “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan ini
dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara yang menajamin kebebasan mengeluarkan
pendapat”. Dengan demikian azasnya adalah pertama umum yaitu bahwa setiap
warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak untuk
ikut memilih dan dipilih. Tidak boleh ada perbedaan antara warga negara.
Berkesamaan maksudnya bahwa semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentunya
harus dipilih melalui pemilihan umum. Dengan sendirinya setiap warga negara
yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak
ada sebagian rakyat yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan/ditetapkan
tidak boleh memilih atau dipilih.41
40
. Ibid. h. 483 41
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h. 343
31
BAB III
MASLAHAH DALAM PANDANGAN Al-SYȂTHIBȊ
A. Pengertian Maslahah
Untuk memahami pandangan ulama tentang al-maslahah, lebih dahulu
perlu dikemukakan penjelasan tentang pengertian al-maslahah. Uraian mengenai
hal-hal ini dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu pengertian secara etimologi
(kebahasaan) dan pengertian secara terminologi/istilahi.
1. Pengertian secara Etimologi
Secara etimologi, pengertian Maslahah (َمْصَلَحٌت) berasal dari kata salaha
dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan (َصَلَح)
dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti kata salâh (َصَلاٌح)
yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam
bahasa Arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia.
Dalam artianya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan (kesenangan), atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kerusakan.42
Sedangkan secara terminologis, para ulama usȗl al-fiqh
termasuk al-Syâthibî telah memberikan beberapa definisi yang berbeda.
42
. Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Usȗl al-Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009,
Cet Kedua). h. 200.
32
2. Makna Terminologi
Tidak diragukan lagi bahwa agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan
yang dikehendaki Penciptanya Yang Maha Bijaksana. Demikianlah hukum Islam
mempunyai tujuan. Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan
tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati
semua hukum-hukum-Nya.43
Setiap apa yang Ia lakukan ada tujuannya, yakni
untuk kemaslahatan manusia. Tujuan-tujuan Allah tersebut dapat diketahui dari
dua sisi. Pertama, dilihat dari sisi manusia, yakni tujuan-tujuan itu dilihat dari segi
kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua, dilihat dari sisi Allah sebagai
pembuat hukum, yaitu apa tujuan Allah membuat hukum-hukum-Nya dilihat dari
pernyataan-Nya mengapa Ia membuat hukum itu.44
Sehingga tujuan puncak yang hendak dicapai di dalam setiap hukum Islam
ialah maslahah (kemaslahatan). Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh
Islam melalui al-Quran maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahah
yang hakiki, walaupun maslahah itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup
oleh hawa nafsunya.45
Maslahah yang dikehendaki oleh hukum Islam bukanlah
maslahah yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahah yang
hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu
(khusus). Maka selanjutnya akan sedikit dibahas mengenai pengertian dan
macam-macam maslahah menurut beberapa pandangan ulama.
43
. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM-
UNISBA, 1995) h. 99. 44
. Ibid, h. 100. 45
. Muhammad Abȗ Zahrah, h. 578.
33
a. Al-Ghozâlî
Al-Ghozâlî mengemukakan bahwa prinsipnya maslahah adalah
“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-
tujuan syarak.” Ada lima sasaran hukum syarak yaitu: pertama, agar memelihara
agama, diri, akal, keturunan, dan harta. Maka semua hal yang meliputi dalam
menjaga kelima usul di sebut dengan maslahah.46
Hal ini ditempuh melalui
berbagai ragam ibadah yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial.47
Namun yang dimaksud dengan maslahah di sini oleh al-Ghozâlî bukan
dalam pengertian kebahasaan yang biasa dipakai dalam masyarakat atau menurut
„urf (kebiasaan), yakni berarti manfaat, melainkan dalam pengertian syarak, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Maka suatu kemaslahatan menurut al-Ghozâlî harus sejalan dengan hukum
syarak, meskipun harus atau bertentangan dengan kepentingan. Hal ini disebabkan
karena keterbatasan akal manusia dalam mendeskripsikan sebuah kemaslahatan,
belum lagi pengaruh hawa nafsu yang terkadang bahkan seringkali mendominasi
dan mengalahkan pertimbangan akal manusia. Dengan demikian jika bertentangan
dengan syarak, maka tidak dapat disebut dengan al-Maslahah, melainkan sebuah
mafsadah.
b. Abd al-Wahâb Khallâf
Menurutnya, maslahah adalah tujuan utama al-Syâri‟ dalam mensyariatkan
hukum untuk kemaslahatan manusia di kehidupan ini, yang mendatangkan
46
. Abȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i‟lmi al-Usȗl
(T.tp., Dar al-Fikri, t.th.,), jilid I, h. 286. 47
. Muhammad Abȗ Zahrah, h. 574.
34
manfaat, menjaga dari kemudaratan karena maslahah manusia terdiri dari perkara-
perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, maka jika perkara-perkara ini
terjaga, akan terlaksana pula maslahah mereka. Bukti bahwasanya maslahah
manusia tidak terlepas dari tiga perkara ini adalah perasaan dan
penglihatan/pengamatan, karena maslahah setiap diri manusia/secara keseluruhan
terdiri dari perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, seperti
kebutuhan darȗriyyât mengenai tempat tinggal manusia yang melindungi dari
panasnya matahari, lalu kebutuhan hâjiyyât berupa jendela yang bisa dibuka dan
ditutup sesuai keperluan, dan tahsîniyyât yaitu dengan menghias, dan menyiapkan
perangkat-perangkat untuk istirahat.48
c. Muhammad Abȗ Zahra
Menurutnya, maslahah yang hakiki yang diinginkan oleh Islam adalah
maslahah yang tetap dalam hukum-hukum Islam, yang disebutkan di dalamnya
nas-nas dari al-Quran dan Sunnah, serta yang serupa untuk kemaslahatan yang
mengandung di dalamnya nas-nas, dan semua maslahah yang sesuai dengan sudut
pandang nas-nas adalah memelihara/menjaga kelima perkara yaitu agama, jiwa,
harta, akal dan keturunan, karena kehidupan manusia di dunia terdiri dari kelima
perkara ini, dan tidak sempurna kehidupan manusia kecuali dengan menjaga
kelima perkara tersebut, dan kemuliaan manusia terdapat di dalam
pemeliharaannya.49
48
. Abd Al-Wahâb Khallâf, Ilmu Usȗl al-Fiqh, (T.tp., Dar al-Qolam, 1978, Cet. Kedua
Belas), h. 199. 49
. Imâm Abȗ Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah fi al-Siyâsah wa al-Aqoidi wa
Târîkh al-Madzhab al-Fiqhiyyah, juz 1, (T.tp., Dar al-Fikr al-„Arabi, 1989) h. 308.
35
Selain dari ketiga pendapat ulama di atas, ada pendapat al-Syâfi‟î tentang
maslahah dalam kaitannya dengan penetapan hukum Islam. Al-Syâfi‟î tidak
memasukan maslahah ataupun al- maslahah al-mursalah dalam urutan al-bayân
(sumber penjelasan hukum) sehingga dapat dipahami bahwa ia tidak menganggap
maslahah sebagai dasar hukum yang berdiri sendiri. Dalam berbagai pernyataan,
al-Syâfi‟î sangat menekankan keterikatan setiap hukum kepada kabar, yakni
Kitab, Sunnah, Ijmâ‟, dan Qiyas. Dengan pandangan bahwa syariah Islam telah
lengkap dan al-Quran merupakan tibyan (penjelasan) bagi segala sesuatu, al-
Syâfi‟î tidak menerima kemungkinan adalanya maslahah yang tidak terselesaikan
dengan nas, baik secara langsung maupun melalui ijtihad yaitu qiyâs.50
Namun
menurut para ulama Syafi‟iyah, Imâm al-Syâfi‟î tidak menolak pertimbangan
maslahah dalam ijtihad, sepanjang maslahah itu diperoleh dari dan diakui oleh
nas dan ijmâ‟, meskipun hanya pada jenisnya, tetapi ia tidak menerima maslahah
yang sama sekali tidak mendapatkan pengakuan syarak.51
Dengan kata lain dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa esensi
maslahah itu ialah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan
manusia serta terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian,
kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak
yang memang dibutuhkan oleh manusia.52
Serta tidak ada keraguan di setiap
50
. Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi‟I, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Pertama), h.128. 51
. Ibid, h.135. 52
. Romli SA, Muqâranah Madzâhib fî al- Usȗl, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, Cet.
Pertama), h.158.
36
penelitian, bahwasanya hukum-hukum syariah Islamiyah didasari dengan
penjagaan/pemeliharaan kemaslahatan para mukallaf.53
B. Penerapan Maslahah
Penerapan maslahah dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting,
karena segala aspek kehidupan manusia selalu mengandung segi kemaslahatan
yang harus diwujudkan agar dapat menjalani kehidupan yang baik sesuai
ketentuan-ketentuan syariah Islam. Di sini penulis mengambil sebuah contoh
realita mengenai penerapan maslahah, yaitu mengenai pencatatan perkawinan
yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab II dasar-dasar perkawinan
Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqon gholîzon untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.54
Dan perkawinan juga sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Lalu pada pasal 5 poin pertama
mengenai agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.55
Pencacatan perkawinan meskipun secara harfiyah
tidak diatur dalam nas syâri‟ dan tidak ada pula dijumpai nas yang melarangnya,
tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini
jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum
53
. Yusuf al-Qardawî, Mudkhâl li al-Dirâsah al-Syarî‟ah al-Islâmiyah, (T.tp., Maktabah
Wahbah, 1997, Cet. Ketiga), h. 57. 54
. Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2004, Cet. Pertama), h.7. 55
. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007, Cet. Kelima), h. 114.
37
pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu,
maka dasarnya adalah maslahah.
Demikian juga pada Pasal 15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan
umur kawin. Bunyi pasal ini adalah “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai
umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-sekurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun”56
, seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak
mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan,
namun demi kemaslahatan sebuah keluarga rumah tangga, boleh dilakukannya
perkawinan bagi orang-orang yang sudah berumur 19 tahun untuk pria dan 16
tahun untuk yang sudah matang jiwa dan raganya. Ini merupakan sebuah
kemaslahatan bagi manusia.
Contoh lain dari penerapan maslahah yaitu dalam masalah hak asasi
manusia, seperti yang tertera dalam Undang-undang 1945 setelah diamandemen
pada bab X A hak asasi manusia pasal 28 A yang berbunyi : “setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan pasal
28C (1) “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
56
. Ibid, h. 10.
38
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.57
Dalam pasal ini, setiap orang
berhak mempertahankan kehidupannya agar terwujudnya sebuah kemaslahatan.
Dengan mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup, manusia akan
lebih mudah dalam mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhiratnya.
C. Maslahah bagi al-Syâthibî
Perbuatan manusia dapat dipandang dari dua aspek, yakni aspek
terwujudnya kemaslahatan dan tuntutan syariah. Dari keduanya, kita bisa melihat
bagaimana tanggung jawab manusia sebagai mukallaf. Pada aspek terwujudnya
kemaslahatan, daya manusia menjadi syarat utama berlakunya taklif. Jadi, taklîf bi
mâ lâ yuthaq (tuntutan atas perbuatan di luar daya manusia) adalah mustahil.
Sedang pada aspek tuntutan syariah, hal ini berkait dengan kehendak (irâdah) dan
perintah (amr) Allah kepada hamba-Nya.58
Namun ada beberapa aliran kalam seperti aliran Muktazilah berpendapat
bahwasanya manusia dapat menciptakan perbuatannya sendiri, mematuhi atau
tidak kepada Tuhan merupakan kehendak manusia itu sendiri karena daya tersebut
sudah ada dalam diri manusia. Sedangkan menurut Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwasanya manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan
perbuatannya dan itulah arti sebenarnya dari perbuatan manusia itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran Maturudiyah, Al-Qadariyah mengatakan bahwa
manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
57
. Tim Redaksi Fokusmedia, UUD 1945 dan Amandemennya,(Bandung: Fokusmedia,
2004, Cet. Pertama), h. 58-59. 58
. Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât,
(T.tp., Erlangga, 2007), h. 177.
39
hidupnya,dan manusia mempunya kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan,
dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.59
Karena daya manusia menjadi syarat mutlak berlakunya hukum taklif,
maka syariah yang tujuan pokoknya adalah kemaslahatan manusia tidak
menghendaki kesulitan (masyaqqah) atas manusia. Setidaknya ada dua hal yang
patut dicatat mengenai kehendak Allah untuk tidak mempersulit hamba-Nya.
Pertama, Allah memberlakukan hukum taklif sesuai dengan tingkat pemahaman
dan kondisi umum yang telah berlaku pada manusia. Kedua, Allah memberikan
alternatif (jalan keluar) jika hamba mengalami kesulitan dalam pelaksanaan
hukum taklif. 60
Tuhan sebagai pencipta alam semesta haruslah mengatasi segala yang ada,
bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang
mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas. Sebab tidak ada
eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Tuhan dipahami
sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut dalam
memahami apa yang dimaksud dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Namun dalam sejarah ilmu kalam, terdapat perbedaan konsep tentang kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan ini. Didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap
kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia dalam
59
. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
Universitas Indonesia UI-Press, 1986, Cet. Kelima), h.33. 60
. Ibid, h.209.
40
mewujudkan kehendak dan perbuatannya, konsep tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan pun turut pula berbeda.61
Aliran kalam rasional, yang memberikan daya yang besar kepada akal
serta memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan kehendak
perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak lagi dipahami dalam
pengertian yang mutlak semutlak-mutlaknya, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya keadilan serta janji-
janji Tuhan sendiri terhadap manusia.62
Dalam al-Muwâfaqât, al-Syâthibî juga menyebut pendapat al-Râzi dan
Muktazilah. Al-Râzi berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan („illah)
sama sekali dalam perbuatan-Nya. Sebaliknya, Muktazilah berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai tujuan dalam melaksanakan syariah, yaitu untuk menjaga
kemaslahatan manusia.63
Al-Syâthibî pun sepakat dengan syariah yang bertujuan
untuk menjaga kemaslahatan manusia.64
Sedikit membahas tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, semua aliran
dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan juga melakukan perbuatan.
Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari zat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Namun yang menjadi polemik di kalangan
mutakallimîn adalah apakah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik-
baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal yang baik-baik saja,
61
. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka
hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, Cet. Pertama), h.123. 62
. Ibid, h.124. 63
. Abu Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usul Al-Syarî‟ah, jilid 2, (Beirut, Lebanon:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th), h.4. 64
. Ibid., h.4.
41
tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk. Muktazilah, sebagai aliran
kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah
terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan buruk. Tetapi perbuatan buruk tidak Ia lakukan
karena Tuhan mengetahui keburukan perbuatan buruk itu.65
Sedangkan di dalam
al-Quran jelas-jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-
Quran yang dijadikan dalil oleh Muktazilah untuk mendukung pendapat di atas
adalah surah al-Anbiyâ` ayat 23 dan surah ar-Rȗm ayat 8.
)12: 12/األنبياء)
Artinya: “Dia (Allah) tiada ditanyai tentang apa-apa yang diperbuatnya, tetapi
merekalah yang ditanyai-Nya”.
)/8: 23الروم)
Artinya: “Allah tiada menjadikan langit dan Bumi serta segala isinya kecuali dengan
benar.”
Maslahah mutlak diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan
ukhrawi dan duniawi tidak akan mungkin dicapai tanpanya, terutama bersifat
darȗri yang meliputi lima hal: pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Hal tersebut juga disebut usȗl al-dîn, qawâ‟id al-syarî‟ah, dan kulliyyah al-
millah.66
Maslahah sangatlah penting demi tegaknya kehidupan dunia dan
tercapainya kehidupan akhirat. Maka hal-hal yang di dalamnya ada kemaslahatan
65
. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka
hingga Hasan Hanafi, h.135. 66
. Ibid., h.13.
42
dunia namun tidak ada unsur kemaslahatan akhiratnya, hal itu bukanlah maslahah
yang dimaksud oleh syariah. Dalam mewujudkan maslahah, manusia harus
terbebas dari hawa nafsunya agar menjadi hamba yang berikhtiar, tidak secara
terpaksa.67
Manusia harus berdasar pada syariah yang telah Allah tentukan, sehingga
tidak mengikuti hawa nafsunya dalam mewujudkan maslahah. Karena
diwujudkannya sebuah maslahah adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk
kepantingan Allah. Hal ini karena syariah itu mengacu kepada kemaslahatan
manusia, baik aspek darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karena syariah
diadakan untuk kemaslahatan manusia, maka perbuatan manusia hendaknya
mengacu pula kepada syariah itu.68
Maslahah berlaku umum dan abadi atas seluruh manusia serta dalam
segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syariah
dirumusukan sebagai berikut. Pertama, bahwa setiap aturan (nizâm) bagi
kemaslahatan diciptakan Tuhan secara harmonis dan tidak saling berbenturan.
Jika aturan itu tidak harmonis dan saling bertentangan, Tuhan tentu tidak
mensyariatkannya karena hal itu lebih tepat disebut sebagai sumber kerusakan
(mafsadah), padahal Tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak. Kedua,
kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan hanya berlaku
secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Jika hukum syariah itu berlaku
khusus atas sebagian manusia saja, maka kaidah pokok ajaran Islam, seperti iman,
tidak berlaku secara umum pula.
67
. Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât,
h. 81. 68
. Ibid, h. 83.
43
Ketiga, maslahah universal (kulliyyah) adalah maslahah yang diterima
secara umum. Hal ini sesuai dengan sifat syariah yang dimaksudkan Tuhan untuk
berlaku secara umum menurut kondisi manusia. Keempat, kaidah-kaidah pokok
maslahah universal bersifat tegas dan pasti, bukan bersifat samar atau tidak pasti.
Al-Syâthibî berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah pokok di
sini adalah kaidah dalam teologi (usȗl al-dîn) dan usȗl al- fiqh. Kelima, kaidah-
kaidah maslahah universal tidak berlaku padanya naskh (pembatalan). Naskh
hanya terjadi pada kaidah-kaidah parsial. Bahkan, para ahli usȗl mengakui bahwa
maslahah darȗriyyât tetap terpelihara dalam setiap agama meski dengan cara
yang berbeda sesuai dengan ajarannya masing-masing.69
D. Pembagian Mashlahah
Pembagian maslahah dapat ditinjau dari beberapa segi, banyak perbedaan
pendapat ulama dalam pembagian maslahah ini, agar tidak terlalu melebar
pembahasannya maka hemat penulis, maslahah dibagi menjadi dua macam, yaitu;
(1) berdasarkan tujuan zaman/waktunya, (2) berdasarkan tingkat kebutuhannya.
1. Maslahah berdasarkan tujuan zamannya (waktu)
Maslahah berdasarkan tujuan zamannya terbagi menjadi dua tingkatan,
yaitu; maslahah dunia dan akhirat. Maslahah dunia adalah kewajiban atau syarak
yang terkait dengan hukum-hukum mu‟âmalah (interaksi sosial dan ekonomi).
Sedangkan maslahah akhirat adalah kewajiban atau aturan syarak yang terkait
dengan hukum-hukum tentang aqidah (tauhid) dan ibadah (mahdoh/murni).
69
. Ibid, h. 83.
44
a. Dalam kitabnya al-Syâthibî memandang maslahah duniawi dari dua sisi:
(1) kemaslahatan yang ada, (2) dari segi khitob syar‟i
Pandangan pertama,70
ia mengatakan bahwasanya maslahah duniawi tidak
hanya sekedar maslahah, yang dimaksud dengan maslahah ialah yang kembali
kepada kehidupan manusia dan kesempurnaan hidupnya, dan ini tidak akan
didapat karena maslahah itu disertai dengan kesulitan-kesulitan dan pembebanan-
pembebanan, sedikit atau banyaknya, seperti makan, minum, nikah, tempat
tinggal, maka semua ini tidak didapat kecuali dengan usaha.
Seperti halnya kerusakan duniawi, bukan hanya kerusakan dari segi
wujudnya saja tetapi tergantung kepada adat, karena di dunia ini terdiri dari dua
hal maslahah dan mafsadah, dan barang siapa yang hanya ingin salah satu dari
keduanya maka tidak akan bisa. Maslahah dan mafsadah yang ada di dunia dilihat
dari yang paling nampak, jika dari segi maslahah yang lebih nampak, maka itulah
maslahah yang dipahami secara „urf/adat. Dan jika dari segi mafsadahnya yang
lebih nampak, maka itulah mafsadah yang dipahami secara „urf, maka dari itu
semua ini dilihat dari yang paling nampak/jelas, jika jelas maslahah maka
dibutuhkan maslahah tersebut. Pandangan ini hanya dari segi wujudnya saja,
belum sepenuhnya mengaitkan syariah di dalamnya.
Pandangan kedua,71
dari segi keterkaitan khitob syar‟i, maslahah jika lebih
nampak/jelas dari pada mafsadah, maka itulah yang dimaksud secara syar‟i atau
yang murni, maka seorang hamba dituntut untuk menuju sebuah kemaslahatan,
serta agar berjalannya peraturan-peraturan, dan juga agar lebih sempurna dan
70
. Abȗ Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syarî‟ah, jilid 2, (T.tp., Dar al-
Hadits, 2006), h. 277. 71
. Ibid h. 278.
45
dekat dalam mendapatkan apa yang dimaksudkan dari kebiasaan-kebiasaan/adat
yang ada di dunia. Maka jika tercampur dengan mafsadah, itu bukanlah
tujuan/maksud dari tuntutan secara syar‟i.
Begitupun dengan mafsadah, jika mafsadah lebih nampak/jelas maka
itulah yang dimaksud secara syar‟i atau murni, tapi untuk mafsadah ada
pelarangan tidak seperti maslahah yang dibutuhkan/dituntut, dan jika diiringi
dengan maslahah sesuatu yang nikmat maka itu bukan maksud dari pelarangan
terhadap pekerjaan tersebut, tetapi yaang lebih nampaklah yang dimaksud.
b. Begitupun dengan maslahah dan mafsadah ukhrowi/akhirat, Al-Syâthibî
membagi menjadi dua bagian, yaitu:72
Pertama, kemaslahatan dan mafsadah harus murni tidak tercampur satu
dengan yang lainnya, seperti azab bagi para penghuni neraka, kenikmatan bagi
penghuni surga, neraka itu untuk ahli neraka.
Kedua, yang tercampur antara keduanya, seperti neraka untuk orang yang
beriman, orang yang mukmin tapi masuk neraka, mereka mendapatkan mafsadah
yaitu masuk neraka. Tapi mafsadahnya tidak selamanya, karena ketika mereka
masuk surga di kemudian hari, akhirnya mereka mendapatkan maslahah.
2. Maslahah berdasarkan tingkat kebutuhannya
Maslahah berdasarkan tingkatan kebutuhannya terbagi menjadi tiga
kategori, ada beberapa perbedaan pandangan ulama dalam mengkategorikan
maslahah berdasarkan tingkatannya, yaitu :
72
. Ibid, h. 282.
46
a. Maslahah Darȗriyyât (primer) ialah tingkatan di mana berbagai maslahah
tersebut akan terealisir tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Maka, darȗriyyat
dalam kaitannya dengan al-nafs (jiwa) adalah memelihara kehidupan
(nyawa), anggota badan dan segala sesuatu yang menopang tegaknya
kehidupan manusia.73
Menurut al-Syâthibî, makna dari darȗriyyât adalah
kemaslahatan yang sangat dibutuhkan demi keseimbangan maslahah
keagamaan dan keduniaan, jika kemaslahatan ini tidak ada maka maslahah
keduniaan tidak akan berjalan secara istiqomah, tetapi akan mengalami
kerusakan dalam kehidupan, dan mengalami kerugian.74
Sejalan dengan yang
diutarakan oleh Abd al-Wahâb Khollâf, beliau mengatakan bahwa perkara
darȗriyyat adalah sesuatu yang mempengaruhi kehidupan manusia untuk
istiqomahnya kemaslahatan manusia, dan perkara-perkara ini bagi manusia
kembali kepada pemeliharaan terhadap lima hal yaitu, agama, jiwa, akal,
nasab, dan harta. Maka menjaga setiap dari kelima hal tersebut merupakan
perkara darȗriyyât.75
Jika agama tidak ada dan manusia dibiarkan begitu saja, maka akan
muncul masyarakat Jahiliyah, dan manusia hidup dengan penuh kekacauan.
Karena itu, beriman, salat, puasa, zakat, dan haji disyariatkan untuk memelihara
keberadaan agama. Selain itu disyariatkan pula hukuman-hukuman yang ampuh
73
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 584. 74
. Abȗ Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syarî‟ah, jilid 2, h. 265. 75
. Abd Al-Wahâb Khollâf, Ilmu Usȗl al-Fiqh, h. 199.
47
mencegah perbuatan yang mengancam eksistensi agama, seperti hukuman bunuh
bagi orang yang murtad, dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.76
Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama
serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai
macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah ini dimaksudkan untuk membersihkan
jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan. Memelihara jiwa (al-muhâfazah
„ala al-Nafs), ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan
memeliahara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa
pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Termasuk
dalam kategori memelihara jiwa, adalah memelihara kemuliaan atau harga diri
manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh berbuat zina),
mencaci-maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak
langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik. Karenanya, Islam
melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berpikir dan berpendapat,
kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan
menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia terhormat dan bebas bergerak di
tengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.
Memelihara akal (al-muhâfazah „ala al-aql), ialah menjaga akal agar tidak
terkena bahaya (kerusakan) yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tak
berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan penyakit bagi orang
lain. Arti penting pemeliharaan akal dapat ditinjau dari beberapa segi:
76
. Iffatin Nur,”Maqâsid al-Syarî‟ah (Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep
Maqâsid al-Syari‟ah al-Syâthibî)”, (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). h. 75.
48
1. Agar setiap anggota masyarakat Islam tidak terganggu, bahkan mendapat
limpahan kebaikan dan kemanfaatan.
2. Orang yang membiarkan/mempertaruhkan akalnya dalam bahaya
(kerusakan), akan menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Jika
memang demikian, maka terhadap orang itu harus diancam dengan hukuman-
hukuman yang kiranya dapat mencegahnya dari perbuatan nekat.
3. Orang yang akalnya terkena bahaya, akan menjadi sumber timbulnya
kerawanan sosial. Masyarakat akan ikut menanggung resiko, menghadapi
kejahatan dan pelanggaran.
Memilihara keturunan (al-muhâfazah „ala al-Nasl), ialah memelihara
kelestarian jenis makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus
agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia.
Misalnya, setiap anak dididik langsung oleh kedua orang tuanya, perilakunya
terus dijaga dan diawasi. Dengan demikian, dituntut adanya lembaga perkawinan
yang teratur, pencegahan akan terjadinya broken home, serta pencegahan terhadap
perbuatan yang merusak citra diri, baik dengan perbuatan qadzaf maupun berzina.
Sebab hal tersebut menodai amanat yang dititipkan Allah SWT kepada masing-
masing diri orang laki-laki dan perempuan agar melahirkan keturunan, sehingga
terhindar dari kepunahan dan hidup dalam suasana tentram dan sejahtera. Dengan
demikian, anak keturunanya akan semakin banyak dan kuat serta mudah tercipta
persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, di mana mereka hidup. Dan dalam
konteks itulah, adanya sanksi hukuman zina, qadzaf serta sanksi-sanksi hukuman
ta‟zir lainnya yang ditetapkan dalam rangka menjaga kelangsungan keturunan.
49
Memelihara harta (al-muhâfazah „ala al-Mâl), dilakukan dengan
mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya pencurian mencegah
perbuatan yang menodai harta, misalnya pencurian dan ghasab; mengatur sistem
mu‟âmalah atas dasar keadilan dan kerelaan; dan dengan berusaha
mengembangkan harta kekayaan dan menyerahkannya ke tangan orang yang
mampu menjaga dengan baik. Sebab harta yang ada di tangan perorangan menjadi
kekuatan bagi umat secara keseluruhan. Karena itu, harus dipelihara dengan
menyalurkannya secara baik, dan dengan memelihara hasil karya (hak cipta),
mengembangkan sumber-sumber ekonomi umum, mencegah agar tidak dimakan
di antara sesama manusia dengan cara yang batil, tidak dengan cara yang haq
(benar) yang dihalalkan/dibenarkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Termasuk
dalam kategori memelihara harta, setiap hal yang disyariatkan oleh Allah untuk
mengatur kerja sama di antara sesama manusia seperti jual beli, sewa menyewa
dan bentuk-bentuk transaksi lainnya yang obyeknya adalah harta (bidang
ekonomi).77
Contoh dari maslahah ini ialah seperti diwajibkannya had bagi yang
meminum khamr karena demi menjaga akal manusia.78
Karena khamr dapat
membahayakan harta dan jiwa, maka Syari‟ menetapkan hukuman dengan 80 kali
dicambuk bagi peminumnya.79
b. Maslahah hâjiyyât (sekunder) adalah perkara-perkara yang diperlukan manusia
untuk menghilangkan dan menghindarkan dirinya dari kesempitan dan
77
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 579-
582. 78
. Abȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i‟lmi al-Usȗl
jilid I, h.287. 79
. Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatu Al-Tasyrî‟ Wa Falsafati, juz 1, (Beirut, Lebanon, Dar
al-Fikr, 1994), h. 196.
50
kesulitan, yang sekiranya perkara-perkara ini tidak ada, maka peraturan hidup
manusia tidak sampai rusak. Begitu juga keresahan dan kehancuran tidak
sampai bertebaran, sebagaimana yang diakibatkan oleh perkara-perkara
darȗriyyât.80
Atau segala sesuatu yang oleh hukum syarak tidak dimaksudkan
untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk
menghilangkan masyaqat, kesempitan, atau ihtiyâth (berhati-hati) terhadap
lima hal pokok tersebut. Seperti diharamkannya hal-hal berikut: menjual arak
agar tidak mudah memperolehnya, melihat aurat wanita, shalat di bumi yang
dighasab, membanting harga dan menimbun barang. Perlu ditegaskan, bahwa
termasuk dalam kategori hâjiyyât adalah memelihara kebebasan individu dan
kebebasan beragama. Sebab manusia hidup membutuhkan dua kebebasan ini.
Akan tetapi, terkadang seseorang mengahadapi kesulitan. Termasuk hâjiyyât
dalam kaitannya dengan keturunan, ialah diharamkannya berpelukan. Sedang
hâjiyyât dalam kaitannya dengan harta, seperti diharamkannya ghasab dan
merampas. Keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih
mungkin untuk diambil kembali. Sebab keduanya dilakukan secara terang-
terangan. Begitu juga, peminjam yang mampu, yang tidak mau membayar
hutangnya. Sedangkan hâjiyyât yang berkaitan dengan akal seperti
diharamkannya meminum sedikit minuman keras. Contoh lain, seperti
keringanan dalam masalah ibadah dikarenakan sakit atau dalam perjalanan.81
Maka al-Quran telah menetapkan bahwa menghilangkan kesempitan dari
80
. Sarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993, Cet.
Pertama), h. 181. 81
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 585.
51
manusia adalah merupakan satu segi diantara berbagai segi dari dasar
disyariatkannya syariah Islam. Allah berfirman:
)/284: 1البقرة)
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
c. Maslahah Tahsîniyyât, adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya,82
ataupun
pelengkap hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan
pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihtiyâth, akan tetapi dimaksudkan
untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas (lima
kemaslahatan).83
Wahbah Dzhuhaiylî berpendapat mengenai maslahah ini
beliau berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan maslahah tahsîniyyât
adalah perkara-perkara yang dikembalikan kepada kemuliaan akhlak, atau yang
ditujukan kepada kebaikan-kebaikan adat istiadat.84
Contohnya tahsîniyyât
dalam kaitannya dengan diri seseorang (al-nafs) seperti melindungi diri dari
dakwaan (tuduhan) batil dan makian orang , serta perbuatan serupa yang tidak
menyangkut sumber kehidupan (asl hayat), tidak pula menyangkut hajat hidup
(kebutuhan sekunder). Akan tetapi, berkenaan dengan maslahah yang dapat
mendatangkan kesempurnaan hidup. Martabat tahsîniyyât ini melengkapi dua
martabat terdahulu, yakni darȗriyyat dan hâjiyyât. Dalam melindungi harta,
82
. Nasrun Haroen, Usȗl al-Fiqh, (Pamulang Ciputat, Logos Publising House, 1996), Cet
Pertama, h. 116. 83
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586. 84
. Wahbah Al-Dzuhaylî, Nadzriyyâtu al-Darȗrah al-Syar‟iyyah Muqoronah ma‟a al-
Qonȗn al-Wad‟i,(Beirut/Lebanon, Muassasatu Al-Risalah, 1997, Cet. Kelima), h. 54.
52
diharamkannya menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak
menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut
kesempurnaannya. Sebab hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan
membelanjakan harta secara terang dan jelas; serta keinginan memperoleh
gambaran yang tepat tentang untung dan rugi. Adapun contoh yang berkenaan
dengan memelihara keturunan, diharamkannya seorang wanita keluar di tengah
jalan mengenakan perhiasan, dalam firman Allah:
)/22: 13النور)
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-
wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-
laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
53
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”
Larangan wanita memakai perhiasan di luar rumah itu termasuk dalam
kategori tahsîniyyât, karena memelihara kesempurnaan asl pokok
(nasl/keturunan). Selain itu, larangan tersebut sebagai wujud kehormatan,
kemuliaan, dan dapat mengangkat harkat wanita yang dewasa ini, nampak
ditempatkan dalam posisi rendah.
Sedangkan dalam masalah agama, di antaranya adalah larangan terhadap
dakwah yang menyimpang, agar tidak menyentuh pokok keimanan, di mana
dengan semakin gencarnya gerakan dakwah semacam itu akan menimbulkan
keraguan terhadap ajaran Islam.85
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian pengertian al-maslahah, lawan
dari kemaslahatan adalah kemudaratan atau kemafsadah-an. Dengan demikian,
jika memelihara tujuan syarak yang lima merupakan dua sifat yang saling bertolak
belakang, maka sejalan dengan tingkatan kemashlahatan yang terdapat pada
tujuan-tujuan syarak, tentu secara logis dapat dikatakan bahwa tingkat
kemaslahatan dengan tingkat kemudaratan yang akan timbul sebagai akibat dari
tidak tercapainya kemaslahatan juga terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kemudaratan
yang bersifat terberat atau terbesar, yang sedang dan kemudaratan yang bersifat
ringan. Kemudaratan yang terbesar adalah kemudaratan yang timbul sebagai
akibat dari tidak tercapainya tujuan syarak yang bersifat primer sebagai
85
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usul al- Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586-
587.
54
kemaslahatan primer. Bentuk dari kemudaratan ini adalah timbulnya kerusakan
dan kekacauan dalam tatanan kehidupan, baik yang berkaitan dengan keduniaan
ataupun keakhiratan. Kemudaratan yang bersifat sedang adalah yang timbul
sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kemaslahatan sekunder. Sedangkan
kemudaratan yang bersifat ringan adalah kemudaratan yang timbul akibat tidak
tercapainya kemaslahatan tersier. Kemudaratan ini tidak sampai melahirkan
kekacauan ataupun kesulitan dalam kehidupan manusia, tetapi dengan adanya
kemudaratan ini akan menghilangkan nilai-nilai estetis dan predikat “beradab dan
berbudaya” dari kehidupan manusia.
Masing-masing tingkat kemaslahatan di atas berhubungan dengan
kemaslahatan lainnya yang berfungsi sebagai penyempurna. Karena ia bersifat
menyempurnakan, maka meskipun ia tidak ada, hikmah yang terdapat pada
pensyariatan sesuatu hukum pada masing-masing tingkatan di atas tidak sampai
menjadi rusak atau hilang.86
Tujuan jumhur ulama melakukan pembagian al-
maslahah ke dalam tiga tingkatan di atas ialah, untuk menetapkan skala prioritas
dalam melakukan pilihan terhadap berbagai kemaslahatan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum. Dalam hal ini, penetapan hukum yang didasarkan atas
kemaslahatan dipersyaratkan tidak mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap
al-maslahah yang lebih tinggi tingkatannya, serta tidak pula bertentangan dengan
kemaslahatan yang ada dasar hukumnya secara tertentu.
Sebagai contoh, memelihara jiwa adalah maslahah darȗriyyat, sedangkan
memelihara muru‟ah adalah mashlahah tahsîniyyât. Seseorang tidak dibenarkan
86
. Iffatin Nur,” Maqasid al-Syarî‟ah (Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep
Maqâsid al-Syarîah)”,h. 78-79.
55
mengabaikan pemeliharaan yang bersifat darȗrî, hanya karena hendak
memelihara yang bersifat tahsînî. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menolak
untuk diperiksa oleh dokter medis untuk tujuan pengobatan, apabila ia menderita
penyakit yang dapat mengancam jiwanya, meskipun pemeriksaan tersebut akan
mengakibatkan auratnya terlihat. Sebab menutup „aurat sebagai bagian dari
muru‟ah adalah tahsînî, sedangkan memelihara jiwa adalah darȗrî. 87
Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan dari pemaparan di atas mengenai
macam-macam maslahah, adanya keterkaitan antara maslahah darȗriyyât dengan
maslahah lainnya, dengan tidak mengesampingkan perkara-perkara yang sifatnya
darȗrî, karena jika dikesampingkan maka akan menimbulkan kerusakan yang
sesuai dengan kemashlahatan yang dilindungi. Karena di samping kemashlahatan
yang besar ada pula kerusakan yang besar pula, maka dalam Islam sangatlah
penting memelihara kemashlahatan karena merupakan tujuan dari penetapan
syariah oleh Allah SWT.
87
. Iffatin Nur,” Maqasid al-Syarî‟ah (Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep
Maqâsid al-Syarîah)”,, h. 80-81.
56
BAB IV
ANALISIS REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU MENURUT TEORI
MASLAHAH Al-SYȂTHIBȊ
A. Rekomendasi MUI tentang Pemilu
1. Teks Tentang Pemilu
Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. 88
a. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya
cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa
b. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan
imârah dan imâmah dalam kehidupan bersama
c. Imârah dan imâmah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai
dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat
d. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya
(amânah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan
(fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya
adalah wajib.
88
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, (Jakarta: penerbit Erlangga, 2011),
h. 878.
57
e. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Rekomendasi
a. Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang
mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
b. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi
penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkatkan,
sehingga hak masyarakat terpenuhi.
2. Dasar Penetapan
1. QS. An-Nisa (4): 58
) 485
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
2. QS. An-Nisa (4): 59
)/85: 4النساء)
58
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” kepada selain ahlinya maka
tunggulah waktunya” (HR. Muslim)
3. Hadis Nabi SAW:
89 Artinya: “Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Jika
kepercayaan dilalaikan maka tunggulah waktunya. Sahabat bertanya :
bagaimana melalaikan kepercayaan tersebut?. Rasulullah SAW menjawab:
jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah
waktunya.” (HR. Al-Bukhâri)
4. Hadis Nabi SAW:
90
Artinya: “Dari Abdullah RA, Nabi SAW bersabda : “seorang muslim akan
mendengar dan patuh terhadap (perintah) yang dia suka atau benci selagi ia
tidak diperintah terhadap kemaksiatan, jika diperintah (untuk melakukan)
maksiat maka tidak (harus) mendengar dan menaati (perintah tersebut).(
HR. Al-Bukhâri)
89
. Ibnu Hajar Asqolani, Fathul Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari juz 14, (Riyadh: Dar al-
Thoyib, 2005) h. 659 90
. Ibnu Hajar Asqolani, Fathul Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari juz 16, (Riyadh: Dar al-
Thoyib, 2005) h. 624.
59
5. Hadis Nabi SAW:
"
Artinya: “Dari Abu Said Al-Khuldry RA, Rasulullah SAW bersabda : “jika
kalian bertiga dalam berpergian, maka angkatlah pemimpin di antara
kalian” (HR. Ibn Hibban)91
6. Kaidah Fikih :
92
“Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya „illat”
7. Kaidah Fikih :
93
“Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa
adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut
hukumnya juga wajib”.
8. Kaidah Fikih :
94
“Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan
kehendak kita), seyognya tidak ditingglkan semuanya”
91
. Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban juz 5, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1993) h.. 504. 92
. Abdul Hamid Hakim, Mabâdî Awwaliyyah Usul al-Fiqh wa al-Qawâ‟id al-Fiqhiyyah,
(Jakarta, Maktabah Al-Sa’adiyyah Putra, t.th) h. 46. 93
. Ibid, h. 40. 94
. Ibid. h. 43
60
9. Pendapat al-Mawardi dalam “Al-Ahkam as-Sulthaniyah”, h. 3”
95
“Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki
kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijma”
10. Pendapat Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam as-Sulthaniyah”, h. 4”
96
“Jika menetapkan imamah adalah wajib, maka (tingkatan) kewajibannya
adalah fardhu kifayah seperti jihad dan menuntut ilmu , di mana jika ada
orang yang ahli (pantas dan layak) menegakkan imamah, maka gugurlah
kewajiban terhadap yang lainnya. Jika tidak ada seorangpun yang
menegakkannya, maka dipilih di antara manusia dan golongan ; yakni
golongan legislatif hingga mereka memilih untuk umat seorang pimpinan,
dan golongan (calon) pemimpin hingga di antara mereka dipilih untuk
menjadi pemimpin”
11. Pandangan Imam al-Mawardi dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyah yang
menyatakan bahwa penegakan kepemimpinan (aqd al-imâmah) hukumnya
wajib berdasarkan konsensus. Hal ini mengingat imâmah ditetapkan sebagai
pengganti kenabian dalam menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia.
95
. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Basri al-Baghdadȋ, Al-Ahkâm al-
Sulthâniyah wa al-Wilâyat al-Dȋniyah, (Cairo Egypt., Al-Maktabah al-Taufȋqiyah, t.th) h. 15. 96
. Ibid, h. 17
61
12. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap warga
Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.97
13. Konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD,
dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum
secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat
guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk
menegakka kemashlahatan, yang merupaka inti dari tujuan syari’ah (maqâsid
al-syarî‟ah).
14. UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga
Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17
(tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih.98
B. Relevansi Rekomendasi MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî
Sedikit menjelaskan proses awal terbentuknya fatwa ini. Setelah penulis
mengadakan wawancara dengan ketua komisi Fatwa MUI pusat yaitu Prof. Dr. H.
Hasanudin A.F, M.A, bahwasanya terbentuknya fatwa ini karena adanya mustafti atau
yang meminta fatwa ini dibentuk. Lalu sifat fatwa ini adalah untuk publik masyarakat
97
. UUD Negara Republik Indonesia 1945 pdf. h. 19. 98
. UU No 10 2008 pdf, h. 9.
62
secara luas, tidak hanya mengikat perorang. Dalam fatwa ini juga mengandung segi
maslahah, karena segala sesuatu mengandung maslahah dan mudarat.99
Pada sub bab ini peneliti akan menganalisis masalah yang sedang diteliti yaitu
tentang keterkaitan fatwa MUI dengan teori maslahah al-Syâthibî. Poin pertama
dalam fatwa ini mengenai pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya
untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi
terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan
bangsa.100
Yang dimaksud dengan syarat-syarat di sini yaitu sesuai dari segi
kapabilitas, kompetensi, keahlian, yang mampu kapasitasnya.101
Sebagaimana
dijelaskan pada bab kedua yang membahas mengenai pengertian pemilu beserta tata
caranya dan macam-macamnya, pemilu yang di dalamnya bertujuan untuk memilih
pemimpin yang sesuai syarat-syarat yang ditentukan terutama sesuai aspirasi rakyat,
karena Indonesia ini adalah Negara yang menganut asas demokrasi. Rakyatlah yang
berdaulat, maka rakyat yang memenuhi syarat boleh mengikuti pemilu ini.
Dengan berasaskan Jurdil (jujur, adil), rakyat menjalankan haknya dalam
memilih pemimpin yang sesuai aspirasi mereka dan yang pastinya sesuai syarat-
syarat yang ditentukan. Meskipun Indonesia adalah Negara yang demokrasi, namun
dalam pemilu ini tidak bisa dengan demokrasi langsung di karenakan banyaknya
rakyat Indonesia, maka demokrasi tidak langsung atau di wakilkan yang sekarang
99
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat (Jakarta, 09 September
2015). 100
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878. 101
. Wawanncara Pribadi dengan Hasanudin AF. Di Kantor MUI Pusat (Jakarta, 09
September 2015).
63
dianut. Sebagaimana yang kita ketahui, rakyat memilih wakil-wakil rakyat dan
sekaligus calon pemimpinnya untuk duduk di kursi pemerintahan. Ini merupakan
salah satu bentuk demokrasi, maka untuk para wakil dan pemimpin-pemimpin rakyat
agar selalu mengedepankan kepentingan rakyat atau bangsa di atas kepentingan
pribadi, sehingga tidak adanya kekecewaan pada masyarakat ketika sudah berlalunya
pemilu.
Sesuai dengan pandangan al-Syâthibî mengenai maslahah, yang mana ia
memandang kemaslahatan dunia haruslah ada unsur kemaslahatan akhiratnya juga,
karena jika tidak maka itu bukan maslahah yang di maksud oleh syariah.102
Begitupun dalam pemilu ini, seluruh lapisan masyarakat haruslah memandang kepada
kedua kemaslahatan ini, yaitu dunia dan akhirat. Karena jika hanya memperhatikan
kemaslahatan dunia saja sedangkan mengesampingkan kemaslahatan akhiratnya,
maka akan berdampak buruk bagi sebagian masyarakat. Misalnya dalam masalah
ibadah, jika rakyat memilih pemimpin yang pro rakyat namun hanya dalam masalah
keduniaan saja, sedangkan kontra masalah keagamaannya. Maka sebagian
masyarakat akan mengalami kesulitan dalam peribadatan, khususnya masyarakat
muslim yang ada di Indonesia. Yang memang Indonesia ini berpenduduk mayoritas
muslim. Karena masalah keagamaan bukan hanya menyangkut masalah duniawi saja,
tapi juga menyangkut masalah ukhrawi.
102
. Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât,
h. 81.
64
Selanjutnya, poin kedua dalam fatwa ini yaitu mengenai kewajiban memilih
seorang pemimpin demi tegaknya imâmah dan imârah.103
Imâmah adalah
kepemimpinan yang berkaitan dalam urusan agama maupun duniawi sebagai
pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Kepemimpinan di Indonesia sudah
memenuhi aspirasi rakyat, meskipun masih ada kekurangan namun ada kelebihannya
juga.104
Sebagaimana yang dijelaskan dalam qâ‟idah usȗl yaitu105
jadi apa adanya yang bisa dipilih. Dalam masalah pemilu, seluruh lapisan masyarakat
(yang mempunyai hak pilih) wajib mengikutinya karena suara tiap-tiap masyarakat
sangatlah berpengaruh dalam penentuan calon pemimpin selajutnya. Meskipun
banyak dari masyarakat yang lebih memilih untuk golput/sama sekali tidak memilih,
di karenakan ketidaktahuan mengenai mekanisme pemilu ataupun karakter para calon
pemimpin barunya. Seharusnya pemerintah perlu lebih mensosialisasikan mekanisme
pemilu berikut dengan pengenalan calon pemimpin yang hendak akan dipilih oleh
setiap masyarakat.
Masih ada keterkaitan antara poin pertama dan kedua dalam fatwa ini, sama-
sama menjelaskan tentang kewajiban dalam memilih calon pemimpin sesuai ciri-ciri
yang ideal dan yang mementingkan kepentingan bangsa. Ada beberapa sistem dalam
pemilu, yang di antaranya sistem pemilihan secara mekanis yang mana di dalamnya
masing-masing individu masyarakat memberikan suaranya dalam pemilu.
103
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878. 104
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat (Jakarta, 09 September
2015). 105
. Abdul Hamid Hakim, Mabâdî Awwaliyyah Usul al-Fiqh wa al-Qawâ‟id al-Fiqhiyyah, h.
43.
65
Secara pasti dalam penegakan imâmah dan imârah ada segi maslahahnya,
karena jika di sebuah daerah ataupun negara tidak ada seorang pemimpin maka tidak
akan terjaganya kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Inilah alasan diwajibkannya
menegakkan imâmah dan imârah. Serta agar terpeliharanya maqâsid syariah yang
mana di dalamnya ada perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Jika seluruh lapisan masyarakat memilih sesuai kriteria dan aspirasi rakyat yang
mengedepankan kepentingan bangsa sekaligus kemaslahatan dunia ataupun akhirat,
maka akan terpeliharanya kelima hal di atas.
Syariah tidak menghendaki kesulitan pada manusia, maka hendaklah manusia
tidak mengedepankan hawa nafsu, apalagi ketika memilih dalam pemilu. Jika
seseorang mengedepankan hawa nafsu dengan memilih namun tidak di dasari oleh
pengetahuan akan mekanisme pemilu, maka akan salah dalam memilih, tidak sesuai
dengan harapan, atau akan mengalami kesulitan.
Selanjutnya poin yang ketiga mengenai Imâmah dan imârah dalam Islam
menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud
kemaslahatan dalam masyarakat.106
Kepemimpinan dalam Islam mengharuskan
adanya syarat-syarat agar tidak salah dalam memilih dan sesuai dengan aspirasi
rakyat yang membutuhkan seorang pemimpin yang ideal dan amanah. Karena
pemimpin yang amanah, akan selalu mementingkan kemaslahatan rakyatnya.
Kemaslahatan merupakan mengambil manfaat dan menolak kemudaratan, ketika
rakyat memilih pemimpin yang sesuai dan memenuhi syarat, maka akan terjaganya
106
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
66
kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sekaligus menolak bahaya yang ditimbulkan jika
amanat diberikan kepada yang bukan ahlinya. Karena kehidupan manusia tidaklah
terlepas dari perlindungan terhadap kelima perkara yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Tidaklah sempurna kehidupan manusia jika tidak menjaga kelima hal ini.
Mengenai poin ketiga ini, MUI mensyaratkan agar sesuai dengan ketentuan agama,
karena hal pertama yang dilindungi dalam lima perkara di atas adalah masalah
agama. Maka seorang pemimpin dalam Islam dilihat dari segi agamanya dahulu, jika
agamanya sudah baik bisa diperkirakan ia akan mampu mengemban amanah yang
diberikan kepadanya. Setiap manusia pasti diberikan tanggung jawab yang sesuai
dengan kemampuannya, karena Allah SWT tidak mensyariatkan segala sesuatu yang
di luar kemampuan hamba-Nya. Namun, kemaslahatan bisa didapat dengan usaha
yang melelahkan dalam menggapainya seperi halnya perlindungan terhadap akal. Jika
seseorang mengabaikan perintah-perintah Allah SWT mengenai perlindungan
terhadap akal seperti pelarangan meminum khamr/minuman keras, maka tidak akan
terwujudnya kemaslahatan jika tidak dimulai dari diri masing-masing. Karena
menegakkan kemaslahatan bukan saja kewajiban para pemimpin, namun seluruh
masyarakat haruslah ikut berperan dalam mewujudkan kemaslahatan yang sesuai
dengan syariah Islam. Selaras dengan apa yang dikemukakan oleh al-Syâthibî dan
67
Muktazilah yaitu tujuan Allah SWT menetapkan syariat adalah untuk menjaga
kemaslahatan manusia.107
Seperti yang sudah dijelaskan pada teks rekomendasi yang pertama, yaitu
tentang tujuan pemilu, ada keterkaitan dengan butir fatwa ketiga ini. Mengenai
kemaslahatan dunia dan akhirat, imâmah dan imârah yang dihajatkan demi
terjaganya kemaslahatan manusia merupakan sebagai penegak kedua kemaslahatan di
atas. Tanpa sosok seorang pemimpin, sangatlah sulit untuk menegakkan
kemaslahatan duniawi ataupun ukhrawi, karena pemimpin dan para wakil-wakilnya
atau wakil-wakil rakyatlah yang menjadi penopang rakyatnya dalam menjalani
kehidupan bernegara. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para wakil rakyatlah
yang harus mengedepankan kedua kemaslahatan di atas. Karena segala kepentingan
yang bermuara pada kemaslahatan manusia menjadi sebab diwajibkannya
menjalankan kepentingan tersebut. Semua ketetapan hukum yang ditetapkan oleh nas
seluruhnya mengandung kemaslahatan bagi manusia, baik maslahah di dunia dan di
akhirat.
Selanjutnya poin keempat yaitu memilih pemimpin yang beriman dan
bertakwa, jujur (siddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh),
mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam
hukumnya adalah wajib.108
Sifat ketakwaan disini relatif tidak bisa diukur, meski
107
. Abu Ishaq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usul Al-Syarî‟ah, jilid 2, h.4. 108
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
68
demikian minimal yang mendekati syarat yang ditentukan.109
Memilih seorang
pemimpin merupakan perkara daruri, karena sebagaimana pengertian dari maslahah
ini yang menerangkan bahwasanya maslahah daruri merupakan kemaslahatan yang
memelihara kelima unsur pokok dalam Islam. Dan jika tercapainya pemeliharaan
kemaslahatan ini, maka akan melahirkan keseimbangan antara agama dan dunia.
Dengan terpilihnya seorang pemimpin yang sesuai dengan syarat yang
disebutkan di atas, maka diperkirakan akan terwujudnya keseimbangan antara urusan
keagamaan dan keduniaan. Namun jika yang terpilih seorang yang tidak memiliki
karakter seperti yang disebutkan di atas, kemungkinan besar dapat menimbulkan
kemudaratan yang sama-sama besarnya. Karena lawan dari kemaslahatan yaitu
kemudaratan, jika kemaslahatannya besar maka kemudaratannya besar pula, namun
jika kemaslahatannya sedang maka kemudaratannya sedang pula, begitupun juga
kemaslahatan yang bersifat ringan.
Maka dari itu, rekomendasi ini mewajibkan kepada seluruh masyarakat yang
sudah memenuhi syarat untuk dapat memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
Demi terciptanya kemaslahatan yang di dalamnya ada manfaat, bukan kemudaratan
yang tidak diinginkan oleh semua pihak. Karena seharusnya lebih mengutamakan
kemaslahatan yang lebih tinggi dari pada kemaslahatan yang tingkatannya lebih
rendah. Namun untuk pemilih, memilih dalam pemilu ini hukumya fardhu kifayah
109
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat Jakarta, 09 September
2015.
69
bagi pemilih. Ketika sebagian sudah melakukan, maka yang lain bebas dari
kewajiban tersebut.110
Pada poin terakhir dari rekomendasi ini dijelaskan bahwasanya bagi siapa
yang tidak memilih sedangkan ada calon yang sesuai kriteria yang dijelaskan dalam
poin sebelumnya, maka hukumnya haram. Maksud dari fatwa ini yaitu golput/tidak
memilih merupakan hak pemilih dalam pemilu, karena kembali ke pembahasan
sebelumnya tentang hukum memilih yaitu fardu kifâyah. Maka ketika yang lain sudah
memilih, maka terbebaslah yang lain dari kewajiban memilih dalam pemilu. Seperti
yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, pemilu merupakan wadah bagi masyarakat
dalam menuangkan aspirasi suaranya untuk memilih seorang pemimpin yang ideal
sesuai dengan kriteria yang dijelaskan pada isi fatwa diatas. Maka alangkah ruginya
bagi masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, sedangkan
sebagian dari masyarakat sangatlah antusias dalam menggunakan hak pilihnya demi
membangun negara yang lebih baik dengan pemimpin yang sesuai dengan kriteria
yang dijelaskan di atas.
Namun, ada kemungkinan jika meningkatnya angka golput pada pemilu
disebabkan oleh ketidak percayaan masyarakat dengan calon yang sudah ditentukan
atau yang mendaftarkan dirinya dalam pemilu yang sedang diadakan. Maka alangkah
baiknya pemerintah mengambil cara dengan mengadakan seleksi pada para calon
pemimpin. Tujuannya agar bukan saja hanya yang mempunyai dana atau pendukung
110
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat Jakarta, 09 September
2015.
70
yang banyak yang bisa menjadi pemimpin, namun calon yang memang benar-benar
amanah dalam mengemban amanat yang diberikan kepadanya. Karena sebenarnya
seorang pemimpin dan para wakilnya di negeri ini merupakan pelayan masyarakat,
yang seharusnya mengedepankan kemaslahatan umat, bukan mengedepankan
kemaslahatan pribadi, partai, atau yang lainnya yang sifatnya diluar kepentingan
bangsa ini.
Maka dari itu, semua poin-poin yang dirumuskan MUI dalam sebuah fatwa
ini, tidak lain hanyalah sebagai pedoman/landasan hukum yang ditinjau dari segi
agama Islam. Tujuannya hanya agar terwujudnya kemaslahatan manusia seluruhnya,
bukan hanya kemaslahatan dunia saja. Tapi juga kemaslahatan ukhrawinya. Karena
sebuah kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting, apalagi dengan cakupan
sebuah negara yang begitu besar seperti Indonesia ini. Seperti hadis Nabi SAW yang
menerangkan, jika ada tiga orang berpergian ke suatu tempat, maka salah satunya
harus menjadi pemimpin.
Ini menunjukan bahwasanya posisi seorang pemimpin sangatlah penting
dalam tatanan kepemerintahan yang ada. Namun pemimpin yang ideal dan memenuhi
syaratlah yang harus diutamakan dalam pemilu, demi tegaknya maslahah. Karena
jika suatu kemaslahatan tidak diwujudkan, maka akan datang kerusakan yang sama
besarnya dengan besarnya kemaslahatan yang tidak terwujud.
Dari sekian pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwasanya relevansi
antara rekomendasi MUI ini dengan teori maslahah al-Syâtibî ialah sama-sama
71
mengandung kemaslahatan duniawi dengan disyaratkannya seorang pemimpin
dengan syarat-syarat yang ideal yang sudah dijelaskan di atas. Sedangkan
kemaslahatan akhiratnya bisa dilihat dari kriteria ketakwaan yang sifatnya relatif,
yang mana harus terpenuhi demi terwujudnya kemaslahatan akhirat. Meskipun
selama ini belum ada yang bisa memenuhi syarat ini, tapi setidaknya masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diambil seadanya tanpa mengesampingkan
syarat-syarat yang ideal dan kemaslahatan yang harus diwujudkan, duniawi dan
ukhrawi.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pembahasan tentang Rekomendasi MUI mengenai Pemilu menurut teori
maslahah al-Syâthibî, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Maslahah merupakan tujuan utama Syâri’ dalam menetapkan hukum bagi
seluruh manusia. Maslahah harus sejalan dengan syariah meskipun harus
bertentangan dengan kepentingan. Segi maslahah dalam fatwa ini yaitu :
dalam melaksanakan pemilu, syarat-syarat ideal seperti keahlian,
kapabilitas dll merupakan salah satu jalan agar terwujudnya kemaslahatan
dunia, dan syarat ketakwaan merupakan jalan agar terwujudnya
kemaslahatan ukhrawi. Selanjutnya dianjurkannya untuk memilih, jika ada
calon yang sesuai karakteristik yang ditentukan, namun jika belum ada
yang memenuhi kriteria, maka harus dipilih yang lebih sedikit
mafsadahnya.
2. Relevansi antara fatwa MUI tentang Pemilu dengan teori maslahah al-
Syâthibî ialah sama-sama mengandung dua kemaslahatan yaitu
kemaslahatan dunia dan akhirat, syarat ideal dalam pemilihan merupakan
agar terwujudnya kemaslahatan dunia, sedangkan segi agama ataupun
ketakwaan merupakan salah satu syarat agar terwujudnya kemaslahatan
akhirat.
73
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang berjudul “Rekomendasi MUI tentang
Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî” maka penulis dapat memberikan
saran sebagai berikut :
1. Perlunya sosialisasi lebih terhadap masyarakat mengenai Pemilu, agar
masyarakat benar-benar mengenal sosok pemimpin yang akan dipilih. Dan
terwujudnya kemaslahatan.
2. Perlunya peran para Ulama dalam berjalannya kepemerintahan di
Indonesia.
3. Maslahah perlu diwujudkan agar kehidupan manusia dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan syariah dan Masyarakat perlu lebih memahami fatwa-
fatwa yang ditentukan oleh MUI, karena fatwa-fatwa inilah yang menjadi
landasan hukum meskipun ada beberapa dari fatwa-fatwa MUI yang
sifatnya hanya untuk perorangan.
74
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci
Al-Quran al-Karim.
B. Buku
Abbas, Ahmad Sudirman, Sejarah Qawâ’id Fiqhiyyah. Jakarta: Radar Jaya
Offset 2009, Cet. kedua.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad, Al-Mustasfa min i’lmi al-
Usȗl, T.tp., Dar al-Fikri, t.th, jilid I.
Halawi, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khatab
Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fikih. Surabaya: Risalah Gusti 2009,
Cet. Pertama.
Haq , Hamka, Falsafat Usul Fiqh. Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam 1998.
__________, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-
Muwâfaqât, T.tp., Erlangga, 2007.
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh
Mazhab Sunni, Jakarta: PT Raya Grafindo, 2000.
Handoyono, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak
Asassi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003.
Haroen , Nasrun, Usȗl al-Fiqh, Pamulang Ciputat, Logos Publising House, 1996.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011.
Huda, Ni‟matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005.
Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-
Istiqra’ aL-ma’nawi al-Syâtibî. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
75
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Usul al-Fiqh, Jakarta: Amzah,
2009.
Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmatu Al-Tasyri’ Wa Falsafati, juz 1, Beirut, Lebanon,
Dar Al-Fikr, 1994.
Khallâf , Abd Al-Wahâb, Ilmu Usȗl al-Fiqh, T.tp., Dar al-Qolam, 1978.
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, Penerjemah
Noorhaidi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1996.
Kusnardi, Moh., Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
T.tp: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 2010.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Meyer, Thomas, Jalur Idela Menuju Demokrasi, Friedrich-Eber-Stiftung (FES),
T.tp., Sumber Rezeki Print, 2008.
Nasution, Lahmudin, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Nur, Iffatin,”Maqâsid al-Syari’ah (Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep
Maqâsid al-Syari’ah al-Syâthibî)”, Disertasi Sekolah Pascasarjana
Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas
LPPM, UNISBA, 1995.
Qardawi, Yusuf, Mudkhâl li al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, T.tp., Maktabah
Wahbah, 1997.
_______, Yusuf, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting,
Penerjemah Moh. Nurhakim. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Rahman, Abdur, Shariah Kodifikasi Hukum Islam, Penerjemah Basri Iba Asghary,
Wadi Masturi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.
76
Syâthibî, Abȗ Ishaq, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syari’ah, jilid 2, Beirut, Lebanon:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th.
_________ , Abu Ishaq, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syarî’ah, jilid 2, T.tp., Dar al-
Hadits, 2006.
Syukur, Sarmin, Sumber-sumber Hukum Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1993.
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah
Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
SA, Romli, Muqâranah Madzâhib fî al- Usȗl. Jaksel, Gaya Media Pratama
Jakarta, 1999.
Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, T.tp., Prestasi Pustaka
Publisher, 2006.
Tim Redaksi Fokusmedia, UUD’ 45 dan Amandemennya, Fokusmedia, h. 58-59.
__________, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam, Fokusmedia,.
UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf.
Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya
Hamka hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Zahrah, Muhammad Abu, Usȗl al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet
Basyir dkk, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014.
_____ , Imam Abu, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah fi al-Siyâsah wa al-Aqoidi
wa Târîkh al-Madzhab al-Fiqhiyyah, juz 1, T.tp., Dar al-Fikr al-„Arabi,
1989.
Zuhaylî, Wahbah, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Muanawar, M. Hadri
Hasan. Ciputat Jaksel: Gaya Media Pratama 1997, Cet. Pertama.
________, Wahbah, Nadzriyyâtu al-Darȗrah al-Syar’iyyah Muqoronah ma’a al-
Qonȗn al-Wad’i, Beirut/Lebanon, Muassasatu Al-Risalah, 1997.
77
C. Wawancara
Wawancara pribadi dengan Hasanudin AF, di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa
9 September 2015.
D. Website
http://www.pemiluindonesia.com/kamus
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html.
http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-
1997.html
http:// hafidzahmuda.wordprees.com.