konsep beschikking (ditinjau dari uu no. 9 tahun 2004 dan uu no. 30 tahun 2014)
DESCRIPTION
jangan di jiplakTRANSCRIPT
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
MAKALAH
“Konsep beschikking (ditinjau dari UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 30 Tahun 2014)”
Disusun Oleh:
RAKA TRI PORTUNA
02011281419245
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2015
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan
tepat waktu.
Berikut ini penulis membuat sebuah makalah dengan judul " Konsep beschikking
(ditinjau dari UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 30 Tahun 2014)", yang mmenurut saya
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari tentang suatu konsep
keputusan. Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat
kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya membuat makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Indralaya, 09 Nopember 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalahan 2
C. Kajian Pustaka 2
1. Perbuatan Hukum 2
2. Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) 4
BAB II KONSEP BESCHIKKING 12
A. Konsep beschikking (UU No. 9 Tahun 2004 Tentang PTUN) 12
B. Konsep beschikking (UU No. 30 Tahun 2014 Tentang AN) 19
BAB IV PENUTUP 27
Kesimpulan 27
DAFTAR PUSTAKA 28
P e n d a h u l u a n | 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pokok bahasan ini akan menbahas tindakan hukum pemerintah yang berkaitan
dengan tindakan hukum yang di lakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi
pemerintahannya menyangkut bidang hukum publik berati tindakan hukum yang dilakukan
tersebut berdasarkan hukum publik atau yaitu tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan
hukum publik dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakat hukum
publik , pada dasarnya, siapapun yang menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan publik
di dalamnya terdapat suatu langkah ataupun tindakan oleh pemerintah (penguasa). Langkah
dari tindakan itu mempunyai maksud dan tujuan yaitu bagi pemerintah dan masyarakat.
Untuk pemerintah diharapkan memperoleh dukungan sedangkan untuk masyarakat biasanya
adalah dicapainya kesejahteraan kehidupan masyarakat. Dalam melaksanakan kebijakan
publik untuk memudahkan pelaksanaannya biasanya ada proses paksaan, legitimasi dari
kebijakan publik itu ditempatkan pada produk hukum, ketentuan hukum, peraturan hukum.
Jadi menurut penulis kebijakan publik harus memenuhi beberapa hal yaitu sebagai berikut :
adanya kepastian hukum yang mengikat bagi penentu kebijakan dan masyarakat, diputuskan
oleh pemerintah, keputusan dapat diterima oleh masyarakat, dan bertujuan mensejahterakan
masyarakat.
Perbuatan hukum publik yang bersegi 1 (satu) yang dilakukan oleh badan
Administrasi Negara diberi nama “ketetapan” kalau bahasa asingnya “beschikking” dan
perbuatan membuat ketetapan ini disebut “menetapkan”.1
1 Mustafa, Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni Bandung, Hal. 63
P e n d a h u l u a n | 2
Untuk lebih jelasnya penulis akan memeparkan suatu perbuatan/tindakan hukum yang
bersifat hukum publik khususnya dalam hukum administrasi yang di kenal dengan
beschikking (penetapan). Dan penulis juga akan menjelaskan bagiamana perbuatan/tindakan
hukum beschikking (penetapan) bila di tinjau dari UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo
UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan UU No.
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara.
B. Rumusan Masalah
Dari penulisan diatas terdapat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu Konsep beschikking?
2. Bagaiman Konsep beschikking bila ditinjau dari UU No. 9 Tahun 2004 dan UU
No. 30 Tahun 2014?
C. Kajian Pustaka
1. Perbuatan Hukum
Secara umum bentuk perbuatan hukum yang dapat dikategorikan menjadi dua
golongan, yakni perbuatan hukum yang bersifat hukum privat, dan perbuatan hukum yang
bersifat hukum privat, dan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik.
1. Perbuatan Hukum yang Bersifat Hukum Privat
Ada dua pendapat yang mempermasalahkan tentang dapatkah pemerintah
(penguasa) atau lebih konkretnya adalah badan/pejabat tata usaha negara mengadakan
hubungan hukum privat.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof.Scholten, menyatakan bahwa
badan/pejabat tata usaha negara tidak dapat menggunakan hukum privat dalam
P e n d a h u l u a n | 3
menjalankan tugas pemerintahan dengan alasan sifat hukum privat adalah mengatur
hubungan hukum yang merupakan kehendak dua belah pihak yang seimbang
kedudukanya dan bersifat perorangan. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar dsb. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk badan/pejabat tata usaha
negara hanya dimungkinkan satu tindakan dalam rangka pelaksanaan kepentingan
umum.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh Prof.Krabbe, Kranenburg, Vegtig, donner,
dan Huart bahwa badan/hal tertentu dapat menggunakan hukum privat.
2. Perbuatan Hukum yang Bersifat Hukum Publik
Maksud dan penelahaan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik adalah
berupa perbuatan atau tindakan hukum administrasi atau tata usaha negara yang
dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara, dan bukan perbuatan/tindakan hukum
publik lainnya, misalnya tindakan dalam hukum pidana, tindakan dalam hukum tata
negara yang sama-sama termasuk dalam lingkaran hukum publik.
Perbuatan/tindakan hukum administrasi atau tata usaha negara yang dilakukan oleh
badan/pejaba tata usaha negara menpunyai sifat-sifat sebagai berikut.
1. perbuatan/tindakan hukum tersebut dilakukan dalam hal atau keadaan menurut cara-
cara yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan
2. perbuatan/tindakan hukum tersebutm mengikat warga masyarakat sekalipun yang
bersangkutan tidak menghendakinya.
3. perbuatan/tindakan hukum tersebut bersifat sefihak. Dilakukan atau tidak dilakukan
tergantung pada kehendak badan/pejabat tata usaha usaha negara yang memiliki
wewenang pemerintah.
P e n d a h u l u a n | 4
4. Perbuatan atau tindakan hukum tersebut bukan merupakan pernyataan kehendak
badan/pejabat tata usaha negara, melainkan merupakan suatu konsekuensi dari
pelaksanaan fungsi pemerintahan yang dilandasi suatu wewenang.
5. perbuatan/tindakan hukum tersebut memerlukan pengawasan secara preventiv/
represif.
6. dalam perbuatan/tindakan hukum tersebut terdapat hubungan antara penguasa dengan
warga masyarakat yang berbeda, misalnya dalam hukum perdata.
Perbuatan/tindakan hukum yang bersifat hukum publik khususnya dalam hukum
administrasi yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara salah satunya adalah
Beschikking(mengeluarkan keputsan).2
2. Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Prof. Muchsan
adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika
kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara,
yaitu:
1. Penetapan tertulis;
2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
Sebelum menguraikan unsur-unsur ketetapan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan
pengertian ketetapan berdasarkan pasal 2 UU Administrasi Belanda (AWB) dan menurut
2 Ibid, Hal. 61
P e n d a h u l u a n | 5
pasal 1 dan 3 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUNjo UU No.9 Tahun 2004 tentang
perubahan UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yaitu sebagai berikut.
Pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, yang di
berikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata Negara atau hokum
Adminstrasi, bukan di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan
hukum yang sudah ada,atau menciptakan hubungan hokum yang baru, yang memuat
penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penhapusan, atau penciptaan.
Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu sebagai berikut:
1. Suatu pernyataan kehendak tertulis;
2. Di berikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hokum tata Negara atau
hokum administrasi;
3. Bersifat sepihak;
4. Yang di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan
hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hokum baru,yang memuat
penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan,penhapusan, atau penciptaan;
5. Berasal dari organ pemerintahan.
Penjelasan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Sesuai dengan isi rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tersebut memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:
P e n d a h u l u a n | 6
1. Penetapan tertulis
Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut
penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau
memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1
menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat
eksekutif. Menurut Prof. Muchsan, aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan
terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)
Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka roda
pemerintahan akan macet.
b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka
akan sulit mensejahterakan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-
undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam
undang-undang. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada
dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries
ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara
P e n d a h u l u a n | 7
tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon menambahkan bahwa di
Belanda untuk keputusan terikat (gebonden beschikking) diukur dengan peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk keputusan bebas (vrije beschikking)
dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan sebagai “algemene beginselen
van behoorlijk bestuur” (abbb). Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
janganlah diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek
fungsional.
3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara
Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan memperoleh
wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan
kewenangan (bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan
hukum privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum
(orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah
wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986
menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang
dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah
pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Delegasi menurut Prof. Muchsan
adalah pemindahan/pengalihan seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi)
kepada delegataris (penerima delegasi) termasuk seluruh pertanggungjawabannya.
Mengenai mandat Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada
sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan
Prof. Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan sebagian
wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat)
sedangkan pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.
P e n d a h u l u a n | 8
4. Konkret, individual dan Final;
Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup jelas).
Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat digunakan
untuk menelaah pekah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah
mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-
tidaknya akibat hukum.
5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum
perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan
atau pejabat lainnya.
Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan
“beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo
menyebutnya “penetapan”. Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E.
Utrecht dan Prajudi Atmosudirdjo.
1. Van der Wel membedakan keputusan atas:
a. De rechtsvastellende beschikkingen;
b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:
1) Belastende beschikkingen (keputusan yang memberi beban);
2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);
P e n d a h u l u a n | 9
3) Statusverleningen (penetapan status).
c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).
2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:
a. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan.
Ketetapan Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada.
Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring),
pernyataan tidak diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).
b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian
(recthtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat hukum
(rechtscheppend).
c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)
Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat:
1) ketetapan yang berubah mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;
2) Suatu Ketetapan Negatif;
3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);
5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.
3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan)
dan penetapan positif (permintaan dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja,
sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas lima
golongan yaitu:
a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;
P e n d a h u l u a n | 10
b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;
c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
d. Yang memberikan beban (kewajiban);
e. Yang memberikan keuntungan.
Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:
1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu
ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan
seseorang di dalam surat permintaannya;
2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;
3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;
4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin,
lisensi, dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinkannya untuk
memindahkan kampung, membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian
konsesi haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang sematang-
matangnya.
Sedangkan mengekurkan keputusan merupakan perbuatan pemerintah dalam bidang
hukum publik bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1) Sepihak konkret individual
contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai pegawai
negeri sipil, keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan publik,
penetapan pajak seseorang.
2) Sepihak konkret umum
contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri tenaga kerja
tentang upah minimum, dsb.
3) Lebih dari satu badan/pejabat TUN-konkret-umum
P e n d a h u l u a n | 11
contoh: keputusan bersama menteri agama dan menteri pendidikan tentang pengangkatan
guru agama.3
3 Riduan, HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: PT RajaGrafindo Persada, Hal. 139-142
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 12
BAB II
KONSEP BESCHIKKING
A. Konsep beschikking (UU No. 9 Tahun 2004 Tentang PTUN)
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 9 Tahun 2004, keputusan didefinisikan sebagai;
“ Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
berdasarka peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.4
Berdasarkan definisi diatas ini tampak bahwa KTUN memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berdasarkan pearturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Bersifat konkret, individual, dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum;
6. Seseorang atau badan hukum perdata.
1. Pernyataan Kehendak Sepihak Secara Tertulis
Pasal 1 angka 3 UU PTUN (Nomor 9 Tahun 2004) diadopsi dari UU administrasi
Belanda) menegaskan “ketetapan merupakan pernyataan kehendak tertulis secara sepihak
dari organ pemerintah pusat, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan
dari hukum tata negara atau hukum administrasi yang dimaksudkan untuk penentuan,
penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan
hukum baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan,
4 UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Psl 1
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 13
penghapusan, atau penciptaan. Keputusan memang harus tertulis, namun yang
disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan
sebagainya. Persyaratan tertulis itu demi kemudahan dari segi pembuktian. Oleh karena
itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabilah
sudah jelas:
1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkanya;
2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
Dari bunyi ketentuan pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang
dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara
menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen. Bahwa segenap
elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi objek sengketa di
Peradilan Tata Usaha Negara Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1
butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tersebut, ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan
tersebut. Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa”
yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat
dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya. Badan Peradilan yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan
Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Bahwa secara umum
syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 14
SYARAT MATERIIL :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang;
2. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana
hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;
4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
SYARAT FORMIL :
1. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan
berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan;
3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus
dipenuhi;
4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati.
Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat
hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian
yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya
Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk
menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 15
Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan
Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan
norma-norma hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi
tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata
Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
2. Asas Praduga (rechmatig)
keputusan Tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha
Negara selalu dianggap sah sampai ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap yang menerangkan bahwa keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal
atau tidak sah. Asas ini kemudian dipertegas atau dikukuhkan dalam pasal 67 yang
menjelaskan bahwa selama belum diputus oleh pengadilan, keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, harus dianggap sah menurut
hukum. Adanya asas tersebut dapat dipahami, karena jika sampai tidak ada asas yang
dimaksud maka sudah pasti pelaksanaan tugas dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara
akan mendapatkan hambatan.5
Sebagai akibat dari adanya asas praduga rechtmatig, maka setiap keputusan Tata
usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara secara langsung
dapat dilaksanakan, meskipun menurut pendapat orang atau badan hukum perdata yang
merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara tersebut, pada
ketupusan Tata Usaha terdapat cacat yuridis. Selama belum ada putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan Tata Usaha
Negara dinyatakan batal atau tidak, selama itu pula keputusan Tata Usaha Negara tersebut
5 UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Psl 67
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 16
dianggap sah. Adanya penundaan pelaksanaan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
merupakan pengecualian dari asas Persumptio iustae causa. Asas ini dimuat dalam pasal 67
ayat 1 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menyebutkan “gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanaknannya keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat”.
Pengertian pasal tersebut di atas menjelaskan bahwa setiap keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dianggap sah oleh karenanya dapat dijalankan walaupun ada
gugatan. Pengecualian yang dimaksud terdapat pada pasal 67 ayat 2 Undang-undang No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi: ”Penggugat dapat
mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 67 ayat 2 tersebut diatas memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan
permohonan penundaan atas pelaksanaan Surat Keputusan Tata Usaha Negara sebagai obyek
sengketa. Permohonan penundaan dapat diajukan Penggugat bersama-sama dengan gugatan
atau lebih lengkapnya dimuat dalam pasal 67 ayat 2 dan 3 atau lebih jelas lagi tentang
permohonan penundaan Surat Keputusan Tata Usaha Negara dimuat dalam Buku II Tentang
Pedoman Teknis dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara yaitu huruf (P) “permohonan
penundaan dapat diajukan sekaligus dalam surat gugatan atau terpisah tetapi diajukan
bersamaan dengan gugatan atau diajukan selambat-lambatnya pada waktu Replik”.
Agar permohonan Penundaan dapat dikabulkan, maka harus dengan alasan yang kuat
sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 ayat 4 huruf a Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara yang berbunyi sebagai berikut “Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 17
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan”.
Kriteria Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
Tafsir gramatikal terhadap korelasi Pasal 67 ayat (1) dan (2) menimbulkan kesan
seolah-olah terdapat kontradiksi antara kedua ayat dari Pasal 67 tersebut. Jika Pasal 67 ayat
(1) melarang penundaan pelaksanaan Keputuan Tata Usaha Negara, ternyata Pasal 67 ayat (2)
justru membuka peluang untuk dilakukannya penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara. Namun, dengan menggunakan tafsir sistematik dapat dianalisis bahwa hubungan
antara kedua ayat dari Pasal tersebut merupakan hubungan antara prinsip umum (general
principle, algemene beginsel) dengan prinsip khusus (special principle, bijondere beginsel).
Pasal 67 ayat (4) mengatur bahwa dalam keadaan khusus dapat diterapkan prinsip khusus
yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2) yang mengecualikan prinsip umumnya (Pasal 67 ayat
1) yang mengandung prinsip praduga keabsahan, dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kepentingan penggugat. Suatu keputusan Tata Usaha Negara atau tindakan hukum
administrasi itu selalu diduga sah menurut hukum, dan karenanya selalu dapat dilaksanakan
seketika. Jadi, suatu keputusan administratif itu dianggap berdiri segaris dengan suatu
putusan Pengadilan atau suatu akta otentik. Walaupun keputusan yang bersangkutan itu
digugat, hal tu tidak menghalangi bekerjanya prinsip tersebut.
Ditinjau dari segi perlindungan hukumnya, dalam keadaan konkret anggapan tersebut
diatas harus ditiadakan (lihat penjelasan Pasal 67). Penggugat dalam keadaan tertentu dapat
mengajukan permohonan agar selama proses berjalan Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat diperintahkan ditunda pelaksanaannya. Jadi, mengenai penundaan pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan selama pemerikasaan berjalan, harus
dimintakan atau dinohonkan kepada Pengadilan. Tidak bisa ditunda secara otomatis karena
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 18
adanya proses pemeriksaan Pengadilan). Pasal 67 ayat (2) dengan demikian memberikan hak
kepada penggugat dalam keadaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (4)
diperkenankan menyimpangi asas praduga rechmatig, yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (1).
Kriteria penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara di dalam UU hanya
disebutkan harus terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan
penggugat sangat dirugikan. Jika Keputusan Tata Usaha Negara itu tetap dilaksanakan (Pasal
67 ayat 4 sub a).
Dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang peradilan
tata usaha Negara, khususnya dalam pasal 2 menjelaskan secara tegas bahwa terdapat tujuh
hal yang tidak tergolong suatu keputusan Negara dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 yaitu :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 19
B. Konsep beschikking (UU No. 30 Tahun 2014 Tentang AN)
Pengesahan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(selanjutnya disebut UU AP) tentunya membawa harapan baru terhadap upaya reformasi
birokrasi sebagai ujung tombak penyelenggaran pemerintahan. UU AP ini meniscayakan
adanya pengaturan yang jelas terhadap tertib administrasi pemerintahan dalam menjalankan
pemerintahan seperti mengatur tentang kewenangan, jenis-jenis Keputusan, system dan
model pengujian keputusan, sanksi administrative dan lain-lain. Dalam konteks penegakan
hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka UU AP ini juga menjadi landasan baru
bagi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji sengketa tata usaha Negara. UU AP ini
akan mempermudah bagi hakim-hakim di PTUN dalam menguji sebuah sengketa
administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian
Keputusan Tata Usaha Negara.
Dalam naskah akademi UU AP disebutkan bahwa Undang-Undang AP ersebut
dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan,
hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari
melayani masyarakat. Karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam
suatu Undang- Undang yang khusus diadakan untuk itu. Sedangkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi
sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi negara. Dalam
praktiknya di Peradilan Tata Usaha Negara seringkali ditemui hakim mengalami kesulitan
apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-
undang PTUN, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada
pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 20
Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU Administrasi
Pemerintahan yakni:
1. Pasal 1 ayat 7 yang berbunyi:
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau
Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan
Pasal ini menunjunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN, yakni hanya
menggunakan 3 kriteria saja, yakni berupa ketetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Pemerintahan dan ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan.
Dibanding definisi KTUN yang diatur dalam UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 yang
berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pada
UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 kriteria KTUN lebih sempit, yakni penetapan
tertulis itu harus bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana menjelaskan makna ”ketetapan tertulis” sebagaimana
dalam pasal 1 ayat 7 Undang-undang Administrasi Pemerintahan? Apakah kriteria konkrit,
individual dan final masih relevan digunakan? Selanjutnya bagaimana mendudukkan makna
”menimbulkan akibat hukum” akibat terbitnya sebuah KTUN sebagaimana diatur dalam UU
No 5 2009 sementara definisi KTUN bersi UU AP tidak mensyaratkan adanya akibat
hukum?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan bunyi pasal 87 Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan.6
6 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara, Psl 2
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 21
2. Pasal 87 yang berbunyi:
”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:7
1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”
Penjelasannya pasal 87:
Huruf d Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil
alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.
Menurut penulis, bunyi pasal 87 memiliki beberapa pemaknaan:
Pertama, bahwa pasal ini menunjukkan bahwa UU Administrasi Pemerintahan tidak
secara tegas menghapus ketentuan KTUN pada pasal 1 ayat 9 Undang- Undang Nomor 51
Tahun 2009 , namun menurut Pasal 87 ini, ketentuan KTUN tersebut harus memiliki
pemaknaan baru, yakni pemaknaan yang lebih luas berupa:
1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
7 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara, Psl 87
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 22
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat
Kedua, Pasal 87 ini menunjukkan bahwa Pasal 1 angka 7 UU Administrasi
Pemerintahan tidak serta menghapus kriteria -kriteria KTUN yang diatur dalam UU No 51
tahun 2009 mengingat kriteria - kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang
diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
Ketiga, ada beberapa kriteria KTUN yang diatur dalam UU No 51 tahun 2009 yang
mengalami revitalisasi yakni:
1. Penetapan tertulis. Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan,
namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam bentuk tindakan faktual, meskipun
tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah
mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan
hukum (recht handelingen) dalam bentuknya terbitnya sebuah beschikking akan tetapi
penetepan juga dimaknai dalam bentuk dan atau tindakan faktual (feitelijke
handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian
dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/nyata yang
dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Menurut penulis masuknya Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai
obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya
ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP
tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan Diskresi adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 23
hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan
ruang bgai pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian, bagaimana
menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut ?. dalam pasal 31 disebutkan:
1. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibatalkan.
2. Dalam kontek pembatalan diskresi inilah kemudian PTUN berwenang untuk
mememeriksa, menguji, mengadili dan memutuskan. Namun apabila menggunakan
kriteria KTUN versi UU no 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires)
Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada pengujian terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Namun denga ketentuan pasal 87 UU
AP di atas maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi
perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/OOD (Onrechtmatige overheidsdaad)
secara hukum menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Kalimat dalam pasal 87 memperluas
sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN. Selama ini
berdasarkan Pasal 2 huruf e Undang-Undang PTUN No 9 tahun 2004 ada 1 sumber
KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara
Nasional Indonesia. Pada perkembangannya, tata usaha Tentara Nasional Indonesia saat
ini sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui
Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI.
Pertanyaannya apakah dengan adanya bunyi pasal 87 di atas menghapus pengecualian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf e Undang-Undang no 9 tahun 2004. Menurut
penulis karena TNI saat ini murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 24
penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit
dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat
disengketakan di PTUN. Hal ini menunjukkan bahwa semangat demokratisasi dana
penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, termasuk di kalangan Tentara
Nasional Indonesia.
3. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Selama ini berdasarkan pasal 53
ayat 2 UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN makna menimbulkan akibat hukum dapat
ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam
mengkontruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang
langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya
kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut
memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan
adanya klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” menyebabkan adanya
perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan
menggugat di PTUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan,
meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN
tersebut sudah dapat digugat di PTUN.
Apabila ditelisik lebih jauh, klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” yang
menjadi kriteria KTUN memiliki relevansi dengan diaturnya Tindakan Faktual dalam hal
ini dalam bentuk Diskresi dalam UU AP ini. Sebagai tindakan faktual, diskresi
diterbitkan atas dasar adanya kekosongan hukum, atau belum adanya hukum yang
mengatur bagi pejabat TUN untuk melakukan tindakan pemerintah. Dengan lahir dari
kemungkinan kekosongan hukum, maka lahirnya tindakan faktual berpotensi merugikan
pihak-pihak lain yang terkait dengan tindakan pemerintah tersebut.
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 25
4. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat. Klausul ini menambah makna baru dari
Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga
masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Menurut Pasal 1 ayat
15 UU Administrasi Pemerintahan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan
hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Secara teks nampak
tidak ada perubahan baru antara definisi Warga Masyarakat sebagaimana diatur dalam
UU Administrasi Pemerintahan dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No
51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah ” seseorang atau badan hukum
perdata”. Namun hilangnya redaksi ”Individual” baik dalam pasal 1 ayat 7 dan pasal 87
menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU Administrasi
Pemerintahan bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara
dengan privat seorang warga negara. UU Administrasi Pemerintahan memberikan
kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada
Individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi Warga
Masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah
keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku
terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas erga omnes yakni sebuah asas yang
menegaskan bahwa putusan Peradilan Administrasi bersifat mengikat secara publik tidak
hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah perkara atau KTUN. Salah
satu konsekuensi logis dari penerapan asas erga omnes terhadap pemberlakuan putusan
PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum sebagaimana disebutkan di atas. Dengan posisi dan makna
berpotensi menimbulkan akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah
KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun
k o n s e p B e s c h i k k i n g | 26
publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah
KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
P e n u t u p | 27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Beschikking adalah suatu perbuatan hukum public yang bersegi satu yang dilakukan
oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa (Utrecht), atau
suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat
pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada organ tersebut (WF. Prins), atau
didefiniskikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan alat alat pemerintahan,
pernyataan pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan
hal-hal istimewa dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan
perhubungan perhubungan hukum (Van Der Pot).
2. Konsep beschikking ditinjau dari UU adalah sebagai berikut:
a. Konsep beschikking (UU No. 9 Tahun 2004 Tentang PTUN) membahas tentang
penetapan tertulis dan asas praduga.
b. Konsep beschikking (UU No. 30 Tahun 2014 Tentang AN) membahas tentang
ketetapan tertulis dan pemaknaan yang lebih luas berupa:
1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
28
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan:
Mustafa, Bachsan, 2001,Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni Bandung.
Riduan, HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: PT RajaGrafindo Persada
Undang-Undang:
UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara
Sumber Internet:
http://ptun-samarinda.go.id/index.php/berita/berita-terkini/25-artikel/43-konstruksi-baru-
tentang-keputusan-tata-usaha-negara-yang-dapat-diuji-di-ptun