konsep hidup sejahtera perspektif al-qur an (studi ......hal ini mendorong manusia agar dapat hidup...
TRANSCRIPT
i
KONSEP HIDUP SEJAHTERA PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Studi Komparatif Penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Asep Hilmi
NIM: 1111034000031
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Asep Hilmi
Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur’an
(Studi Komparatif Penafsiran M. QuraishShihab dan Hamka)
Hidup sejahtera adalah suatu kondisi orang-orang yang terlibat di dalamnya
berada dalam keadaan sehat, damai dan makmur. Dalam arti yang lebih luas hidup
sejahtera dapat diartikan terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan,
kebodohan dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan
tenteram secara lahiriah maupun batiniah. Skripsi ini khusus mengangkat tema
tentang kesejahteraan perspektif al-Qur’an. Penulis mengambil dua pendapat dari
ahli tafsir yaitu M. Quraish Shihab dan Hamka.
Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah berupaya menelusuri
bagaimana penafsiran M. QuraishShihab dan Hamka terhadap ayat-ayat yang
menjelaskan tentang hidup sejahtera, dan juga melihat bagaimana perbedaan pola
penafsiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut?
Dari beberapa penjelasan yang diungkapkan, dapat diketahui bahwa aspek-
aspek yang sering dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kesejahteraan
masyarakat diantaranya pembentukan mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya
rasa takut dan segala bentuk kegelisahan, sebagaimana yang disebutkan Allah
Swt. dalam Q.SQuraisy/106: 3-4. Selanjutnya dalam ekonomi Islam, kebahagiaan
hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa saja (laki-laki dan
perempuan) yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan keimanan
kepada Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam Q.SAn-
nahl/16: 97.
Hasil penelitian yang didapatkan, secara garis besar adalah bahwa hidup
sejahtera menurut M. QuraishShihab dan Hamka ialah hidup yang bisa
menyeimbangkan kebutuhan antara dunia dan akhirat, percaya sepenuhnya
terhadap ar-RaziqAllah Swt., serta menyadari keagungan, kebesaran, dan
kekuasaan Allah meliputi alam raya ini. Untuk mencapai hal tersebut, M.
QuraishShihab dan Hamka menyarankan beberapa cara, diantaranya adalah
dengan berusaha memaksimalkan kemampuan untuk beramal saleh dan berfaedah,
menggunakan waktu dengan baik, dalam arti tidak menyia-nyiakan selagi ada
kesempatan, dan menjaga harta dengan baik, tidak bakhil dan tidak boros,
melainkan bersikap ditengah-tengah dan sewajarnya. Serta iman yang dibarengi
dengan ilmu pengetahuan, karena keduanya dapat mengangkat derajat terlepas
dari pangkat, kedudukan, kekayaan, dan kepuasan yang sifatnya duniawi semata.
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang mengajarkan kepada
manusia apa yang ia tidak tau, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
dengan judul Konsep Hidup Sejahtera perspektif Al-Qur’an (Studi
Komparatif Penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka). Sholawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., begitu juga kepada
keluarga dan para sahabat.
Bagi penulis, skripsi ini merupakan sebuah proses menuju kelulusan.
Layaknya sebuah proses liku-liku perjalanan dalam menyelesaikan proses ini
tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak dapat dipungkiri
sebuah rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah penulis sendiri.
Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih” dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah meringankan
beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak semua pihak dapat
disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu menyebutkan sejumlah
nama yang membekas di hati penulis, yaitu:
1. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA., selaku pembimbing Skripsi saya
yang sejak semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan
memberikan perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
vii
2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku penasihat akademik yang terus
mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini, dan juga
yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses penulisan.
3. Ibu Lilik Umi Kaltsum, MA., dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku
ketua dan sekretaris jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang telah
memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.
4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA,
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap jajaran dosen dan guru besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Bapak Eva
Nugraha, M.Ag., Bapak M. Anwar Syarifuddin, S.Ag., MA., Bapak Ahsin
Sakho M. Asyrofuddin, Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., Bapak Said
Agil Husain al-Munawar, MA., Bapak Kusmana, S.Ag., MA, yang
senantiasa memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.
6. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak membantu dalam
menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.
7. Keluarga penulis, Bapak Endang Wahyudin dan Ibu Aap Hafsah, Beserta
Kakak-kakak ku dan adikku, yang senantiasa memberikan doa dan
senyumnya dalam menyemangati penulis.
8. Teman-teman seperjuangan, Eka Saputra, Arif Aprian, Ahmad Toib,
Jamiludin, Saiful, Niken Anjani, Ifa Nur Rofiqoh, Rifqi dan Semua teman-
teman sektor 11 yang telah memberikan semangat.
viii
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia sempurna.
Namun begitu, semua tulisan yang ada di dalam skripsi ini adalah tanggung jawab
penulis. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini penulis ucapkan terima kasih.
Ciputat, 04 Februari 2018
Asep Hilmi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................xi
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 14
BAB II
DEFINISI KESEJAHTERAAN DAN RIWAYAT TAFSIR...........................16
A. Kata Sejahtera dalam al-Qur’an.................................................................... 16
B. Biografi M.QuraishShihab dan Hamka ........................................................ 22
C. Riwayat Tafsir al-Misbah dan al-Azhar ....................................................... 28
x
BAB III
PRINSIP-PRINSIP HIDUP SEJAHTERA........................................................35
A. Terpenuhinya Kebutuhan Materi .................................................................. 38
B. Terpenuhinya Kebutuhan Rohani ................................................................. 42
C. Beriman dan Bertakwa ................................................................................. 51
D. Tersedianya Sumber Penghidupan ............................................................... 53
BAB IV
SARANA UNTUK MENCAPAI HIDUP SEJAHTERA.................................62
A. Menuntut Ilmu .............................................................................................. 64
B. Berusaha dan Bekerja Keras ......................................................................... 67
C. Disiplin ......................................................................................................... 75
D. Tidak Boros dan Mubazzir .......................................................................... 81
E. Menabung . ................................................................................................... 88
BAB V
PENUTUP.............................................................................................................91
A. Kesimpulan ................................................................................................... 91
B. Saran ............................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali
diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan
LibraryCongress (LC).
I. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alīf .......... Tidak dilambangkan ا
Bā′ B Be ة
Tā′ T Te د
Tsā′ Ts Te dan Es ث
Jā′ J Je ج
Hā′ Ḥ Ha titik bawah ح
Khā′ Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Dzal Dz De dan zet ذ
Rā′ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sīn S Es ش
Syīn Sy Es dan ye ش
Ṣād Ṣ Es titik bawah ص
Ḍād Ḍ De titik bawah ض
Ṭā′ Ṭ Te titik bawah ط
Ḍā′ Ẓ Zet titik bawah ظ
xii
ʻAyn ...ʻ... Koma terbalik (di atas) ع
Gayn Gh Ge غ
Fā′ F Ef ف
Qāf Q Qi ق
Kāf K Ka ك
Lām L El ل
Mīm M Em و
Nūn N En
Waw W We و
Hā′ H Ha
Hamzah ...′... Apostrof ء
Yā′ Y Ye
II. Konsonan rangkap karena tasydīd ditulis rangkap
Ditulis mutaʻddidah يتعددح
Ditulis ʻiddah عدح
III. Tā′ marbūṭāh di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis h:
ditulis Hibah هجخ
ditulis jizyah جسيخ
xiii
(Ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap
ke dalam bahasa Indonesia seperti zakat, sholat, dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain ditulis t:
ditulis niʻmatullah عخ للا
ditulis zakat al-fiṭri زكبح انفطر
IV. Vokal pendek
Fatḥah Ditulis a contoh ضرة ditulis ḍaraba
Kasrah Ditulis i contoh فهى ditulis fahima
Ḍammah Ditulis u contoh كتت ditulis kutiba
V. Vokal panjang
1. Fatḥah + alif ditulis ā (garis di atas)
ditulis Jāhiliyyah جبههيخ
2. Fatḥah + alif maqṣurah ditulis ā (garis di atas)
ditulis yasʻā يسع
3. Kasrah + ya mati ditulis ī (garis di atas)
Ditulis Majīd يجيد
4. Ḍammah + waw mati ditulis ū (garis di atas)
ditulis Farūd فرود
xiv
VI. Vokal rangkap
1. Fatḥah + ya mati ditulis ai
Ditulis Bainakum ثيكى
2. Fatḥah + waw mati ditulis au
ditulis Qaul قىل
VII. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisah dengan
apostrof
Ditulis a′antum أأتى
Ditulis u′iddah أعدح
Ditulis la′insyakartum نئ شكرتى
VIII. Kata sandang alif dan lam
1. Bila diikuti huruf qamariyyah ditulis al
Ditulis al-Qur′ān انقرءا
Ditulis al-Qiyās انقيبش
2. Bila diikuti huruf syamsiyyah ditulis sama dengan huruf qamariyyah
Ditulis al-Syams انشص
ءانسآ Ditulis al-samā′
IX. Huruf besar
Huruf besar dalam tulisan latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
xv
X. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut
penulisannya
Ditulis dzawī al-furūḍ ذوي انفروض
Ditulis ahlal-sunnah أهم انسخ
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan Kitab suci umat Islam.Sebagai kitab suci al-Quran
diharapkan mampu memberi jawaban atas segala problem kehidupan manusia.
Al-Quran sebagai pegangan hidup akan menunjukkan manusia ke jalan yang
benar serta menguntungkan baik di dunia maupun di ahirat. Allah SWT telah
mengutus Rasulnya untuk membawa risalah ini ditengah tengah umatnya.
Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan ayat ayatnya, menyampaikan
maksud dan isinya serta menjadi tempat bertanya perihal hukum dan masalah
masalah sosial kemanusiaan.Adapun masalah kemiskinan merupakan satu di
antara masalah sosial lainnya.
Islam dalam usaha memecahkan problematika kehidupan manusia,
justru bertitik tolak pada ajarannya tentang manusia dan kehidupan ini
(aqidah). Islam memandang bahwa manusia dengan kehidupannya memiliki
keterikatan dengan hukum dan tata aturan dari pencipta alam semesta ini.
Islam tidak hanya mengurus maslah moral dan ibadah saja melainkan suatu
sistema yang padu di mana hukum dan tata aturannya terkait satu sama lain.
Hal ini mendorong manusia agar dapat hidup sejahtera, bahagia didunia dan
ahirat.1
1ʻAbdul ʻAzīz Al-Badrī. Tjetjep Suhandi, Terj,.Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam.
(Jakarta:Gema Insani Press 1993). Cet. 2 h. 10
2
Salah satu ayat yang menjelaskan pola kehidupan muslim dalam
mencapai Kesejahteraan adalah Q.S al-Qashah/28: 77, pada ayat ini Allah
SWT., menjelaskan tentang peringatan Nya kepada Qarun, Nama asli Qorun
adalah Qarun bin Yashhab bin Qahisy. Ia masih saudara sepupu Nabi Musa
AS. Nama lengkap Nabi Musa adalah Musa bin Imran bin Qahisy. Qarun
hidup di jaman Nabi Musa dengan bergelimang harta. Akan tetapi ia sombong
dengan apa yang telah tuhan berikan. Sehingga tuhan memperingatinya dalam
Q.S. al-Qashash/28: 77.
Artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Peringatan ini dipahami sebagai anjuran untuk manusia supaya
berkehidupan dengan serba keseimbangan. Kesimpulan yang dapat dipahami
dari ayat tersebut adalah:2
1. Harta merupakan ujian
2. Pilar peradaban islam ada 4 yaitu :
a. amal saleh yang semata mata mengharapkan ahirat.
2Muhammad Amin Suma. Tafsir ayat Ekonomi, Teks, Terjemah dan Tafsir. (Jakarta :
Amzah. 2013)Cet. 1H. 66
3
b. pemakmuran dunia yang dilakukan semata mata untuk kebaikan, bukan
untuk kerusakan.
c. berbuat baik kepada sesama meliputi, kebaikan material, moral.
d. menjauhkan diri dari berbuat kerusakan, kemaksiatan dan kekacauan.
Allah lah yang menjadi segala sumber kebaikan dan rezki.
Makna Lā tansā naṣībaka min al-dunyā dipahami oleh al-Qurtūbī seperti
yang dijelaskan oleh Ibn Umar yaitu: berbuatlah untuk duniamu seakan akan
kamu akan hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk ahiratmu seakan-akan
kamu akan mati esok hari.3 Sedangkan dalam tafsir at-Thabarī dijelaskan
bahwa makana Lā tansā naṣībaka min al-dunyā adalah: “Janganlah engkau
tinggalkan bagian dan keberuntunganmu dari dunia. Hendaklah engkau
mengambil bagianmu untuk ahirat, dengan melakukan sesuatu yang dapat
menyelamatkanmu dari hukum Allah”4
Didalam penafsirannya, beliau menyertakan beberapa kutipan hadis yeng
menjelaskan makna potongan ayat tersebut yang rupanya dijelaskan oleh Nabi.
Dari sekian banyak hadis yang dicantumkan, saya tidak menjumpai makna
yang merujuk penyeimbangan urusan dunia dan ahirat.5
3Al-Qurtūbī, Muhyidin MasRida Ter,.Al-Jamī′ li Ahkam al-Qurʻan (Jakarta: Pustaka
Azzama. 2009) Cet. 1 h. 800. 4Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Ahsan Askan, dkk. Ter,. Jamīʻ al Bayān
an Taʻwil ayi al-Qurʻan (Jakrta : Pustaka Azzam, 2009). Cet 1. H. 355-359. 5Diantara hadis yang menjelaskan makan Lā tansā naṣībaka min al-dunyā adalah: dari
al-harits dari al-hasan, dari Waraqa dari Ibn Abu Juraij, dari Ibn Abu Najih dari Mujahid
tentang ayat “Lā tansā naṣībaka min al-dunyā” Maksudnya adalah beramal di dunia dengan
taat kepada Allah. Atau hadis dari Ibn Waqi dari Qotadah tentang Lā tansā naṣībaka min al-
dunyāmaksudnya adalah mencari yang halal.
4
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab ada tiga hal penting yang harus
dipahami dalam ayat ini. Di antara nya adalah sebagai berikut:6
1. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dana amal ahirat yang dipahami
secara terpisah. “semua amal dapat menjadi amal dunia_walau shalat dan
sedekah_bila ia tidak tulus, dan sebaliknya.
2. Pada ayat ini menegaskan ahirat sebagai tujuan namun dunia merupakan
sarana untuk menacapai tujuan tersebut. Jadi posisi dunia bukanlah
sebagai tujuan melainkan hanya sekedar saran untuk dapat mencapai
tujuan tersebut.
3. Redaksi kalimat yang menunjuk pada ahirat bersifat aktif sedangkan
kalimat yang menunjuk dunia pada ayat tersebut bersifat pasif. Hal ini
menjadi perhatian penting dalam pemahaman ayat. Karena dalam ayat
lain allah swt pun sudah banyak berbicara mengenai perbedaan
kenikmatan dunia dan ahirat.
Tiga hal tersebut menunjukan bahwa dunia menjadi ladang bagi ahirat
dan dapat diapahami pula kehidupan akhirat adalah hasil yang akan kita dapat
tergantung bagaimana kita hidup di dunia. Quraish Shibab menggunakan
istilah yang disampaikan oleh Ibn as-Syūr dalam pemahaman ayat
tersebut,“Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dari
kenikmatan dunia.selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian
kenikmatan ukhrowi”.7
6Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah: Pesan kesan dan keserasian al-Quran” (Jakarta:
Lentera Hati 2002) cet I, h. 406. 7Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah, h. 404.
5
Penafsiran lain tentang ayat ini, dikemukakan oleh Hamka dalam tafsir
Al-Azhar bahwa harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya
harta itu janganlah engkau sampai lupa bahwa sesudah ini engkau akan mati.
Sesudah dunia ini engkau akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini,
sedikit atau pun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau kita
mati kelak, tidak sebuah jua pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu
pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat itu kelak.
Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada
jalan kebajikan. Niscaya jika engkau mati kelak bekas amal mu untuk akhirat
itu akan engkau dapati berlipat ganda di sisi Allah. Begitu pula untuk dunia
janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah
kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan
dengan isteri yang setia.
Ada beberapa tafsir yang dikemukakan oleh ulama’terkait ayat tersebut
(al-Qashash/28: 77). Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia itu ialah
semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang
akan engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabi memberikan tafsir yang lebih
sesuai dengan Roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang
halal.”8
Pada ayat yang lain Allah menjelaskan tentang pemberian rizki pada
mahluknya, yaitu dalam surat Huud/11: 6, sebagai berikut:
8Hamka, “tafsir al-Azhar”(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) juz 20, h. 128.
6
Artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-
lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Menurut Quraisy Shihab ayat ini menunjukan jaminan atas rizki setiap
mahluk, hanya saja penggunaan kata dabbah pada ayat ini ditafsirinya dengan
sesuatu yang bergerak. Artinya Ayat ini "menjamin" siapa yang aktif bergerak
mencari rizki, bukan yang diam menanti. Dari penjelasan ini dapat dipahami
bahwa salah satu alasan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan adalah sifat
malas atau enggan berusaha. Lantaran Tuhan telah menjamin rezeki setiap
mahluk, maka bergerak (berusaha) untuk mendapatkan rizkiNya merupakan
syarat mutlak.
Sedangkan menurut Hamka ayat ini menjelaskan bahwa yang melata diatas
bumi tidak usah khawatir akan kekurangan rezeki, sebab Allah telah
menyediakan nya. Kalimat daabbatin, dapat dirtikan melata. Yaitu segala yang
berjalan, merangkak, merayap, menjalar. Sebab itu masuklah di dalamnya
sekalian manusia, sekalian binatang berkaki empat, yang berkaki banyak
sampai berates ratus kaki, demikian juga serangga, katak, burung2, cacing,
ikan-ikan, udang, belalang, lipas, kapuyuk, kepinding, nyamuk dan lain-lain.
Semuanya itu terkumpul dalam kata daabbatin. Dan semuanya sudah ada
ketentuan rezekinya oleh Tuhan, dan sudah tersedia makanan yang akan di
7
makannya. Atas Allah lah rezekinya, artinya Allah telah mewajibkan ke atas
diri-Nya sendiri buat menyediakan rezeki itu. Dan rezeki itu diberikan dengan
teratur sekali. Seluruh isi bumi ini adalah persediaan yang cukup bagi makanan
seluruh makhluk yang hidup disini.9
Ada beberapa ayat lain yang menjelaskan mengenai konsep hidup
sejahtera diantaranya QS. al-A’raf ayat 31 dan 96
Artinya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.”
Artinya:
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Di antara aspek yang sering digunakan sebagai indikator ukuran
kesejahteraan adalah pendapatan, populasi, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
konsumsi, perumahan, dan sosial budaya. Jika kita menggunakan indikator
tersebut, maka akan timbul pertanyaan apakah pemenuhan indicator tersebut
menjamin seseorang mendapatkan kesejahteraan?. Apabila iya, mengapa
9Hamka, “tafsir al-Azhar”(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) juz 12, h. 16.
8
beberapa orang sudah memiliki rumah mewah, kendaraan, deposito dan
berbagai bentuk properti lainnya harus merasa gelisah, takut, bahkan ada yang
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Berdasarkan fakta di atas, tampaknya
ada yang kurang dalam mengukur kesejahteraan masyarakat. Dalam ekonomi
Islam, kebahagiaan diberikan oleh Allah kepada siapapun (pria dan wanita)
yang ingin melakukan perbuatan baik bersama dengan iman kepada Allah.
Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Surat An-Nahl/16: 97, sedangkan
tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan dalam Islam
adalah tauhid, konsumsi, dan hilangnya segala bentuk ketakutan dan
kecemasan. Hal itu seperti yang disebutkan Konsep Kesejahteraan dalam Islam
Allah dalam Q.S Quraisy / 106: 3-4.10
Namun sebagai orang Islam, adanya pandangan yang berbeda dengan
orang-orang yang berpegang pada ekonomi konvensional dalam hal
kesejahteraan adalah suatu hal yang lazim, karena itu sangatlah menarik untuk
membahas dan mengkaji konsep kesejahteraan dalam Islam, sebagaimana yang
telah diketahui bahwa ada tiga klasifikasi status social berdasarkan pendekatan
zakat, kelompok Ashnaf Tsamaniyah, kelompok menengah, dan kelompok
kaya (wajib zakat).11
Berkanaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjelaskan
tentang kesejahteraan hidup di dunia melalui pendekatan tematik, dengan judul
10
Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2,
(Desember 2015): h. 381. Diakses pada 20 Januari 2018 dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127 11
Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam”: h. 383.
9
“Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur’an : Studi Komperatif
Penafsiran Hamka Dan M. Quraish Shihab”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas,
ada beberapa permasalahan yang muncul sebagai problematika dalam
kehidupan manusia, diantaranya yang pertama adalah tentang apa arti dari
hidup sejahtera. Kedua, sebagai orang Islam tentu ada beberapa upaya
bagaimana memecahkan problematika kehidupan yang tidak sejahtera?.
Dengan demikian kata kunci yang penulis gunakan dalam mencari ayat terkait
kesejahteraan adalah falaha dan roghodan.
Maka dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi
pembahasan sebagai berikut:
1. Penulis hanya fokus pada penafsiran bukan ke ranah sosiologi.
2. penulis hanya akan mengulas penafsiran dari M. Quraish Shihab dan
Hamka terkait hidup sejahtera perspektif al-Qur’an.
3. Penulis hanya fokus dalam penggunaan metode maudhu’i pada
penulisan skripsi ini.
Berdasarkan dari pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran M. Quraish Shihab dan Hamka terhadap ayat-
ayat yang menjelaskan tentang hidup sejahtera
10
2. Apa perbedaan penafsiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh
tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami konsep hidup sejahtera
menurut Hamka dan M. Quraish Shihab serta menjelaskan korelasi antara
keduanya yang sama sama menggunakan corak adab al-Ijtima dalam
memahami al-Quran.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan
kepada setiap pembaca dalam memahami maksud ayat-ayat yang berkenaan
dengan konsep hidup sejahtera yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dan
Hamka serta memahami perbedaan dari setiap pendapat dari kedua tokoh
tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Dari penelusuran pustaka yang penulis lakukan, ada beberapa skripsi
yang membahas tentang hidup sejahtera, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan
Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” karya
Raditya Ramadhan, jurusan Perbankan Syari’ah. Skripsi ini menjelaskan
tentang: Zakat yang bertujuan tentang mensejahterakan terutama dalam hal ini
adalah lembaga amil zakat. Banyak dari mustahik yang hanya mengetahui
11
bahwasannya dana zakat adalah pemberian Cuma-Cuma untuk kebutuhan
sehari-hari.12
Kedua, “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera (Studi Komparasi antara
Santri Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta dan Mahasiswa indekos”.
Menjelaskan tentang studi komparasi konsep bahagia sejahtera antara santri
pondok pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta dengan Mahasiswa indekos
dengan menggunakan studi lapangan.13
Ketiga, Kajian tentang kemiskninan ditemukan dalam penelitian
diantaranya yaitu “Kemiskinan Perspektif M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah” sebuah skripsi yang disusun oleh Lasminah Fakultas Ushuluddin
IAIN Semarang tahun 2013 ini menjelaskan tentang pendapat M.Quraish
Shihab dalam tafsir al-Misbah tentang makna kemiskinan dan solusi yang
ditawarkan. bahwa baik orang miskin maupun kaya dapat saling bantu
membantu dalam pengentasan kemiskinan dan hidup sejahtera.14
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kepustakaan (Library Reseach)
yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
12
Raditya ramdhan “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan
Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” (UIN Syahid Jakarta,
Jurusan perbankan Syari’ah, 2015) 13
Muhammad Nur Ihwan Ali, “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera,” (Tesis Magister
Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015). 14
Lasminah, “Kemiskinan perspektif Muhamad Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri Walisongo semarang,
2013).
12
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan yang
ada sehingga diperoleh data yang diperlukan yang berhubungan dengan
masalah yang dipecahkan.15
2. Data Penelitian
Dalam tulisan ini, ada dua jenis data penelitian, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung berkaitan
dan menjadi rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, diantaranya
adalah kitab tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Shihab dan tafsir al-Azhar
karya Hamka. Sedangkan data skundernya adalah sumber-sumber lain
yang berkaitan dengan karya tulis ini, yang menjadi data pendukung serta
relevan dengan judul skripsi yang penulis ambil.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendokumentasikan dalam
bentuk catatan-catatn dari sumber data diatas untuk kemudian disusun
terkait pembahasan pembahasan terkait tema yang dimaksud.
4. Teknik analisis data
Setelah data terkumpul proses selanjutnya adalah melakukan
pembahsan atau analisis data. Dalam hal ini penulis menggunakan dua
metode. Pertama, deskriptif yaitu penelitian dengan tujuan untuk
15
M. Nazir. Metode Penelitian (Jakrta : Pt. Ghalia Indonesia, 2003)h.27.
13
menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek atau
orang dan segala sesuatu yang terkait dengan variable-variabel yang bisa
dijelaskan. Kedua, komparatif yaitu membandingkan pandangan dan
perubahan pandangan kedua mufasir yang meliputi: metodologi,
epistimologi dan argumentasi.16
5. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis, yaitu
pendekatan yang menekankan perhatian pada ruang dan waktu.
Pendekatan yang melacak sosio-historis kedua tokoh untuk mengetahui
biografi, pertumbuhan, keilmuan dan perkembangan pemikiran yang
dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, konteks dan budaya yang berbeda.
6. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA (Cebter for Quality Development and Assurance) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
16
Wahyu Naldi, “Penafsiran terhadap ayat larangan tentang memilih pemimpin non
Muslim dalam al-Quran” studi komperasi antara Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).
14
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan singkat tentang
penulisan ini, penulis membagi dalam lima bab, yang mana masing masing bab
berisi persoalan persoalan tertentu dengan tetap berkaitan antar bab yang satu
dengan bab lainnya, adapun sistematikanya tersusun sebagai berikut.
BAB I, berisi pendahuluan yang merupakan gambaran umum terkait
karya tulis ini yang didalamnya terdiri dari sub bab yaitu latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II, membahas tentang berbagai hal yang merupakan landasan teori
dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang gambaran
umum tentang kesejahteraan dalam perspektif al-Qur’an, diantaranya mengulas
definisi hidup sejahtera, biografi singkat M. Quraish Shihab dan Hamka serta
Riwayat Tafsir al-Misbah dan Tafsir al-Azhar.
BAB III, dalam bab ini akan memaparkan tentang prinsip-prinsip hidup
sejahtera di dunia. Yaitu ulasan tentang terpenuhinya kebutuhan materi,
terpenuhinya kebutuhan rohani, perintah untuk beriman dan bertaqwa, serta
jaminan rezeki yang disediakan oleh Allah SWT.
BAB IV, dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang bagaimana
cara untuk mencapai hidup sejahtera, diantaranya adalah Menuntut Ilmu,
Anjuran untuk Berusaha dan Bekerja, Disiplin Waktu, Anjuran tidak Boros
dan tidak Berlebihan, serta Perintah untuk Menabung
15
BAB V, bab ini merupakan penutup dari skripsi ini, yang meliputi
kesimpulan dan saran, kesimpulan dimaksudkan untuk menarik kesimpulan
dari pembahasan yang dikaji dalam skripsi. Sedang saran merupakan tindak
lanjut dari hasil penulisan skripsi ini.
16
BAB II
DEFINISI KESEJAHTERAAN DAN RIWAYAT TAFSIR
A. Kata Sejahtera dalam al-Quran
Menurut Kamus Bahasa Indonesia mentakrifkan sejahtera sebagai aman,
sentosa, dan makmur serta bebas dari pada segala macam kesusahan, gangguan,
kesukaran dan lain-lain.1 atau dapat diartikan sebagai kata atau ungkapan yang
menunjuk kepada keadaan yang baik, atau suatu kondisi di mana orang-orang yang
terlibat di dalamnya berada dalam keadaan sehat, damai dan makmur. Amirus Sodiq
384 Jurnal Ekonomi Syariah dalam arti yang lebih luas kesejahteraan adalah
terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut sehingga
dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun
batiniah.2
Adapun dari sudut pandang Islam, tepatnya pada ayat al-Quran sebenarnya
banyak sekali kata ayat al-Qur‟an yang mengandung arti sejahtera seperti Sa’ada
(bahagia), faza (gembira), falaha (sentosa), roghodan (suka/senang) disini kata yang
benar-benar mewakili arti sejahtera adalah al-falah dan roghodhan. Al-falah dapat
diartikan sebagai mendapat keuntungan, kebahagian dan kejayaan bukan sahaja di
1 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.
27. 2Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2, (Desember
2015): h. 383. Diakses pada 20 Januari 2018 dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127
17
dunia tetapi kejayaan yang dicapai di akhirat.3 Sedang roghodan dapat diartikan
sebagai kepuasaan hati, kesenangan terhadap apa yang digemari, dalam kamus besar
bahasa indonesia senang/kesenangan dapat diartikan sebagai perihal senang;
kepuasan; keenakan; kebahagiaan; kelegaan; kegemaran; kesukaan; hobi.
al-Quran telah meletakkan mekanisme-mekanisme yang tertentu bagi mencapai
al-falah ini. Secara mudahnya, mekanisme yang dikenal pasti sebagai formula untuk
mencapai kejayaan atau sejehateraan hidup adalah dengan menghayati unsur-unsur
murni seperti keimanan yang tinggi, amal soleh, taqwa, al-amr bi al-ma`ruf wa al-
nahy `an al-munkar, akhlak yang terpuji dan nilai-nilai luhur yang tercermin dalam
setiap perlakuan manusia. Firman Allah SWT dalam Q.S al-Mukminun/23: 1-6
sebagai berikut:
Artinya:
“1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak
yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa.
3 Al-Fairuzabadi, Qamus al-Muhit (Bairut: Dar al-Fikr, 1983, Juz 4), h. 230.
18
Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan
pemeluknya menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam
sangat memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun
akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat
manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.4
Al-Qur‟an telah menyinggung kesejahteraan dalam Q.S Quraisy/106: 3-4:
Artinya:
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka'bah). 4. yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat bahwa indikasi kesejahteraan
dalam Al-Qur‟an ada tiga macam, yaitu menyembah Tuhan (pemilik) Ka‟bah,
menghilangkan lapar dan menghilangkan rasa takut.
Pertama, untuk kesejahteraan adalah ketergantungan penuh manusia kepada
Tuhan pemilik Ka‟bah, hal ini merupakan representasi dari pembangunan mental,
dan menunjukkan bahwa jika seluruh kesejahteraan yang berpijak pada aspek materi
telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami
kebahagiaan, sering terdengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah,
kendaraan banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak
pernah tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
4 Faried Makruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia (Bandung: PT al-Ma‟arif,
1983), h. 20.
19
padahal seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena itulah ketergantungan
manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam penghambaan (ibadah) kepada-
Nya secara ikhlas merupakan peranan utama kesejahteraan (kebahagiaan yang
hakiki).
Kedua, yaitu hilangnya rasa lapar (kebutuhan konsumsi), ayat di atas
menyebutkan bahwa Dialah Allah yang memberi mereka makan untuk
menghilangkan rasa lapar, statemen tersebut menunjukkan bahwa dalam ekonomi
Islam terpenuhinya kebutuhan konsumsi manusia yang merupakan salah satu indikasi
kesejahteraan hendaknya bersifat secukupnya (hanya untuk menghilangkan rasa
lapar) dan tidak boleh berlebih-lebihan apalagi sampai melakukan penimbunan demi
mengeruk kekayaan yang maksimal, terlebih lagi jika harus menggunakan cara-cara
yang dilarang oleh agama, tentu hal ini tidak sesuai anjuran Allah dalam surat
Quraisy di atas, jika hal itu bisa dipenuhi, maka adanya korupsi, penipuan,
pemerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya, tidak akan pernah disaksikan.
Ketiga, adalah hilangnya rasa takut, yang merupakan representasi dari
terciptanya rasa aman, nyaman, dan damai. Jika berbagai macam kriminalitas seperti
perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lain
banyak terjadi di tengah masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak
mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan, atau dengan
kata lain masyarakat belum mendapatkan kesejahteraan.5
5Muhyiddn Athiyyah, al-Kasyaf al-Iqtishadi li Ayati al-Qur’an (Riyadh: Dar al-Ilmi li Kutub
Islamiyah, 1992), h. 67.
20
Ayat lain yang menjadi rujukan bagi kesejahteraan terdapat dalam Al-Qur‟an
Q.S An-nisaa‟/04: 9.
Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”
Berpijak pada ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap
generasi yang lemah adalah representasi dari kemiskinan, yang merupakan lawan dari
kesejahteraan, ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk menghindari
kemiskinan dengan bekerja keras sebagai wujud ikhtiyar dan bertawakal kepada
Allah, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
“Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan amal perbuatan atau
pekerjaan dengan tekun dan sungguh-sungguh (profesional)” (Qardhawi, 1995: 256).
Pada ayat diatas Allah menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan
generasi penerusnya (anak keturunannya) agar tidak terjatuh dalam kondisi
kemiskinan, hal itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan atau mendidik generasi
penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan yang berkualitas dan
berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak menjadi
21
SDM yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang
termahal bagi orang tua6
Dengandemikiandapatdisimpulkanbahwa hidup sejahtera dapat diperoleh
dengan membentuk mental menjadi mental yang hanya bergantung kepada Sang
Khalik (bertaqwa kepada Allah Swt.), dan juga berbicara dengan jujur dan benar,
serta Allah Swt. Juga menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat,
baik kuat dalam hal ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal
ekonomi.7
Oleh karena itu siapa saja yang mau melakukan amal kebaikan dan beriman
kepada Allah Swt. Maka Allah telah berjanji akan memberikan balasan berupa
kehidupan yang baik di dunia dan pahala di akhirat yang lebih baik dari apa yang
telah dikerjakannya. Kehidupan yang baik dapat diartikan sebagai kehidupan yang
aman, nyaman, damai, tenteram, rizki yang lapang, dan terbebas dari berbagai macam
beban dan kesulitan yang dihadapinya, sebagaimana yang tersebut dalam Q.S Ath-
Thalaq/65: 2-3 sebagai berikut:
Artinya:
2. ...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar.
6Muhammad Fahruddin Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi asy-Syahrir bi Tafsir al-Kabir Wa
Mafatih al-Ghaib Vol. 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 206. 7 Wahbah Zuhaili, al-Fiqih al-Islami Wa Adillatuhu Vol. 8 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), h.
8.
22
3. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu.
B. Biografi M. Quraish Shihab Dan Hamka
1. Biografi M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi
Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan
Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama sekaligus guru besar tafsir di IAIN
Alauddin, Ujung Pandang.
Sebagai seorang yang berfikiran maju,
Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak
kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap
Al-Qur‟an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur‟an
yang diadakan ayahnya sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca Al-
Qur‟an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Al-
Qur‟an. Di sinilah mulai tumbuh benih- benih kecintaan Quraish Shihab
kepada Al-Qur‟an.8
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang.
Ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di
Pesantren Dar Al-Hadits Al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14
8Badiatul Raziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh-tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009), h. 269.
23
tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan di terima di
kelas dua Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah ia diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Al-azhar dengan mengambil jurusan tafsir dan hadis, fakultas
Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia
melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama hingga meraih
gelar doktor, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun
waktu kurang lebih sebelas tahun (1969-1980) ia terjun keberbagai aktivitas
sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik
di IAIN Alauddin maupun diberbagai institusi pemerintah setempat. Ia terpilih
sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu ia juga terlibat
dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur
Indonesia dan di serahi tugas sebagai koordinator wilayah. Beberapa
penelitian yang telah dilakukannya, diantaranya ia meneliti tentang “Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975) dan “Masalah Wakaf
di Sulawesi Selatan” (1978)9
Pengabdiannya dibidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992-1998. Kiprahnya tak
terbatas di lapangan akademis. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia Pusat) tahun 1985-1998, anggota MPR-RI 1982-1987 dan 1987-
9Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 362.
24
2002. Pada tahun 1998, beliau dipercaya menjadi Menteri Agama RI,10
Di
tengah aktifitas sosial dan keagamaan tersebut, H.M. Quraish Shihab juga
tercatat sebagai penulis yang sangat produktif.
Buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemology Al-
Qur‟an hingga menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks
masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis yang telah
dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-Biqa’I (1982),
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudlu’I atas Berbagai
Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir Al-Manar (1994), Mu’jizat Al-
Qur’an Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Misbah11
2. Biografi Hamka
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena
Hamka lahir di tepi danau maninjau, di suatu desa bernama Tanah Sirah,
termasuk daerah nagari sungai Batang, Sumatera Barat. Beliau dilahirkan Pada
hari ahad petang malam senin tanggal13, masuk 14 Muharram 1362 H, atau
tanggal 16 Februari 1908 Masehi, dan beliau wafat umur 73 tahun pada hari
Jumat jam 10.41.08 tanggal 24 Juli 1981 M bertepatan dengan 22 Ramadhan
10M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 8. 11Tim Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka (Jakarta: Panji Masyarakat,
1981), h. 1.
25
1401 H, beliau menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit pusat
Pertamina.12
Ayahnya ialah ulama Islam terkenal Dr H Abdul Karim bin Muhammad
Amrullah bin tuanku Abdullah Saleh, sedangkan Ibunya bernama Siti Shafiyah
Tanjung binti Haji Zakaria yang mempunyai gelar Bagindo Nan Batuah.Dikala
mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat.Dalam
perkawinannya ini Shafiyah di karuniai empat orang anak yaitu: Hamka, Abdul
Kudus, Asman dan Abdul Muthi. Nama Hamka yang diambil oleh ayahnya
untuk mengenang anak gurunya, Syaikh Ahmad Khatib di Mekkah, yang
bernama Abdul Malik pula. Abdul Malik bin Syaikh Ahmad Khatib ini pada
masa pemerintahan Syarif Husain pernah menjadi duta besar kerajaan
Hasyimiyah di Mesir.13
Syaikh Abdul Karim Amrullah ayahnya, memiliki jiwa modernis
sebagai pelopor dalam gerakan Islam, mengakibatkan Hamka kecil sedikit
sekali mendapatkan kasih sayang ayahnya. Sebagai ulama modernis, sang ayah
sangat diperlukan oleh masyarakat sehingga harus sering meninggalkan
rumah dan jarang bertemu dengan Hamka. Pada usia empat tahun (1912),
perawatan Hamka kecil diserahkan kepada andung dan engkunya (nenek dan
kakeknya).14
12Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Jilid I, h. 7. 13 Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 1. 14 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 51.
26
Dalam usia 6 tahun (1914) Hamka dibawa ayahnya ke Padang Panjang,
sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar
mengaji dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun
1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah Diniyah School dan
Sumatera Thawalib di Padang Panjang yang di pimpin oleh ayahnya sendiri.
Pendidikan yang ia dapat dari keluarganya sendiri tidak begitu menyerap
kepada Hamka, hal ini dekarenakan Hamka deperlakukan dengan disiplin
yang keras, metode ini yang membuat Hamka merasa tertekan dalam menuruti
pelajaran Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun, Hamka terkenal dengan
sebutan anak nakal. Masyarakat sangat mengenalnya, selain sebagai seorang
anak ulama ia juga”anak yang nakal”. Hamka suka mengganggu temannya ia
juga suka menonton film di panggung secara sembunyi-sembunyi, yaitu
dengan mengintip tanpa membayar. Hamka sebagai anak yang nakal
dibenarkan oleh A.R Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam
pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang Muballigh. Haji Rasul tidak
merasa puas dengan sistem pendidikan yang tidak menyediakan pendidikan
agama Islam di sekolah.Oleh karena itu Hamka dimasukkan belajar agama
pada sore hari ke sekolah Diniyah yang berada di Pasar Usang, Padang
Panjang, yang didirikan oleh Zainuddin Lebay El-Yunisi. Meskipun Hamka
telah dimasukkan belajar agama pada sore hari, ternyata Haji Rasul belum
merasa puas.Untuk merealisasikan hasrat membentuk anaknya menjadi seorang
ulama maka Hamka di masukkan ayahnya ke Madrasah Thawalib yang
27
didirikannya sendiri. Sekolah ini pada mulanya merupakan lembaga
pendidikan tradisional yang dikenal dengan nama Surau Jembatan Besi
sebelum diperbaharui tahun 1918. Perguruan Thawalib dan Diniyah
memberikan pengaruh besar kepada Hamka dalam hal ilmu pengetahuan.
Sekolah yang mula-mula memakai sistem klasikal dalam belajarnya di Padang
Panjang waktu itu. Namun buku-buku yang dipakai masih buku-buku lama
dengan cara penghapalan dan menurut istilah Hamka sangat memeningkan
kepalanya. Keadaan seperti ini membuat Hamka bosan, menghabiskan
waktunya di perpustakaan umum milik Zainuddin Lebay El-Yunisi dan
Bagindo Sinaro. Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah
tinggi, hanya sampai kelas tiga di sekolah desa, lalu sekolah agama yang ia
jalani di Padang Panjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun.
Walaupun pernah duduk dikelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah.
Dari sekolah yang pernah diikutinya tak satupun sekolah yang dapat
diselesaikannya. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Hamka sampai
akhir hayatnya tidak pernah tamat sekolah, oleh sebab itulah dia tidak pernah
mendapat diploma atau ijazah dari sekolah yang diikutinya. Kegagalan Hamka
di sekolah, ternyata tidaklah menghalanginya untuk maju, beliau berusaha
menyerap ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, baik melalui kursus-kursus
ataupun dengan belajar sendiri. Karena bakat dan Sebagai seseorang yang
berfikiran maju, Hamka menyampaikan ide-ide cemerlang tidak saja melalui
28
ceramah, pidato, tetapi juga melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk
tulisan.15
Hamka mulai mengarang sejak usia 17 tahun, karyanya cukup banyak
baik berupa buku maupun majalah. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai
macam disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pemikiran pendidikan
Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Diantara karya-karyanya tersebut
yang penulis ketahui adalah: Kepentingan melakukan tabligh (1929), Hikmat
Isra' dan Mikraj, Arkanul Islam (1932), Mati Mengandung Malu (Salinan Al-
Manfaluthi) 1934, Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), 1001 Soal Hidup
(Kumpulan Karangan dari Pedoman Masyarakat,dibukukan 1950), Kedudukan
Perempuan Dalam Islam,(1973), Agama dan Perempuan (1939), Islam dan
Kebatinan (1972), Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968), dan
masih banyak lagi tulisan-tulisan Hamka.16
C. Riwayat Tafsir al-Misbah dan Tafsir Al-Azhar
1. Sekilas tentang Tafsir Al-Mishbah
Tafsir Al-Mishbah merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz ditulis oleh
ahli tafsir terkemuka Indonesia: Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan
penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk
15 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, h. 32. 16 Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, h. 35.
29
memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia
makna ayat-ayat Allah.
Tafsir al-Misbah ini lahir dari keinginan Quraish Shihab untuk
menjelaskan Al-Qur‟an, karena banyak kaum muslimin yang membaca surat-
surat tertentu dari Al-Qur‟an seperti, Surat Yasin, al- Waqi‟ah, ar-Rahman, dan
lain sebagainya namun mereka masih kesulitan dalam memahami makna yang
tertulis dalam terjemahannya. Kesalahpahaman tentang kandungan atau pesan
surah akan semakin menjadi-jadi bila membaca beberapa buku yang
menjelaskan keutamaan surah-surah al-Qur‟an atas dasar hadis-hadis lemah,
misalnya ada yang mengatakan, bahwa membaca surah al-Waqi‟ah,
mengundang kehadiran rezeki. Kitab ini juga membantu kalangan kaum pelajar
dan mereka yang berkecimpung dalam studi Islam, yang masih sering timbul
dugaan keracuan sistematika penyusunan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur‟an.
Apalagi jika mereka membandingkannya dengan karya-karya ilmiah, banyak
yang tidak mengetahui bahwa sistematika penyusuna ayat-ayat dan surah-surah
yang sangat unik mengandung unsur pendidikan yang amat menyentuh serta
keinginannya untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh sesuatu
ayat, dan menunjukan betapa serasi hubungan antara kata dan kalimat-kalimat
yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur‟an.
Disisi lain, buku tafsir ini juga sebagai tanggapan terhadap kritikan
masyarakat yang menilai karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya
“Tafsir al-Qur‟an al-Karim” dianggap bertele-tele dalam uraian tentang
30
pengertian kosa kata atau kaedah-kaedah yang disajikan. Maka, tafsir al-
Mishbah ini tidak lagi menguraikan pengertian penekananya dari kitab tafsir
sebelumnya.
Adapun metode tafsir Al-Mishbah adalah, Pertama Menyuguhkan
bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok
surah. M. Quraish Shihab memulai setiap pembahasan dengan menjelaskan
nama surah, latar belakang penamaan surah tersebut, serta tema pokok dalam
pembahasan surah tersebut. Kedua, Mengemukakan ayat-ayat al-Qur‟an
Setelah menjelaskan surah yang akan dibahas, baru disajikan satu, dua atau
lebih ayat dari apa yang telah dijelaskan. Ketiga Memberikan terjemahan
Setelah menyuguhkan beberapa ayat, maka Quraish Shihab akan memberikan
terjemahan ayat-ayat tersebut, kadangkala dilakukan penyisipan-penyisipan
kata atau kalimat, karena menurutnya, daya bahasa al-Qur‟an lebih cendrung
kepada I’jaz (penyingkatan) daripada Ithnab (memperpanjang kata). Keempat
Menjelaskan kosa kata Apabila ada kosa kata yang berkaitan dengan
penekanan kandungan terhadap ayat-ayat, maka kosa kata itu akan dijelaskan
seperlunya. Kelima Mengemukakan Asbab al-Nuzul Jika ayat tersebut
mempunyai Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunya ayat).
Quraish Shihab membagi tafsir al-Misbah kedalam 15 volume, dengan
sistematika sebagai berikut:
31
NO VOLUME SURAH
1 Volume I Surah al-Fatehah dan al-Baqarah
2 Volume II Surah Ali-Imran dan an-Nisa
3 Volume III Surah al-Maidah
4 Volume IV Surah al-An‟am
5 Volume V Surah al-„Araf, al-Anfal dan at-Taubah
6 Volume VI Surat Yunus, Hud dan ar-Ra‟d
7 Volume VII Surah Ibrahim, al-Hijir, an-Nahl dan al-Isra‟
8 Volume VIII Surah al-Kahf, Maryam, Thahaa dan al-Anbiya
9 Volume IX al-Hajj, al-Mu‟minun, an-Nuur dan al- Furqan
10 Volume X Surah asy-Syu‟ara, an-Naml, al-Qashash dan al- Ankabut
11 Volume XI Surah ar-Rum, Luqman, as-Sajadah, al-Ahzab, Saba‟,
Fathir dan Yasin
12 Volume XII Surah Ash-Shaffat, Shaad, az-Zumar, al-Mu‟min,
Fushilat, asy-Syuura dan az-Zukhruf
13 Volume XIII
Surah ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-
Fath, al-Hujarat, Qaaf, Adz- Dzaariyaat, ath-Thuur, an-
Najm, al-Qamar, ar- Rahman dan al-Waqi‟ah
14 Volume XIV
Surah al-Hadid, al-Mujadilah, al-hasyr, al-Mumtahanah,
al-Shaff, al-Jumu‟ah, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-
Thalaq, al-Tahrim, al-Mulk, al- Qalam, al-Haqqah, al-
Ma‟arij, Nuh, al-Jin, al- Muzzamil, al-Muddatsir, al-
Qiyamah, al-Insan dan al-Mursalat
15 Volume XV Juz „Amma
Corak tafsir dari tafsir al-Misbah adalah tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak
tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-
32
Qur‟an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki
tatanan kemasyarakatan umat, dan lain-lain.
2. Sekilas tentang Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya karya Buya Hamka dari sekian
banyak karya karyanya. Tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah
Subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar sejak tahun
1959. Hamka menulis ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958,
namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Diberi nama Tafsir al-Azhar,
sebab tafsir ini timbul didalam Masjid Agung al-Azhar, yang nama itu
diberikan oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.
Riwayat penulisan Tafsir al-Azhar memang sangat menarik. Hamka sendiri
mengakui dalam pendahuluan penulisan tafsirnya ini sebagai hikmah Ilahi.
Pada awalnya tafsir ini ia tulis dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962
sampai Januari 1964. Namun baru dapat dinukil satu setengah juz saja, dari juz
18 sampai juz 19. Kegiatan Hamka dalam menafsirkan al Qur‟an di Masjid
Agung al-Azhar terpaksa dihentikan dengan tertangkapnya Hamka oleh
penguasa Orde Lama. Ia ditangkap pada hari Senin, 27 Januari 1964, tidak
beberapa lama setelah menyampaikan kuliah Subuh kepada sekitar seratus
jama‟ah wanita di Masjid Agung al-Azhar.17
17Diakses pada 06 Desember 2017 dari http://repository.uin-
suska.ac.id/6329/3/BAB%20II.pdf
33
Dengan tumbangnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru, Hamka
memperoleh kembali kebebasannya. Ia dibebaskan pada tanggal 21 Januari
1966 setelah mendekam dalam tahanan sekitar dua tahun. Kesempatan bebas
dari tahanan ini digunakan sebaiknya oleh Hamka untuk melakukan perbaikan
dan penyempurnaan penulisan Tafsir al-Azhar, yang telah digarapnya di
sejumlah tempat tahanan.
Metode penafsiran yang digunakan dalam kitab Tafsir al-Azhar ini adalah
metode tahlili18
(metode analisis). Dimana urutan penafsiran sesuai dengan
urutan surah dan ayat yang tercantum dalam al Qur‟an. Meskipun
menggunakan metode tahlili, dalam Tafsir al-Azhar tampaknya Hamka tidak
banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Hamka
banyak memberi penekanan pada pemahaman ayat-ayat al Qur‟an secara
menyeluruh. Penjelasan kosa kata kalaupun ada, jarang dijumpai. Dalam
menguraikan penafsiran, sistematika yang digunakan Hamka yaitu khusus pada
awal surah, sebelum menguraikan penafsiran terlebih dahulu beliau menulis
pendahuluan yang isinya sekitar penjelasan mengenai surah tersebut antara lain
arti nama surah, sebeb surah tersebut diberi nama demikian, asbabun nuzul
ayat termasuk mengenai kontradiksi berbagai pendapat para ulama menyangkut
sebab turun surah tersebut. Barulah beliau menafsirkan ayat-ayat tersebut
18Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan
arti dan maksud ayat-ayat al Qur‟an dari berbagai aspek dengan menguraikan ayat demi ayat sesuai
dengan susunan ayat-ayat yang tedapat dalam mushaf al Qur‟an, melalui pembahsan kosa kata asbab
an-nuzul, 14 munasabah ayat, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai dengan
kecendrungan serta keahlian mufassir.
34
memberikan judul pada pokok bahasan sesuai dengan kelompok ayat yang
ditulis sebelumnya.
Tafsir al-Azhar ini pada umumnya mengaitkan penafsiran al- Qur‟an
dengan kehidupan sosial, dalam rangka mengatasi masalah atau penyakit
masyarakat, dan mendorong mereka ke arah kebaikan dan kemajuan. Ketika
mendapat kesempatan untuk mengupas isu-isu yang ada pada masyarakat,
Hamka akan mempergunakan kesempatan itu untuk menyampaikan petunjuk-
petunjuk al Qur‟an dalam rangka mengobati masalah dan penyakit masyarakat.
Selain itu, dalam tafsir al-Azhar, Hamka juga mengemukakan bahasan tentang
fiqih akan tetapi lebih kepada menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan, dan
untuk menunjang tujuan pokok yang ingin dicapainya, yaitu menyampaikan
petunjuk-petunjuk al Qur‟an yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Ini bisa
dirujuk ketika Hamka menjelaskan makna nazar dalam menafsirkan surah al-
Insan ayat ketujuh.19
19Lihat Tafsir al-Azhar, jilid 29, hal. 279-282.
35
BAB III
PRINSIP-PRINSIP HIDUP SEJAHTERA
Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan
pemeluknya menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam
sangat memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun
akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat
manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.
Hidup sejahtera merupakan dambaan setiap umat manusia. Sebab, tujuan,
hidup di dunia adalah mendapatkan kebahagiaan. Dr. „Aidh Abdullah al-Qarni dalam
bukunya yang berjudul berbahagialah, menjelaskan bahwa sesungguhnya dari dalam
jiwa akan terjadi perubahan. Barang siapa yang merasa ridha, maka keridhaan yang
akan dia dapatkan. Barangsiapa yang termakan kebencian, maka kebencian akan
menggerogoti dirinya. Barang siapa yang optimis akan mendapat kebaikan, maka dia
akan mendapatkannya dan barangsiapa selalu khawatir akan tertimpa keburukan, maka
ia akan menemukannya.1
Hidup sejahtera secara spesifik tidak dijelaskan pada ayat tertentu dalam al-
Qur‟an, tapi adanya tuntunan Ilahi (al-Qur‟an dan Hadits) yang dijadikan dasar atau
pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Didalam sebuah hadits disebutkan
1„Aidh Abdullah al-Qarni, Berbahagialah, terjemahan oleh Samson Rahman (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004), h. 9
36
bahwa pada hakikatnya hidup sejahtera itu mempunyai beberapa kriteria, sebagai
berikut:
1. Menjalankan Amal kebajikan/sedekah, hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori sebagai berikut:
أ ث ي د ح ب يالن ل ا:ق ال ىق س و ك ل ص.م:ع ب ع ف ن ي ف و ي د ي ب ل م ع ي :ف ل ا؟ق د ي ل ن إ ا:ف و ال .ق ة ق د ص م ل س ل ى ي ال ب ر أ ي ؟ف ل ع ف ي ل ن إ ف او ل اامللهوف.ق ة اج ال فيعنيذا :ل ا؟ق ل ع ف ي ل و أ ع ط ت س ي ل ن إ ف او ال .ق ق د ص ت ي و و س ف ن خرجوالبخاري(ة)أق د ص و ل و ن إ ف ر الش ن ع ك س م ي :ف ال ؟ق ل ع ف ي ل ن إ ف :ال ق و أ ف و ر ع م ال :ب ال ق و أ
(Abu Musa R.a berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Tiap muslim wajib
bersedekah”. Sahabat bertanya: “Jika tidak dapat?” jawab Nabi: “Bekerja dengan
tangannya yang berguna bagi diri dan bersedekah”. Sahabat bertanya lagi, “Jika
tidak dapat?” jawab Nabi, “membantu (menolong) orang yang membutuhkan.”
Sahabat bertanya lagi “Jika tidak dapat?. Jawab Nabi, “Menganjurkan kebaikan.”
Sahabat bertanya lagi “Jika tidak dapat? Nabi menjawab, Menahan diri dari
kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.” – riwayat al-Buhkhori)
Hadits tersebut mempunyai beberapa isi kandungan, bahwa anjuran untuk beramal
bertujuan agar seorang muslim dapat menutupi kebutuhannya dan bersedekah.
Sehingga dirinya terhindar dari perbuatan meminta-minta. Bahkan sebaliknya orang
lain akan mengambil manfaat dari sebab usaha dan sdekahnya. Dikatakan pula
bahwa sedekah akan mendatangkan al-Bir, yaitu kumpulan berbagai kebaikan (Q.S
al-Baqarah/2: 77), dan al-Bir itu akan mengantarkan orang ke surga.2
2. Dorongan mencari rezeki yang halal, hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan Bukhori sebagai berikut:
2Ayat Dimyati, Hadits Arba’in: Masalah Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq (Bandung: Penerbit
Marja, 2001), h. 44-45
37
أ ح د ي ث اللص.مل و س ر ال :ق ال ق و ن ع الل ي ض ر ة ر ي ر ى ب ةع م ك د ح حيتطبا ن ل ل أ س ي ن أ ن ر ي خ ه ر ه ىظ ل حز خاري(البخرجووأومينعو)أافيعطيد ح أ
(Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Jika seorang pergi mencari
kayu bakar, lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di
pasar) maka itu lebih baik baginya dari pada minta kepada orang lain, baik diberi
atau ditolak.” – Bukhori Muslim)
Kandungan hadits tersebut adalah bahwa sebaik-baik nikmat Allah atas hambanya
adalah dilapangkan rizqi dan diluaskan harta. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa
sebaik-baik harta seseorang adalah memelihara dirinya dari kehinaan karena
meminta-minta, memelihara air mukanya, mengenali hak-hak dirinya,
mengusahakan agar dirinya tetap mencapai kemulyaan, menjadikan orang lain
berada pada bantuannya. Dianjurkan pula untuk bekerja keras mencari rezeki
melalui jalan yang disyariatkan, agar mencapai derajat kemulyaan yang diharapkan
(Adab al-Nabawi: 284-285). Dan yang terakhir dijelaskan pula bahwa bentuk kerja
keras untuk menghindari perbuatan meminta-minta adalah pergi mencari kayu
bakar ke hutan kemudian dijual ke pasar dengan dipikul sendiri.3
Dari kedua hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa bekerja keras (amal yang
sholeh) sebagai realisasi dari Iman merupakan syarat daripada terpenuhinya
kesejahteraan, karena salah satu dari indikasi kesejahteraan adalah terpenuhinya
kebutuhan hidup, sehingga kebutuhan hidup hanya bisa dipenuhi apabila dikerjakan
dengan sungguh-sungguh yang tentunya sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan Hadits.
3Dimyati, Hadits Arba’in, h. 65-66
38
A. Terpenuhinya Kebutuhan Materi
Salah satu prinsip kesejahteraan hidup di dunia adalah terpenuhinya kebutuhan
materi. Manusiawi apabila masyarakat menginginkan hidup berkecukupan demi
kelangsungan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Allah SWT berfirman
dalam QS al-Baqarah/2: 58
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini
(Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak
dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,
dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa", niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian
Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik".
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut pada
kalimat kulu minha haitsu syi’tum raghadan/makanlah dari hasil buminya, yang
banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, mengisyaratkan betapa subur tanah negeri
itu dan betapa banyak dan terpencar hasil-hasilnya, sehingga mereka dipersilahkan
menikmati hasilnya yang banyak itu di mana saja. Memang demikian itu halnya baitul
Maqdis dan daerah-daerah sekitarnya hingga saat ini.4
4M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur,an (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 206
39
Kata al-muhsinin adalah jamak dari kata muhsin, dan ihsan adalah kata jadiannya.
Menurut al-Harrali – sebagaimana dikutip al-Biqo‟i – kata ini mengandung arti puncak
kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba ia tercapai saat seseorang memandang
dirinya pada diri orang lain sehingga ia memberi untuknya apa yang seharusnya dia
beri untuk dirinya; sedangkan ihsan antara diri dengan Allah adalah leburnya dirinya
sehingga dia hanya “melihat” Allah Swt. karena itu pula ihsan antara hamba dengan
sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya, dan hanya melihat orang
itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat
dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai muhsin, dan
ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.5
Untuk itu, demi terpenuhinya kebutuhan materi maka seseorang harus bekerja.
Dalam Islam, kerja memililki nilai yang sangat besar. Rukun Islam zakat dan haji tak
mungkin ditunaikan bila tak memiliki harta. Dan harta tak akan dipunyai seseorang
apabila ia tidak bekerja. Bekerja hukumnya menjadi wajib, kecuali karena alasan
tertentu yang dibenarkan syariat. Agar kerja seseorang memiliki kualitas amal yang
terbaik, maka ia harus memiliki etos kerja yang benar. Allah SWT berfirman dalam QS
at-taubah/9: 105
Artinya:
5Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 206
40
dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah bahwa, kata waquli’malu
diartikan katakanlah bekerjalah kamu karena Allah semata dengan aneka amal shaleh
dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk orang lain atau masyarakat umum.
Fasayara Allah, yang artinya maka Allah akan melihat, yakni menilai dan memberi
ganjaran amal perbuatan kamu. Dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat dan menilainya juga, kemudian menyesuaikan perlakuan mereka dengan amal-
amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan dikembalikan kepada Allah melalui
kematian. Firman-Nya: “Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata.”, lalu
diberitahukan kepada kamu sanksi dan ganjaran atas apa yang telah kamu kerjakan,baik
yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam hati.6 Setelah
penyampaian harapan tentang pengampunan Allah SWT, ayat tersebut melanjutkan
dengan perintah untuk beramal yang shaleh.
Ayat ini menurut M. Quraish Shihab bertujuan untuk mendorong umat manusia
agar mawas diri dan mengawasi amal-amal mereka, dengan cara mengingatkan mereka
bahwa setiap amal yang baik dan buruk memiliki hakikat yang tidak dapat
disembunyikan, dan mempunyai saksi-saksi yang mengetahui dan melihat hakikatnya,
yaitu Rasul saw, dan saksi-saksi dari umat muslim setelah Allah SWT. Setelah itu,
Allah akan membuka tabir yang menutupi mata mereka yang mengerjakan amal-amal
6M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. V
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 711.
41
tersebut pada hari kiamat, sehingga mereka pun mengetahui dan melihat hakikat amal
mereka sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, ayat ke-105 dari Surat at-Taubah dapat diketahui
bahwa Allah menyuruh manusia untuk bekerja menurut bakat dan bawaan, yaitu
manusia diperintahkan untuk bekerja sesuai tenaga dan kemampuannya. Artinya
manusia tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang bukan pekerjaannya, supaya umur
tidak habis dengan percuma. Dengan demikian, manusia dianjurkan untuk tidak
bermalas-malas dan menghabiskan waktu tanpa ada manfaat. Juga dengan tegas ayat
ini menyuruh manusia mempertinggi produksi, dan tiap-tiap kita mestilah produktif,
mengeluarkan hasil, dan tahu di mana tempat kita masing-masing. Tidak ada pekerjaan
yang hina, asal halal, dan asal tidak melepaskan diri dari pada ikatan dengan Tuhan.7
Dari uraian tafsir tersebut, dapat dikatakan bahwa umat manusia diperintahkan
oleh Allah untuk selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan
untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh Allah, Rasul, serta para
mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari kiamat kelak, kemudian akan
mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya ketika dimuka bumi. Jika amal
perbuatan yang baik akan mendapat pahala, dan jika perbuatannya jelek akan mendapat
siksa.
Oleh karena itu, kesejahteraan seseorang akan terpenuhi jika kebutuhan mereka
tercukupi, kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang menjadi
indikatornya, di mana salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang yang
7Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XI (PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 40
42
bersifat materi, Al-Ghazali menyebutnya dengan istilah al-mashlahah yang diharapkan
oleh manusia tidak bisa dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan salah
satu unsur utama dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan.
Al-Ghazali juga menegaskan bahwa harta hanyalah wasilah yang berfungsi sebagai
perantara dalam memenuhi kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final
atau sasaran utama manusia di muka bumi ini, melainkan hanya sebagai sarana bagi
seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana
seseorang wajib memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan segenap
potensi manusia dan meningkatkan sisi kemanusiaan manusia di segala bidang, baik
pembangunan moral meupun material, untuk kemanfaatan seluruh manusia.8
B. Terpenuhinya Kebutuhan Rohani
Tidak dapat dipungkiri setelah semua kebutuhan materi terpenuhi, manusia akan
mencari ketenangan batin demi terpenuhinya kebutuhan rohani. Kebutuhan Rohani
adalah kebutuhan yang sifatnya tidak nyata, dimana hanya pribadi yang bersangkutan
yang bisa merasakan secara langsung. Kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang secara
bathiniyah sangat diperlukan oleh manusia untuk mencapai kepuasan batin. Salah satu
jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan beribada kepada Tuhan, Sang
8Amirus Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium III, no. 2, (Desember 2015):
h. 389. Diakses pada 20 Januari 2018 dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/1268/1127
43
Maha pencipta segala sesuatu. Allah Swt. berfirman dalam Q.S ar-Ro‟du/13: 28
sebagai berikut:
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.
Dalam tafsir al-Misbah vol. 6 Dijelaskan bahwa Thabathaba‟i menggaris bawahi
kata tathmainnu/menjadi tenteram adalah penjelasan tentang kata sebelumnya yaitu
beriman. Iman bukan hanya sekedar pengetahuan tentang objek iman, karena
pengetahuan tentang sesuatu, belum mengantar kepada keyakinan dan ketentraman
hati. Dengan kata lain Ilmu tidak menciptkan Iman. Bahkan bisa saja pengetahuan itu
melahirkan kecemasan atau bahkan pengingkaran dari yang bersangkutan seperti yng
diisyaratkan oleh Q.S an-Naml/27:14:9
Artinya:
dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka)
Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa
kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.
9M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mibah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. VI
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 600
44
Namun, ada juga pengetahuan yang melahirkan iman, yaitu pengetahuan yang
disertai dengan kesadaran akan kebesaran Allah SWT, serta kelemahan dan kebutuhan
makhluk kepda-Nya. Maka ketika pengetahuan dan kesadarn itu bergabung dalam jiwa
seseorang, akan lahir ketenangan dan ketentraman.10
Kata tathmainnu menggunakan bentuk kata kerja masa kini. Penggunaannya di
sini bukan bertujuan menggambarkan terjadinya ketentraman itu pada masa tertentu,
tetapi yang dimaksud adalah kesinambungan dan kemantapannya. Ayat ini ada
kaitannya dengan ayat lain yaitu Q.S al-Anfal/8:2 yang menggambarkan keadan
mereka ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung ancaman. Sedang pada surat ar-
Ro‟du menjelaskan tentang ketentraman menyebut nama Allah yang rahmat-Nya
mengalahkan amarah-Nya, yang rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Quraish Shihab
juga memberikan jawaban lain terhadap dugaan pertentangan kedua ayat tersebut,
ketika menafsirkan Q.S al-Anfal itu, yakni rasa takut dan gentar yang dirasakan oleh
orang-orang yang beriman adalah tahap pertama dari gejolak jiwa ketika itu merasa
sangat takut akibat membayangkan ancaman dan siksa Allah, sedang Q.S ar-Ro‟du
menggambarkan gejolak hati mereka setelah rasa gentar itu berlalu, yakni ketika
mereka mengingat rahmat dan kasih sayang Allah. Kedua kondisi psikologis tersebut
ditampung dalam Q.S az-Zumar/39: 23:11
10
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 600 11
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 601-602
45
Artinya:
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit
dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
Dalam ayat tersebut kata thuba berasal dari kata thoba artinya yang baik,
menyenangkan, dan menggembirakan. Kata ini merupakan kata sifat dari suatu kata
yang tidak disebut misalnya kehidupan. Kehidupan betapapun mewahnya tidak akan
baik jika tidak disertai ketentraman hati, sedang ketentraman hati baru dapat dirasakan
bil hati yakin dan percaya bahwa ada sumber yang tidak terkalahkan yang selalu
mendampingi dan memenuhin harapan.12
Sedangkan menurut Hamka dalam Tafsir nya al-Azhar dijelaskan bahwa Iman
adalah sebab kenapa Tuhan harus senantiasa diingat, atau zikir. Pusat ingatan atau
tujuan ingatan yang ada di hati disebabkan oleh Kemantapan Iman. Dan ingatan kepada
Tuhan itu menimbulkan ketentrman, dan dengan sendirinya hilanglah segala macam
kegelisahan, fikiran kusut, putusasa, ketakutan, kecemasan, keragu-raguan dan
dukacita. Ketentraman hati adalah pokok kesehatan rohani dan jasmani, sedangkan
ragu dan gelisah adalah pangkal segala penyakit. Orang lain tidak akan mampu
12
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 602
46
menolong orang yang meracuni hatinya dengan kegelisahan. Jika demikian dibiarkan
berkelanjutan dan tidak segera diobati dengan iman, yaitu iman yang menimbulkan
dzikir dan dzikir menimbulkan thuma’ninah, maka celakalah yang akan menimpa. Hati
yang telah sakit akan bertambah sakit. Dan puncak segala penyakit hati ialah kufur
akan nikmat Allah.13
Lebih lanjut dijelaskan bahwa di dalam al-Qur‟an telah dibagi-bagi tingkat
pengalaman nafsu menjadi tiga tingkatan:
1. An-nafsul ammarah bissu’, bisa dilihat dalam QS. Yusuf/12: 53. Yaitu nafsu
yang selalu menyuruh dan mendorong supaya berbut jahat. Hal ini apabila
terjadi terus menerus akan menimbulkan an-nafsul lawwamah
2. An-nafsul lawwamah, bisa dilihat dalam QS. Al-Qiyamah/75: 2. Yaitu
tekanan batin dan penyesalan karena telah terlanjur melakukan kejahatan.
Kelak karena pengalaman-pengalaman diri, karena menuruti an-nafsul
ammarah bissu’ yang menimbulkan sesal, maka dapatlah dia mencapai an-
nafsul muthmainnah.
3. An-nafsul Muthmainnah, bisa dilihat dalam QS. Al-Fajr/89: 27. Yaitu nafsu
yang telah mencapai ketentramannya, setelah menempuh berbagai
pengalaman.14
13
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XIII-XIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 93 14
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 93
47
Di sinilah perlunya iman dan dzikir, sehingga berpadulah kehendak hati yang
bersih dengan dorongan nafsu, guna mencapai ridha Allah SWT. dengan ketentraman
itu.
Untuk itu, demi terpenuhinya kebutuhan rohani sebagai prinsip hidup sejahtera
maka ibadah harus dibarengi dengan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sesuai dengan
Firman Allah QS al-Baqarah/2: 25
Artinya:
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat
baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-
surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami
dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya
Dalam tafsir al-Misbah diceritakan oleh Shihab bahwa ayat ini menjelaskan
tentang gambaran orang-orang beriman dan ganjaran yang akan mereka peroleh. Ayat
ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan berita gembira kepada
mereka yang benar-benar tulus mengimani Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul
Allah, Hari akhir dan Qodlo‟ dan Qodar yang dibuktikan dengan amal saleh.15
Mereka
15
Amal adalah segala hasil penggunaan manusia, yakni daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan
daya hidup. Daya-daya itu bila digunakandalam bentuk yang saleh, yakni bermanfaat dan disertai dengan
48
dianugerahi aneka rezeki, antara lain berupa buah-buahan dan pasangan-pasangan yang
telah berulang kali disucikan.16
Untuk memberi kebahagiaan yang lebih mantap dan menghilangkan rasa cemas
yang boleh jadi muncul dalam benak ketika menduga bahwa kenikmatan itu tidak
abadi, ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa mereka tinggal di sana kekal selama-
lamanya. 17
Kemudian secara Tegas Hamka mengatakan bahwa keras kepala nerakalah
ancamannya, dan kepatuhan dijanjikan masuk surga. Dalam ayat ini Hamka
menguraikan pendapat beberapa ahli tafsir, diantaranya adalah Jalaluddin as-Sayuthi
yang menjelaskan bahwa buah-buahan yang dihidangkan di surga itu serupa dengan
buah-buahan yang Allah karuniakan di dunia, namun hanya rupa yang sama, rasa dan
kelezatannya sungguh sangat berbeda.18
Kita akan selalu dihadapkan dengan ayat-ayat janji gembira dari Allah, bagi
hamba Allah kelak di surga-Nya. Kepercayaan akan adanya surga dan neraka termasuk
dalam iman terhadap hari akhir. Perdebatan tentang keberadaan surga dan neraka
apakah sudah ada sekarang ini ataukah masih nanti adalah bagian dari ilmu filsafat.
iman yang benar dari pelakunya maka pelakunya beramal saleh. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. I (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 129 16
Buah-buahan yang dihadiahkan di surga adalah buah-buahan yang dari segi bentuk dan
rupanya serupa yang ada di dunia, tetapi sebenarnya tidak sama rasa dan nikmatnya. Tampaknya, agar
mereka tidak ragu memakannya, karena sesuatu yang belum pernah dicoba boleh jadi meimbulkan tanda
tanya di dalam benak yang mengakibatkan seseorang enggan mencicipinya. Sedangkan pasangan-
pasangan yang dimaksudkan adalah pria buat wanita dan wanita buat pria, sehingga penyucian itu
mencakup segala yang mengotori jasmani dan jiwa pria yang antara lain seperti dengki, cemburu,
kebohongan, keculasan, penghianatan dan lain-lainShihab, Tafsir al-Misbah, h. 130 17
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 130 18
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ I (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986), h. 143
49
Yang perlu kita perhatikan ialah syarat masuk surga yang telah diterangkan tadi yaitu
iman dan amal saleh. Artinya kepercayaan didalam hati terhadap Tuhan lalu dibuktikan
dengan amal perbuatan. Karena pada hakikatnya tidak mungkin terjadi pertentangan
antara iman dan amal, tidak mungkin hanya ada iman tanpa adanya gerak amal untuk
membuktikannya, dan tidak mungkin pula ada gerak amal, padahal tidak ada
dorongan/hasrat dari dalam hati.19
Akhirnya, apabila seorang hamba sudah melaksanakan tugasnya yaitu beribadah
dengan dibarengi keimanan yang kuat maka sakinah akan didapatkan. Hal demikian
bertujuan untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana janji Allah
dalam QS al-Fath/48: 420
Artinya:
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan
adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas menjelaskan bahwa diturunkannya
sakinah kepada kaum mukminin merupakan salah satu faktor utama dari diraihnya
kemenangan. Sakinah itu adalah ketenangan di hati mereka, sehingga tidak terjadi
kebingungan diantara kaum beriman, tidak juga perselisihan diantara mereka dan
19
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ I, h. 144 20
Al-Hadi, Agar Hati Selalu Tenang, h. 39
50
dengan demikian mereka bersatu padu tidak terombang ambing oleh setan dan isu-isu
negatif yang disebarluaskan oleh kaum musyrikin dan munafikin. Hal tersebut
merupakan salah satu faktor penting guna meraih kemenangan.21
Selanjutnya Hamka mengungkapkan bahwa meskipun pada awalnya banyak
diantara orang-orang beriman ragu, namun akhirnya secara beransur tapi pasti
keimanan mereka tumbuh kembali, sesudah mereka saksikan sendiri bahwa beberapa
orang sahabat Nabi Muhammad Saw. diantaranya Abu Bakar tidak berkocak sedikitpun
karena hal kecil yang ditemui nabi ketika mengikat perjanjian Hudaibiyah.22
“Dan bagi Allah lah tentara-tentara di langit dan di bumi.” Kalimat Allah yang
sedikit ini memeberi peringatan kepada kita salah satu bagian dari ilmu perang.
Bahwasanya tentara lah yang akan menentukan menang atau kalah nya peperangan
bukanlah semata-mata tentara manusia yang terbilang banyak yang ada di muka bumi,
melainkan tentara yang datang dari langit. Jenderal-jenderal perang di zaman modern
memperhitungkan bahwa disamping banyaknya tentara yang siap berperang ada faktor
lain yang menjadi penentu kemenangan dalam bertarung diantaranya adalah medan dan
cuaca. Hal ini dapat dilihat dari kekalahan Napoleon ketika menyerbu tanah Rusia.
Penyebabkan kekalahannya tidak lain adalah bukan karena kurangnya jumlah tentara,
tetapi karena musim dingin pada saat penyerbuan tersebut. Para tentaranya banyak
yang gugur karena pada dasarnya orang Perancis tidak tahan menderita dingin.23
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIII
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 178 22
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVI (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 131 23
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVI, h. 131
51
C. Beriman dan Bertaqwa
Iman termasuk pondasi menegakkan Agama Islam, untuk dalam setiap ibadah
baik mahdloh maupun ghoiru mahdloh, iman merupakan bagian terpenting demi
terwujudnya amalan-amalan manusia termasuk adalah terciptanya kehidupan yang
sejahtera. Berikut beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan tentang Iman dan taqwa.
- QS. Luqman/31: 22
Artinya:
dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia
orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan
segala urusan.
Shihab berpendapat bahwa ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang
yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang
yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada
seutas tali yang juga amat kukuh. bahkan seandainya ia terjerumus masuk ke dalam
jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong, karena ia tetap berpegang pada tali yang
mengubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan timba yang dipegang
ujungnya, yaitu timba yang diturunkan guna mengambil air lalu ditarik ke atas.
Demikian juga seorang mukmin yang terjerumus ke dalam kesulitan. Memang dia
52
turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas membawa air kehidupan yang
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.24
Pendapat lain dikemukakan Hamka dalam tafsirnya Al-Azahar. Pada ayat yang
artinya “dan barang siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah.” Menurut
Hamka penyerjan wajah pada hakikatnya adalah penyerahan diri, penyerahan jiwa raga.
Disebut wajah, yang berarti muka. Karena pada dasarnya muka lah yang menentukan
pribadi manusia. Diumpamakan apabila sesorang dipotong kepalanya, dan hanya
menyisakan bagian leher sampai tubuhnya, maka tidak akan diketahui siapa orang
tersebut. Tetapi apabila potongan leher kebawah samapi tubuhya hilang dan hanya
menyisakan kepala, maka dengan jelas identitas orang tersebut dapat diketahui.
Menghadapkan wajah atau menyerahkan wajah kepada Allah berarti menyerahkan diri,
artinya beramal dengan ihlas karena Allah, mengerjakan semua yang diperintahkan-
Nya sesuai dengan syari‟atnya serta menjauhi segala hal-hal yang dilarang-Nya. Arti
ayat “Dan dia pun berbuat kebajikan.” Maksudnya adalah segala amal itu dijaga dan
dipelihara supaya baik dan ditingkatkan supaya lebih baik lagi. Selanjutnya “Maka
sesungguhnya dia telah berpegang dengan tali yang teguh.”dalam bahasa yang lebih
sederhana dapat dikatakan: “Dia telah ada pegangan hidup.” Dia tidak usah bimbang
dan ragu lagi. Karena dia sudah mendapatkan jalan yang benar, dia akan selamat dalam
perjalanan itu.25
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XI
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 146 25
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 140-141
53
Di akhir ayat 22 tersebut dijelaskan bahwa akhirnya semua akan kembali kepada
Allah. Dengan syarat seseorang berada pada jalan yang benar, melaksanakan tuntunan
Allah dengan ihlas, serta menjaga diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh Allah.
D. Tersedianya Sumber Penghidupan.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS.
Hud/11: 6)
Dari ayat diatas sungguh jelas, bahwa tidak ada sesuatu makhluk pun yang luput
dari pantauan Allah SWT hingga ia bisa mendapatkan rezeki yang sudah ada dan
menjadi bagiannya tanpa Allah kurangi sedikitpun. Allah SWT berfirman dalam QS al-
Jatsiyah/45: 13.
Artinya:
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir.”
Berdasarkan ayat tersebut kita dapat memahami bahwa Allah menyediakan
sumber penghidupan di bumi untuk kepentingan manusia. M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa penundukkan untuk kemaslahatan langit dan bumi dipahami dalam
54
arti semua bagian-bagian alam yang terjangkau dan berjalan atas dasar satu sistem yang
pasti, kait berkait dan dalam bentuk konsisten. Allah menetapkan hal tersebut dan dari
saat ke saat mengilhami manusia tentang pengetahuan fenomena alam yang dapat
mereka manfaatkan untuk kemaslahatan dan kenyamanan hidup manusia.26
Lebih lanjut Hamka menguraikan betapa ayat ini sangat mengharukan,
dijelaskan dalam tafsir al-Azhar Allah menyediakan untuk makhlukya terutama
manusia segala apa yang ada di langit, baik yang dapat dilihat secara nyata oleh
manusia seperti adanya awan dan mega, kabut dan embunnya, matahari serta bulan.
Maupun langit dalam arti yang ghoib-ghoib, dengan malaikat-malaikatya. Untuk itu
hendaknya kita pergunakanlah sebaik mungkin segala apa yang yang Allah
anugerahkan. Sebagai contoh adanya sinar matahari hendaknya kita manfaatkan untuk
keadaan mencari rezeki, dan lain sebagainya.27
Di bumi pun demikian, semua disediakan untuk kepentingan manusia,
tumbuhan, buah-buahan, sayuran, dan aneka macam tanaman. Demikian juga binatang
ternakdan binatang liar, ikan di air asin di air tawar, emas dan perak dari tambang,
minyak tanah dari bumi, batu permata dar pegunungan. Sungguh semua itu oleh Allah
yang Maha Kaya disediakan untuk manusia. “Sesungguhnya yang demikian menjadi
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Hal ini menjadi renungan bagi setiap manusia
26
Segala apa yang ada dilangit adalah bintang-bintang dan planet-planet, sedang segala apa yang
ada di bumi adalah tanah yang subur, udara, air dan lain-lain, semuanya merupakan rahmat yang semata-
mata bersumber dari Allah SWT. maka, yang demikian itu merupakan tanda dan bukti-bukti yang sangat
jelas tentang keesaan serta kekuasaan Allah. Untuk itu sebagi manusia yang diciptakan mempunyai akal
hendaknya merenungkan hal tersebut. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an vol. XIII (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 41 27
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999), h. 124
55
bahwa tugas apa yang harus diselesaikan sebagai makhluk yang amat penting di alam
ini?. Demikianlah penutup dari pandangan Hamka.
Islam datang ke muka bumi ini dengan membawa seperangkat hukum-hukum
yang berfungsi mengatur kehidupan manusia. Sebagian dari sistem tata aturan itu
adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok
tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan, serta pekerjaan yang dapat
memenuhi kebutuhan mendesak seperti pernikahan, dan alat-alat transportasi yang
berfungsi memenuhi kebutuhan di lokasi yang jauh. Semua itu dapat dipenuhi tiap
individu dengan “bekerja”. Jika Islam menetapkan adanya keharusan “kerja” dalam
segala bentuknya, itu adalah sebab dasar yang memungkinkan manusia memiliki harta.
Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt Q.S Al-Mulk/67: 15.28
Jaminan Allah untuk
memenuhi segala apa yang dibutuhkan manusia sudah digambarkan dalam firman-Nya
dalam QS al-Mulk/67: 21:
Artinya:
atau siapakah Dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezki-
Nya? sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan
menjauhkan diri?
Ayat 21 dari surat al-Mulk ini merupakan lanjutan dari ayat 20 yang menampik
adanya satu sumber selain Allah yang dapat memberi bantuan, kini dilanjutkan dengan
menampik adanya sumber rezeki – baik material maupun spiritual – selain Allah SWT.
28
Abdul Aziz Al-Badri, Al-Islam Dlaaminun Lil Haajaat Al-Asaasiyah, terjemahan oleh Tjetjep
Suhandi dan Muhammad Toh Idris (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 25
56
Allah berfirman: atau siapakah ini yang memberi kamu secara terus menerus atau dari
saat ke saat rezeki baik material maupun spiritual jika Dia yang Rahman itu menahan
sebab-sebab perolehan rezeki-Nya atas kamu? Pasti tidak ada selain-Nya.29
Sependapat dengan Shihab, Hamka juga mengungkapkan bahwa ayat ini masih
berkaitan dengan ayat sebelumnya, QS al-Mulk/67: 20. Bahwa manusia merasa aman
hidup di dunia, mereka lupa bahwa Allah lah yang menjaga dan mengawalnya.
Semakin lama mereka menikmati kehidupan dunia, semakin jauh pula mereka dari
jalan Allah dan justru terperosok ke jalan hawanafsu. Apalagi apabila Tuhan memberi
lebih bnyak lagi rezeki kepadanya, seperti kekayaan, kemewahan, kedudukan,
ketenaran, dan segala hal yang diinginkannya terpenuhi, tidak lah ada rasa syukur dan
terima kasih kepada Tuhan. Tidakkah mereka ingat bahwa ar-Raziq nya Tuhanlah yang
memberikan semua itu. Apabila Allah telah menahan dan menghambat rezeki seperti
yang dilakukannya terhadap Qorun (dikisahkan dalam surat al-Qashash juz 20) maka
tidak akan ada seorangpun yang dapat menggantinya?.30
Meskipun ayat ini diturunkan empat belas abad yang lalu, namun sampai saat ini,
golongan orang-orang tersebut di atas masih banyak terdapat dalam masyarakat,
mereka adalah golongan orang-orang yang diperbudak oleh harta benda. Untuk itulah,
setelah merenungkan ayat-ayat ini, yang mengisahkan perangai-perangai manusia
29
Shihab. Tafsir al-Misbah, h. 362 30
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXIX (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 27
57
dalam menghadapi kebenaran, datanglah wahyu Ilahi sebagai pertanyaan untuk
mengajak isi hati dalam menimbang-nimbang antara nilai kejujuran dan kecurangan.31
Allah SWT berfirman dalam QS Fussilat/41: 39
Artinya:
dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan
gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak
dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat
menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Ayat di atas menguraikan bukti-bukti kekuasaan-Nya di bumi. Allah berfirman:
dan diantara ayat-ayat yakni tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya adalah engkau
melihat dengan pandangan mata atau fikiran – melihat bumi kering tandus, gersang dan
mati, maka apabila telah kami turunkan air di atasnya, dari langit atau dari ketinggian
gunung niscaya engkau – siapapun engkau – selalu melihat tanda-tanda kehidupan
padanya yaitu ia bergerak dan mengembang permukaannya, meninggi akibat air dan
udara. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat pula menghidupkan
apa saja yang mati termasuk manusia; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.32
31
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XXIX, h. 28 32
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XII
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 421
58
Coba kita lihat di daerah-daerah tandus di Afrika, sebanyak 25 juta jiwa melayang
akibat kekeringan. Bahkan bantuan yang berupa 1,5 juta sapi, kambing dan domba
yang diberikan kepada penduduk dilaporkan banyak yang mati karena kekeringan. PBB
sendiri telah memprediksi sekitar 20 juta orang lainnya akan menghadapi bencana
kelaparan akibat kekeringan di wilayah-wilayah seperti Kenya, Somalia dan Ethiopia.
Menurut Wakil Direktur Kemanusiaan “Oxfam”, Jeremy Loveless bahwa hujan adalah
harapan terakhir dari banyak orang. Subhanallah, bukanlah jauh-jauh sebelumnya Allah
telah menjelaskan hal itu kepada umat manusia bahwa air adalah sumber kehidupan
manusia di muka bumi ini, kalau tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
Secara rinci ayat ini menerangkan bahwa unsur-unsur kosmos dan lapisan tanah
yang mati apabila disiram oleh air hujan akan larut bersama air hujan. Dengan
demikian, tanah itu akan mudah bergerak hingga mencapai benih dan akar berbagai
macam tumbuhan, bumi menjadi tampak hidup dan bertambah besar.33
Firman-Nya: “Dan setengah daripada ayat-ayat-Nya.” (diakhir ayat 39)
maksudnya yaitu setengah dari pada tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan;
selanjutnya “Engkau lihatlah bumi itu menjadi layu.” Khasyi’atun kita artikan layu,
yaitu merendahkan diri laksanakan orang yang lemah, gemulai, tidak berdaya dan tidak
berhasrat dan tidak bertenaga, karena kering tidak ada air. “Maka apabila kita turunkan
air kepadanya, jadilah dia bergerak dan subur.” Karena negeri kita ini kaya dengan
tumbuh-tumbuhan, dapatlah kita lihat bagaimana keadaan bumi jika sudah lama
kemarau, benar-benar bumi menjadi layu dan tidak bergairah, namun apabila turun
33
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 422
59
hujan, walaupun hanya hitungan menit bumi akan mengalami perubahan, menjadi
gembira, bergerak, menghijau dan tegak dengan suburnya. Akhirnya kita akan
mengetahui bahwa: “Sesungguhnya yang menghidupkannya itu, Dia pulalah yang
menghidupkan yang telah mati.” Artinya begitulah perumpamaan bagi Tuhan untuk
menghidupkan kembali barang yang telah mati dalam alam seluruhnya ini.34
Kemudian Hamka mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan berlaku atas segala
sesuatu. Misalnya air itu sendiri telah ditentukan Tuhan dia memenuhi tempat yang
rendah, sampai tempat yang rendah itu penuh, barulah kemudian mengalir menuju
tempat yang kosong. Dengan siklus yang demikian air bisa mendaki ke tempat yang
lebih tinggi lantaran desakan dari bawah, maka air itu bisa mendaki dan akan mendatar
kembali apabila telah sampai di tempat yang sama tingginya dengan tempat asal
datangnya. Lantaran itu, maka Maha Kuasa atas segala sesuatu ialah menurut hukum
alam juga, dan masuk diakal. Kalau belum masuk diakal, air mendaki ke tempat yang
tinggi padahal biasanya terjun ke tempat yang rendah, bukan dia berbuat yang ganjil,
melainkan kita lah yang belum mengetahi rahasianya.35
Kalau saja orang-orang Afrika memahami Al Qur‟an, tentunya mereka akan
berharap kepada Allah swt. Kalau saja seorang Loveless membaca al Qur‟an, dia akan
tahu bahwa Allah-lah Yang menurunkan air hujan agar bumi bisa hidup, darinya akan
tumbuh pohon-pohon yang berbuahDengan air itulah Allah menghidupkan bumi dan
34
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), 246 35
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIV, h. 246
60
menghidupkan seluruh makhluq yang hidup di dalamnya, sebagaimana yang telah
dijanjikan oleh dalam beberapa firmnNya di atas.
Selanjutnya Allah Ta’ala melapangkan rezeki bagi sebagian hamba-hamba-Nya
dan menyempitkannya bagi sebagian yang lainnya, untuk suatu hikmah yang Allah
ketahuinya. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-„Ankabut/29: 62:
Artinya:
Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.
Setiap makhluk telah dijamin Allah rezeki mereka. Yang memperoleh sesuatu
secara tidak sah atau haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh Allah
rezekinya yang halal, tetapi ia enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan
perolehannya. Uraian tentang penyempitan rezeki pada ayat d atas diungkap dengan
kata wa yaqdiru lahu/penyempitan baginya. Di sini ada kata lahu yang berbeda dengan
uraian serupa pada QS. Ar-Ra‟du/13: 26 dan QS. Al-Qashash/28: 82 yang tidak
memakai kata lahu. Itu menurut Ibn „Asyur karena ayat ini memberi petunjuk khusus
kepada kaum mukminin yang sedang mendapat cobaan dalam hal harta benda mereka
akibat dianiaya oleh kaum musyrikin. Di sisi lain, pengganti nama pada kata
lahu/baginya ada ulama‟ yang memahaminya menunjuk pada yang dilapangkan
rezekinya, sehingga ayat di atas berbicara tentang perbedaan rezeki seseorang dari satu
saat ke saat yang lain, dan ada juga yang memahami kembali kepada hamba-hamba-
61
Nya semua, dan dengan demikian ayat ini berbicara tentang perbedaan rezeki antara
seseorang dengan orang lain.36
Kemudian Hamka menegaskan makna dari akhir ayat ini bahwa tidak ada
siapapun yang sanggup menghargai jasa seseorang yang akan sama penghargaannya
atas jasa orang yang berjuang menegakkan jalan kebenaran dengan penghargaan yang
diberikan Allah! Sebab bagi Allah jelas, semua tidak ada yang tersembunyi. Sedang
bagi manusia perbuatan yang baik itu kerapkali lupa. Dan kalau ingat pun,
penghargaannya tidak juga akan sepadan.37
Selain dari itu kesehatan juga termasuk salah itu indikator kesejahteraan hidup di
dunia, hal tersebut merupakan faktor terpenting demi terwujudnya kebutuhan materi.
Namun demikian, dari sisi keberagamaan seseorang, sakit bukan termasuk hambatan
dalam mencapai kesejahteraan hidup. Karena pada hakikatnya sakit merupakan ujian
yang diberikan oleh Allah SWT. untuk mengukur seberapa besar kadar kesabaran
seseorang dalam rangka memperkuat iman. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa kebahagiaan hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapapun
yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan keimanan kepada Allah Swt.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam Q.S An-nahl/16: 97, sedangkan
tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan adalah pembentukan
mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya rasa takut dan segala bentuk kegelisahan,
sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. Dalam Q.S Quraisy/106: 3-4.
36
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. X
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 534-535 37
Hamka, Tafsir al-Azhar juzu’ XVII (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 199
62
BAB IV
SARANA UNTUK MENCAPAI HIDUP SEJAHTERA
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat dan anggota masyarakatnya,
terpenuhi segala kebutuhan hidupnya, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan
yang nyaman dan sejahtera, secara garis besar Abdul Aziz al- Badri dalam bukunya
yang berjudul Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, menggariskan beberapa
langkah menuju hidup bahagia diantaranya sebagai berikut:1
Tidak menimbun harta sekalipun harta tersebut telah dikeluarkan zakatnya. Hal
ini bisa dilihat pada firman Allah QS At-Taubah/9: 34.2
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-
orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta
orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Harta benda hendaknya tersebar atu dalam arti lain dapat dimanfaatkan oleh
seluruh masyarakat, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Hal ini sejalan
dengan firman Allah QS al- Hasyr/59:7.3
1Abdul azis al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, terj. Oleh Tjetjep Suhandi dan
Muhammad Toha Idris (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 53-69 2Ancaman yang tertera dalam ayat tersebut ditujukan terhadap dua hal, pertama, tindakan
penimbunan harta. Kedua, tidak dibelanjakannya harta itu di jalan Allah SWT. Lihat al-Badri, Hidup
Sejahtera dalam Naungan Islam, h. 53-54
63
Artinya:
apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk
Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya.
Adanya peran pemerintah dalam upya mensejahterakan kehidupan masyarakat
seperti pemerinta mengeluarkan dana khusus milik negara, baik berupa barang
tetap maupun barang bergerak.
Islam menetapkan adanya hukum waris, sebgai cara untuk memecah kekayaan
dan membaginya kepada orang-orng yang berhak menerima warisan, sesuai
dengan hukum syara‟.
Menjauhi sifat kikir, baik terhadap dirinya maupun orang lain.
Menjadikan sebab-sebab pemilikan harta berdasarkan hukum syara‟, dengan
beberapa cara.
Ada beberapa point yang menjadi pembahasan penulis terkait tema yang
berkaitan dengan sarana untuk mencapai hidup sejahtera. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
3Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyebab jauhnya manusia dari kehidupan yang
makmur dan sejahtera. Dengan kata lain bahwa adanya pendistribuan harta kekayaan yang timpang
yang tidak sampai kepada anggota masyarakat lain dan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya,
maka kesejahteraan dalam hidup tidak akan tercapai. Lebih lanjut baca al-Badri, Hidup Sejahtera
dalam Naungan Islam, h. 58
64
A. Menuntut Ilmu
Sebagai umat beragama tentu kita memahami dengan baik bahwasanya harta,
tahta, pangkat, ketenaran dan sesuatu yang lain yang sifatnya nafsu belaka adalah
bukan suatu hal yang menjadikan kita terbaik di mata Allah, karena hanya Iman dan
orang-orang yang berilmu pengetahuan lah yang memnyui derajat tertinggi di mata
Allah. Hal demikian sesuai dengan firmannya dalam QS. al-mujadalah/58: 11:
Artinya:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan adanya dua pesan
dalam dalam surat al-Mujadalah ayat 11 tersebut. Pesan pertama, merupakan ayat
tentang tuntunan akhlak, yaitu bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam suatu
majlis. Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jumat.
Ketika itu Rasul Saw. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi
kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam
perang Badr, karea besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung,
beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam
kepada Nabi Saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada
65
hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu
terus saja berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munaikin untuk memecah belah
dengan berkata: “Katanya Muhammad berlaku adil, tapi ternyata tidak.” Nabi yang
mendengar kritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang member kelapangan
bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun
turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.4
Pesan kedua dari ayat tersebut adalah tentang derajat orang yang beriman dan
berilmu pengerahuan5. Memang, ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa
Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka
memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak
disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang
dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya,
bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.6
Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-„ilm/yang diberi
pengetahuan adalah mreka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan
pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok
besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman
dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi
4Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 78 5Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang
bermanfaat. Dalam QS Fathir/35: 27-28 Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi, dan
fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada
Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-
Qur‟an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain itu juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong
yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.
Rasul Saw. seringkali berdo‟a: “Allahumma inni a‟udzubika min „il (in) la yanfa‟ (aku berlindung
kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). Baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 80 6Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 79
66
lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan
pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan
keteladaan.7
Firman Allah: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara
kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”menurut Hamka ayat ini
mengandung dua tafsir. Pertama, jika seseorang disuruh melapangkan majlis, yang
berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekalipun lalu memberikan
tempatnya pada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati.
Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah
yang kelak akan diangkat Allah imannya dan ilmunya, sehingga derajatnya
bertambah naik. Kedua, memang ada orang yang diangkat derajatnyaa lebih tinggi
daripada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Iman
memberi cahaya kepada jiwa, yang disebut dengan moral. Sedang ilmu pengetahuan
memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat seseorang menjadi agung
meskipun tidak ada pangkat ataupun kedudukan yang disandangnya. Sebab cahaya
itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar.8
Terlepas dari kedua tafsir tersebut ujung ayat ini ada pelajaran pokok hidup
yang paling utama yaitu iman dan pokok pengiringnya adalah ilmu. Iman tidak
disertai ilmu dapat membawa dirinya mengerjakan pekerjaan yang disangka
menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaliknya seorang yanga hanya
berilmu tanpa iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi diri sendiri
maupun orang lain. Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya, alangkah penting
7Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 80 8Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), h. 31
67
ilmu itu apabila disertai iman, karena akan membawa faedah yang sangat besar bagi
seluruh perikemanusiaan. Tetapi ilmu itupun dapat dipergunakan orang untuk
memusanahkan sesama manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh iman kepada
Allah. 9
B. Berusaha dan Bekerja Keras
Seruan selanjutnya anjuran untuk beramal. Amal yang dimaksud tidak hanya
berdo‟a, membaca wirid dan juga bermunajat, lebih dari itu amal yang dimaksud
adalah berzakat. Tuhan memperhatikan amal kita, untuk itu hendaknya dalam
beramal tidak perlu kita umumkan kepada orang lain, karena penghargaan dari Allah
lebih tinggi nilai dibanding dengan pujian dari sesama manusia. 10
- Qs al-Jumu‟ah/62: 10
Artinya:
apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.
Menurut pendapat M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah ayat diatas
menegaskan: lalu apabila telah ditunaikan sholat, maka jika kamu mau, maka
bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan papun yang dibenarkan Allah dan carilah
dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia Allah, karena karunia Allah
sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya, dan ingatlah
9Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII, h. 31 10Hamka, Tafsir al-Azhar juzu‟ XI, h. 41
68
Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya itu
melengahkan kamu. Berdzikirlah dari saat ke saat dan di setiap tempat dengan hati
atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu
dambakan.11
Dalam tafsirnya sudah jelas bahwa Quraish Shihab menegaskan bahwa seruan
untuk mencari rezeki adalah sebuah keharusan. Karena sungguh tiada dapat dihitung
karunia Allah yang yang ditebar di muka bumi ini demi kesejahteraan setiap
makhluknya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwasanya jangan sampai
kita melupakan kewajiban kita sebagai hamba yang dituntut untuk selalu
menjalankan ibadah kepadaa Allah Swt, seperti sholat, dzikir dan lain sebagainya.
Sedangkan Dr. Hamka dalam tafsir al-Azhar menegaskan bahwa apabila sholat
jum‟at itu telah selesai dikerjakan, umat yang tadinya disuruh segera menunaikan
sholat dan menghentikan segala macam kegiatan termasuk jual beli, diperbolehkan
melanjutkan aktivitasnya kembali.12
Dengan demikian, jelas bahwa dalam agama Islam, bukanlah hari istirahat buat
seluruhnya, melainkan hari untuk beribadat bersama, yaitu sholat Jum‟at. Jika waktu
Jum‟at telah datang hentikan segala kegiatan, bila waktu Jum‟at telah selesai,
lanjtkanlah kegiatan kembali. Bertebaranlah di muka bumi itu, “Dan carilah karunia
Allah” karena karunia Allah itu ada di mana-mana asal manusia mau berusaha dan
11M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. XIV
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 230 12Perintah bertebaranlah di muka bumi, sesudahnya tadi dilarang karena berkumpul melakukan
sholat jumat, menurut hukum ilmu ushul fiqih, diartkan bahwa larangan telah dicabut. Misalnya orang
dilarang berburu selama mengerjakan umroh dan haji. Namun bila mana telah selesai mengerjakan
umroh dan haji orang tersebut sudah diperbolehkan berburu. Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII
(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), h. 197
69
bekerja. Karunia dari bertani, beternak, berniaga, jual-beli dan lain sebagainya yang
tentunya dicari dsesuai dengan syari‟at da tuntunan al-Qur‟an.13
Hal selanjutnya yang perlu kita fahami bahwa rezeki itu juga perlu dicari
sebagaimana Allah menyatakan dengan kalimat “makhluk bergerak” bukan hanya
menanti dan berdiam diri. Hal ini tentu terkecuali apabila ada ujian dari Allah yang
berupa kekurangan makanan dan buah-buahan.14
Berikut sesuai dengan firman Allah
QS. Ar-Ra‟du/13: 11 dan QS. Al-Baqarah/2: 155
Artinya:
bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,
di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.
Firman Allah tersebut secara panjang lebar M. Quraish Shihab uraikan dalam
bukunya Secercah Cahaya Ilahi. Dalam buku tersebut antara lain banyak
dikemukakan bahwa paling tidak ada dua ayat dalam al-Qur‟an yang sering
diungkap dalam konteks perubahan sosial. Satu ayat yang lain adalah QS. Al-
Anfal/8: 53. Kedua ayat tersebut berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertaman
13Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII, h. 197 14https://muslim.or.id/25097-mengapa-ada-yang-mati-kelaparan-padahal-rezeki-sudah-
dijamin.html
70
berbicara tentang nikmat, sedang ayat kedua berbicara tentang perubahan
apapun.15
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat di atas:
Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan
individu. Ini difahami dari penggunaan kata qoum/masyarakat pada kedua ayat
tersebut. Kedua, penggunaan kata qoum, juga menunjukkan bahwa hukum
kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras,
dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di mana mereka berada.
Selanjutnya karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti
sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan
ukhrowi. Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua pelaku perubahan.
Pelaku yang pertama adalah Allah swt. Sedang pelaku kedua adalah manusia.16
Keempat, kedua ayat ini juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan Allah,
haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut
sisi dalam mereka.17
Artinya:
15Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 568 16Pelaku pertama yaitu Allah swt adalah yang mengubah nikamt yang dianugerahkan-Nya
kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami oleh suatu masyarakat, atau katakanlah sisi
luar/lahiriah masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang
melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat ma bi anfusihim/apa yang
terdapat dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat mabi qoumin menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan,
kesehatan dan penyakit, kemuliaan atau kehinaan, persatuan atau perpecahan, dan lain-lain yang
berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu. baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h.
569 17Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 569
71
dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Menurut Shihab ujian18
atau cobaan yang sedang dihadapi itu sangatlah
sedikit jika dibandingkan dengan besarnya imbalan atau ganjaran yang
dianugerajkan Allah Swt. Kenapa Shihab mengatakan bahwa ujian itu sedikit?,
karena betapapun besarnya ujian/cobaan, ia dapat terjadi lebih besar dari pada yang
telah terjadi. Bukankah ketika mengalami musibah, ucapan yang sering terdengar
adalah “Untung hanya begitu atau untung hanya segitu...”. ia sedikit, karena
cobaan dan ujian yang besar adalah kegagalan menghadapi cobaan khususnya
dalam kehidupan beragama.
Ujian itu sedikit, kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang
telah dianugerahkan Allah Swt. kepada kita. Karena Allah tidak mungkin memberi
ujian melebihi batas kemampuan manusia.
Patut dicamkan bahwa ayat sebelum ini mengajarkan sholat dan sabar. Jika
demikian, yang diajarkan itu harus diamalkan sebelum datangnya ujian Allah ini.
Demikian pula ketika ujian berlangsung. Itu sebabnya Rasul Saw. sebagimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui sahabt Nabi, Huzaifah Ibnu al-Yaman ra.,
bahwa: “Bila beliau dihadapkan pada satu kesulitan/ujian, beliau melaksanakan
sholat”. Karena itu pula ayat di atas ditutup dengan perintah berikanlah berita
gembira kepada orang-orang sabar.19
18Ujian yang dimaksud dalam pandangan M. Quraish Shihab adalah sedikit dari rasa takut,
yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang
diduga kan terjadi. Sedikit rasa lapar, yakni keinginan melupan untuk makan karena perut kososng,
tetapi tidak menemukan makanan yang dibutuhkan, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 342 19Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 342
72
Untuk itu, manusia harus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara
kebenaran dan kebatilan. Manusia dalam hidupnya pasti menghadapi setan dan
pengikut-pengikutnya. Allah memerintahkan untuk berjuang menghadapi mereka.
Tentu saja dalam pergulatan pertarungan pasti ada korban, pihak yang benar atau
yang salah. Aneka macam korban itu, bisa berupa harta, jiwa dan buah-buahan,
baik buah-buahan dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari
apa yang dicita-citakan. Tetapi korban itu sedikit, bahkan itulah yang menjadi
bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan, serta mempercepat pencapaian
tujuan. Jika demikian jangan menggeretu menghadapi ujian.20
Begitulah solusi
yang ditawrkan M. Quraish Shihab dalam menghadapi ujian, dalam rangka
memperkuat pondasi dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dalam tataran al-
Qur‟an.
Ujian adalah hak Allah sama seperti rezeki. Hikmah dari ujian akan
menjadikan suatu ummat itu bertambah kuat bukannya melemah. Ia tergantung
bagaimana sikap yang diambil terhadap ujian yang menimpanya.
“Dan Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.” Artinya ke manapun dan di
manapun kita serta dalam keadaan apapun selalu ingat keberadaan Allah, karena
dengan itu kita dapat mengendalikan diri sehingga tidak terperosok kepada
perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah Swt. “Supaya kamu beroleh
keberuntungan.” (akhir ayat 10). Keberuntungan yang paling utama adalah segala
apa yang diusahakan mendapat berkah dari Allah Swt. kalau mendapatkan rezeki
tentunya rezeki yang halal. Disamping keberuntungan berupa materi, yang lebih
20Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 343
73
penting adalah keberuntungan karena hilangnya kekacauan fikiran karena
perbuatan yang tidak halal.21
- QS al-Mulk/67: 15
Artinya
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan
hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Ayat tersebut
menguraikan lebih lanjut rububiyyat, yakni betapa besar kuasa dan wewenang Allah
mengatur alam raya ini. Melalui ayat ini Allah menegaskan sekali lagi kuasaNya
sekaligus Luth, yakni kemahalemahlembutan-Nya dalam pengaturan makhluk
termasuk manusia, agar mereka mensyukuri nikmat-Nya. Allah berfirman: Dialah
sendiri yang menjadikan buat kenyamanan hidup kamu bumi yang kamu huni ini
sehingga ia menjadi mudah sekali untuk melakukan aneka aktivitas baik berjalan,
bertani, berniaga, dan lain-lain, Maka – silahkan kapan saja kamu mau – berjalanlah
di penjuru-penjurunya bahkan pegunungan-pegunungannya dan makanlahsebagian
dari rezeki-Nya – karena tidak mungkin kamu dapat menghabiskannya karena
rezekiNya melimpah melebihi kebutuhan kamu, dan mengabdilah kepada-Nya
sebagai tanda Syukur atas limpahan karunia-Nya itu. Dan hanya kepada-Nya lah
kebangkitan kamumasing-masing untuk mempertanggungjawabkan amalan-amalan
kamu.22
21Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVII, h. 198 22Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 356
74
Secara garis besar, ayat di atas dapat difahami sebagai ayat yang mengajak atau
mendorong umat manusia secara umum dan kaum muslimin khususnya agar
memanfaatkan bumi sebaik mungkin dan menggunakannya untuk kenyamanan
hidup mereka tanpa melupakan generasi sesudahnya. Dalam konteks ini Imam an-
Nawawi (w. 1277 M) dalam mukadimah kitabnya al-Majmu‟ menyatakan bahwa:
umat Islam hendaknya mampu memenuhi dan memproduksi semua kebutuhannya –
walaupun jarum – agar mereka tidak mengandalkan pihak lain.23
Pendapat lain dikemukakan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar, dalam
pandangan Hamka surat al-Mulk ayat 15 ini menjelaskan bahwa sebagai manusia
yang dikirim Allah ke muka bumi, maka dari muka bumi itu disediakan kelengkapan
hidup. Tidaklah Allah membiarkan manusia bermalas-malas, menganggur dan tidak
berusaha. Muka bumi adalah tempat yang lebih rendah dibawah telapak kaki kita.
Kita akan mendapat hasil dari muka bumi ini menurut kesanggupan tenaga dan ilmu.
Zaman modern disebut zaman tehnologi. Kepintaran dan kecerdasan manusia telah
membuka banyak rahasia yang tersembunyi. Manusia ditakdirkan Tuhan bertabi‟at
suka kepada kemajuan. Cuma satu hal tidak boleh dilupakan, yaitu bahwa sesudah
hidup kita akan mati. Dan mati itu adalah kembali kepada Tuhan, kembali ke tempat
asal, untuk mempertanggungjawabkan apa yang pernah kita perbuat di dunia ini.24
Dipertegas oleh Hamka bahwa ayat ini merupakan pegangan hidup orang Islam
dalam menghadapi perkembangan zaman dan tehnologi. Kemajuan manusia
membongkar rahasia bumi tidaklah akan membawa kecemasan bilamana orang
selalu ingat bahwa dibelakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang kekal
23Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 357 24Hamka, Tafsir al-Azhar juz XXIX (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 19
75
dan tempat perhitungan. Manusia tidak akan celaka dan tidak akan mencekik dirinya
sendiri dengan bekas kemajuan akalnya asal dia ingat selalu bahwa akhir hidupnya
ialah kembali kepada Tuhan. Dengan ingat bahwa hidup akan kembali kepada Tuhan
itu maka hasil tehnologi manusia ditntukan tujuannya oleh cita-cita manusia sendiri
hendak berbuat baik.25
C. Disiplin
Baik atau buruk, untung atau rugi hasil suatu pekerjaan, tergantung dari usaha
pelakunya. Hal ini bisa kita lihat dalam Firman Allah SWT dalam QS al-„Ashr/103:
1-3 sebagai berikut:
Artinya:
Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati supaya bersikap
sabar.
Dalam surat tersebut, paling tidak ada beberapa hal yang saling berkaitan,
hubungannya dengan disiplin kerja, yaitu waktu, amal (usaha), kerugian (hasil
usaha). Seolah-olah surat Al-Quran tersebut ingin menegaskan bahwa waktu yang
Allah luangkan, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apabila tidak, yang
bersangkutan sendiri yang akan rugi. Pendek kata, surat tersebut mengajarkan kita
berdisiplin kerja dan berdisiplin waktu.
Dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tiga ayat dari
surat al-„Asr tersebut memperingatkan betapa pentingnya waktu dan bagaimana
25Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 19-20
76
seharusnya waktu itu diisi dengan sebaik mungkin.26
dapat juga dikatakan bahwa
pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata „asr –
bukan selainnya – untuk menyatakan bahwa: Demi waktu (masa) di mana manusia
mencapai hasil setelah ia memeras tenaganyan, sesungguhnya ia merugi – apapun
hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh. Kerugian
tersebut mungkin tiak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya
pada waktu Ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah
agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata „Asr untuk menunjuk kepada waktu
secara umum.27
Lebih lanjut Shihab berpendapat bahwa waktu adalah modal utama manusia,
apabila tidak didisi dengan kegiatan positif, maka ia akan berlalu begitu saja. Ia akan
hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modalpun telah hilang. 28
Kata al-Insan/manusia terambil dari akar kata yang dapat berarti gerak atau
dinamisme, lupa, merasa bahagia (senang). Ketiga arti ini menggambarkan sebagian
dari sifat serta ciri khas manusia. Ia bergerak bahkan seyogyanya memiliki
dinamisme, ia juga memiliki sifat lupa atau seyogyanya melupakan kesalahan-
kesalahan orang lain serta ia pun merasa bahagia atau senang bila bertemu dengan
jenisnya atau seyogyanya selalu memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri
sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Sedang kata khusr mempunyai banyak arti,
26M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. XV
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 496 27Para ulama‟ sepakat mengartikan kata „ashr pada ayat pertama surat al-„Ashr dengan waktu,
hanya saja ada perbedaan pendapat tentang waktu yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa ia adaah waktu atau masa dimana langkah dan gerak tertampung didalamnya. Ada lagi yang
menentukan waktu tertentu yakni waktu di mana sholat ashar dapat dilaksanakan. Pendapat ketiga
ialah waktu atau masa kehadiran Nabi Muhammad Saw dalam pentas kehidupan ini. Lebih lanjut
baca Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 497 28Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 498
77
antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, tipuan dan sebagainya yang kesemuanya
mengarah kepada makna –makna yang negatif. Kata tersebut dalam ayat ini
berbentuk nakiroh (indefinit). Bentuk indefinit memberikan arti keragaman dan
kebesaran yakni kerugian serta kesesatan, kecelakaan, dan sebagainya. Kata khusr
apabila digabung dengan kata la fi yang mengandung makna wadah atau tempat.
Maka dengan kata tersebut tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada di
dalam satu wadah kerugian.29
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka kita merugi,
bahkan kalaupun diisi tetapi dengan hal-hal yang negatif maka manusiapun diliputi
oleh kerugian.
Untuk itu erat kaitannya antara disiplin waktu guna mencapai hidup sejahtera
sesuai dengan tuntutan al-Qur‟an, dimana seorang yang dapat memanfaatkan waktu
yang telah disiapkan oleh Allah dengan melakukan hal-hal yang positif, bermanfaat
dan juga bernilai ibadah maka kerugian tidak akan menghampri kita, yang ada hanya
kedamaian dan keberuntungan serta kebahagian yang akan kita raih.
Pendapat lain datang dari Hamka yang mgambil pendapat dari sebagian besar
ulama‟ bahwa “Demi masa!” masa yang dimaksud adalah waktu-waktu yang kita
lalui dalam menjalani kehidupan. Berputarlah dunia ini dan berbagai masa
dilaluinya, suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua, ada masa hidup
kemudian mati. Oleh Allah masa diambil menjadi sumpah, supaya kita ingat bahwa
hidup di dunia ini adalah melalui masa, dan apabila kita pergi (mati) habislah masa
kita di dunia. Dan masa itu terus dipakai oleh manusia yang tinggal secara silih
berganti. Masa itu dijadikan sumpah untuk mmeperigatkan pula agar kita tidak
29Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 498
78
menyia-nyiakan dan mengabaikannya, karena sejarah kemanusiaan ditentukan oleh
edaran masa.30
Selanjutnya surat al-„Asr ayat 2 menjelaskan tentang kerugian manusia, yang
menyia-nyiakan waktu selagi masih ada. Namun penjelasan ini tidak berhenti pada
ayat ini, ayat selanjutnya menjelaskan bahwa manusia yang tidak akan mengalami
kerugian ialah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang mempunyai
kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Allah Yang Mahakuasa.
Manusia datang ke dunia ini memang sementara waktu, namun masa yang sementara
itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan, ada tempat berlindung. Iman
menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan
tentang guna kehidupan ini, yaitu untuk berbakti kepada Sang Maha Pencipta, dan
berbagi kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah
hidup di dunia ada kehidupan yang lebih kekal, yaitu hidup di akhirat.31
Manusia kedua yang tidak akan merugi ialah mereka yang beramal soleh, yaitu
orang yang bekerja yang baik dan berfaedah. Sebagai seorang mukmin kita percaya
bahwa di sisi Allah amalan yang kita tiggalkan itulah kekayaan yang akan kita
hadapkan kehadirat Ilahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.32
Selain dari itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk selalu konsisten
terhadap peraturan Allah yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam QS Huud/11: 112, sebagai berikut:
30Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 285 31Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar, h. 285 32Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar, h. 286
79
Artinya:
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa kata fastaqim
terambil dari kata qama yang berarti mantap, terlaksana, berkonsentrasi serta
konsisten. Sementara ulama‟ memahaminya terambil dari kata berdiri karena
manusia akan mampu melakukan sekian banyak hal yang tidak dapat
dilaksanakannya dalam keadaan selain berdiri. Dengan demikian, kata istaqim
adalah perintah untuk menegakkan sesuatu sehingga ia menjadi sempurna dan
seluruh yang diharapkan darinya wujud dalam bentuk sesempurna mungkin, tidak
disentuh oleh kekurangan atau keburukan dan kesalahan.33
Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk konsisten melaksanakan
dan menegakkan tuntutan wahyu-wahyu Ilahi sebaik mungkin sehingga terlaksana
secara sempurna sebagaimana mestinya. Tuntutan wahyu itu bermacam-macam. Ia
mencakup seluruh persoalan agama, dan kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan
demikian perintah tersebut mencakup perbaikan kehidupan duniawi dan ukhrowi,
pribadi, masyarakat dan lingkungan. Karena itu, perintah ini sungguh sangat berat.
Itu sebabnya sahabat Nabi Ibn „Abbas ra. Berkomentar, “tidak ada ayat yang turun
kepada Nabi Muhammad Saw. lebih berat dari ayat ini.”dan agaknya itu pula
sebabnya sehingga Nabi Saw. bersabda bahwa surat Huud menjadikan beliau
beruban.34
33M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. VI
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 359 34Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 360
80
Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Hamka dalam tafsirnya al-Azhar pada
point “istiqomah”. Ayat 112 dari surat Huud ini menurut pandangnnya tidak hanya
berkaitan dengan bagaimana cara mengatur waktu/disiplin waktu, tetapi juga erat
kaitannya dengan sifat teguh pendirian. Menurutnya, di dalam ayat ini termaktub
kata istaqim, yang berasal dari kata istiqomah, yang dalam bahasa Indonesia berarti
tegak lurus. Yaitu teguh pada pendirian, tidak mengencong atau menyeleweng ke
kiri-kanan, dan tidak pernah mundur dan tetap. Dalam ayat ini Nabi kita Muhammad
saw. diperintahkan untuk teguh memegang pendiriannya, jangan tergoncang oleh
apapun. Kalo dicermati lebih dalam lagi, ayat 112 ini menjelaskan betapa masih
banyak manusia yang masih ragu, hal ini bisa dihilangkan dengan kita mempercayai
ajaran ke-Tauhid.an yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.35
lebih lanjut Hamka
mengemukakan bahwa pada ayat ini Rasulullah tidak hanya dituntut untuk teguh
pendirian pada diri sendiri tetapi juga dituntut untuk mengajak para pengikutnya
yang telah memeluk Islam (dalam istilah Hamka Tobat dari kemusyrikan) mengikuti
jejak langkah beliau. Karena apabila mereka telah istiqomah, telah teguh memegang
disiplin iman, maka orang-orang Syak dan ragu-ragu itu pati kian goyah
pendiriannya yang salah dan kan memilih ikut ke jalan yang benar. Sebagaimana
firman-Nya di akhir ayat: “Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas.”36
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa, disiplin bukan hanya tepat waktu saja,
tetapi juga patuh pada peraturan-peraturan yang ada. Melaksanakan yang
diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.
35Hamka, Tafsir al-Azhar juz XII (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 138 36Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 139
81
D. Tidak boros dan Mubazzir
Al-Qur‟an memiliki cara yang indah untuk menggiring manusia agar tidak
terjebak dalam sifat boros. Dengan bertahap Allah ingin menjelaskan bahwa sifat
boros hanya akan merugikan manusia. Pada awalnya Allah menyarankan untuk
memikirkan pemasukan dan pengeluaran. Ingatlah bahwa kita juga memiliki
kewajiban untuk menafkahi keluarga dan kebutuhan yang lainnya. Allah berfirman
QS al-Isra‟/17: 29:
Artinya:
dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.
Ayat ini menurut Quraish Shihab merupakan salah satu ayat yang menjelaskan
salah satu hikmah yang sangat luhur, yakni kebajikan yang merupakan pertengahan
antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat
pengecut. Kedermawanan adalah pertengahan antara pemborosan dan kekikiran.
Demikian seterusnya.37
Untuk itu pada ayat ini kita dituntut untuk hidup dalam
keseimbangan dan keadilan. Tidak terlalu kikir juga boros, karena yang
tengah/sedang-sedang saja merupakan hal yang sangat bijak.
Kata maluman dan mahsuran adalah dampak dari kekikiran dan pemborosan.
Dimana jika kita berbuat kikir maka dampaknya adalah tercela baik oleh diri sendiri
37M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. VII
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 462
82
maupun orang lain, sedangkan jika kita berbuat boros maka dampaknya adalah tidak
memiliki kemampuan, karena telah kehabisan harta.38
Senada dengan pendapat Shihab, Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan
bahwa ayat al-Qur‟an dalam ayat ini membuat perumpamaan orang yang bakhil itu
dengan orang yang membelenggukan kedua tangannya ke kuduknya. Sehingga susah
untuk digunakan untuk membuka pura uangnya. Orang yang boros “tak berkunci”
diumpamakan orang yang tangannyalepas selepas-lepasnya saja, tidak ada
perhitungan. Keduanya itu tercelalah di mata Tuhan. Hal tersebut juga dijelaskan
dalam QS. Al-Furqon/25: 67 sebagai berikut:
Artinya:
dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.
Keduanya itu, antara bakhil dan boros tercela dan membawa celaka bagi diri
sendiri. Bakhil menimbulkan kebencian orang dan menyakiti diri sendiri dan
membawa tersisihnya dari masyarakat. Sedang boros adalah menjadi alamat bahwa
hidup orang ini tak menentu. Kekayaan yang didapat tidak ada berkahnya. Karena
itu lah diakhir ayat dikatakan apabila engkau bakhil dan boros “Niscaya engkau akan
menjadi tercela lagi menyesal”. 39
Lebih lanjut Hamka menyatakan bahwa orang yang bakhil akan tercela dalam
pergaulan hidupnya, karena tanpa disadarinya dia telah diperbudak oleh hartanya
sendiri. Sedang orang yang ceroboh, boros dan menghambur-hamburkan hartanya
38Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 462 39Hamka, Tafsir al-Azhar juz XV (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999), h. 52
83
akhirnya akan menyesal sendirinya apabila harta benda itu telah punah dan tidak
tersisa sedikitpun karena keluarnya tidak pernah ada perhitungan.40
Pada tahap selanjutnya, Allah mulai memberi peringatan bahwa Dia tidak
menyukai orang-orang yang boros. Allah berfirman QS. Al-Isro‟/17: 31, sebagai
berikut:
Artinya:
dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Salah satu keburukan masyarakat jahiliah adalah membunuh anak-anak
perempuan antara lain karena faktor kemiskinan. Nah, setelah menjelaskan bahwa
Allah menganugerahkan kepada semua hamba-Nya rezeki sesuai kebutuhan masing-
masing, maka ayat ini melarang pembunuhan itu.41
Larangan ayat ini ditujukan kepada umum. Ini dipahami dari bentuk jamak
yang digunakan pada kata wa la Taqtulu. Agaknya hal tersebut mengisyaratkan
bahwa keburukan yang dilarang di sini dan ayat-ayat yang menggunakan bentuk
jamak itu, adalah keburukan yang telah tersebar di dalam masyarakat Jahiliah, atau
penggunaan bentuk jamak itu untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dipesankannya
merupakan tanggungjawab kolektif, berbedan dengan bentuk tunggal. Bentuk
tunggal memberikan penekanan pada perorangan, serta merupakan tanggungjawab
40Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 52 41Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 463
84
pribadi demi pribadi.42
Penggalan ayat ini juga dipahami sebagai sanggahan bagi
mereka yang menjadi kemiskinan apa pun sebabnya sebagai dalih untuk membunuh
anak.
Jelaslah bahwa wahyu Ilahi adalah diperuntukkan bagi seluruh manusia. Bukan
orang Arab saja. Karena takut miskin, memang banyak orang yang tidak suka
mendapat anak banyak. Orang Arab sama dengan orang Tionghoa, mendasarkan
keluarga pada perbapaan (ptriarchat). Sebab itu mereka lebih suka anak laki-laki
dibanding dengan anak perempuan. Tetapi orang Minangkabau (Indonesia)
mendasarkan keluarga pada peribuan. Mereka lebih suka anak perempuan dibanding
anak lelaki. Di dalam kehidupan kota di zaman industrialisasi ini, kehadiran anak
justru menjadi beban yang berat, beberapa diantaranya orang yang rendah segi
ekonomi rela menjual anaknya. Orang-orang kaya ada yang mengadakan operasi
pada rahim untuk mencegah kehamilan. Maka al-Qur‟an memberikan ajaran kepada
seluruh manusia agar jangan membunuh anak hanya karena takut miskin. Kesukaran
hidup dapat diatasi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama. Islam menyediakan
cara bagaimana seharusnya sebagai orang kaya untuk mendermakan hartanya kepada
yang miskin, yaitu dengan jalan Zakat. Zakat yang merupakan rukun Islam yang ke
tiga telah diatur syariatnya dalam kitab fiqih. Disini Amil (pengelola zakat) dapat
mengambil harta si kaya dan memberikannya kepada si miskin yang tentunya sesuai
dengan syariat Islam. Ibnu Hazmi, mujtahid Andalusia berkata: “kalau di dalam
sebuah kampung kedapatan orang yang mati kelaparan, maka seisi kampung itu
dikenakan hukuman diat”.43
42Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 464 43Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 55
85
Hingga pada peringatan terakhir, Allah menyebut orang yang boros dan suka
menghamburkan harta sebagai orang kawan setan. QS. Al-Isro‟/17: 26-27
Artinya:
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Kata atu bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud
bukan hanya terbatas pada hal-hal materi tetapi juga immateri. Al-Qur‟an secara
tegas menggunakan kata tersebut dalam konteks pemberian hikmah (hal ini bisa
dilihat dalam QS. Al-Baqarah/2: 269). Mayoritas ulama‟ menilai perintah di sini
sebagai anjuran. Sedang kata tabdzir/pemborosan dipahami oleh ulama‟ dalam
arti pengeluaran yang bukan haq, karena itu jika seseorang menafkahkan atau
membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka dia bukanlah
seorang pemboros. Sayyidina Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya
kepada Nabi Saw. dalam rangka berjihad dijalan Allah. Sayyidina Utsman ra
membelanjakan separuh hartnya. Nafkah mereka diterima Rasulullah Saw dan
beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros. Sebaliknya membasuh
wajah lebih dari tiga kali dalam berwudhu , dinilai sebagai pemborosan – walau
ketika itu yang bersangkutan berwudhu dari sungai yang mengalir. Jika
86
demikian, pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat bukannya dengan
kuantitas.44
Kemudian ada perumpamaan pemboros dengan setan, maksudnya adalah
persaudaraan setan dengan pemboros adalah persamaan sifat-sifatnya, serta
keserasian antar keduanya. Mereka berdua sama-sama melakukan hal yang
batil, tidak pada tempatnya. Hal yang demikian jelas jauh dari sifat adil, jika
begitu maka kesejahteraan akan lebih sulit untuk diraih, jangankan di dunia di
akhirat pun demikian.
Penyifatan setan dengan kaafir/sangat ingkar merupakan peringatan keras
kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa persaudaraan dan
kebersamaan mereka dengan setan dapat mengantar kepada kekufuran. Betapa
tidak, bukankah teman saling pengaruh mempengaruhi, atau teman sering kali
meniru dan meneladani temannya.45
Sedangkan menurut Hamka kata boros berasal dari arti kalimat
“mubazzir” atau “tabzir”. Dalam hal ini Hamka merujuk pada beberapa
pendapat tokoh Islam. Seperti Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa mubazzir
ialah membelanjakan harta tidak pada jalannya. Selanjutnya Imam Malik
berkata bahwa mubazzir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas tapi
mengeluarkannya dengan jalan yang tidak pantas. Para mujahid juga berkata:
“walaupun seluruh hartanya dihabiskannya untuk jalan yang benar, tidaklah dia
mubazzir. Tetapi walaupun hanya segantang padi dikeluarkannya, padahal tidak
pada jalan yang benar, itu sudah mubazzir.” Pendapat lain datang dari Qatadah
44Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 458-459 45Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 460
87
yang berkata: “tandzil ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada
Allah, pada jalan yang tidak benar dan merusak.”46
Singkatnya Hamka
mngartika mubazzir adalah apabila sesuatu/harta atau apapun yang kita
keluarkan tidak pada jalan yang benar, seperti contoh sederhana menanak nasi
secukupnya dan tidak berlebih yang akan menyebankan basi dan terbuang.
Ayat selanjutnya: “karena sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu
adalah kawan-kawan dari syaitan” (akhir ayat 27). Dijelaskan dalam ayat ini
bahwasanya orang yang pemboros adalah kawan syaitan. Biasanya kawan yang
dekat atau teman setia itu besar pengaruhnya kepada orang yang ditemaninya.
Orang yang telah dikawani oleh syaitan maka hilanglah pedoman dan tujuan
hidupnya. Sebab ia telah disesatkan oleh kawan-kawannya itu, sehingga ia telah
lalai mejalankan perinta Allah dan justru menggantinya dengan perbuatan
maksiat. Diujung ayat diperingatkan kejahatan syaitan itu: “Dan adalah Syaitan
itu, terhadap Tuhannya, tidak mengenal terima kasih.”47
Jelaslah, jika seseorang telah menghambur-hamburkan harta yang tidak
ada manfaatnya, maka pengaruh syaitan telah masuk ke dalam dirinya. Oleh
karena sifat syaitan itu tidak mengenal terima kasih, menolak dan melupakan
nikmat yang diberikan Allah. Apabila demikian maka sifat dan perngai syaitan
telah masuk dan mempengaruhi dirinya sehingga tindak tanduk hidupnya tidak
lagi mengenal terima kasih kepada yang Maha Pemberi Rezeki (ar-Razaq).
Begitu pula dengan harta benda yang disimpan saja dan tidak diambil
manfaatnya, maka sama halnya dengan menyimpan batu yang tidak berharga.
46Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 49 47Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 50
88
Misalnya ada seseorang yang butuh bantuan tapi kita enggan membantunya dan
memilih untuk berfoya-foya dengan harta kita maka jelaslah kawan karib yaitu
syaitan telah menjadi panutan kita. Maka tidak lain dosalah yang kita dapatkan,
padahal tadinya nyaris membawa pahala. Itupun dapat dikatakan mubazzir.48
E. Menabung
Allah SWT. berfirman dalam Q.S Yusuf/12: 47-49
Artinya:
47.Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)
sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
48. kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang
menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun
sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.
49. kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Ayat tersebut oleh M. Quraish Shihab dijelaskan dalam tafsir al-Misabah
bahwasanya Thabathaba‟i memahami ayat tersebut tidak sesederhana pandangan
ulama-ulama‟ lainnya yang mana mereka hanya memahaminya sebagai gambaran
tentang apa yang akan terjadi pada dua kali tujuh tahun depan. Memang, redaksi
penjelasan Nabi Yusuf as. Ulama‟ itu menilai bahwa mimpi tersebut adalah isyarat
kepada Raja untuk mengambil langah-langkah guna menyelamatkan masyarakat dari
krisis pangan. Yaitu hendaklah dia menggemukan tujuh ekor sapi agar dimakan oleh
48Hamka, Tafsir al-Azhar juz, h. 50
89
tujuh ekor sapi kurus dan menyimpan sebagian besar dari bahan pangan yng telah
dituai tetap dalam bulirnya agar tetap segar dan tidak rusak oleh faktor cuaca dan
sebagainya. Dengan demikian, Nabi Yusuf as. menyampaikan apa yang akan terjadi
dan bagaimana menghadapinya, yaitu hendaklah bersungguh-sungguh menanam
serta menyimpan sebagian besar hasil panen.49
Selanjutnya menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa terang
sekali Nabi Yusuf menta‟birkan mimpi raja itu. Tujuh tahun lamanya tahun yang
baik dan subur, hujan akan banyak turun, di Mesir air sungai Nil akan melimpah-
limpah membawa bunga tanah. Untuk itu kesuburan tanah mesti disambut dengan
kerja keras supaya hasilnya lenih berlimpah ruah, kalau nanti datang masa menuai,
janganlah diurutkan semua buah gandum itu dari tangkainya, supaya lama tahannya.
Ambil sekedar untuk dimakan, dan yang melekat pada tangkainya itu simpanlah
baik-baik.50
“Kemudia akan datang sesudah yang demikian itu.” (awal ayat 48), artinya
bahwa sesudah ujuh tahun yang cukup hujan dan tanah yang subur akan datang masa
kemarau yang panjang, air sungai Nil tidak lagi melimpah ruah, pepohonan dan
tanaman sulit menghijau karena tanah kering maka binatang ternk akan menjadi
kurus-kurus pula. Maka dengan sedemikian rupa keadaan di tahun-tahun yang sulit
mendapatkan bahan pangan (gandum yang menyusut/gugur sebelum berbuah, kita
dapat makan persediaan yang kita simpan pada waku sebelumnya (ditahun yang
subur). Itulah sebabnya kenapa ada berita yang berbentuk perintah menyediakan
hasil tujuh tahun yang subur, untuk persediaan di musim panceklik (musim kemarau)
49M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6 (Jakata:
Lentera Hati, 2007), h. 472 50Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999), h. 241
90
yang tujuh tahun lamanya, hal demikian yang menjadi sebab kenapa dianjurkan
untuk memanen buah sekedarnya untuk dimakan, dan yang lain ditinggalkan
ditangkainya supaya bisa tahan lama.51
Yang kamu simpan itulah yang akan menyelamatkan kamu dari bahaya
kelaparan di musim panceklik tersebut.
Dan selanjutnya pula diayat 49 dikatakan bahwa setelah tujuh tahun masa sulit
terlewati akan datang setahun setelahnya hujan yang menyuburkan/menghidupkan
tanah kembali, sehingga gandum dapat ditanam dan dipanen kembali, bahkan
gandum tidak hanya untuk dimakan teapi juga dijadikan tepung dan dijadikan
berbagai bentuk makanan yang lain.52
Demikianlah Yusuf telah menta‟birkan mimpi raja dengan jelas. Dalam
menta‟birkan mimpi diapun menyertakan pula nasihat agar orang bekerja keras,
tidak malas-malas an supaya hasil bumi berlimpah ruah dan dapat dijadikan sumber
pangan serta simpanan.53
Hemat penulis dari kedua penjelasan tersebut hendaknya kita dalam
mengumpulkan rezeki itu harus sungguh-sungguh dan disertai niat yang tulus karena
Allah supaya hasil yang diharapkan cukup dan berkah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Dan selain itu hendaknya hasil tersebut tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan saat ini saja. Lebih daripada itu supaya sebagian besarnya
ditabung/disimpan untuk suatu kebutuhan yang akan datang.
51Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 241 52Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 242 53Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 242
91
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tafsir al-Misbah dan tafsir al-Azhar merupakan dua tafsir yang sangat umum
dikalangan masyarakat Indonesia. Selain karena bahasa dalam tafsir tersebut sangat
lugas dan mudah difahami, juga karena kedua tafsir tersebut dikarang oleh M.
Quraish Shihab dan Hamka, yaitu ulama yang masyhur yang pengaruhnya sangat
luar biasa baik dikalangan ulama’, akademisi, maupun masyarakat biasa pada
umumnya.
Berdasarkan dari pertanyaan permasalahan yang tertulis pada bab sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa Hidup sejahtera dalam pandangan M. Quraish Shihab dan
Hamka ialah hidup yang bisa menyeimbangkan kebutuhan antara dunia dan akhirat,
percaya sepenuhnya terhadap ar-Raziq Allah Swt., serta menyadari keagungan,
kebesaran, dan kekuasaan Allah meliputi alam raya ini. Adapun cara untuk
mencapainya adalah dengan berusaha memaksimalkan kemampuan untuk beramal
saleh dan berfaedah. Dapat menggunakan waktu dengan baik, dalam arti tidak
menyia-nyiakan selagi ada kesempatan. Menjaga harta dengan baik, tidak bakhil dan
tidak boros, melainkan bersikap ditengah-tengah dan sewajarnya. Serta iman yang
dibarengi dengan ilmu pengetahuan, karena keduanya dapat mengangkat derajat
terlepas dari pangkat, kedudukan, kekayaaan, dan kepuasan yang sifatnya duniawi
semata.
92
Selanjutnya perbedaan penafisran di antara kedua tokoh tersebut adalah bahwa
M. Quraish Shihab cenderung dimulai dengan menganalisa arti perkata, yang
kemudian diberi penjelasan dan gambaran sesuai dengan kehidupan yang sekarang
ini. Sedangkan Hamka dalam beberapa ayat selain memberi penjelasan, beliau juga
mengambil beberapa pendapat/tafsir ulama’ yang kemudian diambil kesimpulannya.
Serta dalam mengambil contoh/i’tibar Hamka lebih banyak mengambil contoh
kehidupan pada zaman Rasulullah Saw.
B. SARAN
Dalam penulisan skripsi yang berkaitan dengan hidup sejahtera perspektif
al-Qur’an ini, akan lebih bermakna apabila ada sumbangan dan saran untuk
menganalisa tafsir-tafsir yang berkaitan dengan sosial masyarakat.
1. Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam lagi mengenai pengalaman,
metode tafsir, serta latar belakang sosial budaya kedua mufassir, supaya
kita dapat mengetahui karakter dan corak pemikiran masing-masing tokoh.
2. Diperlukan pemeliharaan dalam mengkaji tafsir yang berhubungan dengan
sosial kemasyarakatan. Karena al-Qur’an adalah pedoman hidup, supaya
hidup di dunia ini bermakna dan tidak sia-sia maka harus sesuai dengan
tuntunan al-Qu’an. Untuk itulah ayat-ayat mengenai mu’amalah hendaknya
lebih banyak dikaji.
93
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Nur Ihwan. “Konsep Keluarga Bahagia Sejahtera,” (Tesis
Magister Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
Athiyyah, MuhyiddIn. al-Kasyaf al-Iqtishadi li Ayati al-Qur‟an. Riyadh: Dar al-
Ilmi li Kutub Islamiyah, 1992.
Badan Litbang dan Kementrian Agama, Tafsir Al-Quran Tematik Maqasidusy
Syari‟ah; Memahami Tujuan Utama Syariah. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2013.
al-Badrī, ʻAbdul ʻAzīz Dan Tjetjep Suhandi. Hidup Sejahtera dalam Naungan
Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
_____________. Al-Islam Dlaaminun Lil Haajaat Al-Asaasiyah, terjemahan oleh
Tjetjep Suhandi dan Muhammad Toh Idris. Jakarta: Gema Insani Press,
1999.
Dimyati, Ayat . Hadits Arba‟in: Masalah Aqidah, Syari‟ah dan Akhlaq, Bandung:
Penerbit Marja, 2001.
al-Fairuzabadi. Qamus al-Muhit. Bairut: Dar al-Fikr, 1983.
al-Hadi, H.C Zen Muhammad. Agar Hati Selalu Tenang. Jakarta: PT. Zaytuna
Ufuk Abadi, 2013.
Hamka Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIII-XIV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Juz „Amma Tafsir al-Azhar. Jakarta: Gema Insani, 2015.
_______. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ I. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ IX. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XV. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXI. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXIV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXIX. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVI. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.
_______. Tafsir al-Azhar juzu‟ XXVII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1999.
94
_______. Tafsir al-Azhar Juzu‟ XXVIII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000.
Lasminah, “Kemiskinan perspektif Muhamad Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri
Walisongo semarang, 2013).
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Noor , Faried Makruf. Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia. Bandung: PT al-
Ma‟arif, 1983.
al-Qarni, „Aidh Abdullah. Berbahagialah, terjemahan oleh Samson Rahman.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.
al-Qurtūbī, Muhyidin MasRida. .Al-Jamī′ li Ahkam al-Qurʻan. Jakarta: Pustaka
Azzama, 2009.
Ramdhan, Raditya. “Analisa Pemberdayaan Zakat dalam Mensejahterakan
Perekonomian Mustahik Pada Lembaga Amil Zakat Sejahtera Umat” (UIN
Syahid Jakarta, Jurusan perbankan Syari‟ah, 2015)
ar-Razi, Muhammad Fahruddin. Tafsir al-Fakhr ar-Razi asy-Syahrir bi Tafsir al-
Kabir Wa Mafatih al-Ghaib Vol. 9. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Raziqin, Badiatul, dkk. 101 Jejak Tokoh-tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta:
e- Nusantara, 2009.
Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Salim, H. Hadiyah. Dua Macam Kehidupan yang Berbeda antara Dunia dan
Akhirat. Bandung: Angkasa, 1995.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1994.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. I. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an, vol. V. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
________, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. VIII. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. IX. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. X. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
95
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. XII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. XIII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. XIV. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
________, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an, vol. VI. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sodiq, Amirus. “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam” Equilibrium vol. III, no. 2,
(Desember 2015).
Suma, Muhammad Amin. Tafsir ayat Ekonomi, Teks, Terjemah dan Tafsir.
Jakarta: Amzah. 2013.
Tamara, Nasir. Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Ahsan Askan, dkk. Jamīʻ al Bayān
an Taʻwil ayi al-Qurʻan. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Tim Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka. Jakarta: Panji
Masyarakat, 1981.
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1999.
Wahyu Naldi, “Penafsiran terhadap ayat larangan tentang memilih pemimpin
non Muslim dalam al-Quran” studi komperasi antara Quraish Shihab dan
Sayyid Quthb. (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013).
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqih al-Islami Wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.