konsep “masyarakat madani” sebagai solusi...
TRANSCRIPT
Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkan
Tata Pemerintahan yang Baik1
Muhammad Husnul Maab2 dan Muhammad Fauzan
3
Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak
Ironis sekali jika melihat kondisi Pemerintahan Indonesia saat ini. Negara yang
notabene religius ternyata menyimpan berbagai masalah dalam hal etika dan moral. Korupsi,
hanya salah satu contoh dari penyimpangan moral yang terjadi di Indonesia, seakan-akan
telah melembaga di dalam masyarakat menjadi rahasia umum. Bahkan bagi para pejabat
seperti menjadi kewajiban, dan justru dianggap menyimpang kalau tidak melakukannya.
Apalagi membahas tentang perumusan kebijakan, akhir-akhir ini telah kita dengar istilah
“Pasal Pesanan” yang sangat tidak mencerminkan etika pemerintahan yang baik. Konsep
Good Governance yang ditawarkan oleh system demokrasi untuk menjadi sebuah solusi
terbaik. Namun prakteknya di lapangan, demokrasi dijalankan hanya oleh para elit politik dan
kurang menyentuh keterlibatan masyarakat secara luas. Akibatnya akuntabilitas,
responsibilitas dan responsivitas pemerintah hanya berputar-putar dikalangan elite politic
saja, tidak kepada masyarakat. Konsep “Masyarakat Madani” (MM) yang sering digunakan
oleh negara-negara Eropa Timur, memiliki pandangan lain tentang masyarakat dan
pemerintah. Konsep MM selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep tentang
individu. Sehingga kalau individunya baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
masyarakat madani, maka masyarakatnya akan baik pula. Lalu, MM lebih memfokuskan
pada masyarakat, pada konsep dan praktek citizenship atau kewarganegaraan-seolah lepas
dari prebutan kekuasaan politik. Maka berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang baik perlu adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community
(masyarakat), government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan
voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos
pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang
berbeda dalam rangka “The search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik)
Kata kunci : Tata pemerintahan yang baik, demokrasi, masyarakat madani
1 Telah dipresentasikan pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN)
ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta , pada tanggal 10 Pebruari 2012. 2 Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi dan Penerima Beasiswa Unggulan dari Biro Perencanaan dan
Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 3 Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
PENDAHULUAN
Sejarah mengatakan bahwa semangat demokrasi sebenarnya lahir dari negara barat,
beriringan dengan modernisaasi. Pemikir-pemikir terkenal yang biasanya dikelompokkan pada
pluralis dan liberalis, sepserti Daniel Lerner (ahli sosiolog), Gabriel Almond, James Coleman,
Karl Deutsch, dan Mc T.Kahin (ahli ilmu politik), beranggapan bahwa modernisasi identik
dengan westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan pada akhirnya liberalisasi (Azizy Q. A.,
2000, pp. 7-8). Paham ini masuk ke Indonesia seiring dengan adanya era modernisasi dan
Globalisasi dunia.
Modernisasi, menurut Akbar S. Ahmed (London, 1992), merupakan sebuah fase yang
ditandai dengan kepercayaan terhadap sain, perencanaan,sekularisme dan kemajuan. 4 Dalam
pendefinisian seperti itu, maka banyak ancaman budaya berupa kebebasan yang datang dari dunia
sekuler, seperti kebebasan lahirian (pleasure), egoism, dan hedonisme, terhadap nilai-nilai dan
norma budaya local dan nasional, terlebih lagi nilai agama.
Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan dalam demokrasi tersebut yang
akhirnya menjadi lingkaran setan kebebasan, yakni kebebasan menjadi sebab sekaligus akibat
dalam mendapatkan uang dan kekayaan lainnya. Kebabasan tanpa batas yang telah menjadi
lingkaran setan kebebasan itulah yang menjadi maslah utama bagi bangsa Indonesia, sulit keluar
(baca: terlepas) dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.
Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat kinerja
para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan tradisi-tradisi
kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu diidentikan dengan
korupsi” (www.waspadaonline.com, 9 Desember 2011) menjadi sorotan public ketika ditemukan
ada beberapa Rekening milik sebagian kecil PNS muda yang nilainya tidak wajar (miliaran
rupiah). Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ade Irawan, dari hasil riset ICW atau
Indonesia Corruption Watch, birokrasi hanya dijadikan mesin untuk melegalkan praktik-praktik
korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 318 laporan keuangan yang terindikasi
korupsi dalam lima tahun terakhir. Potensi kerugian negara dalam 318 laporan tersebut
diperkirakan mencapai Rp 29,5 triliun dan 450 juta dollar AS. (www.waspadaonline.com, 9
Desember 2011)
4 Dikutip dari Azizy, 2004, hal 6
Lagi-lagi birokrat membuat ulah. Pemerintah bakal menggelontorkan anggaran gaji PNS
untuk tahun 2012 sebesar 215,7 Triliun (terjadi kenaikan 32,9 Triliun/ 18%). Direktur Eksekutif
Institute for development of economic and finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengkritik bahwa
kenaikan gaji tidak efektif karena sampai sekarang kualitas pelayanan publik masih buruk
(http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011).
Melihat cuplikan kasus di atas, mencerminkan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan
pemerintah tidak berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi selama ini hanya berkutat pada
masalah-masalah teknis, seperti bangunan organisasi, tata kelola pengawai atau kesejahteraan
pegawai dan pola rekrutmennya, dan belum menyentuh kepada masalah yang subtansial. Hingga
banyak polemik saat ini atas kenaikan gaji dan tunjangan structural atau jabatan eselon PNS yang
seharusnya mampu memacu dan menekan pemerintah untuk berpikir ulang atas kebijakan atau
keputusan yang telah dikeluarkan tersebut. Pertanyaannya adalah sudahkah kenaikan tersebut
mempertimbangkan keadilan, tenggang rasa, kebutuhan pokok dan rasa iri hati Terhadap kinerja
yang selama ini telah dlaksanakan ? (Utomo, 2007, p. 218).
Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar
dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi,
keadilan, HAM, toleransi, serta plularisme (Jainuri, 2000). Penyebab yang melatarbelakangi
tindak pidana korupsi dimungkinkan adalah adanya permainan proyek fiktif
(www.waspadaonline.com, 10 Desember 2011). Menurut Solatun5 (2011) “Persoalan-persoalan
seperti korupsi, kolusi, nepotisme, terjadi karena di sana sudah tidak ada lagi etika”
5 Solatun Dulah Sayuti, Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Administrasi Unsoed Purwokerto
PEMBAHASAN
A. Tatanan Pemerintahan Indonesia
Menurut pakar politik dan pemerintahan Indonesia saat ini terus menerus
mendengungkan konsep demokrastisasi kepada masyarakat. Tata pemerintahan yang baik
(Good Governance) diartikan dengan tata pemerintahan yang demokratis. Demokrasi
tampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata
pemerintahan dan kegiatan poltik. Semua proses politik dan lembaga-lembaga
pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Oleh karena itu Rany (1996)
(dalam Toha, 2004)6
berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip di bawah ini:
a. kedaulatan rakyat (popular sovereighnity),
konsep kedaulatan rakyat menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate
power) untuk membuat keputusan terletak di tangan seluruh rakyat, bukan ditangan
beberapa orang atau salah satu dari orang tertentu. Jadi idealnya semua proses
kebijakan public yang menyangkut hajat hidup masyarakat (rakyat) harus didasarkan
pada kedaulatan ini.
Tetapi dalam praktiknya hal ini sangat sulit dilaksanakan di negara Indonesia. Dari
segi geografis Indonesia berbentuk kepulauan sehingga sulit untuk berembug bersama
untuk menyusun kebijakan. Selain itu jumlah warga Indonesia sangat besar, sehingga
tidak mungkin berkumpul dalam satu tempat untuk menyusun kebijakan. Selain tidak
efektif, biaya yang dikeluarkan justru semakin besar dan tidak sebanding dengan
tujuan yang akan dihasilkan. Oleh karena itu sejalan dengan pernyataan “demokrasi
itu boros”. Dalam kondisi seperti ini justru system otoriter lebih tepat diterapkan
untuk pemerintahan di Indonesia seperti jaman kerajaan.
Meskipun menggunakan alternative system perwakilan rakyat, namun praktik
dilapangan jauh dari harapan. Diawali dari proses pemilihan wakil sendiri sudah tidak
“bersih”7
, sehingga hasil dari proses system perwakilan itu kurang dapat
dipertanggungjawabkan.
b. kesamaan politik (political equality),
6 Toha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group.
7 Bersih, artinya calon wakil tidak tulus niatnya untuk menjadi wakil rakyat demi memperjuangan aspirasi
warga yang diwakilinya. Selain itu rakyat pun tidak selektif dalam memilih wakil, hal ini dibuktikan masih
banyak terjadi praktik money politic dalam proses pemilihan umum
prinsip kedua ini diartikan dengan adanya kesetaraan atau kesamaan politik, yaitu
setiap warga negara dewasa mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lainnya
untuk berperan serta dalam proses pembuatan kebijakan public atau keputusan politik,
atau seringkali disampaikan dengan istilah “one person one vote”, akan tetapi
semboyan ini belum mencerminkan pemerintahan yang demokratis8
disebabkan
permainan elite politik. Suara-suara rakyat yang hampir mencapai kesepakatan
dipermainkan oleh elite group. Kenyataan ini mengakibatkan adanya system
pemerintahan ganda dalam negara, yaitu demokrasi dan oligarki/aristokrasi.
c. konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation)
prinsip yang ketiga, merupakan prinsip yang paling berat, yakni pemerintah harus
memiliki kesanggupan untuk melalukan dialog dengan rakyat terkait dengan kebijkan
dan segala hal yang terkait dengan urusan rakyat. Oleh karena itu untuk mewujudkan
prinsip ini pemerintah perlu memenuhi dua syarat, yaitu: pertama, negara harus
memiliki mekanisme yang jelas dan melembaga bagi para pejabat untuk memahami
dan mempelajari kebijakan public sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh
rakyat. Kedua, negara harus mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi
rakyat (pilihan publik).
Kedua persyaratan di atas memberikan suatu konsekuensi wajib bagi para pejabat
untuk terus menjalin komunikasi yang baik dan berdialog dengan warga terkait
dengan perumusan dan evaluasi kebijakan, dengan harapan kebijakan yang dihasilkan
benar-benar mencerminkan suara rakyat.
Praktik di lapangan, justru banyak ditemukan pejabat hanya duduk di belakang meja
kerja, bukan untuk bekerja merumuskan kebijakan, tetapi merancang strategi
mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Kalaupun ada dialog dengan rakyat,
prosentase rekayasanya lebih besar daripada ketulusan niat untuk menjaring aspirasi.
d. Kekuasaan mayoritas (Majority Rule)
Prinsip demokrasi yang ke empat adalah kekuasaan mayoritas. Manakala rakyat
dalam pemerintah yang demokratis menyetujui dengan suara bulat terhadap suatu
kebijakan public sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka pemerintah harus
melaksanakan kebijakan tersebut. Namun demikian, hampir di setiap negara
8 Hal ini mirip praktik demokrasi di Uni Soviet, bahwa masing-masing warga negara yang berumur di atas 18
tahun secara sah dan legal mempunyai hak untuk memilih. Tetapi hak tersebut diwajibkan untuk memilih satu
partai (partai komunis). Di sisi lain, pemimpin partai memiliki satu suara, tetapi suara yang istimewa. Seperti
sebuah ungkapan “all animals are equal, but some animals are most equal than others” (George Orwell).
demokrasi suara bulat seperti ini jarang bisa diwujudkan. Keputusan politik di dalam
demokrasi pada akhirnya menjadi suatu pilihan dari alternative kebijakan yang ada.
Bahkan yang ditemukan di Indonesia kebanyakan kebijakan yang baru hanya hasil
dari copy paste dari kebijakan yang lama, adapaun kesepakatan bulat hanya
digunakan sebagai formalitas saja. Lantas, bagaimana seharusnya pemerintahan yang
demokratis ini tetap berdiri di atas prinsip bahwa proses pengambilan keputusan
berada pada seluruh rakyat? Padahal pasti ada sebagian rakyat yang tidak sepakat
dengan kebijakan yang dirumuskan, dan seringkali itu diabaikan.
Solusi sementara ini yang dapat dijalankan adalah menggunakan prinsip kekuasaan
mayoritas. Prinsip ini menghendaki suara mayoritas lah yang digunakan acauan untuk
menentukan kebijakan. Adapun prosedur yang selama ini dipraktikkan untuk
menentukan batas suata mayoritas dalam proses pengambil keputusan adalah
persetujuan dari 50 persen plus 1 dari kuorum9. Suara mayoritas ini pelaksanaannya
tidak seperti yang diharapkan. Adakalanya dipergunakan oleh pemerintah dengan
“rekayasa” mengatasnamakan demokrasi akan tetapi memaksakan rakyat untuk
bersuara sama. Maka hal ini jauh sekali dengan prinsip etika pemerintahan.
Dalam ranah pelayanan public, dalam mengukur kinerja birokrasi public
(Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik, 2008) terdapat lima criteria, yaitu produktivitas,
kualitas layanan, responsiveness (daya tanggap dan prioritas pelayanan), responsibility
(kesesuaian dengan prinsip-prinsip administratif), dan accountability (dapat
dipertanggungjawabkan). Selain itu Komurotomo (dalam Dwiyanto, 2008) menggunakan
beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi, antara lain
efisiensi, efektifitas, keadilan dan daya tanggap. Dari kedua pendapat tersebut belum ada
yang merumuskan indikator etika menjadi salah satu kriteria kualitas kinerja birokrasi
publik.
B. Etika Birokrasi
Serangan modernisasi sebagaimana dijelaskan di atas, telah merubah cara berpikir
masyarakat secara radikal. Rasionalisme, individualism, nesionalisme. Sekularisme,
materialism, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme serta pluralism regilius. Oleh
9
Kuorum, sejumlah orang yang terhitung dalam rapat dan dijadikan batas minimal kehadiran untuk
menyelenggarakan persidangan
karena itu perlu adanya alat yang dapat digunakan untuk menyaring dan memilah-milah
cara berfikit tersebut agar bangsa Indonesia tidak terlepas dari orientasinya. Etika
dipandang sebagai ilmu yang mencari orientasi (Magnis & Suseno, 1993, p. 13), yakni
sebelum seseorang dapat melakukan sesuatu apa pun, orang tersebut harus mencari
orientasi dulu. Begitu juga dengan birokrasi, sebelum melakukan sesuatu apa pun, para
birokrat hendaknya (baca: wajib) mencari orientasi dulu. Pernyataan ini membuktikan
bahwa segala sesuatu yang diperbuat oleh birokrat merupakan cerminan dari orientasi
awal para birokrat tersebut. Maka dengan adanya pemaknaan etika sebagaimana di
uraikan di atas, maka tindak KKN sebagaimana melembaga di pemerintahan saat ini
dapat dikatakan bahwa itu adalah cerminan dari orientasi para birokrasi memang tidak
untuk melindungi, melayani dan mengembangkan rakyatnya. Justru sebaliknya, orientasi
yang mungkin melekat pada diri para birokrasi hanya demi kekayaan dan kepuasan
pribadi saja. Maka dengan berbagai cara pun akan ditempuh untuk mewujudkan kepuasan
tersebut.
Mengapa etika semakin diperlukan di Indonesia? Ada beberapa hal yang menjadi
dasar perlunya etika dikembangkan di masyarakat Indonesia saat ini (Magnis & Suseno,
1993, pp. 15-16) , antara lain:
a. Kondisi masyarakat yang semakin pluralistic, termasuk dalam bidang moral. Saat
ini setiap orang dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering
saling bertentangan. Mana yang harus diikuti? Moral dari orang tua? Atau moral
tradisional desa? Atau moral yang ditawarkan melalui media massa?
b. Masyarakat Indonesia sedang berada dalam era transformasi tanpa tanding.
Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi
kehidupan masyarakat, yaitu gelombang modernisasi. Dalam transformasi
ekonomi, social, intelektual dan budaya (misalnya), bangsa Indonesia ditatang
dengan paham-paham liberalism, sekulerisme, hedonism, materialism,dll. Dalam
situasi ini etika dapat membantu agar bangsa Indonesia tidak kehilangan orientasi,
dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan
dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat
dipertanggungjawabkan
c. Tidak mengherankan bahwa proses perubahan social budaya dan moral ini
dipergunakan oleh berbagai pihak untuk “memancing di air yang keruh”. Situasi
ini dimanfaatkan oleh para oknum dengan menawarkan ideologi-ideologi mereka
sebagai obat penyelamat, sedangkan kenyataannya hanya sebagai sarana untuk
meraih keuntungan saja. Desentralisasi digembor-gemborkan oleh para elit politik.
Meskipun alasan secara nalar benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
diantaranya efisiensi dan efektifitas pelayanan, namun dibalik semua alasan itu
tidak terlepas dari adanya tujuan para elit untuk mendapatkan bagian dana yang
besar dari pemerintahan pusat. Dalam hal ini etika membantu seseorang agar tidak
naïf atau ekstreem dalam menghadapi hal-hal yang baru.
Birokrasi, sebagai organisasi terbesar dalam negara, merupakan satu kesatuan
orang-orang yang berkumpul untuk menjadi pelayan negara. Mereka merupakan
perwujudan dari kekausaan negara yang bertugas memenuhi kebutuhan seluruh warga
negara. Sebagai seorang pelayan selayaknya memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada atasannya (majikan) agar mendapatkan gaji yang banyak, atau sebaliknya seorang
pelayan harus memberikan pelayanan yang baik setelah mendapatkan kepercayaan dari
atasannya dengan disertai dengan pembiayaannya. Dalam praktiknya birokrasi di
Indonesia masih kental dengan budaya kraton dan colonial di masa penjajahan, sehingga
tugas birokrasi bukan sebagai pamong praja melainkan sebagai abdi raja yang wajib
mewujudkan apa saja yang menjadi keinginan raja atau sebagai budak dari colonial yang
harus memenuhi keinginan koloni. Budaya tersebut masih terbawa sampai sekarang,
terlihat para birokrat bukan berorientasi pada kualitas layanan melainkan pada kualitas
pengabdian kepada kepala nya. Hal ini lah yang akhirnya menciptakan budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Sedangkan yang diharapkan oleh Indonesia saat ini adalah birokrasi yang
berorientasi pelayanan public. Oleh karena itu untuk menciptakan birokrasi yang beretika
pelayanan publik, perlu adanya moral-moral dasar yang mengatur perilaku para birokrat
tersebut, sebagaimana manusia yang lain sebagai makhluk yang berbudi pekerti. Adapun
prinsip-prinsip dasar moral manusia yang harus dipegang teguh antara lain:
a. Prinsip sikap baik
Prinsip ini secara simple berarti sebuah kesadaran untuk berusaha tidak menyakiti
orang lain. Bukan hanya itu, jika dipandang dari konsep utilitarisme, maka sikap baik
yang diharapkan adalah bahwa seseorang dituntut untuk mengusahakan akibat-akibat
baik sebanyak mungkin dan mengusahakan sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat
buruk yang dapat mengenai orang lain. Sikap baik berarti: memandang seseorang dan
sesuatu bukan hanya sejauh berguna bagi saya, melainkan menghendaki, menyetujui,
membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang
perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah kematiannya demi dia
(orang lain atau sesuatu) itu sendiri.
b. Prinsip keadilan
Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar seseorang bersikap baik terhadap siapa saja.
Namun kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakikat terbatas. Oleh karena
itu agar tidak mengalami ketimpangan perlakukan antara satu dengan yang lainnya,
maka perlu prinsip keadilan. Prinsip keadilan pada hakikatnya berati memberikan
kepada siapa saja apa yang menjadi haknya dan dalam mencapai tujuan yang baik
tersebut jangan sampai melanggar hak orang lain.
c. Prinsip hormat terhadap diri sendiri
Prinsip yang ketiga ini adalah prinsip yang berupaya mengangkat derajad dan
martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Prinsip ini memiliki dua arah
sasaran. Pertama, manusia dituntut agar tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat,
dianiaya atau diperbudak. Maka apabila ada perlakuan semacam itu dari pihak luar,
prinsip ini menganjurkan seseoang untuk melakukan perlawanan. Kedua, manusia
dituntut agar jangan sampai dirinya terlantar, baik dari segi ekonomi, social dan
budaya. Meskipun sebagai makhluk social, manusia dituntuk untuk saling membantu,
namun bukan berarti mengesampingkan urusan pribadi. Siapa lagi yang dapat
menghargai diri kita kalau bukan kita sendiri.
Sebuah pepatah lama mengatakan bahwa “hargailah diri kita sendiri sebagaimana kita
menghargai orang lain, dan hargailah orang lain sebagaimana kita menghargai diri
kita sendiri”. Artinya kalau kita bisa memberikan pelayanan yang baik kepada orang
lain, maka perlakukanlah diri kita dengan baik juga. Begitu juga sebaliknya apabila
kita memperlakukan diri kita dengan sangat special, maka perlakukanlah orang lain
dengan special juga. Dengan seperti itu seseorang tidak akan merasa direndahkan dari
yang lain karena telah memberikan pelayanan kepada orang lain.
Di bawah ini adalah tingkatan-tingkatan moral manusia. Dilihat dari perkembangan
mentalnya, maka moralitas seseorang dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:
No Tingkatan
Moral
Tahapan Moral Ciri Khas
1 Preconvention
al Reasoning
(usia 10 th)
Stage 1
Heteronomous
morality
Obedience & punishment orientation (orientasi
pada hukuman dan rasa hormat)
Stage 2
Individualism,
instrumental
purpose, and
exchange
Native hedonistic and instrumental orientation.
Mampu membedakan akibat fisik yang
diterimanya
- Benar salah dilihat dari apakah perbuatan
itu memuaskan dirinya atau tidak
- Hubungan dengan orang lain ditafsirkan
sebagai hubungan pragmatis, timbale balik
tanpa nilai kesetiaan, rasa terimakasih dan
keadilan
2 Conventional
Reasoning Stage 3
Mutual
interpersonal,
expectation,
relationship,
interpersonal
convormity
- Good boy nice and girl morality (anak
manis)
- anak focus pada apa yang diharapkan
orang lain.
- Baik adalah apa yang menyenangakan atau
apa yang dapat membantu orang lain
- Menaruh harapan pada social
- Anak tidak egois lagi
Stage 4
Social system
morality
Authority and morality (orientasi pada
otoritas/peraturan pasti dan pemeliharaan
aturan social
3 Postconventio
nal Reasoning Stage 5
Social contact or
utility and
individual right
Social legality (orientasi kontak social)
Anak mengerti aturan sosail yang ada, jika
sesuai dengan moralnya maka diterima, jika
tidak maka ditolak
Stage 6
Universal ethical
principle
Morality of individual principle & Consistency
(orientasi suara hati dan prinsip-prinsip etis)
Penalaran moral adalah kata hati perilaku
sehari-hari
Hati nurani merupakan pengambil keputusan
C. Tatanan Pemerintahan yang Beretika Melalui Perspektif Masyarakat Madani
Permasalahan kebobrokan pemerintah menurut kacamata MM adalah karena sudah
tidak ada etika. Selain itu karena adanya penindasan globalisasi terhadap negara-negara
berkembangan yang dari segi filosofi dan budaya belum siap. Perbedaan ini harus segera
ditanggulangai dengan etika dan perubahan konsep pemerintahan. Dua hal yang perlu
menjadi perhatian dalam upaya menanggapi tantangan globalisasi yang telah merusak
etika-moral masyarakat (Azizy A. Q., 2004, p. 32), yaitu: (1) Menumbuhkan kesadaran
kembali tentang tujuan hidup menurut agama, (2) Mempertanggungjawabkan apa yang
diperbuat di dunia, baik formalitas administrative sesuai ketentuan yang ada di dunia
sendiri maupun hakiki yang mempunyai konsekuensi akherat kelak (konsep
akuntabilitas).
Definisi Masyarakat Madani, berarti masyarakat yang beradab, berakhlaq mutlak
dan berbudi pekerti luhur, merupakan sebuah peradaban yang lahir di kota Madinah
(nama kota inipun diambilkan dari istilah madani-tamaddun, yang aslinya bernama
Yatsrib). Peradaban tersebut mulai dibentuk setelah lahirnya piagam Madinah (AZIZAH,
2009). Karakteristik Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam
Piagam Madinah (AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip
pembangunan masyaraakat yaitu:
1. Kebebasan agama.
2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap
solidaritas yang tinggi terhadap sesama.
3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.
4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama
sebagai anggota masyarakat.
5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.
6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.
7. Penegakan hukum.
8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan
kebenaran.
9. Perdamaian.
10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu.
Dari kesepuluh prinsip di atas, dapat dikerucutkan menjadi lima aspek karakteristik
Masyarakat madani, (Swiyanto & Muslihin, 2004), yaitu :
1. Ruang Publik Yang Bebas
Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara harus mempunyai
kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Demokratisasi
Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan anggoata masyarakat
berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme demokrasi
antar komponen bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan bagian
yang terpenting menuju masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani
hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis.
3. Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang
dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang atau kelompok masyarakat lain yang berbeda.
4. Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk disertai sikap tulus yang bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan
merupakan rahmat Tuhan. Tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik,
sama, dan sebangun dalam segala segi. Semangat pluralitas yang dibangun,
selain karena nilai kemasyarakatan, juga didorong oleh adanya perintah Tuhan
untuk saling bertoleransi antarsesama masyarakat meskipun lain agama. Selain
itu juga ditambah dengan tidak adanya pembedaan status/derajat di mata tuhan
kecuali dari sisi iman dan taqwanya10
.
5. Keadilan sosial
Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara
hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Tiap-tiap warga negara memiliki hak yang sama dalam
memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Konsep masyarakat madani, dalam dunia eropa barat seringkali disama-artikan
dengan istilah civil society,di mana menurut Seligman (Azizy Q. A., 2000), kajian civil
society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral
individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial,
atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.
Begitu juga dengan konsep Human Governance (Toha, 2008, pp. 154-161),
merupakan sebuah tawaran budaya baru bagi administrasi public dengan tujuan utama
yakni memanusiakan administrasi public. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dari
konsep MM. Terdapat empat prinsip yang akan mendorong terciptanya human
governance, yakni: (1) ingin menciptakan tatanan pelayanan yang lebih baik, (2) lebih
banyak investment di bidang teknologi informasi dan komunikasi, (3) menciptakan
regulasi yang lebih baik, dan (4) manajemen yang pelatihan sumber daya manusianya
lebih terbuka dan jujur. Titik perhatian dari human governance ini mengubah posisi
manusia dari objek ke subjek. Human governance merupakan model cultural yang menata
hubungan antara negara dan individu sebagai warga negara yang mempunyai kebebasan
memilih, kemerdekaan berbeda suara, harga diri, dan hak diperlakukan oleh pemerintah
atau negara.
D. Reformasi Birokrasi di Indonesia Berkepribadian Masyarakat Madani
Di dalam kenyataan, tidak ada satu pun system social dan system pemerintahan
yang benar-benar steril dari praktik KKN, karena akan selalu berbenturan dengan
10
Konsep derajad manusia di hadapan tuhan versi Islam,
individu-individu yang menginginkan jalan pintas untuk memenuhi
kebutuhan/kepentingannya sendiri, meskipun dengan kesadaran penuh bahwa
tindakannya tidak dibenarkan (Dwiyanto, 2006). Oleh karena itu upaya yang perlu
dikembangkan adalah kewaspadaan dan terus menerus mengadakan perubahan-perubahan
demi terwujudnya kesesuaian system dengan karakter bangsa. Termasuk perubahan
system social menuju system masyarakat madani ini merupakan salah satu upaya yang
tidak luput dari kekurangan. Meskipun demikian setidaknya dapat mengurangi atau
meminimalisir tindak KKN yang semakin merajalela ini.
Untuk mewujudkan system pemerintahan yang berkepribadian masyarakat madani,
maka perlu ditempuh melalui dua langkah, yaitu langkah internal dan langkah eksternal
(Hardjapamekas, 2003).
1. Langkah internal:
a. Meluruskan Orientasi
Orientasi Birokrasi Pemerintahan perlu diluruskan untuk melayani masyarakat.
Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan etika birokrasi, orientasi seseorang
sangat menentukan etika seseorang. Oleh karena itu untuk menghasilkan etika
birokrasi yang bermoral jujur, sopan dan disiplin maka selain berorientasi kepada
pimpinan, para birokrat perlu berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Dalam
hal ini masyarakat diposisikan sebagai stakeholder, yang bukan hanya menikmati
pelayanan, namun juga ikut bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan
tersebut. Masyarakat wajib ikut mengawasi para birokrat baik dari segi
perumusan/perencanaan, implementasi sampai dengan tahap evaluasi. Dengan
adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, maka pemerintah akan
semakin hati-hati dalam bertindak.
b. Memperkuat Komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena
tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi
birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan
di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi
pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat
kesalahan atau bekerja tidak benar.
c. Pertanggungjawaban Sosial (social accountability)
- Tanggungjawab Individual
Para birokrat harus bertanggungjawab atas amanat yang telah diberikan oleh
warga negara dengan baik. Wujud dari tanggung jawab tersebut adalah bekerja
secara professional, dimana bekerja sesuai dengan jabatan dan tugasnya.
Selanjutnya dalam pelaksanaan menjalankan tugas, para birokrat perlu
mengembangkan prinsip berbuat baik. Prinsip ini perlu diterapkan, terutama bagi
para birokrat pelayan public, seperti memberikan pelayanan yang mudah, murah,
cepat, tepat waktu, serta tidak berbelit-belit. Sedangkan bagi para birokrat
perumus kebijakan, prinsip sikap baik juga perlu dijadikan dasar dalam
merumuskan kebijakan. Artinya, dalam merumuskan sebuah solusi, harus benar-
benar untuk memikirkan kesejahteraan umat (orang banyak). bukan hanya untuk
kepentingan pribadi dan golongan saja.
- Tanggungjawab Sosial (Akuntabilitas Kinerja, Sustainability)
netralitas birokrasi digantikan dengan etika structural, dimana birokrasi termasuk
bagian dari proses politik yang bertanggungjawab atas segala perilaku dan
kebijakan yang telah diambil melalui discretion power nya. Selain itu dengan
pemahaman etika structural, maka sensifitas birokrasi akan dapat ditingkatkan,
karena pertanggungjawaban atas setiap perilaku bukan hanya atas nama lembaga,
namun juga atas nama perseorangan (individual) birokrat (Dwiyanto, Pemerintah
yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika, 1997).
d. Membangun Kultur Baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan
prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai
gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep
transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya
e. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi
kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi
ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam
menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk
kemajuan teknologi informasi.
f. Memperkuat Payung Hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas.
Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan-
perubahan. Dalam konteks MM (Masyarakat Madani), hokum yang dapat
dijadikan landasan birokrasi antara lain Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum
Formal dan Hukum Kemasyarakatan (Sosial). Dengan keempat hokum ini,
motivasi para birokrat dalam menjalankan tugas bukan hanya karena takun dengan
sanksi formal saja, melainkan karena kesadaran bahwa tugas ini merupakan
amanah yang harus diemban dan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan
akherat. Hokum adat dan hokum social pun akan memberikan sebuah sanksi
moral kepada birokrat yang berperilaku menyimpang.
g. Peningkatan Kualitas SDM
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa
disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk
mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan
dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan
peningkatan kesejahteraan.
Peningkatan kualitas SDM juga harus disertai dengan peningkatan moral dan etika
agar para birokrat mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan
memuaskan bagi warganya. Salah satunya adalah prinsip menghargai diri sendiri.
Prinsip ini bagi para birokrat sangat perlu, tetapi harus hati-hati dalam
penerapannya. Prinsip hormat terhadap diri sendiri bagi birokrat adalah sebatas
kebutuhan birokrat agar tidak dianggap remeh dan rendah bagi warga masyarakat.
Setelah melaksanakan kewajibannya melayani warga, maka adalah “hak” bagi
mereka untuk mendapatkan imbalan jasa sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Tujuannya adalah agar eksistensinya sebagai birokrat tetap terjaga dengan baik
dan mereka tetap bersemangat dalam melayani masyarakat (karena tidak merasa
diperas tenaganya seperti halnya budak). Namun selain itu, dengan prinsip hormat
terhadap diri sendiri juga perlu diterapkan dalam ranah moral, yakni sebagai
makhluk yang berbudi pekerti, maka seorang birokrat harus menghargai dirinya
dengan jalan selalu berpegang pada kepribadian moral yang baik dalam
menjalankan tugasnya.
Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di
lingkungan birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan
membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur
di tingkat bawah, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN.
Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya saja. Perilaku KKN berawal dari
keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi kelainan-kelainan yang
sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi pemerintah, tetapi
persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah pihak
dengan mengorbankan kepentingan negara.
Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah,
yang mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh
birokrasi pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki
posisi strategis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi
berpikir bagaimana memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan
kekuasaan dengan cara mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal
terhadap dirinya. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak
etika dan moral birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku yang lebih
mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat yang tersingkirkan
(Gie, 2003).
Beberapa sikap kepribadian moral yang kuat yang harus dipegang teguh oleh para
birokrat tersebut antara lain: Kejujuran, nilai keotentikan, kesediaan untuk
bertanggungjawab, kemandirian moral, keberanian moiral, kerendahan hati,
realistic dan kritis. Sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Wakil Presiden,
Jusuf Kalla, dalam menanggapi masalah korupsi dan Rekening milik PNS Muda,
bahwa saat ini pemerintah membutuhkan pegawai negari sipil atau PNS yang jujur
dan waras. (www.waspadaonline.com, 07 Desember 2011). “Jujur” dan “waras”
tersebut hanya dapat dimiliki oleh orang yang memiliki hati nurani.
h. Debirokratisasi & Desentralisasi
Reformasi birokrasi perlu diawali dengan langkah debirokratisasi, mengingat
beban negara yang semakin melambung tinggi, dan sebagian besar hanya habis
untuk menggaji para birokrat. Sedangkan sebagaimana yang terjadi di lapangan,
kinerja para birokrat kurang dimaksimalkan, lebih banyak yang menganggur di
kantor daripada bekerja melayani mayarakat, bahkan ada yang ditemukan sedang
belanja di supermarket. Tahun 2012 pemerintah bakal menggelontorkan anggaran
gaji PNS sebesar 215,7 Triliun (terjadi kenaikan 32,9 Triliun/ 18%).
(http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011). Selain pemborosan,
dengan jumlah pegawai yang tidak proporsional mengakibatkan kekosongan
kerja, dan justru akan menimbulkan konflik diantara birokrat.
Langkah debirokratisasi ini perlu ditempuh pemerintah dengan tujuan ganda,
yakni: Pertama, mengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan
ekonomi sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan
lebih wajar. Kedua, merupakan tujuan jangka panjang, adalah menciptakan
kapasitas administrasi/birokrasi yang lebih mampu melaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas manusia dan kualitas
masyarakat (Effendi, 2010).
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, reformasi birokrasi perlu melakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.
Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah
dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan
dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte
sharing lebih sulit dilakukan.
b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena
banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta
berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan
profesionalitas.
2. Langkah Eksternal:
a. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar
negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk
memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu
kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat
berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat
keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada
bawahan dan masyarakat.
b. Memperkuat Posisi Penegak Hukum
Indonesia sebenarnya telah memiliki lembaga yang berwenang untuk mengawasi
para pejabat negara dari tindakan korupsi. Meskipun terbilang masih muda, tetapi
sudah cukup baik, yakni secara kelembagaan, negara Indonesia sudah memiliki
lembaga yang sah mengurusi tindak pidana korupsi. Sedangkan dari sisi kinerja,
lembaga KPK ini masih terlihat kurang kuat. Terbukti masih banyak tindak pidana
korupsi yang belum mampu terungkap. Apalagi kasus akhir-akhir ini justru ada
salah satu diantara anggota KPK yang terjerat kasus pidana korupsi.
Oleh karena itu untuk lebih menjamin status independency KPK, perlu diperkuat
posisinya di mata hokum dan masyarakat.
c. Partisipasi dan sinergitas dan Kompetisi Global
Berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu
adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat),
government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan
voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian
berporos pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk
menemukan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka “The search for the good life”
(menemukan kehidupan yang baik).
OSDMM (Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani) di Indonesia aalah sub-
golonagn lembaga swadaya masyarakat “tradisional”, yakni lembaga-lembaga
yang menurut rumusan klasik terlibat dalam proses memperkuat masyarakat
madani dalam menghadapi pemerintah dan golongan elit yang berkuasa (Hadiz,
1999, p. 5). Organisasi ini adalah organisasi yang bersifat swasta dan non-
pemerintah, disamping bersifat independen dan nirlaba, juga menjalankan
kegiatan-kegiatan yang mempunyai lingkup nasional atau meliputi bagian besar
dari negara Beberapa dari mereka bergelut di bidang ekonomi, politik, dan hak-
hak asasi manusia.
Dengan adanya OSDMM ini, ada beberapa kemanfaatan yang dapat diperoleh,
yakni: pertama, control social masyarakat terhadap pemerintah lebih efektif,
karena selain memiliki kekuatan dan jalan, mereka lebih ahli dalam berdialog.
Dengan adanya control yang lebih maksimal, birokrat akan semakin berhati-hati
dalam bertindak curang. Kedua, partisipasi pelayanan public pun secara otomatis
dapat lebih optimal karena setiap OSDMM memiliki agenda kegiatan yang
bersangkutan langsung dengan masyarakat. Ketiga, OSDMM merupakan
cerminan dari tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat madani adalah
masyarakat yang cerdas dan beretika. Oleh karena itu dengan semakin
berkembangnya OSDMM merupakan sebuah pembuktian nyata dari
meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang lingkungan sesuai dengan
organisasi yang diikutinya. Keempat, OSDMM mempermudah pemerintah dalam
memilah-milah kebijakan, yakni dalam menentukan skala prioritas dan penyaluran
dananya. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang namanya “salah sasaran”
d. Demokratisasi
- kebebasan social (social freedom) - Ruang Publik
kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagaimana tercantum dalam undang-
undang adalah cerminan daripada penghargaan atas nilai pluralism bangsa.
Sebagaiman kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk. Kemajemukan dari sisi budaya telah melahirkan kemajemukan hokum
adat. Kemajemukan status social ekonomi melahirkan kemajemukan cara
pandang, kedudukan dan mata pencaharian. Hal ini akan menimbulkan
penindasan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Sedangkan praktik
di lapangan, birokrat mayoritas diisi oleh para kaum kuat, sedangkan kaum lemah
hanya sebagai penonton. Dengan adanya kebebasan social, maka masyakat akan
leluasa menyampaikan aspirasi dan control nya terhadap pemerintah.
- Keadilan Serta Kesamaan Hak Dan Kewajiban (Equality)
Birokrasi yang adil adalah yang mampu memanfaatkan segala sesuatu baik itu
kekayaan, kesempatan dan kekuasaan sesuai dengan hakikatnya diciptakan,
jangan dikurangai dan jangan menambah. Dengan prinsip ini maka tidak ada yang
namanya korupsi dalam birokrasi.
Kekuasaan yang diberikan warga kepada birokrat untuk mengurusi pelayanan
umum seharusnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini maka
keadilan berdampak pada keadilan social, yakni birokrasi yang adil adlah yang
mampu memberikan pelayanan kepada warganya dengan baik. Birokrat harus
mampu memperlakukan warganya dengan sama, tidak membeda-bedakan status
social dan kekayaan. Dengan prinsip ini maka tidak akan terjadi suap-menyuap
atau pun nepotisme.
Dalam konteks yang lain, prinsip keadilan membicarakan who gets what (Utomo,
2007). Artinya siapakah yang layak mendapatkan sesuatu itu dan apa yang layak
diperoleh seseorang. Dalam hal ini contoh terdekat adalah masalah kenaikan gaji
para PNS, yang masih menjadi permaslahan public, maka sebaiknya siapakah
yang lebih pantas menerima kenaikan gaji itu? Masyarakat atau birokrat?
Berikutnya apa seharusnya yang diperoleh masyarakat dari para birokrat?
- Demokratisasi Anggaran – Poor Budget dan Bantuan Subsidi
sementara ini, pemerintah kurang adil dalam membuat kebijakan terkait anggaran
negara. Bagaimana mungkin akan menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60%
hingga 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparat (belanja
rutin). Sisanya sebesar 30% hingga 40% digunakan untuk belanja masyarakat
public dengan komposisi 30% biaya tidak langsung (administrative), 70% untuk
belanja langsung ke masyarakat (20% plafon politik, 10% plafon ADD, dan 70%
plafon sektoral).
Berbeda dengan anggaran pro poor, anggaran yang dibuat bukan untuk melayani
kaum miskin, tetapi untuk memenuhi hak dasar kaum miskin. Sehingg sebelum
dipenuhi maka anggaran sebesar apapun akan terus diusahakan hingga terpenuhi.
Karena tujuannya adalah memenuhi, maka dalam penganggarannya pun
masyarakat banyak terlibat, sehingga sesuai dengan harapan. Berikut adalah
bentuk keadilan social dalam bidang anggaran dana negara,
Aspek Anggaran Konvensional Anggaran Pro Poor
Peruntukan Melayani Kaum Miskin tidak
selalu diutamakan, bahkan residu
Pemenuhan hak dasar (khusus
kaum miskin)
Manfaat/hasil Berdasarkan kepentingan actor
yang terlibat
Sesuai kebutuhan kaum miskin
Aktor yang
memutuskan
Aparat pemerintah Pelibatan masyarakat miskin
Proses
Kebijakan
Condong teknokratis, kurang
transparan dan partisipatif
Mementingkan transparansi
dan partisipasi
Sumber: Haerudin (Waidi, Sudjipto, & Bahagijo, 2008)
KESIMPULAN
Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.
Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat kinerja
para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan tradisi-tradisi
kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu diidentikan dengan
korupsi” menjadi cerminan tentang kebobrokan birokrasi Indonesia. Seiring dengan hal tersebut
pluralism masyarakat Indonesia menuntut adanya birokrasi yang bukan hanya mampu
menjalankan tugas dengan baik, melainkan mampu memuaskan masyarakat sebagai warga negara
dan stakeholder. Dalam hal ini system social yang diterapkan di Indonesia dirasa kurang tepat,
dan perlu alternative lain seperti Sistem Sosial Masyarakat Madani (MM) yang dikembangkan
dibeberapa negara berkembang dan negara Eropa Timur.
Untuk mengurangi tindak korupsi dan ketledoran pemerintah dalam memberikan
pelayanan, maka secara menurut MM perlu adanya pembenahan etika, yakni orientasi para
birokrasi perlu diluruskan, karena etika merpakan langkah-langkah dan perilaku yang lahir dari
seseorang dalam mewujudkan orientasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan etika yang baik
maka perlu didasari dengan orientasi yang baik, tidak lain adalah orientasi pada masyarakat dan
pelayanan public.
Birokrasi yang beretika dan bermoral merupakan modal awal bagi tatanan baru atau
reformasi pemerintahan Indonesia. Di samping mengembangkan etika sebagai langkah internal,
serta penguatan paying hokum dan peningkatan kualitas SDM, dari sisi eksternal juga perlu ada
perubahan, antara lain pengembangan nilai-nilai Pluralisme & Demokrasi, Kesamaan Hak dan
Partisipasi & Sinergitas.
DAFTAR PUSTAKA
AZIZAH, N. (2009). Civil Society di Indonesia. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Pamekasan.
Azizy, A. Q. (2004). melawan Globalisasi-Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani) (Cetakan V ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
--------------. (2000). Masyarakat Madani Antara Cinta dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
--------------. (1997). Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika.
Jurnak Kebijakan Administrasi Publik , 1-14.
--------------. (2008). Reformasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Effendi, S. (2010). Beberapa Hambatan Pelaksanaan Debirokratisasi dan Deregulasi untuk
Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Gie, K. K. (2003). Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai
Pemerintahan. Jakarta: Workshop Gerakan Pemberantasan Korupsi, PBNU.
Hadiz, V. R. (1999). Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani dan Pembangunan di
Asia Tenggara - Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hamzah, A. (2005). Perbandingan Pemberantasan Korupsi Berbagai Negara. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hardjapamekas, E. R. (2003). Reformasi birokrasi Sebagai Syarat Penegakan dan
Pemberantasan KKN. Denpasar: Transparency International lndonesia.
Jainuri, A. (2000). Agama dan Masyarakat Madani-Rujukan Khusus tentang Sikap Budaya,
Agama dan Politik. Jurnal Al-Afkar , III, 21-36.
Magnis, F., & Suseno. (1993). Etika Dasar - Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Swiyanto, & Muslihin. (2004). Kewarganegaraan. Klaten: Ganeca Exact.
Toha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Yogyakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Utomo, W. (2007). Dinamika Administrasi Publik - Analisis empiris seputar isu-isu
kontemporer dalam administrasi publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waidi, A., Sudjipto, A., & Bahagijo, S. (2008). Mendahulukan Si Miskin. Yogyakarta: LKiS.
-----------------------------------------------------------------------
http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011)
http//:waspadaonline.com, Rabu, 07 Desember 2011).
http//:waspadaonline.com, Jum’at, 09 Desember 2011)
http//:waspadaonline.com, Sabtu, 10 Desember 2011)