konsep mau’izhah hasanah dalam...
TRANSCRIPT
KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
(Analisa Tafsir dengan Metode Tematik)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Untuk Memenuhi
Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.kom I)
Oleh:
MUHAMMAD HIZBULLAH
NIM: 1111051000171
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
i
ABSTRAK
Muhammad Hizbullah
1111051000171
Konsep Maúizhah Hasanah Dalam Al-Qur’an
Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang
disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka;
memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang
mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman
dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat
baginya dan membahagiakannya.
Berdasarkan konteks diatas, bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam
al-Qur’an? Apakah kriteria da’i mau’izhah hasanah? Siapakah mad’u mau’izhah
hasanah? Sejauh mana dampak dan keuntungan menggunakan konsep mau’izhah
hasanah?
Mau’izhah hasanah maksudnya adalah petunjuk-petunjuk ke arah
kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh
perasaan, lurus pikiran, menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut
kesalahan audiens. Pesan yang disampaikan dengan santun dan dialog,
memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya yang suci agar mau berbuat baik.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (penelitian
kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, tafsir,
dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode
pembahasan yang digunakan, adalah metode deskritptif dan tafsir mawdhu’i.
Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga
tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam al-
Qur’an. Sedangkan metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash al-
Qur’an terkait sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana
mau’izhah hasanah terbentuk.
Konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah konsep dakwah yang
bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan
halus. Tidak memaksa, tidak menyakiti, bukan dengan bentakan dan kekerasan
tanpa ada maksud yang jelas. seorang da’i mau’izhah hasanah harus berbuat dan
beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan dengan
cara yang ramah, kasih sayang di samping itu juga seorang penasihat (da’i) harus
usianya lebih dewasa dengan objek dakwah dan memiliki kapasitas hikmah (ilmu)
yang memadai. Sementar Mad’u mau’izhah hasanah adalah dari kalangan awam
atau orang kebanyakan, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Kelembutan
dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung,
menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan.
Jadi mau’izhah hasanah adalah konsep berdakwah dengan penuh
kelembutan, ketenangan, dan penuh kasih sayang. Begitu juga da’i yang
menggunakan mau’izhah hasanah harus berbekal ilmu, penyayang dan santun.
sedangkan mad’unya dari kalangan awam atau tidak secanggih golongan yang
diseru dengan hikmah. Dengan itu, Sehingga pesan dakwah dan kebaikan akan
lebih cepat tersampaikan dan membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa
sehingga menimbulkan rasa takut dan tunduk.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt.
Yang senantiasa memberikan nikmat iman, islam, serta nikmat sehat, kesempatan,
yang tiada henti kepada penulis. Dengan nikmat tersebut, penulis mendapatkan
kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat
untuk meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu komunikasi dan penyiaran islam
(KPI). Meski penulis dalam prosesnya, menyadari banyak kendala yang dihadapi.
Namun atas berkat dan izin Allah SWT, penulis mampu menyelesaikannya
dengan penuh rasa syukur yang amat mendalam.
Shalawat serta salam tidak lupa pula terucap kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, yang menjadi panutan umat, dengannya ilmu pengetahuan
terungkap. Nabi yang telah menerangi jalan kehidupan dari kegelapan menuju
jalan penuh terang benderang. Seorang da’i dan tokoh orator sejati yang visi dan
misinya tetap dikenang hingga akhirat nanti. Semoga shalawat selalu tercurah
kepada beliau, para sahabat, tabi’iin dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan
mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan semangat dari semua pihak yang
telah membantu guna penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis pada
kesempatan ini ingin mengucapkan beribu terima kasih yang sebesar-besanya,
semoga Allah membalas budi baik bapak, ibu, dan saudara Amiin. Kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor yang mendapat
amanah Ilmiah dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Suparto, M.Ed, MA.Selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik, Bapak Dr. Jumrani, M.Si. Selaku pembantu Dekan
Bidang Administrasi dan keuangan, dan juga Bapak Drs. Wahidin Saputra,
MA. Selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
3. Bapak Drs. Rahmat Baihaky, MA. selaku ketua jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, dan ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A selaku Sekretaris
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Bapak Dr. Ahmad Ilyas Ismail, M.A selaku dosen pembimbing yang tak
kenal lelah serta senantiasa sabar meluangkan waktunya untuk membantu,
menempa dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ilmu, pengalaman, serta keteladanan dalam menajalani dan memaknai
kehidupan ini.
6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Penyiaran Islam, dan karyawan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan kepada
penulis untuk mencari referensi dalam penyelesain skripsi ini.
7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, yang kasih sayang, doa, cinta serta
motivasinya yang tiada henti penulis terima, hingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat dan untuk terus
menuntut ilmu sampai nanti.
iv
8. Kakaku tercinta, Zuhrah, Ramdhan, Saifullah dan adik tercinta Syamsul
Lutfi yang tak kenal lelah memberi semangat moril dan materil serta
mendoakan penulis untuk terus berkarya, memberi mamfaat, belajar dan
mencari jati diri dalam mencapai kesuksesan dunia akhirat.
9. Teman-teman seperjuangan KPI E 2011, dan seluruh KPI semester akhir
yang selalu membantu dan saling menasihati dan tetap menjaga
kekompakan.
Penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian
yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan keridhaan, balasan
yang terbaik di sisi Allah Swt. Dengan pahala yang berlipat ganda serta
limpahan rahmat, hidayah, serta berkahny-Nya. Amiin Ya Rabbal Alamin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat
menenteramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk
itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan dan kritik
yang sipatnya membangun guna menuju kesempurnaan. Semoga skripsi ini
menjadi menjadi Khazanah /tolls serta dapat memberikan kontribusi positif,
memperluas wawasan keilmuan serta menambah Khazanah perpustakaan.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...........................10
D. Tinjauan Pustaka .................................................................11
E. Metode Penelitian ................................................................12
F. Sistematika Penulisan ..........................................................15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Mau’izhah Hasanah ..........................................18
1. Pengertian Nasihat ........................................................26
2. Kriteria-Kriteria Seorang Penasihat ..............................27
B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir .......................28
C. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir .......................34
D. Pendekatan Dakwah dalam Bentuk Mau’izhah Hasanah....39
BAB III DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH
A. Ayat-ayat Tentang Mau’izhah hasanah .............................44
1. Ayat dalam Bentuk Al-mau’izhah ...............................45
2. Ayat dalam Bentuk Wa’azha & Yu’izhu.......................47
B. Klasifikasi Ayat ................................................................48
vi
1. Ayat-Ayat Makiyah & Madaniah ................................48
2. Ciri khas Makiah & Madaniah .....................................50
C. Pengelompokan Makiyah Madaniah Ayat Mau’izah..........52
D. Asbabu An-Nuzul ...............................................................53
BAB 1V KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah ...................58
B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah ..........................................64
C. Siapakah Mad’u Mauizah Hasanah? ......................................69
D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah ..............73
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................77
B. Saran-Saran ...............................................................................80
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang
disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka;
memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang
mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai
teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang
bermanfaat baginya dan membahagiakannya. 1
Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah
satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan
memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka
mau berbuat baik.2
Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang
mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita
gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan
pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.3
Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh
seorang da’i yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain
berbuat munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang
mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu
tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.dan yang dimaksud
1Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera,
1997), h. 48 2Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah,
1989), h.260 3 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16
2
dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah
utuskan kepadanya.jadi, berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktik
Nabi Saw.4
Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".
(QS Yusuf :102)
Di antara cara mentarbiah yang ada di dalam Al-Qur’an adalah:
tarbiah dengan talqin (dikte), cerita, teladan yang baik, pengilmuan,
praktikum, pembiasaan, amal nyata, logika, penyadaran hati, menggugah
rasa, bercermin dari peristiwa masa lalu, bukti yang mematahkan argumen
pembantah (mukjizat), dialog, permisalan, penggunaan hikmah,
pengakuan realitas, penggunaan alat indra, pikiran dan analisis, saling
berwasiat dengan benar dan sabar, amar ma’ruf nahi mungkar, siraman
ruhiah, pembersihan hati, ikhlas, cinta, harap dan cemas, Qishas (balasan
setimpal), ta’zir (hukuman berdasarkan ijtihad hakim), tobat, ampunan,
amal shalih, kesucian dan kemuliaan, dan seterusnya.- di riwayatkan dari
al-Irbadh bin Sariyah RA yang berkata “Rasulullah Saw menasihati kami
dengan nasihat yang dalam dan menggetarkan hati. Kami bertanya, “ya
Rasullah sepertinya ini nasihat orang yang hendak berpisah maka berilah
kami wasiat.” Nabi bersabda, “aku berwasiat, hendaklah kalian bertakwa
4 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 144
3
kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian
adalah seorang budak habsy. Sesungguhnya, siapa diantara kalian yang
hidup (berumur panjang) maka akan melihat banyak perselisihan. Karena
itulah berpegang teguhlah terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah ar-
Ryasidin yang ditunjuk sesudahku, pertahankanlah dengan gigi taringmu
(bersungguh-sungguh), dan berhati-hatilah terhadap hal-hal baru karena
semua bid’ah sesat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).5
“demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-ashr :1-3)
Kata Tawashauw terambil dari kata washa, washiah yang secara
umum diartikan menyuruh secara baik. Beberapa pakar bahasa lebih jauh
menyatakan bahwa kata ini berasal dari ardhun waashiah, yang berarti
tanah yang dipenuhi tumbuhan. Hatta mereka lebih jauh menasihati adalah
tampil kepada orang lain dengan kata-kata halus agar yang bersangkutan
bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara
berkesinambungan. Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk
diwasiatkan yaitu (al-haqq dan Ashabr).
Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah
apapun yang terjadi. Allah adalah al-haqq karena tidak mengalami
perubahan. Nilai-nilai agama juga al-haqq. Seperti Nabi mengatakan:
5 Taufik al-Wa’iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 336-338
4
agama itu adalah nasihat. Allah swt. adalah al-haq karena itu sebagian
para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini dengan arti yakni
bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang keberadaan,
kekuasaan Allah,keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya. Hal-hal yang
diwasiatkan dalam al-Qur’an antara lain adalah:
a. Pelaksanaan agama, bersatu padu, tidak bercerai berai.
b. Bertakwa kepada-Nya. (QS An-Nisa:13)
c. Berbuat baik kepada orang tua khususnya kepada ibu. (QS.
Lukman:14)
d. Beberapa perincian ajaran agama seperti: pembagian harta
warisan (QS An-Nisa:11), shalat dan zakat.
e. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat al-An’am ayat 151-
153 yaitu: 1. Jangan memepersekutukan-Nya, 2. Berbuat baik
kepada ibu bapak, 3. Jangan membunuh anak, 4. Jangan
mendekati zina, 5. Jangan membunuh kecuali dengan cara yang
sah dan dibenarkan, 6. Jangan menyalahkan harta anak yatim,
7-8. Menyempurnakan timbangan dan takaran, 9. Percakapan
atau sikap hendaklah secara benar dan adil, 10. Memenuhi
perjanjian yang dikuatkan atas nama Allah.
Dalam surah ini pada urutan yang terakhir terdapat kata-kata
watawa shau bishabr dan saling menasihati dalam kesabaran. Menurut
Imam Al-Ghazali lebih dari 70 kali Allah menguraikan masalah sabar
dalam Al-Qur’an.6
6 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 247-248
5
Nasihat yang baik, lanjut Quthub, adalah nasihat yang diberikan
dengan penuh kasih sayang, seperti nasihat luqman kepada anaknya (Q.S.
Luqman:13). Nasihat luqman adalah nasihat yang bebas dari celaan,
karena pelakunya adalah orang yang mendapat hikmah. Nasihat luqman
juga tulus dan terlepas dari unsur subjektivitas, karena ia merupakan
nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat yang baik kelihatannya ada
kaitannya dengan sifat hikmah. Bila nasihat luqman dijadikan sebagai
contoh, maka nasihat yang baik itu kelihatannya hanya dapat dilakukan
oleh orang yang arif dan bijaksana (orang yang mendapat hikmah).7
Prinsip-prinsip metode ini diarahkan terhadap mad’u yang
kapasitas intelektual dan pemikiran serta pengalaman spiritualnya
tergolong kelompok awam. Dalam hal ini peranan juru dakwah, adalah
sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, menyayangi dan
memberikan segala hal yang bermanfaat, serta membahagiakan mad’u-
nya. Cara berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada
manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia. Mereka adalah orang-
orang yang tidak mencapai taraf kemampuan manusia jenis pertama.
Secara potensial, mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi
mereka selalu ragu-ragu antara mengikuti kebatilan yang selama ini
tumbuh di sekelilingnya atau mengikuti kebenaran yang disampaikan
kepada mereka.8 Menurut Muhammad Husain Yusuf
9:
7A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008).h. 250 8Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2002), h. 166 9 Husain Yusuf, op.cit, hlm. 49-50
6
“mereka membutuhkan pelajaran yang baik (al-mau’izhah al-
hasanah), ucapan yang mengena (qaul baligh), serta penjelasan yang
berguna , berupa sugesti (targhib) untuk mengikuti kebenaran, penjelasan
tentang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman (tarhib) mengikuti
kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam
kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada
mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang , serta dapat
menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-
orang mukmin di bawah panji Nabi dan rasul yang paling mulia.”
Dengan demikian, dakwah dengan pendekatan mau’izah hasanah
ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Tutur kata lembut sehingga akan terkesan di hati.
2. Menghindari sikap sinis dan kasar.
3. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap
menghakimi orang yang diajak bicara (mukhatab).10
Komunikasi yang efektif dalam dakwah, menurut Ahmad Mubarok
apabila dilihat dari sudut psikologi dakwah, maka dakwah yang efektif itu
memiliki lima ciri yaitu:
1. jika dakwah memberikan pengertian kepada masyarakat
(mad’u) tentang apa yang didakwahkan.
2. Jika masyarakat (mad’u) merasa terhibur oleh dakwah
yang diterima.
3. Jika dakwah berhasil meningkatkan hubungan baik
antara da’i dan masyarakat mad’u.
4. Jika dakwah dapat mengubah masyarakat mad’u.
5. Jika dakwah berhasil memancing respons masyarakat
berupa tindakan.
10
Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2002), h.167
7
Komunikasi yang efektif hanya jika dan jika hanya (only if) ia
menyerap sinar dan ke-Maha Muliaan dan ke-Mahatauan Allah Swt.
Dalam dirinya. Dalam teori komunikasi modern sifat mulia itu disebut
trusttworthiness dan sifat tahu itu disebut expertness. Terkait dengan hal
tersebut, berbagai penelitian membuktikan bahwa orang cenderung
mengikuti pendapat atau keyakinan orang yang dianggapnya jujur
(percaya dan meiliki keahlian). Orang yang berakhlak rendah, yang tidak
memiliki integritas pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang
berpengaruh. Begitu pula orang yang jahil yang tidak memiliki gairah
terhadap ilmu, yang pengetahuannya lebih di bawah rata-rata orang yang
banyak, sukar untuk mengubah atau mengarahkan perilaku orang lain.11
“mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. An-Nisa:63)
Bertolak dari pandangan bahwa khalayak itu aktif dan memiliki
potensi mengingkari fitrah dan kehanifannya, maka khalayak itu harus
diajak agar kembali kepada fitrahnya, yaitu al-khayr, amar ma’ruf, dan
nahy munkar, dengan beriman, berilmu dan beramal saleh. Telah
dijelaskan bahwa pesan dakwah harus menarik perhatian dan memenuhi
kebutuhan dan kepentingan khalayak sebagai manusia atau sebagai
makhluk monodualis (individu dan sosial), maka pesan harus
direncanakan.- dalam perencanaan pesan dan metode dakwah, para pakar
11
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173
8
selalu mengambil rujukan utama kepada firman Tuhan (QS, An-Nahl:125
yang artinya:
“serulah(manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dijalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”.
Dalam ayat tersebut, dikandung makna perlunya memerhatikan
kondisi dan situasi mad’u atau khalayak, sehingga mereka merasa tidak
dipaksa. Demikian juga pesan disampaikan dengan santun dan berdialog
dengan cara yang baik. Suasana dialogis harus bersifat manusiawi. Pada
prinsifnya dakwah itu harus memanusiakan manusia, sesuai dengan
fitrahnya yang suci. Hal ini wajib menjadi pegangan dalam merumuskan
pesan dan menetapkan metode dakwah.12
Lebih daripada itu, sesungguhnya kelemah-lembutan, pelan-pelan,
dan sikap penuh kasih dan sayang dalam hargai manusia konteks dakwah
dapat membuat seorang merasa dihargai kemanusiaanya dan
membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat
tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah
dapat membangkitkan semangatnya untuk menjadi mukmin baik.13
Seperti yang telah disinggung di depan dakwah dengan mau’izah
hasanah adalah dakwah dengan penuh kelambutan tutur kata yang sopan,
tidak memaksa dan menyentuh hati mad’u. Dengan itu fungsi dakwah
akan cepat tersampaikan kepada mad’u.
12
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha
Ilmu,2011), h. 246-247 13
Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera, 1997), h. 49
9
Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan
bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad’u,
persuasif atau tidak. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi
mad’u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad’u mengikuti ajakan
da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.
Konsep itu telah ada dalam mau’izhah hasanah dengan itu fungsinya akan
cepat meyakinkan mad’u.
Keberhasilan suatu dakwah dimungkin oleh berbagai hal:
1. Kemungkinan pertama karena pesan dakwah yang disampaikan
oleh da’i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang
merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak,
sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias.
2. Kemungkinan kedua karena faktor pesona da’i, yakni da’i
tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan
masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski kualitas
dakwahnya boleh jadi sederhana saja.
3. Kemungkinan ketiga karena kondisi psikologis masyarakat
yang sedang haus siraman rohani, dan mereka terlanjur
memeliki persepsi positif kepada setiap da’i, sehingga pesan
dakwah yang sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh
masyarakat dengan penafsiran yang jelas.
4. Kemungkinan keempat, adalah karena kemasan yang menarik.
Masyarakat yang semula acuh tak acuh terhadap agama dan
juga terhadap da’i setelah melihat paket dakwah yang diberi
10
kemasan lain (misalnya kesenian, stimulasi, atau dalam
program-progam pengembangan masyarakat) maka paket
dakwah itu berhasil menjadi stimulasi yang mengglitik persepsi
masyarakat, dan akhirnya mereka merespon secara positif.14
Mengingat pentingnya penelitian ini, maka penulis merasa perlu meneliti
bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Karena dakwah diera
modern ini mutlak dibutuhkan, sebagaimana kata Quthub, yang dikutip oleh
A.Ilyas Ismail dalam bukunya Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,
mengatakan, Semua manusia tegas Quthub membutuhkan dakwah disadari
maupun tidak. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia moderen tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang medasar baik sebagai
individu, keluarga, maupun masyarakat. Peradaban modern menurut Quthub,
terbukti tidak sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan fundamental di atas.
Bahkan pohon peradaban moderen kini mulai gonjang-ganjing.
Keberadaannya sama dengan keadaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad
saw yang kemudian berhasil membangun dan menyatukan peradaban umat
manusia. Jika demikian, maka betapa besar kebutuhan manusia kepada risalah
ini (risalah islam) untuk sekali lagi membebaskan dan menyelamatkan
manusia dari kehancuran. Jika demikian, maka dakwah menurut sayyid
Quthub bukan hanya menjadi kebutuhan umat islam, tetapi merupakan
kebutuhan kemanusiaan.15
14
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999), h. 161-162 15
Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, ( Jakarta: PENAMADANI, 2008), h. 134-135
11
Atas dasar itu dakwah yang menyentuh, mendidik tidak memaksa adalah
merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dewasa ini dengan konsep
metode mau’izhah hasanah.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Masalah mau’izhah hasanah atau nasihat yang baik merupakan masalah
yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk
menunjang eksistensi dakwah islam, dan di dalam al-Qur’an banyak sekali
yang menjelaskan mengenai mau’izhah hasanah dalam berbagai bentuk dan
derivasi. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan tidak berujung,
maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yakni dengan
mengambil sebagian surat yang ada dalam al-Qur’an. dari kata-kata mau’izhah
terdapat dalam:
1. Surat al-Baqarah: 66,
2. An-Nahl: 125,
3. An-Nur: 32
Sedangkan dari kata wa’aza terdapat dalam:
1. Surat, al-Baqarah: 232,
2. An-Nisa: 63, 66,
kemudian dari ya’izhuhu terdapat dalam:
1. Surat luqman: 13,
2. An-Nur: 17 dan
3. Al-A’raf: 164
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah melalui surat dan
ayat ini akan diproleh:
12
1. Siapakah da’i mau’izhah hasanah?
2. Siapakah mad’unya?
3. Bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an?
4. Bagaimanakah dampak keuntungan menggunakan mau’izhah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara umum
1. Untuk mengetahui konsep dakwah yang baik dan benar serta
menyentuh hati menurut al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana menyesuaikan antara da’i dan mad’u
menurut konsep dakwah mau’izah hasanah.supaya pesan dakwah bisa
menyentuh dan tersampaikan ke masyarakat.
b. Secara khusus
1. Mengetahui korelasi antara konsep mau’izah hasanah dalam al-
Qur’an dengan dakwah yang dibutuhkan.
2. Memberikan wawasan kepada publik tentang pentingnya konsep
mau’izah hasanah dalam berdakwah.
3. Untuk meyakinkan publik bahwa konsep dakwah yang menyentuh
hati, tidak memaksa dan mengumbar aib-aib sangat menjadi
prioritas utama dalam berdakwah.
Manfaat Penelitian
a. Segi teoritis
1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan dan
wawasan bagi dunia dakwah, khususnya pagi para aktivis
13
dakwah, bagaimana konsep dakwah yang diterapkan dan
bagaimana orientasi dakwah yang sebenarnya? berorientasi
kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market
oriented) dengan pendekatan “bil mauizah hasanah”
2. Dapat mengetahui Konsep dan metodologi dakwah mau’izhah
hasanah yaitu dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa,
dan nasihat yang baik penuh kasih sayang, serta jauh dari caci
maki menurut konsep al-Qur’an
b. Segi praktis
1. Penelitian ini berguna bagi penelitian selanjutnya, terutama
menjadi rujukan dan pegangan bagi siapapun yang ingin
mengkaji tentang dunia dakwah.
2. Para da’i dapat menerapkan konsep dakwah yang
sesungguhnya, yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan
menjadikan mad’u sebagai teman yang harus dinasihati.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan telaah dari penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa
buku dan tulisan, serta skripsi yang telah ditulis para ahli yang kompeten di
bidang komunikasi dan masalah keagamaan, seperti berikut ini:
1. Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudu’i atas pelbagai Persoalan
umat. Yang membahas tentang segala permasalahan umat
dengan menyajikannya dalam bentuk-bentuk topik, tema biar
mudah di baca oleh masyarakat sesuai seleranya serta
14
mengambil kadar yang dinginkan dari meja yang telah ditata
dalam buku itu. Penulis Quraish Shihab.
2. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Harakah yang membahas tentang Sayyid Quthub
sebagai tokoh Dakwah harakah yang mampu merubah dunia
dakwah islam di kancah dunia international. Penulis DR
A.Ilyas Ismail,MA.
3. Dakwah Kolaboratif Tarmidzi Taher, yang membahas tentang
dakwah-dakwah yang dikembang tarmidzi taher melalui
metodenya yang multidimensi, sangat menghargai pluralism,
dengan pendekatan dialog antar agama, toleran, bersahabat,
harmonis dan berkepribadian. Sebagaimana yang ditulis oleh
Nurul Badruttamam.
Dengan begitu, penulis hendak merangkum gagasan-gagasan yang terserak
tentang dakwah dalam sebuah skripsi secara utuh dan konfeherensif dengan
judul konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an (Analisa Tafsir dengan
Metode Tematik), saya rasa skripsi yang membahas tentang dakwah sudah
banyak dalam berbagai bentuk, baik metodologi, maupun macam-macam
dakwah, namun sedikit sekali yang membahas tentang tafsir dakwah, konsep
dakwah dalam metode tematik. Yakni dakwah dengan menghadirkan tema-
tema yang aktual dalam al-Qur’an seputar dakwah dan yang berkaitan
dengannya, bagaimana da’i, mad’u dan konsep yang menyentuh hati (
mau’izhah hasanah) dalam al-Qur’an.
15
“Di skripsi penulis itulah yang akan dibahas khususnya tentang konsep
mauidzah hasanah bahwa konsep mauizah hasanah adalah konsep berdakwah
yang menyentuh hati, jauh dari sikap egois, agitasi emosional, dan apologi
menurut al-Quran serta para pakar tafsir.
E. Metode Penelitian
Dalam mengupaya menghimpun data, lazimnya karya akademik, penulis
menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu
sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, dokumen, majalah, dan
surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang penulis
gunakan, adalah metode deskritptif16
dan tafsir mawdhu’i. Metode deskriptif
dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur
yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Sedangkan
metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash al-Qur’an terkait
sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau’izhah
hasanah terbentuk. Adapun langkah atau cara kerja tafsir mawdu’i adalah
sebagai berikut:17
1. Membahas atau menetapkan masalah dalam al-Qur’an yang akan dikaji
secara mawdu’i. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis, maka penulis mencari garis besarnya saja yang mengenai konsep
mau’izhah hasanah.
2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
Cet-3, h. 35 17
Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), cet-2, h. 48
16
3. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dimasing-masing
suratnya.
4. Menyusun tema bahasannya dalam kerangka yang pas dan sistematis.
5. Melengkapi pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna dan jelas.
6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara.
Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam memplajari dan
menghasilkan konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1. Menetapkan masalah tentang konsep mau’izhah hasanah
2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah
mau’izhah hasanah atau kata yang serupa dengannya.
3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami
asbabunnuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk
memahami makna yang tersembunyi dibaliknya.
4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna.
5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits
Nabi yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat
ditemukan pandangan al-Qur’an terhadap konsep mau’izhah hasanah.
Tafsir mawdu’i menurut pengertian istilah para ulama adalah:
“menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang
17
sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya
dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah
menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali.
Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir
dapat menyajikan tema secara utuh dan akurat. Bersamaan dengan itu,
dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang
mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat
diselami.”18
Dalam buku Baqir Hakim, Allamah Baqir Shadr mengemukakan bahwa
ada tiga arti dari kata Maudhu’iy:
1. Objektivitas, adalah sikap amanah dan konsistensi serta sikap berpegang
teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas
peristiwa dalam membahas setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa
terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian peribadinya, serta
tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang
diperoleh dari pembahasannya.
2. Memiliki makna memulai pembahasan dari tema yang merupakan peristiwa
nyata yang dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran, untuk mengetahui
pendirian (Mawqif) dari peristiwa nyata tersebut. Karena itulah, seorang
mufassir yang menggunakan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) harus
memusatkan perhatiannya pada tema-tema yang berkaitan dengan
kehidupan, akidah, sosial dan fenomena-fenomena alam, di samping ia juga
harus menguasai permasalahan-permaslahan seputar tema-tema tersebut
18
Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), cet-2,h. 43-44
18
yang di dapatkan melalui pemikiran manusia, mengetahui solusi
permasalahan tersebut yang disambungkan oleh pemikiran manusia, serta
mengetahui apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai pertanyaan dan
poin-poin yang belum dijabarkan. Setelah itu barulah seorang mufassir
memulai Tanya jawabnya dengan Al-Quran, saat mufassir bertanya dan Al-
Quran menjawab. Dengan demikian diharapkan mufassir dapat mengetahui
sikap Al-Quran terhadap tema yang ditanyakan.
3. Terkadang istilah Maudhu’iy dimaksudkan untuk menyebutkan apa-apa
yang dinisbatkan kepada suatu tema. Saat seorang mufassir memilih tema
tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta berusaha menyimpulkan
pandangan Al-Quran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.19
Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) merupakan salah satu cara menafsirkan
Al-Quran dengan menggunakan metode mengumpulkan atau menyusun ayat-
ayat Al-Quran menjadi sebuah tema atau judul. Pencetus metode tafsir ini
adalah Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960,
beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau
membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,
kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut.20
Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan
skunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber
utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Qur’an al-Karim dan
19
M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 508-509 20
Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Quran, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hal. 52
19
hadits jika dibutuhkan. Sedangkan data skunder adalah data pendukung berupa
buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang
berkaitan dengan pembahasan ini.
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “pedoman
penulisan skripsi Fakultas dakwah dan Ilmu Komuniksai ” yang disusun oleh
tim fak dakwah dan komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.21
F. Sistematika Penulisan
Untuk memproleh gambaran yang utuh dan dalam rangka mempermudah
pemahaman, skripsi ini penulis bagi kedalam bab-bab sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan nencakup latar belakang masalah, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, metodologi penelitian,
serta tinjauan pustaka dan sistematika penulisan, yang dijelaskan dalam
point perpoint.
BAB II GAMBARAN UMUM / TINJAUAN TEORITIS
Membahas tentang gambaran umum tentang mau’izhah hasanah
meliputi: Pengertian Maui’zhah hasanah baik secara bahasa maupun
istilah, pengertian nasihat dan kriteria seorang penasihat, menjelaskan
makna mau’izhah hasanah dalam bentuk Tabsyir dan Tandzir, dan
pendekatan dakwah mau’izhah hasanah.
BAB III SEKITAR DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT
MAU’IZHAH HASANAH
21
Lihat panduan penulisan skripsi Fak Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang disusun oleh
Dr. Arief Subhan, MA, Dra. Lili.L. Prihatini, Msi, dan Drs. Jumroni, Msi. Tahun 2011
20
Membahas masalah konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an
meliputi:
a. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah
1. Ayat dalam Bentuk Al-Mau’izhah
2. Ayat dalam Bentuk Kata Wa’azha dan Yu’izhu
b. Klasifikasi Ayat
1. Ayat-Ayat Makiyah
2. Ayat-Ayat Madaniyah
c. Asbab An-Nuzul
BAB IV KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
A. Makna dan ruang lingkup mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an
B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah
C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah
D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah Hasanah
BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian
dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dan juga
memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab
pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga para pembaca
dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini
memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.
DAFTAR PUSTAKA
21
Berisi tentang buku-buku, artikel, media online yang menjadi
sumber rujukan dalam menyempurnakan skripsi ini.
22
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Mau’izhah Hasanah
Terminologi mau‟izah hasanah dalam perspektif dakwah sangat populer,
bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (baca dakwah atau tabligh)
seperti Maulid Nabi dan isra‟ Mi‟raj, istilah mau‟izah hasanah mendapat porsi
khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti
acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan sebuah acara.
Namun demikian agar tidak menjadi kesalah pahaman, maka akan dijelaskan
pengertian mau‟izah hasanah.
Secara bahasa, mau‟izah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟izah dan
hasanah. Kata mau‟izah berasal dari kata wa‟adza ya‟idzu-wa‟dzan-idzatan
yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara
hasanah merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya
kejelekan.1
Sebagian ahli tafsir seperti yang diungkapkan oleh Fadhlullah Muhammad
Husaen mengatakan, bahwa al-wa‟zat al-hasanat ialah berpaling dari yang
jelek atau perbuatan buruk – melalui anjuran (targhib) dan larangan (tarhib).1
Menurut at-Tabataba‟i yang dimaksud dengan metode al-Mau‟idzat adalah
suatu penjelasan atau keterangan yang dapat melunakkan jiwa dan
menggetarkan hati.2
1 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 15
2 Fadhlullah Muhammad Husayn, uslub ad-Da‟wat fi al-Qur‟an, alih bahasa oleh tarmana
Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1997), h. 48 3Al-„Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain at-Tabataba‟i, al-mazan fi tafsir al-Qur‟an,
( Beirut: Muassasah al-A‟lami li al-Matbu‟at, 1972), h. 371
23
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain;
1. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh
hasanuddin adalah sebagai berikut:
“al-Mau‟izah hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak
tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan
menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Qur‟an.”3
2. Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan
salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan
Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.4
Menurut beberapa komentar ahli bahasa dan pakar tafsir,5 beberapa
deskripsi pengertian Al-Mau‟izhah hasanah, adalah sebagai berikut.
1. Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling dari hal perbuatan melalui
tarhib dan targhib (dorongan dan motivasi); penjelasan, keterangan,
gaya bahasa. Peringatan, petutur, teladan, pengarahan, dan pencegahan
dengan cara halus.
2. Bi al-mau‟izhah al-hasanah adalah melalui pelajaran, keterangan,
petutur, peringatan, pengarahan dengan gaya bahasa yang
mengesankan atau menyentuh dan terpatri dalam nurani.
3. Dengan bahasa dan makna simbol, alamat, tanda, janji, penuntun,
petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan melalui al-qaul al-rafiq
(ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);
4Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37
5Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar al-
Dakwah, 1989), h.260 6Dalam kitab-kitab tafsir, antara lain: tafsir Al-Maraghi, At-Tafsir Al-Munir karya
muhammad nawawi, tafsir Al-Munir karya wahbah Al-juhaili, dan jalalain. Lihat pula Muhammad
Husain Fadhlullah dalam Uslub Ad-Da‟wah fi Al-Qur‟an (metode dakwah) dalam Al-Qur‟an.
24
4. Dengan kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki
peningkatan amal;
5. Melalui suatu nasihat, bimbingan dan arahan untuk kemaslahatan.
Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab dan
komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan di hati sanubari mad‟u;
6. Suatu ungkapan dengan penuh kasih sayang yang dapat terpatri dalam
kalbu, penuh kelembutan sehingga terkesan dalam jiwa, tidak melalui
cara pelarangan dan pencegahan, mengejek, melecehkan, menyudutkan
atau menyalahkan, dapat meluluhkan hati yang keras menjinakkan
kalbu yang liar;
7. Dengan tutur kata yang lembut, pelan-pelan bertahap, dan sikap kasih
sayang- dalam konteks dakwah-, dapat membuat seseorang merasa
dihargai rasa kemanusiaanya sehingga akan mendapat respon positif
dari mad‟u.
Mau‟izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang
mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita
gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan
pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.6
Mau‟izhah hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah
memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu
petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat
diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus pikiran,
menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan
7 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16
25
audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas
kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subjek
dakwah. Jadi, dakwah bukan propaganda.7
Manurut Ali Musthafa Yakub, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul
Munir Amin menyatakan, bahwa “mau‟izah hasanah adalah ucapan yang
berisi nasihat-nasihat baik dan bermanfaat bagi orang yang
mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga
pihak audiensi dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek
dakwah.” Seorang da‟i sebagai subjek dakwah harus mampu
menyesuaikan pesan dakwahnya sesuai dengan tingkat berpikir dan
lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai
ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ke dalam
kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.8
Dari beberapa definisi diatas, mau‟izah hasanah tersebut bisa di
klasifikasikan dalam beberapa bentuk:
a. Nasihat atau petuah9
b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan)
c. Kisah-kisah
d. Kabar gembira dan peringatan ( al-Basyir dan al-Nadzir)
e. Wasiat (pesan-pesan positif)
8 Siti Muriah, Metode Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), h. 43-44
9 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 100
10Nasihat biasanya dilakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih
rendah, baik tingkatan umur, maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya,
perhatikan QS. Lukman(13):13 yang artinya” dan (ingatlah) ketika lukman berkata kepada
anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah atau nasihat kepadanya; hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezhaliman yang amat
besa”
26
Menurut K.H. Mahfudz kata tersebut mengandung arti:
1. Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya.
2. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya
sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali
ke jalan Tuhannya, yaitu jalan Allah Swt.
Sedangkan menurut pendapat Imam Abdullah bin Ahmad an-
Nashafi , kata tersebut mengandung arti:
Al-Mau‟izhatul hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi
bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan
mengehendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur‟an.
Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah, akan
mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam qalbu dengan
penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh
kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan
orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali
dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar,
ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan
ancaman.10
Menurut pakar bahasa, nasehat (al-wa‟zh atau mau‟izhah)
mengandung arti teguran atau peringatan. Ashfahani, dengan mengutip
pendapat Imam Khalil, menyatakan bahwa nasihat adalah memberikan
peringatan (al-tadzkir) dengan kebaikan yang dapat menyentuh hati. Jadi
11
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16-17
27
makna terpenting dari nasihat adalah mengingatkan (tadzkir) dan membuat
peringatan (dzikra) kepada umat manusia.
Sesuai dengan makna nasihat diatas, maka nasihat yang baik
menurut Quthub, adalah nasehat yang dapat masuk ke dalam jiwa manusia
serta dapat menyejukkan hati, bukan nasihat yang dapat memerahkan
telinga karena penuh kecaman dan caci maki yang tidak pada tempatnya.
Nasihat yang baik lanjut Quthub, bukan pula dengan membuka dan
membeberkan aib dan kesalahan-kesalahan orang lain yang terjadi karena
tidak mengerti atau karena motif yang tidak baik. Nasihat yang baik adalah
nasihat yang lemah lembut yang dapat melunakkan hati yang keras dan
menyejukkan hati yang gersang. Nasihat seperti ini, menurut Quthub, jauh
lebih baik dibanding caci-maki, celaan dan hujatan.11
Cara mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quthub dalam
Tafsirnya Fizhilalilqur‟an, ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 125,
mengatakan:
“Cara Mau‟izhah hasanah „nasihat yang baik‟ harus bisa
menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani
dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud
yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-
kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin
bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan
lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang
12
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008), h. 250
28
membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan,
gertakan, dan celaan.”12
Mau‟izhah hasanah, baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan
yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari
yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak, ia
adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena
mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang
baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan,
lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk
mengingatkan kebaikannya itu.13
Cara mau‟izhah hasanah memiliki keitimewaan dan kelebihan
yang banyak diantaranya:
1. Ungkapan dan lafalnya adalah lembut serta sesuai dengan keadaan.
Karena itu, mau‟izhah hasanah harus dengan ungkapan yang lembut
dan sesuai kondisi (keadaan).
2. Banyak dan macam-macam bentuknya sehingga para da‟i dapat
memilih bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapinya.
3. Besar pengaruhnya terhadap jiwa orang-orang yang diseru dan hal ini
tampak dalam perkara sebagai berikut:
a. Biasanya, orang-orang menerima nasihat dan cepat
menyambutnya.
13
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, dibawah naungan al-Qur‟a, (Jakarta: Gema
Insani, 2003), cet ke-1, jilid 7,h. 224 14
Quraih Shibab, TafsirAl-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet ke-VII, vol 7, h. 392-393
29
b. Menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dihati orang-orang yang
diseru.
c. Membatasi (menahan) kemungkaran dan memutus penyebarannya,
dimana orang-orang merasa malu apabila tidak menyambut dari
orang yang menasihati dengan nasihat yang baik, maka
minimalnya mereka tidak menampakkan keingkarannya.14
Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi
seorang pendakwah secara garis besar membagi 3 golongan yang masing-
masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula:
1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir
secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus
dipanggil atau diseru diberi nasihat dengan hikmah, yaitu dengan
alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh
kekuatan doa mereka.
2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir
secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang
tinggi-tinggi, mereka ini diseru/ diberi nasihat dengan cara “mau‟izhah
hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaran-
ajaran yang mudah dipahami.
3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan
tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai
juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka
membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas tertentu, tidak
14
Syekh Muhammad Abu Al-Fath Al-bayanuniy, Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik,
Berdakwah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akademika Pressindo, 2010), h.
331-332
30
sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru/ dinasihati dengan cara
“mujadalah billati hia ahsan” yakni dengan cara bertukar pikiran, guna
mendorong supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara
yang lebih baik. Kesemuanya disimpulkan dalam kalimat.15
Perkataan (Qaulan) sebagai simbol komunikasi penyejuk hati dan
penumbuhan kesadaran jiwa dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 11 variasi
dalam berbagai ayat antara lain:
1. Qaulan ma‟rufan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 235, An-Nisa‟ ayat
5 dan 8 serta surat Al-ahzab ayat 32
2. Qaulan sadidan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 9 dan Al-Ahzab ayat
70
3. Qaulan Balighan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 63
4. Qaulan karimah, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 23
5. Qaulan maysuran, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 28
6. Qaulan Azhiman, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 40
7. Qaulan Layyinan, terdapat dalam surat Thaha ayat 44
8. Qaulan min abbin rahim, terdapat dalam surat Yasin ayat 58
9. Qaulan Tsaqilan, terdapat dalam surat al-Munzammil ayat 5
10. Qaulan Ahsan (ahsan Qaula), terdapat dalam surat Lukman ayat 33
11. Qaulan Salaman, terdapat dalam surat Alfurqan ayat 63
15
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006),cet ke-2, edisi revisi, h. 252-253
31
Semua bentuk perkataan tersebut terpakai dan digunakan dalam kegiatan
dakwah termasuk dakwah dengan menerapkan prinsip metode mauziah al-
hasanah.16
An-Nisaburi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang
memuaskan (ad-dalâ‟il al-iqna‟iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan
pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. Al-
Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai seruan-
seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni„ah) dan
ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-„ibâr al-nâafi„ah). An-Nawawi al-
Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-
zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan
mau‟izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan
ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan
kemaksiatan).
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau‟izhah
hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal.
Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-
Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ‟il (bukti-bukti),
muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan
fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju
pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek
kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata
16
Itdafriyenny, “Metode Dakwah“Mau‟izhah Hasanah dan Turunannya dalam Al-Qur‟an
dan Hadits” diakses tanggal 28 nopember 2013 dari
http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-dan-
turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/
32
dalâ‟il iqnâ„iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-
Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni„ah (ungkapan-ungkapan
yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ„) jelas tidak akan
terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas
berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.
Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan
tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.17
Dari makna di atas mau‟izhah hasanah mengandung beberapa hal:
1. Nasihat
Kata nasihat berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang
berarti khalasa yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti
“khata” yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata
ه وب له ث صح ارج ,apabila dia menjahitnya (orang itu menjahit pakaiannya) ن
maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu
menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya dengan jalan
memperbaiki pakaiannya yang robek.
Sebagian ahli ilmu berkata tutur Munir dalam bukunya metode dakwah
mengatakan:
“Nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasihati siapapun dia.
Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau‟izhah al-Hasanah yang
bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan
akibat. Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut
dengan makna al-mau‟izhah merupakan tindakan mengingatkan seseorang
17
Ivanmarzamaya, “Tafsir Surat an-Nahl ayat 125” diakses tanggal 29 Nov. 13 dari
http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html
33
dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakkan hatinya. Dan
apabila ditarik suatu pemahaman bahwa al-Mau‟izhah hasanah
merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak ke jalan
Allah dengan cara memberikan nasihat.”
Secara terminologi nasihat adalah memerintah atau melarang atau
menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian
nasihat dalam kamus bahasa indonesia balai pustaka adalah memberikan
petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang
benar dengan cara melunakkan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa
atau mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.18
“Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:
"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka
tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan
Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan
kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan
lebih menguatkan (iman mereka),” (QS. an-Nisa:66)
18
Munir, metode Dakwah, h. 242-243
34
2. Kriteria Seorang Penasihat
Da‟i yang menghendaki mau‟izhah hasanah yang tepat sasaran, kata al-
Qahtany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan
dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan
konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran
yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di
masyarakat. Ketiga, memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh
kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga finansial.
Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek
kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur‟an, hadis Nabi, perkataan
sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau, nasihat-nasihat ini dapat
didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya
suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka untuk
bertobat. Adapun jika mau‟izhah hasanah tersebut dimaksudkan untuk
memotivasi amal shaleh, maka langkah-langkahnya berikut ini. Pertama,
merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan
tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang
berisi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema
seperti diatas.19
B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir
Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai
arti memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara
19
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 205-206
35
berarti penampakan dengan baik dan indah. Maka basyar dalam bahasa
Arab sering diartikan kulit, karena kulitlah yang membuat keliatan indah ,
demikian pula tabsyir diterjemahkan dengan berita gembira karena disebut
basyar, karena bagian yang terbesar yang bisa dilihat adalah kulitnya serta
yang bisa membuat kelihatan indah.
Adapun Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah
yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang yang mengikuti
dakwah.20
Hemat penulis dakwah tabsyir mutlak dibutuhkan, dakwah dengan
penuh kesantunan dan membawa pesan bahagia, gambaran syurga dan
buah kenikmatan janji Tuhannya, akan lebih menyentuh relung hati
sanubari mad‟u. Ia merasa dipihakkan dan dinomorkan dalam pesan
dakwah yang disampaikan da‟i, hingga ia mempunyai motivasi yang tinggi
dan tanpa lelah untuk selalu mencari beribadah dan beramal shaleh serta
meraih ridha Tuhannya Dzat pemberi kebahagiaan. Dengan itu sosialisasi
dakwah akan cepat sampai tanpa paksaan dan bujukan.
Di dalam Al-Qur‟an, kata tabsyir banyak disebutkan menurut
Muhammad Abdul Baqi‟ kata-kata tabsyir atau mubasyir disebutkan
sebanyak 18 kali. Dari sekian banyak kata tabsyir diartikan dengan “kabar
gembira atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya beragam,
antara lain kabar gembira dengan syariat islam, kabar gembira dengan
kedatangan rasul, kabar gembira tentang akan turunnya Al-Qur‟an dan
kabar gembira tentang syurga. Dalam kontek dakwah, sesungguhnya
20
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 256-257
36
bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata tabsyir, tetapi apa
saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang mendengarnya
sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan motivasi dan
beramal shaleh.21
Basyira atau kabar gembira adalah informasi mengenai pahala,
imbalan, berkah, manfaat, faidah, kebaikan atau yang menjalankan ajaran
islam (perintah Allah swt). Simbol utama pahala bagi pelaku kebaikan itu
adalah syurga sebuah tempat di alam akhirat yang digambarkan penuh
kenikmatan dan kesenangan. Informasi berupa reward tersebut berpungsi
sebagai dorongan rangsangan (stimulus), atau motivasi agar komunikan
(mad‟u) untuk melaksanakannya. 22
Contoh kabar baik itu sebagaimana Firman Allah swt.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,
mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan
mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka
dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah: 7-8)
21
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 257 22
Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn.,
2013), h. 15
37
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin
Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-
Baqarah: 97)
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan
kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-
penghuni neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)
Itulah sekian contoh kalimat tabsyir dalam al-Qur‟an, sebagai
pemberi semangat dan motivasi bagi mad‟u, untuk lebih meningkatkan
ibadah dan kedekatannya kepada Tuhan.
Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 119 di atas Rasulullah
sebagai juru dakwah sebagai pemberi kabar gembira. Sebagaimana kata
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, dari Nabi SAW.
Sebagaimana yang dikutip ibnu Katsir dalam tafsirnya, berkata:
“Telah diturunkan kepadaku ayat: sesungguhnya kami telah
mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan.” Beliau Saw bersabda: (yaitu) berita
gembira berupa surga dan peringatan dari api neraka.”23
Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas,
yaitu mengajak, mengarahkan orang untuk mengikuti jalan yang benar,
baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Karena target yang amat
panjang ini akan selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan yang bisa
23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh; penerjemah, M.
„Abdul Ghoffar; Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2009), h.239
38
menimbulkan sifat psimis dan keputus asaan, maka konsep tabsyir ini
diharapkan bisa membantu menghilangkan sifat-sifat di atas. Adapun
tujuan-tujuan tabsyir antara lain.
a. Menguatkan atau memperkokoh keimanan
b. Memberikan harapan
c. Menumbuhkan semangat untuk beramal
d. Menghilangkan sifat keragu-raguan
Tujuan-tujuan di atas diharapkan menjadi sebuah motivasi di
dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.24
Dan untuk mengaplikasikan metode tabsyir ini, setiap juru dakwah
bebas memiliki karakter mereka masing-masing, sehingga metode dalam
penyampaian dakwah pun akan berbeda-beda, yang perlu ditekankan
adalah bentuk tabsyir yang dilakukan tidak boleh menyimpang dari hal-hal
yang telah di tetapkan oleh syari‟at, atau terlalu berlebihan sehingga tujuan
penyampaian materi tidak tercapai, semisal membuat lawak yang terlalu
berlebihan, sehingga para penyimak hanya mengingat kelucuannya saja
dan mengabaikan isi ceramahnya.
Dakwah sejatinya memberi motivasi kepada mad‟u seperti dengan
metode tabsyir ini, supaya pesan dakwah lebih cepat diserap di jadikan
pegangan dalam kehidupannya. Adapun motivasi tersebut oleh Sa‟id bin
Ali al-Qahtani25
dibagi menjadi dua:
Pertama, pemberian motivasi dengan janji, kedua, pemberian
motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan.
24
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 259 25
Said bin Ali al-Qahtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), h. 362
39
Pemberian motivasi dengan janji
Bagian ini mempunyai gambaran yang beraneka ragam, antara
lain:
a. Memberikan motivasi dengan janji dunia
Misalnya, jika seseorang beriman dan istiqomah dalam ketaatan atau
ketakwaannya kepada Allah, ia akan mendapat keberuntungan dan berkah
di dunia ini sebelum ia mendapatkannya lagi nanti di akhirat, bahkan
keberuntungan di akhirat, jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang
diterima di dunia. Semua janji tentang keberuntungan di dunia ini dapat
kita ringkas sebagai berikut;
- Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala
yang dibenci Allah. Dalam firman-Nya Allah menjanjikan
kebaikan kepada orang-orang yang beramal shaleh yang
disertai dengan ikhlas.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-
Nahl: 97)
- Janji berupa pemberian kekuasaan di atas bumi (QS al-Nur: 55)
40
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Nur: 55)
b. Menyebutkan Motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan
Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar berlomba-
lomba berbuat bermacam-macam ketaatan. Seorang da‟i harus
memperhatikan hal ini, yaitu senantiasa mendorong agar orang-orang mau
mengerjakan shalat, zakat haji, sodaqah, jihad, silaturrahim dan lain
sebagainya. Demikian pula para da‟i harus menjelaskan bahwa ketaatan
kepada Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena manusia
diciptakan oleh Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena
manusia diciptakan oleh Allah untuk taat kepada-Nya. Di dalam al-Qur‟an
surah al-Dzariyat ayat 56 disebutkan: tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. al-
Dzariyat: 56)
41
kata beribadah oleh para tafsir antara lain mempunyai arti taat atau
loyalitas,26
dengan demikian taat kepada Allah adalah sebagai kebutuhan
manusia yang harus dilakukan setiap saat.
C. Mauizhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir
Kata Tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra,
menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang menunjukkan untuk
penakutan (Takhwif).27
Adapun Tandzir menurut istilah dakwah adalah penyampaian
dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya
kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.28
Menurut M. Munir
dalam bukunya metode dakwah mengatakan tandzir adalah ungkapan yang
mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau
kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan
preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan bentuk
ancaman berupa siksaan di hari kiamat.29
Hemat penulis tandzir atau peringatan berupa kalimat atau kata
ancaman sangat mendorong efektifitas dakwah, mengingat kondisi mad‟u
yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan dan agamanya perlu sesekali
seorang da‟i memberi kalimat penegasan akan dampak dari suatu
kerusakan, dosa, yang di perbuat. Mengingat manusia itu sering lalai dan
26
Muhammad Ali al-Shabuni, rawa‟iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam, (Beirut: da fikri,
tt.), h. 27 27
Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu‟zam al-maqayis fi al-Lughah, (Beirut:dar fikr, 1994),
h. 1021 28
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1997), h. 49 29
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 263
42
lupa dengan kemewahan, kegembiraan yang berlebihan, untuk itu sistem
atau metode tandzir menjadi hal yang sangat dibutuhkan.
Namun disamping itu seorang da‟i tetap berada dalam koridor dan
batas-batas yang telah ditetapkan agama. Tidak boleh memaksa, menakut-
nakuti dengan bahasa kecaman dan paksaan, hal itu dilarang dalam agama
islam.
Islam melarang keras pemaksaan agama itu,. Hal ini, menurut
Quthub, karena masalah agama (Aqidah) adalah masalah menerima atau
menolak setelah adanya penjelasan (al-bayan) dan pemahaman, dan sama
sekali bukan masalah pemaksaan. Itu sebabnya, islam datang dengan
mengetuk pikiran dan kognisi manusia serta semua potensi kesadaran yang
dimiliki. Ia berbicara kepada akal dan kesadaran manusia yang aktif,
sebagaimana ia juga berbicara pada fitrah yang merupakan hakikat primer
manusia, tanpa sedikitpun menggunakan unsur paksaan. Kepercayaan
agama itu tidak dapat masuk ke dalam jiwa manusia dengan cara
pemaksaan. Pemaksaan agama itu menurut Qutub, selain dilarang, juga
tidak ada artinya apa-apa.30
Namun perlu dipahami pula bahwa kebebasan
agama itu, menurut Quthub, tidak mengandung arti bahwa setiap orang
bebas mempertuhankan hawa nafsunya, atau merelakan dirinya
diperbudak oleh orang lain. Hal ini, karena prinsip yang harus ditegakkan
menurut ajaran islam ialah prinsip ketundukan dan kepatuhan manusia
kepada Allah semata, Tuhan yang maha kuasa. Setelah tegaknya prinsip
tersebut, maka setiap orang bebas menganut kepercayaan apapun. Dengan
30
A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 237
43
begitu, ketundukan dan kepatuhan manusia benar-benar hanya kepada
Allah Swt (wa yakun al-din kulluh li Allah, Q.S. al-Baqarah:192). 31
Di dalam al-Qur‟an, Istilah Tandzir biasanya dilawankan dengan
kata Tabsyir (QS. al- Baqara: 119, al-Maidah: 19).
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran;
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak
akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni
neraka.” (QS. al-Baqarah:119).
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami,
menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman)
Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami
baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi
peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. al-Maidah:19)
Menurut Musthafa Malaikah dalam hasil penelitiannya tentang
manhaj dakwah yusuf al-Qardhawi, bahwa sebagai seorang da‟i
hendaknya beramal dengan seimbang antara rasa harap dan takut dan
seimbang dalam menyampaikan kabar gembira dan ancaman, karena
dalam agama islam terdapat konsep “tawazun dan tawasuth” atau
keseimbangan dan pertengahan. Jangan sampai seorang da‟i melebihkan
dengan peringatan memberikan rasa takut kepada umatnya sehingga justru
31
A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 238
44
akan mengakibatkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah,
padahal Allah berfirman:
“...jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
(QS Yusuf:87).
Sebaliknya, juga para da‟i tidak seyiogianya terlalu, berlebihan
dalam memberikan kabar gembira, sehingga seseorang merasa aman dan
tenang dari murka Allah, padahal juga berfirman:
“...tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang
merugi.” (QS. al-A‟raf:99)
Sikap berlebih-lebihan dalam islam dianggap sebagai sifat yang
tidak terpuji, maka berkaitan dengan pemberian tabsyir dan tandzir pun
harus diterapkan secara proporsional, sehingga kedua konsep itu mampu
memberikan arah yang jelas bagi umat.32
Imam Ibnu al-Qayyim Rahimahullah ketika menjelaskan surat An-
Nahl:125, menjelaskan makna mau‟izhah hasanah, beliau berkata, “ia
adalah perintah dan larangan yang disertai dengan motivasi dan
ancaman.33
Hal ini serupa dengan apa yang dinyatakan oleh syaikh as-
Sa‟di Rahimahullah dalam tafsirnya. Jika kita meneliti ayat tersebut,
niscaya kita akan memahami urutan dalam berdakwah. Diantara yang
didakwahi ada orang yang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran, orang
32
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 264-265 33
At-Tafsir al-Qayyim, Ibnul Qayyim, hal. 244
45
ini –seperti telah dijelaskan sebelumnya- didakwahi dengan hikmah, yaitu
menjelaskan kebenaran dari Al-kitab dan as-Sunnah. Adapun orang yang
mengetahui kebenaran, akan tetapi tidak mengamalkannya, disebabkan
kelalaian, maka pantas baginya adalah dinasihati, dan diingatkan dengan
adanya pahala dan siksa, sehingga hatinya menjadi luluh untuk melakukan
kebaikan secara terus menerus.
Syaikh abdul Aziz bin Bazz Rahimahullah berkata, “jika orang
yang didakwahi agak berpaling, maka dia pantas dinasihati dengan ayat-
ayat Al-Qur‟an dan as-Sunnah, yang didalamnya mengandung motivasi.34
Nasihat itu dilakukan dengan mengungkapkan ayat, hadits, dan segala
macam permisalan yang ada dalam Al-Qur‟an, demikian pula dengan
mengungkapkan pahala, siksa, dan akibat yang bisa meluluhkan orang
yang didakwahi, dan bisa menjadikannya selalu mengingat Allah.35
Nadzira atau peringatan adalah kabar buruk berupa informasi
tentang ancaman, balasan bagi pelaku keburukan, kejahatan atau perilaku
yang bertentangan dengan ajaran islam- pelanggaran atas larangan Allah
Swt, informasi buruk “punishmant” tersebut berisi pesan agar komunikan
atau melanggar ajaran islam.36
Tabsyir dan tandzir merupakan salah satu dari beberapa
pendekatan dakwah yang dikenalkan al-Qur‟an. Karena hakikat mad‟u
adalah manusia sendiri, yang mempunyai sifat dan karakter manusiawi,
yaitu sosok makhluk yang mencintai kesenangan material, ingin
34
Fadhl ad-Dakwah, Abdul Aziz bin Bazz, hal. 23 35
Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah as-Suhaimi; Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini
seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf, (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 150-151 36
Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn.,
2013), h. 16
46
mempunyai masa depan yang bahagia, senang terhadap penghargaan,
ingin terhindar dari mala petaka dan bencana, uslub dakwah yang
diintrodusur al-Qur‟an, di temukan nada atau pendekatannya, memang
sesuai dengan sifat dan karakter manusiawi, yakni tabsyir dan tandzir.
Dalam beberapa kitab tafsir37
, ketika menjelaskan ayat yang
memuat kalimat tabsyir dan tandzir, hampir semua mufassir memberikan
penjelasan bahwa pendekatan melalui tabsyir dilakukan dengan ilustrasi
pahala, penghargaan, dan dengan janji mendapatkan kehidupan syurga
bagi seorang yang menerima positif atau beriman dan menjalankan amal
shaleh. Adapun pendekatan melalui tandzir dilakukan melalui ilustrasi
sanksi, akibat buruk, dan atau mendapat ancaman suatu kehidupan pahit,
gersang, dan sangat menyedihkan, yaitu suatu kehidupan an-nar.38
D. Pendekatan Dakwah Mau’izhah Hasanah
Pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah secara praktikal terdiri dari dua
bentuk, pengajaran (ta‟lim) dan pembinaan (ta‟dib). Dakwah mau‟izhah
hasanah dalam bentuk ta‟lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan
tauhid disertai pengamalan implikasinya dari hukum syari‟at yang lima,
wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai
dengan kondisi mad‟u dari bersikap gemampang (al-Tahawun) terhadap
salah satunya. Contoh dari bentuk dakwah dengan pendekatan mau‟izhah
37
Antara lain dapat dilihat dalam kitab At-Tafsir Al-Munir, jilid 11-12, karya wahbah al-
Juhayly, Dar Al-Fakr, Beirut 1991, h. 12 38
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, ( Bandung: Pustaka Setia,
2002), h. 79-80
47
hasanah melalui ta‟lim dalam al-Qur‟an misalnya dapat di telaah lewat
firman Tuhan QS. al-Baqarah/2:222-223.39
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(QS Al-Baqarah:222)
Sebagaimana kata At-Thabari dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat al-
Baqarah ayat 222 berkaitan dengan seorang yang bertanya masalah haidh,
dan kaitannya dengan dakwah ta‟lim beliau berkata:
“bahwa mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang haidh
sebagaimana yang kami riwayatkan, karena sebelum ada hukum dari Allah
mereka tidak menempatkan orang haidh dalam rumah, tidak memberi
makan dalam satu nampan, tidak menggaulinya, maka Allah
memberitahukan kepada mereka dengan ayat ini, bahwa yang wajib bagi
mereka ketika masih haidh adalah dilarang menggaulinya saja sedangkan
yang lainnya di perbolehkan, memberinya makan, minum, dan tidur
bersama dalam satu ranjang.40
39
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 204-205 40
Abu Ja‟far Muhammadbin Jarir Ath-Thabari, Ahsan Askan terjemah, besus hidayat ed.,
Tafsir At-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.645
48
Rasulullah dalam ayat itu sebagai juru dakwah menjelaskan, seputar
masalah tauhid dan hukum serta pengamalannya dalam syariat. Begitulah
sejatinya para da‟i juga dituntut mengembangkan dakwah mau‟izhah
hasanah dengan ta‟lim supaya mad‟u yang menjadi sasaran dakwah dalam
menentukan hukum dan syariat tidak bingung dan nglantur.
Syaikh Ali Mahfuzh mengatakan sebaik-baik dakwah adalah tarbiyah.
Sekaligus menjawab keragu-raguan tentang poso tarbiyah dan dakwah.
Dapat ditegaskan bahwa tarbiyah dan ta‟lim turunan dari metode dakwah
serta induk dari tarbiyah adalah dakwah.
Adapun pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah melalui pembinaan
yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekerti mulia)
seperti kesabaran, keberanian, menepati janji, welas asih, hingga
kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan
bermsyarakat, di samping menjauhkan mereka dari perangai-perangai
tercela yang dapat menghancurkan kehidupan seperti emosional, khianat
pengecut, cengeng dan bakhil.41
Tahap penerangan dan propaganda atau tahap perkenalan ide, jika tidak
diiringi dengan tahap pembentukan dan pembinaan (takwin) atau
pemilihan pendukung dan pembela seperti golongan Anshar dan
Hawariyun, dan mempersiapkan pasukan atau laskar serta mengatur taktik
barisan dari kalangan orang-orang yang diseru (mad‟u), kemungkinan
akan menjadikan segala usaha yang telah dikorbankan pada tahap
41
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 205
49
penerangan dan pengenalan ide dakwah akan menjadi sia-sia, bahkan akan
hilang tanpa bekas.
Kesadaran rohani yang telah muncul dalam tahap penerangan dan
pengenalan (ta‟rif) tidak boleh dibiarkan musnah dan padam, tetapi harus
dipelihara dan diarahkan ke dalam jiwa agar bergerak dan berusaha
membuat perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang sejati dalam
diri sendiri. Medan pertama untuk pembentukan dan pembinaan serta
perubahan ini dimulai dalam diri sendiri.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-
Ra‟du: 11)
Banyak dikalangan kaum muslimin yang diseru sekarang ini akan
dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat yang jauh dari jiwa
islam, menjadikan suatu masyarakat yang akan dikuasai oleh adat istiadat
dan tradisi yang telah hancur, yang telah meresap dan bersatu dalam diri
dan kehidupan mereka. Jadi bagi seorang da‟i yang menyeru manusia ke
jalan Allah, memanggil manusia untuk hidup secara islami, harus
memperhatikan dengan serius dan berusaha dengan sungguh-sungguh
dalam membersihkan diri mereka dari segala tradisi islam yang suci,
akhlak islam dan membentuk hidup manusia menurut karakter islam, serta
mengembalikan kehidupan mereka menurut cara-cara kehidupan yang
islami.
Firman Allah yang artinya:
50
“Sibhgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik dari shibghahnya dari
pada Allah? Dan hanya kepada-Nya kami menyembah.” (Al-
Baqarah:138).
Perubahan ini harus dimulai dari diri pribadi yang telah disirami dengan
aqidah tauhid, mengesakan dan merasakan manisnya iman serta dapat
diaktualisasikan dalam seluruh anggota tubuhnya dalam seluruh aspek
kehidupannya. Renungkanlah betapa indahnya ungkapan yang telah
dikatakan oleh Hasan Al-Hudhaibi dalam masalah ini, ia berkata:
“tegakkan Daulah Islamiyah di dalam hatimu, agar dia tegak di atas
bumimu”42
Sistem dakwah memiliki fungsi mengubah lingkungan secara lebih
terinci, yang memiliki fungsi meletakkan dasar eksistensi masyarakat
islam, menanamkan nilai-nilai keadilan, persamaan, persatuan,
perdamaian, kebaikan dan keindahan, sebagai inti penggerak
perkembangan masyarakat; membebaskan individu dan masyarakat dari
sistem kehidupan zhalim (tirani, totaliter) menuju sistem yang adil;
menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku dalam
masyarakat, dalam rangka mengemban tugas nahi mungkar, dan memberi
alternatif konsepsi atas kemacetan sistem, dalam rangka melaksanakan
amar ma‟ruf, meletakkan sistem sebagai inti penggerak jalannya sejarah;
memberikan dasar orientasi keislaman kegiatan ilmiah dan teknologi;
merealisasi sistem budaya yang berakar pada dimensi spritual yang
merupakan dasar akspresi akidah; meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk menegakkan hukum; mengintegrasikan kelompok-kelompok kecil
42
Syaikh Musthafa Masyhur, Fiqh Dakwah, (Jakarta: Al-I‟tisham Cahaya Umat, 2012),
h. 22-23
51
menjadi suatu kesatuan umat; merealisasi keadilan dalam bidang ekonomi,
dengan mempertemukan golongan aghniya dengan golongan ekonomi
lemah dan memberikan kerangka dasar keselarasan hubungan manusia
dengan alam lingkungannya.43
Pengajaran adalah kesempatan untuk pertanyaan yang bermacam-
macam yang mencakup seluruh isi dan berkaitan dengan tema. Juga
kesempatan bagi da‟i dan mad‟u. Bagi mad‟u pengajaran adalah sarana
yang baik agar mad‟u mengetahui keikhlasan da‟i, kebenaran dakwahnya,
takaran ilmunya, serta keahlian dan daya penguasaanya. Bagi da‟i
pengajaran dapat menjadi kesempatan baginya untuk menerangkan
fikrahnya, menyingkap pendapat orang yang ada dihadapannya, serta
mengukur seberapa kepuasannya. Demikian juga ia mampu dengan
perlahan menghilangkan syubhat, keraguan, dan kebimbangan yang ada
pada mad‟u.
Pengajaran adalah sarana efektif untuk ta‟aruf (perkenalan),
memperkuat komunikasi, memperdalam ukhuwwah antar berbagai
pemikiran yang berbeda, berlangsungnya hubungan saling memberi, juga
kesempatan untuk mutaba‟ah (mengikuti, memantau) kondisi mad‟u
karena jumlah yang terbatas. Hal tersebut memungkinkannya untuk
menanyakan tentang orang yang tidak ada, menanyakan keadaanya,
memberikan pesan tertentu, memberikan bantuan jika memungkinkan,
43
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h.68
52
memberikan kelonggaran jika diperlukan, serta dapat bersama-sama dalam
suka dan duka.44
44
Taufik al-Wa‟iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 406-407
53
BAB III
DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH
1. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah
Mau‟izhah hasanah merupakan salah satu prinsip metode dakwah yang
digariskan oleh Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 125. Sedangkan
pemakaian kata-kata mauizhah dalam berbagai versi ditemukan dalam
beberapa surat dan ayat, sekurang-kurangnya 25x dalam berbagai bentuk.
Penjelasan oleh para mufassir tentang mau‟izhah hasanah memiliki
keragaman dan turunannya yang banyak. Turunan yang dimaksud adalah
ketika konsepsi mau‟izhah atau prinsip mau‟izhah diaflikasikan menjadi
sebuah metode, maka akan didapatkan beragam teknik yang dapat
dipergunakan oleh da’i dalam menjalankan misi dakwahnya.1
Metode pembelajaran atau mauizhah al-hasanah memiliki berbagai variasi
seperti dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang dijadikan
sebagai bentuk turunan dari mauizhah itu sendiri. Muhammad Fuad al-Baqiq2
memaparkan kata-kata mauizhah ditemukan sebanyak 9x dalam berbagai surat
antara lain : Qs. Al-Baqarah ayat 66 dan 275, Ali Imran:138, al-Maidah: 46,
al-A’raf:57, 145. al-Nahal: 125, dan Al-Nur: 34, dan Yunus: 57
Kemudian dalam bentuk asal waaza ditemukan sebanyak 10x terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 232, Anisa’ 63 dan 66, as-Shura 136, Shaf 16
1 Itdafriyenny, “METODE DAKWAH “MAUIZHAN AL-HASANAH DAN
TURUNANNYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS” diakses tanggal 28
nopember 2013 dari http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-
hasanah-dan-turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/ 2 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Qur‟an al-Karim,
(Qahirah: Dar al-Hadis,1998), h.153-154
54
dan 53, al-Waqiah 47, al-Mujadalah 3, at-Thalaq 2 dan QS Hud: 20. Dalam
bentuk fi’il mudhari “yaizhu” ditemukan sebanyak 9x seperti dalam surat al-
Baqarah ayat 231, an-Nisa 58, an-Nahal 90, al-Hajji 30 dan 32, an-Nur 17,
Luqman 13 dan at-Talaq ayat 5 dan Al-A’raf: 164. Kata-kata yaizhuhu
diartikan sebagai kegiatan memberikan pembelajaran. Kegiatan yang
bernuansa edukatif dalam al-Qur’an ditemukan berbagai variasi atas bentuk
yang akan dinaha pada bahasa berikut ini.
Kata mau‟izhah juga adalah perubahan kata dari dari akar kata dasar
wa‟az, artinya memberi nasihat, memberi peringatan kepada seseorang yang
bisa membawanya taubat kepada Allah. Kata wa‟aza dengan segala bentuknya
terulang dalam al-Qur’an 25 kali, dalam bentuk mau’izat 9 kali.3
A. Ayat dalam bentuk kata mau’izhah
a. QS Al-Baqarah: 66
“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang
dimasa itu, dan bagi mereka yang datang Kemudian, serta menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Baqarah:66 ).
b. QS Ali-Imran 138
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk
serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS AL-Imran: 138).
c. QS Al-Maidah: 46
3 Lihat Ibnu Mandzur, lisan al-Arab, jilid 9, h. 346-347
55
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa
putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan
Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada)
petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang
sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran
untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Maidah:46)
d. QS An-Nahl: 125
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
e. QS An-Nur: 34
“Dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang
memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang
terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS An-Nur:34)
56
B. Ayat dalam Bentuk Kata Waaza dan Yu’izhu
a. Baqarah ayat 232
“Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:
232).
b. Anisa’ 63 dan 66,
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.” ( QS An-Nisa: 63)
“...kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan (iman mereka),” (QS An-Nisa: 66)
c. As-Shura 136,
“mereka menjawab: "Adalah sama saja bagi Kami, Apakah kamu
memberi nasehat atau tidak memberi nasehat,” (QS As-Shuara: 136)
d. Al-Waqiah 47,
57
“Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila Kami mati dan menjadi
tanah dan tulang belulang, Apakah Sesungguhnya Kami akan benar-benar
dibangkitkan kembali?” (QS Al-Waqi’ah: 47)
e. Al-Mujadalah: 3,
“...Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan: (QS Al-Ma’idah: 3)
f. At-Thalaq:2.
“...Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS
At-Thalaq: 2)
1. Klasifikasi Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah
A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Al-ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makiyah dan Madaniyah ada
dua cara; sima‟i (pendengaran) dan qiyasi (analogi). Sudah tentu sima‟i
pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran.
Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode
pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.4
4Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh
Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Cet. 13, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2012), h. 73
58
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli ilmu-ilmu al-Qur’an
tentang bahasan al-Makki wa al-Madani. Secara garis besar, perbedaan
mereka itu dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok yakni:
Pertama, sebagian mereka memformulasikan makiyah dengan surat-surat
dan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya;
sedangkan madani mereka gunakan untuk menjuluki surat dan ayat-ayat al-
Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.
Kedua, ada ulama yang mendefinisikan al-Makki dengan surat dan ayat-
ayat al-Qur’an yang titik berat khithah (arah pembicaraanya) lebih ditujukan
kepada penduduk makkah; sedangkan al-madani adalah surat-surat dan ayat-
ayat al-Qur’an yang titik tekan arah pembicaraanya (khitabnya) lebih
ditujukan kepada penduduk madinah.
Ketiga, dan inilah yang disebut-sebut sebagai pendapat yang paling
masyhur dari ketiga pendapat yang ada yaitu pendapat para ulama yang
mendefinisikan al-makki sebagai sebutan untuk surat-surat dan ayat-ayat al-
Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw hijrah ke madinah,
tanpa peduli apakah ayat itu turun di Makkah atau tempat lain. Sedangkan apa
yang disebut al-Madani ialah kelompok surat dan ayat al-Qur’an yang
diturunkan sesudah hijrah ke madinah walaupun turunnya di Makkah.
Ketiga pendapat di atas tampak berangkat dari persepsi yang berbeda-
beda. Pendapat pertama lebih menekankan pemikirannya kepada tempat
tinggal Nabi semata-mata, sementara pendapat kedua lebih menitik beratkan
kepada penduduk yang dijadikan obyek pembicaraan al-Qur’an; dan pendapat
59
ketiga lebih mengutamakan peristiwa sejarah yang amat besar yakni waktu
sebelum dan sesudah Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Pendapat terakhir inilah agaknya yang lebih kuat. Alasannya, selain karena
didasarkan pada peristiwa besar dan bersejarah yakni kepindahan (hijrah) Nabi
Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, juga terutama disebabkan standard
ini dapat mengakomodir tempat kediaman Nabi Muhammad Saw seperti yang
dijadikan titik tolak oleh kelompok pertama; dan juga sekaligus menampung
kelompok kedua yang lebih mengandalkan pendapatnya pada perbedaan
penduduk makkah yang kebanyakan non muslim serta penduduk madinah
yang pada umumnya telah memeluk agama islam.5
B. Ciri Khas Makiyah dan Madaniyah
Setelah para ulama meneliti surat-surat Makiyah dan Madaniyah,
mereka membuat kesimpulan analogis bagi keduanya, yang dapat
menjelaskan ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang
dibicarakan oleh masing-masing ayat yang Makiyah dan Madaniyah.
Kemudian, lahirlah kaidah-kaidah kunci untuk mendapatkan ciri-ciri
tersebut.
Penetapan Makiyah dan Ciri khas temanya
1. Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah”
adalah Makkiyah.
2. Setiap surat yang mengandung lafazh kalla, adalah Makkiyah.
Lafazh ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari al-
5 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
h. 194-195
60
Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam
surat.
3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan-nas dan tidak
mengandung ya ayyuhal-ladzina amanu, adalah Makkiyah,
kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya terdapat ya
ayyuhal-ladzina amanurka‟u wasjudu. Namun demikian,
sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah
ayat Makkiyah.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat
terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah
Makkiyah kecuali, surat al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dibuka dengan hurup-hurup muqhata‟ah atau
hija‟i, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-
lainnya, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali
Imran. Adapun Surat Ra;d masih diperselisihkan.
Penetapan Madaniyah dan Ciri Khas temanya
1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi hukum.
2. Setiap surat yang di dalamnya di sebutkan orang-orang
munafik, kecuali surat Al-Ankabut, ia adalah Makkiyah.
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
Ini dari segi karakteristik secara umum. Adapun dari segi tema
dan gaya bahasanya, adalah sebagai berikut:
61
1. Menjelaskan masalah ibadah, muamalah, had,
kekeluargaan, warisan, jihad, dan hubungan sosial,
hubungan internasional, baik di waktu damai maupun di
waktu perang, kaidah hukum, dan masalah perundang-
undangan
2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk islam,
penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-
kitab Allah, permusuhan mereka terhdap kebenaran dan
perselisihan mereka setelah keterangan datang kepada
mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
3. Menyingkap perilaku munafik, menganalisis kejiwaanya,
membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya
bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya
bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan
dan syariatnya.6
C. Pengelompokan Surat dan Ayat Makkiyah dan Madaniyah Tentang
Mau’izhah Hasanah
Menurut perkiraan sebagian Ulama, di antaranya Syaikh
Muhammad al-Khudhari Bek, surat dan ayat al-Qur’an yang tergolong ke
dalam kelompok makkiyah berjumlah sekitar 13/30% dari keseluruhan al-
6Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh
Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2012), cet. 13, h. 75-77
62
Qur’an; sementara jumlah surat dan ayat yang digolongkan ke dalam
kelompok madaniyah hanya berjumlah sekitar 11/30%. Jadi kelompok
surat Makiyah lebih banyak jumlahnya daripada kelompok surat
madaniyah.
Yang tergolong ke dalam kelompok surat madaniyah ialah al-
Bqarah (2) Ali Imran (3) An-Nisa (4) al-Maidah (5) al-Anfal (6) at-Taubah
(7) an-Nur (8) al-Ahzab (9) al-Qital (10) al-Fath (11) al-Hujarat (12) al-
Fath (13) al-Mujadalah (14) al-Hasyr (15) al-Mumtahanah (16) as-Shaffat
(17) al-Jumuah (18) al-Munafikun (19) at-Tagahabun (20) at-Tahalaq (21)
at-Tahrim dan (22) an-Nashr. Kecuali yang telah disebutkan ini semuanya
ke dalam kelompok surat makkiyah.7
Adapun surat dan ayat-ayat kata-kata maui‟zhah dan dalam bentuk
kata wa‟aza adalah sebagai berikut:
a. Ayat dan Surat Makkiyah dari kata ma’uizhah dan wa’aza
dalam al-Qur’an adalah Surat an-Nahl: 125, Asyuara: 136 dan
Surat Al-Waqi’ah: 47
b. Sedangkan ayat dan surat Madaniyah dari kata mau’izhah
hasanah dan wa’aza adalah surat al-Baqrah: 66, 232, Ali Imran:
138, Al-Maidah:46, an-Nur: 34, al-Mujadalah: 3, at-Thalaq: 2.
3. ASBAB AN- NUZUL
Menurut bahasa “sabab Al-Nuzul” berarti turunnya ayat-ayat al-
Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Kepada Muhammad SAW. Secara
7 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
h. 196-197
63
beangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Subhi Al-Shalih
memberikan definisi Sabab Al-Nuzul sebagai berikut:
“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat
yang menagandung sebab itu , atau memberi jawaban terhadap sebab itu,
atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.”
Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat
adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu
ayat-ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal hal yang
berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap
pertanyaan tertentu.8
Manna’ al-Qaththan mendefinisikan, sababun nuzul ialah sesuatu
yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur’an diturunkan pada waktu sesuatu itu
terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.
Mengacu pada kedua definisi diatas, dapatlah diformulasikan bahwa
sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau
beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu
sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga
berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong
turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.9
Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul
Pengetahuan mengenai Asbab an-nuzul mempunyai banyak faedah,
yang terpenting diantaranya yaitu:
8Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur‟an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen
MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 89-90 9 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
h. 101-102
64
1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian
syari’at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala
peristiwa sebagai Rahmat bagi umat.
2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang
terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi
mereka yang berpendapat al-„Ibrah „umum al-Lafzhi la
bikhushsush as-sababi (yang menjadi pegangan adalah lafazh
umum, bukan sebab khusus).
3. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil
yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbabunnuzul
akan membatasi takhsish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang
selain bentuk sebab.10
a. QS Surat An-Nahl: 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang
turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah
Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam
Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.11
Al-Qurthubi
menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah
kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah)
10
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2012), h. 96-97 11
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, (Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir , tt), hal.
440/ 1
65
dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya
riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.12
Ayat ini turun di Makkah saat diperintahkan agar berdamai dengan
Quraisy. Allah juga memerintah beliau agar berdakwah menyeru kepada
Agama Allah dan syari’at-Nya dengan lemah lembut, tidak kasar atau
keras demikiannlah seharusnya kaum muslim memberikan nasihat tentang
hari kiamat. Yang merupakan hikmah bagi bagi para pelaku kemaksiatan
dari kalangan ahli tauhid, dan mengahapus perintah perang terhadap
orang-orang kafir.
Telah dikatakan pula, “siapa saja kalangan orang-orang kafir yang bisa
diharapkan keimananya dengan cara hikmah maka dia harus melakukan
tanpa ada pertempuran.”13
b. QS Al-Baqarah: 66
Hari sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi-bagi orang-orang
yahudi sesuai usul mereka sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas
duniawi. Mereka dilarang mengail ikan pada hari itu. Tetapi, sebagian
mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail, tetapi
membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan
masuk ke kolam itu. Peristiwa ini sementara tafsir terjadi di salah satu desa
kota Aylah yang kini dikenal dengan Teluk Aqabah. Kemudian setelah
hari sabtu berlalu, mereka mengailnya. Allah murka terhadap mereka,
maka Allah berfirman kepada mereka, “jadilah kamu kera yang hina
12
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin
Muhammad Salamah, (Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’,1420 H), jilid iv, h.613 13
Syaikh Imam Al-Qurthubi; Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti, Tafsir Al-
Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 498
66
terkutuk.” Perintah ini bukan perintah kepada Bani Isra’il untuk mereka
laksanakan, tetapi ini adalah taskhir, yakni perintah menghasilkan
terjadinya sesuatu. Anda ingat firman-Nya: sesungguhnya perintah-Nya
apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, „jadilah!‟,
maka terjadilah ia” (QS. Yasin {36}: 82).
Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau
hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal
dikalangan mereka, khususnya para pemuka agama mereka sebagaimana
diisyaratkan oleh kata “sesungguhnya kalian telah mengetahui.” Dalam
ayat lain dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan kera dan
babi (baca QS. Al-Maidah {5}: 60).
Apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan
peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak
ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi
selanjutnya. Hal ini juga sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-
orang bertakwa.14
c. QS Al-Baqarah: 232
Salah seorang sahabat Nabi saw yang bernama Ma’qal bin yasar
menentang pernikahan anaknya dengan mantan suaminya yang bernama
Asim bin Adi. Orang ini, Asim, telah menalaknya tetapi, setelah berakhir
masa iddahnya, keduanya ingin mengikatkan tali pernikahannya kembali
dengan sebuah pernikahan baru.
14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), vol, 1, h. 221-22
67
Dengan latar belakang inilah ayat tersebut diwahyukan dan
mencegahnya (Ma’qal) dari penentangannya atas pernikahan tersebut.
Juga di riwayatkan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut diwahyukan
tatkala Jabir bin Abdullah menentang pernikahan sepupunya dengan
mantan suaminya. Barang kali, di zaman jahiliah, hak ini diberikan kepada
banyak saudara dekat.
Jelas dalam hukum fiqih kita, saudara laki-laki dan sudara sepupu
tidak memiliki perwalian (wilayat) atas saudara-saudara perempuan atau
para sepupunya, tetapi seperti yang kita akan jelaskan dalam pembahasan
ini, makna dari ayat di atas merupakan sebuah aturan umum mengenai
perwalian dan selain dari mereka yang tak satupun dari orang-orang ini
dibolehkan menentang pernikahan semacam itu: termasuk ayahnya,
ibunya, sepupunya, ataupun orang-orang yang tidak ada kaitan saudara).15
D. QS An-Nahl: 90
Asbabu an-Nuzul ayat ini terdapat melalui hadits dari Al-Hafizh
Ya’la meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair, dia berkata, (520) yang
artinya:
“Berita kedatangan, Nabi saw. Sampai kepada Aksam din shaifi.
Dia bermaksud menemuinya. Namun kaumnya melarang aktsam. Dengan
berkata, Engkau pemuka kami tidak rela jika jika kamu berendah diri
kepadanya. Aktsam berkata, kalau begitu, agar ada orang yang
menemuinya guna menyampaikan siapa aku dan mengetahui siapa dia.
Maka dia mengutus dua orang untuk menemui Nabi saw. Keduanya
berkata, kami utusan aktsam bin Shaifi. Dia bertanya, siapa engkau dan
apa engkau? Nabi menjawab, siapa aku? Aku adalah Muhammad bin
Abdullah. Dan apa aku? Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian Nabi saw membaca ayat „sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajikan‟. Mereka berkata, Ulangilah ucapan
15
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 239-240
68
itu untuk kami, maka beliau mengulang-ulangnya hingga mereka hafal.
Dua orang utusan kembali kepada aktsam dan berkata, „ dia menolak
untuk memerinci nasabnya sampai ke atas. Lalu kami menanyakannya
tentang nasabnya. Ternyata dia bernasabkan orang bersih dan
terpandang. Dia pun menyampaikan beberapa kalimat yang kami hafal.‟
Tatkala Aktsam mendengar kalimat-kalimat tersebut, dia berkata, „ aku
berpendapat bahwa dia menyuruh manusia berakhlak mulia dan melarang
berkahlak tercela. Karena itu, jadilah kalian sebagai pelopor dalam
masalah ini, jangan menjadi pengekor. “ (HR al-Hfizh Abu Ya’la).
69
BAB IV
KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN
A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah
Berdasarkan 6 surat dan ayat yang penulis kutip mengenai makna
mau‟izah hasanah dalam al-Qur‟an, baik dalam bentuk kata al-ma‟izhatu yang
terdapat dalam surat an-Nahl: 125, al-Baqarah: 66, an-Nur: 34, maupun dalam
bentuk kata wa‟aza atau yu‟izhu yang terdapat dalam surat an-Nisa: 63, al-
Baqarah 232, al-A‟raf: 164 dan luqman: 13, semua bentuk kata itu, menurut
seluruh mufassir sepakat mendefinisikan kata-kata mau‟izhah hasanah dengan
kata-kata yang mengandung nasihat yang bagus, tidak menyakiti dan
menakut-nakuti. Akan tetapi Imam As-suyuti dalam tafsirnya jalalain
menafsirkan mau‟izhah hasanah lebih menekankan kepada nasihat atau
perkataan yang halus.1 Sementara At-Thabari lebih menekankan kepada
peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di
dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut
tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam
surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut)
tentang berbagai kenikmatan-Nya).2
Sedangkan menurut Quraish Shihab, Kata-kata al-mau‟izhatu dalam
Tafsirnya mengatakan, al-Mau‟izhatu terambil dari kata wa‟azha yang berarti
Nasihat. Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. adapun
1Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, (Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo, tt), h, 363 2 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Al-
Qur‟an, (Mesir: Muassatur Risalah, 1420 H), jilid 17, h.321
70
Mau‟izhah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang
disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang
menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang
buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau‟izhah biasanya
bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat
mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang
menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan
kebaikannya itu.3
Sementara Quthub dalam tafsirnya bahwa nasihat yang baik atau
mau‟izhah hasanah yakni lebih menekankan kepada dakwah yang bisa
menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan
halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas.
Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang
kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena
kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati
yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak
kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.4
Dalam sebuah nasihat yang baik (mau‟izhah hasanah), dikatakan bahwa
seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang
diucapkannya;
3Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), volume 7, h. 392-393 4 Sayyid Quthub, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2,
jilid-7, h. 224
71
a. ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang
menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang
digunakan.
b. Kepada para pemeluknya, Islam menawarkan gizi mental
(dengan kebijaksanaan) serta pengayaan spritual (nasihat yang
baik) seraya menganjurkan metode-metode logis manakala
menghadapi lawan dialog.
c. Kemurahan hati dan kebaikan merupakan dua metode dasar
dalam semua jenis seruan kampanye jika dilakukan pada saat
yang tepat dan ditempat yang semestinya.5
Berbeda dengan Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat al-
Baqarah:66 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Mau‟izhah
adalah peringatan keras. Jadi makna ayat ini adalah kami jadikan siksaan
dan hukuman sebagai balasan atas pelanggaran mereka terhadap larangan-
larangan Allah dan perbuatan mereka membuat berbagai tipu muslihat.
Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang bertakwa menjauhi tindakan
seperti itu agar hal yang sama tidak menimpa mereka.” Sebagaimana yang
di riwayatkan oleh Abu „Abdillah bin Baththah, dari Abu hurairah Ra,
bahwa Rasulullah bersabda:
“janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi,
dengan cara menghalalkan apa yang di haramkan Allah melalui tipu
muslihat yang amat rendah”. (Isnad hadits ini jayyid (baik)).6
5Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 721-722 6Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M.
„Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi‟i, 2009), jilid 1, h. 151
72
Selain al-Qur‟an menggunakan kata dalam bentuk al-mau‟izhatu,
al-Qur‟an juga menggunakan Kata ya‟izhuhu dalam bentuk mudhari‟.
Meski demikian Quraish Shihab menjelaskan atau memaknakan nasihat
tetap dengan kata-kata yang menyentuh hati mad‟u. Akan tetapi dalam
bentuk yai‟zuhu beliau lebih menekankan kepada makna ucapan yang
mengandung peringatan dan ancaman. Sebagaimana ketika beliau
menafsirkan surat luqman:13. Penyebutan kata ini sesudah kata dia
berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau
sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang
sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak. Kata ini
juga mengsiyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat ke saat,
sebagaimana dari bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata
ya‟izuhu .
Sementara ulama yang memahami kata wa‟zh dalam arti ucapan
yang mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata
tersebut mengisyaratkan bahwa anak luqman itu adalah seorang musyrik,
sehingga sang ayah menyandang hikmah itu terus menerus menasihatinya
sampai akhirnya sang anak mengakui tauhid. Hemat penulis sebagaimana
tutur Quraish Shihab, pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Thahir
Ibnu Asyur ini adalah sekedar dugaan yang tidak memiliki dasar yang
kuat. Nasihat dan ancaman tidak harus dikaitkan dengan kemusyrikan. Di
sisi lain, bersangka baik terhadap anak luqman jauh lebih baik dari pada
bersangka buruk.
73
Kata bunayya dalam surat luqman: 13 tersebut adalah patron yang
menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah ibny, dari kata ibn yakni
anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini
kita dapat berkata bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik
hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik.
Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya
menghindari syirik/mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus
mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa
redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah
untuk menekan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum
melaksanakan yang baik. Memang “At-takhliyah muqaddamun al at-
tahliyah” (menyingkirkan keburukan lebih utama dari pada menyandang
perhiasan).7
Di riwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari al-Qasimbin Mukhaimirah
bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya:
“Luqman Hakim berkata kepada anaknya ketika menasihatinya,
hati anakku, janganlah kamu bertopeng karena pada malam hari
menakutkan dan pada siang hari dicela.”
Perkataan luqman kepada Anaknya
Hai anakku, kebijakan itu mendudukan kaum miskin di majlis para
raja. Hai anakku, jika kamu mendatangi suatu perkumpulan manusia,
lepaskanlah kepada mereka panah islam, yaitu salam. Kemudian duduklah
di sisi mereka. Janganah kamu berbicara hingga mereka selesai bicara.
Jika mereka tercurah ke dalam dzikrullah, tahanlah panahmu bersama
7Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M.
„Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi‟i, 2009), jilid 1, h.126-127
74
mereka. Jika mereka tercurah kepada selain itu maka pindahlah dari
mereka ke kaum yang lain.8
Pelajaran merupakan salah satu cara untuk menyeru kepada
kebenaran dan tak ada seorang pun yang tidak membutuhkannya. Salah
satu nama lain al-Qur‟an adalah pelajaran (al-mau‟izhah). Surah Yunus,
ayat 57, menegaskan, “hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu...” dalam kitab-kitab hadits, ada bab
khusus yang membahas tentang pelajaran.
Sebagian ayat-ayat al-Qur‟an menyatakan bahwa Rasulullah saw
adakalanya meminta Jibril supaya memberi pelajaran kepadanya. Ali bin
Abi Thalib ra adakalanya pula meminta sebagian dari sahabat-sahabat
beliau supaya memberi pelajaran kepadanya karena mendengarkan
pelajaran itu akan berdampak bagi orang yang mendengarkan apabila ia
tidak tahu. (Murthada Muthahhari, Dah Guftar, hal. 224). Selanjutnya
untuk memperkenalkan Luqman dan tingkat keilmuan serta
kebijaksanaanya, ayat ini menunjukkan nasihat pertama dari luqman.
Nasihat yang tercantum dalam al-Qur‟an itu merupakan nasihat paling
utama kepada putranya.
Nasihat Luqman ini mengajarkan bahwa manusia itu harus
berpegang teguh pada idiologi yang paling mendasar, yaitu idiologi tauhid
dan memiliki nilai Tauhid dalam segala aspek dan dimensi kehidupan.
Segala gerak yang bersifat destruktif dan melawan Allah SWT berakar
dari mempersekutukan Allah SWT. Kesukaan kepada uang, memuja tahta,
8Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, penerjemah, Syihabuddin, Kemudahan dari Allah:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), jilid 3, h. 794-795
75
nafsu birahi dan semacamnya termasuk cabang-cabang dari
mempersekutukan Allah, memenuhi perintah-Nya, berlepas diri dari
selain-Nya dan menghancurkan segala berhala di dalam wilayah
kekuasaanya.9
Sementara At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan makna dari
wa‟izhhum yakni berilah pelajaran kepada mereka dengan menakut-nakuti
mereka akan siksa Allah yang akan datang menimpa mereka, dan siksa itu
akan turun di rumah-rumah mereka. Juga memperingatkan mereka dari
perbuatan buruk yang dilakukannya dari keraguan terhadap perintah Allah
dan Rasul-Nya.10
Kata-kata wa‟izhhum juga di artikan oleh Al-Qurthubi
dengan pelajaran yang membuat mereka takut.11
Dalam surat an-Nisa:63 yang dikutipnya mengatakan, kata
wa‟izhhum di susul dengan kata qaulan Baligan, menunjukkan bahwa
pelajaran itu harus berbekas dan masuk ke relung hati mad‟u yang menjadi
obyek dakwah.
Kata baligan terdiri dari huruf-huruf Ba, Lam, dan gain. Pakar
bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf
tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga
bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu
kepada batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata
sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup
9Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 279-280 10
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah, Akhmad
Affandi; Editor, Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 7, h. 284-285 11
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor,
Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626
76
dinamai balig. Muballigh adalah seorang yang menyampaikan suatu berita
yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar sastra menekankan perlunya
dipenuhi beberapa kriteria sehingga pesan yang disampaikan dapat disebut
baligan, yaitu:
1. Tertampungya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan.
2. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga
mengaburkan pesan. Artinya kalimat tersebut cukup, tidak berlebih
atau berkurang.
3. Kosakata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan
pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat”
terdengar.
4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara.
Lawan bicara atau orang kedua tersebut boleh jadi telah meyakini
sebelumnya atau belum memiliki ide sedikitpun tentang apa yang akan
disampaikan.
5. Kesesuaian dengan tata bahasa.
Ayat an-Nisa itu mengibaratkan hati mereka sebagai wadah ucapan,
sebagaimana dipahami dari kata fi anfusihim. Wadah tersebut harus
diperhatikan, sehingga apa yang dimasukkan ke dalamnya sesuai, bukan
saja dalam kuantitasnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang
harus diasah dengan ucapan-ucapan halus, dan ada juga yang harus
dihentakkan dengan kalimat-kalimat keras atau ancaman yang
77
menakutkan. Walhasil, disamping ucapan yang disampaikan, cara
penyampaian dan dan waktunyapun harus diperhatikan.12
Sementara Al-Qurthubi dalam tafsirnya menafsirkan kata wakul lahum
fi anfusihim Qaulan Baligan, dengan larangan kepada mereka dengan cara
yang baik saat berbisik lagi sendiri. Al-Hasan berkata, “katakan pada
mereka jika kalian menampakkan apa yang ada dalam hati kalian, maka
aku akan memerangi kalian, dan balagha al qaul balaghatan dan rajulun
baligh yaitu ia berbicara dengan apa yang ada dalam hatinya.13
B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah
Pembicaraan mengenai siapa da‟i mau‟izhah hasanah, secara spesifik
tidak disebutkan dalam al-Qur‟an, sebagaimana 6 surat dan ayat yang
penulis kutip di awal, kecuali surat lukman:13. Namun al-Qur‟an berbicara
mengenai kriteria seorang da‟i mau‟izhah hasanah menurut al-Qur‟an
yakni, Bagaimana da‟i seharusnya memberikan nasihat yang baik, tidak
menyakiti, dan tidak menyebut-nyebut kesalahan mad‟u. Serta bagaimana
cara menggugah hati sanubari mad‟u sehingga pesan dan kesan dakwah
tersampaikan.
Pelaku da‟i mau‟izhah hasanah sebagaimana yang dijelaskan
sementara mufassir dalam al-Qur‟an di atas, ketika menafsirkan al-Qur‟an
surat an-Nahl, dikatakan bahwa seorang juru dakwah harus berbuat dan
beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan
12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol, 2, h. 468-469 13
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor,
Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626-627
78
dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun
ungkapan-ungkapan yang digunakan.
Di samping itu da‟i mau‟izhah hasanah adalah dari golongan orang
tua, sebagaimana nampak dalam surat luqman: 13, bahwa lukman menjadi
da‟i yang mengajak anaknya untuk menuju ke jalan Allah. Oleh karena itu
seorang penasihat biasanya orang yang lebih tua dan memiliki hikmah dan
ilmu. Sebagaimana yang disandang sang ayah (lukman) yaitu hikmah
hingga terus menasihati anaknya sampai akhirnya anaknya mengakui
tauhid.
Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh
seorang da‟i termasuk da‟i mau‟izhah hasanah yang mengajak kepada
perbuatan ma‟ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar haruslah
memiliki ilmu tentang hal yang ma‟ruf dan yang mungkar dan dapat
membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan
orang yang diperintah dan yang dilarang. Dan yang dimaksud dengan ilmu
itu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah
utuskan kepadanya. Jadi berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek
Nabi saw.,
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".
(QS. Yusuf: 108).
79
Pentingnya seorang da‟i berbekal ilmu yang benar berdasarkan nash
al-Qur‟an memiliki kualitas akademik tentang islam, konsisten antara amal
dan ilmunya, santun dan lapang dada dan lain-lain sangat mendukung
dalam memberikan pesona kepada mad‟u, karena bagaimana seorang da‟i
berdakwah menyeru kepada manusia kepada dien Allah sedangkan da‟i
tidak mengetahui jalan menuju-Nya tidak mengetahui Syariat-Nya.14
Namun dewasa ini banyak kita saksikan, berdasar al-Qur‟an di atas.
Banyak da‟i yang memberikan nasihat tidak sesuai dengan makna dan
ruang lingkup dari nasihat itu sendiri. Banyak kita saksikan khususnya di
televisi misalnya, yang memberi nasihat kadang tidak sesuai dengan
kapasitas ilmu yang dimilikinya serta masih jauh dari kebenaran dan
sering kepada penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini memberi
dampak negatif bagi pesan dakwah itu sendiri. seharusnya da‟i pemberi
mau‟izhah apalagi dalam skup yang lebih luas dalam hal ini televisi
seharusnya lebih memperhatikan konten ketimbang entertain, sebab
bagaimana bisa tersampaikan pesan dakwah kalau yang mendakwahi tidak
memiliki jalan menuju syariat-Nya sebagaimana kata Ibnu Taimiyah
diatas.
Seorang da‟i adalah seorang pejuang yang mengembangkan kasih
sayang kepada segala sesuatu. Dia tidak akan menggunakan cara-cara
yang keliru untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan
kekerasan, kekuatan, dan paksaan. Karena untuk meneguhkan iman dalam
hati seorang tidak perlu menggunakan cara-cara yang keliru seperti yang
14
Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 243-244
80
kami sebutkan diatas. Untuk menerangkan keimanan dapat tumbuh subur
di hati setiap orang yang mendengar nasihat baiknya.
Hendaknya setiap da‟i mampu menggunakan cara-cara yang menarik
simpatik di hati para pendengarnya. Hendaknya ia menjadi suri teladan
yang baik bagi umatnya, agar umatnya menghargai kepribadian para da‟i.
Tetapi kalau ada da‟i yang menggunakan cara kekerasan dan paksaan,
maka para pendengarnya tidak akan merasa terpanggil untuk mengikuti
tuntunannya.
Sikap kasih sayang kepada umat yang diperankan oleh pribadi
Rasulullah saw. Menjadikan dakwah beliau dapat diterima orang banyak
dalam waktu yang sungguh sangat singkat. Dalam salah satu sabdanya
beliau menyebutkan, “Aku bagi kalian adalah seorang ayah.”15
Komunitas muslim adalah suatu komunitas yang ditegakkan di atas
sendi-sendi moral iman, islam dan takwa yang dipahami secara utuh, benar
dan menyeluruh. Komunitas ini tidaklah eksklusif karena ia berfungsi
sebagai komunitas teladan ditengah-tengah masyarakat yang plural baik
dari segi budaya, etnis, dan agama, yang sering kali manusia lupa bahwa
ada sendi-sendi agama yang mengatur kehidupan. Di saat manusia lengah,
lupa bahkan mungkin saja melakukan penyimpangan maka saat itu pulalah
ada kewajiban saling menasihati. Namun tentunya ada cara-cara yang baik
bagaimana seseorang menasihati orang lain agar nasihat itu sampai ke
dalam dada si pendengar nasihat.16
15
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:
Republika, 2011), h. 314-315 16
Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke 2, h. 242
81
“perumpamanaanku dengan umatku bagi seorang laki-laki yang
menyalahkan api, kemudian ada sejumlah serangga yang mendekat
kepada api itu, tetapi orang itu mengusir serangga-serangga itu dari api,
agar tidak terjatuh ke dalam api, demikian juga senantiasa berusaha
menyelamatkan kalian dari api neraka, tetapi kalian berusaha
menolakku.”17
Cara yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Untuk menyampaikan
dakwahnya adalah sangat luwes dan santai, sehingga siapapun yang
menempuh cara-cara yang dilakukan oleh beliau saw., untuk mengajak
orang lain kepada kebenaran, pasti akan sukses. Sebaliknya, jika cara yang
ditempuh bertentangan maka ia akan gagal.
Demikian pula, hendaknya setiap da‟i mempunyai jiwa yang penuh
kasih sayang kepada semua orang, agar mereka dapat menyelamatkan
orang-orang itu di dunia dan akhirat. Adapun contoh yang paling baik bagi
kita adalah pribadi Rasulullah Saw. Sepanjang hidupnya Nabi saw. Terus
menerus berdakwah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah,
meskipun beliau menghadapi berbagai tantangan dan perlakuan yang tidak
manusiawi. Adakalanya beliau saw. Dijerat lehernya dengan sehelai kain
oleh musuhnya, adakalanya pula beliau saw. Dilumuri dengan kotoran
binatang, adakalanya pula jalan beliau saw. Dijerat lehernya dengan
sehelai kain oleh musuhnya. Adakalanya pula beliau saw. Dipenuhi
dengan duri-duri, meskipun beliau selalu berusaha mengajak mereka ke
jalan yang benar, agar mereka masuk ke dalam syurga.
Ingatlah, ketika beliau saw. Berdakwah di kota Thaif, maka beliau
saw. Disakiti oleh sejumlah penduduknya dengan kedua kaki dan wajah
beliau saw. Terluka. Ketika itu beliau hanya ditemani oleh zaid bin
17
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Al-Fadhail, 17-19, Al-Bukhari, Ar-Riqaqu 26
82
haritsah ra, sehingga malaikat penjaga gunung menawari jasanya akan
menjatuhkan gunung kota thaif kepada mereka yang telah melukai pribadi
Rasulullah Saw., tetapi tawaran baik dari malaikat itu ditolak oleh beliau
seperti yang disebutkan dalam sabda beliau berikut ini,
Áku masih berharap semoga Allah mengeluarkan anak cucu dari
mereka yang mau menyembah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu
baginya. (HR Bukhari).
Ingatlah ketika wajah beliau Saw. Terluka di medan perang, sehingga
darah beliau Saw. Menetes ke bumi, pada saat seperti itu beliau Saw.
Masih berdoa sebagai berikut,
“Ya Allah, berilah ampun apa yang telah dilakukan oleh umatku
terhadap diriku, karena mereka tidak mengerti.”(HR Bukhari).
Doa Nabi di atas adalah untuk menyelamatkan umatnya dari siksa
Allah. Hal ini bisa terjadi karena besarnya rasa kasih sayang beliau Saw.
Terhadap umatnya.18
Begitulah sejatinya para juru dakwah dengan cara mau‟izhah hasanah
menyebarkan pesan-pesan dakwah, yaitu dengan penuh kasih sayang,
kelembutan, pengayoman, dan tidak memaksa. Dengan itu nilai dakwah
akan cepat tersampaikan dan tersentuh di hati masyarakat yang
mendengar.
C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah?
Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da‟i dan
berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologi
mereka, setiap da‟i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya
18
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:
Republika, 2011), h. 317-318
83
harus memperhatikan kondisi psikologis mad‟u. Kalau kita perhatikan
perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di
Makkah ataupun di madinah tampaknya salah satunya disebabkan oleh
berbedanya kondisi psikologis kelompok-kelompok yang didakwahi.
Muhammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah” nya sebagaimana yang dikutip
oleh M. Munir dalam bukunya metode dakwah, mengemukakan pendapat
yang berkaitan dengan dengan kondisi psikologis mad‟u ini bahwa: pokok
persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan
cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu
dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da‟i harus
memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika seorang da‟i
mencium adanya sikap memusuhi islam dalam diri penerima dakwah,
maka dengan alasan apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Dia
mesti berusaha sebisa-bisanya untuk menghilangkan sikap permusuhan
tersebut.19
Bila diperhatikan pemaknaan mau‟izhah hasanah dalam ayat-ayat al-
Qur‟an maka tekanan tertuju kepada peringatan yang baik dan dapat
menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens
terdorong untuk berbuat baik.20
Mad‟u mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quraish shihab ketika
menjelaskan al-Qur‟an surat al-Baqarah:232, bahwa mad‟u mau‟izhah
hasanah adalah orang-orang beriman kepada Allah dan hari akhir. Ketika
menunjuk nasihat ditemukan lagi kata itu, tetapi kali ini berbentuk jamak
19
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58-59 20
Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, Disertasi Doktor, Pasca
sarjana UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2002), h. 186-187
84
(dzalikum). Penggunaan bentuk jamak ini mengisyaratkan, lanjut beliau,
bahwa petunjuk-petunjuk tersebut akan memberi manfaat untuk banyak
orang. Memberi ketenangan dan kebahagiaan untuk seluruh anggota
keluarga bahkan untuk masyarakat seluruhnya.21
Di samping itu mad‟u mau‟izhah hasanah juga bisa dilihat dalam al-
Qur‟an surat lukman, yakni sasaran dakwah tertuju kepada keluarga
terdekat, dalam hal ini anak. Lukman (da‟i) dan anak (mad‟u). Anak
sebagai mad‟u dalam ayat tersebut mendapat nasihat hingga anak
mengakui tauhid.
Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni mengelompokkan mad‟u dalam
dua rumpun besar, yaitu: a) rumpun muslimun atau mukminun atau umat
istijabah (umat yang telah menerima dakwah), dan b) Non muslim atau
ummat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah islam)).
Umat istijabah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: a) Sabiqun bi al-khairat
(orang-orang shalih dan bertakwa), b) Dzalimun Linafsih (orang fasik dan
ahli maksiat), c) Muqtashid (mad‟u yang labil keimanannya). Sedangkan
ummat da‟wah dibagi dalam empat kelompok, yaitu: a) Atheis, b)
Musyrikun, c)Ahli Kitab, d) Munafiqun. Said bin Ali bin Wahf al-
Qahthani melakukan pembagian yang hampir sama dengan al-Bayanuni,
yaitu membagi mad‟u dengan kategori muslim dan non muslim. Mad‟u
dari rumpun muslim dibagi dua, yaitu: a) muslim yang cerdas dan siap
menerima kebenaran, dan b) Muslim yang siap menerima kebenaran,
tetapi mereka sering lalai dan kalah dengan hawa nafsu. Sedangkan non
21
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera hati, 2002), vol 1, h. 502
85
muslim, pembagiannya sama dengan al-Bayanuni, tetapi beliau tidak
memasukkan Munafik dalam kelompok non muslim. Sedangkan
berdasarkan klasifikasi, masyarakat dapat dihampiri dengan dua
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat
kota dan desa;
b. Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
kelompok masyarakat maju (industri), dan kelompok masyarakat
terbelakang.22
Seruan dengan mau„izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang
kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan
hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-
Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi. Atas
dasar itu dalam al-Qur‟an di awal, mad‟u mau‟izhah hasanah bisa dilihat
sperti anak, yang lebih bawah ilmunya dengan sang ayah dalam hal itu
lukman. Akan tetapi si anak ini, masih bisa mempunyai fitrah dan hati
yang bersih untuk bisa mencerna mana yang benar dan mana yang salah.
Berdasarkan ungkapan dari Abu al-Fath al-Bayanuni di atas sejalan
juga yang di jelaskan al-Qur‟an sebagaimana tutur al-Biqai ketika
menjelaskan sasaran dakwah (mad‟u) dalam al-A‟raf:164 yakni mad‟u
atau sasaran dakwah adalah qauman. da‟i yang harus menyampaikan
dakwah kepada siapapun, tanpa kecuali, meskipun kepada mereka yang
jelas-jelas menentang ajaran Allah swt., sehingga layak menerima azab-
22
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 106-108
86
Nya. Justru menurut al-Biqai, kesiapan untuk berdakwah kepada setiap
kalangan tanpa kecuali dan tanpa memilih-milih sasaran dakwah
menunjukkan keikhlasan dakwah seseorang dan optimisme serta
komitmennya terhadap ajaran Allah swt. Agar tersebar ke setiap jengkal
bumi Allah swt.
Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur‟an di atas dapat
dikategorikan bahwa metode maw‟izhah al-hasanah merupakan cerminan
dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada
masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun
daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan
kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan
kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta
memberi informasi yang mereka jera melakukannya.
Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu:
pertama, maw‟izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan
penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan
argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua;
mau‟izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan
penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua
kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran
tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal
ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi,
misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur
(peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
87
bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat
mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik
melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai media
mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian
bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada
pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan
adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi
tersebut.
Sudah menjadi fitrah manusia suka kepada yang menyenangkan
dan benci kepada yang menakutkan, maka selayaknya bagi para da‟i untuk
memulai dakwahnya dengan memberi harapan yang menarik, mempesona
dan menggembirakan sebelum memberikan ancaman. Muslim
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa
Rasulullah Saw. Bersabda “serulah manusia! Berilah kabar gembira dan
janganlah membuat orang lari”. Seorang da‟i seharusnya lebih dahulu
memberikan targhib (kabar gembira) sebelum tarhib (ancaman),
mendorong, beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut-
nakuti dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan Ilmu
dan memotivasi untuk melaksanakan shalat pada waktunya sebelum
memberikan peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan shalat. Kita
memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragamnya tabiat
manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum
peringatan itu bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega.
Pemeberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme
88
seseorang inilah sebagai tarhib (ancaman) diberikan mana kala ada
perlawanan dan pembangkangan guna menyadarkan dan
mengembalikannya ke jalan yang benar. Kita perhatikan Firman Allah QS
Al-Hijr:49-50:
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa Sesungguhnya
azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.”23
D. Dampak dan Keutamaan Menggunakan Mau’izhah Masanah
Berdasarkan al-Qur‟an di atas dampak dari mau‟izhah hasanah
sebagaimana singgung Sayyid Quthub di awal bahwa kelembutan dalam
memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung,
menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan
ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.24
Di samping itu dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah: 232 ditegaskan
dengan kata-kata zalikum adzkalakum wa‟athar (lebih baik dan lebih suci)
maksudnya Iman kepada Allah dan hari kemudian inilah yang menjadikan
nasihat ini dapat sampai kedalam hati, ketika hati berhubungan dengan
alam yang lebih luas daripada dunia ini, dan ketika ia menghadapkan diri
kepada Allah dan ridha-Nya mengenai apa saja yang ia lakukan dan ia
tinggalkan. Perasaan dan kesadaran bahwa Allah menghendaki apa yang
lebih suci dan lebih bersih dari pada keadaanya sekarang, akan mendorong
23
Jum‟ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo: Era Inter Media, 2000), h. 393 24
Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi
zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7, h. 224
89
si mukmin itu untuk mematuhi Allah dan meraih kesucian dan kebersihan
untuk dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Karena merasakan sentuhan
hati bahwa yang memilihkan jalan untuknya adalah Allah yang
mengetahui apa yang tidak diketahui oleh manusia, maka ia akan segera
menyambut dan menerima semua aturan Allah dengan ridha dan pasrah.25
Kata-kata ma‟ziratan ila rabbikum... dalam al-A‟raf: 164 itu
memberikan penjelasan akan dampak dari nasihat yang diberikan. Lanjut
At-Qurthubi maksudnya adalah mereka ingin mengatakan bahwa nasihat
ini, agar kalian bertakwa kepada Allah dan tidak lagi melakukan perbuatan
yang fasik. Pendapat ini dinisbatkkan oleh at-Thabari kepada ibnu Al-
Kalbi.26
Keutamaan metode ini terletak pada pemakaian ungkapan yang lemah
lembut yang dapat menggugah hati para pendengarnya. Metode ini juga
mempunyai bentuk yang bermacam-macam sehingga memungkinkan
seorang da‟i untuk memilih suatu bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi
mad‟u. Metode ini juga mampu memberikan implikasi yang sangat dalam
di dalam jiwa para mad‟u, dengan menanamkan kecintaan dan kedekatan
dengan para mad‟u, di samping dapat memerangi kemungkaran dan
mencegah penyebarannya, karena seseorang akan merasa malu jika
mereka tidak mendengar atau menerima apa yang dinasehatkan kepada
mereka, paling tidak mereka malu untuk memperlihatkan perbuatan
mungkar mereka. Di samping itu juga metode ini sering dilakukan oleh
25
Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi
zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7,Jilid1, h. 301 26
Atabik Luthfi, Tafsir Da‟awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da‟i, (Jakarta: al-
I‟thisam, 2011), h. 96-97
90
Rasulullah Saw. Ketika berhadapan dengan orang Quraish. 27
seperti yang
di riwayatkan oleh Anas ra. Ia berkata “ketika kami duduk bersama
Rasulullah di masjid tiba-tiba datanglah seorang badui berdiri lalu kencing
di dalam masjid. Hal ini membuat para sahabat menjadi jengkel dan
marah. Namun Rasulullah saw. Berkata kepada para sahabatnya
“janganlah engkau memarahinya, biarkanlah ia menyelesaikan hajatnya,
lalu para sahabat meninggalkan orang tersebut, kemudian Rasulullah saw.
Memanggilnya dan berkata kepadanya: “sesungguhnya masjid ini
didirikan bukan untuk dikencingi atau dikotori, namun ia didirikan untuk
mengingat Allah, shalat dan membaca al-Qur‟an.28
Jadi, dakwah al-Mauidzat al-Hasanat adalah metode yang dilakukan
agar dakwah dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan
kedalam perasaan dengan penuh kelembutan tidak berupa larangan
terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau
membongkar kesalahan. Sebab, kelemah-lembutan dalam menasihati (al-
Maui‟zhat) sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan
kalbu yang liar. Bahkan, ia lebih mudah melahirkan kebaikan ketimbang
larangan dan ancaman.29
Menyampaikan dakwah dengan ruhani yang dalam, menjadikan
“Perilaku dan tutur katanya akan dijadikan suri teladan yang baik bagi
orang lain dan sebagai tanda bahwa ruhaninya adalah sehat. Setiap kali ia
27
Muhammad Abu al-Futuh. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da‟wat, ( Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1991), h. 14 28
Lihat, „Abd al-Hamid Muhammad Muhyiddin, sirat an-Nabawi, (Kairo: Maktabat
Muhammad „Ali Sabih, 1983), h. 43 29
Faizah, “konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik” Tesis Pasca Sarjana, (Jakarta:
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.50-51, t.d
91
melihat mendengar, atau memegang sesuatu, maka ia selalu ingat kepada
Allah, sehingga Allah menjadi sumber hidup baginya. Setiap kali ia
mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menambah ilmu baginya dan ia
akan selalu diberi petunjuk oleh-Nya, sehingga ia akan mendapatkan jalan
keluar bagi setiap kesulitannya dan ia akan menjadi tuntunan hidup bagi
kaumnya, sehingga semua orang menjadikan pribadinya sebagai tuntunan
hidup bagi mereka. Jika seorang da‟i sangat dalam keruhaniannya, maka ia
akan sukses dalam dakwahnya kepada orang lain, seperti Rasulullah
menyebutkan dalam sabda beliau berikut ini, keyakinan itu semuanya
termasuk keimanan.” Arti keyakinan adalah kesiapan seseorang untuk
menerima bukti-bukti kebenaran, sehingga ia akan mengisi otaknya
dengan berpikir dan mencari Ilham. Ia akan mengisi perilakunya dengan
berbagai macam amal saleh dan ibadah, sehingga hatinya menjadi
cemerlang yang terang setiap kali melihat kebenaran yang datangnya dari
Allah.30
Berikut ini contoh dakwah terbaik yang pernah dicontohkan Rasulullah
Saw., seperti dilaporkan oleh Abu Umamah sebagai berikut, “Ada seorang
pemuda Quraisy datang kepada Nabi Saw. Seraya berkata, “Ya Rasulullah,
berilah aku ijin untuk berzinah.‟ Maka para sahabat murka kepadanya
sambil berkata, „Janganlah berkata seburuk itu kepada Rasulullah.‟ Tetapi
beliau Saw. Menyuruhnya mendekat kepada beliau. Kemudian beliau
bertanya, apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan ibumu?‟
jawab pemuda itu, „Tidak.‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela jika ada
30
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:
Republika, 2011), h. 337-338
92
seorang berzinah dengan putrimu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak‟. ‟tanya
Beliau, „Apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan saudara
perempuanmu? Jawab pemuda itu, „Tidak.‟ Tanya Rasulullah, „Apakah
apakah kamu rela jika ada seorang laki-laki yang berzinah dengan saudara
ayahmu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak.‟ ‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela
jika ada seorang berzinah dengan saudara perempuan ibumu? Jawab
pemuda itu, „Tidak.‟ Kemudian beliau Saw. Meletakkan tangan beliau
Saw. Di atas telapak tangan pemuda itu seraya berdoa. Ya Allah,
ampunilah dosa pemuda ini, sucikan hatinya, dan lindungilah
kemaluannyadari perbuatan keji.‟ Kemudian kata Abu Umamah, „setelah
mendapat berbagai pertanyaan dari beliau Saw. Seperti itu, maka pemuda
itu segera pergi dan ia menjadi pemuda yang paling suci dari sejumlah
pemuda yang ada di kota Madinah.31
31
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:
Republika, 2011), h.337
93
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa al-Qur’an ketika
berbicara mengenai konsep mau’izhah hasanah, diartikan dengan konsep
metode berdakwah dengan penuh kelembutan, kasih sayang, tidak
memaksa, dan tidak menyakiti hati para mad’u. Dengan berdakwah yang
menyentuh hati, di mungkinkan mad’u akan cepat dengan sendirinya
menyadari pentingnya kebaikan untuk dilaksanakan dan keburukan untuk
ditinggalkan.
Dari arti yang diberikan oleh beberapa ahli tafsir tersebut, kata
mau’izhat dapat dikelompokkan, pertama bahwa mau’izhat itu lebih dekat
sebagai dalil; kedua, mau’izhat itu pelajaran yang berkaitan dengan
kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikaitkan dengan dakwah, dapat
disimpulkan bahwa mau’izhat adalah pekerjaan (materi dakwah) yang
disampaikan dengan dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang tepat
yang dapat memuaskan orang atau audien yang dihadapi sehingga jiwanya
menjadi tenang.
Dari pemahaman di atas, mau’izhat ketika dikaitkan sebagai
metode dakwah adalah merupakan sebuah metode dengan menggunakan
dalil-dalil, argumentasi yang tepat sehingga orang yang diseru (obyek
dakwah) menjadi puas menerima seruan atau materi dakwah dengan
penuh rasa kasih sayang.
94
Sementara da’i mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an adalah
seorang juru dakwah yang berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang
diucapkannya; ceramah dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang
menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan.
Pelaku da’i mau’izhah hasanah adalah tergolong usianya lebih tua dari
yang di dakwahi sebagaimana menurut al-Quran surat luqman: 13. Yakni
seseorang yang lebih tua/ayah dan memiliki kapasitas ilmu dan hikmah
yang memadai.
Sedangkan mad’u metode ini adalah orang-orang awam atau
golongan kebanyakan. Materi yang akan disampaikan kepada mereka
harus sesuai dengan daya tangkap mereka. Di hadapan mereka tidak sesuai
apabila kata yang mempunyai arti logis, mengucapkan istilah-istilah asing.
Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan
melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat
al-Qur’an, misalnya;
1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap
pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66).
2) Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku
riba ( QS al-Baqarah; 275).
3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-
Maidah; 46).
4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan
yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
95
5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti
melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)
6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS.
Hud; 120)
7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)
8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS. al-Nur;34)
9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara
menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)
Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung
dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya
bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens
dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran
Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah
merasuk kedalam jiwanya.
Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan
perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah,
sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu
membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada
pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang
kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana
antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit,
melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.
Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan
ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang
96
dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah
al-hasanah, meliputi :
1. Menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa umat yang dihadapi,
2. Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana,
3. Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka
jera melakukannya, dengan menempuh targhib wa al-tarhib
4. Memberikan teladan yang baik
B. Saran-saran
Setelah membahas secara panjang lebar “Konsep Mau’izhah
hasanah dalam al-Qur’an”, penulis akhirnya menyarankan beberapa hal
kepada semua pihak yang terkait, guna mendukung konsep metodologi
dakwah yang lebih efektif ke depannya. Di antaranya adalah:
1. Terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang belum
terklasifikasikan. Maka, kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan
secara konkrit dan lebih luas lagi, agar kita sebagai juru dakwah
dapat lebih memahami konsep berdakwah yang lebih luas lagi,
supaya sasaran dan pesan dakwah lebih cepat tersampaikan kepada
para mad’u.
2. Ayat-ayat mau’izhah hasanah yang di bahas pada skripsi ini adalah
ayat-ayat yang menjelaskan seputar cara berdakwah dengan konsep
mauizah hasanah, yakni berdakwah dengan kasih sayang,
menyentuh hati, tidak memaksa namun diberi alasan logis, serta
menentramkan jiwa. Oleh karena itu diharapkan kepada semua
umat khususnya para wakil dan juru bicara Allah, untuk
97
melaksanakan dan mengamalkan konsep berdakwah ini dengan
penuh semangat dan taat, insya Allah bermamfaat dan meraih
berkah dunia akhirat. Aminn
3. Ayat-ayat yang penulis bahas mengenai mau’izhah juga tidak lepas
dari unsur da’i dan mad’u , untuk itu seorang da’i hendaklah
menyampaikan sesuai dengan kadar kemampuan para mad’u,
begitu juga dengan mad’u hendaklah menggunakan akal sehat dan
hati nurani untuk mencerna dan menghayati pesan-pesan Allah
melalui wakil-Nya di atas muka bumi ini, dengan itu perpaduan
antara da’i dan mad’u insya Allah akan membentuk komunitas
dakwah IlaAllah dan membumikan dakwah Allah di atas jagat
bumi ini, hingga tercapailah kedamaian, ketentraman dalam hidup.
4. Semoga dengan adanya pembahasan mengenai konsep tata cara
berdakwah mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an ini, bisa lebih
membuka hati para da’i dan mad’u untuk lebih memfokuskan
makna dakwah dan cara berdakwah sebenarnya. Serta semoga
semakin banyak kajian dakwah yang lebih mengkhususkan kepada
penafsiran, karena terbukti sedikit sekali buku yang membahas
tentang tafsir dakwah, bagaimana berdakwah menurut al-Qur’an
dan pandangan para ulama-ulama salaf dan khalaf serta
kontemporer. Supaya lebih merata pesan dakwah dan kebajikan
yang tersampaikan.
98
Terakhir, penulis berharap semoga penelitian ini mampu menjadi setitik sumber
pengetahuan yang bermamfaat, khusus bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada
kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar. Kuwait: Dar al-
Dakwah. 1989.
Al-Farmawy, Al-Hayy. metode tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1996.
Al-Wa’iy, Taufik. Dakwah Ke Jalan Allah. Jakarta: Rabbani Press, 2010.
Arifin, Arifin. Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.2011.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2009.
At-Tabataba’i, Al-‘Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain. al-mazan fi tafsir al-
Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Matbu’at, 1972.
Al-bayanuniy, Syekh Muhammad Abu Al-Fath. Ilmu Dakwah prinsip dan kode
etik, berdakwah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta Timur: Akademika
Pressindo. 2010.
Alu Syaikh; Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin ishak. Tafsir Ibnu
Katsir. Penerjemah. M. ‘Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i. 2009.
Al-Qahtani, Said bin Ali. Dakwah Islam Dakwah Bijak. Jakarta: Gema Insani
Press. 1994.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. rawa’iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam. Beirut: da
fikri. Tt.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari. Penerjemah
Ahsan Askan. besus hidayat ed. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Aunur
Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha. Muhammad Ihsan.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2012, cet. Ke- 13.
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi. Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir, tt
Ibn Umar Ibn Katsir, Abu Al-Fida, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim. Tahqiq oleh
Samy bin Muhammad Salamah. Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa
Tawji’,1420 H, jilid iv.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam,Tafsir Al-Qurtubi. Penerjemah, Asmuni; editor,
Mukhlis B. Mukti. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
As-Suyuthi, Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli,
Tafsir Jalalain. Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo. Tt.
Ath Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid. Jami’ul Bayan Fi Ta’wil
Al-Qur’an. Mesir: Muassatur Risalah. 1420 H.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir. Penerjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.s
Abdul Aziz, Jum’ah Amin. Fiqh Dakwah. Solo: Era Inter Media. 2000.
Al-Futuh, Muhammad Abu. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da’wat. Beirut: Muassasah al-
Risalah. 1991.
As-Suhaimi, Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah. Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini
seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf. Jakarta: Darul Haq,
2008.
Abdul Baqi’, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Qur’an al-Karim.
Qahirah: Dar al-Hadis. 1998.
Baqir Hakim, M. Ulumul Quran. Jakarta: Al-Huda. 2006.
Fadlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera, 1997.
Faqih Imani, Allamah Kamal, dan Tim utama. Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2008.
Faizah, konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik. Tesis Pasca Sarjana. Jakarta:
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. 2004.
Fadhlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera. 1997.
Husayn, Fadhlullah Muhammad. uslub ad-Da’wat fi al-Qur’an. alih bahasa oleh
tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-
Qur’an. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997.
Hasanuddin, Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996.
Hafidhuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani. 1998.
Ismail, Ahmad Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2008.
Ilaihi, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup.
Jakarta: Republika. 2011.
Ismail, Ahmad Ilyas & Hotman, Prio. Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun
Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana. 2011.
Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup.
Jakarta: Republika. 2011.
Luthfi, Athabik. Tafsir Da’awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da’i,
Jakarta: al-I’thisam. 2011.
Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.
Muhiddin, Asep. Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka
Setia. 2002.
Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999.
Muriah, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta:Mitra Pustaka. 2000.
Masyhur, Syaikh Musthafa. Fiqh Dakwah. Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat.
2012.
Machfoed, A. Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Nizhan, Abu. Buku Pintar Al-Quran. Cianjur: Qultum Media. 2008.
Quthub, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. dibawah naungan al-Qur’a. Jakarta:
Gema Insani. 2003.
Romli, Asep Syamsul M. Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis. (T.tp.: T. Pn.,
2013.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999.
Shihab, Quraish. TafsirAal-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2007, cet ke-VII, vol 7.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3. Jakarta: Pustaka Pirdaus,
2004.
Syadali, Ahmad & Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an 1, untuk Fakultas Tarbiyah
komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.
Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an. Disertasi Doktor,
Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Perpustakaan Utama
UIN Jakarta. 2002.
Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus. 1997.
Zakaria, Ahmad bin Faris bin. Mu’zam al-maqayis fi al-Lughah. Beirut:dar fikr.
1994.
Sumber Internet
http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-dan-
turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/
http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-
125.html