konsep pendidikan akhlak perspektif k.h. …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1597/1/andri...
TRANSCRIPT
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF K.H. MUHAMMAD SHOLEH DARAT
AL SAMARANI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
ANDRI WINARCO
111-12-003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
MOTTO
هللا صلى هللا علیھ وسلم:عن ابي ھریرة رضي هللا عنھ قال: قال رسول
ناأحسنھم خلقاااكمل المؤمنین إیم
(رواه الترمذى).
“Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik
akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi).
vi
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini, kupersembahkan untuk:
1. Ayah dan Ibu, yang tidak pernah berhenti mendoakanku.
2. Para Kiai dan Guruku, ilmu yang disampaikan tidak akan terbalas dengan
materi apapun.
3. Seluruh keluarga besarku, yang telah memberikan dukungan dalam
menimba ilmu.
4. Dra. Supartinah, Sp. THt., yang telah memotivasiku untuk menimba ilmu.
5. Keluarga Besar Bidikmisi IAIN Salatiga, yang telah memberikan sarana
penunjang dalam memperjuangkan kelancaran studi ini.
6. Keluarga PP. Al Islah, Cengek, Tingkir dan PP. Edi Mancoro,
Gedangan, Tuntang, yang membersamai langkah-langkahku dalam
menggapai asa.
7. Keluarga Besar Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz, yang telah menghiasi
perjalananku selama ini.
8. Yaa Bismillaah, keluarga kedua yang peluk hangatnya selalu mampu kurasa.
9. Sahabat-sahabatku, Muhammad Hasanuddin, Lc dan Taufiqurrahman,
S.Pd., yang senantiasa menjadi sahabat terbaikku dalam menuntut ilmu.
10. Akrom Musabbihin, S.Pd. dan Muhammad Sulkhan, yang telah
meluangkan waktunya untuk membantuku dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Dan teruntuk semuanya, terimakasih.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK).
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam,
yang berkenan mengoreksi dan mengarahkan judul skripsi di tengah padatnya
tugas.
4. Bapak Drs. A. Bahrudin, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik, beserta
bapak dan ibu dosen yang telah berkenan membimbing penulis selama masa
studi.
5. Bapak Achmad Maimun, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan serta ide cemerlangnya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Orangtuaku tercinta, yang selalu memberikan inspirasi, motivasi, aspirasi dan
gemblengan bagi penulis.
7. Semua pihak yang telah mendukung penulis selama ini, yang tak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Jazakumullahu khair al-jaza’.
Kepada mereka semua, penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang
telah diberikan kepada penulis. Akhirnya, dari karya tulis ini penulis berharap
kemanfaatan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Penulis
viii
ABSTRAK
Winarco, Andri, 2017, Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag.
Kata Kunci: Konsep, Pendidikan, Akhlak, Sholeh Darat.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Salah satu dari sekian banyak tokoh Islam di Indonesia yang mengedepankan akhlak di atas ilmu ialah tokoh dari Semarang yang lebih dikenal dengan nama KH. Muhammad Sholeh Darat. Rumusan masalah dalam penelitian ini: 1) Bagaimana konsep pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak? 2) Bagaimana relevansi pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini? Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Adapun sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang berkaitan dengan judul penelitian. Data sekunder diambil dari literatur dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Sementara itu, metode pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Adapun teknis analisa data menggunakan metode deduktif, induktif, dan historis. Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Kiai Sholeh Darat tentang pendidikan akhlak terbagi menjadi eksistensi akhlak, sumber akhlak, klasifikasi akhlak, metode pendidikan akhlak, dan urgensi akhlak. Konsep pendidikan akhlak beliau adalah konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan pada pembiasaan-pembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalam berwudhu, mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergi ke tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Di sisi lain, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan kepada manusia untuk selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat. Selain itu, Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan kepada manusia untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan sebagai proses tazkiyatun nafs. Adapun relevansi pendidikan akhlak Kiai Sholeh Darat dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yang diusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era pendidikan saat ini lebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif. Hasilnya pun juga baik, terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam dunia masyarakat mereka tidak akan mampu menggantikan dari segi afektif, yang terdidik dalam bidang akhlaknya.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN BERLOGO............................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. v
MOTTO...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................ viii
ABSTRAK................................................................................................. ix
DAFTAR ISI.............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................
C. Tujuan Penelitian...................................................................................
D. Manfaat Penelitian.................................................................................
E. Metode Penelitian..................................................................................
F. Penegasan Istilah...................................................................................
G. Sistematika Penulisan............................................................................
1
4
5
5
6
10
13
BAB II BIOGRAFI TOKOH
A. Konteks Internal....................................................................................
1. Riwayat keluarga Muhammad Sholeh Darat Al Samarani................
2. Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani...........
3. Mengajar di Pesantren.......................................................................
4. Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani...............
5. Karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani........................
6. Napak Tilas Muhammad Sholeh Darat Al Samarani........................
B. Konteks Eksternal..................................................................................
1. Aspek Keagamaan.............................................................................
16
16
19
27
33
39
44
47
47
x
2. Aspek Sosial Politik..........................................................................
3. Aspek Sosial Budaya.........................................................................
C. Corak Pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.....................
1. Bidang Teologi..................................................................................
2.Bidang Tasawuf.................................................................................
3.Bidang Akhlak...................................................................................
4.Bidang Fiqih.......................................................................................
5. Bidang Pendidikan.............................................................................
D. Pendapat Para Ulama dan Para Cendekiawan.......................................
1. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar
Nahdlotul ‘Ulama’/PBNU)...............................................................
2. Peter Carey (Sejarawan University of Oxford).................................
3. K.H. Ahmad Wafi MZ. (Pengasuh PP. Al Anwar, Sarang,
Rembang)..........................................................................................
4. Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A. (Guru Besar Sejarah Islam
UIN Sunan Kalijaga)........................................................................
5. Dr. Abdullah Salim (Dosen Unissula Semarang juga Peneliti
Pertama Naskah K.H. Sholeh Darat)................................................
6. Dr. Nur Cholis Majid (Cendekiawan Muslim Indonesia).................
7. K.H. Ahmad Hadlor Ihsan (Pengasuh PP. Al Islah Mangkang,
Tugu, Semarang juga Mantan Rois Syuriyah PCNU Kota
Semarang).........................................................................................
50
54
57
57
60
62
63
67
70
70
71
72
72
73
74
74
BAB III KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Akhlak................................................................................
1. Pengertin Pendidikan........................................................................
2. Akhlak, Moral, Etika, dan Budi Pekerti............................................
3. Pendidikan Akhlak............................................................................
B. Sumber Pendidikan Akhlak..................................................................
1. Al Qur’an..........................................................................................
2. Hadits................................................................................................
3. Ijtihad................................................................................................
75
75
78
83
85
85
87
89
xi
4. Adat Istiadat.......................................................................................
C. Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak................................................
D. Unsur-Unsur Pendidikan Akhlak..........................................................
1. Pendidik............................................................................................
2. Peserta Didik.....................................................................................
3. Metode Pendidikan Akhlak...............................................................
4. Materi Pendidikan Akhlak.................................................................
5. Lingkungan Pendidikan Akhlak........................................................
E. Hubungan Akhlak dengan Ilmu.............................................................
91
92
95
95
96
97
101
102
104
BAB IV PEMIKIRAN TOKOH
A. Analisis Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani................................................................................................
1. Eksistensi Akhlak..............................................................................
2. Sumber Akhlak..................................................................................
3. Klasifikasi Akhlak.............................................................................
4. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak.......................................................
5. Hubungan Akhlak dengan Ilmu.........................................................
B. Relevansi Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
dengan Pendidikan Saat ini...................................................................
108
108
109
113
125
137
138
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Saran.................................................................................................
144
145
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 4 : Ringkasan Skripsi dalam Bentuk Power Point
Lampiran 5 : Pernyataan Melakukan Wawancara
Lampiran 6 : Foto-foto Penelitian
Lampiran 7 : Lembar SKK
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga
setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan
pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Namun,
pendidikan akhlak akhir-akhir ini hampir terlupakan oleh banyak kalangan
masyarakat bahkan kalangan terpelajar sekalipun. Karena, masa kini adalah
masa peradaban modern, di mana dalam dunia pendidikan sering kali kita
melihat pendidikan hanya berorientasikan pada nilai-nilai akademik semata.
Hal ini menyebabkan semua kalangan krisis akan keteladanan, yang mana
krisis keteladanan ini merupakan krisis terbesar melebihi krisis energi,
kesehatan, pangan dan air (Masyhuri, 2013:131).
Fakta masa kini yaitu lebih banyak seseorang yang pergi mencari ilmu
atau menuntut ilmu bukan untuk mengejar arti yang sebenarnya dari ilmu atau
hakikat ilmu, tetapi mayoritas memburu nilai, apakah baik atau buruk nilai
yang didapatkan. Dalam hubungannya dengan ini, mayoritas dari mereka lupa
akan hakikat dari ilmu itu sendiri sehingga yang dihasilkan tidak sesuai
dengan apa yang telah dipelajari selama di dalam lembaga pendidikan.
Sebagai contoh, ketika anak pulang dari sekolah atau belajar, hal yang
ditanyakan oleh orang tua bukan “Bagaimana tadi pembelajarannya di
sekolah?” melainkan “Berapa nilai yang kamu dapatkan?” Pernyataan
demikian membuktikan bahwasanya anak terdukung untuk mencari nilai
1
akademik dibanding untuk mendalami apa hakikat ilmu tersebut. Maka
hakikat ilmu yang terkandung didalamnya tersisihkan hingga orang lebih
cenderung fokus pada aspek intelligensi.
Sebagai contoh yang lain, banyak kalangan terpelajar yang masih
tergiur akan manisnya dunia. Seperti halnya melakukan korupsi, meminum-
minuman keras, pergaulan bebas, memakai narkoba dan lain sebagainya.
Dalam sistem pendidikan atau dalam hal keilmuan hal ini sudah terbukti
merugikan diri sendiri bahkan menjalar kepada lingkungan sekitar. Tetapi
karena ilmu yang mereka dapat tidak diaplikasikan dan kurangnya kesadaran
dalam diri mereka, akhirnya mereka terjerumus dalam berbagai pelanggaran
norma.
Tidak ada di dunia ini yang sempurna, orang yang sudah mengerti
agamapun sering terjerumus di dalam masalah keduniaan. Dan itu memang
menjadi ujian bagi seorang ulama untuk mendapatkan derajat yang lebih
tinggi lagi. Masalah keduniaan bisa juga disebut dengan cinta kepada dunia.
Tidak ada di dunia ini yang lebih dicintai daripada dunia. Bahkan dunia
mengalahkan segala-galanya entah itu anak, tetangga, istri dan bahkan orang
tua pun menjadi tak terhiraukan akibat dari cintanya seseorang terhadap
dunia.
Orang yang cinta dunia maka hal yang paling diutamakan dari segala-
galanya adalah dunia. K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
menyebutkan dalam kitab beliau yaitu Kitab Munjiyat, bahwa orang yang
cinta akan dunia di dalam hatinya akan ditetapkan oleh Allah SWT empat
2
perkara yaitu susah yang tidak putus selesainya, segala urusan yang tidak
pernah selesai, keinginan yang tidak pernah selalu sampai pada ujungnya dan
angan-angan yang tidak pernah sampai kepada ujung. Maka dapat dikatakan
orang yang cinta akan dunia, akan terus memburu dunianya sampai kapanpun
dan tidak akan pernah merasa puas apalagi bersyukur terhadap Sang Pencipta
atas nikmat-Nya (Darat, Tanpa tahun:27).
Seseorang yang mampu mengerti akan hakikat dari ilmu tersebut akan
mampu memilah-milah mana yang harus dilakukan dan mana yang harus
dihindari, hal ini akan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
pendidikan. Karena melihat sebegitu pentingnya tentang peranan ilmu, maka
diwajibkan menuntut dan mengamalkannya. Dengan mengamalkan ilmu
engkau akan memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat (Al Haddad,
2007:83).
Menurut para ulama’, ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang senantiasa
diliputi oleh rasa Khasyah (takut) kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-
Nya.
عزیز غفور إنما یخ من عباده العلماء إن هللا شى هللا
Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir:28) (Al Qur’an, t.th:438).
Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan, bahwa tanda manfaat ilmu
seseorang itu selalu didampingi petunjuk dan amal nyata. Artinya bila ilmu
itu hanya sekedar ungkapan, teori dan basa-basi, itu bukan ilmu yang
bermanfaat (Masyhuri, 2013:127).
3
Bahkan pahlawan nasional Indonesia yang menjadi emansipasi wanita
di Indonesia bahkan sampai ke ranah Internasional yaitu R.A. Kartini. Dalam
buku Kartini Nyantri (Ulum, 2016:159), R.A. Kartini menjelaskan tentang
pentingnya pengamalan ilmu dalam suratnya kepada R.M. Abendanon Madri
pada 21 Januari 1901 yang tertulis:
“Seorang pendidik harus juga memelihara pembentukan budi pekerti, walaupun tidak ada hukum secara pasti mewajibkannya melakukan tugas itu. Secara moril ia wajib berbuat demikian. Dan saya menjalankan tugas itu? Saya yang masih perlu juga lagi dididik ini? Kerap kali saya mendengar orang mengatakan bahwa dari yang satu dengan sendirinya budi itu menjadi halus, luhur. Tetapi dari pengamatan saya, sayang saya berpendapat, bahwa hal itu sama sekali tidak selamanya demikian. Peradaban, kecerdasan fikiran, belumlah merupakan jaminan bagi kesusilaan. Dan orang tidak boleh terlalu menyalahkan mereka yang budi pekertinya tetap jelek meskipun pikirannya cerdas benar. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahan tidak terletak pada mereka sendiri melainkan pada pendidikan mereka. Memang telah banyak, aduh bahkan begitu sangat banyaknya mereka yang mengusahakan kecerdasan fikiran. Tetapi apa yang telah diperbuatnya untuk pembentukan budi pekerti mereka? Sesuatupun tidak ada.”
Maka dari itu, berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, melalui
penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif K.H.
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani ini, penulis berusaha membahas
lebih dalam tentang pendidikan akhlak menurut Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka permasalahan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
4
1. Bagaimana konsep Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang
pendidikan akhlak?
2. Bagaimana relevansi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang
pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui konsep Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang
pendidikan akhlak.
2. Mengetahui relevansi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang
pendidikan akhlak dengan pendidikan saat ini.
D. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah di atas
mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan
pendidikan di Indonesia secara umum dan pendidikan Islam dalam
bidang akhlak pada khususnya.
b. Sebagai salah satu sumbangan dari pokok-pokok pemikiran
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak pada
masa mendatang.
5
2. Manfaat praktis
a. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan panduan bahwa
pendidikan akhlak memiliki peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan moralitas di dalam kemasyarakatan dan lingkungan
sekitarnya.
b. Bagi orang tua, penelitian ini dapat dijadikan panduan dalam mendidik
anak agar memiliki khasanah moralitas yang luhur.
c. Bagi remaja, dengan penelitian ini diharapkan nantinya dapat
menambah pengetahuan dalam bidang akhlak untuk diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mencapai keselamatan dan
kedamaian serta kebahagiaan di dunia yang fana ini sampai di akhirat
kelak.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan.
Obyek penelitian digali lewat beragam informasi kepustakaan berupa
buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah dan dokumen (Zed, 2004:
89).
2. Sumber data
Adalah subyek penelitian dimana data menempel
(https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-
6
data-jenis-jenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/, diakses pada 03
Januari 2017, 02.38 WIB). Sebelum peneliti mengumpulkan data, peneliti
memperhatikan kualifikasi sumber data yang relevan dengan penelitian
yang dilakukan. Sumber data dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Data primer
Adalah buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek
material penelitian (Kaelan, 2010:143). Data primer diambil dari
karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang berkaitan
dengan judul penelitian. Yaitu diantaranya Kitab Munjiyat, Kitab
Minhajul Atqiya’, Kitab Matnu Al Hikam, Kitab Syarah Barzanji,
Kitab Fasholatan, Kitab Munasiku Al Hajj Wa Al ‘Umroh Wa Adabu
Ziyarotu Li Sayyidi Al Mursalin Sholla Allahu ‘Alaihi Wa Sallam
Wajibun ‘Ala Al Hajj An Yu’arrifuha Li Al ‘Abidi Adz-Dzalil, Kitab Al
Mahabbah Wa Al Mawaddah Fi Tarjamati Qouli Al Burdah Fi Al
Mahabbah Wa Al Madhi ‘Ala Sayyidi Al Mursalin Li Al Imam Al
‘Allamah Al Bushoiri, Kitab Lathoifi Ath-Thoharoti Wa Asrori Ash
Sholati, Kitab Majmu’ati Asy Syari’ati Al Kafiyati Li Al’awami, Kitab
Al Mursyidu Al Wajiz Fi ‘Ilmu Al Qurani Al ‘Aziz, Kitab Faidh Al
Rahman, Kitab Sabilu Al ‘Abid, dan Kitab Hadits Al Mi’raj.
b. Data sekunder
Adalah sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan
yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara
langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu
7
yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144). Data sekunder diambil dari
literatur dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan
penulis. Diantaranya yaitu Buku Bekal Hidup Bahagia Dunia Akhirat
terjemah Kitab Risalatul Mu’awanah, dan buku-buku yang lain yang
bersangkutan dengan penelitian.
3. Metode pengumpulan data
Metode yang digunakan penulis untuk mengumpulkan berbagai
sumber data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan metode
wawancara. Metode dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk
mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, legger, agenda dan
sebagainya (Arikunto, 2006:231). Metode dokumentasi ini, data mengenai
penelitian yang diperoleh dengan cara menghimpun data dari berbagai
literatur, baik artikel, jurnal, majalah, maupun buku-buku yang berkaitan
dengan pembahasan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan
dalam penyusunan skripsi ini.
Metode wawancara yang dimaksud disini adalah teknik
mengumpulkan data adalah teknik untuk mengumpulkan data yang akurat
untuk keperluan proses pemecahan masalah tertentu, yang sesuai dengan
data. Pencarian data dengan teknik ini dilakukan dengan cara tanya jawab
secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang atau beberapa
orang yang diwawancarai (Muhamad, 2008:151).
8
4. Teknik analisis data
Yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih
mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono,
2014:335). Beberapa Macam-macam metode yang digunakan dalam
menganalisis masalah adalah sebagai berikut:
a. Historis
Metode ini berkaitan dengan latar belakang historis tokoh/filsuf
tersebut, serta latar belakang agama, sosial, budaya, filsafat
paham/aliran, pendidikan, keluarga serta pengalaman hidupnya
(Kaelan, 2010:176). Dalam hal ini, penulis mengungkap tentang latar
belakang historisnya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.
b. Deduktif
Adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi
yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk
menjelaskan kesimpulan atau generalisasi tersebut (http://makalah-
update.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-dan-
metode.html, diakses pada 03 Januari 2017, 02.54 WIB). Metode ini
digunakan penulis untuk menganalisa data tentang pendidikan akhlak
yang ada di sekitar dalam kehidupan sehari-hari.
9
c. Induktif
Adalah diilustrasikan dengan usaha peneliti dalam mengolah
data secara berulang-ulang tema-tema dan database penelitian hingga
peneliti berhasil membangun serangkaian tema yang utuh (Creswell,
2010:261). Metode ini digunakan penulis dalam menganalisa
pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam karya-karya Muhammad
Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikan akhlak, guna ditarik
kesimpulan dan dicari relevansinya dengan pendidikan akhlak pada
saat ini.
F. Penegasan Istilah
Sebelum penulis membahas lebih lanjut yang menjadi inti permasalahan
dan untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu penulis jelaskan
istilah-istilah yang berkaitan dengan judul di atas yaitu antara lain:
1. Konsep
Konsep adalah sejumlah pengertian atau ciri yang berkaitan dengan
berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal lain yang sejenis
(Muhamad, 2008:65-66). Maka, konsep merupakan dasar dari segala
pemikiran dan komunikasi.
2. Pendidikan akhlak
Dalam konteks Islam pendidikan dimaknai dengan beberapa istilah
yaitu tarbiyah yang berakar dari kata rabba, ta’dib yang berakar dari kata
addaba dan ta’lim yang berakar dari kata ‘allama. Secara definitif, Omar
10
Mohammad al-Toumy al-Syaebani menyebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan masyarakatnya dan kehidupan dalam alam
sekitarnya (Muhmidayeli, 2011:65-66).
Selanjutnya, bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro,
mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan
tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Nata, 2010:338).
Menurut Ibnu Kholdun, pendidikan tidak hanya dibatasi oleh ruang
dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara
sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam
sepanjang zaman (Iqbal, 2015:528). Dalam UU RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1
menyebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, 2006:5).
Secara bahasa akhlak berasal dari kosakata bahasa arab. Terdapat
dua pendapat dalam hal ini, yaitu pendapat pertama, kata akhlak
11
merupakan isimmasdar dari kata akhlaqa-yukhliqu-akhlaqan yang berarti
althabi’ah (tabiat), al ‘adat (kebiasaan), almaru’ah (peradaban baik).
Pendapat kedua menyatakan bahwa kata akhlak bukan isimmasdar tetapi
isimjamid atau ghairmustaq yakni kata yang tidak memiliki akar kata
karena bentuknya memang telah ada sedemikian. Menurut istilah, Al
Ghozali menyatakan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa akhlak
adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu
perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan
analisa (Jamil, 2013:2-3).
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah
pendidikan tentang prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak
(tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa
pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi
lautan kehidupan (Ulwan, 1995:177).
3. Perspektif
Perspektif juga bisa berarti sudut pandang atau pandangan
seseorang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu
(http://karyatulis.singkatpadat.com/pengertian-perspektif.htm, diakses
pada 29 Desember 2016, 12.06).Jadi, perspektif yang dimaksud disini
adalah pandangan ataupun sudut pandang seorang ulama besar yang
dimaksud yaitu K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani.
12
4. Muhammad Soleh Darat Al Samarani
Adalah dikenal sebagai syaikhul masyayikh (maha guru) yang
menelurkan banyak alim ulama di Nusantara, khususnya di Jawa (Ulum,
2016:35). Menurut Abdul Karim (Ulum, 2016:xiii) mengatakan bahwa
beliau juga dapat dikatakan sebagai ulama yang produktif dalam
menghasilkan sebuah karya tulis yang mana mayoritas karyanya tertulis
dengan bahasa arab pegon.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami isi dari skripsi ini dengan mudah, maka
penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis
besar. Yaitu skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling
berhubungan, sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai beberapa poin
diantaranya latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
penegasan istilah dan sistematika penulisan.
BAB II Biografi Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang konteks
internal yang terdiri dari: riwayat keluarga, riwayat
pendidikan, langkah gerakan, mengajar di pesantren,
13
napak tilas, dan karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani. Selain itu, dibahas juga mengenai konteks
eksternal yang meliputi: aspek keagamaan, aspek sosial
politik dan aspek budaya. Selanjutnya dalam bab ini
dipaparkan pula mengenai beberapa pokok pemikiran
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani dalam beberapa
konteks, yaitu: bidang teologi, bidang tasawuf, bidang
akhlak, bidang fiqih, dan bidang pendidikan. Selanjutnya,
dalam bab ini diakhiri dengan penjelasan tentang pendapat
beberapa ulama dan cendekiawan terkait dengan
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani secara umum.
BAB III Kajian Teori Pendidikan Akhlak
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang kajian teori
pendidikan akhlak secara umum yang meliputi beberapa
pembahasan diantaranya: pengertian pendidikan akhlak,
sumber-sumber pendidikan akhlak, konsep dan tujuan
pendidikan akhlak, hubungan akhlak terhadap ilmu.
BAB IV Pemikiran Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat
Al Samarani
Dalam bab ini penulis akan menjawab dari rumusan
masalah yaitu konsep pendidikan akhlak perspektif
Muhammad Sholeh Darat Al Samarani yang terdiri dari:
eksistensi akhlak, sumber akhlak, klasifikasi akhlak,
14
metode pendidikan akhlak, dan hubungan akhlak terhadap
ilmu. Serta membahas tentang relevansinya konsep
pendidikan akhlak perpektif Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani pada masa kini.
BAB V Penutup
Pada bab ini penulis menyimpulkan dari pemaparan-
pemaparan dari beberapa bab diatas yang meliputi pokok
bahasan kesimpulan dan saran.
15
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI
A. Konteks Internal
1. Riwayat keluarga Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
Nama lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar bin Tasmin
Al Samarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat. Ada
dua alasan kenapa dipanggil “Kiai Sholeh Darat”. Pertama, sesuai dengan
akhir surat yang ia tujukan kepada Penghulu Tafsir Anom, penghulu
Keraton Surakarta, yaitu: “Al-Haqir Muhammad Salih Darat” dan juga
menulis nama “Muhammad Salih ibn ‘Umar Darat Semarang” ketika
menyebut nama-nama gurunya dalam kitab Mursyidal Wajiz (Munir,
2008:26). Kedua, sebutan “Darat” di belakang namanya, karena ia tinggal
di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu kawasan dekat pantai
Utara Kota Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar
Jawa (Salim, 1995:15). Adanya laqab (penambahan) ini, memang sudah
menjadi tradisi atau ciri khas dari orang-orang yang terkenal di
masyarakatnya pada masa itu. Kini, di kawasan Darat, Semarang Utara,
didirikan Masjid Sholeh Darat yang merupakan cikal bakal pesantren Kiai
Sholeh Darat (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah,
2016:xxv).
Kiai Sholeh Darat dilahirkan pada 1820 M/ 1235 H di Desa
Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
16
Tahun kelahirannya ini bertepatan dengan tahun kelahirannya ulama
kharismatik yang mempunyai banyak karomah dan menjadi gurunya para
kiai di Jawa-Madura, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan (1820 M/1235
H). Kedua tokoh ini sama-sama menjadi rujukan penting dan tempat
berlabuh ulama Nusantara sebelum melanjutkan pendidikannya ke
Haramain. Sebagian pendapat menuturkan bahwa Kiai Sholeh Darat
dilahirkan di Semarang. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam
muqaddimah tafsir kitab faidhu Al Rahman Fi Tarjamati Tafsiri Maliki
al-Dayyan, “Qala syaikhuna al alim al-allamah bahru al-fahhamah Abu
Ibrahim Muhammad Shaleh ibn Umar al-Samarani baladan maulidan al-
Syafi’i madzhaban.” Yang artinya, “Telah berkata guru kita yang alim dan
sangat alimnya, yang wawasan keilmuannya luas, yaitu ayah Ibrahim,
Muhammad Shaleh, putra Umar dari Semarang, yang dilahirkan di
Semarang pula, dan mengikuti madzhab Syafi’i” (Ulum, 2016:36-37).
Semasa kecil ia dipanggil dengan nama Sholeh. Sholeh lahir dan
dibesarkan dalam keluarga yang alim dan cinta tanah air. Ayahnya adalah
Kiai Umar bin Tasmin, salah satu tokoh ulama’ yang cukup terpandang
dan disegani di kawasan pantai Utara Jawa. Kiai Umar juga merupakan
salah satu pejuang perang Jawa (1825-1830), sekaligus sebagai orang
kepercayaan dari Pangeran Diponegoro (Hakim, 2016:34). Kiai Umar
beserta kawan, kolega dan santri-santrinya berjuang dengan gigih untuk
mempertahankan kehormatan tanah air dari para penjajah (Darat, Terj.
Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxvi).
17
Menurut sebuah sumber, sebagaimana yang diceritakan oleh Agus
Tiyanto yang mendapatkan keterangan ini dari Habib Lutfi Pekalongan
bahwa ibunda Kiai Sholeh Darat masih keturunan dari Sunan Kudus,
yaitu Nyai Umar binti Kiai Singapadon (Pangeran Khatib) ibn Pangeran
Qodin Ibn Pangeran Palembang ibn Sunan Kudus atau Syaikh Ja’far
Shodiq (3/7/2016). Data ini didukung dengan keakraban status guru-
murid antara Kiai Sholeh Darat dengan Raden Kiai Muhammad Sholeh
Kudus yang masih keturunan dari Sunan Kudus dan Syaikh Mutamakkin
Al Hajjini (Kajen, Pati) (Ulum, 2016:37).
Dalam sejarahnya, Kiai Sholeh Darat pernah menikah sebanyak
tiga kali. Perkawinan yang pertama adalah ketika Kiai Sholeh Darat masih
berada di Makkah. Belum diketahui secara pasti siapa nama dari istri
beliau. Dari perkawinan yang pertama ini, Kiai Sholeh Darat dikaruniai
seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Sholeh Darat pulang
ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke
Jawa. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Sholeh
Darat menggunakan nama “Abu Ibrahim” dalam halaman sampul kitab
tafsirnya, Faidh Al-Rahman (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin
Mufarohah, 2016:xxx).
Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kyai Murtadho
teman karib bapaknya terjadi di Semarang. Dari perkawinan ini, mereka
dikaruniai dua orang putera, Yahya dan Kholil. Dari kedua puteranya ini,
telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga
18
kini (Hakim, 2016:83). Kemudian, Kiai Sholeh Darat menikah dengan
Raden Ayu Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo yang juga seorang
syarifah (keturunan Nabi Muhammad SAW). Dari perkawinannya ini,
mereka dikaruniai seorang putri bernama RA Siti Zahroh. Siti Zahroh
dijodohkan dengan Kiai Dahlan, santri Kiai Sholeh Darat dari Termas,
Pacitan. Dari Perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing-masing
Rahmad dan Aisyah. Kyai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti
Zahroh dipasrahkan kepada Kyai Mahfudz, kakak kandung Kyai Dahlan.
Oleh Syaikh Mahfudz, Zahroh dijodohkan dengan Kyai Amir, juga santri
K.H. Sholeh Darat sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahroh
tidak melahirkan keturunan (Dzahir, 2012:6).
2. Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
a. Pendidikan di Jawa
Ketika perang Jawa sudah mulai redam (1830), usia beliau
menginjak 10 tahun. Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan
masa remaja Kiai Sholeh Darat sudah diwarnai dengan ajaran-ajaran
Islam yaitu belajar Al Quran dan Ilmu Agama. Dari usia inilah beliau
mendapatkan gemblengan ajaran agama Islam secara intensif dari
ayahnya, Kiai Umar. Setelah Kiai Umar sudah tidak disibukkan lagi
dengan peperangan. Sebelum tahun 1830, Kiai Sholeh Darat sudah
diberikan sendi-sendi aqidah dan syari’at Islam, namun belum
maksimal sebab kondisi perang yang sedang berkecamuk (Ulum,
2016:39).
19
Kiai Sholeh Darat selain belajar dengan ayahnya, beliau juga
mencari ilmu di beberapa kiai ternama pada masa itu. Di antaranya
guru-guru beliau yang ditimba ilmunya adalah sebagai berikut.
1) K.H. M. Syahid Pati
Seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah
Waturoyo, Margoyoso, Pati. Pesantren ini, hingga kini
keberadaannya masih ada. Kiai M. Syahid adalah cucu dari Kiai
Mutamakkin yang mana Kiai Mutamakkin adalah ulama
Nusantara pada masa Paku Buwono II (1727 M-1749 M). Dari
sinilah Kiai Sholeh Darat memulai pengembaraan ilmunya di
Jawa. Kiai Sholeh Darat belajar beberapa kitab kepada Kiai M.
Syahid yaitu Fath Al Qorib, Fath Al Mu’in, Minhaj Al Qowwim,
Syarah Al Khatib, Fath Al Wahhab dan yang lainnya (Dzahir,
2012:6).
2) Kiai Raden H. Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus
Kepadanya Kiai Sholeh Darat mendalami kitab Tafsir Al
Jalalain karya dari Syaikh Jalaluddin As Suyuthi.
3) Kiai Ishak Damaran Semarang
Kepada beliau, Kiai Sholeh Darat belajar Nahwu dan
Shorof untuk memahami kaidah bahasa Arab.
4) K. Abu Abdullah Muhammad bin Hadi Baquni
Beliau merupakan salah satu mufti dari Semarang dan
kepadanya Kiai Sholeh darat belajar Ilmu Falak.
20
5) Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang
Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Jauhar Al Tauhid
karya Syaikh Ibrahim Laqqani dan Minhaj Al ‘Abidin karya Imam
Al Ghozali.
6) Syeikh Abdul Ghani Bima
Seorang mufti Mekah dari Nusa Tenggara Barat yang
berkunjung ke Semarang. Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji
kitab Masail Al Sittin karya Abu Abbas Ahmad Al Mishri.
7) Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Purworejo
Seorang ulama yang berasal dari Bulus, Gebang, Purworejo.
Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar Ilmu Tasawuf dan Tafsir
Al-Qur’an.
Kiai Sholeh Darat juga belajar agama kepada sahabat-sahabat
dari Kiai Umar, ayahandanya, seperti: Kiai Murtadlo, Kiai Darda’,
Kiai Syada’, dan Kiai Bulkin. Dari sekian banyak guru-guru Kiai
Sholeh Darat yang ada di Jawa menunjukkan bahwa Kiai Sholeh
Darat yang di kala itu masih dalam usia tergolong belia
mencerminkan akan kealimannya dan kecerdasannya. Melihat potensi
yang ada di diri Kiai Sholeh Darat, ayahandanya yaitu Kiai Umar,
berencana akan membawanya ke Tanah Suci yaitu Haramain (Dzahir,
2012:7). Selain untuk menunaikan haji, Kiai Umar juga bermaksud
untuk memberikan pendalaman terhadap pendidikan Islam kepada
Kiai Sholeh Darat (Ulum, 2016:40). Perencanaan akan hijrah ke
21
Tanah Suci atau Haramain juga dilandasi dengan adanya
kekhawatiran akan keamanan di Jawa pasca penangkapan Pangeran
Diponegoro.
b. Pendidikan di Haramain
Setelah Kiai Sholeh Darat belajar agama di beberapa daerah di
Nusantara, Kiai Sholeh Darat diajak ayahandanya ke Haramain untuk
beribadah haji. Sebelum mereka melakukan perjalanannya ke
Haramain, Kiai Umar dan putranya yaitu Kiai Sholeh Darat, singgah
terlebih dahulu di Singapura selama berbulan-bulan. Hal ini karena
menanti izin resmi untuk perjalanannya ke Haramain dengan
menggunakan kapal dari Belanda (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan
Agustin Mufarohah, 2016:xxviii).
Dalam penantiannya, Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat juga
sempat mengajar agama di Singapura. Seiring waktu santrinya
bertambah banyak yang berada di kalangan etnis Melayu dan Jawa. Di
Singapura juga terdapat kerabat beliau yaitu Kiai Umar karena
menikahi salah satu perempuan yang di sana, yang mana kemudian
menurunkan anak perempuan yang diperistri oleh Kiai Muhammad
Hadi Giri Kusumo dari Demak (Ulum, 2016:43). Bahkan di Singapura
juga terdapat perkampungan yang diberi nama Kiai Sholeh.
Kemudian, berangkatlah Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat yang
diperkirakan pada tahun 1835 yang dihubungkan dengan
keberangkatan Syaikh Nawawi Al Bantani pada 1828 yang mana
22
Syaikh Nawawi Al Bantani dengan Kiai Sholeh Darat terpaut tujuh
tahun lebih tua Syaikh Nawawi Al Bantani (Dzahir, 2012:8).
Perjalanannya ke Haramain juga diwarnai berbagai rintangan,
sebelum Kiai Sholeh Darat dan ayahandanya sampai di Haramain.
Hal ini dikarenakan C. Snock Hurgronje telah membuat kebijakan
pembatasan haji atau mempersulit orang Islam dari Nusantara yang
ingin menunaikan ibadah haji. Hal ini juga disebabkan visi dan misi
dari Belanda untuk menjajah perekonomian dan akidah, yang mana
penentang di barisan utama adalah para ulama. Kiai atau ulama
dengan gelar haji bagi mereka yang sepulang dari Haramain diartikan
bahwa mereka sudah menguasai ilmu syari’at. Kemudian, apabila
mereka menyebarkannya ke dalam masyarakat yang pada saat itu
masih belum mengerti akan syari’at, akan terjadi gejolak perang lagi
seperti pasca perang Diponegoro yang mana sangat merugikan bagi
Belanda (Ulum, 2015:215-217).
Bahkan ada sebagian ulama yang nekad pergi ke Haramain
untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan keluarganya. Ia tidak
menggunakan kapal yang telah disediakan oleh Belanda, tetapi
menggunakan kapal layar. Beliau adalah Kiai Ghozali bin Lanah,
keponakan dari Kiai Saman, teman seperjuangan Kiai Umar di barisan
pasukan Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, Haramain menjadi
sebuah tempat berlabuh bagi orang Nusantara karena hal tersebut.
Dalam buku Al Rihlah Al Hijaziyah yang dikarang oleh Syaikh
23
Muhammad Labib Al Batanuni yaitu ketika beliau sedang
mengadakan perjalanan ke Hijaz pada 1327 H menyatakan, bahwa
mayoritas yang mendatangi majlisnya adalah masyarakat Jawa yang
meninggalkan bumi pertiwinya sebab adanya kedzaliman pemerintah
terhadap umat Islam di negerinya. Jumlah asli yang terdapat di Hijaz
dapat dikatakan hanya 5 % dari yang mendatangi majlis tersebut. Oleh
karena itu, terbentuklah kampung Jawa, yang mayoritas mereka
bertempat tinggal di Syamiah, Syi’ib Ali dan Al Falaq, Jabal Qubais,
dan Syaqul Lail (tempat tinggal Kiai Sholeh Darat ketika di Makkah)
(Ulum, 2016:40-43).
Kemudian sampailah Kiai Sholeh Darat di Haramain.
Sesampainya disana dan selepas menunaikan ibadah haji, Kiai Umar,
ayahanda Kiai Sholeh Darat meninggal dunia dan dimakamkan di
sana (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah,
2016:xxviii). Hal ini menjadi ujian yang berat bagi Kiai Sholeh Darat
selama perjuangannya dalam mendalami agama di Haramain, tetapi
dengan semangat untuk mendalami ilmu agama dan mengingat tujuan
mengapa ke Haramain, beliau pantang menyerah dan putus asa untuk
bangkit dan menuntaskan apa yang menjadi hajat beliau. Dengan
semangatnya, Kiai Sholeh Darat menetap selama beberapa tahun di
Haramain untuk memperdalam ilmunya di bidang agama.
24
Selama di Haramain Kiai Sholeh Darat belajar ke beberapa
kitab dan bidang ilmu kepada beberapa ulama yang alim. Beberapa
ulama’ tersebut yaitu:
1) Syaikh Muhammad Al Maqri Al Mishri Al Makki
Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ummul
Barahin karya Imam Al Sanusi dan kitab Hasyiyah Al Baijuri
karya Ibrahim Al Baijuri.
2) Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasballah
Salah seorang ulama’ yang mengajar di Masjid Al Haram
Masjid Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar fiqh dengan
kitab Fathul Wahhab dan Syarah Al Khotib, dan belajar bahasa
Arab dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta
syarahnya.
3) Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan
Salah seorang mufti di Mekah dan pembaharu pada abad ke
13 H sekaligus menjadi seorang mufti dari madzhab Syafi’i.
Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ ‘Ulumuddin
karya Imam Al Ghozali.
4) Sayyid Muhammad Shalih Al Zawawi Al Makki
Beliau merupakan salah seorang pengajar di Masjid
Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’
‘Ulumuddin karya Imam Al Ghozali juz I dan II serta belajar
Shorof.
25
5) Syaikh Ahmad Al Nahrawi Al Mishri Al Makki
Beliau merupakan salah satu pengajar di Masjid Al Haram.
Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Hikam karya Ibnu
‘Athoillah.
6) Kiai Zahid
Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Fathul Wahhab.
7) Syaikh Umar Al Syami
Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji kitab Fathul
Wahhab.
8) Syaikh Yusuf Al Sanbalawi Al Mishri
Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Tahrir karya
Syaikh Zakariya Al Anshori.
9) Syaikh Jamal Al Hanafi
Beliau merupakan salah satu mufti dari madzhab Hanafi di
Mekah. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Tafsir Alquran.
Dengan semangat yang tumbuh dalam diri Kiai Sholeh Darat
dan intelektual yang dimilikinya, menjadikan beliau disegani oleh
beberapa kalangan ulama dan beberapa sahabat beliau di Haramain
hingga penguasa Hijaz. Reputasi yang dimiliki Kiai Sholeh Darat
dalam bidang agama memuncak hingga mendapatkan pengakuan dari
penguasa Mekah pada saat Kiai Sholeh Darat menetap di Mekah. Oleh
karena itu, Kiai Sholeh Darat pada akhirnya diangkat sebagai salah
26
satu pengajar di Haramain oleh penguasa Mekah (Dzahir, 2012:11-
12).
3. Mengajar di Pesantren
Kiai Sholeh Darat dipandang memiliki berbagai keahlian di bidang
ilmu agama yang mana telah terbukti melalui karya-karya beliau yang
sangat fenomenal. Bukan hanya itu, bahkan penguasa dari Mekah
mempercayakan beliau sebagai salah satu pengajar di sana, karena
kealiman dan keilmuan beliau di dalam hal agama. Di Mekah, Kiai
Sholeh Darat mengadakan halaqah yang memiliki banyak pengikut.
Halaqah tersebut dihadiri banyak kalangan, khususnya mayoritas etnis
Melayu dan Jawa yang ada di Asia Tenggara. Kiai Sholeh Darat
mengadakan halaqah ini, bersama-sama dengan para ulama yang berasal
dari Nusantara, di antaranya yaitu Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh
Mahfudz Al Tarmasi, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Al
Fathani, dan Syaikh Kholil Al Bangkalani (Darat, Terj. Miftahul Ulum
dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxi).
Kabar kemasyhuran Kiai Sholeh Darat dalam ilmu agama dan
naiknya reputasi Kiai Sholeh Darat di Haramain terdengar sampai
Nusantara. Kiai Hadi Giri Kusumo yang merupakan kakak ipar Kiai
Sholeh Darat juga sedang belajar di Haramain, mengajaknya pulang Kiai
Sholeh Darat untuk mengentaskan masyarakat di Nusantara dari
kebodohan (Ulum, 2016:48). Pada mulanya Kiai Sholeh Darat menolak
ajakan tersebut, karena beliau sudah diikat oleh penguasa Mekah sebagai
27
salah satu pengajar di Mekah. Hal ini tidak membuat Kiai Hadi Giri
Kusumo menyerah untuk mengajak beliau pulang ke Nusantara, karena
kehadiran Kiai Sholeh Darat di Nusantara dibutuhkan untuk membantu
mengentaskan pribumi dari ketidaktahuan mereka dalam hal agama yang
disebabkan oleh ulah Belanda, sehingga nantinya kehadiran Kiai Sholeh
Darat mampu membawa kemajuan Islam di Nusantara. Kemudian, Kiai
Sholeh Darat terpaksa pulang ke Nusantara, karena bersikerasnya Kiai
Hadi Giri Kusumo dan undangan dakwah dari Syaikh Kholil Al
Bangkalani (Hakim, 2016:71).
Selanjutnya, Kiai Hadi Giri Kusumo merencanakan untuk
menculik Kiai Sholeh Darat untuk dibawa ke Nusantara. Kemudian,
diculiklah Kiai Sholeh Darat dan dimasukkan di dalam peti bersama
dengan barang-barang Kiai Hadi Giri Kusumo. Namun, rencana ini tidak
berjalan dengan mulus, karena kejadian ini telah diketahui oleh sebagian
orang dan terdengar sampai ke petugas ketika di dalam kapal, maka
diperiksalah barang-barang Kiai Hadi Giri Kusumo dan ditemukanlah
Kiai Sholeh Darat di dalam peti (Dzahir, 2012:12).
Dengan didapatinya Kiai Sholeh Darat di dalam sebuah peti, Kiai
Hadi Giri Kusumo dianggap telah menculik salah satu syaikh yang ada di
Mekah, maka beliau ditahan oleh petugas ketika kapal sudah berlabuh di
Singapura. Berita ini sampai kepada murid-murid Kiai Hadi Giri Kusumo
yang ada di Singapura. Kemudian, mereka membantu Kiai Hadi Giri
Kusumo agar bisa bebas dari tahanan petugas. Kiai Hadi Giri Kusumo
28
dapat terbebas dari tahanan dengan syarat harus membayar denda yang
diberikan, maka seketika itu murid-murid Kiai Hadi Giri Kusumo
mengumpulkan dana untuk membantu kiainya agar bebas dari tahanan.
Dengan begitu, terbebaslah Kiai Hadi Giri Kusumo karena bantuan dari
para muridnya tersebut dan kemudian mengajak Kiai Sholeh Darat pulang
ke Nusantara tanpa unsur paksaan (Ulum, 2016:49). Adapun waktu
kepulangan dari Kiai Sholeh Darat ke Nusantara diperkirakan pada tahun
1870 atau 1880 (Hakim, 2016:72).
Sesampainya Kiai Sholeh Darat di Jawa, beliau tidak langsung
mendirikan pesantren, tetapi Kiai Sholeh Darat mengajar di salah satu
pesantren yang ada di desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo.
Pesantren tersebut bernama pesantren Salatiyang yang didirikan pada
abad ke 18 M dan dipelopori oleh tiga orang kiai sufi yaitu Kiai Achmad
Alim, Kiai Muhammad Alim dan Kiai Zain Al Alim. Kemudian,
pesantren ini diteruskan oleh Kiai Zain Al Alim. Sementara itu, Kiai
Achmad Alim mendirikan pesantren di desa Bulus, Kecamatan Gebang,
Kabupaten Purworejo. Adapun Kiai Muhammad Alim (Putra dari Kiai
Achmad Alim) mengembangkan pesantrennya yang telah didirikan di
Desa Maron juga yang diberi nama Pesantren Al Anwar (Darat, Terj.
Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxiv).
Di Pesantren Salatiyang lebih memfokuskan pada bidang
menghafal Al Quran disamping juga mengkaji kitab-kitab kuning.
Kemungkinan besar Kiai Sholeh Darat di pesantren ini lebih membantu
29
pada pendalaman kitab kuning seperti pelajaran fiqh, nahwu, shorof dan
tafsir kepada para santri yang sedang menghafal Al Quran. Sebenarnya,
kedatangan Kiai Sholeh Darat di pesantren Salatiyang adalah untuk
menimba ilmu lagi dengan Kiai Zain bukan untuk mengajar di pesantren
tersebut. Kemudian, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwasanya Kiai
Sholeh Darat mengajar di pesantren Salatiyang sampai pada sekitar 1870-
an. Di antaranya santri yang lulusan dari pesantren ini adalah Kiai Baihaqi
(Magelang), Kiai Ma’aif (Wonosobo), Kiai Muttaqin (Lampung Tengah),
Kiai Hidayat (Ciamis), Kiai Haji Fathullah (Indramayu) dan lainnya
(Dzahir, 2012:16).
Sepulangnya dari Purworejo yaitu pesantren Salatiyang, Kiai
Sholeh Darat mendirikan sebuah pesantren yang menjadi tempat halaqah
para santri beliau di Darat, Semarang, sehingga berdirilah pesantren
Darat. Namun, menurut keterangan dari Agus Tiyanto, pesantren Darat
didirikan oleh mertua Kiai Sholeh Darat yaitu Kiai Murtadlo (Hakim,
2016:79), sementara Kiai Sholeh Darat hanya melanjutkan dan
membesarkan pesantren tersebut yang awalnya hanya sebuah langgar atau
masjid untuk mengaji menjadi tempat yang bisa untuk santrinya
bermukim (Dzahir, 2012:17).
Pondok pesantren Darat terletak di Melayu Darat, Kecamatan
Semarang Utara dekat dengan daerah pantai. Sekarang berganti nama
menjadi Desa Dadapsari. Arsitektur pesantren ini menggunakan bahan
kayu jati yang terdiri dari rumah Kiai, mushola dan asrama santri. Jadi,
30
pesantren ini tidak jauh beda dengan pesantren-pesantren pada umumnya.
Sekarang, bekas dari pesantren ini sudah berubah menjadi beberapa
rumah kampung pedesaan yang tersisa hanyalah masjid tempat untuk
beribadah sehari-hari dan itu pun sudah direnovasi.Selanjutnya, perlu
diketahui bahwasanya pesantren yang dipimpin oleh Kiai Sholeh Darat
merupakan pesantren yang termasuk ke dalam pesantren pascasarjana
bukan pesantren tingkat dasar. Hal ini dikarenakan banyaknya santri yang
sudah pernah menimba ilmu sebelumnya, baik dari pesantren di wilayah
Nusantara maupun yang sudah belajar dari Haramain. Artinya, para santri
yang berguru kepada Kiai Sholeh Darat sudah mempunyai bekal atau
santri senior, bukan santri junior yang masih belum mempunyai modal
dalam keagamaan (Hakim, 2016:79-80).
Pesantren ini kemudian melahirkan banyak ulama yang berada di
Nusantara dan sekaligus menjadi pejuang kemerdekaan RI. Di antaranya
yang menjadi murid Kiai Sholeh Darat ketika Kiai Sholeh Darat masih di
Mekkah adalah K.H. Dalhar (Watu Congol, Muntilan, Magelang), K.H.
Dimyati (Termas, Pacitan), K.H. Dahlan (Termas, Pacitan), K.H. Kholil
Harun (Kasingan, Rembang), K.H. Raden Asnawi (Kudus), Syaikh
Mahfudz Al Tarmasi (Termas, Pacitan).
Adapun murid-murid Kiai Sholeh Darat ketika sudah kembali ke
Nusantara di antaranya adalah K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlotul
Ulama’ dari Jombang), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah),
R.A. Kartini (Tokoh Emansipasi Wanita dari Jepara), Kiai Abdul Syakur
31
ibn Muhsin, K.H. Idris (Solo, yang menghidupan kembali Pesantren
Jamsaren), K.H. Sya’ban (Ahli Falak dari Semarang), Kiai Amir
(Pekalongan, menantu Kiai Sholeh Darat), K.H. Siroj (Payaman,
Magelang), K.H. Munawwir (Cucu Kiai Hasan Besari dan pendiri PP. Al
Munawir Krapyak, Yogyakarta), K.H. Abdul Wahhab Chasbullah
(Tambak Beras, Jombang), K.H. Abas Djamil (Buntet, Cirebon), K.H.
Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Kiai Yasin (Rembang), Kiai Abdul
Shamad (Surakarta), Kiai Yaser Areng (Rembang), K.H. Subakir
(Demak), K.H. Abdul Hamid (Kendal), K.H. Yasin (Bareng, Kudus),
K.H. Ridwan Ibnu Mujahid (Semarang), K.H. Syahli (Kauman,
Semarang), K.H. Thohir (Putra dari Kiai Bulkin Mangkang, Semarang),
K.H. Sya’ban (Ahli Falak dari Semarang yang menulis artikel Qabul Al
‘Athoya ‘an Jawabi ma Shodaro li Syaikh Abi Yahya untuk mengoreksi
kitab Majmu’at Asy Syari’ah karya Kiai Sholeh Darat), K.H. Anwar
Mujahid (Semarang), K.H. Abdullah Sajad (Sendangguwo, Semarang),
Mbah Dawud (Semarang), K.H. Ali Barkan (Semarang), K.H. Ihsan
(Jampes, pengarang kitab Siroju At Tolibin syarah dari kitab Minhaj Al
‘Abidin dan kitab tentang kopi dan rokok Irsyadu Al Ikhwan syarah kitab
Tadzkiratu Al Ikhwan karya K.H Dahlan gurunya), K.H. Umar (Pendiri
PP. Al Muayyad Solo), K.H. Ridwan (Semarang), K.H. Mudzakir
(Sayung, Demak) (Dzahir, 2012:13).
Pesantren Darat, selain difungsikan sebagai kaderisasi ulama’ juga
menjadi tempat penggemblengan para pejuang kemerdekaan RI. Oleh
32
karena itu, tempat ini menjadi salah satu tempat yang diawasi oleh
Belanda. Setelah Kiai Sholeh Darat wafat pada tahun 1903, pesantren
Darat diteruskan oleh menantunya K.H. Dahlan (Adik K.H. Mahfudz Al
Tarmasi dan kakak K.H. Dimyati Al Tarmasi) yang dinikahkan dengan
Siti Zahroh putri Kiai Sholeh Darat. Kemudian setelah wafatnya K.H.
Dahlan, Siti Zahroh menikah dengan Kiai Amir Pekalongan dan sekaligus
pimpinan Pesantren Darat diambil alih oleh Kiai Amir. Tidak lama
kemudian, Siti Zahroh meninggal dan Kiai Amir memutuskan untuk
kembali ke daerah asalnya yaitu Pekalongan. Setelah Kiai Amir,
pesantren Darat diambil alih Kiai Idris. Kiai Idris memboyong sejumlah
santrinya ke Solo untuk menghidupkan lagi pesantren yang ada di
Jamsaren Solo (Hakim, 2016:82).
4. Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
a. Gerakan Intelektualisme
Muhammad Sholeh Darat bin Umar Al Samarani atau biasanya
beliau dipanggil dengan Kiai Sholeh Darat. Sebagai putra seorang kiai
yang sekaligus putra dari salah satu seorang pejuang, yaitu Kiai Umar,
Kiai Sholeh Darat berkesempatan untuk berkenalan dan berguru
kepada sahabat-sahabat dari Kiai Umar yang juga merupakan para
ulama yang terpandang. Maka dari itu, bukanlah suatu kesempatan
yang sia-sia bagi Kiai Sholeh Darat untuk membuat jaringan dengan
para ulama senior di masanya. Di antaranya adalah Kiai Hasan
33
Bashori, Kiai Syada’, Kiai Darda’, Kiai Murtadlo, Kiai Jamsari
Surakarta dan lainnya (Dzahir, 2012:10).
Tidak hanya itu, ketika Kiai Sholeh Darat belajar di Haramain,
Kiai Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan beberapa ulama’
Nusantara yang kala itu sama-sama sedang menimba ilmu di
Haramain, di antaranya adalah Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh
Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Mahfudz Al Tarmasi,
Syaikh Kholil Al Bangkalani, dan lainnya (Darat, terj. Ulum dan
Agustin Mufarohah, 2016:xxxi).
Ketika di Haramain, Kiai Sholeh Darat memang tergolong
mempunyai kealiman dan keahlian di dalam bidang agama. Melalui
itu, Kiai Sholeh Darat terkenal di kalangan ulama’ Haramain hingga
penguasa Mekkah pun mengikat Kiai Sholeh Darat untuk menjadi
salah satu mufti di Mekah. Melalui itu juga, banyak pendatang yang
berdatangan di halaqah yang didirikan semasa di sana. Beberapa
ulama’ juga yang bersentuhan dengan Kiai Sholeh Darat, di antaranya
yaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Seorang mufti dan Rais Al Ulama
juga Syaikhu Al Khuthaba Al Syafi’i), Syaikh Abu Bakar Syatha
(Pengarang kitab Syarah Fath Al Mu’in yaitu I’anatu Ath Tholibin),
Syaikh Ahmad Al Marzuki (Seorang Mujaddid dan pengarang kitab
Aqidatu Al Awwam), dan yang lainnya (Ulum, 2016:68).
Saat Kiai Sholeh Darat tiba di Nusantara khususnya di Jawa,
seketika itu Jawa sudah dalam kekuasaan kolonial Belanda yang
34
sudah secara formal terbentuk di dalam pemerintahan. Dengan
keadaan seperti itu, serangan dengan fisik sudah tidak bisa di lakukan,
karena mengingat revolusi yang pernah terjadi sebelumnya yaitu
ketika Pangeran Diponegoro bersama dengan para ulama’ bersatu
untuk berusaha mengusir penjajahan dari Nusantara. Setelah adanya
revolusi dari Pangeran Diponegoro tidak ada lagi bentuk revolusi
sampai adanya revolusi tahun 1945. Maka dari itu, langkah yang
diambil oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan membumikan Islam
melalui pencerahan pemikiran kepada rakyat pribumi yang mayoritas
belum tertata agama Islamnya dalam beragama (Hakim, 2016:101).
Langkah ini diambil oleh kebanyakan para ulama Nusantara yang
salah satunya adalah Kiai Sholeh Darat sendiri. Seperti yang
dijelaskan di awal bahwasanya langkah ini diambil oleh kebanyakan
ulama’ dikarenakan untuk melancarkan serangan fisik sudah tidak
mampu.
Keadaan Islam pada saat itu jauh dari makna hakikat dari Islam,
hal ini bukan karena tidak ada yang mampu memberikan keterangan
dalam beragama, namun karena Kolonial Belanda melarang adanya
pendidikan tentang keagamaan dalam bentuk apapun. Bahkan, mereka
tidak segan-segan untuk membakar terjemahan dari Alquran, baik
yang tertulis dengan bahasa latin maupun aksara Jawa (Darat, Terj.
Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxix). Dengan
keadaan seperti itu, tentu masyarakat pribumi tidak akan tuntas
35
memahami Islam, jika hal itu terus dilanjutkan, dan agama pun akan
dirasakan dari luar, tidak dapat dirasakan manisnya. Maka dari itu,
usaha Kiai Sholeh Darat mencerdaskan masyarakat, beliau
menjadikan pesantren milik mertuanya untuk mengembangkan dan
menggembleng intelektual masyarakat dalam agama.
Dalam memberikan pencerahan keilmuan, Kiai Sholeh Darat
lebih cenderung menggunakan pendekatan tasawuf. Menurut Kiai
Sholeh Darat, dengan menggunakan pendekatan ini akan lebih sesuai
untuk pemikiran dan mencerahkan rohani, karena yang disiapkan oleh
Kiai Sholeh Darat adalah pencerahan jiwa, mental, pemikiran dan
spriritual. Dengan demikian, bagi Kiai Sholeh Darat pendekatan
tasawuf menjadi pintu strategi untuk mendidik dan membina
masyarakat. Melalui pendekatan tasawufnya, Kiai Sholeh Darat
menegaskan ingin memerdekakan jiwa spiritual masyarakat sebelum
mendapatkan kemerdekaan yang nyata secara fisik (Hakim, 2016:102-
103).
b. Gerakan Nasionalisme
Gerakan nasionalis Kiai Sholeh Darat tidak secara gamblang
terlihat, karena Kiai Sholeh Darat sendiri mendapatkan pengawasan
oleh Belanda karena pengaruhnya terhadap perkembangan Islam.
Gerakan Kiai Sholeh Darat melalui pendidikan merupakan politik dari
Kiai Sholeh Darat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada
masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya Kiai
36
Sholeh Darat menggunakan pendekatan tasawuf dan karenanya
banyak karya-karya dari beliau yang bernafaskan sufistik.
Apabila menengok ke belakang lagi, bahwasanya Kiai Sholeh
Darat dalam semangat membangun nasionalisme sudah tumbuh ketika
Kiai Sholeh Darat masih kanak-kanak atau bisa dikatakan pada usia
yang sangat muda sekitar kurang lebih 5 tahun. Ketika itu, terjadi
perlawanan Pangeran Diponegoro bersama para ulama’ yang salah
satunya adalah ayahandanya yaitu Kiai Umar, terhadap penjajahan
yang ada di Jawa pada tahun 1825-1830. Pengalaman di masa kanak-
kanaknya ini mempengaruhi terhadap strategi dan pola pemikiran dari
Kiai Sholeh Darat. Pengalaman ini, merupakan harta yang tak ternilai
untuk bekal gerakan nasionalismenya untuk mengembangkannya
bersama masyarakat di sekitar, terlebih khusus daerah Semarang Jawa
Tengah. Maka dari itu, ketika membaca atau mengkaji tentang karya-
karya beliau apabila tidak didasari dengan adanya flashback akan
menimbulkan kerancuan dan kejanggalan bahkan bisa jadi tidak
sinkron dengan apa yang dimaksud dalam karya-karya beliau (Hakim,
2016:103).
Terdapat beberapa ajaran yang disematkan Kiai Sholeh Darat
dalam karya-karyanya terkait dengan semangat nasionalisme dan
mengukuhkan budaya yang ada di Nusantara, Kiai Sholeh Darat
mengatakan dalam karyanya kitab Majmu’at Asy Syari’at,
37
“Lan Sayukjo ingatase wong Islam arep anduweni toto keromo maring sakpadane Islam lan meluho opo ‘adate negoro sekiro-kiro ora nulayani syari’at” (Darat, 1374 H:34)
Pernyataan Kiai Sholeh Darat diatas menunjukkan bahwa secara
implisit menegaskan semangat oposisi berupa taat kepada pemerintah
sepanjang aturan pemerintah tidak keluar dari ajaran syari’at. Di
dalam perkataan Kiai Sholeh Darat yang lain masih dalam kitab
Majmu’at Asy Syari’at,
“Lan haram ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liyane agama Islam senadiyan atine ora demen, angendiko setengahe poro ngulama’ muhaqqiqin sopo wonge nganggo penganggone liyane ahli Islam koyo klambi, jas utowo topi utowo dasi mongko dadi murtad rusak Islame senadyan atine ora demen” (Darat, 1374 H:24-25).
Kiai Sholeh Darat menjelaskan adanya akulturasi budaya yang
telah merusak Islam, baik dalam berpakaian maupun pergaulan bebas
yang dibawa oleh Belanda ke Nusantara. Maka dari itu, Kiai Sholeh
Darat bermaksud untuk mencegah berkembangnya budaya yang tidak
sesuai dengan Islam. Dengan salah satu caranya yaitu mencegah
masyarakat untuk tidak mengikuti pola tata cara dalam berpakaian dan
pergaulan. Sebagai misal dalam pergaulan Kiai Sholeh Darat
menyebutkannya dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at tentang cara
penghormatan,
“Lan wajib ingatase wong Islam hurmat kelawan ngagungaken maring ratune lan ‘adate kahurmatane negoro kono koyo ‘adate wong ngarob hurmate kelawan aweh salam lan wong Turki kahurmate kelawan ngangkat tangane maring sirahe lan ‘adate wong jowo kahurmatane kelawan nangkepaken tangan lorone
38
den temoaken maring irunge mengkono iku den namani hurmat” (Darat, 1374 H:34-35).
Begitulah sekiranya Kiai Sholeh Darat dalam menggambarkan tentang
menjaga tradisi lokal terkhusus yang ada di Jawa. Jika, tidak
dibentengi, maka simbol kenegaraan di Nusantara ini akan berganti
dengan budaya asing yang dibawa oleh Belanda.
5. Karya-karya Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
Salah satu ulama yang sangat produktif dengan menghasilkan
karya-karya yang fenomenal yaitu Kiai Sholeh Darat. Beliau mengemas
karya-karyanya dengan bahasa yang mudah untuk dipahami karena
memang tujuan Kiai Sholeh Darat menulis adalah agar mempermudah
masyarakat dalam memahami agama khususnya bagi kalangan awam.
Selain itu, karya-karya Kiai Sholeh Darat juga menggunakan lafadz Arab
pegon. Pernyataan Kiai Sholeh Darat ini dapat dilihat dalam kitab
Majmu’ah Asy-Syari’ah Al Kafiyah Li Al’awami yang tertuliskan:
“Iki kitab terjemah ingsun majmu’ah al kafiyah lil ‘awam al jawiyah, istinbath saking syarah minhaj li syaikh al Islam lan syarah Al Khotib Syarbain lan Duroru Al Bahiyyah li As Sayyid Bakri ing dalem masalah ushuludin lan saking ihya’ ‘ulumuddin ing dalem bab nikah lan asroru an nikah lan asroru ash sholah lan asroru al hajj kerono arah supoyo fahamo wong-wong amtsal ingsun ‘awam kang ora ngerti basa ngarab mugo-mugo dadi manfaah biso ngelakoni kabeh kang sinebut ing jerone iki terjemah” (Darat, 1374 H:278).
Kemasyhuran dan kealiman Kiai Sholeh Darat telah bisa dilihat
dari sejarahnya pada saat mengembara ilmu di Nusantara maupun di
Mekah dan bahkan telah diakui di ranah Internasional terkhusus di Asia
39
Tenggara. Hal ini ditemukan di dalam buku Perkembangan Ilmu Fiqih
dan tokoh-tokoh di Asia Tenggara karya H. Wan Mohd. Shoghir
Abdullah, menyatakan bahwa kemasyhuran Kiai Sholeh Darat diakui oleh
Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Malaysia. Diceritakan juga
bahwa Kiai Sholeh Darat menjalin hubungan dengan ulama’-ulama’
(Hakim, 2016:148).
Menurut Lukman Hakim Saktiawan atau yang akrab dipanggil
dengan Gus Lukman, salah satu cicit Kiai Sholeh Darat, menyatakan
bahwa karya-karya Kiai Sholeh Darat sangat banyak dan sampai sekarang
baru ada 13 kitab yang berhasil dikumpulkan, hal ini dikarenakan
pengawasan dari pihak Belanda dan Kiai Sholeh Darat sendiri ketika
selesai menulis kitabnya langsung diberikan kepada murid-muridnya.
Dengan demikian, kitab-kitab yang telah dihasilkan oleh Kiai Sholeh
Darat kemungkinan besar disimpan oleh para santrinya yang diberi kitab
oleh Kiai Sholeh Darat.
Berkaitan dengan intisari dari karya-karya Kiai Sholeh Darat, Kiai
Sholeh Darat mengintegrasikan antara tasawuf dengan fiqih. Hal ini
menjadikan hasil pemikiran yang harmonis dan komprehensif ketika
dalam memahami syari’at. Metode ini seperti yang dilakukan oleh Imam
Al Ghozali, sehingga banyak yang beranggapan bahwasanya Kiai Sholeh
Darat adalah Al Ghozalinya Tanah Jawa (Hakim, 2016:134). Adapun
karya-karya Kiai Sholeh Darat yang sampai saat ini berhasil ditemukan
dan masih terus diperbanyak, sekitar 13 karya, di antaranya yaitu:
40
a. Majmu’ah Asy Syari’ah Al Kafiyah Lil ‘Awam
Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat tidak lain adalah agar
masyarakat lebih mudah memahami hukum Islam. Di dalam kitab ini
dipaparkan beberapa fasal diantaranya ushuluddin, mu’amalah,
zakat, puasa, haji dan memerdekakan budak. Kitab ini ditulis dengan
mengistinbatkan dari Syarah Minhaj karya dari Syaikhul Islam,
Syarah Khotib Syarbini, Kitab Duroru Al Bahiyyah karya Sayyid
Bakri, dan Kitab Ihya’ ‘Ulum Al Din karya dari Al Imam Al Ghozali.
b. Kitab Fasholatan
Kitab ini berisikan tentang tata cara dalam sholat lima waktu
yang dijelaskan secara rinci mengenai makna dalam bacaan sholat,
amaliah setelah dan sebelum melaksanakan sholat. Kitab ini
diterbitkan di Bombay Miri yang kantornya ada di Idarah Imran bin
Sulaiman Surabaya Jawa Timur.
c. Matnu Al Hikam
Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat mengenai thoriqot dan
tasawuf walaupun baru sepertiga dari kitab aslinya yang Kiai Sholeh
Darat terjemahkan. Menurut Gus Lukman, sebelum para pembaca
atau penelaah kitab ini harus membaca kitab Majmu’ Syari’ah dulu
kemudian kitab Lathoif Al Thoharoh, karena menurut Kiai Sholeh
Darat seseorang harus bisa menguasai syari’at terlebih dulu sebelum
menginjak ke dalam ranah tasawuf dan thoriqat. Kitab ini dicetak di
Singapura dan tersebar di mana-mana, termasuk di perpustakaan
41
Mushtofa Bab El-Halabi Kairo, sebuah percetakaan di kawasan
Madinah El Buuts yang konon juga termasuk paling tua di Kairo
(Dzahir, 2012:20).
d. Lathoifu Ath Thoharoh
Kitab ini berisi tentang hakikat dan rahasia sholat, puasa dan
keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban.
e. Al Mursyidul Wajiz
Kitab ini menerangkan tentang hukum-hukum bacaan dalam
Al Qur’an dan adab dalam membaca Al Qur’an serta kisah tentang
turunnya Al Qur’an.
f. Manasik Al Hajj wa Al ‘Umroh wa Adabu Az Ziarotu Li Sayyidi Al
Mursalina Salla Allahu ‘Alaihi wa Sallam
Seperti arti dari judul kitab ini, yaitu menerangkan tentang hal
ihwal ketika melaksanakan perintah rukun Islam yang kelima yaitu
melaksanakan Haji. Selain itu kitab ini juga menerangkan tentang
hal-hal penting secara lahir dan batin dalam melaksanakan ibadah
haji.
g. Hadits Al Ghoiti lan Syarah Barzanji tuwin Nazhatul Majalis
Kitab ini ditulis oleh Kiai Sholeh Darat yang diterbitkan oleh
Haji Muhammad Amin dari Singapura. Yang mana kitab ini ditulis
ulang oleh Raden Atma Suwangsa dan Haji Muhammad Nur Darat
pada 1315 H. Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Nabi yang
42
mana Kiai Sholeh Darat merujuk kepada kitab Al Barzanji karya
Syaikh Ja’far Al Barzanji (Ulum, 2016:147).
h. Minhaju Al Atqiya’ fi Syarhi Ma’rifatu Al Adzkiya’ ila Toriqi Al
Auliya’
Kitab ini menerangkan tentang tuntunan bagi orang-orang
yang bertaqwa dan cara-cara dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Lebih luasnya lagi, kitab ini menerangkan tentang dunia
tasawuf dan tahapan-tahapan dalam tasawuf. Kitab ini juga
merupakan ulasan atau komentar dari kitab Hidayatul Adziya’ ila
Thoriqul Auliya’ karangan Syaikh Zainuddin ibn Ali Al Malibari.
i. Munjiyat
Sebuah kitab karangan Kiai Sholeh Darat yang mengambil dari
kitab karangan Imam Al Ghozali yaitu Kitab Ihya’ ‘Ulumu Al Din
juz III dan IV. Di dalamnya menerangkan tentang pelajaran etika dan
tuntunan dalam mengendalikan hawa nafsu atau syahwat.
j. Faidh Ar Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Al Malik Al Dayyan
Kitab ini merupakan kitab tafsir berbahasa jawa pertama kali
di Nusantara yang ditulis oleh Kiai Sholeh Darat pada 5 Rajab 1309
H/ 1891 M. Kitab ini terdiri dari 13 juz yang dimulai dari surat Al
Fatihah sampai surat Ibrahim. Kitab ini diterbitkan pertama kali di
Singapura pada 1894 dengan dua jilid berukuran folio. Kitab tafsir
ini belum selesai ditulis karena didahului dengan meninggalnya Kiai
Sholeh Darat pada 28 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 M.
43
k. Al Mahabbah wa Al Mawaddah fi Tarjamah Qouli Al Burdah fi Al
Mahabbah wa Al Madhi ‘Ala Sayyidi Al Mursalina li Al Imam Al
‘Alamah Al Bushoiri
Kitab ini diselesaikan oleh Kiai Sholeh Darat pada hari Jum’at
bulan Dzulhijjah dan diterbitkan oleh percetakan Syaikh Ismail ibn
Badal Bombay di Singapura pada Rabi’ Al Tsani 1321 H. Di dalam
kitab ini Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang keagungan Nabi
Muhammad SAW, kemukjizatan Rasul dan keagungan Alquran.
l. Sabilu Al ‘abid ‘Ala Jauhara Al Tauhid
Kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Jauhara Al Tauhid
karya Syaikh Ibrahim Laqqani. Di dalam kitab ini Kiai Sholeh Darat
menjelaskan tentang tauhid atau ushuluddin yang dirumuskan oleh
akidah ahlus sunnah wal jama’ah yang diajarkan oleh teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah. Diterangkan pula di dalamnya
mengenai keimanan dan akhlak.
m. Hadits Al Mi’roj
Kitab ini menjelaskan tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi
yang mendapatkan amanah sembahyang lima kali sehari semalam.
6. Napak Tilas Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
Hingga sekarang ini, untuk mengenang jasa Kiai Sholeh Darat
yang sangat berpengaruh di Nusantara dalam perkembangan Islam dan
semangat nasionalisme, setiap pada tanggal 10 Syawal diadakan haul
(Hakim, 2016:200). Kegiatan ini selain untuk mengenang akan jasa Kiai
44
Sholeh Darat juga sebagai teladan bagi masyarakat untuk meneladani dan
mengamalkan apa yang telah diajarkan Kiai Sholeh Darat. Seperti dalam
syair dijelaskan oleh Syaikh Murghinan dalam kitabyaitu Kitab Ta’limu
Al Muta’allim (Az Zarnuji, Terj. Abdul Kodir Al Jufri, 2009:49-50),
“Orang bodoh hakikatnya mati sebelum mati, dan orang yang berilmu
tetap hidup sekalipun sudah mati”. Dikatakan pula oleh Syaikhul Islam
Burhanuddin,
“Orang bodoh itu mati sebelum ia mati. Tubuhnya ibarat kuburan bagi jiwanya. Sedangkan orang yang berilmu itu selamanya hidup, sekalipun tulangnya hancur dikalang tanah. Orang-orang bodoh itu mati, sekalipun ia berjalan-jalan di muka bumi ini. Keberadaan mereka sama dengan tidak ada atau tidak diperhitungkan”.
Acara haul ini biasanya dijadikan oleh para keturunan Kiai Sholeh
Darat untuk berkumpul. Acara tersebut terletak di Masjid Kiai Sholeh
Darat Jl. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Dalam pertemuan silturrahmi ini, mereka mengumpulkan karya-karya
Kiai Sholeh Darat yang telah berhasil ditemukan, dan bermusyawah untuk
menemukan beberapa kitab yang masih belum ditemukan keberadaannya
hingga kini (Darat, terj. Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xlv-xlvi).
Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak berhenti apa yang telah
diajarkan Kiai Sholeh Darat. Dengan begitu akan terjaga sumbangan
pemikiran oleh Kiai Sholeh Darat dalam khasanah keilmuan Islam.
Selanjutnya, dalam acara haul tersebut Dinas Pariwisata Kota
Semarang menyelenggarakan perhelatan budaya yang bertemakan
45
“Peringatan Labuhan Kiai Sholeh Darat Semarang”. Di dalamnya
terdapat berbagai acara yaitu Pasar Labuhan Semarang dan prosesi
penyambutan Kiai Sholeh Darat. Pasar labuhan Semarang yaitu semacam
bazar yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Sedangkan
prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat Semarang dimulai pukul 08.00
WIB di depan Pasar Boom Lama. Dalam kegiatan ini berisi tentang
penyambutan kedatangan Kiai Sholeh Darat yang pulang dari Mekah ke
Nusantara. Prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat Semarang tersebut
dimainkan oleh beberapa aktor. Tokoh Kiai Sholeh Darat disambut oleh
para ulama, santri, umara serta masyarakat sekitar. Kemudian, Kanjeng
Bupati Semarang diperankan oleh Pemerintah Kota Semarang. Dari
pelabuhan Semarang, Ia diiring menuju Masjid Kiai Sholeh Darat
Semarang. Iring-iringan tersebut terdiri dari prajurit Kabupaten Semarang
yang bersenjata tombak, pasukan membawa kembang manggar, pasukan
berpakaian adat Semarang-an, pendekar silat, para santri dan musik
terbangan (Dzahir, 2012:27-28).
Setelah sampai di Masjid Kiai Sholeh Darat, maka dilanjutkan
dengan ditabuhnya kentongan oleh pemeran sebagai Kiai Sholeh Darat
yang manandakan bahwasanya dimulainya kampong Darat sebagai pusat
studi Islam di Tanah Jawa. Selanjutnya, diadakan pembacaan Asmaul
Husna yang disertai dengan halaqah keilmuan tentang perjalanan
perjuangan sejarah Kiai Sholeh Darat dan pembahasan tentang karya-
46
karya Kiai Sholeh Darat. Acara ini kemudian ditutup dengan mauidzatu al
hasanah oleh salah satu ulama’ (Ulum, 2016:59).
B. Konteks Eksternal
1. Aspek Keagamaan
Dalam dimensi bernegara dan bermasyarakat, aspek keagamaan
mempunyai peran yang tidak kalah sama pentingnya dengan aspek
kehidupan yang lain. Hal ini dikarenakan, salah satu fungsi dari agama
adalah sebagai kontrol sosial dan motivator pembangunan berdimensi
kemanusiaan. Bahkan dengan agama akan merekatkan sebuah instrumen
dalam menjaga keutuhan bangsa. Maka dari itu, aspek keagamaan sangat
diperlukan dalam mempertahankan keberadaan bermasyarakat dan
bernegara. Jika agama yang seharusnya membawa kedamaian telah
kehilangan dari unsur independensinya, maka akan sulit bagi agama untuk
memberikan pencerahan pikiran. Agama memiliki dua kekuatan utama
yaitu sebagai faktor daya pemersatu dan faktor pemecah belah (Umar,
2014:77-81). Hal ini sudah terbukti dengan adanya bersatunya ulama dan
para kiai pada Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro
(1825-1830) dan pada saat era Bung Tomo yang membangkitkan
semangat juang bangsa Indonesia di Surabaya dan beberapa tokoh lain.
Kehadiran Belanda pada awal abad 17 sampai pertengahan abad ke
20 tidak hanya melancarkan penjajahan di Nusantara, namun juga atas
tujuan untuk memperluas jaringan Kristenisasi di Nusantara. Maka dari
47
itu, banyak dari kalangan ulama dan pribumi yang beragama Islam
melakukan penolakan terhadap penjajahan. Bahkan mereka menjelajah ke
Nusantara juga untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada. Mereka
juga melakukan penekanan terhadap sistem politik dan kehidupan
keagamaan masyarakat di Nusantara. Berbagai langkah Belanda telah
diterapkan melalui bermacam bentuk pola dan strategi. Semacam
penekanan terhadap segala aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan
agama Islam (Kodir, 2015:173).
Pergolakan politik di Nusantara yang dibangun oleh Belanda yang
dilancarkan oleh C. Snock Hurgronje sangat mempengaruhi pola
perkembangan pemikiran dari kalangan masyarakat. Dengan adanya
berbagai batasan-batasan yang menjadi kebijakan Belanda itulah
membuat pengaruh pemahaman agama Islam di Nusantara. Seperti
halnya, batasan-batasan yang diberikan kepada kaum perempuan dan
adanya batasan jumlah untuk berangkat ke tanah Haramain. Kebijakan
semacam ini membuat pemahaman agama mereka menjadi sempit tentang
Islam, karena memang tujuan dilancarkannya berbagai kebijakan oleh
Belanda adalah agar masyarakat di Nusantara buta akan Islam. Apabila
masyarakat ini memiliki Islam di dalam kesadaran mereka, maka
masyarakat akan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Hal ini senada
dengan kutipan bahwasanya agama merupakan kekuatan dari dalam dan
negara adalah kekuatan dari luar (Kuntowijoyo, 1997:192).
48
Menengok keadaan keagamaan di masyarakat pada saat itu, sekitar
abad 19 M, memang seperti halnya melihat makanan tetapi belum
menikmati rasa dari makanan tersebut. Hal ini karena memang keadaan
pendidikan agama pada saat itu jauh dari makna. Mereka hanya
mengetahui yang dasar-dasar saja dan bahkan mereka hanya bisa
membaca arabnya saja tanpa mengetahui maknanya (Suhandjati,
2013:21). Seperti dijelaskan sebelumnya, ini merupakan hasil dari salah
satu kebijakan Belanda pada saat itu pada tahun 1882 yang melancarkan
pembentukan suatu badan khusus untuk mengawasi berbagai bentuk
pendidikan Islam dan beragama yang mereka sebut dengan Resterraden
(Kodir, 2015:180).
Pada saat itu metode pengajaran agama cenderung verbalistik,
karena pengajaran yang difokuskan adalah aspek ibadah, sedangkan aspek
sosial dan moral kurang mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu,
banyak dari mereka yang menjalankan syariat tetapi dalam akhlak dan
muamalah mereka dinilai kurang atau tidak sesuai karena belum
mengetahuinya. Keadaan seperti ini juga disebabkan karena tradisi
pemahaman agama yang tradisional dan turun temurun (Suhandjati,
2013:42-43). Salah satu di antaranya adalah belajar membaca Al Quran
dengan tanpa memberitahukan makna dan kandungan dari ayat tersebut,
seperti halnya pengakuan dari R.A. Kartini ketika belajar Al Quran yang
akhirnya berkeluh kesah kepada Kiai Sholeh Darat untuk
memberitahukan isi kandungan makna Al Quran.
49
2. Aspek Sosial Politik
Kesombongan dan kerakusan Belanda telah meresahkan
masyarakat Nusantara. Berbagai bentuk ketidakadilan, kesewenang-
wenangan, kerakusan dan kedzaliman terjadi di berbagai tempat di
Nusantara. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa mereka tidak
hanya berangkat dengan mengeksploitasi wilayah Nusantara saja
melainkan semua yang ada telah direnggut oleh penjajah. Salah satu di
antaranya, dengan melihat sudah mapannya sebuah kelembagaan dalam
suatu tatanan kepemerintahan, juga dengan melihat beralih tangannya
suatu kepemerintahan di Nusantara, maka akan merubah segala kebijakan
yang ada, khususnya dalam bidang pengembangan pola pikir masyarakat.
Selanjutnya, salah satu sistem yang diperkenalkan oleh Belanda
kala itu ialah, dengan mendorong orang-orang melalui kepala desa atau
para pemimpin mereka dengan menanam kopi, gula dan produk-produk
berharga lainnya. Besarnya upah yang diberikan kepada pribumi juga
tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil kerja kerasnya. Hasil dari
perkebunan dijualkan kepada pemerintah juga dengan harga yang jauh
dari keuntungan bersih (Wallace, terj. Ahmad Asnawi, dkk., 2015:158).
Hal ini membuat rakyat menjauh dari perekonomian yang diharapkan.
Namun, dengan sistem tersebut membantu Belanda dalam memenuhi
segala kebutuhan yang diperlukan oleh Belanda. Hal ini memberikan
kenyataan bahwasanya Belanda menguasai pemerintahan dengan
membawa kesombongan dan kerakusan.
50
Kebijakan yang dibangun dengan keegoisan atau atas
kepentingannya sendiri, tidak akan menjadikan masyarakat menghormati
dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
pembuatnya. Bila isi kebijakan itu hilang dari jalan menuju kebenaran dan
jiwanya telah dikuasai akan permusuhan, kedengkian dan sikap
mementingkan dirinya sendiri, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut
hanya berbentuk tanpa makna (Asy Syarqawy, 1994:85). Jikapun
kebijakan ini dilaksanakan, bukan berarti mereka merasa tenteram dengan
kebijakan tersebut, melainkan karena adanya unsur keterpaksaan dari
dalam maupun luar.
Kepolitikan Kolonialisme sudah melekat lama di dalam
pemerintahan Nusantara sejak abad ke-17 M dengan didirikannya VOC.
Daendels dan Raffles sama-sama merupakan tokoh penting di Nusantara
sebagai pencetus adanya revolusi penjajahan. Sebuah kebijakan baru yang
menuntut kepada kedaulatan dan kekuasaan administrasi Eropa di seluruh
Jawa dan yang bertujuan untuk memanfaatkan, memperbaharui dan
menghancurkan lembaga-lembaga asli dengan seenaknya (Ricklefs,
2008:251). Belanda melakukan politik kolonialisme ini dengan memungut
upeti. Kebijakan politik ini dilaksanakan atas usulan dari Van Den Bosch,
agar ekonomi di Indonesia semakin memburuk, maka dilakukanlah politik
cultuur stelsel (tanam paksa) yang berlangsung antara tahun 1830-1870 M
(Ratna, 2008:10-11).
51
Berbagai penaklukan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda
membuahkan hasil dengan hancurnya politik yang telah dibangun dengan
rapi selama ratusan tahun. Salah satunya, Politik adiluhung yang
menempatkan pemimpin sebagai pelayan masyarakat (khodimul ummah)
yang mengkerangkai kebijakan publik dengan masholihul ummah, yang
menempatkan kiai dan ulama sebagai penasehat tertinggi dalam sebuah
kerajaan, hancur berkeping-keping. Hancurnya politik adiluhung ini
memberikan dampak yang sangat besar, yaitu dengan adanya perpecahan
antara pemerintah yang memberi mandat dengan masyarakat yang
memberi mandat, berbagai kebijakan publik sudah tidak lagi berbasis
masholihul ummah (Tim Penulis JNM, 2015:102-103).
Kemudian, politik imperialisme yang menjadikan beberapa kasta
atau kelas dalam masyarakat telah membuat masyarakat resah. Kelas
pertama adalah warga Eropa, kelas kedua adalah warga Asia Timur
(China), dan kelas tiga, paling bawah adalah warga pribumi. Dengan
adanya penjenjangan di kalangan masyarakat mengakibatkan perlakuan
yang sewenang-wenang terhadap warga pribumi. Tidak hanya bicara
kasar dan perlakuan kasar, bahkan mereka harus menunduk-nunduk dan
menyembah-nyembah ketika berbicara dengan mereka. Perlakuan ini,
karena masyarakat Eropa telah menganggap dirinya sebagai tuan yang
berarti terdidik dan beradab, sedangkan warga pribumi dianggap sebagai
bangsa yang bodoh seperti binatang (Hakim, 2016:111-112).
52
Kepolitikan Belanda tidak berhenti begitu saja di lingkup
pemerintahan kemasyarakatan, namun juga terjadi di lingkup keagamaan.
Para kiai diiming-iming dengan berbagai kemewahan yang menggiurkan.
Belanda melakukan ini, agar para kiai bersedia mendukung adanya politik
yang akan dilancarkannya. Apabila mereka tidak menuruti keinginan dari
Belanda, maka yang akan terjadi adalah berbagai penangkapan,
penyiksaan, pengasingan dan bahkan memenjarakannya. Hal ini
dikarenakan sosok kiai pada saat itu, merupakan motivator bagi
masyarakat untuk membentuk gerakan-gerakan yang dapat
mengakibatkan kerugian di pihak Belanda (Mardimin, 2016:301).
Kiai Sholeh Darat termasuk bagian dari salah satu ulama’ yang
membahayakan posisi Belanda di Nusantara, karena Kiai Sholeh Darat
dapat menghubungkan sosial budaya ke dalam pemikirannya yang
tercantum di dalam beberapa karyanya. Seperti yang tersebut dalam kitab
Majmu’ Syari’at (Darat, 1374 M:34-35) tentang penjagaan budaya yang
ada, dalam kitab Munjiyat (Darat, t.th:36-49) tentang diharuskannya
untuk menjauhi orang-orang yang takabur, serta dalam kitab LathaifAth
Thoharoh (Darat, t.th:12-13) yang menjelaskan tentang menjaga nilai
kebaikan melalui dunia material dan spiritual sebagai langkah dalam
memadukan antara yang dzahir dengan batin, syari’ah dengan haqiqat.
Kiai Sholeh Darat dalam membangun politik memang tidak dijelaskan
secara terang-terangan. Pemikiran politik tersebut dibangun melalui
beberapa karya dan halaqah yang berbentuk simbolik-simbolik untuk
53
membangun kesadaran anti penjajahan dan bentuk perlawanan terhadap
penjajah. Oleh karena itu, Belanda memberikan pengawasan terhadap
halaqah keagamaan yang bersifat membangun Nasionalisme dan bernada
politik. Jika Belanda mengetahui sebuah halaqah yang beriramakan
politik atau tidak murni keagamaan, maka akan dibungkam oleh mereka
(Hakim, 2016:104-111).
3. Aspek Sosial Budaya
Budaya merupakan akar dari sebuah peradaban di dalam suatu
negara. Serupa dengan perkataan dari M. Hatta (Munthoha, 1998:9),
bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa. Maka dari itu,
ketika Islam dikenalkan di Nusantara, Islam tidak serta merta
menghilangkan suatu kebudayaan yang ada. Hal ini karena, ajaran Islam
yang disebarkan oleh para wali diproses dengan sublimasi dan
penyempurnaan terhadap budaya dengan sentuhan-sentuhan Islami, yang
tidak memandang dari berbagai aspek, sehingga dengan mudah dapat
diterima di masyarakat.
Dalam rangka mengenalkan Islam pun tidak serta merta dengan
paksaan dan kekerasan, melainkan dengan kemuliaan akhlak dan
tingginya ilmu yang dimiliki para ulamanya (Tim Penulis JNM,
2015:233). Zuhairi dkk. (Kodir, 2015:34) menegaskan bahwasanya ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, berfungsi meluruskan
perkembangan budaya umat manusia pada zaman tersebut dan
54
meletakkan unsur-unsur baru yang menjadi dasar untuk memacu
perkembangan budaya selanjutnya.
Selanjutnya, dengan adanya eksploitasi Belanda, membawa
dampak krisis ekonomi baik di kalangan pribumi dan pejabat. Keadaan ini
dikarenakan, banyaknya tanah yang telah diberikan kepada Belanda
sebagai kompensasi jabatan yang disandingnya. Oleh sebab itu, dengan
berkurangnya tanah yang dimiliki rakyat, maka mereka menyewakan
tanahnya dan penduduknya kepada bangsa asing seperti Cina dan
Belanda. Dengan demikian, melalui proses tersebut, terjadilah akulturasi
budaya asing ke Nusantara yang secara tidak sadar telah menggeser nilai-
nilai budaya aslinya. Pada saat itu, proses akulturasi berada di wilayah
kraton dengan berbagai ragam budaya yang dipraktekkan. Kemudian,
dimulai dengan adanya persamaan derajat antara bangsa Eropa dengan
pihak kraton dalam sebuah acara protokoler yang ada di kraton. Bahkan
daerah Solo dan Yogya, dianggap telah meningkatkan interpretasi budaya
Eropa ke dalam kraton. Akulturasi budaya barat yang muncul tersebut,
seperti: pelecehan seksual, meminum minuman keras dan menghisap
candu, budaya demikian semakin mengakibatkan kebencian dikalangan
ulama’, sehingga terjadilah perang Jawa paska Pangeran Diponegoro
(1825-1830) (Suhandjati, 2013:53-55).
Kemudian saat itu, juga terdapat sebuah budaya yang dinamakan
budaya katuranggan. Budaya yang menonjolkan sisi jasmaniah dan
kemampuan seksualnya dalam memiilih jodoh (Suhandjati, 2013:5).
55
Maka dari itu, muncullah sebuah anggapan bahwasanya pada kalangan
perempuan tidak ada akses untuk mendapatkan pendidikan. Kalangan
perempuan yang mendapatkan pendidikan hanyalah perempuan yang
berasal dari keluarga kraton atau istana. Seperti R.A. Kartini yang
menjadi produktif berkat tulis menulis surat dengan sahabat penanya yang
ada di negeri Belanda (1879-1904) (Suhandjati, 2013:11).
Kemudian terdapat juga anggapa tentang penempatan perempuan
sebagai makhluk kedua atau budaya patriarki. Budaya ini selain
mengakibatkan kejahatan seksual, juga mengakibatkan terhalangnya
pendidikan pendalaman agama terhadap perempuan. Maka dari itu,
muncullah pandangan yang mendeskripsikan bahwasanya kaum laki-laki
lebih diutamakan dalam pendidikan, karena digunakan untuk menafkahi
keluarga. Sedangkan kaum perempuan, dipandang hanya sebagai ibu
rumah tangga yang tidak membutuhkan pendidikan baca dan tulis.
Kemudian, oleh Kartini pandangan ini diluruskan dengan adanya
pendidikan formal dan non formal (Suhandjati, 2013:46).
Pada masa itu, terdapat pula budaya pingitan di kalangan
masyarakat Jawa. Artinya, bahwa kaum perempuan tidak boleh keluar
sebelum datang masa balighnya atau berumur 12 tahun sampai datang
jodohnya. Selain itu, juga dikarenakan kekhawatiran orang tua terhadap
kejahatan seksual yang telah merajalela serta kejahatan lainnya terhadap
kaum perempuan. Maka dari itu, masyarakat beranggapan bahwa di
rumah akan lebih aman dan bisa mengawasinya (Suhandjati, 2013:73-74).
56
Kiai Sholeh Darat juga terkenal dalam hal pengkajian sosial
budaya sehingga ketika ada sesuatu yang sekiranya tidak sesuai dengan
ajaran Islam, Kiai Sholeh Darat dapat menyimpulkannya dengan
pendekatan sufistik. Dengan pendekatan sufistik ini, Kiai Sholeh Darat
berusaha untuk memahamkan dan menyelaraskannya dengan pandangan
masyarakat. Melalui pendekatan ini pula, Kiai Sholeh Darat menanamkan
nilai-nilai Nasionalisme baik secara politik, sosial dan budaya. Hal ini
membuktikan bahwa Kiai Sholeh Darat layak digolongkan ke dalam
kalangan ulama’, karena ulama’ harus memperhatikan warisan-warisan
masa lalu dan pada saat yang sama pula harus melihat ke masa depan baru
dalam dunia baru (Azra, 2005:377).
C. Corak Pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
1. Bidang Teologi
Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang keimanan, mempunyai
pendapat yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
Keimanan dalam perspektif Kiai Sholeh Darat adalah al tashdiq bil qalb,
al iqrar bil lisan dan al ‘amal bil arkan. Ketiga unsur tersebut sangat
ditekankan oleh Kiai Sholeh Darat dalam memiliki iman. Iman seseorang
dapat dilihat akan kualitasnya dari segi realisasi amal perbuatan seseorang
tersebut. Dalam kitab Al Ibanah salah satu karya Al Asy’ari mengatakan
pada halaman ketujuh,
“Kami tegaskan bahwa Islam merupakan suatu konsep yang lebih luas dari iman. Tidak semua Islam adalah iman (sementara semua
57
iman adalah Islam), dan bahwa iman adalah mengatakan dan melakukan dan dapat naik dan turun”.
Pernyataan Al Asy’ari di atas menunjukkan bahwa iman itu
mengatakan dan melakukan (al iman qawl wa ‘amal). Memang unsur
yang pertama yaitu al tasdiq tidak disinggung oleh Al Asy’ari dan ini
tidak membuktikan bahwa al tasdiq menurut Al Asy’ari tidak penting.
Namun sebaliknya al tasdiq merupakan unsur yang sangat penting dan
esensial sehingga tidak perlu untuk dikatakan secara eksplisit, karena
dalam membenarkan sudah memberikan persaksian syarat berlakunya
hukum (Munir, 2006:307). Al Asy’ari berkata:
“Iman secara esensial adalah al tasdiq dengan hati, sementara mengatakan dengan lisan dan melakukan kewajiban yang utama (arkan) sekadar merupakan cabang-cabangnya.” (Izutsu, terj. Agus Fahri Husein, 1994:160-161).
Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang perbuatan manusia
juga memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah
Bukhara. Yang memiliki pandangan bahwasanya perbuatan itu diciptakan
oleh Tuhan. Maksud dari perbuatan diciptakan oleh Tuhan adalah Tuhan
yang menciptakan al kasb atau perbuatan yang mengambil tempat dalam
diri manusia. Dalam al kasb terdapat dua unsur yaitu pembuat (Tuhan)
dan yang memperoleh perbuatan (manusia) (Nasution, 2013:109). Kiai
Sholeh Darat menyatakan dalam kitab Matnu Al Hikam:
“Lan setuhune peparinge Allah maring siro iku kelawan fadhole Allah beloko ora kelawan sawiji-wiji saking ‘amal. Kapan mengkono mongko ora patut siro lamun nyuwun maring Allah ing
58
ganjaran ‘amal iro, kerono siro ora ahli gawe ‘amal, balik Allah ingkang paring ‘amal maring siro” (Darat, 1422 H:5).
Pernyataan Kiai Sholeh Darat diatas memberikan kesimpulan bahwa pada
hakikatnya manusia tidak memiliki amal, tetapi Allah-lah yang
memberikan amal. Dalam pernyataan yang lain:
“Lan nuli paring Allah ing kepinteran lan nuli paring Allah ing ‘aqal kelawan kiro-kirone Allah dewe lan iman lan ‘ilmu atawa liyane anata mengkono kabeh iku mergo ikhtiyar iro atawa mergo panjaluk iro ing Allah atawa mergo kiro-kiro niro iku ora, balik kelawan kersane Allah dewe, lan kelawan kiro-kirone Allah dewe lan welas kasihe Allah dewe. Kapan-kapan mengkono mongko opo toh gawene siro melu angen-angen lan mikir-mikir lan ngiro-ngiro, kerono wongkang melu mikir-mikir dudu penggawene iku ora ono faidahe” (Darat, 1422:10).
Pernyataan Kiai Sholeh Darat di atas menarik kesimpulan bahwasanya
Tuhan memberikan akal, iman dan ilmu merupakan kehendak Allah SWT
bukan kehendak atau rekayasa dari manusia (In’amuzzahidin, 2011:64).
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Kiai Sholeh
Darat membawa ajaran teologi dari Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara
dalam mengambil dasar untuk beribadah dan beramal.
Namun, pandangan Kiai Sholeh Darat tentang manusia tidak
mempunyai amal, tidak serta merta menghilangkan akan pentingnya
dalam berikhtiar. Sebab, jika hanya dengan doa tanpa adanya usaha
adalah bentuk kesia-siaan dan begitu juga sebaliknya usaha yang tanpa
dilandasi dengan doa, maka dianggap meniadakan adanya Tuhan yang
menciptakan perbuatan atau bisa disebut dengan kesombongan. Sigmund
Freud menjelaskan tentang substansinya jiwa terhadap perbuatan manusia
59
bahwa terdapat suatu kekuatan yang mendorong manusia dalam
melakukan sesuatu (Kattsof, 2004:298-299).
Selanjutnya, berkaitan dengan amal perbuatan, Kiai Sholeh Darat
menuntut seseorang untuk mencari ilmu sebagai bahan dasar dalam
beramal. Dengan seseorang mempunyai dasar dalam beramal atau ikhtiyar
atau kasab, akan memelihara keutuhan dari iman dan Islam. Dua unsur
tersebut akan dapat hilang hanya karena harta. Maka dari itu, Kiai Sholeh
Darat sangat mementingkan amal dan ilmu sebagai satu kesatuan yang
utuh. Proses untuk mengaitkan antara keberadaan materi dan makna ini
merupakan inti dari aspek keyakinan agama Islam. Pernyataan syahadat
(kesaksian iman) dituntut untuk menghubungkan kehidupan dunia secara
vertikal dengan kebahagiaan yang aman (Sachedina, 2000:138).
2. Bidang Tasawuf
Tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati, yang
fokusnya tidak lagi dalam bentuk jasmani atau anggota tubuh melainkan
tindakan-tindakan hati (Dahlan, 2006:438). Tasawuf juga dapat
diibaratkan dengan magnet. Dia tidak menampakkan dirinya namun
memiliki daya yang luar biasa untuk menarik (Abdullah, 2011:158).
Sebagaimana Imam Al Ghozali mengutip dari Abu Bakar Al Kattani
dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin yang pada intinya, tasawuf berkonsentrasi
pada permasalahan akhlak terpuji sebelum menuju ke tasawuf. Dengan
demikian, tasawuf adalah dimana di dalamnya mengandung beberapa
aspek pembahasan yang menitikberatkan pada kehidupan keruhanian,
60
kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari penyakit hati, godaan
hawa nafsu, kehidupan duniawi, cara mendekatkan diri kepada Allah
SWT sehingga sampai pada pengenalan hati yang dalam kepada Allah
SWT (Jamil, 2013:33-36). Kiai Sholeh Darat mendefinisikan tasawuf
dalam kitab Minhajul Atqiya’ sebagai berikut:
“Artine ngelmu tasawuf iku ngelmu ingkang ngaweruhi tingkah polahe ati rohani lan sifate ati rohani sangking sifat mahmudah lan madzmumah”, artinya ilmu tasawuf yaitu ilmu yang memperlihatkan gerakan hati dan sifat hati dari sifat mahmudah dan madzmumah (Darat, t.th:9).
Tasawuf yang diajarkan oleh Kiai Sholeh Darat dalam kitab
Matnu Al Hikam dan Majmu’at Syari’at Al Kaifiyah Lil ‘Awam lebih
cenderung ke dalam tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni ‘amali
(In’amuzzahidin, 2011:80). Tasawuf yang identik dengan menyandarkan
dalam berpijak yaitu Al Quran dan Hadits. Orientasi dari tasawuf akhlaqi
adalah pembentukan akhlak yang mulia dalam mencari hakikat kebenaran
dan mewujudkan manusia yang mengenal dan dekat kepada Allah SWT.
melalui pendekatan-pendekatan teori yang mudah difahami dan sederhana
tanpa adanya unsur filsafat di dalamnya (Jamil, 2013:104).
Selanjutnya, ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Kiai Sholeh
Darat salah satu diantaranya tercantum dalam kitab Lathoifu Al Thoharoh
wa Asroru Al Sholah:
“Mongko masuhono siro kabeh ing rahi niro ingkang wus kelawan pot madep marang dunyo lan keluput kelawan ginawe ningali aghyar tegese pahesan dunyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar lan malih masuhono siro kabeh ing tangan iro karo saking labete oleh iro gendolan makhluq lan labete oleh iro gumantung kelawan makhluq iyo wasuhono kelawan banyu tubat
61
lan istighfar. Lan malih nuli ngusapo siro kabeh ing sirah iro kelawan banyu tawadlu’ limaulah tegese angasoraken awak iro marang nyandaro niro. Lan nuli masuhono siro ing suku niro karo sartone wanglu niro, sangking layate watak iro bongso tin, tegese wateke endut wasuhono kelawan kelakuan kang mahmudah” (Darat, t.th:6-7).
Perkataan dari Kiai Sholeh Darat di atas menunjukkan bahwa di
samping ketika seseorang berwudlu untuk membersihkan dhohiriyahnya,
maka seketika itu juga seseorang itu berniat untuk membersihkan
batiniyahnya, karena yang dibasuh ketika wudlu mengandung berbagai
maksiat yang harus disucikan kembali. Maka dari itu, dengan
kemasyhurannya Kiai Sholeh Darat dalam bidang tasawuf sangat tepat
ketika diterapkan di dalam masyarakat pada masa itu. Hal ini bertujuan
untuk membangkitkan semangat mengembangkan pola pemikiran dan
penyegaran rohani (Hakim, 2016:102).
3. Bidang Akhlak
Akhlak mempunyai eksistensi sebagai teladan yang melekat pada
jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah dan tanpa melalui proses
pemikiran atau pertimbangan karena sudah menjadi kebiasaannya (Al
Ghazali, 1987:58). Selain itu, akhlak juga merupakan fungsionalisasi
agama, maksudnya seseorang menjadi tidak berarti apabila
keberagamaannya tidak disertai dengan akhlak. Lebih luas lagi akhlak
mempunyai arti hidup untuk menjadi rahmat bagi alam (rahmatan lil
‘alamin) (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007:21-29).
62
Menurut Moh. Muhsin Jamil, akhlak yang dikembangkan oleh Kiai
Sholeh Darat adalah dengan mengharmonisasikan antara ilmu dan amal
menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh. Hal ini bisa dilihat ketika Kiai
Sholeh Darat menjelaskan tentang keharusan dalam mencari ilmu di
dalam kitab Majmu’at Al Syari’ah Lil ‘Awam yaitu “Ngulati ngelmune
saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdlu ‘ain kerono ora sah
ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).
Akhlak yang diajarkan Kiai Sholeh Darat salah satunya tercantum
dalam karangan beliau yaitu Kitab Munjiyat:
“Mongko utawi maknane sabar iku angempet nafsune saking betahaken ing barang kang ora den demeni dene nafsu, koyo loro lan faqir lan liyane. Mongko wajib sabar saking ngelakoni perintah lan ngedohi cegah mongko sakwuse biso sabar mongko wajib arep syukur maring Allah” (Darat, t.th:78).
Sabar yang dimaknai oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan
menahan hawa nafsu dari hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu seperti
sakit dan kurangnya harta. Sabar tidak hanya dengan tahan banting
terhadap segala ujian dan terpaan cobaan dari-Nya. Namun, setelah
seseorang melakukan dan mencegah yang tidak disukai oleh nafsu dan
bisa bersikap sabar, maka seseorang tidak boleh membanggakan dirinya
karena bisa bersikap demikian melainkan dengan sikap bersyukur kepada-
Nya.
4. Bidang Fiqih
Pengaruh metodologi dalam berperan untuk menentukan arah,
kesimpulan dan produk-produk pemikiran sangatlah penting. Dalam hal
63
ini disebut juga dengan ilmu ushul fiqh, yang digunakan untuk
mengeksplorasikan prinsip-prinsip hukum yang ada di dalam Al Quran
dan Hadits. Metodologi adalah bagian epistemologi yang membahas
tentang urut-urutan langkah yang harus ditempuh dengan harapan
memperoleh pengetahuan yang ilmiah. Dalam hal fiqh, metodologi tidak
hanya dapat dipandang dari segi langkah yang metodis, namun juga
segala bentuk asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode
(Abdullah, 2011:3-4).
Fiqh merupakan bagian yang sangat penting di dalam
keberagamaan masyarakat, karena fiqh menurut Jamal Al Banna dalam
pengantar bukunya Manifesto Fiqh Baru 1 adalah merupakan ilmu yang
hampir secara keseluruhan berhubungan erat dengan berbagai aspek
kehidupan, baik dari segi ritual (ibadah) maupun berbentuk sosial
(mu’amalah). Perkataan Jamal Al Banna ini didukung dengan pendapat
dari Ibnu Kholdun yang menyatakan bahwa fiqh merupakan ilmu yang
menyingkap tentang hukum-hukum Allah baik dari bentuk hukum wajib,
haram, sunah, makruh dan mubah yang bersumber dari Al Qur’an dan
Sunah (Al Banna, terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrowi, 2008:20).
Fiqh merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat luas
pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam
dan bermacam, rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan
dan masyarakat dan umum manusia (Ash Shiddieqy, 2001:9). Bila
melihat lebih mendalam, maka fiqh sangat berkaitan erat dengan syari’at
64
dan bahkan syari’at bisa dikatakan sebagai induknya fiqh (Syarifuddin,
2005:2). Fiqh mempunyai arti mengetahui, memahami, dan mendalami
ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Dengan demikian, fiqh
mempunyai arti yang sangat luas sama dengan arti syari’at dalam arti
yang luas (Djazuli, 2006:4).
Imam Ghozali menyebutkan, fiqh itu bermakna faham dan ilmu.
Akan tetapi menurut uruf ulama’ telah menjadi suatu ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan-
perbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunat, makruh,
shahih, fasid, bathil, qadla’, ada’ dan sepertinya. Selanjutnya, Asy
Syathibi dalam kitabnya Al Muwafaqat menerangkan bahwa syari’at
adalah ketentuan-ketentuan yang membuat batasan-batasan bagi para
mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan i’tikad mereka. Para
ulama’ mengistilahkan syari’at digunakan untuk nama bagi segala
perintah, segala larangan, dan segala petunjuk yang ditujukan kepada
hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi orang yang beramal sholih, baik
secara aqidah, akhlak, dan perbuatan (Ash Shiddieqy, 2001:13-19).
Dalam fiqh terkenal dengan istilah madzhab atau aliran pemikiran
pada bidang fiqh. Menurut Muslim Ibrahim dalam bukunya Pengantar
Fiqh Muqaaran yang dijelaskan dalam buku Ushul Fiqh Perbandingan
menerangkan bahwa, Madzhab adalah faham atau aliran pikiran yang
merupakan hasil ijtihad dari seorang mujtahid tentang hukum Islam digali
melalui Al Qur’an dan Hadits yang dapat diijtihadkan (Supriadi,
65
2014:17). Dengan demikian, seseorang yang belum memiliki pengetahuan
mendalam tentang hukum Islam diharuskan untuk mengikuti salah satu
madzhab yang sahih. Dalam kitab Ahkamul Fuqaha menjelaskan dalam
kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul menerangkan
tentang keharusan seseorang dalam mengikuti suatu madzhab selama
seseorang itu belum mengetahui inti dari agama karena dikhawatirkan
akan terjatuh ke dalam kesesatan (Kep. Muktamar NU, Munas dan
Konbes NU, 2007:2-3).
Pernyataan Kiai Sholeh Darat tentang pelarangan iman yang taqlid
tercantum dalam kitab Majmu’at As Syari’at Lil ‘Awam:
“Mongko nadhoroto ing wujude awak iro lan wujude ruhaniyah iro lan obah musik iro, mongko dadi weruh siro maring Allah subhanahu wata’ala paningali atiniro mongko fahamoto siro lan ojo taqlid siro kerono iman wongkang taqlid iku ora sah ing dalem pangendikane poro ngulama’ muhaqqiqin” (Darat, 1374 H:19).
Ajaran fiqh Kiai Sholeh Darat yaitu dengan mengkolaborasikannya
dengan tasawuf sehingga hukum yang dihasilkan sesuai dengan pola
perkembangan masyarakat pada saat itu. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat
dalam hal ini bertujuan untuk memfiqihkan tasawuf dan mentasawufkan
fiqh. Artinya, dunia jasmani dan dunia rohani harus dipelihara supaya
tidak mengalami kepincangan (Hakim, 2016:102). Dengan demikian, fiqh
yang diberikan oleh Kiai Sholeh Darat tidak hanya menekankan praktek
yang tanpa didasari rasa sadar dalam hati, namun bentuk kesadaran hati
yang mengiringi praktek tersebut.
66
Selain itu, fiqh yang dikembangkan oleh Kiai Sholeh Darat juga
tidak lepas dari tokoh besar Islam yaitu Imam Al Ghozali, yang dari
karya-karya Kiai Sholeh Darat banyak menyandarkan karyanya terhadap
Imam Al Ghozali. Bisa jadi dengan pemikirannya Imam Al Ghozali ini,
Kiai Sholeh Darat berusaha untuk mengungkapkan arti fiqh yang sesuai
dengan harapan mampu menegakkan teguhnya hukum-hukum syari’at
yang berlaku dengan dibasahi oleh kelembutan tasawuf.
5. Bidang Pendidikan
Pendidikan merupakan proses membimbing manusia dari
kegelapan menuju ke pencerahan pengetahuan. Hakikat dan tujuan dari
pendidikan memiliki keterkaitan yang erat hubungannya dengan
tanggapan hidup dan melingkupi cara-cara pendidikan dalam bentuk
praktek (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007:20).
Pendidikan merupakan unsur yang sangat diperhatikan di dalam ajaran
Islam. Tidak hanya itu, menurut Moh. Muhsin Jamil, pendidikan
seharusnya bisa membangun kecakapan dalam berfikir dan sikap yang
baik.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, menyebutkan
pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak yang
antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
dididik selaras dengan dunianya (Nata, 2013:338). Dengan demikian,
67
alasan kenapa pendidikan itu diharuskan telah diketahui yaitu untuk
menjadikan manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu,
sehat dan berakhlak (berkarakter) mulia.
Kiai Sholeh Darat sangat menekankan tentang kewajiban menuntut
ilmu, karena bagi Kiai Sholeh Darat ilmu itu mendasari berbagai amalan
dan ucapan. Maksudnya dengan menuntut ilmu akan membuat manusia
mempunyai akhlaqul karimah dan intelektual. Kiai Sholeh Darat
menyebutkan tentang kewajiban seseorang untuk menuntut ilmu yaitu
tercantum dalam karangan Kiai Sholeh Darat dalam kitab Majmu’at Asy
Syari’at,
“Mongko weruho siro he wongkang mukallaf, setuhune ngulati ngelmu iku ferdlu ‘ain atas saben-saben wong mukmin lanang lan wong mukmin wadon, wus angendiko kanjeng Rosulullah SAW, utawi luru ngelmu iku fardlu atas saben-saben wong Islam lanang lan wong Islam wadon tegese ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku fardlu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).
Kiai Sholeh Darat dalam memahamkan masyarakat tentang Islam
tidak tertuju pada pemurnian ajaran atau tidak melalui pendekatan
teologis normatif yang menganggap bahwa ajaran yang tidak sefaham
dianggap salah, namun ketika melihat bentuk pola pendekatan yang
dilakukan Kiai Sholeh Darat dalam mencerdaskan masyarakat, dapat
dilihat bahwa Kiai Sholeh Darat memakai berbagai pendekatan yang tidak
menimbulkan kesalahfahaman dan berakibat fatal. Salah satu metode Kiai
Sholeh Darat dalam memahamkan Islam adalah dengan pendekatan studi
tasawuf. Ketidakhadirannya hati dalam suatu perbuatan mengakibatkan
68
kotornya jiwa. Maka dari itu, dengan pendekatan ini mengakrabkan
masyarakat dalam menyempurnakan aqidah dan ibadahnya, kemudian
dengan ini Kiai Sholeh Darat mengistilahkan tiga perkara pokok
pemahaman dalam Islam yaitu syari’ah, thoriqoh dan hakikat.
Menurut Kiai Sholeh Darat, tiga perkara dalam pokok pemahaman
Islam tidak dapat hanya dilakukan secara terpisah atau hanya sebagian
saja, dengan tidak adanya salah satu diantara tiga tersebut akan
mengakibatkan kesalahfahaman dalam mempelajari Islam. Kiai Sholeh
Darat mengibaratkan tiga perkara tersebut dalam kitab Majmu’at Asy
Syari’at:
“Utawi mitsale ngelmu syari’at iku minongko kapal mongko wajib gawe bagus kapale lan gawe bagus bekakase kapal kabeh, mongko mitsale ngelmu toriqot iku minongko segoro mongko mesti wongkang melebu segoro kelawan nunggang kapal kang bagus semono ugo wajib wongkang arep mlebu ngelmu thoriqot arep bagusaken syari’ate, mongko mitsale ngelmu haqiqot iku minongko inten kang ono ing jerone segoro mongko wajib nalikane jegur segoro arep ngalap inten aninggal kapale lan ninggal bekakase kapal kabeh lan nalikane jegur segoro ojo nejo segoro balik nejoho inten ingkang ono ing jerone segoro” (Darat, 1374 H:28).
Sebelum itu Kiai Sholeh Darat berupaya untuk mencerahkan
pemikiran masyarakat dan menanam nilai kebaikan dengan cara
memadukan antara yang dzahir dengan yang batin atau bisa disebut
dengan pemaduan antara yang jasmani dengan rohani. Ketika kedua pilar
tersebut dapat dipadukan dengan benar, maka apa yang menjadi tujuan
pendidikan dan upaya menanam nilai kebaikan akan tercapai. Upaya Kiai
Sholeh Darat ini dipaparkan di dalam kitabnya yaitu Lathoif At Toharoh
69
wa Asroru As Solah, “...ono sucine ing dalem dzohiril badan iku nglabeti
ing dalem sucine qolbu lan nglabeti ing dalem padange qolbu...” (Darat,
t.th:13).
D. Pendapat Para Ulama dan Para Cendekiawan
1. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar Nahdlotul
‘Ulama’ (PBNU) )
Mbah Sholeh merupakan ulama’ pada tahun 1820 M-1903 M yang
disebut sebagai ulama pertama kali yang menulis syarah kitab dari karya
Ibnu ‘Athoillah yaitu kitab Al Hikam. Mbah Sholeh dalam mensyarahi
kitab Al Hikam dengan menggunakan aksara pegon atau aksara arab yang
berbahasa Jawa. Mbah Sholeh mempunyai karakteristik tersendiri yaitu
billisanil jawi al-mirikiyah, artinya bahasa yang sehari-hari dipakai dan
mudah difahami oleh masyarakatnya disekitar yaitu di pesisir utara pulau
Jawa (Darat, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxi).
Mbah Sholeh juga merupakan salah satu ulama’ yang memiliki
bekal keilmuan yang diakui dan reputasinya sangat dikagumi pada masa
itu. Salah satu ulama’ yang berasal dari Jepara dan merantau ke Semarang
untuk memperdalam keilmuan bidang agama serta kemudian berangkat ke
tanah Haramain untuk meneguhkan keilmuannya. Mbah Sholeh Darat
mewarisi darah pejuang dari ayahnya yaitu Kiai Umar, dengan memilih
kembali ke Nusantara untuk mengentaskan maraknya kebodohan dan
penderitaan umat pada masa Belanda. Bahkan, Mbah Sholeh secara tegas
70
melancarkan resolusi jihad dengan memberikan fatwa tentang
penyerupaan terhadap kaum penjajah baik dalam berperilaku dan bekerja
sama dianggap telah kufur. Yang kemudian bentuk resolusi jihad ini
dikembangkan oleh salah satu murid beliau yaitu KH. Hasyim Asy’ari
(Darat, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxii).
2. Peter Carey (Sejarawan University of Oxford)
Nilai-nilai ajaran Islam yang bernada tradisi dan dipelopori oleh
Pangeran Diponegoro yang pada saat itu diangkat sebagai Sultan Abdul
Hamid Erucokro (Ratu Adil) pada awal perang Jawa, sudah tidak
bergaung lagi di hati masyarakat Jawa. Namun, Kiai Sholeh Darat yang
keturunan dari pendukung Pangeran Diponegoro merupakan ulama salah
satu yang membangkitkan sebuah historiografi baru untuk abad ke-19
(Hakim, 2016:v).
Satu langkah penting yang diambil Kiai Sholeh Darat untuk
menghadapi rezim Belanda adalah dengan melakukan pencerahan
pemikiran kepada masyarakat. Langkah ini merupakan langkah yang
visioner, strategis dan jangka panjang untuk melawan rezim Belanda.
Gerakan pencerahan pemikiran ini juga dimaksudkan untuk menanamkan
jiwa nasionalisme ke dalam hati masyarakat walaupun dalam karya-karya
Kiai Sholeh Darat tidak disebutkan secara terang-terangan (Hakim,
2016:xi).
71
3. K.H. Ahmad Wafi MZ. (Pengasuh PP. Al Anwar, Sarang, Rembang)
Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu ulama’ yang dikenal
sebagai ulama’ yang mempunyai kecerdasan dalam berbagai disiplin
ilmu, terutama dalam bidang ilmu tasawuf. Bahkan, karena dalamnya
ilmu tasawuf yang dimiliki, Kiai Sholeh Darat disebut-sebut sebagai
Imam Al Ghozali Al Shoghir atau Imam Al Ghozali kecil. Bentuk
pemikiran yang dinyatakan oleh Kiai Sholeh Darat mayoritas lebih
cenderung ke dalam sufistik, terlebih dalam kitab Matnu Al Hikam dan
Munjiyat ) (Ulum, 2016:v).
Kemasyhuran dalam bidang tasawuf yang beliau miliki membuat
para pecinta ilmu untuk menimba ilmu kepada Kiai Sholeh Darat.
Kemasyhurannya dibuktikan dengan sikap tawadhu’nya ketika diminta
Kartini untuk menuliskan terjemah Al Quran ke dalam bahasa Jawa.
Berangkat dari kemasyhurannya, murid-murid Kiai Sholeh Darat banyak
yang telah menjadi tokoh besar seperti: KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri
Nahdlutul Ulama’), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH.
Abdus Syakur Al Sawedani (Ayah Kiai Fadhol Senori) dan Kiai Dahlan
Al Sarani (Kakek KH. Maemun Zubair) (Ulum, 2016:vi).
4. Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A. (Guru Besar Sejarah Islam
UIN Sunan Kalijaga)
Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu ulama’ yang berani
menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa pegon. Penerjemahan
ini dilakukan karena melihat jauhnya masyarakat dari nasehat Al Qur’an,
72
maka, dengan meminta perlindungan dari Allah SWT, Kiai Sholeh Darat
mengarang kitab penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Kiai
Sholeh Darat juga dikatakan sebagai ulama’ yang sangat produktif dalam
mengarang kitab yang kebanyakan memakai bahasa Arab pegon.
Penulisan Kiai Sholeh Darat cenderung lebih menitik beratkan pada latar
belakang masyarakatnya, yang pada saat itu masih kurangnya
pengetahuan tentang bahasa Arab. Dari berbagai penguasaan keilmuan
yang dimiliki Kiai Sholeh Darat, ilmu tasawuflah yang paling menonjol
dalam diri beliau.Selain dikenal sebagai ahli tasawuf, alim dan ahli dalam
kajian kitab kuning, Kiai Sholeh Darat juga dikenal mempunyai banyak
karomah (Ulum, 2016:xii).
Sumbangsih yang Kiai Sholeh Darat berikan kepada Indonesia ini
merupakan sebuah keberkahan tersendiri bagi Nusantara. Dari
kemunculan Kiai Sholeh Darat, banyak bermunculan ulama’-ulama’ yang
masyhur dalam bidang agama dan pejuang Islam yang bersama bersatu
untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ulama’-ulama’ dari Nusantara
banyak yang menganggap bahwa Kiai Sholeh Darat menjadi rujukan yang
penting di Nusantara khususnya di Jawa (Ulum, 2016:xv).
5. Dr. Abdullah Salim (Dosen Unissula Semarang juga Peneliti Pertama
Naskah K.H. Sholeh Darat)
Kiai Sholeh Darat adalah pejuang kemerdekaan dan berasal dari
keluarga pejuang. Tidak hanya dalam keluarganya saja, namun mertuanya
yaitu Kiai Murtadlo juga merupakan pejuang bersama Pangeran
73
Diponegoro. Bahkan guru Kiai Sholeh Darat juga salah satu pejuang
kepercayaan Pangeran Diponegoro yaitu Kiai Darda’ Semarang. Pejuang
yang dikala itu menggempur pertahanan Belanda di Jawa yang disebut
dengan Perang Jawa. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat pantas
mendapatkan gelar pahlawan nasional (Dzahir, 2012:sinopsis penulis).
6. Dr. Nur Cholis Majid (Cendekiawan Muslim Indonesia)
Kiai Sholeh Darat merupakan ulama’ yang sangat menjunjung
tinggi teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Hal ini jelas dibawakannya
dalam kitab terjemah Sabilul ‘Abid ‘Ala Jauharu Al Tauhid. Yakni
dengan penafsirannya terhadap sabda Nabi SAW tentang perpecahan
umat Islam yang menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang
selamat, yaitu golongan yang melaksanakan aqaid atau pokok-pokok ahlu
al sunnah wa al jama’ah, yakni mereka yang bertingkah laku sama seperti
yang dilakukan oleh Nabi SAW (Dzahir, 2012:sinopsis penulis).
7. K.H. Ahmad Hadlor Ihsan (Pengasuh PP. Al Islah Mangkang, Tugu,
Semarang juga Mantan Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang)
Kiai Sholeh Darat merupakan embahnya para ulama di tanah Jawa
ini, karena Kiai Sholeh Darat adalah gurunya para ulama’ yang ada
hingga sanadnya tersambung sampai sekarang (Dzahir, 2012:sinopsis
penulis).
74
BAB III
KAJIAN TEORI PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Dalam konteks Islam, pendidikan dimaknai dengan beberapa
istilah yaitu tarbiyah yang berasal dari kata rabba, ta’dib yang berakar
dari kata addaba dan ta’lim yang berakar dari kata ‘allama. Secara
definitif, Omar Mohammad al-Toumy al-Syaebani menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakatnya dan kehidupan
alam sekitarnya (Muhmidayeli, 2011:65-66).
Pendidikan dipadankan dengan tarbiyah, secara bahasa,
Abdurrahman An Nahlawi mengatakan, jika merujuk pada kamus bahasa
Arab yang memuat arti dari tarbiyah, maka akan ditemukan beberapa akar
kata dari tarbiyah, yaitu rabba-yarbu (bertambah dan berkembang),
rabiya-yarba yang dibandingkan dengan khofiya-yakhfa (tumbuh dan
berkembang), dan rabba-yarubbu yang dibandingkan dengan madda-
yamuddu (memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga, dan
memperhatikan) (Nata, 2013:337). Oleh Al Raghib Al Ashfahany
tarbiyah yaitu mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi
setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata tarbiyah dalam
pendidikan mempunyai makna yang sangat luas, yaitu dengan
pemeliharaan baik yang fisik maupun non fisik terhadap seluruh makhluk
75
Tuhan (Nata, 1997:6). Selain itu, kata tarbiyah juga mengandung arti
adanya kaitan proses pendidikan dengan design Tuhan (Muhaimin,
2003:109).
Pendidikan diartikan sebagai ta’lim, Al Raghib Al Ashfahany
mengatakan, kata ta’lim lebih khusus untuk menunjukkan sesuatu yang
dapat diulang dan dapat diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau
pengaruh pada diri seseorang (Nata, 1997:6-7). Al Tabatabai menafsirkan
pendidikan sebagai bentuk menunjukkan proses pengajaran dan
pendidikan, maksud pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan dalam
arti memberikan informasi kepada manusia. Namun, potensi akal manusia
yang digunakan untuk menerima informasi tersebut juga harus
dimaksudkan untuk memberdayakan potensi akalnya sebagai kholifah fil
ardl. Sehingga dapat dikatakan hasil dari ta’lim tersebut tidak boleh
bertentangan dengan tatanan moral kemanusiaan, artinya letak dari
pendidikan itu harus didampingi dengan akhlak atau adab (Rahman,
2001:60-61).
Pendidikan diartikan sebagai ta’dib lebih mengarah kepada
kebaikan tingkah laku atau perangai seseorang. Syed M. Naquib Al Attas
memberikan pengertian ta’dib yaitu sebagai suatu usaha peresapan
(instilling) dan penanaman (inculcation) adab pada diri manusia dalam
pendidikan. Maka dari itu, pendapat Al Attas dapat dikatakan pendidikan
dalam arti ta’dib mempunyai kandungan yang harus ditanamkan dalam
proses pendidikan (Iqbal, 2015:296).
76
Dari beberapa pengertian di atas, istilah yang digunakan dalam
mengartikan pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, terdapat
beberapa tokoh yang mempunyai perbedaan pendapat. Seperti,
Abdurrahman An Nahlawi mengartikan pendidikan cenderung pada
pemaknaan tarbiyah, Abdul Fatah mengartikan pendidikan cenderung
pada kata ta’lim. Syed M. Naquib Al Attas mengartikan pendidikan
cenderung pada konsep ta’dib. Namun, perbedaan pendapat dari
beberapa tokoh tersebut, sebenarnya arti dari pendidikan (tarbiyah, ta’lim
dan ta’dib) mempunyai kesinambungan terhadap satu sama lain. Seperti
istilah ta’lim mengesankan proses kognitif, kemudian tarbiyah
mengesankan pembinaan dan pembentukan kepribadian serta sikap
mental, dan sedangkan ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap
moral dalam peningkatan martabat manusia (Nata, 1997:8).
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, mengatakan
bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh
individu yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Nata, 2010:338).
Sedangkan menurut Ibnu Kholdun, pendidikan tidak hanya dibatasi oleh
ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia
secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa
alam sepanjang zaman (Iqbal, 2015:528).
77
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
(Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, 2006:5).
Dengan demikian, dari beberapa penjelasan yang dipaparkan oleh
para tokoh, pendidikan mempunyai arti yang luas yang tidak terbatas oleh
ruang dan waktu. Secara jelas dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu
usaha untuk memberikan pencerahan pemikiran yang mengarah pada
pengembangan potensi diri manusia, pembentukan kepribadian, dan
pengendalian diri. Pendidikan juga tidak boleh secara kontekstual terpaku
pada bidang kognitif, namun juga disertai dengan bentuk pengamalan
ilmu.
2. Akhlak, Moral, Etika dan Budi Pekerti
a. Akhlak
Secara bahasa, akhlak berasal dari kosakata bahasa Arab.
Terdapat beberapa pendapat dalam hal ini, kata akhlak adalah isim
jamid atau ghair mustaq yakni kata yang tidak memiliki akar kata,
karena bentuknya memang telah ada sedemikian (Jamil, 2013:2).
Pendapat lain mengatakan bahwa akhlak berasal dari kosakata bahasa
78
Arab yang berbentuk jama’ yaitu اخالق yang berasal dari isim mufrad
khuluqun, dalam kamus Munjid berarti budi pekerti atau perangai atau
tingkah laku (Tono, M. Sularno, dkk, 1998:85).
Dari segi terminologis, akhlak merupakan hubungan erat
antara khaliq dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk (Saebani
dan Abdul Hamid, 2012:14). Secara istilah, Al Ghozali menyatakan
dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa, akhlak adalah suatu keadaan
dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu perbuatan secara
mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan analisa (Al
Ghazali, 1987:58). Selanjutnya, Ibnu Miskawaih menuturkan dalam
kitab Tahdzib Al Akhlak bahwa akhlak adalah keadaan gerak jiwa
yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pemikiran (Tono, M. Sularno, dkk, 1998:85-86).
b. Moral
Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mores, bentuk jama’ dari
mos yang berarti adat kebiasaan (Tono, M. Sularno, dkk., 1998:89).
Secara terminologi, moral adalah sebuah ukuran baik dan buruk yang
diakui oleh masyarakat atau kelompok tertentu yang menyepakatinya
baik didasarkan pada agama atau tidak (Jamil, 2013:9). Moral dapat
dikatakan perbuatan baik dan buruk yang disepakati oleh masyarakat.
Moral merupakan suatu istilah tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diterapkan kepada manusia baik sebagai individu
maupun sosial.
79
Menurut K. Bertens, moral merupakan nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam
mengatur tingkah laku (Amril, 2002:17). Sidi Gazalba (Nurdin, dkk.,
2009:5.5), mengartikan moral sebagai kesesuaian dengan ide-ide yang
umum diterima oleh lingkungan sekitar tentang tindakan manusia
mana yang baik dan mana yang wajar. Dengan demikian, batasan
yang terdapat dalam moral adalah norma-norma yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat, serta pembahasan dalam moral
lebih mengenai tentang baik dan buruknya manusia sebagai manusia.
c. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu etos yang artinya
kebiasaan. Etika secara etimologi, berarti watak kesusilaan atau adat.
Secara terminologi, etika adalah ilmu yang membicarakan tingkah
laku manusia. Menurut beberapa ahli, etika merupakan teori tentang
laku perbuatan manusia yang dipandang dari segi nilai baik dan
buruknya menurut penentuan akal pikiran manusia (Nurdin, dkk.,
2013:5.9). Etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan nilai-nilai, dan
kesusilaan tentang baik dan buruk. Dalam ensiklopedia Winkler Prins,
dikatakan bahwa etika merupakan bagian dari filsafat yang
mengembangkan teori-teori tentang tindakan dan alasan-alasan
diwujudkannya suatu tindakan dengan tujuan yang telah
dirasionalisasi (Saebani dan Abdul Hamid, 2012:27).
80
Carter V Good dalam Dictionary of Education mengatakan
bahwa etika adalah,
“The sciense of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment of value (goodness and badness)”.
Artinya, etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang
berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut
masalah kebenaran, kesalahan, atau kepatutan, serta ketentuan tentang
nilai yang menyangkut kebaikan dan keburukan (Tono, M. Sularno,
dkk., 1998:88).
Menurut Franz Magnis Suseno, etika adalah pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan serta pandangan moral secara kritis (Amril,
2002:18). Etika memberikan prinsip yang menentukan perbuatan
sebagai benar, baik dan layak. Adapun etika berurusan dengan
bagaimana orang yang bermoral harus berbuat atau bertindak. Nilai
berkaitan dengan etika apabila bersangkutan dengan apa yang diyakini
benar atau salah. Apabila nilai dipaksakan kepada seseorang, maka
akan menimbulkan imperialisme moral, pemaksaan suatu nilai yang
bersifat khusus kepada seseorang yang berlain faham (Musa,
2014:246).
Dengan demikian, etika bersumber dari pemikiran yang
mendalam dan renungan filosofis yang pada intinya bersumber pada
akal pikiran. Etika juga bersifat temporer, mempunyai ketergantungan
81
pada aliran filosofis bagi orang yang menganutnya (Anwar, 2010:20).
Maka dari itu, etika berupaya memahami tindakan manusia dari sudut
nilai baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan layak dan tidak
layaknya sesuai dengan kemampuan akal pikiran manusia (Nurdin,
dkk., 2013:5.10).
d. Budi Pekerti
Budi pekerti merupakan kata majemuk dari kata budi dan
pekerti. Kata budi berasal dari bahasa sanskerta yang berarti sadar,
dan pekerti sendiri berasal dari bahasa Indonesia yang memiliki arti
kelakuan. Secara istilah, budi berarti yang terdapat pada manusia yang
berkaitan dengan kesadaran yang didorong oleh akal. Sementara,
pekerti secara istilah, adalah apa yang terlihat pada manusia karena
dorongan dari perasaan (Nurdin, dkk., 2013:5.7).
Secara terminologi, budi pekerti adalah perilaku manusia yang
didasari dengan kesadaran untuk berbuat baik dengan dorongan
keinginan hati dan sesuai dengan pertimbangan akal (Tono, M.
Sularno, dkk., 1998:85-86). Pendidikan budi pekerti diartikan sebagai
proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap
dan perilaku seseorang yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti
luhur (Daulay, 2007:220). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil akal dan rasa yang
berwujud pada karsa dan tingkah laku manusia (Nurdin, dkk.,
2013:5.7).
82
Dengan demikian, dari penjelasan tentang akhlak, moral, etika, dan
budi pekerti, dapat disimpulkan perbedaan dan hubungan erat dalam
keempat istilah diatas. Perbedaan tersebut adalah akhlak lebih merujuk
pada sumber agama Islam (Al Qur’an dan Hadits), moral menitik beratkan
pada norma yang hidup dalam sebuah masyarakat atau kelompok tertentu,
etika lebih menitikberatkan pada penilaian yang bersumber pada akal, dan
budi pekerti lebih menitikberatkan pada perpaduan antara akal dan rasa
dalam menentukan sopan dan tidak sopannya serta adab dan tidak
beradabnya seseorang.
Meskipun terdapat perbedaan dari keempat istilah tersebut, namun
terdapat juga hubungan yang erat dalam istilah tersebut. Yaitu, saling
melengkapi dalam menentukan kebaikan dan kesesuaian dalam mencapai
akhlaqul karimahnya seseorang dalam bersosialisasi maupun beragama.
Hal ini karena ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW membutuhkan
perenungan serta kehidupan manusia yang bersifat berkembang. Oleh
karena itu, tidak setiap apa yang ditemukan dalam masyarakat selalu ada
di dalam Al Qur’an dan Hadits. Maka dari itu, dengan adanya perbedaan
tolok ukur yang digunakan dalam keempat istilah tersebut, membuat
keharmonisasian terhadap pembentukan kepribadian individu yang
berakhlaqul karimah.
3. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan pendidikan mengenai dasar-dasar
moral dan keutamaan budi pekerti sekiranya dapat membiasakan
83
seseorang untuk bersikap baik dan mulia. Pendidikan akhlak juga
merupakan pendidikan untuk mendidik seseorang agar menjadi individu
yang berpikir dan berakhlaqul karimah
(http://pengertiankomplit.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-pendidikan-
akhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.51 WIB). Di sisi lain,
pendidikan akhlak juga merupakan pendidikan tentang prinsip dasar
moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh seseorang sejak masa pemula hingga ia menjadi
seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Ulwan,
1995:177).
Makna pendidikan akhlak merupakan perpaduan antara pengertian
pendidikan dan akhlak. Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak
adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang dewasa untuk
membawa anak didik ke tingkat kedewasaan yang mampu membiasakan
diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela
(http://naimsoekarno81.blogspot.co.id/2012/03/pendidikan-akhlak.html,
diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.38 WIB). Penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan akhlak adalah proses dimana manusia memahami
tingkah laku yang sesuai, baik menurut agama, filsafat dan ilmu serta
dalam perspektif budaya yang berkembang.
84
B. Sumber-sumber Pendidikan Akhlak
Al-Quran menempati posisi sentral dalam tradisi tekstual Islam, namun
bukan merupakan satu-satunya sumber, sebab ada sumber lain yang tidak
kalah pentingnya yaitu Hadits. Hadits dianggap sebagai sumber yang penting
dikarenakan Al-Quran hanya sedikit menjelaskan instruksi secara eksplisit.
Dalam sejumlah ajaran, etika Al-Quran telah diungkapkan dengan istilah
yang umum, dan dipraktikkan oleh kaum muslim karena telah mendapatkan
instruksi dari Nabi SAW (Saeed, terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin,
2016:80-81).
Selain ittu, dengan melihat berbagai kebutuhan manusia dan berbagai
macam adat menjadikan Al Qur’an dan Hadits tidak cukup untuk dijadikan
sebagai sumber akhlak. Oleh karena itu, ijtihad sangat diperlukan dalam
menentukan arah yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Ijtihad
tidak dilakukan oleh sembarang orang, karena seseorang yang berijtihad
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketika syarat-syarat tersebut
terpenuhi, maka jika terdapat sesuatu yang tidak ada di dalam Al Qur’an dan
Hadits, mereka diharuskan untuk melakukan ijtihad untuk menentukan suatu
hukum tertentu, bahkan dalam perihal akhlak sekalipun. Berikut beberapa
sumber dalam pendidikan akhlak:
1. Al Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama
dalam pendidikan Islam, dan pendidikan Islam mempunyai tujuan yang
utama yaitu membentuk kepribadian yang baik atau pendidikan akhlak.
85
Al Qur’an juga merupakan kitab suci umat Islam yang keberadaannya
menjadi petunjuk bagi umat Islam khususnya dan seluruh umat manusia
pada umumnya. Sebagai petunjuk, Al Qur’an memuat berbagai aturan
dalam dimensi kehidupan. Menurut Abdul Wahab Khallaf, isi kandungan
dalam Al Qur’an dibagi dalam dua pokok pembahasan yaitu masalah
akidah dan masalah amaliah yang mencakup ibadah dan muamalah
(Hakim dan Jaih Mubarok, 2012:77).
Dalam Al-Qur’an terdapat tujuan pendidikan yaitu membina
manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan
Kholifah-Nya. Manusia dalam hal ini dipastikan memiliki unsur-unsur
material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Beberapa unsur
tersebut memiliki daya potensi masing-masing, daya potensi yang
dimiliki oleh akal akan menghasilkan ilmu, jiwa akan menghasilkan
kesucian dan etika, dan jasmaninya akan menghasilkan keterampilan.
Dari ketiga unsur tersebut, apabila dapat dibina dengan baik, akan
menghasilkan makhluk yang mempunyai keseimbangan dalam dunia dan
akhirat, ilmu dan iman. Maka dari itu, muncullah dalam pendidikan Islam
dengan istilah adab al din dan adab al dunya (Shihab, 1992:173).
Firman Allah tentang pendidikan dalam Al Qur`an Surat Al ‘Alaq
ayat 1-5 yang artinya:
)٢) خلق اإلنسان من علق (١ربك الذي خلق (اقـرأ باسم )٥ما لم يـعلم( )علم اإلنسان ٤بالقلم ( )الذي علم ٣األكرم ( اقـرأ وربك
86
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5) (Al Qur’an, t.th:537).
Dari ayat-ayat tersebut, memberikan kesimpulan bahwa seolah-
olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan
Pencipta manusia (dari segumpal darah). Dari ayat tersebut pula, Allah
memperkenalkan kepada manusia tentang istilah yang berkaitan dengan
pendidikan yaitu iqra’ (bacalah), ‘allama (pengajaran), dan al qalam
(pena atau alat tulis). Ketiga istilah tersebut mempunyai kaitan yang erat
dengan pendidikan (Nata, 1997:12). Oleh karena itu, Al Qur’an dijadikan
sebagai sumber pendidikan akhlak, baik dari segi dasar dalam
menetapkan sesuatu maupun kisah-kisah yang dijadikan teladan
berakhlaqul karimah.
2. Hadits
Secara bahasa hadits memiliki arti al jadid (baru), al khabar
(berita), dan al qorib (dekat). Secara terminologi, para ulama’ berbeda
pendapat dalam mengartikan hadits. Menurut ahli hadits, hadits adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan maupun sifat atau kebenaran Nabi SAW (Hassan,
1994:17). Sedangkan menurut jumhur ulama’, hadits adalah segala
sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., sahabat atau tabi’in dalam
bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan, baik semuanya itu
dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti
87
oleh para sahabat (Nata, 2013:237). Berbeda lagi menurut ulama’ ushul
fiqh, menurutnya pengertian hadits hanya dibataskan pada ucapan-ucapan
Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum dan apabila mencakup perihal
tingkah laku dan ketetapan beliau, maka menurutnya adalah Sunah bukan
Hadits (Shihab, 1992:121).
Hadits menjadi sumber ajaran yang kedua, memberikan perhatian
yang amat besar terhadap pendidikan. Nabi SAW telah mencanangkan
program pendidikan seumur hidup (long life education), yang dibuktikan
dengan perkataan Nabi SAW tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang
lahat (uthlubul ‘ilma min al mahdi ila allahdi). Selanjutnya, didukung
oleh para ulama’ dengan memberitahukan untuk menuntut ilmu sampai ke
negeri Cina (uthlubul ‘ilma walau bishshin). Lebih dalam lagi, Nabi SAW
menegaskan tentang kewajibannya dalam menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi
faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin) (Nata, 1997:12).
Diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini adalah salah
satunya mempunyai tujuan untuk memperbaiki moral atau akhlak
manusia, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW
bersabda:
إنما بعثت التمم مرمكا األخالق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Muslim) (Faruq, 2005: 121).
Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti
oleh umat muslim, yaitu menyempurnakan akhlak. Rasulullah SAW juga
88
seorang pendidik, yang telah berhasil membentuk masyarakat rabbaniy,
masyarakat yang terdidik secara Islami. Bahkan Robert L. Gullick, Jr.
dalam bukunya Muhammad The Educator mengakui akan keberhasilan
Nabi Muhammad dalam melaksanakan pendidikan (http://mahadir-
aziz.blogspot.co.id/2012/05/sumber-dan-dasar-pendidikan-islam.html,
diakses pada 20 Februari 2017, jam 16.33 WIB). Bahkan, dalam suatu
riwayat dikatakan:
“Sebaik-baik kamu adalah (yang hidup) generasiku, kemudian (generasi yang datang) sesudah mereka, lalu generasi yang datang sesudah mereka” (HR. Bukhori dan Muslim melalui Imran Ibn Al Husein) (Shihab, 2013:365).
Hadits ini yang dimaksud dengan baik adalah karena pada zaman
tersebut Nabi SAW masih hidup bersama mereka, dan karena mereka
adalah para pejuang yang menegakkan fondasi Islam, serta menyaksikan
turunnya wahyu, dan memiliki akhlak yang sangat luhur. Dengan
demikian, hadits mempunyai eksistensi yang penting sebagai sumber
dalam pendidikan akhlak.
3. Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata al jahdu dan al juhd yang
berarti bertenaga, kuasa, dan daya. Sedangkan ijtihad, berarti
menumpahkan segala kesempatan dan tenaga. Makna lainnya, berasal
dari kata jahada, yaitu mencurahkan segala kemampuan dan menanggung
beban. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan
dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas
sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya (Khoiriyah,
89
2013:77). Secara terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam
mengartikan ijtihad. Menurut Al Allamah Al Khudlori, ijtihad yaitu
memberikan kesanggupan untuk mengistinbathkan hukum syar’i dari
yang telah dipandang dalil oleh syara’, yaitu kitabullah dan sunnatur
Rasul (Mardani, 2015:142).
Menurut ulama’ ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian pada tingkat zhan mengenai hukum syara’. Sedangkan, Hasan
Nasution dalam menerangkan ijtihad tidak membatasi hanya pada bidang
fiqh saja, namun ijtihad merupakan pengerahan segala kemampuan untuk
memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan. Pendapat ini
seperti halnya dengan Adz Dzarwi, Fakhruddin Ar Razy, Ibnu Taimiyah,
dan Muhammad Ar Ruwaih (Anwar, dkk., 2011:193).
Ijtihad dalam hal ini meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk
aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang di olah oleh akal yang sehat dan para ahli pendidikan Islam
(ulama’). Ulama’ memahami Al Qur’an sejauh mana pengetahuan dan
pengamalan ilmiah mereka yang kemudian mereka paparkan
kesimpulannya kepada masyarakat. M. Quraish Shihab memaparkan
tentang ulama’ terkait dengan ungkapan “Para ulama’ adalah pewaris
nabi” bahwa para ulama’ melalui pemahaman, pemaparan, dan
pengamalan kitab suci mempunyai tugas untuk memberikan petunjuk dan
90
bimbingan kepada masyarakat guna mengatasi perselisihan-perselisihan
pendapat, dan problem-problem sosial yang berkembang dalam
masyarakat (Shihab, 1992:374-375).
4. Adat Istiadat
Adat menjadi sumber akhlak, karena keberadaannya merupakan
identitas suatu masyarakat atau bangsa. Dalam kaidah ushul fiqh adat
dapat dijadikan sebagai sumber akhlak,
العادة محكمة Artinya: “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” (As Saqaf, 2015:331).
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat
bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil
dari syari’at. Adat merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia
yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-
temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan
menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.
ة یجب العمل بھا استع مال الناس حج
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan” (Djazuli, 2006:84).
Di samping itu, manusia dalam berperilaku selalu
mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Dalam proses ini,
keluarga dan lingkungan tempat tinggal merupakan hal yang terdekat.
Oleh karena itu, gambaran kehidupan yang berlangsung lama secara
91
turun-temurun dari nenek moyangnya yang telah menjadi tradisi
diidentifikasikan sebagai perilaku dirinya. Ahmad Amin mengatakan
bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat istiadat tertentu dan menganggap
baik bila mengikutinya, sehingga apabila seseorang menyalahi adat
istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya
(Nata, 2008:87).
C. Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak
Manusia mempunyai tugas yang utama di muka bumi Allah SWT ini
yaitu sebagai khalifah Allah SWT. Tugas seorang khalifah utamanya adalah
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang dimaksud
adalah potensi tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lain, yaitu daya akal (Bakhtiar, 2015:247). Konsep akhlak Islami merupakan
akhlak yang menggunakan konsep dasar ketentuan Allah SWT., yaitu konsep
akhlak Islami yang diberikan atau dijelaskan oleh mayoritas ulama’
(http://santrisuwung.blogspot.co.id/2013/10/sumber-sumber-akhlak.html
diakses pada 28 Januari 2017, 01.04 WIB).
Di dalam Al Qur’an, dapat diketahui bahwasanya konsep pendidikan
yang dijelaskan adalah bentuk pembinaan terhadap manusia menuju
penyucian jiwa (Shihab, 1992:172-173). Tentunya, term pembinaan dan
penyucian jiwa ini, termasuk dalam konteks penyempurnaan akhlak.
Bagaimana tidak? Rosulullah SAW., sang pembawa dan perantara wahyu
yang turun dari Allah kepada umat-Nya melalui malaikat Jibril as., memiliki
92
misi khusus yaitu untuk memperbaiki akhlak atau menyempurnakan akhlak.
Adapun bentuk penyempurnaan akhlak ini tetap tidak dipandang secara
kontekstual, seseorang akan memiliki akhlak yang sempurna, karena hanya
Nabi Muhammad SAW yang memiliki akhlak sempurna. Bahkan, ada sebuah
pendapat yang mengatakan, Nabi SAW. adalah Al Qur’an yang berjalan.
Maksudnya, apa yang dicerminkan oleh Nabi SAW., adalah cerminan dari
ajaran yang terdapat di dalam Al Qur’an.
Pada dasarnya, tujuan pokok adanya pendidikan akhlak adalah
membentuk muslim berbudi pekerti, berperangai atau beradat-istiadat,
bertingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Apabila ditilik, maka akan
didapati bahwa pendidikan akhlak akan menjadi tolok ukur dalam beribadah,
karena tujuan adanya ibadah adalah untuk menyempurnakan akhlak, dan
apabila ibadah itu tidak membentuk akhlak yang baik, maka bisa jadi ibadah
hanya berbentuk gerakan saja. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
tujuan dari pendidikan akhlak adalah menyatukan antara ibadah dan akhlak
(Anwar, 2010:25-27). Dengan demikian, salah satu kesimpulan dari semua
ajaran-ajaran Islam adalah bentuk untuk menyucikan jiwa (Al Ashee,
2004:5).
Selanjutnya, hakikat dari pendidikan adalah pembentukan kepribadian
manusia, memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu
pendidikan harus menyangkut seluruh potensi manusia, baik jasmani maupun
rohani (Daulay, 2007:221-222). Manusia memiliki berbagai kebutuhan yang
dituntut oleh adanya perkebangan zaman, dan pada saat itulah manusia
93
membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatannya. Manusia juga
membutuhkan pendidikan etika untuk menjaga cara berperilaku yang sesuai.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam hal akal, untuk mencegah
kebebasan dalam berfikir yang tidak sesuai dengan norma. Manusia juga
membutuhkan pendidikan berbagai bidang ilmu untuk mengenal alam.
Manusia pun juga membutuhkan pendidikan sosial agar dapat menempatkan
dirinya sebagai makhluk yang sosial. Kebutuhan manusia yang sangat penting
lainnya adalah pendidikan agama untuk membimbing rohnya menuju Allah
SWT, serta manusia mempunyai kebutuhan dalam pendidikan akhlak agar
perilakunya seirama dengan akhlak mulia (Anwar, 2010:42-43).
Ibnu Miskawaih menerangkan tentang tujuan dari akhlak, yaitu agar
seorang individu mendapatkan moralitas (khuluq) yang membuat seluruh
perbuatan tersebut terpuji, sehingga menjadikan seorang individu tersebut
memperoleh pribadi yang mudah, tanpa beban dan dibebani dalam segala
kesulitan (Hajjaj, 2013:224). Maksud dari Ibnu Miskawaih adalah agar
seseorang menjalankan akhlak mulia tanpa adanya unsur paksaan baik dari
faktor dalam maupun luar, karena yang demikian sudah tertata dengan kokoh
yang menjadi karakter di dalam dirinya.
Menurut Hassan Langgulung, tujuan dari pendidikan agama (akhlak)
harus mengakomodasikan dalam tiga fungsi utama dari agama, yaitu, fungsi
spiritual yang berkaitan erat dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang
berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang
membawa derajat manusia ke derajat yang sempurna, dan fungsi sosial yang
94
berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan individu yang satu
dengan yang lainnya atau dalam masyarakat tertentu, dimana masing-masing
mempunyai hak-hak dan tanggung jawabnya untuk menyusun sebuah
masyarakat yang harmonis dan seimbang (Nata, 1997:46). Dengan begitu,
maka akan diperoleh sebuah akhlak yang sesuai dengan tujuan adanya
pendidikan akhlak, dimana dalam merumuskannya tidak sekehendak
individual, namun diletakkan pada nilai-nilai yang berlaku.
D. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak
1. Pendidik
Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah SWT,
sedangkan proses dalam memperolehnya adalah dari belajar kepada guru
(Nata, 1997:80). Adanya pendidik dalam proses belajar sangatlah penting,
maka secara umum, pendidik adalah orang yang memikul
pertanggungjawaban mendidik supaya peserta didik tunduk dan patuh
kepada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan
akhirat (Ramayulis dan Nizar Samsul, 2009:157). Tidak hanya itu,
pendidik juga merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan
seluruh potensi peserta didik, baik afektif, kognitif, maupun psikomotorik
(Iqbal, 2015:622). Dengan demikian pendidik selain mentransfer ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga mentransfer nilai dan pembentukan
kepribadian dengan segala aspeknya (Widagdho, dkk., 2001:252).
95
2. Peserta Didik
Dalam pendidikan Islam peserta didik adalah individu yang sedang
tumbuh dan berkembang baik secara fisik psikologis sosial dan relegius
dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam pendidikan
Islam, terdapat beberapa istilah bahasa Arab tentang peserta didik, seperti:
Murid, yang berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan
sesuatu, tilmidz yang berarti murid, dan thalab ‘ilmi yang menuntut ilmu,
pelajar atau mahasiswa. Beberapa istilah di atas, secara keseluruhan
membahas tentang seseorang yang sedang menempuh pendidikan (Nata,
1997:79-80). Maka dari itu, dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik
adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju arah titik optimal
kemampuan fitrahnya (Arifin, 2008:144).
Menurut Asma Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul
Nizar (Nizar, 2002:50-51), bahwa tugas dan kewajiban peserta didik
adalah:
a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum
menuntut ilmu.
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan
berbagai sifat keutamaan.
c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di
berbagai tempat.
96
d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
e. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah
dalam belajar.
Dari beberapa karakteristik di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa peserta didik merupakan salah satu obyek sekaligus subyek
pendidikan yang harus memperhatikan tugas dan kewajiban-
kewajibannya sehingga ilmu yang didapatkannya bermanfaat baik di
dunia maupun di akhirat.
3. Metode Pendidikan Akhlak
Menurut Ibnu Kholdun, metode yang bermanfaat dalam
mengajarkan ilmu adalah apabila dilakukan secara berangsur-angsur atau
sedikit demi sedikit. Dalam mengajar, pertama yang diberikan yaitu
menjelaskan cabang-cabang pembahasan yang dipelajari, kemudian
keterangan yang digunakan juga harus secara umum dengan tolok ukur
daya tampung dan daya pikir dari calon penerima ilmu. Apabila
pembahasan pokok telah dikuasai, maka calon penerima ilmu harus
memahami asal usul dari pembahasan pokok. Jika dalam pembahasan
pokok belum dikuasai, maka harus diulangi sampai tingkat penguasaan.
Lebih lanjutnya, Ibnu Kholdun menerangkan, apabila ada calon penerima
ilmu yang mempunyai kesulitan di dalam memahami, maka bisa
dikatakan metode yang dipakai dalam menyampaikan ilmu kurang sesuai
dan tidak memiliki penguasaan terhadap ilmu jiwa (Nata, 1997:177).
97
Metode pendidikan yang dimaksud di sini adalah dalam upaya
untuk menanamkan akhak kepada individu. Berikut beberapa metode
yang digunakan dalam mendidik akhlak:
a. Metode Keteladanan dan Pembiasaan
Pendidikan akhlak dengan teladan berarti pendidikan dengan
memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir dan
sebagainya. Keteladanan merupakan metode yang paling baik dalam
rangka bimbingan orang tua kepada anaknya. Ibnu Sina mengakui
adanya pengaruh mengikuti atau meniru atau contoh teladan yang baik
dalam proses pendidikan dikalangan anak pada usia dini terhadap
kehidupan mereka, karena secara thabi’iyah anak mempunyai
kecenderungan dalam mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang
dilihat, dirasakan, maupun yang didengarnya (Iqbal, 2015:12). Setiap
anak yang akan menjalani proses kehidupannya, mereka memerlukan
keteladanan yang memiliki akhlaqul karimah.
Keteladanan dapat diperoleh dari orang tuanya. Apabila anak
dibesarkan dengan bimbingan akhlak yang baik dari orang tua serta
lingkungan muslim yang baik, maka ia akan mendapatkan banyak
contoh atau keteladanan yang baik untuk perkembangan jiwanya.
Kedudukan orang tua merupakan sentral figur bagi anak-anaknya.
Apabila orang tua memberi contoh yang kurang baik dalam
perilakunya, maka seorang anak akan sulit berbuat yang baik.
Keteladanan sangat terkait dengan nilai-nilai moralitas dan integritas
98
(Gojali, 2013:242). Seseorang memiliki kebutuhan psikologis untuk
mengikuti dan mencontoh kepada orang yang lebih tinggi atau lebih
tua, lebih dicintai, dan lebih dihargai. Sehingga akan menumbuhkan
kebiasaan yang menempel kemudian membentuk kepribadian
seseorang tersebut.
b. Metode Kisah
Metode pendidikan akhlak yang masyhur dan terbaik salah
satunya adalah dengan bentuk kisah atau cerita. Seperti yang
diungkapkan oleh M. Qurais Shihab, bahwasanya salah satu metode
yang digunakan dalam mengarahkan seeorang adalah dengan adanya
kisah-kisah yang terdapat di dalam Al Qur’an (Shihab, 1992:175).
Peranan kisah dalam pembentukan akhlak itu sudah dikenal sejak
dahulu, dan Al Qur’an datang dengan kisah-kisah pendidikan yang
sangat penting artinya dalam kehidupan manusia dalam sisi akhlak
dan jiwa. Kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh
ketulusan hati yang mendalam. Dengan kisah itu juga mampu
mempengaruhi seseorang yang membacanya atau mendengarnya,
dengan demikian, seseorang akan tergerak hatinya untuk melakukan
kebaikan dan meninggalkan kejelekan.
Metode kisah ini, menurut Muhammad Qutb, bahwa cerita
memiliki bimbingan yang komplit, yaitu untuk pendidikan akal,
mental dan jasmani melalui teladan dan nasihat yang ada di dalam
kisah tersebut. Muhammad Qutb juga membagi kisah ke dalam
99
beberapa kategori yaitu cerita yang menonjolkan tempat, orang, dan
peristiwa, cerita yang menampilkan suatu contoh kehidupan sebagai
teladan dan ditiru, dan cerita yang melukiskan fakta yang sebenarnya.
Selanjutnya, Muhammad Qutb menggambarkan tujuan dari adanya
cerita yang dirumuskan, yaitu sebagai tujuan keagamaan, pendidikan,
dan hiburan (Iqbal, 2015:119).
c. Metode Targhib dan Tarhib
Metode targhib dan tarhib dalam pendidikan modern ini dikenal
dengan istilah reward and punishment yang mempunyai arti
penghargaan dan hukuman. Ibnu Sina menerangkan, bahwa
penghargaan adalah sebagai bentuk motivasi yang baik bagi peserta
didik, namun dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi, metode
tarhib diperlukan dengan cara diberi peringatan dan ancaman lebih
dulu agar kembali kepada perbuatan yang baik. Selanjutnya, apabila
sudah tidak bisa, maka cukup diberi pukulan sekali saja, tahap ini
dilakukan setelah adanya peringatan keras yang tidak bisa
memulihkan keadaan dan tahap ini dijadikannya sebagai alat penolong
untuk menimbulkan pengaruh yang positif terhadap peserta didik
(Iqbal, 2015:13).
Abdullah Nasikh Ulwan memberikan kesimpulannya tentang
pemakaian metode hukuman (tarhib), bahwa dengan metode ini, anak
akan jera, dan berhenti untuk melakukan penyimpangan. Anak akan
mempunyai perasaan dan kepekaan yang menolak untuk mengikuti
100
hawa nafsunya untuk melakukan berbagai hal yang menyimpang.
Tanpa adanya peringatan, maka anak akan terus-menerus melakukan
berbagai penyimpangan (Ulwan, 1995:182).
Penggunaan metode berdasarkan kepentingan masing-masing,
sesuai dengan pertimbangan bahan yang akan diberikan serta kebaikan
dan keburukannya masing-masing. Pemilihan dan penggunaan metode
dalam pendidikan agama Islam harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang
mendasarinya. Ibnu Sina menyebutkan karakteristik metode yang akan
diberikan yaitu, pertama, pemilihan dan penerapan metode harus sesuai
dengan karakteristik materi, kedua, metode harus disesuaikan dengan
perkembangan psikologis, bakat, dan minat peserta didik, ketiga, metode
yang diberikan tidak bersifat kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik, keempat, kesesuaian dalam
memilih metode akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran
yang berlangsung (Iqbal, 2015:13).
4. Materi Pendidikan Akhlak
Dalam siklus kehidupan manusia, masa kanak-kanak merupakan
sebuah periode yang paling penting, namun sekaligus juga merupakan
suatu periode yang sangat berbahaya dalam artian sangat memerlukan
perhatian dalam kesungguhan dari pihak-pihak yang bertanggungjawab
mengenai kehidupan anak-anak. Sebab, seorang anak pada hakekatnya
telah tercipta dengan kemampuan untuk menerima kebaikan maupun
keburukan kedua orang tuanya yang membuatnya cenderung ke arah salah
101
satu dari keduanya. Oleh karena itu, penanaman pendidikan pada masa
anak sangatlah penting agar anak memiliki bekal dalam hidup
selanjutnya. Pendidikan yang relevan ditanamkan pada masa ini adalah
pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak harus dilakukan sejak dini,
sebelum kerangka watak dan kepribadian seorang anak yang masih suci
diwarnai oleh pengaruh lingkungan yang belum tertentu paralel dengan
tuntunan agama (Nasar, 1991:44).
Abdullah Nasikh Ulwan menyebutkan beberapa materi pendidikan
akhlak terhadap individu, yaitu pendidikan keimanan (agar peserta didik
memiliki dasar agama yang kuat), pendidikan akhlak (untuk membimbing
nafsu), pendidikan jasmani (agar memiliki keterampilan), pendidikan
rasio (agar terlatih dalam memecahkan masalah), pendidikan kejiwaan
(untuk menjaga hati supaya sehat hatinya/jiwanya), pendidikan sosial
kemasyarakatan (untuk mengatur cara dalam bermasyarakat), serta
pendidikan seksual (untuk melatih mental peserta didik) (Muchtar,
2005:15-18).
5. Lingkungan Pendidikan Akhlak
Setiap individu sudah pasti memiliki kemampuan yang dapat
dikembangkan melalui pengalamannya. Pengalaman itu terjadi karena
adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Maka dari itu,
lingkungan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan
peserta didik. Dengan kata lain, lingkungan merupakan latar tempat
102
berlangsungnya pendidikan. Berikut beberapa lingkungan dalam
pembentukan akhlak:
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dihadapi
oleh peserta didik. Dari sudut pandang paedagogis, keluarga diartikan
sebagai lembaga pertama dan utama dengan dialami seseorang dimana
proses belajar yang terjadi tidak berstruktur dan pelaksanaanya tidak
terikat oleh waktu (Joesoef, 1992:64). Hal ini, memberikan tuntutan
kepada seluruh keluarga atau kerabat, lebih khususnya orang tua,
supaya memberikan teladan yang baik bagi anaknya.
Al-Ghazali menerangkan, anak adalah amanah orangtuanya, hati
bersihnya adalah permata murni, yang kosong dari setiap tulisan dan
gambar (Rabbi & Muhammad Jauhari, 2006:106). Oleh karena itu,
anak yang mempunyai keahlian dalam meniru jejak orang tuanya
harus memberikan teladan yang baik kepada anak turunnya, agar
setiap tulisan yang digambarkan mencerminkan akhlak yang mulia.
b. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan tempat bagi seorang individu
dalam memperoleh ilmu. Dalam hal ini, yang dituntut untuk
memberikan pendidikan yang baik adalah guru, karena guru dalam
lingkungan sekolah mempunyai kedudukan sebagai orang tua kedua.
103
c. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan ini sangatlah luas, sehingga individu sangat
membutuhkan pengawasan dan pengontrolan terhadap perkembangan
individu tersebut. Di samping itu, dengan adanya pengawasan dan
pengontrolan agar lingkungan masyarakat menjadi lingkungan yang
tepat untuk pembentukan kepribadiannya.
E. Hubungan Akhlak terhadap Ilmu
Apabila menengok dari segi kedudukan akhlak, maka akan tampak
bahwa akhlak adalah jiwa peradaban atau kesusilaan yang ditanamkan Allah
SWT dalam diri manusia sebagai faktor untuk mengukur tinggi rendahnya
atau dalam dangkalnya manusia. Berbeda dengan zaman dahulu yang masih
menganut sistem rimba atau siapa saja yang memiliki kekuatan besar
dianggap paling berkuasa dan mengabaikan nilai moralitas. Namun, ketika
manusia mendapatkan ilmu, maka mulailah ilmu itu dipakai sebagai ukuran
tinggi rendahnya derajat manusia, dan ketika ilmu telah merata, maka ukuran
yang tepat dipakai untuk menentukan keutamaan dan kekurangan adalah
akhlak (Al Ashee, 2004:10-11).
Akhlak memberikan peranan penting dalam segi fondasi kehidupan,
baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Maka dari itu, di
dalam Al Qur’an dan Hadits banyak memberikan penekanan terhadap akhlak
(Anwar, 2010:23). Ibnu Miskawaih menerangkan, kedudukan dari akhlak
mengungguli semuanya, karena berkaitan erat dengan manusia yang
104
merupakan entitas termulia berikut perilaku mulia yang seharusnya ada
padanya (Hajjaj, 2013:224). Namun, kajian akhlak yang selama ini ada,
apabila tidak diimplementasikan dengan cara melatih dirinya, maka tidak
akan bermanfaat bagi dirinya.
Al Quran sangat menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu dan
amal (akhlak). Fazlur Rahman mengatakan dalam karyanya bahwa, ‘ilm
mempunyai arti pengetahuan melalui belajar, berfikir, pengalaman dan yang
lainnya (Rahman, 1995:198-199). Dari pendapat Fazlur Rahman ini, ilmu
memiliki arti sebuah pekerjaan yang bersifat komprehensif tapi juga value-
oriented dan berarti pengetahuan terhadap makhluk Allah SWT maupun Sang
Pencipta. Ilmu menekankan orientasi praktis dengan memberikan penekanan
yang sama terhadap amal. Amal yang didasarkan pada pengetahuan dan
keyakinan akan menciptakan sebuah masyarakat yang baik. Ilmu tanpa
dibarengi dengan amal dianggap tidak memiliki faedah kemanusiaan.
Pengetahuan yang benar dan perbuatan yang baik merupakan sintesa yang
paling ditekankan. Masyarakat kapitalis sering kali mengeksploitasi
pengetahuan untuk kepentingan pribadi mereka. Pengetahuan yang dijadikan
sebagai ladang industri merupakan penyelewengan dari nilai-nilai
kemanusiaan (Engineer, Terj. Tim FORSTUDIA, 2004:66-69).
Kebenaran dalam beragama adalah dengan pembuktian praktik
keagamaan, namun dalam praktik keagamaan telah membuktikan kebenaran
empiris dari pengalaman empiris sehingga kesadaran ilmiah dan kesadaran
agama mempunyai titik temu (Bakhtiar, 2015:250). Dalam hal ini, kesadaran
105
agama berkaitan erat dengan akhlak dan kesadaran ilmiah berkaitan erat
dengan ilmu. Jadi, dapat disimpulkan akhlak dan ilmu mempunyai peranan
yang sama pentingnya. Dalam perkataan yang lain yaitu dari Imam Maliki,
bahwa muslim yang melupakan tasawuf dalam belajar syari’ah dianggap
munafik, muslim yang mendalami tasawuf dan melupakan syari’ah dianggap
sebagai kafir zindiq sedangkan muslim yang mempelajari dan mengamalkan
keduanya akan mendapatkan kesempurnaan dalam berislam (Dhofier,
2011:227).
Akal merupakan penghubung antara immateri dan materi. Semakin
tinggi nilai dan kedudukan akal, akan semakin immateri, dan sebaliknya,
semakin rendah nilai dan kedudukan akal, maka semakin bersifat material (Al
Makin, 2016:193). Maka dari itu, jika ada seseorang yang mempunyai nilai
tinggi dan kedudukan akal yang tinggi, akan semakin menjauh dari segala
bentuk materi (hawa nafsu), dan jika ada seseorang yang memiliki rendahnya
nilai dan kedudukan akal, akan semakin mendekat pada bentuk materi. Materi
dalam hal ini, adalah hawa nafsu, seperti: kekuasaan, harta, dan sebagainya.
Namun, jika ada seseorang yang memiliki tingginya kedudukan akal, tetapi
masih dekat dengan materi, dapat disipulkan seseorang itu tidak mempunyai
ketinggian dalam hal nilai ilmu. Nilai mengandung arti pemaknaan dalam
memahami sesuatu yang kemudian dibuktikan dengan bentuk amalan. Islam
mempertautkan akhlak dengan aqaid dengan menghendaki amalan yang
nyata (Al Ashee, 2004:13).
106
Dalam konteks modern ini, akhlak memiliki urgensi yang sangat
penting. Mengingat kehidupan modern ini, cenderung dapat menyebabkan
dehumanisasi (hilangnya nilai-nilai kemanusiaan) dan aliensi (terasingkan).
Oleh sebab itu, akhlak menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki bagi setiap
individu. Namun, fenomena ini tidak bisa dinafikan dari kenyataan, karena
fenomena ini dapat terjadi apabila minimnya pemahaman masyarakat tentang
hakikat hidup yang sebenarnya. Pemahaman terhadap kehidupan yang sempit
akan mengakibatkan halalnya berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya.
Apabila ini dimiliki oleh seorang pejabat, maka kemungkinan besar akan
muncul pemimpin yang hanya mementingkan pribadinya sendiri (Jamil,
2013:26). Seseorang yang dapat mengimbangi antara ilmu dan akhlak sebagai
satu kesatuan yang utuh, maka tidak bisa diragukan lagi akan akhlaqul
karimahnya.
107
BAB IV
PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK
MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI
A. Analisis Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani
Pendidikan merupakan proses untuk memanusiakan manusia, atau
pendidikan bisa dikatakan sebagai proses humanisasi dalam menghargai
segala potensi yang dimiliki oleh manusia. Maka dari itu, proses
humanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai upaya
mengembangkan manusia sebagai makhluk yang tumbuh dan berkembang
dengan segala potensi (fitrah) yang dimilikinya. Penanaman yang
demikian ini sangatlah penting, mengingat untuk belajar menempati posisi
yang cukup vital ini sering kali mendapatkan berbagai kesulitan.
Hal ini dalam penjelasan Kiai Sholeh Darat dapat disimpulkan,
manusia sering kali mendapatkan ujian ketika berurusan dengan
kesenangan dunia yang timbul karena nafsu dalam diri seseorang (Darat,
1317 H:141). Sedangkan proses belajar dalam Islam, menghendaki
terciptanya belajar yang tertanam secara kuat dalam kepribadian seseorang
yang kemudian tercermin dalam perbuatan yang nyata.
1. Eksistensi Akhlak
Kiai Sholeh Darat dalam membahas tentang akhlak lebih
cenderung ke dalam pengungkapan makna tersirat yang terkandung di
dalamnya atau bisa disebut dengan tasawuf. Seperti dalam beberapa
108
karya-karya tentang akhlak, Kiai Sholeh Darat selalu memberikan
penjelasan mengenai sesuatu yang tersirat di dalamnya. Dalam kitab
Minhajul Atqiya’, Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Ngelmu ingkang
ngaweruhi tingkah polahe ati ruhani lan sifate ati ruhani sangking
sifat mahmudah lan madzmumah” (Darat, 1325 H:9). Akhlak yang
diterapkan oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu dengan menghadirkan hati di
dalam beramal. Kehadiran hati ini sangat ditekankan oleh Kiai Sholeh
Darat, karena ketika gerakan jasmaniyahnya melakukan sesuatu, maka
gerakan ruhaniyahnya mengiringi aktivitas jasmaniyahnya tersebut.
Kiai Sholeh Darat dalam upayanya untuk menghadirkan hati
ketika beraktivitas maupun beribadah, agar dapat membersihkan hati
dari sifat-sifat madzmumah dan menggantinya dengan sifat yang
mahmudah. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Kerono arah
ngothongaken qolbu arruhani sangking aghyar lan den enggon-
enggoni kelawan sifat mahmudah” (Darat, 1325 H:9). Inilah yang
menjadi tujuan dari Kiai Sholeh Darat dengan ditanamkannya akhlak
ke dalam berbagai aktifitas maupun beribadah, agar mampu
menimbang nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai aktivitas dan
ibadah yang dilakukan.
2. Sumber Akhlak
Melihat dari sudut pandang Kiai Sholeh Darat, maka sumber
yang menjadi ukuran dalam menentukan akhlak itu baik atau buruk
adalah bersumber dari hati. Hati dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat
109
sangat rentan untuk berbuat yang tidak sesuai, karena adanya nafsu
syahwat yang menjadikan hati untuk berbelok. Pada hakikatnya hati
itu adalah awal mula adanya agama dan tempat bersandar dalam
mengarungi jalan (haqiqate ati iku asal agama lan pendemene
toriqote wong kang podo salikin kabeh) (Darat, 1422 H:2).
Kiai Sholeh Darat menerangkan, hati itu mempunyai empat
sifat yaitu pertama, menempati sifat amarah ketika marah (enggon-
enggoni sifate satugalak nalikane muring-muring), kedua, menempati
sifat kehewanan ketika menuruti nafsu syahwat (enggon-enggoni
sifate kebo sapi nalikane nuruti syahwat), ketiga, menempati sifat
syaithon ketika menuruti keinginan syaithon (enggon-enggoni sifate
syaithon nalikane nuruti karepe syaithon), keempat, menempati sifat
ketuhanan (enggon-enggoni sifate pengeran nalikane demen luhur lan
sengit ino lan demen ngelmu sengit bodo) (Darat, 1422 H:3).
Maka dari itu, dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat terdapat
beberapa sumber yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai
akhlak. Di samping untuk menilai akhlak mahmudah atau akhlak
madzmumah, juga dijadikan sebagai penyempurna dalam beraktifitas
maupun beribadah. Sumber yang dikemukakan oleh Kiai Sholeh Darat
yaitu,
a. Syari’at
Syari’at merupakan hukum yang berasal dari Allah SWT
dan Rasulullah SAW. atau bisa dikatakan syari’at adalah Al
110
Qur’an dan Al Hadits. Kiai Sholeh Darat memberikan uraian
tentang syari’at, “Mongko artine ngelmu syari’at iku olehe
ngelakoni mukmin lan olehe manut kelawan agamane Allah
Subhanahu wa Ta’ala” (Darat, 1325 H:46). Syari’at dilakukan
oleh anggota dzahir manusia, yang kemudian menjadi bentuk
aktifitas dan ibadah. Syari’at dilakukan itu agar seseorang bisa
menghilangkan maksiat dari hatinya seseorang tersebut, Kiai
Sholeh Darat melanjutkan penjelasannya, “Ngelmu syari’at iku
supoyo ilango saking atine salik petenge maksiat” (Darat, 1325
H:59).
Dengan pemaknaan tersebut, maka syari’at meliputi segala
lini aspek kehidupan. Syari’at bukan hanya tentang shalat, zakat,
puasa dan haji semata. Namun lebih dari itu, syari’at merupakan
aturan dalam kehidupan yang mengantarkan manusia menuju
realitas sejati. Syari’at merupakan titik tolak keberangkatan dalam
perjalanan ruhani manusia. Seseorang harus mengokohkan
amaliah syari’atnya dengan hakikat, karena hakikat adalah hasil
dari bentuk amaliah dari syari’at. Kiai Sholeh Darat menjelaskan,
“Ngelmu haqiqat iku barang kang wus hasil saking ta’rif
sangking berkate syari’at” (Darat, 1325 H:46).
Maka dari itu, ketika seseorang bersuci, menurut Kiai
Sholeh Darat, jasmani dan rohani itu harus disucikan, karena di
111
antara keduanya mempunyai keterkaitan yang erat. Lanjutnya
Kiai Sholeh Darat mengumpakan,
“Mongko badan dzahir iku ‘ibarote ‘alamus syahadah, tegese ‘alam ketingal koyo bumi, lan qalbur ruhani iku ‘ibarote ‘alamul malakut, tegese ngalam kang ora ketingal, koyo luhure langit” (Darat, t.th:13).
b. Adat Istiadat
Kiai Sholeh Darat dalam menarik kesimpulan tentang
adanya baik dan buruk tidak hanya menyandarkannya dengan
syari’at, namun juga dengan melihat kebiasaan yang sudah
melekat di dalam masyarakat. Kiai Sholeh Darat mengatakan,
“Lan meluho ‘adate negoro sekirane ora nulayani syari’at”
(Darat, 1374 H:34). Kalimat itu Kiai Sholeh Darat sampaikan,
karena masuknya budaya barat dalam kehidupan sehari-hari
mempengaruhi nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Jadi,
tradisi di Nusantara ini harus dijaga demi mengukuhkan nilai
budaya yang terdapat di masyarakat saat itu.
Seperti contoh dalam menjaga tradisi, Kiai Sholeh Darat
melarang masyarakat untuk menyerupai apa yang dilakukan
penjajah dan dalam hal berpakaian seperti kaum penjajah pada
saat itu. Hal ini dijelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at
(Darat, 1374 H:24-25),
“Lan haram ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liyo agama Islam senadyan atine ora demen” (Darat, t.th:24-25).
112
Model berpakaian yang dimaksudkan oleh Kiai Sholeh
Darat adalah seperti jas, topi, dan dasi. Selain model berpakaian,
budaya minuman keras juga memberikan pengaruh yang besar,
karena di samping merupakan minuman yang haram untuk
dikonsumsi bagi umat Islam juga dapat menghilangkan akal sehat
mereka. Kiai Sholeh Darat mengatakan,
“Utawi artine ngrekso ‘akale iku mongko arep ngedohi barang kang ngilangaken akal koyo arak lan endi-endi barang kang mendemi” (Darat, 1374 H:34). Semakin meluasnya pengaruh kehidupan Barat
dalam lingkungan kehidupan tradisional, membawa tata
kehidupan Barat seperti cara bergaul, gaya hidup, cara
berpakaian dan pendidikan menjadi hal biasa di dalam
masyarakat. Maka dari itu, selain masyarakat pemerintah juga
harus berperan dalam hal ini untuk membantu membina dan
mengembangkan nilai nilai adat kebudayaan nasional.
3. Klasifikasi Akhlak
a. Akhlak Mahmudah
Sifat mahmudah adalah sifat terpuji yang sesuai dengan
syara’ atau hukum Allah SWT dan Rasul-Nya yang dianjurkan
kepada manusia. Kiai Sholeh Darat dalam Munjiyat menjelaskan,
“Sifat mahmudah tegese kang pinuji lan kang wajib ngelakoni
ingatase mukmin” (Darat, 1422 H:65). Kiai Sholeh Darat
mengemukakan sepuluh sifat mahmudah yaitu:
113
1) Taubat
Adalah upaya untuk kembali kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya dari perbuatan maksiat. Menurut Kiai Sholeh
Darat taubat harus berunsur meninggalkan, menyesal, dan
tidak mengulangi perbuatan itu lagi.
“Tegese arep aninggal ing sekabehane doso lan serto getun ingatase barang kang wus kelakon saking doso kang wus den lakoni lan sertane nejo ing dalem atine ora pisan-pisan baleni maring kelakuan maksiat kang wus kelakon” (Darat, 1422:66).
2) Sabar
Sabar menurut Kiai Sholeh Darat adalah menahan diri
dari sesuatu yang tidak disukai oleh nafsu syahwat ketika
dibutuhkan (angempet nafsune saking betahaken ing barang
kang ora den demeni dene nafsu). Kiai Sholeh Darat
berpendapat, bahwa sabar merupakan buah dari taqwa,
karena sabar merupakan pangkalnya dari iman (sabar iku
ratune iman, kerono utamane sabar iku taqwa, lan hasile
taqwa iku kelawan sabar) (Darat, 1422 H:77-78). Lebih
lanjutnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan, ketika seseorang
berhasil dari melakukan sabar, maka harus diiringi dengan
syukur kepada Allah SWT.
3) Al Khouf wa Al Raja’
Kiai Sholeh Darat mengartikan al khouf wa al raja’
yaitu takut dan harapan. Maksudnya, takut terhadap
114
hilangnya iman dan Islam dan mengharap untuk diberikan
ketetapan taufiq dan hidayah-Nya sampai Allah SWT
mencabut nyawa kita. Kiai Sholeh Darat menyebutkan,
“Wedi saking kecabute iman lan Islame lan ngarep-ngareo tetepe peparinge taufiq lan hidayah tumeko mati” (Darat, 1422 H:82).
4) Al Faqir wa Al Zuhd
Dalam pandangan Kiai Sholeh Darat, faqir adalah
keadaan seseorang yang tidak mempunyai barang yang
dibutuhkan dan diinginkan (Ora duwe barang kang mesthi
den karepaken lan den hajataken), dan Zuhud adalah keadaan
seseorang ketika datang suatu nikmat kepadanya, maka benci
dan susah (sengit lan susah) menghampirinya, karena takut
akan cela dan fitnah (olone arto lan fitnahe arto) yang datang
darinya (Darat, 1422 H:94).
5) Al Tauhid wa Al Tawakal
Adalah menyucikan diri kepada Allah SWT (nyuceaken
ing Allah) dan memasrahkan diri kepada Allah SWT, karena
sifat keagungan yang dimiliki-Nya (Amasrahaken awake
maring liyane kang ngluwihi maring deweke). Lebih jelasnya
Kiai Sholeh Darat menjelaskan, bahwa tawakal mempunyai
tiga tingkatan, yaitu tawakal terhadap Allah SWT dalam
segala perkara, tawakal terhadap Allah SWT seperti layaknya
anak kecil yang diasuh oleh ibunya, dan tawakal terhadap
115
Allah SWT seperti layaknya mayit atau jenazah ketika
diurusi (Darat, 1422 H:113-114).
6) Al Mahabbah wa Al Syauq wa Al Ridlo
Adalah mencintai, merindukan, dan ridlo dengan
hukum Allah SWT. Sifat demikian ini, pada intinya adalah
cinta kepada Allah, karena ketika seseorang rindu dan ridlo,
maka hal yang mendasarinya adalah sifat cintanya kepada
Allah SWT. Kecintaan terhadap Allah SWT menurut Kiai
Sholeh Darat, “Lan setuhune demen ing Allah iku dadi
syarate iman” (Darat, 1422 H:118).
7) Al Niat wa Al Ikhlas wa Al Sidqu
Menurut Kiai Sholeh Darat, “Niat lan ikhlas lan sidiq
tegese niat lan ikhlas niate lan sidiq atine” (Darat, 1422
H:126). Maksudnya, Kiai Sholeh Darat menekankan agar niat
yang lepas mengandung keikhlasan dan hatinya
membenarkan apa yang akan dilakukan, karena menurut Kiai
Sholeh Darat setiap niat yang tidak diiringi dengan hal
tersebut akan menimbulkan riya’, “Utawi niat ora kelawan
ikhlas iku riya’ arane” (Darat, 1422 H:127).
8) Al Muhasabah wa Al Muroqobah
Kiai Sholeh Darat menjelaskan Al Muhasabah wa Al
Muroqobah yaitu, “Arep angiro-ngiro ing awake sedurunge
ono hisab” (Darat, 1422 H:138). Kiai Sholeh Darat
116
menegaskan bahwasanya sifat demikian ini, harus dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan hati-hati dalam mengelola
nafsu dan tingkah laku. Allah SWT telah memberikan bekal
kepada kita berupa ruh dan dilengkapi dengan adanya akal
dan pikiran. Maka dari itu, seseorang harus bisa
mengintegrasikannya agar mampu melawan nafsu
syahwatnya, dan mengubahnya menjadi nafsu yang baik.
9) Al Tafakkur
Al tafakkur adalah mengangan-angan dan memikirkan
kembali asal muasal dari sesuatu yang terjadi, “Al tafakur
tegese angen-angen lan mikir-mikir kedadeane sewiji-wiji”
(Darat, 1422 H:147). Kiai Sholeh Darat menyimpulkan dari
beberapa firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah SAW
dalam hal keutamaan bertafakur menjadi empat perkara
(Darat, 1422 H:149-151), yaitu:
a) Bertafakur terhadap anggota tubuh.
b) Bertafakur terhadap ketaatan kepada Allah SWT.
c) Bertafakur apakah sifat tercela masih ada dalam
kesehariannya.
d) Bertafakur apakah sifat terpuji telah terbentuk dalam diri
kita.
117
10) Dzikrul Maut wa Ma Ba’daha
Adalah mengingat-ingat kematian yang akan
menjemput dan apa yang terjadi setelah datangnya kematian.
Menurut Kiai Sholeh Darat, dengan mengingat kematian,
akan menjadikan manusia termotivasi untuk semakin
bertambah baik (ziyadatul khoir). Kiai Sholeh Darat
menegaskan,
“Ora manfa’at ngeleng-ngeleng pati selagine ono ing dalem atine demen nuruti syahwat lan nafsu lan demen dunyo, balik manfa’ate ngeleng-ngeleng pati iku arep kothong atine saking kebak dunyo, mongko dadi nglabeti ing dalem ilinge pati kelawan sregep taubat lan sregep ‘ibadah lan ora pisan-pisan atine demen dunyo kerono eleng yen bakal mlebu kubur” (Darat, 1422 H:158).
b. Akhlak Madzmumah
Di samping Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang akhlak
mahmudah, Kiai Sholeh Darat juga menjelaskan tentang sifat
madzmumah sebagai sifat yang harus diketahui dan ditinggalkan
oleh seseorang. Dalam kitab Munjiyat dijelaskan, “Sifat
madzmumah arane wajib ingatase mukallaf ngaweruhi lan
tinggal” (Darat, 1422 H:65). Beberapa sifat madzmumah yang
dikemukakan oleh Kiai Sholeh Darat diantaranya adalah:
1) Mudkhola Asy Syaithon
Adalah manjinge syaithon di dalam hati manusia.
Syaithon berusaha untuk mengelabuhi hati manusia yang
murni, karena hati merupakan inti dari timbulnya suatu
118
perbuatan. Menurut Kiai Sholeh Darat, terdapat beberapa
kondisi yang menyebabkan masuknya syaithon ke dalam hati
manusia, yaitu ketika ghodhob dan syahwat (amarah dan
berkuasanya nafsu), hasud dan haros (iri dan serakah),
syab’un (penuh dengan makanan), hubbut tayazzun
(menyukai keindahan dunia), al ‘ujlah (terburu-buru dalam
sesuatu), darahim (menyukai uang), tama’ (serakah di dalam
haq orang lain), al bukhlu wa khouful faqir (pelit dan takut
miskin), mempermudah dalam bermadzhab, membiarkan
orang awam mengatasi permasalahan agama, dan syu’udz
dzan (berprasangka buruk) (Darat, 1422 H:4-7).
2) An Nafsu wa Suul Khuluq
Kiai Sholeh Darat menegaskan, “Mongko wajib siro
arep bagusaken nafsu niro kelawan nganggo pekerti ingkang
bagus” (Darat, 1422 H:8). Dapat dikatakan, nafsu itu adalah
sumbernya dan yang membuat sumber itu menjadi bagus
adalah yang menghiasi sumber tersebut dengan akhlak yang
mulia. Dalam kitab Majmua’t Asy Syari’at Kiai Sholeh Darat
menegaskan, “Setuhune nafsu iku gesit lan bosenan lan abot
maring haq” (Darat, 1374 H:182).
3) Asy Syahwatain
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa, nafsu
syahwat adalah musuh terbesar dalam melakukan aktifitas
119
dan ibadah. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Agung-agunge
kerusakan iku wong kang nuruti syahwate wetenge” (Darat,
1422 H:9). Alasan Kiai Sholeh Darat, karena ketika manusia
menuruti kebutuhan perut, maka nafsu terhadap lawan jenis
menariknya, setelah itu akan menarik kepada cinta akan uang
dan seterusnya hingga menuju lacut. Lanjutnya, Kiai Sholeh
Darat menjelaskan tentang upaya untuk mengatasi atau
melawan nafsu syahwat adalah dengan berpuasa, “Lan lamun
ngajar siro ing nafsu niro kelawan luwe mongko yekti ora
kasi mengkono” (Darat, 1422 H:10). Hal ini dikarenakan,
ketika manusia mengajar hawa nafsunya dengan berpuasa,
maka akan mengurangi cintanya terhadap dunia, “Faedahe
luwe iku dadi marisi nyithiaken belonjo” (Darat, 1422 H:12).
4) Afatul Lisan
Lisan menurut Kiai Sholeh Darat adalah “Agung-
agunge nikmat Allah maring siro iku lisan niro” (Darat, 1422
H:15). Hal ini karena lisan merupakan alat yang digunakan
untuk berbagai kemaksiatan. Oleh karena itu, maksiat yang
paling banyak ditimbulkan terdapat pada lisan seseorang.
5) Al Ghodhobu wal Huqdu wal Hasdu
Kiai Sholeh Darat mengartikan Al Ghodhobu adalah,
“Wateke menungso kang wus andadeaken Allah ing ghodhob saking geni kang wus den ewor kelawan endhute anak adam”
120
wal huqdu adalah “Ngunek-unek asale saking
ghodhob” wal hasdu adalah “Sengit onone nikmat ono ing
liyane niro lan demen iku ngekiku nikmat” (Darat, 1422
H:24-25).
6) Hubbu Ad Dunya
Dunia merupakan kenikmatan yang sering kali disadari
oleh manusia, karena dunia bagi mereka sesuatu yang sangat
penting untu dicari. Kiai Sholeh Darat mendefinisikan dunia
sebagai pencegah manusia dalam beribadah kepada Allah
SWT, “Dunyo iku dadi nyegah ing wong kang lumaku
maring Allah” (Darat, 1422 H:26). Menurut Kiai Sholeh
Darat, orang yang mencintai dunia telah ditetapkan dalam
hatinya empat perkara, yaitu:
a) Merasa susah yang tidak bisa putus-putus (Susah kang
ora putus-putus selawase).
b) Pekerjaan yang tidak pernah terselesaikan (Penggawean
kang ora rampung-rampung selawase).
c) Tidak pernah merasa cukup (Karep kang ora tutuk-tutuk
kecukupane selawase).
d) Keinginan yang tidak pernah habis (Angen-angen kang
ora ono pungkasane selawase).
Dapat disimpulkan bahwasanya ketika manusia
bergelimangan mencari kenikmatan dunia dan mencintai
121
dunianya, maka seseorang tersebut tidak akan pernah
merasakan syukur kepada Allah SWT, karena apa yang dicari
dan diinginkan tidak pernah bisa membuatnya berhenti ketika
mendapatkan yang lebih.
7) Al Bukhlu wa Hubbul Maal
Adalah kikir dan cinta terhadap uang. Kiai Sholeh
Darat menjelaskan,
“Mongko sopo wonge milih ing artone lan anake tinggal ing barang kang amarekaken ing Allah saking piro-piro to’at mongko temen-temen tuno kelawan tuno kang agung” (Darat, 1422 H:28). Dikatakan oleh Kiai Sholeh Darat, orang yang lebih
memilih anak dan uangnya daripada mengerjakan sesuatu
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka akan
mendapatkan kerugian.
8) Al Jahu wa Ar Riya’
Adalah singgih dan sombong. Menurut Kiai Sholeh
Darat, awal mula terbentuknya sifat tersebut dikarenakan tiga
hal yaitu senang ketika dipuji, benci ketika diolok-olok, dan
serakah terhadap apa yang bukan menjadi haknya. Kiai
Sholeh Darat mengelompokkan sombong ke dalam lima
perkara (Darat, 1422 H:34-36) yaitu:
a) Riya’ kelawan badane, seperti: memperlihatkan
puasanya.
122
b) Riya’ ing dalem tingkahe lan penganggone, seperti:
menundukkan kepala ketika berjalan, memperlihatkan
bekas sujudnya, dan lain-lain.
c) Riya’ ing dalem pengucap, seperti: memperlihatkan
bencinya terhadap hal yang munkar ketika berceramah.
d) Riya’ kelawan ngamal, seperti: memanjangkan sujudnya
ketika solat.
e) Riya’ ing dalem kekancan, seperti: senang berziarah ke
tempat orang alim agar diketahui kecintaannya terhadap
orang alim.
9) At Takabbur wa Al ‘Ujbu
Takabur menurut Kiai Sholeh Darat ada dua (Darat,
1422 H:39) yaitu,
a) Takabur dzahir, seperti: ketika berbicara tidak mau kalah,
ketika menasehati orang lain dengan keras tanpa belas
kasihan.
b) Takabur batin, seperti: merasa tidak ada yang
mengungguli dalam sifat kesempurnaannya.
Takabur menurut Kiai Sholeh Darat, terbentuk karena
dua hal yaitu karena sempurnanya dalam hal agama (Ilmu
dan agama) dan sempurnanya dalam hal dunianya (Baik
nasabnya, bagus raut wajahnya, kuat badannya, mempunyai
123
banyak uang, dan mempunyai banyak teman dan keluarga)
(Darat, 1422 H:40).
10) Al Ghurur
Kiai Sholeh Darat mendefinisikan sebagai,
“Wong kang ketipu kelawan ngelmune utowo ngibadahe utowo kelakuane kang bagus utowo artone” (Darat, 1422 H:51).
Dapat disimpulkan, orang tersebut masih dalam pengaruh
kecintaanya terhadap dunia, karena orang yang demikian
tidak pernah merasa puas terhadap dirinya.
Dari beberapa bentuk akhlak di atas, maka untuk meraih
kesempurnaan, seseorang harus mempunyai keseimbangan dalam
berbuat, tidak mementingkan salah satu dari keduanya. Kiai Sholeh
Darat menjelaskan, “Ojo lali-lali siro saking hal akhiroh, ojo
ketungkul amrih dunya ora amikir akhirote” (Darat, 1374 H:163).
Dalam keterangan yang lain, Kiai Sholeh Darat menerangkan,
“Lan nyambuto gawe kelawan kasab ing dalem rinone sak qodare, ojo kasi ngino-ngino awak kasi tinggal faraidhillah lan kasi ngelakoni larangane Allah Subhanahu Wa Ta’ala”.
Keterangan ini menunjukkan keharusan dalam menyeimbangkan
antara urusan duniawi dengan ukhrowi. Kemudian, Kiai Sholeh Darat
menegaskan, “Ojo kasi tinggal agamane kelawan sebab amrih
dunyane iku ojo” (Darat, 1325 H:28).
124
4. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak
a. Pendidik
Salah satu yang terkandung dalam pendidikan adalah
adanya pendidik. Kiai Sholeh Darat dalam mengistilahkan
pendidik terdapat beberapa istilah. Istilah tersebut adalah
masyayikh, mursyid, ulama’, mu’allim, dan guru. Dari beberapa
istilah ini Kiai Sholeh Darat tidak menjelaskan secara terperinci,
namun istilah-istilah tersebut mempunyai kesamaan dalam hal
kewajiban untuk menyampaikan ilmunya. Masyayikh menurut
Kiai Sholeh Darat adalah orang yang sudah memiliki jalan
thoriqoh. Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa
syaikh adalah orang yang berada di tengah-tengah kelompok
manusia dalam rangka mengajarkan tentang perkara ibadah dan
husnul khuluq (Darat, 1325 H:60). Dengan menggunakan kata
ulama’, Kiai Sholeh Darat mengatakan,
“Ulama’ den janjeni supoyo mertelaaken siro ulama’ ing ngelmu mareng menungso kabeh lan ojo ono podo ngumpetaken siro kabeh ing sewiji-wiji sangking ngelmu” (Darat, 1325 H:254). Sebagai seorang guru atau mu’allim, tidak hanya memiliki
tanggung jawab berupa pemberian ilmu, namun juga bertanggung
jawab untuk memberikan nasehat kepada peserta didik apabila
melenceng dari syari’at yang ditentukan. Kiai Sholeh Darat dalam
hal ini mengatakan, “Kerono guru wajib nuturi” (Darat, 1325
H:285).
125
b. Peserta Didik
Peserta didik dapat dikatakan sebagai obyek pendidikan
atau subyek pendidikan, karena dalam hal ini peserta didik adalah
peserta dalam mencari ilmu. Kiai Sholeh Darat mengistilahkan
peserta didik dengan berbagai istilah, yaitu santri, murid, salik,
dan tholabul ‘ilmi. Dengan menggunakan kata salik, Kiai Sholeh
Darat mengatakan, “Ono dene wong kang wus ngambah dalan
utowo liwat ing dalem dedalan kerono arah arep ngaji ngelmu
nafi’” (Darat, 1325 H:263). Maka dari itu, salik adalah orang yang
sedang menempuh jalan untuk mencari ilmu.
Seorang murid atau salik dalam mencari ilmu harus diiringi
dengan berbagai kegiatan yang menunjang demi kemanfaatan ilmu
yang didapatnya. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Kiai
Sholeh Darat bahwa seorang salik harus selalu melakukan taubat
untuk menghiasi laku seorang salik. Kiai Sholeh Darat berkata,
“Amriho siro ya salik ing taubat” (Darat, 1325 H:66). Lebih
lanjutnya Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Wong kang ora
taubat iyo ora biso nandur to’at utowo ngamal solih” (Darat,
1325 H:76).
Dalam proses mencari ilmu, peserta didik pasti akan
berhadapan dengan guru atau pendidik. Berangkat dari sini, murid
atau peserta didik sudah dipastikan mempunyai kelemahan-
126
kelemahan, hal ini merupakan tugas seorang guru untuk
membawakan materi yang sesuai dengan potensi murid. Begitu
juga sebagai murid, maka harus menerima apa yang telah
diusahakan oleh seorang guru untuk memberikan asupan
pengetahuan. Ketika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,
Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ojo syu’udzzon maring poro
guru-guru” (Darat, 1325 H:117).
c. Interaksi Edukatif
Interaksi merupakan bentuk keaktifan dari murid atau salik
untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dalam hal
mencari ilmu, merupakan kegiatan yang mempunyai level tingkat
atas dalam Islam. Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Kelakuan
ingkang utomo iyo iku ketungkul kelawan ngelmu” (Darat, 1325
H:253). Oleh karena itu, menuntut ilmu sangat diperhatikan oleh
Kiai Sholeh Darat dengan melihat akan keutamaan-keutamaan
yang terdapat di dalamnya.
Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam
pandangan Kiai Sholeh Darat, lebih ke dalam bentuk sikap ta’dzim
kepada guru. Sifat keta’dziman kepada guru harus ditanamkan
dalam jiwa sebagai bentuk penghormatan dan ngalap berkah dari
seorang mu’allim atau guru. Bahkan, untuk mencari ridho dari
seorang guru sangat diperlukan menurut beliau, karena akan
mempengaruhi kemanfaatan terhadap ilmu yang telah dimiliki
127
oleh seorang salik atau murid. Sikap Kiai Sholeh Darat yang
demikian ditunjukkan ketika Kiai Sholeh Darat diberikan perintah
oleh gurunya untuk menuliskan terjemah secara Jawa kitab tajwid
Al Qur’an,
“Mongko den perintahi ingsun dene guru ingsun kapurih gawe terjemah coro Jowo ing dalem ngelmune tajwid Al Qur’an Al ‘Adzim, mongko dadi miturut ingsun lan ora kuwoso ingsun lamuno nulayani” (Darat, t.th:2).
Selain itu, sikap yang harus dilakukan oleh peserta didik
ketika bertemu dengan gurunya adalah menyucup tangan gurunya
(Darat, 1374 H:203). Guru atau mu’allim dalam pandangan Kiai
Sholeh Darat merupakan orang yang berjasa dalam membawa
seseorang dari alam dunia menuju alam akhirat. Demikian
besarnya tanggung jawab seorang guru atau mu’allim memberikan
suatu keharusan peserta didik dalam memberikan rasa hormat
terhadap guru.
Ketika dalam suasana belajar mengajar, Kiai Sholeh Darat
mengatakan, “Arep moco guru ing Qur’an lan murid ngrungokake
sangking wacane gurune” (Darat, t.th:30). Perkataan Kiai Sholeh
Darat ini menunjukkan bahwa seorang murid harus benar-benar
memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru, supaya apa yang
telah diajarkan oleh guru dapat dipahaminya dengan baik. Setelah
seorang murid mampu memahami ilmu atau pengetahuan, untuk
mencapai kemuliaan akhlak, maka apa yang sudah didapatkan
haruslah diamalkan sesuai dengan ilmu tersebut. Kiai Sholeh
128
Darat mengatakan, “Mongko lamun wus weruh mongko nuli
lakonono”. Kiai Sholeh Darat melanjutkan, “Ora manfa’at
ngelmu yen ora ngamal ngelmune” (Darat, 1325 H:102-104).
Di samping itu, seorang murid yang sedang mencari ilmu
harus memiliki sarana untuk menunjang proses pendidikan, salah
satunya adalah dengan mempersiapkan alat tulis. Hal ini
ditegaskan oleh Kiai Sholeh Darat, “Lamuno ora ono qalam ono
ing tangane ‘ulama’ lan tangane tolabatul ‘ilmi mongko yekti
ilang ngelmu din” (Darat, 1325 H:256). Perkataan ini menegaskan
bahwa ilmu itu akan hilang dengan sendirinya ketika tidak diikat
dengan catatan.
d. Materi Pendidikan Akhlak
Dalam memberikan asupan nilai kepada peserta didik,
harus memperhatikan seberapa pentingnya ilmu yang akan
diberikan kepada peserta didik berpengaruh dalam pembentukan
kepribadiannya. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal yang paling
utama harus diberikan kepada peserta didik adalah pendidikan
tentang agama atau syari’at, karena dengan tertanamnya syari’at
dalam diri peserta didik akan mampu membentuk karakter dalam
dirinya, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Yen ora nglakoni syari’at
mongko ora biso cukul akhlaqul mahmudah” (Darat, 1325 H:59).
Menurut Kiai Sholeh Darat, belajar ilmu itu yang baik
adalah ilmu tentang syari’at (Ngesahaken ing ngibadah), ilmu
129
tentang tauhid (Ngesahaken i’tiqod), dan ilmu tentang akhlak
(Mbagusaken ing qalbu arruhani) (Darat, 1325 H:101).
e. Metode Pendidikan Akhlak
Kiai Sholeh Darat dalam usahanya untuk menanamkan
akhlak diawali dengan mencerahkan pemikiran atau dengan
mengembangkan daya akal masyarakat pada waktu itu. Kiai
Sholeh Darat menerangkan, “Setuhune ngulati ngelmu iku ferdhu
‘ain atas saben-saben wong mukmin lanang lan wong mukmin
wadon”. Keterangan ini, menunjukkan bahwa Kiai Sholeh Darat
sangat memperhatikan akan pendidikan yang harus diketahui oleh
masyarakat pada saat itu. Berkaitan dengan akhlak, Kiai Sholeh
Darat melanjutkan keterangan diatas,
“Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).
Dapat dikatakan pula, Kiai Sholeh Darat tidak
menyinggung ilmu apa yang harus dipelajari, namun ilmu yang
dimaksudkan Kiai Sholeh Darat adalah ilmu yang bisa menuntun
ke dalam kebaikan serta menjadikan manfaat bagi penuntut ilmu
tersebut. Kiai Sholeh Darat menerangkan hal ini dengan
menukilkan salah satu perkataan dari ulama’ madzhab yang
terkenal yaitu Imam Syafi’i, “Utawi ketungkul kelawan ngaji
ngelmu nafi’ iku luweh utomo”. Setelah itu, Kiai Sholeh Darat
130
menerangkan tentang keutamaan dalam menuntut ilmu dengan
mengutip hadits dari Rasulullah SAW (Darat, 1374 H:2),
“Sopo wonge liwat ing dedalan kerono amrih ngelmu mongko anggampangaken Allah Subhanahu Wa Ta’ala ing wong iku dedalane maring suwargo”. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat memperhatikan
ilmu, agar seseorang mempunyai ilmu untuk dijadikan pijakan
dalam beramal. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab
Majmu’at Asy Syari’at (Darat, 1374 H:153), “Setuhune wong
bodo-bodo nuruti syaithon lan nuruti howo nafsune”.
1) Pembiasaan melalui ritual ibadah
Kiai Sholeh Darat dalam keberhasilannya
mengeksplorasikan daya akal yang dimiliki oleh masyarakat,
kemudian dilanjutkannya dengan mengenalkan dasar-dasar
Islam. Seperti dalam hal bersuci, melaksanakan rukun Islam
dan rukun iman, serta ritual ibadah yang lainnya. Kemudian
berbagai bentuk ritual ibadah tersebut dijadikan Kiai Sholeh
Darat sebagai sarana dalam menanamkan akhlak yaitu melaui
bentuk pembiasaan-pembiasaan dalam beribadah.
Menurut Kiai Sholeh Darat, terdapat keterkaitan yang
cukup erat antara ibadah dengan akhlak. Akhlak menjadi
bentuk implementasi dari ritual ibadah, disamping itu ibadah
juga sebagai batasan dalam berakhlak agar tidak menyimpang,
karena dengan ibadah akan mencegah dari hal yang munkar.
131
Ibadah yang dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat lebih condong
ke dalam makna yang terkandung dalam ibadah tersebut.
Dengan mengetahui makna ibadah yang dilakukan, akan
menjadikan seseorang untuk selalu berakhlaqul karimah. Oleh
karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat menekankan kepada
masyarakat untuk suci dalam dan luarnya (dzahiriyah dan
batiniyah). Kiai Sholeh Darat, menjelaskan seseoramg dalam
bersuci tidak hanya berniat untuk mensucikan secara
jasmaniyahnya, namun agar mendapatkan nilai dalam bersuci,
maka dalam setiap gerakan ketika bersuci diiringi dengan niat
dalam hati untuk mensucikan batiniyahnya (Darat, 1374
H:127).
Ibadah menggambarkan kebutuhan makhluk kepada
yang menciptakan makhluk, bukan sebaliknya. Namun,
implementasi ibadah masih belum sepenuhnya dapat
terealisasi. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal demikian
dikarenakan manusia masih tergoda dengan kesenangan-
kesenangan yang bersifat keduniawian (Darat, 1325 H:37).
Sedangkan yang dimaksud dengan penghayatan ibadah, adalah
melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah itu dengan diiringi
perbuatan-perbuatan yang bersifat aplikatif yang sejalan
dengan hakikat dan hikmah ibadah. Kiai Sholeh Darat
melanjutkan,
132
“Lan ngelmune rukun Islam kabeh mongko dadi persifatan muslim, lan wajib malih ngaweruhi arkanul iman wal ihsan mongko dadi persifatan mukminin” (Darat, 1325 H:3). Oleh karena itu, seharusnya ibadah merupakan latihan
spiritual juga latihan untuk membentuk kepribadian seseorang.
Lebih lanjutnya, Kiai Sholeh Darat selalu menekankan pada
aspek ilmu sebagai dasar dalam berakhlak dan beribadah. Kiai
Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at,
“Endi-endi ngamal kang ora weruh ngilmune lakune mongko
iyo ora sah” (Darat, 1374 H:119). Ilmu yang dimaksud disini
sudah pasti ilmu yang berhubungan, sehingga dapat
mengombinasikan dan menggambarkan kesempurnaan
implementasi akhlak dan ibadah.
2) Tazkiyatun nafs
Selanjutnya, Kiai Sholeh Darat dalam upaya untuk
menanamkan akhlaqul karimah, melalui konsep tazkiyatun
nafs atau penyucian jiwa. Konsep tazkiyatun nafs ini adalah
berusaha menghilangkan sifat-sifat penyakit hati yang
madzmumah dan mengisinya dengan sifat-sifat yang
mahmudah. Sepengetahuan penulis, Kiai Sholeh Darat tidak
menyebutkan hal ini secara eksplisit, namun kandungan yang
ada dalam berbagai karyanya terutama dalam kitab Munjiyat,
Kiai Sholeh Darat menjelaskan (Darat, 1422 H:65), “Mongko
sakwuse wus buwang kelakuan ingkang madzmumah mongko
133
nuli nglakoni sifat mahmudah”. Hal ini mengingatkan bahwa
apabila hati baik, maka akan baiklah seluruh anggota
badannya, begitu juga sebaliknya. Kiai Sholeh Darat dalam
keterangan yang lain menjelaskan,
“Mongko nuli madep siro marang qiblat sartane wus bersih penganggone lan wus bersih atine sangking piro-piro najis dzahir kelawan madep qiblat dzahire dadane lan batine atine” (Darat, t.th:2). Seseorang dalam usahanya untuk menyucikan jiwa,
harus melalui introspeksi diri sendiri terlebih dahulu. Kiai
Sholeh Darat memberikan tata cara dalam melakukan proses
ini. Hal ini tercantum dalam karyanya yaitu kitab Munjiyat
(Darat, 1422 H:9), antara lain:
• Bercengkerama dengan guru yang mengetahui tingkah
laku kita (Arep lelungguhan siro ing guru niro ingkang
wus weruh jalane awak iro).
• Mencari teman yang baik tingkah lakunya untuk
memberitahukan kejelekan diri kita (Arep amrih konco
siro ingkang bener lakune supoyo ameruhaken olone ing
awak iro).
• Mengajak bicara kepada teman kita yang membenci kita,
karena teman yang demikian akan membuka segala
keburukan kita (Arep ngalap siro saking pangucape sateru
niro).
134
• Berbaur dengan orang lain dan merasakan apakah pantas
ketika berada di dalamnya (Arep campur siro marang
manungso).
Dengan demikian, adanya introspeksi terhadap diri sendiri akan
menyadarkan seseorang dan mengetahui tingkat kebersihan hati
orang tersebut. Oleh karena itu, introspeksi diri akan membawa
seseorang tersebut ke dalam tingkat penyucian jiwa.
Semua ini terdapat ketentuan yang berupa seseorang harus
mampu mengetahui syari’at yang benar. Namun, seiring dengan
keadaan saat itu masyarakat kurang mendapatkan perhatiannya
dalam mengkaji Islam. Dari hasil memahami situasi kondisi
masyarakatnya, Kiai Sholeh Darat menggunakan beberapa cara
untuk mengembalikan posisi mereka, yang saat itu dianggap
sebagai kaum pribumi yang buta akan ilmu atau bisa dikatakan
tidak berpendidikan. Kemudian, Kiai Sholeh Darat menggunakan
aksara pegon untuk memberikan wawasan tentang Islam. Kiai
Sholeh Darat lebih memilih aksara pegon atau aksara Arab yang
berbahasa Jawa dan hanya itu yang dapat dilakukan, karena
adanya berbagai pengawasan yang dilakukan oleh Belanda.
Upaya Kiai Sholeh Darat ini sangat menguntungkan bagi
masyarakat yang kurang dalam memahami bahasa Arab, selain itu
juga bentuk strategi dalam melawan penjajah Belanda kala itu
yang membatasi kegiatan-kegiatan Islam. Kiai Sholeh Darat
135
menerangkan dalam muqaddimah Matnu Al Hikam (Darat, 1422
H: 2),
“Supoyo gampangke ingatase wong ngawam misal ingsun kelawan sun terjemah kelawan coro jowo supoyo enggal faham wong kang podo ngaji”.
Keterangan Kiai Sholeh Darat ini, mengisyaratkan bahwa
pendidikan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat adalah
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat,
sehingga masyarakat benar-benar faham apa yang dipelajarinya.
f. Lingkungan Pendidikan Akhlak
Lingkungan merupakan salah satu faktor utama dalam
mempengaruhi perkembangan karakter atau akhlak para peserta
didik, karena lingkungan merupakan ladang dalam menerapkan
ilmu yang sudah di dapat. Dalam lingkungan keluarga misalnya,
dimulai dengan hal yang paling dasar, Kiai Sholeh Darat
menjelaskan,
“Wajib amisah antarane anak lanang lan biyunge ojo awor ing dalem paturune ing dalem bocah ngumur sepuluh tahun utowo kurang. Lan wajib amisah antarane bocah wadon lan dulure lanang kang wus podo ngumur songo utowo kurang” (Darat, 1374 H:201-202).
Dengan demikian, dapat disimpulkan pendidikan gender
terhadap anak sangatlah penting untuk melatih atau mengontrol
hawa nafsu pada diri anak. Namun, tidak hanya itu, di dalam
lingkungan keluarga, ayah dimana menempati posisi sebagai
kepala keluarga mempunyai kewajiban terhadap anak untuk
136
memberikan pengetahuan tentang agama, seperti dalam membaca
Al Qur’an, memberikan teladan tentang adab yang baik, dan
memberitahukan ilmu yang harus dipelajari (Darat, t.th:40).
5. Hubungan Akhlak terhadap Ilmu
Akhlak dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, karena ilmu dan akhlak mempunyai keterkaitan yang
menjadikannya sempurna dalam beramal. Seperti yang dikatakan oleh
Kiai Sholeh Darat,
“Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).
Maka dari itu, akhlak dan ilmu harus berjalan berdampingan, tidak
mengunggulkan salah satu diantaranya.
Manusia yang berilmu bisa menjadi takabur, karena ketinggian
atau banyaknya ilmu yang dimilikinya. Sehingga melihat orang lain
lebih rendah daripadanya dan merasa paling pantas untuk dihormati
(Darat, 1422 H:41). Namun, hal itu bisa saja tidak terjadi apabila
manusia itu mengetahui sejatinya dari ilmu, karena ilmu bagi Kiai
Sholeh Darat terdiri dari dua bagian yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin.
Hal ini disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat dalam buah karyanya
yaitu “Kadi dene wajib ngaji ngelmu dzahir, mongko iyo wajib ngaji
ngelmu batin” (Darat, 1325 H:10).
Berakhlak dalam perspektif Kiai Sholeh Darat tidak hanya
berada di dalam kedzahirannya saja, namun hati juga harus mampu
137
berakhlak. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Lan toto keromoho siro
ing dalem ati siro” (Darat, 1374 H:115). Ketika keduanya dapat
dijalankan seiringan, maka apa yang diperbuat akan selalu berorientasi
kepada ibadah, karena akhlak merupakan buah dari ibadah.
B. Relevansi Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani
dengan Pendidikan Saat ini
Perlu diakui bahwa pendidikan yang tengah diterapkan saat ini
masih saja berpaku pada hal yang bersifat materi. Hal ini dapat kita lihat di
berbagai lembaga pendidikan yang semakin gencar menyuarakan bahwa
hasil cetakan dari suatu lembaga akan mendapat pekerjaan, bahkan
sebelum anak didiknya lulus dari lembaga tersebut telah diiming-imingi
dengan pekerjaan. Pandangan yang demikian menjadikan buram
pentingnya pendidikan, sehingga tidak salah jika kita sering menemukan
fenomena bahwa seseorang akan rela melakukan apa saja untuk mendapat
pekerjaan, entah itu melakukan tindakan suap-menyuap, ataupun
melakukan hal yang non manusiawi pada lawan kompetisinya yang sama-
sama mengincar posisi pekerjaan tersebut. Terlenanya kita dengan iming-
iming menjadikan pencapaian target pekerjaan yang diharapkan justru
cenderung mengabaikan aspek akhlak.
Setiap pendidik seharusnya mengubah pola pengajaran dari sekedar
mentransfer ilmu menuju penanaman nilai-nilai spiritual dan akhlak
sebagai way of life bagi peserta didik. Buktinya, ilmu yang disampaikan
138
hanya sebatas teori tanpa adanya bentuk implementasi sehingga hanya
terbungkus dengan pengetahuan (Ilahi, 2014:25). Belakangan ini terjadi
berbagai kejadian yang dilakukan oleh manusia yang berilmu. Sebagai
contoh adanya suap menyuap dikalangan penjabat tinggi, ini membuktikan
bahwa pendidikan yang ia terima tidak mampu membawa praktek yang
nyata dengan apa yang ia dapatkan. Tidak hanya di dalam kalangan
pejabat saja, namun di kalangan pelajar juga terjadi beberapa kemerosotan
nilai, seperti beberapa kasus tentang seks dibawah umur, maraknya
tawuran pelajar antar sekolah, dan lain-lain. Kejadian ini membuktikan
kurangnya pengawasan dan penanaman nilai terhadap individu, sehingga
menimbulkan krisis keteladanan dan krisis moral.
Pendidikan saat ini sudah harus beranjak menuju pemaduan antara
teori dan praktik yang diimbangi dengan aspek spiritualitas. Tantangan
globalisasi bukan hanya menjadikan runtuhnya nilai-nilai pendidikan,
namun juga menghambat regenerasi kepemimpinan yang mempunyai
kesadaran pendidikan dan berakhlaqul karimah. Dengan berbagai
kemewahan dan kemegahan yang ditawarkan oleh arus globalisasi ini
membuat lunturnya akhlak. Pengaruh globalisasi yang lahir dari kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi harus disikapi dengan netralitas,
agar mampu menyeimbangkan antara pendidikan dan mengikuti arah
zaman ini. Dengan demikian, akan mampu membawa pendidikan ke dalam
tahap aplikatif bukan hanya terbungkus teori.
139
Pendidikan saat ini, bisa dikatakan mempunyai kesesuaian dengan
apa yang telah dilihat oleh C. Snouck Hurgronje. Dengan meningkatnya
pembelajaran yang ada di pesantren pada tahun 1890, sedangkan 20 tahun
kemudian sekolah-sekolah sistem Belanda akan menarik peminat lebih
banyak dengan diperkenalkannya sistem pendidikan tersebut. Dia
menganggap para lulusan menengah dan universitas merupakan hasil yang
ideal bagi golongan terdidik Indonesia, yang pada saatnya akan
menggantikan kedudukan Kiai dan pewaris pemimpin pemerintahan
sebagai kelompok intelect. Namun, kelompok ini tidak mampu
menggantikan pemimpin agama dan masyarakat yang berdimensikan
akhlak (Dhofier, 2015:70-71).
Pernyataan di atas dapat dikatakan, lemahnya kesadaran dalam
memaknai pendidikan mengakibatkan nilai yang terkandung di dalamnya
menjadi buram. Untuk itu, seperti yang telah diuraikan sebelumnya
mengenai konsep pendidikan akhlak menurut Kiai Sholeh Darat, penulis
memberikan kesimpulan bahwa konsep pendidikan akhlak yang diterapkan
oleh Kiai Sholeh Darat akan mengatasi dampak dari degradasi konsep
pendidikan akhlak yang berkembang saat ini. Dengan alasan, konsep
pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh Kiai Sholeh Darat yaitu melalui
pembiasaan-pembiasaan ritual ibadah yang mampu memaknai ibadah dari
segi dzahir dan batinnya.
Kiai Sholeh Darat lebih menonjolkan pembiasaan melalui ritual
ibadah ini, karena terdapat keterkaitan yang cukup erat antara keduanya.
140
Jadi, setiap ibadah yang dijalankan oleh umat muslim bukan hanya
menjadi aktivitas rutin, namun mengandung pendidikan akhlak yang
secara tidak langsung akan tertanam dalam diri masing-masing individu.
Dalam ibadah Shalat misalnya, Shalat menjadi salah satu bentuk ibadah
yang memiliki peran edukatif yang tinggi dan luas, karena memiliki daya
penunjang dalam pembentukan akhlak manusia. Ini sesuai dengan firman
Allah Q.S. Al-‘Ankabut ayat 45:
هى عن اتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصالة إن الصالة تـنـ◌ الله أكبـر والله يـعلم ما تصنـعون ولذكر الفحشاء والمنكر
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Qur’an, t.th:402).
Selain shalat, puasa yang diwajibkan untuk umat manusia juga
merupakan sarana mendidik untuk berempati, senantiasa jujur, berbuat
baik, tidak berdusta, dan lain-lain. Ritual zakat, tujuannya yaitu untuk
menyucikan harta benda, makna menyucikan adalah mendidik dengan
akhlak yang baik. Orang yang berzakat akan belajar mengasihi sesama dan
bermurah hati. Demikianlah, ibadah mengalir menuju pendidikan akhlak.
Dalam ibadah haji pun demikian, terdapat faidah dalam bidang akhlak
dengan diberlakukannya larangan membunuh binatang yaitu pemahaman
141
persamaan hak, saling menghargai, anjuran berkata-kata baik, dan lain-
lain.
Uraian bahwa pendidikan akhlak mampu ditempuh melalui jalur
ibadah, tidak hanya ditemukan dalam satu pembahasan khusus di kitab
karangan Kiai Sholeh Darat, sebab nyatanya, di setiap kitab-kitab yang
ditulis, selalu mengandung penanaman akhlak meski secara tersirat. Dalam
Kitab Lathoifut Thoharoh misalnya, meskipun kitab tersebut termasuk
kategori kitab yang membahas tentang fiqh, namun di dalamnya
disandingkan dengan pendidikan akhlak. Dalam bab yang membahas
wudhu saja, Kiai Sholeh Darat tidak hanya merangkai kalimat tentang
bagaimana tata cara wudhu yang baik, namun mencantumkan mengapa
seseorang harus membasuh wajah, mengusap tangan sampai siku,
mengusap sebagian kepala dan membasuh kedua kaki. Seperti yang
diungkapkan dalam paragraf berikut:
“Mongko masuhono siro kabeh ing rahi niro ingkang wus kelawan pot madep marang dunyo lan keluput kelawan ginawe ningali aghyar tegese pahesan dunyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar lan malih masuhono siro kabeh ing tangan iro karo saking labete oleh iro gendolan makhluq lan labete oleh iro gumantung kelawan makhluq iyo wasuhono kelawan banyu tubat lan istighfar. Lan malih nuli ngusapo siro kabeh ing sirah iro kelawan banyu tawadlu’ limaulah tegese angasoraken awak iro marang nyandaro niro. Lan nuli masuhono siro ing suku niro karo sartone wanglu niro, sangking layate watak iro bongso tin, tegese wateke endut wasuhono kelawan kelakuan kang mahmudah” (Darat, t.th:6-7).
Pembiasaan berawal dari peniruan, yang ada di bawah bimbingan
orangtua dan guru. Al-Ghazali menerangkan, anak adalah amanah
orangtuanya, hati bersihnya adalah permata murni, yang kosong dari setiap
142
tulisan dan gambar. Hal itu siap menerima tulisan dan cenderung pada
setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang
baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan
akhirat, orang tuanyapun mendapat pahala bersama (Rabbi & Muhammad
Jauhari, 2006:106).
Dengan demikian, beberapa pendidikan akhlak yang diusung oleh
Kiai Sholeh Darat sangat relevan apabila memang benar-benar
teraplikasikan dengan baik. seperti yang disimpulkan oleh In’amuzzahidin
bahwa pendidikan di Indonesia masih kering akan siraman spiritual
(In’amuzzahidin, 2011:82). Maka dari itu, dengan pendidikan akhlak yang
diusung oleh Kiai Sholeh Darat akan mampu membawa pendidikan di era
sekarang ini menuju pendidikan yang berorientasi pada aspek afektif dan
tidak meninggalkan aspek kognitif serta mendampinginya dengan aspek
spiritualitas.
143
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pemaparan yang meneliti tentang “Konsep
Pendidikan Akhlak Perspektif KH Muhammad Sholeh Darat Al Samarani”,
penulis berusaha menyimpulkan apa yang telah dijelaskan oleh Kiai Sholeh
Darat dalam beberapa karyanya. Penulis menyimpulkan dengan berdasarkan
pada rumusan masalah yang terdapat di dalam penelitian ini, yaitu:
1. Konsep pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani adalah
Konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan pada pembiasaan-
pembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalam berwudhu,
mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergi ke
tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun, Kiai
Sholeh Darat juga mengutamakan kepada manusia untuk selalu berhati-
hati dalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat
yang menggoda manusia. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat menganjurkan
kepada manusia untuk selalu merasakan ibadahnya. Selain itu, Kiai
Sholeh Darat juga menganjurkan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela
dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan
sebagai proses tazkiyatun nafs.
2. Adapun relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al
Samarani dengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa
konsep yang diusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era
144
pendidikan saat ini lebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif.
Hasilnya pun juga baik, terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam
dunia masyarakat mereka tidak akan mampu menggantikan dari segi
afektif, yang terdidik dalam bidang akhlaknya.
B. Saran
Dengan selesainya penelitian ini, terdapat beberapa saran yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Pendidikan saat ini hendaknya lebih mengutamakan dari segi pematangan
aplikasi pendidikan, agar mampu membawa pendidikan pada tempat
tujuan adanya pendidikan.
2. Pendidikan saat ini juga hendaknya harus menekankan pada akhlak dan
tidak sekedar menekankan pada pencapaian nilai yang didapatkan oleh
para peserta didik.
3. Pendidikan dari segi kognitif memang tidak bisa ditinggalkan, tetapi
apabila aspek afektif mengiringinya akan membuat lebih baik, serta jika
spiritualitas menjadi dasar dari keduanya, maka akan jauh lebih baik.
4. Orang tua hendaknya menggunakan metode pembiasaan-pembiasaan,
dimulai dengan aktifitas yang sederhana, sebab akhlaqul karimah akan
diperoleh, apabila orang tua, lembaga pendidikan, dan lingkungan saling
mendukung terbentuknya akhlaqul karimah.
145
5. Bagi para pendidik, jika ingin anak didiknya berakhlaqul karimah, maka
pendidik harus benar-benar mampu menjadi teladan yang baik saat di
depan anak maupun di belakang anak.
146
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku: Abdullah, Amin. 2011. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cetakan Ke-
5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Mudhofir. 2011. Masail Al Fiqhiyah: Isu-isu Fiqh Kontemporer
Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Teras. Al Ashee, Ibnu Husein. 2004. Pribadi Muslim Ideal Cetakan Ke-1. Semarang:
Pustaka Nuun. Al Banna, Jamal. Terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi. 2008. Manifesto
Fiqh Baru 1 (Memahami Diskursus Al Quran). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Kerja Sama dengan Dar Al Fikr Al Islamy Kairo.
Al Ghozali, Al Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Tanpa Tahun. Al Ihya’ ‘Ulumuddin. Al Andalusia: Dar Ar Royyan.
Al Haddad, Al Habib Abdullah bin Alawi. 2007. Bekal Hidup Bahagia Dunia Akhirat Terjemah Risalatul Mu’awanah. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Al Makin. 2016. Keragaman dan Perbedaan (Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia). Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.
Al Qur’anul Karim. T.th. Surakarta: CV. Al Waah. Amril. 2002. Etika Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anwar, Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. Anwar, Rosihan. dkk. 2011. Pengantar Study Islam Cetakan Ke-2. Bandung: CV
Pustaka Setia. Arifin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Fiqh. Jakarta : Pustaka Rizki
Putra. As Saqaf, ‘Abdurrahman bin Abdillah bin ‘Abdil Qadir. 2015. Durusul Qawa’idul
Fiqhiyyah. Jami’ah Al Ahqaf Hadramaut. Asy Syarqawi, Hasan. Manhaj Ilmiah Islami. Jakarta: Gema Insani Press. Asy’arie, Musa. 1999. Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam Berfikir). Yogyakarta:
LESFI. Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Cetakan Ke-2 Edisi Refisi. Jakarta: Prenada Media.
Az Zarnuji, Syaikh. Terj. Abdul Kodir Al Jufri. 2009. Terjemah Ta’lim Muta’allim. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Bakhtiar, Amsal. 2015. Filsafat Agama (Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Creswell, Jhon W. Terj. Achmad Fawaid. 2010. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahlan, Abdul Choliq. 2006. Spiritualitas Islam dalam Sastra Sufi Melayu. Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Teologia Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Volume 17 Nomor 1, Juli 2006.
1
Daulay, Haidar Putra. 2007. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia Cetakan Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Darat, KH. Sholeh. Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah. 2016. KH. Sholeh Darat Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M) Syarah Al-Hikam. Depok: Penerbit Sahifa.
________________. 1422 H. Matnu Al Hikam. Semarang: Toha Putra. ________________. Tanpa Tahun. Fasholatan. Surabaya: Bombai Miri. ________________. 1374 H. Majmu’at Asy Syari’at Al Kafiyah lil Awam.
Semarang: Toha Putra. ________________. 1422 H. Kitab Munjiyat. Semarang: Toha Putra. ________________. 1325 H. Minhajul Atqiya’. Bombay: Matba’ Muhammad. ________________. Tanpa Tahun. Lathoifut Thaharah wa Asrorush Sholah.
Semarang: Toha Putra. Dhofier, Zamakhsyari. 2015.Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia Cetakan Ke-5. Jakarta: LP3ES, Anggota IKAPI.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. 2006. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI. Jakarta.
Dzahir, Abu Malikus Salih. 2012. Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang (Syeikh Haji Muhammad Saleh bin Umar As Samarany). Semarang: Panitia Haul Kyai Sholeh Darat.
Djazuli. 2006. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam Cetakan Ke-6 Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group.
Djazuli, Ahmad. 2006. Kaidah-kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Engineer, Asghar Ali. Terj. Tim FORSTUDIA. 2004. Islam Masa Kini. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Belajar dengan FORSTUDIA.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-Maliki Press (Anggota IKAPI).
Faruq dkk., Umar. 2005. Pidato 3 Bahasa. Surabaya: Pustaka Media. Gojali, Nanang. 2013. Tafsir dan Hadits Tentang Pendidikan Cetakan Ke-1.
Bandung: CV Pustaka Setia. Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Terj. Kamran As’at Irsyady dan Fakhri Ghozali.
Tasawuf Islam dan Akhlak Cetakan Ke-2. Jakarta: Amzah. Hakim, Taufiq. 2016. Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad
XIX-XX M. Yogyakarta: Institute of Nation Development Studies (INDeS).
Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Hassan, A. Qadir. 1994. Ilmu Mushthalah Hadits Cetakan Ke-6. Bandung: Diponegoro.
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Gagalnya Pendidikan Karakter: Analisis & Solusi Pengendalian Karakter Emas Anak Didik. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
2
In’amuzzahidin, M. 2011. Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih Al Samarani dalam Kitab Matn Al Hikam dan Majmu’at Al Asy’ariah Al Kafiyah Li Al Awam. Jurnal Penelitian Walisongo Vol. XIX, No. 2, Nopember 2011.
Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Izutsu, Toshihiko. Terj. Agus Fahri Husein, Misbah Zulfa Elisabeth, dkk. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Analisis Semantik Iman dan Islam). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya Anggota IKAPI.
Jamil, H.M. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi. Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta:
Paradigma. Kattsoff, Louis O. Terj. Soejono Soemargono. 2004. Pengantar Filsafat Cetakan
Ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Keputusan Muktamar NU, Munas dan Konbes Nahdlotul Ulama’. Terj.
Djamaluddin Miri. 2007. Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlotul Ulama’ (1926-2004 M.)). Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur bekerja sama dengan Khalista.
Khoiriyah. 2013. Memahami Metodologi Studi Islam Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Mardani. 2015. Hukum Islam (Pengantar Hukum Islam di Indonesia) Cetakan Ke-
2. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Mardimin, J. 2016. Perlawanan Politik Santri (Kajian Tentang Pudarnya
Kewibawaan dan Pengaruh Kiai, Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya Bagi Perkembangan Partai-partai Politik Islam di Pekalongan). Salatiga: Satya Wacana University Press.
Masyhuri, Agoes Ali. 2013. Belajarlah Kepada Lebah dan Lalat Menuju Kokoh Spiritual, Mapan Intelektual. Surabaya: Khalista Surabaya.
Muchtar, Heri Jauhari. 2005. Fiqih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1. Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PSAPM) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama. Munir, Ghazali. 2008. Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam
Muhammad Shalih Al Samarani. Semarang: Walisongo Press. Munthoha, Wijayanto, dkk. 1998. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
UII Press.
3
Musa, Ali Masykur. 2014. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-isu Aktual Cetakan Ke-1. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI.
Nasution, Harun. 2013. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nata, Abuddin. 2013. Metodologi Studi Islam Cetakan Ke-20. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
_____________. 1997. Filsafat Pendidikan Islam Cetakan Ke-1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_____________. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. _____________. 2008. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Nurdin, Ali, Syaiful Mikdar, dkk. 2009. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam
Cetakan Ke-7. Jakarta: Universitas Terbuka. Rabbi, Muhammad dan Muhammad Jauhari. Terj. Dadang Sobar Ali. 2006.
Akhlaquna. Bandung: Pustaka Setia. Rahman, Fazlur. Terj. Anas Mahyuddin. 1995. Membuka Pintu Ijtihad Cetakan
Ke-3. Bandung: Penerbit Pustaka. Rahman, Mustofa, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Ratna, Nyoman Kutho. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs, M.C. Terj. Tim Penerjemah Serambi. 2008. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Sachedina, Abdulazis, Fazlur Rahman, dkk. Terj. Ali Noer Zaman. Agama Untuk
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Saebani, Ahmad dan Abdul Hamid. 2012. Ilmu Akhlak Cetakan Ke-2. Bandung:
CV PUSTAKA SETIA. Saeed, Abdullah. Terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin. 2016. Pengantar Study
Al Quran. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. Salim, Abdullah. 1995. Majmu’at Al Syari’at Al Kafiyat li Al Awami Karya Kiai
Saleh Darat (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fikih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19). Semarang: Unissula Press.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.
_________________. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al Qur’an Cetakan Ke-1. Tangerang: Penerbit Lentera Hati Anggota IKAPI.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Suhandjati, Sri. 2013. Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya dalam Kitab Fiqh Berbahasa Jawa. Semarang: RaSAIL Media Group.
Supriadi, Dedi. 2014. Ushul Fiqh Perbandingan Cetakan Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia.
4
Syarifuddin, Amir. 2005. Garis-garis Besar Fiqh Cetakan Ke-2. Jakarta: Prenada Media.
Syarqawi, Hasan Muhammad. Ter. A.M. Basamalah. 1994. Manhaj Ilmiah Islami. Jakarta: Gema Insani Press.
Syukur, Amin.2011. Sufi Healing (Terapi dalam Literatur Tasawuf). Jurnal Penelitian Walisongo Vol. XIX, No. 2, Nopember 2011.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bagian Ke-3 Pendidikan Disiplin Ilmu) Cetakan Ke-2. PT IMTIMA (Imperial Bhakti Utama).
Tim Penulis JNM. 2015. Gerakan Kultural Islam Nusantara. Yogyakarta: Jamaah Nahdliyin Mataram (JNM) Bekerja Sama dengan Panitia Muktamar NU Ke-23.
Tono, Sidiq, M. Sularno, dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia.
Ulum, Amirul. 2016. K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani Maha Guru Ulama Nusantara. Yogyakarta: Global Press.
___________. 2016. Kartini Nyantri. Yogyakarta: Pustaka Ulama. Ulwan, Abdullah Nashih. 1995. Tarbiyatul Aulad Fi Al Islam (Pendidikan Anak
dalam Islam Juz 1). Jakarta: Pustaka Amani. _____________________. 1995. Tarbiyatul Aulad Fi Al Islam (Pendidikan Anak
dalam Islam Juz 2). Jakarta: Pustaka Amani. Umar, Nasaruddin. 2014. Islam Fungsional (Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-
nilai Keislaman). Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia.
Wallace, Alfred Russel. Terj. Ahmad Asnawi, dkk. 2015. Sejarah Nusantara (Terjemah The Malay Archipelago) Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi.
Widagdho, Djoko, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Online:
https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-data-jenis-jenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/, diakses pada 3 Januari 2017. Jam 02.38 WIB.
http://karyatulis.singkatpadat.com/pengertian-perspektif.htm, diakses pada 29 Desember 2016. Jam 12.06 WIB.
http://makalah-update.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-dan-metode.html, diakses pada 03 Januari 2017. Jam 02.54 WIB.
http://santrisuwung.blogspot.co.id/2013/10/sumber-sumber-akhlak.htmldiakses pada 28 Januari 2017. Jam 01.04 WIB.
http://pengertiankomplit.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-pendidikan-akhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 15.51 WIB.
5
http://naimsoekarno81.blogspot.co.id/2012/03/pendidikan-akhlak.html, diakses pada 20 Februari 2017. Jam 15.38 WIB
http://mahadir-aziz.blogspot.co.id/2012/05/sumber-dan-dasar-pendidikan-islam.html, diakses pada 20 Februari 2017. Jam 16.33 WIB
Sumber Wawancara: Wawancara dengan Lukman Hakim Saktiawan atau yang akrab dipanggil dengan
nama Gus Lukman, salah satu cicit K.H. Muhammad Sholeh Darat, pada 5 Desember 2016 di rumahnya, Jl. Kakap Darat Tirto 212 Kel. Dadapsari, Kec. Semarang Utara, Kab. Semarang, Jawa Tengah.
Wawancara dengan M. Muhsin Jamil selaku Dekan Ushuludin UIN Walisongo Semarang, beliau merupakan salah satu anggota dari KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat). Wawancara berlangsung pada 26 Januari 2017 di ruang Dekan Fakultas Ushuludin UIN Walisongo Semarang.
Wawancara dengan Moh. Ichwan DS selaku Sekretaris dari KOPISODA dan pegiat kajian kitab K.H. Muhammad Sholeh Darat Al Samarani serta seorang jurnalistik. Wawancara berlangsung pada 26 Januari 2017 di kediaman beliau Jl. Kelapa Gading no VI Plamongan Indah Pedurungan Semarang.
6
Lampiran 1
7
Lampiran 2
8
Lampiran 3
Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Nama : Andri Winarco
Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Boyolali, 10 September 1994
Agama : Islam
Alamat : Nobo Wetan Rt. 01/Rw. 05, Kel. Noborejo, Kec.
Argomulyo, Kota Salatiga
Riwayat Pendidikan : TK Dharma Wanita (1998-2000)
SD N Kedung Pilang 01 (2000-2004)
SD N Karang Duren 02 (2004-2006)
SMP N 2 Tengaran (2006-2009)
MAN Salatiga (2009-2012)
E-mail : [email protected]
9
Lampiran 4
Slide 1
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAKPERSPEKTIF
K.H. MUHAMMAD SHOLEH DARAT AL SAMARANI
oleh:ANDRI WINARCO
111-12-003
Slide 2
LATAR BELAKANG
Setiap aspek dari ajaran agama Islam selalu berorientasi padapembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebutakhlaqul karimah. Namun, pendidikan akhlak akhir-akhir ini hampirterlupakan, di mana dalam dunia pendidikan sering kali hanyamelihat pendidikan hanya berorientasikan pada nilai-nilai akademiksemata.Penulis menemukan seorang tokoh Islam dari Semarang yangmemosisikan akhlak sebagai pondasi agama. Beliau adalah KH.Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani. Maka dari itulah, di sinipenulis mencoba menjabarkan tentang konsep pendidikan akhlak dariperspektif beliau.
10
Slide 3
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak Muhammad Sholeh DaratAl Samarani?
2. Bagaimana relevansi pendidikan akhlak Muhammad SholehDarat Al Samarani dengan pendidikan saat ini?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui konsep pendidikan akhlak Muhammad SholehDarat Al Samarani.
2. Mengetahui relevansi pendidikan akhlak Muhammad SholehDarat Al Samarani dengan pendidikan saat ini.
Slide 4
METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah Library Research.Sumber data dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Sumber data
primer (buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objekmaterial penelitian (Kaelan, 2010:143)) dan sumber data sekunder(sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan yangberkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara langsungmerupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu yangmenjadi objek (Kaelan, 2010:144)).
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakanmetode dokumentasi dan metode wawancara.
Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan gabungan daridari teknik historis, deduktif, dan induktif.
11
Slide 5 PENEGASAN ISTILAH
• Konsep adalah sejumlah pengertian atau ciri yangberkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi,situasi, dan hal lain yang sejenis (Muhamad, 2008:65-66).Maka dari itu, konsep merupakan dasar dari segalapemikiran dan komunikasi.
• Pendidikan akhlak adalah pendidikan tentang prinsipdasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat)yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anaksejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf,yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Ulwan,1995:177).
• Perspektif berarti sudut pandang atau pandanganseseorang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu.
• KH. Muhammad Sholeh Darat dikenal sebagai syaikhulmasyayikh (maha guru) yang menelurkan banyak alimulama di Nusantara, khususnya di Jawa (Ulum, 2016:35).
Slide 6
SISTEMATIKA PENULISAN Bab I, pendahuluan: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dansistematika penulisan.
Bab II, biografi tokoh: konteks internal, konteks eksternal, pokok pemikiranMuhammad Sholeh Darat Al Samarani dalam beberapa bidang, dan pendapatbeberapa ulama dan cendekiawan terkait dengan Muhammad Sholeh Darat AlSamarani secara umum.
Bab III, kajian teori secara umum: pengertian pendidikan akhlak, sumber-sumber pendidikan akhlak, konsep dan tujuan pendidikan akhlak, urgensiakhlak terhadap ilmu.
Bab IV, konsep pendidikan akhlak perspektif Muhammad Sholeh Darat AlSamarani dan relevansi konsep pendidikan akhlak perpektif Muhammad SholehDarat Al Samarani pada masa kini.
Bab V, penutup: kesimpulan dan saran-saran.
12
Slide 7
BIOGRAFI TOKOHMuhammad Sholeh Darat Al Samarani
• Konteks internal: Riwayat keluarga, Riwayat Pendidikan,Mengajar, Langkah Gerakan, Karya-karya, Napak Tilas.
• Konteks eksternal: Aspek Keagamaan, Aspek Sosial Politik, Aspek Sosial Budaya.
• Pokok pemikiran dalam beberapa bidang: Bidang Teologi, Bidang Tasawuf, Bidang Akhlak, Bidang Fiqih, Bidang Pendidikan.
• Pendapat beberapa ulama dan cendekiawan secara umum: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. (Ketua Pengurus Besar Nahdlotul ‘Ulama’/PBNU): Mbah Sholeh merupakan ulama’ pada tahun 1820 M-1903 M yang disebut sebagai ulama pertama kali yang menulis syarah kitab dari karya Ibnu ‘Athoillah yaitu kitab Al Hikam.
Slide 8 KAJIAN TEORI
• Pendidikan Akhlak– Pengertian Pendidikan: pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan
pencerahan pemikiran yang mengarah pada pengembangan potensi dirimanusia, pembentukan kepribadian, dan pengendalian diri. Pendidikan jugatidak boleh secara kontekstual terpaku pada bidang kognitif namun jugadisertai dengan bentuk pengamalan ilmu.
– Akhlak, Moral, Etika dan Budi Pekerti: Perbedaan yang terdapat dalamkeempat istilah tersebut adalah akhlak lebih merujuk pada sumber agamaIslam (Al Qur’an dan Hadits), moral menitik beratkan pada norma yanghidup dalam sebuah masyarakat atau kelompok tertentu, etika lebihmenitikberatkan pada penilaian yang bersumber pada akal, dan budi pekertilebih menitikberatkan pada perpaduan antara akal dan rasa dalammenentukan sopan dan tidak sopannya serta adab dan tidak beradabnyaseseorang.
– Pendidikan Akhlak: pendidikan akhlak adalah proses dimana manusiamemahami tingkah laku yang sesuai, baik menurut agama, filsafat dan ilmuserta dalam perspektif budaya yang berkembang.
13
Slide 9 • Sumber-sumber Pendidikan Akhlak: Al-Qur’an, hadits, Ijtihad, Adat Itiadat.• Konsep dan Tujuan Pendidikan Akhlak
- Konsep pendidikan yang dijelaskan dalam Al Qur’an adalah bentuk pembinaanterhadap manusia menuju penyucian jiwa (Shihab, 1992:172-173).
- Tujuan pokok adanya pendidikan akhlak adalah membentuk muslim berbudipekerti, berperangai atau beradat-istiadat, bertingkah laku sesuai dengan ajaranIslam.
• Metode Pendidikan Akhlak- Metode Keteladanan dan Pembiasaan- Metode Kisah- Metode Targhib dan Tarhib
• Urgensi Akhlak terhadap Ilmu- Zaman dahulu saat masih menganut sistem rimba, siapa saja yang memiliki
kekuatan besar dianggap paling berkuasa dan mengabaikan nilai moralitas.Namun, ketika manusia mendapatkan ilmu, maka mulailah ilmu itu dipakaisebagai ukuran tinggi rendahnya derajat manusia, dan ketika ilmu telah merata,maka ukuran yang tepat dipakai untuk menentukan keutamaan dan kekuranganadalah akhlak (Al Ashee, 2004:10-11).
- Ilmu menjadi pondasi akhlak, dan kedudukan akhlak lebih utama atau di atasilmu
Slide 10 PEMIKIRAN TOKOH
1. Eksistensi Akhlak: Akhlak yang diterapkan oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu denganmenghadirkan hati di dalam beramal. Kehadiran hati ini sangat ditekankan oleh KiaiSholeh Darat, karena ketika gerakan jasmaniyahnya melakukan sesuatu, maka gerakanruhaniyahnya mengiringi aktivitas jasmaniyahnya tersebut.
2. Sumber Akhlak: Melihat dari sudut pandang Kiai Sholeh Darat, maka sumber yangmenjadi ukuran dalam menentukan akhlak itu baik atau buruk adalah bersumber darihati. Hati dalam pembahasan Kiai Sholeh Darat sangat rentan untuk berbuat yang tidaksesuai, karena adanya nafsu syahwat yang menjadikan hati untuk berbelok. Kiai SholehDarat menunjuk syari’at dan adat istiadat sebagai bahan untuk mengukur baik buruknyaperilaku atau akhlak.
3. Klasifikasi Akhlak: akhlak menurut Kiai Sholeh Darat ada dua yaitu akhlak mahmudah(Sifat mahmudah tegese kang pinuji lan kang wajib ngelakoni ingatase mukmin (Darat,1422 H:65)) dan akhlak madzmumah (Sifat madzmumah arane wajib ingatase mukallafngaweruhi lan tinggal (Darat, 1422 H:65)).
4. Metode Pendidikan Akhlak: Metode yang Kiai Sholeh Darat gunakan adalah metodepembiasaan melalui ritual ibadah (seperti: wudhu, solat, puasa, dan lain-lain) dantazkiyatun nafs (berusaha menghilangkan sifat-sifat penyakit hati yang madzmumah danmengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah).
5. Hubungan Akhlak dengan Ilmu: Akhlak dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisadipisahkan, karena ilmu dan amal mempunyai keterkaitan yang menjadikannyasempurna dalam berakhlak ((Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang denlakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu (Darat, 1374H:2)).
14
Slide 11 KESIMPULAN
• Konsep pemikiran Muhammad Sholeh Darat Al Samarani tentang pendidikanakhlak adalah Konsep pendidikan akhlak yang lebih menekankan padapembiasaan-pembiasaan dalam melakukan ritual ibadah, seperti dalamberwudhu, mendirikan solat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan pergike tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Di sisi lain, KiaiSholeh Darat juga mengutamakan kepada manusia untuk selalu berhati-hatidalam bertingkah laku dan beribadah, karena hadirnya nafsu syahwat yangmenggoda manusia. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat menganjurkan kepadamanusia untuk selalu merasakan ibadahnya. Selain itu, Kiai Sholeh Darat jugamenganjurkan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan mengisinya dengansifat-sifat yang terpuji atau dapat dikatakan sebagai proses tazkiyatun nafs.
• Adapun relevansi pendidikan akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samaranidengan pendidikan saat ini berujung pada kesimpulan bahwa konsep yangdiusung Kiai Sholeh Darat sangat relevan, mengingat era pendidikan saat inilebih mengutamakan segi kognitif daripada afektif. Hasilnya pun juga baik,terpelajar, namun, apabila mereka terjun ke dalam dunia masyarakat merekatidak akan mampu menggantikan dari segi afektif, yang terdidik dalam bidangakhlaknya.
15
Lampiran 5
16
17
Lampiran 6
Potret KH. Muhammad Sholeh Darat
Kawasan makam KH. Muhammad Sholeh Darat
18
Wawancara:
Moch. Ichwan DS., selaku sekretaris KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat) Plamongan Indah, Pedurungan, Semarang.
Moh. Muhsin Jamil., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
19
Suasana Pengajian Bulanan KOPISODA (Komunitas Pecinta Sholeh Darat) Semarang
Bulan Januari
20
Lampiran 7
21
22
23
24