konsep rwa bhineda

5
1 RWA BHINEDA DALAM ARSITEKTUR A. Pengertian, Filosofi, dan Etimologi Rwa Bhineda Adalah sebuah konsepsi dasar mengenai adanya perbedaan di dunia ini. Konsepsi ini yang kemudian diturunkan menjadi konsep-konsep lain yang sifatnya lebih spesifik. Secara etimologi, Rwa Bhinneda terdiri dan dua kata yaitu Rwa dan Bhinneda, yang mengandung arti Rwa berarti dua sedangkan Bhinneda berarti berbeda. Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, Segala bentuk kehidupan berawal baik dalam Bhuwana Agung Maupun Bhuwana Alit. Keseimbangan dalam kehidupan merupakan sebuah konsep yang sangat mendasar dalam kehidupan di Bali. Semua yang ada, baik dalam dunia mikro (micro cosmos) maupun dalam dunia makro (macro cosmos) didasari oleh konsep ini. Demikian juga yang ada dalam dunia yang kelihatan (sekala) maupun yang tidak kelihatan (niskala), tidak luput mengikuti konsep alam ini. Konsep Rwa Bhineda tak hanya dikenal orang Bali, namun konsep ini juga telah dikenal luas di hampir seluruh dunia. Hanya saja diterjemahkan dengan cara yang berbeda dan didefinisikan dalam nama yang berbeda pula B. Hubungan Rwa Bhineda dengan Arsitektur Dalam penerapannya, konsep Rwa Bhineda diterjemahkan lagi menjadi lebih spesifik sesuai batasan pembedanya, sehingga lebih mudah dimengerti oleh masyarakat sekaligus sudah bisa diterapkan dalam berarsitektur. C. Turunan Konsep Rwa Bhinneda 1. Hulu Teben a. Pengertian Konsep Hulu-Teben merupakan salah satu bentuk terjemahan konsep Rwa Bhineda yang lebih spesifik tentang adanya perbedaan ketinggian pada lahan. Konsep ini digunakan untuk menyelesaikan site yang memiliki ketinggian berbeda. Lokasi yang lebih tinggi dianggap sebagai lokasi yang lebih suci, dan dinamakan Hulu yang berarti kepala, sedangkan lokasi yang lebih rendah bernama teben (hilir) yang berarti kaki. Hulu - Teben memakai beberapa acuan lain yaitu Timur (kangin) sebagai hulu dan Barat (kauh) sebagai teben. Dari sini berkembang istilah Kangin-Kauh. kemudian ada acuan Gunung (kaja) sebagai hulu dan Laut (kelod) sebagai teben (Kaja-Kelod). Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Inilah yang menjadi dasar perbedaan arah Kaja untuk wilayah Bali Selatan dan wilayah Bali Utara. Gbr 1 : Pemahaman Rwa Bhineda Tak Sebatas pada dua hal yang berbeda antara baik dan buruk Gbr 2: Konsep Hulu-Teben mengacu pada perbedaan ketinggian tempat, arah matahari, dan arah gunung

Upload: widiari-ayu

Post on 25-Dec-2015

447 views

Category:

Documents


46 download

DESCRIPTION

rwa bhineda konsep dalam arsitektur tradisional bali.

TRANSCRIPT

1

RWA BHINEDA DALAM ARSITEKTUR A. Pengertian, Filosofi, dan Etimologi

Rwa Bhineda Adalah sebuah konsepsi dasar mengenai adanya perbedaan di dunia ini. Konsepsi ini yang kemudian diturunkan menjadi konsep-konsep lain yang sifatnya lebih spesifik. Secara etimologi, Rwa Bhinneda terdiri dan dua kata yaitu Rwa dan Bhinneda, yang mengandung arti Rwa berarti dua sedangkan Bhinneda berarti berbeda.

Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, Segala bentuk kehidupan berawal baik dalam Bhuwana Agung Maupun Bhuwana Alit. Keseimbangan dalam kehidupan merupakan sebuah konsep yang sangat mendasar dalam kehidupan di Bali. Semua yang ada, baik dalam dunia mikro (micro cosmos) maupun dalam dunia makro (macro cosmos) didasari oleh konsep ini. Demikian juga yang ada dalam dunia yang kelihatan (sekala) maupun yang tidak kelihatan (niskala), tidak luput mengikuti konsep alam ini.

Konsep Rwa Bhineda tak hanya dikenal orang Bali, namun konsep ini juga telah dikenal luas di hampir seluruh dunia. Hanya saja diterjemahkan dengan cara yang berbeda dan didefinisikan dalam nama yang berbeda pula B. Hubungan Rwa Bhineda dengan Arsitektur Dalam penerapannya, konsep Rwa Bhineda diterjemahkan lagi menjadi lebih spesifik sesuai batasan pembedanya, sehingga lebih mudah dimengerti oleh masyarakat sekaligus sudah bisa diterapkan dalam berarsitektur. C. Turunan Konsep Rwa Bhinneda 1. Hulu Teben

a. Pengertian Konsep Hulu-Teben merupakan salah satu bentuk terjemahan konsep Rwa Bhineda yang lebih spesifik tentang

adanya perbedaan ketinggian pada lahan. Konsep ini digunakan untuk menyelesaikan site yang memiliki ketinggian berbeda. Lokasi yang lebih tinggi dianggap sebagai lokasi yang lebih suci, dan dinamakan Hulu yang berarti kepala, sedangkan lokasi yang lebih rendah bernama teben (hilir) yang berarti kaki.

Hulu - Teben memakai beberapa acuan lain yaitu Timur (kangin) sebagai hulu dan Barat (kauh) sebagai teben. Dari sini berkembang istilah Kangin-Kauh. kemudian ada acuan Gunung (kaja) sebagai hulu dan Laut (kelod) sebagai teben (Kaja-Kelod). Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Inilah yang menjadi dasar perbedaan arah Kaja untuk wilayah Bali Selatan dan wilayah Bali Utara.

Gbr 1 : Pemahaman Rwa Bhineda Tak Sebatas pada dua hal yang berbeda antara baik dan buruk

Gbr 2: Konsep Hulu-Teben mengacu pada perbedaan ketinggian tempat, arah matahari, dan arah gunung

2

b. Penerapan Konsep Hulu Teben

Penerapan konsep Hulu-Teben terutama dalam bidang Arsitektur, sangat jelas terlihat, mulai dari skala mikro yaitu pada rumah tinggal tradisional Bali. Dalam rumah tradisional Bali, mrajan merupakan Hulu, fungsinya untuk tempat pemujaan Tuhan sehingga harus mendapat tempat yang paling tinggi, lalu dikenal istilah Teba, yaitu tempat belakang yang biasanya digunakan untuk pembuangan sampah dan kotoran hewan. Teba ini berasal dari kata teben, yang merupakan lawan dari hulu.

Selanjutnya dalam skala Mezo, contoh nyata penerapan konsep hulu teben adalah desa Penglipuran sebagai desa adat tradisional Bali yang sampai sekarang masih tetap lestari. Desa ini terletak di Bangli, di sebelah selatan Gunung Agung sehingga dari desa ini arah Kaja sama dengan arah utara. Pola pemukiman linier dari kaja (tinggi) yang banyak berisi tempat suci kemudian ke selatan (rendah) berisi pemukiman dan kuburan.

Dalam skala makro, penerapan hulu-teben ini didasarkan pada arah gunung dan laut, ada juga yang berangapan bahwa danau adalah teben. Gunung yang dipakai sebagai arah hulu yang utama adalah gunung Agung. Sedangkan lautnya menyesuaikan di sekeliling Bali. Hal ini yang kemudian menjadi dasar perbedaan penyebutan arah Kaja pada masyarakat Bali selatan dan Bali Utara. Arah kaja tidak sama dengan utara, kaja artinya gunung.

2. Kiwa Tengen

Konsep Kiwa-Tengen atau juga disebut sebagai Pangiwa-Panengen atau dalam Bahasa Indonesia Kiri-Kanan, mengambil anatomi tubuh manusia, dibagi secara vertikal di tengah sehingga ada kiri (Kiwa) dan Kanan (tengen).

Konsep ini sangat erat kaitannya dengan “Rwa Bhinneda” di mana Kanan adalah Dharma, dan Kiri adalah Sakti. Banyak orang beranggapan, bahwa bagian kiri adalah yang tidak baik, selalu diremehkan. Padahal dalam kehidupan kita sehari-harinya tidak akan bisa beraktivitas jika tidak ada tangan kiri. Jadi intinya, harus ada keseimbangan dalam hidup ini sehingga tidak berat sebelah.

Dalam skala mikro, Menanam ari-ari, bila bayinya perempuan ditanam di kanan (sebelum) pemedal rumah, dan bila

laki-laki ditanam di kiri (sebelum) pemedal rumah, kanan dan kiri dari pandangan rumah menuju jalan. Selanjutnya dalam skala mezo, contoh nyata adalah pada pembangunan candi bentar, dimana pada

bagian kiri dan kanan mendapat porsi yang seimbang, walaupun orientasi bentuknya berbeda. Demikian juga dalam skala makro, pada pembangunan kori agung untuk pura-pura Khayangan Jagat,

biasanya memiliki 3 bilik utama, bilik tengah biasanya hanya dibuka saat ada upacara besar dan bersifat sakral, disediakan bilik kiri dan kanan untuk pintu masuk atau keluar.

Gbr 3: Hulu teben di rumah tinggal pada Mrajan dan Teba

Gbr 4: Desa Tradisional Panglipuran menggunakan konsep Hulu teben

Gbr 5: Gunung dan Laut/Danau sebagai acuan hulu teben

skala makro

Gbr6 : Kori Agung di pura-pura besar di Bali memiliki 3 bilik, yang di kiri biasanya menjadi pintu masuk dan yang

di kanan pintu keluar.

3

Penerapan berikutnya dari konsep Kiwa Tengen yaitu adanya konsep Dwarapala pada tiap-tiap pintu gerbang tradisional di Bali. Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan, tetapi ada juga yang berwujud manusia.

Bergantung pada situasi dan kondisi, jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Antara patung sebelah kiri dan kanan biasaya terdapat perbedaan gaya, arah orientasi ataupun dari bentuk/tokohnya sendiri yang menggambarkan sebagai dua karakter yang berbeda.

3. Purusa Pradhana Purusa dan Pradana adalah dua unsur alam semesta yaitu : Purusa artinya jiwa, Pradana artinya badan

material. Semua makhluk hidup tercipta dari dua unsur tersebut. Semua makhluk yang hidup memiliki Jiwa dan Raga. Demikian juga alam semesta ini berputar sesuai dengan hukum alam karena adanya dua unsur tersebut. • Unsur Purusa yaitu kekuatan hidup (batin/nama) dan • Unsur Pradana atau Prakerti yaitu kekuatan kebendaan.

Contoh penerapannya pada kehidupan berarsitektur dalam skala mikro misalnya pada bangunan tradisional Bali yang memiliki pelinggih kemulan merupakan unsur purusa. Sedangkan di sudut pekarangan terdapat pelinggih penunggu karang. Lebih spesifiknya lagi dalam beberapa bangunan rumah tipe BTN hanya ada dua pelinggih yaitu padmasari dan penunggu karang, letak padma sebagai purusa

pasti lebih tinggi, sedangkan penunggu karang sebagai pradana agak lebih di bawah. Hal ini bertujuan menjaga keseimbangan layaknya bapak dan ibu yang menjaga anak-anaknya.

Penerapan dalam skala mezo bisa dilihat dari adanya pura dalem dan prajapati di hampir seluruh desa adat di Bali. Pura dalem sebagai sthana Siwa (purusa) sedangkan Pura Prajapati (setra) diidentikan sebagai sthana durga (pradana). Hal ini yang juga berkembang di hampir setiap desa adat di Bali yang memiliki barong dan rangda sebagai simbolis kekuatan purusa-pradhana

Dalam skala makro di Bali terdapat pura Khayangan Jagad dengan Konsep Rwa Bhineda tepatnya Purusa Pradana yaitu pura Besakih yang terletak di kaki gunung Agung dan pura Ulun Danu Batur yang terletak di hulu danau Batur.

Gbr 7: Dwarapala di depan sebuah pintu masuk pura di Bali

Gbr 9 : Pertunjukan barong dan rangda sebagai simbolis kekuatan purusa dan pradana yang

seimbang

Gbr 8: Pura Dalem (kiri) dan Prajapati (kanan) sebagai pura Purusa dan Pradana di Desa Adat

4

4. Akasa-Pertiwi Selanjutnya, purusa-pradana membentuk alam semesta menimbulkan istilah Akasa-Pertiwi. Akasa berarti

langit, bersifat jauh tinggi dan ringan sedangkan pertiwi berarti bumi, dasar dan bersifat berat. Dalam Arsitektur, skala mikronya adalah adanya lantai sebagai pertiwi dan atap sebagai akasa yang

merupakan elemen dasar bangunan. Lantai menjadi tempat kita berpijak dan melakukan kegiatan. Dalam skala mezo, pertiwi merupakan kondisi lahan site, dan

akasa dapat diibaratkan sebagai iklim dan awan yang berada di atas site tersebut.

Dalam skala makro,

pertiwi adalah bumi dan langit sebagai akasa. Hal ini dikaitkan ketika manusia membuat bangunan, harus juga

diperhatikan dimana tempat pembangunan tersebut, seperti pepatah yang mengatakan dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Artinya seorang arsitek harus memperhatikan mulai dari elemen terbawah sampai elemen teratas dari sebuah bangunan.

Tidak hanya pada rencana lantai dan kap, tetapi juga meliputi potensi lahan, lapisan tanah (pertiwi), iklim dan cuaca, terang langit dan curah hujan (akasa) yang juga menjadi faktor penting sesuai dengan konsep akasa-pertiwi ini. 5. Sekala Niskala

Konsep Rwa Bhineda bila dihubungkan dengan sifat material maka ada sesuatu yang tampak secara fisik (sakala, materi) dan sesuatu yang tidak tampak secara fisik (niskala, spiritual) merupakan satu kesatuan yang utuh.

Adanya kepercayaan ini yang menyebabkan adanya penghormatan terhadap alam niskala layaknya alam sekala.

Penerapan konsep sekala niskala dalam kehidupan berarsitektur di Bali jelas sekali terlihat dari adanya upacara ritual dalam pembuatan bangunan baik dalam skala mikro (rumah tinggal), mezo (bale banjar) ataupun makro (bandara, jembatan layang, dll).

Hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan dengan alam niskala sehingga terjadi keharmonisan sekala-niskala pada bangunan. Orang Bali percaya bahwa suatu bangunan akan berwibawa jika bangunan itu sudah diupacarai, disamping juga dari segi sekala bangunan itu harus dibuat dengan baik dan benar.

Gambar 12 : Kerauhan (trance) pertanda adanya alam niskala

Gbr 13 : Nuwasen, Suatu bentuk komunikasi kepada alam niskala bahwa kita akan membangun

Gbr10 : Bumi (Pertiwi) dan langit (akasa), dua elemen berbeda yang harus diperhatikan dalam berarsitektur

Gbr 11 : Elemen lantai dan atap yang mencerminkan adanya elemen akasa dan

pertiwi pada sebuah bangunan

5

6. Sakral Profan Dalamm hubungannya dengan kualitas ruang, maka ada ruang yang

Sakral, yaitu wilayah yang berkaitan dengan supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan dan teramat penting. Yang Sakral, dalam arti yang lebih luas, tidak selalu berhubungan dengan agama, ia bisa saja sebagai tindakan-tindakan, tempat, kebiasaan-kebiasaan, dan gagasan-gagasan yang dianggkap suci dan kedua adalah wilayah Yang Profan. Yang Profan biasanya tidak dihiraukan, menjadi yang biasa-biasa saja, wilayahnya bukan sebagai sesuatu yang sakral. Dalam berarsitektur, orang Bali membagi fungsi ruang menjadi 2 yaitu sakral dan profan. Dalam skala kecil yaitu di rumah tangga, fungsi sakral berupa bangunan mrajan. Mrajan dengan fungsi sakral dibuatkan penyengker sehingga ada batasan daerah sakral dan profan.

Dalam skala mezo, fungsi sakral tentunya terletak pada fungsi pura khayangan tiga dan pura fungsional sebagai tempat yang sakral sedangkan tempat pemukiman dan lahan pertanian merupakan tempat yang profan. Dalam Skala Makro, gunung dianggap hal yang sakral dalam sebuah kawasan, sedangkan dataran adalah wilayah profan.

7. Ala Ayu Ala berarti buruk, sedangkan ayu berarti baik. Orang Bali selalu

percaya bahwa di dunia ini pasti ada sesuatu yang baik dan buruk. Dengan adanya sesuatu yang baik kita tahu mana yang buruk, demikian juga sebaliknya. Konsep ini sering digunakan dalam mendefinisikan waktu yang baik dan yang tidak baik untuk melakukan sesuatu atau yang lebih dikenal dalam ala ayuning dewasa.

Dalam berarsitektur terutama untuk pembangunan tempat suci, hal ini amat penting karena orang Bali tidak pernah sembarangan dalam memilih lahan, waktu, dan material untuk membangun, hal ini juga terkait dengan upacara yang menjadi pendukungnya.

Untuk contoh kecil saja, dalam mendirikan pondasi harus memilih waktu yang tepat. Untuk memasang genteng saja, dipercaya harus dihindari hari-hari tertentu agar tidak menyebabkan rumah rusak atau memiliki kesan yang tidak baik.

Tidak hanya pada pemilihan waktu, tetapi juga dalam pemilihan lahan juga mempertimbangkan baik buruk (ala-ayu) dari lahan tersebut.

Dalam pemilihan material juga diterapkan, misalnya saja kayu, ada beberapa kayu yang tidak boleh digunakan untuk membangun tempat suci karena alasan tertentu. Misalnya kayu yang tumbuh di area setra tidak baik untuk pembangunan pura.

Perhitungan baik buruknya suatu lahan, beserta kriteria baik buruknya komponen-komponen bangunan lebih jelasnya terdapat pada uraian konsep asta kosala-kosali dan asta bhumi

Gbr : Orang Bali biasanya berkonsultasi dengan rohaniawan terkait pemilihan lahan

Gbr 14 : beberapa benda disakralkan karena memiliki makna-makna tertentu

yang menjadikannya sakral

Gbr 15 : Gunung agung, merupakan kawasan sakral di Bali yang terdapat

banyak pura-pura

Gbr 16 : Pemilihan bahan bangunan yang berkualitas secara fisik maupun makna