konseptualisasi masalah

24

Click here to load reader

Upload: achas

Post on 27-Jun-2015

638 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konseptualisasi Masalah

Konseptualisasi Masalah

1. Perumusan Masalah

Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada

gejala-gejala pengamatan. Proses ini berjalan secara induktif, dengan mengamati

sejumlah gejala secara individual, kemudian merumuskannya dalam bentuk

konsep. Konsep itu sifatnya abstrak, sedangkan gejala itu bersifat konkrit. Konsep

berada dalam bidang logika (teroretis), sedangkan gejala itu berada dalam dunia

empirik (factual). Memberikan konsep pada gejala itulah yang disebut dengan

konseptualisasi. Konsep itu bersifat abstrak dan dibentuk dengan

menggeneralisasikan hal-hal yang khusus. Babbie mengatakannya sebagai “ the

process through which we specify precisely what we mean when we use

particular terms.” (proses dengan mana kita memberi nama yang khusus secara

tepat yang menggambarkan apa yang kita maksudkan). Proses ini diawali dengan

mengungkap permasalahan penelitian, latar belakangnya, perumusannya,

signifikansinya. Masalah sebagai kesenjangan yang ada di antara kenyataan dan

harapan perlu dirumuskan secara eksplisit. Masalah tersebut dapat ditangkap dari

keluhan-keluhan yang ada dalam lingkungan sosial yang bersangkutan. Gejala-

gejala khusus dari masalah ini diungkapkan secara jelas, untuk kemudian

konsepnya dirumuskan secara operasional. Akhirnya perlu juga diungkapkan

pentingnya masalah itu diteliti, baik dari segi akademis maupun dari segi praktis.

Dari segi kepentingan akademis, suatu penelitian bisa mengukuhkan teori yang

ada, atau menyangkalnya, atau merevisinya. Sedangkan kepentingan praktis

berhubungan dengan pentingnya penelitian itu dalam pengembangan program atau

pekerjaan tertentu.

Konseptualisasi penelitian tidak hanya merumuskan masalah tapi juga

mengungkapkan cara-cara tentang bagaimana masalah tersebut akan diteliti.

Dengan demikian terdapat dua masalah pokok yang akan dijelaskan dalam

konseptualisasi penelitian itu, yaitu penjelasan tentang substansi yang diteliti (aspek

substantif), dan penjelasan tentang operasionalisasi penelitiannya (aspek

metodologis). Kedua aspek ini akan dibicarakan secara khusus dalam perencanaan

penelitian (research design).

1

Page 2: Konseptualisasi Masalah

Suatu masalah dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu aspek empiris dan aspek

logis atau rasional. Suatu peristiwa dikatakan masalah jika terdapat kesenjangan

(gap) antara apa adanya dan apa seharusnya, antara kenyataan yang ada dengan

apa yang diharapkan. Dilihat dari apa yang diharapkan itu, maka masalah itu dapat

dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori yaitu: (1) masalah filosofis (philosophi

problems), (2) masalah kebijakan (policy problems), dan (3) masalah ilmiah

(scientific problems).

Suatu masalah dikatakan masalah filosofis jika gejala-gejala empiris tidak sesuai

dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala-gejala hubungan

seks sebelum nikah di kalangan remaja, termasuk dalam kategori ini karena nilai-

nilai yang berlaku di kalangan remaja itu tidak sesuai dengan norma-norma etis dan

norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah yang tergolong dalam masalah kebijakan ialah perilaku-perilaku atau

kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh si

pembuat kebijakan. Bantuan Inpres IDT yang tidak mencapai sasaran, kualitas

pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, adalah salah satu contoh-

contoh yang termasuk dalam kategori ini.

Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-

kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Salah satu teori dalam

ilmu pendidikan yang dikenal dengan “teori hukuman” mengatakan bahwa hukuman

yang diberi kepada anak akan mengubah perilakunya kearah yang positif. Tetapi

dalam kenyataannya anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya makin

mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendam

kepada gurunya. Masalah yang demikian termasuk masalah ilmiah.

Masalah sosial itu menampakkan diri pada conflict issue yang dapat ditangkap dari

peristiwa-peristiwa yang ada dalam masyarakat. Issue-issue seperti itu dapat

ditangkap melalui pengamatan langsung, atau dari surat kabar, atau media masa

lainnya, atau dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan membantu kita untuk mengetahui pokok

permasalahan dari issue tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk

bisa mengetahui pokok permasalahannya. Dengan demikian kita menemukan issue

2

Page 3: Konseptualisasi Masalah

seperti “demokrasi”, “kualitas sumber daya manusia”, “pengangguran di kalangan

generasi muda”, “kualitas penduduk”, “relevansi pendidikan”, dsb.

Bertitik tolak dari issue tersebut kita berusaha merumuskan masalah yang menjadi

fokus penelitian kita. Perlu pula disadari bahwa dari suatu issue yang pramagtis itu

dapat ditarik berbagai masalah, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Di

sinilah pentingnya teori sebagai acuan kita dalam melihat masalah. Dari perangkat

proposisi yang ada dalam teori tersebut kita memilih yang sesuai dengan issue dan

yang cukup menarik minat itu. Bagan di bawah memperlihatkan bagaimana

merumuskan masalah dari issue yang ada dengan memperhadapkan gejala-gejala

faktual dengan teori.

Untuk merumuskan masalah dengan cara seperti itu, perlu diperhatikan dua

pertanyaan pokok yang membantu memperjelas masalah. Yang pertama ialah

pertanyaan tentang mengapa masalah itu penting. Untuk menjawab pertanyaan ini

perlu diungkapkan latar belakang permasalahannya. Sumber-sumber bacaan yang

relevan membantu kita untuk menjelaskan latar belakang itu. Dijajagi pula berbagai

penelitian yang pernah ada di sekitar masalah tersebut. Dari penjajagan ini kita

ungkapkan signifikansi atau pentingnya penelitian yang akan dilakukan. Pertanyaan

kedua ialah apa masalahnya. Untuk menjawab pertanyaan kedua ini perlu

3

TEORI ISSUE GEJALA EMPIRRIK

MASALAH

Page 4: Konseptualisasi Masalah

dilakukan penjajagan di sekitar lokasi penelitian, dan dari penjajagan ini kita

mengungkapkan gejala-gejala khusus dari setiap individu yang bermasalah.

Dengan metode induksi akhirnya kita merumuskan konsep yang merupakan fokus

penelitian kita. Selanjutnya dengan konsep tersebut kita merumuskan masalah

penelitian secara eksplisit. Biasanya masalah itu dirumuskan dalam bentuk kalimat

tanya, tetapi ada juga yang merumuskannya dalam kalimat deklaratif. Contoh-

contoh perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan: (1) Mengapa mutu

pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan kita semakin merosot ? (2)

Mengapa lulusan perguruan tinggi di wilayah Sulawesi Tengah sukar mendapat

pekerjaan ? (3) Apa kesulitan guru muda dalam melaksanakan profesinya sebagai

guru di kelas ?

2. Variabel

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa konseptualisasi itu adalah proses

memberi konsep pada gejala-gejala yang dipermasalahkan. Sebagaimana telah

disebutkan di atas bahwa konsep itu bersifat abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu

obyek-obyek tertentu yang konkrit. Obyek yang konkrit itu bersifat individual yang

berbeda satu dengan yang lain. Jika kita mengamati orang-orang yang kita jumpai,

maka tidak ada dua orang yang sama di antara mereka. Setiap orang berbeda

dengan yang lain. Mereka dapat dibedakan dengan nama masing-masing. Ada

yang bernama Emanuel, ada yang bernama Hasan, ada yang bernama Frank, dsb.

Tetapi baik Emanuel, Hasan, dan Frank, semuanya adalah manusia. Jadi

“manusia” itu adalah konsep, dan konsep itu tidak hanya menunjuk pada Emanuel,

Hasan dan Frank, tetapi juga orang lain yang mempunyai kemiripan engan mereka.

Sifat dari obyek-obyek yang berbeda-beda itu ialah:

(1) Mempunyai cirri umum yang sama yang membuat mereka mirip satu dengan

yang lain, sehingga semuanya dapat ditampung dalam satu defenisi.

(2) Setiap obyek berbeda, masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang

membedakannya dengan obyek lain. Perbedaan-perbedaan itulah yang

membuat obyek-obyek itu bervariasi, karena itu disebut variabel.

(3) Perbedaan-perbedaan pada setiap obyek tersebut terletak pada ukuran masing-

masing, baik ukuran yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.

4

Page 5: Konseptualisasi Masalah

Karena ukuran berbeda-beda itulah maka konsep itu disebut variabel sesuai

dengan Kerlinger yang menyatakan bahwa “variables is a property that takes

on different values. … A variable is a symbol which numerals or values are

assigned”. Misalnya kerajinan belajar mahasiswa yang dapat kita lihat pada

banyaknya waktu yang dipakai setiap minggu untuk mempelajari bidang

studinya. Apabila tolok ukur ini dipakai pada setiap mahasiswa, maka tampak

keragaman dalam penggunaan waktu pada setiap mahasiswa. Si A

mempergunakan 18 jam, si B mempergunakan 20 jam, si C mempergunakan 24

jam, dst. Karena itu maka kerajinan belajar itu adalah variabel. Atau pekerjaan

pokok penduduk suatu desa. Ada petani, ada peternak, ada buruh bangunan,

ada pedagang. Karena adanya keberbagaian itu maka pekerjaan penduduk

adalah variabel.

Suatu konsep disebut variabel jika ia menampakkan variasi pada obyek-obyek yang

ditunjuknya. Tetapi konsep bukan variabel jika tidak tampak variasi pada obyek-

obyek itu. Almamater mahasiswa Universitas Tadulako misalnya bukan variabel,

karena semua mahasiswa itu mempunyai almamater yang sama, yaitu UNTAD.

Di antara konsep yang abstrak dengan obyek-obyek individual yang konkrit terdapat

suatu penghubung yang menunjukkan obyek-obyek yang mana dapat dimasukkan

dalam konsep yang bersangkutan. Tentang “mahasiswa” misalnya, siapa saja yang

dapat digolongkan ke dalam konsep ini. Apakah si A yang belajar di SMU bisa

masuk dalam konsep ini, atau si B yang bekerja di sebuah kantor, atau si C yang

mengajar di sebuah SD. Kita membutuhkan suatu petunjuk untuk dapat melakukan

tugas tersebut. Misalnya orang yang telah terdaftar untuk mengikuti pelajaran di

suatu Perguruan Tinggi, yang dapat diketahui dari “kartu mahasiswa yang berlaku”.

Dengan kartu mahasiswa yang berlaku itu dapat diketahui siapa yang dimaksud

dengan mahasiswa. Kartu mahasiswa itu dalam hal ini disebut indicator empiric

terhadap konsep mahasiswa. Indikator empiric ini sifatnya observable, dapat

diamati. Suatu indikator empiric belum tentu dapat menunjukkan seluruh makna

Kerlinger, Fred N 2000.

5

Page 6: Konseptualisasi Masalah

yang terkandung dalam suatu konsep tertentu. Misalnya “sepeda” dengan

indikatornya adalah “kendaraan roda dua”. Tetapi bukankah ada juga sepeda roda

tiga, dan ada juga kendaraan roda dua yang bukan sepeda ? Karena itu indikator

tersebut belum seluruhnya menangkap konsep pada sepeda. Oleh karena itu suatu

konsep bisa memiliki lebih dari pada satu indikator empirik. Pada gambar di bawah,

konsep A hanya memiliki satu indikator, sedangkan B memiliki tiga indicator.

Konsep D memiliki dua indicator, tetapi kedua indicator tersebut kurang valid

karena sebagian indicator itu tidak menunjuk pada makna konsep yang

dikehendaki. Pada D terdapat dua indicator yang sama sekali tidak valid, tidak

berhubungan dengan makna yang dimaksud oleh konsep. Hubungan antara

konsep dengan indicator itu disebut korelasi epistemik. Korelasi epistemik itu

bergerak dari 0 ke 1,00. Pada konsep D korelasi itu adalah 0 (nol), sedangkan pada

D korelasi itu > 0 namun tidak signifikan. Pada A dan B korelasi itu juga > 0 tetapi

signifikan.

A B C D

Keterangan:

Konsep

Indikator Empirik

6

Page 7: Konseptualisasi Masalah

Dengan indikator empiris itu kita merumuskan variabel secara operasional. Definisi

operasional dirumuskan sedemikian rupa sehingga ia bisa berfungsi sebagai

petunjuk untuk menemukan data yang tepat dalam dunia empiris. Misalkan kita

melihat empat buah bilangan yang terdiri atas 2, 4, 6 dan 8. Sekarang kita

rumuskan dalam satu istilah keempat bilangan itu. Istilah apa yang kita pergunakan

untuk merangkum seluruh bilangan itu ? Kalau disimpulkan bahwa keempat

bilangan itu adalah bilangan genap dengan defenisi bilangan yang habis dibagi dua,

maka apakah dengan definisi tersebut dapat kita temukan kembali keempat

bilangan itu? Misalnya: 4, 6, 10, 18, 20. Semua bilangan ini adalah bilangan genap,

jadi memenuhi definisi. Tetapi bilangan yang kita lihat tadi bukan 4, 6, 10, 18, dan

20, tetapi 2, 4, 6, dan 8. Berarti definisi kita itu tidak benar. Memang keempat

bilangan itu adalah bilangan genap, tetapi tidak semua bilangan genap yang

termasuk dalam pengamatan kita. Kita perhatikan kembali Babbie tentang

konseptualisasi sebagai “the process through which we specify precisely what

we mean when we use particular terms.” Merumuskan istilah yang tepat, tidak

berkelebihan dan tidak berkekurangan. Definisi bilangan genap pada pengamatan

di atas adalah definisi yang berkelebihan, tidak tepat. Definisi yang tepat untuk

pengamatan 2, 4, 6, dan 8 ialah “bilangan kelipatan dua di bawah 10. Dengan

definisi ini, maka tidak ada lain kecuali 2, 4, 6, dan 8. Bukan 2, 4, 10, dan 12 karena

tidak memenuhi definisi.

Definisi operasional suatu variabel tidak boleh dirumuskan dalam bentuk sinonim.

Kalau kita definisi variabel kerajinan belajar dirumuskan sebagai “Kerajinan belajar

ialah ketekunan siswa untuk mempelajari bahan pelajaran”, maka di sini terdapat

dua istilah yang setara, yaitu kerajinan dan ketekunan. Seharusnya istilah

ketekunan itu berfungsi sebagai penjelas bagi kerajinan, karena itu seharusnya ia

bukan konsep tetapi indikator. Tetapi dalam definisi ini ketekunan itu adalah

konsep, sama dengan kerajinan yang juga adalah konsep. Jadi ketekunan adalah

7

Page 8: Konseptualisasi Masalah

sinonim dengan kerajinan. Istilah kerajinan itu harus diterangkan dengan indikator.

Ciri dari indikator itu ialah teramati dan terukur. Dengan menggunakan indikator itu

ialah teramati dan terukur. Dengan menggunakan indikator tersebut, kita

merumuskan variabel kerajinan belajar sebagai berikut.: “Kerajinan belajar

mahasiswa ialah banyaknya waktu diukur dalam jam perminggu yang dipergunakan

oleh mahasiswa untuk membaca bahan-bahan yang relevan dengan program

studinya.” Di sini kegiatan membaca adalah indikatornya, dan jumlah jam adalah

pengukurannya. Tampak bahwa definisi operasional terhadap variabel atau konsep

ini berbeda dengan definisi yang kita temukan dalam buku teks atau dalam kamus.

Konsep Definisi Nominal Definisi Operasional

Motifasi Motivasi ialah kekuatan dorongan

dari dalam yang ada pada diri

seseorang untuk bertindak dalam

cara-cara tertentu.²

Motivasi ialah derajat kesungguhan kerja

pada seseorang anggota dalam suatu

organisasi.³

Kenakalan remaja Setiap orang antara 7 dan 16

sampai 18 yang melanggar

ketentuan, peraturan atau undang-

undang4

Setiap orang yang dijatuhi putusan oleh

pengadilan sebagai pelaku kenalan

remaja.

Atau:

Setiap orang antara 7 sampai 18 yang

dalam daftar diri menyatakan bahwa ia

telah melakukan satu atau lebih tindak

yang tercantum dalam daftar itu.

Kepuasan kerja Perasaan-perasaan positif seorang

pekerja mengenai pekerjaannya.

Dengan lima dimensi kerja, supervisi, gaji,

promosi, dan kawan sekerja. Smith

menyusun sekumpulan pertanyaan untuk

setiap dari lima dimensi tersebut yang

dijawab dengan ya atau tidak.

8

Page 9: Konseptualisasi Masalah

Definisi dalam buku-buku teks atau kamus itu disebut definisi konstitutif atau definisi

nominal. Untuk melihat perbedaan di antara kedua bentuk definisi itu, perhatikan

definisi dari konsep-konsep berikut.

Sering suatu variabel mencakup bidang yang lebih luas sehingga tidak dapat

secara langsung dirumuskan atas indikator-indikatornya. Variabel seperti itu harus

dijabarkan dalam komposit-kompositnya, dan setiap komposit dijabarkan

berdasarkan indikator-indikatornya. Misalnya “persepsi anggota koperasi terhadap

kepemimpinan koperasi”. Variabel kepemimpinan koperasi ini meliputi banyak

dimensi, misalnya otoritasnya, kemampuan koordinasnya, kemampuan

komunikasinya, kejujurannya. Semua dimensi ini merupakan komposit terhadap

variabel kepemimpinan. Persepsi terhadap kepemimpinan adalah persepsi

terhadap keempat komposit itu. Masing-masing komposit dirumuskan secara

operasional lengkap dengan indikator dan pengukurannya.

3. Jenis-jenis Variabel

Variabel-variabel itu dapat dibedakan dalam berbagai cara, baik dilihat dalam

hubungannya dengan variabel lain, maupun sifat dari variabel itu sendiri.

3.1. Variabel dan Atribut

Atribut itu adalah termasuk juga dalam jenis variabel. Untuk menjelaskan

perbedaan ini perhatikan contoh dengan 2 variabel berikut, yaitu: (1) motivasi

belajar, dan (2) jenis kelamin. Motivasi belajar bagi seseorang dapat diubah antara

lain dengan memberi rangsangan berupa hadiah. Tetapi jenis kelamin seseorang

tidak bisa diubah, sekali ia perempuan, maka ia seterusnya tetap perempuan. Jadi,

jenis kelamin adalah atribut, dan motivasi belajar adalah variabel itu

dimanipulasikan. Dapat, berarti variabel; tidak dapat berarti atribut.

3.2. Variabel Dependen dan Variabel Independen

Variabel dependen disebut juga variabel tidak bebas, dan variabel independen

disebut variabel bebas. Suatu variabel disebut dependen atau tidak bebas jika nilai

9

Page 10: Konseptualisasi Masalah

atau harganya ditentukan oleh satu atau beberapa variabel lain. Dalam hubungan

ini variabel lain itu disebut variabel independen atau variabel bebas. Hubungan

antara permintaan dan harga dalam hukum permintaan yang berbunyi “Jika harga

suatu barang tertentu naik (atau turun), maka permintaan terhadap barang itu akan

turun (atau naik).” Di sini “permintaan” merupakan variabel dependen, dan “harga”

merupakan variabel independen. Sering juga variabel dependen itu disebut variabel

indogen, dan variabel independen disebut variabel eksogen.

3.3. Variabel Kontinu dan Variabel Deskrit

Kedua jenis variabel ini berbeda dalam cara pengukurannya. Variabel kontinu dapat

diukur dengan bilangan kontinu sedangkan variabel deskrit hanya bisa diukur

dengan bilangan desktrit. Variabel-variabel: berat, panjang, umur, termasuk variabel

kontinu karena bisa diukur dengan bilangan real seperti 1,12; 2,045; 5,00569, dst.

Sedangkan jumlah orang adalah variabel deskrit yang hanya dapat diukur dengan

bilangan bulat seperti 1, 2, 4, dst.

4. Skala Pengukuran

Kecuali dapat diamati, sifat kedua dari indikator empirik ialah dapat diukur pada

skala tertentu. Pengukuran itu paling sedikit bertujuan untuk membedakan yang

satu dari yang lain, bahwa yang satu itu lebih besar atau lebih kecil dari pada yang

lain, bahwa yang sati itu merahdan yang lain itu putih, bahwa yang satu itu 10 kg

dan yang lain itu 8 kg. Untuk melakukan tugas pengukuran dibutuhkan alat, dan

pada alat itu ada skala yang dapat diterapkan pada setiap obyek yang akan diukur.

Alat yang dipakai untuk mengukur obyek haruslah konsisten sehingga hasilnya

adalah reliable. Kalau kita mengukur panjang suatu obyek tertentu dengan jengkal

orang dewasa, maka tidak konsisten jika untuk mengukur obyek lain dipergunakan

jengkal anak-anak. Selain itu alat ukur yang dipakai haruslah valid, jangan misalnya

mengukur panjang dengan liter, atau mengukur panas dengan timbangan berat.

Dengan syarat-syarat seperti ini maka pengukuran adalah suatu proses pemberian

angka pada setiap obyek dalam suatu skala tertentu. Mengukur suatu variabel

10

Page 11: Konseptualisasi Masalah

dapat dilakukan pada salah satu dari 4 skala pengukuran, yaitu (1) skala nominal,

(2) skala ordinal, (3) skala interval, dan (4) skala ratio.

1. Skala nominal

Skala nominal ini dapat diterapkan pada setiap variabel karena skala ini berfungsi

untuk membedakan. Setiap obyek pada variabel karena skala ini berfungsi untuk

membedakan. Setiap obyek pada variabel yang diukur adalah setatar, namun

berbeda satu dengan yang lain. Status seks adalah suatu variabel yang apabila

diterapkan pada setiap obyek maka ada dua macam jenis seks yang mempunyai

derajat yang sama, yaitu laki-laki dan perempuan. Membedakan antara laki-laki dan

perempuan itu adalah pengukuran, dan skala yang dipakai untuk mengukurnya

ialah skala nominal. Tolok ukur yang dipakai untuk mengukurnya ialah indikator

empirik dari variabel yang bersangkutan. Variabel ini mempunyai dua kategori (atau

kelas) yang sama derajatnya. Untuk itu disediakan 2 (dua) angka, yaitu 1 untuk laki-

laki, dan angka 2 untuk perempuan, atau sebaliknya1 untuk perempuan dan 2

untuk laki-laki. Angka ini tidak menunjukkan bahwa 2 lebih besar dari pada satu,

atau 1 lebih utama dari pada yang lain. Angka 1 dan 2 hanyalah simbol untuk

membedakan 2 hal yang sama. Angka-angka seperti itu kita temukan juga pada

kamar-kamar sebuah hotel. Ada kamar 102, ada kamar 221, dan seterusnya.

Contoh-contoh ini menjelaskan ciri-ciri dari skala nominal, yaitu: (1) bersifat

deskriminatif (membedakan), (2) bersifat ekualitas dalam arti bahwa kategori-

kategori dalam variabel itu adalah sama, (3) simentris dalam arti bahwa angka 1

dapat ditukar dengan 2, dan (4) perkategorian bersifat tuntas. Yang terakhir ini perlu

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, setiap obyek hanya bisa dimasukkan ke dalam

salah satu kategori (kelas) sehingga tidak ada overlapping. Untuk variabel status

seks tadi, maka seseorang hanya bisa masuk pada salah satu kategori, laki-laki

atau perempuan. Tidak ada seorang pun yang masuk dalam kedua kategori itu.

Kedua, semua obyek harus bisa dimasukkan dalam salah satu kategori. Misalnya

untuk variabel pekerjaan disediakan 4 kategori, yaitu (1) petani, (2) pedagang, (3)

11

Page 12: Konseptualisasi Masalah

buruh, dan (4) pengrajin. Kemudian kita menemukan orang yang pekerjaannya

sehari-hari ialah memancing ikan di laut, mengolah dan menjual hasilnya sebagai

sumber pendapatannya. Lalu kita masukkan di mana orang ini ? Tidak ada kelas

yang tersedia baginya. Oleh karena itu perlu ditambah satu lagi kategori yaitu (5)

nelayan.

2. Skala ordinal

Seperti halnya dengan skala nominal, skala ordinal juga menunjukkan perbedaan

antara kategori yang satu dengan kategori lainnya. Tetapi perbedaan itu bukan

perbedaan yang setatar tetapi perbedaan jenjang atau tingkat. Kalau variabel itu

ialah “status ekonomi”, maka kategori-kategorinya ialah (1) kelas ekonomi lemah,

diberi angka: 1; (2) kelas ekonomi menengah, diberi angka: 2; (3) kelas ekonomi

tinggi, diberi angka: 3. Angka 1, 2, dan 3 bukan membedakan hal yang sama, tetapi

perbedaan jenjang. Bahwa 1 = 2 = 3 adalah tidak benar, tetapi bahwa 1<2 < 3 (< :

lebih kecil dari), atau sebaliknya 3 > 2 > 1 (> : lebih besar dari). Selisih antara 3

dengan 2 tidak selalu sama dengan selisih antara 2 dan 1. Oleh karena itu

bilangan-bilangan itu tidak bisa dijumlahkan atau dikurangkan.

3. Skala interval

Skala pengukuran ini menunjukkan pula perbedaan seperti pada skala nominal dan

skala ordinal. Perbedaannya ialah bahwa interval antara 1 dan 2, antara 2 dan 3,

dst. adalah sama. Misalnya variabel “umur” yang diukur dalam tahun. Kalau dalam

obyek pengamatan kita ada yang berumur 21 tahun, ada yang 22 tahun, ada yang

23 tahun, dst. maka perbedaan antara 21 dengan 22 itu sama dengan perbedaan

antara 22 dengan 23. Karena itu terhadap bilangan-bilangan itu dapat dilakukan

pekerjaan penambahan atau pengurangan. Cirri lain dari skala ini ialah bahwa titik

nol-nya bersifat arbitrer. Umur ayah dan umur anaknya diukur pada titik nol yang

berbeda, yaitu pada tahun kelahiran masing-masing. Karena sifatnya yang

demikian maka angka-angka ini tidak multiplier.

12

Page 13: Konseptualisasi Masalah

4. Skala ratio

Skala ini sama dengan skala interval, kevuali bahwa titik nol-nya bersifat mutlak.

Berat yang diukur dengan gram mempunyai titik nol yang sama di mana saja dan

kapan saja. Karena itu sifatnya multiplier.

Dilihat dari segi kehalusan pengukuran, maka skala ratio adalah yang paling tinggi,

menyusul skala interval, kemudian skala ordinal, baru skala nominal. Oleh karena

itu skala ratio dapat diubah pada skala interval, dan skala interval dapat diubahpada

skala ordinal, dan skala ordinal dapat diubah pada skala nominal. Akan tetapi, pada

umumnya, skala nominal tidak bisa diubah pada skala ordinal, skala ordinal tidak

bisa diubah pada skala interval, dan skala interval tidak bisa diubah pada skala

ratio.

13

Page 14: Konseptualisasi Masalah

Konseptualisasi

Dunia nyata

14

Dunia abstrak

Page 15: Konseptualisasi Masalah

MASALAH

15

kenyataan masalah harapan

filosofis

ilmiah

filosofis

Page 16: Konseptualisasi Masalah

Skala Pengukuran

dij

abarkan

16

NOMINAL

ORDINAL

INTERVAL

RATIO

Page 17: Konseptualisasi Masalah

Ciri-ciri Skala Pengukuran

Skala Pengukuran

Ciri Operasimatematik

Contoh

Nominal Klasifikasi pembedaan Setara tuntas

SimetriA = BB = A

1.Agama: Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buda.

2.Nomor kamar di asrama

Ordinal Klasifikasi perbedaan berjenjang interval tidak sama tuntas

AsimetriA > B > CC < B < AC –B ≠ B – A

1. Status sosial2. Pendidikan

Interval Pembedaan interval sama titik nol: arbitrer

N’ = cN + Kc : koefisienK: bilangan konstan

Skor: 45, 75, 80

Ratio Sama dengan interval + titik nol mutlak

N’ = cN Berat: 7 kg, 8 kg, 10 kg.

17