konstitusional dan inkonstitusional bersyarat ......baik konstitusional bersyarat maupun...
TRANSCRIPT
i
KONSTITUSIONAL DAN
INKONSTITUSIONAL BERSYARAT
DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI
( Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
N A N A S U P E N A
NIM: 11140480000120
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H /2018 M
ii
KONSTITUSIONAL
DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT
DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI
( Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
N A N A S U P E N A
NIM: 11140480000120
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H /2018
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama Lengkap : Nana Supena
NIM : 11140480000120
Tempat, Tanggal Lahir : Ciamis, 17 Oktober 1994
Prodi/Fakultas : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum
Alamat : Jalan Pancoran Barat XI A No. 13
Jakarta Selatan RT/RW 003/004 12780
No. Handphone : +62 8577 705 2281
Dengan ini, menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Juli 2018
NANA SUPENA
NIM. 11140480000120
v
ABSTRAK
NANA SUPENA 11140480000120 KONSTITUSIONAL DAN
INKONSTITUSIONAL BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF
MAHKAMAH KONSTITUSI (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 130/PUU-XIII/2015), Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2018 M/1439 H, x + 81 Halaman + 4 Lampiran.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah tafsiran konstitusional dan
inkonstitusional bersyarat dalam perspektif Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini
bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan kaidah hukum dan dasar pertimbangan
hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemaknaan
tertentu di dalam sebuah pasal.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik
pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait objek
penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian ini adalah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
130/PUU-XIII/2015 memberikan temukan hukum baru. Hakim Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut inkonstitusional
dengan mensyaratkan suatu ketentuan berdasarkan penafsiran hukum. Dasar
pertimbangan hakim adalah tertundanya penyampaian SPDP (Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan) oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum yang
menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional terlapor dan
korban/pelapor. Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat
merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran
(interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
dari undang-undang.
Kata kunci : Konstitusional Bersyarat, Inkonstitusional Bersyarat,
Mahkamah Konstitusi, Putusan 130/PUU-XIII/2015.
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1992 sampai Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di
akhirat kelak. Amiin.
Selanjutnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini.
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan
menyelesaikan skripsi
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H, Dosen Pembimbing, yang dengan
arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa
menyelesaikan skripsi ini
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan
sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Pihakpihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan
studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan
pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
vii
bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para
pembaca umumnya. Amiin
Jakarta, 11 Juli 2018
Peneliti,
Nana Supena
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8
D. Metode Penelitian ............................................................................ 9
E. Sistematika Penulisan .................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG DEMOKRASI, KONSTITUSI,
NEGARA HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 15
1. Negara Hukum .......................................................................... 15
2. Kekuasaan kehakiman .............................................................. 17
3. Pengujian Undang – Undang .................................................... 21
4. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi ........................................ 23
B. Kerangka Teori .............................................................................. 26
1. Teori Demokrasi Konstitusional ............................................... 27
2. Teori Konstitusi ........................................................................ 29
3. Teori Konstiutsional dan Inkonstitusional Bersyarat................ 30
4. Teori Utilitarianisme ................................................................ 31
5. Teori Sosiological Jurisprudence ............................................. 34
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 36
ix
BAB III EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Sejarah Perkembangan ................................................................ 40
B. Kedudukan .................................................................................. 44
C. Kewenangan ................................................................................ 46
D. Konsitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat dalam
Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 .. 48
BAB IV KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT
PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
130/PUU-XIII/2015
A. Analisis dan Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14
Huruf b dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan
Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP................................................ 55
B. Tafsiran Inkonstitusional Bersyarat yang pada Pasal 109 ayat (1)
KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 ...... 62
C. Implikasi Putusan Inkonstitusional Bersyarat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi 130/PUU-XIII/2015 ................................ 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 74
B. Rekomendasi ............................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
LAMPIRAN – LAMPIRAN ............................................................................... 81
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Halaman Depan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015
2. Halaman Belakang Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015
3. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
4. Biografi Singkat Peneliti
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi konstitusional merupakan demokrasi yang dibatasi oleh
aturan atau konstitusi. Pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang
dibatasi kekuasaannya dan tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang –
wenang terhadap warga negaranya. Konstitusi memberikan batasan -batasan
terhadap posisi dan peran atau wewenang pemerintah. Oleh karenanya, sering
dinamakan pula sebagai “pemerintahan yang berdasarkan konstitusi”. Jadi,
constitusional government sama dengan limitied government atau restrained
government. 1
Lahirnya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudisial yang
dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang – Undang
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang sebelumnya tidak dapat
dilakukan.2 Lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga konstitusi,
Mahkamah Konstitusi tidak hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari
suatu undang-undang saja, selain itu berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945
Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan lainnya yang berkaitan erat
dengan masalah – masalah politik dan ketatanegaraan seperti memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai
politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukam pelanggaran
hukum. Hal itu selaras dengan perkataan Katherine Glenn Bass dan Sujit
Choudry bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan – kewenangan
lainnya, “... disputes over the constitutions provisions often involve the most
sensitive political issues facing a country, including review of the country
1 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 223
2 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 74.
2
electoral laws and election, the powers of the various branches of government
and other questions.”3
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung yang dibentuk melalui
Perubahan Ketiga UUD NRI tahun 1945. Indonesia merupakan negara ke-78
yang membentuk MK. Pembentukan MK sendiri merupakan fenomena
negara modern abad ke-20.4 Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi
konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi tersebut berbeda dengan fungsi
yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi MK dapat ditelusuri dari
latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi
konstitusi, oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam
peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri. Konstitusi dimaknai tidak hanya
sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan
moral konstitusi5, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi,
perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga
negara.6
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia telah
menjadikannya sebagai salah satu sentral dalam diskursus hukum tata negara
Indonesia. Berdasarkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
NRI tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga penyeimbang
sesuai dengan prinsip check and balances. Sedangkan lewat kewenangan
menguji UU terhadap UUD NRI tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi
3Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New Democracies,
diunduh pada 17 Februari 2017 dari :
http://www.democracyreporting.org/files/dribp40_en_constitutional_review_in_new_
democracies_201309.pdf.
4Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2008) h. 5
5Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,... h. 10
6Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2013), h. 128
3
penjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara serta melindungi
warga negara dari UU buatan legistator yang dapat menimbulkan kerugian
konstitusional. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
menyebutkan setidaknya ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi
dibentuknya MK, yaitu (1) Sebagai implikasi paham konstitusionalisme; (2)
Mekanisme check and balances; (3) Penyelenggaraan negara yang bersih;
dan (4) Perlindungan terhadap hak asasi manusia.7
Kewenangan demikian membuat MK sering disebut sebagai penjaga
konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat sebagai penafsir
konstitusi (the sole interpreter of constitution). Keberadaan MK menjadi
perwujudan salah satu unsur dari doktrin Rule of Law, yaitu adanya suatu
peradilan tata negara (constitutional court).
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan Peradilan Tata
Negara (Constitutional Court) merupakan salah satu unsur dari doktrin
Negara Hukum yang disamakan dengan Rule of Law atau Rechtsstaat. Selain
Peradilan Tata Negara, Jimly menyebutkan ada 11 (sebelas) unsur lainnya,
sehingga semua unsur itu berjumlah 12 (duabelas).
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI tahun 1945 dan Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8/2011 perubahan atas UU No. 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur tentang wewenang MK. Pada intinya MK
memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban.
1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI tahun1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
7 A. Fickar Hadjar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta : KRHN dan Kemitraan 2003), h. 3.
4
2. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang dapat
bervariasi yakni mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga
tidak dapat diterima. Terdapat perkembangan baru dalam putusan MK
sebagai ijtihadnya untuk menegakan hukum dan keadilan. Putusan tentunya
memiliki konsekuensi tersendiri. Misalkan putusan yang amarnya
mengabulkan permohonan, berimbas pada batalnya suatu norma dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, putusan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang memiliki kekuatan mengikat
secara hukum terhadap seluruh komponen bangsa, sehingga semua pihak
harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.8
Salah satu jenis putusan yang menarik adalah putusan yang amar
putusannya “ditolak” dan “dikabulkan” tetapi dalam pertimbangan hukumnya
memberikan syarat konstitusionalitas. Konstitusional bersyarat adalah9
putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak bertentangan
dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan kepada lembaga negara
dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk memperhatikan penafsiran MK
atas konstitusionalitas ketentuan UU yang sudah diuji tersebut. Sedangkan
inkonstitusional bersyarat adalah10 suatu putusan dikabulkan dan dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan
8Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), (Jakarta : Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan komunikasi Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2013), h. 4
9 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.8
10 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012),... h.9
5
hukum dengan memberikan suatu persyaratan berdasarkan penafsiran hakim
konstitusi sehingga menjadi konstitusional dengan syarat yang diberikan oleh
Makhamah Konstitusi. Pemberlakuan pasal atau undang – undang tersebut
berlaku sampai pasal atau undang – undang tersebut direvisi.
Kajian ini mencoba memaparkan sebuah deskripsi implikasi hukum
putusan inkonstitusional bersyarat dalam putusan MK No. 130/PUU-
XIII/2015, identifikasi konstitusionalitas Pasal Pasal 14 huruf b dan huruf i,
Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 139 KUHAP,
dan menjelaskan tafsiran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109 ayat (1)
KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi pada putusan MK No.
130/PUU-XIII/2015. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini
menggunakan pendekatan konsep (conceptualy approach).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015,
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil
Chocky Risda Ramadhan, dkk, para pemohon merasa Pasal 14 huruf b dan
huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 139
KUHAP telah menyebabkan tidak terwujudnya sistem peradilan pidana yang
menjungjung tinggi hak asasi manusia. Tidak terkontrolnya subjektifitas
penyidik dalam melaksanakan kewarganegaraannya, tidak efektifnya
koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum, serta tidak
maksimalnya peranan penuntut umum dalam meneliti hasil penyidikan
membuat para pemohon merasa dirugikan secara konsitusional. 11
Ada pandangan bahwa putusan Mahkamah Kosntitusi itu mempunyai
kedudukan yang setara dengan Undang-Undang sehingga kekuatan
hukumnya juga sama dengan Undang-Undang. Namun kesetaraan itu adalah
dalam konteks pemahaman akan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai
negative legislator bukan pembentuk undang-undang seperti DPR (Positive
legislator). Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah berkali-kali
menyatakan suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat ataupun
11 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, h. 3 – 5
6
inkonstitusional bersyarat yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu
terhadap suatu norma Undang-Undang untuk dapat dikatakan konstitusional,
yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka undang - undang yang
dimaksud adalah inkonstitusional. Berdasarkan latarbelakang diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :
KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT
DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI :
ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 130/PUU-XIII/2015
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, peneliti
mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-
undang terhadap UUD NRI tahun 1945 harus
diimplementasikan.
b. Judicial review undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana ke Mahkamah Konstitusi atas ketentuan
Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat
(1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP perlu diujikan.
c. Konstitusional dan Inkonstitusional Bersyarat dalam putusan
dalam eksekusinya belum optimal.
d. Karakteristik Konstitusional Bersyarat dan Inkonstituional
Bersyarat dalam Pengujian Undang – Undang terhadap
Undang – Undang Dasar 1945 perlu diidentifikasi.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka
penelitian ini akan dibatasi pada aspek tafsiran Inkonstitusional
Bersyarat Mahkamah Konstitusi pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, dengan
rincian sebagai berikut :
7
a. Konstitusional bersyarat dibatasi pada putusan yang
menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak bertentangan
dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan kepada
lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk
memperhatikan penafsiran MK.
b. Inkonstitusional bersyarat dibatasi pada putusan yang
dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI
tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum dengan
memberikan suatu persyaratan berdasarkan penafsiran hakim
konstitusi.
c. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudisial yang
dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang
– Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945
d. Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tentang Uji Materiil
undang – undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
e. Data yang diteliti dibatasi pada data tahun 1992 sampai tahun
2016
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang identifikasi dan batasan
masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
Bagaimana implikasi hukum putusan inkonstitusional
bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi 130/PUU-
XIII/2015 ?
Selanjutnya pertanyaan penelitian dalam skripsi ini dapat dirinci dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i,
Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal
139 KUHAP?
8
b. Bagaimana tafisran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109
ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-
XIII/2015 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun Tujuan Penulisan yaitu :
a. Untuk mendeskripsikan implikasi hukum putusan
inkonstitusional bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi
130/PUU-XIII/2015
b. Untuk mengidentifikasi konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan
huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta
pasal 139 KUHAP
c. Untuk menjelaskan tafisran inkonstitusional bersyarat pada Pasal
109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015
2. Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberikan sebagai tambahan dokumentasi segi
hukum dalam rangka membahas tentang konstitusionalitas Pasal
14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan
ayat (2), serta pasal 139 KUHAP. Dan membahas tafsiran
Inkonstitusional Bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) yang dibangun
oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum
kelembagaan negara dan praktisi ketatanegaraan dalam
menganalisis tafsiran inkonstitusional bersyarat dalam Pengujian
Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945
9
D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat
memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan
dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu,
maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang – undang ( Statute Approach) dan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach).12
2. Jenis Penelitian
Adapun corak penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dan penelitian verifikatif, jenis penelitian ini
digunakan untuk menguji suatu tafsiran inkonstitusional bersyarat
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015
3. Data Penelitian
Data penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti
untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang
ditanganinya. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari
sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan semisal berupa
ungkapan – ungkapan verbal yang didapat dari berbagai sumber.
Sedangkan data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk
maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. 13 Dalam
penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah Undang –
Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal serta berbagai
pemikiran para pakar hukum sebagai sumber informasi yang berkenaan
dengan penelitian yang dilakukan.
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Cet. II, 2006), h. 93
13 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2009,
Cet. Ke 8, h. 137
10
4. Sumber Hukum
Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:14
a. Bahan hukum primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer
dalam tulisan ini di antaranya yaitu : pertama, Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang –
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
ketiga, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Hukum Acara Pidana, keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor Nomor 130/PUU-XIII/2015
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, jurnal, hasil
karya dari kalangan hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa
sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
seterusnya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data pada dasarnya tergantung dari jenis
datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data
sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari
berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.15
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Edisi I, Cet. XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 13
15 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 163
11
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi
pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan guna
mengklarifikasikannya dengan masalah yang dikaji. Penelitian ini
adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta
doktrin (ajaran).16
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book),
maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law it is decided by the judge through judicial process)17. Penelitian
hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan
menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis
normatif-kualitatif.18
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.19 Logika
keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,
yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
6. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang djadikan adalah putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Materiil
16 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 118
18 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), h. 3
19 J Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM
Press, 2007) h. 57
12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138
ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP.
Sumber lainnya yang akan dijadikan sebagai bahan penunjang
dan pelengkap penulisan karya ilmiyah ini didasarkan pada penelitian
untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat, kemudian
dikembangkan untuk dapat menemukan solusi dan penguat teori atau
permasalahan yang sedang dialami.
7. Teknik pengelolaan data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian
dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode
deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan
membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan
menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik
dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan.20
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun
secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang Inkonstitusional
Bersyarat dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015.
Analisis data dilakukan secara kualitatif21, yaitu dengan cara
penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku,
menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil
kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.
8. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017".
20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1997), h. 71
21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 32
13
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan
cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-
masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Yang meliputi : latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG
DEMOKRASI, KONSTITUSI, NEGARA
HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kajian
pustaka. Ada dua jenis kajian pustaka, yaitu
kajian teoritis dan (review) Kajian Terdahulu.
Dengan diawali pemaparan kerangka konsep agar
tidak tumpang tindih pembahasannya.
BAB III EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI
Dalam bab ini akan membahas meliputi : sejarah
pertumbuhan Mahkamah Konstitusi, kedudukan
Mahkamah Konstitusi, kewenangan Mahkamah
Konstitusi dan Putusan Konsitusional dan
Inkonstitusional Bersyarat dalam Pengujian
Undang – Undang terhadap UUD NRI tahun
1945
14
BAB IV KONSTITUSIONAL BERSYARAT DAN
INKONSTITUSIONAL BERSYARAT PADA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 130/PUU-XIII/2015
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Analisis dan
Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14
huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138
ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP. Dan
membahas tafsiran inkonstitusional bersyarat yang
dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-
XIII/2015
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan rekomendasi hasil
penelitian tentang tafsiran inkonstitusional bersyarat
yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-
XIII/2015
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG DEMOKRASI, KONSTITUSI,
NEGARA HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW
A. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian
ini dan sebagai pijakan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan
konsep-konsep sebagai berikut:
1. Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD NRI tahun 1945) menegaskan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. UUD NRI
tahun 1945 merupakan sumber dari hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Dengan munculnya konsep rechstaat dari Freidrich Julius
Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl unsur-unsur
negara hukum (rechstaat)22 adalah 1). Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia; 2) Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan untuk menjamin
hak-hak itu.
Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia merupakan
terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal serupa dikemukakan oleh
Notohamidjojo bahwa, dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang
dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad ke IX itu, maka
timbul juga istilah negara hukum atau rechtsstaat. Di negara-negara
Eropa Barat, di Inggris sebutan bagi negara hukum (rechtsstaat) adalah
the rule of law, di Amerika Serikat diucapkan sebagai government of
law, ut not man.23
Istilah rechtsstaat dan istilah etat de droit dikenal di Negara-
negara Kontinental, sementara di Negara Anglo Saxon menggunakan
22 Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara,( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 3.
23 A Salman Maggalatung, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara
Kekuasaan Otoriter, (Jurnal Salam, 2015), h. 3
16
istlah the rule of law. Sedangkan istilah socialist legality dikenal di
negara yang berpaham komunis. Inggris, Amerika dan negara-negara
lain yang mengikuti pola bernegaranya menolak adanya suatu
pengadilan khusus seperti halnya pengadilan adminstrasi dalam Negara
Hukum. Mereka mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga
tidak perlu ada pembedaan dalam forum pengadilan. Selain itu,
Muhammad Yamin berpendapat bahwa, Republik Indonesia ialah
suatu negara hukum (rechtsstaat government of laws) tempat keadilan
yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat
polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula
negara kekuasaan (rechtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan
badan melakukan sewenang-wenang.24
Menurut Philipus M. Hadjon (1987) prinsip negara hukum
adalah melakukan perlindungan hidup bagi rakyat terhadap tindak
pemerintahan. Ia mengaitkan dengan prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Pengakuan dan
perlindungan hak – hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat
dikatakan sbeagai tujuan daripada negara hukum, sebaliknya dalam
negara totaliter tidak ada tempat bagi Hak Asasi Manusia.25 Prinsip –
prinsip negara hukum, yaitu :26
1) Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh
pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang
yang merupakan peraturan umum. Kemauan undang-undang
itu harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari
tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan
berbagai jenis tindakan yang tidak benar, pelaksanaan
24A Salman Maggalatung, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara
Kekuasaan Otoriter, ... h. 3-4
25 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media, 2013), h.7
26 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : UII-Press, 2002), h. 8 – 10.
17
wewenang oleh organ pemerintah harus dikembalikan
dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang
formal;
2) Perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM);
3) Keterikatan pemerintah pada hukum;
4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
hukum; dan
5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka dalam hal organ-organ
pemerintah melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan
hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa negara hukum itu haruslah
demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum.
Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal gagasan demokrasi
yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) mengandung 4
(empat) prinsip pokok, yaitu:27
1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan
bersama;
2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau
pluralitas;
3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan
bersama; dan
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan
mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks
kehidupan bernegara, dimana terkait pula dimensi-dimensi
kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan
warga negara.
2. Kekuasaan kehakiman
Salah satu materi muatan atau bidang yang diatur dalam
bidang UUD NRI tahun 1945 adalah mengenai kekuasaan kehakiman.
27 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia Baru,
Kapita Selekta Teori Hukum, (Jakarta: FH-UI,2000), h. 141 – 144.
18
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting dari
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainya
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan 28
Pembagian kekuasaan negara kedalam lembaga-lembaga
negara juga sejalan dengan logika demokrasi yang menghendaki
diferensiasi peran antarlembaga negara dan situasi saling mengawasi
antarlembaga negara guna menghindari pemusatan dan
penyalahgunaan kekuasaan, pengaturan dan pembatasan kekuasaan
itu juga menjadi ciri konstitusionalisme dan juga merupakan tugas
dari konstitusi sehingga kemungkinan kesewenangwenangan
kekuasaan dapat dikendalikan.29
Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan
sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik
seperti Legislatif dan Presiden serta memiliki hak untuk menguji
yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji
meteril (materiele toetsingrecht).30
kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah berhubung dengan hal
itu harus termaktub dalam Undang-Undang tentang kedudukan para
hakim, bila dihubungkan dengan asas negara hukum maka adanya
badan pemegang kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi tak lain sebagai penegasan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Seperti diketahui syarat sebagai negara hukum
ialah adanya peradilan yang bebas dan tidak terpengaruh kekuasaan
28 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Bhuana
ilmu populer, 2007), h 512
29 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 138
30 Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,
2001) h.23
19
lain serta tidak memihak, yang berwenang memeriksa dan mengadili
serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan
kepadanya untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.31 Dalam usaha untuk memperkuat
prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti suatu Kekuasaan
yang berdiri sendiri dan tidak dalam intervensi dari kekuasaan lainya
dalam menjalankan tugasnya untuk menegakan hukum dan keadilan32
Terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan
jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan
dalam amandemen UUD NRI tahun 1945 tidak hanya menyebutkan
secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka, Pasal 24 Ayat
(1) UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwa : “...kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.”
Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD NRI tahun 1945
mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD NRI
tahun 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum Khusus untuk menjaga kemandirian
dan integritas hakim, amandemen UUD NRI tahun 1945 juga
memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial namun
apakah kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi telah berjalan tanpa intimidasi dari
lembaga lain.
31 Moh mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), h. 11
32 Sudarsono. Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,1992), h. 27
20
Menurut Bagir manan, Kekuasaan Kehakiman memang
lemah dibandingkan dengan kekuasaan legislatif karna secara
konseptual tatanan politik. Dalam kenyataan yang terjadi kehakiman
selalu tidak berdaya menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar
kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap utuh atau tanpa campur
tangan pihak/lembaga lain serta sistem administrasi, misalnya
anggaran belanja. Selama sistem anggaran belanja kekuasaan
kehakiman tergantung pada kebaikan hati pemerintah sebagai
pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan
kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan.33
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu
prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam
Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and
Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary
menjadi empat hal yaitu34:
1) Substantive independence (independensi dalam memutus
perkara);
2) Personal independence (misalnya adanya jaminan masa kerja
dan jabatan);
3) internal independence (misalnya independensi dari atasan dan
rekan kerja) dan
4) collective independence (misalnya adanya partisipasi
pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam
penentuan budget pengadilan).
Kemudian independensi yang tak kalah pentingnya ialah
kebebasan atau kemerdekaan hakim dalam menfsirkan hukum, karna
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu instrumen dalam
33 Saldi Isra, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah
Agung, (Jakarta: Jurnal Nasional, 2010) h. 4
34 Saldi Isra, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah
Agung,... h. 6
21
menjalankan Kekuasaan Kehakiman memiliki suatu putusan yang
bersifat final, hal ini tentunya tidak ada upaya hukum lain maka
pembatasan dan pemantauan Mahkamah Konstitusi agar tujuanya
tidak keluar dari tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yakni menegakan hukum dan keadilan.35
Demikian hal tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka
menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau
paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan
lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar
peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi
keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani sulit memang tapi
bukanlah merupakan yang hal tak mungkin bagi tegaknya
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.
3. Pengujian Undang – Undang
Adanya sebuah pengujian undang-undang atau yang biasa
disebut dengan judicial review adalah ketika munculnya putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat atas kasus Marbury vs Madison
pada tahun 1803. Pada saat itu hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat yang diketuai oleh John Marshal membatalkan ketentuan
dalam Judiciary Act 1789 karena bertentangan dengan Konstitusi
Amerika Serikat, padahal pada waktu itu didalam undang - undang
maupun konstitusi Amerika tidak ada yang menyatakan atau
memberikan kewenangan judicial review kepada Mahkamah Agung,
akan tetapi hakim Marshal berpendapat bahwa keputusan tersebut
adalah kewajiban konstitusional mereka berdasarkan sumpah hakim
untuk menjaga dan menjunjung tinggi konstitusi.36
35 Zulkarnain Rildwan, dalam Jurnal Konstitusi, Kompetensi Hakim Konstitusi dalam
penafsiran konstitusi (Jakarta: MK, 2011), h. 85
36 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI 2010) h.5
22
Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maruarar
Siahaan bahwa konstitusi harus dianggap dan diperlakukan superior
dari undang-undang biasa, serta tidak adanya kepercayaan terhadap
lembaga peradilan biasa untuk menegakkan konstitusi yang demikian
itu, sehingga Hans Kelsen merancang sebuah Mahkamah khusus
untuk negara Austria pada tahun 1920 yang terlepas dari lembaga
peradilan biasa untuk mengawasi peraturan perundang-undangan dan
membatalkannya jika bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” Setelah perang dunia
kedua, ide tersebut berkembang ke seluruh Eropa. 37
Menurut Jimly Asshidiqie, ada tiga macam norma hukum
yang dapat diuji atau disebut dengan norm control mechanism. Tiga
macam norma tersebut merupakan produk dari keputusan hukum,
yaitu :38
a. pengaturan (Regeling),
b. penetapan (Beschikking) dan
c. penghukuman (vonis)
Jenis norma hukum tersebut dapat dikelompokan dalam norma
yang individual dan konkrit yang tergolong norma jenis tersebut yaitu
penetapan dan penghukuman (Beschikking and vonis) serta umum dan
abstrak yang tergolong jenis ini adalah pengaturan (regeling).
Menurut Hans Kelsen hubungan antara norma yang mengatur
pembuatan norma lain dengan sumber norma yang lebih tinggi disebut
dengan hubungan super dan sub-ordinasi, ini berarti norma yang
menjadi dasar pembentukan norma lain adalah superior sedangkan
norma bentukannya adalah inferior, pembentukan suatu peraturan
37 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2011), h. 3.
38 Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:
Kompress,2005), h.1
23
dengan berdasar pada norma yang lebih tinggi menjadi validitas dalam
satu kesatuan.39
4. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Di atas sudah disinggung, berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI tahun 1945, putusan MK itu memiliki sifat:
a. merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir,
sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan
hukum; dan
b. bersifat final (legaly binding), maksudnya putusan MK
mengikat sebagai norma hukum sejak diucapkan dalam
persidangan. Dan jenis dari amar putusan MK terdiri dari tiga
jenis, yaitu: Ditolak (ontzigd), Dikabulkan, atau Tidak dapat
diterima (niet onvankelijk verklaard).
Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar
putusan MK memiliki sifat declaratoir, condemnatoir dan
constitutif.40 Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan
tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk
melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat
dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada
penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap
penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat
dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara.
Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim
menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang
menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu
putusan yang bersifat declaratoir.41 Putusan yang bersifat declaratoir
dalam pengujian undang - undang oleh MK nampak jelas dalam amar
39 Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, diterjemahkan oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali
Safa’at, (Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2006), h. 110
40 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2006), h. 240 – 242.
41 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 241.
24
putusannya. Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya
yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal
bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang
bersifat constitutief.
Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu
keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru.
Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat karena bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 adalah
meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 42
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-
undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK
meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru
sebagai negative legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu
aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK.43
Lebih lanjut Maruarar menyatakan bahwa putusan MK sejak
diucapkan di Pengadilan memiliki 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1)
kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan
eksekutorial.44 Hal ini dijelaskan sebagai berikut:
a) Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi,
berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya
meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu
pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang
diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga
mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang
ada di wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum
42 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 242
43 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 250
44 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 252
25
sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang.
Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang
putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua
orang.45
b) Kekuatan Pembuktian
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Perubahan atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi
muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan
demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat
digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van
gewijsde).
Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan
bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan
yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi
putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian
yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak
dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan tetap demikian
dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara
positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.
c) Kekuatan Eksekutorial
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator
dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak
memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan
amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu
45 . Fickar Hadjar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan 2003), h. 34
26
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Untuk
itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita
negara agar setiap orang mengetahuinya.
B. Kerangka Teori
Terminologi “teori” adalah istilah yang dialihbahasan dari
terminologi “Theory” dikaitkan dengan temuan hasil penelitian
sebagaimana teori atom yang pada awalnya merumuskan bahwa apa yang
disebut atom adalah materi yang tersusun atas partikel-partikel kecil.
Sebagai temuan dalam penelitian, setiap teori berkembang seiring dengan
perjalanan waktu, sehingga sangat dimungkinkan suatu teori yang berlaku
akan dapat terbantahkan oleh temuan penelitian yang baru dan bantahan itu
akan dapat melahirkan dan menyempurnakan teori yang ada.46
Teori dapat dipandang sebagai paradigma, yaitu sesuatu fokus
dalam lokus tertentu, atau dapat pula diartikan sebagai hasil perkembangan
ilmu pengetahuan sebagai akibat dari terjadinya anomali, suatu kondisi
dimana ilmu pengetahuan sudah tidak dapat memecahkan persoalan yang
terjadi dan dapat pula dipandang sebagai suatu prespektif atau pendekatan,
sesuatu hal yang dipandang dari sudut pandang tertentu. 47 Adapun tujuan
teori adalah sebagai berikut:48
a. Teori mempersempit/membatasi ruang atau kawasan dari fakta yang
akan kita pelajari
b. Teori menyarankan sistem pendekatan penelitian yang disukai untuk
mendapatkan makna yang sesungguhnya
c. Teori menyarakan sistem penelitian yang memungkinkan untuk
meng-impose data sehingga diklasifikasikan dalam jalan yang lebih
bermakna.
46 Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan Menuju
Redefinisi), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1-2
47 Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan Menuju
Redefinisi),... h. 3
48 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2014),
h. 23-24
27
d. Teori merangkum suatu pengetahuan tentang sebuah objek kajian
dan pernyataan yang tidak diinformasikan yang di luar observasi
yang segera
Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori adalah suatu skema atau
sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasaan atau
keterangan dari kelompok fakta atau fenomena atau suatu pernyataan
tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab
sesuatu yang diketahui atau diamati.
Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh
berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide
yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia
adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimanan dunia
itu bekerja.49
Teori sangat berguna untuk kerangka kerja penelitian, terutama
untuk mencegah praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan
sumbangan bagi pemahaman peristiwa. Adapun teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Teori Demokrasi Konstitusional
Kata “Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. 50
49 H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama 2007), h. 22
50 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219
28
Sedangkan kata konstitusional muncul dari bahasa Perancis,
yaitu constituer berarti membentuk, yang dimaksud ialah membentuk
suatu negara, dalam bahasa Inggris dipakai istilah constitution yang
dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi, dalam praktek dapat berarti
lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga
yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar (Dahlan Thaib,
2008 : 7).
Kata konstitusi dalam bahasa Latin merupakan gabungan dari
dua kata, yaitu cume adalah sebuah reposisi yang berarti bersama
dengan……., dan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata
kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu maka kata statuere
mempunyai arti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/
menetapkan (Dahlan Thaib, 2008 : 7).
Pengertian konstitusi menurut bahasa Perancis, bahasa Inggris
dan bahasa Latin, pada intinya adalah suatu ungkapan untuk
membentuk, mendirikan/menetapkan, lebih lanjut dikenal dengan
maksud pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara,
maka dengan kata lain secara sederhana, konstitusi dapat diartikan
sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara,
yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang
bersangkutan (Jazim Hamidi, 2009 : 87).51
Dapat disimpulkan bahwa demokrasi konstitusional adalah
demokrasi yang terbatasi oleh aturan atau konstitusi. Dalam hal ini,
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang dibatasi
kekuasaannya dan tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang –
wenang terhadap warga negaranya karena konstitusi memberikan
batasan – batasan terhadap posisi dan peran atau wewenang pemerintah.
51 M. Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta :Jurnal Yustisia Vol.2
No.3 September - Desember 2013), h. 120
29
Wewenang atau peran pemerintah dalam menguji Undang –
Undang terhadap Undang – Undang Dasar Tahun 1945 diberikan
wewenangnya kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan batasan
konstitusi.
2. Teori Konstitusi
Secara etimologis antara kata “konstitusi”, “konstitusional”,
dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau
penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan
mengenai ketatanegaraan ( Undang – Undang Dasar, dan Sebagainya),
atau undang – undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala
tindakan didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan
(kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya
dengan konstitusionalisme, yaitu suatu faham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak – hak rakyat melalui konstitusi.52
Istilah konstitusi berasal dari Perancis (Consituer) yang berarti
membentuk. Pemakauan istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu
negara. Sedangkan istilah undang – undang dasar merupakan
terjemahan istilah yang dalam bahasa belandanya Gronwet. Perkataan
wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang – Undang, dan
grond berarti tanah/dasar.
Di negara – negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa
Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktiknya
dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang – Undang Dasar.
Kata konstitusi dalam bahasa Latin merupakan gabungan dari
duat kata yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang
berarti “ bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta
yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar
52 Tim Penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka Edisi kedua, 1991), h. 521
30
itu, kata statuere mempunyai arti “ membuat sesuatu agar berdiri atau
mendirikan/menetapkan. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio)
berarti menerapkan sesuatu secara bersama – sama dan bentuk jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Menurut E.CS Wade dalam bukunya Constitutional Law
Undang – Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan
tugas – tugas pokok dari badan – badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok – pokoknya cara kerja badan – badan tersebut. Jadi
pada pokoknya dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam
suatu Undang – Undang Dasar.53
3. Teori Konstiutsional dan Inkonstitusional Bersyarat
Konstitusional bersyarat merupakan suatu putusan dalam
amarnya menyatakan bahwa undang-undang dinyatakan konstitusional
atau tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dengan
ditambahkannya ketentuan atau syarat yang ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi atau dengan kata lain putusannya ditolak karena dianggap
tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Sehingga dapat
dipahami bahwa undang – undang tersebut dinyatakan konstitusional
jika dipahami sesuai dengan syarat yang diberikan oleh hakim
konstitusi yang dinyatakan dalam amar putusannya, ini berarti bahwa
permohonan yang diajukan ditolak dengan catatan.54
Hasil penelitian menunjukan putusan konstitusional bersyarat
yang pertama kali dimuat pada bagian amar putusan yakni dalam
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 bertanggal 1 Juli 2008 tentang
pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu
53 Dahlan Thaib, Jazim Hamii, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada 2004), h. 7 - 9
54 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan
Bersyarat Mahkamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi, 2016), h. 359
31
DPR, DPD, dan DPRD). MK dalam amar putusannya menyatakan
Pasal a quo tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat
domisili di provinsi yang akan diwakilinya. Untuk putusan-putusan MK
selanjutnya yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
sampai dengan tahun 2012 yang amar putusannya menyatakan
mengabulkan permohoan baik sebagian maupun seluruhnya dan dapat
dikategorikan sebagai konstitusional bersyarat, dari hasil penelitian
ditemukan sebanyak 4 putusan, yaitu Putusan Nomor 147/PUU-
VII/2009 bertanggal 30 Maret 2010, Putusan Nomor 147/PUU-
VII/2009 bertanggal 30 Maret 2010, Putusan Nomor 49/PUU VIII/2010
bertanggal 22 September 2010, Putusan Nomor 115/PUU-VII/2009
bertanggal 10 November 2010.55
Inkonstitusional Bersyarat merupakan suatu putusan
permohonannya dinyatakan dikabulkan dengan menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang – Undang Dasar
1945 dengan catatan bahwa norma yang bersangkutan dipandang
inkonstitusional karena alasan tertentu atau adanya persyaratan tertentu
yang ditafsirkan oleh hakim. Jika tidak demikian, maka norma yang
bersangkutan dipandang masih konstitusional. Contoh Putusan
inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional) adalah
Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal pengujian Undang-Undang
nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD NRI tahun 1945.
4. Teori Utilitarianisme
Utilarianisme atau utilism merupakan aliran Filsafat Hukum.
Filsafat Hukum sebagai Ajaran Ilmu dari Teori Hukum dan sebagai
Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan
dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasaan lebih jauh,
55 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan
Tahun 2003-2012, ... h.8
32
mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan
- kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai objek studi.56
Utilarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri –
ciri metafisis dan abstrak dari Filsafat Hukum dan Politik pada abad
ke – 18. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan di sini
sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu
hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap
individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak
mungkin individu dalam masyarakat atau bangsa tersebut. (the
greatest happines for the greatest number of people).
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam
positivisme hukum, mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban
masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar –
besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum
merupakan pencerminan dari rasio saja.
Menurut Jeremy Bentham ( 1748-1832) bahwa alam ini telah
menempatkan manusia dalam kekuasaan kesusahan dan kesenangan.
Karena kesenangan dan kesusahan itu kita memiliki gagasan –
gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup kita yang
dipengaruhinya. Tujuannya hanyalah mencari kesenangan dan
menghindari kesusahan. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak
dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan
pertama – tama hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan
kepada individu – individu, bukan langsung kepada masyarakat secara
56 H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama 2007) h. 58
33
keseluruhannya. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal
bahwa disamping kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar – besarnya itu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang
disebut homo homini lupus ( manusia menjadi serigala bagi manusia
lainnya)
Ada dua kekuarangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh
Friedman. Pertama rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner
mencehnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini
menyebabkan terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat Undang –
Undang dan meremehkan perlunya individualisme kebijakan dan
keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga yakin dengan
kemungkinan kondisifikasi ilmiah yang lengkap melalui prinsip –
prinsip yang rasional, sehingga dia tidak lagi meghiraukan perbedaan
– perbedaan nasional dan historis. Padahal, pengalaman terhadap
kondisifikasi di berbagai negara menunjukan bahwa penafsiran yang
elsastis dan bebas dari hakim senantiasa dibutuhkan. Kelemahan
kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya
sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat. 57
Menurut Rudolf von Jhering tujuan hukum ialah melindungi
kepentingan – kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan-
kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai
pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi
kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan
menghubungkan tujuan pribadi seorang dengan kepentingan –
kepentingan orang lain. 58
57 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta :
Prenadamedia Group, 2013), h. 111-113
58 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, ... h. 117
34
5. Teori Sosiological Jurisprudence
Menurut Paton, istilah sociological dalam aliran ini, kurang
tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan
istilah “Metode Fungsional” oleh karena itu, ada pula yang menyebut
sociological Jurisprudence ini dengan Functional Antropological.
Dengan menggunakan istilah “Metode Fungsional” seperti ungkapan di
atas, Paton ingin menghindarkan kekacauan antara sociological
Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociologi of law).
Menurut aliran sociological Jurisprudence ini, hukum yang
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antar hukum positif
(the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antar (tesis)
positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah. Sebagaimana
diketahui, positivisme hukum memandang tidak ada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is command of lawgivers),
sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang
bersama masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara
aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological
Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Eugen Ehrlich (1862-1992) membuktikan kebenaran teorinya,
bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang –
undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama
adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti kata Friedman, dalam
karyanya Ehrlich pada akhirnya justru meragukan kebiasaan ini sebagai
sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern.
Lawrence M. Friedman dalam bukunya “The Legal System A
Social Science Perspective,” melihat hukum itu sebagai suatu sistem
yang terdiri dari tiga komponen59: Pertama, legal stubtance (aturan –
59 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia,
(Jakarta:Focus Grahamedia, 2012), h. 24
35
aturan dan norma – norma); Kedua, legal structure (institusi atau
penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara); Ketiga,
legal culture (budaya hukum yang meliputi agama atau kepercayaan,
ide – ide, sikap dan pandangan tentang hukum.
Roscoe Pound (1870-1964) menyatakan bahwa hukum adalah
alat untuk memperbaruhi (merekayasa) masyarakat (law as a tool os
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat
tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
a. Kepentingan umum (public interest)
1. Kepentingan negara sebagai badan hukum
2. Kepentingan negara sebagai negara penjaga
kepentingan masyarakat
b. Kepentingan masyarakat (social interest)
1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2. Perlindungan lembaga – lembaga sosial
3. Pencegahan kemerosotan akhlak
4. Pencegahan pelanggaran hak
5. Kesejahteraan sosial
c. Kepentingan pribadi
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pound
mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham,
yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan
sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kemudian,
klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis – premis hukum,
sehingga membuat pembentuk undang – undang, hakim, pengacara,
dan pengajar hukum menyadari akan prinsip – prinsip dan nilai – nilai
yang terkait dalam tiap – tiap persoalan khusus. Dengan kata lain,
36
klasifikasi itu membantu menghubungkan antarprinsip hukum dan
praktiknya. 60
Mochtar Kusumaatmadja menegaskan61, bahwa agar hukum
dapat berfungsi secara efektif, selain harus memperhatikan kesadaran
hukum yang tumbuh di masyarakat, juga hukum itu hendaknya
dilegalisasi oleh kekuasaan negara secara tertulis sesuai dengan
ketentuan perundang – undangan yang berlaku, karena hukum tanpa
kekuasaan adalah angan – angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah
kezaliman. Dari sini diketahui, bahwa hukum yang dibuat dari norma –
norma yang hidup dan tumbuh di masyarakat, selain berfungsi untuk
mencegah dan memberi sanksi kepada yang melanggar, juga sebagai
kontrol sosial, mengawasi, dan mengarahkan anggota masyarakat untuk
bertingkah laku yang baik dan tidak melanggar serta tetap menjaga
keutuhan masyarakat. 62
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian ini terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian
yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari
penelitian ini penulis menemukan beberapa sumber kajian yang terdahulu
membahas terkait konstitusional dan inkonstitusional bersyarat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi diantaranya sebagai berikut :
Faiz Rahman dalam skripsinya yang berjudul, Implikasi Putusan
Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Sifat Final Dan
Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, Skripsi Tahun 2016,
menyimpulkan bahwa karakteristik putusan bersyarat baik secara
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara pengujian
60 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta :
Prenadamedia Group, 2013), h. 123 -128
61 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di
Indonesia,... h. 25
62 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia,
... h. 28
37
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, serta untuk mengetahui
implikasi putusan bersyarat dalam pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan mengikatnya putusan
Mahkamah Konstitusi.63
Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas adalah
implikasi putusan bersyarat secara umum dalam undang – undang terhadap
sifat final dan mengikatnya putusan mahkamah konstitusi, sedangkan
penelitian ini mendeskripsikan implikasi tafsiran inkonstitusional bersyarat
dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015,
mengidentifikasi konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan i, Pasal 109 ayat
(1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP dan menjelaskan
tafsiran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang
dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015
Derita Yanita dalam Skripsinya yang berjudul, Implementasi
Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
dalam Proses Penyidikan Studi Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015,
Skripsi Tahun 2018, menyimpulkan bahwa implementasi pembatasan
waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK
Nomor 130/PUU-XIII/2015 diberlakukan melalui 3 (tiga) pendekatan
diantaranya, pendekatan normatif, pendekatan administratif, dan
pendekatan sosial. Faktor penghambat implementasi pembatasan waktu
SPDP dalam proses penyidikan setelah berlakuknya putusan MK Nomor
130/PUU-XIII/2015 meliputi faktor peraturan perundang – undangan dan
faktor aparat penegak hukum. Setelah putusan MK tersebut, MK
mewajibkan SPDP untuk diberikan kepada penuntut umum, pelapor/korban
63 Faiz Rahman, berjudul, Implikasi Putusan Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang
Terhadap Sifat Final Dan Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, Skripsi Tahun 2016 diunduh
19 Februari 2018 http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93217/potongan/S1-2016-328557-
abstract.pdf
38
dan terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitnya surat perintah
penyidikan.64
Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah
penelitian di atas membahas tentang implementasi pembatasan waktu
SPDP, sedangkan penelitian ini membahas tentang tafsiran inkonstitusional
bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah
Konstitusi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-
XIII/2015.
Harjono dalam bukunya yang berjudul, Konstitusi sebagai Rumah
Bangsa. Menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi akan sulit
menguji sebuah undang-undang. Karena sebuah undang-undang seringkali
mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Padahal, di dalam
rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah nanti
pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 atau
tidak.65
Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas adalah
pengujian undang – undang akan sulit diujikan oleh Mahkamah Konstitusi
karena seringkali undang – undang mempunyai sifat yang dirumuskan
secara umum, sedangkan sifat final dan mengikatnya putusan mahkamah
konstitusi, sedangkan penelitian ini menjelaskan implikasi hukum putusan
mahkamah konstitusi yang bersifat inkonstitusional bersyarat sehingga
dapat memberikan temuan hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum
sampai undang – undang atau pasal yang diujikan direvisi.
Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono dalam artikelnya yang
berjudul, Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah,
Jurnal Konstitusi, 2016, menyimpulkan bahwa adanya eksistensi putusan
64 Derita Yanita, berjudul, Implementas Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Studi Putusan MK Nomor 130/PUU-
XIII/2015, Skripsi Tahun 2018 diunduh 19 Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/30627/19/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf
65 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Harjono. (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008), h. 178-179
39
bersyarat baik secara konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional
bersyarat dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar. 66
Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas membahas
tentang eksistensi putusan bersyarat baik secara konstitusional bersyarat
maupun inkonstitusional bersyarat dalam pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan penelitian ini mendeskripsikan
implikasi tafsiran inkonstitusional bersyarat dalam putusan mahkamah
konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015, mengidentifikasi konstitusionalitas
Pasal 14 huruf b dan i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 139 KUHAP dan menjelaskan tafsiran inkonstitusional bersyarat
pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi
di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya
ilmiyah yang secara khusus membahas tentang tafsiran konstitusional dan
inkonstitusional bersyarat dalam perspektif Mahkamah Konstitusi Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, para peneliti
baru mengkaji dan menganalisis tentang konstitusional bersyarat dalam
Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI tahun 1945. Oleh karena
itu, penulis bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang
konstitusional dan inkonstitusional bersyarat dalam Perspektif Mahkamah
Konstitusi Analisis Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015.
66 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan
Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics of Conditional Decision of The
Constitutional Court diunduh 17 Februari 2018 dari
https://media.neliti.com/media/publications/113807-ID-eksistensi-dan-karakteristik-putusan-
ber.pdf
40
BAB III
EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Sejarah Perkembangan
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman
yang sudah menjelma dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi secara teoritis atau praktis melengkapi
badan peradilan yang telah ada sebelum Undang-Undang Dasar 1945
diamandemen, yaitu Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, meski memiliki kewenangan yang berbeda menurut Undang-
Undang Dasar 1945, tetapi secara institusional Mahkamah Konstitusi tetap
dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan aktivitas negara hukum
Indonesia, khususnya di bidang peradilan atau tepatnya hak uji materiil
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan suatu
lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi,
yakni dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi. Secara konseptual, gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengadili tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal menguji
undang - undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan kewenangan
lain yang dimilikinya. 67
Membahas sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi tidak akan
terlepas dari beberapa fakta dan konsep mengenai Judicial Review atas
kasus Madison vs Marbury di AS dan ide Hans Kelsen di Austria. Konsep
judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil perkembangan
modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-
ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation
67 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta : Pradnya Paramita 2006), h. 263.
41
of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the
protection of fundamental Right).68 Pada dasarnya juicial review hanya
dapat dijalankan sebagaimana mestinya dalam negara yang menganut
supremasi hukum dan bukan supremasi parlemen. Dalam negara yang
menganut sistem supremasi parlemen, produk hukum yang dihasilkan tidak
dapat diganggu gugat, karena parlemen merupakan bentuk representasi dari
kedaulatan rakyat.69
Kasus Marbury vs Madison bermula dari kemelut politik di Amerika
Serikat yang timbul karena proses peralihan kekuasaan dari Partai Federalis
( the Federalist Party) kepada Partai Republik ( the Republican Party).
Calon presiden incumbent dari Partai Federalis yaitu John Adams
dikalahkan oleh calon dari Partai Republik yaitu Thomas Jefferson.
Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden John Adams mengambil
keputusan penting dengan menempatkan orang – orang partainya untuk
menjadi hakim – hakim federal. Dasar hukum bagi tindakan ini adalah the
Juduciary Act of 1801. Pada dua bulan terakhir pemerintahan Presiden
Adams tersebut John Marshall merangkap jabatan sebagai Secretary of State
dan sekaligus Chief Justice of the Supreme Court. Presiden Adams
menugaskan Marshall dalam kapasitas sebagai Secretary of State untuk
mempersiapkan, menandatangani bersama - sama Presiden Adam, serta
menyerahkan surat penunjukan tersebut kepada orang – orang yang akan
ditempatkan sebagai hakim. Akan tetapi, proses ini belum sepenuhnya
rampung dikarenakan surat penunjukan tersebut belum semua tersampaikan
kepada masing – masing individu yang ditunjuk sampai dengan digantikan
oleh Jefferson. Presiden Jefferson kemudian membatalkan keputusan
mantan Presiden Adams, salah seorang yang kemudian gagal menjadi
Justice of Peace. Marbury lalu menggugat james Madison, Secretary of
68 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang - undangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2009) h. 26
69 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang - undangan, ... h. 52-53.
42
State di dalam pemerintahan Presiden Jefferson untuk menyerahkan surat
penunjukan yang sudah ditandatangani oleh Presiden Adams dan Secretary
of State Marshall tersebut melalui upaya hukum Writ of mandamus.
Menurut Reinstein dan Rahdert bahwa ada tiga unsur isu hukum penting
dalam kasus ini, yaitu :
1. the right of individuals to claim the protection of the laws;
2. the ideal that government is constrained by and subject to the laws;
3. the role of cours in constitusional government.
Pada hakikatnya, kasus ini berada di ranah hukum administrasi,
yaitu kewajiban pemerintah untuk menyerahkan dokumen individu kepada
individu yang berhak. Dalam kasus ini upaya mandamus yang ditempuh
oleh Marbury yaitu meminta Madison menyerahkan surat penunjukan
sebagai justice of peace tidak banyak mendapat perhatian. Yang justru
menjadi landmark adalah tindakan the Supreme Court of the United State
melakukan pengujian yudisial konstitusionalitas the judiciary Act of 1801.
Persoalan ini sangat penting karena Art. III of the Constitution of the United
State tidak secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Suprame Court
of the United State untuk dapat melakukan pengujian yudisial
konstitusionalitas undang – undang.
Chief justice Marshall adalah aktor intelektual di balik putusan kasus
Marbury vs Madison. Asas yang menjadi pegangan Marshall dalam kasus
ini untuk memberikan otorisasi bagi pelaksanaan pengujian yudisial
konstitusionalitas undang – undang adalah rule of law bahwa “government
must operate by, and be subject to, the ideals of the rule of law”. Sehingga,
a fortiori, dalam kewenangan badan yudisial untuk menerapkan dan
menyatakan dan menafsirkan hukum sekaligus inheren kewenangan untuk
menyatakan tidak sah tindakan pemerintah yang melampaui
kewenangannya maupun membatalkan legislasi atau regulasi yang tidak sah
43
atau bertentangan dengan hukum supaya konsisten dengan asas the rule of
law. 70
Selain kasus Marbury vs Madison, ada hal yang menarik untuk
diteliti lebih jauh adalah bagaimana kelsen sampai tiba pada gagasan
membentuk mahkamah konstitusi sebagai organ khusus di luar sistem
peradilan bisa menegakkan kaidah atau norma konstitusi. Dari sini dapat
diturunkan dua proposisi, yaitu bahwa kaidah atau norma konstitusi itu
harus ditaati atau benar – benar dilaksanakan dalam praktik dan bahwa
untuk menjamin ketaatan terhadap norma konstitusi itu perlu dibentuk organ
tersendiri berupa pengadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang terpisah
dari sistem peradilan biasa. Untuk memahami argumentasi di balik kedua
proposisi tersebut dibutuhkan pemahaman terhadap konsep – konsep atau
pengertian – pengertian yang melandasinya. 71
Menurut Kelsen, konstitusi suatu negara yang lazimnya
digolongkan sebagai hukum fundamental negara itu, adalah landasan tertib
hukum atau tata hukum nasional. Konstitusi dapat dipahami dalam dua arti,
yaitu konstitusi dalam arti formal dan konstitusi dalam arti material. Dalam
arti formal, konstitusi adalah suatu dokumen khusus yang khidmat, suatu
perangkat norma hukum yang hanya dapat diubah dengan mematuhi
sejumlah persyaratan atau keharusan khusus (special precriptions) , dengan
tujuan agar norma – norma itu menjadi lebih sulit untuk diubah. Sedangkan
dalam arti material, konstitusi adalah berupa aturan – aturan yang mengatur
pembentukan undang – undang (statutes). 72
Perdebatan tentang judicial review di Indonesia telah dimulai sejak
awal berdirinya negara Republik Indonesia ketika Soepomo dan
Mohammad Yamin memperbincangkan rancangan konstitusi Republik
70 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sang Penjaga HAM (the
Guardian of Human Rights) (Bandung :PT. Alumni 2013), h. 65 – 66
71 Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant) upaya hukum
terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga negara, (Jakarta: Sinar Grafika 2013), h. 193
72 Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant) upaya hukum
terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga negara, ... h. 204
44
Indonesia.73 Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi di Indonesia
diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada tahun
2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal
24C, dan Pasal 7B Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI tahun 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung melaksanakan fungsi dari Mahkamah Konstitusi untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Perubahan
Keempat.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kemudian membuat
rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah
melalui pembahasan mendalam, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah
menyetujui secara bersama Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh presiden
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003,
presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik
hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan
pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003.74
B. Kedudukan
Pasal 24 C ini merupakan penjabaran dari Pasal 24 ayat (2) yang
juga telah mengalami perubahan. Dengan adanya Pasal 24 ayat (2) tersebut
maka terjadilah perubahan yang cukup penting dalam susunan kekuasaan
73 Sri Sumantri, Hukum Uji Matriel, (Bandung : Alumni 1997), h. 71-72.
74 Bambang Sutiyoso,Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Desember 2010), h. 27-28
45
kehakiman di Indonesia. Pada mulanya Indonesia hanya dikenal sebuah
Mahkamah Agung dan lain – lain badan kekuasaan kehakiman yang
menurut Undang – Undang Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI tahun 1945
sebelum perubahan. Setelah perubahan UUD NRI tahun 1945, selain sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya, kekuasaan
kehakiman juga dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi hubungannya bersifat Horizontal Fungsional, yang
artinya tidak saling mensubordinasikan tetapi masing – masing mempunyai
kompetensi secara mandiri, namun tetap dalam fungsi besarnya, yaitu
kekuasaan kehakiman atau judicial power.
Mahkamah konstitusi merupakan lembaga independen negara
kekuasaan kehakiman yang sudah menjelma dalam sistem hukum
ketatanegaraan Indonesia berwenang untuk menguji undang – undang
terhadapa UUD NRI tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan
hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan
Wakil Presiden telah melakukam pelanggaran hukum. Mahkamah
Konstitusi harus menjalankan fungsinya sebagai kekuasaan kehakiman
yang disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2), kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan Pasal 24 ayat (1). UUD NRI tahun 1945
perubahan dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka (bahasa yang digunakan oleh Penjelasan UUD
NRI tahun 1945, yang kemudian dinormatifkan dalam perubahan UUD NRI
tahun 1945) dari penyelenggara peradilan. 75
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga independen negara kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
75 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah
Konstitusi, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 5
46
Mahkamah konstitusi berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia. 76
C. Kewenangan
kewenangan Mahkamah Konstitusi berasal dari Undang - Undang
Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C Undang-
Undang Dasar 1945 dan dijabarkan dengan undang-undang nomor 8 tahun
2011 perubahan atas undang – undang nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk mengawal
konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menangani
perkara – perkara konstitusi/ketatanegaraan tertentu sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
berikut :77
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
Pengujian Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945
diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 Undang – Undang
Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Undang – Undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang – undang yang diundangkan
setelah perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan Oleh Undang – Undang Dasar;
Hal diatur di dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 Undang –
Undang Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini pemohon adalah
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang –
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
76 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah
Konstitusi, ... h. 11
77 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah
Konstitusi, ... h. 25 - 29
47
3. Memutus pembubaran partai politik;
Hal ini diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, Pemohonnya adalah pemerintah, sedangkan
termohonnya adalah partai politik yang dimohonkan untuk
dibubarkan; Alasan pembubaran adalah ideologi, asas, tujuan,
program, dan kegiatan parpol yang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, Jika permohonan dikabulkan, parpol
yang bersang kutan dibatalkan pendaftarannya sebagai badan hukum
pada pemerintah.
4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;
Hal ini diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 Undang -
Undang Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK Nomor :
04/PMK/2004 dan PMK Nomor : 05/ PMK/2004
5. Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Hal ini diatur dalam Pasal 80 sampai dengan 85 Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, dimana Pemohon adalah Dewan Perwakilan
Rakyat yang disetujui oleh 2/3 dari minimal 2/3 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna, alasan
impeachment adalah sebagai berikut :
a) presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum karena
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, dan melakukan perbuatan tercela, dan
b) presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat
berdasarkan UndangUndang Dasar 1945
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu bentuk judicial
control dalam rangka sistem check and balances diantara cabang – cabang
kekuasaan pemerintahan, yang mekanismenya didasarkan pada Undang –
Undang Dasar sebagai norma dasar. Dari kewenangan yang disebutkan
diatas terlihat bahwa sengketa yang diperkirakan dan diadili oleh
Mahkamah Konstitusi sangat banyak berkaitan dengan proses politik
48
sehingga sebagai demikian sesungguhnya merupakan perselisihan yang
sarat dengan politik sebagai salah satu karakteristik sengketa. Hal ini juga
akan mempunyai dampak pada pihak – pihak yang dapat menggerakkan
mekanisme Constitusional Control ini kebanyakan lembaga – lembaga
negara. Khusus pada judicial review Undang – Undang terhadap Undang –
Undang Dasar 1945, individu (perorangan) yang dirugikan hak – haknya
karena satu undang – undang yang dianggap bertentangan dengan UUD
NRI tahun 1945 sehingga dapat menggerakkan mekanisme Constitusional
Control yang ada pada Mahkamah Konstitusi. 78
D. Konsitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat dalam
Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945
Indonesia merupakan negara ke – 78 yang memiliki lembaga
pengadilan konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil
sebuah undang – undang. 79 Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara
berdasarkan Undang – undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang –
kurangnya dua alat bukti.
Diantara keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijumpai
beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan luas di
mata publik karena dinilai kontroversial. Putusan kontroversial terjadi
dalam perkara – perkara yang terkait dengan asas ultra petita, konstitusional
bersyarat dan inkonstitusional bersyarat.
1. Ultra Petita
Ultra Petita ini sebenarnya hanya dikenal dalam rezim hukum
perdata, artinya tidak berlaku pada rezim hukum tata negara dan juga
rezim hukum pidana. Beberapa keputusan dalam sidang pidana
78 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah
Konstitusi, ... h. 22
79 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta : Kencana
2011), h. 109
49
hukum kadang kala menjatuhkan keputusan hukuman pidana yang
lebih tinggi daripada tuntutan jaksa.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan di bidang
tata negara, tentu tidak terikat dengan asas ultra petita. Oleh karena
itu, wajar apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang
kadang kala melebihi dengan apa yang diminta (petitum) oleh
pemohon. Sebagai contoh putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengujian UU ketenaga-Listrikan, dan UU KKR (Putusan MK Nomor
006/PUU-IV/2006. Putusan selanjutnya adalah putusan MK Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang membatalkan UU BHP,
UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
2. Konstitusional Bersyarat
Konstitusionalitas Bersyarat dalam putusan MK adalah
putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak
bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan
kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk
memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan UU
yang sudah diuji tersebut. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau
ditafsirkan lain oleh lembaga negara yang melaksanakannya, maka
ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut dapat diajukan
untuk diuji kembali oleh MK.80
Istilah konstitusional besyarat pertama kali diperkenalkan
Mahamah Konstitusi dalam putusan perkara No.058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 dalam permohonan uji
materiil mengenai UU Sumberdaya Air (UU No. 7/2004). Namun
putusan bersyarat ini tidak disebut dalam amar putusan melainkan
disebut dipertimbangan atau pendapat mahkamah. Dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pemohon mendalilkan
80 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.8
50
Pasal 49 ayat (4) UU SDA bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI tahun 1945. Sebagaimana dinyatakan Pasal 49 ayat (1)
pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan.
Mahkamah berpendapat bahwa UU SDA telah cukup memberi
persyaratan bagi pengusahaan air untuk negara lain yang diberikan
oleh pemerintah pusat setelah mendapat rekomendasi daei pemerintah
daerah. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air
untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan
sendiri terpenuhi. Hal ini berbeda dengan putusan MK yang
belakangan, sebagaimana Putusan MK dalam perkara No. 4/PUU-
VII/2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)
hutuf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008. Bahkan dalam
Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Daftar Pemilih
Tetap (DPT), MK lebih maju lagi dengan memberikan persyaratan
baru (regeling) bagi pemilih dalam pemilu legislatif berupa KTP dan
Kartu Keluarga. Di sini Mahkaah Konstitusi telah menempatkan
posisi bukan lagi sebagai negatif legislator tetapi dapat dianggap telah
melakukan fungsinya sebagai positif legilator, putusan Mahkamah
Konstitusi berisi pengaturan (regeling). 81
Contoh putusan konstitusional bersyarat adalah Putusan
Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI tahun 1945.
Amar putusannya Mahkamah Konstitusi :
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
81 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 120
51
tetap Konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat
syarat domisili di Provinsi yang akan diwakili;82
Contoh putusan MK lainnya yang mengandung unsur
konstitusional bersyarat yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUUVIII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD
NRI tahun 1945 :
Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran
Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai
“masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya
masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode
bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang
bersangkutan.83
Kutipan amar putusan tersebut, dapat diketahui bahwa putusan
tersebut adalah konstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi
memberikan syarat atau ketentuan dalam putusannya agar sebuah
undang-undang yang diputus demikian menjadi konstitusional
sehingga hal tersebut dapat dikatakan telah ada sebuah norma baru
dalam undang-undang yang sedang diputus tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi memberi tafsir (petunjuk, arah,
dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru) yang dapat
diklasifikasi sebagai putusan konstitusional bersyarat (conditionally
82 Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008.
83 Lihat Salinan Putusan Nomor Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.
52
constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional). Apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undang-undang tetap
konstitusional, namun apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya tidak terpenuhi maka suatu norma
hukum atau undang – undang menjadi inkonstitusional sehingga harus
dinyatakan bertentangan dengan Undang – Undang Dasar dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.84
Bertitik tolak pada beberapa kajian putusan MK di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perkembangan hukum
ketatanegaraan di Indonesia. MK nampaknya menyadari benar bahwa
ia tidak boleh hanya terpaku pada bunyi formal ketentuan peraturan
perundang – undangan, namun ingin melihat dari sisi keadilan
subtantif, maka MK lebih memposisikan dirinya sebagai penjaga
konstitusi dan demokrasi sebagaimana yang diamanatkan konstitusi,
sebagai penafsir konstitusi, MK dapat saja memberi catatan – catatan
penting pada suatu UU sebagai tafsir norma hukum agar sesuai
dengan jiwa konstitusi. 85
3. Inkonstitusional Bersyarat
Hampir sama halnya dengan putusan konstitusional bersyarat
yang menetapkan adanya syarat agar suatu pasal dalam undang-
undang yang bersangkutan agar menjadi konstitusional, putusan tidak
konstitusional bersyarat merupakan putusan yang menyatakan
permohonan yang diajukan dikabulkan dengan catatan bahwa norma
yang bersangkutan dipandang inkonstitusional karena alasan tertentu.
84 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Ekseistensi dan karakteristik Putusan
Bersyarat Mahkamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi Volume 13 nomor 2 Juni 2016), h. 352
85 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 124
53
Jika tidak demikian, maka norma yang bersangkutan dipandang masih
konstitusional. 86
Contoh Putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) adalah Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal
pengujian Undang-Undang nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terhadap UUD NRI tahun 1945. Berikut adalah kutipan amar putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4288) adalah bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945
sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di Wilayah domisili hukumnya” tidak
dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-
Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini
diucapkan”.87
Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusannya tidak
jarang menyatakan menghapus ketentuan pada bagian anak kalimat
sebuah pasal dalam undang-undang yang sedang diuji, hal ini
membawa konsekuensi pasal tersebut memiliki norma baru yang sama
sekali berbeda dengan norma sebelumnya, hal inilah yang menjadi
perdebatan ketika Mahkamah Konstitusi dianggap mulai memasuki
ranah positive legislator, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
menjadi kewenangan badan legislatif sesuai amanat UUD NRI tahun
1945.
86 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.9
87 Lihat Salinan Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009.
54
Contoh putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam amar
putusannya telah membuat atau menimbulkan norma baru, yaitu
Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
terhadap UUD NRI tahun 1945. Berikut kutipan amar Putusan
tersebut,
Menyatakan :
Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “…yang bertanggung jawab
kepada DPRD”
Pasal 66 ayat (3) huruf e “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan
tugas KPUD”
Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “…oleh DPRD”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.88
Putusan tersebut beberapa anak kalimat dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945, sehingga pasal-pasal
yang bersangkutan menimbulkan norma baru sebagai akibat atau
konsekuensi dari dihapusnya anak kalimat sebagaimana yang ada
dalam putusan.
88 Lihat Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004.
55
BAB IV
KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT PADA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 130/PUU-XIII/2015
A. Analisis dan Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14 Huruf b
dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta
Pasal 139 KUHAP
Permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 Huruf b dan Huruf i,
Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP
yang diajukan oleh Choky Risda Ramadhan, Carolus Borormeus Beatrix
Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto, menimbulkan sisi
konstitusionalitas pasal – pasal KUHAP tersebut diragukan dan dianggap
tidak sesuai dengan UUD NRI tahun 1945 sehingga perlu adanya judicial
review terhadap pasal – pasal tersebut.89
Untuk melihat sisi konstitusionalitas Pasal – Pasal yang dimohonkan
oleh pemohon, perlu lebih dahulu mengetahui substansi pasal – pasal
tersebut, kemudian dianalisis berdasarkan pasal – pasal dalam UUD NRI
tahun 1945 yang ditunjuk oleh pemohon. Pengkajian konstitusionalitas
terhadap pasal – pasal tersebut akan dilakukan tidak semata – mata dilihat
dari sisi pengertian muatan materi pasal – perpasal dalam UUD NRI tahun
1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat UUD NRI
tahun 1945 hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan
penjelasan Umum UUD NRI tahun 1945 ( Proklamasi) yang menyebutkan:
“... memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel)
suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal – pasal Undang
– Undang Dasarnya (loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus
menyelidiki juga bagaimana praktiknya dan bagaimana suasana
kebatiannya (geistlichen hintergrund) dari Undang – Undang
Dasar itu”.
89 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h. 5 -7
56
Tanpa menggunakan metode pendekatan ini, maka konstitusional
Pasal 14 Huruf b dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan
Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP tidak akan ada artinya, sulit untuk
dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal – pasal KUHAP tersebut,
sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. 90
1. Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP
Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 14
huruf b dan huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai
berikut :
(b) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
(i) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini.
Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa
Pasal 14 huruf b KUHAP prapenuntutan dirumuskan secara fakultatif,
dan bukan bersifat imperatif. Artinya, penggunaan kewenangan ini
dilakukan “apabila diperlukan”, dan tidak sebagai suatu kewajiban
yang “selalu” dilakukan penuntut umum. Sebenarnya hal ini merupakan
manifestasi dari penempatan sebagai wewenang dan bukan tugas atau
kewajiban. Kewenangan memang dari sananya bersifat demikian, yaotu
digunakan dimana perlu. Dengan demikian, dalil pemohon yang
menghendaki agar sifat fakultatif dari ketentuan tersebut dicaut, dan
menjadikan prapenuntutan sebagai suatu keharusan yang dilakukan
penuntut umum terhadap berkas perkara yang disampaikan penyidik,
justru telah keluar dari makna wewenang itu sendiri dan dianggap
permohonan ini sama sekali tidak berdasar.
90 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 124 - 125
57
Pelaksanaan pengawasan secara horizontal saat ini terwujud
dalam lembaga prapenuntutan yang menjadi sarana kordinasi penuntut
umum dengan penyidik. Akan tetapi, lembaga prapenuntutan terbukti
tidak efektif mencapai tujuannya menjadi sarana kordinasi fungsional,
sekaligus pengawasan penuntut umum atas kinerja penyidik. Hal ini
diantaranya diakibatkan oleh tidak maksimalnya pengaturan mengenai
prapenuntutan dalam norma positif KUHAP. Merujuk pada ketentuan
Pasal 14 b KUHAP, prapenuntutan hanya dilakukan “apabila ada
kekurangan pada penyidikan”, frasa ini menandakan prapenuntutan
seolah – olah bukan sebagai bagian integral dari sistem peradilan
terpadu dan bukanlah suatu keharusan.
Menurut pemohon, Pasal 14 huruf b KUHAP tidak
memposisikan penuntut umum untuk berperan secara aktif dari awal
tahapan penyidikan. Kondisi ini menyulitkan penuntut umum untuk
aktif menjaga nilai – nilai Due Process of Law dan mencegah terjadinya
suatu pelanggaran/kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
penyidik terhadap tersangka.
Pasal 14 huruf i KUHAP menurutnya sama sekali tidak
mempunyai kaitan dengan pra penuntutan. Ketentuan ini merupakan
pasal blanko yang disediakan untuk mengantisipasi kebutuhan praktek
penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Ketentuan yang sama juga
terdapat pengaturan kewenangan penyidik, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf j KUHAP. KUHAP tidak lagi menempatkan
penyidik sebagai hulp magistrat, melainkan berdiri secara horizontal
sejajar dengan penuntut umum, dengan tugas dan wewenang masing –
masing, sehingga ketentuan ini sama sekali tidak dimaksudkan seperti
apa yang didalilkan pemohon dan hal ini dianggap kekeliruan fatal. 91
91 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h.123-125
58
2. Konstitusionalitas Pasal 109 ayat (1) KUHAP
Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 109
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai berikut :
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Menurut Pemohon¸ Pelaksanaan tahapan prapenuntutan pada
KUHAP seharusnya sudah dimulai sejak penyerahan pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP) dari penyidik kepada penuntut umum.
Pengaturan akan pemberitahuan dimulainya penyidikan itu sendiri telah
terdapat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi, menurut
pemohon, faktanya norma pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut,
masih menyimpan 2 permasalahan besar, yaitu; (1) tidak adanya
penegasan bahwa pelaksanaan SPDP merupakan suatu kewajiban
dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan (2) tidak adanya kejelasan
kapan penyidik wajib memberitahu penuntut umum saat telah mulai
melakukan penyidikan. Ketidakjelasan ini tentu mengakibatkan
seringkali penanganan suatu perkara penuntut umum sama sekali tidak
terlibat karena tidak dikirim SPDP, atau SPDP baru dikirim bersamaan
dengan penyerahan berkas hasil penyidikan.
Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa
Pasal 109 ayat (1) KUHAP juga merupakan bagian dari mekanisme
kontrol horizontal penuntut umum terhadap penyidik. Dalam istilah
praktik, hal ini merupakan kewajiban penyidik menyampaikan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut
umum, sehingga dimulainya penyidikan, hal itu dalam pengendalian
penuntut umum. Dengan demikian menurutnya frasa segera artinya
pada kesempatan pertama ketika telah ada surat perintah penyidikan
(sprindik). 92
92 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.125-127
59
3. Konstitusionalitas Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP
Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 138
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai
berikut :
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam
waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum;
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,
penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak
tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan
kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 93
Pemohon berpendapat bahwa “ketidakjelasan dalam
prapenuntutan juga terkandung pada norma 138 ayat (1) dan (2)
KUHAP terkait frasa “dalam waktu tujuh hari” dan“dalam waktu
empat belas hari” yang tidak memberikan pemaknaan tegas terkait
berapa kali mekanisme pada pasal tersebut dapat dilakukan. Perumusan
norma Pasal 138 ayat (1) ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang tidak jelas
dan menimbulkan pemaknaan berbeda, mengakibatkan situasi bolak –
baliknya berkas diantara penyidik dan penuntut umum lebih dari satu
kali bahkan berulang kali tanpa batasan jelas. Praktik bolak – balik
berkas tanpa batas waktu pada akhirnya merengut hak atas kepastian
hukum warga negara yang tentunya bertentangan dengan pasal 28D
UUD NRI tahun 1945. Oleh karenanya, Pasal 138 ayat (1) dan (2)
KUHAP seharusnya dimaknai hanya satu kali bolak – balik berkas
perkara, setelah satu kali bolak – balik maka penuntut umum harus
93 Andi Hamzah, KUHP dan KHUAP, (Jakarta : Rieke Cipta, 2016), h. 286
60
mengambil sikap tegas dengan menerima berkas perkara tersebut dari
penyidik”94
Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa
pada dasarnya jika dipahami secara tepat Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
tidak ada norma yang tidak memberikan kejelasan tentang berapa kali
berkas perkara dapat bolak – balik dari penyidik kepada penuntut umum
dan begitu sebaliknya. Namun cukup jelas bahwa yang ditetapkan oleh
penuntut umum sebagai berkas perkara yang memenuhi persyaratan
untuk dapat dilimpahkan atau tidak ke pengadilan adalah “berkas
perkara yang lengkap” jadi ukurannya adalah berkas perkara yang
lengkap itu. Mengingat penilaian itu menjadi kewenangan penuntut
umum, maka pada satu sisi, hal ini sangat tergantung dari pendirian
yang bersangkutan dalam kasus konkrit. Jadi persoalan ini, sama sekali
bukan permasalahan norma yang dapat diuji konstitusionalitasnya,
melainkan wilayah penerapan norma itu dalam alam kenyataan.
4. Konstitusionalitas Pasal 139 KUHAP
Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 139
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai berikut :
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali
hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera
menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan.
Setelah penuntut umum menerima berkas perkara sesuai Pasal
138 ayat (2) KUHAP, maka selanjutnya penuntut umum mempunyai
suatu kewenangan untuk menentukan “apakah berkas perkara
memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan” sesuai Pasal
139 KUHAP. Menurut pemohon “terdapat ketidakjelasan hukum dalam
pengaturan Pasal 139 KUHAP. Pasal tersebut tidak menjelaskan dan
94 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.127 - 130
61
menegaskan jangka waktu bagi penuntut umum dalam menentukan
sikap setelah menerima berkas perkara dari penyidik”.
Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa
berkas yang dinyatakan lengkap oleh penuntut umum ketika menjabat
itu “menerima” atau “menerima kembali” berkas itu dari penyidik,
cenderung harus ditafsirkan sebagai berikut :95
a. Penuntut umum yang “menerima” berkas dari penyidik
langsung menyatakan berkas tersebut lengkap;
b. Penuntut umum yang “menerima kembali” berkas perkara
itu dari penyidik setelah dilengkapi sesuai petunjuk yang
diberikan berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP. Dengan
demikian, berkas perkara hanya satu kali dapat dikembalikan
disertai petunjuk penuntut umum kepada penyidikm dan
setelah itu berdasarkan Pasal 139 junto Pasal 140 KUHAP
penuntut umum harus menentukan apakah akan melakukan
penuntutan dengan surat dakwaan dan melimpakhakn perkara
itu kepengadilan atau menghentikan penuntutan. Sehingga
menurutnya permohonan pemohon cukup beralasan untuk
dikabulkan. Dalam hal ini menafsirkan bolak – baliknya
berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum atau
sebaliknya, sebagai mana yang dimaksud Pasal 138 ayat (1)
dan ayat (2) junto Pasal 139 KUHAP “ hanya berlangsung satu
kali”
Berdasarkan hal – hal tersebut maka para pemohon mengajukan
permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1),
Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum
Acara Pidana dikarenakan ketentuan diatas pada dasarnya bertentangan
dengan Undang – Undang Dasar 1945.
95 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.127 – 130
62
B. Tafsiran Inkonstitusional Bersyarat yang pada Pasal 109 ayat (1)
KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015
Sesuai pembahasan di bab sebelumnya bahwa Konstitusional
Bersyarat maupun Inkonstitusional bersyarat merupakan putusan hakim
mahkamah konstitusi yang memberikan persyaratan tertentu terhadap pasal
Undang – Undang yang diujikan melalui penafsiran para hakim Mahkamah
Konstitusi.
Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang tentang Ketentuan –
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melaiknan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini
mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan
perundang – undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus
bertindak berdasarkan inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum, sekalipun peraturan perundangan – undangan tidak
dapat membantunya. Tindakan hakim ini disebut penemuan hukum96
Ketentuan Pasal 27 ayat (1) menyatakan juga bahwa hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilia- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga dapat diartikan
bahwa hakim merupakan perumus dam penggali dari nilai – nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan,
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.97
Menafsirkan undang – undang adalah kewajiban hukum dari hakim,
sekalipun menafsirkan merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada
96 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Bandung : PT. Alumni,
2008. h. 6 - 7
97 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 7
63
beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan
undang – undang itu. Logeman mengatakan bahwa “ hakim harus tunduk
pada kehendak pembuat undang – undang”. Dalam kehendak itu dapat
dibaca begitu saja dari kata – kata peraturan perundang – undangan hakim
harus mencarinya dalam sejarah kata – kata tersebut dalam sistem undang –
undang atau dalam arti kata – kata seperti yang dipakai dalam pergaulan
sehari – hari. Setiap tafsiran adalah tafisran yang dibatasi oleh kehendak
pembuat undang – undang. Karena itu pun, hakim tidak boleh menafsirkan
undang – undang secara sewenang – wenang. Menurut Polak cara
penafisran ditentukan oleh materi peraturan perundang – undangan yang
bersangkutan, tempat perkara diajukan, dan menurut zamannya. 98
Untuk mencapai kehendak dari pembuat undang – undang serta
dapat menjalankan undang – undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim
menggunakan beberapa penafsiran, yaitu 99:
1. Menafsirkan undang – undang menurut arti perkataan (istilah
atau disebut penafsiran gramatikal
Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat
sekali. Bahasa merupakan alat satu – satunya yang dipakai pembuat
undang – undang untuk menyatakan kehendaknya, karena itu pembuat
undang – undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas
harus memilih kata – kata yang tepat. Kata – kata itu harus singkat,
jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya
pembuat undang – undang tidak mampu memakai kata – kata yang
tepat. Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud
yang lazim dipakai dalam percakapan sehari – hari, dan hakim dapat
menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan dari ahli
bahasa.
98 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 8-9
99 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 9-12
64
2. Menafsirkan undang – undang menurut sejarah atau penfasiran
historis
Setiap ketentuan perundang – undangan mempunyai
sejarahnya. Dari sejarah peraturan perundang – undangan hakim dapat
mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran
sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah dan sejarah penetapan
sesuatu ketentuan perundang – undangan.
3. Menafsirkan undang – undang menurut sistem yang ada di dalam
hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik
Perundang – undangan suatu negara merupakan kesatuan,
artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan
seolah – olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan perundang
– undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan
perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebut dapat
meyebabkan, kata – kata dalam undang – undang diberi pengertian
yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam
kaidah bahasa yang biasa. Hal ini yang pertama disebut penafsiran
meluas dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.
4. Menafsirkan undang – undang menurut cara tertentu sehingga
undang – undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan
sekrang yang ada di dalam masyarakat, atau biasa disebut
dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis
Setiap penafsiran undang – undang yang dimulai dengan
penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis.
Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan
keadaan yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu, setiap
peraturan hukum mempunyai tujuan sosial, yaitu membawa kepastian
hukum dalam pergaulan antara anggota masyarakat. Hakim wajib
mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila
hakim mencarinya, masuklah penafsiran sosiologis ahakim dapat
menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif
65
dari hukum (rechtpositivieit) dengan kenyataan hukum
(rechtwerkelikheid), sehingga penafsiran sosiologis atau teologis
menjadi sangat penting.
5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi
Adakalanya pembuat undang – undang itu sendiri memberikan
tafisran tentang arti suatu istilah yang digunakannya di dalam
perundanan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik
atau tafisran resmi. Di sini hakim tidak diperkenankan melakukan
penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan
pengertiannya di dalam undang – undang.
6. Penafsiran interdisifliner
Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis
masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini
digunakan logika lebih dari suatu cabang ilmu hukum. Misalnya
adanya keterkaitan asas- asas hukum dari suatu cabang ilmu hukum,
mislanya hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.
7. Penafsiran multidisipliner
Berbeda dengan panfsiran interdisipliner yang masih dalam
rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran
multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau
beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan kata lain,
di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain – lain
disiplin ilmu.
Pertimbangan hakim terhadap Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi “ Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum” menyatakan bahwa Pasal tersebut bertentangan
dengan UUD NRI tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah
dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah
dikeluarkannya Surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan
66
menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut
umum,”
Terhadap dalil permohonan para pemohon tersebut, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut : 100
a. Prapenuntutan sebagai mekanisme koordinasi penyidik dan jaksa
penuntut umum yang diwajibkan oleh KUHAP memang seringkali
mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik
tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu. Hal tersebut jelas
berimbas terhadap kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Hak –
hak korban/pelapor dan terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan
mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal tersebut berimbas pada
tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana
yang merugikan terlapor dan korban/pelapor dalam mencari kepastian
hukum secara tidak sesaui dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan yang ada dalam KUHAP.
b. Adanya keterlambatan mengirim SPDP dari penyidik kepada jaksa
penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan
pemberitahuan dimulai penyidikan itu harus disampaikan kepada
jaksa penuntut umum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum
terkait penanganan perkara tersebut. Menurut Mahkamah,
penampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban
penyidik untuk menyampaikan sejak dimulainya penyidikan,
sehingga proses penyidikan tersebut adalah berada dalam
pengendalian penuntut umum dan dalam pemantauan terlapor dan
korban/terlapor. Faktanya yang terjadi selama ini dalam hal
pemberian SPDP adalah kadangkala SPDP baru disampaikan setelah
penyidikan berlangsung lama, adanya alasan bahwa tertundanya
penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut
100 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h. 146
67
Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas
due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI tahun 1945.
Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh
penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan
ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional
terlapor dan korban/pelapor. Oleh karena itu penting bagi Mahkamah untuk
menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa
penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor.
Alasan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor
yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat
mempersiapkan bahan – bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk
penasehat hukum yang akan mendampinginya. Sedangkan bagi
korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan
keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan
atas laporannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut bersifat wajib adalah beralasan
menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya jaksa
penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan
korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, mahkamah
mempertimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang
cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.
Demikian dengan uraian pertimbangan tersebut Mahkamah berpendapat
permohonan para Pemohon tentang Pasal 109 ayat (1) KUHAP beralasan
menurut hukum untuk sebagian. Sehingga dapat kita simpulkan dengan
dikabulkannya permohonan para Pemohon tersebut dan hakim menafsirkan
bahwa sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah
dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah
dikeluarkannya Surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan
menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut
umum,” serta memberikan temuan hukum baru pada Pasal tersebut yaitu
68
batas pemberitahuan SPDP adalah paling lambat 7 (tujuh) hari, maka hal
tersebut termasuk Putusan Inkonstitusional Bersyarat yang mana Pasal 109
ayat (1) tersebut bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum dengan mensyaratkan sesuatu, frasanya sebagai
berikut : sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah
dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah
dikeluarkannya surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan
menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut
umum.”
Adanya penafsiran dan batasan waktu pemberitahuan SPDP tersebut
memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda,
seyogyanya undang – undang dapat dipahami dan tidak multi tafsir, agar
pelaksanaannya tidak merugihan hak – hak konstitusional masyarakat.
Putusan tersebut dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat constitutief
karena putusan tersebut menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Hal
ini selaras dengan pendapatnya Maruarar Siahaan bahwa “...pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah
Konstitusi, ketika putusan menyatakan suatu undang-undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat maka dapat dikatakan putusan tersebut bersifat constitutief.” 101
C. Implikasi Putusan Inkonstitusional Bersyarat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi 130/PUU-XIII/2015
Kelahiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan
perwujudan dan/atau realisasi dianutnya paham negara hukum sebagaimana
yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu, harus senantiasa memperhatikan, menghormati, menjaga dan
memelihara UUD NRI tahun 1945 itu sebagai sebuah negara yang
menganut paham konstitusionalitas. UUD NRI tahun 1945 itu merupakan
puncak tertinggi dalam struktur dan tata urutan peraturan perundang –
101 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 205
69
undangan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, setiap peraturan atau
undang – undang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang tidak boleh ada
yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. 102
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ada
permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 Huruf b dan Huruf i, Pasal 109
Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 139 Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
diajukan oleh Choky Risda Ramadhan, Carolus Borormeus Beatrix Tuah
Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal
11 Januari 2017, dalam amar putusannya menyatakan sebagai berikut : 103
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagaian;
2. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981
Hukum Acara Pidana ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209) bertentangan
dengan Undang – Undang Dasar 1945 secara bersyarat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengingat sepanjang frasa “penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai
“penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah
dimulainya penyidikam kepada penuntut umum, terlapor, dan
korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah
dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
102 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta : Focus Grahamedia, 2015), h.108
103 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h. 151
70
Dikabulkannya permohonan para Pemohon untuk sebagaian
tersebut maka terjadilah kontruksi hukum tentang penyerahan Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi 7 hari penyerahan SPDP
kepada para pihak setelah terbitnya surat perintah penyidikan, selain itupun
yang terpenting adalah pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap
jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban
atau pelapor.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan
pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK
hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan
inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan
(SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari
setelah terbitnya surat perintah penyidikan.
Sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkmah Konstitusi
Nomor 130/PUU-XIII/2015 bahwa Pasal 109 ayat (1) dinyatakan
bertentangan dan dalam pertimbangan hakim bahwa pasal tersebut
merupakan Putusan Inkonstitusional Bersyarat. Maka munculnya model
inkonstitusional bersyarat ini tidak dapat terlepas dari tidak efektifnya
putusan model konstitusional bersyarat karena kesalahan addressat putusan
MK dalam memamhami putusan model tersebut. Addresaat putusan MK
seringkali mengabaikan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan
yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar (ratio
decidendi) dikarenakan dalam amar putusan atau dictum dinyatakan
permohonan ditolak sehingga addressat putusan MK menganggap tidak ada
yang perlu ditindaklanjuti atau diimplementasikan.
Berdasarkan penelitian dan tertulisan dalam beberapa kajian buku,
sampai dengan pengucapan putusan tahun 2012 terdapat beberapa putusan
pengujian undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 yang dalam
amarnya memuat putusan inkonstitusional bersyarat, ditemukan sebanyak
31 putusan seperti dikemukakan di atas, lahirnya model putusan
71
inkonstitusional bersyarat didasarkan pengalaman tidak efektifnya putusan
konstitusional bersyarat sehingga secara karakteristik kedua model putusan
tersebut tidak ada perbedaan. 104
Putusan Inkonstitusional Bersyarat merupakan model terbalik dari
model putusan konstitusional bersyarat untuk mengabulkan permohonan
pengujian undang-undang. Baik konstitusional bersyarat maupun
inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang
secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu
norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung
adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang
secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak
bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat deklaratif putusan
tersebut merupakan pernyataan permulaan yang digantungkan kepada
pelaksanaan norma yang diuji ataupun pembuatan undang-undang yang
diuji di mana harus didasarkan pada tafsiran, arah, pedoman, dan rambu-
rambu yang diberikan MK. Jika syarat yang ditentukan MK dipenuhi maka
norma tersebut tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally
constituonal) meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi
(condionally unconstitutional). Dengan demikian secara karakteristik,
model putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat
secara substansial tidak berbeda.105
Putusan Konstitusional bersyarat dan Inkonstitusional bersyarat
dapat memberikan pintu masuk perumusan norma baru. Dalam amar
putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan persyaratan tertentu dan
bahkan Mahkamah Konstitusi dapat mengubah atau membuat baru bagian
104 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 10
105 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 11
72
tertentu dari isi suatu undang – undang yang diuji, sehingga norma dari
undang – undang itu juga berubah dari sebelumnya. Hal ini pun sama
kasusnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-
XIII/2015 yang memberikan norma baru terhadap Pasal 109 ayat 1 Undang
– Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dengan
mensyaratkan “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat
perintah dimulainya penyidikam kepada penuntut umum, terlapor, dan
korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah
dikeluarkannya surat perintah penyidikan”. Hal ini tentu merupakan
terobosan hukum sebagai norma baru yang muncul dalam Pasal 109 ayat
(1) dalam penyidikan yang mengubah tafsiran sebelumnya yang berbunyi,
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum”. 106
Dari frasa tersebut terdapat ketidakpastiaan hukum, dimana waktu
untuk memberitahukan dimulainya penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana dari penyidik kepada penuntut umum ini tidak
diatur dalam Pasal ini, sehingga banyak menimbulkan permasalahan hukum
dan mengakibatkan terlanggarnya hak – hak konstitusional waraga
Indonesia. Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon oleh
Mahkamah Konstitusi melalui tafsirannya ini diharapkan dapat mengisi
kekosongan hukum yang terjadi sehingga hak – hak konstitusionalitas
warga Indonesia terjamin.
Jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK dipenuhi, maka suatu
norma atau undang-undang tetap konstitusional sehingga dipertahankan
legalitasnya, sedangkan jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK tidak
dipenuhi maka suatu norma hukum atau undang-undang menjadi
inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI
tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
106 Andi Hamzah, KUHP dan KHUAP, (Jakarta : Rieke Cipta, 2016), h. 276
73
Menurut Mahfud M, “...Mahkamah Konstitusi boleh saja membuat
putusan yang tidak ada panduannnya di dalam hukum acara, bahkan secara
ekstrem bisa keluar dari undang-undang apabila undang-undang itu tidak
memberikan rasa keadilan”. Model putusan yang merumuskan norma baru
didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera
dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan
Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan
norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah
diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama
dalam penerapannya. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya kemudian merumuskan norma baru untuk mengatasi
inkonstitusionalitas penerapan norma tersebut. Rumusan norma baru
tersebut pada dasarnya bersifat sementara, nantinya norma baru tersebut
akan diambil-alih dalam pembentukan atau revisi undang - undang
terkait.107 Putusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang
memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap seluruh komponen
bangsa, sehingga semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan
tersebut. 108
107 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 13
108 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 4
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implikasi dari inkonstitusional bersyarat yang terdapat dalam putusan
Mahkmah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 adalah dinyatakan
nya pasal tersebut menjadi konstitusional namun dengan mensyaratkan
sesuatu berdasarkan penafsiran yang dibangun oleh Mahkamah
Konstitusi. Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional
bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum
tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan
tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya
penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat,
pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang
secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau
tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan
hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika syarat
yang ditentukan Mahkamah Konstitusi dipenuhi maka norma tersebut
tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally constituonal)
meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi (condionally
unconstitutional).
2. Permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1),
Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum
Acara Pidana menujukan bahwa konstituionalitas pasal – pasal tersebut
diragukan dan dianggap bertentangan dan tidak memiliki kekuatan
hukum. Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal
138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana, dapat dilihat dari subtansi pasal – pasal di atas. Karena
konstitusionalitas pasal dimaksud tidak hanya dilihat dari sisi
pengertian, muatan materi pasal – perpasal dalam UUD NRI
75
tahun 1945 melainkan juga dilihat dari sisi jiwa dan semangat
munculnya pasal – pasal tersebut Karena konstitusionalitas pasal
dimaksud tidak hanya dilihat dari sisi pengertian, muatan materi pasal
– perpasal dalam UUD NRI tahun 1945 melainkan juga dilihat dari sisi
historis, jiwa, semangat dan tujuan munculnya pasal – pasal tersebut.
3. Dikabulkannya permohonan Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut
memberikan temukan hukum baru, karena faktanya hakim berpendapat
Pasal tersebut inkonstitusional dengan mensyaratkan suatu ketentuan
berdasarkan penafsiran hukum. Dasar pertimbangan hakim adalah
tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntu
umum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak
konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Selain itu, adanya
keterlambatan mengirim SPDP dari penyidik kepada jaksa penuntut
umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan
dimulai penyidikan itu harus disampaikan kepada jaksa penuntut umum
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum.
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Para penegak hukum khususnya Mahkamah Konstitusi dalam memutus
suatu undang – undang bertentangan atau tidaknya terhadap UUD NRI
tahun 1945 harus melihat dari segala aspek tidak hanya melihat subtasni
yang diujikan.
2. Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang bebas terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah berhubung dengan hal itu harus
termaktub dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim, dan
memposisikan dirinya sebagai negative legislator bukan positif
legislator.
3. Dengan demikian, bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam
mengadili kepada peraturan perundang – undangan dan bebas untuk
menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut.
76
4. Sebagai masyarakat, kita harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan
hakim. Dan kita harus menjunjung tinggi adagium hukum interpretatio
cessat in claris yang berarti jika suatu teks atau redaksi Undang -
Undang telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan
lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata – kata yang jelas
sekali berarti penghancuran.
77
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Arifin Hoesein Zainal, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang - undangan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2009
Ali, Faried, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan
Menuju Redefinisi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, 2006
Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012),
Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan
Teknologi Informasi dan komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2013
Asshiddiqie Jimly, Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia
Baru, Kapita Selekta Teori Hukum, Jakarta, 2000
, Model- Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta, Kompress 2005
, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT
Bhuana ilmu populer, 2007
, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
Busroh Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 2001
Bhakti, Ardiswirastra Yudha, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Bandung : PT.
Alumni, 2008
Gede Palguna Dewa, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant)
upaya hukum terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga
negara, Jakarta: Sinar Grafika 2013
Hadjar, A. Fickar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003.
Hamzah Andi, KUHP dan KHUAP, Jakarta : Rieke Cipta, 2016
78
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Harjono. Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII-Press, 2002
Ibrahim, J Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: UMM Press, 2007
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Cet. II, 2006
Maggalatung, Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: Fajar Media, 2013
Maggalatung, Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta : Focus Grahamedia, 2015
, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta : Focus Grahamedia, 2012
Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive
Legislature Jakarta : Konstitusi Press, 2013
MD, Moh Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000,
MD, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Rildwan Zulkarnain, dalam Jurnal Konstitusi, Kompetensi Hakim Konstitusi
dalam penafsiran konstitusi Jakarta: MK, 2011,
Salman, H.R. Otje, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung : PT. Refika Aditama
2007
Slamet Kurnia Titon, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sang Penjaga
HAM ( the Guardian of Human Rights) PT. Alumni Bandung 2013
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Edisi I, Cet. XII, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Bandung: Alfabeta,
2014
Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Sudarsono. Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,1992
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,1997
79
Sumantri Sri, Hukum Uji Matriel, Bandung : Alumni, 1997
Sutiyoso Bambang, , Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7
Nomor 6, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta : Desember 2010
Susanto Agus, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada
Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, 2006
Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
Jakarta : Prenadamedia Group, 2013
Syahuri Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta :
Kencana 2011
Syahrizal Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,
Pradnya Paramita, Jakarta
Tim Penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Balai Pustaka Edisi kedua, 1991
Thaib Dahlan, Jazim Hami, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum
Konstitusi,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada 2004
B. JURNAL HUKUM
Isra Saldi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Agung, Jakarta: Jurnal Nasional, 2010
Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New
Democracies, diunduh pada 17 Februari 2017 dari
http://www.democracyreporting.org/files/dribp40_en_constitutional_re
view_in_new_ democracies_201309.pdf.
Maggalatung Salman, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara
Kekuasaan Otoriter, Jurnal Salam, 2015
Rahman, Faiz dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik
Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics
of Conditional Decision of The Constitutional Court diunduh 17
Februari 2018 dari https://media.neliti.com/media/publications/113807-
ID-eksistensi-dan-karakteristik-putusan-ber.pdf
Santoso M. Agus, Perkembangan Konstitusi di Indonesia, Jurnal Yustisia Vol.2
No.3 September - Desember 2013
80
C. SKRIPSI
Rahman, Faiz, Implikasi Putusan Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang
Terhadap Sifat Final Dan Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi,
Skripsi Tahun 2016 diunduh 19 Februari 2018
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93217/potongan/S1-2016-
328557-abstract.pdf
Yanita, Derita, berjudul, Implementas Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Studi Putusan
MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, Skripsi Tahun 2018 diunduh 19 Maret
2018 dari
http://digilib.unila.ac.id/30627/19/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20
PEMBAHASAN.pdf
D. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 130/PUU-XIII/2015 Tentang Uji
Materil Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang
– Undang Hukum Acara Pidana
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional
Daerah
Undang – Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya
Undang – Undang No 1 Tahun 1946 Republik Indonesia dan Mengubah
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Lembar Negara Nomor 1958
dan Tambahan Lembar Negara Nomor 1680
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76 dan Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor
3209
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan atas Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembar Negara
Republik Indonesia Nomor 70 Tambahan Lembar Negara Nomor 5226
81
LAMPIRAN – LAMPIRAN
PUTUSAN Nomor 130/PUU-XIII/2015
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh:
1. Nama : Choky Risda Ramadhan
Pekerjaan : Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)
Alamat : Pondok Surya Blok CC Nomor 9 Karang Tengah,
Tangerang, Banten.
2. Nama : Carolus Boromeus Beatrix Tuah Tennes
Pekerjaan : Aktivis Hak Asasi Manusia
Alamat : Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo Gang IV Nomor 45
Kelurahan Dadi Mulya Samarinda, Kalimantan Timur.
3. Nama : Usman Hamid
Pekerjaan : Aktivis Hak Asasi Manusia
Alamat : Jalan Bangun Jaya Blok C/18, Duren Sawit, RT.005/010
4. Nama : Andro Supriyanto
Pekerjaan : Musisi Jalanan
Alamat : Jalan Langgar, RT 01 RW 09 Gg Bahagia 5 Kelurahan
Cipadu, Kecamatan Larangan
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 25, 29, dan 30
September 2015 memberi kuasa kepada Alghiffari Aqsa, S.H., Johanes Gea, S.H., Muhamad Isnur, S.H., Nelson N. Simamora, S.H., Pratiwi Febry, S.H., Eny Rofiatul, S.H., Maruli Tua Rajagukguk, S.H., Atika Y. Paraswaty, S.H., M.H., Ichsan Zikry, S.H., Arif Maulana, S.H., M.H., Veronica Koman, S.H.,
SALINAN
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
152
dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 14.04 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams,
Manahan M.P Sitompul, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai
Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait.
KETUA,
ttd.
Arief Hidayat
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Suhartoyo
ttd.
Aswanto
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Wahiduddin Adams
ttd.
Manahan M.P Sitompul
ttd.
I Dewa Gede Palguna
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
BIOGRAFI SINGKAT PENELITI
Nana Supena, ia lahir di Ciamis pada 17 Oktober 1994.
Dia adalah mahasiswa Hukum Konsentrasi Kelembagaan
Negara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sayariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2014.
Dia aktif dalam berbagai organisasi kampus, salah satunya
adalah Lembaga Dakwah Kampus dan dia adalah Masulah
atau ketua Komisariat Dakwah Kampus Fakultas Syariah
dan Hukum Peiode 2016 – 2017. Dia pernah menjuarai Lomba Essai Nasional
bertema “Mencari Model Pendidikan Agama Islam Berbasis Nilai-Nilai
Keindonesiaan” bagi Mahasiswa se-Indonesia yang dilaksanakan oleh BEM
Jurusan Ilmu Agama Islam Universitas Negeri Jakarta bersama Persatuan Pewarta
Warga Indonesia dari tanggal 01 Juli s/d 25 September 2015. Tahun 2016, Essainya
yang berjudul specialty of women in family law (inheritance Matrileal Culture
System in Minangkabau, Indonesia), diterima oleh Intecess16 Internasional
Conference on Education and Social Science yang diselenggarakan di Istanbul
Turkey pada 08 – 10 Februari 2016. Tahun 2017, dia menjadi perwakilan Kuliah
Kerja Nyata Internasional Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta di Sabah
Malaysia dari tanggal 26 Juli – 28 Agustus 2017 Selain itu dia menghabiskan
waktunya mengabdi di sekolah MA Al-Islamiyah PUI sebagai Guru. Moto
hidupnya adalah “Do the best, be good, then you will be the best” “ lakukan yang
terbaik, bersikaplah yang baik maka kau akan menjadi orang yang terbaik”