kontribusi cut nyak dien dalam perang aceh ( 1873 …
TRANSCRIPT
KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH
( 1873-1908 )
Skripsi Diajukan Untuk
Disusun Oleh :
Firdaus Wahid
NIM : 1111022000057
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah dan Peradaban Islam
(S.Hum)
i
ABSTRAK
Judul : Kontribusi Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh 1873 - 1908
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan usaha
Cut Nyak Dien dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Aceh.
Selain itu skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peranan Cut Nyak Dien dalam
berjuang melawan Belanda yang mampu mempertahankan tanah Aceh dari usaha
penjajah untuk merebut daerah tersebut dari tangannya. Penulisan skripsi ini
menggunakan metode studi pustaka meliputi pengidentifikasian, penjelasan,
penguraian secara sistematis dari sumber-sumber buku yang mengandung
informasi yang berkaitan dengan materi skripsi. Langkah-langkah yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini terdiri atas dari pemilihan judul, heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penulisan skripsi ini menyimpulkan
bahwa semangat Cut Nyak Dien dalam berjuang melawan penjajah hingga titik
darah terakhir, bersama Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar suaminya ia
mampu membawa rakyat Aceh untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Hal itu tidak terlepas dari usaha suaminya yang menjadi pemimpin perang Aceh
dengan didampingi Cut Nyak Dien. Dengan demikian banyak peristiwa sejarah
perjuangan Cut Nyak Dien yang dapat difahami dan diketahui yang mempunyai
pengaruh besar bagi daerah Aceh di mana masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Kata kuncinya : Kontribusi, strategi, perjuangan dan kolonialis Belanda.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan Judul “Kontribusi Cut Nyak Dien
dalam Perang Aceh 1873- 1908”.
Terwujudnya Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun
pemikiran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
3. H. Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
4. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
banyak memberikan banyak nasihat, masukan, dan arahan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Solikhatus Sa’diah, M.Pd. Selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, yang telah sabar mengurusi semua administrasi yang
penulis butuhkan.
6. Drs. H. Azhar Saleh, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah dengan sabar mengajari dan membimbing penulis.
7. Alm. Ansori dan Ibu Hasnah S.Ag. selaku orang tua penulis. Terimakasih
atas motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.
8. Seluruh Dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Teman-teman seperjuangan Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2011
yang selalu memberi dukungan dan masukan kepada penulis.
iii
Semoga segala bantuan yang tidak ternilai ini mendapat keberkahan dari
Allah SWT, Amiin. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depannya. Amiin Ya
Rabbal ‘Alamiin.
Jakarta, 09 April 2018
Penulis,
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………….......3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………5
D. Tinjaun Literatur…………………………………………………..6
E. Kerangka Teori……………………………………………….........7
F. Metode Penelitian…………………………………………….........8
G. Sistematika Penulisan……………………………………….........10
BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK MASYARAKAT ACEH ABAD
XIX
A. Seputar Kerajaan Aceh………………………………...................12
B. Kondisi Politik Aceh…………………………………………......28
BAB III BIOGRAFI CUT NYAK DIEN
A. Leluhur Cut Nyak Dien……………………………………..........34
B. Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga............……………….........41
C. Kedatangan Belanda ke Aceh.............………………………......45
D. Ibrahim Lamnga Gugur di Medan Perang...............…………......47
E. Menikah dengan Teuku Umar.............……………………….......53
v
BAB IV CUT NYAK DIEN MELAWAN BELANDA
A. Membangun Mental Pejuang Aceh.............……………………...61
B. Penangkapan dan Pengasingan Cut Nyak Dien............……….....66
C. Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Perang Aceh.............………...69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................73
B. Saran.............………………………………………………..........75
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………….................76
LAMPIRAN…………………………………………………………..............…80
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran I Gambar Tokoh Cut Nyak Die................................80
2. Lampiran II Gambar Tokoh Teuku Umar..................................81
3. Lampiran III Gambar Kerajaan Aceh..........................................82
4. Lampiran IV Gambar Makam Cut Nyak Dien............................83
5. Lampiran V Gambar Penjaga Makam Cut Nyak Dien...............84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang Aceh merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Aceh sebagai salah satu taklukan terpenting.
Di saat sebagian besar kekuatan lokal di Nusantara telah jatuh ke tangan Pemerintah
Hindia Belanda, Aceh masih tetap tegar dan independen. Masyarakat di sana belum
mengenal adanya penjajahan asing. Boleh dikatakan upaya penaklukan Aceh adalah
salah satu tugas berat yang dilakukan Belanda.
Sampai dengan abad ke-19, kedudukan Kesultanan Aceh Darussalam masih
penting di tengah masyarakat Aceh. Di saat wilayah-wilayah lain telah berganti
kekuasaan, dari sebelumnya kekuatan politik lokal kemudian menjadi pemerintahan
Hindia Belanda, Kesultanan Aceh Darussalam masih tetap berdiri dan menjadi garda
terdepan dalam masalah keamanan dan ketertiban. Dukungan masyarakat masih penuh
kepada Sultan, sehingga tidak mudah bagi musuh untuk mempengaruhi masyarakat.
Perang Aceh yang berlangsung pada 1873, adalah puncak dari persinggungan
politik Pemerintah Hindia Belanda dan Aceh. Kedatangan kapal perang Belanda ke
pelabuhan Aceh mengindikasikan bahwa kedatangan Belanda seharusnya ditakuti
pihak Aceh karena mereka belum juga mengakui kekuasaan Belanda. Bukannya takut
dengan ancaman Belanda, pihak Aceh justru sudah menyiapkan pasukan yang siap
menghalau musuh di bibir pantai Ceurumin, Aceh. Para pasukan pribumi sudah siap
menyerahkan jiwa raga mereka untuk keselamatan tanah airnya.
Ekspedisi penaklukkan Aceh sudah disiapkan dengan matang oleh pihak
Belanda. Mereka tidak hanya membawa pasukan, namun juga persediaan senjata
dalam jumlah besar. Para kuli juga turut dibawa untuk membantu kerja pasukan di
lapangan. Selain senapan, meriam juga dianggap sebagai senjata penting dalam perang
2
menghadapi pasukan Aceh. Meriam yang dipasang di kapal-kapal Belanda
menembakkan peluru besar ke daratan untuk membuat panik pasukan Aceh. Serangan
ini dimaksudkan agar pasukan darat yang menaiki perahu ke daratan tidak terus
diganggu pasukan Aceh.
Begitu sampai di darat, pasukan Belanda segera mendapat serangan dari pihak
Aceh. Tidak semua pasukan Aceh pandai menggunakan senapan, selain pula karena
jumlahnya yang tidak banyak. Untuk itu, sebagian besar pasukan Aceh menggunakan
senjata-senjata tradisional yang umumnya digunakan dalam pertempuran jarak dekat
seperti rencong, pedang, lembing, tombak, dan klewang. Meskipun senjata Aceh kalah
modern dengan pihak lawan, bukan berarti mereka dapat dikalahkan seketika. Pasukan
Aceh berperang dengan brutal karena di balik itu, mereka menganggap perang mereka
sebagai jihad di jalan Allah atau dalam istilah lain dinamakan Perang Sabil.1
Banyak tokoh-tokoh perang Aceh yang menjadi pahlawan nasional Republik
Indonesia, namun hanya satu yang peneliti ingin ketahui lebih lanjut, ia adalah Cut
Nyak Dien. Di masa awal perang Aceh, Cut Nyak Dien belum ikut ke medan laga.
Menurut penuturan Szekely-Lulofs, dikatakan bahwa meskipun belum terlibat dalam
perang Aceh, sudah sejak sebelum kedatangan Belanda, Cut Nyak Dien sudah
membenci Belanda. Ketika ramai dibicarakan tentang kemungkinan Belanda
menyerang Aceh, Cut Nyak Dien sudah menunjukkan keinginannya agar suatu saat
dapat ikut serta bersama barisan perang Aceh menghalau tentara Belanda.2
Dalam perang Aceh, tokoh-tokoh wanita menempati posisi tersendiri. H.C.
Zetgraaf, seorang wartawan Belanda yang sempat mengikuti episode terakhir perang
Aceh, mengatakan bahwa wanita Aceh mempunyai kepribadian ganda. Dalam
keluarganya, mereka akan menunjukkan kelembutan kepada suami maupun anak-
anaknya. Namun, jika sudah berada di medan tempur, mereka bisa berubah layaknya
1 Ibrahim Alfian, Perang Sabil; Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 21.
2 M.H. Szekly-Lulofs, Cut Nyak Dien; Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu,
2010), hal. 61.
3
singa. Jika begitu, tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan wanita.
Mereka semua adalah prajurit yang patut diwaspadai.3
Cut Nyak Dien terlibat penuh dalam perang Aceh paska suami keduanya,
Teuku Umar, meninggal. Ia terlibat dalam aksi pengumpulan para pejuang Aceh,
khususnya dari kalangan pengikut Teuku Umar, yang sebelumnya tercerai berai.
Dengan dibantu oleh tangan kanan mendiang suaminya, Pang Laot, Cut Nyak Dien
melakukan perang gerilya di pelosok-pelosok Aceh. Meskipun perangnya tidak
melibatkan banyak pasukan, namun terbukti mampu menggoyahkan atau setidaknya
membuat Belanda khawatir bahwa di pedalaman Aceh masih ada sejumlah orang Aceh
yang masih meluncurkan perlawanan.
Skripsi ini akan menyorot ketokohan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh.
Penulis tertarik mengangkat ini karena penjelasan mengenai posisi Cut Nyak Dien
dalam perang besar ini masihlah terserak di mana-mana. Dari sejumlah buku yang
didapat, belum ada yang menjelaskan tindakan Cut Nyak Dien setelah ia memutuskan
berperang gerilya. Aspek kronologis sudah tentu akan ditekankan dalam tulisan ini,
karena penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian sejarah.
B. Pembatasan dan perumusan masalah
Penulis menggunakan kata “kontribusi” sebagai perwakilan maksud penulis
yang ingin mengetahui lebih jauh akan keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang
Aceh. Dalam kasus perang Aceh, tidak ada lagi perbedaan peran antara laki-laki
maupun perempuan. Mereka yang merasa mempunyai keinginan dan kesiapan boleh
bergabung dalam barisan pelawan Belanda. Alasan ini juga diperkuat oleh banyaknya
janda-janda yang suaminya meninggal di medan perang. Sebagian kaum istri ada yang
merasa bahwa keterlibatannya adalah wujud pengabdian kepada suaminya.4
3H.C. Zentgraaff, Aceh, Terj. Firdaus Burhan (Jakarta: Departemen P dan K, 1983), hal. 95-96.
4 Zentgraaff, Aceh …, hal. 95-96.
4
Oleh karena tema yang diangkat masih lebar, penulis memfokuskan pada
kajian mengenai keikutsertaan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh. Sebenarnya ada
beberapa nama wanita lain yang terjun ke perang ini, antara lain adalah Cut Nyak
Meutia, Teungku Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Alasan memilih Cut Nyak Dien
adalah bahwa sejak gadis, Cut Nyak Dien sudah terbiasa bersinggungan dengan
persiapan perang Aceh, sehingga telah tumbuh dalam hatinya untuk suatu ketika ia
akan bergabung dengan laskar Aceh. Keinginannya ini belum langsung terlaksana
karena dua suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar menahannya untuk
secara langsung terjun ke medan tempur.5
Aspek kurun yang penulis bicarakan mencakup akhir abad ke-19 hingga abad
ke-20. Dengan kata lain penulis akan memaparkan riwayat hidup Cut Nyak Dien
sebagai bentuk penyajian utama dalam tulisan ini. Oleh karena sejak belia ia sudah
bersentuhan dengan suasana persiapan perang, Penulis akan memulai dari titik ini. Di
samping itu, peristiwa-peristiwa besar lain yang berlangsung dalam perang Aceh juga
ikut disampaikan sebagai penghubung antara Cut Nyak Dien sebagai pribadi dengan
keadaan zamannya. Penekanan aspek kronologis dipahami pula sebagai penegasan
bahwa penelitian ini adalah penelitian sejarah.
Agar judul yang dibasa lebih terfokus, maka dirumuskan dua pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana cara Cut Nyak Dien mengumpulkan pasukannya?
2. Bagaimana bentuk perlawanan yang ditunjukkan Cut Nyak Dien terhadap
kedudukan Belanda?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan tugas akhir ini mempunyai tujuan antara lain:
5 Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 42 dan 130.
5
1. Mengetahui bagaimana Cut Nyak Dien mengumpulkan pasukannya saat
peristiwa perang Aceh berlangsung
2. Mengetahui bagaimana model perlawanan yang dilakukan Cut Nyak Dien
Selanjutnya, penelitian ini juga mempunyai beberapa manfaat yakni:
1. Menambah khazanah pengetahuan terkait keikutsertaan Cut Nyak Dien dalam
Perang Aceh
2. Menjadi inspirasi bagi lahirnya penelitian-penelitian atau karya-karya terkait
yang membahas tentang Cut Nyak Dien atau perang Aceh
3. Sebagai unsur pemenuhan meraih gelar sarjana dalam bidang sejarah
D. Tinjaun Literatur
Terdapat beberapa buku, laporan, atau catatan yang telah membahas Cut Nyak
Dien dalam perang Aceh. Salah satu buku penting yang banyak mengupas kehidupan
Cut Nyak Dien adalah suatu penceritaan tertulis yang ditulis oleh M.H. Szekly-Lulofs.
Penulis mendapatkan bukunya dengan judul Cut Nyak Dien Ratu Perang Aceh (terbit
2010). Buku ini adalah cetakan ulang dari buku serupa sebelumnya. Szekely-Lulofs
menekankan model bercerita yang romantis dan melankolis dari sosok Cut Nyak Dien,
hampir mendekati penulisan novel. Hal ini berbeda dengan maksud penulis yang ingin
mmebicarakan Cut Nyak Dien secara lebih kritis dalam konteks penelitian sejarah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1981 sampai 1982
menerbitkan banyak buku mengenai pahlawan daerah, Cut Nyak Dien merupakan
salah satunya. Buku ini lebih menekankan pembahasan perempuan Aceh ini dalam
konteks geografis. Di beberapa tempat masih ditemukan penilaian subyektif
penulisannya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari keadaan zaman saat buku ini
diterbitkan, yakni penulisan sejarah yang lebih banyak menyorot aksi patriotisme
berlatar aksi-aksi militer. Dengan kata lain, buku ini lebih banyak terfokus pada
aktivitas Cut Nyak Dien ketika ikut dalam perang Aceh. Buku ini menjadi salah satu
6
bahan bacaan penting dalam skripsi ini, namun sayang sekali penjelasannya belum
terlalu komprehensif. Hal ini tentu berbeda dengan maksud penulis yang ingin
menghadirkan sosok Cut Nyak Dien secara utuh dan menempatkan peristiwa Aceh
sebagai penyokong penjelasan mengenai asal-usul, keluarga atau Cut Nyak Dien
sendiri.6
Kemudian, buku lain yang membahas Cut Nyak Dien adalah tulisan M. Dien
Majid yang berjudul Catatan Pinggir Sejarah Aceh (terbit 2014). Buku ini berisi
beberapa kisah-kisah yang belum banyak tertulis dalam buku-buku mengenai perang
Aceh sebelumnya. Penulis buku ini memasukkan sumber arsip kolonial yakni catatan
perjalanan sekelompok pasukan Belanda dalam memburu pasukan Aceh. Hasilnya,
amat memuaskan, yakni suatu penceritaan yang mendetil. Sayang sekali, sumber
kolonial mengenai Cut Nyak Dien hanya disampaikan dalam halaman yang tidak
terlalu banyak, lebih sebagai pelengkap.7 Karya ini tentu saja berlainan dengan yang
akan ditulis dan berupaya menyorot kehidupan Cut Nyak Dien secara total dalam
perang Aceh, kemudian penelitian ini juga akan difokuskan hanya pada sosok Cut
Nyak Dien.
E. Kerangka Teori
Sebisa mungkin, penulis tidak hanya membatasi pembahasan hanya pada aspek
biografis, namun lebih menekankan pada Cut Nyak Dien sebagai agen dalam Perang
Aceh. Agen yang dimaksud adalah kondisi personal manusia dalam lingkungannya.
Tidak bisa dipungkiri, setiap manusia mempunyai tahapan yang berbeda baik dalam
konteks kekayaan, kepandaian, maupun keturunan. Faktor-faktor inilah yang banyak
menyokong seseorang menjadi pihak yang dihargai dalam kelompoknya.
6 Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1981-1982), hal. 45.
7 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh:diplomasi pergerakan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2014), hal. 269.
7
Penulis tertarik untuk memperbincangkan Cut Nyak Dien dalam bingkai
heroisme atau kepahlawanan. Kepahlawanan adalah suatu unsur yang membentuk
sejarah. Sejarah memang dibentuk oleh manusia, namun tidak semua manusia dapat
membuat sejarah. Di antara sekian banyak manusia terdapat segelintir orang yang
digelari great man, atau orang besar. Jumlah mereka tidak banyak, mungkin hanya
satu atau dua dalam suatu komunitas atau masyarakat. Namun, suara mereka begitu
didengar sampai dapat menggerakkan pikiran serta aktivita orang-orang sekitarnya dan
mereka mengikuti apa yang si agen perintahkan.
Thomas Carlyle menyorot lebih dalam tentang kepahlawanan. Ia menyebutkan
bahwa yang perlu diperhatikan dalam melihat orang besar adalah apa yang ia lakukan
semasa lalu. Perlu juga diperhatikan alasan mengapa orang-orang di sekitarnya begitu
memujanya (hero-worship). Dalam hal ini, hubungan antarmanusia yang ia lakukan
tentu menjadi penyebab mengapa ia begitu dihargai di tengah kelompoknya.8
Beberapa ciri tersebut akan penulis gunakan untuk menelisik ketokohan Cut Nyak
Dien dalam perang Aceh.
F. Metode Penelitian
Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan sebagai kelengkapan meneliti sejarah
perjuangan Cut Nyak Dien, yakni: heuristik (pengumpulan data), kritik
sumber,interpretasi, dan historiografi (penulisan sejarah).
Langkah pertama adalah pengumpulan sumber. Sumber penulisan sejarah Cut Nyak
Dien yang akan didapatkan umumnya berbentuk sumber tertulis. Hal ini juga sekaligus
menjadi ciri dari penelitian ini yang berhubungan dengan riset kepustakaan (library
research). Sumber mengenai penelitian ini banyak diperoleh dari Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
8 Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New York; Chelsea
House, 1983), hal. 1.
8
Terdapat dua macam sumber dalam penelitian sejarah, sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang diproduksi sezaman dengan
kurun tema skripisi ini. Jika Cut Nyak Dien hidup mulai dari abad ke-19 hingga awal
abad ke-20, maka sumber primer adalah sumber yang diproduksi pada rentang waktu
tersebut. Adapun sumber sekunder diproduksi setelah kurun waktu setelah peristiwa
yang dialami Cut Nyak Dien atau bisa juga diartikan sumber yang diproduksi sejak
beberapa waktu setelah Cut Nyak Dien meninggal dunia.
Sumber primer bisa berbentuk buku, laporan, transkrip wawancara, ataupun
keterangan lisan dari aktor-aktor yang ditulis dan diketahui secara langsung oleh
pihak-pihak yang bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami Cut Nyak
Dien. Karena orang yang mengetahui hal tersebut kemungkinan besar sudah tidak ada
lagi, maka sumber penelitian yang digunakan banyak mengarah ke sumber tertulis.
Sedangkan bentuk sumber sekunder tidak jauh berbeda dengan sumber primer dari
segi sumber tertulis, namun akan berbeda dengan sumber lisan. Yang dikatakan
sebagai sumber sekunder, yakni ketika kita mewawancarai seseorang yang tidak
berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang melingkupi Cut Nyak Dien.
Setelah mengumpulkan berbagai jenis sumber, maka langkah kedua adalah
kritik sumber. Dalam penelitian sejarah dikenal dua macam kritik sumber, yakni kritik
eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal berhubungan dengan otentisitas atau
originalitas suatu sumber sejarah. Beberapa aspek yang dapat diketahui adalah
menelisik kondisi fisik suatu sumber sejarah, mulai dari kertas, tanda tangan, cap,
bentuk tulisan, watermark (cap air), bentuk cetakan, dan lain-lain. Yang menjadi fokus
dari penelisikan itu adalah mengetahui apakah sumber ini benar diproduksi sekitar
masa Cut Nyak Dien hidup. Kemudian yang dimaksud dengan kritik internal adalah
berkaitan dengan informasi yang diterangkan dalam teks sumber. Adakah suatu
9
kemiripan dengan informasi dari sumber lain, atau justru terdapat perbedaan. Hal-hal
semacam itu termasuk dalam kritik internal.9
Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi bisa dimaknai sebagai
menafsirkan suatu informasi yang terkandung dalam sumber sejarah sesuai dengan
kaidah tertentu. Penafsiran haruslah sesuai dengan konteks zaman dan kurun dari tema
yang dipilih. Maksud dari interpretasi ini adalah memberikan kebebasan kepada
sejarawan ataupun peneliti sejarah untuk merekonstruksi suatu pristiwa sejarah sesuai
dengan bukti-bukti ataupun analisa-analisa yang ia miliki. Antara satu peneliti dengan
peneliti yang lain boleh jadi berbeda dalam menafsirkan suatu peristiwa atau informasi
sejarah.10
Langkah terakhir dari proses penelitian ini adalah penulisan laporan sejarah atau
historiogafi. Dalam hal ini, penulisan skripsi termasuk dari penulisan laporan
sejarah.11
G. Sistemasika Penulisan
Penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab yakni:
Bab pertama berisi pendahuluan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan literatur, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan
Sedangkan bab kedua akan menyorot masalah kondisi sosial politik di Aceh
menginjak abad ke-19. Beberapa hal yang bisa disampaikan di sini adalah mengenai
kondisi Kesultanan Aceh yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahannya,
kondisi sosialnya, kondisi ekonominya, serta bagaimana hubungan yang terjalin antara
9 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hal. 99-100; lihat juga
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hal. 98-99
dan 112. 10
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hal. 100. 11
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999)
hal. 91-93.
10
Sultan dengan penguasa bawahannya. Turut disampaikan pula mengenai uraian
kehidupan kampung Aceh dan daerah-daerah yang jauh dari ibukota Aceh
Darussalam.
Bab ketiga berisi biografi Cut Nyak Dien. Yang akan dibahas pada bab ini
antara lain mengenai keberadaan leluhur Cut Nyak Dien yang datang dari
Minangkabau kemudian memutuskan bermukim di Meulaboh. Turut diceritakan pula
mengenai bagaimana Cut Nyak Dien menghabiskan masa gadisnya hingga kemudian
menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar sepeninggal suami
pertamanya. Termasuk dalam bahasan bab ini adalah mengenai ketertarikan Cut Nyak
Dien untuk mempertahankan Aceh dari ancaman kolonialisme Belanda.
Selanjutnya bab keempat, menitiberatkan pada keterlibatan Cut Nyak Dien
dalam perang Aceh. Hal-hal yang dibahas antara lain mengenai bagaimana strategi Cut
Nyak Dien menghadapi Belanda, termasuk pula ketika Cut Nyak Dien memutuskan
bertahan di Aceh Tengah. Bagian ini juga ikut membahas peristiwa penangkapan Cut
Nyak Dien dan pembuangannya ke Sumedang.
Bab terakhir adalah bab penutup yang berisi kesimpulan.
11
BAB II
KONDISI SOSIAL POLITIK MASYARAKAT ACEH ABAD XIX
A. Seputar Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu Kerajaan besar yang berdiri
di Aceh. Hingga menyentuh abad ke-19, kerajaan ini masih mempunyai kharisma di
tengah masyarakat bawahannya. Ketika upaya kolonisasi Belanda berlangsung di
seantero wilayah Nusantara, Kerajaan Aceh masih belum terjamah orang Eropa
secara politik. Raja dan masyarakatnya masih hidup dalam kebebasan. Mereka masih
menjalankan aktivitas mereka sehari-hari tanpa gangguang orang Belanda.
Kerajaan Aceh terbagi dalam tiga bagian; daerah inti, daerah pokok dan
daerah takluk. Daerah inti mencakup wilayah tempat lokasi berdirinya bangunan
kerajaan yang kemudian menjadi ibukota Kerajaan, ditambah dengan beberapa
wilayah di dekatnya. 12
Daerah ini terdiri dari wilayah-wilayah yang termasuk Aceh
Besar. Sedangkan daerah pokok adalah wilayah-wilayah yang diduduki sejak
berdirinya Kerajaan Aceh. Daerah ini, pada perkembangannya, menggabungkan diri
dengan daerah inti, sehingga membentuk kerajaan Aceh yang lebih kokoh. Beberapa
daerah ini antara lain seperti: Pidie, Samudra, Pasai, Perlak, Tamiang, Gayo, Alas,
Daerah Barat (Meulaboh), Singkel, Teuruemon dan Barus.
Sedangkan yang dimaksud daerah takluk adalah kerajaan-kerajaan yang sudah
menyatakan ketundukkannya di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh. Kerajaan atau
daerah ini tetap menjadi daerah yang merdeka, hanya saja dalam beberapa persoalan
harus mengikuti perintah dari Kerajaan Aceh, misalnya di bidang ekonomi dan
hubungan luar negeri. Antara daerah inti dengan daerah takluk belum pernah
mencapai suatu kesatuan, meskipun segala upaya telah ditempuh seperti
12
daerah kekuasaan adalah daerah Daya di Aceh Barat. Lihat Zakaria Ahmad, Sekitar
Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675 (Medan: Monora, 1972), hal. 85.
12
melangsungkan perkawinan antardaerah dan pemindahan penduduk. Daerah-daerah
takluk tersebut antara lain: kerajaan Aru, Deli, Siak, Asahan, Tanjung Balai, Rokan
Kampar, Palembang dan Jambi13
, Inderapura, Nias, Johor, Pahang dan Pariaman. 14
Susunan pemerintahan Kerajaan Aceh, terentang dari kesatuan wilayah
terkecil hingga terbesar. Urutannya adalah: gampong (kampung), mukim (kumpulan
gampong-gampong), nanggroe atau sagoe (negeri dan sagi), yakni kumpulan
beberapa mukim serta daerah-daerah yang langsung di bawah pemerintahan
kesultanan yang disebut bibeueh.
Berikut adalah penjelasan masing-masing wilayah administratif tersebut:
1. Gampong (kampung)
Gampong merupakan wilayah administrasi terkecil dalam pemerintahan Kerajaan
Aceh. Gampong juga merupakan bagian dari suatu kota atau bandar.15
Model
pemerintahan gampong mempunyai kemiripan dengan desa di Jawa, dusun di
Sumatera Selatan, huta di Batak dan kampung di daerah-daerah Melayu lainnya.
Proses terbentuknya gampong tidak jauh berbeda dengan wilayah serupa yang ada di
bagian Indonesia lainnya.
Gampong terbentuk dari perpindahan penduduk dari tempat yang padat ke
tempat yang penduduknya masih sepi atau kosong. Dalam masyarakat Aceh dikenal
istilah seunebok. Istilah ini berhubungan dengan keberadaan suatu wilayah baru yang
baru dibuka oleh suatu kumpulan manusia yang berasal dari kampung-kampung yang
13
Dalam Beberapa hal tunduk pada Kerajaan Aceh. 14
D. G. E. Hall, A. History of South East Asia (London: Macmillan & co Ltd, 1960), hal. 257;
Slamet Muljono, Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Tumbuhnya Negara-negara Islam di
Nusantara (Djakarta: Bhatara, 1968) hal. 271; Untuk menambah penjelasan lihat B. Schrieke,
Indonesian Sociological Studies, part 2 ( The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957), hal.
254; J. Khatiritamby Wells, “Acehnese Control over West Sumatra up to Treaty of Painan 1663,”
Journal of South East Asian History, vol. X, No. 3, December 1969, hal. 460. 15
Sutjipto Wirjosuparto, Sedjarah Indonesia, jilid 2 (t. tp: Indra, 1961); Th. W. Juynboll, The
Encyclopaedia of Islam, Vol. 1 (Leiden: E.J. Brill, 1960), hal. 740.
13
penduduknya sudah padat atau mereka terpaksa keluar kampung asalnya karena
beragam alasan.
Pola penyebaran penduduk di Aceh tidak jauh berbeda dengan yang
ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Wilayah-wilayah yang mempunyai
penduduk padat biasanya terletak di dataran rendah yang bertanah subur. Orang-
orang Aceh lebih tertarik untuk mendiami kawasan yang tidak jauh dari pantai.
Bagian pedalaman Aceh masih banyak yang berupa hutan rimba atau pegunungan
yang masih jarang ditinggali orang, kecuali beberapa wilayah seperti Takengon, Aceh
Tengah.16
Pemukiman orang Aceh berdiri secara berkelompok. Letak antara rumah satu
dengan yang lainnya saling berdekatan. Setiap gampong biasanya terdiri atas 50
sampai 100 rumah. Di sini merupakan pusat kehidupan manusia. Dari sini mereka
menyebar ke laut maupun ke hutan atau perbukitan guna mencari kebutuhan
hidupnya.
Bangunan rumah orang Aceh biasanya sama. Bangunan berbentuk rumah
panggung berbentuk bujur sangkar yang memanjang dari Timur ke Barat, pintu
dengan tangga selalu dibuat menghadap ke Utara dan Selatan. Bentuk rumah
semacam ini kemungkinan mengambil inspirasi dari kisah masuknya Islam ke Aceh
karena rumah ini selain menjadi tempat tinggal juga kerap dijadikan tempat
besembahyang, terutama bagi wanita.
Bentuk rumah orang Aceh menyerupai rumah panggung. Rumah ini didirikan
di atas tiang kayu atau bambu. Tinggi rumah di atas permukaan tanah berkisar 2,5
meter sampai dengan 3 meter. Tujuan dari ditinggikannya rumah ini adalah untuk
menghindari gangguang hewan buas dan banjir. Atap rumah biasanya terbuat dari
16
Pada Pekan Kebudayaan Aceh tahun 1971, Takengon dianugerahi gelar sebagai kota teladan.
14
daun-daun rumbia yang dianyam. Atap berbahan rumbia dapat bertahan hingga
mencapai 20 tahun.
Kehidupan gampong berlangsung secara rukun dan damai. Biasanya,
pernghuni rumah satu dengan yang lainnya masih berkerabat erat. Ini pula yang
menyebabkan rumah orang Aceh dibangun dengan berderet-deret. Jika diperhatikan
sepintas seperti bersatu, namun jika dipertegas terdapat dinding-dinding penghalang
satu rumah dengan rumah lainnya.
Rumah orang Aceh terbagi ke dalam beberapa rumah, yakni bagian depan,
bagian tengah dan bagian belakang. Ruang depan dan ruang tengah tidak memiliki
kamar, namun berupa satu ruang yang lapang. Ruang depan digunakan sebagai
tempat tidur anggota keluarga yang masih anak-anak dan remaja. Ruang ini juga
digunakan sebagai tempat tidur tamu. Dalam beberapa kesempatan seperti upacara
perkawinan dan kematian, ruang depan menjadi lokasi utamanya.
Letak ruang tengah agak tinggi di banding ruang depan dan ruang belakang.
Ruang ini merupakan inti dari bagian dalam rumah. Biasanya di ruang tengah
terdapat satu atau dua kamar yang digunakan untuk kepala keluarga. Barang pusaka
atau barang berharga lainnya tersimpan di kamar-kamar itu.17
Adapun ruang belakang
digunakan sebagai tempat memasak dan makan.
Dalam struktur gampong Aceh, terdapat tiga bagian penting yang perlu
dibahas lebih lanjut, antara lain:
a. Keucik
Di zaman dahulu, kepala kaum dipercaya menduduki kepala gampong. Di
tengah masyarakat ia biasa dipanggil panglima kaum atau keucik. Keucik merupakan
orang yang terpandang, tertua, dan disegani di antara penduduk gampong. Ia
17
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 1971), hal. 232-234.
15
bertindak sebagai pengatur pemerintahan sekaligus bertanggung jawab
mengupayakan kebaikan bagi wilayah pimpinannya.18
Ia menjadi pemimpin bagi
masyarakat dalam gampong-nya. Jabatan keucik biasanya berlaku turun temurun.
Meskipun begitu seorang yang bergelar keucik harus dengan sepengetahuan
uleebalang. Jika dalam pemerintahannya, seorang keucik melakukan kesalahan,
uleebalang bisa memecatnya.
Tugas utama seorang keucik adalah mengusahakan ketertiban, keamanan dan
penyelenggaraan ketentuan adat dalam gampong. Keucik adalah aktor penting yang
memotori persebaran kemakmuran dalam gampong. Ia akan menjadi hakim bagi
pihak yang bertikai. Ia menjadi penaggung jawab utama atas segala sesuatu yang
terjadi di gampong-nya. Kepercayaan dari uleebalang terhadap keucik adalah sesuatu
yang tidak bisa diabaikan. Seorang keucik harus bekerja mendahulukan orang banyak,
ketimbang kepentingan pribadi.19
Oleh karena pekerjaan seorang keucik mencakup banyak bidang, maka ini
berimbas pada pendapatan yang ia perolehnya. Sumber-sumber penghasilan keucik
antara lain dari:
1) Hak katib atau hak copeng, didapat setelah mengepalai upacara perkawinan.
Dari tugas ini keucik mendapatkan satu emas sebesar empat ringgit Aceh
2) Hak denda, walapun dalam ketentuan adat hasil denda termasuk hak
uleebalang, namun karena keucik ikut serta dalam proses penyelesaian
perkara denda itu, maka ia mendapatkan pula hadiah dari tugasnya itu
Umumnya, satu orang keucik memimpin satu gampong, namun pada prakteknya,
ditemukan satu keucik memimpin dua atau tiga gampong. Oleh sebab tugasnya yang
banyak dan beragam, seorang keucik diperkenankan menunjuk beberapa orang staf
18
Zaenuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Vol. 1 (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal.
314. 19
Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 314; Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan ..., hal.
238.
16
pembantunya atau yang dikenal dengan istilah waki. Waki terdiri atas beberapa pihak
antara lain teungku meunasah atau yang dikenal dengan sebutan imam rawatib dan
tuha peut yakni empat orang cerdik pandai. Staf-staf tersebut berperan seperti Badan
Pemerintah Harian (BPH).20
Adapun juru catat yang bertugas seperti sekretaris tidak
ada.21
b. Teungku Meunasah
Seorang yang pantas digelari teungku adalah orang yang menempati jabatan
keagamaan tertinggi atau orang yang mempunyai pemahaman hukum agama yang
mendalam. Setiap orang yang mempunyai kelebihan pemahaman agama berhak
menyandang gelar dan jabatan ini. Meskipun begitu, tidak mudah untuk menjadi
teungku meunasah. Ia diharuskan melewati ajang pemilihan yang diselenggarakan
oleh masyarakat. Jabatan ini tidak bisa diwariskan ke anak maupun cucu.
Teungku meunasah mendapat kebutuhan sehari-hari dari:
1) Pembagian sebagian zakat fitrah yang ditunaikan setiap Muslim pada bulan
Ramadhan
2) Sebagian zakat pertanian (padi) yang ditunaikan setelah masa panen.
Ketentuan zakat padi yang diterima oleh teungku meunasah sebesar 1/10
(sepersepuluh) dari zakat yang ditunaikan masyarakat
3) Hak copeng, yakni hadiah yang didapat setelah teungku meunasah
menikahkan pasangan pengantin yang penyelenggaraannya diserahkan
padanya. Hadiah ini sama besarnya dengan yang diterima oleh keucik
20
A. Hasjmi, Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 74. 21
Anonim, “Mededeelingen Betreffende de Atjehsche onderhoorigheden”, Bijdragen Tot De
Taal-Land-en Volkenkunde Van Nederlandsch Indie (BKI), LXVII, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff,
1913, hal. 412-413; selanjutnya hanya ditulis BKI.
17
4) Hak talkin, yakni hadiah yang didapat seusai teungku meunasah membacakan
talkin dalam suatu proses pemakaman.22
c. Tuha Peut (Empat Orang Cerdik Pandai)
Setiap gampong biasanya mempunyai sekumpulan orang-orang yang menjadi
para kaum tua di kampung itu. Di kalangan masyarakat Aceh, mereka dikenal pula
sebagai kaum cerdik pandai. Mereka bukan dipandang hanya dari segi umurnya yang
lanjut, namun juga pengalaman, pemahaman agama, serta kedalaman memahami adat
istiadat Aceh. Mereka dikenal dengan istilah Tuha Peut 23
(orang tua berjumlah
empat). Mereka juga merupakan wakil masyarakat dalam pemerintahan harian
gampong. Keberadaan mereka menempati peran sebagai penasehat keucik dan
teungku meunasah. Mereka turut dilibatkan dalam musyawarah kampung yang
membahas segala permasalahan sosial, seperti jalan rusak, pelaksanaan shalat Idul
Fitri atau Idul Adha, dan sebagainya. Keberadaan Tuha Peut menunjukkan dalam
struktur pemerintahan Aceh yang terkecil sekalipun sudah ada perwujudan
demokrasi, yakni pengakuan suara rakyat melalui para wakilnya.
2. Mukim
Mukim merupakan pemerintahan yang menempati wilayah yang lebih luas
dari gampong. Satu mukim terbentuk dari sekumpulan masyarakat yang tinggal di
gampong-gampong yang melaksanakan shalat Jumat dalam satu masjid. Mukim
merupakan kumpulan dari gampong-gampong. Kata mukim berasal dari bahasa Arab
muqimun yang artinya “menetap” atau “mendirikan”. Orang yang telah memiliki
rumah dan penghasilan yang tetap di suatu tempat dinamakan “orang yang telah
bermukim”.
22
A. Mukti Ali, An Introduction to the Government of Acheh’s Sultanate (Jogjakarta: Jajasan
Nida, 1970), hal. 13. 23
Snouck Hurgronje, De Atjehers, vol. 2 (Leiden: E.J. Brill, 1894), hal. 67; Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan ..., hal. 238.
18
Terbentuknya mukim tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal kedatangan Islam
di Aceh. Sejak abad ke-13, telah berdiri suatu kerajaan besar bernama Samudera
Pasai. Seorang penjelajah Arab bernama Ibnu Batuta pernah mengunjungi Aceh pada
tahun 1345. Saat itu, ia melihat bahwa orang Islam di Aceh menganut mazhab
Syafi’i. Diceritakan pula bahwa Sultan Aceh sering menyelenggarakan diskusi para
ulama yang membahas aneka persoalan hukum agama dan masyarakat. Pihak istana
Aceh juga menyelenggarakan pengajian al-Qur’an setiap hari Jumat. Setiap hari
Jumat, Sultan Aceh berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat dengan
berjalan kaki.24
Dari keterangan Ibnu Batuta di atas diketahui bahwa masyarakat Aceh yang
berasal dari gampong-gampong melaksanakan shalat Jumat secara bersama-sama.
Ketika shalat Jumat didirikan dalam suatu masjid, maka itu merupakan bukti bahwa
mukim sudah terbentuk.
Pada perkembangannya, untuk memudahkan orang-orang melaksanaan shalat
Jumat, dibangunlah masjid yang posisinya berada tidak jauh dari gampong satu
dengan yang lainnya. 25
Selain sebagai tempat shalat berjamaah, masjid juga
berfungsi sebagai tempat pengadilan, tempat para ahli fiqih menekuni dan membahas
pelajaran dan permasalahan fiqih, al-Qur’an dan Hadis. Masjid juga digunakan
sebagai benteng dalam keadaan perang.26
Ketika masjid didirikan pada suatu tempat,
maka pusat pemerintahan mukim berdiri. Kepala mukim bertugas sebagai pengurus
masalah agama dan pemerintahan.27
Ia menjadi pemimpin bagi para keucik-keucik.
24
Entri “Ibnu Batutta” dalam A. Miquel, The Encyclopaedia of Islam, New edition, vol. III (H-
IRAM) (Leiden: E. J. Brill, 1971), hal. 735; Kenneth W. Morgan, Islam Djalan Mutlak, jilid 2, terj.
Abusalamah SS (Jakarta: P.T. Pembangunan, 1963), hal. 119; Abubakar Atjeh, Sekitar Masuknya
Islam di Indonesia (Semarang: C.V. Ramadhani, 1971), hal. 46-47. 25
Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 26
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1964), hal. 42. 27
Zaenuddin Saleh, Sedjarah Indonesia, cet. III (Djakarta: Pustaka Dewata, 1952), hal. 170.
19
Pemerintahan tingkat mukim dikepalai oleh seseorang yang menyandang
sebutan imeum. 28
Kata imeum berasal dari bahasa Arab, imam, yang artinya orang
yang diikuti atau pemimpin. Di masa-masa awal pendirian mukim, seorang imeum
bertugas mengimami shalat lima waktu dan shalat Jumat. Dalam beberapa kasus
disebutkan bahwa imeum juga pernah terlibat persaingan politik dengan uleebalang,
bahkan tidak jarang seorang imeum kemudian diangkat menjadi uleebalang. Pada
akhirnya peristiwa semacam itu mendorong jabatan imeum menjadi seseorang yang
bertugas pula mengurusi masalah pemerintahan suatu wilayah. Adapun tugas
mengimami shalat kemudian diserahkan kepada petugas khusus yang ditunjuk
imeum.29
Jabatan imeum baru dikenal masyarakat Aceh sejak agama Islam masuk ke
Aceh. Namun hingga kini, penulis belum mendapat sumber yang tegas menjelaskan
sejak masa kerajaan atau pemerintahan raja siapa jabatan tersebut mulai sebagai
salah satu instansi dalam struktur pemerintahan Aceh.
Seorang imeum bertugas menjalankan pemerintahan mukim dengan dibantu
oleh para staf-stafnya. Ia juga bertindak sebagai koordinator para keucik yang berada
dalam cakupan wilayahnya.
Awalnya, seorang yang diserahi kedudukan imeum adalah orang yang
mengerti secara mendalam masalah dan hukum agama Islam. Namun, setelah jabatan
itu diserahkan kepada petugas khusus, maka jabatan imeum diduduki oleh kalangan
cerdik pandai.30
Jabatan imeum berlaku secara turun temurun.
Untuk diketahui, susunan pegawai masjid terdiri atas seorang imam yang
mengimami shalat berjamaah 5 waktu dan shalat Jumat, seorang khatib yang bertugas
28
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien, Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj. Abdul Muis
(Jakarta: tanpa penerbit, 1954), hal. 11. 29
Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 30
Iljas Sutan Pamenan, Rentjong Atjeh di Tangan Wanita, stencilan untuk kursus B 1 Sejarah
(Jakarta: tanpa penerbit, 1959), hal. 89.
20
memberikan khutbah dan seorang bilal atau muazzin (orang yang bertugas
mengumandangkan azan).31
Biasanya, penyebutan imeum dibarengi dengan tempat masjid di mana
lokasinya bertugas. Setiap mukim dipastikan mempunyai masjid. Beberapa masjid
yang bisa disebutkan antara lain:
a) Masjid Mukim XXII bertempat di Indrapura. Imeum-nya dipanggil Imeum
Indrapura;
b) Masjid Mukim XXV di Indrapurwa. Imeum-nya dipanggil Imeum
Indrapurwa;
c) Masjid Mukim XXVI di Indraputra. Imeum-nya dipanggil Imeum
Indraputra.
Di wilayah Pidie juga terdapat masjid yang telah ada sejak masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda yakni pada abad 17. Imeum-imeum selalu berada di atas para
kepala gampong atau keucik.32
3. Nanggroe dan Sagoe (Negeri dan Sagi)
Mukim bukanlah pemerintahan administrasi terbesar di Aceh. Di atas mukim
terdapat wilayah administrasi yang lebih luas, yang lebih dikenal dengan nanggroe.
Orang yang memegang kekuasaan atau suatu nanggroe disebut uleebalang.
Uleebalang yang ada di pemerintahan Aceh sama dengan ulubalang dalam bahasa
Sansekerta. Dalam bahasa Melayu, uleebalang disebut hulubalang yang artinya
kepala laskar. Berbeda dengan di Melayu, uleebalang di Aceh diberi wewenang
memerintah suatu wilayah sebagai kewajiban yang langsung diterima atau ditetapkan
oleh Sultan.
31
Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 89. 32
Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 87.
21
Dalam pemahaman sehari-hari di Aceh, uleebalang dapat diartikan juga
sebagai raja. Dalam wilayahnya, uleebalang juga berperan sebagai hakim dan
panglima perang. Dalam beberapa kasus ada pula uleebalang yang pernah berselisih
dengan Sultan. Dikisahkan ada pula uleebalang yang bertempur melawan Sultan
Aceh. Umumnya, seorang uleebalang merasa kedudukannya sama dengan Sultan
Aceh dalam urusan pengaturan daerah masing-masing. Namun untuk masalah
hubungan luar daerah yang menyangkut kepentingan bersama, wewenangnya tetap
ada di tangan Sultan Aceh. Dalam hal-hal tertentu, uleebalang perlu meminta
persetujuan Sultan Aceh ditandai dengan pembubuhan cap sembilan pada surat untuk
uleebalang.33
Wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah inti kerajaan Aceh menyandang
status sebagai wilayah yang bebas dan merdeka. Yang termasuk dalam status ini
seperti: penguasa pelabuhan, penguasa kebun dan raja-raja kecil lainnya. Mereka
memimpin lembaga atau wilayahnya sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Mereka mempunyai gelar yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang
menyandang gelar Sultan, Syahbandar dan lain-lain. Setelah pada suatu masa Sultan
Aceh menaklukkan wilayah-wilayah mereka, maka kedudukan dan tata cara
pemerintahan mereka disamakan dengan nanggroe. Hal berbeda diperuntukkan bagi
pemimpin Gayo dan Alas, mereka tidak menyandang gelar uleebalang, melainkan
disebut kejurun. Mereka semua masih mengakui kekuasaan Sultan Aceh atas negeri
mereka.34
Jabatan uleebalang hanya diperuntukkan bagi bangsawan. Hal ini dikarenakan
jabatan ini bersifat turun temurun. Dalam kesehariannya, seorang uleebalang lebih
33
Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 5. 34
Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441.
22
sering disebut teuku ampon. Keluarga uleebalang berikut keturunannya berhak
menyandang gelar teuku di depan namanya.35
Walaupun pada praktiknya kedudukan uleebalang bisa diwariskan secara
turun-temurun, namun merujuk kepada Adat Meukuta Alam, tetap harus
membutuhkan surat pengangkatan yang dicap oleh Sultan Aceh. Surat penetapan itu
berisi beberapa ketentuan, antara lain:
a. Sultan telah memberi jabatan uleebalang kepada pihak yang berkepentingan;
b. Uleebalang akan menjadi wakil Sultan dalam menjalankan tugas seperti
menerima wase (upeti), pengaturan perdagangan laut maupun darat
c. Uleebalang diharuskan memperhatikan pembangunan negerinya. Ia
bertanggungjawab membangun jalan, masjid, meunasah serta memperbaiki
fasilitas umum yang telah rusak.36
Sebagai bukti bahwa Sultan Aceh sudah memberikan kuasa atas uleebalang,
maka sang uleebalang akan mendapat surat Sultan Aceh yang dibubuhi materai
kerajaan atau cap halilintar.37
Setelah upacara pengangkatan uleebalang selesai,
biasanya akan diiringi dengan bunyi tembakan meriam sebanyak tujuh kali.
Wilayah pemerintahan uleebalang bersifat otonom (dipimpin berdasarkan
keinginannya sendiri tanpa ada ikut campur tangan penguasa lain). Ia bebas
memberlakukan kebijakan tanpa campur tangan Sultan Aceh. Wewenangnya meliputi
berbagai hal seperti melakukan pembangunan, membuka perkebunan, memperluas
persawahan, perikanan, perternakan, dan lain-lain yang bertujuan memakmurkan
rakyat dan negerinya. Rakyat diberi kebebasan membuka lahan sawah atau kebun.
35
Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 1 (Leiden: E.J. Brill, 1893), hal. 75. 36
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Daerah
Istimewa Atjeh, 1970), hal. 206-207. 37
L.W.C. Van den Berg, “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch Indie”, BKI, LIII,
s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1901, hal. 18.
23
Pada periode yang sudah ditentukan, lahan itu bisa menjadi milik pribadi dengan
syarat mengeluarkan sejumlah biaya yang sudah ditentukan uleebalang.38
Adapun tugas pokok uleebalang di antaranya:
a. Menjaga negeri;
b. Melaksanakan perintah Sultan untuk menangkap pihak-pihak yang telah
melanggar keputusan hukum atau adat;
c. Membentuk laskar (angkatan perang) yang dapat digunakan sewaktu
dibutuhkan dan sebagainya.39
Ketetapan satu ke-uleebalang-an adalah kumpulan dari mukim-mukim hanya
bertahan sampai dengan masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin
(memeritah 1641-1675). Meskipun begitu, kumpulan mukim-mukim (nanggroe)
tetap masih dugunakan, hanya namanya saja yang berubah, utamanya di sekitar
wilayah inti Kerajaan Aceh. Namanya berganti menjadi sagoe (sagi) atau kesagian.
Perubahan penyebutan nanggroe menjadi sagoe dilatarbelakangi oleh
peristiwa perebutan tahta kerajaan setelah habisnya masa pemerintahan Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam. Antara para pejabat dan keluarga kerajaan terjadi pertikaian
yang sulit diurai. Untuk mengatasi permasalahan itu, maka diangkatlah Ratu Nurul
Nakiatuddin (1675-1677) sebagai Sultanah atau Ratu Aceh. di masanyalah
diperkenalkan tiga orang pengurus wilayah inti Aceh yang dikenal sebagai tiga
panglima. Sejak saat itulah, menurut para sejarawan, tiga kesagian
terbentuk.40
Panglima Sagi bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Kedudukan
mereka sebelumnya dipegang oleh para uleebalang.
Setiap sagi terdiri atas beberapa mukim. Kumpulan dari mukim-mukim itu
diperintah oleh seseorang yang disebut panglima sagi atau panglima sagoe. Dalam
38
Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 415. 39
Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 334. 40
Moh. Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. 1 (Medan: Waspada, 1961) hal. 209.
24
sagi XXV terdapat IX mukim, VI Mukim, IV Mukim dan Meuraksa. Di sagi XXVI
terdiri dari IX mukim Tungkop, Mukim Siem, Mukim Kayoe Adang, Mukim Oleh
Karang dan Mukim Ateun. Demikian halnya dengan sagi XXII mempunyai wilayah
mukim-mukim tersendiri.41
Dari pembagian ini dapat diketahui bahwa nama sagi
ditentukan berdasarkan jumlah mukim yang berada di bawah tanggung jawab suatu
panglima sagi.
Terciptanya sistem kesagian membuat beberapa kalangan tertarik untuk
mengomentarinya. Thomas Braddel menyebutkan bahwa terciptanya tiga sagi sebagai
“kemajuan dari dalam” Istana Aceh (a proof of internal improvement). Bentuk
kemajuan ini bisa dilihat dari kemajuan konstitusional yang memayungi para
penglima sagi dalam menata dan memimpin mukim-mukim di bawahnya.42
Selanjutnya, disebutkan bahwa sebelum bangsa Eropa mengenal sistem demokrasi,
kesultanan Aceh sudah terlebih dahulu menerapkannya.
Van Langen mengatakan bahwa tujuan pembentukan tiga sagi adalah untuk
memperteguh posisi Sultan di mata para bangsawan dan orang besar Aceh. Ini
merupakan solusi karena di masa sebelum Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin,
kesultanan Aceh hampir terancam karena pertikaian antarkeluarga dan bangsawan
kerajaan.43
Di kemudian hari, jabatan panglima sagi dapat dijalankan dengan baik.
Seorang panglima sagi mendapat penghasilan sesuai dengan pekerjaannya. Beberapa
sumber penghidupannya antara lain dari:
a. Jiname44
sebanyak 500 ringgit perak yang didapat dari Sultan;
41
Eigen Haard, Album Atjeh, Uitgaven de Naamlooze Vennotschap, Amsterdam, 1898, hlm.
31; Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 42
Thomas Braddell, “On the History of Acheen”, The Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia (JIAEA), No. V, 1851, hal. 21. 43
Thomas Braddel “On the History ...”, hal. 22; Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hal. 209-211. 44
Uang penghargaan pada orang yang baru dilantik menjadi panglima sagi.
25
b. Uang denda dari bermacam-macam perkara hukum;
c. Sebagian dari harga penjualan sawah yang biasanya berjumlah 1/100 dari
harga sawah itu;
d. Sebagian dari peninggalan harta pusaka, biasanya berjumlah 10 %;
e. Uang pajak pasar yang diambil dari orang-orang yang menjajakan barang
dagangannya di pasar
f. Uang bea masuk yang diambil dari barang-barang orang asing sebanyak 5%.
sedangkan penduduk bumi hanya dikenakan 2.5 %.45
4. Daerah Kerajaan atau Kesultanan
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan Aceh terdapat beberapa
daerah yang langsung diperintah oleh Sultan. Daerah-daerah itu dikenal dengan
istilah daerah bibeueh (daerah bebas).
Daerah bibeuh mempunyai bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Ada
yang berbentuk nanggroe yang sebagian besar berlokasi di sekitar Aceh Besar, ada
pula yang berbentuk mukim atau gampong, namun untuk bentuk ini jumlahnya tidak
banyak. Adapun gampong-gampong yang termasuk langsung berada di bawah
kekuasaan Sultan, menurut Zainuddin, antara lain:
a. Gampong Kandang, tempat tinggal para hamba raja
b. Gampong Meureuduwati, tempat tinggal pegawai kerajaan
c. Gampong Jawa atau Gampong Kedah, tempat tinggal para saudagar asing
d. Gampong Pante Pirak Neusu, tempat tinggal para sipai atau tentara Sultan.46
45
A. Mukti Ali, An Introduction to The Government of Acheh’s Sultanate (Jogjakarta: Jajasan
Nida, 1970), hal. 17. 46
Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 331-332; Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 208.
26
Wilayah kediaman Sultan merupakan daerah yang paling istimewa di segenap
wilayah Aceh Darussalam. Sekitar daerah ini dibangun benteng dan istana. Selain
Sultan, pihak yang juga mendiami daerah ini adalah orang-orang asing, pegawai dan
lain-lain.
Pada perkembangannya, terdapat gampong yang dianggap berjasa kepada
Sultan. Gampong semacam ini ada yang mendapat anugerah dan penghormatan yakni
status wilayahnya ditetapkan menjadi wilayah di bawah pemerintahan Sultan.
Pusat dari seluruh pemerintahan Aceh berada di tangan Sultan atau Syah
Alam. Dilihat dari akar katanya, “sultan” berasal dari bahasa Arab “sulthanun” atau
“sulthan” yang artinya raja. Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan raja adalah orang yang mampu bertugas menyatukan kekuasaan tinggi,
menyatukan beragam lambang yang dianggap magis dan mistis, menyatukan
perlengkapan penyelenggaraaan pemerintahan kerajaan dan kekuasaan.47
Masyarakat
Aceh memanggil Sultan dengan gelar “Raja Aceh”.48
Sedangkan keturunannya
menggunakan gelar “Tuanku”.
Menurut Adat Meukuta Alam, syarat-syarat menjadi raja antara lain:
a. merdeka;
b. dewasa;
c. mengetahui hukum dan adat Aceh;
d. adil;
e. pandai memerintah dan berperang;
f. cerdas, sehingga masyarakat percaya bahwa rajanya mampu dan bijaksana
menjalankan hukum dan adat.49
47
Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisionil dan Kolonial, (Jogjakarta:
Fak. Sastra, Univ. Gadjah Mada, 1969), hal. 13. 48
Snouck Hurgronje, De Atjehers, Vol. I ..., hal. 125. 49
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 209.
27
Dalam tugas-tugas hariannya, Sultan dibantu oleh beberapa pegawai tinggi, di
antaranya adalah Qadi Malikul Adil yang mengepalai Mahkamah Hukum Islam. Ia
bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan beragama50
. Di
samping itu, ada Laksamana yang berkantor di Balai Laksamana. Orang yang diserahi
jabatan ini bertugas mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiliteran
atau ketentaraan, baik yang berlatar angkatan laut maupun angkatan darat. Di
samping itu, adapula jabatan Menteri Dirham yang mempunyai wewenang mengatur
keuangan. 51
Seluruh pejabat tinggi ini bertanggung jawab langsung kepada Sultan.
B. Kondisi Politik Aceh
Sekitar tahun 1870-an, menjelang pecahnya perang Aceh, tampuk kekuasaan
Aceh berada di tangan Sultan Mahmud Syah. Ia dibantu oleh seorang mangkubumi
(penasehat tinggi) bernama Habib Abdurrahman az-Zahir. Seorang mangkubumi
membawahi empat orang pejabat tinggi yang dikenal dengan menteri hari-hari.
Tugas mereka adalah memberikan pandangan serta nasehat kepada raja. Kedudukan
menteri hari-hari masih berada di bawah panglima sagi.52
Selain beberapa jabatan yang dibahas di atas, masih ada beberapa jabatan
yang bernaung di bawah kesultanan Aceh. Menginjak abad ke-19, jabatan-jabatan di
kerajaan Aceh itu hanyalah sekedar nama. Di masa ketika Cut Nyak Dien hidup,
wewenang pemerintahan tertinggi tidak lagi berada di tangan Sultan, melainkan di
tangan para panglima sagi yang menjadi pemimpin atas wilayahnya masing-masing.
Antara satu panglima dan panglima lain sering berselisih, bahkan tidak jarang
pertikaian mereka berujung pada perang saudara. Dampak dari pertengkaran sesama
50
A.K. Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600-1641, (disertasi), Cornell
University, 1962, hal. 87. 51
A.H. Hill, “Hikajat Radja-radja Pasai,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic
Society (JMBRAS), XXXIII, past 2, 1960, hal. 30. 52
C. van Vollenhoven, Het Adat Recht van Nederlandsch Indie, deel I (Leiden: tanpa penerbit,
1931), hal. 163.
28
pemimpin Aceh ikut membuka peluang bagi kekuatan di luar Aceh untuk datang dan
berpeluang menguasai Aceh.
Di masa Cut Nyak Dien, bisa dikatakan, kesultanan Aceh tidak lagi
mempunyai beragam keunggulan sebagaimana yang ditemukan pada abad ke-17.
Abad ke-19, adalah masa di mana kekuatan asing Eropa datang untuk menundukkan
Aceh. Ini merupakan suatu keadaan yang belum dijumpai di masa sebelumnya.
Meskipun demikian, Cut Nyak Dien, maupun masyarakat Aceh secara umum,
utamanya yang tinggal di pesisir Aceh sebelah utara, sudah memahami bahwa suatu
saat negeri mereka akan mendapat ancaman dari kekuatan kolonial Belanda yang di
masa itu yang sedang gencar menanamkan pengaruhnya di Nusantara. Untuk itu,
beberapa persiapan sudah mulai dilakukan.
Musuh yang ada di depan mata, ternyata tidak direspon secara serius oleh
beberapa gelintir elit kerajaan. Tidak jarang, di antara para pemuka masyarakat masih
dijumpai pertikaian yang mencederai wibawa kerajaan di mata masyarakatnya. Cut
Nyak Dien amat menyayangkan ayahnya, Teuku Nanta Setia, ketika pada satu ketika
ayahnya bergabung dengan segolongan pemimpin Aceh yang melancarkan kritik
kepada Habib Abdurrahman Az-Zahir, penasehat Sultan Aceh yang di kemudian hari
mengangkat diri sebagai penguasa pengganti Sultan Aceh terpilih, Sultan Alaiddin
Mahmud Syah yang ketika awal penobatannya, usianya masih belia.
Habib Abdurrahman Az-Zahir merupakan pendatang di Kesultanan Aceh. Di
awal kedatangannya, ia mengaku kepada Sultan dan segenap pejabat istana Aceh
bahwa kedatangannya adalah selaku utusan dari Sultan Turki untuk membantu
persiapan Aceh ketika suatu saat kerajaan ini akan berhadapan dengan pasukan
Belanda. Belakangan, sebagian pemimpin Aceh mulai tidak menyukai kehadiran
Habib Abdurrahman di istana yang menurut mereka dirinya giat melakukan
29
penanaman kekuasaan politik pribadi atas Kesultanan Aceh. Satu di antara pemimpin
Aceh yang tidak menyukai Habib Abdurrahman adalah ayah Cut Nyak Dien.
Teuku Nanta Setia dan beberapa pemimpin Aceh yang segagasan dengannya
memilih untuk mendukung Panglima Tibang. Panglima Tibang merupakan
syahbandar Aceh yang oleh golongan yang tidak menyukaianya, dianggap sebagai
pihak yang ingin menjual Kerajaan Aceh kepada Belanda. Cut Nyak Dien
menyayangkan mengapa pertikaian semacam ini terjadi.53
Beruntung, perbedaan cara
pandang politik yang menguat di antara pemimpin Aceh saat itu tidak sampai
berakhir dengan perang saudara.
Di lain kesempatan, ketimbang larut dalam pertikaian, para pemimpin Aceh
yang lain lebih memilih mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Belanda.
Beberapa dari mereka sibuk menempatkan pasukan di sejumlah kebun-kebun yang
hasilnya mempunyai nilai yang tinggi di pasar luar negeri. Mereka menyadari,
Belanda merupakan bangsa yang gemar sekali mencari sumber rempah-rempah atau
komoditas negeri-negeri Timur yang kemudian dikapalkan dan dipasarkan ke Eropa.
Hasil keuntungannya akan masuk ke kas Kerajaan Belanda dan sebagian dari itu akan
digunakan Belanda untuk melakukan penaklukan ke sejumlah wilayah di Nusantara.
Di abad 19, orang Aceh membagi wilayah Aceh ke dalam 4 wilayah, sebagaimana
yang diterangkan oleh James T. Siegel:54
The Atjehnese divide Atjeh into four region-Atjeh proper, Pidie, the East
(Timo), and the West (Barat). These division correspond the ecological
realities. Atjeh proper, the area in which the sultan had his capital, is at
53
Szekely Lulofs, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu, 2010),
hal. 52. 54
James T. Siegel, The Rope of God (Barkeley and Los Angeles: University of California
Press, 1969), hal.12-14.
30
the very tip of Sumatra. It is bisected lengthwise by the Atjeh River and
is flanked by mountains. In the narrow river valley people live chiefly by
growing rice, although some Atjehnese tend cattle on the mountain
slopes. The sultan’s capital was situated near the mouth of the river.
Pidie, on the coast to the east and south of Atjeh proper, was the site of
an independent kingdom until it was conquered by the sultan of Atjeh in
the sixteenth century. Pidie was the greatest rice-producing area of
Atjeh. Here, in abroad plain ringed by mountains and intersected by
three river flowing into the Strait of Malacca, is a very old (300 years?)
irrigation system. Pidie with an area of only 4,000 square kilometers,
was broken up into principalities which were nominally subject to the
sultan.
Most of the rest of Atjeh, the West and the East, was settled by people
from Pidie and Atjeh proper. These were the areas of the pepper
gardens, Atjeh’s most important product until the 1920s. Here the local
principalities ran perpendicular to the coast and had rivers for the axis
rather than being fragmented as Pidie was. In the East and the West, the
coasts tend to be either marshy or montainous, with few of fertile plain
areas that are found in Pidie. These regions were considerably less
populated than Pidie or the Atjeh River valley : according to the 1930
census, the rice areas of Pidie, for example, had 132 persons per square
kilometer, as opposed to approximately 35 persons per aquare
kilometerin the East (Dept. Van Economische Zaken, 1935: 156).
Generally, settlement follows the rim of Sumatra, penetrating inland
where river permit access. The mountains are mostly unpopulated
except around the great volcanic lake, Laut Tawar, where the Gajo live,
and the region to the south of them which is the home of the Alas people.
31
Artinya:
Orang Aceh membagi Aceh ke dalam empat bagian- Aceh yang
sebenarnya (Aceh pokok, sekarang masuk dalam Aceh Besar), Pidie,
bagian Timur (Timo) dan barat (Barat). Bagian-bagian ini mewakili
wawasan lingkungan setempat. Wilayah Aceh sebenarnya(Aceh Pokok),
yang di dalamnya terdapat ibukota Sultan, merupakan ujung dari
Sumatra. Di tengah Daerah ini mengalir sungai Aceh dan di kanan kiri
diapit oleh pegunungan. Di bagian sempit sisi lembah sungai, banyak
orang yang menanam padi. Orang Aceh lainnya juga ada yang beternak
di lereng pegunungan. Ibukota sultan terletak di hilir sungai tersebut.
Pidie, wilayah yang terhampar dari pesisir hingga ke arah timur dan
selatan daerah Aceh pokok, merupakan tempat berdirinya suatu kerajaan
independen, sampai dikuasainya kerajaan ini oleh Sultan Aceh pada
abad 16. Pidie merupakan wilayah penghasil beras terbesar di Aceh. Di
sini terdapat suatu dataran luas yang dikelilingi oleh pegunungan dan
dialiri oleh tiga aliran sungai yang bermuara di selat Malaka, yang
merupakan sistem irigasi tertua (berumur 300 tahun?). Pidie, yang
memiliki luas area seluas 4,000 km, kemudian terpecah menjadi
beberapa kerajaan kecil yang tunduk di bawah kekuasaan Sultan Aceh.
Kebanyakan dari wilayah pemukiman di Aceh, yakni terletak di Timur
dan Barat, ditempati oleh orang-orang dari Pidie dan Aceh Pokok.
Wilayah ini juga dikenal sebagai lokasi perkebunan rempah-rempah
terpenting Aceh hingga mendekati tahun 1920-an. Di sini banyak
dijumpai kerajaan-kerajaan kecil hingga sampai di pesisir. Di antara
mereka juga banyak yang menggunakan sungai sebagai perangkat
penting kekuasaannya. Hal yang sama juga banyak dijumpai di Pidie.
Di bagian Barat dan Timur wilayah ini, garis pantainya dipenuhi pula
32
dengan rawa-rawa dan pegunungan, di samping pula ada beberapa
tempat yang tanahnya subur, sama dengan yang ditemukan di Pidie.
Daerah ini memiliki tingkat penduduk terendah jika dibandingkan
dengan Pidie dan lembah sungai Aceh. Merujuk pada sensus 1930,
wilayah pertanian padi di Pidie, sebagai contoh, didiami oleh 132 orang
setiap kilometernya, sedangkan di Timur hanya didiami oleh sekitar 35
orang per kilometernya (data ini didapat dari Departemen Urusan
Ekonomi Kolonial Belanda). Secara umum, wilayah pemukiman berada
di areal pinggiran (pesisir) Sumatra. Kemudian, baru akan meluas jika
terdapat jalur sungai yang menuju ke pedalaman. Wilayah pegunungan
masih belum didiami manusia, kecuali di sekitar danau vulkanik, Laut
Tawar, tempat hidup masyarakat Gayo dan di sebelah selatannya
merupakan tempat tinggal penduduk Alas.
33
BAB III
BIOGRAFI CUT NYAK DIEN
A. Leluhur Cut Nyak Dien
Sebenarnya, Cut Nyak Dien bukanlah seseorang yang asli Aceh. Di dalam
tubuhnya mengalir darah Minangkabau yang berasal dari kakek buyutnya, Datuk
Makhdum Sati yang berasal dari Minangkabau. Kakeknya merupakan salah satu
pembangun awal pemukiman di Meulaboh. Sebelum kedatangannya, Meulaboh tidak
lebih dari tanah luas yang di atasnya tumbuh hutan belantara. Bersama dengan orang
Minangkabau yang menyertainya ditambah dengan penduduk sekitar hutan itu, Datuk
Makhdum Sati mulai membangun wilayah yang nantinya menjadi Meulaboh, sedikit
demi sedikit.
Meulaboh, tempat kelahiran Cut Nyak Dien, berasal dari kata “melaboh” yang
artinya berlabuh. Penamaan tempat ini tidak bisa dilepaskan dari cerita kedatangan
Datuk Makhdum Sati ke lokasi yang kemudian bernama Meulaboh. Diceritakan
bahwa sewaktu dekat dengan wilayah yang akan menjadi Meulaboh, Datuk
Makhdum Sati berkata sambil menunjuk suatu pesisir: “Disikolah kito melaboh”.
Kemudian, iring-iringan pendatang Minangkabau pun merapatkan kapal mereka di
tempat yang ditunjuk Datuk Makhdum Sati. Merujuk pada keterangan Hoesein
Djajadiningrat, “melaboh” berarti melempar jangkar.55
Sedangkan menurut Moh.
Zain, “laboh” berarti kapal yang menurunkan sauh pertanda akan berhenti.56
Penamaan Meulaboh yang berasal dari bahasa Minangkabau diperkuat oleh
fakta lain bahwa bahasa Aceh yang ada di Melaboh menggunakan dialek
Minangkabau. Untuk diketahui, tidak semua wilayah yang termasuk bawahan Sultan
Aceh atau wilayah yang menyatakan tunduk kepadanya berbahasa Aceh yang sama.
55
Hoesein Djajaningrat, Atjehsch Nederlansch Woordenboek, Vol. I ( Batavia: Landrukkerij,
1934) hlm. 848; lihat pula jilid II buku ini hal. 63. 56
St. Moh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Grafika, tanpa tahun) hal. 407.
34
Selain Meulaboh, masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat juga menggunakan
bahasa Aceh berlogat Minangkabau. Wilayah lain seperti Aceh Tamiang mempunyai
dialek lain, yakni dialek Melayu.57
Sudah menjadi kebiasaan orang Minangkabau, jikalau sampai pada usia yang
cukup, kaum laki-lakinya merantau ke wilayah lain. Datuk Makhdum Sati termasuk
pula yang demikian. Awalnya, ia mendengar bahwa di Aceh terdapat sungai yang
alirannya membawa emas dari pegunungan. Hal ini yang menjadi pendorong leluhur
Cut Nyak Dien ini untuk pergi ke Aceh. Keputusan ini juga diikuti oleh beberapa
orang Minangkabau lain yang juga tertarik ingin mendapat penghidupan yang baru di
Aceh. Menurut keterangan H.M. Zainuddin, beberapa nama orang Minangkabau yang
mencapai Meulaboh adalah:
1. Datuk Makhdum Sati dari Rawa;
2. Datuk Daya Agam dari Luhak Agam;
3. Datuk Raja Alam Song-song Buluh dari Sampur.
Datuk Makhdum Sati dan orang Minangkabau lainnya membuka lahan di
sekitar wilayah yang nantinya menjadi Meulaboh dengan giat. Ketika masa awal,
daerah ini belum bernama Meulaboh. Orang Minangkabau mulai membabat hutan
kemudian menggantinya dengan bercocok tanam dan berladang. Seiring berjalannya
waktu, wilayah ini menjadi maju pesat berkat hasil tanamannya. Masyarakat
pendatang di sana pun mulai menikmati hasilnya. Perlahan wilayah ini menjadi
sejahtera dan sejak saat itu wilayah ini dikenal sebagai Meulaboh.58
M.H. Szekely-Lulofs, seorang wanita Belanda yang pernah berjumpa dengan
Cut Nyak Dien, mengatakan bahwa Cut Nyak Dien merupakan keturunan orang
57
Entri “Atjeh” lihat Th. W. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam, Vol I (Leiden: E.J. Brill,
1960), hal. 740. 58
H. M. Zaenuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda,
1961), hal. 211.
35
Minangkabau yang bernama Datuk Makhdum Sati. Leluhurnya ini merantau ke Aceh
dan pernah berdiam di dekat sungai Woyla. Makhdum Sati mempunyai putra
bernama Nanta Cih. Setelah membangun rumah tangga, Nanta Cih mempunyai putra
bernama Nanta Setia. Nanta Setia inilah yang merupakan ayah Cut Nyak Dien.59
Hazil dalam bukunya Kenang-Kenangan Srikandi Tjut Nja Dien juga menegaskan
bahwa Cut Nyak Dien merupakan anak Teuku Nanta Setia.60
Sudah disinggung sedikit di paragraf sebelumnya bahwa kedatangan Makdum
Sati dan orang Minangkabau lainnya didorong oleh semangat mencari penghidupan
yang lebih layak. Menurut kisah yang beredar di Minangkabau, di Aceh mengalir
sungai-sungai yang mengandung serbuk-serbuk emas dari pegunungan. Kabarnya,
sungai-sungai itu terletak di wilayah pesisir hingga pegunungan sekitar Meulaboh
Timur.61
Ketika Makhdum Sati sampai di daerah yang akan menjadi Meulaboh,
penduduk asli di kawasan tersebut masih primitif dan menyembah berhala. Dalam
bahasa setempat, penduduk primitif ini dinamakan orang Mantir.
Dalam kepercayaan masyarakat Aceh, emas tidak hanya dianggap sebatas
logam mulia yang bernilai tinggi, melainkan juga sebagai benda yang mempunyai
kandungan spiritualitas tertentu. Orang Aceh sering menggunakan emas sebagai
benda gaib tempat datangnya suatu perlindungan. Sering dijumpai, seorang Aceh
menggantungkan sepotong kecil emas di tubuh anak kecil atau bayi agar semangatnya
untuk belajar bergerak tidak menurun. Orang Aceh juga senang menerima warisan
emas dari orang kaya yang telah meninggal. Perhiasan itu diyakini dapat
mendatangkan kekayaan bagi penggunanya. Ketika seseorang ingin menghadap
seorang pembesar, uleebalang atau imam mukim misalnya, untuk menigkatkan
kepercayaan dirinya maka ia akan mengenakan emas. Emas diyakini dapat
59
M. H. Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien; Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj. dan saduran
Abdoel Muis Chailan Sjamsu (Djakarta: tanpa penerbit, 1954), hal. 7-10. 60
Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din; Sepasang Pahlawan Atjeh (Djakarta: Djambatan,
1955), Cet. II, hal. 44-47; Panitia Peringatan al-Marhumah Srikandi Tjut Njak Dien, Kenang-kenangan
Srikandi Tjut Njak Dien, 1956, hal. 13. 61
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 7-10; Hazil, Teuku Umar ..., hal. 44 -47.
36
mendatangkan kewibawaan, sehingga melahirkan suatu dorongan untuk bertindak
layaknya orang yang istimewa di depan para pemimpinnya.62
Sebelum menginjakkan kaki ke Aceh, Makhdum Sati memang sudah dikenal
orang-orang di lingkungannya sebagai orang yang gemar berpetualang. Hasratanya
ini kembali dibuktikkan ketika ia memutuskan berangkat ke Aceh. Sebelumnya, ia
dan kawan-kawannya telah menyiapkan dua belas perahu layar yang ditempatkan di
Muara Padang. Dari sini, perahu-perahu tersebut akan berlayar ke utara. Lokasi
pemberhentian perahu-perahu itu dinamakan Teluk Pasir Karam yang kemudian
berganti nama menjadi Meulaboh hingga hari ini.
Suatu ketika, penduduk Meulaboh dikejutkan oleh datangnya suara gaduh dari
suatu sudut daerahnya. Ketika beberapa orang mencoba mencari tahu, terlihatlah
sekumpulan orang berpakaian kerajaan sedang bertarung melawan orang Mantir.
Terlihat, para prajurit kerajaan sedang terdesak. Di antara yang datang mencari tahu
sumber suara adalah Makhdum Sati. Terdorong oleh rasa ingin membantu, maka
Makhdum Sati pun melesat ke arena pertempuran. Dengan sigap, ia mengalahkan
satu demi satu orang Mantir. Pasukan kerajaan pun selamat dari mara bahaya.
Setelah pertempuran usai, para prajurit menyatakan terima kasihnya kepada
Makhdum Sati. Makhdum Sati pun mengetahui bahwa pasukan itu berasal dari
kerajaan Aceh. Pasukan Aceh itu pun menetapkan wilayah sekitar tempat mereka
bertempur sebagai wilayah bawahan Makhdum Sati dan kawan-kawannya yang lain.
Tidak lama kemudian, para prajurit Aceh pun mengundurkan diri.
Pemberian tanah dari pasukan Aceh tidak disia-siakan para pendatang
Minangkabau. Mereka pun segera mengolahnya menjadi lahan pertanian yang subur.
Meskipun pernah terlibat silang sengketa dengan beberapa orang Mantir, tidak
membuat orang Meulaboh bermusuhan dengan orang Mantir secara umum. Seiring
62
J. Kreemer, Peran Azimat di Aceh, Terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1981) hal. 6
37
berjalannya waktu, banyak pula orang-orang Minangkabau yang menikah dengan
perempuan-perempuan Mantir. Lama kelamaan, Meulaboh tidak hanya menjadi
wilayah yang subur dan sejahtera melainkan juga ikut menciptakan orang-orang kaya
baru. Untuk mengenang tanah asal orang Meulaboh di Minangkabau, mereka pun
membangun rumah gadang (rumah besar), rumah adat khas Minangkabau.63
Sejak
saat itu, Meulaboh menjadi daerah yang terkenal kemajuannya di Aceh Barat.
Aceh Barat dikenal mempunyai komoditas hasil pertanian yang melimpah
ruah. Beberapa komoditas perkebunan yang ada di sana adalah lada, kopi, minyak
nilam, minyak kelapa sawit dan lain-lain. Hasil kekayaan alam itu dipasarkan hingga
ke pasar internasional. Menurut Anthony Reid, pada tahun 1790, Aceh Barat
mengirim 83.000 pikul (sekitar 5000 ton) lada ke pasar internasional. Jumlah tersebut
setiap tahunnya terus meningkat. Sekitar tahun 1802, kapal-kapal Amerika banyak
yang bersandar di pelabuhan Aceh Barat untuk berniaga. Sekitar tahun 1820,
komoditas perkebunan yang diekspor Aceh Barat sudah mencapai 1,9 juta dollar.
Pelabuhan yang terkenal sebagai pengumpul hasil lada antara lain pelabuhan Pate,
Rigas, Calang, Teunom dan Meulaboh.64
Kemajuan ekonomi yang terjadi di Meulaboh, lama kelamaan terdengar oleh
Sultan Aceh yang bernama Jumaloy. Ia pun mengeluarkan peraturan bahwa wilayah
Meulaboh diwajibkan membayar upeti kepada kerajaan Aceh. Ia memerintahkan
seorang kurir ke pemimpin Meulaboh guna menyampaikan keputusannya itu.
Setelah mendengar keterangan kurir Raja Aceh, Makhdum Sati merasa tersinggung
dengan permintaan Sultan Aceh. Makhdum Sati, yang saat itu ditetapkan sebagai
pemimpin Meulaboh, merasa permintaan Sultan Aceh tidak pantas ditetapkan untuk
daerahnya. Ia pun memerintahkan rakyatnya untuk tidak memberikan apapun ke
63
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 8. 64
Buddy Suryasunarsa, “Aceh Barat Sebuah Kasus Isolasi”, Kompas, edisi 9 Januari 1973,
hal. 4; Lihat juga Anthony Reid, The Contest for North Sumatera (Kuala Lumpur: University of
Malaya Press, 1969), hal. 6, 14-15.
38
utusan Sultan Aceh. Tidak berselang lama, utusan Aceh lainnya datang lagi ke
hadapan Makhdum Sati untuk meminta upeti. Makhdum Sati yang sudah terlanjur
kesal dengan permintaan Sultan Aceh akhirnya memberikan bungkusan yang isinya
adalah kumpulan besi tua ke Sultan Aceh.
Alangkah terkejutnya Sultan Aceh setelah membuka bungkusan yang
diberikan Makhdum Sati. Ia pun segera memerintahkan panglima-panglima
perangnya menyerbu ke Meulaboh. Sesampainya di sana, mereka sudah disambut
dengan pertahanan Makhdum Sati dan para penduduk Meulaboh lainnya.
Pertempuran sengit segera terjadi. Masing-masing pihak saling menjatuhkan untuk
lebih dahulu mencapai kemenangan.
Makhdum Sati tampil ke medan perang dengan berbagai jurus-jurusnya.
Pasukan Aceh dibuat kesulitan ketika berhadapan dengannya. Tidak ada di antara
pasukan maupun perwira Aceh yang sanggup membendung serangan Makhdum Sati.
Lama kelamaan tenaga Makhdum Sati pun terkuras habis, ia pun jatuh ke tanah dan
segera diikat oleh pasukan Aceh. Ia segera dibawa ke hadapan Sultan Aceh.
Di hadapan Sultan Aceh, Makhdum Sati tetap menunjukkan sikap tegar. Sultan Aceh
pun menjatuhkan hukuman kepadanya dengan hukuman yang berat. Sultan
memerintahkan kepada beberapa pasukannya untuk melebur besi-besi tua yang
sebelumnya diberikan Makhdum Sati. Kemudian, Makhdum Sati diperintahkan untuk
meminum cairan itu. Makhdum Sati pun meminumnya seperti meminum air biasa.
Sultan yang terkejut dengan keajaiban Makhdum Sati kemudian memafkan
Makhdum Sati. Ia pun diangkat sebagai penjaga taman istana.65
Makhdum Sati mempunyai putra bernama Teuku Nanta Cih. Putranya ini
dinikahkan dengan putri Nek Meuraksa. Teuku Nanta Cih pernah berjasa membantu
Sultan Alaiddin Mohammad Syah, Sultan Aceh yang kehilangan tahtanya yang
65
Hazil, Teuku Umar ..., hal. 44 -47.
39
direbut oleh Panglima Polim dari kesagian XXII. Berkat bantuan Teuku Nanta Cih-
lah, Sultan Aceh berhasil mendapatkan tahtanya kembali.
Dalam suatu kesempatan, Sultan Alaiddin Mohammad Syah ingin mengetahui
asal usul leluhur Teuku Nanta Cih. Teuku Nanta Cih mengatakan bahwa ayahnya
bernama Datuk Makhdum Sati yang berasal dari Minangkabau. Dahulu, ayahnya
pernah diangkat sebagai ketua perawat taman istana Sultan Aceh. Ia juga
mengkisahkan bahwa di Teluk Pasir Karam wilayah Woyla (kemudian menjadi
Meulaboh), ayahnya mendirikan rumah Gadang untuk mengingat tanah asalnya di
Minangkabau. 66
Sultan Alaiddin pun mengetahui bahwa Nanta Cih bukanlah keturunan orang biasa.
Ayahnya adalah orang yang dulu disegani Raja Aceh pendahulunya. Sebagai tanda
terima kasih, Sultan Alaiddin mengangkat Nanta Cih sebagai uleebalang VI Mukim.
Ia menduduki jabatan sebagai Uleebalang Poteu. Nanta Cih tidak berada dalam
kekuasaan Teuku Nek Meraksa, melainkan berdiri sendiri. Sebagai penguasa baru
dalam pemerintahan Aceh, Nanta Cih menunjukkan sikap yang bersahabat dengan
penguasa lainnya, termasuk dengan Teuku Nek Muraksa, tetangganya. Keduanya
menjadi sahabat yang baik.
Nanta Cih memeirntah negerinya dengan baik. Mekipun bukan putra daerah,
Nanta Cih mampu menmpilkan diri sebagai pemimpin yang mengayomi masyarakat
VI Mukim. Nanta Cih mempunyai dua orang anak, Teuku Nanta Setia dan Teuku
Mahmud. Setelah menikah, Nanta Setia dikaruniai anak perempuan yang bernama
Cut Nyak Dien, sedangkan Mahmud memiliki putra yang dinamakannya Teuku
Umar. Cut Nyak Dien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang, VI
Mukim.67
66
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 15. 67
Tamar Djaja, Pusaka Indonesia ..., hal. 540; Hazil, Teuku Umar ..., hal. 48.
40
B. Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga
Cut Nyak Dien menjalani hari-hari masa kecilnya dengan kegiatan ilmiah. Ia
dikenal sebagai putri Aceh yang rajin menuntut ilmu di meunasah. Selain di
meunasah, Cut Nyak Dien juga mendapatkan pendidikan agama di keluarganya. Hal
ini menyebabkan kepandaian agamanya lebih menonjol di banding anak-anak
seusianya yang lain. Di samping itu, sejak sebelum usia 10 tahun, Cut Nyak Dien
sudah terbiasa menjalankan shalat lima waktu dan ikut shalat hari raya, baik Idul Fitri
maupun Idul Adha.
Dalam pergaulan, Cut Nyak Dien juga sudah mengetahui bagaimana berbicara
dengan temannya ataupun dengan orang dewasa. Terhadap orang dewasa, Cut Nyak
Dien menunjukkan sikap yang sopan. Ia berbicara dengan perkataan yang baik dan
bersikap lemah lembut. Ketika ia berjalan dan berjumpa dengan kerumunan orang
dewasa Cut Nyak Dien akan membungkukkan badannya sembari mengucapkan maaf
dan memberi isyarat dengan tangan kanan.68
Tentu saja, Cut Nyak Dien tidak hanya mengisi waktunya dengan belajar. Ia
adalah anak kecil perempuan sepertinya yang lainnya. Di waktu senggang, Cut Nyak
Dien menikmati waktunya dengan bermain bersama teman-teman perempuan
sebayanya. Biasanya, anak perempuan di Aceh gemar bermain boneka (patong).
Boneka ini terbuat dari bahan dasar batang pisang. Boneka itu dirias sedemikian rupa
dan dipakaikan potongan-potongan pakaian berwarna-warni. Oleh anak-anak
perempuan, seperti Cut Nyak Dien, boneka ini diperlakukan seperti anaknya sendiri.
Anak perempuan yang lain akan mengumpulkan pasir dan menganggap pasir itu
layaknya nasi. Seorang anak yang berperan sebagai ibu, akan membagikan nasi-nasi
itu kepada anak perempuan lain yang bertindak sebagai anak-anaknya. Bentuk
68
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Daerah
Istimewa Atjeh, 1970), hal. 12.
41
permainan lain adalah membuat anyam-anyaman sederhana dari daun pinang dan
membuatnya menjadi selendang.69
Ketika mendekati usia remaja, Cut Nyak Dien menjelma menjadi perempuan
yang cantik. Tingkah lakunya amat menarik hati. Tubuhnya berbentuk ramping.
Kulitnya putih kekuning-kuningan. Di dalam perangai Cut Nyak Dien tersimpan jiwa
ksatria, berani dan tegas. Sifat seperti itu merupakan turunan dari ayahnya. Sikap
semacam ini membedakan Cut Nyak Dien dengan perempuan lain seusianya.
Dalam beberapa kesempatan rapat para penguasa Aceh yang diselenggarakan
di rumah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Dien sering mencuri-curi dengar pembicaraan
mereka. Lama kelamaan, Cut Nyak Dien mengetahui bahwa bangsa Aceh di ambang
serangan musuh yang membahayakan, yakni bangsa Belanda yang ingin menjajah
negerinya. Dari aktivitas sembunyi-sembunyi itu telah tumbuh kebencian kepada
Belanda yang menurut kabar sering menyiksa penduduk. Cut Nyak Dien tersadar
bahwa masa peperangan melawan mereka sudah hampir tiba.
Di masa Cut Nyak Dien remaja, terdengar kabar-kabar tentang usaha
kolonialisme Belanda di beberapa daerah Sumatera dan Nusantara pada umumnya. di
Minangkabau misalya, sejak tahun 1820, masyarakat di sana sudah terlibat
peperangan dengan Belanda. Pasukan rakyat Minangkabau dikenal sebagai pasukan
Paderi. Mereka berperang di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pasukan
Belanda juga terlibat perang dengan pasukan pimpinan Pangeran Diponegoro dari
tahun 1825 hingga 1830 di Jawa. Dua perang ini cukup merepotkan usaha
penguasaan Belanda atas wilayah Nusantara. Paul van’t Veer menyebutkan bahwa
69
C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng. Singarimbun (Jakarta:
Yayasan Sokoguru, 1985), hal. 209.
42
pada masa kolonialisme Belanda, Sumatera merupakan pulau yang penuh dengan
kerusuhan melawan Belanda.70
Ketika beranjak gadis, Cut Nyak Dien menjadi sosok wanita yang cerdas dan
taat beragama. Budi pekertinya begitu memukau hingga ia menjadi buah bibir di
mana-mana. Szekely Lulofs melukiskan kepribadian Cut Nyak Dien sebagai gadis
yang tidak terbandingkan dengan wanita lain seusianya, terutama dari segi
kecantikannya. Pandangan mata Cut Nyak Dien dinilai mampu melelehkan setiap
lelaki yang memandangnya. Sikap Cut Nyak Dien tegas dan sigap.71
Teuku Ujung Arum yang dikenal pula dengan sebutan Imam Lamnga dikenal
sebagai bangsawan Aceh yang alim, jujur dan berani. Suatu ketika, ia dan istrinya
berkunjung ke rumah Teuku Nanta Setia, Uleebalang VI Mukim yang tidak lain
adalah ayah Cut Nyak Dien. Maksud kedatangan Imam Lamnga, selain untuk
silaturahmi, juga untuk meminang Cut Nyak Dien sebagai istri anaknya, Teuku
Ibrahim Lamnga. Imam Lamnga mengaku bahwa anaknya sedang dipersiapkan
menggantikan kedudukannya, tentu tidak lengkap rasanya jika ketika anaknya
memimpin nanti, dirinya berlum mempunyai istri.
Teuku Nanta Setia menerima permohonan Imam Lamnga dengan senang hati.
Cut Nyak Dien pun menyatakan siap bila diperistri Ibrahim Lamnga. Saat itu Cut
Nyak Dien baru berusia 10 tahun. Sebenarnya, umur Cut Nyak Dien belumlah cukup
umur untuk memulai kehidupan berumah tangga. Pada umumnya, wanita di
Nusantara saat itu menikah jika sudah menginjak usia 14 tahun. Meskipun begitu,
menurut adat Aceh, hal itu masih diperbolehkan, karena ada suatu sandaran hukum
adat yang membolehkannya.72
Pernikahan Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga
tergolong penrikahan yang disebut “kawin gantung”, maksudnya meskipun keduanya
70
Paul Van’t Veer, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hugronje, Terj. Grafitipers
(Jakarta: Grafitipers, 1985), hal. 1 – 2. 71
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 34. 72
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 9.
43
sudah resmi menjalin kehidupan bersama, namun belum diperkenankan untuk tidur di
satu ranjang. Dalam Islam, pernikahan seperti ini masih diperbolehkan. Salah satu
sumber hukumnya adalah kisah menikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Siti
Aisyah yang saat itu berusia 7 tahun.73
Selama dalam masa “kawin gantung”, Cut Nyak Dien belum pernah digauli
Ibrahim Lamnga. Jika hal itu sampai terjadi, maka akan menjadi aib yang besar dan
memalukan. Ibrahim setia menunggu Cut Nyak Dien sampai umur dewasa. Acara
pernikahan Cut Nyak Dien diselenggarakan dengan penuh suka cita. Rumah
pengantin dihias dengan hiasan aneka warna. Permadani digelar di lantai, semua
barang hiasan pecah belah dikeluarkan dan ditata dengan baik untuk mempercantik
ruangan tengah dan kamar tidur pengantin. Di kamar pengantin dipasang kelambu
berbahan sutera dan beberapa bantal kebesaran.74
Acara tari-tarian dan bernyanyi
bersama diselenggarakan selama 3 hari. Pada hari keempat, barulah kedua mempelai
diarah ke rumah Cut Nyak Dien. Para tamu pun mulai kembali ke rumahnya masih-
masing.
Masa bulan madu Cut Nyak Dien tidaklah berlangsung lama. Ibrahim Lamnga
semakin sibuk dengan agenda rapat persiapan pasukan Aceh menghalau
kemungkinan serangan Belanda. Sepulangnya dari rapat, Cut Nyak Dien menanyakan
keputusan rapat itu kepada suaminya. Jika yang didengarnya adaah kabar buruk, Cut
Nyak Dien akan mengepak-ngepalkan tinju seakan menahan amarah. Ia sering
bergumam: “Apalagi yang ditunggi Sultan? Ah … andai saja aku seorang lelaki”.75
73
Muhammad Ahmad Baranik, “A’isyah ash-Shobiyyah,” Majmu’atu Ummahatu al-Mu’mina,
seri 5 (Mesir: Darul Maarif, tanpa tahun), hal. 14; lihat juga “A’isyah al-Habibah”, Majmu’atu
Ummahatu al-Mu’minina, seri 6 (Mesir: Darul Ma’arif, tanpa tahun), hal. 1. 74
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 35. 75
Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 41.
44
C. Kedatangan Belanda ke Aceh
Memasuki abad ke-19, beberapa daerah di Nusantara disibukkan dengan
peperangan menghadapi pasukan Belanda. Di beberapa daerah, perang terjadi dalam
skala besar, namun di tempat lain terjadi dalam skala kecil. Banyak di antara orang
pribumi yang semula rakyat biasa, sesaat setelah mengetahui Belanda akan datang,
memutuskan untuk bergabung dalam tentara rakyat. Bermodalkan senjata tradisional
dan keterampilan perang seadanya, mereka bangkit melawan kekejaman Belanda. Hal
ini tergambar dalam salah satu perang besar di Nusantara, yakni perang Aceh.
Di era ini, Kerajaan Aceh masih dianggap sebagai kekuatan utama yang
memerintah rakyat Aceh. Hanya saja, Aceh abad ke-19 bukanlah Aceh seperti abad
ke-16 maupun ke-17, di mana kekuasaan bertumpu di tangan raja. Di abad ke-19,
sistem pemerintahan Aceh sudah menganut sistem federal. Setiap wilayah dipimpin
oleh seorang pemimpin lokal yang bergelar uleebalang atau kejurun. Mereka
mepunyai otoritas dalam memerintah wilayahnya, dan tidak harus mengacu pada
ketetapan kesultanan Aceh.76
Pada tahun 1824, kerajaan Belanda bersepakat dengan kerajaan Inggris yang
butir-butir kesepakatannya tertuang dalam Traktat London. Salah satu
kesepakatannya adalah bahwa baik Belanda maupun Aceh dilarang memusuhi Aceh.
Pada perkembangannya, Belanda bertindak melenceng yakni mulai melibatkan diri
dalam pertikaian dengan Aceh.
Pada tahun 1829, Belanda menyerbu Barus daerah yang menjadi bawahan
Aceh. Pasukan Aceh bertempur dengan gagah berani dan terus memukul mundur
Belanda hingga ke benteng pertahanannya di pulau Poncang di teluk Tapanuli.
Pasukan Aceh berhasil merebut benteng itu dan membakar bangunan-bangunan
Belanda yang berada di sekitar benteng. Pada tahun 1834 dan 1835, Belanda
76
Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987) , hal. 40.
45
melancarkan pembalasannya dengan menawan beberapa perahu Aceh di sekitar pulau
Poncang. Sebagian awak perahu ditangkap, yang lain dibunuh.
Memasuki tahun 1871, Belanda mengirim kapal Jambi untuk memata-matai
pesisir Aceh sekaligus mencari lokasi yang tepat untuk mendirikan menara api. Kapal
ini juga ditugaskan mencari informasi mengenai kondisi politik di Aceh. Sebuah
kapal lain juga dikirimkan ke Malaka yang ditugaskan menumpas bajak laut di sana.
Aksi ini sengaja dilakukan untuk memamerkan kekuatan laut Belanda kepada Aceh.77
Upaya-upaya teror yang dilakukan Belanda ditanggapi sigap dan cekatan oleh
orang Aceh. Sejak 1872 sampai Maret 1873, pihak Aceh mendatangkan 5000 peti
mesiu dan 1349 peti senapan dari Penang. Pihak istana tidak tinggal diam. Pada 10
Maret 1873, keluarga Sultan Alauddin Jamalul Alam Badrul Munir al-Jamalullail
memberikan 12 kilogram emas untuk biaya belanja keperluan militer pasukan Aceh.
Usaha pengumpulan persenjataan Aceh sempat menemui jalan terjal, karena pada 31
Maret 1873, Konsul Inggris di Singapura menetapkan kebijakan pelarangan penjualan
senjata di seluruh koloni Inggris ke Aceh.
Pada tanggal 7 Maret 1873, kapal perang Belanda yang bernama Citadel van
Antwerpen diberangkatkan menuju pantai Aceh. Kapal ini diperkuat pula oleh kapal
lain yakni kapal Siak yang menempuh rute dari Batavia melalui Singapura dan pulau
Pinang. Pada tanggal 19 Maret, kapal Siak berangkat dari pulau Pinang diiringi dua
kapal Belanda lainnya, Marnix dan Coehoorn. Mereka bersama-sama menuju pantai
Aceh. Pada tanggal 23 Maret 1873, kapal-kapal Belanda ini sudah berada di sekitar
pantai Aceh.78
Beberapa waktu kemudian, soerang pejabat Belanda yang ikut dalam salah
satu kapal Belanda di pantai Aceh yang bernama Nieuwenhuyzen mengirimkan pesan
77
Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah …,hal. 61-63. 78
J. Paulus, “Atjeh”, Encyclopaedia van Nederlandsch Indie,( E. J. Brill, 1917,) hal. 191. Lihat
juga A. Sartono Kartodirdjo (ed), Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme,( Pusat
Sejarah Abri, 1973) , hal. 240
46
utuk Sultan Aceh agar Aceh bersedia mengakui kekuasaan Belanda atas wilayah
Aceh. Balasan dari Sultan Aceh mengejutkan Belanda, Aceh siap perang menghadapi
pasukan musuh. Tidak ada pilihan lain bagi Nieuwenhuyzen, pada 26 Maret 1873 ia
pun memutuskan untuk bereprang dengan Aceh.79
D. Ibrahim Lamnga Gugur di Medan Perang
Teuku Ibrahim Lamnga adalah satu di antara banyak panglima perang Aceh
yang sudah mempersiapkan diri di pesisir pantai Ceureumen Aceh. Begitu pasukan
Belanda mendarat, ia dan pasukan Mukim VI bergerak menahan laju Belanda. Di
tempat lain, Teuku Nanta Setia, ayah Cut Nyak Dien, membuat pertahanan untuk
membatasi gerak musuh. Ia dan pasukannya bertugas membangun benteng-benteng
pertahanan sebagai basis penahan gelombang serangan Belanda. Baik Nanta Setia
maupun Ibrahim Lamnga tampil sebagai tokoh yang menonjol dalam hari-hari
pertama perang Aceh.
Cut Nyak Dien yang berdiam di rumah tetap tidak bisa tenang hatinya
mengetahui suami dan ayahnya sedang berhadapan dengan Belanda di pantai Aceh.
Ia menantikan suaminya yang selama beberapa hari tidak pulang ke rumah karena
kesibukannya mengatur pasukan guna menghadapi Belanda. Di kala malam,
penduduk Mukim VI beramai-ramai memadati meunasah dan ramai-ramai membaca
doa dan zikir.80
Suatu ketika, Ibrahim Lamnga pulang dengan wajah kecewa. Setelah disambut oleh
istrinya, Ibrahim bercerita bahwa Belanda berhasil menguasai Masjid Raya dan
Keraton Sultan Aceh. Setelah mendengar itu, sikap Cut Nyak Dien berubah seketika.
Wajahnya menampakkan kemarahan. Ia sempat menuding mengapa di antara sekian
banyak panglima perang Aceh yang tersohor kehebatannya, tidak ada yang mampu
79
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan Pejuangan
Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hal. 188-189. 80
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1982), hal. 30-31.
47
menghalau musuh. Ia juga menyayangkan sikap Sultan Aceh yang tidak mampu
memobilisir bawahannya. Teuku Ibrahim segera menenangkan istrinya. Ia berkata
bahwa Sultan Aceh sedang menghimpun kekuatan bersama Tuanku Hasyim dan
Panglima Polim di suatu tempat sehingga tidak sempat mengirim bantuan
memperkuat barisan pasukan Aceh yang menjaga Masjid Raya dan Istana Sultan.81
Ibrahim Lamnga kembali ke medan tempur dengan tekad bulat mengalahkan
Belanda. Ia segera melakukan patroli ke wilayah perbatasan Mukim VI dan Meuraksa
untuk meninjau benteng-benteng pertahanan yang dibuat pasukan Aceh. Beberapa
benteng yang diperiksanya adalah Geunca, Keutapang Dua, Wilayah IX Mukim,
Teuku Purba dan wiayah III Mukim Daray Long Raya. Setelah itu, ia menyerahkan
komando benteng-benteng itu kepada Nyak Man dan Nyak Ajat. Setelah itu Ibrahim
Lamnga beranjak ke wilayah lain untuk melakukan beberapa peninjauan. Dalam
perjalanannya, Ibrahim Lamnga kerap berkunjung ke rumah orang kaya dan meminta
bantuan mereka untuk menambah perbekalan pasukan Aceh.82
Pada tahun 1875, Ibrahim Lamnga tersadar, pergerakan pasukan Belanda
sudah semakin merambah ke pedalaman. Pasukan Belanda sudah mulai terlihat di
perbatasan Mukim VI dan Mukim IX. Ibrahim teringat akan keberadaan istrinya yang
masih berada di Lam Padang. Pada suatu hari, ia pun meminta diri pada rekan-
rekannya untuk pulang ke Lam Padang. Di tengah perjalanan pikirannya berputar
merencanakan suatu pengungsian bagi keluarganya.
Begitu sampai di kediamannya, Ibrahim Lamnga segera meminta Cut Nyak
Dien untuk bersiap-siap. Ibrahim mengabarkan bahwa musuh sudah berada di Mukim
VI dan Mukim IX. Awalnya, Cut Nyak Dien berkeras hati untuk tetap tinggal di Lam
Padang apapun yang terjadi. Suaminya meyakinkan dirinya bahwa pengungsian ini
adalah sementara sampai keadaan terkendali. Pasukan Belanda dikenal bengis
81
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 31. 82
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 34-35.
48
terhadap penduduk lokal. Ibrahim tidak rela jika keluarganya menjadi sasaran
kejahatan pasukan musuh. Ibrahim juga menitahkan pada penduduk Lampadang
lainnya untuk menyiapkan diri dalam barisan pengungsian.
Setelah berkumpul di jalan-jalan depan rumah, rombongan pengungsi Lam
Padang pun bergerak. Dalam rombongan ini terdapat pula Teuku Nanta Setia beserta
istrinya. Ibrahim Lamnga bersama ayah mertuanya berdampingan memimpin
rombongan di barisan depan. Dalam beberapa kesempatan, Ibrahim mengontrol
bagian tengah dan belakang rombongan untuk memastikan keamanan serta
mengingatkan pada pasukan pengiring agar tetap waspada.
Rombongan itu terus berjalan tanpa tahu kemana mereka pergi. Ibrahim
Lamnga sebagai penggagas ide pengungsian pun belum mempunyai ketetapan
kemana iring-iringan manusia di belakangnya ini diungsikan. Melihat perang yang
semakin luas, rasanya sulit baginya untuk menentukan tempat yang aman untuk
berlindung. Tanggapan beragam dialami rombongannya tatkala bertemu dengan
penduduk kampung-kampung yang dilewatinya. Ada kampung yang menyatakan
dukungannya kepada para pejuang Aceh. Di hari lain, mereka bertemu dengan
penduduk kampung yang tidak peduli dengan segala hal yang terjadi dalam perang
Aceh. Bahkan ada kampung yang memandang rombongan Lam Padang itu dengan
penuh kecurigaan. Salah satu kampung yang menyatakan menolak membantu
rombongan ini adalah kampung IV Mukim.
Orang-orang di IV Mukim menganggap orang-orang yang beredar di depan
mereka sebagai para pejuang Aceh yang sedang menyalamatkan diri dari kejaran
Belanda. Mereka khawatir jika menolong mereka, maka pasukan Belanda akan
menghancurkan kampung mereka. Mereka sudah mengetahui betapa ganasnya
49
pasukan Belanda kepada penduduk kampung-kampung Aceh. pasukan Belanda tidak
segan untuk membunuh orang-orang yang dicurigai membantu pasukan Aceh.83
Perjalanan yang panjang membuat Ibrahim Lamnga tidak lagi memikirkan
penampilannya. Menurut cerita, penampilannya sudah tidak rapi. Pakaiannya robek
dan rambutnya kusut. Hal yang tidak jauh berbeda juga mungkin terlihat di antara
para pengikutnya.
Ketika rombongan Lam Padang sampai wilayah Lam Pagar, mereka disambut
dengan ramah oleh penduduk di sana. Penduduk kampung itu memberikan air dan
makanan seadanya kepada para pendatang. Ibrahim Lamnga dan Nanta Setia memilih
tetap melanjutkan perjalan sampai ke Blang Kala. Betapa kagetnya mereka ketika
sampai di kampung itu. Penduduk di sana menatap mereka dengan pandangan curiga.
Beberapa waktu kemudian Ibrahim Lamnga baru mendapat informasi bawa penduduk
Blang Kala termasuk kelompok yang tidak mau melibatkan diri dalam perang Aceh
dan memilih pasrah dengan keadaan yang nanti menimpa mereka.
Ibrahim Lamnga memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan penduduk
Blang Kala di tempat yang lapang. Begitu mereka berkumpul, Ibrahim Lamnga
berdiri di hadapan mereka dan berkata dengan lantang:
“Hai sekaian mukmin penduduk kampung ini! Kami baru kembali dari
medan perang! Kampung demi kampung telah jatuh ke tangan kafir! Adat
dalam perang itu adalah balas membalas! Tapi, menghindar bukan berarti
lari atau takluk! Kita mencari tempat pertahanan yang mungkin dapat
dipertahankan lalu menanti waktu yang baik untuk menyerang musuh! Kita
merancang rencana untuk menyerang musuh sampai ia lari menghindar!
Hai orang kampung penduduk VI Mukim, laki-laki dan perempuan!
Dengarkanlah! Jika kampung ini nyata tidak dapat dipertahankan, nanti
83
Szekely Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 100-105.
50
kami akan menyerang ke tempat lain. Kami akan menyerahkan kepada
orang kampung sendiri untuk menentukan apa yang hendak diperbuatnya.
Jika hendak menyerah, hendak berkhianat kepada bangsa dan tanah airnya,
silahkan! Tapi, sewaktu-waktu kami akan kembali ke tempat ini. Barang
siapa yang kami jumpai di sini dan ternyata telah menjadi budak kafir,
maka harta bendanya akan kami rampas. Jika rumahnya belum dibakar
oleh orang Belanda, kamilah yang akan membakarnya! Barang siapa yang
lari meninggalkan kampung, kami akan cabut nyawanya dengan klewang
ini! kaki dan tangannya akan kami cerai beraikan dari tubuhnya.”
Warga Blang Kala mendengar pidato Ibrahim Lamnga dengan serius.
Mereka tidak berani memotong pidato suami Cut Nyak Dien itu. Setelah
mendengar itu, beberapa dari penduduk Blang Kala merasa mendapatkan
kesadaran baru untuk menyingsikan lengan untuk angkat senjata melawan
Belanda. Mereka yang tergerak hatinya kemudian pulang ke rumahnya untuk
mengambil perkakas yang bisa dijadikan senjata. Kemudian, mereka menempati
beberapa lokasi yang dijadikan pos pertahanan kampung Blang Kala.
Para pengikut Ibrahim Lamnga yang masih berada di kampung Lam Pagar
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pemimpinnya. Mereka terlibat
dalam upaya penyadaran penduduk di sana untuk bersatu melawan kedatangan
pasukan Belanda. Mereka menerangkan bahwa perang yang mereka lakukan
bukan sekedar perang mempertahankan tanah air melainkan perang Sabil, yakni
perang di jalan Allah. Beberapa penduduk Lam Pagar yang mendengar ungkapan
tersebut menjadi tergerak hatinya. Mereka pun bersiap dengan senjata di tangan,
menyongsong kedatangan musuh.84
84
Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 101-102.
51
Diceritakan bahwa rombongan dari Lam Padang ini tidak bediam di Lam
Pagar maupun Blang Kala. Mereka melanjutkan perjalanan sampai mereka mulai
kehabisan bekal. Dalam beberapa kesempatan, mereka hampir berjumpa dengan
pasukan patroli Belanda. Dalam suasana mencekam seperti ini, Cut Nyak Dien
membayangkan bahwa dirinya akan menjadi pemimpin pasukan yang akan
memburu pasukan Belanda.85
Pada kesempatan yang lain diceritakan bahwa Ibrahim Lamnga dan
pasukannya terlibat dalam suatu perang dengan Belanda di sekitar gunung Madat di
pegunungan Parang sekitar tahun 1878. Saat itu bersama dengan Teuku Nyak Man,
Ibrahim Lam Nga gagal menahan laju musuh di Ngarai Ngalau Beradin. Ibrahim
Lamnga pun memutuskan untuk terus mendaki gunung Madat. Dikisahkan bahwa
selama pendakian yang berlangsung selama tiga hari itu, perut mereka tidak terisi
nasi.
Keputusan untuk terus mendaki gunung Madat dilatarbelakangi oleh adanya
berita yang mengatakan bahwa pasukan Habib Abdurrahman az-Zahir juga sedang
mendaki gunung Madat. Ibrahim Lamnga bergegas menuju Gle Tarum. Di sana ia
menemukan bekas-bekas persembunyian Habib Abdurrahman az-Zahir. Sesampainya
pasukan Ibrahim Lam Nga di sana, mereka memutuskan untuk beristirahat. Mereka
tidak menyadari bahwa tidak jauh dari tempatnya, pasukan Belanda sedang mengikuti
mereka. Saat mereka tertidur pulas, tidak ada pasukan yang sadar bahwa di sekeliling
mereka sudah berkumpul pasukan Belanda.
Ketika komando diberikan, pasukan Belanda mulai menembakkan peluru ke
arah para pejuang Aceh yang sedang tertidur. Beberapa pasukan ada yang langsung
jatuh terkena peluru salah satunya dalah adik Ibrahim Lamnga yang bernama Teuku
Ajat. Teuku Nyak Man yang ketika tersadar segera mencari perlindungan menyeru
kepada Ibrahim Lamnga untuk mencari perlindungan.
85
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1982)hal. 36.
52
Tembakkan Belanda yang sangat gencar diarahkan ke sasaran, membuat
pasukan Aceh kesulitan melakukan serangan balik. Teuku Nyak Man yang sibuk
mengatur perlindungan terkena desingan peluru Belanda. Tubuhnya jatuh ke tanah.
Tidak lama berselang peluru Belanda berhasil bersarang ke tubuh Ibrahim Lamnga.
Setelah mengetahui suami Cut Nyak Dien benar-benar terkena peluru dan tewas
pasukan Belanda pun menghentikan serangannya. Teuku Ibrahim Lamnga, pahlawan
dari kampung Lamnga, gugur sebagai pahlawan bangsa. Setelah itu komandan
Belanda memerintahkan pasukannya untuk bergegas meninggalkan gunung Madat.86
Kematian Ibrahim Lamnga begitu mengkoyak perasaan Cut Nyak Dien.
Selama beberapa hari Cut Nyak Dien, keluarga serta masyarakatnya dirundung duka.
Kenyataan ditinggal suami semakin mempertebal rasa benci Cut Nyak Dien kepada
Belanda. Ia menyimpan hasrat suatu saat dapat bertempur dengan musuh orang Aceh
itu untuk membalaskan dendam suami serta bangsa Aceh pada umumnya.
E. Menikah dengan Teuku Umar
Kehilangan suami tercinta membuat Cut Nyak Dien semakin tersadar akan
makna kehidupan. Hidup dan mati tidak lebih hanya sekedar takdir yang harus
dijalani manusia. Ia mulai bisa menata hidupnya dan perlahan mengingat Ibrahim
Lamnga hanya dalam doa. Ia tidak lagi meratapinya dengan tangisan yang merupakan
tanda ketidakrelaan menerima takdir Tuhan berupa kematian.
Suatu ketika, Teuku Umar, saudara sepupu Cut Nyak Dien, datang ke Aceh
Besar. Ia mempeoleh kabar bahwa salah satu pemimpin tertinggi pasukan Aceh
bernama Teuku Ibrahim Lamnga telah berpulang ke Rahmatullah. Ia pun
menyempatkan diri bertakziah kepada keluarga yang ditinggalkan. Kesempatan itu
juga digunakannya untuk bertemu dengan pamannya, Teuku Nanta Setia, untuk
membicarakan perkembangan terakhir seputar perang Aceh. Di sela pembicaraan,
86
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 41-42.
53
Teuku Nanta Setia meminta Teuku Umar mau menjadikan Cut Nyak Dien sebagai
istrinya. Setelah bepikir sejanak, Teuku Umar menerima perminataan itu.
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa Teuku Umar yang tertarik untuk
meminang Cut Nyak Dien. Suatu ketika, Teuku Umar berjumpa dengan Cut Nyak
Dien dalam suatu pertemuan di Montasik. Rupanya, pertemuan itu begitu berkesan di
hati Teuku Umar. Ia pun mendatangi Teuku Nanta Setia dan mengutarakan
maksudnya untuk menjadi suami Cut Nyak Dien. Rasa cinta yang tumbuh di hati
Teuku Umar kepada Cut Nyak Dien, dilatarbelakangi simpati Teuku Umar kepada
Cut Nyak Dien. Ia salut dengan ketegaran Cut Nyak Dien yang ditinggal mati
suaminya. Teuku Umar juga terpikat oleh sikap Cut Nyak Dien yang menyatakan
kebenciannya pada Belanda, musuh yang juga sedang diperanginya.
Setelah hari pernikahan ditentukan, maka dilangsungkanlah pernikahan antara
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Teuku Nanta Setia amat senang putrinya tidak lagi
bersedih karena sudah mendapat teman hidup yang baru. Kebanggaannya bertambah
ketika mengetahui bahwa yang menjadi suami Cut Nyak Dien adalah salah satu
panglima muda pasukan Aceh yang prestasinya dalam perang Aceh termasuk yang
menonjol di antara teman-teman sebayanya.87
Pesta perkawinan Cut Nyak Dien dilangsungkan di Montasik. Banyak tamu
yang berdatangan ke momen yang menggembirakan ini. Tidak berselang lama, nama
keduanya terdengar ke seluruh medan perang Aceh dan menerbitkan gairah baru di
tubuh pasukan Aceh. Pernikahan ini dimaknai bukan sebatas hubungan spesial antara
lelaki dan perempuan, melainkan adalah munculnya pasangan yang akan
mengabdikan dirinya untuk bertempur di medan perang menghadapi Belanda. Di
pundak pasangan inilah keselamatan tanah air dan bangsa Aceh digantungkan.88
87
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 48-49. 88
Mardanas Safwan, Teuku Umar (Jakarta: Dinas P dan K, 1983), hal. 46-47.
54
Pada 1879, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien memutuskan untuk bersama-
sama memulai serangan di Meulaboh. Di tahun ini, Cut Nyak Dien mulai sedikit
terlibat dalam persiapan strategi pasukan Aceh mendampingi Teuku Umar. Di waktu
ketika mereka datang, Melaboh juga sedang diramaikan oleh aksi para pejuang Aceh
yang berupaya menahan serangan Belanda. Sebelum kedatangan pasangan ini,
pasukan Aceh di bawah Teuku Kejurun Muda manjadi lawan sepadan bagi pasukan
Belanda. Di bawah komandonya, pasukan Aceh rajin mengirim serangan ke kubu
lawan. Tindakan ini membuat para pasukan Belanda terkena gangguan jiwa karena
stres yang berkepanjangan akibat diteror pasukan Aceh.89
Di Meulaboh, Teuku Umar mulai aktivitasnya dengan berpidato di tengah
kumpulan orang-orang di Patih, salah satu pelabuhan di utara Melaboh. Ia menyeru
penduduk Patih untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Mereka yang
terpengaruh oleh pidato Teuku Umar segera menggabungkan diri mencegat jalan
Belanda yang berencana menuju Patih. Di Rigas, Teuku Umar juga menggelar
pidatonya. Ucapannya didengar oleh warga Rigas dan banyak di antara mereka yang
menggabungkan diri dalam pasukan Aceh. Pidato demi pidato yang dilakukan Teuku
Umar membuat reputasi pemeirntah Belanda semakin turun di mata penduduk
Mulaboh. Akibatnya, usaha penguasaan penuh atas Meulaboh yang dicanangkan
Belanda terancam gagal.90
Pada tahun 1881, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar memutuskan kembali ke
Aceh Besar. Setelah menyiapkan pasukan, Teuku Umar menyerang wilayah XXV
Mukim yang telah diduduki Belanda. Dalam pertempuran ini, pasukan Teuku Umar
memperoleh kemenangan. Pasukan Belanda tidak berdaya menahan gempuran dan
kecanggihan taktik Teuku Umar. Teuku Umar berhasil mengusir Belanda dan
merebut kembali kampung XXV Mukim. Tanpa membuang waktu, Teuku Umar
89
Moh. Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid II (Medan: Harian Waspada Medan, tanpa tahun)
hlm. 181-182. 90
Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hal. 535.
55
menghancurkan pos-pos yang dibangun Belanda di sekitar wilayah itu yang
sebelumnya digunakan untuk menjalin komunikasi dengan pos Belanda lainnya.
Selain berperang dengan Belanda, Teuku Umar juga tidak segan berperang
melawan panglima-panglima Aceh yang memihak Belanda. Salah satu panglima
penghianat Aceh yang pernah merasakan bentrok dengan suami Cut Nyak Dien ini
adalah Teuku Nek Muda. Pasukan Teuku Nek Muda yang terdesak kemudian
mendapat bantuan dari Belanda. Pasukan gabungan ini berhasil memukul mundur
pasukan Teuku Umar sampai yang sebelumnya berkuasa di VI Mukim kemudian
mundur sampai Ngarai Ngalau Beradin. Meskipun VI Mukim telah jatuh ke tangan
Belanda, namun beberapa pasukan Teuku Umar yang berada di dalam daerah itu,
masih sering melakukan serangan ke kubu Belanda.91
Beberapa tahun kemudian, Teuku Umar tertarik untuk mencoba cara baru
melawan Belanda. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Belanda. Langkahnya ini
dilaksanakan pada 30 September 1893. Dengan ditemani oleh 35 panglima Aceh
menghadap pemerintah Belanda di Kota Raja. Mereka bersumpah untuk takluk
kepada Kerajaan Belanda. Atas kesungguhannya menyerahkan diri, Teuku Umar
diberi gelar “Teuku Johan Pahlawan” dan menduduki jabatan sebagai panglima besar.
Ia juga diberi wewenang untuk memerintah pasukan yang berjumlah 259 orang.92
Sejak diberi kepercayaan Belanda, Teuku Umar benar-benar bekerja untuk
kepentingan Belanda. ia tidak segan melawan sesama bangsa Aceh sendiri. Oleh
karena Teuku Umar mengetahui medan tempur Aceh, tidak sulit baginya mendapat
kemenangan apalagi pasukannya didukung oleh persenjataan yang sama digunakan
oleh pasukan Belanda. Prestasi demi prestasi yang ditorehkan Teuku Umar memikat
hati Deykerhoff, salah satu pejabat militer tertinggi di Aceh. Perwira Belanda ini
91
Hazil, Teuku Umar ..., hal. 55. 92
; Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indoenesia, jilid IV (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hal. 214; lihat juga Tamar Djaja, Pusaka Indonesia Djilid Dua
(Djakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 556-557.
56
semakin memanjakan pasukan Teuku Umar dengan persediaan senjata yang
melimpah. Kemenangan demi kemenangan Teuku Umar membuat pemerintah
Belanda semakin bergantung pada Teuku Umar.
Meskipun Cut Nyak Dien mengetahui bahwa maksud dari Teuku Umar adalah
pada akhirnya untuk menghancurkan pasukan Belanda dari dalam, namun tetap saja
ia menyalahkan keputusan suaminya itu. Bekerjasama dengan Belanda adalah
tindakan rendah yang hukumnya sama dengan keluar dari agama Islam. Dalam
kesempatan-kesempatan bertemu dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien tidak bosan-
bosan menyadarkan suaminya untuk meninggalkan cara yang dianggap terkutuk itu.
Pada suatu kesempatan, Cut Nyak Dien menantang Teuku Umar untuk meninggalkan
kerja samanya dengan Belanda. Tantangan ini mengejutkan hati Teuku Umar. Ia tidak
mengira istrinya berani melemparkan tantangan pada dirinya. Sebagai seorang
komandan Aceh yang tersohor, menolak tantangan adalah suatu pantangan apalagi
dari istrinya sendiri. Namun beberapa waktu kemudian, Teuku Umar masih saja dekat
dengan Belanda.
Suatu ketika, ketika berada dalam suatu perjumpaan dengan istrinya di Lam
Pisang, kediaman baru Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Teuku Umar bercerita
tentang penyerangan di Lam Kra’. Di tengah pembicaraan Cut Nyak Dien meminta
waktu untuk mengutarakan sesuatu:93
“Kanda Umar ... aku dikaruniai suatu augerah yang besar sekali.
Meskipun usiaku sudah tua, tapi kini masih bisa berbadan dua. Kanda! ...
Aku menanyakan kepada seorang ulama yang terkenal bernama Teungku
Tanah Abee, ia meramalkan bahwa anak ini adalah seorang putra seperti
yang Kanda idam-idamkan.
93
Hazil, Teuku Umar ..., hal. 108-112.
57
Jika Kanda kembali ke pihak pejuang Aceh dan mau memimpin
perlawanan kita serta bersedia memerangi kaum kafir, maka putra ini
setelah besar kelak akan dijadikan Sultan Aceh. Kanda jangan lupa
kepada Allah. Ia bersama kita dan Kandalah yang harus menebus hutang
lama (kekalahan) serta membalas teman-teman yang telah gugur dalam
pertempuran mempertahankan bumi Aceh. “
Kata-kata Cut Nyak Dien menyadarkan Teuku Umar. Apa jadinya jika ketika
anaknya lahir, ia masih saja berkawan dengan Belanda. Dalam angan-angannya,
Teuku Umar mendambakan anaknya kelak menjadi Sultan Aceh. Tentu saja itu baru
terjadi manakala ayahnya, ketika berada dalam saat gawat perang Aceh, bersatu padu
dengan pejuang Aceh lainnya menghabisi Belanda. Sejak itu Teuku Umar pun
bertekad kembali ke pangkuan Aceh.
Teuku Umar mencari cara agar ia dapat meninggalkan kubu Belanda dengan
keuntungan. Pada 24 Maret 1896, Teuku Umar meminta Belanda menambah
senjatanya. Pemerintah Belanda di Aceh tidak ingin mengabulkannya, Deykerhoff
mendapat laporan bahwa senjata itu akan digunakan Teuku Umar untuk memburu
pasukan Belanda. Menyadari penolakan itu, Teuku Umar mengambil kesimpulan
bahwa Belanda sudah mengetahui maksud hatinya. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar
mendapat perintah untuk kembali menyerang Lam Kra’. Teuku Umar menganggap
itu adalah jebakan yang disiapkan Belanda untuk menangkapnya. Ia menolak
permintaan tersebut dan menggantinya dengan mengirim sepucuk surat kepada
Deykerhoff yang isinya tentang kekecewaan Teuku Umar karena dihina oleh K.W.
Gisolf (Kontrolir Ulhee Lee). Teuku Umar mengaku sudah dijandikan sesuatu oleh
Gisolf namun tak kunjung dipenuhi.94
Kabar tentang kembalinya Teuku Umar ke kubu pasukan Aceh, amat
menyakitkan pasukan Belanda. Di kalangan orang Belanda, peristiwa itu dikenal
94
Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan ..., hal. 256.
58
dengan nama “Teuku Umar membelot”. Sejak peristiwa itu, pemerintah Belanda di
Aceh menganggap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien sebagai musuh utama Belanda
yang harus lekas ditundukkan. Keduanya harus ditangkap baik dalam keadaan hidup
atau mati.
Akibat penghianatan Teuku Umar, Belanda meningkatkan tekanan kepada
kawan-kawan sekutunya yang berasal dari para pemimpin Aceh. Siapa yang dianggap
menjalin komunikasi atau hubungan dengan pejuang Aceh maka dapat terkena sanksi
yang berat. Belanda mulai menimbang untuk memberlakukan kebijakan penyerangan
ke kampung-kampung di luar lini konsentrasi Belanda (semacam garis pertahanan
yang dibangun Belanda) yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan orang Aceh.
Belanda akan tidak segan menghancurkan mereka semua.95
Teuku Umar menanggapi kebijakan Belanda tanpa rasa takut. Sebaliknya
Teuku Umar meningkatkan pengamatan dengan menyebar ke beberapa wilayah yang
membingungkan informasi Belanda.96
Sejak itu, antara pasukan Teuku Umar dan
pasukan Belanda terlibat beberapa kali bentrokan.
Di mata Belanda, Teuku Umar dikenal sebagai panglima perang Aceh yang
licin dan berbahaya. Taktik yang diterapkan suami Cut Nyak Dien ini tidak mudah
ditebak, sehingga berakhir dengan kerugian bagi pasukan Belanda yang kebetulan
berhadapan dengannya. Ketika banyak pemimpin-pemimpin Aceh yang menyatakan
takluk kepada Belanda, Teuku Umar dan pengikutnya memutuskan untuk
mengasingkan diri sejenak ke dataran tinggi Gayo. Tidak ada pasukan Belanda yang
mengetahui persembunyian suami Cut Nyak Dien ini.
Pasukan Belanda masih menjadikan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien sebagai
buronan utama. Belanda mengerahkan seluas-luasnya spion yang ia miliki untuk
mendapatkan informasi di mana keberadaan Teuku Umar. Teuku Umar merubah
95
Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan ..., hal. 257. 96
Moh. Said, Atjeh Sepanjang ..., hal. 601.
59
siasat. Ia memutuskan kembali ke Aceh Barat dan merencanakan perang lanjutan di
sana.
Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya terlibat bentrokan
dengan sepasukan Belanda di Sua, Ujung Kala, Meulaboh. Dalam suatu kesempatan,
satu desing peluru Belanda menghujam tubuh Teuku Umar. Tubuh panglima besar
Aceh ini rebah ke tanah. Medan tempur terhenti. Tubuh pasukan Aceh melemas, di
sisi lain pasukan Belanda bersorak kegirangan. Tidak lama setelah itu, di lokasi
terbunuhnya Teuku Umar dibangun monumen peringatan terbunuhnya Teuku
Umar.97
97
Tamar Djaja, Pusaka Indonesia Djilid Dua (Djakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 262-263.
60
BAB IV
CUT NYAK DIEN MELAWAN BELANDA
A. Membangun Mental Pejuang Aceh
Kematian Teuku Umar amat memukul kehidupan Cut Nyak Dien. Ia tidak
menyangka, dirinya harus menjadi janda dua kali. Kedua suaminya meninggal dalam
keadaan yang mengharukan. Memang, suami-suaminya telah wafat dengan syahid,
mereka dianggap sebagai bunga bangsa. Namun, jika berbicara dalam hal
kemanusiaan, kesedihan akibat ditinggal orang-orang yang dicintai tentu amat
menyakitkan. Selama beberapa waktu, Cut Nyak Dien meratapi diri dan berusaha
untuk tegar.
Setelah periode sulit pembebasan diri dari kesedihan, Cut Nyak Dien
berupaya membangun kehidupan yang baru. Kini, jalan untuk menjadi pejuang Aceh
terbentang lebar. Jika sebelumnya, ia hanya bisa memberi nasehat, menyumbang
harta benda dan mengamati perkembangan perang dari jauh, maka inilah waktu yang
tepat untuk memulai perlawanannya. Ia membayangkan dirinya akan menjadi
pejuang yang menghabiskan waktu di medan laga, berhadapan dengan orang-orang
Belanda.
Mohammad Said mengutip suatu informasi yang disebutkan wartawan
majalah Aceh yang menyebutkan bahwa orang Aceh merupakan bangsa yang
berebeda dengan bangsa lain dalam hal semangat melawan kekuasaan asing. Tidak
mudah untuk menundukkan bangsa Aceh meskipun sudah melakukan banyak
pembunuhan kepada mereka. Tidak ada yang bisa menyamai ketegaran dan
kefanatikan para pejuang Aceh di pulau-pulau yang diduduki Belanda. Mereka adalah
bangsa yang tabah, mempunyai tekad yang luar biasa, lebih memilih mati ketimbang
61
tunduk kepada lawannya, meskipun harapan keselamatan mereka sudah sangat
menipis.98
Cut Nyak Dien mengagendakan pertemuan dengan Pang Laot, sahabat
sekaligus tangan kanan mendiang suaminya. Kepadanya Cut Nyak Dien
mengutarakan hasratnya untuk melanjutkan perjuangan Teuku Umar. Di lain hal, ia
baru saja mendapatkan informasi bahwa Belanda sedang membangun pertahanan di
Pidie. Cut Nyak Dien berpikir bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk
membangun angkatan bersenjata. Pang Laot menyarankan bahwa pasukan yang
nantinya ikut agar terlebih dahulu dilatih keteguhan hati serta keterampilan
perangnya. Gagasan itu langsung disetujui Cut Nyak Dien.99
Ketika pasukan sudah siap, Cut Nyak Dien tidak langsung membuka serangan
seperti yang dahulu dilakukan Teuku Umar. Ia memilih berjuang di wilayah
pedalaman dengan menerapkan taktik gerilya. Ia menyadari keadaan perang Aceh
sedikit demi sedikit sudah banyak yang mengarah pada Belanda. Tentu merupakan
langkah yang kurang tepat apabila melakukan penyerangan langsung ke kubu lawan.
Taktik gerilya yang menekankan pada pergerakan di lokasi-lokasi yang sepi
terasa amat berat dialami oleh pasukan Cut Nyak Dien. Mereka mulai kesulitan
mendapatkan pasokan makanan. Di jalan-jalan yang dilewati, mereka jarang bertemu
dengan petani yang menjual hasil kebunnya untuk kemudian diolah menjadi
makanan. Banyaknya patroli Belanda yang keluar masuk kampung membuat
penduduk Aceh ketakutan untuk kembali mengolah sawah atau ladangnya. Cut Nyak
Dien dan pasukannya tidak lagi memikirkan apa yang pakaian yang ia gunakan, yang
ada di pikiran mereka adalah terus bergerak.100
98
Moh. Said, Atjeh Sepanjang Abad Djilid II (Medan: Waspada, 1961) , hal. 470. 99
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88. 100
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88.
62
Mekipun Cut Nyak Dien belum pernah ikut serta dalam medan tempur secara
langsung, apalagi menghadapi keganasan alam raya hutan Aceh, namun di tengah
pasukannya Cut Nyak Dien mampu menunjukkan kepemimpinan yang disegani
pengikutnya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari statusnya sebagai kaum bangsawan
ditambah kebesaran nama ayah serta suami-suaminya yang telah berjuang
membaktikan diri mempertahanakn Aceh dari penjajah. Walaupun demikian,
tersohornya nama Cut Nyak Dien sebagai tokoh penting perang Aceh bukan semata-
mata karena orang-orang yang dicintainya itu, melainkan karena perannya tersendiri
dalam memupuk perlawanan lanjutan menghadapi Belanda.
Di tengah petualangannya keluar masuk hutan, Cut Nyak Dien mengajarkan
pengikutnya untuk memanfaatkan kekayaan alam sebagai makanan dan obat. Anak
Teuku Nanta Setia ini memperkenalkan aneka buah-buahan, akar-akaran serta daun-
daunan yang bisa dimanfaatkan ketika kebutuhan makanan dan obat mereka menipis.
Meskipun keadaan menjadi serba sulit, tidak ada kelelahan apalagi terlintas di pikiran
para pengikut Cut Nyak Dien untuk menyerah. Mereka benar-benar sudah
menggantungkan nasib mereka kepada Cut Nyak Dien untuk sama-sama melawan
Belanda..101
H.C. Zentgraaff, seorang wartawan Belanda yang pernah mengikuti perang
Aceh, menyebutkan bahwa merupakan kesulitan dalam mencerna kepribadian wanita
Aceh. Ketika di medan perang, mereka akan tampil gagah berani. Wajahnya
memancarkan kebencian yang sangat kepada pasukan Belanda. Sesungguhnya, sikap
macam ini lahir dari perasaan menolak tunduk sehingga tidak ada jalan lain untuk
tampil menyerang. Keberanian wanita Aceh tidak boleh diragukan bahkan
mengalahkan kaum laki-laki. Meskipun mereka sudah terluka, mereka akan tetap
menerjang lawannya.102
101
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88. 102
H. C. Zentgraaff, Aceh, Terj. Firdaus Burhan (Jakarta: Departemen P dan K, 1983) hal. 74
63
Pasukan Cut Nyak Dien terdiri dari para pengguna senjata jarak dekat yang
terampil. Selain menggunakan rencong mereka juga menggunakan klewang. Cut
Nyak Dien berupaya memadukan pertahanan dan serangan dalam kadar yang
seimbang. Pasukannya tidaklah banyak, namun mempunyai kelebihan dalam
persembunyian dan gerak cepat. Hal ini dikarenakan mereka sudah terbiasa berada di
kondisi alam yang didominasi oleh hutan rimba.
Cut Nyak Dien akan menempatkan pasukannya dalam titik-titik yang
berdekatan di jalur yang digunakan patroli Belanda. Begitu pasukan Belanda
melintasi jalan tersebut, pasukan Cut Nyak Dien akan mencegat mereka dengan tiba-
tiba dan menyerang mereka dengan gerakan cepat. Mereka akan mengibaskan senjata
mereka atau menusukkan ke tubuh lawan. Musuh tidak mempunyai waktu yang
cukup untuk melakukan serangan balik, karena begitu cepatnya gerakan pasukan Cut
Nyak Dien. Setelah menyerang, pasukan Cut Nyak Dien akan melesat memasuki
semak-semak hutan dan segera berlari semakin masuk ke dalam. Tembakan-
tembakan Belanda tidak sampai menjangkau tubuh mereka.
Selain itu, Cut Nyak Dien sesekali juga memerintahkan pasukan untuk
menyebar dalam jangkauan wilayah tertentu. Tugas mereka adalah membunuh
pasukan-pasukan Belanda yang terpisah dari kelompoknya. Mereka adalah pencari
informasi yang ulung, sehingga dapat dengan cepat memperoleh informasi tentang
posisi pasukan lawan. Begitu mengetahui ada beberapa pasukan musuh yang
memisahkan karena alasan-alasan tertentu (misalnya buang air atau mencari
makanan) maka dengan cepat pasukan Cut Nyak Dien melumpuhkan mereka.103
Cara perang yang dilakukan Cut Nyak Dien di atas memang tidak sampai
mengurangi populasi pasukan Belanda secara drastis. Meskipun begitu, hasil yang
diakibatkan dari serangan ini dapat mempengaruhi mental dan fokus pasukan
Belanda. Mereka berpikir pasukan Aceh berjumlah banyak dan tersebar di mana-
103
Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 225.
64
mana. Padahal yang melakukan serangan adalah pasukan Aceh yang sama. Mereka
hanya mengandalkan pengetahuan geografis setempat. Pasukan Belanda akan berpikir
bahwa perang Aceh ternyata belum sepenuhnya usai. Pembunuhan demi pembunuhan
misterius yang dilakukan pasukan Aceh membuat pasukan patroli Belanda semakin
khawatir dan takut dalam menjalankan tugas.
Suatu ketika, Cut Nyak Dien mencoba cara baru untuk melebarkan pengaruh ke
Meulaboh. Ia tidak bisa terus menghindar dari sergapan Belanda terus menerus. Ia
pun membuat jaringan komunikasi dengan para penguasa Meulaboh mulai dari
pangkat terendah hingga yang tertinggi. Cut Nyak Dien tidak jemu mengajak mereka
untuk bersama bangkit melawan Belanda.104
Melalui tempat-tempat terpencil seperti dari dalam hutan Cut Nyak Dien terus
menyeru kepada rakyat Aceh untuk tidak berputus asa. Lewat jaringan informasi ke
sejumlah tokoh perang Aceh serta ke masyarakat, ia tekankan bahwa perang Aceh
belum berakhir. Ia juga menyeru kepada para pemuda Aceh untuk bersatu padu
menggabungkan diri dalam semangat melawan penjajah. Seruan ini membuat simpati
rakyat pada Cut Nyak Dien meningkat. Mereka seakan mempunyai pegangan hidup,
bahwa jauh di dalam rimba, masih ada ratu perang Aceh yang gencar meneror
kedudukan Belanda. Penduduk Aceh akan selalu percaya bahwa Cut Nyak Dien akan
datang menyelamatkan mereka.
Cut Nyak Dien dan para pengikutnya tidak bisa lama tinggal di suatu daerah.
Ia harus terus bergerak dan berpindah-pindah agar musuh semakin menjauh dari
mereka. Biasanya, Cut Nyak Dien akan membangun tenda darurat di lokasi yang sulit
dijangkau oleh manusia pada umumnya. Gubuk yang dibangun para pengikut Cut
Nyak Dien hanya berbahan dasar kayu dan dedaunan kering. Di siang hari, mereka
menghindari penggunaan api, karena asap pembakarannya dapat dijadikan petunjuk
104
C. Van der Pol, “Tjut Nja’ Dien” , De Gids, tweede deel (Amsterdam: P.N. Van Kampen &
Zoon, 1961), hal. 339.
65
Belanda mendekati lokasi yang dicurigai ditempat Cut Nyak Dien. Jalan menuju
gubuk mereka sengaja dibuat berlawanan dengan jalur aslinya, agar para kaki tangan
Belanda yang ditugaskan mencari jejak kesulitan mendeteksi lokasi Cut Nyak
Dien.105
Memasuki bulan Oktober 1901, Cut Nyak Dien memutuskan bergerak masuk
ke dalam menuju dataran tinggi Gayo. Tempat ini dipilih agar mereka semakin jauh
dari patroli Belanda.106
M. H. Gayo menerangkan bahwa Cut Nyak Dien berada di
Gayo dari tahun 1900 – 1901. Ia tinggal di kampung Celala. Cut Nyak Dien tinggal di
suatu meunasah (mersah) dekat kediaman pemuka rakyat setempat yang dikenal
dengan sebutan Reje Cik. Reje Cik berasal dari belah Melala Bebesen yang berdiam
di Celala. Lingkungan tempat tinggal Cut Nyak Dien berada dalam lingkungan istana
raja. Setelah setahun, Cut Nyak Dien kembali bergerak menuju Betung. Penduduk
Celala melakukan pengawalan. Mereka juga membangun pos-pos di tempat strategis
untuk persiapan menghadapi pasukan Belanda.107
B. Penangkapan dan Pengasingan Cut Nyak Dien
Semakin jauh Cut Nyak Dien dari jangkauan penduduk Aceh pada umumnya
semakin menderita hidupnya. Kekurangan demi kekurangan yang dialaminya tidak
dirisaukannya. Kondisi fisik Cut Nyak Dien yang menua membuat Pang Laot
semakin kasihan padanya. Apalagi ketika mengetahui mata Cut Nyak Dien sudah
tidak mampu lagi melihat dengan benar. Pang Laot pun merasa adalah kesalahannya
jika terus membiarkan kondisi buruk menimpa sosok pemimpinnya ini.
Suatu ketika pada tahun 1904, Pang Laot membulatkan tekat untuk
mengabarkan kepada Belanda tentang posisi Cut Nyak Dien. Ia tidak tahan lagi
melihat penderitaan fisik yang dialami istri Teuku Umar itu. Setelah meminta diri
105
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 92. 106
Tamar Djaja, Pusaka Indonesia ..., hal. 563. 107
M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (Jakarta: Balai Pustaka, 1983),
hal. 98.
66
pada Cut Nyak Dien, ia bergegas menuju tempat istirahat patroli Belanda yang saat
itu dipimpin oleh Van Vuuren. Ketika Pang Laot datang hampir semua anggota
pasukan Belanda bersiap menyerang komandan perang Aceh itu, namun dengan sigap
Pang Laot meminta waktu ingin berbicara dengan Van Vuuren tentang Cut Nyak
Dien.
Van Vuuren mengerti bahwa apa yang dibicarakan Pang Laot adalah detik-
detik masa akhir perlawanan Cut Nyak Dien. Pang Laot meminta komandan Belanda
itu agar memperlakukan Cut Nyak Dien dengan baik dan berjanji untuk merawat Cut
Nyak Dien begitu sampai di Kota Raja. Van Vuuren mendengarkan permintaan Pang
Laot dengan seksama. Kemudian ia meminta pasukan bersiap diri menuju
persembunyiaan Cut Nyak Dien. Van Vuuren sendiri yang memimpin patroli ini
dengan Pang Laot sebagai penunjuk jalan.
Begitu sampai ke tempat Cut Nyak Dien, Pang Laot meminta Cut Nyak Dien
untuk menyerahkan diri pada Belanda dengan perkataan lemah lembut. Betapa
marahnya Cut Nyak Dien mengetahui Pang Laot sudah menghianatinya. Cut Nyak
Dien bersumpah tidak akan mundur walau sejengkal pun. Ia melontarkan caci maki
kepada Pang Laot yang telah berani menunjukkan jalan pada Belanda. Dengan segera
Cut Nyak Dien dan pengikut yang lain segera ditawan oleh pasukan Belanda.
Van Vuuren amat kagum dengan kebulatan tekad juang Cut Nyak Dien. Amat
jarang ditemui di negerinya, Belanda, seorang wanita yang mengabdikan diri di jalur
peperangan. Sebagai pemimpin, Cut Nyak Dien rela menderita bahkan sampai
mengidap penyakit agar perlawanan menghadapi musuh terus berjalan. Van Vuuren
memberikan penghargaan yang tinggi bagi Cut Nyak Dien. Ia juga menggelar
upacara penghormatan bagi Cut Nyak Dien.108
108
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 97-98.
67
Van Vuuren menepati janji Pang Laot. Begitu sampai di Kotaraja, Cut Nyak
Dien segera dilarikan ke rumah sakit untuk mengobati penyakitnya termasuk
matanya. Pemerintah Belanda menjatuhkan hukuman pengasingan bagi Cut Nyak
Dien. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Cut Nyak Dien terhadap
perjuangan bangsa Aceh yang masih terus saja bergolak di beberapa daerah. Cut
Nyak Dien diangkut dengan kapal laut menuju Batavia kemudian ditempatkan di
Sumedang, Jawa Barat.109
Menurut penuturan Asep G., juru kunci makam Cut Nyak Dien yang terletak
di Gunung Puyuh Sumedang, dikatakan bahwa Cut Nyak Dien datang ke Sumedang
pada tahun 1906, ditemani seorang pengawalnya yang masih berusia 5 tahun bernama
Teuku Nana. Saat itu Cut Nyak Dien diterima oleh Bupati Sumedang yang bernama
Eyang Arya Suryaatmaja (bergelar Pangeran Mekkah). Cut Nyak Dien datang dalam
keadaan buta. Pengurusannya diserahkan kepada keluarga Kyai Sanusi.
Di Sumedang, tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Cut Nyak Dien. Di
kalangan penduduk, Cut Nyak Dien lebih dikenal dengan panggilan Ibu Perbu, Ibu
Suci atau Ibu Ratu. Pihak yang mengetahui jati diri Cut Nyak Dien hanyalah keluarga
Bupati Sumedang dan keluarga Kyai Sanusi. Cut Nyak Dien tidak bisa berbahasa
Sunda. Ia berbicara dengan keluarga Kyai Sanusi dengan bahasa Arab.110
Oleh keluarga Kyai Sanusi, Cut Nyak Dien diberi tempat tinggal berupa
rumah yang luasnya 12 x 14 meter. Bentuk rumahnya adalah rumah panggung. Untuk
keperluan sehari-hari, Cut Nyak Dien dibantu oleh keluarga Kyai Sanusi yang
bernama Siti Khadijah. Di Sumedang, Cut Nyak Dien mengajarkan pengetahuan
agama Islam kepada ibu-ibu di sekitar rumahnya. Di antara murid-murid Cut Nyak
109
Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 99. 110
Wawancara dengan Asep G. (50 tahun) juru kunci makam Cut Nyak Dien di Komplek
Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12 Agustus 2017.
68
Dien antara lain bernama Naga Bulan dan Dioh Sadiah. Pada tahun 1908, Cut Nyak
Dien wafat dan dimakamkan di tanah pekuburan keluarga Kyai Haji Sanusi.111
C. Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Perang Aceh
Pengaruh yang ditonjolkan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh memang
berbeda dengan tokoh-tokoh perang Aceh lainnya. Terdapat tiga varian perjuangan
yang penulis temukan dalam memetakan garis perjuangan bangsa Aceh yakni:
pengaruh strategi, pengaruh agama dan pengaruh wanita kuat.
Pengaruh strategi adalah suatu model bagaimana menanamkan pengaruh ke
sekumpulan orang berbekal pemahaman taktik maupun strategi perang yang baik.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kategori ini adalah Teuku Ibrahim Lamnga dan
Teuku Umar. Mereka berdua dikenal sebagai dua panglima Aceh yang menjadi
andalan di garis depan pertahanan Aceh. Dua suami Cut Nyak Dien ini dikenal
mempunyai pemahaman taktik yang memadai sehingga mampu menahan laju
serangan Belanda. Selain mereka, sosok yang dikenal karena kelihaian strateginya
adalah ayah Cut Nyak Dien, Teuku Nanta Setia. Berbeda dengan dua menantunya, ia
memusatkan taktik membangun pertahanan di sekitar Mukim VI. Pertahanan ini
berguna menghambat gerakan pasukan Belanda ke pedalaman (lebih lengkapnya baca
bab 3).
Pengaruh agama bisa dirasakan dari sosok perang Aceh yang berlatarbelakang
kaum agamawan. Salah satu yang bisa disebutkan adalah Teungku Cik Di Tiro.
Dalam perang Aceh, tokoh agama asal Tiro ini rajin membakar semangat juang
pasukan Aceh melalui pidato-pidatonya. Memang, dalam beberapa kesempatan ia
juga kerap melibatkan diri dalam medan pertepuran. Namun, penulis melihat
perannya sebagai muballig yang menyadarkan dan membangun semangat juang orang
111
Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma (70 tahun) juru kunci makam Cut Nyak
Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12
Agustus 2017.
69
Aceh yang lebih menonjol. Ini pula yang melandasi mengapa tokoh ini layak
dikatakan sebagai tokoh perang Aceh berlatarbelakang pengaruh agama.112
Sekat gender tidak terasa dalam perang Aceh. Baik laki-laki maupun wanita
mempunyai peran yang sama dalam pertempuran yang terjadi di segenap penjuru
Aceh. Wanita yang hidup dalam perang Aceh menampilkan sosok diri yang tegar,
mandiri dan bertekad kuat untuk berjuang di medan pertempuran. Penulis meyakini
kepemimpinan wanita di Aceh menempati posisi yang setara dengan kepemimpinan
kaum lelaki. Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah merupakan
beberapa nama perempuan kuat yang terlibat dalam perang Aceh.
Penulis melihat peluang yang besar bagi wanita yang mempunyai keyakinan
kuat untuk ikut perang Aceh menjadi pemimpin perang. Memang, tidak semua
perempuan di Aceh mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Cut Nyak
Dien misalnya, berpeluang menjadi panglima perang karena latar belakang
keluarganya yang memang menempati strata yang tinggi dalam struktur masyarakat
Aceh. Ia berasal dari keluarga uleebalang VI Mukim. Leluhurnya, Datuk Makhdum
Sati, merupakan sosok yang sudah terpandang di kalangan pembesar istana Aceh.
Ayahnya, Teuku Nanta Setia, juga menjadi salah satu panglima perang andalan dalam
perang Aceh episode sebelumnya.
Penulis menilai Cut Nyak Dien merupakan sosok yang unik dalam perang
Aceh. Sejak remaja sampai dengan kematian Teuku Umar, dirinya tidak pernah
dikisahkan ikut secara langsung dalam pertempuran melawan Belanda. Cut Nyak
Dien hanya ditampilkan sebagai sosok yang mempunyai keingintahuan yang tinggi
mengenai jalannya perang Aceh. Kemungkinan ayah maupun dua suaminya melarang
Cut Nyak Dien untuk ikut perang Aceh secara langsung. Keinginan yang terus
ditekan mampu dikelola Cut Nyak Dien menjadi cita-cita yang ia yakini bahwa suatu
saat ia akan tampil memimpin pasukan Aceh. Sesuatu yang menjadi impiannya.
112
Tamar Djaja, Pusaka Indonesia …, hal. 511-515.
70
Apa yang sudah dilakukan Cut Nyak Dien adalah suatu wujud kepahlawanan yang
nyata. Menurut Thomas Carlyle, yang disebut pahlwan adalah orang berjasa besar di
masa lalu. Seorang pahlawan juga ditentukan oleh alasan orang-orang di sekitarnya
menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Seorang pahlawan tentu mempunyai
hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya. 113
Keberhasilan Cut Nyak Dien menghimpun bala tentara Aceh yang tercerai
berai setelah wafatnya Teuku Umar menjadi hal yang pantas diperhatikan. Tentu
tidak mudah meyakinkan para pejuang Aceh dalam komando seseorang yang belum
mempunyai modal yang cukup memimpin pasukan di medan perang. Dalam hal ini,
Cut Nyak Dien beruntung dapat terlebih dahulu meyakinkan Pang Laot, mantan
tangan kanan Teuku Umar, untuk kembali mengangkat senjata. Besar kemungkinan
melalui Pang Laot-lah Cut Nyak Dien memperoleh pasukan yang nantinya berperang
di sisinya.
Sikap konsisten (istiqomah) atau berpendirian tetap melawan Belanda
agaknya yang membuat para pasukan Aceh merasa aman berada dalam
kepemimpinan Aceh. Memimpin pasukan yang rata-rata berasal dari kalangan laki-
laki tentu merupakan tantangan tersendiri bagi Cut Nyak Dien. Penulis meyakini,
figur kuat akan perlawanan pantang mundur yang ditampilkan Cut Nyak Dien cukup
untuk meyakinkan prajuritnya untuk bersama-sama melakukan serangan terhadap
Belanda. Dengan kata lain, karakter kepahlawanan Cut Nyak Dien terletak pada
watak anti-kolonial dan ketetapan hati Cut Nyak Dien.
Menguatnya figur Cut Nyak Dien sebagai pahlawan wanita terkemuka di
kemudian hari adalah berkat pengabdiannya yang tinggi di dunia pendidikan. Di
Sumedang, Cut Nyak Dien membuka pengajian bagi para ibu-ibu di sekitar
rumahnya. Matanya yang saat itu buta bukan merupakan ganjalan untuk menyebarkan
113
Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New York; Chelsea
House, 1983) hal. 1.
71
manfaat bagi sesama. Kendati ia tidak pandai berbicara dengan bahasa Sunda, bahasa
yang digunakan di lingkungan tempat tinggalnya, Cut Nyak Dien tidak menyerah.
Dengan bahasa Arab ia mengajarkan pengetahuan agama.114
114
Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma (70 tahun) juru kunci makam Cut Nyak
Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12
Agustus 2017.
72
BAB V
A. KESIMPULAN
Perang Aceh merupakan salah satu perang besar yang terdapat dalam sejarah
Indonesia. Dalam perang ini, kaum elit Aceh bersatu padu dengan rakyat untuk
menghalau kedatangan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda merasa Kerajaan Aceh
harus segera dihapuskan kedaulatannya, untuk mencegah ancaman mereka atas
wilayah-wilayah yang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Banyak aktor yang terlibat sebagai panglima perang Aceh. Kebanyakan yang
menjadi panglima perang berlatar belakang keluarga bangsawan atau pemimpin
Aceh. Perang ini tidak membatasi keterlibatan seluruh warga Aceh. Mereka yang
merasa siap, diperbolehkan bergabung dengan laskar pasukan Aceh yang nantinya
berperang dengan Belanda. Tidak hanya kaum laki-laki, banyak pula di antara yang
ikut perang adalah perempuan, satu di antaranya adalah Cut Nyak Dien.
Keinginan Cut Nyak Dien untuk ikut perang Aceh sesungguhnya sudah
tumbuh sejak lama. Niatnya itu selalu diurungkan, mengingat kedua suaminya, yakni
Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, termasuk dalam jajaran panglima utama
perang Aceh. Meski demikian, Cut Nyak Dien tetap tertarik pada pembicaraan
seputar perang Aceh, bahkan bercita-cita suatu saat bisa berperang di sisi pejuang
Aceh lainnya.
Harapan Cut Nyak Dien baru tercapai ketika Teuku Umar wafat. Dengan
dibantu oleh Pang Laot, ia kumpulkan lagi para pejuang Aceh. Perekrutan tentara
Aceh dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena patroli Belanda di kampung-
kampung Aceh semakin sering dilakukan. Dalam perekrutan pasukan Aceh baru,
peran dari Pang Laot tentu saja tidak bisa dikesampingkan. Cut Nyak Dien amat
mengandalkan Pang Laot untuk mengumpulkan prajurit, dikarenakan Cut Nyak Dien
belum pernah turun langsung ke medan pertempuran. Setelah pasukan terkumpul,
73
mereka semua dilatih terlebih dahulu di suatu tempat rahasia sebelum ditugaskan
berperang melawan Belanda.
Model perlawanan yang dilakukan Cut Nyak Dien adalah perang gerilya. Cut
Nyak Dien tidak melakukan perang serentak, yakni dengan memerintahkan seluruh
pasukannya untuk menyerang ke satu titik. Karena wilayah jelajah Cut Nyak Dien
berada di hutan maupun tempat-tempat pedalaman, pasukan Cut Nyak Dien akan
mencari atau menunggu datangnya patroli Belanda. Patroli yang anggotanya lebih
sedikit akan menjadi sasaran pasukan Cut Nyak Dien yang umumnya menggunakan
senjata tajam. Selain itu, cara lain adalah dengan menikam mati pasukan-pasukan
yang terpisah dari anggota kesatuannya. Biasanya pasukan Cut Nyak Dien akan
mengandalkan pengetahuan geografis untuk mengetahui di mana posisi yang tepat
untuk melakukan penyerangan.
74
B. Saran-saran
1. Perlu di ketahui bahwa perjuangan melawan Belanda yang dilakukan para pejuang
Aceh atas dorongan yang sangat kuat dalam diri mereka serta budaya Islam yang ada.
2. Pembaca tidakhanya sekedar membaca namun juga memahami maksud dari
perjuangan yang telah dilakukan Cut Nyak Dien.
3. Pada generasi yang akan datang harus dapat merawat peninggalan- peninggalan
jaman penjajahan, agar dapat belajar bagaimana perjuanganpara pahlawan di masa
lalu.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Koran dan Artikel:
Amin, Ahmad. 1964, Dhuha al-Islam, jilid 2 Beirut: Dar al-Kitab al-Araby
Alfian, Ibrahim. 1987, Perang Sabil; Perang di Jalan Allah, Jakarta: Sinar Harapan
Anonim, 1932, “Mededeelingen Betreffende de Atjehsche onderhoorigheden”,
Ahmad, Zakaria. 1972, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675 Medan:
Monora.
Abdurrahman, Dudung. 1999, Metode Penelitian Sejarah Tangerang: Logos Wacana
Ilmu.
Atjeh, Abubakar. 1971, Sekitar Masuknya Islam di Indonesia Semarang: C.V.
Ramadhani
Bijdragen Tot De Taal-Land-en Volkenkunde Van Nederlandsch Indie BKI, LXVII,
s’Gravenhage, Martinus Nijhoff.selanjutnya hanya ditulis BKI.
BKI, LIII, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1901, hal. 18.
Carlyle, Thomas. 1983, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New
York; Chelsea House,
Dasgupta,A.K. 1962, Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600-1641, disertasi,
Cornell University.
der Pol, C. Van. 1961, “Tjut Nja’ Dien” , De Gids, tweede deel Amsterdam: P.N. Van
Kampen & Zoon.
Djajaningrat, Hoesein. 1934, Atjehsch Nederlansch Woordenboek, Vol. I Batavia:
Landrukkerij,
Djaja, Tamar. 1966,, Pusaka Indonesia Djilid Dua Djakarta: Bulan Bintang
Gottschalk, Louis. 2006, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto Jakarta: UI
Press,.
Gayo, M.H. 1983, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda Jakarta: Balai
Pustaka,
Hasjmi, A. 1975, Iskandar Muda Meukuta Alam Jakarta: Bulan Bintang.
76
Hill, A.H. 1960, “Hikajat Radja-radja Pasai,” Journal of the Malayan Branch of the
Royal Asiatic Society, JMBRAS, XXXIII, past 2.
Hurgronje, C. Snouck. 1985, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng. Singarimbun
Jakarta: Yayasan Sokoguru.
Hall, D. G. E. 1960, A. History of South East Asia, London: Macmillan & co Ltd.
Hazil,1955, Teuku Umar dan Tjut Nja Din; Sepasang Pahlawan Atjeh (Djakarta:
Djambatan,
Haard, Eigen. 1898, Album Atjeh, Uitgaven de Naamlooze Vennotschap,
Amsterdam.
Hurgronje, Snouck. 1894, De Atjehers, vol. 2 Leiden: E.J. Brill,
Hoesin, Moehammad. Adat Atjeh Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan
Daerah Istimewa Atjeh, 1970.
“Ibnu Batutta”, 1971, dalam A. Miquel, The Encyclopaedia of Islam, New edition,
vol. III H-IRAM Leiden: E. J. Brill.
Ibrahim, Muchtaruddin. 1981-1982 Cut Nyak Dien Jakarta: Departemen P dan K,
Pada Pekan Kebudayaan Aceh tahun 1971, Takengon dianugerahi gelar sebagai kota
teladan.
Ibrahim Alfian, Teuku . 1987 Perang di Jalan Allah Jakarta: Sinar Harapan, 1987
Thomas Braddel “On the History ...”,
Juynboll, Th. W. 1960, The Encyclopaedia of Islam, Vol I Leiden: E.J. Brill.
Kartodirdjo, A. Sartono. 1973, Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap
Kolonialisme,Pusat Sejarah Abri
Koentjaraningrat,1971, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan.
Kuntowijoyo,1995, Pengantar Ilmu Sejarah Yogyakarta: Bentang, 100
Kreemer, J. 1981, Peran Azimat di Aceh, Terj. Aboe Bakar Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh,
Khatiritamby Wells, J. 1969, “Acehnese Control over West Sumatra up to Treaty of
Painan 1663,” Journal of South East Asian History, vol. X, No. 3.
77
Kartodirdjo, Sartono. dkk,1975, Sejarah Nasional Indoenesia, jilid IV Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kartodirdjo, Sartono.1969, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisionil dan Kolonial,
Jogjakarta: Fak. Sastra, Univ. Gadjah Mada,
Lulofs, Szekely. Tjut Nja Dien ..., hal. 15.
Lulofs, Szekely. 2010, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh Depok: Komunitas
Bambu,
Mukti Ali, A. 1970, An Introduction to the Government of Acheh’s Sultanate
Jogjakarta: Jajasan Nida.
.Muljono, Slamet. 1968, Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Tumbuhnya
Negara-negara Islam di Nusantara Djakarta: Bhatara.
Morgan, Kenneth W. 1963, Islam Djalan Mutlak, jilid 2, terj. Abusalamah SS
Jakarta: P.T. Pembangunan.
Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 209-211.
Madjid, M. Dien. 2014, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan
Pejuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Paulus, J. 1917, “Atjeh”, Encyclopaedia van Nederlandsch Indie, E. J. Brill,
Siegel, James T. The Rope of God Barkeley and Los Angeles: University of
California Press, 1969.
Reid, Anthony. 1969, The Contest for North Sumatera Kuala Lumpur: University of
Malaya Press.
Saleh, Zaenuddin. 1952, Sedjarah Indonesia, cet. III Djakarta: Pustaka Dewata.
Suryasunarsa, Buddy. 1973 “Aceh Barat Sebuah Kasus Isolasi”, Kompas, edisi 9
Januari.
Sutan Pamenan, Iljas. 1959, Rentjong Atjeh di Tangan Wanita, stencilan untuk kursus
B 1 Sejarah Jakarta: tanpa penerbit,
Schrieke, B. 1957, Indonesian Sociological Studies, part 2 The Hague and Bandung:
W. Van Hoeve Ltd.
Said, Moh. 1961, Aceh Sepanjang Abad Vol. 1 Medan: Waspada
78
Said, Moh. 1961, Atjeh Sepanjang Abad Djilid II Medan: Waspada,
Sutjipto Wirjosuparto, St. Moh. 1961, Sedjarah Indonesia, jilid 2 t. tp: Indra,
Szekely Lulofs, M. H. 1954, Tjut Nja Dien; Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj.
dan saduran Abdoel Muis Chailan Sjamsu Djakarta: tanpa penerbit,
Safwan, Mardanas. 1983 Teuku Umar Jakarta: Dinas P dan K,
Vollenhoven, C. van. 1931, Het Adat Recht van Nederlandsch Indie, deel I Leiden:
tanpa penerbit.
Zentgraaff, H. C. Aceh, 1983, Terj. Firdaus Burhan Jakarta: Departemen P dan K
Zaenuddin, H. M. 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I Medan: Pustaka Iskandar
Muda.
Van den Berg, L.W.C. “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch Indie”,
Van’t Veer, Paul. 1985, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hugronje, Terj.
Grafitipers Jakarta: Grafitipers,
Wawancara dengan Asep G. 50 tahun juru kunci makam Cut Nyak Dien di Komplek
Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12
Agustus 2017.
Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma, 70 tahun juru kunci makam Cut
Nyak Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang
pada hari Sabtu 12 Agustus 2017.
Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma ,70 tahun juru kunci makam Cut
Nyak Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang
pada hari Sabtu 12 Agustus 2017
Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Grafika, tanpa tahun), hal. 407.
79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gambar Tokoh Cut Nyak Dien
80
Gambar Tokoh Teuku Umar
81
Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun ( 1496 – 1903 M )
82
Gambar Makam Cut Nyak Dien yang terletak di daerah sumedang
83
Gambar Penulis dan Penjaga Makam Cut Nyak Dien ketika melakukan
penelitian