kor pulmunal - isi
TRANSCRIPT
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pendahuluan
Istilah kor pulmonal telah diuraikan dalam berbagai macam batasan dan
definisi, dan hal ini dipengaruhi oleh perkembangan diagnostik dalam ilmu
kedokteran. Pada tahun 1963, dibuat definisi kor pulmonal berdasarkan pada
penemuan gejala-gejala klinis, perubahan faal jantung, dan kelainan patologi-
anatomis pada jantung dan paru.1
World Health Organization (WHO) pada tahun1963 memberikan definisi
sebagai berikut : kor pulmonal adalah suatu keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru. Dalam hal ini, tidak termasuk kelainan jantung kiri,
dan kelainan yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan.1
Sejak 1974, telah dilakukan kateterisasi jantung dan penentuan analisis gas
O2 dan CO2 dalam darah, dan hal ini jadi kriteria baru bagi definisi kor pulmonal.1
Braunwahl, 1980, memberikan definisi kor pulmonal sebagai berikut : kor
pulmonal merupakan suatu keadaan patologis akibat hipertrofi/dilatasi ventrikel
kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal, dengan penyebabnya adalah
kelainan penyakit parenkim paru, kelainan vaskular paru dan gangguan fungsi
paru oleh kelainan dada. Tidak termasuk di sini kelainan vaskular paru yang
disebabkan oleh kelainan ventrikel kiri, penyakit ampang jantung (vitium cordis),
kelainan penyakit jantung bawaan dan panyakit jantung iskemik serta infark
miokard akut.1
1
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertorfi ventrikel kanan sedangkan pada kor
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.2
Angka-angka insidensi dan prevalensi beraneka ragam serta tidak sama,
bergantung pada situasi dan kondisi yang disurvei. Di daerah Massachuset angka
insedensi kecil yaitu 0,9%. Sedangkan di arizona merupakan 59% dari angka
insidensi penyakit jantung seluruhnya. Di Belgia, New Delhi, Praha, Sheffield
(Inggris), angka insidensi berkisar antara 16-33%.1
Di Amerika Serikat, Kor pulmonal diperkirakan meliputi 6-7% dari semua
jenis orang dewasa yang dengan penyakit jantung, penyakit yang berkaitan
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang disebabkan bronkitis kronis
atau emfisema mencapai lebih dari 50% kasus. Meskipun prevalensi dari PPOK di
Amerika Serikat adalah sekitar 15 juta, angka kejadian yang tepat dari kor
pulmonal sulit ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus PPOK serta
pemeriksaan fisik dan tes rutin tidak dapat mendeteksi terjadinya hipertensi
pulmonal. Pada dasarnya, kor pulmonal akut biasanya menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah (emboli) pada paru-paru yang terjadi secara terus menerus
(masif). Tromboemboli pada paru-paru yang terjadi akut dan bersifat masif
merupakan penyebab utama dari kor pulmonal pada orang dewasa. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 50.000 kematian terjadi setiap tahun karena emboli
2
paru-paru dan sekitar setengahnya terjadi pada jam pertama karena kegagalan
jantung kanan akut.3
Secara internasional, terjadinya kor pulmonal bervariasi antar negara-
negara, tergantung pada kebiasaan merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain
dari berbagai penyakit paru.3
Kor pulmonal terjadi sebagai hasil dari suatu penyakit paru-paru primer
pada umumnya mempunyai prognosis yang buruk. Sebagai contoh, pasien dengan
PPOK yang berkembang menjadi kor pulmonal mempunyai kesempatan untuk
bertahan hidup selama 5 tahun adalah sekitar 30%.3
Tidak semua pasien denngan PPOK akan mengalami kor pulmonal, karena
banyak usaha pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen
darah arteri mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya hipertensi
pulmonal (tekanan di arteri pulmonalis meningkat). Pada umumnya makin berat
gangguan keseimbangan ventilasi-perfusi, akan semakin mudah terjadi ganggaun
analisis gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya hipertensi pulmonal
dan kor pulmonal. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan
mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonal.2
Jenis kelamin yang sering terkena penyakit paru obstruktif kronik dan kor
pulmonal ialah laki-laki. Tetapi beberapa peneliti juga menemukan angka yang
lebih tinggi pada wanita.1
Untuk golongan umur, pada umumnya kor pulmonal terdapat pada pasien
yang sudah lama menderita penyakit paru obstruktif kronik serta berumur lebih
3
dari 50 tahun. Golongan umur tertinggi (peak incidence) umumnya dijumpai di
antara umur 50-60 tahun. Hampir semua peneliti menemukan peak incidence pada
umur 50-60 tahun.1
B. Jantung dan Sistem Sirkulasi
Seperti yang kita ketahui, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah,
yaitu jantung kanan yang memompakan darah ke paru-paru, dan jantung kiri yang
memompakan darah ke organ-organ perifer. Selanjutnya, setiap bagian jantung
yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri
atas satu atrium dan satu ventrikel. Atrium terutama berfungsi sebagai pompa
primer yang lemah bagi ventrikel yang membantu mengalirkan darah masuk ke
dalam ventrikel. Ventrikel selanjutnya menyediakan tenaga utama yang dapat
dipakai untuk mendorong darah ke sirkulasi pulmoner atau sirkulasi perifer.4
Sirkulasi, dibagi menjadi sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmoner. Karena
sirkulasi sistemik menyuplai seluruh jaringan tubuh kecuali paru-paru dengan
aliran darah, hal ini juga disebut sirkulasi besar atau sirkulasi perifer.4
Gambar 1. Anatomi Jantung
4
Ruangan jantung bagian atas, atrium, secara anatomis terpisah dari
ruangan jantung sebelah bawah, ventrikel, oleh suatu anulus fibrosus. Keempat
katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara fungsional jantung dibagi menjadi
alat pompa kiri, yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru, dan darah
bersih ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah
konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi : vena kava, atrium kanan,
ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru-paru, vena pulmonalis, atrium kiri,
ventrikel kiri, aorta, arteria, arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava.5
Fungsi sirkulasi adalah untuk melayani kebutuhan jaringan, untuk
mentransfer nutrien ke jaringan, untuk mentransfer produk-produk yang tidak
berguna, untuk menghantarkan hormon dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dan, secara umum, untuk memelihara lingkungan yang sesuai dalam
seluruh cairan jaringan agar bisa bertahan hidup secara optimal dan untuk fungsi
sel-sel.4
5
C. Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-Paru
Terdapat perbedaan-perbedaan yang penting antara sirkulasi sistemik dan
sirkulasi pulmonar. Pembuluh pulmonar mempunyai dinding-dinding yang lebih
tipis dan sedikit otot polos. Karena itu, sirkulasi pulmonar lebih mudah teregang
dan resistensinya terhadap aliran darah lebih kecil. Besarnya tekanan dalam
sirkulasi pulmonar kira-kira seperlima tekanan dalam sirkulasi sistemik. Dinding-
dinding pembuluh darah pulmonar jauh lebih kecil reaksinya terhadap pengaruh
otonom dan humoral, namun perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam
darah dan alveoli mampu mengubah aliran darah yang melalui pembuluh
pulmonar. Perbedaan-perbedaan ini membuat sirkulasi pulmonar benar-benar pas
untuk memenuhi fungsi fisiologisnya yaitu untuk mengambil oksigen dan
melepaskan karbondioksida.5
Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan
pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskular
paru-paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa
pada pergerakan pernafasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan
sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah, maka curah jantung dapat
meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik)
tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat
terjadi karena besarnya kapasitas anyaman vaskular paru-paru, di mana perfusi
normal hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampuan untuk
menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik.6
6
Suplai darah paru-paru bersifat unik dalam beberapa hal. Pertama, paru-
paru mempunyai dua sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru.
Arteria bronkialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkus. Vena bronkialis yang besar mengalirkan darahnya ke dalam
sistem azygos, yang kemudian bermuara pada vena kava superior dan
mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan
mengalirkan darah vena pulmonalis. Karena sirkulasi bronkial tidak berperanan
pada pertukaran gas, darah yang tidak teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2
sampai 3% curah jantung.6
Arteria pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah
vena campuran ke paru-paru dimana darah tersebut mengambil bagian dalam
pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi
alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan dalam proses pertukaran gas
antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan
melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri, yang selanjutnya membagikannya
kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.6
Suatu sifat lain dari sirkulasi paru-paru adalah bahwa sirkulasi paru-paru
ini adalah suatu sistem tekanan rendah dan resistensi rendah dibandingkan dengan
sirkulasi sistemik. Tekanan darah sistemik sekitar 120/80 mmHg, sedangkan
tekanan darah pulmonar (PAP) sekitar 25/10 mmHg dengan tekanan rata-rata
sekitar 15 mmHg. Sifat ini mempunyai beberapa konsekuensi penting. Jalinan
7
vaskular pulmonar dengan resistensi dan distensibilitas yang rendah
memungkinkan beban kerja ventrikel kanan yang lebih kecil dibandingkan dengan
beban kerja ventrikel kiri. Selain itu aliran darah pulmonar pada waktu melakukan
kegiatan fisik dapat ditingkatkan tanpa adanya kenaikan tekanan darah pulmonal
yang berarti.6
Jika besar tekanan hidrostatik (HP) paru-paru orang normal yang
umumnya sekitar 15 mmHg melampaui tekanan osmotik koloid (COP) darah yang
besarnya sekitar 25 mmHg, maka cairan akan meninggalkan kapiler paru-paru dan
masuk ke dalam interstisial atau alveolus, sehingga mengakibatkan edema paru-
paru. Edema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas karena memperpanjang
jalur difusi antara alveolus dan kapiler. Edema paru-paru merupakan komplikasi
yang sering terjadi akibat gagal jantung kongestif, pneumonia dan gangguan paru-
paru lainnya.6
D. Etiologi
Secara normal, sisi sebelah kiri jantung menghasilkan suatu tekanan darah
yang lebih tinggi dalam rangka memompa darah ke seluruh tubuh, bagian
kanannya memompa darah sampai ke paru-paru dengan tekanan yang lebih
rendah. Beberapa kondisi yang menuju ke arah tekanan darah yang tinggi
diperpanjang di dalam arteri atau vena di paru-paru (disebut hipertensi pulmonal)
yang akan berakibat buruk pada ventrikel kanan jantung. Ketika ventrikel kanan
jantung gagal atau tidak mampu memompa dengan baik, akibatnya tekanan darah
menjadi tinggi dan abnormal, ini disebut kor pulmonal.7
8
Gambar 2. Kor Pulmonal
Sebagian besar angka insidensi kor pulmonal disebabkan oleh penyakit
parenkim paru menahun yang bersifat obstruktif, atau PPOK Dalam hubungannya
dengan penyakit paru menahun dan obstruktif, termasuk diantaranya adalah akibat
kronik, asma bronkial yang sudah diderita lama, dam emfisema paru.1
Berbagai faktor penyebab kor pulmonal adalah sebagai berikut:1,2,7,8
1. Rangsangan kimia
a. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama. Perokok sigaret
mempunyai prevalensi yang tinggi kelainan faal paru, keluhan
respirasi dan penyakit paru obstruktif kronik. Pada perokok pipa dan
cerutu dijumpai mortalitas dan morbiditas PPOK yang lebih besar
dari yang bukan perokok, tetapi lebih kecil dari perokok sigaret.
Tidak semua perokok timbul PPOK secara klinis.
9
Kor pulmonal, atau gagal jantung kanan adalah pembesaran ventrikel kanan karena peningkatan tekanan darah pada paru yang biasanya disebabkan oleh penyakit paru
b. Polusi udara
Pengobatan udara oleh asap dari cerobong-cerobong pabrik di daerah
industri (seperti misalnya Sheffield, Blackpool, Inggris, dan daerah
industri di amerika). Smog (smoke and fog), kabut dan kotoran asap
yang terdapat di Inggris (London, Sheffield). Karbonmonoksida
berasal dari asap mobil, mesin lainnya, serta SO2, SO3, NO2 yang
merupakan asap dan debu industri.
2. Faktor host
a. Genetik
Sebanyak 35% kasus kor pulmonal ditemukan pada anggota keluarga
tertentu yang ternyata kekurangan alfa 1-antitripsin (suatu kelainan
herediter yang jarang ditemukan) yang memegang peranan dalam
penentuan predisposisi terjadinya penyakit paru obstruktif kronik.
b. Hiperaktivitas bronkus
Asma dan aktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko
yang memberi andil timbulnya PPOK. Bagaimana pengaruh kedua
kelainan tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.
3. Faktor infeksi
Berbagai kuman yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif
kronik (bronkitis kronik dan emfisema paru), diantaranya disebut
Haemophilus influenzae, Pneumococcus, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Klebsiella. Riwayat infeksi saluran nafas berat pada
10
waktu anak-anak menyebabkan penurunan faal paru dan keluhan
respirasi pada waktu dewasa.
4. Faktor lingkungan dan iklim
Lingkungan dan iklim yang lembab dan dingin dapat menjadi faktor
penyebab terjangkitnya penyakit paru obstruktif kronik. Pada iklim
yang lembab dan dingin mudah terjadi smog, apalagi bila di daerah itu
terjadi polusi udara karena asap dan debu industri.
5. Faktor sosial-ekonomi
Faktor sosial-ekonomi yang rendah dapat menjadi salah satu penyebab
berjangkitnya penyakit paru obstruktif kronik. Pada keadaan sosial-
ekonomi yang buruk, umumnya penduduk bertempat tinggal secara
berjejal sehingga mudah menjadi perantara bagi terjadinya infeksi
kuman-kuman penyebab penyakit paru obstrutif kronik. Faktor sosial-
ekonomi yang rendah ini juga menimbulkan rendahnya pendidikan
masyarakat, dan kurangnya sarana kesehatan masyarakat. Hal ini
menyebabkan rakyat tidak cepat mencari pengobatan apabila menderita
sakit batuk kronik, atau menjalani pengobatannya tidak sempurna dan
tuntas.
6. Kelainan dada
Beberapa kelainan dada yang mempermudah timbulnya penyakit paru
obstruktif kronik yaitu kifoskoliosis, dan penyakit neuromuskular.
11
7. Kelainan kontrol pernafasan
Termasuk kelainan kontrol pernafasan adalah akibat obesitas,
hipoventilasi idiopatik, penyakit serebrovaskular, hipertensi pulmonal
idiopatik dan emboli paru.
Dengan uraian di atas, terbuktilah bahwa penyakit paru obstruktif kronik
bersifat multifaktorial, sering tidak diobati dengan baik, sehingga akhirnya
menimbulkan akibat yang sangat buruk terhadap fungsi jantung dan timbul gejala-
gejala kor pulmonal. Beberapa peniliti telah merinci berbagai penyakit paru
penyebab kor pulmonal.1
Tabel 1. Frekuensi berbagai Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Kor Pulmonal1
TuberkulosisHarasawaDarmojoYusrilMoerdowo
10,7 %55,7 %52,7 %47,3 %
BronkiektasiPadmawatiAdamLatief
20,6 %25,7 %23,0 %
Bronkitis kronikFisherPadmawati
40,0 %64,7 %
Emfisema paruScottHarasawaLatiefMoerdowo
65,0 %82,1 %28,6 %90,2 %
Ternyata sebagian faktor etiologi adalah penyakit paru obstruktif kronik
terutama jenis emfisema paru yang penyebab dasarnya berbagai macam, bronkitis
kronik, bronkiektasis dan banyak pula yang berdasarkan penyakit tuberkulosis
menahun.1
12
Penyebab lain kor pulmonal adalah obstruksi anatomik pembuluh darah :
emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskuler atau
destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru; hipertensi
pulmonal primer; vasokontriksi pulmonal menyeluruh; dapat disebabkan oleh
hipoksia, pirau intra pulmoner kanan ke kiri.9,10
E. Patofisiologi
Kelainan patofisiologi yang terjadi disebabkan oleh kelainan struktural di
paru dan kemudian di jantung.1
Seperti tersebut di atas, kelainan strukturalnya berupa kelainan di
parenkim paru yang bersifat obstruktif menahun. Sebagai akibat kelainan tersebut,
terjadilah perubahan fungsi paru yang kemudian menimbulkan kelainan
fungsional di jantung, sebagai berikut:1
1. Hipoventilasi alveoli
Emfisema obstruktif merupakan perubahan overinflation yang menetap
dengan ditandai ratio residual volume/total lung volume, yang lebih dari 30%.
Obstruksi pernafasan ditandai dengan kelainan fungsional timed vital
capacity. Pada keadaan normal, 95% dari kapasitas vital dapat dikeluarkan
dalam 30 detik, 75% dalam detik pertama. Perpanjangan waktu timed vital
capacity ini membuktikan adanya obstruksi pernafasan dan hipoventilasi.
Maximal breathing capacity atau kemampuan pernafasan maksimal, dalam 1
menit juga sangat berkurang pada penyakit paru obstruktif menahun dan
emfisema paru.
13
Akibat hipoventilasi ini, maka pertukaran gas O2 dan CO2 sangat
terganggu sehingga timbul hipoksia dan hiperkapnia. Oleh beberapa peneliti
disebutkan bahwa hipoksia ini menimbulkan penguncupan pembuluh-
pembuluh darah di paru (vasokonstriksi) dan meningkatnya tekanan di
cabang-cabang arteri pulmonal (hipertensi pulmonal). Juga terjadi
perangsangan sumsum tulang sehingga menimbulkan polisitemia dan
meningkatnya viskositas darah. Hiperkapnia manimbulkan peningkatan
volume darah karena retensi cairan ekstraselular. Penguncupan pembuluh
darah paru, peningkatan viskositas dan volume darah akan menyebabkan
naiknya tekanan di arteri pulmonal. Tekanan di arteri pulmonal pada keadaan
normal adalah 25 mmHg sistolik dan 10 mmHg diastolik. Pada keadaan
penyakit paru obstruktif menahun, tekanan pulmonal naik sampai 40 mmHg
sistolik dan 20 mmHg diastolik.
2. Kurangnya daerah aliran darah di paru
Kurangnya aliran darah di paru disebabkan karena menyempitnya
vaskular bed. Selain hipoventilasi alveoli oleh penyakit paru obstruktif
menahun, terjadi juga perubahan kemampuan mengembangnya alveoli dan
kerusakan dinding alveoli dan terjepitnya kapiler-kapiler paru dan
meningkatnya tekanan pulmonal.
3. Shunt intrapulmoner
Hubungan yang abnormal terjadi antara pembuluh-pembuluh darah di
paru. Shunt kanan ke kiri normal hanya terdapat kurang dari 2%, sedangkan
pada penyakit emfisema maka shunt ini bertambah sampai 6% atau lebih.
14
Oleh karena adanya shunt maka kejenuhan zat asam menjadi kurang (saturasi
oksigen) di vena pulmonal yang membawa darah ke jantung kiri. Karena
hipoventilasi, shunt dan kurangnya saturasi oksigen dalam darah
menyebabkan pasien tampak sianotik.
4. Kelainan fungsional yang menyebabkan tekanan pulmonal naik
Dapat disimpulkan bahwa kelainan struktur dan fungsional paru
menyebabkan hipoventilasi, hipoksemia, penguncupan pembuluh darah,
polisitemia, kenaikan volume darah dan aliran balik darah vena ke jantung,
serta penyempitan luasnya pembuluh darah, dan shunt serta kurangnya
saturasi oksigen. Tekanan pulmonal di arteri pulmonal sangat meningkat
sehingga memberatkan pekerjaan ventrikel kanan.
5. Kelainan jantung kanan
Jantung kanan harus bekerja lebih berat untuk dapat mengatasi tekanan
di arteri pulmonal yang sangat meningkat. Mula-mula terjadi kompensasi
berupa hipertrofi jantung kanan. Lama kelamaan mengakibatkan gagal jantung
kanan dengan tanda meningkatnya tekanan darah di ventrikel kanan dan
atrium kanan, serta bendungan sistemik dengan gejala naiknya tekanan di vena
jugularis, kongesti di hati, edema dan asites.
6. Kelainan miokard dan hipoksemia
Karena hipoksemia dan menurunnya saturasi oksigen, maka terjadilah
kekurangan zat oksigen di miokard jantung kanan dan kiri, akibatnya aliran
darah koroner juga kekurangan zat asam. Miokard ventrikel kiri juga
kekurangan zat oksigen dan berkurangnya daya kontraksinya. Ditambah pula
15
dengan adanya perubahan aterosklerosis pada pasien yang pada umumnya
sudah berusia lanjut, hal ini semakin mengurangi daya dan fungsi jantung kiri,
dengan akibat menurunnya curah jantung.
F. Patogenesis
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi
pulmonal pada pasien penyakit paru-parui terutama timbul sebagai akibat hipoksia
karena penurunan fungsi paru atau pengurangan jaringan pembuluh darah paru.
Hipertensi pulmonal timbul kalau pengurangan jaringan pembuluh darah paru
lebih dari 50%. Pneumonektomi satu paru tidak akan disertai kenaikan tekanan
arteri pulmonalis. Adanya kombinasi beberapa faktor antara lain pengurangan
vaskularisasi paru, hipoksia, asidosis, dan polisitemia akan menyebabkan tekanan
arteri pulmonal meningkat. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan
beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya
terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru-paru pada arteria dan arteriola
kecil.2,6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskular paru-paru adalah : (1) vasokonstriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-
paru dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskular paru-paru.
Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor
pulmonal. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari
PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan
16
bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi
pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan
terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang
lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis hiperkapnea dan hipoksemia bekerja
secara sinergistik dalam menimbulkan vasokonstriksi. Viskositas (kekentalan)
darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang
dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut meningkatkan tekanan
arteria paru-paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan
tekanan arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi
total dari kapiler-kapiler di sekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara
permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskular. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskular diperkirakan tidak sepenting
vasokonstriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira dua pertiga
sampai tiga perempat dari anyaman vaskular harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernafasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat
kelainan perfusi-ventilasi. Dalam pembahasan di atas jelas diketahui bahwa setiap
17
penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau
anyaman vaskular paru-paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.6
Gambar 3. Etiologi dan patogenesis kor pulmonal5
PATOFISIOLOGI
Kelainan restriktif paru-paru
Kelainan obstruktif paru-paru
Kelainan vaskular primer
18
Perubahan fungsional
pada paru-paru
Perubahan anatomik pada
pembuluh darah paru-paru
HiperkapneaHipoksemia
Asidosis
Vasokonstriksi arteriola
paru-paru
Berkurangnya anyaman vaskular
paru-paru
Meningkatnya resistensi vaskular paru-paru
Hipertensi pulmonar
Hipertrofi ventrikel kanan
Kor pulmonal
Gagal jantung kongestif
G. Manifestasi Klinis
Berdasarkan berat-ringannya, kor pulmonal dapat dibagi dalam 4 tingkatan
gambaran klinis, yaitu :2
1. Hipoksemia
2. Hipertensi pulmonal
3. Kor-pulmonal
4. Gagal jantung kanan
Untuk jelasnya tingkat penyakit dan kelainan yang didapat pada saat pemeriksaan
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Gambaran Klinis Perkembangan Kor Pulmonal dengan Gagal Jantung Kanan2
Hipoksemia Hipertensi pulmonal Kor pulmonal Gagal jantung kanan
Gejala
Pemerik-saan fisis
DispneaKelemahanPerubahan mental
TakipneaTakikardiaSianosisJari tabuh
Sinkope saat aktivitas (jarang)Nyeri prekordial (jarang)
P2 splitRight ventrikel liftRight atrial gallopGiant wavesGraham-steel murmur
Jugular-distension Edema tungkaiHepatomegali
19
Foto dada
EKGTakikardia
Hilus a. PulmonalisPembuluh darah perifer
Peak P waves (lead II)Right axis deviation
Hipertrofi ventrikel kanan
Hipertrofi ventrikel kanan
Diagnosis kor pulmonal terutama berdasarkan pada dua kriteria : (1)
adanya penyakit pernafasan yang disertai hipertensi pulmonar, sehingga perlu
dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan
jenis kelainan paru. dan (2) bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.6,9
Dalam perjalanannya, penyakit kor pulmonal juga dapat dibedakan atas 5
fase, yaitu:1,11
a. Fase I
Pada fase I, belum ada gejala klinis yang jelas selain adanya permulaan
penyakit paru obstruktif kronik, bronkitis kronik, tuberkulosis lama,
bronkiektasis, dan lain-lain.
Pasien biasanya sudah berumur lebih dari 50 tahun, sering dalam
anamnesis terdapat kebiasaan banyak merokok.
b. Fase II
Pada fase II, sudah mulai ada tanda-tanda berkurangnya ventilasi.
Gejala batuk yang lama sering disertai dahak banyak terutama pada
bronkiektasis. Sesak nafas dan nafas berbunyi apabila ada konstriksi bronkus
akibat asma bronkial.sesak nafas terutama timbul pada waktu berjalan
20
menanjak atau sesudah banyak berbicara, dan pasien sering disebut dengan
istilah pink puffers. Sianosis belum tampak.
Pada pemeriksaan fisik sudah terdapat kelainan dada berupa suara
ketukan hipersonor, suara nafas berkurang, ekspirasi memanjang, terdapat
ronki basah dan kering (wheezing). Diafragma letak rendah dan suara jantung
terdengar lebih redup, karena sudah mulai tertutup oleh paru yang
mengambang.
Pada pemeriksaan foto sinar tembuh tampak penerawangan yang lebih,
corakan pembuluh darah berkurang, diafragma lebih rendah, mendatar dan
kurang bergerak. Posisi jantung vertikal.
Pada pemeriksaan fungsi paru antara lain ditemukan forced expiratory
volume berkurang pada detik 1,2,3; maximal expiratory flow rate (MEFR)
berkurang; maximal mid-expiratoryflow rate (MMEFR) berkurang, kapasitas
pernafasan maksimal berkurang, volume residual meningkat, kapasitas vital
berkurang, pertukaran gas dalam paru mulai tidak normal dan rintangan
parnafasan meningkat.
c. Fase III
Pada fase III, terjadi gejala hipoksemia yang lebih jelas. Timbul
keluhan nafsu makan berkurang, berat badan berkurang dan terasa cepat lelah.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sianotik. Sesaknya lebih nyata, disertai
tanda-tanda emfisema paru lebih jelas. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya polisitemia.
21
Fungsi paru menandakan turunnya tekanan O2 arterial; PaO2 sangat
turun dan saturasi oksigen turun, terutama pada waktu pasien mengeluarkan
tenaga. Kemudian disusul dengan turunnya PaO2 pada waktu istirahat,
pulmonary diffusing capacity turun. Pasian sudah masuk ke dalam fase blue
bloater.
d. Fase IV
Fase ke IV ditandai dengan timbulnya hiperkapnia. Pasien menjadi
lebih gelisah, mudah tersinggung dan mulai tampak adanya kelainan mental,
sampai kadang-kadang timbul gejala somnolensi. Pada keadaan berat dapat
terjadi koma, pasien kehilangan kesadaran.
Kadar CO2 meningkat dalam darah arteri. PaCO2 naik sampai lebih
dari 60-100 mmHg. Timbul asidosis, pH darah turun. Pada fase IV ini sudah
timbul-timbul tanda-tanda kor pulmonal potensial dan tekanan pulmonal
sudah mulai meningkat.
e. Fase V
Pada fase V ini sudah tampak kelainan di jantung. Tekanan di arteri pulmonal
mulai meningkat. Mula-mula tekanan rata-rata (mean pressure) arteri
pulmonal kurang dari 25 mmHg tetapi kemudian akan naik sampai melampaui
25 mmHg.
Pasien sudah masuk ke dalam fase impending cor pulmonale. Sudah
tampak kerja ventrikel yang lebih berat agar dapat mengatasi kenaikan
tekanan di arteri pulmonal, tetapi fungsi jantung kanan masih dapat
mengadakan kompensasi. Ventrikel kanan menjadi hipertrofi dan akhirnya
22
terjadilah gagal jantung. Pada pemeriksaan klinis, pasien tampak sianotik,
vena jugularis di leher tampak terbendung (engorged veins), hati membesar
karena kongesti, perbendungan, timbul edema di tungkai, kaki, dan kadang-
kadang disertai asites.
Pada pemeriksaan sinar tembus, jantung kanan tampak membesar dan
bayangan arteri pulmonal (hilus) tampak melebar, konus pulmonal tampak
menonjol. Pasien sudah masuk ke dalam fase kor pulmonal dekompansata.
Pada pemeriksaan EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kanan,
hipertrofi atrium kanan (tampak P pulmonal yang runcing tinggi) pemutaran
menurut arah jarum jam (clockwise rotation) dan tampak gelombang S yang
dalam sampai V5-V6. Bila proses berlangsung lama, tampak pula depresi
segmen ST dan timbul kelainan irama jantung (gallop S3 dan S4), fibrilasi
atrial, ekstrasistol, blokade bundel His kanan, dan sebagainya.
Keadaan hipoksia menyebabkan tekanan O2 dalam darah arteri
berkurang dan tekanan CO2 bertambah menyebabkan timbulnya gejala klinis
seperti pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Korelasi Gejala Klinis dan PaO21
PaO2 (mmHg) Gejala klinis
95-10080-95
75-80
70
60 atau kurang
NormalMulai sesak nafas, jumlah pernafasan kurang lebih 25/menitSesak bertambah dan bicara terputus-putus, takikardiaKesadaran berkurang, nafas lebih cepat : 30-35 /menitPasien menjadi gelisah, tampak sianotik. Tekanan darah turun dan ada kemungkinan jantung berhenti (cardiac arrest)
23
Tabel 4. Korelasi Gejala klinis dan PaCO21
PaCO2 (mmHg) Gejala klinis
2035-455376
110200
Tetani, gangguan pusat sarafNormalSakit kepalaPusing, otot-otot berdenyut, mulai berkurangnya kesadaranKejang-kejang, komaKoma yang dalam
H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang9,12
a. Riwayat Penyakit
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru
yang mendasari dan jenis kelainan paru. Penyakit jantung ini yang pada
fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan
keluhan, jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit paru.
Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah
ada gagal jantung kanan. Jadi sebagai pegangan, gejala-gejala penyakit
paru seperti sesak nafas dan batuk sangat menonjol, sampai akhirnya
mulai ada gagal jantung kanan dengan tanda rasa penuh di abdomen atau
bengkak di ekstremitas. Infeksi paru seringkali mencetuskan gagal
jantung, timbul keadaan hipersekresi bronkus dan edema alveolar serta
bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung
kanan.
b. Rontgen Thorax
Terlihat kelainan paru diserta pembesaran ventrikel kanan, dilatasi
arteri pulmonal dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering
24
tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan diafragma sehingga jantung
tampaknya normal karena vertikal.
Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau
lateral. Harus diteliti adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding
dada dan rongga thorax.
c. Elektrokardiogram
Terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran
atrium kanan, aksis QRS ke kanan, atau RBBB, voltase rendah karena
hiperinflasi, RS-T “sagging” II, III, aVF, tetapi kadang-kadang EKG
masih normal.
d. Laboratorium
Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan analisa
gas darah. Ada respon pilisitemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru
dapat menentukan penyebab dasar dari kelainan parunya. Pada analisa gas
darah bisa ditemukan saturasi O2 menurun, PCO2 rendah karena
hiperventilasi. Bila kor pulmonal akibat hipoventilasi alveolar (misalnya
karena penyakit paru obstruktif menahun dengan emfisema), PCO2
meningkat.
e. Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup
pulmonal, gelombang ‘a’ hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal.
25
Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup
pulmonal karena “acoustic window” sempit akibat penyakit paru.
f. Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan
pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan baji kapiler paru normal,
menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari jantung kiri. Pada
kasus yang ringan, kelainan ini belum nyata.
Penyakit jantung paru tak jarang disertai penyakit jantung koroner
terlebih pada penyakit paru obstruktif menahun karena perokok berat
(stenosis koroner pada angiografi).
I. Komplikasi
Hipertensi pulmonar yang progresif dan kor pulmonal dapat mendorong
kearah retensi cairan secara umum, dalam waktu dekat dapat terjadi pemendekan
nafas, syok, sampai terjadi kematian.7
J. Penatalaksanaan
Sasaran pengobatan kor pulmonal adalah mengurangi beban ventrikel
kanan dengan menurunkan tekanan arteri pulmonalis. Dua pendekatan utama yang
dilakukan yaitu memperbaiki kelainan paru dan pemberian oksigen yang
memadai. Dalam usaha memperbaiki kelainan paru, perlu diidentifikasi faktor-
faktor yang masih reversibel. Salah satu faktor penting yang masih dapat
dimanipulasi adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang disebabkan oleh
infeksi saluran nafas terutama pada pasien dengan PPOK. Pemberian antibiotika
yang tepat dan adekuat seringkali menghasilkan perbaikan yang nyata. Bahkan
26
pada kelainan paru yang tidak diharapkan dapat terjadi perbaikan, yaitu bila
penyebab hipertensi pulmonal adalah oklusi anatomis pada cabang-cabang arteri
pulmonalis (misalnya hipertensi pulmonal primer dan emboli paru multipel),
masih ada komponen-komponen yang reversibel.2,13
1. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen terus menerus dengan aliran lambat yaitu 1 – 3 liter
per menit seringkali cukup berhasil mempertahankan oksigen darah arteri.
Perbaikan hipoksemia ini dengan cepat akan menurunkan tekanan arteri
pulmonalis, dan bila oksigen diberikan secara terus menerus selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan mungkin akan mengurangi hipertrofi otot-otot
pembuluh darah pulmoner, sehingga secara berangsur-angsur akan lebih
menurunkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan arteri
pulmonalis ini tidak akan bertahan terus bila pemberian oksigen dihentikan.
Idealnya tekanan oksigen darah arteri dipertahankan diatas 50 mmHg.
Pemberian oksigen harus hati-hati terutama bila terdapat tanda-tanda
hiperkapnia kronik, karena koreksi hipoksia akan menghilangkan
perangsangan pusat pernafasan di batang akibat dengan akibat menurunnya
ventilasi dan bahkan bisa sampai apnea. Bahaya lain yang mungkin adalah
keracunan oksigen. Bila fasilitas memungkinkan, pemberian oksigen dimulai
dengan kadar rendah (30% O2) dengan pemantauan ventilasi dan analisis gas
darah untuk mendeteksi kenaikan PCO2. Pemberian oksigen terus menerus
selama 12 – 16 jam perhari dalam jangka panjang, terutama waktu tidur dan
selama melakukan aktivitas fisik terbukti meningkatkan fungsi otak,
27
memberikan kesegaran jasmani, memperlambat aktivitas eritropoesis dan
mencegah berulang-ulang gagal jantung kanan.
2. Tirah baring dan pembatasan garam
Kor pulmonal tanpa gagal jantung tidak memerlukan program
kardiotonika. Bila didapatkan gagal jantung kanan, tata laksana kardiotonik
harus diberikan. Pertama-tama tirah baring sangat penting untuk mencegah
memburuknya hipoksemia yang akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida
serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
3. Diuretika
Diuretika memegang peranan penting dalam pengobatan kor pulmonal
dan gagal jantung kanan. Cairan yang berlebihan dalam jaringan paru akan
mengganggu pertukaran gas dan meningkatkan resistensi vaskular. Pemberian
diuretika terbukti dapat memperbaiki ventilasi alveoli dan oksigenasi darah
arteri pada kor pulmonal. Tetapi pemberian diuretika harus hati-hati, karena
dapat terjadi deplesi volume, sangat berkurangnya curah balik ke jantung
kanan, dan menurunnya curah jantung. Komplikasi lain pemberian diuretika
kuat adalah terjadinya alkalosis metabolik yang menyertai hipokalemia, yang
akan menghilangkan daya rangsang CO2 pada pusat pernafasan. Dengan
menurunnya kalium dan klorida, ekskresi bikarbonat oleh ginjal akan
berkurang juga. Dengan demikian pada program pembatasan garam dan
pemberian diuretika perlu pemantauan elektrolit serum, terutama ion-ion
bikarbonat, klorida dan kalium.
28
4. Digitalisasi
Digitalis digunakan oleh beberapa ahli untuk membantu mengatasi
gagal jantung kanan. Tetapi banyak ahli keberatan memakai digitalis bahkan
pada keadaan gagal jantung kanan yang mencolok sekalipun karena beberapa
alasan yaitu karena efek digitalis pada ventrikel kanan kurang kuat,
peningkatan volume sekuncup ventrikel kanan ke dalam vaskular paru yang
terbatas akan semakin meningkatkan tekanan arteri pulmonalis serta karena
adanya kecenderungan pasien kor pulmonal mengalami intoksikasi digitalis.
Kesulitan lain pemberian digitalis adalah dalam menilai frekuensi denyut
jantung sebagai parameter dosis digitalis, karena selain menyebabkan gagal
jantung hipoksia juga menyebabkan takikardia. Bahaya utama pada
pemakainan digitalis adalah aritmia. Hipoksia, hipokalemia, perubahan pH
(asidosis respiratorik maupun alkalosis metabolik) serta bronkodilator dapat
bekerja secara sinergis dengan digitalis sehingga menimbulkan aritmia.
5. Vasodilator arteri pulmonalis
Bermacam-macam obat telah dicoba baik untuk hipertensi pulmonal
primer maupun sekunder. Sejauh ini pengalaman yang didapatkan sebagian
besar yang didapatkan sebagian besar berasal dari hipertensi pulmonal primer.
Pada hipertensi pulmonal sekunder walaupun keberhasilan terapi secara
keseluruhan tidak begitu besar, tetapi pada beberapa kasus telah dilaporkan
adanya perbaikan yang dramatis. Sebagian besar kegagalan pada hipertensi
pulmonal sekunder didapatkan pada pasien PPOK berat yang tidak
29
menunjukkan perbaikan hemodinamik dan harapan hidup dengan pemberian
nifedipin 3 x 10 mg/hari.
Antagonis kalsium telah digunakan secara luas dengan hasil yang
efektif pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer dengan pemberian
nifedipin atau diltiazem. Pada pasien dengan respon yang baik didapatkan
perbaikan kualitas hidup dan harapan hidup. Tetapi sayangnya hanya 25%
pasien yang menunjukkan hasil yang memuaskan yang ditandai dengan
penurunan tekanan arteri pulmonalis yang bermakna. Pada pasien lain yang
tidak menunjukkan respon, selain tidak ada respos perbaikan, didapatkan juga
kecenderungan untuk mengalami efek samping yaitu hipotensi, penurunan
curah jantung, aritmia dan edema perifer.
Prostasiklin merupakan vasodilator kuat yang bekerja baik pada
pembuluh darah pulmonal maupun pembuluh darah sistemik lainnya. Karena
mempunyai masa paruh yang singkat, prostasiklin diberikan secara kontinu
melalui infus intravena. Dosis diberikan secara titrasi dan sebagai pedoman
untuk mengetahui dosis yang dapat ditoleransi dilakukan pemantauan terhadap
efek hipotensi sistemik.
Oksida nitrik akhir-akhir ini banyak diteliti untuk pengobatan
hipertensi pulmonal karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
obat-obat vasodilator lainnya. Oksida nitrik bekerja pada pembuluh darah paru
yang mengalami hipertensi pulmonal dan tidak pada pembuluh darah paru
yang normal. Oksida nitrik juga berkerja secara selektif pada pembuluh darah
paru tanpa disertai efek penurunan tekanan darah sistemik yang bermakna.
30
6. Pengobatan lain
Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak
dipakai pada pasien hiperkapnia kronik. Tetapi efek sampingnya yang
membahayakan adalah terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik
yang telah ada.
Flebotomi menjadi panatalaksanaan standar pada polisitemia yang
disebabkan hipoksia kronik. Saat ini belum berhasil dibuktikan adanya
perbaikan obyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis
akibat flebotomi. Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak + 250 ml,
untuk mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal
sangat tinggi.
K. Pencegahan
Menghindarkan perilaku yang mendorong penyakit paru kronik (terutama
perokok) yang dapat mencegah terjadinya penyakit kor pulmonal. Dianjurkan juga
untuk menghindarkan diri dari berbagai macam polusi udara, terutama di daerah
pertambangan dan industri. Memperbaiki lingkungan dan daerah tempat tinggal,
serta bagi yang kurang mampu menghindarkan dan mengobati infeksi saluran
nafas secara dini. Mengevaluasi dengan baik anak-anak dengan murmur jantung
yang dapat mencegah kor pulmonal yang disebabkan oleh defek jantung.1,9,13
L. Prognosis
Prognosis penyakit kor pulmonal sangat bervariasi, tergantung perjalanan
alamiah penyakit paru yang mendasarinya dan ketaatan pasien berobat. Penyakit
31
bronkopulmoner simtomatis angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50 %.
Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi ventrikel kanan mempunyai
prognosis yang b uruk. Biasanya penderita dengan hipertensi pulmonar obstruktif
vaskuler kronik hanya hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.9
Penyakit kor pulmonal kronik prognosisnya sangat buruk, karena yang
menjadi penyebab dasarnya adalah kerusakan parenkim paru yang sudah diderita
lama dan tidak dapat dipulihkan kembali, seperti misalnya emfisema paru
panlobularis. Luasnya pembuluh darah paru (vascular bed) menjadi sangat
berkurang dan tidak dapat disembuhkan kembali.1
Biasanya terapi hanya ditujukan secara simtomatis, dan penyakit dasarnya
yang sudah berada dalam keadaan fase lanjut tidak akan dapat diobati.1,12,13
Gagal jantung kanan timbul berulang-ulang dengan interval kekambuhan
yang semakin memendek. Kemungkinan hidup sejak serangan gagal jantung
pertama rata-rata 18 bulan (Flint).1,
Stuart Harris dan Ude mengemukakan bahwa kemungkinan masa hidup
dengan angka kematian sesudah lima tahun sebesar 68%.1
Dapat disimpulkan bahwa angka kematian kor pulmonal masih tinggi dan
usaha sebaiknya ditujukan pada penanggulangan penyakit-penyakit paru
obstruktif kronik yang menjadi faktor dasar etio-patogenesisnya.1,12,13
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Moerdowo RM. Kor pulmonal kronik. Dalam: Noer Sjaifoellah. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 1998. h. 1119-1127
2. Bahar Asril. Kor pulmonal. Dalam: Suyono Slamet. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2001. h. 882-889
3. Yunis Nidal A. Cor pulmonale. eMedicine 2004; (online), (http://www.emedicine.com, diakses 18 November 2004)
4. Guyton Arthur C. Buku ajar fisiologi kedokteran (textbook of medical physiology) edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997. h. 133, 206
5. Carleton Penny F. Anatomi sistem kardiovaskular. Dalam: Price, Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 4 buku I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995. h. 468, 476
6. Wilson Lorraine M. Fungsi pernafasan normal. Dalam: Price, Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 4 buku II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995. h. 650-651, 723-725
7. Blaivas Allen J. Cor pulmonale. Division of Pulmonary and critical Care medicine 2004; (online), (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 000129.htm, diakses 30 Oktober 2004)
8. Alsagaff Hood, Wibisono M jusuf, Winariani. Buku ajar ilmu penyakit paru 2004. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR – RSU Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya, 2004. h. 28-39
9. Budiyatmoko Nani H. Penyakit jantung paru. Dalam: Rilantono, Lily Ismudiati. Buku ajar kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004. h. 223-226
10. Norris Teresa JN. Cor pulmonale. Medical Network Inc 2005; (online), (http://www . healthatoz.com , diakses 4 Maret 2005)
11. Mubin A Halim. Kor pulmonal kronik. Dalam: panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis & terapi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2001. h. 125-126
33
12. Anonymous. Cor pulmonale: care guide information cor pulmonale. The mended Hearths Inc 2005; (online), (http://www.aboutdrugs.com, diakses 6 Juni 2005)
13. F Joseph, Funt Smith Trust. Cor pulmonale. The Thomson Corporation 2005; (online), (http://www.nhlbi.nih.gov.com, diakses 15 Mei 2005)
34