krisis ekologi perspektif islam dan kristen di...
TRANSCRIPT
Krisis Ekologi
Perspektif Islam dan Kristen di Indonesia
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
GILANG RAMADHAN
NIM: 1112032100017
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/1440 H.
Abstrak
Krisis ekologi tidak hanya disoroti oleh pegiat lingkungan hidup, akan
tetapi para agamawan turut memberikan pemikiran dalam rangka menangkal
krisis ekologi. Bahkan, dalam tinjauan lebih umum, penyebab krisis ekologi justru
dipengaruhi oleh pemikiran atau paradigma yang berimbas pada perilaku
seseorang.
Penelitian ini merupakan studi komparasi antara Kristen dan Islam
mengenai pandangannya terhadap krisis ekologi. Dengan menggunakan metode
analisis deskriptif, serta menggunakan data dokumentar seperti buku-buku yang
mengulas ekologi baik dari Islam maupun Kristen.
Hasil penelitiannya adalah baik Kriten maupun Islam sama-sama memiliki
konsep ekologi yang bersumber pada keyakinan atau teologi. Perbedaannya
adalah dalam Islam tidak terjadi perdebatan mengenai tugas manusia untuk menjaga dan melestarikan alam. Sedangkan dalam Kristen terdapat sebagian yang
menafsirkan manusia diberikan kebebasan untuk memanfaatkan alam, sehingga
dianggap mendukung terjadinya krisis ekologi. Akan tetapi baik Kristen maupun
Islam sama-sama memiliki argumen dalam menjawab krisis ekologi dalam
bingkai teologi dan etika sebagai sumber perilaku mengatasi krisis ekologi.
Kata Kunci:
Krisis Ekologi, Islam, Kristen, Teologi dan Etika
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Krisis
Ekologi Perpektif Islam dan Kristen di Indonesia”. Shalawat dan salam
semoga senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya.
Penulisan skripsi ini penulis ajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana
Agama pada Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dimana selama penulisan karya ilmiah ini bebas tidak lepas
dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, tak bisa terelakkan rasa bahagia ini
bukan hanya karena jerih payah penulis sendiri, melainkan banyak peran berbagai
pihak yg turut mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini.
Sudah sewajarnya penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas segala dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini.
Meskipun penulis tidak dapat sampaikan satu persatu, setidaknya penulis merasa
perlu menyebutkan sejumlah nama yang membekas dihati penulis, yaitu :
1. Ayahanda Romdoni, Ibunda Purniati Purnama, Adinda Syifa Dwi
Purwandani dan Adinda Hafiz Triantoro Ramadhani selaku keluarga yang
tidak pernah berhenti memberikan dorongan semangat dan dukungan
penuh dalam menyelesaikan pendidikan tinggi ini.
2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA selaku Ketua Jurusan Prodi Studi
Agama-Agama yang telah banyak membantu dan memberikan nasihat
agar pendidikan ini dapat terselesaikan dengan cepat dan baik.
3. Ibu Drs. Halimah Mahmudy, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Prodi Studi
Agama-Agama yang telah banyak meluangkan waktunya dengan tulus
untuk terus mengingatkan.
4. Bapak Drs. M. Nuh Hasan, M,Ag selaku Pemimbing Skripsi yang terus
mengingatkan dan memperhatikan selama masa penulisan hingga skripsi
ini layak diujikan.
5. Bapak Zaenal Muttaqien, MA selaku Penguji Skripsi yang bersedia
menguji skripsi ini dan memberikan masukan hingga skripsi ini lebih
sempurna.
6. Ibu Dra. Hermawati, MA selaku Penguji Skripsi yang bersedia menguji
skripsi ini dan memberikan masukan hingga skripsi ini lebih sempurna.
7. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Ciputat dan Komisariat
Fakultas Ushuluddin selaku kawan sejawat yang terus memberikan
semangat dan mendampingi selama masa pendidikan sejak awal hingga
akhir.
8. Keluarga Besar Pojok Inspirasi Ushuluddin selaku kawan-kawan diskusi
yang bersedia meluangkan waktunya untuk membedah tulisan ini yang
tentulah banyak kekurangan. Khususnya Kakanda Dhani Ramdhani,
Kakanda Muflih Hidayat, Adinda Ubaidillah Khan, Adinda Dedi Ibmar,
Adinda Fajri, Adinda Tachriful Fuady, Adinda Taufiqurrahman, serta yang
lainnya.
9. Keluarga Besar Studi Agama-Agama angkatan 2012 selaku rekan
seperjuangan selama dalam menempuh pendidikan. Khususnya Samsul
Hafid, Deni Iskandar, Hendri, Ainut Taufiq, Jamiluddin, dan yang lainnya.
10. Keluarga Besar Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah selaku rekan
diskusi yang terus memberikan nasihat serta mengingatkan agar skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Khususnya Sunanto selaku Ketua Umum,
Dzulfikar Ahmad Tawalla selaku Sekretaris Jenderal, dan David Krisna
Alka selaku Wasekjend Bidang Riset, Teknologi dan MSDM, serta
pengurus lainnya.
11. Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah selaku kakanda yang terus
memberikan semangat dan dukungan. Khususnya Prof. Dr. H. Muhjiddin
Mawardi, M.Eng selaku Ketua MLH PP Muhammadiyah dan Ir. Gatot
Supangkat, M.P selaku Sekretaris MLH PP Muhammadiyah.
12. Ananda dr. Nurul Afiah selaku pasangan hidup yang terus mengingatkan
serta mendukung untuk terus menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang
paripurna.
Ciputat, 10 Mei 2019
Gilang Ramadhan
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .........................................
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusa Masalah ................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 8
E. Metode Penelitian .................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ 12
BAB II GAMBARAN UMUM EKOLOGI ...................................................... 14
A. Pengertian Ekologi ................................................................................. 14
B. Perkembangan Paradigma Ekologi ........................................................ 19
C. Krisis Ekologi di Indonesia .................................................................... 32
D. Macam-macam Krisis Ekologi di Indonesia .......................................... 33
BAB III PANDANGAN KRISTEN TERHADAP KRISIS EKOLOGI ........ 39
A. Teologi Penciptaan ................................................................................. 39
B. Etika Ekologi Kristen .............................................................................. 48
C. Tokoh Kristen Indonesia yang Membahas Ekologi .............................. 50
BAB IV PANDANGAN ISLAM TERHADAP KRISIS EKOLOGI ............. 57
A. Prinsip Dasar Ekologi Islam .................................................................. 57
B. Teologi Lingkungan ............................................................................... 64
C. Tokoh Indonesia yang Membahas Ekologi Islam .................................. 71
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 79
A. Kesimpulan ............................................................................................ 79
B. Kritik dan Saran ..................................................................................... 80
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya krisis ekologi global dewasa ini, telah menjadi sentral
isu dunia. Dampak kerusakan lingkungan telah lama dirasakan penduduk di
berbagai belahan negara di dunia, tidak hanya negara maju, negara berkembang
dan miskin pun ikut merasakan hal serupa. Adanya ancaman akan datangnya
bahaya dan bencana yang sewaktu- waktu bisa “meluluhlantahkan” perdaban
manusia akan sangat sulit dibendung oleh keserakahan manusia. Hal itu terjadi
akibat kerusakan lingkungan, eksploitasi alam yang kelewat batas, serta
penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, ditambah lagi dengan
faktor alam itu sendiri yang selalu dieksploitasi.
Dalam kenyataanya, krisis ekologi mengancam eksistensi manusia
tersebut semakin tampak. seperti polusi, pemanasan global, hujan asam,
ledakan populasi, penggurunan atau erosi tanah, naiknya permukaan air laut,
longsor, banjir, gizi buruk, kuman dan virus penyakit-penyakit baru,
pencemaran air laut, radiasi nuklir, ledakan sampah, pencemaran tanah,
makanan sehari-hari yang beracun, dll. Krisis ini merupakan problem akut
yang membutuhkan perhatian besar setiap individu.1
Krisis ekologi ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa alami
yang terjadi di alam ini, karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari
kesalinghubungannya terhadap lingkungan. Manusia tergantung akan dinamika
1 Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera, vol.
XVIII, no. 1, tahun 2015, h. 4.
2
kehidupan lingkungan. Ketika lingkungan tumbuh kembang dengan baik, maka
ia akan memberikan nilai kebaikan pula untuk kehidupan manusia. Sebaliknya,
ketika ritmik lingkungan mengalami ketidakseimbangan, maka ia akan
mengganggu sistem keseimbangan kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori para
filosof seperti al-Farābī, Ibn Sīnā, Khawājah Nasīruddin at-Thūsī, yang
meyakini adanya sebuah doktrin kausalitas dan menganggap semua fenomena
di alam semesta merupakan akibat dari serangkaian sebab-akibat. Dengan kata
lain, bencana-bencana ekologi yang terjadi di bumi ini berkorelasi erat dengan
tindak-tanduk tingkah laku manusia sebagai makhluk bumi.2
Pengeksploitasian sumberdaya alam secara besar-besaran, dan
pengelolaan lingkungan yang tidak beraturan membuat segala unsur harmoni
dan sesuatu yang tumbuh alami berubah menjadi kacau dan sering berakhir
menjadi bencana. Hal itu menjadi bahan evaluasi, inspirasi dan sekaligus
motivasi bagi para pemikir.3 John F. Haught, seorang guru besar teologi
Universitas Georgetown AS menyatakan: Sekulerisme modern telah
menyingkirkan Tuhan; sebagai gantinya, merebaklah rasionalisme,
humanisme, dan saintisme yang mengisi ruang hampa yang telah ditinggalkan
Tuhan; kesemuanya ini tumbuh subur di atas pengandaian bahwa manusia
menempati posisi supremasi di atas alam.4
Kerusakan alam yang terjadi akhir akhir ini menunjukkan adanya
pergeseran paradigma manusia beragama. Satu sisi agama menekankan
2 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London: George Allen, dan Unwin
Ltd, 1981), h. 97. 3 Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 9. 4 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, (Jakarta:
Mizan, 2004), h. 327.
3
pentingnya melestarikan alam dan memanfaatkannya, akan tetapi tingkah laku
manusia berbanding sebaliknya yakni mengeskploitasi bahkan cenderung
merusaknya. Dengan hal ini menunjukkan bahwa kerusakan alam bergantung
pada tingkah laku manusia.5 Sebagaimana yang baru terjadi, ikan paus yang
mati terdampar ternyata berisi sampah plastik.6 Sebuah persoalan paradigmatik
yang penting untuk segera diselesaikan.
Kerusakan alam adalah ancaman sekaligus tantangan untuk ummat
manusia. krisis ekologi mengancam eksistensi manusia tersebut semakin
tampak. seperti polusi, pemanasan global, hujan asam, ledakan populasi,
penggurunan atau erosi tanah, naiknya permukaan air laut, longsor, banjir, gizi
buruk, kuman dan virus penyakit-penyakit baru, pencemaran air laut, radiasi
nuklir, ledakan sampah, pencemaran tanah, makanan sehari-hari yang beracun,
dll. Krisis ini merupakan problem akut yang membutuhkan perhatian besar
setiap individu.7
Ekologi secara etimologi berasal dari kata oikos berarti rumah tangga
atau tempat tinggal, dan logos berarti ilmu.8 Pengertian ekologi secara
terminologi yang dikonsepsikan oleh para pakar dan pemerhati lingkungan
begitu banyak dan beragam. Otto Soemarwoto mendefinisikan ekologi dengan
bahasa yang sederhana, yakni ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk
hidup dengan lingkungan hidupnya. Dengan definisi itu, Otto Soemarwoto
menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
5 Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, (Jakarta: Alumni, 1996), h. 123. 6 Michael Hangga Wismabarata, “5 Fakta Kematian Paus di Wakatobi”, diambil dari
www.regional.kompas.com 22 Nopember 2018. Diakses pada 16 Januari 2019. 7 Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera, vol.
XVIII, no. 1 (2015), h. 4. 8 Resosoedarmo, Soedjiran, dkk, Pengantar Ekologi, (Bandung: Remadja Karya Cv,
1984), h. 1.
4
permasalahan ekologi. Amsyari mendefinisikan ekologi sebagai sebuah ilmu
yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya dan
antara organisme tersebut dengan lingkungannya. Di samping itu, Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya.9
Ekologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang proses interelasi dan
interpedensi antar organisme dalam satu wadah lingkungan tertentu secara
keseluruhan. Hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungannya
inilah yang dibidik ekologi. Dengan demikian, lingkungan dan makhluk yang
ada di dalamnya merupakan objek kajian ekologi.10
Ekologi juga dapat dikatakan studi tentang ekosistem, yaitu studi
tentang keadaan lingkungan hidup atau studi tentang hubungan makhluk hidup
dengan lingkungannya. Apabila dapat dikatakan, ekologi merupakan kajian
tentang proses dan interrelasi kehidupan suatu organisme dengan organisme
lain dan organisme dengan lingkungannya yang menyeluruh dalam satu
kesatuan.11
Dalam konteks keagamaan, baik Islam maupun Kristen sama-sama
memiliki konsep atau gagasan yang membahas terkait krisis ekologi. Gagasan
tersebut tidak hanya bersifat doktrinal, akan tetapi juga menjadi bahan atau
pedoman dalam menangani isu-isu ekologis. Selain itu, baik Islam maupun
9 Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an”, Jurnal Esensia vol. XIV
No. 1 April 2013. 10 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 1. 11 Pius A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
t.th.t), h. 131.
5
Kristen juga merespon baik secara tindakan maupun argumentasi dalam
pernyataan atau rekomendasi dalam memandang kasus ekologi.
Konsistensi Kristen dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam
bukanlah sesuatu yang seremonial, melainkan terus berkesinambungan. Hal ini
terlihat dari Ensikli Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada tanggal 18
Juni 2015 lalu. Paus mengajak semua warga bumi ini untuk mencintai dan
merawat bumi sebagai tempat tinggal yang sudah begitu rusak lingkungannya.
Perilaku konsumeris dengan motor kemajuan teknologi dan pembangunan
ekonomi menjadi alasan manusia terus mengeksploitasi alam.12 Paus Fransiskus
mendorong agar seluruh Gereja Kristen mempelopori budaya konsumsi alternatif,
dengan melawan budaya konsumeris. Keserakahan dan gaya hidup menjadi akar
etis dan spiritual kerusakan lingkungan hidup.13
Adapun dalam Islam meresponnya dengan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) bersama Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Fatwa MUI
nomor 22 tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan yang merupakan
bentuk pendekatan moral dalam pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.14 Perilaku ekologis masyarakat muslim dapat dilacak melalui
tampilan kesadaran kognitif, afektif maupun psikomotorik dalam masyarakat
sosial yang masih perlu dikembangluaskan.
Secara praktis, dalam perkembangan Islam di Indonesia terdapat
Organisasi Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia.
Kontribusinya dalam persoalan ekologi dan lingkungan hidup tertata rapi dan
12 Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air (Yogyakarta: INSIST Press, 2017), h.
xxxvi. 13 Nota Pastoral KWI, Panggilan Geraja Dalam Hidup Berbangsa (Jakarta: Penerbit
Obor, 2018) h. 36. 14 Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyyah, Teologi Lingkungan, h. ii.
6
sistematis dari buku panduan hingga struktur dan kinerja di lapangan ketika
menghadapi isu-isu ekologi. Salah satu bentuk kegiatannya adalah sadaqoh
sampah.15 Muhammadiyah memiliki panduan umum mengenai penanganan isu-
isu ekologi seperti Akhlak Lingkungan, Fiqh Air, Teologi Lingkungan, Panduan
Shadaqah Sampah, dan buku Aksi Hijau di Kantor diterbitkan pada tahun 2011.
Sisi lain terhadap persoalan yang sama, Islam juga mendorong perhatian
khusus terhadap air, berdasarkan sejumlah ayat dalam Al-Qur’an yang membahas
tentang air.16 Sebagai bentuk implementasinya, Islam melakukan Seminar Fiqh
Air pada 30 Maret 2013 di UMY. Hasil seminar tersebut diolah menjadi buku
berjudul Fiqh Air yang merangkum sejumlah norma dasar (alqiyam-alasasiyah),
prinsip universal (alushuul-alkulliyah), dan rumusan implementatif (alahkam-
alfari’iyyah) mengenai air.17
Selain ketauhidan, gagasan penting untuk menjelaskan ekologi serta
menjawab tantangannya, Islam menegaskan teologi ekologinya dengan konsep
khilafah yang menjelaskan pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi
khalifah. Artinya manusia menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat
kehidupan makhluk Allah termasuk manusia, sekaligus menjaga keberlanjutan
kehidupannya. Selanjutnya adalah Amanah, sebagai gagasan Manusia wajib
menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut.
Kemudian terdapat halal haram sebagai gagasan mengenai rambu bagaimana
15 Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia, dan Sari Narulita, “Konsep Gerakan Ekoteologi
Islam Studi Atas Ormas NU Dan Muhammadiyyah” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 10. No.
1, Universitas Negeri Jakarta (2014), h. 83. 16 Sejumlah ayat Al-Qur’an memuat beberapa kata yang terkait langsung dengan air;
hujan (44 ayat), sungai (54 ayat), laut (28 ayat), mata air (23 ayat). Lihat Al-Qur’anul Karim, Terj.
KEMENAG (2016). 17 Yance Arizona dan Ibnu Sina Chandranegara, “Jihad Berkonstitusi: Muhammadiyah
dan Perjuangan Konstitusional Melawan Komodifikasi Air” dalam Jurnal Wacana No. 35, Insist
Press (2017), h. 35.
7
menata alam. Terakhir yaitu tujuan tertinggi dari perlindungan alam dan
ekosistem ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan universal (bagi seluruh
makhluk) baik dalam kehidupan masa kini (di dunia) maupun kehidupan di masa
depan (di akhirat).18
Adapun Kristen menjelaskan persoalan ekologi dikaitkan dengan
persoalan teologi atau keimanan. Hal ini sebagaimana diarahkan kepada
menghayati iman kepada Tuhan dalam sikap penghargaan dan hormat terhadap
alam ciptaan itu sendiri yang dipahami sebagai ciptaan Tuhan. Di hadapan krisis
ekologi yang ada, maka harus diakui adanya persoalan iman dan moral.19
Baik Islam maupun Kristen secara tidak langsung memiliki gagasan yang
mirip dalam membahas persoalan ekologi. Jika dipahami dari awal hingga akhir,
baik Islam dan Kristen memiliki pemahaman didasari dengan ketauhidan dan
diakhiri dengan tujuan berupa keselamatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu,
Peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai “Krisis Ekologi dalam
Pandangan Islam dan Kristen di Indonesia”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas penulis meneliti pada persoalan ekologi sebagai
studi perbandingan antara Islam dan Kristen. Untuk membuat efektif dalam
penelitian ini maka penulis membatasi penelitiannya pada ranah krisis ekologi
dalam pandangan Islam dan Kristen. Adapun rumusan masalahnya meliputi
bagaimana konsep ekologi dalam Islam dan Kristen? Bagaimana pandangan Islam
dan Kristen dalam krisis ekologi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
18 Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah, Teologi Lingkungan, h. 36. 19 Sani Lake, “Memulihkan Keutuhan Ciptaan; Refleksi Teologis Ekologi dalam
Pembebasan” dalam Jurnal Sepakat Vol. 02 No. 2 tahun 2016, h. 212.
8
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) di
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk mengetahui gagasan ekologi dalam pandangan Islam dan
Kristen.
3. Untuk menguraikan pandangan Islam dan Kristen terhadap krisis
ekologi yang sedang dihadapi.
4. Untuk membandingkan serta menganalisa titik temu dan perbedaan
antara Islam dan Kristen dalam persoalan krisis ekologi.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk kampus sebagai tambahan koleksi perpustakaan terkait studi
perbandingan agama atau studi agama-agama
2. Untuk masyarakat sebagai tambahan informasi mengenai krisis
ekologi dan konservasi alam dalam pandangan Islam dan Kristen.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat tiga penelitian yang relevan, berikut rinciannya:
1. Skripsi berjudul “Peran Manusia Terhadap Lingkungan Hidup dalam
Perspektif Islam dan Hindu” ditulis oleh Teguh Irawan, Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Penelitian ini terfokus pada
pembahasan mengenai tugas manusia dalam menjaga lingkungan hidup dalam
ajaran Islam dan Hindu. Hasil penelitiannya adalah Islam memiliki
konsentrasi dalam memelihara dan melestarikan alam. Hindu menganggap
alam sebagai sesuatu yang hidup dan harus dijaga bersama. Dari kedua
9
pandangan tersebut memiliki kesamaan berupa tugas manusia terhadap alam
adalah menjaga dan melestarikannya.20
2. Jurnal dengan judul “Konsep Gerakan Ekoteologi Islam: Studi Atas Ormas
NU dan Muhammadiyah” ditulis oleh Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia,
dan Sari Narulita, Universitas Negeri Jakarta tahun 2014. Penelitian tersebut
terfokus pada pencarian konsep ekoteologi NU dan Muhammadiyah serta
bagaimana gerakannya terimplementasikan. Hasil penelitiannya adalah NU
dan Muhammadiyyah memiliki peran penting dalam upaya penyelamatan
lingkungan hidup yang terintegrasi. Keduanya memiliki kelembagaan di
bidang lingkungan hidup dengan lahirnya LPBI-NU (Lembaga
Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdatul Ulama),
Muhammadiyyah memiliki Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyyah.
Program konkret di masyarakat yang telah dilakukan LPBI-NU adalah
program clean and safety untuk 3R (Reuse, Reduce, Recyle). Konsentrasinya
pengelolaan sampah dan ekopesantren, sedangkan yang dilakukan Majelis LH
PP Muhammadiyyah adalah sadaqoh sampah.21
3. Jurnal dengan judul “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” ditulis
oleh Amirullah dalam Jurnal Lentera, Vol. XVIII, No. 1, Juni 2015. Penelitian
tersebut terfokus pada krisis lingkungan yang secara alamiah merupakan
refleksi atas gersangnya spiritualitas di era modern. Kesalahan manusia dalam
memahami dogma agama terhadap alam membuatnya berperilaku eksploitatif.
Hasil penelitiannya dapat dipahami bahwa kriris ekologi yang terjadi tak dapat
20 Teguh Irawan, “Peran Manusia Terhadap Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam
dan Hindu” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2016. 21 Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia, dan Sari Narulita, “Konsep Gerakan Ekoteologi
Islam; Studi Atas Ormas NU dan Muhammadiyah” dalam Jurnal Studi al-Qur’an Vol. 10, No. 1
Universitas Negeri Jakarta, tahun 2014.
10
terelakkan dari peradaban modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam,
seperti budaya materialisme, kapitalisme, antroposentris, dan utilitarianisme.22
Dari ketiga penelitian di atas terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian
yang akan dilakukan. Secara umum persamaannya adalah sama-sama membahas
persoalan ekologi maupun konservasi alam, dalam hal ini sama-sama fokus
menjelaskan mengenai krisis lingkungan hidup. Adapun perbedaannya adalah
Peneliti berfokus pada gagasan atau konsep yang digagas oleh Kristen dan Islam
dalam menjawab krisis ekologi. Terdapat perbedaan yang sangat spesifik dengan
penelitian gerakan eko-teologi dalam jurnal di atas, yakni Peneliti konsern dalam
menjelaskan pandangan NU dan Muhammadiyah terhadap krisis ekologi dan
konservasi alam, sedangkan dalam jurnal lebih menekankan pada bentuk gerakan
serta program kerjanya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan baru dan
original.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penilitian ini Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif
analisis deskriptif, yaitu penelitian dengan prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-
prosedur statistik atau cara-cara lain dari pengukuran. Penelitian kualitatif secara
umum bisa digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, agama,
pemikiran, sejarah, tingkah laku, aktivitas sosial, dan lain-lain. Analisis isi
22 Lihat Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera.
11
dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan ide-ide23 dalam persoalan
ekologi dan konservasi alam yang dibahas oleh Kristen maupun Muhammadiyah.
Adapun deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran secara menyeluruh
atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, Peneliti menggunakan pendekatan
teologis, sosiologis, dan komparatif. Pendekatan teologis digunakan untuk melihat
karya-karya teologi berdasarkan studi internal dan eksternal. Dalam penelitian ini,
peneliti akan berusaha secara aktif melihat keunggulan Islam dan Kristen
terhadap wacana lingkungan. Pola ini disebut dengan studi internal. Kemudian
peneliti juga akan melakukan kajian terhadap Islam dan Kristen tersebut
berdasarkan ukuran serta wawasan peneliti. Pola ini disebut dengan studi
eksternal.
Pendekatan fenomenologis digunakan untuk memahami Islam dan Kristen
terhadap lingkungan dengan menanggalkan segala asumsi praduga penilaian dan
pengetahuan terhadap kedua agama tersebut. Sehingga dengan pendekaan ini
peneliti berharap objek (Islam dan Kristen ) berbicara tentang dirinya sendiri
hingga diketahui dengan benar dan jelas inti sari objek tersebut.
Pendekatan komparatif digunakan untuk mendialogkan serta
membandingkan kedua objek penelitian, dalam hal ini Islam dan Kristen . Peneliti
akan menghubungkan setiap objek secara pararel dan mengemukakan persamaan
serta perbedaan antara pandangan Islam dan Kristen dalam melihat lingkungan.24
3. Sumber Penelitian
23 Dadang Rahmad, Metode Penelitan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 102. 24 Media Zainul Bahri, “Wajah Studi Agama-Agama” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 20-29.
12
Penelitian ini memiliki sumber primer dan sumber sekunder. Adapun
sumber primernya diambil dari buku Teologi Lingkungan dari Islam, Agama
Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an karya Mujiyono Abdillah, Islam
Doktrin dan Peradaban karya Nurcholish Madjid dan buku Teologi dan Ekologi
karya Celia Deane-Drummond. Adapun sumber sekundernya diambilkan dari
buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan disertasi yang tidak berhubungan
langsung dengan penelitian.
4. Pedoman Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, Peneliti menggunakan buku “Pedoman
Akademik tahun 2012” yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penelitian
Dalam skripsi ini akan dibahas dengan lima (5) bab. Berikut rinciannya:
Bab I merupakan bab pendahluan. Di dalamnya menjelaskan mengenai
latar belakang masalah, batasan dan rumusan, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan
sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan gambaran umum ekologi. Di dalamnya menjelaskan
mengenai pengertian umum, ruang lingkup serta bentuk-bentuk dari ekologi dan
paradigma dalam ekologi.
Bab III membahas pandangan Kristen mengenai gagasasn ekologi dan
pandangannya terhadap krisis ekologi. termasuk membahas tokoh-tokoh Kristen
Indonesia yang membahas ekologi.
13
Bab IV membahas pandangan Islam mengenai gagasasn ekologi dan
pandangannya terhadap krisis ekologi. termasuk membahas tokoh-tokoh
Indonesia yang membahas ekologi Islam.
Bab V merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran. Kesimpulan berisi mengenai jawaban atas rumusan masalah yang telah
dibuat. Adapun saran-saran berisi saran untuk penelitian selanjutnya yang ingin
meneliti terkait ekologi dan konservasi alam.
14
BAB II
EKOLOGI DAN KRISIS EKOLOGI
A. Pengertian Ekologi
Dalam kamus bahasa Indonesia, ekologi merupakan cabang ilmu biologi
yang mempelajari tentang hubungan timbal balik dalam satu lingkungan.1
Pengertian ini dapat dipahami melalui pemaknaan etimologi ekologi yang berasal
dari bahasa Latin dan terdiri dari dua suku kata, yakni oikos dan logos. Oikos
berarti lingkungan, sedangkan logos adalah ilmu. Maka jika disimpulkan menjadi
ilmu tentang lingkungan atau ilmu tentang tempat tinggal.2 Untuk memahaminya,
Utina dan Wahyuni meneyederhanakan menjadi pembahasan mengenai rumah
tangga makhluk hidup.3
Ekologi menjadi kajian yang dilirik oleh pemerhati lingkungan hidup.
Haeckle memberikan definisi yang cukup komprehensip terkait ekologi, yakni
sebagai suatu keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan-
hubungan total antara organisme dengan lingkungannya yang bersifat organik
maupun anorganik.4 Mujiyono mengartikan ekologi sebagai ilmu yang mengkaji
tentang proses interelasi dan interpedensi antar organisme dalam satu wadah
lingkungan tertentu secara keseluruhan. Hubungan timbal-balik antara makhluk
hidup dan lingkungannya inilah yang dibidik ekologi. Dengan demikian,
lingkungan dan makhluk yang ada di dalamnya merupakan objek kajian ekologi.5
1 Pusat Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Kemendikbud,
2008), h. 376. 2 Soedirman Resosoedarmo dkk, Pengantar Ekologi, (Bandung: Remadja Karya Cv,
1984), h. 1. 3 Ramli Utina dan Dewi Wahyuni, Ekologi dan Lingkungan Hidup, h. 11. 4 S.J. Mcnaughton & Larry. L, Ekologi Umum, terj. Sunaryono Pringgoseputro,
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1992), h. 1. 5 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 1.
15
Sedangkan Otto Soemarwoto mendefinisikan ekologi dengan bahasa yang
sederhana, yakni ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup dengan
lingkungan hidupnya.6
Secara sederhana pembahasan mengenai ekologi merupakan kajian
mengenai ekosistem, lingkungan serta timbal balik kehidupan yang ada di
dalamnya. Ke duanya merupakan titik utama dalam memahami secara utuh apa
saja yang dibahas dalam ekologi. salah satu gambarannya adalah melukiskan
kecenderungan problem kemanusiaan global yang makin terkait satu sama lain
sebagaimana halnya kesalinghubungan dan kesalingtergantungan perbagai aspek
dan dimensi kehidupan itu sendiri. Hal ini bermula pasca renaisans yang ditandai
dengan kebangkitan industrialisasi di Barat, manusia menemukan kesadaran baru,
kesadaran sebagai makhluk yang sangat penting di muka bumi ini.
Kesadaran ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang
menduduki posisi tertinggi di tengah jagad semesta ini, manusia berbeda dengan
makhluk-makhluk lain di alam ini bahkan terpisah dari alam. Kesadaran ini
melandasi perkembangan ilmu pengetahuan. Cara pandang seperti ini menegaskan
pemikiran Barat tentang antroposentris, dimana manusia menjadi semakin agresif,
eksploitatif dan superior terhadap alam bahkan terhadap sesamanya.7
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, terdapat tiga kata kunci
untuk merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal-balik, hubungan antara
sesama organisme dan hubungan organisme dengan lingkungannya.8 Kajian
ekologi mendasar pada persoalan hubungan timbal balik antar makhluk hidup
6 Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an”, Jurnal Esensia vol. XIV No.
1 April 2013. 7 Mehdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al Qur’an, (Jakarta: Mizan), h. 6. 8 Soedjiran Resosoedarmo, dkk, Pengantar Ekologi, h. 1.
16
dalam satu ekosistem atau lingkungan. Dengan kata lain, terdapat dua hal yang
mendasar, yakni lingkungan atau ekosistem serta peran kehidupan di dalamnya.
Ekosistem atau lingkungan yang dimaksud adalah alam dengan segala
ketersediannya, sedangkan peran kehidupan di dalamnya adalah manusia sebagai
subjek dalam pemanfaatan alam. Pada tahap selanjutnya, hubungan tersebut
menyasar pada pembahasan harmonisasi atau keteraturan. Sebagaimana alam
serta kehidupan di dalamnya (manusia dan makhluk lainnya) memiliki hubungan
yang erat baik untuk dimanfaatkan untuk manusia maupun demi kelestarian alam.
Oleh karena itu perlu diusahakan agar tetap terciptanya keteraturan yang bertujuan
menjaga kelestarian bagi keberlangsungan hidup ekosistem dalam alam.9
Gagasan harmonisasi alam maupun kelestarian tidak lain menjelaskan
tentang kedudukan manusia sebagai subjek atas alam ini. Keberadaan alam ini
memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi
pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) juga berdampak pada kerusakan alam,
yang berimbas mengancam manusia itu sendiri. Atas dasar inilah, pembahasan
ekologi menjadi sangat penting bagi manusia.
Kerusakan lingkungan hidup justru dianggap membahayakan manusia
secara global, karena mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, mulai dari
perlindungan terhadap hutan alam yang merupakan paru-paru dunia, terjadinya
polusi air yang mengakibatkan banyak manusia tidak dapat lagi menikmati dan
memanfaatkan aliran sungai akibat limbah industri, polusi air laut yang
mengakibatkan rusaknya kehidupan kelautan, dan seterusnya, semua itu berakibat
pada kehidupan dan kesehatan manusia. Masalah ini memerlukan kesadaran
9 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, h. 24.
17
semua umat manusia untuk mengembalikan dunia pada ekosistem ekologi yang
normal berdasarkan hukum alam. Dengan dimasukkannya aspek perilaku manusia
sebagai salah satu penyebab benana, maka cakupan definisi bencana menjadi
sema kin kompleks. Bencana mencakup hal, bencana alam, hingga kesehatan
global dan kemiskinan yang keseluruhannya merupakan akibat perbuatan
manusia.
Manusia yang melakukan kerusakan dengan kegiatan buruk yang merusak
keseimbangan tersebut. Dengan demikian, terjadi kepicangan dan
ketidakseimbangan pada sistem alam.10 Penyesuaian alam atas perubahan
keseimbangan yang terjadi akibar adanya perubahan-perubahan itulah yang
disebut ‘bencana’. Manusia yang menyebut itu sebagai bencana, karena
pergerakan penyesuaian itu mendatangkan kerugian secara psikis maupun fisik
bagi manusia.
Krisis ini merupakan problem akut yang membutuhkan perhatian besar
setiap individu. Barangkali terdapat suatu permasalahan yang kendati kita cari
jalan keluarnya maupun kita abaikan begitu saja jalan keluarnya, tetap tidak
memiliki perubahan atau pengaruh signifikan untuk kehidupan. Tidak begitu
halnya dengan permasalahan ekologis. Salah satu karakteristik utama persoalan
ekologi adalah perubahan. Kepasifan dan keaktifan kita dalam persoalan ekologi
memberikan efek signifikan untuk seluruh kehidupan atau organisme. Krisis
ekologis yang tengah terjadi, jika kita abaikan akan semakin mengancam
eksistensi kelestarian kehidupan atau organisme.11
10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 76. 11 Amirullah, “Krisi Ekologi dan Problematika Sains” dalam Jurnal Lentera, Vol. XVIII
No. 1. Juni 2015, h. 3.
18
Budaya adalah seluruh pengetahuan, keyakinan, teknologi, dan praktik
masyarakat, dan perubahan budaya manusia telah memiliki efek mendalam di
bumi. Manusia telah berjalan selama mungkin 90.000–195.000. Pada awalnya
manusia kebanyakan adalah pemburu-pengumpul yang memperoleh makanan
dengan berburu binatang liar. Manusia bergerak sesuai kebutuhan untuk
menemukan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Sejak itu, tiga perubahan
budaya utama telah terjadi. Pertama adalah revolusi pertanian, yang dimulai
10.000-12.000 tahun yang lalu ketika manusia belajar bagaimana menanam dan
membiakkan tanaman dan hewan untuk makanan, pakaian, dan tujuan lain.
Selanjutnya berdampak pada revolusi industri-medis, dimulai sekitar 275
tahun yang lalu ketika orang menemukan mesin untuk produksi barang-barang
skala besar di pabrik. Ini melibatkan belajar bagaimana mendapatkan energi dari
bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak, dan bagaimana menanam
makanan dalam jumlah besar secara efisien. Akhirnya, revolusi informasi-
globalisasi dimulai sekitar 50 tahun yang lalu, ketika kami mengembangkan
teknologi baru untuk mendapatkan akses cepat ke lebih banyak informasi dan
sumber daya dalam skala global. Setiap perubahan budaya ini memberi kami lebih
banyak energi dan teknologi baru yang dapat digunakan untuk mengubah dan
mengendalikan lebih banyak planet ini untuk memenuhi kebutuhan dasar kami
dan meningkatkan keinginan. 12
Menurut William Rees dan Mathis Wackernagel, pengembang konsep
tapak ekologis, akan membutuhkan lahan sekitar lima planet bumi lagi untuk
seluruh dunia untuk mencapai tingkat konsumsi AS saat ini dengan teknologi
12 G. Tyler Miller dan Scott E. Spoolman, Essentials of Ecology, (USA; Brooks/Cole,
2009), h. 13.
19
yang ada. Dengan kata lain, jika setiap orang mengonsumsi sebanyak yang
dilakukan orang Amerika pada umumnya, modal alami bumi hanya dapat
mendukung sekitar 1,3 miliar orang — bukan 6,7 miliar hari ini. Dengan kata lain,
kita hidup tak terduga dengan menipiskan dan merendahkan sebagian modal alam
bumi yang tak tergantikan dan pendapatan yang dapat diperbarui alami yang
disediakannya ketika jejak kaki ekologis kita tumbuh dan menyebar ke seluruh
permukaan bumi. 13
Alam dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai yang mempunyai
nilai dalam dirinya sendiri. Karena itu martabat alam patut dihargai dengan
penghormatan, atas alam melalui perilaku yang menjaga dan memelihara alam
dan lingkungan hidup yang dihuni manusia. Perubahan paradigma dibentuk dalam
kesadaran bahwa alam bukanlah sekedar nilai instrumental demi keuntungan
manusia. Manusia mesti memiliki tanggungjawab moral untuk memastikan alam
tetap terjaga keberlangsungannya. Kesadaran akan tanggungjawab ini harus
sampai pada tataran moral yang tidak terbantahkan bahwa manusia hidup dalam
sebuah komunitas moral bersama dengan seluruh kehidupan dan segala
ekosistem.14
B. Perkembangan Paradigma Ekologi
Pembahasan mengenai ekologi dapat disederhanakan pada pernyataan
mengenai hubungan timbal balik dalam satu ekosistem. Adanya manusia, alam
dan lingkungan yang ada disekitarnya menjadi bagian utama dalam diskursus
ekologi. permasalahan inilah yang menjadi kajian utama menurut Miller bahwa
jejak kehidupan manusia membawa pada persoalan dampak yang serius terhadap
13 Miller dan Spoolman, Essentials of Ecology, h. 16. 14 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2002, hlm 119.
20
alam. Terutama pada persoalan pemanfatan alam atas revolusi kehidupan
manusia. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam
pembahasan ekologi, di antaranya adalah ekosistem, pemanfaatan alam.
Dalam buku Dasar-Dasar Ekologi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup, ekologi merupakan ilmu tentang lingkungan hidup. Meskipun
didasarkan pada ilmu biologi, akan tetapi objek kajiannya mencakup persoalan
lingkungan tidak terbatas pada persoalan kehidupan bilogis dalam satu ekosistem,
akan tetapi juga berhubungan dengan hubungan yang terjadi dalam ekosistem
tersebut. Oleh karena itu ekologi justru tidak hanya menjadi bagian dari
lingkungan, tetapi juga membahas hal-hal yang terdapat dalam lingkungan hidup.
Dengan kata lain, ekologi merupakan ilmu interdisipliner.15
Hal mendasar yang perlu dipahami dalam kajian ekologi adalah asas dasar
ilmu ekologi yang timbul dari ilmu lingkungan hidup (enviromental science).
Lingkungan merupakan penelaahan terhadap sikap dan perilaku manusia dengan
tanggungjawab dan kewajibannya dalam mengelola lingkungan hidup. Ilmu
lingkungan terkait erat dengan pengelolaan sumberdaya termasuk materi, manusia
dan kompetensinya akan teknologi, seni dan budaya. Ilmu lingkungan membahas
pada persoalan masalah lingkungan yang harus diatasi, serta pengelolaan
lingkungan yang memberikan manfaat tanpa harus mengeksploitasinya secara
berlebihan.16
Lingkungan hidup pada diskursus ekologi pada dasarnya terbatas dalam
persoalan lingkungan yang bersifat natural atau alam. Sebagaimana Pada ekologi
manusia hubungan antar manusia dalam memperoleh topangan eksistensi dan
15 Kementerian Lingkungan Hidup, Dasar-Dasar Ekologi, (Jakarta: Kementrian
Lingkungan Hidup, 2009), h. 4. 16 Ramli Utina dan Dewi Wahyuni, Ekologi dan Lingkungan Hidup, h. 13-14.
21
kehidupannya adalah dari Alam. Sedangkan dalam ilmu lingkungan, hubungan
antara manusia dengan lingkungan hidupnya yang merupakan perluasan dari
pengertian ekosistem yang masih alami. Alam atau ekosistem sudah berkembang
menjadi lingkungan hidup yang terdiri atas lingkungan hidup alami, lingkungan
hidup sosial dan lingkungan binaan manusia.17
Lingkungan hidup dalam naungan alam telah memberikan segalanya bagi
kehidupan manusia. Alam raya merupakan jaringan yang terdiri dari berbagai
kekuatan yang komplek serta rumit, tidak bisa berdiri sendiri. Seluruh bagiannya
bersatu menyeluruh, dan manusia adalah bagian dari alam tersebut. Manusia
adalah bagian dari segalanya yang ada dalam alam, sebaliknya, segalanya adalah
bagian dari alam. Oleh karena itu, perspektif yang harus diambil dalam membahas
persoalan alam harus bersifat menyeluruh, tidak bisa hanya mengambil dari sudut
pandang kepentingan pribadi atau kelompok. Bumi adalah rumah bagi manusia
dan semuanya, maka tanggungjawab yang harus dilakukannya adalah
merawatnya.18
Persoalan lingkungan dan rusaknya ekosistem pada era kontemporer
kehidupan manusia adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia.
Lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi
global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara
global.19 Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Tidak
bisa disangkal bahwa sebagai kasus lingkungan yang terjadi sekarang ini baik
17 M. Soerjani, “Ekologi Manusia dan Alam Semesta” dalam Modul Biologi, h. 12. 18 Reza A.A Watimena, Tentang Manusia; Dari Pikiran, Pemahaman Sampai
Perdamaian Dunian, (Yogyakarta: Maharsa, 2016), h. 137-140. 19 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 4.
22
pada lingkungan global maupun lingkungan nasional, sebagian besar bersumber
dari perilaku manusia.
Manusia dianggap di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan manusia
dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap
alam. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan prilaku eksploitatif tanpa
kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri, dan alat pemuas kepentingan manusia.20
Inti utama dari sikap dan perilaku manusia terhadap alam semesta serta kehidupan
di dalamnya atau yang kita sebut sebagai lingkungan hidup sesungguhnya
dipengaruhi oleh paradigma berfikir kita tentang hakikat alam semesta dan
kehidupan di dalamnya. Salah satu kesalahan paradigma mengenai alam yaitu
paradigma mekanistis-reduksionistis, yaitu alam semesta demikian pula
organisme di pandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian- bagian yang
terpisah. Akibatnya maka akan bermuara pada kematian hubungan segitiga, yaitu
matinya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan
alam lingkungan. Sehingga menjadi ancaman yang maha dasyat bagi
keberlangsungan kehidupan seluruh mahkluk bumi.
Pada awalnya ekologi pada awalnya hanya membahas pada persoalan
organisme yang hidup dibumi. Pada tahun 1920an, ekolog mulai memusatkan
pada hubungan antar jaringan atas dasar jaringan pakan (mata rantai makanan).
Namun, mata rantai makanan ternyata menjadi siklus yang tidak bisa kembali.
Siklus ini juga menggambarkan adanya saling terhubung satu sama lain dan
membentuk jaringan pangan atau jaring kerja keterkaitan pangan. Dalam konteks
20 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 8.
23
manusia, jaringan pangan menjadi lebih kompleks, karena satu sisi manusia
sebagai makhluk yang tunduk pada hukum biologis, satu sisi sebagai makhluk
sosial yang memiliki nilai, norma dan budaya. Dengan kata lain, manusia sebagai
bagian dari sistem ekologi tidak hanya menjadi bagian dari siklus pangan tersebut,
melainkan perlu memerankan adanya sistem keseimbangan antara kebutuhan
pangan dan pelestarian untuk keberlanjutan kehidupan.21
Kesimpulan yang bisa diambil adalah sikap eksploitatif manusia terhadap
alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan keberlangsungan alam
merupakan bentukan dari paradigma antroposentris. Teori ini memandang bahwa
manusia merupakan pusat dari sistem alam semesta. Sebaliknya alam semesta
dianggap tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai
instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia. Paradigma
antroposentrisme inilah yang melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang
merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kepentingan
manusia.22
Gagasan antroposentrisme menegaskan bahwa manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan
dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung
atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Manusia
saja yang pantas memiliki nilai. Manusia adalah di atas segala-galanya, supra
organik, yang dengan segenap kemampuan akal fikirnya sanggup mengubah tata
alam semesta beserta isinya. Atas dasar ini pandangan antroposentrisme
21 Soeryo Adiwibowo, Ekologi Manusia, (Bogor: IPB, 2007), h. 3-5. 22 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 8.
24
cenderung melemahkan ekosistem, sehingga mengakibatkan terganggunya
kelestarian lingkungan hidup.23
Paradigma antroposentrisme mendukung manusia bersifat eksploitiatif ini
bersumber dari renaisan, yakni paradigma mekanistis. Secara umum, paradigma
mekanistis dipengaruhi oleh Rene Descartes tentang dalil rasionalisnya.
Pemikiran Descartes dianggap benar-benar mengubah cara pandang masyarakat
termasuk dalam memahami alam. Pemahaman manusia memiliki kekuatan
rasionalis berbeda dengan alam yang tidak memiliki rasionalitasnya. Atas dasar
itulah alam dianggap tidak memiliki nilai dan dipahami sebagai sebuah mesin
yang bergerak secara mekanistis, demikian pula alam dipahami sebagai sebuah
mesin raksasa yang bergerak dan berada dengan ditentukan oleh bagian-
bagiannya. Pemahaman mekanistis tentang alam semesta didasarkan pada
pemisahan antara bagian dan keseluruhan, di mana keseluruhan tubuh dan alam
semesta direduksi menjadi bagian-bagiannya yang terpisah. Memahami alam
berarti memahami bagian-bagiannya dengan kemampuan analitis akal budi tanpa
melibatkan kemampuan seluruh tubuh, termasuk perasaan dan intuisi manusia.24
Pada intinya, paradigma mekanistis mendorong manusia menguasai alam
tanpa mempertimbangkan pada aspek keberlangsungan hidup, melainkan
menekankan pada keuntungan maupun ketercukupannya sumber daya yang
dibutuhkan oleh manusia. Cara pandang ini menjurus manusia bersifat eksploitatif
terhadap alam raya. Di luar itu, paradigma mekanistis kurang menekankan
tanggung jawabnya terhadap kelestarian alam. Paradigma mekanistis memisahkan
antara fakta dengan nilai itu sendiri. Dengan kata lain, manusia menganggap alam
23 Ginting Suka, Teori Etika Lingkungan; Antroposentrisme dan Ekosentrisme, (Bandung;
Universtias Udayana, tt), h. 53. 24 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan, h. 56-60.
25
sebagai fakta tanpa nilai apapun. Artinya setiap kejadian yang menimpa alam
diartikan sebagai gejala alam yang tidak ada kaitanya dengan perbuatan manusia.
Akan tetapi pada masa revolusi ilmiah yang dimulai abad ke 17
menemukan fakta bahwa antara fakta dan nilai (perbuatan manusia) tidak bisa
dipisahkan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya tidak
bebas nilai, oleh karenanya ilmuan ditekankan pada aspek bukan hanya secara
intelektual, tetapi juga secara moral. Hal ini berarti menunjukkan adanya
hubungan antara persepsi ekologis terhadap dunia dengan perilaku bukan hanya
bersifat logis melainkan hubungan psikologis. Logika tidak menuntun manusia
dari fakta diri sendiri sebagai bagian dari jaringan kehidupan kepada norma-
norma tertentu bagaimana manusia harus hidup. Namun, manusia memiliki
kesadaran atau pengalaman ekologis-dalam bahwa dirinya adalah bagian dari
jaringan kehidupan, maka manusia akan (bukan manusia seharusnya) cenderung
peduli terhadap seluruh alam yang hidup.25
Pandangan mengenai antroposentrisme benar-benar memberikan dampak
negatif terhadap kelestarian alam. Antroposentrisme setidaknya memiliki tiga
kelemahan, di antaranya; Pertama mengabaikan komponen lingkungan, seperti
penggunaan pestisida untuk petani satu sisi menguntungkan petani, akan tetapi
dampak buruknya adalah tanah yang akan mengalami kegersangan. Kedua
kepentingan manusia yang berubah-ubah berdampak pada penggunaan alam
sewenang-wenang. Misal, pemanfaatan terumbu karang yang berlebih mendorong
nelayan menguras habis untuk dijual pada hiasan akuarium. Ketiga kepentingan
25 I Ginting Suka, Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme, h. 95.
26
manusia bersifat jangka pendek, sehingga dampak yang terjadi pada jangka
panjang sangat merugikan generasi selanjutnya.26
Untuk menjawab persoalan antroposentrisme dengan paradigma
mekanistik, diperlukan pemikiran yang bersifat komprehensif dan holistik dalam
ekologi. Cara pandang yang bersifat menyeluruh inilah kemudian disebut sebagai
holistik, organismis dan ekologis. Gagasan holistik ini didasarkan pada kenyataan
bahwa segala sesuatu dalam kehidupan adalah saling terhubung. Maka hukum
yang timbul adalah segala sesuatu yang ada dalam alam adalah saling bergantung,
tidak bisa beridiri sendiri. Dengan model berpikir seperti inilah kemudian disebut
sebagai pola pikir sistem. Pola pikir sistem ini telah membuka pemikiran baru
menyangkal sebelumnya. Jika sebelumnya orang berpikir bahwa kehidupan
bersifat linier, kini kehidupan menjadi bermakna kompleks. Sony Keraf
menyatakan sebagai berikut:
“Menurut pemikiran sistem, ciri hakiki sebuah organisme, sebuah sistem
kehidupan, adalah ciri dari keseluruhannya, bukan ciri yang semata mata dimiliki
dan ditentukan oleh bagian itu secara terpisah. Semua ciri tersebut muncul dan
berkembang dari interaksi dan relasi d i antara bagian bagiannya. Bagian-bagian
dari keseluruhan organisme ini bisa diidentifikasi, tetapi bagian-bagian ini bukan
merupakan unsur yang terisolasi. Demikian pula hakikat dari keseluruhan
organisme itu selalu berbeda dari jumlah clan kumpulan bagian-bagiannya.”27
Secara umum pandangan mengenai paradigma mekanistik dalam konteks
ekologi dikritik dengan menggunakan paradigma sistem. Paradigma sistem ini
menjadi acuan dalam memahami sekaligus mewujudkan kesadaran manusia dan
26 Andiwibowo, Ekologi Manusia, h. 9. 27 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, h. 71.
27
hubungannya dengan alam dalam konteks ekologi. Setidaknya terdapat dua jenis
teori dalam rangka mengritik paradigma mekanistis dari teori antroposentris.
Keduanya adalah ekosentrisme dan eko-teologi. Meski berbeda dasar dan sumber,
akan tetapi keduanya sama-sama memiliki arah dalam rangka mewujudkan
kesadaran manusia dalam mengelola alam dengan melestarikannya.
Antroposentrisme menekankan pada penggunaan alam tanpa memberikan
tanggung jawab atas penggunaannya memunculkan konsepsi baru dalam wacana
ekologi. Penulis sendiri mendapatkan dua paradigma baru yang lahir atas
pengembangan ekologi, yakni ekosentrisme dan eko-teologi. Dua gagasaan
tersebut merupakan jawaban atas kritik terhadap antroposentrisme yang
memberikan dukungan terhadap kerusakan alam. Atau dalam bahasa
sederhananya antroposentrisme membebaskan manusia berbuat apa saja terhadap
alam tanpa memberikan tanggungjawab terhadap alam itu sendiri. Adapun
gagasan mengenai ekosentrisme maupun ekoteologi memberikan arah pada
kesadaran manusia untuk melestarikan alam. Sehingga pemanfaatan terhadap
alam juga diimbangi dengan konservasi atau pelestarian untuk kehidupan yang
berkelanjutan. Berikut uraian detailnya.
Ekosentrisme merupakan sesuatu yang menunjuk satu berpusat pada alam,
sebagai oposisi kepada yang berpusat pada manusia, sebagai sistem nilai.28
Ekosentrisme menekankan bahwa antara fakta yang terjadi berhubungan secara
langsung dengan perbuatan-perbuatan manusia. Dalam konteks ekologi,
perubahan alam sangat bergantung pada perbuatan manusia itu sendiri. Oleh
karena itu dampak atas pemanfaatan alam harus dipertimbangkan dalam rangka
28 I Ginting Suka, Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme, h. 88.
28
keberlangsungan hidup manusia. Ekosentrisme juga bagian dari penolakan
terhadap antroposentrisme bahwa etika antroposentrisme hanya berpusat pada
manusia, akan tetapi mengabaikan peranan lingkungan.29
Adapun ekoteologi merupakan gerakan kesadaran yang diambil dari
teologi lingkungan berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia diyakini memiliki
peran fungsional sebagai kepanjangan tangan Tuhan dalam mengelola
lingkungan, yang lazim dikenal dengan istilah khalifatullah. Manusia harus tetap
konsisten memelihara kualitas lingkungan agar daya dukungnya tetap optimum.
Untuk menjaga optimasi daya dukung lingkungan, manusia harus memelihara
kepentingan semua pihak secara proporsional. Kepentingan kelestarian
lingkungan dan kepentingan kesejahteraan manusia dipertimbangkan secara wajar
sebatas kewajaran ekologis. Hal tersebut harus diterapkan mengingat manusia
diberi mandat sebagai khalifah. Dengan demikian dapat disebut juga menjaga
alam merupakan sunnah Illahiyah yang harus tunduk dan konsisten pada nilai
spiritual Illahiyah.30
Baik ekosentrisme maupun ekoteologi merupakan pemikiran dalam rangka
mengembangkan cakupan pembahasan ekologi. Dasar pembahasan ekologi
bertumpu pada sistem organisme kehidupan dalam satu lingkungan. Dalam
paradigma antroposesntrisme nyata memisahkan hubungan yang terbentuk dalam
satu lingkungan hidup. Maka dampak yang terjadi atau kerusakan alam dianggap
sebagai gejala alamiah semata. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut menemukan
fakta bahwa kejadian yang ada di alam juga dipengaruhi oleh perbuatan manusia.
29 Adniwibowo, Ekologi Manusia, h. 11. 30 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 200-209.
29
Oleh karena itu digagas pemikiran untuk membentuk kesadaran pemanfaatan
alam yang esfisien dan mengarah pada kelestarian hidup.
Pada prinsipnya, ekosentrisme mengarahkan kepada manusia untuk
menghayati alam sebagaimana dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat di
seluruh dunia dengan kearifan tradisionalnya. Alam bagi masyarakat adat di sini
dipahami sebagai satu kesatuan asasi dengan kehidupan manusia, karena itu
memelihara alam berarti memelihara kehidupan dan berarti sekaligus juga
memelihara kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya, merusak alam berarti
merusak kehidupan dan sekaligus juga berarti merusak hidupnya sendiri.31 Dalam
konteks ekologis ini, pola relasi antara manusia dengan alam adalah pola relasi
saling rnerawat, penuh kasih sayang, saling mengisi, saling mendukung, saling
menunjang ke hidupan dan memungkinkan setiap kehidupan untuk tumbuh
berkembang, untuk hidup.
Dukungan yang muncul terhadap ekosentrisme diperkuat melalui
paradigma sistem atau penggunaan teori sistem dalam memahami konteks
ekologi. Dalam hal ini menekankan pada aspek hubungan manusia dengan alam
secara menyeluruh. Adiwibowo memberikan dua ciri yang identik dengan
pemikiran teori atau paradigma sistemik. Pertama sistem merupakan entitas yang
menyeluruh, terorganisir, dan koheren. Setiap entitas yang ada pada dasarnya
bersifat otonom sekaligus subsistem atas supersistem yang ada. Dengan kata lain,
manusia adalah bagian dari keseluruhan alam dan alam adalah bagian dari
manusia. Anta subsistem memiliki peranan yang berbeda dan saling berinteraksi,
dengan kata lain, hubungan antar subsistem menjadi saling berpengaruh dan
31 Sony Keraf, Filsafat Lingkungan, h. 88.
30
saling bergantung satu sama lain. Kedua terdapat jaringan atau hubungan yang
terpola dengan baik. Dalam teori sistem, ditekankan pada aspek relasi atau
hubungannya, bukan pada subsistemnya, sehingga yang terjadi adalah
memperbaiki hubungan yang akan berdampak pada subsistem dan berakhir pada
supersistem yang ada.32
Ekosentrisme digadang-gadang sebagai gerakan kesadaran melestarikan
alam. Dampak buruk paradigma antroposentrisme dapat ditanggulangi dengan
adanya upaya sadar melihat alam dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu
ekosentrisme menjadi kerangka etika yang menopang perbuatan manusia lebih
peduli terhadap kondisi alam yang ada. Adapun ekoteologi sebagaimana yang
dikembangkan oleh Mujiono menggunakan pendekatan teologis dengan
memfokuskan kajiannya pada sistem keyakinan Islam berkaitan dengan
lingkungan. Hal ini kemudian disebtu denga Teologi Lingkungan Islam.33 Adapun
cakupan pembahasan teologi lingkungannya meliputi al-‘Alamin (selurus spesies),
al-Sama’ (langit atau jagat raya), al-Ardh (tempat atau bumi), dan al-bi’ah
(lingkungan).34
Gagasan ekoteologi Mujiono bersumber pada aspek etika Islam dalam
perlindungan lingkungan hidup. Pemanfaatan hasil alam, seperti energi, harus
secara lestari, yaitu dengan memanfaatkan secara rasional, intelegent utilization,
dan penggunaan secara bijaksana, (wise use). Dengan demikian, pemanfaatan
bersifat rasional menekankan pada apek perhitungan nilai ekologis sekaligus nilai
32 Wibowo, Ekologi Manusia, h. 8. 33 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 13. 34 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 44-60.
31
ekonomis. Selain itu juga menggunakan alam secara bijaksana dengan prinsip
berkelanjutan.35
Pemikiran Mujiono masih dianggap sebatas persoalan etik Islami, namun
kurang maksimal dalam menjelaskan kerangka teologis untuk menunjang ekologi
Islam. Wardani memberikan perluasan penjelasan eko-teologi. Menurutnya Alam
memberikan bukti atas kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Selain itu keharmonisan
alam dalam bentuk kesetaraan kosmik merupakan pejalaran yang bisa dipahami
manusia. Al-Qur'an menginginkan agar pengelolaan alam tidak lepas dari nilai-
nilai tawfuid, secara seimbang, dan ekonomis (tidak boros, eksploitatif). Al-
Qur'an memerintahkan agar bumi dimakmurkan, tidak hanya dalam pengertian
digali hasil-hasilnya, melainkan juga dijaga keseimbangannya. Teologi
lingkunganjuga seharusnya menjadi dasarbagi ilmu yang menjabarkan ajaran-
ajaran ini dalam praktik, seperti melalui fiqh lingkungan ffiqh al-bi'aft). Teologi
memang menjadi dasar bagi fiqh. Dimana perbuatan manusia dapat dirincikan
melalui hukum fiqh yang bersandar pada ketauhidan kepada Tuhan.36
Pada akhirnya, manusia secara ekologi menurut ajaran Islam diposisikan
ditengah-tengah makrokosmos sebagai salah satu komponen mikrokosmos jenis
biotik teristimewa dibandingkan dengan hampir dua juta makhluk hidup lainnya.
Disisi lain, secara spiritual manusia dituntut harus mempunyai komitmen dan
integritas kepada sang pencipta. Pertanggung jawaban itu kemudian direfleksikan
35 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 63. 36 Wardani, Islam Ramah Lingkungan: Dari Eko-teologi Hingga Fiqh Bi’ah
(Banjarmanis: IAIN Antasari Press, 2015), h. 159-162.
32
melalui interaksi interaksi dalam ekosistem khusus yang dibangun di atas alam
fisik, non fisik dan metafisik.37
C. Krisis Ekologi di Indonesia
Bumi yang kita tempati hari ini membutuhkan struktur yang baik untuk
dapat dihidupi atau ditinggali oleh makhluk hidup. Bumi sendiri tidak dapat
bertahan dengan baik jika makhluk hidup sendiri tidak bisa melestarikan dan
menjaganya dengan baik. Keadaan bumi yang sekarang kita ketahui sudah
tercemar dari berbagai aspek lingkungan. Tercemarnya bumi menjadikan bumi
terasa sakit, ketimpanganpun terjadi disebabkan oleh keseimbangan lingkungan
yang sudah tidak dapat dikontrol lagi.
Tak dapat disangkal bahwa kondisi lingkungan hidup di Negara Indonesia
yang sekarang kita tempati dalam keadaan krisis. Kita mencatat begitu banyak
alasan kebanggaan, dan kita namakan itu sebagai kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan itu sebagai bukti bahwa manusia semakin beradab. Ironisnya,
kemajuan itu harus dibayar dengan mengorbankan lingkungan hidup yang
manusia tempati. Bahkan dapat dikatakan bahwa, kemajuan itu sekaligus
menghantar manusia pada kehancuran.38
Kita temukan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin hari
semakin mengharukan. Kondisi ini secara langsung telah mengancam kehidupan
manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam.
Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat
peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan hidup dapat
diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu (kemunduran)
37 Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010),
h. 30. 38 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta : Buku Kompas, 2002), h. 66.
33
lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya
tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem.39
D. Macam-macam Krisis Ekologi di Indonesia
1. Krisis Udara
Udara merupakan suatu komponen abiotis yang lebih dikenal dengan
atmosfer. Komponen itu adalah suatu campuran gas yang terdapat lapisan yang
mengelilingi bumi. Atmosfer ini terdiri dari empat lapisan, yakni troposfer,
stratosfer, mesosfer dan termosfer. Semuanya terbentuk oleh sinar-sinar
matahari, gaya tarik bumi, rotasi bumi dan permukaan bumi. Komponen
campuran gas yang terkandung dalam udara itu adalah air dalam bentuk uap
(H2O) dan Carbon dioksida (CO2). Komposisi ini membentuk udara yang baik
dan bersih yang dibutuhkan makhluk hidup.40
Namun komposisi udara yang demikian asli dan bersih jarang kita
temukan saat ini. Dewasa ini yang orang alami dan nikmati adalah udara yang
kondisinya tidak bersih (terpolusi dan tercemar). Polusi itu terjadi baik secara
alami maupun oleh karena campur tangan manusia. Polutan alami terjadi
melalui proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah
tanaman, dan kebakaran hutan. Zat-zat kimia yang dihasilkan berupa gas,
seperti sulfur dioksida (SO2), Hidrogen Sulfida (H2S) dan Karbon Monoksida
(CO). Selain itu, ada pula partikel- partikel padatan atau cairan berukuran kecil
yang tersebar di udara. Zat-zat kimia ini yang bercampur dengan gas-gas H2O
dan CO2, sehingga udara menjadi kotor. Polusi udara ini terjadi karena
39 Alamendah's Blog, “Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesia dan Penyebabnya”,
https://alamendah.org/2014/08/01/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-penyebabnya/
diakses pada tanggal 9 Mei 2019. 40 P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 92.
34
perbuatan manusia dan merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.41
Pada umumnya limbah-limbah, asap pabrik dan asap kendaraan
bermotor merupakan penyebab pencemaran. Masing-masing membuang
beberapa macam gas yang sama, yang terakumulasi dan telah tercemari udara.
Hanya dapat dipastikan bahwa polutan udara adalah CO yang dihasilkan oleh
penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara yang digunakan oleh
pabrik maupun kendaraan bermotor.42
Krisis mengenai udara ini dapat ditemukan di berbagai wilayah di
Indonesia, seperti kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kawasan Ogan Ilir
(OI) dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang menyebabkan kabut asap
telah memasuki wilayah Kota Palembang, Sumatera Selatan.43 Sementara
dikawasan lain ditemukan pula limbah fly ash atau abu terbang dari cerobong
asap pabrik K2 Indistri di karawang.44 Akibatnya, pencemaran udara pun kini
telah mulai dirasakan oleh masyarakat.
2. Krisis Air Bersih
Air merupakan zat yang paling esensial dalam kehidupan. Air
mempunyai siklus hidrologis yang berlangsung secara alami sebagai proses
untuk membersihkan diri. Syarat utama dalam proses ini adalah kondisi udara
yang bersih. Udara dan air saling memberi dan saling menerima dalam proses
41 P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 96. 42 Dr. William Chang OFM Cap, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Kanisius,
2001), h. 19 43 Putra, Aji YK, “Waspada, Udara Palembang Mulai Tercemar Kabut Asap”,
https://regional.kompas.com/read/2018/10/05/17474851/waspada-udara-palembang-mulai-
tercemar-kabut-asap. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019. 44 Awaluddin, Luthfiana, “Warga Keluhkan Polusi Udara Fly Ash Pabrik di Karawang”,
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4523408/warga-keluhkan-polusi-udara-fly-ash-pabrik-
di-karawang?_ga=2.205948177.32201927.1557771048-1616342713.1557771048 diakses pada
tanggal 10 Mei 2019.
35
ini. Jadi air yang sampai ke bumi adalah air yang membawa kotoran dari
udara. Dengan demikian, jika udara dalam keadaan kotor atau tercemar, maka
air yang sampai ke bumi adalah air yang juga kotor atau terpolusi. Begitu pula
sebaiknya, jika udara dalam keadaan bersih maka air yang sampai ke bumi
juga adalah udara yang bersih. Karena itu, kualitas air sangat tergantung pada
kondisi udara, alam dan aktivitas manusia di sekitarnya.45
Tanah longsor dan erosi bisa membuat air keruh, berubah warna dan
berbau. Sifat air berubah dan kualitas air menurun karena terjadi penumpukan
sampah. Tetapi kejadian ini tidak murni alami karena longsor atau erosi selalu
merupakan akibat dari tidak terjaminnya kelestarian hutan. Menurunnya
kualitas air lebih banyak terjadi karena kegiatan manusia di sekitarnya.
Kegiatan manusia banyak berpengaruh langsung terhadap sifat-sifat air.
Memang air mempunyai proses alamiah untuk menetralisir dirinya sendiri,
tetapi apa bila pencemaran berlipat ganda maka air akan kehilangan daya
alamiahnya dalam proses itu.46
Kegiatan manusia yang mempengaruhi kualitas air itu dapat dibedakan
menjadi dua macam. Pertama, kegiatan perorangan, dan kedua, kegiatan
kolektif. Kegiatan perorangan ini misalnya membuang sampah sembarangan
secara tidak bertanggung jawab, terutama yang dibuang di sungai atau di laut,
air sabun yang dibuang oleh keluarga-keluarga, dan penggunaan pupuk-pupuk
dalam dunia pertanian. Sedangkan kegiatan kolektif misalnya polusi air
karena asap pabrik dan limbah industri. Hal ini bisa terjadi secara langsung
maupun secara tidak langsung. Terjadi secara tidak langsung melalui polusi
45 Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 34. 46 Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 37.
36
udara. Polusi udara ini menyebabkan hidrologis air tidak bersih. Sedangkan
secara langsung misalnya industri-industri yang menggunakan jasa air dan
membuang limbah secara tidak bertanggung jawab, dan sampah- sampah
oraganik yang sebagian berasal dari proses industri.47 Di Indonesia, hal
tersebut sudah banyak terjadi. Misalnya di Sungai Musi, Palembang terdapat
pemandangan yang sangat buruk. Didapati sebuah aliran sungai air tawar
yang penuh dengan sampah dengan bau tidak sedap dan menyengat yang
didominasi oleh limbah rumah tangga.48
Jadi secara tegas, dapat dikatakan bahwa air kita ini sekarang ada
dalam keadaan polusi. Hal ini terjadi secara alamiah maupun karena
perbuatan manusia. Dengan cara masuknya dan atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan komponen lain ke dalam air, maka kualitas air menjadi
berkurang sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya.49
3. Krisis Hutan
Masalah kelestarian hutan sangat terkait dengan paham pragmatisme
dan Utilitarisme. Manusia hanya mempertimbangkan nilai guna dan seberapa
besar keuntungan yang akan diperoleh dengan mengeksploitasi hutan.
Pengeksploitasian hutan ini berhubungan erat dengan masalah kemiskinan
dan konsumsi tinggi. Misalnya permintaan yang sangat besar dari industri
plywood. Pulp, kertas dan sebagainya menjadi faktor pemicu penebangan
47 P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 98. 48 Adil, Raja, “Jorok! Anak Sungai Musi Penuh Sampah dan Bau Tak Sedap”
https://news.detik.com/berita/d-4445027/jorok-anak-sungai-musi-penuh-sampah-dan-bau-tak-
sedap?_ga=2.141381040.32201927.1557771048-1616342713.1557771048 diakses pada tanggal
10 Mei 2019. 49 Muhamin, Membangun Kecerdasan Ekologis, (Bandung : Alfabta, 2015), h. 36.
37
hutan secara besar-besaran. Selain permintaan industri, sistem pertanian
dengan cara menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan baru ikut
merusak kelestarian hutan.50
Kerusakan hutan pada gilirannya membawa berbagai dampak ikutan
krisis lingkungan berikutnya yang semakin parah. Ini terkait dengan
sedemikian banyaknya fungsi ekologis hutan. Hutan juga mempunyai fungsi
dan menjaga siklus perubahan cuaca. Hutan juga mempunyai fungsi
hidrologis untuk menjaga daerah resapan air, menjaga persediaan dan
ketersediaan air. Selain itu hutan juga berfungsi menjaga kualitas tanah dan
vegetasi alamiah serta fungsi biologis-genetis untuk menunjang
berkembangbiaknya berbagai unsur biologis dan genetis di dalamnya.51
Rusaknya hutan akan menyebabkan lapisan tanah semakin rusak dan
terdegradasi, termasuk karena erosi dan longsor di musim hujan.
Diperkirakan sepertiga lahan pertanian di seluruh dunia telah kehilangan
lapisan tanahnya yang subur. Dan itu terjadi jauh lebih cepat dari pada proses
pembentukan lapisan tanah baru. Demikian pula, rusaknya hutan jelas
menyebabkan hilang dan punahnya berbagai fauna dan flora. Kita jelas
mengalami kepunahan keanekaragaman hayati kita secara sangat
memprihatinkan. Bersamaan dengan itu, hutan sebagai sumber bahan baku
obat-obatan akan juga hilang potensinya untuk itu. Belum lagi kita berbicara
mengenai ancaman banjir dan hilangnya sumber mata air karena kerusakan
hutan. Pada gilirannya akan mengancam sumber air minum dan sumber air
50 P. Borong, Robert, Etika Bumi Baru (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), h. 106. 51 Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1981), h. 37.
38
untuk berbagai aktivitas produktif khususnya pertanian.52
Kerusakan hutan ini disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak
senonoh terhadap lingkungan, dengan penebangan hutan secara terus menerus
menyebabkan hutan gundul dan berbagai masalah muncul. Salah satu
pemandangan yang mengenaskan terjadi di Indonesia yakni penebangan liar
yang terjadi di kawasan hutan Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-
pungga, Kabupaten Dairi ternyata sudah cukup lama berlangsung. Ini diduga
menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang.53
52 Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1981), h. 43. 53 Munthe, Tigor, "Kerusakan Hutan Diduga Jadi Penyebab Banjir Bandang di Dairi"
https://regional.kompas.com/read/2018/12/20/13041321/kerusakan-hutan-diduga-jadi-penyebab-
banjir-bandang-di-dairi. Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.
39
BAB III
PRINSIP EKOLOGI DALAM KRISTEN
A. Teologi Penciptaan
Dalam doktrin ajaran Kristen, persoalan ekologi tidak bisa langsung
ditemukan pada satu tafsir atau pemahanan. Terdapat beberapa teologi yang
berhubungan dengan ekologi. Sebagaimana doktrin Tuhan yang Transenden
dalam teologi penciptaan menjelaskan secara spesifik persoalan penciptaan alam
dan kedudukan Tuhan. Baru kemudian menjelaskan Allah yang Tritunggal dalam
setiap ciptaan-Nya yang merupakan penjelasan teologi lingkungan, yakni
menjelaskan antara Tuhan, Manusia dan Alam. Pada sisi akhir barulah
menjelaskan kedudukan manusia dalam memahami persoalan ekologi dalam
bingkai etika.
Dalam ajaran Kristen, persoalan penciptaan alam dan sebagainya tertuang
dalam Kitab Kejadian. Sebagaimana dalam Kejadian 1;1, maupun Kejadian 1:13,
18, 21, 26.1 Dalam Kitab Kejadian 1-2:3, terdapat kisah penciptaan yang
dilakukan oleh Allah. Dalam kisah penciptaan tersebut, Allah menciptakan segala
sesuatu yang di mulai dengan memisahkan terang dan gelap; memisahkan langit
dan bumi; memisahkan daratan dan lautan serta menumbuhkan pepohonan;
menciptakan benda penerang; menciptakan binatang di air dan burung; binatang
di darat dan manusia. Demikianlah Allah menciptakan seluruh dunia ini dalam 6
hari lamanya dan pada hari ketujuh Allah beristirahat.2
Penciptaan alam dalam Kristen dikenal dengan istilah creati ex nihilo,
yakni diciptakan dari yan tiada. ditegaskan bahwa seluruh alam menjadi ada,
1 Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),
h. 7. 2 Anne Hunt, Trinity, (New York: Orbis Book, 2005), h. 94-95.
40
karena tindakan Allah sendiri. Allah dalam penciptaan itu sendiri tidak memiliki
kebutuhan apapun atas dunia ini. Selain itu keberadaan dunia ini sebenarnya dapat
ada atau tidak (kontingen). Bahkan ketika Allah tidak menciptakan dunia, Allah
dalam diri-Nya sendiri tidak ada sesuatu yang kurang atau mengurangi keilahian-
Nya. Ciptaan atau keberadaan dunia ini tidak menambahkan apapun dalam diri
Allah.3
Dalam teologi tradisional, dunia diciptakan dari ketiadaan/creatio ex
nihilo. Ajaran ini sebenarnya mau menolak ajaran platonik bahwa dunia
diciptakan dari materi yang tidak berbentuk dan dari bahan yang sudah ada.4
Gagasan creation ex nihilo ini membawa sebuah konsekuensi teologis. Pertama
bahwa Allah sendiri bukan “bahan” dari penciptaan itu, karena bila demikian
tidak ada bedanya antara Allah dan ciptaan. Dengan begitu pendapat itu jatuh
pada panteisme. Kedua bahan itu juga tidak berasal di luar Allah. Bila itu terjadi
maka dapat dikatakan ada asas kedua membuat dunia ini terbentuk.5
Lebih dari itu gagasan penciptaan dari ketiadaan ini mau menunjukkan
kehendak yang bebas dan tindakan dari Allah. Dengan kata lain tidak ada
sesuatupun yang tidak ciptaan Allah, atau tidak ada sesuatu ada tanpa Tuhan yang
menciptakan. Dari Allah sendirilah munculnya segala sesuatu. Disisi lain tindakan
Allah menciptakan ini mau menunjukkan bahwa penciptaan itu bukannya pada
mulanya saja tetapi terus berlanjut terus menerus. Penciptaan yang terus menerus
ini mau menunjukkan Allah yang senantiasa kreatif dalam ciptaan yang
kontingent ini. Dengan kontingensi dunia yang ada dalam proses berkelanjutan,
Penyertaan Allah itu nyata dalam diri Allah yang menopang dan memelihara
3 Nico Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika II, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 96. 4 Nico Syukur, Teologi Sistematika II, h, 50. 5 Nico Syukur, Teologi Sistematika II, h, 61.
41
dunia. Disinilah penciptaan memiliki babak baru dimana Allah menjalin relasi
dengan dunia.6
Dalam teologi kontemporer mengenai penciptaan, para teolog berusaha
untuk lebih menegaskan peran yang berbeda dari pribadi ilahi dalam tindakan
trinitas. Mereka juga berusaha menanamkan lebih lagi arti trinitas dalam
memahami ciptaan. Pannenberg salah satu tokoh yang dalam refleksinya berusaha
menawarkan sebuah contoh dari teologi penciptaan yang dibentuk berdasarkan
istilah-istilah trinitas. Ia menyatakan bahwa peran Bapa adalah sebagai asal dari
ciptaan yang kontingen, meng “ada”kan mereka, memelihara dan membuat
mereka mampu melanjutkan hidup dan dapat mandiri. Ia menandaskan pula
bahwa keragaman ciptaan juga mengekspresikan kekayaan Allah. Sedangkan
Putra sebagai prinsip awal dari perbedaan dari segala ciptaan yang ada dan juga
kemandirian ciptaan dalam relasinya dengan Bapa.
Keberbedaan dan kemandirian dari ciptaan inilah yang memungkinkan
ciptaan itu bukan Allah. Dengan begitu segala yang ada menjadi tujuan dari
tindakan Allah yang kreatif agar ciptaan mencapai kepenuhannya untuk menjadi
mandiri. Sedangkan peran Roh Kudus adalah sebagai prinsip yang memberi
kehidupan kepada setiap ciptaan yang hidup, bergerak dan bekerja. Disini
tindakan Roh Kudus erat kaitannya dengan tindakan Putra. Memang Putralah
yang berperan menjadi perantara dalam hubungannya dengan ciptaan, namun
peran itu dikendalikan oleh kekuatan Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menjadi
perantara atas tindakan Logos dalam ciptaan dan juga dalam inkarnasi.7
6 Anne Hunt, Trinity. (New York: Orbis Book. 2005), h. 97. 7 Anne Hunt, Trinity, h. 101-103.
42
Hal yang penting dipahami dalam teologi penciptaan adalah kedudukan
Tuhan bersifat Transenden. Dalil creati ex nihilo menegaskan bahwa segala
sesuatunya diciptakaan oleh Tuhan. Selanjutnya Tuhan berkuasa atas keberadaan
alam tersebut. Allah sebagai sesuatu yang transenden. Hal ini didasarkan pada
“memisahkan alam dari Tuhan, sekaligus mendukung pandangan manusia sebagai
manifestasi Tuhan, sehingga segala sesuatu selain Tuhan (dan Manusia)
diperuntukkan untuk manusia.8
Perspektif mengenai Tuhan yang transenden dan lepas dari Alam dapat
ditemui dalam model pemikiran seperti Platonis. Beberapa teolog menyatakan
bahwa pandangan tersebut berakar dari Platonis yang membedakan antara Nous
dan logos. Logos adalah jelmaan dari Roh Kudus Roh Kudus sebagai prinsip yang
memberi kehidupan kepada setiap ciptaan yang hidup, bergerak dan bekerja.
Disini tindakan Roh Kudus erat kaitannya dengan tindakan Putra. Memang
Putralah yang berperan menjadi perantara dalam hubungannya dengan ciptaan,
namun peran itu dikendalikan oleh kekuatan Roh Kudus. Roh Kuduslah yang
menjadi perantara atas tindakan Logos dalam ciptaan dan juga dalam inkarnasi.9
Dengan adanya Roh Kudus ini lah maka Tuhan menjadi transenden, yang
berpisah dari alam yang diciptakannya.
1. Hubungan antara Tuhan, Manusia dan Alam
Teologi lingkungan dianggap mendukung upaya krisis ekologi yang
terjadi. Hal ini terjadi ketika Kristen berjumpa dengan Sains pada abab ke 19.
Beberapa kelompok mencari tafsir al-Kitab untuk menolong dan mempermudah
8 Martin Harun, “Allah Para Ekolog” dalam Dunia, Manusia dan Tuhan: Antologi
Pencerahan Teologi dan Filsafat, ed. J. Sudarminta dan Lili Tjahjadi, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), h. 29 9 Anne Hunt, Trinity, h. 101-103.
43
urusan manusia. Hasilnya adalah Schimamerr teologi antroposentrisme dengan
mentafsir secara eksistensialis. Hasilnya adalah keselamatan manusia lebih
diutamakan dengan mendukung upaya pemanfaatan alam yang berlebih.10 Akar
antroposentrisme yang didukung oleh Kristen adalah dapat ditinjau dari Kejadian,
pasal 1 ayat 26-28. Di dalamnya dijelaskan bahwa Allah menciptkan manusia
pada hari ke enam, lalu menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia
untuk ditaklukkan. Ayat tersebut memberi landasan kuat kepada manusia untuk
mengeskploitasi alam seisinya demi kepentingan manusia.11
Dalam beberapa hal juga ditemui, penafsiran mengenai Tuhan yang
Transenden menjauhkan diri dari alam dan manusia. Bahkan salah satu pandangan
yang cukup ekstrimis menganggap “pemisahan” diri-Nya dengan Alam agar
kesucian dan ketransendensian Tuhan tidak tercampuri oleh alam. Pemikiran
tersebut berdampak pada pandangan bahwa dunia adalah dosa, maka Tuhan tidak
bisa disatukan dengan alam dan sebagainya.12
Kitab Kejadian mendasari dalil tentang penciptaan alam sekaligus
kedudukan Tuhan yang Transenden. Dalam perjalanan selanjutnya, teologi
penciptaan berkembang menuju yang lebih relevan, salah satunya menolak
anggapan Kristen mendukung krisis ekologi. Terdapat beberapa argumen
pendukung bahwa Tuhan sebagai yang Transenden bukan berarti memisahkan
sama sekali dari alam, akan tetapi melalui Roh Kudus-Nya, Tuhan selalu ada
dalam setiap yang ada.
Misalkan John McQuire, meskipun menyetujui Tuhan mendominasi dalam
setiap penciptaannya, namun alam yang sebagai sesuatu yang diciptakan dan
10 Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 20. 11 A. Sony Keraf, Etika Lingkunga Hidup, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h. 51. 12 Martin Harun, “Allah Para Ekolog”, h. 32.
44
melampoi batas kegunaanya, yakni sebagai petunjuk kebesaran Allah. Sehingga
tidak sewenang-wenang alam ini sesuai dengan kehendak Allah dan tidak hanya
bisa dieksploitasi berlebih oleh manusia. Kemudian teologi Jay McDanniel juga
menegaskan bahwa ketransendensian Tuhan menyertai dalam setiap sesuatu yang
ada. Penjelasan ini menekankan bahwa segala sesuatu yang ada Allah hadir di
dalamnya. Pandangan ini berkesan sangat panenteistik, dimana segala sesuatu
yang ada terdapat unsur ilahiah, sehingga menggambarkan segala sesuatu yang
ada merupakan proses evolusi yang sepenuhnya segala sesuatunya
menggambarkan keberadaan Allah.13
Gagasan Jay McDaniel dipertegas oleh Sallie McFague tentang Roh yang
menjelma dalam universum (universal). Gagasan McFague dapat dikatakan cocok
dengan interpretasi Kristen dan ilmu yang berkembang. McFague menjelaskan
bahwa Allah sebagai Roh yang menjelma dalam jagat raya (embodied spirit of the
universe). Hal ini berdasar pada Kejadian 1;1 tentang Allah melayang-layang di
atas air memberikan nafas yang menghidupkan. Secara kiasan alam merupakan
tubuh dari Roh Ilahi (the body of God). Gagasan ini menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang ada di alam terdapat jiwa Tuhan. Karena kebutuhan maka setiap
makhluk yang ada saling berkaitan dan saling bergantung.
Gagasan mengenai teologi penciptaan yang dianggap pro terhadap krisis
ekologi dapat dijelaskan secara gamblang. Bahwa penafsiran megenai Allah yang
transenden sekaligus imamen di dalam universal, dengan kata lain serentak hadir
secara relevan di seluruh kosmos. Allah yang sebagai Roh menjelma dalam tubuh
alam maka sekaligus menjelaskan antara Allah dan Roh Kudus. Adapun mengenai
13 Martin Harun, “Allah Para Ekolog”, h. 34-37.
45
peranan kegunaan alam serta kelestariannya dijelaskan melalui kehadiran Yesus
dengan ajaran kasih sayang dan juru selamatnya. Maka hal ini sekaligus
menjelaskan Tritunggal dalam iman Kristen.14
Gagasan mengenai Tritunggal dalam iman Kristen menghadirkan satu
pertanyaan apakah benar bahwa Kristen mendukung krisis ekologi? Jawabannya
adalah dalam bentuk persekutuan penciptaan maka dapat dipahami bahwa setiap
dalam sesuatu yang ada terdapat Roh Ilahi. Diperbolehkannya untuk
menggunakan sesuatu yang ada di alam ini kembali pada persoalan mengetahui
kreatifitas manusia. Dengan cara tersebut maka muncul pertanyaan etis untuk
membedakan siapa dirinya dan siapa penguasa utamanya.15
Gagasan akhir dalam teologi penciptaan yang mendukung ekologi adalah
upaya menyadarkan kembali makna penciptaan dan pemanfaatan yang relevan.
Dunia yang diciptakan bukanlah sesuatu yang untuk diselamatkan karena
memiliki kerusakan atau dosa-dosa sebelumnya, akan tetapi yang dimaksud untuk
diselamatkan adalah diselamatkan sebagaimana awal penciptaan. Awal penciptaan
merupakan awal dimana dunia diciptakan dari kasih sayangnya, oleh karena itu
adanya dosa yang ada, manusia dituntut tidak hanya menyelamatkan diri sendiri,
melainkan menyelematkan segala yang ada di alam ini. 16
Penalaran mengenai pemanfaatan lingkungan saat ini semakin meluas.
Ledakan populasi serta aneka ragam kebutuhan hidup menuntut manusia bersaing,
bahkan secara global. Akan tetapi reaksi Kristen dalam memahami hal ini
dianggap tidak berhubungan sama sekali dengan persoalan keimanan, justru
14 Martin Harun, “Allah Para Ekolog” h. 29-45. 15 Amatus Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan” dalam Menyapa
Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ed. A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), h. 29-32. 16 Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 28.
46
persoalan yang muncul didasarkan pada konflik kepentingan dan ekonomi. Dalam
pandangan ini bahkan Kristen lebih mengedepankan pelestarian alam, meski sulit
dilakukan namun menjaga alam lebih utama daripada memilih kepentingan
ekonomi maupun politik.17
Gagasan di atas sepenuhnya menjelaskan persoalan teologi lingkungan
hidup. Mengenai kedudukan Tuhan, manusia dan alam dijelaskan dalam konsep
tritunggal. Dalam istilah yang dibuat Matius Woi adalah persekutuan penciptaan,
yakni segalanya dalam cakupan Tuhan. Teologi tersebut merupakan upaya
penolakan terhadap anggapan bahwa Kristen mendukung krisis ekologi. teologi
dalam penjelasan tritunggal adalah wujud penjelasan mengenai penciptaan,
lingkungan serta pemanfaatan.
Penciptaan dalam sejarah teologi tercermin dalam iman Kristen berupa
“Aku percaya kepada Allah Bapa, pencipta langit dan bumi”. Pengakuan tersebut
merupakan ikrar keimanan yang menunjukkan bahwa segala sesuatunya
diciptakan oleh Tuhan. Dalam segi wahyu dapat dilihat lebih detail dalam
Mazmur 104; 24 dan Yer 10; 12. Secara tersirat al-Kitab menjelaskan bahwa
Tuhan tidak bisa dikenal melalui dirinya saja, melainkan dengan alam dan
ciptaan-Nya. Permasalahannya adalah ketika manusia jatuh ke dalam dosa, dunia
tidak lagi memadai untuk menunjukkan jalan kembali kepada Tuhan, oleh karena
itu dibutuhkan wahyu lain untuk menjadi juru selamat, yakni Yesus Kristus.18
Pandangan tersebut berdampak pada terpinggirkannya teologi penciptaan,
lebih tepatnya teologi penciptaan diskreditkan. Beberapa alasannya adalah teologi
penciptaan memperlihatkan porsi inferior terhadap doktrin penebusan.
17 Anggota IKAPI, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), h. 776. 18 Yonky Karman, Bunga Rampai Perjanjian Lama, h. 19.
47
Selanjutnya, pembahasan teologi penciptaan klasik berbeda dengan sains,
sehingga orang-orang lebih tertarik membahas sains daripada teologi. Akan tetapi,
teologi penciptaan merupakan landasan bagi munculnya teologi lingkungan hidup.
Hal ini dikarenakan tiga hal utama dalam makna teologi penciptaan, yakni:
Pertama demonstrasi kuasa Tuhan. Dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa
Tuhan adalah pencipta sekaligus berkuasa atas ciptaan-Nya. Allah berdaulat
mengontrol dunia ciptaan dan sering digambarkan seperti raja. Kedua
kemenangan atas chaos, yakni dengan segala ancaman ketakutan, Tuhan mampu
menaklukan segala yang ditakutkan oleh manusia. Seperti kekeringan, kegelapan,
diciptakanlah air maupun cahaya untuk menopang kehidupan.19 Ketiga dunia
diciptakan dengan baik. Pada alasan ketiga inilah yang menopang sekaligus
melawan segala bentuk anggapan bahwa Kristen mendukung krisis ekologi.
Makna teologis ketiga menunjukkan bahwa alam diciptkan sekaligus dilindungi
dan dilestarikan oleh-Nya.20
Gagasan seluruhnya di atas menjelaskan hubungan antara Tuhan, manusia
dan alam dengan segala perbedaan pendapatnya. Terlepas dari perbedaan
pandangan, dalam konteks ekologi terdapat satu gagasan yang relevan, yakni
tritunggal sebagai persekutuan dalam penciptaan. Di dalamnya menjelaskan
kedudukan Tuhan, manusia dan alam. Keseluruhannya terkontrol di bawah
naungan Roh Kudus. Dengan kata lain, di setiap sesuatu yang ada terdapat Tuhan.
Oleh karena itu dalam memahami alam dan manusia sekaligus memahami doktrin
keimanan Kristen.
19 Pada makna kedua ini menolak anggapan teologi Yahudi yang menunjukkan seolah-
olah kehidupan adalah kekejaman, serta Tuhan hadir untuk menyelamatkan kekejaman tersebut.
Doktrin ini sama sekali berbeda dengan Kristen yang menganggap bahwa dunia diciptakan dan
dilindungi oleh Roh Kudus. 20 Yonky Harun, Perjanjian Lama, h. 29-31.
48
B. Etika Ekologi Kristen
Manusia bagian dari alam, dalam artian bahwa manusia juga mempunyai
peran serta dalam proses-proses biologis dan fisiologis seperti mahluk hidup
lainnya. Namun manusia juga terpisah dari alam karena manusia memiliki
kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara merubah
alam ini. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana manusia memandang
alam itu sebagai sumber daya untuk dikelola bagi kehidupan manusia itu. Dalam
pendekatan etis kekristenan, manusia adalah segambar dengan Allah, di mana
manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah dibanding dengan ciptaan
yang lain. Dari hubungan itulah tercipta tanggung jawab yang khusus untuk
bertindak sebagai penatalayan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan. Jadi
manusia diberi mandat untuk memelihara bumi, bukan mandat mengekploitasi.21
Alam dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian
Allah. Bumi adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan
demikian barang siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian
itu. Disamping itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat
manusia. Dalam kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan
ciptaan lainnya. Disitulah adanya saling ketergantungan di dalam komunitas
manusia dengan alam semesta, yang mana manusia menerima mandat untuk
memeliharanya.
Dalam mandat itu, ada tiga model pertanggungjawaban manusia terhadap
ciptaan Alllah, yakni:22
21 Celia Deane & Drummond, Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1999, h.
81. 22 Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi
Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, h. 133-136.
49
1. Etika Kepelayanan
Secara etis dapat dikatakan bahwa kerusakan alam berakar dalam kelalaian
manusia melaksanakan fungsinya secara seimbang, karena melalaikan sisi ekologi
demi sisi ekonomi. Kerusakan lingkungan, khususnya yang diakibatkan oleh
eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran, merupakan akibat dari sikap tak
bertanggung jawab manusia terhadap alam. Hal itu menjadi bukti bahwa manusia
tidak melaksanakan tugas kepelayanannya secara bertanggung jawab sebagai
seorang pelayan.23
Etika lingkungan hidup dalam konteks etika Kristen mengisyaratkan
perlunya manusia menyadari kedudukannya sebagai pengusaha, pekerja bahkan
pelayan dan bukan tuan atau pemilik. Oleh karena itu, etika Kristen haruslah
mencerminkan etika pelayanan dan bukan etika kekuasaan.
Manusia khususnya orang percaya, menerima tanggung jawabnya atas
sesuatu yang dipercayakan kepadanya mengungkapkan betapa seriusnya
hubungan manusia dengan Allah. Manusia adalah penatalayan yang milik Allah
(Luk. 16:1-13).
2. Etika Solidaritas
Dari segi teologi penciptaan, manusia dan alam mempunyai hubungan
yang sangat erat. Manusia mempunyai hubungan lipat tiga dengan tanah yang
adalah bagian dari alam, yaitu manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; bnd. 3:19,
23), manusia harus menggarap tanah (Kej. 3:23) dan manusia kembali kepada
tanah (Kej. 3:19; bnd. Mzm. 90:3). Itulah sebabnya manusia harus
23 Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 165
50
memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah, sekalipun manusia diberikan
wewenang menakhlukkan alam.
Adanya hubungan yang erat sebagai sesama ciptaan, maka dalam
hubungan manusia dengan alam ada rasa kebersamaan dan keterikatan yang
bertanggung jawab dengan alam. Karena manusia dan alam adalah sesama
ciptaan, maka selain menjaga dan memelihara, manusia perlu juga
mengembangkan sikap solidaritas terhadap alam. Solidaritas berarti bahwa
manusia mengembangkan sikap dan perilaku menghargai alam dalam konteks
sebagai sesama ciptaan Allah.24
3. Etika Damai Sejahtera
Etika damai sejahtera ini sangat penting, sebab hidup bersumber dari Allah
dan Allah menghendaki agar kehidupan itu terus berada dalam keadaan aman dan
sentosa. Dalam cerita penciptaan dikatakan manusia dan seluruh ciptaan
mengalami damai sejatera di bumi. Tetapi pemberontakan manusia yang
menyebabkan jatuh ke dalam dosa mengakibatkan damai sejahtera itu tidak dapat
dialami lagi. Manusia bermusuhan dengan Allah dan ciptaan lainnya.25
C. Tokoh Kristen Indonesia yang Membahas Ekologi: Robert P. Borrong
Berdasarkan konsepsi teologi penciptaan di atas terdapat satu gambaran
mengenai konsepsi Kristen yang mendukung persoalan ekologi. Robert P. Borran
salah satu pemikir yang menformulasikan ekologi dalam bingkai teologi yang
cukup relevan. Hal ini disadur dari al-Kitab dan dijadikan landasan secara teologis
maupun secara praktis. Berikut penjelasan detailnya:
24 Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 168. 25 Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: h. 174.
51
Pertama adanya dalil Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu. Prinsip
ekologi Kristen pada dasarnya mengacu pada teologi penciptaan, akan tetapi
dijelaskan secara komprehensif yang menghubungkan antara kedudukan Tuhan,
manusia dan alam. sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, manusia dan
segalanya (alam) diciptakan dalam bentuk persekutuan.26 Dalil ini menegaskan
bahwa manusia dan makhluk lain berkedudukan sama, yakni sama-sama dibawah
kontrol Tuhan. Dalam persekptif lain, manusia adalah imago dei atau gambaran
Tuhan, Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan),
akan tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara
bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari
mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.
Persekutuan manusia dengan alam dapat dilihat dalam penjelasan al-Kitab
bahwa manusia dan alam sama-sama diciptakan dari tanah. Dinyatakan bahwa:
“Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7), seperti Ia juga
“membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej.
2:19). Adapun hubungan manusia dengan alam tersirat manusia diciptakan dari
tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia
pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3).27
Analisis lainnya adalah dalam doktrin tritunggal di atas menjelaskkan
bahwa alam dan seisinya (termasuk manusia) berada di bawah kontrol Tuhan. Di
setiap sesuatu yang ada (termasuk manusia) terdapat Roh Illahi. Dalil panenteistik
menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan alam di dalam kontrol Tuhan.
26 Amatus Woi, “Manusia dan Alam”, h. 27. 27 Robert P. Borronng, “Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen” dalam
Jurnal Pelita Zaman, Vol. 13. No. 1 Tahun 1998. Yayasan Pelita Zaman, Bandung, h. 9. Dapat
diakses melalui www.alkitab.sabda.org
52
Oleh karena itu dapat dikatakan manusia dan alam berkedudukan sama. Atas
dasar pemahaman di atas maka hubungan antara manusia dengan alam sifatnya
tidak hanya memanfaatkan alam semata, akan tetapi dalam bahasa panenteisme
dikatakan ‘melampoi batas pemanfaatannya’. Maksud dari pernyataan tersebut
adalah alam seisinya tidak hanya bicara soal kebutuhan manusia, akan tetapi
terdapat nilai ketuhanan (Roh Kudus) yang harus digunakan sebaik-baiknya.
Kedua penguasaan manusia atas alam. Prinsip ini diambil dari dalil
manusia diciptakan serupa dengan Tuhan (Imago Dei) yang diberikan kuasa untuk
menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-
28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).
Dengan demikian manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk
yang lain. Ia dinobatkan menjadi “raja” di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan
hormat (Maz. 8:6). Kata “mengelola” dalam Kejadian 2:15.28
Akan tetapi, pemaknaan terhadap kalimat ‘berkuasa’ harus dipahami
berdasrkan konteks berkat (ayat 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan
binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata berkuasa (raddah) disini tidak
boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar,
melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut
sesuai pula dengan Raja-Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas
mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.29
Penjelasan lanjutan mengenai diberikannya kekuasaan manusia atas alam sekalgus
klaim raja menunjukkan bahwa manusia diperkenankan untuk mengelola alam.
Analoginya sebagaimana raja yang bijak maupun raja yang lalim. Jika manusia
28 Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 12. 29 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada
Lingkungan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 33.
53
memanfaatkan alam se-isinya dengan bijak maka manusia menjadi raja yang
bijak. Sebaliknya, jika manusia mengeskploitasi alam dengan rakus, maka
menjadi raja yang lalim. Lebih dari itu, sebagai raja yang bijak maka manusia
turut serta memperhatikan kondisi serta pemanfaatan yang lebih baik, sebab apa
yang dilakukan manusia terhadap alam akan berdampak kembali pada manusia.
Hal ini menjadi prinsip ekologi yang real dalam ajaran Kristen.
Setelah memahami Prinsip ekologi Kristen, pembahasan selanjutnya
adalah etika atau moralitas Kristen terhadap lingkungan. Rumusan ini masih
mengacu pada pemikiran Robert P. Borrang. Etika merupakan prinsip-prinsip
moralitas sebagai bimbingan dalam bertingkah atau bersikap. Pada persoalan
ekologi, etika ditekankan pada persoalan bagaimana umat Kristen menghadapi
lingkungan hidupnya. Terlebih dampak pengeksploitasi alam secara berlebih
nyata memberikan dampak negatif bagi manusia. Masalah lingkungan hidup
merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Keprihatinan akan lingkungan hidup di kalangan gereja baru muncul kemudian.
Buktinya hasil konsili Vatikan II (Gaudium Et Spes, 1965).30
Secara praktis, Robert P. Borrang menformulasikan tiga prinsip etika
dalam ekologi, berikut rinciannya:
1. Solidaritas Dengan Alam; dalam hal ini menjelaskan manusia
seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan
solider (sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya
diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan
penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai
30 Amatus Woi. “Manusia dan Lingkungan”, h. 34.
54
kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak
diperlakukan semena- mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua
isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh
bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk.
Dengan cara itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif)
menjaga dan memelihara ekosistem.31
Pemikiran tersebut secara tidak langsung mengacu pada doktrin utama
Kristen tentang cinta dan kasih sayang. Artinya menerapkan cinta dan
kasih sayang tidak hanya sesama manusia, akan tetapi juga terhadap
lingkungan hidupnya.
2. Pelayanan yang bertanggungjawab; Pembahasan ini mengacu pada
pemanfaatan alam sebagai bagian dari pertanggungjawaban yang
diberikan atau dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia32. Allah telah
memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan. Untuk dilipatgandakan
hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga
produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan
keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai
deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan
semua orang.33
Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga
salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang
akan mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering
kurang memerhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar
31 Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 14. 32 Dalam Matius 25:14-30. 33 Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 15.
55
hutan, mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya.
Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan
pengurasan sumber alam secara tanpa batas.
Prinsip pelayanan yang baik juga mengacu pada prinsip bahwa segala
sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan adalah baik. Sehingga menepis
pemahaman bahwa alam diciptakan dengan penuh dosa. Pemahaman
ini menyiratkan bahwa alam dicitpakan dalam keadaan baik. Manusia
dijadikan sebagai wakil Tuhan berperan untuk mengembalikan kondisi
alam yang baik tersebut.34 Oleh karena itu, bentuk realnya adalah
pelayanan terhadap alam secara bertanggungjawab, yakni
memanfaatkan dengan melestarikan alam.
3. Pertobatan dan pengendalian diri; mengarah pada Kerusakan
lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu
sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu
cenderung sangat konsumtif. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa
dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini
menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian,
setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis
moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya
pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan
dan pengendalian diri.35
Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang
pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh
34 Yonky Harun, Perjanjian Lama, h. 30. 35 Robert P. Borrong, “Etika Lingkungan”, h. 16.
56
pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan
keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
57
BAB IV
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KRISIS EKOLOGI
A. Prinsip Dasar Ekologi Islam
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan (eco-
friendly). Banyak ayat yang menjelaskan perhatiannya pada aspek lingkungan,
baik yang menjelaskan megnenai kedudukan alam dan manusia, anjuran untuk
melestarikan maupun ancaman maupun peringatan mengenai kerusakan alam
yang diperbuat oleh manusia. Islam merupakan sebagai ‘jalan’ atau langkah-
langkah yang memiliki nilai tegas dan kembali pada persoalan ketauhidan.
Dengan kata lain, Islam adalah ajaran tauhid, sehingga semua persoalan aturan
serta pedoman yang ada semata kembali pada ranah tauhid.1
Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah menjelaskan bahwa seluruh alam
semesta (lingkungan) adalah milik-Nya. Misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 284.
Manusia diberi izin tinggal di dalamnya untuk sementara, dalam rangka
memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan. Dengan begitu
lingkungan bukanlah milik hakiki manusia. Maka sebagai pertanda adanya Tuhan
itu, jagad raya juga disebut sebagai ayat-ayat menjadi sumber pelajaran bagi
manusia. Maksud sumber pelajaran bagi manusia adalah keserasian, ketertiban
dan keharmonisan. Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik itu
mencerminkan hakekat Allah.2
Dalam buku Teologi Lingkungan dijelaskan bahwa Alam merupakan
sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi
1 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan; Panduan Berperilaku Ramah
Lingkuangan, (Jakarta: KLH dan MLH PP Muhammadiyah, 2011), h. 4. 2 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina Press, Cet IV,
2000), h. 289.
58
berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan
supraempirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang
Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, yang melampauinya dan
melingkupinya yang sekaligus merupakan sumber keberadaan alam itu sendiri.3
Alam diciptakan memiliki tujuan dan tertentu. Oleh karena itu, alam mempunyai
eksistensi yang riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang
berlaku.4
Pandangan Islam terhadap alam adalah apa yang terjadi di dalamnya
memiliki hukum atau ketentuan yang pasti. Alam sebagai kesatuan yang empiris
serta berhubungan dengan realitas lain menunjukkan bahwa dalam bekerjanya
alam tidak sendirian. Hukum sebagai aturan menjadi acuan bagaiman alam
bekerja atas keterpengaruhannya yang lain. Dengan demikian apa yang terjadi
pada alam berarti merupakan pengaruh dari entitas yang berada di dalamnya.
Dari penjelasan umum mengenai alam maka memunculkan satu penjelasan
tentang kehidupan. Sebagaimana ditegaskan bahwa manusia ditakdirkan hidup di
bumi bersama makhluk lainnya. Bumi yang ditempati ini memiliki kemampuan
untuk menyangga kehidupan yang ada.5 Dengan kata lain, alam atau bumi
merupakan sebuah lingkungan bagi kehidupan yang ada di dalamnya. Adapun
lingkungan sendiri dimaknai sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri
atas benda-benda ( makhluk) hidup dan benda-benda tak hidup yang berada di
3 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan Hidup, (Jakarta: KLH dan MLH PP
Muhammadiyah, 2011), h. 7. 4 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 14. 5 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 1.
59
bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan antara satu
dengan lain.6
Pada intinya alam merupakan tempat kehidupan bagi entitas yang ada di
dalamnya. Entitas tersebut kemudian disebut sebagai makhluk yang terhubung
satu sama lain. Makna dari hubungan tersebut adalah adanya ikatan saling
mempengaruhi sekaligus saling membutuhkan satu sama lain. Sebab alam sebagai
kesatuan yang bersifat holistik tidak bisa dipisahkan secara sendiri-sendiri, akan
tetapi keseluruhannya saling membutuhkan sekaligus saling mempengaruhi.
Alam sebagai tempat penyangga kehidupan, Islam menjelaskan terdapat
tujuh (7) prinsip dasar untuk memahami bagaimana alam menjadi tempat
penyangga kehidupan. Selain itu juga menjadi bahan utama pemahaman Islam
tentang alam. berikut rinciannya:
Pertama Kehidupan di bumi bersifat holistik dan saling mempengaruhi.
Kedua setiap makhluk hidup memiliki hak hidup dan berkembang. Ketiga
kehidupan bersifat berputar atau memiliki siklus. Keempat kehidupan bersifat
terbatas. Kelima Setiap organisme memiliki kekurangan dan kelebihan. Keenam
ekosistem bisa terancam punah. Ketujuh ekosistem berkembang dari yang
sederhana menjadi lebih kompleks.7
Dari ke tujuh prinsip di atas paling tidak ada poin utama yakni
ketersediaan, keterbatasan dan adaptasi. Ketersediaan mencakup pada persoalan
alam yang memberikan kebutuhan hidup untuk menunjang eksistensi setiap
mahkluk hidupnya. Ketersediaan ini juga mencakup persoalan sumber daya dalam
satu lingkungan hidup. Akan tetapi adanya keterbatasan juga menjadi faktor yang
6 Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 12. 7 Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, 15-20.
60
akan mempengaruhi kehidupan di bumi, keterbatasan bisa disebabkan karena
faktor penyebaran sumber daya alam yang mencukupi kehidupan makhluk dalam
satu ekosistem. Oleh karena itu, adaptasi menjadi cara atau model dalam
mengembangkan eksistensi kehidupan, meskipun dampaknya adalah mengubah
ekologi itu menjadi lebih kompleks, termasuk berubah dan merusak
keseimbangan alam.8
Dari penjelasan asas-asas alam sebagai lingkungan hidup dapat dipahami
bahwa bumi memiliki segala sumber daya sekaligus keterbatasannya. Maka
penggunaan secara terus menerus berakibat pada ketidakseimbangan alam. di sisi
lain, adaptasi sebagai model pemanfaatan potensi lingkungan hidup merupakan
jawaban atas keterbatasan yang ada. Dengan demikian jika alam bisa mengalami
kerusakan maka alam juga bisa dilestarikan. Hal tersebut merupakan pemahaman
komprehensif tentang kedudukan alam hingga sistem hubungan yang ada di
dalamnya.
Pada bagian terakhir, penulis memasukkan manusia sebagai bagian yang
paling penting dalam pembahasan ekologi Islam. Manusia merupakan bagian tak
terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam
adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya
dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi khusus
diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai
khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi.9
Selain asas di atas, terdapat prinsip dalam mencapai suatu ekosistem yang
seimbang, stabil, dan dinamis, dalam berlangsungnya sistem ekologi yang
8 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan Hidup, (Jakarta: KLH dan MLH PP
Muhammadiyah, 2011), h. 12. 9 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 16.
61
membentuk jalinan kehidupan antara makhluk hidup dengan sesamanya dan
dengan alam lingkungannya, harus mengikuti asas-asas tertentu dalam ekosistem.
Adapun asas-asas tersebut diantaranya:10
a) Asas keanekaragaman
Makhluk hidup, baik itu nabati maupun hewani yang ada di alam, baik
yang hidup di darat maupun di air, jenis dan jumlahnya beraneka ragam
macam. Tiap makhluk hidup mempunyai fungsi dan peran masing-masing.
Tiap makhluk hidup tidak dapat hidup dengan berkembang terus sehingga
mendesak keberadaan makhluk hidup lainnya, oleh karena itu ada yang
mengontrol atau yang memangsanya. Dengan keanekaragaman jenis
makhluk hidup, secara alamiah, membutuhkan yang lainnya.
b) Asas kerja sama
Terwujudnya keseimbangan alamiah dalam suatu ekosistem merupakan
hasil adaptasi makhluk-makhluk hidup dengan sesamanya dan dengan
lingkungannya. Di antara tumbuh-tumbuhan dengan sesamanya, diantara
tumbuh-tumbuhan dengan binatang, di antara binatang dengan binatang
atau diantara binatang dengan manusia, terjalin hubungan kerja sama yang
saling menguntungkan dan dapat menunjang keseimbangan dan
kestabilan.
c) Asas persaingan
Selain ada kerja sama, dalam ekosistem ada persaingan. Asas persaingan
berfungsi mengontrol pertumbuhan suatu komponen yang terlalu pesat,
yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam persaingan
10 R.M. Gatot P. Soemarwoto, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2004), h. 4-7.
62
terjadi proses seleksi, dimana komponen yang serasi akan menciptakan
keseimbangan dalam batas tertentu. Secara alamiah, bakteri, hama dan
binatang pengganggu merupakan proses persaingan dalam menciptakan
kestabilan dalam ekosistem.
d) Asas interaksi
Pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup dalam ekosistem terjadi
karena adanya hubungan timbal arah antara makhluk hidup dengan
sesamanya dan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Makhluk
hidup di samping mempengaruhi perkembangan dan kualitas lingkungan,
juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Tanpa adanya interaksi, suatu
makhluk hidup disatu pihak dan lingkungan dipihak lain akan ada
terdesak, sehingga akan timbul ketimpangan dan keguncangan, yang pada
akhirnya akan terjadi kehancuran.
e) Asas kesinambungan
Makhluk yang beranekaragam yang menjalani proses kerja sama,
persaingan dan adanya interaksi di antara makhluk hidup serta
lingkungannya berlangsung secara terus menerus. Dengan kata lain,
hubungan-hubungan tersebut harus berlangsung secara konsisten dan
kontiniu. Apabila terputusnya jalinan kehidupan, akan terjadi keguncangan
yang dapat menimbulkan kehancuran.
Dengan terpenuhinya asas-asas tersebut di atas, dapat terciptanya suatu
ekosistem yang stabil dan dinamis. Kestabilan ekosistem mewujudkan kehidupan
yang selaras dan serasi, sehingga fungsi dan peranan makhluk ciptaan Allah
berjalan sesuai dengan kodrat dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
63
Manusia menjadi bagian dari lingkungan hidup dalam bumi. Akan tetapi
yang menarik disini adalah Islam secara langsung menjelaskan hubugannya
dengan alam, sehingga tidak secara spesifik menjelaskan mengenai pengertian
manusia. Dari penjelasan hubungan manusia dengan alam kemudian
memunculkan penjelasan mengenai tugas manusia di bumi. Adapun hubungannya
dengan alam, manusia memiliki tiga (3) hubungan, yakni hubungan pemanfaatan,
pelestarian, dan hubungan peribadatan (ketauhidan). Pemanfaatan menegaskan
bahwa segala yang ada di bumi disediakan untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Adapun hubungan pelestarian manusia harus melestarikan alam sebagai bentuk
kelestarian keberlanjutan hidup manusia juga. Sedangkan hubungan peribadatan
adalah menjelaskan bahwa keberadaan alam adalah ayat mengenai kebesaran dan
keberadaan Tuhan (tauhid).11
Dari penjelasan ini penulis menarik pemahaman bahwa ekologi yang
dijelaskan oleh Islam tidak sekedar menjelaskan kedudukan alam, melainkan
beberapa asas atau hal-hal yang menjadi hukum utama alam dalam menopang
kehidupan. Selanjutnya, keberadaan manusia dengan kondisi bumi yang ada juga
dijelaskan hubungan yang bersifat timbal balik. Seluruhnya disediakan untuk
manusia akan tetapi perlu dirawat untuk keberlangsungan hidup manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, inilah yang dimaksud hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam. Apa yang diperbuat manusia terhadap bumi maka akan
kembali lagi (dampaknya) terhadap manusia.
11 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 8.
64
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen
yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya,
merupakan lingkungan hidup manusia. Kelangsungan hidup manusia tergantung
dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung
bagaimana kearifan manusia mengelolanya.12 Oleh karena itu, lingkungan hidup
tidak bisa hanya dipandang sebagai penyedia sumber daya alam yang harus
dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya
keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup.
B. Teologi Lingkungan
Dalam tradisi Islam memandang bahwa semua unsur dari alam semesta,
baik yang di darat atau di laut, yang hidup atau yang mati memiliki manfaat dan
diciptakan tanpa kesia-siaan dan bertasbih.13 Merupakan sebuah premis kebenaran
bahwa semua mahluk bertsbih pada Allah. Kenyataan ini adalah riil metafisik
”ghaib” yang tidak bisa diterima oleh tradisi keilmuan barat. Hal ini sebagaimana
disinggung didepan bahwa kebenaran dalam tradisi sufisme tidak hanya bertumpu
pada hal-hal yang masuk akal (rasional), tetapi juga mengakui kebenaran
metafisik. Sehingga, relasi ekosistem bukan hanya berlaku hukum produsen dan
konsumen, penyedia pangsa dan pemangsa sebagaimana dalam ekologi.
Salah satu perkara penting yang banyak dibahas dalam kitab suci ialah
tentang alam semesta. Firman-firmanNya dalam Al-Qur’an menghasilkan suatu
pandangan kosmologi Islam. Sebab bukan saja dengan memahami konsep-konsep
itu kita akan lebih mampu menangkap makna menyeluruh esensi islam, tapi juga
12 Baban Sobandi, Etika Kebijakan Publik; Moralitas-Profetis dan Profesionalisme
Kinerja Birokrasi, (Bandung: Penerbit Humaniora, 2001), h. 77 13 QS. al-Anbiyā [21]:33, QS. Yā Sīn [36]:60, QS. al-Ḥadīd [57]:1.
65
memberikan kejelaskan kedudukan alam dan manusia.14 Adanya hukum Allah
bagi seluruh alam semesta menjadi unsur pembatasan dan keterbatasan manusia.
Karena itulah akal pada manusia bukan untuk menciptakan kebenaran, melainkan
untuk memahami atas kebenaran yang telah ada dan berfungsi dalam lingkungan
diluar diri manusia.15
Alam sebagai ayat (tanda kebesaran Allah) senantiasa dapat
dioptimalisasikan sebagai bahan renungan “ta’amul” dan pelajaran “i’tibar”,
sehingga seseorang dapat sampai dan mendapatkan kebijaksanaan ilahiyah “al-
hikmah al-ilahiyah”. Dalam kasus ini, Ali Jumah melihat ada beberapa implikasi
positif dari proses renungan “ta’amul” dan pelajaran “i’tibar” diantaranya,
renuangan akan proses penciptaan alam semesta dan belajar dari umat-umat
terdahulu yang keduanya dapat menghantarkan pada level keimanan yang lebih
tinggi.
Bumi merupakan ciptaan Allah SWT sebagai tempat yang ideal untuk
kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Allah menjadikan bumi sebagai tempat
beraktifitas dengan melakukan segala kegiatan bagi makhluknya. secara
keseluruhan, tidak terkecuali manusia. Bumi memiliki seluruh komponen yang
diperlukan bagi kehidupan.16 Tujuan alam semesta diciptakan adalah: tanda
kekuasaan Allah bagi yang berakal (Alu ‘Imrān/3:190), yang mengetahui (ar-
Rūm/30: 22), bertaqwa (Yūnus/10: 6), yang mau mendengarkan pelajaran (al-
Nayl/16: 65), dan yang berpikir (al-Ra‘d/13:3); untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia (al-Baqarah/2: 29); sebagai rahmat dari Allah (al-Jā£iyah/45:13);
14 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 286-287. 15 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 293. 16 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 4. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 180
66
untuk kepentingan manusia (Luqmān/31: 20); untuk menyempurnakan nikmat dan
ujian bagi semua manusia (Hūd/11: 7); dan untuk menguji siapa yang amalannya
lebih baik (al-Mulk/67: 2).17
Tuhan mengajak manusia untuk selalu mengingatnya dengan memikirkan
dan memahami alam semesta ini.Sebagaimana al-Qur'an berulang kali
menggarisbawahi, inspirasi spiritual untuk menopang keimanan mekanismenya
dilakukan melalui pengamatan tajam terhadap alam, yang merupakan manifestasi
tanda-tanda kebesaran Allah, sehingga manusia sebagai pengampu kekuasaan
tuhan dibumi sudah waktunya untuk melihat alam semesta tidak hanya dengan
mata, tetapi dengan akal dan pikiran untuk berangan-angan, mengambil pelajaran,
menimbang dan mengkoparasikan, menganalisa dan mendiskusikannya, yang
pada gilirannya bisa membuka realitas tuhan pada eksistensi terdekat.
Manusia sebagai khalifah Allah di bumi telah diberikan lisensi untuk
mengelola alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan,
Setiap bagian dari alam dan lingkungan yang diciptakan Allah swt tidak ada yang
percuma. Untuk itu manusia sudah seharusnya menjadikan alam ini sebagai mitra
hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Semakin baik
hubungan manusia dengan lingkungan, akan semakin banyak manfaat yang bisa
diperoleh manusia dari lingkungan itu.18 Implikasi lain dari kehkhalifahan
manusia ialah keperluannya kepada kemampuan untuk mengerti alam; tempat
manusia hidup dan menjalan tugasnya. Karena itu agar dapat menampilkan diri
17 Muhammad Ahsin Sakho, dkk. eds. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah). Laporan
INFORM, Pertemuan Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren,
Sukabumi, 9-12 Mei 2004, h. 16. 18 M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqasid al-Syari‟ah dalam
Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 35
67
sebagai makhluk moral dan bertanggung jawab, manusia harus melawan segala
belenggu dirinya.
Relasi penting yang selanjutnya adalah alam sebagai pemenuhan
kebutuhan alaqat al-taṣīr wa al-intifā’. Tidak sedikit aya-ayat al-Quran yang
menjelaskan bahwa alam semesta ini dicipkatan untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Hal ini nyata di dalam realitas kehidupan. Tidak ada satupun yang
memungkiri bahwa perkembangan populasi umat manusia selalu diikuti dengan
peningkatan kebutuhan konsumtif, mulai dari kebutuhan pangan, tempat tinggal
dan pemanfaatan yang lain. Pada dasarnya manusia dalam relasi ini sebagai
elemen kecil dari sistem kehidupan. Maka, dalam hukum kausalitas keberadaan
manusia sangat bergantung pada eksistensi kehidupan yang lain.
Islam, secara transenden mengakui keberadaan seluruh makhluk di muka
bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan Sang Khalik. Kerusakan yang
diakibatkan oleh salah satu makhluk merupakan pengingkaran terhadap ciptaan
Allah, Islam sendiri memiliki prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya
pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut
adalah Tauhid, Amanah, Khalifah, Halal, Haram, Adil, Tawasshur
(Kesederhanaan), Ishlah (Pemeliharaan), dan Tawazun (keseimbangan dan
harmoni).
QS Al-Anbiya: 107 di bawah ini menerangkan tentang pemiliharaan alam:
لعلمین و ما ارسلنک الا رحمۃ ل
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”
68
Ayat di atas, menjelaskan bahwa manusia yang direpresentasikan oleh
Nabi Muhammad, SAW. serta para pengikutnya memiliki kewajiban yang sangat
agung, yaitu kewajiban menjaga alam karena kedudukannya sebagai rahmat bagi
seluruh makhluk. Kewajiban ini memiliki relevansi dengan kedudukan manusia
sebagai khalifah atau sebagai pemimpin di muka bumi, yang pada kondisi tertentu
sering disalahartikan sebagai penguasa di atas muka bumi atau bahkan menjadi
pemiliknya. Meskipun manusia memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi
sumberdaya, tapi di sisi lain terdapat pula kewajiban untuk menjaganya.
Posisi manusia secara kosmis, mengharuskan manusia mendapatkan tugas
untuk menjalankan kepercayaan (amanat) sekaligus tanggung jawab. Amanat
untuk mengelola alam dengan segenap potensi dan ketersediaan bahan yang
diperlukan bagi kehidupan, serta tanggung jawab terhadap kehidupan nabati dan
hewani. Selain itu, alam adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Penciptaannya
pun tidak sia-sia dan memiliki tujuan. Oleh karena itu, hak yang diberikan kepada
manusia untuk bertindak dan memanfaatkan alam diatur dalam kerangka etis.
Kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk mengelola alam, dibatasi
dan terikat dengan aturan-aturan moral dan etika kemanusiaan, seperti keadilan,
kemaslahatan, martabat manusia, kesejahteraan, dan kerahmatan semesta. Prinsip
inilah yang mengharuskan manusia menjaga alam. Apabila manusia melakukan
tindakan merusak alam, berarti merusak bahkan membunuh manusia, karena alam
tidak hanya untuk saat ini tapi juga untuk manusia di masa mendatang
(Muhammad 2007, 4-5).19
19 Husein, Muhammad. Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam, ( Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia),h. 4-5
69
Terkait dengan peran manusia tersebut, Qardhawi menjelaskan tiga tujuan
dari peran manusia terhadap lingkungan. Pertama, mengabdi kepada Allah SWT.
Kedua, menjadi wakil atau khalifah di atas bumi. Ketiga, membangun peradaban
di muka bumi. Ketiga tujuan ini erat kaitannya dengan peranan manusia dalam
perspektif teologis. Pemahaman dan penjagaan lingkungan, serta tanggung jawab
dan amanah menjadi potret dan refleksi iman individual seseorang. Ketika
perilaku seseorang merusak, memanfaatkan alam secara berlebihan dan semena-
mena, menunjukkan bahwa dalam konteks teologi dan keimanan yang dimiliki
individu tersebut sangatlah rapuh. Tindakan semacam itu menunjukkan bahwa
manusia tersebut menjadi tidak amanah, dan berpotensi merusak kehidupan
species-nya di masa yang akan datang.20
Manusia memiliki kewajiban terhadap alam karena Allah telah
mengaruniai kekuasaan atas makhluk-Nya. Manusia telah diberi kekuasaan lebih
dibanding makhluk lain. Manusia telah diberi kekuatan untuk menundukkan dan
membuat makhluk lain melayani tujuannya. Akan tetapi Allah tidak memberikan
hak itu tanpa batas. Manusia tidak boleh memubazirkan, menyakiti, atau
membahayakan makhluk lain. Manusia harus menggunakan cara terbaik, dan
paling sedikit akibat buruknya dalam memanfaatkan makhluk lain.
Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan merupakan
bagian dari eksistensi sosial yang merupakan suatu wujud eksistensi bahwa
apapun yang berada diatas muka bumi ini memiliki kewajiban untuk menyembah
kepada Tuhan. Penyembahan ini tidak semata-mata hanya ritus yang bersifat
simbolik, tetapi lebih pada manifestasi manusia dalam ketundukannya kepada
20 Al-Qardhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001), h. 24-25.
70
Sang Pencipta. Selain itu dalam rangka mengengembangkan kesadaran
lingkungan, pendekatan teologis dengan memfokuskan kajiannya pada sistem
keyakinan Islam berkaitan dengan lingkungan. Hal ini kemudian disebut denga
Teologi Lingkungan Islam.21 Adapun cakupan pembahasan teologi lingkungannya
meliputi al-‘Alamin (selurus spesies), al-Sama’ (langit atau jagat raya), al-Ardh
(tempat atau bumi), dan al-bi’ah (lingkungan).22
Gagasan teologi lingkungan ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia
diyakini memiliki peran fungsional sebagai kepanjangan tangan Tuhan dalam
mengelola lingkungan, yang lazim dikenal dengan istilah khalifatullah. Manusia
harus tetap konsisten memelihara kualitas lingkungan agar daya dukungnya tetap
optimum. Untuk menjaga optimasi daya dukung lingkungan, manusia harus
memelihara kepentingan semua pihak secara proporsional. Kepentingan
kelestarian lingkungan dan kepentingan kesejahteraan manusia dipertimbangkan
secara wajar sebatas kewajaran ekologis. Hal tersebut harus diterapkan mengingat
manusia diberi mandat sebagai khalifah. Dengan demikian dapat disebut juga
menjaga alam merupakan sunnah Illahiyah yang harus tunduk dan konsisten pada
nilai spiritual Illahiyah.23
Dalam tela’ah lebih mendalam, tidak sulit mendapati bahwa ilmu
pengetahuan ditentukan atas kecondongan faktor diluar diri manusia; sistem
budaya. Disinilah manusia mendapati dirinya dalam situasi yang penuh
kontradiksi. Manusia selalu merasa makhluk tertinggi dan paling berkuasa. Oleh
karena itu, Cak Nur dalam bukunya mengatakan bahwa manusia dituntut juga
memahami lingkungan manusiawinya sendiri, setelah memahami lingkungan
21 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 13. 22 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 44-60. 23 Mujiyono Abdullah, Agama Ramah Lingkungan, h. 200-209.
71
alami hidupnya.24 Interaksi antara manusia dengan alamnya menghasilkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (SAINS), akan tetapi justru hal tersebut menjadi
ancaman baru bagi manusia disaat manusia tidak lagi mampu menguasai dirinya.
Hal ini kerap memungkinkan manusia untuk menggunakan alam bagi tujuan
merusak atas nama kemajuan dan perkembangan zaman.25
A. Tokoh Indonesia yang Membahas Ekologi Islam
1) Ali Yafie
Dalam membahas masalah lingkungan hidup, Ali Yafie mengacu pada QS.
Al-A’raf:156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala
sesuatu dan QS. Al-Anbiya’:107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang
tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu (1) rub’ul ibadat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya; (2) rub’ul muamalat,
yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan
sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari; (3) rub’ul munakahat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan (4)
rub’ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib
pergaulan, yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan.26
.Gambaran di atas adalah wajah sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut
meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia.
Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran,
penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam. Tetapi lebih dari semua itu.
Masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab
24 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 304. 25 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 306. 26 Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali, 2010), h. 9.
72
masalah lingkungan merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan
oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari
pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.27
Nabi Muhammad adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian umatnya
sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya terpatri dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jauh sebelumnya, Tuhan seakan memberi
isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami dari dialog antara
Tuhan dengan malaikat, ketika Tuhan menciptakan manusia. Digambarkan pula
bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat ulah tangan-tangan
manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan bahwa kita jangan
melakukan pengrusakan di atas bumi ini.28 Pandangan tentang norma fikih
senantiasa mencoba untuk memahami sejumlah masalah secara sosiologis
ketimbang pendekatan individual.
2) Miftahulhaq (Wakil Sekretaris MLH PPM)
Islam adalah sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari
pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah
adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam
konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan
haram. Berdasarkan atas pengertian ini maka ajaran (konsep)ataupandangan
Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar 5 (lima) pilar
syariah tersebut yakni : 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan
(i’tidal) dan5) istishlah.
27 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga
Ukhuwah, (Bandung; Mizan; 1994) h. 133. 28 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, h. 139.
73
Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya
maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua)
rambu utama yakni: halal dan haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa
diibaratkan sebagai sebuah “bangunan” untuk menempatkan paradigma
lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam.
Berikut ini akan di urai makna ke empat pilar dan dua rambu tersebut
serta saling keterkaitannya satu dengan lainnya dalam konteks lingkungan
(environment).29
Islam sebagai pedoman memiliki 5 (lima) pilar dalam sistem nilai
utamanya. Kelimanya adalah 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) adil dan 5)
istishlah. Untuk menjaga agar manusia yang telah memilih atau mengambil jalan
hidup ini bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis)
kelima pilar ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2)
haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah
“bangunan” untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam
perspektif Islam.30 Untuk lebih jelasnya lihat uraian berikut ini:
1. Tauhid atau keyakinan kepada Allah adalah pilar utama menjadi seorang
Islam. Pada konteks lingkungan hidup, pilar ketauhidan berupaya menjawab
persoalan eksistensi Tuhan melalui alam semesta. Keberadaan alam adalah
bukti mengenai keberadaan Tuhan. Tuhan adalah “makna” dari realitas, sebuah
makna yang dimanifestasikan, dijelaskan serta dibawakan oleh alam semesta
(termasuk manusia).31
29 Miftahul Haq, http://lingkungan.muhammadiyah.or.id/in/artikel-agama-dan-
penyelamatan-lingkungan--detail-246.html 30 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 21. 31 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 22.
74
2. Khilafah atau perwalian; Konsep ini dibangun atas dasar pilihan Allah dan
kesediaan manusia untuk menjadi khalifah (wakil atau wali) Allah di muka
bumi. Hal ini sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah: 30, Al-Isra : 70, Al-
An’am: 165 dan Yunus: 14. Sebagai wakil Allah, maka manusia wajib
merepresentasikan atas sifat-sifat Allah. Manusia harus aktif dan bertanggung
jawab untuk menjaga bumi. 32
3. Amanah atau kepercayaan; adalah bentuk tanggung jawab yang harus
dilakukan oleh manusia dalam mengelola alam. Segala sesuatu yang ada di
bumi memang diperuntukkan bagi manusia, akan tetapi semuanya hanya
bersifat titipan. manusia baik secara individu maupun kelompok tidak
mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumberdaya alam yang bersangkutan.
Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Oleh karena itu manusia
wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah
tersebut.33
4. Adil atau seimbang merupakan hukum Tuhan yang juga berlaku atas alam
termasuk manusia. Keseimbangan ini bisa mengalami gangguan (dis-harmoni)
jika salah satu atau banyak anggota kelompok atau suatu kelompok mengalami
gangguan baik secara alamiah (karena sebab-sebab yang alamiah) maupun
akibat campur tangan manusia. Perilaku dan perbuatan manusia terhadap alam
termasuk antar manusia yang diharamkan (dilarang), sebenarnya bertujuan agar
keseimbangan atau harmoni alam tidak mengalami gangguan. 34
5. Istishlah atau kemaslahatan bermakna memperbaiki atau perbaikan,
memelihara dan bermakna masalahat atau bermanfaat. istishlah pada awalnya
32 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 24. 33 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 9. 34 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28.
75
diartikan dengan perbaikan. Akan tetapi tujuan utama istishlah adalah
melestarikan alam berarti mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan
(istishlah) universal (bagi seluruh makhluk) baik dalam kehidupan masa kini
(di dunia) maupun kehidupan dimasa depan (di akhirat).35
Penjelasan lebih lanjutnya adalah dengan konsep ekologi Islam
menjelaskan bahwa alam adalah ayat dan petunjuk manusia mengenal dan
memahami tuhannya. Dengan kata lain, memahami alam berarti mengenali
Tuhannya. Selanjutnya, perbedaan mendasar antara Tuhan dan Alam adalah
Pencipta dan Makhluk. Khalik dan Makhluk memiliki sifat yang sangat kontra
diktif, sebagaimana Khalik memiliki sifat Mukhalafat Lil Hawadist atau berbeda
dengan ciptaannya. Allah adalah mutlak dan makhluk bersifat nisbi atau relatif.
Alam semesta (termasuk manusia) mempunyai potensi- potensi tertentu, akan
tetapi juga mempunyai batas kemampuan atau keterhinggaan. Konsep inilah yang
di dalam beberapa ayat AlQur’an dinyatakan bahwa setiap sesuatu ciptaan Allah
itu mempunyai “ukuran” (qadr), dan oleh karena itu bersifat relatif dan tergantung
kepada Allah.36
Selanjutnya ketauhidan tersebut diterima oleh manusia sebagai wakil
Allah. Kata khalifah yang berarti memimpin dan memelihara demi
keberlangsungan makhluk hidup adalah kunci utamanya dalam konteks ekologi.
Manusia sebagai wakil Allah berkewajiban mengatur dan memberdayakan apa
saja yang ada di bumi. Keseluruhan tersebut juga diperuntukkan pada manusia.
Keterwakilan Tuhan melalui manusia sekaligus menegaskan bahwa segala yang
ada dibumi untuk mencukupi kebutuhan manusia berarti untuk dikelola dengan
35 Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28. 36 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 7.
76
baik. Tidak hanya diambil untuk kepentingan sesaat, akan tetapi juga
berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan untuk keberlangsungan hidup.37
Manusia sebagai khalifah Allah di dunia, menjadi wakil Tuhan di muka
bumi yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka
bumi.38 Khalifah adalah juga amanah yang telah diberikan oleh Tuhan yang
menciptakan manusia kepada manusia karena dipandang mampu untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan dimuka bumi. Oleh karena itulah maka
pemahaman makna khilafah dan peran manusia sebagai khalifah di alam
khususnya di muka bumi ini menjadi sangat penting karena akan menentukan
keberhasilan atau kegagalan manusia dalam mengemban amanah yang telah
diberikan Tuhan sekaligus yang telah disanggupinya. Tindakan-tindakan manusia
yang berakibat terjadinya kerusakan di muka bumi sebagaimana di muka telah
ditegaskan, merupakan pelanggaran atau penginkaran terhadap amanah yang
berarti juga merupakan perbuatan dosa besar.
Kemudian dengan amanah yang dimiliki maka manusia tidak bisa
menguasai atas sumber daya alam yang ada. Manusia hanya diperkenankan untuk
memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan hidup serta menjaga atas kelestarian
alam. Secara umum, konsep amanah ini harus dikerjakaan bersamaan dengan
tauhid dan khalifah. Sebagaimana bagi Islam keseluruhan tersebut merupakan
bagian dari epistemologi ekologi yang holistik sekaligus menolak epistemologi
reduksionis.39
37 Majelis Lingkungan Hidup, Akhlak Lingkungan, h. 9. 38 Musya Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaaan Dalam Al- Quran, (Yogyakarta:
Lembaga Study Filsafat Islam, 1992), h. 43. 39 Majelsi Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 27.
77
Seperangkat yang bisa mendukung terwujudnya manusia sebagai wakil
Allah yang amanah dan menciptakan keseimbangan (adil) adalah dengan adanya
rambu-rambu melalui halal-haram. Rambu tersebut diciptakan sebagai pedoman
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap alam. Halal
bermakna segala sesuatu yang baik, berakibat baik, menguntungkan, dan
menenteramkan hati. Segala sesuatu yang menguntungkan atau berakibat baik
bagi seseorang, masyarakat dan lingkungan alamnya serta lingkungan sosialnya
adalah halal. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak
seseorang, masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya adalah haram.40
Kelima pilar di atas merupakan pilar utama Islam dalam menjelaskan
perhatiannya terhadap lingkungan. Hal tersebut sekaligus menyatakan bahwa
kepedulian Islam terhadap lingkungan tidak hanya sebatas dalam bentuk
pemanfaatan semata, akan tetapi juga dalam bentuk pengelolaan. Pengelolaan
dengan prinsi tauhid berarti manusia telah mengamalkan keimanannya dalam
bentuk menjaga alam atau bumi. Selanjutnya, bentuk aplikasi ketauhidannya
dalam konteks lingkungan hidup adalah dengan menerapkan konsep khilafah,
amanah, adil dan istishlah sehingga keseluruhannya menjadi konsep baru dalam
ekologi yakni Teologi Lingkungan.41
Dengan pandangan teologi lingkungan, Islam berupaya mewujudkan
kesadaran manusia dalam memahami lingkungan sekaligus memelihara dan
melestarikannya. Dengan teologi lingkungan Islam juga berpartisipasi aktif
menawarkan satu paradigma baru dalam bidang ekologi. Paradigma ini berbeda
dengan teori sistem maupun ekosentrisme yang menekankan pada aspek manusia
40 Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 28. 41 Majelis Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan, h. 30.
78
saja. Teologi lingkungan menekankan hubungan manusia dengan alam sebagai
hubungan manusia dengan Tuhannya.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
SAINS mengajarkan suatu gambaran kosmos yang lain atas apa yang
diajarkan agama. Pandangan mengenai krisis ekologi baik dalam Islam maupun
Kristen perlu diuraikan dari konsepsi ekologi masing-masing. Dengan kata lain
tidak bisa menjelaskan pandangan krisis ekologi tanpa menjelaskan konsep
ekologi Islam maupun Kristen. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut.
Islam dan Kristen sama-sama memiliki pandangan terhadap ekologi
dalam bingkai teologi maupun etika. Namun perbedaannya adalah dalam Islam
gagasan mengenai ekologi menjadi suatu final tanpa perbedabatan. Islam setuju
bahwa ekologi atau persoalan hubungan timbal balik antar manusia dengan alam
harus dilestarikan. Sebagaimana tugas manusia sebagai khalifah dan diberi
amanah untuk memanfaatkannya tanpa harus merusak. Setiap perbuatan manusia
terhadap alam akan berdampak kepada manusia itu sendiri. baik perbuatan baik
maupun perbuatan buruknya akan berdampak kepada manusia itu sendiri.
Sedangkan dalam pandangan Kristen terdapat perbedatan tafsir ekologi.
Satu kelompok menafsirkan Al-Kitab bahwa manusia diberikan kebebasan untuk
memanfaatkan alam sehingga dianggap mendorong munculnya perilaku
eskploitatif terhadap alam. Akan tetapi sebagian teolog Kristen menolak
pandangan tersebut, sebab dalam prinsip teologisnya, Tuhan yang menghidup
segalanya. Kedudukan Tuhan, Manusia dan alam serta hubungan ketiganya dalam
wujud tritunggal. Pandangan Kristen tersebut sekaligus menjadi doktrin
keimanan. Adapun prinsip yang digunakannya adalah Tuhan sebagai pencipta
80
segala sesuatu, manusia merupakan wakil Tuhan dan diperkenankan untuk
mengelola alam secara bijak.
Selanjutnya pandangan Islam dan Kristen terhadap krisis ekologi
keduanya memiliki pandangan yang sama, yaitu kerusakan alam disebabkan oleh
perilaku manusia. Adapun perilaku tersebut bersumber pada paradigma atau
pemikiran manusia. Oleh karena itu, dalam merespon krisis ekologi, baik Islam
dan Kristen sama sama menghadirkan konsep teologi lingkungan hidup sebagai
bentuk penegas keimanan masing-masing agama. Secara umum teologi
lingkungan hidup dalam Islam maupun Kristen menjelaskan bahwa melestarikan
alam merupakan perwujudan keimana kepada Tuhan. Oleh karena itu dengan
melestarikan alam sama halnya mengimplementasikan keimanan. Adapun dalam
konteks krisis ekologi yang disebabkan perilaku manusia, Islam dan Kristen
sama-sama menghadirkan etika lingkungan hidup sebagai rumusan yang
diturunkan dari teologi lingkungan sekaligus menjadi panduan umatnya dalam
memahami krisis ekologi serta menjaga lingkungan hidupnya.
B. Kritik dan Saran
Studi komparasi mengenai konsep ekologi dalam pandangan agama
terlalu luas. Padahal di setiap agama memiliki organisasi masyarakat atau Ormas
penopang masing-masing agama. Nampaknya lebih detail apabila studi komparasi
juga menjelaskan perspektif lembaga-lembaga keagamaan yang
merepresentasikan Islam maupun Kristen. Sebab, selain memiliki konsepsi
teologis, tentu dalam sebuah lembaga memiliki program atau gerakan sosial yang
lebih real, daripada pemikiran dalam agama yang masih bersifat teologi ataupun
paradigma.
81
Daftar Pustaka
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 2001.
Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amza, 2006.
Adiwibowo, Soeryo. Ekologi Manusia. Bogor: IPB, 2007.
Al-Qardhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2001 Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat. Jakarta: Raja Wali,2010
Amirullah, “Krisi Ekologi dan Problematika Sains” dalam Jurnal Lentera, Vol.
XVIII No. 1. Juni 2015.
Amirullah, “Krisis Ekologi; Problematika Sains Modern” dalam Jurnal Lentera,
vol. XVIII, no. 1 tahun 2015.
Anggota IKAPI, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005.
Asy’ari, Musya. Manusia Pembentuk Kebudayaaan Dalam Al- Quran.
Yogyakarta: Lembaga Study Filsafat Islam, 1992.
Deane, Celia. & Drummond. Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta,
1999
Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika II. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Ghulsyani, Mehdi. Filsafat Sains menurut Al Qur’an. Jakarta: Mizan, 2004.
Hamid, al-Abd. “Exploring the Islamic Environmental Ethics," dalam Islam and
the Environment, A. R. Agwan ed. New Delhi: Institute of Objective
Studies, 1997.
Harun, Martin. “Allah Para Ekolog” dalam Dunia, Manusia dan Tuhan: Antologi
Pencerahan Teologi dan Filsafat, ed. J. Sudarminta dan Lili Tjahjadi,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Hunt, Anne. Trinity. New York: Orbis Book, 2005.
Husein, Muhammad. Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam, ( Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Karman, Yonky. Bunga Rampai Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007, h. 7.
Kementerian Lingkungan Hidup. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta: Kementrian
Lingkungan Hidup, 2009.
Keraf, A. Sony. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2002.
82
KWI, Nota Pastoral. Panggilan Geraja Dalam Hidup Berbangsa. Jakarta:
Penerbit Obor, 2018.
Lorhse, Berhand. Pengantas Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: Gunung Mulia,
2008.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina Press,
Cet IV, 2000.
Mahfud, Rois. Al- Islam Pendidikan Agama Islam. Penerbit: Erlangga, 2011.
Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyyah. Teologi Lingkungan. Jakarta:
Depkomlin KLH, 2011.
Mangunjaya, Fachruddin M. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Mardhiah, Izzatul, dkk. “Konsep Gerakan Ekoteologi Islam Studi Atas Ormas
NU Dan Muhammadiyyah” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 10. No. 1, Universitas Negeri Jakarta tahun 2014.
Mcnaughton, S.J. & Larry. L, Ekologi Umum. terj. Sunaryono Pringgoseputro.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1992.
Miller, G. Tyler. dan Spoolman, Scott E. Essentials of Ecology. USA;
Brooks/Cole, 2009.
Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Penerbit Nuansa,
2010.
Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Penerbit Nuansa,
2010
Nainggolan, Binsar. Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi
Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Life and Thought. London: George Allen, dan
Unwin Ltd, 1981.
Nasr, Seyyed Hossein. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama. terj.
Suharsono dkk, Jogja: Inisiasi Press, 2004.
Pusat Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Kemendikbud, 2008.
Rachman, Noer Fauzi. Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: INSIST Press, 2017.
Rahmad, Dadang. Metode Penelitan Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
83
Resosoedarmo, Soedirman, dkk, Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Karya
Cv, 1984.
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003
Robert P. Borronng, “Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen”
dalam Jurnal Pelita Zaman, Vol. 13. No. 1 Tahun 1998. Yayasan Pelita
Zaman, Bandung
Sakho, Muhammad Ahsin. dkk. eds. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah). Laporan
INFORM, Pertemuan Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh
Ulama Pesantren, Sukabumi, 9-12 Mei 2004.
Sani Lake, “Memulihkan Keutuhan Ciptaan; Refleksi Teologis Ekologi dalam
Pembebasan” dalam Jurnal Sepakat Vol. 02 No. 2 tahun 2016, h. 212.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Sobandi, Baban. Etika Kebijakan Publik; Moralitas-Profetis dan Profesionalisme
Kinerja Birokrasi. Bandung: Penerbit Humaniora, 2001.
Sobur, A.Kadir Tauhid Teologis. Jakarta: Gaung Persada Press Group 2013
Soemarwoto, R.M. Gatot P. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2004.
Suhendra, Ahmad. “Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an”, Jurnal Esensia vol.
XIV No. 1 April 2013.
Suka, Ginting. Teori Etika Lingkungan; Antroposentrisme dan Ekosentrisme.
Bandung; Universtias Udayana, tt.
Sunarko, Adrianus Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada
Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius, 2008
Ubaidillah, M. Hasan. Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqasid al-Syari‟ah
dalam Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal Al-Qānūn,
Vol. 13, No. 1, Juni 2010.
Utina, Ramli. dan Wahyuni, Dewi. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Tt.
Vorgrimler, Herbert. Trinitas; Bapa, Firman dan Roh Kudus. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Walhi. Masa Depan Keadilan Ekologis di Tahun Politik. Jakarta; Walhi, 2017.
Wardani. Islam Ramah Lingkungan: Dari Eko-teologi Hingga Fiqh Bi’ah.
Banjarmanis: IAIN Antasari Press, 2015.
84
Watimena, Reza A.A. Tentang Manusia; Dari Pikiran, Pemahaman Sampai
Perdamaian Dunian. Yogyakarta: Maharsa, 2016.
Woi, Amatus. “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan” dalam
Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ed. A. Sunarko dan A. Eddy
Kristiyanto. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Yafie, Ali Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi
Hingga Ukhuwah. Bandung; Mizan; 1994.
Zainul, Bahri Media. Wajah Studi Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.