kumpulan tulisan buya syafii
DESCRIPTION
Cercah-cercah pemikiran Buya Syafi'i Ma'arifTRANSCRIPT
Kemerdekaan Itu, Apa Artinya?
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun.
Perkataan ‘jibun’ tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna,
juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing
dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk
mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu
bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa
Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu.
Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai
bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para
pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: “Nation and character building,”
pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu
dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi
malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62
tahun.
Akibatnya bisa macam-macam, dari protes yang paling sederhana sampai pada keinginan
memisahkan diri dari jiwa dan batang tubuh Republik Indonesia. Semuanya ini telah memakan
korban, juga dari bentuk yang paling sederhana berupa bentrokan rakyat dengan aparat sampai
perang saudara yang berkuah darah. Akar-umbinya adalah kebelumberhasilan kita
menerjemahkan doktrin “pembangunan bangsa dan karakter” dalam cakupannya yang luas.
Apa itu? Tidak lain dari pengejawantahan Pancasila dalam format yang konkret, bukan
sebatas wacana dan retorika. Termasuk perlu diintensifkan ‘budaya saling menyapa’ antaranak
suku bangsa yang sangat beragam itu. Termasuk pemerataan keadilan dan kemakmuran,
membongkar struktur kesenjangan, karena kemakmuran melimpah baru dinikmati oleh segelintir
orang yang bertengger di pucuk piramida, sementara lautan kemiskinan dibiarkan terbentang
luas, menghimpit mereka yang tak berdaya. Golongan ini terhenyak di dasar piramida yang
jumlahnya masih sekitar 40 juta. Bagi si papa ini, merdeka atau terjajah tidak banyak bedanya.
Pembangunan bangsa dan karakter tidak saja menjadi agenda politik, tetapi dimensi
sosial-ekonomi menjadi sangat mustahak. Konflik mendatar dan konflik menaik dapat ditelusuri
musababnya pada kesenjangan sosial yang masih menganga. Makin jauh dari Jakarta makin
terasa betapa rupiah kita menjadi barang langka karena sekitar 70 persen beredar di ibu kota
yang penduduknya kurang dari lima persen dari 225 juta rakyat Indonesia.
Disparitas ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama, sebab bisul keretakan bangsa bisa
meledak sewaktu-waktu. Kita tidak rela melihat bangsa ini berkeping-keping karena kegagalan
kita merawatnya.
Dalam dialog saya dan Wapres HM Jusuf Kalla selama 50 menit di istana Wapres pada 1
Agustus 2007, kita banyak membicarakan masalah-masalah bangsa dan negara secara mendasar.
JK tampaknya tetap optimistis akan kebangkitan Indonesia dengan syarat semua orang mau
bangkit dan berpikir jernih, tidak hanya pandai saling menyalahkan. Tetapi, juga harus
ditunjukkan sikap apresiatif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapa pun yang
melakukan: pemerintah atau masyarakat.
Sikap “mutual distrust” (saling tidak percaya) mesti dihilangkan jika bukti menunjukkan
bahwa cukup alasan untuk “mutual trust” (saling percaya). Tetapi jika menyangkut tragedi
Lapindo, bagi saya tentu sangat sulit untuk menunjukkan “mutual trust” karena tidak tampak
upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya. Fakta lapangan
menunjukkan di antara korban lumpur sudah banyak yang putus asa, karena tidak melihat tanda-
tanda kapan drama kemanusiaan ini berakhir. Bukankah semuanya ini terjadi akibat kecerobohan
pengusaha? Orang boleh saja disogok agar membisu, tetapi harus segera ada solusi.
Di saat kita sibuk merayakan hari kemerdekaan, bencana Lapindo jangan sampai
terlupakan. Kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan untuk mereka
yang teraniaya. Tidak ada gunanya seorang presiden dikabarkan berkantor di sana, jika
tunasolusi.
Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa para pendiri bangsa dulu melawan penjajahan
adalah untuk menyudahi penderitaan. Tetapi setelah kekuasaan berpindah ke tangan sendiri,
mengapa penderitaan dan kemiskinan belum juga usai? Jika demikian faktanya, jangan-jangan
penguasa baru itu masih meneruskan politik penjajahan atas teman sebangsa. Jika dulu ‘londo
tenanan’, kini ‘londo ireng’ yang susunan kimia kekuasaannya setali tiga uang dengan penjajah.
Semoga semua sadar tentang kesalahan dan dosa kita terhadap bangsa dan negara ini yang
sekarang sedang berulang tahun ke-62 untuk mensyukuri kemerdekaannya. Dirgahayu Indonesia
tercinta, semoga tetap utuh!
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/kemerdekaan-itu-apa-artinya/
Bangsa Tunailmu
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Dalam Pembukaan UUD ’45 ditegaskan bahwa di antara tugas pemerintah adalah
”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Rumusan semacam ini bukan tanpa latar belakang historis
yang sarat dengan kegetiran; ia tidak muncul secara tiba-tiba. Akarnya menjalar jauh dan dalam.
Sebagai bangsa bekas jajahan, para perumus UUD kita menyadari betul betapa gelapnya otak
bangsa ini jika tingkat buta huruf masih sangat tinggi, yaitu pada tahun 1945 sekitar 90 persen.
Tahun 2007, persentasenya, berkat kemerdekaan, memang sudah terbalik, yaitu sekitar 90
persen sudah melek huruf, sekalipun sebagian (besar?) belum tentu tamat SD. Dari sisi ini,
betapapun masih rendahnya tingkat kecerdasan rakyat, kita wajib mensyukuri kemerdekaan
bangsa ini. Tanpa kemerdekaan, kita tetap saja dalam posisi bangsa budak.
Tetapi, fokus perhatian kita kali ini bukan di situ. Yang hendak disoroti adalah kenyataan
bahwa tingkat keilmuan bangsa ini secara keseluruhan masih di bawah standar. Dengan kata lain,
dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan, kita
jauh kedororan. Ambillah contoh Malaysia yang pada 1950-an dan 1960-an jauh tertinggal oleh
Indonesia dan kita mengirim pasukan guru ke sana, sekarang memandang kita dengan sebelah
mata. Apalagi dengan berjibunnya TKI/TKW kita mengadu nasib ke sana, negeri jiran ini telah
menganggap kita sebagai bangsa dan negara yang tidak serius mengurus dan mengisi
kemerdekaan. Kita kehilangan wibawa di depan rakyat negara itu yang sekarang sedang
menikmati kemakmurannya, seperti yang sudah disinggung dalam Resonansi sebelum ini.
Apa sebenarnya yang terjadi pada tubuh dan jiwa bangsa ini? Mengapa kita masih dalam
keadaan stagnasi dalam upaya memajukan bangsa ini agar lebih bermartabat di depan forum
dunia? Dalam perspektif perkembangan keilmuan dan teknologi dasar, kita adalah bangsa yang
masih tunailmu dan tunateknologi. Penyebab pokoknya tidak lain karena perhatian negara yang
diwakili pemerintah selama lebih 60 tahun terhadap dunia pendidikan minim sekali.
Kabinet telah jatuh-bangun berulang kali sejak proklamasi, tetapi dunia pendidikan kita
tetap saja sebagai kelinci percobaan. Seorang menteri pendidikan biasanya diangkat bukan
karena visi dan kemampuannya dalam memajukan pendidikan, tetapi pertimbangan politik
kekuasaan jauh lebih dominan.
Cara semacam ini merupakan salah satu penyebab utama mengapa politik pendidikan
nasional kita seperti kehilangan benang merah, tidak ada kesinambungan antara seorang menteri
dengan menteri yang lain dalam berbagai periode. Dengan kenyataan ini dunia pendidikan kita
menjadi terombang-ambing oleh kebijakan yang zigzag tanpa visi yang jelas dan itu semua
melelahkan kita. Korbannya adalah peserta didik yang tidak mengerti apa-apa mengapa mereka
dijadikan ”barang mainan” puluhan tahun.
Akibat jangka panjangnya sangat jelas dan tunggal: Pendidikan kehilangan perpektif
masa depan. Ini persoalan yang sangat serius. Sebuah bangsa yang tidak cerdas pasti akan
menjadi sasaran obokan pihak lain, tidak peduli apakah jumlah penduduknya besar atau kecil.
Beberapa hari yang lalu, dalam penerbangan ke Jakarta, saya kebetulan duduk
bersebelahan dengan dekan Fakultas Kedokteran UGM yang sangat prihatin pada kondisi
pendidikan di Indonesia. Ujarnya, bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi cerdas manakala
tingkat kesejahteraan guru sangat minim, termasuk guru besarnya.
Pak dekan ini suami istri adalah profesor, tetapi penghasilan gabungan keduanya berada
di bawah pendapatan seorang anggota DPRD tingkat II yang PAD-nya tidak tinggi. Untung saja
dekan ini seorang dokter yang masih berpraktik, sehingga ada tambahan penghasilan. Sebuah
ironi terlihat di sini: Seorang profesor dengan kualifiasi PhD atau doktor lulusan perguruan
tinggi dalam negeri dilecehkan oleh penghasilan seorang politikus kelas kabupaten atau kota
yang menjadi anggota DPRD.
Anda mau contoh yang lebih konkret tentang ironi ini? Adalah Profesor T Jacob yang
punya reputasi dunia dan seorang penulis prolifik, mantan rektor UGM, sekalipun sudah pensiun,
masih tinggal di rumah dinas karena tidak mampu membuat rumah untuk keluarga kecilnya.
Yang bernasib begini banyak sekali. Manusia tipe Profesor Jacob yang tidak mau bergeser
sedikit saja dari posisi seorang ilmuwan harus rela hidup tanpa rumah pribadi sampai usia
tuanya.
Begitu juga nasib sejarawan almarhum Profesor T Ibrahim Alfian yang telah mewariskan
beberapa karya tulis penting untuk bangsa ini, di saat wafatnya kita melayat ke rumah dinasnya
di lingkungan kampus UGM. Pendapatannya selama berkarier sebagai ilmuwan yang PNS tidak
mampu menolong hari tuanya untuk sekadar punya tempat berteduh.
Inilah di antara panorama yang tak sedap dipandang di sebuah bangsa kaya, tetapi tidak
menghargai ilmu, bangsa tunailmu. Pertanyaan pungkasannya adalah: Sampai berapa lagi
mendung tebal yang melingkupi alam pendidikan kita berangsur sirna?
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/bangsa-tunailmu/
Slavish Mentality
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Soekarno-Hatta dengan keberanian luar biasa ingin menghalau imperialisme itu, generasi
yang ahistoris berikutnya malah bangga menyerahkan batang leher kepada pihak asing padahal
bangsa ini sudah merdeka. Kata seorang penulis Aljazair, pandangan ahistoris berisiko tunggal:
Orang gagal membaca realitas.
Realitas kita sekarang adalah bahwa para elite kita yang lagi manggung kini tetap saja
merasa nyaman sekalipun rumah tangga bangsa ini sedang digarong pihak asing, tentu dengan
perjanjian-perjanjian formal sebagai layaknya bangsa merdeka. Soekarno dan Hatta yang
menyampaikan pidatonya untuk melawan sistem kapitalisme/imperialisme pada saat bangsa ini
masih terjajah, mengapa sekarang pemerintah tidak merasa tersinggung dengan penguasaan
asing terhadap aset-aset vital milik bangsa? Jawabnya karena kita sedang sama mengidap slavish
mentality (mental budak). Saya mohon pimpinan negara dari yang paling pucuk sampai tingkat II
diwajibkan membaca dua pidato itu untuk melihat secara kritikal mau ke mana negeri ini akan
dibawa, mau digadaikan, mau dijual, atau mau diapakan? Pidato Hatta berjudul ”Indonesie Vrij”
(sudah diterjemahkan menjadi ”Indonesia Merdeka”) dan pidato Bung Karno ”Indonesia
Menggugat”.
Kedua pidato itu sama bobotnya, sama pentingnya. Bedanya Hatta lebih dulu
menyampaikan di Den Haag dalam bahasa Belanda dan Bung Karno di dalam negeri dua tahun
kemudian, disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan kutipan pendapat para sarjana Belanda
dan Barat lainnya untuk mendukung posisinya sebagai pejuang nasionalis yang sedang dituduh
menghasut.
Bagi saya kedua pidato ini semestinya dijadikan pedoman kita berbangsa dan bernegara
justru pada saat kekayaan Indonesia sedang jadi rebutan pihak asing. Dengan membaca kedua
pidato itu kita akan tahu bahwa apa yang berlaku sekarang ini agak mirip dengan zaman VOC
dengan politik monopoli perdagangannya yang sangat destruktif bagi nusantara ketika itu.
Aneh bin ajaib bangsa dan negara yang mengaku merdeka telah mengundang VOC-VOC
baru untuk memberikan hak monopoli kepada pihak asing. Nanti bila kekayaan bumi dan laut
kita sudah terkuras, pengusaha asing itu akan lenggang kangkung meninggalkan arena yang
sudah kering-kerontang, dan tinggallah anak negeri menangisi nasib sebagai manusia tak
berdaya.
Bisa saja sebagian anak bangsa menjadi kaya raya karena telah membantu asing, tetapi
bagi mayoritas rakyat yang tersisa tinggal ampasnya saja. Rakyat banyak ini di era penjajahan
ditindas oleh asing secara langsung, di zaman kemerdekaan ditindas melalui ”kebaikan hati”
pemerintahnya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum bangsa ini betul-betul menjadi bangsa kuli 100
persen, siapa tahu dengan membaca pidato Bung Karno dan Bung Hatta, kita masih bisa sadar
dan siuman dengan menyatakan: Kita sudah terlalu jauh melenceng dari jalan yang benar, kita
sudah semakin terjerat dalam tali lasso kapitalisme global yang mencekik leher bangsa ini tanpa
belas kasihan. Saya harap Menteri Nuh memperbanyak kedua pidato di atas dan membagikannya
kepada elite bangsa ini.
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/slavish-mentality/
Tengkorak dan Peradaban
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Benedetto Croce (1866-1952), sejarawan pemikir Italia, ketika mengomentari keluhan
dan kepedihan umat manusia mengapa dalam perjalanan sejarah kita sering dihadapkan kepada
peperangan, penderitaan, dan kekecewaan, ia menjawab ringan “history in the making” (sejarah
dalam proses pembentukan). Di ujung perjalanan, liberti (kebebasan) pasti akan menuai
kemenangan. Bagi Croce, liberti tidak pernah kalah, tetapi bisa tertindas pada waktu-waktu
tertentu. Keyakinan tentang kekuatan liberti ini diumumkan Croce pada 1937, dua tahun
menjelang meledaknya PD (Perang Dunia) II, sebuah optimisme yang tinggi tentang hari depan
umat manusia.
Kita boleh menyertai optimisme Croce, tetapi dengan catatan kaki. Bukankah peradaban,
negara, atau imperium yang pernah dikenal tidak jarang dibangun di atas ratusan, ribuan, dan
bahkan jutaan tengkorak manusia? Tentu Anda minta contoh, bukan? Baiklah, saya mulai dari
peradaban Islam. Imperium ‘Abbasiyah (750-1258) yang sering dibanggakan sebagai pencipta
peradaban Islam yang gemerlapan itu, bukankah dibangun di atas tengkorak lawan politiknya,
Imperium Umayyah (661-749)?
Anda tentu tahu juga proses Indianisasi Nusantara selama berabad-abad sampai
hancurnya Imperium Majapahit awal abad ke-15 dengan agama Hindu-Budha sebagai acuan
spiritualnya. Bangunan raksasa Candi Borobudur yang Budha dan Candi Prambanan yang Hindu
tentu sekarang kita saksikan dengan penuh kekaguman. Di saat dunia belum mengenal teknologi,
demi taat kepada konsep deva-raja, maka tenaga manusia dan hewan dikerahkan untuk membuat
bangunan dahsyat itu.
Berapa hitungan tengkorak manusia dan hewan yang harus dikorbankan selama puluhan
tahun untuk menyudahkannya, kita tidak tahu pasti. Kita boleh saja menilai semuanya ini sebagai
pengabdian manusia kepada penguasa, tetapi bila parameter modern yang dijadikan acuan adalah
‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, maka korban Borobudur dan Prambanan tidak lain dari
penindasan penguasa atas rakyat.
Kita pindah ke VOC dengan sistem hongi-tochten-nya di Maluku dan kerja paksa H.W.
Daendels (gubernur Hindia Belanda, 1808-1811) yang membangun jalan raya pos dari Anyer ke
Panarukan, berapa tengkorak yang harus binasa untuk itu. Kekuasaan VOC yang kemudian
diambil alih pemerintah Hindia Belanda adalah modal utama bagi bangsa dan negara Indonesia
merdeka di kemudian hari. Untuk sampai kepada tujuan itu, orang tidak boleh lupa bahwa modal
itu telah dibangun di atas tengkorak manusia yang tidak sedikit.
Kita pindah ke kawasan lain. Penghijrah dari Inggris telah membangun Australia modern
dengan mengorbankan banyak sekali anggota suku Aborigin dengan cara yang sangat kejam.
Begitu juga Amerika Serikat yang sekarang telah jadi imperium, dibangun di atas tengkorak
rakyat Indian dan budak dari Afrika dalam jumlah yang sangat besar. Contoh lain banyak sekali,
termasuk pembunuhan dalam jumlah puluhan juta yang dilakukan Joseph Stalin dengan kamp
kerja paksa Siberia yang mengerikan itu, demi membangun Imperium Uni Soviet yang sempat
bertahan selama 77 tahun.
Sebab itu marilah kita bersikap tawadhu’ untuk mengakui bahwa manusia, jenis kita ini,
pada masa-masa tertentu dalam periode sejarah sangat tidak beradab, sekalipun kita mengatakan
sedang membangun peradaban. Alquran dalam surat al-Baqarah: 11-12 menggambarkan manusia
penghancur itu dalam ungkapan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu
berbuat onar/kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
sesungguhnya kami justru orang-orang yang membangun kebajikan. Ingatlah, sesungguhnya
merekalah yang membuat kerusakan itu, tetapi mereka tidak [mau] sadar.”
Apakah memang dengan tengkorak manusia sejarah itu harus dibangun? Antahlah
buyuang! Akhirnya pemimpin negara Pancasila harus bekerja ekstra hati-hati membawa bangsa
ini menuju masa depan agar daftar panjang penderitaan yang masih menghimpit sebagian rakyat
kita tidak menjadi semakin panjang. Kita benar-benar memerlukan negarawan, bukan politisi
yang rabun ayam.
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/tengkorak-dan-peradaban/
Kepingan Neraka di Surga
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Karena perhatian disedot oleh masalah dalam negeri, nasib rakyat di beberapa negeri
Arab yang dilanda krisis berat, agak terlupakan. Artikel Bassel Oudat dari Damaskus di bawah
judul “Syria’s Impasse” dalam harian Al-Ahram, 25 Agustus 2015, telah memukul batin saya
tentang betapa parahnya krisis yang melanda Suria ini. Seakan-akan sebuah kepingan neraka
sedang diciptakan di sana oleh para aktornya: lokal, regional, dan global. Pada tingkat lokal
melibatkan rezim al-Assad, kelompok Negara Islam (ISIS), dan kelompok Islamis lainnya yang
baku hantam berebut pengaruh di negara gagal itu. Islam sebagai agama perdamaian telah
berhenti jadi rujukan dalam penyelesaian konflik, dibuang jauh entah ke mana. Para elite yang
terlibat dalam konflik berdarah-darah ini semuanya memahami dan bercakap dalam Bahasa
Arab, Bahasa Alquran, tetapi nurani mereka telah tersumbat untuk menerima petunjuk.
Pada tataran regional, Iran terus saja memasok senjata dan bantuan lainnya kepada rezim
al-Assad dengan tujuan memperkuat pengaruhnya dengan mengorbankan bangsa yang oleng itu.
Tentu saja Iran dalam berebut hegemoni politik dengan Saudi Arabia di kawasan kacau itu ingin
memperagakan taringnya dengan menguasai Suria sejauh mungkin. Perkara rakyat Suria bermain
dengan maut setiap saat tidak perlu dipertimbangkan. Inilah corak kekuasaan biadab atas nama
agama. Oudat menulis: “Ia [Iran] menyebut Suria sebagai perluasan dari tanahnya sendiri dan
sekaligus memanfaatkan konflik itu untuk mendorong posisi tawar yang keras dalam
pembicaraan nuklirnya dengan pihak Barat.” Di sini definisi kepentingan nasional tidak ada lagi
kaitannya dengan prinsip-prinsip moral Islam. Pada kutup lain Saudi Arabia merasa ringan saja
bekerja sama dengan Israel dalam menghadapi Iran. Teologi sunni-syi’ah sama-sama
dieksploitasi semata-mata bagi tujuan kekuasaan duniawi.
Apa yang disebut bangunan solidaritas Arab sudah lama runtuh. Rezim al-Assad yang
Arab, tetapi brutal itu, merasa lebih nyaman berdampingan dengan Iran, demi kelangsungan
kekuasaannya. Pergolakan rakyat yang semula damai untuk menuntut kebebasan telah berubah
menjadi konflik bersenjata yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Kota-kota di seluruh negeri yang
nahas itu telah hampir rata dengan tanah.
Di awal kolomnya, Oudat menulis: “Meskipun merupakan salah satu tragedi
kemanusiaan terburuk di abad ini, krisis Suria tampaknya telah terjerembab melalui keretakan
diplomasi internasional. Dielakkan oleh Amerika, disabotase oleh Rusia, dan dizalimi oleh Iran,
negeri itu telah jadi korban rezim brutal, milisia sektarian, pasukan upahan dan kelompok jihadis
dalam berbagai aliran, dan menjadi mangsa diplomasi pura-pura tetapi tidak ada pengaruhnya…
Ia [krisis Suria] telah jadi sumber keuntungan bagi kelompok jihad global, peluang politik bagi
Teheran dan Moskow, dan kutukan bagi rakyat jelata.” Perang saudara selama empat setengah
tahun ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, ratusan ribu jadi pengungsi dengan segala
penderitaan dalam perjalanan ke berbagai negara. Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan
Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suria jadi puing perang daripada berdamai dengan
lawan-lawan politik domestiknya.
Omar Kosh, peneliti oposisi Suria berkata: “Tampaknya Amerika, Rusia, dan Iran punya
satu persamaan: syahwat untuk menghancurkan Suria.” Tambahan lagi bagi Amerika, dengan
hancurnya Suria, Israel pasti akan mendapatkan keuntungan yang besar. Saya hampir kehabisan
kosa-kata untuk menggambarkan tentang betapa moral internasional, termasuk dunia Islam, telah
tiarap dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang diderita rakyat Suria. Memang Amerika
masih mengirim bom untuk menghancurkan kekuatan ISIS, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk
menurunkan rezim brutal al-Assad yang telah membawa negeri itu bertekuk lutut k epadanya
yang dulu telah dimulai oleh bapaknya Hafez al-Assad yang sama kejamnya dengan
menggunakan Partai Baath Suria sebagai kekuatan penindas. Sekarang seluruh kota Suria telah
binasa, masa depan rakyatnya gelap-gulita, sementara dunia membisu membiarkan drama maut
ini berlangsung terus. Ya, Allah, mohon tampakkan keberpihakan Engkau untuk menolong
hamba-hambaMu yang menjadi korban para elite yang mabuk dunia dan gila kekuasaan. Rakyat
Suria dibiarkan sendiri menanggulangi nasibnya dalam kepungan penderitaan yang nyaris tanpa
batas. Oleh sebab itu, ya Allah, dengarlah jeritan tangis mereka, karena Engkau Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui!
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/217/kepingan-neraka-di-surga
Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Institut Leimena pimpinan Jakob Tobing sangat bergiat mengadakan berbagai pertemuan,
diskusi, dialog, simposium, dan yang sejenis itu tentang masalah-masalah yang berakaitan
dengan agama, kebudayaan, pilantropi, dan sebagainya. Institut ini punya jaringan luas dengan
lembaga-lembaga luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Saya sering diundang untuk berbicara
dalam forum institut ini.
Demikianlah pada 4 Oktober 2015, bertempat di Hotel Phoenix Yogyakarta, diadakan
dialog dengan topik: “Indonesia’s Civilizational Heritage: Assett to Promote Religious Freedom
and Tolerance, and to Counter Religious Radicalism” (Warisan Peradaban Indonesia: Aset untuk
Mengembangkan Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan untuk Menjawab Radikalisme Agama).
Pengantar dialog diberikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dengan pembicara
Romo Prof. Dr. Barnadus Soebroto Mardiatmadja, S.J. (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara),
Prof. DR. M. Amin Abdullah (UIN Sunankalijaga), dan saya sendiri. Enam penanggap dari
Amerika Serikat dengan berbagai profesi adalah: David Melilli, Darrellyn Melilli, Howard F.
Ahmanson, Roberta G. Ahmanson, Paul Marshall, dan Ralph D. Veerman.
Diskusi terbatas di atas cukup intensif yang juga dihadiri oleh beberapa peserta lain dari
Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan bebas dari makalah yang saya sampaikan dengan
sedikit perubahan di sana-sini:
Untuk berbicara tentang kemerdekaan agama dan toleransi dalam peta agama-kultural di
Indonesia, kita perlu melacak sedikit latar belakang sejarah keagamaan yang meliputi era Hindu-
Buda, Islam, Kristen, sampai masa sekarang. Dengan pengatahuan yang sedikit memadai kita
akan tahu bahwa masalah kemerdekaan agama dan toleransi ternyata punya suatu raison de’tre
(alasan keberadaan) yang kuat sekali dalam kehidupan bangsa ini.
Adalah penyair-filosuf Majapahit Mpu Tantular yang membuat formulasi penting tentang
kemerdekaan agama dan toleransi sebagai fondasi filosofis Kerajaan Besar Hindu Majapahit
(1293-1520) yang terletak di Jawa Timur itu. Frasa Bhinnêka tunggal ika (secara harfiah
bermakna “sekalipun beraneka, tetapi Satu”) berasal dari pengarang Jawa kuno itu. Terjemahan
modern dalam bahasa Indonesia adalah “Persatuan dalam Keberagaman” (Unity in Diversity),
yang telah ditetapkan sebagai sasanti dan motto nasional resmi negara ini.
Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat
menghormatinya. Berikut ini adalah kutipan terjemahan dari Kakawin Sutasoma karya Tantular
di dalamnya ungkapan Bhinnêka itu ditemukan, yaitu dalam canto 139 bait 5:
Disebutkan bahwa Budha yang kesohor dan Syiwa adalah dua hakekat yang berbeda.
Memang berbeda, tetapi mana mungkin untuk mengenal perbedaannya sambil lalu, karena
kebenaran Jina (Budha) dan kebenaran Syiwa adalah tunggal. Benar keduanya berbeda, tetapi
sama jenisnya, sebagaimana tidak ada dualitas dalam Kebenaran (Dharma).
Bait terakhir ini adalah terjemahan dari ungkapan bahasa Jawa kuno yang berbunyi:
“Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Lih. Soewito Santoso, Sutasoma, a Study in
Old Javanese Wajrayana. New Delhi: International Academy of Culture, 1975, hlm. 578).
Doktrin Kebenaran Tunggal membuka pintu lebar-lebar bagi orang untuk memahami dan
melihat masing-masing agama dari sisi dan perspektif yang berbeda. Hal ini hanya mungkin jika
orang punya minda dan hati yang terbuka untuk berbagi dengan orang lain. Sikap mau
memonopoli kebenaran adalah hambatan nyata untuk berbagi dengan berbagai aliran keagamaan
yang ada. Peperangan yang meledak antara pemeluk agama harus dilihat dari sisi sikap yang mau
menang sendiri ini.
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/220/kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-i
Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme di Indonesia (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dan, situasi akan semakin memburuk serta berbahaya pada saat politisi
menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pragmatisnya sendiri. Selama sikap semacam ini
berlanjut di kalangan mereka yang juga menyebut dirinya sebagai pemeluk agama, tidak ada
harapan bahwa perdamaian akan terwujud. Dengan frasa Bhinneka Tunggal Ika, Mpu Tantular
sebenarnya ingin menyaksikan bahwa antara penganut Hindu (khususnya Syiwa) dan penganut
Buddha dapat membina hidup bersama dengan damai dan serasi dalam kerajaan itu.
Bilamana pada akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, bukanlah disebabkan oleh konflik
agama antara penganut Hindu dan penganut Buddha, melainkan menurut catatan sarjana Prancis
Coedes karena sebab-sebab berikut. Pertama, munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dan
sebuah awal penyebaran Islam.
Kedua, pecahnya perang suksesi di kalangan elite puncak Majapahit. Dan, ketiga, adanya
upaya Cina di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo untuk mengambil alih posisi Jawa sebagai yang
dipertuan di nusantara dan di semenanjung. (Lih. G Coedes, The Indianized States of Southeast
Asia, ed Oleh Walter F Vella, terj. Oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center
Press, 1968, hlm 241). Sekalipun Kerajaan Majapahit telah masuk ke museum sejarah, Bhinneka
Tunggal Ika rumusan Mpu Tantular bertahan sampai hari ini di Indonesia, sebagaimana telah
disebut di atas. Tidak ada masalah dalam menerima ciptaan sastrawan Buddha ini.
Kenyataannya, seluruh rakyat Indonesia telah menerima sasanti Bhinneka Tunggal Ika
sebagai warisan sejarahnya sendiri, sesuatu yang amat penting bagi pengembangan iklim
kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di negeri ini. Kemudian, kita tengok pula
kehadiran Islam dan agama Kristen di kepulauan ini beberapa abad silam. Saat kedatangan kedua
agama ini, akar-akar sosiokultural Hindu-Buddha masih sangat kuat, dan bahkan perilaku rakyat
umum masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kosmopolitan asal India ini.
Diperlukan waktu beberapa abad bagi Islam dan Kristen untuk menggantikan posisi
dominan Hinduisme dan Buddhisme di nusantara. Islam, khususnya, sejak abad ke-17, telah
tampil sebagai agama yang sangat berpengaruh di kawasan ini. Keberhasilan besarnya bukan
diraih melalui peperangan, melainkan “melalui perembesan damai, toleran, dan bersifat
membangun” (penetration pacifique, tolerant, et constructive), sebagai disimpulkan oleh
Yosselin de Yong.
Berdasarkan gejala sosial ini, watak utama Islam Indonesia dengan sendirinya bersifat
damai dan toleran, sampai suatu ketika belum lama ini muncul kelompok sempalan kecil dengan
topangan ideologi radikal dari luar negeri sebagai filsafat politik yang dianutnya untuk
melakukan tindakan-tindakan brutal dan kejam. Dalam kasus semacam ini, agama pastilah
merupakan bahaya dan kutukan bagi kehidupan manusia. Kemudian, kita lihat pula agama
Kristen dan persandingannya dengan Islam dalam masalah toleransi dan perdamaian. Dengan
mengesampingkan sisi imperialistik dari penganut Kristen Eropa, agama Kristen sendiri adalah
agama perdamaian, toleransi, dan harmoni.
Pernyataan Yesus dalam Bibel berikut ini, “Anda telah dengar dan dikatakan bahwa
Kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu. Tetapi aku katakan kepadamu,
Cintailah musuhmu, sayangilah orang yang mengutukmu, berbuat baiklah kepada orang yang
membencimu, dan doakanlah mereka yang memanfaatkanmu dengan dengki dan yang
menganiayamu.” (Matteus 5:43-44) adalah salah satu bukti teologis bahwa agama Kristen pada
dasarnya adalah sebuah agama kasih dan damai.
Sama halnya dengan Islam. Islam menurut definisi berarti damai dan sikap penyerahan
diri secara total kepada Tuhan. Alquran sebagai sumber utama Islam dalam sebuah ayat
menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS al-Baqarah [2]: 256). Sepanjang
pengetahuan saya, tidak ada satu pun Kitab Suci sepanjang sejarah peradaban manusia yang
demikian gamblang membela prinsip kebebasan beragama.
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/222/kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-
di-indonesia-ii
Kapan Bangsa Ini Dewasa?
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun embrio pembentukan keindonesian dapat dilacak sejak abad ke-5 M dengan
munculnya kerajaan-kerajaan Hindu di Kutai Kertanegara atau Tarumanegara di Jawa Barat,
proses riil yang didukung oleh fakta sejarah baru terjadi pada 1920-an. Dipelopori oleh PI
(Perhimpunan Indonesia) di Negeri Belanda dan gerakan pemuda di tanahair yang berpuncak
dengan Deklarasi Sumpah Pemuda pada 1928, Indonesia sebagai bangsa menemukan
momentumnya yang strategis dan dinamis. Ungkapan seperti bangsa Jawa, bangsa Ambon,
bangsa Banjar, bangsa Minang, bangsa Bugis, bangsa Dayak, bangsa Batak, bangsa Aceh, dan
lain-lain, dengan terwujudnya Indonesia sebagai bangsa, maka bangsa-bangsa yang banyak itu
menjadi suku bangsa yang jumlahnya bisa ratusan dengan subkulturnya masing-masing yang
bertebaran di pulau-pulau yang jumlahnya sekarang sekitar 13466.
Jika patokan tahun 1920-an sebagai pembentukan keindonesiaan dapat disetujui, maka
usia bangsa ini masih belum satu abad, sedangkan Indonesia sebagai negara baru terjadi pada 17
Agustus 1945, saat proklamasi kemerdekaan disampaikan ke seluruh pojok dunia. Alangkah
dahsyatnya gema proklamasi itu, bangsa yang sebelumnya terjajah, tiba-tiba berubah menjadi
bangsa merdeka. Peta dunia berubah dengan drastis. Indonesia yang sebelumnya bernama Hindia
Timur Belanda, kini tampil sebagai Indonesia yang berdaulat penuh sejajar dengan mantan
penjajahnya. Rakyat Indonesia berpesta pora sebagai tanda syukur atas karunia Allah ini,
sedangkan Belanda dengan ambisi kolonialnya yang masih menggebu harus meratap akibat
kehilangan tanah jajahannya yang cantik molek ini yang selama tiga setengah tahun berada di
bawah pendudukan Jepang.
Sebuah bangsa yang belum berumur satu abad, sekalipun secara kultural memang belum
stabil betul, tidak ada alasan bagi kita terus cengengesan (seperti prilaku bocah). Jika tonggak
kedewasaan bangsa ini tercermin dalam Pemilu 1955 yang aman, damai, adil, dan jujur,
sekalipun baru merdeka 10 tahun, maka sekarang terasa kita mengalami kemunduran dalam cara
kita mengurus bangsa dan negara ini. Di ranah politik kemunduran itu terbaca dalam prilaku
politisi yang belum juga naik kelas ke posisi negarawan, sebagai berulang saya tulis dalam
Resonansi ini.
Sepinya para negarawan ini adalah bencana bagi Indonesia, karena tujuan kemerdekaan
berupa tegaknya keadilan dan terwujudnya kemakmuran bersama masih jauh berada di ujung
lorong sana. Amat sedikit politisi yang berfikir jauh ke depan. Lorong itu cukup panjang untuk
dilalui, sementara para pemimpin formal seperti telah kehilangan kepekaan tentang tujuan
kemerdekaan bangsa itu. Tengoklah sudah berapa mantan menteri, gubernur, bupati/wali kota,
anggota DPR/DPRD yang telah manjadi pasien KPK karena prilaku korup mereka. Korupsi yang
semakin memiskinkan rakyat banyak itu adalah musuh utama dari cita-cita luhur kemerdekaan.
Aneh bin ajaib, proses pelemahan KPK sebagai salah satu anak kandung gerakan
reformasi oleh negara, polri, dan DPR sugguh sangat melukai perasaan publik yang terkesan
bahwa korupsi yang masif itu bukan lagi musuh bersama. Terkait rapat dengan budaya korup ini,
mafia migas, mafia pertambangan, mafia hukum, mafia rekrutmen apparat negara dan PNS
(Pegawai Negeri Sipil), mafia STNK, dan mafia pada banyak sektor yang lain sampai hari ini
belum juga surut. Entah berapa ribu triliun pundi-pundi negara digarong oleh perbuatan hitam
mafia ini. Pusat-pusat korupsi ada di kementerian, DPR, parpol, BUMN/BUMD, dan pada
banyak lembaga. Semua fenomena ini adalah bukti kongkret bahwa bangsa ini secara moral tidak
dewasa, jika parameter kedewasaan itu ditandai oleh rasa tanggung jawab yang besar terhadap
kepentingan publik yang masih saja terbiar.
Pada 17 Agustus 2015 bulan depan, usia kemerdekaan bangsa ini akan genap 70 tahun,
sebuah usia yang semestinya semakin matang dalam cara kita mengurus dan membela bangsa
dan negara ini. Keteledoran kita dalam menangani persoalan bangsa ini hanyalah akan
memperpanjang derita mereka yang belum juga merasakan makna kemerdekaan bagi nasib
mereka yang belum kunjung membaik. Momentum hari kemerdekaan adalah saat yang tepat
untuk mempertajam kepekaan nurani kita terhadap nasib sesama anak bangsa yang masih saja
berada di pinggir perhatian. Fenomena cengengesan adalah pertanda ketidakdewasaan itu.
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/212/kapan-bangsa-ini-dewasa
Moral Bangsa dalam Situasi SOS
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
SOS singkatan dari save our souls, save our ship, send out succour (selamatkan jiwa
kami, selamatkan kapal kami, kirimlah bala bantuan) pertama kali dipakai oleh pemerintah
Jerman dalam regulasi radio yang mulai efektif 1 April 1905. Pada 3 Nop. 1906 ditandatangani
sebagai standar yang diikuti oleh banyak negara di bawah Konvensi Radiotelegrafik
Internasional yang efektif pada 1 Juli 1908. SOS masih tetap menjadi tanda bahaya radio maritim
sampai tahun 1999, saat digantikan oleh Tanda Bahaya Maritim Global dan Sistem
Penyelamatan (the Global Maritime Distress and Safely System). Tetapi SOS masih tetap saja
diakui sebagai sinyal tanda bahaya kasat mata sampai hari ini. Nah, bagaimana dengan moral
bangsa yang berada dalam situasi SOS yang terlihat di berbagai ranah kehidupan?
Definisi mana pun yang anda gunakan, SOS adalah tanda bahaya yang dapat dilihat oleh
kasat mata dalam kehidupan bangsa ini. Yang paling gaduh sekarang ini adalah ancaman beras
plastik yang merebak di berbagai daerah. Tega-teganya pedagang menjual beras yang
mengandung bahaya itu kepada pembeli. Karena redupnya pertimbangan moral demi meraut
keuntungan sesaat, maka nyawa manusia sudah dianggap ringan. Itu baru beras sintetik yang
ketahuan dalam beberapa hari ini. Jika bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang sudah merenggut
nyawa ribuan anak bangsa saban hari plus korupsi yang belum tampak titik ujung
pemberantasannya, maka tingkat SOS bagi bangsa ini sudah hampir berada pada stadium
keempat jika ditengok dari sisi moral dan kesehatan.
Di tengah suasana moral yang sedang oleng itu, kebanyakan politisi kita tidak mau hirau
dengan bahaya itu semua. Saya ragu apakah mereka itu sempat memikirkan nasib bangsa ini
secara sungguh-sungguh dengan pandangan yang jauh ke depan. Perhatian mereka tampaknya
tetap saja terpaku dan terpukau oleh rencana Pemilukada akhir tahun ini. Ancang-ancang
langkah politik terpusat kepada pemilu yang dibiayai oleh APBN/APBD dengan pengeluaran
negara ratusan bahkan bisa mencapai ribuan miliar. Alangkah mahalnya ongkos pelaksanaan
demokrasi di negeri ini dengan hasil yang nyaris tidak ada kaitannya dengan tingkat
kesejahteraan rakyat. Orang boleh berdalih, demokrasi jilid II kita baru dimulai sejak era
reformasi, masih memerlukan waktu agar lebih matang dan berdaya guna untuk mendekati
tujuan kemerdekaan. Tidak salah cara berfikir yang semacam itu, tetapi proses kematangannya
bisa dipercepat sekiranya para politisi mau naik kelas menjadi negarawan. Kesediaan untuk naik
kelas itulah yang belum tampak tanda-tandanya sampai hari ini.
Benar bahwa gerakan reformasilah yang membuka kembali kran demokrasi setelah
menghilang sejak 1959, tetapi jika kita buka dokumen sejarah pergerakan kebangsaan kita,
nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari cita-cita demokrasi. Sebentar lagi usia negara ini akan
mencapai 70 tahun, mengapa demokrasi Indonesia masih berjalan tertatih-tatih? Saya tidak
setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa untuk menciptakan sebuah demokrasi yang
sehat dan kuat memerlukan waktu berabad-abad. Jika kita ikuti pendapat Bung Hatta, syarat bagi
demokrasi yang sehat itu sebenarnya tidak rumit amat, yaitu adanya rasa tanggung jawab dan
berlapang dada menghadapi perbedaan.
Yang saya cemaskan adalah di tengah-tengah suasana moral yang sudah berada pada
tingkat SOS itu, demokrasi kita semakin tidak jelas arahnya. Begitu gampangnya elite parpol
berpecah-belah tanpa alasan yang mendasar. Jika dulu pertentangan antara Tan Malaka dengan
lawan-lawan politiknya dalam PKI dapat difahami. Tan Malaka menentang pemberontakan
komunis 1926/27 itu, karena syarat-syaratnya untuk berhasil adalah nol. Bagi Tan Malaka
pemberontakan itu sama saja dengan bunuh diri. Dan perkiraan Tan Malaka sepenuhnya
didukung kenyataan sejarah: PKI berantakan. Cobalah bandingkan dengan perpecahan partai
yang berlaku sekarang ini, pasti tidak lepas dari hitung-hitungan politik jangka pendek. Tidak
ada ideologi yang mendasarinya. Yang ada pastilah pragmatisme politik tunamoral.
Akhirnya, ada pertanyaan kunci yang tidak dapat saya jawab: mengapa agama dan
Pancasila gagal memperbaiki moral bangsa ini? Antahlah yuang!
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/195/moral-bangsa-dalam-situasi-sos
Quo Vadis Peradaban Islam? (I)Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Titik-titik genting dalam perjalanan peradaban Islam telah terjadi ratusan kali selama masa yang
panjang. “Resonansi” kali ini tidak akan mengulas tentang hal itu, tetapi akan membicarakan masalah
yang tidak kurang gentingnya dalam bentuk pertanyaan: Quo vadis (hendak ke mana) peradaban Islam?
Jika ukuran yang dipakai adalah kemegahan duniawi yang ditopang oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin dahsyat dari masa ke masa, maka tanpa wahyu pun manusia
bisa mewujudkan sebuah peradaban yang tinggi dan berwibawa. Lihatlah apa yang sedang berlaku di
Barat, Jepang, dan Korea yang membangun peradaban duniawi tanpa hirau dengan wahyu.
Ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan dari pernyataan kalimat kedua “Resonansi” ini.
Dunia Islam yang “mengaku” percaya kepada wahyu sebagai fondasi dan jangkar spiritual bagi bangunan
peradaban malah tersingkir dalam ketidakberdayaan dan putus asa. Munculnya fenomena ISIS dan Boko
Haram yang berkoar-koar atas nama wahyu dan menggoda sebagian anak muda yang frustrasi adalah
bentuk ekstrem dari ketidakberdayaan dan kehilangan orientasi masa depan itu.
Jangan salahkan kaum Zionis yang bersorak-sorai menonton pertunjukan manusia Muslim yang
kehilangan arah ini. Semakin rapuh dunia Islam, semakin kuat posisi zionisme, sekalipun ideologi ini
adalah rasialis yang antikemanusiaan. Didukung dengan dolar dan senjata oleh Amerika Serikat, Israel
Zionis sebenarnya adalah kanker politik di kawasan Asia Barat Daya dan Afrika Utara.
Ajaibnya, bangsa-bangsa Muslim yang sering bersengketa di kawasan itu tidak malu-malu
berkawan dengan negara kanker ini. Iran dan Arab Saudi yang sedang berebut hegemoni di sana secara
bergantian telah dan sedang melakukan perkawanan akrobatik itu demi pragmatisme politik jangka
pendek untuk keuntungan sesaat. Fenomena serupa ini berkali-kali berlaku dalam berbagai periode
sejarah Islam, tetapi diulangi lagi dan lagi.
Adapun bayangan kelumpuhan masa depan akibat pragmatisme itu tidak lagi singgah di benak
para elite Muslim di kawasan itu dan bahkan juga terlihat di berbagai belahan dunia yang lain. Sungguh
sulit menyadarkan elite umat ini tentang bahaya prilaku sesat ini.
Para ulama pun sibuk dengan ajaran-ajaran normatif yang tergantung tinggi di langit, sedangkan
massa Muslim yang berserakan terkapar di muka bumi. Mereka kehilangan kompas dan sebagian besar
hidup dalam lautan kemiskinan dan kesengsaraan. Pesan keras Alquran berupa, “Agar harta itu tidak
hanya berputar di kalangan hartawan di antara kamu,” (surat al-Hasyr ayat 7) sudah dianggap angin lalu
saja oleh bangsa-bangsa kaya di kalangan umat Islam yang suka sekali bersengketa.
Jika kita bertanya kepada Alquran tentang perilaku Muslim yang merasa benar di jalan yang sesat
ini, jawaban yang akan diberikan mungkin sebagai berikut. “Dan janganlah kamu bertingkai-pangkai
(bermusuhan satu sama lain) karena kamu akan menjadi lemah dan kekuatanmu akan sirna,” (terjemahan
sebagian ayat 46 surat al-Anfal). Kerapuhan internal inilah sebagai penyebab utama mengapa bangsa-
bangsa Muslim menjadi mainan pihak lain. Peringatan Alquran ini sangat jelas tanpa perlu penafsiran
yang berliku: tinggalkan sengketa karena ujungnya adalah kelumpuhan lahir batin atau menjadi keok
dalam perlombaan peradaban.
Peringatan lain kepada orang beriman yang tidak kurang kerasnya terbaca dalam ayat 105 surat
Ali Imran yang artinya, “Dan janganlah kamu (orang beriman) seperti mereka yang telah berpecah-belah
dan bersilang-sengketa sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Dan bagi mereka siksa
yang dahsyat.” Persis apa yang sedang berlaku sekarang di dunia Islam berupa perpecahan dan sengketa
yang tak habis-habisnya atas nama nasionalisme atau atas nama apa saja yang tidak ada harganya di mata
Alquran.
Akibatnya dijelaskan oleh ayat: perpecahan dan sengketa di kalangan umat beriman pasti
mengundang siksa yang dahsyat. Semoga kita belum sampai di situ! Peradaban Islam memang sedang
berada dalam suasana letih, sementara aktor-aktornya punya hobi menari di atas mayat temannya sendiri.
Alangkah kumuh dan nistanya pertunjukan semacam ini.
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/188/quo-vadis-peradaban-islam-i
Quo Vadis Peradaban Islam? (II)Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Jika kita perhatikan menusia beriman yang tawaf mengelilingi Kabah sepanjang jam, siang malam tanpa
henti, sepanjang tahun, batin kita merasa bahagia betapa damainya umat Islam yang datang dari berbagai
bangsa dan kawasan itu. Tetapi, tuan dan puan kemudian harus mengelus dada bahwa perdamaian itu
hanya berlaku saat berada di dekat Kabah.
Setelah pulang ke tanah air masing-masing, umat yang tawaf itu kembali lagi dimainkan oleh para elite
bangsanya masing-masing. Sentuhan Kabah sebagai pusat spiritual dunia Islam sirna begitu saja, sikap
khusyuk ketika tawaf mengitari Kabah hilang tak berbekas setelah kembali ke lingkungan kultur masing-
masing yang telah tercemar. Maka, quo vadis peradaban Islam?
Lalu, apa jalan keluarnya? Resepnya sederhana saja. Pertama, tinggalkan dan tanggalkan atribut-atribut
ciptaan sejarah sebagai buah dari perebutan kekuasaan di kalangan Muslim Arab klasik yang melahirkan
sunnisme, syiisme, kharijisme, dan cicit-cititnya yang telah berkubang dalam sengketa dan perpecahan
pada bilangan kurun yang panjang.
Kedua, ajarkan pesan dua ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada kepada anak didik tingkat dasar dan
menengah bahwa persengketaan dan perpecahan di kalangan orang beriman adalah pengkhianatan
terhadap Alquran. Bagi saya, sunnisme, syiisme, dan kharijisme sebagai produk politik kekuasaan harus
ditumbangkan, diganti dengan sebuah Islam yang setia kepada Alquran dan kepada kenabian: Islam yang
sejati. Jika otak kita bersih dan hati kita bening, saya tidak melihat kesulitan apa pun untuk melangkah ke
jurusan yang benar itu.
Tanpa terciptanya sikap radikal dan revolusioner semacam ini, peradaban Islam yang adil dan asri yang
sering diimpikan dan diwacanakan itu sebagai antitesis terhadap peradaban sekuler dan ateistik yang
menyesakkan napas sekarang ini tidak akan pernah turun ke bumi kenyataan. Atau kita mohon saja
kepada Allah agar generasi kita yang gagal ini diganti dengan generasi lain yang tidak bahlul seperti kita.
Bukan mengada-ada kemungkinan ganti generasi ini. Alquran memberi isyarat untuk itu, seperti terbaca
pada potongan ayat 38 dalam surat Muhammad (47) yang artinya, “Dan jika kamu berpaling, Allah akan
menggantikan kamu dengan kaum yang lain selain kamu, kemudian mereka tidak seperti kamu (yang
gagal).”
Isyarat semacam ini semestinya menjadi cambuk bagi kita yang hidup sekarang ini untuk mengoreksi diri
secara jujur, terbuka, dan tulus. Dengan cara ini kita akan menjadi sadar bahwa kelakuan menyimpang
atas nama golongan, mazhab, dan aliran yang merusak persaudaraan kita selama ini harus diluruskan dan
dibetulkan secara berani dengan menjadikan Alquran sebagai hakim tertinggi. Buang jauh-jauh
subjektivisme latar belakang yang memicu sengketa, permusuhan, dan gesekan sesama kita sekian ratus
tahun yang tidak lain selain berawal dari kultur rebut kuasa duniawi.
Kemungkinan membangun peradaban bersendikan wahyu sangat terbuka. Manusia modern yang tengah
putus tali jangkar transendentalnya tidak semakin bahagia. Bahkan sedang bergerak ke arah hari-kiri yang
mencemaskan. Kearifan global telah lama sirna. Manusia sebagai homo sapiens belum kunjung muncul di
kalangan orang yang mengaku beragama ataupun yang tidak beragama.
AJ Toynbee dengan sangat menarik menulis tentang sosok homo sapiens ini. “Kita telah memilih label
untuk jenis kita, bukan homo faber, manusia si teknisi, tetapi homo sapiens, manusia si bijak. Kita belum
layak menyandang gelar kehormatan homo sapiens itu. Sebegitu jauh, kearifan yang kita tunjukkan dalam
mengawasi diri kita dan dalam mengatur hubungan antara satu sama lain, sedikit sekali. Sekiranya kita
berhasil bertahan hidup bersama revolusi teknologi sekarang ini, pada akhirnya bolehlah kita menjadi
homo sapiens dalam hakikat dan dalam nama.” (Lihat AJ Toynbee, Surviving the Future. New York-
London: Oxford University Press, 1973, halaman 44).
Sejarawan Inggris ini bersikap skeptik dengan arus modernitas yang dangkal dan sepi dari dimensi
spiritualitas. Modernitas, tulis yang lain, telah menindas gagasan besar tentang Tuhan selama ratusan
tahun. (Redaksinya tidak persis, tetapi kandungannya sama). Pertanyaannya adalah, kapan lagi umat yang
mengaku beriman dan berimam kepada nabi dan rasul yang bertugas menebarkan “rahmat bagi alam
semesta” (QS surat al-Anbiya: 107) mau bangkit dari tidur nyenyaknya selama sekian abad?
Tipe manusia homo sapiens semestinya lahir dari rahim mereka yang punya klaim serbabesar dan dahsyat
dalam sejarah. Pertanyaan quo vadis peradaban Islam harus diganti dengan pernyataan: ini kami datang
dengan peradaban baru yang segar dan adil buat semua, di dalamnya bumi dan langit telah berdamai
dalam sebuah keseimbangan yang rapi dan elok. Allahu alam.
Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/189/quo-vadis-peradaban-islam-ii