kurniawan agung yasin
DESCRIPTION
sfserweTRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SELAKU PEJABAT UMUM
PEMBUAT AKTA OTENTIK
LEGAL PROTECTION ON NOTARIES/OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING LAND CERTIFICATES AS PUBLIC
OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING AUTHENTIC CERTIFICATES
Kurniawan Agung Yasin, Muhadar, Marwati RizaProgram Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:Kurniawan Agung YasinPerumahan Bukit Manusela No. 23 [email protected]
ABSTRAKNotaris adalah salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengkaji, menganalisis dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap seorang Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan sejauh mana tanggung jawan Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris. Dimana dilakukan penelitian dilapangan untuk mendapatkan data primer. Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data kepustakaan atau penelaahan terhadap literatur atau bahan pustaka. Bahan pustaka ini meliputi peraturan perundang-undangan, literatur, berkas perkara dan pendapat ahli hukum. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap Notaris/PPAT dilakukan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan I.N.I. Selain melakukan pengawasan, kedua organisasi ini memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran sekaligus memberikan sanksi apabila Notaris terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi yang diberikan kepada Notaris adalah sanksi perdata dan administratif. Namun tidak jarang Notaris dilaporkan secara pidana atas pelanggaran yang sebenarnya dalam UU-JN bila Notaris melakukannya dikenakan sanksi perdata atau sanksi administratif. Dalam pembuatan sebuah akta, ada tanggung jawab yang diemban oleh seorang notaris. Tanggung jawab ini menilai sampai sejauh mana notaris bertanggung jawab terhadap akta. Tanggung jawab Notaris terdiri dari tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif atau tanggung jawab menurut UU-JN dan tanggung jawab pidana. Tanggung jawab perdata dan administratif sudah jelas diatur dalam UU-JN, sedangkan tanggung jawab pidana tidak diatur dalam UU-JN. Atas kekurangtahuan penegak hukum tentang dunia kenotariatan, sering kali terjadi Notaris dijadikan tersangka dengan tuduhan yang bukan menjadi tanggung jawab Notaris melainkan kesalahan tersebut justru kesalahan atau tanggung jawab para pihak.
Kata kunci: Pengawasan, Tanggung jawab dan Sanksi.
Abstract
Notary public is an official who is authorized to make authentic act. This study aims to investigate, analyse and find out the form of legal protection against a Notary / Land Deed Official (PPAT) and the extent to which responsibility jawan Notary / PPAT in deed otentik.Metode used in this research is an empirical law juridical . Where do field research to obtain primary data. Types and sources of data used in the primary data is data obtained directly from the source and secondary data is data obtained from literature data or a review of the literature or library materials. This library materials include legislation, literature, case files and legal expert opinion. The data have been obtained and analyzed using qualitative methods. The results showed that the legal protection of the Notary / PPAT done in the form of surveillance conducted by the Supervisory Council and the Board of Honorary THIS Notary In addition to monitoring, the two organizations have the authority to conduct an examination of the notary who allegedly committed an offense while providing Notary sanctions proved to have violated. Sanction given to the notary is civil and administrative sanctions. But not infrequently the Notary reported criminal offenses in the Act-JN actually Notary do when sanctioned civil or administrative sanctions. In the making of a deed, no responsibility is assumed by a notary. The responsibility of assessing the extent to which the notary responsible for the deed. Notary responsibilities consist of civil liability, administrative liability or responsibility under the Act-JN and criminal responsibility. Civil and administrative responsibilities are clearly set out in the Act-JN, whereas criminal responsibility is not regulated in the Law-JN. Due to lack of knowledge among top law enforcement about the world notaries, notary often occurs as a suspect on charges that are not the responsibility of the notary but the error is actually the fault or responsibility of the parties.
Keywords: Supervision, Responsibility and Sanction.
PENDAHULUAN
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Sebagian besar Notaris juga berprofesi sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengertian pejabat umum yang diemban oleh seorang
Notaris/PPAT bukan berarti Notaris/PPAT adalah pegawai negeri. Dimana pegawai negeri
merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun yang digaji oleh pemerintah.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, untuk selanjutnya cukup disingkat UU-JN, maka sangat jelas
bahwa Notaris adalah salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.
Untuk seorang PPAT, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998
Pasal 1 ayat (1) ,Notaris/PPAT selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik, memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor dalam
kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari seorang
Notaris/PPAT. Bahkan beberapa ketentuan perundang-undangan mengharuskan suatu
transaksi atau kegiatan dibuat dengan akta Notaris/PPAT. Yang artinya jika tidak dibuat
dengan akta Notaris/PPAT maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum. Hal tersebut untuk memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi
masyarakat.
Dalam UU-JN bentuk-bentuk perlindungan hukum dapat kita lihat pada Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e mengenai sumpah jabatan Notaris. dimana dalam kedua
Pasal tersebut dijelaskan bahwa Notaris berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan akta
maupun keterangan-keterangan yang berkaitan dengan akta tersebut. Selain kedua Pasal
tersebut ada juga Pasal 66 yang mengatur tentang tata cara pemanggilan Notaris untuk
dimintai keteranggannya dalam proses Perdata maupun Pidana dan penyitaan Minuta akta.
Berkaitan dengan Pasal 66 UU-JN, berkaitan erat dengan keberadaan Majelis Pengawas
Notaris. dimana Majelis Pengawas Notaris merupakan instansi yang bertugas untuk
mengawasi, memeriksa dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. pengawasan yang
dilakukan oleh Majelis Pengawas merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum dengan
cara preventif.
Telah dijelaskan dalam UU-JN bahwa untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris
maka diberikan kewajiban dan kewenangan kepada Menteri yang diteruskan kepada Majelis
Pengawas Notaris untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris dalam
melaksanakan pekerjaannya merupakan sesuatu hal yang positif. Sehingga diharapkan
aktifitas masyarakat yang berhubungan dengan Notaris/PPAT dapat berjalan dengan baik.
Selain diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris, Notaris juga diawasi oleh pengurus dan
dewan kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Sama seperti Majelis Pengawas Notaris,
Dewan kehormatan juga terdiri dari Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan
Wilayah, dan Dewan Kehormatan Pusat. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan
Kehormatan dikhususkan pada pelanggaran yang berkaitan dengan Kode Etik Notaris.
Demi kelancaran proses penyidikan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ikatan
Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta tanah (IPPAT) sejak tahun 2006
telah melakukan kerjasama tentang pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan Notaris/PPAT.
Bentuk kerjasama tersebut tertuang dalam nota kesepahaman antara Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia yaitu Nomor. Pol:B/1056/V/2006 dan
Nomor 01/MOU/PP-INI/V/2006 tanggal 9 Mei 2006, nota kesepahaman antara Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor Pol:
B/1055/V/2006 dan nomor 05/PP-IPPAT/V/2006 tanggal 9 Mei 2006 tentang Pembinaan Dan
Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum.
Dalam perkara pidana yang saya temukan, seorang Notaris/PPAT dijadikan tersangka
dengan tuduhan menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Laporan Polisi, 2008).
Yang dimaksud menempatkan keterangan palsu adalah identitas yang dibawa pada saat
pembuat akta bukan identitas mereka yang datang pada saat pembuatan akta tersebut,
melainkan identitas orang lain. Oleh penyidik, Notaris/PPAT dinilai memasukkan keterangan
palsu kedalam akta otentik. Hal seperti ini menandakan dunia Notaris/PPAT belum begitu
dipahami oleh beberapa pihak. Sehingga seringkali terjadi hal-hal seperti ini. Dimana seorang
Notaris/PPAT dianggap sebagai pihak dan harus bertanggungjawab atas kesalahan yang
bukan menjadi tanggung jawabnya.Untuk itu, yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah
Bagaimana bentuk Perlindungan hukum terhadap Notaris/PPAT dan sampai dimana tanggung
jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan ini di dasari
atas pertimbangan penulis mendapatkan kasus hukum yang melibatkan Notaris/PPAT pada
daerah ini. Sebenarnya kasus-kasus serupa banyak penulis jumpai di daerah lain. Untuk
menunjang dan melengkapi data, maka dilakukan penelitian yuridis normatif, artinya fakta-
fakta di lapangan dikaitkan dengan asas-asas hukum, sistem hukum dan kaedah-kaedah hukum
untuk memperoleh data sekunder.
Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Notaris dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan. Yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlibat masalah
tindak pidana. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Non Random
Sampling. Dimana teknik Non Random Sampling ini tidak memberikan kesempatan kepada
Notaris/PPAT dalam populasi untuk dipilih menjadi sampel. Melainkan penulis yang memilih
Notaris/PPAT dalam populasi untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua
bagian, yaitu Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari sumber pertama (Amiruddin
dkk., 2010). Data primer ini diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung di lokasi
penelitian yang bersumber dari responden yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.Data
sekunder yakni data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hokum (Fajar dkk., 2010).
Teknik Pengumpulan Data
Setelah responden ditetapkan dalam penelitian ini, selanjutnya ditetapkan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara : Wawancara (interview), yaitu suatu bentuk
komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara
tidak sekedar percakapan biasa, wawancara ini dilakukan dengan cara mendatangi responden
kemudian dilakukan tanya jawab secara langsung dengan responden. Dokumentasi, yakni
digunakan dalam memperoleh bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan
berbagai peraturan perundang-undangan, literatur, berkas perkara dan pendapat ahli hukum
yang relevan.
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data sekunder dan
data primer kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Dengan metode ini diharapkan
dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh dan jelas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap
Notaris/PPAT Selaku Pejabat Umum Pembuat Akta Otentik serta permasalahan-permasalahan
yang berkaitan secara komprehensif.
HASIL
Pelindungan Hukum terhadap Notaris/PPAT selaku Pejabat Umum
Notaris/PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta
otentik. Seorang Notaris/PPAT dipandang sebagai sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat
dalam membuat akta sebagai bukti perbuatan hukum yang akan mereka lakukan. Hal ini
disebabkan karena apa yang ditulis oleh seorang Notaris/PPAT dalam sebuah akta harus bisa
memberikan kepastian hukum, digunakan sebagai alat bukti dan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang ada dalam akta tersebut.
Notaris/PPAT selaku pejabat umum pembuat akta otentik dalam melakukan
pekerjaannya sehari-hari dipenuhi dengan berbagai resiko. Sehingga Perlindungan hukum
kepada Notaris/PPAT merupakan sebuah hal yang wajar guna memberikan rasa aman bagi
seorang Notaris/PPAT.Bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris tersebut dilakukan baik
secara preventif maupun represif. Upaya hukum preventif disini bersifat pencegahan.
Mencegah agar hak seorang Notaris/PPAT tidak dilanggar. Ini berarti upaya hukum
pencegahan dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran hukum. Apabila pelanggaran hukum
telah terjadi, upaya hukum disini bukan lagi bersifat preventif atau pencegahan melainkan
bersifat represif.
Perlindungan Hukum terhadap Notaris secara preventif diantaranya adalah ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam UU-JN maupun kode etik Notaris, pengawasan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas Daerah dan Pengawasan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris
Indonesia (INI). Sedangkan secara represif dapat berupa teguran dan sanksi dari Majelis
Pengawas Notaris maupun teguran dan sanksi dari Dewan Kehormatan INI.
Bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris yang terdapat dalam UU-JN adalah
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU-JN mengenai sumpah/janji Notaris. isi dari sumpah janji
tersebut diantaranya menyebutkan “....bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”. Selain ketentuan dari Pasal 2 tersebut,
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa “....dalam menjalankan jabatannya, Notaris
berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
undang-undang menentukan lain”.
Ketentuan dari Pasal 66 UU-JN ini bagi pihak Notaris merupakan salah satu bentuk
perlindungan hukum bagi profesi notaris, namun bagi masyarakat umum, penyidik, penuntut
umum atau hakim pasal ini dinilai bisa menjadi penghalang dalam melakukan proses
penyidikan. Hal inilah yang mendasari Kant Kamal untuk mengajukan permohonan pada
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi terhadap Pasal 66 UU-JN.
Pelayanan yang diberikan Notaris/PPAT kepada masyarakat bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum melalui akta yang dibuat dihadapan atau
olehnya. Dengan demikian, perlu adanya pengawasan terhadap pekerjaan seorang
Notaris/PPAT. Hal ini bertujuan agar apa yang dilakukan oleh Notaris/PPAT sesuai dengan
aturan hukum mengenai tugas dan wewenangnya sebagai pejabat umum sehingga terhindar
dari penyalahgunaan wewenang.
Pengawasan ini juga bertujuan untuk memastikan segala hak, kewenangan serta
kewajiban yang diberikan kepada Notaris/PPAT senantiasa dilakukan sesuai peraturan-
peraturan yang telah ditentukan dan juga sesuai moral dan kode etik Notaris/PPAT demi
memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal ini didasari karena
jabatan Notaris adalah jabatan pengabdian kepada kepentingan negara dan masyarakat. Maka
pengawasan khususnya pemeriksaan kepada Notaris harus mengedepankan rasa menghargai
dan menghormati sesama perangkat Negara (Pengurus Pusat INI, 2008).
Tujuan lain dari pengawasan yang diberikan kepada seorang Notaris/PPAT adalah
untuk memberikan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas sebagai pejabat umum.
Notaris/PPAT hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam menjalankan
tugasnya. Namun perlindungan hukum disini adalah perlindungan hukum terhadap profesinya
sebagai Notaris/PPAT, bukan Notaris/PPAT secara pribadi.
Kewajiban Notaris Untuk Merahasiakan Isi Akta Maupun Keterangan Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Akta.
Sebagai pejabat umum, sebelum melaksanakan tugas jabatan Notaris/PPAT
diharuskan untuk mengucapkan sumpah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU-JN yang
menyebutkan bahwa:
“Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk”.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UU-JN menyatakan bahwa:
“dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”
Dari bunyi ketentuan dua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Notaris
wajib merahasiakan isi akta maupun keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan jabatan
kecuali pada pihak-pihak yang langsung berkepentingan dalam pembuatan akta, misalnya
ahli waris maupun penerima hak mereka, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Kewajiban ini pada dasarnya bisa berakhir apabila ada suatu kewajiban menurut
hukum. Misalnya jika seseorang yang dalam hal ini Notaris dipanggil untuk memberikan
kesaksian di pengadilan baik untuk perkara perdata maupun pidana. Akan tetapi, disisi lain
seorang Notaris masih bisa mempertahankan kewajiban untuk merahasiakan sesuai dengan
hak yang dimilikinya tersebut berdasarkan ketentuan dari Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata
maupun Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Notaris merupakan sebuah jabatan yang sangat mengedepankan asas kepercayaan,
untuk itu Notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan isi akta yang dibuatnya dan
keterangan-keterangan yang diperoleh dari para pihak pada saat pembuatan akta. Hal ini
selain karena ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 4 ayat (2) UU-JN, Pasal 16 ayat (1)
huruf e UU-JN, Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, Pasal 322 KUHP dan Pasal 1909
ayat (3) KUH Perdata juga untuk menjaga kepercayaan dari para pihak yang kerahasiaannya
dijaga oleh Notaris.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, timbul pertanyaan apakah Notaris
memang benar-benar tidak dapat memberikan keterangan baik itu dalam proses penyidikan,
penuntutan maupun dipersidangan. Notaris berada diposisi yang sulit untuk menentukan
apakah akan memberikan kesaksian atau tetap berpegang pada aturan yang berlaku yakni
merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Disatu sisi apakah
Notaris akan memberikan kesaksian dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat
umum atau Notaris akan menjaga kepentingan jabatannya.
Pengawasan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris
Pengawasan yang dilakukan terhadap Notaris merupakan salah satu bentuk
perlindungan hukum baik itu terhadap Notaris maupun terhadap masyarakat yang
mempergunakan jasa Notaris. Tujuan dilakukannya pengawasan oleh Majelis Pengawas agar
dalam menjalankan tugasnya, Notaris selalu mengikuti semua persyaratan yang berkaitan
dengan tugas.
Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dan Dewan
Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris agar dalam menjalankan
tugas jabatannya selaku pejabat umum memenuhi segala persyaratan yang berkaitan dengan
tugas jabatan Notaris seperti yang sudah diatur dalam UU-JN demi memberikan kepastian
hukum dan melindungi kepentingan masyarakat yang memerlukan jasanya.
Majelis Pengawas sendiri terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas
Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Masing-masing Majelis pengawas memiliki
kewenangan dan kewajiban tersendiri yang sudah diatur dalam UU-JN. Salah satu
kewenangan dari Majelis Pengawas Daerah adalah menyelenggarakan sidang untuk
memeriksa atas adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan
jabatan notaris (Pasal 70 poin a UU-JN). Disini dapat kita lihat adanya kesamaan wewenang
antara tugas Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan. Untuk menghindari tumpang tindih
pengawasan mengenai pelanggaran kode etik, perlu diberi batasan antara kedua instansi ini
mengenai ruang lingkup pengawasan agar tidak terjadi pengawasan yang tumpang tindih.
Pengawasan terhadap Notaris oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Pengawasan terhadap Notaris selain dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris juga
dilakukan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Dewan Kehormatan. Selain melakukan
pengawasan, Dewan Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan dari INI juga berwenang
untuk memberikan sanksi terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan organisasi INI lebih dikhususkan
terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan Kode Etik Notaris.
Sama halnya dengan Majelis Pengawas Notaris, Dewan Kehormatan juga terdiri dari
Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat.
Masing-masing Dewan Kehormatan memiliki kewenangan dan kewajiban masing-masing
yang diatur dalam kode etik Notaris.
Dewan kehormatan bertugas untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan dan
menjatuhkan sanksi terhadap pelaksanaan kode etik notaris yang meliputi kewajiban, larangan
maupun pengecualian yang harus dilakukan oleh Notaris. Selain melakukan pemeriksaan
terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, dewan kehormatan juga
berhak untuk menjatuhkan sanksi bilamana Notaris telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap kode etik notaris.
Pengawasan atas pelaksanaan kode etik yang dilakukan oleh Pengurus Daerah INI dan
Dewan kehormatan dilakukan dalam 3 tingkatan. Pada tingkat pertama pengawasan dilakukan
oleh Pengurus Daerah INI dan Dewan Kehormatan Daerah. Pada tingkat banding dilakukan
oleh Pengurus Wilayah INI dan Dewan Kehormatan Wilayah. Dan pada tingkatan yang
terakhir dilakukan oleh Pengurus Pusat INI dan Dewan Kehormatan Pusat.
Sanksi Terhadap Notaris yang terdapat dalam UU-JNSanksi merupakan instrumen yuridis yang diberikan apabila kewajiban atau larangan
yang terdapat dalam aturan hukum dilanggar. Dalam kaitannya dengan Notaris, Majelis
Pengawas Notaris memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang
terbukti melakukan pelanggaran.
Namun tidak semua Majelis Pengawas Notaris bisa menjatuhkan sanksi terhadap
Notaris. Yang berwenang untuk memberikan sanksi terhadap Notaris adalah Majelis
Pengawas Wilayah yang memberikan sanksi teguran lisan/tertulis dan Majelis Pengawas
Pusat yang memberikan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi pemberhentian sementara
ini merupakan sanksi yang diberikan kepada Notaris sambil menunggu untuk dijatuhkan
sanksi yang lain yang diusulkan oleh Majelis Pengawas Pusat ke Menteri Hukum dan HAM
seperti sanksi pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian dengan tidak hormat..
Dalam UU-JN diatur mengenai sanksi yang diberikan terhadap Notaris apabila
melanggar ketentuan/aturan yang terdapat dalam UU-JN. Dalam UU-JN ada 2 macam sanksi
yang dapat dijatuhi terhadap Notaris. sanksi tersebut adalah sanksi administratif (Pasal 85
UU-JN) dan sanksi perdata (Pasal 84 UU-JN).
Sanksi Administratif
Ketentuan dari Pasal 85 UU-JN adalah: ”pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1)
huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16
ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j,
Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58,
Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:Teguran lisan;Teguran
tertulis;Pemberhentian sementara;Pemberhentian dengan hormat; atau Pemberhentian dengan
tidak hormat.
Menurut Philipus M. Hadjon, parameter jenis sanksi administratif terdiri dari: Paksaan
pemerintahan (bestuursdwang); Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang
menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi);Pengenaan denda administratif; Pengenaan uang
paksa oleh pemerintah (dwangsom) (Sjaifurrachman dkk., 2011).
Dalam Pasal 85 UU-JN, ada 5 jenis sanksi administratif yang bisa dikenakan pada
seorang Notaris. Sanksi tersebut dikenakan secara berjenjang mulai dari teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan yang terakhir adalah
pemberhentian tidak hormat. Sanksi-sanksi administratif ini merupakan sanksi internal yang
diberikan terhadap Notaris yang dalam melaksanakan tugasnya tidak melakukan tindakan-
tindakan yang seharusnya dilakukan notaris karena sudah diatur dalam UU-JN.
Pemberian teguran lisan dan selanjutnya teguran tertulis bertujuan untuk memberikan
kesempatan pada Notaris untuk membela diri melalui banding. Sedangkan untuk sanksi
pemberhentian sementara atau skorsing dimaksudkan agar Notaris tidak melaksanakan
tugasnya untuk sementara waktu, sebelum sanksi pemberhentian dengan hormat maupun
pemberhentian tidak hormat dijatuhkan pada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian
sementara dapat berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas
jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan pemberhentian dengan hormat maupun
pemberhentian tidak hormat.
Pemberian sanksi administratif terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas.
Namun tidak semua Majelis Pengawas Notaris bisa menjatuhkan sanksi terhadap Notaris.
Yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap Notaris adalah Majelis
Pengawas Wilayah yang memberikan sanksi teguran lisan/tertulis dan Majelis Pengawas
Pusat yang memberikan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi pemberhentian sementara
ini merupakan sanksi yang diberikan kepada Notaris sambil menunggu untuk dijatuhkan
sanksi yang lain yang diusulkan oleh Majelis Pengawas Pusat ke Menteri Hukum dan HAM
seperti sanksi pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi Perdata
Mengenai sanksi perdata yang bisa dikenakan terhadap Notaris dijelaskan dalam Pasal
84 UU-JN.
Ketentuan dari Pasal 84 UU-JN adalah:
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.Dalam Pasal 84 disebutkan bahwa akta Notaris karena kesalahan Notaris bisa menjadi
akta dibawah tangan bahkan akta Notaris bisa batal demi hukum. Akibatnya, para pihak yang
menderita kerugian karena akta yang dibuat di Notaris menjadi akta dibawah tangan atau batal
demi hukum bisa menuntut penggantian biaya, ganti rugi atau bunga pada Notaris.
Sanksi Kode Etik Notaris
Dalam Pasal 83 ayat (1) UU-JN disebutkan bahwa Ikatan Notaris Indonesia (INI)
adalah Organisasi Notaris. Dalam kongres Luar Biasa yang dilakukan di bandung pada tahun
2005, INI telah menetapkan kode etik yang terdapat pada pasal 13 anggaran dasar. Kode etik
ini berlaku bagi seluruh anggota INI.
Pemberian sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang
dilakukan oleh Notaris. Sebelum dijatuhi sanksi, dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan yang
dilakukan oleh dewan kehormatan. Dewan kehormatan sendiri merupakan alat perlengkapan
dari organisasi INI yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
kode etik dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran
kode etik.
Pemeriksaan maupun pemberian sanksi terhadap Notaris oleh dewan kehormatan
dilakukan pada tiga tingkatan. Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi awalnya dilakukan pada
tingkatan pertama yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah. Yang kedua adalah
pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada Tingkat banding yang dilakukan oleh Dewan
Kehormatan Wilayah. Sedangkan tingkatan yang ketiga, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
tingkat terakhir yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Pusat. Semua putusan yang
ditetapkan oleh Dewan Kehormatan, baik itu Dewan Kehormatan Daerah, Dewan
Kehormatan Wilayah, maupun Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh pengurus INI
Daerah.
Sanksi Pidana Terhadap Notaris
Sanksi yang diatur dalam UU-JN adalah sanksi administratif dan sanksi perdata.
Sedangkan dalam kode etik juga terdapat sanksi yang bisa dikenakan terhadap Notaris. Dari
UU-JN dan kode etik notaris tidak kita temukan adanya sanksi pidana yang bisa dikenakan
terhadap Notaris. Namun hal tersebut bukan berarti seorang Notaris tidak bisa dijatuhi sanksi
pidana. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris terhadap akta yang dibuatnya selain
bisa dijatuhi sanksi administratif, sanksi perdata maupun kode etik bisa juga dikualifikasikan
sebagai tindak pidana.
Keenam aspek diatas jika dilanggar oleh Notaris selain bisa dijatuhi sanksi yang telah
diatur dalam UU-JN yaitu sanksi perdata maupun sanksi administratif, bisa juga di selesaikan
secara pidana dengan anggapan bahwa Notaris sudah membuat surat palsu atau memalsukan
akta. Aspek-aspek yang dijadikan dasar untuk memidanakan Notaris merupakan aspek formal
dari sebuah akta. Dalam UU-JN telah diatur apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran
terhadap aspek-aspek formal dalam pembuatan akta maka terhadap Notaris bisa dijatuhi
sanksi perdata atau sanksi administratif tergantung jenis pelanggaran apa yang dilanggar oleh
Notaris.
Apabila dalam akta yang dibuat Notaris terdapat pernyataan atau keterangan yang
diduga palsu tidak menyebabkan akta tersebut menjadi akta palsu. Sebagai contoh dalam akta
otentik dimasukkan keterangan berdasarkan identitas (Kartu Tanda Penduduk) para yang
diperlihatkan pada Notaris yang dan dari pengamatan Notaris secara fisik KTP tersebut adalah
asli. Namun dikemudian hari Kartu Tanda Penduduk tersebut ternyata palsu. Hal seperti ini
tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu kedalam akta
Notaris. Karena secara materiil, hal tersebut bukan menjadi tanggungjawab Notaris,
melainkan tanggungjawab para pihak itu sendiri.
Kasus seperti ini sama persisnya dengan kasus yang penulis temukan. Dimana
Notaris/PPAT dijadikan tersangka oleh penyidik dengan tuduhan memasukkan keterangan
palsu ke dalam akta otentik yang dalam kasus ini adalah akta jual beli. Yang dipalsukan
adalah Kartu Tanda Penduduk para pihak. Menempatkan seorang Notaris sebagai Tersangka
pada kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa adanya pihak-pihak yang belum begitu
paham dengan dunia Notaris.
Yang bisa dijadikan dasar untuk menuntut Notaris secara pidana adalah aspek-aspek
formal dari sebuah akta. Hal itupun bisa dilakukan bilamana dapat dibuktikan aspek-aspek
formal tersebut dilanggar dengan sengaja dilakukan oleh Notaris sendiri maupun bersama-
sama dengan para pihak untuk dijadikan alat dalam melakukan tindak pidana.
Tanggung Jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta
Notaris/PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dibebani
oleh tanggung jawab atas perbuatan yang berhubungan dengan pembuatan akta. Tanggung
jawab tersebut berupa kebenaran isi dari akta yang dibuat dihadapan atau oleh dirinya sendiri.
Tanggung jawab notaris/PPAT meliputi tanggung jawab Hukum dan Tanggung Jawab Moral.
Tanggung jawab hukum meliputi tanggung jawab administrasf, tanggung jawab perdata, dan
tanggung jawab pidana.
Berbicara mengenai tanggung jawab seorang Notaris/PPAT, dalam Pasal 65 UU-JN
telah dijelaskan mengenai tanggungjawab seorang Notaris, Notaris Pengganti, Notaris
Pengganti Khusus dan Pejabat sementara Notaris.
Ketentuan dari Pasal 65 UU-JN itu sendiri adalah:
“Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol”.Dari ketentuan Pasal tersebut, muncul pendapat bahwa pertanggungjawaban Notaris
terhadap akta yang dibuatnya berlaku terus walaupun Notaris tersebut sudah tidak lagi
memangku jabatan sebagai seorang Notaris dan protokol Notarisnya telah diserahkan pada
pihak yang menyimpan protokolnya tersebut.
Ketentuan dari Pasal 65 UU-JN merupakan ketentuan yang dirasakan tidak adil bagi
kalangan Notaris/PPAT. Hal ini disebabkan tidak dikenal adanya tanggung jawab mutlak
yang tidak memiliki batas waktu. Semua jabatan baik itu jabatan di pemerintahan maupun
organisasi memiliki batasan. Batasan ini baik dari sisi batasan mengenai kewenangan, dan
batasan waktu menjabat sebuah jabatan. Batasan waktu disini adalah tanggung jawab dari
suatu pejabat sepanjang yang bersangkutan memangku jabatan, sehingga bila jabatan
seseorang telah selesai maka tanggung jawab yang bersangkutan juga berhenti dengan
sendirinya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan Perlindungan Hukum terhadap Notaris dilakukan secara
preventif maupun secara represif. Perlindungan secara preventif antara lain melalui aturan-
aturan yang terdapat UU-JN, Kode Etik Notaris, Pengawasan baik yang dilakukan oleh
Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan. Berkaitan dengan pembuatan akta,
bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dijelaskan pada Pasal 4 ayat (2) UU-JN
mengenai sumpah/janji Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e. Ketentuan dari kedua pasal
tersebut mengenai kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya
demi melindungi kepentingan dari semua pihak yang terkait dengan akta. Pengawasan yang
dilakukan Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada Notaris dan masyarakat yang mempergunakan jasa
Notaris. Pengawasan yang dilakukan oleh 2 institusi ini dimaksudkan agar dalam
melaksanakan tugas selaku pejabat umum, Notaris tetap berpedoman pada ketentuan-
ketentuan yang ada dalam UU-JN maupun Kode Etik Notaris.
Dari ketentuan Pasal 65 UU-JN tersebut, beberapa pihak beranggapan bahwa
tanggung jawab Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti khusus maupun Pejabat
Sementara Notaris, berlaku mulai dari pembuatan akta sampai Notaris meninggal dunia.
Kalau maksud dari pasal tersebut memang demikian, saya menganggap hal tersebut
merupakan suatu hal yang sangat berlebihan dan tidak adil bagi Notaris.
Tanggung jawab Notaris yang terdapat dalam UU-JN merupakan tanggung jawab
internal dan bilamana dilanggar bisa dikenakan sanksi administratif. Tanggung jawab
tersebut bila kita lihat dari ketentuan Pasal 85 mengenai sanksi administratif adalah
tanggung jawab mengenai apa yang ada dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16
ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf
e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat
(1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, pasal 20, Pasal 27,
Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63,
Akta Notaris adalah alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Namun kekuatan sempurna tersebut akan hilang apabila terbukti melanggar ketentuan
tertentu. Akta yang tadinya memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna hanya akan
menjadi akta dibawah tangan. Akan tetapi akta dibawah tangan tersebut masih memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna bila para pihak mengakuinya.
Pasal 84 UU-JN mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16
ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 yang
berakibat akta yang dibuat Notaris hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan atau akta batal demi hukum dapat dijadikan alasan bagi pihak-pihak yang
menderita kerugian akibat hal tersebut untuk menuntut ganti rugi, biaya maupun bunga
terhadap Notaris.
Dalam gugatan di pengadilan, penggugat harus bisa membuktikan apa yang
diingkarinya dalam akta yang digugat. Apabila gugatan tersebut terbukti, akta tersebut tetap
berlaku dan mengikat para pihak yang terkait dalam akta tersebut sepanjang pihak-pihak
tersebut tidak membatalkan akta itu atau atas putusan pengadilan. Yang membedakannya
adalah kemungkinan akta tersebut hanya terdegradasi kedudukannya menjadi akta dibawah
tangan dan nilai pembuktian dari akta dibawah tangan tergantung para pihak atau hakim pada
pengadilan.
Dengan adanya hubungan hukum antara Notaris dan penghadap, dalam pembuatan
akta, Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat sudah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Sehingga kepentingan dari penghadap terlindungi. Dalam
hal tanggung jawab pidana oleh seorang Notaris/PPAT yang akan dibahas adalah perbuatan
pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatannya selaku pejabat umum yang membuat akta
otentik, bukan bertindak secara pribadi. Pemisahan ini perlu kita ketahui, sehingga kita dapat
mengetahui sejauh mana Notaris/PPAT bertindak sebagai pribadi atau bertindak selaku
pejabat umum.
Dalam hukum tata negara positif, jabatan muncul sebagai pribadi. Malahan jabatan
adalah pribadi yang khas bagi hukum tatanegara. Bukankah hukum tatanegara itu tidak lain
daripada keseluruhan norma khusus, yang berlaku bagi tingkah laku orang-orang yang
dibedakan daripada orang lain hanya oleh karena mereka adalah pemangku suatu jabatan
Negara (Logeman, 2004).
Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan, memenuhi rumusan peraturan
perundang-undangan, dan bersifat melawan hukum. Bila kita cermati dalam KUHP, tindak
pidana yang memiliki keterkaitan dengan profesi seorang Notaris/PPAT adalah perbuatan
pidana yang berkaitan dengan pemalsuan surat (Pasal 263, 264 dan 266), rahasia jabatan
(Pasal 322 ayat 1) dan pemalsuan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 416). Pasal 322 KUHP
berkaitan dengan beberapa pasal yang terdapat dalam UU-JN. Diantaranya adalah Pasal 4
mengenai sumpah jabatan dan Pasal 16 ayat 1 huruf e mengenai rahasia Notaris dan klien.
Notaris/PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Dimana untuk seorang
Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan untuk
PPAT diatur dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 1998 tentang
peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ajie, 2009a;2011;2009b).
Notaris bisa dijatuhi sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP. Dalam Pasal 63 ayat (2)
KUHP menyebutkan apabila ada suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan
pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah
yang dipakai, sebaliknya apabila ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka terhadap
pelanggaran tersebut akan dikenakan pidana umum yaitu KUH Pidana.
Kalau kita cermati lebih teliti, dalam UU-JN sudah dijelaskan mengenai sanksi yang
dapat dijatuhi kepada seorang Notaris/PPAT bilamana dalam melaksanakan tugasnya
melakukan pelanggaran. Dalam UU-JN dijelaskan bahwa bilamana seorang Notaris/PPAT
dalam melaksanakan tugasnya melakukan pelanggaran maka bisa dikenakan sanksi. Sanksi
yang dikenakan bisa berupa sanksi perdata, administrasi maupun kode etik. Tidak ditemui
adanya sanksi pidana yang dijatuhi terhadap seorang Notaris/PPAT bilamana melakukan
pelanggaran dalam pembuatan akta.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sanksi yang bisa dikenakan terhadap Notaris bila terbukti melakukan pelanggaran
adalah sanksi administratif, sanksi perdata, sanksi kode etik yang diatur dalam Kode Etik
Notaris maupun sanksi pidana. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, pihak
Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan melakukan pemeriksaan terhadap
Notaris untuk mengetahui sejauh mana pelanggaran yang dilakukan dan sanksi apa yang akan
dikenakan terhadap Notaris. Sanksi pidana terhadap seorang Notaris dilakukan apabila ada
tindakan hukum yang dilakukan Notaris terhadap aspek formal, dan materiil akta yang dengan
sengaja dilakukan dengan maksud akta tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tindak
pidana. Tanggung jawab seorang Notaris dalam pembuatan akta dapat dilihat dari tanggung
jawab administratif, tanggung jawab perdata, dan tanggung jawab pidana.
Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuat sebaiknya selama masa jabatan dari
Notaris tersebut. apabila notaris tersebut pensiun, maka sampai disitu juga
pertanggungjawabannya terhadap akta-akta yang dibuat. Pelaporan tindak pidana yang
dilakukan terhadap Notaris sebaiknya dilakukan sebagai upaya hukum yang terakhir setelah
dapat dibuktikan bahwa Notaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan
tugasnya. Karena dalam UU-JN telah diatur mengenai sanksi adminstratif maupun perdata
yang bisa dijatuhi terhadap notaris yang terbukti melakukan pelanggaran dalam melaksanakan
tugas jabatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib. (2009) Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
__________, Hukum Notaris Indonesia, Tafsiran Telematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cetakan kedua. PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
__________, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Amiruddin dan Asikin.(2010).Zainal Pengantar Metode Penelitian Hukum. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal 30
Fajar,Mukti dan Yulianto Achmad. (2010). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, , hal 156
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.39.PW.07.10 Tahun 2004Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012Logeman.(2004).Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, hal 117Laporan Polisi Nomor LP/05/I/2008/Dit Reskrim Nota kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris
Indonesia Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 66 Undang-Undang –JNPasal 85 Undang-Undang –JNPasal 84 Undang-Undang –JNPengurus Pusat INI.(2008). Jati diri Notaris Indonesia, dulu sekarang dan yang akan datang, ,
Jakarta, hal 238.Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007Sjaifurrachman & Habib Adjie.(2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan
Akta, Mandar Maju, Bandung, , hal 205Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris