kutipan pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...lingkungan-hidup-naskah-bu… · untuk...

105

Upload: others

Post on 20-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma
Page 2: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak

Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan

Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,

dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau

pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling

banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.

4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).

Page 3: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Dr. Nuzwaty, M. Hum.

Metafora Lingkungan Hidup

Page 4: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

iv

Metafora Lingkungan Hidup Penulis: Dr. Nuzwaty, M. Hum

Layout: Imam Mahfudhi

Design Cover: Hardinalsyah

Katalog Dalam Terbitan

Metafora Lingkungan Hidup.–/ Dr. Nuzwaty, M. Hum.–

Kota Tangerang: Mahara Publishing, 2020.

xv, 94 hal.; 23 cm

ISBN 978-602-466-164-9

1. Buku I. Judul

2. Majalah Ilmiah

3. Standar

ISBN 978-602-466-164-9

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Penerbit:

Mahara Publishing (Anggota IKAPI)

Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai

Kota Tangerang, Banten, Indonesia 15145

Narahubung: 0813 6122 0435

Pos-el: [email protected]

Laman: www.maharapublishing.com

Page 5: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

v

PRAKATA

enulisan buku ini saya lakukan dengan harapan

dapat memberikan kontribusi dalam pengadaan

dan menambah khasanah tulisan-tulisan yang

bertautan dengan kajian linguistik, khususnya kajian

ekolinguistik. Keinginan untuk menulis buku ini juga

terinspirasi oleh beberapa hal, pertama karena kurangnya

buku-buku ekolinguistik yang disajikan dalam bahasa

Indonesia, maka saya berusaha menulis buku lagi setelah buku

saya yang pertama berjudul Pengenalan Awal

EKOLINGISTIK terbit awal tahun 2019.

Materi-materi yang saya sajikan banyak merujuk kepada

pandangan dan buah pikir dari beberapa pakar bahasa, di

bidang linguistik kognitif dan ekolinguistik baik dari luar

maupun dari dalam Indonesia dan dibantu oleh hasil pemikiran

saya sendiri yang saya peroleh saat saya mengerjakan

penelitian bahasa yang berkaitan dengan konsentrasi

ekolinguistik.

Kedua, penulisan buku ini dilakukan pula disebabkan

oleh kurangnya minat peneliti bahasa terhadap ekolinguistik,

padahal sesungguhnya lahan kajian untuk konsentrasi

ekolinguistik masih sangat luas, dan peluang untuk melakukan

penelitian dalam bidang ini terbuka lebar,maka penyajian buku

ini juga diharapkan sebagai rangsangan bagi para peneliti

P

Page 6: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

vi

bahasa untuk menoleh ke kajian ekolinguistik. Mudah-

mudahan harapan ini menjadi sebuah kenyataan.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih ditujukan

kepada Prof. Aron Meko Mbete tak pernah lelah membantu

dan menyemangati serta memberikan kontribusi dalam

penyajian buku ini. Ucapan yang sama diberikan kepada

semua sahabat saya Dr Muhammad Ali Pawiro, MA, Dr Lisna

Andriany, M.Hum, Dr. Rinawaty, M. Hum dan rekan-rekan

lainnya khususnya sahabat-sahabat di S3 Linguistik Sekolah

Pasca Sarjana USU angkatan 2010 yang tidak dapat saya

sebutkan namanya satu persatu.

Di kesempatan yang sama ini saya haturkan salam

sayang kepada keluarga tercinta, suami dan keempat anak-

anak serta kedua menantu yang selalu memberi dukungan dan

doa.

Buku ini masih belum sempurna, segala bentuk sapaan

dan keritik yang konstruktif untuk menuju kepada sajian yang

lebih baik, saya terima dengan senang hati.

Semoga persembahan buku ekolinguistik ini bermanfaat

bagi pembacanya.

Akhirul kalam, wassalam.

Medan, Januari 2020

Nuzwaty

Page 7: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

vii

v

vii

ix

1

7

25

29

30

36

39

45

59

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................

DAFTAR ISI ...............................................................

PENDAHULUAN .......................................................

BAB I:

Ekolinguistik Mengkaji Bahasa dan Lingkungan ........

A. Interdependensi Bahasa dan Lingkungan Ekologis

BAB II:

Metafora dan Lingkungan Ekologis ............................

BAB III:

Karakteristik Metafora Dikaitkan dengan Lingkungan

Ekologis .......................................................................

A. Metafora Leksikal .................................................

B. Metafora Gramatikal .............................................

C. Metafora Konseptual ............................................

D. Metafora Ekologis ................................................

BAB IV:

Klasifikasi Metafora Berdasarkan Penggunaanya pada

Komunitas Bahasa .......................................................

Page 8: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

viii

60

63

65

69

71

81

88

A. Klasifikasi metafora berdasarkan konvensi

komunitas bahasa ................................................

B. Klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan

alami komunitas bahasa ......................................

C. Klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif

D. Klasifikasi metafora berdasarkan pola umum ......

BAB V:

PENUTUP ...................................................................

Daftar Pustaka ..............................................................

Glosarium ....................................................................

Page 9: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

ix

PENDAHULUAN

uku ini membicarakan kajian ekolinguistik

yang difokuskan kepada pola metafora

konseptual yang mendasari metafora ekologis.

Pola metafora konseptual dimaksud merupakan konsep

metafora ekologis yang sudah digunakan oleh komunitas

bahasa secara turun temurun dalam suatu lingkungan tertentu

(eco-region) yang dikaitkan dengan unsur -unsur ekologi

berupa flora, fauna dan unsur mineral yang terekam secara

verbal dalam kognitif komunitas tutur lingkungan tersebut.

Metafora sebagai bagian dari bahasa menurut kajian

ekolingistik tentu saja memiliki keterkaitan erat dengan

kehidupan manusia dalam komunitas bahasa di suatu

lingkungan. Lingkungan dimaksud, meliputi seluruh

lingkungan yang berkenaan dengan kehidupan manusia baik

lingkungan alam ragawi (macrocosmos) maupun lingkungan

sosial budaya atau socio- cultural (microcosmos). Lingkungan

alam ragawi dapat berupa lingkungan alam pedesaan,

lingkungan perkotaan, lingkungan buatan, maupun lingkungan

alam semesta (eco-region), sedangkan lingkungan sosial

budaya mengacu kepada sikap dan perilaku manusia, agama

dan kepercayaan religi, termasuk pula kedalamnya

pendidikan, pekerjaan dan adat istiadat.

B

Page 10: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

x

Terbentuknya metafora pada satu wilayah (eco-region)

merupakan hasil pemetaan silang (cross mapping) dari satu

ranah kongkrit sebagai ranah sumber (source domain) kepada

ranah abstrak sebagai ranah target (target domain). Ranah

sumber tersebut pada umumnya mengacu pada sifat alamiah

flora dan fauna yang ada di lingkungan alam wilayah tersebut

dipetakan kepada sifat atau perilaku manusia dan manusia itu

sendiri secara utuh. Kesalingterhubungan (interrelationship)

antara ke dua ranah akan diproses di dalam kognitif

penggunanya. Penggunaan metafora akan terus berlanjut dan

terwaris dari generasi ke generasi berikutnya bila disepakati

bersama oleh komunitas bahasa secara konvensional.

Buku ini terdiri atas empat, diawali oleh Bab I

Pendahuluan, Bab I Ekolinguistik Mengkaji Bahasa dan

Lingkungan, Bab II Metafora dan Lingkungan Ekologis, Bab

III Karakteristik Metafora Dikaitkan dengan Lingkungan

Ekologis, Bab IV Klasifikasi Metafora Berdasarkan

Penggunaanya pada Komunitas Bahasa ,dan Bab V Penutup.

Page 11: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 1

nterelasi antara lingkungan alam ragawi

(macrocosmos) dengan lingkungan sosial budaya atau

socio-cultural (microcosmos) dan dengan bahasa dapat

digambarkan dalam satu kesatuaan lingkungan secara utuh di

dalam tiga dimensi praxis sosial yang meliputi dimensi ideologis

(ideological dimension), dimensi sosiologis (sociological

dimension) dan dimensi biologis (biological dimension). Dimensi

ideologikal (ideological dimension) merupakan semua hal yang

berkaitan dengan pikiran manusia seperti pemahaman manusia

tentang segala sesuatu yang terekam dalam kognitif, mental,

ideologi, dan sistem phsikis, seperti pemahaman tentang agama,

politik, pendidikan, dan etika, periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).

Dimensi sosiologikal (sociological dimension) yaitu hal yang

berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat secara utuh

termasuk kedalamnya rasa saling mengenal, saling menyayangi,

saling menghargai, saling menjaga keharmonisan bermasyarakat

dan termasuk pula saling membenci, lihat Lindo dan Jeppe

(2000:10). Dimensi biological (biological dimensional) yaitu

I

Page 12: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

2 | D r . N u z w a t y , M . H u m

sesuatu hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan

segala sesuatu unsur yang berada di dalam alam, termasuk ke

dalamnya pandangan manusia terhadap lingkungan alam dan

hidup berdampingan dengan spesies lain, juga terkait dengan

penjagaan kelestarian alam yang termasuk ke dalamnya

penjagaan terhadap flora, fauna dan lainnya, periksa Lindo dan

Jeppe (2000:10). Oleh sebab itu lingkungan kehidupan manusia

dalam suatu komunitas bahasa dapat mencerminkan kehidupan

etnik penutur bahasa tersebut, periksa (Lindo dan Jeppe, 2000:9).

Dengan demikian bila seseorang membicarakan motafora dari

sudut pandang ekolinguistik tentu saja dia akan melibatkan tiga

dimensi social praksis ini.

Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad 21

merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari

pandangan Ferdinand de Saussure kecuali kajian ekolinguistik,

seperti yang dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe (2000:9).

Ekolinguistik merupakan payung yang dapat memayungi dan

menyelesaikan keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan

lingkungan bahasa melalui pendekan-pendekan teori secara luas,

oleh karena itu norma-norma lingkungan dan bahasa merupakan

penelitian yang sangat penting bagi ekolinguistik. Dalam

pandangan kajian ekolinguistik norma-norma suatu bahasa

merupakan bagian dari praksis sosial (sosial praxis), itulah

sebabnya pakar ekolinguistik menganggap bahwa bahasa

merupakan produk sosial dari semua kegiatan manusia, namun

pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau

memodifikasi kegiatan-kegiatan manusia dan praksis sosial

manusia. Ini berarti adanya sebuah hubungan dialektikal antara

bahasa dan praksis sosial. Dalam hubungan dialektikal ini praksis

Page 13: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 3

sosial mendominasi bahasa sebab praksis sosial tanpa bahasa

mungkin saja terjadi. Sebaliknya bahasa tanpa praksis sosial

mustahil terjadi baik dipandang secara historis maupun secara

logis. Menurut Lindo dan Jeppe (2000:9) bahwa hubungan

dialektikal dimaksud adalah hubungan antara individu-individu

yang berbeda yang menjadi bagian dari keseluruhan.

Penelitian ilmiah terhadap bahasa juga merupakan

penelitian ilmiah yang bersangkut paut dengan praksis sosial,

sehingga teori-teori bahasa juga merupakan teori-teori praksis

sosial. Ini berarti secara disadari maupun tidak, semua teori

bahasa berhubungan dengan praksis sosial. Akibat keterhubungan

antara teori bahasa dan teori praksis sosial, kajian ekolinguistik

membuat sebuah teori linguistik yang dihubungkan dengan teori

dialektikal praksis sosial. Teori ini menangani dua aspek yaitu

The Core Contradiction dan The Three dimensionality of sosial

praxis (tiga dimensi sosial praxis). Dari kedua teori ini hanya teori

tiga dimensi sosial yang banyak diaplikasikan dalam penelitian

ekolinguistik sedang teori The Core Contradiction kurang

diminati oleh para peneliti ekolinguistik.

Teori tiga dimensi sosial praksis merupakan teori

ekolinguistik yang banyak digunakan oleh Odense School,

sekolah yang didirikan oleh Bang and Door tahun1998. Teori tiga

dimensi sosial praksis ini dipergunakan oleh pakar ekolinguistik

untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan

termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma bahasa

lingkungan yang direprentasikan dalam bentuk kerangka teori.

Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut

adalah; pertama dimensi ideologikal (the ideological dimension),

yaitu interelasi individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem

Page 14: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

4 | D r . N u z w a t y , M . H u m

psikis seseorang dalam kehidupan bermasyarakat baik secara

regional maupun secara global. Berikutnya dimensi sosiologikal

(sociological dimension) yaitu tentang cara seseorang

mengorganisir hubungan antara sesama untuk membangun,

menjalin dan memelihara hubungan individual secara kolektif,

seperti rasa saling menyayangi satu sama lain diantaranya rasa

saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama

teman, dan saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga

adalah dimensi biological (biological dimension) yaitu yang

bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan

dengan alam serta seluruh isinya termasuk kedalamnya spesies

flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.

Berdasarkan teori dialektikal ini, ke dua pakar tersebut

memberikan satu argument yang kuat bahwa tidak akan ada satu

kejadianpun atau perwujudan yang mono dimensi atau mono

logikal. Lindo dan Jeppe (2000:11) menjelaskan bahwa

sesungguhnya aktivitas bernafas seseorang bukan hanya sekedar

kegiatan bio-logikal manusia, akan tetapi hal ini juga berkaitan

dengan aktivitas mental dan sosial manusia. Dalam kajian

ekolinguistik tiga dimensi sosial praxis ini mengandung arti

bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari sosial

praxis. Oleh sebab itu semua kajian linguistik sebenarnya perlu

mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan

kedua pakar tersebut (Lindo dan Jeppe (2000:10), ekolinguistik

merupakan sebuah kajian interelasi, interdepensi bio-, sosio-, dan

ideo-logikal dimensi dengan bahasa, sehingga hubungan mental,

kognitif, dan lingkungan sosial harus saling bahu membahu.

Pemanfaatan tiga dimensi social praksis dalam mengamati

interdependensi bahasa dengan lingkungan pernah dilakukan oleh

Page 15: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 5

Mishra (2000) yang berkenaan dengan kegiatan ritual agama dan

mitos pada suku-suku di India dengan judul, Sacred Worldview

in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions.

Pengamatan tersebut berusaha memecahkan permasalahan

penggunaan ungkapan verbal yang berkaitan dengan ritual agama

dan mitos dalam kehidupan sosial etnik asli India. Kedua

bagaimana keterhubungan antara agama dan mitos dengan

lingkungan alam di sekitar mereka. Ketika memecahkan kedua

masalah tersebut Mishra memanfaatkan kajian ekolinguistik

dengan menitik-beratkan pada teori tiga dimensi sosial praksis

dan teori sosiolinguistik. Teori yang digunakan tentang

kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan lingkungan alam dan

lingkungan sosial penutur asli dan perkembangan teknologi,

melalui metode discovery and invention (Mishra 2000) dengan

sumber data yang diperoleh secara langsung saat penelitian

dilakukan serta mengaitkannya dengan mitos dan agama pada

penduduk asli India. Ditemukan bahwa ritual agama dan mitos

berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan

tindakan penduduk asli India, dengan menghubungkan yang

bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan masa lalu dan masa

sekarang yang menyatu dengan alam sekitar mereka dalam

ungkapan verbal, melalui kode lingual dalam doa dan harapan.

Setiap ungkapan mengandung makna yang dihubungkan dengan

keempat hal tersebut. Namun seiring dengan perkembangan

pengetahuan dan teknologi, pengadaan transfortasi moderen dan

ekploitasi lahan memaksa masyarakat lokal menerima budaya

baru dan hampir melupakan alam yang tadinya merupakan bagian

yang sarat dengan mitos sosio-kultural mereka. Selanjutnya,

dengan masuknya bahasa asing berimbas pula kepada masuknya

Page 16: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

6 | D r . N u z w a t y , M . H u m

budaya asing yang mengakibatkan bahasa dan budaya lokal

semakin terdesak. Kondisi ini akhirnya bermuara kepada

pemusnahan tradisi lisan yang sarat dengan kearifan lokal.

Kesemuanya ini menimbulkan perubahan prilaku dan penduduk

asli dalam memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka

miliki, bersamaan dengan musnahnya kode-kode lingual dan

leksikon yang lazim digunakan pada upacara ritual keagamaan

bertukar dengan kode-kode lingual bahasa asing.

Kajian ekolinguistik seperti telah dibicarakan sebelumnya,

bahwa dalam menyoroti lingkungan alam bukan hanya ditujukan

kepada lingkungan alam orisinal belaka. Lebih dari itu,

lingkungan alam dimaksud merupakan lingkungan keberadaan

manusia baik dalam lingkungan alam semesta (macrocosmos)

maupun lingkungan alam sosial budaya atau lingkungan

kebudayaan manusia (microcosmos), periksa Haugen (1970), Fill

(2001). Kajian ekolinguistik yang pada awal kemunculannya

dinamakan sebagai kajian ekologi bahasa merupakan paradigma

baru yang berkaitan dengan hubungan ekologi dan linguistik yang

diprakarsai oleh seorang pakar linguistik kognitif bernama Einar

Haugen pada tahun 1970. Kajian ini berupaya pengkolaborasian

kajian bahasa dan ekologis yang diimplementasikan kepada

kajian linguistik dalam kajian bahasa dan budaya. Kajian ini

menurut Haugen (1972:323) dapat didefinisikan sebagai sebuah

kajian interelasi dan interaksi antara bahasa-bahasa dengan

lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu

digunakan (ecoregion). Haugen dalam hal ini berupaya

menggunakan analogi ekologi berpadu dengan lingkungan dalam

menciptakan metafora berupa metafora ekosistem. Metafora

ekosistem tersebut merupakan cerminan interelasi lingkungan

Page 17: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 7

ekologi yang berkaitan dengan kandungannya meliputi spesies

hewan (fauna) dan tanaman (flora), serta seluruh kandungan

mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut dengan

keberagaman pola penggunaan bahasa yang digunakan oleh

kumpulan komunitas pengguna bahasa secara global.

Pemaknaan istilah interelasi dan interaksi serta

interdependensi yang lazim digunakan di ranah kajian

ekolinguistik merupakan bentuk kesalingterhubungan bermacam-

macam bentuk bahasa dengan lingkungan ekologis.

Keterhubungan ini tidak hanya dibatasi oleh lingkungan alam

semesta saja, namun lebih dari itu, yaitu menyangkut lingkungan

alam buatan, buana elite dan lingkungan sosial budaya. Dengan

demikian, Haugen berupaya menekankan dan menjelaskan

kesalingterhubungan (interdependence) antara keberagaman

bahasa dengan kelompok komunitas pengguna bahasa- bahasa

tersebut dan dengan lingkungannya baik lingkungan alam

maupun lingkungan buatan, yang meliputi seluruh aspek

kehidupan manusia itu sendiri, lihat Muhlhausler (1995) dalam

Fill dan Muhlhausler (2001:1). Selanjutnya Fill dan Muhlhausler

(2001:2) menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan

suatu studi kolaborasi ekologi dan bahasa, serta

keterhubungannya dengan study kognitif manusia pemilik bahasa

tersebut. Studi tersebut dilakukan pada komunitas multilingual

dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki. Haugan

berpendapat bahwa sesungguhnya bahasa merupakan hasil dari

interaksi manusia dengan lingkungannya yang berperoses dalam

kognitif manusia, kemudian diproduksi dalam bentuk ujaran.

Page 18: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

8 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Itulah sebabnya mengapa Haugen berpendapat bahwa bahasa

mutlak merupakan bagian dari pikiran manusia.

Interelasi antara bahasa dengan lingkungan alam semesta

memang sudah terjadi beribu-ribu tahun yang telah lalu.

Dibuktikan oleh adanya penamaan ataupun penyebutan leksikon

dalam inventarisasi khasanah leksikon yang terekam secara

verbal dalam kognitif komunitas tutur. Melalui indra

pendengaran terhadap bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam

semesta menciptakan beberapa kata secara abritrer yang disetujui

bersama oleh komunitas bahasa secara konvensional

(aomatopea). Suara yang dihasilkan ayam di waktu subuh

misalnya sangat bergantung kepada indra pendengaran yang

diolah oleh kognitif pada beragam komunitas bahasa sehingga

bunyi yang terdengar bervariasi dan mungkin pula berbeda pada

lingkungan komunitas bahasa yang berbeda pula. Sebagai contoh

bunyi kokok ayam dalam komunitas bahasa Perancis disebut

kokoriko, sedangkan pada komunitas Bahasa Indonesia dan

komunitas Bahasa Melayu sama-sama menyebutnya kukuruyuk,

semua peristilahan ataupun penamaan tersebut harus disetujui

bersama secara konvensional oleh komunitas bahasa-bahasa

tersebut.

Kajian linguistik murni pada umumnya lebih menitik

beratkan pembicaraan dan pengkajian tentang permasalahan-

permasalahan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, morfologi,

semantik, dan sintaksis serta norma-norma bahasa dan leksikon.

Pakar pada bidang ini cenderung jarang sekali membicarakan

persoalan bahasa yang mengarah kepada ekologi bahasa, padahal

menurut Haugen (1972:325) penelitian ekologi bahasa atau

Page 19: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 9

ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerja sama dengan

antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu politik serta ilmu-ilmu

lainnya. Seterusnya Haugen berpendapat bahwasanya, kajian

ekolinguistik dapat pula dianggap tidak hanya sebagai kajian

interelasi dan interaksi bahasa dengan lingkungan fisik alami,

serta lingkungan sosial budaya saja, akan tetapi pengertian

tentang lingkungan disini juga mencakup pikiran seseorang yang

merujuk kepada dunia tempat bahasa itu digunakan karena

lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna

bahasa bersamaan dengan seluruh aktifitas kehidupan mereka.

Lebih lanjut Haugen (1972:325) menyatakan bahwa hubungan

bahasa dan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian.

Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological

environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa

dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan

bagian kedua adalah sosiologikal yaitu hubungan lingkungan

dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai

media komunikasi mereka yang tersedia di dalam repertoire

Bahasa mereka. Selanjutnya Haugen (1972:326) menggambarkan

bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada dan berproses di dalam

otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan

penggunanya kepada sesama dan kepada lingkungan alam yaitu

lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam

semesta. Rangkaian ujaran yang diutarakan oleh seseorang

merupakan hasil proses kerja fungsi kognitif yang

direpresentasikan dalam rangkaian bunyi yang bermakna.

Lingkungan sosial, lingkungan buatan, lingkungan alam

dan bahasa serta ilmu pengetahuan juga merupakan bahagian-

bahagian dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

Page 20: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

10 | D r . N u z w a t y , M . H u m

sama lainnya sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berabad-

abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-347 SM),

Cratylus dan lainnya pada awalnya memandang bahasa hanya

sebatas sebagai sarana yang digunakan untuk mengungkapkan

atau mentransfer ide-ide dan paham filsafati hasil perenungan

mereka, namun seiring dengan bertambahnya kesulitan-kesulitan

yang mereka temui dalam pemanfaatan bahasa serta pentingnya

keberadaan bahasa dalam kajian filsafat, lambat laun mereka

menempatkan bahasa sebagai objek material kajian dan

menjadikannya sebagai filsafat bahasa. Ketika itu mereka sudah

mulai mengkaji hubungan bahasa dan alam semesta seperti pada

penaman-penamaan benda ataupun hewan sesuai dengan

peniruan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam seperti suara

guntur, gemercik air dan suara binatang.

Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam tersebut tertangkap

oleh indera manusia, kemudian diolah dalam pikiran manusia

untuk tujuan keberlangsungan komunikasi. Akhirnya mereka

membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari alam dan

saat itu kajian bahasa dikaitkan dengan lingkungan alam tempat

bahasa itu ada atau digunakan, yang bermuara kepada munculnya

beberapa terminologi seperti adanya terminologi onomatophea ,

metaphora , adanya part of speech, analogi versus anomaly, fisei

dan nomos dan lainnya, dapat diperiksa pada Lyon (1995: 4-7),

Djojosuroto (2007: 54-56).

Bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungan ekologis

tempat bahasa itu digunakan, juga sudah dibicarakan oleh Sapir

(1912) seperti yang diungkap oleh Fill dan Muhlhausler

(2001:14), Sapir telah menulis tentang keterhubungan bahasa

Page 21: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 11

dengan lingkungan dan memberikan suatu pernyataan bahwa

lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi

sebagai topografi dari sebuah negara, wilayah dan zona yang

berhubungan dengan iklim, curah hujan serta sumber daya alam.

Kesemuanya ini merupakan sumber kehidupan dan sumber

ekonomi manusia termasuk pula ke dalamnya kehidupan flora

dan fauna, serta sumber mineral dari suatu wilayah. Sapir tidak

membatasi pengamatannya hanya kepada bahasa saja, tetapi juga

mengamati keberagaman kultur dan bahasa manusia dikaitkan

dengan lingkungan tempat mereka bekerja dan berusaha.

Disebabkan oleh keberagaman tersebut, menurut Sapir, kosa kata

ataupun leksikon yang terdapat dalam inventarisasi bahasa-

bahasa itu akan bervariasi ataupun berbeda antara satu antara

bahasa dengan bahasa lainnya. Kesemuanya ini sangat

bergantung pula pada sosiokultural di tempat dimana bahasa itu

dipergunakan. Perbedaan ini pada umumnya hanya bersangkut

paut dengan unsur-unsur leksikal saja dan tidak memiliki

keterkaitan hubungan antara kaidah atau prinsip struktur bahasa

tersebut.

Berkaitan dengan interelasi ini, Sapir (1912) berpendapat

bahwa vokabulari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau

dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi

peran lingkungan sosial penuturnya juga sangat berpengaruh

dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan

sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang

membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama,

kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik. Berdasarkan

klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari

bahasa dapat dilihat dari pengetahuan, minat, pekerjaan serta

Page 22: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

12 | D r . N u z w a t y , M . H u m

pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau komunitas

bahasa tersebut berada.

Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki

khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah,

ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan

kehidupan satwa liar. Sebagai contoh suku Noocka Indian yang

secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan

hutan memiliki vokabulari kelautan sangat minim. Demikian pula

halnya dengan penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai

akan memiliki lebih banyak jumlah khasanah vokabulari yang

berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada

suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan

menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir

dan semua kandungan laut.

Contoh lain dapat dilihat dari masyarakat yang menjadikan

bahan pokok makanan beras akan banyak memiliki khasanah

vokabulari kuliner yang berkaitan dengan beras seperti pada

komunitas Bahasa Aceh, kata atau leksikon bu’ nasi dan

breh’beras’, menghasilkan jenis kuliner bervariasi seperti bu

lemak ‘nasi lemak’, bu kulah ‘nasi yang dibungkus berbentuk

kerucut yang disajikan untuk acara tujuh bulan kehamilan dan

disajikan juga pada acara kenduri adat, bu koneng ‘nasi kuning’.

Bu leugok ‘ kuliner yang dibungkus dengan daun pisang’, bu

phet’ semacam lepat’, bu kanji, ‘bubur nasi yang dimasak dengan

campuran rempah yang biasanya dihidangkan pada saat bulan

Ramadhan sebagai kudapan berbuka puasa dan bu leukat ‘pulut’

Demikian pula halnya dengan masyarakat Tetun Fehan, NTT

yang mejadikan jagung sebagai bahan pokok makan yang dalam

bahasa Tetun disebut batar. Masyarakat Tetun memilki banyak

Page 23: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 13

vokabulari kuliner batar seperti batar filun’ yaitu jagung muda

yang ditumbuk sampai hancur lalu direbus, batar sonan ‘jagung

bakar’, batar midan ‘jagung untuk sup, bubur dan lainnya.

Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang

diucapkan oleh seseorang sangat bergantung pula kepada pikiran

dan tingkah laku orang tersebut yang terefleksi kepada bentuk

vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan

hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam

tulisannya tahun 1956. Keterkaitan bahasa dengan alam ekologis

dapat dilihat dari ungkapan bahasa-bahasa daerah di Indonesia,

sebagai contoh ungkapan Bahasa Aceh yaitu ungkapan Laen lhok

laen buya, laen kreung laen eungkeut dapat mengandung atau

mengekspresikan banyak makna. Leksikon nama lhok ‘lubuk’

adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar.

Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon

lhok secara leksikal memiliki makna denotasi referensial

eksternal yang merujuk kepada entitas-entitas tertentu (lihat

Cummings, 2007: 54); Verhaar, 2006: 389) dalam hal ini orang,

benda, atau keadaan yang nyata. Makna leksikal yang terkandung

di balik leksikon nama ruang tertentu di sungai, dalam hal ini lhok

adalah ‘bagian sungai atau danau yang dalam’. Pengetahuan dan

pengalaman penutur bahasa Aceh tentang lingkungan sungai

yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan pengenalan,

pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur yang tentunya

bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi dengan kondisi

sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal (kreung) itu.

Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan cakupan

makna denotasi, terutama makna konotasi yang disepakati, daya

cipta para penuturnya memproduksi ungkapan atau peribahasa

Page 24: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

14 | D r . N u z w a t y , M . H u m

yang lazim mereka gunakan. Hal yang sama terjadi pula pada

sejumlah leksikon Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu yaitu

ungkapan lubuk ‘sungai’ dalam lain lubuk laen ikannya menjadi

ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat tuturnya dan

terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu umumnya

berlangsung secara lisan. Bagi komunitas penutur Bahasa Melayu

khususnya yang berdomisili di pesisir, interelasi dan interaksi

yang terus menerus misalnya: dengan berbagai ragam ikan dan

dengan lubuk ‘dasar sungai yang dalam’, dan tentunya dengan

aneka ragam hayati dan nonhayati yang ada di lingkungan hidup

mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk mengonstruksi

pengetahuan dan memberi peluang untuk menciptakan ungkapan-

ungkapan metaforis yang kaya akan makna social budaya,

sekaligus juga memperkaya bahasa dan budaya masyarakat

tersebut.

Ungkapan-ungkapan ini merupakan bentuk metafora yang

menjadikan lingkungan alam sebagai acuan. Maksud metafora

tersebut dapat pula diperluas lagi seperti lain daerah lain pula

bahasa dan lain budaya, serta lain pula bentuk metaforanya.

Contoh lain dapat dilihat pada bahasa Indonesia, KALAU

TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP, secara

alamiah asap sesungguhnya merupakan gejala alam yang pada

setiap kemunculannya pasti dimulai oleh adanya api sebagai

penyebab keberadaan asap tersebut. Secara metaforis makna

ungkapan itu mengekpresikan suatu kejadian tidak akan terjadi

tanpa penyebab. Jika komunitas bahasa Indonesia menggunakan

dua komponen yaitu asap dan api sebagai perujukan atau

referensi, tetapi komunitas Bahasa Aceh lebih cenderung

mengacu kepada lingkungan alam atau ekologi sebagai referensi

Page 25: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 15

untuk ungkapan yang maknanya sama secara metaforis yaitu;

‘sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada penyebabnya’. Ungkapan

tersebut adalah; MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET

ON KAYEE yang secara literal atau harfiah bermakna; ‘jika tidak

ada angin tidak mungkin daun bergoyang. Ungkapan tersebut

terlihat kesesuainnya pada ungkapan KALAU TIDAK ADA API

TIDAK MUNGKIN ADA ASAP yang mengekspresikan makna

sama akan tetapi menggunakan perujukan atau referensi berbeda

disebabkan oleh perbedaan komunitas bahasanya dan ecoregion

yang berbeda pula. Dalam bahasa dan budaya lokal Nusantara,

sesungguhnya tersimpan kekayaan dan modal sosial budaya

bangsa. Termasuk di dalamnya adalah kekayaan kearifan lokal

yang tersimpan di balik teks verbal berupa ungkapan-ungkapan

metaforik, peribahasa, dan sebagainya ada di pelbagai wilayah

Nusantara (lihat Sibarani, 2012:133).

Demikian pula halnya dengan masyarakat NTT dimana

Interelasi dan interdependesi masyarakat tersebut, khususnya

komunitas tutur Tetun Fehan dengan lingkungan alam menurut

Nahak (2019) sudah berlangsung dimulai sejak leluhur mereka

menjadikan tanaman jagung yang dalam bahasa lokal disebut

batar sebagai makanan pokok. Batar merupakan tanaman

primadona yang menjadi sumber penghasilan bagi komunitas

tersebut sehingga memberi ruang bagi mereka dalam

menciptakan anekaragam peristilahan kode lingual berupa

leksikon ke-batar-an. Leksikon ke-batar-an dikodekan dalam

keberagam fungsi sosial seperti pada upacara ritual yang

diperuntukkan pada upacara adat furi batar yaitu upacara ritual

menanam benih jagung. Upacara furi batar dipimpin oleh fukun

yaitu tetuah adat dengan menggunakan alat-alat pertanian

Page 26: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

16 | D r . N u z w a t y , M . H u m

tradisional. Demikian pula dengan proses ritual ke-batar-an (hisik

batar fini) yaitu pemberkahan benih jagung dan ritual-ritual

lainnya yang tertuang dalam teks ke-batar-an komunitas tutur

Tetun Fehan tersebut.

Ekolinguistik menempatkan bahasa layaknya species hidup

di lingkungan alam semesta yang dapat hidup dan berkembang,

serta dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Berdasarkan

beberapa pendapat pakar seperti (Mufwene, 2003), (Kovecses,

2006), (Goss & Salmons, 2000) tentang hidup dan mati sebuah

bahasa sangat bergantung kepada situasi. Jika suatu bahasa

digunakan oleh banyak dan bertambah banyak penuturnya maka

dapat dipastikan bahasa tersebut akan tumbuh dan terus

berkembang. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan makin

sedikit atau terus berkurang, dikhawatirkan bahasa tersebut akan

bergeser.

Pergeseran bahasa dimaksud dapat menuju kepada

perubahan yang menghawatirkan, seperti ketergerusan leksikon

mengarah kepada perubahan kode-kode lingual hingga lenyapnya

bahasa tersebut atau mengalami proses evolusi. Mufwene

selanjutnya (2004:146) berpedapat bahwa perubahan yang

menghawatirkan tersebut mungkin saja terjadinya disebabkan

oleh adanya evolusi bahasa. Evolusi Bahasa sebagaimana yang

digambarkan oleh pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis

evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yang menuju ke arah

perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris

Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika.

Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin

yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam.

Subtipe teori Darwin mengarah kepada pengakuan bahwa spesies

Page 27: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 17

suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya,

demikian pula halnya bahasa seperti Bahasa Inggris Afrika yang

sangat dikenal dengan penamaan African American Vernacular

English (AAVE) dipahami sebagai bahasa yang memiliki

khasanah vokabulasi agak berbeda dengan Bahasa Inggris yang

digunakan oleh penutur asli.

Bahasa bukanlah termasuk ke dalam golongan spesis

biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan

satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi.

Proses evolusi bahasa dapat dipahami memiliki kemiripan dengan

proses evolusi spesis biologi karena sama-sama mengalami

perubahan

Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat

disebabkan oleh adanya eksploitasi lingkungan alam dan bencana

alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat

pula pada ideolek dari individu penutur yang berbeda antara satu

penutur dengan penutur lainnya. Evolusi Bahasa yang terjadi

pada Bahasa Inggris yang digunakan oleh komunitas Bahasa

Marati di India, merupakan pola evolusi melalui seleksi alam

seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ashok Kelkar (1957),

yang dibicarakan oleh Haugen (1972:335) bahwa bahasa Inggris

yang digunakan oleh suku Marathi sebagai media komunikasi

tidak sama dengan bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur

asli. Komunitas bahasa di Marathi tidak hanya mengadopsi sistem

bunyi bahasa Marathi ke dalam bahasa Inggris, lebih dari itu

mereka juga mengaplikasikan sistem gramatikal bahasa mereka

sendiri ke dalam bahasa Inggris.

Pola sistem bunyi dan stuktur gramatikal Bahasa Inggris

yang dipergunakan oleh komunitas Bahasa Marathi

Page 28: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

18 | D r . N u z w a t y , M . H u m

sesungguhnya tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah

bahasa Inggris. Situasi seperti ini menyebabkan kesulitan yang

dialami oleh penutur asli bahasa Inggris untuk mengerti dan

memaknani isi pembicaraan mereka ketika para penutur asli

berkomunikasi dengan penutur Bahasa Marathi. Hal ini terjadi

disebabkan oleh perubahan sistem bunyi dan sistem gramatikal

bahasa Inggris Marathi yang secara otomatis menyesuaikan diri

dengan sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi.

Bahasa dan lingkungan tempat bahasa itu digunakan terkait

erat. Keterkaitan ini dapat dicermati dari hasil penelitian Lucy

(1996) tentang bahasa Yucatec Maya seperti yang diungkap oleh

Kovecses (2006:323) menghasilkan satu temuan bahwa

keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec sifatnya opsional

dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup.

Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang

hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada

yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang mereka

kepada lingkungan pedesaan dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Yucatec.

Evolusi Bahasa menurut Mbete (2009) dapat pula terjadi

pada sebagian leksikon saja yang lenyap dan tidak pernah

dipergunakan kembali diakibatkan oleh suatu perubahan ketika

ekologi yang menunjangnya berubah. Ragam bahasa yang

mengalami perubahan di dalam ekologinya mengakibatkan

beberapa istilah menjadi tidak umum lagi dipergunakan, dan

perlahan- lahan hilang dari khazanah leksikon bahasa itu. Contoh,

seperti hilangnya istilah kekalen: air yang mengalir ke

sawah/irigasi, telajakan; jalan setapak, calung ‘tempat menaruh

garam’, anggapan sejenis alat pemotong padi, bendo ‘pisau besar,

Page 29: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 19

pengedangan‘ periuk nasi yang terbuat dari tanah liat, cataran

ceret yang terbuat dari tanah liat, bulakan ‘mata air’, kekepe ‘

tempat menaruh uang bagi para pedagang’, dan tenggala ‘bajak

untuk disawah, semua leksikon tersebut di atas merupakan

leksikon bahasa Bali yang sudah asing didengar. Benda ataupun

keadaan yang dirujuk oleh leksikon tersebut sudah hilang dan

penggunaannya sudah pula tidak umum lagi dalam komunitas

tutur bahasa Bali.

Segala bentuk perubahan yang terjadi di dalam ekologi

tempat bahasa itu sendiri dipergunakan niscaya akan

menyebabkan perubahan pada bahasa tersebut. Salah satu contoh

yang sangat jelas terlihat saat ini di Bali adalah akibat dari

penyusutan lahan sawah dan subak. Subak dan sawah adalah

kesatuan hegemoni yang banyak melahirkan budaya di Bali. Jadi,

dengan menyusutnya jumlah apalagi hilangnya subak dan

menyusutnya lahan persawahan di wilayah tersebut sudah barang

tentu dapat mengubah bahasa yang dipergunakan secara

keseluruhan. Seperti istilah tenggala merupakan alat yang

digunakan untuk membajak sawah, saat ini telah digantikan oleh

traktor sehingga generasi saat ini tidak lagi mengenal istilah

tenggala karena acap kali mereka melihat petani membajak

sawah dengan mempergunakan traktor.

Perubahan dan terkikisnya unsur-unsur leksikal sudah

mulai terjadi disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang

penggunaannya serba praktis sehingga mengeser alat tradisional

dan kadangkala sudah tidak dipergunakan lagi, sebagai contoh

geunuku [gənuku] dalam Bahasa Aceh adalah alat yang

dipergunakan untuk mengukur kelapa. Saat ini geunuku sudah

tidak dipergunakan lagi, berganti dengan mesin pengkukur

Page 30: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

20 | D r . N u z w a t y , M . H u m

kelapa. Walaupun geunuku sudah tidak dijumpai dan dipakai lagi

namun metafora GEUNUKU HAN MATA TIMAH, masih

dipergunakan dalam komunikasi keseharian komunitas Bahasa

Aceh di wilayah terentu. Contoh tuturan yang paling umum

adalah

Jino jih GEUNUKU HAN MATA TIMAH.

sekarang org III tgl kukuran tanpa mata timah.

Secara harfiah tuturan ini bermakna: Sekarang dia kukuran

kelapa tanpa mata timah. Makna leksikal, jino ‘sekarang’, jih

‘dia’, geunuku ‘kukuran kelapa’, han ‘tanpa’ mata timah (mata

kukuran kelapa yang terbuat dari besi bergerigi). Makna meta-

foris yang terkandung dalam tuturan tersebut dialamatkan kepada

seseorang yang saat berpangkat orang tersebut sombong dan

tinggi hati serta ditakuti pula oleh masyarakat, namun setelah dia

pensiun dia sudah kehilangan kesombongannya dan diremehkan,

serta dianggap tidak berguna lagi oleh masyarakatnya.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahun dan

kehidupan modern serta perubahan ekosistem kedudukan bahasa

dan kebudayaan di suatu wilayah sudah banyak tercemar.

Pencemaran ini juga berimbas kepada lingkungan fisik dan

lingkungan sosial pada ranah penggunaan bahasa, contoh [jəngki]

alat yang digunakan untuk menggiling padi dan menumbuk

tepung beras di Aceh Selatan sudah tidak ditemukan lagi karena

sudah digantikan dengan mesin penggiling padi, namun metafora

JEUNGKI MUGEE, yang secara harfiah bermakna alat

penumbuk padi yang dimiliki oleh tengkulak pada masa silam,

memiliki makna metaforis JEUNGKI MUGEE ditujukan kepada

seseorang yang mempunyai sifat tamak. Para orang tua di wilayah

Page 31: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 21

Aceh Selatan sering menasihati anaknya agar tidak tamak dengan

tuturan:

Hai neuk bek jadee JEUNGKI MUGEE beu,

‘wahai anakku jangan tamak ya’

Sebuah penelitian terhadap ungkapan-ungkapan dalam

Bahasa Lio dan fungsinya dalam melestarikan lingkungan yang

pernah dilakukan oleh Mbete (2002) bertumpu pada tiga masalah

pokok, yang berkaitan dengan bagaimana bentuk ungkapan

verbal etnik Lio dalam kaitan fungsionalnya dengan

pemeliharaan lingkungan. Ke dua bagaimana fungsi, makna, dan

nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.

Berikutnya bagaimana kaitannya dengan sistem budaya

masyarakatnya. Hasil penelitin memperlihatkan satu bentuk

kebertahanan bahasa Lio yang berkaitan dengan lingkungan

alam. Kebertahanan ungkapan-ungkapan bahasa ini dapat terjadi

disebabkan masyarakat Lio tetap menjaga kandungan nilai,

norma, dan fungsi penting ungkapan-ungkapan budaya verbal

masyarakat etnik Lio dalam kaitannya dengan pelestarian

lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-ungkapan

verbal berfungsi sebagai pemeliharaan keharmonisan hubungan

manusia dengan alam semesta, terutama hubungan dengan Yang

Maha Kuasa dan dengan leluhur yang secara genitis melahirkan

mereka. Interelasi keempat unsur ini terekam secara verbal dalam

kognitif masyarakat Lio secara kolektif. Sehingga hubungan

tersebut tetap dijunjung tinggi, diikuti dan dihormati oleh seluruh

anggota masyarakat Lio.

Sejak tahun 1983 peneliti-peneliti dari Universitas

Bielefelde di Jerman sudah mulai mengembangkan dan

Page 32: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

22 | D r . N u z w a t y , M . H u m

mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik. Ide

mentranfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan metode-metode,

ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang pesat. Pieter

Finke (1983, 1993, 1996) mentransformasikan konsep-konsep

ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural, seperti

yang dilaporkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45).

Ilmuwan ini mengkritik leksikon yang digunakan oleh industri

agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Bentuk

seperti ‘production replace, growing, dan giving yang sebenarnya

dapat mengandung makna harfiah yang bersifat positif, namun di

dalam dunia industry dan bisnis leksikon tersebut berubah

menjadi bentuk metafora ekologis yang dapat dimaknai sebagai

konsep pembunuhan (killing)dan pelenyapan (taking away) yang

terjadi.

Kajian ekolinguistik sejatinya banyak melibatkan metafora

ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-

macam bentuk bahasa yang ada di dunia dengan penggunanya.

Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan

hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan

tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada

di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan

hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dan

lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan.

lihat Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1)

yang selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya

menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya

dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual. Fill dan

Muhlhausler (2001:57) berpendapat bahwa ekolinguistik

melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa,

Page 33: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 23

serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang

berkaitan atau berhubungan dengan ekologi. Jangkauan

ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa

disiplin ilmu bahasa. Seperti:

a. Menemukan teori bahasa yang tepat.

b. Studi tentang sistem bahasa dan teks

c. Studi keuniversalan Bahasa relevan dengan isu-isu

lingkungan.

d. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.

e. Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi

(ecoliterasi) seperti pada pengajaran pemahaman ekologi

kepada anak-anak balita dan remaja.

Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang

dilaporkan oleh Mbete (2009:11-12) memiliki keterkaitan dengan

sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian

ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan

dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh

ruang kaji tersebut adalah; Sosiolinguistik, Dialektologi,

Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi,

Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif,

Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula

Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

Kajian ataupun penelitian yang dilakukan di bawah payung

ekolinguistik dapat dikatakan masih sangat sedikit di Indonesia,

sedangkan lahan untuk kajian ini masih sangat luas. Kajian

ekolinguitik dapat berkolaborasi dengan semua kajian linguistik

murni seperti kajian fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan

pragmatik serta dapat pula berkolaborasi dengan kajian linguistik

terapan seperti yang telah disebutkan diatas.

Page 34: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

24 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Page 35: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 25

etafora secara umum dikenal sebagai kajian

linguistik yang mentrasnfer ide-ide dalam

bentuk kongkrit ke wilayah yang lebih abstrak.

Kerangka metafora menurut Kovecses (2006) merupakan

susunan bentuk interaksi dari dua model kultur yaitu ranah

sumber dan ranah target. Keterhubungan dari kedua model

tersebut ditandai dengan ada suatu hubungan yang sangat kuat

antara kognitif dan komunitas bahasa melalui kesepakatan

bersama secara konvensi dalam proses pembentukan sebuah

metafora.

Menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102)

pembentukan metafora sesungguhnya berasal dari pandangan

para pakar retorika kuno. Kata metafora itu sendiri berasal dari

bahasa Yunani metaphora yang terdiri atas dua leksis yaitu meta

yang berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan

phora yang berarti referensi atau acuan. Recoeur (2005:82) juga

menjelaskan bahwa dalam kajian retorika kuno, metafora

diklasifikasikan sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah

M

Page 36: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

26 | D r . N u z w a t y , M . H u m

gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam

penggunaan kata dalam proses denominasi.

Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa pakar

retorika kuno seperti Aristoteles menyebutkan “sebuah metafora”

adalah pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi

milik sesuatu yang lain atau suatu transfer yang terjadi dari genus

ke spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies secara

analogi”. Oleh sebab itulah maka sudah berabad-abad lamanya

metafora selalu dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan

pada diskursus.

Sebuah metafora dibangun dari unsur-unsur leksikal dan

adanya referensi yang dirujuknya. Monroe Beardsley, menurut

Recoeur (2005:81) menyatakan bahwa metafora adalah “sebuah

puisi miniatur” dan menggolongkan metafora sebagai sebuah

kiasan yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan

adanya variasi makna dalam penggunaan leksikal. Sugiharto

(2006:103) berpendapat bahwa Aristoteles dalam karyanya

Poetic juga menandai metafora ke dalam tiga ciri penting.

Pertama, metafora adalah sesuatu yang dikenakan pada

nomina. Ciri kedua, metafora didefinisikan dalam konteks

gerakan (epiphora) yaitu pemindahan atau pergerakan dari

sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku bagi semua bentuk

transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora merupakan transposisi

sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu nama yang

sesungguhnya milik nama suatu benda lainnya. Implikasi dari

ketiga ciri tersebut bahwa metafora mengandung tiga gagasan

yang berbeda berpadu dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan

yaitu substitusi sebuah leksikon biasa yang semestinya ada

Page 37: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 27

dipinjamkan kepada sesuatu yang lain dan atau peminjaman dari

suatu ranah asal ke ranah lain sebagai ranah target.

Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap

metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan

hanya dibicarakan pada kajian-kajian yang menyangkut bidang

kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika, karena metafora

dianggap tidak dapat menggambarkan atau menyatakan keadaan

yang sebenarnya. Mereka menganggap arti yang dikandung oleh

sebuah metafora selalu mengaburkan dan menimbulkan makna

taksa. Oleh sebab itu para filosof merasa bahwa penggunaan

metafora dalam membicarakan filsafat sangat tidak dibenarkan.

Namun ketika mereka menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa

mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa umum, mereka

beralih ke metafora dan akhirnya penggunaan metafora dalam

membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap oleh

Goathy (1997:1-3).

Hingga saat ini menurut Sugiharto (2006:102), metafora

terus berkembang untuk memenuhi perannya sebagai perangkat

bahasa manusia. Metafora merupakan karakter fundamental

hubungan linguistik manusia dengan dunia alam sekitarnya dan

bukanlah semata-mata sekedar bentuk semantik tertentu. Goathy

(1997:1) berpendapat metafora sangat bergantung pada bahasa

dan pikiran. Metafora dan proses mental saling bertalian yang

berasal dari bahasa dan kognitif. Bahasa yang digunakan oleh

orang yang sedang kasmaran untuk merayu, membujuk dan

menyapa selalu dalam bentuk-bentuk metafora seperti, dear

honey, hi my sweet hearth, you an apple of my eyes. Bahasa yang

dipergunakan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya dalam

Page 38: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

28 | D r . N u z w a t y , M . H u m

bentuk metafora, seperti permata, berlian, intan yang bernilai

tinggi.

Penutur bahasa menciptakan berbagai kreasi bentuk

metafora baru secara berkesinambungan sehingga bentuk

metafora yang bergayut dengan lingkungan pun berkembang

pesat sampai merambah kepada media elektronik. Seperti adanya

penayangan iklan produk makanan, minuman di sebuah saluran

televisi di antaranya iklan biskuit biskuat yang menampilkan

harimau, macan sebagai ranah asal yang dipinjamkan ke ranah

lain yaitu manusia yg memakan biskuit tersebut menjadi kuat

seperti harimau. Iklan minuman yang menapilkan Jeruk kok

minum jeruk yang diperoleh dari iklan komersial dari produk

minuman yang berasal dari jeruk berusaha menggambarkan

secara visual animasi sebuah jeruk ingin minum sari jeruk yang

dipromosikan. Kemungkinan pesan iklan yang ingin disampaikan

adalah kenikmatan yang luar biasa dari sari jeruk tersebut

sehingga jeruk sendiripun ingin meminumnya.

Page 39: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 29

ebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa

metafora merupakan interaksi dua kerangka

kultural. Dua kerangka kultural dimaksud adalah

ranah sumber dan ranah target. Ranah sumber merupakan bahan

acuan untuk menampilkan struktur ranah target yang terekam

dalam sistem kognitif manusia. Interelasi ranah target dan ranah

sumber disebabkan oleh adanya kesamaan atau kemiripan

karakter antara keduanya. Kerangka kultural dimaksud dapat pula

dipahami sebagai seperangkat pemahaman tentang dunia secara

terstruktur dalam pola dan kerangka lingkungan sosial komunitas

bahasa mengikuti hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman

bersama yang dimiliki komunitas tutur. Kesemuanya ini dapat

memberikan gambaran beberapa karakteristik metafota yang

dikaitkan dengan lingkungan alam dan kultural sebagai

lingkungan sosial komunitas tutur. Seseorang dapat

menggunakan kerangka analisis metafora dalam memahami isu-

S

Page 40: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

30 | D r . N u z w a t y , M . H u m

isu sosial kultural dalam kaitannya dengan karateristik metafora

pada umumnya. Karakteristik metafora dalam sebuah komunitas

bahasa yang dikaitkan dengan lingkungan ekologis dapat pula

bertalian dengan konseptual alamiah dalam hubungan antara

unsur bahasa dan kognitif manusia. Interelasi ini dapat

digambarkan melalui inreaksi tiga dimensi sosial praksis (dimensi

ideo-, sosio-, dan bio-logikal) dalam sebuah metafora.

Karakteristik metafora yang dikaitkan dengan ekologis yang akan

dibicarakan adalah, metafora leksikal, metafora gramatikal,

metafora konseptual dan metafora ekosistem.

Diketahui bersama bahwa metafora tercipta karena adanya

persaman kandungan maknawi antara satu leksikon dengan

leksikon lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa metafora milik

bahasa yang menata penamaan sesuatu dalam penggunaan

leksikal yang ditransfer kepada unsur lainnya disebabkan oleh

adanya kesamaan yang ditampilkan oleh keduanya. Penggunaan

leksikal dimaksud meliputi hubungan antara makna literal dan

makna figuratif yang terkandung dalam leksikal tersebut,

memberikan karakter tuturan sebagai sebuah keutuhan yang

berada pada kognitif manusia. Secara sederhana metafora dapat

dipahami sebagai suatu transfer makna leksikal dari sebuah

ekpresi kepada ekpresi lain disebabkan oleh adanya kesamaan ciri

dan persamaan sifat dari keduanya berdasarkan pada pengalaman

kognitif masyarakat tutur suatu bahasa periksa Cruse (2000: 202).

Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah

leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau

makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna dari

Page 41: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 31

sebuah situasi tersebut tidak semata- mata hanya milik bahasa

tetapi milik kehidupan sosial dari sebuah komunitas bahasa.

Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora

melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural,

lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian

anggota tubuh mahluk sebagaimana yang diungkapkan oleh

Kovecses (2006:126). Lebih lanjut Kovecses memberi contoh

metafora time (waktu) yang dalam lingkungan sosio-kultural dan

kognitif komunitas tutur bahasa Inggris menggandung makna

sangat bernilai, sehingga banyak tuturan- tuturan yang

menggunakan time. Time is money. Tme and tide wait for no man,

Time goes on, dan lain sebagainya.

Saragih (2004:49), (2006:191) menjelaskan metafora

leksikal menunjukkan bahwa makna satu kata dirujuk sebahagian

untuk menyatakan atau memahami makna kata lain. Selanjutnya

Saragih (2006:191) menjelaskan, metafora merupakan realisasi

pengalaman secara tidak lazim atau merupakan ekspresi bertanda

(marked) atau disebut juga makna figuratif melintasi ekspresi

lazim (unmarket). Makna ekspresi lazim juga disebut sebagai

makna harfiah atau makna literal dan makna tak lazim disebut

pula makna figuratif. Untuk menjelaskan metafora ini dapat

dilihat dari kedua tuturan berikut:

(a) Ruri menanam bunga di pekarangan rumah kami.

(b) Ruri itu bunga di kampung kami

Tuturan (a) makna bunga mengandung makna literal yaitu

tanaman hias yang lazim ditanam di pekarang rumah, indah,

menarik, dan disenangi. Pada tuturan (b) makna bunga

mengandung makna figuratif atau makna metafora. Ruri adalah

manusia bukan tanaman hias. Tuturan (b) memuat sebuah

Page 42: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

32 | D r . N u z w a t y , M . H u m

perbandingan yang menghasilkan makna figuratif dalam hal ini

keelokan paras Ruri diperbandingkan dengan keindahan tanaman

hias bunga disebabkan oleh keindahan bunga dianggap ada pada

Ruri. Wajah Ruri yang cantik dengan akhlaknya yang baik

layaknya sekuntum bunga selalu menyenangkan bagi orang yang

melihatnya. Berikut ini contoh lain metafora leksikal ular:

(c). Tono melihat seekor ular melilit di pohon.

(d). Tono itu ular, kamu harus hati-hati.

Tuturan (c) makna ular mengandung makna literal yaitu

seekor binatang melata, berbisa, bersisik dapat membelit atau

melilit. Pada tuturan (d) makna ular mengandung makna

metafora. Tono adalah manusia bukan hewan melata akan tetapi

sifat Tono lah yang diperbandingkan dengan sifat ular karena

sebagian dari sifat ular dianggap ada pada Tono. Misalnya

Perkataan Tono, selalu menyakitkan dan meracuni orang seperti

bisa ular. Sifat Tono yang gemar menipu dan berbohong pada

orang diperbandingkan dengan sifat ular yang suka membelit

mangsanya.

Menurut Saragih (2006:191-193), Finegan (2015:190)

metafora leksikal dapat berwujud dalam beragam realisasi yang

umumnya mengekspresikan satu fenomena dilihat dari dua

perspektif dan dapat diurai ke dalam beberapa kriteria. Dalam

mengeksresikan fenomena tersebut dapat dilihat pada metafora

yang lazim ditemukan dalam Bahasa Indonesia, pertama, nomina

dapat disandingkan dengan nomina pula, seperti internet

merupakan jendela dunia bagi kita. Nomina jendela

disandingkan dengan nomina dunia. Pada metafora Bahasa Aceh,

being bak babah bubee ‘kepiting di mulut bubu’ merupakan

contoh yang menyandingkan nomina being ‘kepiting’ dengan

Page 43: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 33

nomina bubee ‘bubu’. Bila seekor kepiting lengket di mulut bubu

akan menutupi pintu masuk ikan-ikan kedalam bubu. Fenomena

alamiah ini membentuk sebuah metafora yang ditujukan kepada

sifat seseorang yang gemar menghalang-halangi perbuatan,

pekerjaan atau rencana kerja orang lain. Orang tersebut selalu

merasa hanya dia seorang yang dapat melakukannya dan merasa

bahwa tanpa campur tangannya maka pekerjaan tersebut tidak

akan dapat diselesaikan dengan baik, walaupun pada

kenyataannya dia sendiri tidak dapat mengerjakan pekerjaan itu.

Metafora Bahasa Inggris to find a needle in a haystack ‘mencari

jarum di tumpukan jerami’ juga merupakan penyandingan

nomina a needle ‘jarum’ dengan nomina a haystack ‘tumpukan

jerami’. Mencari satu jarum di tumpukan jerami tidak mungkin

dapat dilakukan dan akan sia-sia saja. Metafora to find a needle

in a haystack dalam komunitas Bahasa Inggris mengandung

makna melakukan sesuatu yang tidak akan menguntungkan atau

tidak memperoleh hasil sama sekali atau melakukan pekerjaan

dengan sia-sia. Metafora Bahasa Melayu yang ada pada repertoire

etnik Kualuh memiliki metafora pucok oru, ‘pucuk pinus’

merupakan persandingan nomina pocuk dengan nomina oru.

Pucuk pohon pinus yang tinggi menjulang ketika ditiup angin

akan bergoyang, keadaan pucuk pinus yang bergoyang tersebut

membentuk metafora pucok oru yang mengandung makna

figuratif yang ditujukan pada seseorang yang tidak tetap

pendirian atau seseorang yang labil.

Nomina dapat pula disandingkan dengan verba seperti

Janganlah memancing di air keruh. Verba memancing

disandingkan dengan nomina air keruh, contoh lain menulis buku

memakan waktu. Verba memakan disandingkan dengan nomina

Page 44: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

34 | D r . N u z w a t y , M . H u m

waktu, Kebaikan Budi bisa mencuri hati Rini. Verba mencuri

bersanding dengan nomina hati. Contoh metafora dalam Bahasa

Aceh kameng jak ateuh batee ‘seekor kambing berjalan di atas

batu’. Verba jak ‘berjalan’ bersanding nomina batee ‘batu’. Bila

seekor kambing berjalan di atas batu ia akan berjalan agak lambat

dan terseok-seok. Cara kambing berjalan di atas batu

memunculkan sebuah metafora yang mengandung makna yang

ditutujukan kepada seseorang yang tidak dapat membaca Al

Qur’an dengan lancar atau seseorang yang membaca Al Qur’an

terbata-bata. Metafora Bahasa Inggris yang dapat dijadikan

contoh bentuk penyatuan verba dan nomina, look back ‘melihat

kebelakang’ atau ‘melihat kembali’ dengan nomina shoulders

‘bahu’ pada metafora look back over our shoulders yang

mengandung makna ‘belajar pada pengalaman masa lalu’ seperti

pada tuturan we need to look back over our shoulders at the

lessons that history has taught us.

Nomina dapat pula disandingkan dengan adjektiva seperti

jadilah orang yang kaya hati. Adjektiva kaya disandingkan

dengan nomina hati, dan dia berasal dari keluarga darah biru,

nomina darah bersanding dengan adjektiva biru. Dalam metafora

Bahasa Aceh mon tuha ‘sumur tua’ nomina mon ‘sumur’ dan

adjektiva tuha ‘tua’. Pada zaman dahulu komunitas Aceh

mengambil air untuk keperluan kehidupan dari sumur dengan

menggunakan timba. Namun saat ini pada umumnya masyarakat

tidak lagi menggunakan sumur untuk mendapatkan air. Mereka

memperoleh air dengan cara menggunakan mesin pompa air yang

dialirkan melalui pipa air yang dibor kedalam tanah. Keadaan ini

menjadikan banyak sumur yang tidak dipergunakan lagi yang

mereka sebut sebagai mon tuha (sumur tua). Biasanya di dalam

Page 45: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 35

sumur tua ini tumbuh rumput liar. Selain dari rumput-rumput liar

semua barang yang sudah tidak dipergunakan lagi adakalanya di

buang ke dalam sumur tua ini. Dari keadaan sumur tua

sedemikian terbentuk sebuah metafora mon tuha yang secara

harfiah bermakna sumur tua dipeta silangkan kepada orang

suruhan yang semua pekerjaan berat dan ringan dikerjakannya

karena dia tidak memiliki kepintaran yang lain. Berikut metafora

Bahasa Aceh yang menyandingkan nomina dan adjektiva yaitu

nomina boh timon ‘buah mentimun’ dan adjektiva bongkok pada

metafora boh timon bongkok yang dalam Bahasa Indonesia

disebut buah mentimun bungkuk. Buah mentimun bungkuk

dianggap sebagai buah yang kurang baik dan pada waktu panen

biasanya buah yang bengkok tidak dijual, namun bila ada yang

ingin membelinya maka buah itu akan dijual dengan harga yang

sangat murah. Buah mentimun yang bengkok ini pada dasarnya

hanya dimanfaatkan untuk memenuhkan isi keranjang besar

tempat atau wadah untuk buah-buahan, ikan atau komoditas

lainnya yang terbuat dari anyaman rotan atau bambu yang dalam

Bahasa Aceh disebut raga. Bentuk metafora lazimnya dalam

tuturan boh timon bungkok pemeunoh raga yang secara harfiah

artinya buah mentimun bungkuk untuk memenuhkan isi

keranjang, sedangkan kandungan makna metafora dialamatkan

kepada sesorang yang tidak memberikan kontribusi apaun di

dalam satu kelompok atau dalam satu organisasi, namun dengan

terpaksa dia diikutsertakan juga untuk memenuhi jumlah kuota

sebagaimana yang sudah ditentukan, dan ini terjadi karena sudah

tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Maka keberadaannya

disana hanya sebagai pelengkap jumlah kuota. Bahasa Melayu

Kualuh juga memiliki metafora yang menyandingkan nomina

Page 46: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

36 | D r . N u z w a t y , M . H u m

dengan adjektiva yaitu nomina badak dan adjektiva pokak

‘pekak’. Metafora pokak badak memiliki kandungan makna

metafora ditujukan pada seseorang yang ketika dipanggil dengan

suara keras dia pura-pura tidak mendengar dan tidak menyahut

tetapi ketika seseorang memanggilnya dengan suara pelan dia

mendengarnya dan menyahut. Bahasa Inggris juga memiliki

metafora yang menyandingkan nomina dengan adjektiva seperti

pada metafora a heavy heart, nomina heart ‘hati’ bersanding

dengan adjektiva heavy ‘berat’,metafora ini bermakna perasaan

sedih atau perasaan tidak enak dan berat hati seperti pada tuturan

It is with a heavy heart that I tell of his death. Berikut metafora

yang menyanding nomina dengan adjektiva a dark cloud over

one’s life ‘secara harfiah makna dari frasa a dark cloud over

one’s life awan hitam pada kehidupan seseorang seperti pada

contoh The lost of a friend is a dark cloud over one’s life ‘ secara

metafora makna tuturan tersebut dapat diartikan ‘kehilangan

seorang teman sangat menyedihkan dan menyakitkan’.

Teori LFS (2004:3) dikemukan oleh Halliday menetapkan

bahasa adalah teks yang mereprentasikan makna gramatikal yang

dapat dipahami oleh semua masyarakat tutur bahasa tersebut.

Kemudian bahasa merupakan fenomena sosial yang terjadi dari

dua unsur yaitu arti dan ekspresi, dan arti direalisasikan oleh

ekspresi. Dalam mengekpresikan makna ini, bahasa

melaksanakan tiga fungsi yaitu memaparkan pengalaman

(ideational function), mempertukarkan pengalaman

(interpersonal function), dan merangkai pengalaman (textual

function) periksa Halliday (2004: 29), Eggins (1996:3), Saragih

Page 47: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 37

(2006:7), Sinar (2010:3). Saragih (2006:193). Dalam

memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman ini

dapat muncul suatu pengalaman tertentu yang lazim digunakan

kepada pengalaman yang lain yang disebut sebagai metafora

gramatikal atau metafora tata bahasa. Banyak pakar LFS

mengupas metafora gramatikal seperti Halliday dan murid-

muridnya, periksa Saragih (2004:50), (2006:193), Eggins (1996).

Dalam kumpulan Karya Halliday yang disunting oleh Webster

(2006:7-10) mendiskripsikan bahwa metafora gramatikal atau

metafora tata bahasa merupakan wujud kesengajangan

(discrepancy) dalam realisasi fungsi eksperensial, interpersonal,

tekstual, dan logis bahasa. Pengalaman yang lazimnya digunakan

untuk suatu pengalaman tertentu digunakan untuk pengalaman

yang lain. Dengan kata lain, metafora tersebut memberikan

pengertian bahwa realisasi yang lazim dari pengalaman

(eksperensial, logis, antarpesona, dan tekstual) dalam bentuk

transivitas, klausa kompleks, modus, tema/rema, dan kohesi

tertentu direalisasikan dengan atau dalam aspek (struktur) tata

bahasa yang lain atau yang tidak lazim. Disebabkan oleh

perealisasian pengalamam dari lokasi makna lazim kepada lokasi

makna yang tidak lazim, para pakar tersebut menempatkan

metafora kedalam dua relokasi realisasi makna.

Pertama relokasi makna yang lazim ke dalam aspek tata

bahasa yang lain dalam peringkat yang sama, misalnya kegiatan

atau aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses

direalisasikan sebagai nomina atau realisasi yang lazim

dikodekan dalam beberapa kata disampaikan dalam satu kata saja.

Page 48: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

38 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Contoh:

a. Mereka bertemu di pantai. Kemudian, mereka makan

malam bersama di Retoran Terapung. (lazim)

Pertemuan mereka di pantai diikuti makan malam di

Restoran Terapung. (metafora).

b. Andi terlambat berangkat ke kampus karena dia tertidur.

(lazim)

Keterlambatan Andi berangkat ke kampus dikarenakan

dia tertidur. (metafora).

c. Ibu guru marah karena murid-murid malas membuat PR

(lazim).

Kemarahan ibu guru dikarenakan murid-murid malas

membuat PR. (metafora)

Kedua relokasi realisasi makna yang lazim pada satu

peringkat (ranking) dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang

lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan

pengalaman) atau lebih tinggi (seperti pada metafora pertukaran

pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dalam

klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang

lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa.

Contoh:

a. Rini sering datang terlambat. Keadaan ini membuat

gurunya marah. (lazim)

Kedatangan Rini yang sering terlambat membuat

gurunya marah. (metafora)

b. Tono sering pulang larut malam. Hal ini membuat

istrinya resah. (lazim)

Page 49: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 39

Seringnya Tono pulang larut malam meresahkan

istrinya. (metafora)

Dalam merealisaikan pengalaman pada umumnya, bahasa

metafora digunakan bidang akademik, kajian akademik, dan

kajian ilmiah atau urusan diplomasi.

Metafora konseptual lazimnya ditampilkan dalam bentuk

huruf kapital pada bahasa tulisan. Pada buku ini contoh metafora

konseptual juga ditulis dalam huruf kapital. Metafora konseptual

merupakan pola metafora yang kerap dibicarakan dalam pustaka

kognitif linguistik. Kajian kognitif linguistik merupakan

kolaborasi kajian linguistik dengan kajian kognitif atau pikiran

pengguna bahasa. Identifikasi metafora konseptual digambarkan

sebagai suatu proses pemetaan silang dua konsep yang

berlangsung dalam kognitif pengguna atau komunitas tutur suatu

bahasa. Sehingga metafora dapat dipahami sebagai bagian dari

bahasa memainkan peranan yang amat penting dalam kajian

pikiran dan dengan kultur komunitas pemilik atau penutur bahasa

tersebut. Itulah sebabnya metafora konseptual tidak hanya

dianggap sebagai fenomena linguistik saja, namun lebih dari itu,

metafora tersebut juga merupakan fenomena sosiokultural dan

fenomena lingkungan alam. Metafora konseptual digambarkan

sebagai suatu proses pemetaan silang dua konsep yang

berlangsung didalam kognitif penutur bahasa. Konsep pertama

bersifat kongkrit yang disebut sebagai ranah sumber dan konsep

ke dua bersifat abstrak yang disebut sebagai ranah target.

Pemetaan silang ke dua konsep ini adakalanya melibatkan atau

disebabkan oleh pengalaman inderawi penutur bahasa, sebagai

Page 50: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

40 | D r . N u z w a t y , M . H u m

contoh masyarakat Inggris pada umumnya memandang

kehidupan melalui dua konsep yaitu konsep perjalanan dan

konsep kehidupan, sehingga contoh metafora yang lazim mereka

paparkan tentang kehidupan berdasarkan hubungan yang paling

erat antara dua konsep tersebut yaitu kehidupan (life) dan

perjalanan (journey) LIFE is A JOURNEY. Hubungan kedua

konsep ini terjadi secara sistematis sehingga setiap pembicaraan

yang menyangkut tentang kehidupan akan selalu dikaitkan dan

dihubungkan dengan konsep perjalanan, lihat Kovecses

(2006:117). Interelasi dan interaksi ke dua konsep ini merupakan

hubungan yang tertata secara sistematis yang dapat digambarkan

dalam skema kognitif penuturnya dan dapat pula dijabarkan

sebagai berikut:

metafora PERJALANAN dan KEHIDUPAN:

PERJALANAN KEHIDUPAN

Pelancong manusia memimpin

kehidupannya

perjalanan/bergerak bergerak/berusaha tujuan

hidupnya

(mengarah ke satu tujuan)

tujuan (arah, tempat) cita-cita hidupnya

rintangan dalam perjalanan kesulitan yang dihadapi

sampai ke tempat tujuan keberhasilan yang dicapai.

Seperti telah dibicarakan sebelumnya bahwa metafora

dalam pustaka kognitif linguitik dikenal sebagai metafora

konseptual karena metafora tersebut merupakan konseptual

alamiah dalam hubungan antara unsur bahasa dan kognitif

manusia. Lakoff dan Johnson (1980:267-268) berpendapat,

Page 51: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 41

adanya dua macam hubungan yang terlibat dalam suatu metafora,

yaitu hubungan ontologis, yang melibatkan entitas dalam dua

ranah yaitu ranah sumber yang besifat kongkrit dan ranah target

yang bersifat abstrak, seperti pada SINGA. Ranar sumber singa

berbentuk kongkrit yaitu hewan yang tinggal di hutan dan ranah

target dalam hubungan ontologis bersifat abstrak yaitu sifat atau

karakter seseorang. Hubungan epistimik, melibatkan hubungan

pengetahuan tentang entitas tersebut yaitu kuat, berani dan

dianggap sebagai hewan perkasa ditakuti oleh lawannya di dalam

hutan dengan sifat kuat, pemberani dan kesemua sifat yang

dimiliki oleh singa dipetakan kepada manusia yang memiliki sifat

sebagaimana lazimnya terdapat dalam kondisi dan sifat singa.

metafora Budi itu singa, merupakan metafora yang memandang

Budi dan singa mempunyai kesamaan akan sikap berani

keduanya. Metafora Bahasa Inggris yang popular diilustrasikan

oleh Lakoff adalah: ANGER IS HEAT OF FLUID IN

CONTAINER. Hubungan yang dapat digambarkan untuk

metafora ini sebagai berikut:

Hubungan ontologis dari metafora tersebut adalah:

HEAT OF FLUID

ANGER CONTAINER

Kemarahan badan (tubuh)

skala kemarahan skala suhu tubuh

(cairan panas)

Hubungan epistemik dari metafora tersebut adalah:

Ketika cairan di dalam kontener Ketika kemarahan

dipanaskan sampai batas tertinggi memuncak sampai batas

tekanan meningkat mengakibat- tertinggi mengakibatkan

kan kontener meledak kehilangan control.

Page 52: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

42 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Teori yang ditayangkan Lakoff (1980) ini banyak diadopsi

oleh pustaka linguistik kognitif. Secara garis besar pembentukan

metafora konseptual selalu melibatkan dua ranah, yang pertama

disebut ranah sumber (source domain) dan yang berikutnya

disebut ranah target (target domain). Pada umumnya ranah

sumber lebih bersifat fisik dan ranah target lebih bersifat abstrak.

Seperti pada contoh LIFE is A JOURNEY. Perjalanan (journey)

dijadikan ranah sumber yang bersifat fisik atau nyata dan

kehidupan (life) dijadikan sebagai ranah target yang bersifat

abstrak. Terbentuknya metafora ini disebabkan oleh terjadinya

proses pemetaan silang.

Pemetaan silang terjadi karena ke dua-dua kosep yaitu

ranah sumber dan ranah target tersebut memiliki ciri-ciri

persamaan atau menampilkan konsep persamaan dalam beberapa

hal. Ciri-ciri persamaan tersebut terekam dalam kognitif penutur

bahasa. Sehingga ranah sumber dan ranah target sebuah metafora

sangat bergantung pada cara pandang penuturnya.

Proses pemetaan silang juga dapat berlangsung dari ranah

sumber yang berdasarkan kepada pengalaman tubuh atau

pengalaman inderawi manusia. Pengalaman non linguistik ini

lazimnya sudah terbentuk sejak usia dini manusia, seperti seorang

anak merasa hangat ketika dipeluk oleh ibunya atau keluarganya

dan saat itu si anak merasa senang, bahagia dan nyaman, serta

menumbuhkan perasaan kasih sayang yang terhimpun dalam otak

manusia, sebagai contoh metafora yang merepresentasikan

kehangatan dapat seperti HANGAT KASIH SAYANG ibu.

Hubungan antara ranah sumber dan ranah target tertata rapi

di dalam kognitif penuturnya, sebuah ranah sumber dapat

dipetakan kepada beberapa ranah target dan beberapa ranah

Page 53: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 43

sumber dapat pula dipetakan kepada satu ranah target saja,

contoh, satu ranah sumber dipetakan kepada dua ranah target:

LIFE is A JOURNEY LOVE is A JOURNEY

Ranah sumber JOURNEY dipetakan kepada LIFE dan

LOVE

Contoh beberapa ranah sumber dipetakan kepada satu ranah

target

LOVE is A JOURNEY LOVE is AGAME LOVE

is FIRE

Ranah sumber JOURNEY, GAME, dan FIRE dipetakan

kepada LOVE.

Contoh metafora konseptual Bahasa Aceh yang

melambangkan konsep watak atau sifat seseorang yang suka

memfitnah yaitu sikin lipat yang dalam Bahasa Indonesia disebut

pisau lipat. Secara kongkrit sikin lipat sangat tajam yang biasa

dipergunakan untuk menyembelih ayam, itik dan memotong ikan.

Ketika pisau ini sudah selesai dipakai atau tidak dipakai lagi,

pisau akan disimpan dengan cara melipatnya terlebih dahulu dan

pisau jenis ini di dalam Bahasa Aceh disebut sikin lipat. Oleh

komunitas Bahasa Aceh bentuk kongkrit sikin lipat dijadikan

sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada ranah target sifat

manusia yang suka memfitnah. Hubungan ontologis dan

hubungan epistemik metafora ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Hubungan ontologis dari metafora SIKIN LIPAT, adalah:

Sikin lipat (pisau lipat) Manusia

tajam, dapat menyakitkan fitnah (menyakitkan)

berbahaya berbahaya

Page 54: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

44 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Hubungan epistemik dari metafora SIKIN LIPAT adalah:

Untuk menggambarkan kosep kemakmuran Bahasa Aceh

menggunakan metafora Lada Teungoh Tangkoh yang dalam

Bahasa Indonesia disebut ‘lada sedang berbuah’. Pohon merica

atau lada merupakan tanaman primadona di zaman kejayaan

kerajaan Aceh. Ini disebabkan karena harga merica sangat tinggi

dan merupakan salah satu komuditas yang sangat diincar oleh

kolonial Belanda. Secara harfiah Lada Teungoh Tangkoh

bermakna lada yang sedang menjadi atau sedang subur atau

sedang berbuah banyak. Keadaan ketika lada sedang subur

berpengaruh posisitf kepada kehidupan si pemilik kebun yang

menjadikan hidupnya serba berkecukupan dan makmur. Makna

metaforis dari LADA TEUNGOH TANGKOH ditujukan kepada

sesorang yang memiliki pendapatan ataupun penghasilan yang

sedang meningkat sehingga kehidupannya menjadi lebih

makmur. Sebagai contoh seorang pebisnis yang menjadi kaya

karena bisnis yang dijalankannya mengalami kemajuan. Lada

Teungoh Tangkoh dijadikan sebagai ranah sumber dipetakan

kepada ranah target yaitu kondisi kemakmuran manusia yang

terekam secara verbal dalam kognitif komunitas Bahasa Aceh.

Ketika pisau lipat digunakan

untuk membunuh, maka akan

ada yang menjadi korban yang

dapat berujung kepada

kepedihan atau kematian.

Ketika seseorang mengucapkan

berita bohong berisikan fitnah,

maka akan ada yang menjadi

korban yang akan berujung

pada kepedihan dan dapat pula

kepada kematian.

Page 55: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 45

Hubungan ontologis metafora LADA TEUNGOH

TANGKOH:

Hubungan epistemik LADA TEUNGOH TANGKOH:

Metafora ekologis merupakan sebuah peristilahan yang

banyak dibicarakan dalam pustaka ekolinguistik. Menurut Fill

(2001:43) bahwa ekolinguistik bermula dari sebuah metafora

yang pertama sekali dibicarakan oleh Haugen (1970), yaitu

tentang interaksi antara bahasa-bahasa yang ada dengan

lingkunganya. Haugen (1972:325) berusaha membandingkan

hubungan ekologi antara spesies binatang dan tumbuhan tertentu

dengan lingkungan alamnya. Dalam hal ini ekologis secara

metaforis ditranformasikan ke dalam bahasa di dalam sebuah

lingkungan ekologis. Metafora ekologis merupakan konsep atau

bentuk yang sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu

lingkungan alam, pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan

bahasa tersebut dalam penyampainnya di sebuah komunitas

Pohon lada yang mulai subur

Berbuah banyak

Membuat petani makmur

Manusia yang mulai berhasil

Berpenghasilan banyak

Membuat hidupnya makmur

Ketika pohon lada tumbuh

subur, pohon tersebut akan

menghasilkan buah yang

banyak dan memberi pengaruh

positif kepada petani, yaitu

meningkatkan kemakmuran

bagi petani dan keluarganya.

Ketika seseorang mulai

berpenghasilan tinggi,

memberi pengaruh positif

yaitu meningkatkan

kemakmuran bagi

keluarganya.

Page 56: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

46 | D r . N u z w a t y , M . H u m

bahasa. Ketiga komponen ini berada di dalam kognitif penutur

bahasa dalam sebuah komunitas bahasa. Yang dimaksud dengan

kognitif seperti yang diungkapkan oleh Koveches (2006:5) adalah

gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekpresikan

atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu

penggunaan dan pembentukan metafora ekosistem tidak hanya

bergantung kepada satu aspek saja.

Metafora ekosistem menurut Fill dan Muhlhausler

(2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural, unsur

kognitif komunitas tutur bahasa tersebut. Selain dari unsur

kognitif dan sosiokultural komunitas bahasa waktu, situasi, dan

ranah penggunaan bahasa juga sangat berperan memengaruhi

bentuk metafora bahasa tersebut. Interelasi antara unsur-unsur ini

jelas tergambar seperti apa yang pernah terjadi pada awal abad ke

sembilan belas, dimana kebutuhan akan air sebagai bahan pokok

kehidupan secara ekslusif disejajarkan dengan uang yang

memunculkan metafora seperti central money supply ‘central

water supply’ dan metafora water is money, sangat popular saat

itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money juga jelas

menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan

bernilai ekonomis tinggi, diantaranya juga merusak dan

menggerus lingkungan saat itu.

Seorang pakar ekolinguistik yang bernama Wilhelm

Trampe (1990) telah menggunakan metafora ekosistem dalam

menjabarkan bahasa dan penggunaannya dalam interaksi bahasa

tersebut dengan lingkungan alam, yaitu alam semesta. Pengguaan

leksikon industri agrikultur pada kata produksi yang secara

harfiah bermakna menghasilkan dan berkembang mengandung

Page 57: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 47

ideologi ekonomi dan capitalis sehingga memunculkan makna

metaforis menghancurkan dan menghilangkan. Inilah efek

penggunaan metafora ekosistem yang tidak ramah dengan

lingkungan kadang-kadang terjadi. Metafora lain yang

berkembang dalam masyarakat industri di mana bahasa dikatakan

sebagai alat atau instrumen komunikasi seperti dalam definisi

bahasa “language is a tool or an instrument of communication”.

Sebenarnya alat atau pun instrumen merupakan benda-benda

yang dipergunakan dan bermanfaat untuk kepentingan hidup dan

kehidupan manusia seperti palu, gergaji, komputer dan alat-alat

lainnya. Pemaknaan bahasa itu sendiri sudah dimetaforakan ke

dalam metafora ekosistem, dapat dilihat pada Fill dan

Muhlhausler (2001:45).

Metafora ekologis memiliki cakupan yang luas yang sangat

berkaitan beberapa aspek ekologis di luar bahasa seperti yang

dinyatakan oleh (Fill 2001:3)

a. Keberagaman (diversity) mahluk lingkungan alam atau

kandungan ekologinya, seperti flora, fauna, kandungan

mineral yang ada di lingkungan alam tersebut.

b. Faktor-faktor yang mempertahankan keberagaman

tersebut.

c. Keteraturan lingkungan alam yang ada

d. Hubungan timbal balik antara mahluk di lingkungan alam

tersebut dengan ekologinya.

Haugen (1972) berupaya memanfaatkan kolaborasi antara

bahasa dengan parameter ekologi yang diadopsinya dalam

membicarakan pola metafora ekosistem. Melalui kolaborasi ini

Haugen mengadopsi parameter ekologi tersebut sebagai

Page 58: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

48 | D r . N u z w a t y , M . H u m

parameter ekolingistik. Parameter ekolinguistik dimaksud adalah

kesalingterhubungan (interrelationship), lingkungan

(environment), keberagaman (diversity), digunakan sebagaimana

berlaku dalam analisis wacana lingkungan, antropolinguistik

pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya tentunya juga termasuk

penelitian ekolinguistik. Ketiga-tiga parameter ekolinguistik

tersebut saling terkait erat yang senantiasa diaplikasikan secara

bersamaan dalam penelitian metafora ekosistem.

Pertama parameter keberagaman (diversity), Fill dan

Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman

(diversity) perbendaharan kosa kata, dan juga metafora sebuah

bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau

lingkungan budaya tempat di mana metafora digunakan.

Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam,

geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah

hujan, sedangkan lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan

antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti

agama, etika, politik, seni dan lain sebagainya

Keberagam jenis species fauna, flora di satu lingkungan

alam paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa dan

metafora di dalam lingkungan sosial komunitas bahasa tersebut.

Keberagaman biota ini akan memperkaya khasanah metafora

bahasa yang dapat dilihat pada hubungan antara ranah sumber dan

ranah target dalam metafora tersebut. Kepada sebuah ranah

sumber dapat diaplikasikan kepada beberapa ranah target,

demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat pula berasal

dari beberapa ranah sumber.

Berikutnya adalah Parameter Kesalingterhubungan

(Interrelationship). Parameter ini menilik keberadaan spesies dan

Page 59: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 49

kondisi kehidupan mereka sebagai satu bagian yang utuh

demikian pula halnya dengan keutuhan interelasi bahasa ibu dan

etnik yang tidak dapat dicirikan secara individual. Hubungan

paralel ini tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama

dalam semua hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan

keduanya adalah bahwa bahasa bukan lah organisme hidup.

Bahasa dapat berkembang melalui proses trasformasi yang

dilakukan oleh penutur bahasa secara berkesinambungan dari satu

generasi ke generasi berikutnya oleh.

Parameter keterhubungan atau parameter kesaling-

terhubungan antara linguistik dan ekologi merupakan hubungan

timbal balik antara mahluk di lingkungan alam tersebut dengan

ekologi yang mendukungnya. Keterhubungan ini dapat terpantul

dari metafora ekologi yang bernuansa isu lingkungan dikodekan

ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Konsep metafora

seperti yang digambarkan oleh Kovecses (2006:171), berisikan

skema sumber yang dalam hal ini menyangkut ranah yang bersifat

fisik yang dikodekan kepada ranah yang bersifat abstrak seperti,

green house, green speak.

Parameter keterhubungan antara bahasa dan ekologi dapat

dilihat pada metafora Bahasa Aceh yaitu metafora POK-POK

DRIEN. Pok-pok adalah batang bambu yang dipotong

panjangnya sekitar satu meter (2-3 ruas) kemudian bambu

tersebut dibelah dua. Bagian pangkal bambu diikat dengan tali

agar tidak mudah lepas dan salah satu belahan dipasang tali.

Media ini digantungkan pada pohon durian atau buah-buahan

lainnya yang sedang berbuah. Bila tali ditarik akan mengeluarkan

suara gaduh. Fungsi dari benda tersebut untuk mengusir binatang

yang akan memakan buah-buahan. Dalam pemaknaannya secara

Page 60: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

50 | D r . N u z w a t y , M . H u m

metaforis pok-pok dialamatkan kepada orang yang banyak cakap

dan mengumbar janji. Seperti dalam tuturan, babah jih POK-

POK DRIEN. Artinya dia itu besar cakap saja. Contoh lain dapat

pula dilihat pada metafora ABO UDEP DUA PAT, secara harfiah

ungkapan ini mengandung makna siput hidup pada dua tempat.

Abo (Amphidromus perversus) yang dalam Bahasa Indonesia

disebut siput. Secara alami siput dapat bertahan hidup di dalam

dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan

dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah

metafora yang tertujukan kepada sifat dan perilaku seseorang

yang supel, dapat bergaul kepada siapa saja dan selalu

menghargai sesama. Orang yang demikian dikatakan sebagai abo.

Parameter keterhubungan (interrelationship) merupakan

keterhubungan sifat siput yang amphibi yang terjadi secara

alamiah dipetakan kepada seseorang yang supel yang bisa

berinteraksi dengan siapa saja dalam berbagai ragam situasi

dalam pergaulan di kehidupan sosial masyarakat. Siput dijadikan

sebagai ranah sumber dan karakter manusia dijadikan sebagai

ranah target.

Parameter berikutnya adalah Parameter Lingkungan

(Environment) merupakan parameter yang menggambarkan

kegiatan manusia dalam berinterelasi, berinteraksi, bahkan

berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di

lingkungan tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa

lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakter, semata-mata demi

tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia (antropo-

sentrisme). Manusia merupakan makhluk ekologis yang memang

sangat membutuhkan banyak hal yang ada demi keberlangsungan

hidupnya secara biologis (biosentrisme), kebutuhan akan hewan,

Page 61: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 51

tumbuhan, air, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan

secara ragawi (kosmosentrisme). Sikap masyarakat terhadap

lingkungan alam banyak di dasari oleh pola kultural masyarakat

tersebut, sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap

daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai

makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia.

Sehingga keberadaan binatang-binatang itu yang menyangkut

dengan perkembangbiakkannya juga sangat diperhatikan oleh

masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya

keberagaman sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian

dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan

pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh

kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi

masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler

(2003:37) bahwa klasifikasi hewan dan tumbuhan secara nyata

refleksi dari lingkungan tempat masyarakat itu tinggal dan

lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau

memberi nama-nama dan membentuk metafora yang diturunkan

secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi

berikutnya. Dalam Bahasa Aceh bue yang dalam Bahasa

Indonesia disebut kera memiliki keberagaman sifat yang

ditirunya dari sifat manusia. Dari peniruan sifat-sifat tersebut

dipetakan kepada sifat manusia membentuk metafora BUE PUTA

JANTONG ‘Kera memutar jantung’ metafora ini terbentuk

karena sifat alamiah yang dimiliki oleh kera suka meniru

pekerjaan manusia, maka ada juga kera yang berusaha memetik

jantung pisang dengan cara memutarnya, tetapi pekerjaan ini

tidak berhasil dilakukannya. Dari keadaan ini tercipta metafora

BUE PUTA JANTONG yang mengandung makna metaforis

Page 62: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

52 | D r . N u z w a t y , M . H u m

suatu pekerjaan yang dilakukan oleh sesorang tanpa memperoleh

hasil karena orang tersebut tidak tahu cara mengerjakannya.

Metafora lain BUE TEUNGEUT kera tidur, Dari pengalaman

empiris masyarakat Aceh melihat kera tidur dengan cara duduk

menunduk, dan kera bisa tidur kapan saja baik saat hari panas,

dingin dan hujan, siang dan malam. Sikap kera tidur ini terjadi

secara alami terekam dalam kognitif anggota masyarakat

membentuk sebuah metafora dan menjadikan bue sebagai ranah

sumber pada metafora BUE TEUNGEUT. Bue teungeut

dipetakan kepada manusia atau orang yang suka bersikap masa

bodoh yang kerjanya hanya suka bermalas-malasan dengan tidak

memperhatikan keadaan yang terjadi disekitarnya atau

lingkungannnya. Metafora berikutnya adalah BUE

MEUTEUMEE CEUREUMEN,’ kera dapat cermin’

Berdasarkan pengalaman yang terekam dalam kognitif

masyarakat Aceh ketika seekor kera di dudukkan di depan

cermin. Dia akan melompat-lompat di depan cermin itu sambil

menggaruk-garuk kepalanya dengan asiknya. Makna metaforis

dari ungkapan ini ditujukan kepada seseorang yang suka

membuang waktu untuk sesuatu hal yang kurang penting atau

ditujukan kepada seseorang yang melalaikan kewajibannya

sesudah mendapatkan sesuatu benda yang baru, sehingga dia lupa

akan pekerjaan lain yang harus diselesaikannya atau lupa akan

segalanya

Selain parameter ekolingistik, teori tiga demensi sosial

praksis juga sangat berperan dalam membicarakan sebuah

metafora ekosistem. Tiga parameter ekolinguistik berkolaborasi

dengan tiga dimensi sosial praksis seperti telah dibicarakan

sebelumnya merupakan satu kesatuan secara utuh dalam

Page 63: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 53

memainkan perannya dalam kajian ekolinguistik. Tiga dimensi

sosial praksis dimaksud mencakup dimensi ideological, dimensi

biological, dan demensi sosiological. Untuk melihat keterkaitan

metafora ekosistem pada lembaran berikut ditampilkan gambar

kerangka metafora ekosistem dan beberapa contoh metafora yang

dapat dijabarkan.

Page 64: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

54 | D r . N u z w a t y , M . H u m

interdependence

diversity

environment

Bentuk Metafora

Karakteristik Metafora

Klasifikasi Metafora

BIO-

LOGIKAL SOSIO-

LOGIKAL

IDEO-

LOGIKAL

RANAH SUMBER

Teori Kovecses

(2006)

RANAH TARGET

Teori Kovecses

(2006)

METAFORA

Teori Kovecses

(2006)

Page 65: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 55

Kerangka metafora ekosistem tersebut diatas dapat

dijabarkan dalam diskripsi berikut dengan bentuk kolaborasi

dalam interelasi ketiga parameter ekolinguistik dan tiga dimensi

sosial praksis dalam sebuah wujud metafora seperti pada contoh

metafora Bahasa Aceh yang berasal dari kelompok flora yaitu

Tukok ue rhot pureudee yang secara harfiah bermakna pelepah

kelapa akan jatuh ke pangkal pohon. Secara alamiah pohon

kelapa tumbuh tinggi menjulang dan semakin jauh dari

permukaan bumi. Namun setinggi apaun pohon kelapa tersebut

tumbuh jika sudah tua, pelepah kelapa akan jatuh ke pangkal

pohon. Peristiwa alamiah ini di tranformasikan ke peristiwa yang

dilakukan manusia dalam hal kepergian seseorang untuk

merantau meninggalkan tanah kelahiran dengan tujuan untuk

memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Generasi muda di beberapa wilayah di Aceh pada umumnya

gemar merantau, meninggalkan kampung halaman untuk mencari

sumber kehidupan yang lebih baik. Ketika sudah berhasil ataupun

ketika mereka sudah merasa bahwa mereka sudah menjelang tua

lazimnya mereka akan kembali ke kampung halaman. Mereka

berusaha untuk kembali pulang ke tanah kelahiran walaupun

mereka sudah berada jauh sekali dari kampung halaman dan

sudah lama meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan

pohon kelapa yang sudah tumbuh tinggi jauh dari permukaan

bumi, suatu ketika pelepah pasti jatuh ke pangkal pohon yaitu ke

asalnya.

Parameter keterhubungan (interrelationship) yaitu

keterhubungan antara keadaan ranah sumber mengenai gugurnya

atau jatuhnya pelepah kelapa ke cabang asalnya dengan para

perantau ke kembali ke daerah asalnya atau tanah kelahirannya

Page 66: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

56 | D r . N u z w a t y , M . H u m

terekam secara verbal dalam kognitif (dimensi ideologikal)

komunitas bahasanya. Parameter lingkungan (environtment)

antara peristiwa alamiah yang terjadi pada kehidupan pohon

kelapa secara biologis dengan kehidupan manusia yang gemar

merantau merupakan hal wajar terjadi di wilayah Aceh tersebut

(dimensi biologikal) dan merupakan dua pengalaman empiris

yang dianggap sama dalam kognitif (dimensi ideologikal) dan

kehidupan sosial (dimensi sosiologikal) komunitas Bahasa

tersebut. Semua kenyataan dan pengalaman inilah membentuk

metafora Tukok ue rhot pureudee yang menjadikan pelepah

kelapa sebagai ranah sumber dan manusia perantau yang suatu

saat pasti pulang ke kampung halamannya sebagai ranah target.

Contoh tuturan yang lazim diucapkan orang tua ataupun

sanak keluarga, ketika melepas keberangkatan seseorang adalah

seperti contoh berikut:

Bek tuo TUKOT UE RHOT PUREUDE

bek ‘jangan (tidak boleh)’

tuo ‘lupa’

Makna metaforis dari ucapan ini adalah ‘kalau sudah

merantau jangan lupa pulang kampung’. Contoh lain dapat pula

dilihat pada metafora yang berasal dari kelompok fauna yaitu

metafora yang menempatkan ekor anjing yang melengkung

sebagai ranah sumber. Metafora tersebut adalah Peuteupat ikue

asee secara harfiah metafora ini bermakna meluruskan atau

menepatkan ekor anjing, yaitu:

peteupat ‘meluruskan atau menepatkan’

ikue ‘ekor’

asee ‘anjing’

Page 67: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 57

Secara alamiah (dimensi biologikal) ekor anjing bentuknya

melengkung dan mustahil dapat diubah bentuknya menjadi lurus.

Kecuali ekor anjing gila yang menjadi lurus karena dia mengidap

penyakit rabies. Metafora Peuteupat ikue asee mengandung

makna metaforis yang ditujukan kepada suatu hal yang sulit dan

hampir tidak mungkin dilakukan perubahan. Ikue asee sebagai

ranah sumber pada metafora Peuteupat ikue asee berisikan suatu

situasi yang sulit dilakukan dalam hal merubah watak atau

perilaku seseorang yang sudah mendarah daging. Metafora ini

dapat juga bermakna sulit sekali untuk menginsafkan seseorang

yang sejak masih kanak-kanak sudah terbiasa tidak bertanggung

jawab akan tugas dan kewajibannya, karena sifat dan wataknya

sudah demikian adanya. Sering sekali orang tua mengeluh dengan

ucapan sebagai berikut:

Han jeut ta PEUTEUPAT IKUE ASEE,

maknanya adalah: tidak sanggup atau tidak dapat kita

menginsyafkan dia (supaya dia menjadi orang yang bertanggung

jawab dengan kewajibannya)

Parameter keterhubungan (interrelationship), parameter

lingkungan (environtment), dan parameter keberagaman

(deversity) pada ranah sumber Peuteupat ikue asee yang

dipetakan kepada ranah target yaitu watak manusia yang tidak

mungkin lagi diinsyafkan yang terekam di dalam konitif (dimensi

ideologikal) komunitas berdasarkan sifat alamiah yang terjadi

pada ekor anjing yang tidak mungkin untuk diluruskan (dimensi

biologikal). Dalam kehidupan sosial (dimensi sosial) komunitas

tutur mengganggap bahwa untuk menginsafkan seseorang yang

mempunyai watak bengal dan mempunyai kebiasan buruk yang

Page 68: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

58 | D r . N u z w a t y , M . H u m

sudah terbiasa dilakukan sejak masa kanak-kanak akan sulit

untuk diperbaiki dan diinsafkan.

Page 69: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 59

ebuah metafora dapat digambarkan sebagai bentuk

perluasan makna dari sebuah kata atau frasa

melebihi batas makna yang sesungguhnya telah

dibicarakan sebelumnya bahwa. Batas makna dimaksud

merupakan makna yang bertujuan menjelaskan sesuatu yang

memiliki kesamaan karakter antara makna asal dan makna

perluasannya. Semua bahasa tanpa kecuali memiliki metafora

oleh sebab itu metafora sangat fundamental dalam komunikasi

manusia. Bahasa manusia bersifat dinamis sehingga penutur

bahasa senantiasa terus menerus menciptakan kreasi-kreasi baru

dalam bahasanya demikian pula halnya dengan bentuk baru

metafora yang diciptakan mengikuti perkembangan zaman.

Selaras dengan pembentukan dan penggunaannya, menurut

Kovecses (2006:120-130), Finegan (2015:188) metafora dapat

diklasifikasikan ke dalam empat klafikasi metafora. Keempat-

empat katagori tersebut pada umumnya dimiliki oleh semua

S

Page 70: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

60 | D r . N u z w a t y , M . H u m

bahasa- bahasa dunia. Dalam pustaka ekolinguistik misalnya

metafora juga dikelasifikasikan ke dalam empat katagori, yaitu

metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora

berdasarkan fungsi kognitif, metafora berdasarkan lingkungan

alam, dan metafora dalam bentuk yang umum lihat Kovecses

(2006:127-129).

Peristilahan klasifikasi metafora berdasarkan konvensi atau

non konvensi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan istilah

konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik yang

mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan arbitrari

antara bentuk (form) linguistik dan makna. Terminologi

Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan

kesepakatan bersama yang mendasar dari anggota komunitas

bahasa untuk menggunakan bahasanya dengan mengikuti semua

norma yang berlaku pada bahasa itu. Kesepakatan tersebut

berlaku pula pada penggunaan metafora yang dimiliki oleh suatu

komunitas bahasa dalam komunikasi antar sesama pada interaksi

verbal dan non-verbal dalam kehidupan dan lingkungan sosial di

kehidupan sehari-hari.

Kesepakatan ini pada umumnya berlaku untuk semua

metafora yang dipergunakan dan ditransfer serta diwariskan dari

generasi ke generasi walaupun ranah sumber metafora tersebut

sudah tidak ditemukan lagi dan tidak dikenal oleh generasi masa

kini. Beberapa contoh metafora Bahasa Aceh, yang berasal dari

ranah sumber yang sudah tidak ditemukan karena

pengembangbiakannya sudah tidak dibudidayakan seperti pada

Page 71: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 61

ranah sumber Boh Ara (Ficus racemosa) yang dalam bahasa

Indonesia dikenal sebagai buah tin. Bentuk metafora dari Boh Ara

adalah Boh Ara hanyot, mengandung makna harfiah ‘buah ara

hanyut’. Saat ini pohon buah ara sudah tidak lagi dijumpai di

wilayah Aceh dan banyak masyarakat desa tidak mengenal pohon

ara ini terutama dikalangan masyarakat generasi muda. Walaupun

demikian metafora Boh Ara hanyot secara konvensi masih tetap

digunakan oleh komunitas Bahasa Aceh. Metafora ini berasal dari

zaman dahulu diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga

eksistensi metafora itu masih terjaga.

Metafora lain yang dapat dijadikan contoh, dapat dilihat

pada metafora yang memiliki ranah sumber jeungki yang dalam

bahasa Indonesia disebut alat penggiling padi tradisional. Dari

ranah sumber jeungki terbentuk metafora jeungki mugee, yang

secara harfiah bermakna alat penumbuk padi yang dimiliki oleh

tengkulak. Makna motafora jeungki mugee di petakan kepada

seseorang yang memiliki sifat tamak. Metafora ini masih

digunakan walaupun jeungki mugee sudah tidak ditemukan lagi

namun metafora ini masih dipergunakan dan merupakan

pewarisan dari generasi dahulu.

Metafora lainnya yang diklasifikasikan sebagai klasifikasi

konvensi berdasarkan kesepakatan komunitas tutur Bahasa Aceh

berasal dari ranah sumber Geunuku (alat pengukur kelapa).

Metafora dari ranah sumber geunuku adalah geunuku han mata

timah yang secara harfiah bermakna ‘kukuran tanpa mata timah’.

Makna metaforis yang terkandung dalam tuturan tersebut

ditujukan kepada seseorang yang saat berpangkat orang tersebut

senantiasa bersikap sombong dan ditakuti oleh bawahannya

namun setelah orang tersebut pensiun sifat kesombongannya

Page 72: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

62 | D r . N u z w a t y , M . H u m

hilang dan dia diremehkan, serta dianggap tidak berguna lagi oleh

masyarakatnya. Walaupun geunuku sudah tidak dikenal lagi

karena sudah digantikan oleh mesin pengukur kelapa, tetapi

metafora geunuku han mata timah masih tetap dipergunakan oleh

komunitas bahasanya secara konvensi.

Metafora Bahasa Inggris The loss of a friend is a dark cloud

over one’s life secara harfiah metafora ini bermakna kehilangan

seorang teman merupakan awan gelap diatas kehidupan

seseorang. Kehilangan seorang tidak sama dengan awan hitam

atau awan gelap. Pemahaman tentang awan gelap di dalam

kehidupan sosial komunitas Bahasa Inggris merupakan hal yang

tidak menyenangkan dan tidak diinginkan keberadaanya, karena

awan gelap tersebut memblokir sepenuhnya sinar matahari yang

sampai ke bumi yang sangat dibutuhkan manusia. Interelasi

ketidaknyamanan perasaan disebabkan oleh adanya awan hitam

dengan situasi perasaan karena kehilangan seorang terekam

secara verbal dalam kognitif komunitas tutur membentuk sebuah

metafora. Bentuk metafora ini disetujui bersama secara

konvensional oleh semua anggota komunitas Bahasa Inggris

dengan menjadikan awan gelap sebagai ranah sumber dan

perasaan tidak nyaman ketika ditinggalkan oleh seseorang

sebagai ranah target. Komunitas Bahasa Samoan dan komunitas

Bahasa Tahiti secara konvensi menjadikan perut (stomach)

sebagai ranah sumber pada metafora yang meng- ekspresikan

bentuk emosi, lihat Finegan (2015: 190).

Page 73: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 63

Klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan alami

merupakan kriteria didasarkan kepada pengetahuan dari

pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang

terekam sebagai pengetahuan secara kolektif dalam kognitif

komunitas bahasa. Manusia melihat suatu benda atau suatu

kenyataan yang dapat dicermati dan dirasakan mempunyai

interelasi sifat yang sama atau hampir sama baik sepenuhnya

ataupun sebagian. Dari kesamaan atau kemiripan tersebut

terekspresi dalam kode-kode lingual. Interelasi keduanya terjadi

secara alami kemudian kemiripan inilah yang akhirnya dijadikan

sebagai dasar pembentukan metafora bahasa mereka.

Terbentuknya metafora secara alami berdasarkan dari hasil

pemetaan ranah sumber ke ranah target karena adanya interelasi

antara sifat, keadaan ataupun ciri yang dimiliki oleh ke-duanya.

Keterhubungan ini terlihat di dalam kehidupan dan lingkungan

sosial komunitas bahasa tersebut yang terjadi secara regular.

Maka setiap Bahasa pada umumnya memiliki perbedaan ciri-ciri

metafora antara satu bahasa dengan bahasa lainnya yang sangat

bergantung kepada lingkungan sosial budaya komunitas bahasa,

seperti misalnya metafora Bahasa Mandarin tentang waktu yang

diekspresikan bergerak dari masa lalu, sedangkan metafora waktu

Bahasa Inggris bergerak ke arah mendatang seperti pada contoh

time and tide wait for no men yang bermakna yang berlalu pasti

sudah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi atau dapat pula

dimaknai sebagai nasihat agar komunitas tutur tidak mengabaikan

atau membuang-buang waku percuma.

Page 74: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

64 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Keberadaan metafora berdasarkan pengetahuan alami juga

berada dalam kognitif komunitas Bahasa atau komunitas tutur

yang mengganggap antara ranah sumber dan ranah target

memiliki persamaan ataupun kemiripan secara alami. Ranah

sumber dari metafora yang berada pada klasifikasi ini berasal dari

flora dan fauna di sekitar lingkungan alam desa baik yang

dipelihara, dikembangbiakkan, dibudidayakan maupun yang

hidup secara alami ataupun yang hidup liar, dan termasuk pula

flora dan fauna yang hidup di lingkungan hutan. Ranah targetnya

adalah manusia termasuk pula ke dalamnya sifat dan karakter,

serta segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia contoh

Bahasa Aceh Boh Timon (Cucumis sativus) dari rumpun flora

dipetakan ke dalam dua ranah target yang membentuk dua

kandungan makna metaforis. Pertama ranah sumber Boh timon

bongkok (mentimun bengkok) dipetakan ke ranah target yaitu

sesorang yang tidak memberikan kontribusi apaun di dalam satu

kelompok atau dalam satu organisasi, namun dengan terpaksa

orang tersebut diikutsertakan saja untuk memenuhi jumlah kuota

sebagaimana yang sudah ditentukan. Hal ini terjadi karena sudah

tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Ranah sumber Boh timon

bongkok juga dipetakan kepada pendapatan atau penghasilan

seseorang. Biasanya metafora ini ditujukan kepada nelayan yang

mendapatkan hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan dengan

hari-hari sebelumnya. Metafora ini juga berlaku pada petani yang

mendapatkan hasil lebih sedikit dibandingkan dengan hasil panen

dari hasil yang biasa diperolehnya.

Page 75: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 65

Munculnya suatu metafora dapat termotivasi oleh

pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang

didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran

atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia

ini sebagai sarana pemetaan silang untuk menghubungkan antara

ranah sumber dengan ranah target. Metafora ke tiga ini merupan

klasifikasi metafora yang berkaitan dengan fungsi kognitif

komunitas Bahasa. Dikatakan demikian karena ranah sumber

menentukan struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang

yang ada di dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora

tersebut, seperti metafora Bahasa Indonesia kasih saying ibu

hangat. Seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa sayang. Bayi

yang dipeluk merasakan kehangatan disebabkan oleh pelukan si

ibu. Ketika di peluk fungsi afektif yang menghubungkan pelukan

ibu dengan otak bekerja dan pada waktu yang bersamaan wilayah

otak yang terhubung dengan indra perasa juga bekerja sehingga

pelukan itu terasa hangat. Contoh klasifikasi metafora

berdasarkan indera perasa dalam Bahasa Aceh Camplie Cina

(Capsicum frutescens) yang berasal dari kelompok flora yang

dalam bahasa Indonesia disebut cabai rawit dipetakan ke dalam

tiga ranah target membentuk tiga metafora. Camplie Cina

memiliki rasa pedas secara alami dijadikan sebagai ranah sumber

dalam metafora peukueung camplie Cina yang secara harfiah

bermakna memedaskan cabai rawit. Metafora ini dipetakan

kepada ranah target manusia yaitu seseorang yang sudah pintar

dan berilmu dan mengerti apa yang seharusnya dilakukannya

tidak perlu diajari lagi. Metafora peukueung camplie Cina

memilik persamaan dengan metafora Bahasa Indonesia dan

Page 76: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

66 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Bahasa Melayu mengajari limau berduri. Kedua-dua ranah

sumber yang berbeda tersebut dipetakan kepada ranah target yang

sama. Perbedaan ranah sumber sangat bergantung kepada

kedekatan interelasi masing-masing komunitas bahasa dengan

lingkungan alami yang terekam dalam kognitif masyarakat tutur

secara regular. Seperti pada dua contoh metafora di atas, Bahasa

Aceh menempatkan peukueung camplie Cina ‘memedaskan cabai

rawit’, yang sudah pedas secara alami, sedangkan Bahasa

Indonesia dan Bahasa Melayu memberlakukan mengajari limau

berduri yang sesungguhnya sudah berduri secara alami pula.

Metafora berikutnya juga menjadikan ranah sumber

camplie Cina disebabkan oleh rasa pedas yang dirasakan oleh

lidah dipetakan kepada seseorang yang gemar mengucapkan

perkataan yang menyinggung perasaan orang lain tanpa

memikirkan akibat dari perkataannya itu. Dalam kehidupan sosial

orang seperti ini tidak disenangi karena perkataannya

menyinggung perasaan mitra tutur.

Selanjutnya ranah sumber camplie cina dapat pula

memberikan makna metafora lain yaitu bergantung kepada

konteks dan situasi. Dalam situasi pertengkaran atau perkelahian,

ungkapan Peukeueng camplie Cina mengandung makna metafora

“menambah panas situasi atau membuat orang yang sedang

bertengkar menjadi lebih marah atau lebih panas hatinya

(memanas-manasi).

Klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif juga

terdapat metafora yang memiliki ranah sumber yang merujuk

kepada fungsi indera pendengaran, sebagai contoh metafora

Bahasa Aceh yang berasal dari ranah sumber berkaitan dengan

indera pendengaran adalah metafora dari kelompok flora yaitu on

Page 77: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 67

geurusong yang dalam Bahasa Indonesia disebut daun pisang

yang sudah tua atau daun pisang yang sudah kering yang biasanya

berwarna kecoklatan. Daun pisang kering bila diremas akan

menghasilkan suara gesekan yang berisik. Suara gesekan berisik

tersebut tidak enak didengar. Kondisi daun pisang yang demikian

menjadikannya sebagai ranah sumber dan membentuk metafora

on geurusong. Ranah sumber on geurusong dipetasilangkan

kepada manusia yang mengandung makna metaforis dialamatkan

kepada seseorang yang gemar bicara sembrono atau asal-asalan

tanpa mengindahkan perasaan orang yang mendengarnya.

Perkataannya sering menimbulkan perasaan benci orang

kepadanya. Berdasarkan indera pendengaran komunitas tutur

tentang kondisi alamiah dari suara berisik daun pisang tua yang

kering yang terekam dalam kognitif memiliki persamaan secara

metaforis. Interelasi bunyi daun pisang kering tidak enak

didengar dengan bunyi ucapan semberono yang diucapkan oleh

seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat dipahami memiliki

kesamaan. Ucapan sebagai berikut lazim didengar di dalam

pertengkaran. Hei babah kah on geurusong. Makna harfiah dari

ucapan ini ‘hai mulut kamu daun pidang kering’. Sedangkan

makna metaforis dari ucapan itu adalah, ditujukan kepada mitra

tutur yang berbicara seenaknya dengan kata-kata yang tidak

terpuji tanpa memperhatikan perasaan orang yang mendengarnya.

Dari isi omongannya kadang menimbulkan fitnah.

Terbentuknya metafora dapat pula berasal dari ranah

sumber yang merujuk kepada indera pendengaran. Metafora

Bahasa Aceh dari kelompok fauna yang menempatkan ranah

sumber kambing berdasarkan indera penglihatan yaitu kameng

lam ujeun yang secara harfiah bermakna,

Page 78: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

68 | D r . N u z w a t y , M . H u m

kameng ‘kambing’

lam ‘dalam’

ujeun ‘hujan’

kambing dalam hujan atau kambing kehujanan

Berdasarkan pengalaman empirik komunitas tutur di desa-

desa di Nangro Aceh Darussalam (NAD) ketika hari hujan

biasanya kambing berusaha lari untuk menghindar dari hujan.

Secara alami kambing takut dengan air terutama air hujan, karena

kalau hewan ini tertimpa hujan dia akan sakit dan jika di sekitar

kandang tidak diberi perapian dapat mengakibatkannya sakit

parah dan berakhir dengan kematiannya. Keadaan kambing yang

kehujanan tersebut terekam dalam kognitif komunitas tutur

membentuk satu metafora kameng lam ujeun yang

ditranformasikan atau dipetasilangkan kepada seseorang yang

hidupnya sangat melarat dan tertimpa musibah penyakit.

Kehidupan orang tersebut sangat memperihatinkan atau dapat

dikatakan tingkat hidupnya berada dalam garis kemiskinan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari banyak

diterimanya dari belas kasihan orang lain kepadanya.

Klasifikasi berdasarkan indra penglihatan ditemukan pula

pada metafora yang berasal kelompok fauna dari ranah sumber

Glang (Lubricus rubellus) yang mengandung makna metaforis

yang sama dengan metafora kameng lam ujeun. Glang dalam

bahasa Indonesia disebut cacing tanah. Hewan ini hidup dan

berkembang biak di dalam tanah. Binatang ini termasuk kedalam

katagori binatang melata, tubuhnya sangat lentur dan licin dan

lembik. Hewan yang satu ini jarang berada dipermukaan tanah.

Secara alamiah hewan ini tidak tahan dengan terik sinar matahari.

Page 79: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 69

Bila hewan ini kebetulan terkena terik sinar matahari dia akan

menggelepar-gelepar dan biasanya berakhir dengan kematiannya.

Melihat kesengsaraan yang dialami oleh cacing muncul sebuah

metafora glang lam uroe tarek, secara harfiah bermakna cacing

di dalam sinar matahari terik atau cacing di bawah terik matahari

dipetakan pada seseorang yang tertimpa musibah yang

mengakibatkan hidupnya sangat susah dan sengsara.

Jenis berikutnya adalah metafora dikatagorikan sebagai

bentuk umum. Klasifikasi metafora bentuk umum merupakan

metafora secara umum dimiliki oleh semua bahasa yaitu

pemetaan silang dari ranah sumber yang non manusia kepada

ranah target manusia atau sebaliknya, contoh metafora Bahasa

Inggris John is a lion. ‘John seekor singa’ Metafora seperti ini

diklasifikasikan ke dalam klasifikasi metafora umum.

Peristilahan metafora umum dimaksud ditujukan kepada bentuk-

bentuk metafora sudah lazim digunakan sejak puluhan tahun yang

lalu. Metafora ini juga sering dipergunakan dalam pribahasa

(proverb), contoh Bahasa Inggris look before you leap,’lihat

sebelum melompat’ merupakan pribahasa yang ditujukan untuk

mengekspresikan sebuah nasihat kepada seseorang untuk selalu

berhati-hari sebelum melakukan suatu pekerjaan yang beresiko.

Contoh peribahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu

mendapat durian runtuh merupakan peribahasa yang juga

termasuk dalam klasifikasi metafora umum.

Beberapa pakar metafora menyatakan bahwa dalam

klasifikasi metafora secara umum ditemukan bentuk metafora

yang dianggap sebagai metafora mati (dead metaphors). Makna

Page 80: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

70 | D r . N u z w a t y , M . H u m

metafora mati bukan ditujukan kepada metafora yang sudah

lenyap atau metafora yang sudah tidak dipergunakan lagi. Akan

tetapi metafora mati dimaksud merupakan metafora yang

dipergunakan terus menerus dan berlangsung dalam kurun waktu

yang sangat lama sehingga makna metafora yang dimilikinya

terserab ke dalam arti literal dalam khasanah repertoir bahasa

milik komunitas tutur, dan metafora jenis ini termasuk bentuk

kata umum dalam khasanah kamus bahasa tersebut, contoh

metafora yang termasuk dalam klasifikasi ini dalam Bahasa

Inggris raise our voice, drop proposal, twist arms dan back off

periksa Mercer (2004). Bentuk metafora mati di dalam Bahasa

Melayu seperti kaki tangan kerajaan, yaitu orang bekerja di

pemerintahan. Contoh dalam Bahasa Indonesia seperti tangan

kanan bupati yaitu orang yang sangat dipercaya oleh bupati

tersebut. Contoh lain yang umum dalam Bahasa Indonesia lazim

didengar seperti, besar kepala, besar harapan, besar cakap,

besar hati, menarik perkara, menarik kesimpulan, menarik

ucapan dan lain sebagainya. Metafora- metafora tersebut tersebut

sudah memilki makna literal yang sangat umum digunakan yang

termasuk di dalam inventarisasi kamus bahasa.

Page 81: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 71

ajian ecolinguistik merupakan payung kajian

interelasi bahasa dengan lingkungan alam seperti

yang telah dibicarakan dalam bab I dan bab II.

Kajian ekolinguistik merupakan suatu paradigma terbilang baru

dalam pustaka linguistik yang bermula pada tahun 1970. Kajian

ini berawal dari sebuah pemikiran seorang pakar bernama Einar

Haugen berkebangsaan Amerika. Pakar ini berusaha

memfokuskan kajiannya pada hubungan ekologi dengan bahasa.

Pada tahun 1972 kajian interdisiplin ini dinyatakan dan disahkan

dalam sebuah seminar bahasa sebagai bagian dari kajian

interdispliner dalam ranah linguistik yang berinterelasi dengan

isu-isu ekologi. Kajian ini seterusnya disebut sebagai studi

ekologi bahasa dan pada tahun yang sama Einar Haugen menulis

buku berjudul The Ecology of Language. Pada awal tahun 1990

study ekologi bahasa dideklarasikan sebagai ecolinguistics

(ekolingistik) dalam sebuah konferensi Bahasa yang bernama

AILA di Thessaloniki, Yunani.

K

Page 82: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

72 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Studi ekologi bahasa sesungguhnya dapat pula dipahami

sebagai sebuah kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan

lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu

digunakan, periksa Haugen (1972:323). Pada masa itu, Haugen

berupaya menggunakan analogi yang berasal dari parameter

ekologi dan lingkungan dalam menelaah metafora yang dikenal

sebagai metafora ekosistem. Parameter ekologi dimaksud

merupakan tiga pola parameter yang paling mendasar yaitu

parameter interrelationship (kesalingterhubungan), parameter

diversity (keberagaman) dan parameter environment (lingkungan)

yang akhirnya diadopsi secara utuh dan menjadikannya sebagai

parameter ekolinguistik.

Ketiga pola parameter tersebut dimanfaatkan untuk

menjelaskan hubungan atau interelasi dan interaksi bermacam-

macam bentuk bahasa dalam hal ini metafora, yang bertalian

dengan lingkungan keberadaan bahasa baik berupa lingkungan

sosial, lingkungan budaya dan lingkungan alam itu sendiri.

Pengamatan terhadap metafora dilakukan oleh Haugen

melalui upaya untuk membuat suatu bentuk perbandingan

hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan

tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada

di lingkungan ekologi tempat (ecoregion) bahasa itu

dipergunakan. Selanjutnya Haugen juga menjelaskan kedekatan

interaksi dan interelasi kelompok komunitas penutur bahasa-

bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun

lingkungan buatan, dan juga berupaya menciptakan suatu studi

ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia

Page 83: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 73

pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang

mereka miliki.

Pengadaan buku ekolinguistik dan sumber referensi baik

dalam Bahasa Inggris maupun dalam Bahasa Indonesia masih

sangat jauh dari yang diharapkan. Penelitian di bidang ini juga

kurang diminati oleh para pakar linguistik sehingga sumber

informasi bidang kajian sulit ditemukan. Hal ini mungkin saja

disebabkan oleh anggapan bahwa akan amat sulit untuk

mengkolaborasikan dua displin ilmu (ekologi dan bahasa) yang

sesungguhnya terpisah jauh. Namun bila dicermati lebih

mendalam maka akan kelihatan bahwa interelasi ekologi dengan

bahasa tidak hanya sebatas kepada hubungan antara bahasa dan

lingkungan alam semesta saja. Karena interelasi keduanya

mencakup semua lingkungan kehidupan manusia dengan bahasa

yang mereka miliki sebagai sarana penyampaian semua aspek

yang bertalian dengan lingkungan kehidupan mereka.

Bahasa dapat dipahami sebagai suatu produk interaksi

antara kehidupan manusia yang melibatkan semua aspek

kehidupan tersebut dengan dunia sekelilingnya. Cara seseorang

menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan

linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang

diperolehnya dari lingkungan rumah, lingkungan sosial,

lingkungan budaya, lingkungan religi dan lingkungan lainnya

merupakan realitas yang terekam dalam kognitifnya. Selanjutnya

pengalaman tersebut diaplikasikan dalam komunikasi yang

spesifik antar sesama dalam kehidupan sosialnya, periksa.

Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah

Page 84: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

74 | D r . N u z w a t y , M . H u m

tentang dunia sekitar baik bersifat kultural maupun yang bersifat

alamiah

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa metafora

merupakan kerangka dan bagian bahasa yang spesifik dalam

kehidupan manusia yang terbentuk dari wujud makna literal atau

makna harfiah ditranferkan ke wujud makna figuratif. Manusia

secara berkesinambungan menggunakan metafora dalam

komunikasi verbal dan non-verbal. Kerangka metafora pada

dasarnya merupakan perpaduan dua konsep atau dua model

kultural yang merupakan hasil proses pemetaan silang dari ranah

sumber kepada ranah target. Ranah sumber menampilkan makna

harfiah sedangkan ranah target menampilkan makna figuratif.

Proses terjadinya pemetaan silang pada dasarnya terjadi pada

tataran leksikon atau prasa, bukan dalam bentuk tuturan

sepenuhnya. Proses pemetaan silang tersebut disebabkan oleh

adanya kesaman sifat atau karakter antara wujud literal dengan

wujud figuratif dan lazimnya pemetaan silang tersebut terjadi dari

flora, fauna dan atau kondisi atau keadaan sesuatu kepada

manusia. Secara sederhana metafora dapat dipahami sebagai

suatu transfer makna leksikal dari sebuah ekpresi kepada ekpresi

lain disebabkan oleh adanya kesamaan ciri dan persamaan sifat

dari keduanya berdasarkan pada pengalaman kognitif masyarakat

tutur suatu bahasa.

Metafora menampilkan karakteristik yang terdiri atas

metafora leksikal, metafora gramatikal, metafora konseptual dan

metafora ekologis. Metafora leksikal merupakan karakter

metafora Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari

sebuah leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat

atau makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna

Page 85: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 75

dari sebuah situasi tersebut tidak semata-mata hanya milik bahasa

tetapi milik kehidupan sosial dari sebuah komunitas bahasa.

Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora

melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural,

lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian

anggota tubuh mahluk.

Metafora gramatikal atau metafora tata bahasa merupakan

wujud kesengajangan (discrepancy) dalam realisasi fungsi

eksperensial, interpersonal, tekstual, dan logis bahasa.

Pengalaman yang lazimnya digunakan untuk suatu pengalaman

tertentu digunakan untuk pengalaman yang lain. Dengan kata

lain, metafora tersebut memberikan pengertian bahwa realisasi

yang lazim dari pengalaman (eksperensial, logis, antarpesona,

dan tekstual) dalam bentuk transivitas, klausa kompleks, modus,

tema/rema, dan kohesi tertentu direalisasikan dengan atau dalam

aspek (struktur) tata bahasa yang lain atau yang tidak lazim.

Metafora konseptual digambarkan sebagai suatu proses

pemetaan silang dua konsep yang berlangsung didalam kognitif

penutur bahasa. Konsep pertama bersifat kongkrit yang disebut

sebagai ranah sumber dan konsep ke dua bersifat abstrak yang

disebut sebagai ranah target. Pemetaan silang ke dua konsep ini

adakalanya melibatkan atau disebabkan oleh pengalaman

inderawi penutur bahasa, sebagai contoh masyarakat Inggris pada

umumnya memandang kehidupan melalui dua konsep yaitu

konsep perjalanan dan konsep kehidupan, sehingga contoh

metafora yang lazim mereka paparkan tentang kehidupan

berdasarkan hubungan yang paling erat antara dua konsep

tersebut yaitu kehidupan (life) dan perjalanan (journey) LIFE is

A JOURNEY. Hubungan kedua konsep ini terjadi secara

Page 86: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

76 | D r . N u z w a t y , M . H u m

sistematis sehingga setiap pembicaraan yang menyangkut tentang

kehidupan akan selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan konsep

perjalanan. Interelasi dan interaksi ke dua konsep ini merupakan

hubungan yang tertata secara sistematis yang dapat digambarkan

dalam skema kognitif penuturnya.

Metafora ekologis merupakan konsep atau bentuk yang

sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu lingkungan alam,

pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan bahasa tersebut

dalam penyampainnya di sebuah komunitas bahasa. Ketiga

komponen ini berada di dalam kognitif penutur bahasa dalam

sebuah komunitas bahasa. Yang dimaksud dengan kognitif adalah

gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekpresikan

atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu

penggunaan dan pembentukan metafora ekosistem tidak hanya

bergantung kepada satu aspek saja.

Metafora ekosistem banyak bergantung kepada

sosiokultural, unsur kognitif komunitas tutur bahasa tersebut,

termasuk pula ke dalamnya waktu, situasi, dan ranah penggunaan

Bahasa yang juga memengaruhi bentuk metafora bahasa suatu.

Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti

yang terjadi pada awal abad ke sembilan belas, kebutuhan akan

air sebagai bahan pokok kehidupan secara ekslusif disejajarkan

dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money

supply ‘central water supply’. Metafora water is money, juga

sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water

is money juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral)

dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, diantaranya juga

merusak dan menggerus lingkungan.

Page 87: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 77

Diperhatikan dari cirinya metafora dapat diklasifikasikan

ke dalam empat klasifikasi secara umum yaitu klasifikasi

metafora berdasarkan konvensi komunitas bahasa, lalu klasifikasi

metafora berdasarkan pengetahuan alami komunitas bahasa,

kemudian klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif, dan

klasifikasi metafora berdasarkan pola umum.

Pertama adalah klasifikasi metafora berdasarkan konvensi

atau non konvensi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan

istilah konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik

yang mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan

arbitrari antara bentuk (form) linguistik dan makna. Terminologi

Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan

kesepakatan yang mendasar dari anggota komunitas bahasa untuk

menggunakan bahasanya. Kesepakatan tersebut berlaku pula

pada penggunaan metafora yang dimiliki komunitas bahasa

dalam komunikasi antar sesama pada interaksi verbal dan non-

verbal dalam kehidupan dan lingkungan sosial di kehidupan

sehari-hari.

Kesepakatan ini pada umumnya berlaku untuk semua

metafora yang dipergunakan dan ditransfer serta diwariskan dari

generasi ke generasi walaupun ranah sumber metafora tersebut

sudah tidak ditemukan lagi dan tidak dikenal oleh generasi masa

kini.

Ke dua klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan alami

merupakan kriteria didasarkan kepada pengetahuan dari

pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang

terekam sebagai pengetahuan secara kolektif dalam kognitif

komunitas bahasa. Manusia melihat suatu benda atau suatu

kenyataan yang dapat dicermati dan dirasakan mempunyai

Page 88: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

78 | D r . N u z w a t y , M . H u m

interelasi sifat yang sama atau hampir sama baik sepenuhnya

ataupun sebagian antara satu entitas dengan entitas lainnya dan

dari kesamaan atau kemiripan tersebut terekspresi dalam kode-

kode lingual. Interelasi keduanya terjadi secara alami kemudian

kemiripan inilah yang akhirnya dijadikan sebagai dasar

pembentukan metafora bahasa mereka.

Terbentuknya metafora secara alami berdasarkan dari hasil

pemetaan ranah sumber ke ranah target karena adanya interelasi

antara sifat, keadaan ataupun ciri yang dimiliki oleh ke-duanya.

Keterhubungan ini terlihat di dalam kehidupan dan lingkungan

sosial komunitas bahasa tersebut yang terjadi secara regular.

Maka setiap bahasa pada umumnya memiliki perbedaan ciri-ciri

metafora antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, seperti

misalnya metafora Bahasa Mandarin untuk waktu bergerak dari

masa lalu, sedangkan metafora waktu Bahasa Inggris bergerak ke

arah mendatang seperti time pass on ‘waktu terus berlalu’.

Munculnya metafora juga dapat termotivasi oleh

pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang

didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran

atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia

ini sebagai sarana pemetaan silang untuk menghubungkan antara

ranah sumber dengan ranah target. Klasifikasi metafora

berdasarkan pengalaman tubuh (bodily experience) dan

pengalaman indrawi melalui indra penglihatan, indra pendengar,

indra perasa, dan indra pengecap, yang telah dibicarakan pada bab

IV poin C. Terbentuknya metafora ini pada umumnya mengacu

kepada kehidupan flora dan fauna yang hidup ataupun benda-

benda yang ada di sekitar lingkungan tempat metafora tersebut

digunakan. Metafora jenis ketiga ini merupakan klasifikasi

Page 89: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 79

metafora yang juga berkaitan dengan fungsi kognitif komunitas

bahasa. Dikatakan demikian karena ranah sumber menentukan

struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang yang ada di

dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora tersebut,

seperti metafora Bahasa Indonesia KASIH SAYANG IBU

HANGAT. Ketika seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa

sayang dan pada saat bersamaan bayi yang dipeluk merasa

hangat. Ini terjadi karena secara alami ketika bayi dipeluk fungsi

afektif yang menghubungkannya dengan otak bekerja dan pada

waktu yang bersamaan wilayah otak yang menghubungkan indra

perasa juga bekerja sehingga pelukan itu terasa hangat.

Klasifikasi berikutnya adalah metafora dikatagorikan

sebagai bentuk umum. Klasifikasi metafora bentuk umum

merupakan metafora secara umum dimiliki oleh semua bahasa

yaitu pemetaan silang dari ranah sumber yang non manusia

kepada ranah target manusia atau sebaliknya, contoh metafora

Bahasa Inggris John is a lion. ‘John seekor singa’ Metafora

seperti ini diklasifikasikan ke dalam klasifikasi metafora umum.

Peristilahan metafora umum dimaksud ditujukan kepada bentuk-

bentuk metafora sudah lazim digunakan sejak puluhan tahun yang

lalu dan metafora ini juga sering dipergunakan dalam pribahasa

(proverb). Pada umumnya pengalaman inderawi anggota

masyarakat dan dari kejadian-kejadian, sifat-sifat serta kondisi

(flora, fauna) yang ada di pesekitaran lingkungan alam, semua ini

terekam dalam kognitif masyarakat. Dan menjadikan semua itu

(flora, fauna dll) sebagai ranah sumber yang dipetakan melalui

parameter ekolinguistik kepada manusia atau kondisi dan

keadaan manusia sebagai ranah target. Pemetaan silang ini terjadi

karena adanya kesamaan pada ciri-ciri ataupun karakteritik

Page 90: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

80 | D r . N u z w a t y , M . H u m

keduanya yang diperoleh secara empirik sebagai bukti empiris

yang diamati oleh anggota masyarakat.

Page 91: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 81

Ahmad, H. Sayed Mudhahar. 1992. Ketika Pala Mulai

Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan). Tapak Tuan: Pemerintah

Daerah Aceh Selatan.

Ara, L. K. 2008. Sastra Aceh Hikayat Jenis dan

Tokohnya. Banda Aceh: Yayasan Pena

Athaillah dan Abdullah Faridan. 1984. Ungkapan

Tradisisonal sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah

Istimewa Aceh. Jalarta: DEPDIKBUD.

Barcelona dan Javier. (2007:17). An Overview of

Cognitive Linguistic. Berlin: Mouten de Gruyter

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistk

Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Chomsky, Noam. 1967. Aspect of The Theory of Syntax.

Massachusetts: The Massachusetts Institute of Technology.

Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical

Linguistics. Melbourne: Oxford University Press.

Cruse, D Alan. 2000. Meaning in Language: An

Introduction to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford

University Press.

Denzin, Norman. K dan Lincoln, Yvonna. S. 2009.

Handbook of Qualitative Research: Seri Bahasa Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 92: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

82 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa.

Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Eggins, Suzanne. 1996. An Introduction to Systemic

Functional Linguistics. London: Pinter.

Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (Eds). 2001. The

Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment.

London and New York: Continuum.

Finegan Edward and Niko Besnier. 2015. Language: Its

Structure and use. Florida: Harcourt Brace Jovanovich, Inc

Fishman, Joshua.A. 1979. The Sosiology of Language.

Massachussetts: Newbury House Publisher Rowley.

Goatly Andrew. 1997. The Language of Metaphors.

London and New York: Routledge.

Grix, Jonathan. 2004. The Foundations of Research.

New York: Palgrave Macmillan.

Halliday, M. A. K. 2001. Language as Sosial Semiotic:

The Sosial Interpretation of Language and Meaning. London:

Edward Arnold.

Halliday, M. A. K. 2004. An Introduction to Fungtional

Grammar. London: Edward Arnold.

Hasjim M. K. 1977. Peribahasa Aceh. Banda Aceh:

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa

Aceh.

Haugen, Einer. 1972.The Ecology of Language.

Standford, CA: Standford University Press.

Heine, Bernd. 1997. Cognitive Foundation of Grammar.

New York: Oxford University Press.

Keller, Rudi.1998. A Theory of Linguistic Signs. New

York: Oxford University Press.

Page 93: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 83

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta:

Kompas.

Kovecses, Zoltan. 2006. Languange, Mind, And Culture:

A Practical Introduction. New York: Oxford University Press.

Kridaklasana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi

Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We

Live By. Chicago: Chicago University Press.

Lindo, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard. 2000.

Dialectical Ecolinguistics: Three Essays for The Symposium 30

Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense:

University of Udense. Research Group for Ecology, Language

and Ideology Nordisk Institut.

Lyons, John. 1995. Introduction to Theoretical

Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press

M.K, Hasyim. 1969. Himponan Hadih Madja. Banda

Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dasar Provinsi Daerah

Istimewa Atjeh

M.S, Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa:

Tahapan srategi, metode, dan tekniknya. Jakarta: Rajagrafindo

Persada.

Mbete, Aron Meko.2002. Ungkapan- Ungkapan dalam

Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan.

Jurnal Linguistika: Wahana Pengembangan Cakrawala

Linguistik.Tahun 2002 Volium 9. Denpasar: Program Studi

Magister dan Doktor Linguistik Udayana.

Mbete, Aron Meko. 2011. Eko Linguistik: Perspektif

Kelinguistikan yang Prospektif. Kendari: Bahan Pembelajaran

Awal Ekolinguistik Program Pascasarjana Universitas Haluoleo.

Page 94: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

84 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Mbete, Aron Meko. 2013. Penuntun Singkat Penulisan

Proposal Penelitian EKOLINGUISTIK. Denpasar: Vidia.

Mercer, Neil. 2004. Words and Minds how we use

language to think together. London and New York: Routledge.

Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1992.

Qualitative Data Analysis. dialihbahasakan oleh Tjetjep Rohendi

Rohidi. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia.

Mishra, K Mahendra 2000. Sacred Worldview in Tribal

Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions. Nordisk:

University of Odense

Moleong, Lexi. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mubin dan Ani Cahyadi. 2006. Psikologi

Perkembangan. Jakarta: Quantum Teaching

Mufwene, Salikoko. S. 2004. The Ecology of Language

Evolution. Chicago: Cambridge University Press.

Muhajir, H. Noeng. 2011. Metodologi Penelitian Edisi

VI Pengembangan 2011. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Muhlhausler, Peter. 2003. Language of Environment-

Environment of Language. A Course in Ecolinguistics, London:

Battlebridge

Nahak, M,M. Namok. 2019. Teks Ke-batar-an Guyub

Tutur Tetun Fehan, Kabupaten Malaka, Timor, Provinsi Nusa

Tenggara Timur: Kajian Ekolinguistik. Denpasar: Universitas

UDAYANA

Nuzwaty, dkk. 2014. Metaphorical Expression of

Bahasa Aceh in Trumon of South Aceh: Ecolinguitics Study.

Dalam IOSR jounal of Humanities and Social Science Volume 19

Issue:11 (version- III). Tersedia dari: www.iosrjournals.org

Page 95: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 85

Nuzwaty. 2016. Keterhubungan Antara Kehidupan

Manusia Dengan Dunia Fisik-Biologis Alam Semesta

Diekpresikan Dalam Ungkapan Metaforik Pada Komunitas Tutur

Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik. Dalam

Tutur Jurnal Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal Vol 3, No.1,

Februari 2017. Tersedia dari: http://tutur.apbl.org/ind

Nuzwaty. 2019. Pengenalan Awal Ekolinguistik.

Medan: Sastra UISU Press.

Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik: Memahami

Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta:

Kesaint Blanc

Ricouer, Paul. 2005. The Interpretation Theory:

Discourse and the surplus Meaning.Texas: The Texas Christian

University Press.

Saragih, Amrin. 2004. Metafora Tata Bahasa.

Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik UTARA 3 Medan:

Masyarakat Linguistik Utara.

Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial.

Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.

Shukla, Shaligram dan Linton, Jeff Connor. 2006. An

Introduction to Language and Linguistics. New York: Cambridge

University Press.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran,

dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Sinar, Tengku Silvana. 2010. Teori dan Analisis

Wacana: Pendekatan linguistik Sistemik Fungsional. Medan:

Pustaka Bangsa Press

Siregar, Bahren Umar. 2003. Membingkai Kompleksitas

dengan Metafora: Di Luar Pemetaan Konseptual dan Pemaduan

Page 96: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

86 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Konseptual. Kumpulan Makalah Pertemuan Linguitik UTARA 2.

Medan: Masyarakat Linguistik Utara.

Siregar, Bahren Umar. 2004. Metafora, Metonimi, dan

Polisemi. Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik UTARA 3

Medan: Masyarakat Linguistik Utara.

Siregar, Bahren Umar. 2005. Jeruk Kok Minum Jeruk:

Gejala Metaforis Dan Metonimisasi Dalam Bahasa Indonesia.

Jurnal Ilmiah Masyarakat Indonesia, Tahun ke 23, nomor 2.

Jakarta: MLI dan Yayasan Obor Indonesia.

Siregar, Bahren Umar. 2007. Metaphors of Governance

in The Language of The Indonesian Press’. Kajian Linguistik,

Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa, Tahun Ke 4, nomor 1. Medan: Ikatan

Alumni Linguitik dan Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana USU.

Stern, Josef. 2000. Metaphors in Context.

Massachusetts: Institute of Technology.

Sufi, Rusdi dan Wibowo Agus Budi. 2007. Ragam

Peralatan Tradisional pada Masyarakat Aceh. Banda Aceh:

Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sugiarto, Bambang I. 2006. Postmoderenisasi:

Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Sukhrani, Dewi. 2010. Leksikon Nomina Bahasa Gayo

dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik.

Medan: Program Pascasajana USU, Tesis tidak dipublikasikan

Susilo, Rachmad K. D. 2008. Sosiologi Lingkungan.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syamsuddin, T dan Razali Umar. 1985. Upacara

Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan

Page 97: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 87

Kepercayaan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen

Pendidikan Dan kebudayaan

Verhaar, J.W.M. 2006. Asas Asas Linguistik Umum.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Webster, Jonathan J. 2006. The Language of Science.

London: Continuum.

Rujukan dari Internet:

http://acehpedia.org/Macam_Bahasa_Aceh#Bahasa_Ac

eh,

Hendra, Jajang. 2008. Semiotika Dibalik Tanda dan

Makna; Telaah atas Pemikiran Ferdinand de Saussure

http://jajanghendra.wordpress.com/2008/12/01/.

Mbete, Aron Meko.2009. Ragam Bahasa Bali yang

sekarang tidak umum http://linguistics1.blogspot.com/

2009/01/ekolinguistik.html

Page 98: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

88 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap kajian

ekolinguistik dalam buku ini, maka berikut ini ditampilkan

beberapa istilah ataupun terminologi yang kerap digunakan di

dalamnya.

A

AAVE: African American Vernacular English yaitu

bahasa bahasa vernakular atau bahasa keseharian yang

digunakan oleh masyarakat kulit hitam di Amerika.

Bahasa ini juga dianggap sebagai dialek dari bahasa

Inggris di Amerika.

Abo: Siput, binatang kecil melata di pinggir pantai,

termasuk ke dalam spesies amphibi.

Analogi: Dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar

bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk- bentuk

yang lain

Angen: Angin

Asam Sunti: Belimbing wuluh yang sudah dijemur dan

dikeringkan

Anomali: Penyimpangan dari keadaan normal

B

Bahasa lingkungan: Bentuk kosa kata atau leksikal

yang digunakan untuk pelestarian lingkungan alam,

pencemaran alam, pengrusakan hutan.

Bang-bang: Suara pintu diketuk, buara tembakan.

Batar: Jagung

Bu kulah: Nasi dibungkus berbentuk piramida yang

dijadikan sajian untuk upacara jamuan pada acara

perkawinan, tujuh bulanan

Page 99: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 89

Bu phet: Lepat dari tepung beras

Bu leukat: Ketan

Bu leumak: Beras yang dimasak dengan santan (nasi

lemak), dimakan bersama lauk pauk, dan biasa

disajikan untuk sarapan pagi

Bu kanji: Bubur nasi yang dimasak bersama rempah-

rempah dan daging ayam, daging sapi, udang dan

cumi-cumi. Pangan ini biasanya dihidangkan saat

berbuka puasa. Panganan ini hkusus untuk bulan

Ramadhan

Bu kuneng: Lepat yang diisi dengan pisang di

dalamnya.

Bu leugok: Sejenis kudapan yang dibungkus dengan

daun pisang

Buya: Buaya

C

Camplie cina: Cabai rawit atau cabai kecil yang

rasanya sangat pedas

D

Dimensi ideologis (ideological dimension): Hal yang

berkaitan dengan pikiran manusia dan pemahaman

manusia tentang segala sesuatu yang terekam dalam

kognitif, mental, ideologi, dan sistem psikis

Dimensi sosiologis (sociological dimension): Hal yang

berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat,

termasuk ke dalamnya adalah rasa saling mengenal,

saling menyayangi, saling membenci.

Dimensi biologis (biological dimensional): Sesuatu

hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan

Page 100: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

90 | D r . N u z w a t y , M . H u m

segala sesuatu yang terdapat dalam alam, termasuk ke

dalamnya lingkungan alam dan hidup berdampingan

dengan spesies lain yaitu flora, fauna.

Domain: Ranah

Dua: Dua

E

Ecoregion: Wilayah atau daerah tertentu

Ekolinguistik: Kajian yang menyandingkan kajian

linguistik dengan ekologis. Kajian ini juga sebuah

kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan

lingkungannya.

Epiphora: Perulangan kata pada kalimat berurutan

F

Fisei:

Fini batar: Upacara adat saat penyemaian jagung

Fukun: Tetua adat yang memimpin upacara

penanaman jagung.

G

Greusong: Kering

H

Han: Tidak, bukan

Hana: Tidak ada

Hindlish: Dialek Bahasa Inggris yang dipergunakan

oleh masyarakat Bahasa India

Hubungan ontologis: Interelasi yang melibatkan

entitas dalam dua ranah dalam kesamaan sifat.

Hubungan epistimik: Melibatkan hubungan

pengetahuan tentang kedua entitas yang

Page 101: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 91

menggambarkan adanya kesamaan ciri atau sifat

keduanya.

J

Jeungki: Alat penggiling padi tradisional (Bahasa

Aceh)

K

Kayee: Kayu, pohon

Kreol: Bahasa ibu bagi sekumpulan komunitas bahasa

yang berbeda-beda (bahasa campuran)

Kokorico: Ayam berkokok

L

Laen: Lain atau selain dari

Laot: Laut

Lam: Di dalam

Lhok: Lubuk

Lingkungan bahasa: Lingkungan budaya, lingkungan

sosial masyarakat tutur.

Lingkungan fisik: Merupakan lingkungan alam,

geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim,

biota, curah hujan, lingkungan sosial dan lingkungan

budaya berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan

aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama,

etika, politik.

Logos: Ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta

dan non eksakta

M

Mumeet: Bergerak, bergeser

Meung: Kalau, jika

Page 102: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

92 | D r . N u z w a t y , M . H u m

N

Na: Ada

Nomos: Peraturan atau hukum

O

Oikos: Lingkungan

On: Daun

Oru: Pinus

P

Paleolithikum: Zaman batu atau Zaman prasejarah

Pane: Bagaimana

Part of speech: Kelas kata dalam tata bahasa.

Pat: Tempat, kediaman

Parameter ekolinguistik: Dimensi keterkaitan antara

bahasa dengan lingkungan alam dan lingkungan

sosial masyarakat atau masyarakat tutur, entitas yang

biotik dan yang abiotik

Parameter keterhubungan atau parameter

kesalingterhubungan (interrelationship): Gambaran

tentang hubungan timbal balik antara makhluk di

suatu lingkungan alam dengan ekologinya

(ecoregion) yang dapat terpantul pada kode-kode

leksikal.

Parameter keberagaman (diversity): Keberagaman

yang ada didalam perbendaharan kosa kata sebuah

bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan

lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat

bahasa itu berada dan digunakan.

Parameter lingkungan (environment): Parameter yang

menjelaskan adanya hubungan antara ekologi dengan

Page 103: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 93

spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora,

serta seluruh kandungan mineral yang berada di suatu

lingkungan ekologi

Pemetaan atau pemetaan silang ranah (cross domain

mapping): Transformasi dari ranah sumber kepada

ranah target dalam pembentukan metafora.

Pengalaman tubuh (bodily experience): Pengalaman

empirik yang dialami oleh tubuh manusia dan juga

yang dialami melalui inderawi manusia.

Piih: Menggiling cabai mengunakan batu penggiling

R

Ranah sumber (source domain): Pola acuan atau

rujukan dalam pembentukan metafora

Ranah target (target domain): Sasaran yang

menjadikannya sebagai metafora.

U

Udep: Hidup

W

Wedhus: Domba, kambing biri-biri

Wedhus gembel: Domba berbulu tebal

Z

Zoon politicon: Mahluk bermasyarakat (manusia)

Page 104: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

94 | D r . N u z w a t y , M . H u m

Nuzwaty dilahirkan 23 Juli 1955 di Medan, Sumatera Utara.

Meraih gelar Sarjana tahun 1981, Magister Humaniora tahun

2002, dan gelar Doctor tahun 2014 pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan. Mengikuti Program

Sandwich like dari DIKTI ke Leiden Universiteit, Leiden,

Netherlands tahun 2011.

Pernah mengajar di ESL Galang Refugee Camp, Camp Pengungsi

Vietnam Pulau Galang Riau tahun 1982, mengajar di Fakultas

Sastra Univeritas Sumatera Utara, Medan tahun 1983-1987,

mengajar Bahasa Indonesia untuk expatriate Mobil Oil Indonesia

Lhoksukon, Aceh, mengajar di FISIP Universitas Malikussaleh,

Lhokseumawe tahun 1989-1999. Saat ini mengajar di FISIP

Universitas Islam Sumatera Utara dan Fakultas Sastra Universitas

Islam Sumatera Utara, Medan.

1. Metaphorical Expression of Bahasa Aceh in Trumon of

South Aceh: Ecolinguistics Study pada Jurnal Internasional

IOSR Journal of Humanities and Social Science, 2014.

2. Modals Used by the Speech Community of Bahasa Kualuh

in Interpersonal Interactions pada Jurnal Internasional IOSR

Journal of Humanities and Social Science, 2016.

Page 105: Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma

Metafora Lingkungan Hidup | 95

3. Assimilatory Process of Sound Changes from Proto-

Austronesian to Bahasa Aceh pada International Journal of

Linguistics & Communication, 2016.

4. Keterhubungan antara Kehidupan Manusia dengan Dunia

Fisik Biologis Alam Semesta Diekspresikan dalam

Ungkapan Metaforik pada Komunitas Tutur Aceh, di Desa

Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik pada Jurnal

TUTUR Cakrawala Kajian Bahasa-Bahasa Nusantara, 2017.

5. Sekilas Gambaran Tentang Ekolinguistik dalam Bingkai

Hubungan Bahasa dan Ekologi pada Buku Rona

Bahasa,2017.

6. Language Choice By Bilingual Speech Community of

Acehnese in Family Domain in Medan: A Case Study pada

International Journal Of Applied Linguistics and English

Literature, 2019.

7. Lexical Markers of Evidentiality on Vernacular Malay

Dialect Used By The Speech Community of Kualuh pada

Utopia Journals 2020.

1. Linguistik Fungsional dan Linguistik Kognitif, (ISBN 978-

602-50834-4-0) 2018.

2. Pengenalan Awal Ekolinguistik, (ISBN 978-602-50834-2-6)

2019.

3. Kajian Linguistik pada Tatanan Fonologi, Morfologi, dan

Semantik, (ISBN 978-602-50834-3-3) 2019.