lap.farmakologi kel 1 gelombang c(2011)

Upload: puti-hasana-kasih

Post on 19-Oct-2015

292 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGIBLOK DIGESTIVE SYSTEM

Obat Katartik

Asisten:Irfani Ryan ArdiansyahG1A010104

Kelompok 1:Raditya Bagas W G1A011006Paramita DeniswaraG1A011024Puti Hasana Kasih G1A011034Yahdiyani Razanah G1A011050Ainul Mardliyah G1A011060Alfiana Choiriyani U G1A011072M. Haris Prayoga G1A011069

JURUSAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2013

LEMBAR PENGESAHAN

Oleh :Kelompok 1Raditya Bagas W G1A011006Paramita DeniswaraG1A011024Puti Hasana Kasih G1A011034Yahdiyani Razanah G1A011050Ainul Mardliyah G1A011060Alfiana Choiriyani U G1A011072M. Haris Prayoga G1A011069

disusun untuk memenuhi persyaratanmengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Digestive SystemJurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu KesehatanUniversitas Jenderal SoedirmanPurwokerto

diterima dan disahkanPurwokerto, Mei 2013Asisten,

Irfani Ryan ArdiansyahNIM. G1A010104

BAB IPENDAHULUAN

A. Judul PraktikumObat KatartikB. Tanggal Dan Waktu Praktikum1. Hari / Tanggal: Senin, 27 Mei 2013 2. Waktu: Pukul 15.00-17.00 WIBC. Tujuan Instruksional1. UmumSetelah menyelesaikan praktikum farmakologi dan teraupetik, mahasiswa diharapkan akan dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi berbagai macam obat dan memiliki keterampilan dalam memberi dan mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan klinik.2. KhususSetelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa dapat :a. Menjelaskan efek obat katartikb. Menjelaskan jenis-jenis obat katartikc. Menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat katartikd. Memilih jenis katartik yang paling tepat dalam praktik klinik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Pencahar adalah obat yang terutama digunakan dalam mengatasi gangguan buang air besar. Gangguan proses defekasi normal ini dapat berupa konstipasi atau obstipasi ( Munaf, 2008). Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau kesulitan dalam defekasi karena tinja yang mengeras, kelemahan atau kelumpuhan otot polos usus dan gangguan refleks defekasi. Obstipasi adalah kesulitan defekasi karena adanya obstruksi intra atau ekstralumen usus, misalnya karsinoma kolon sigmoid ( Munaf, 2008).Frekuensi dari defekasi, jumlah dan konsistensi dari feses yang tidak normal sering memerlukan pengaturan secara farmakologik. Walaupun demikian, pada banyak kasus dengan mengatur diet saja sudah cukup untuk bisa mengembalikan defekasi ke kebiasaan defekasi yang normal. Pasien dengan frekuensi defekasi yang tidak teratur atau dalam keadaan konstipasi kronis merupakan salah stau indikasi pada pengobatan dengan pencahar. Pemakaian dari pencahar yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya efek samping berupa gangguan nutrisi, kram perut, gangguan keseimbangan air dan elektrolit dan konstipasi habitual ( Munaf, 2008). Laksatif merupakan pencahar yang paling lemah merangsang pergerakan usus, tetapi tidak sampai menimbulkan kram di perut dan mulai kerjanya lebih lambat, biasanya untuk mengeluarkan materi tinja yang telah terbentuk. Sedangkan katartik merupakan pencahar dengan intensitas sedang, menghasilkan gerakan usus yang lebih sering, tinja lunak atau encer dan sering disretai rasa keram di perut (Estuningtyas, 2007). Klasifikasi obat pencahar berdasarkan pola kerjanya : 1. Agen aktif lumen a. Pencahar pembentuk massaPada obat golongan ini berasal dari alam atau secara semisintetik. Mekanisme kerjanya dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, kemudian tinja akan menjadi lebih banyak dan juga lunak. Sebagian besar komponennya akan dicerna bakteri kolon dan metabolitnya akan meningkatkan efek pencahar melalui peningkatan osmotik cairan lumen (Estuningtyas, 2007). Contoh sediaan alam antara lain, agar-agar dan psilium dan sediaan dari semisintetik adalah metilselulosa dan natrium karboksimetilselulosa. Metilselulosa merupakan salah satu contoh dari sediaan semisintetik. Obat ini diberikan secara oral tidak diabsorbsi melalui saluran cerna sehingga dieksresi melalui tinja. Dalam cairan usus, metilselulosa selanjutnya akan mengembang membentuk gel emolien yang dapat melunakkan tinja. Efek pencahar diperoleh setelah 12-24 jam, dan efek maksimal dalam beberapa hari pengobatan. Efek sistemik tidak ditemukan dalam obat ini, tetapi bisa saja ditemukan obstruksi usus atau esofagus pada beberapa pasien, untuk itu pada pasien yang mempunyai kelainan mengunyah, metilselulosa tidak diberikan. Peran metilselulosa adalah untuk melunakkan tinja pada pasien yang tidak boleh mengejan (Estuningtyas, 2007). Natrium karboksimetilselulosa adalah obat yang tidak larut dalam cairan lambung dan bisa juga digunakan sebagai antasid. Agar-agar merupakan kolid hidrofil, banyak mengandung hemiselulosa yang tidak dicerna dan tidak diabsorbsi. Dosis yang biasanya dianjurkan adalah 4-16 g. Agar yang umumnya dibuat sebagai penganan adalah pencahar massa yang mudah untuk didapat (Estuningtyas,2007). Psilium ( Plantago) adalah salah stau contoh obat dari sediaan alam. Psilium sekarang ini telah digantikan dengan preparat lain yang lebih murni dan ditambah dengan musiloid, suatu substansi hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur dengan air. Dosis yang dianjurkan adalah 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam mL air atau sari buah (Estuningtyas, 2007). b. Pencahar osmotikMekanisme kerja pada pencahar osmotik adalah peningkatkan pegerakan peristaltik usus karena pengaruh dari tekanan osmotiknya, air ditarik ke lumen usus dan tinja menjadi lembek setelah 3-6 jam. Contoh obat adalm golongan ini adalah magnesium sulfat, magnesium sitrat, amgnesium oksida, natrium fosfat, natrium sulfat dan sodium fosfat (Estuningtyas,2007). Saline cathartics merupakan garam anorganik yang mengandung ion-ion yang bekerja dengan mempertahankan air tetap dalam saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang kemudian merangsang pergerakan usus (peristaltik). Selain itu, Mg juga merangsang sekresi kolesitokinin, suatu hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi cairan. Senyawa ini dapat diminum ataupun diberikan secara rektal. Pencahar saline ini juga dapat digunakan untuk mengosongkan kolon dengan cepat sebagai persiapan sebelum pemeriksaan radiologi, endoskopi, dan pembedahan pada bagian perut ( Munaf, 2008). Pada garam magnesium akan diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan dieksresi melaui ginjal. Apabila terdapat gangguan dari ginjal maka akan dapat menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi ginjal, hipotensi dan paralisis pernafasan. Laktulosa merupakan disakarida semisintetik yang tidak dipecah oleh enzim usus dan diabsorbsi di suus halus. Golongan obat ini terdiri dari sorbitol, manitol dan gliserin. Sediaan ini dalam bentuk sirup. Dosisnya sangat bervariasi, biasanya 7-10 g dosis tunggal atau terbagi. Kadang-kadang diperlukan diperlukan dosis awal yang lebih besar dan efek maksimum laktulosa akan terlihat dalam beberapa hari (Estuningtyas, 2007). c. Pencahar surfaktan dan emolien Obat yang termasuk ke dalam golongan ini memudahkan defekasi dengan jalan melunakkan tinja tanpa harus merangsang pergerakan peristaltik usus. Obat yang termasuk golongan ini adalah dioktilnatrium sulfosuksinat dan parafin. Mekanisme kerjanya adalah menurunkan tegangan permukaan, sehingga mempermudah penetrasi air dan lemak ke dalam masa tinja. Tinja akan berubah menjadi lunak setelah 24-48 jam. Dioktilnatrium sulfosukfinat bersifat hepatotoksik. Penggunaan obat ini pada manusia bisa menyebabkan kolik usus, selain itu juga bisa menimbulkan peningkatan risiko hepatotoksik obat-obat lain yang juga toksik terhadap hati ( Estuningtyas, 2007). Parafin adalah campuran cairan hidrokarbon yang didapatkan dari minyak bumi. Obat ini akan menyebabkan tinja melunak karena berkurangnya dari proses reabsorbsi air terhadap tinja. Kebiasaan penggunakan parafin akan mengganggu absorbsi dari zat larut lemak. Obat ini bisa menyebabkan pruritus ani, menyulitkan penyembuhan pasca bedah daerah anorektal dan meyebabkan perdarahan. Untuk itu pada penggunaan secara kronis obat ini tidak aman untuk digunakan ( Estuningtyas, 2007). 2. Agen osmotik a. DiphenylmetanObat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah fenolftalein, bisakodil dan oksifenisatin asetat. Fenolftalein diberikan pe roal dan mengalami absorbsi kira-kira 15% di usus halus. Pada obat ini mengalami sirkulasi enterohepatik sehingga dapat bertahan lama efeknya. Sebagian besar obat ini dieksresikan melaui tinja, dan sisanya melalui ginjal dalam bentuk metabolitnya. Pemberian dalam dosis besar akan menyebabkan bentuk utuh ditemukan dalam urin. Obat ini relatif tidak toksis untuk pengobatan jangka pendek, tetapi pada dosis yang berlebihan akan menigkatkan terjadinya kehilangan elektrolit. Obat ini juga bisa menimbulkan reaksi alergi, kadang meneimbulkan albuminuria dan adanya hemoglobin bebas dalam urin ( Estuningtyas, 2007). Bisakodil secara oral akan mengalami hidrolisis menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol yang diabsorbsi mengalami konjugasi hati dan dinding usus. Metabolit ini dieksresi melalui emperdu dan kemudian mengalami rehidrolisis menjadi difenol kembali yang akan merangsang motilitas usus besar. Efek pencahar akan timbul 6-12 jam stelah pemberian oral dan seperempat sampai satu jam setelah pemberian rektal. Dosis oral dewasa 10-15mg dan anak-anak 5-10 mg (0,8 mg/kgBB). Efek sistemik dari biskaodil belum pernah diketahui, namun dapat menimbulkan rasa terbakar pada rektum dan menimbulkan proktitis pada penggunaan selama beberapa minggu ( Estuningtyas, 2007).Oksifenitasina asetat memiliki farmakodinamik yang sama dengan bisakodil, namun pada obat ini efek pencaharnya tidak bisa melebihi bisakodil. Selain itu, obat ini juga jarang digunakan karena dapat menimbulkan hepatitis dan ikterus ( Munaf, 2008). b. AnthraquinonesContoh turunan antrakuinon adalah aloe, senna, dan kaskara yang ditemukan secara alamiah daslam tanaman. Lakasatif ini absorbsinya jelek dan setelah mengalami hidrolisis dalam kolon, obat ini manghasilkan pergerakan usus dalam waktu 6-12 jam bila diberikan peroral dan dalam waktu 2 jam bila diberikan per rektal. Pada penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan pigmentasi khas berwarna coklat pada kolon yang disebut melanosis coli (McQuaid, 2010).c. Castor OilMinyak jarak merupakan laksatif stimulan yang bersifat poten. Obat ini akan mengalami hidrolisis dalam usus halus bagian atas menjadi asam ricinoleat, suatu iritan yang dapat merangsang motilitas usus. Akan tetapi sekarang ini minyak jarak jarang digunakan (McQuaid, 2010).3. Prokinetic AgentPrinsip kerja prokinetic drug adalah merangsang motilitas saluran pencernaan makanan tanpa mempengaruhi sekresi lambung, empedu atau pankreas (Estuningtyas, 2007).Golongan obat prokinetik adalah (McQuaid, 2010) :a. 5-HT 4 receptor agonistSalah satu contoh obatnya adalah tegaserod, memiliki struktur yang menyerupai serotonin. Obat ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT 4 tetapi tidak memiliki ikatan yang berarti dengan 5-HT 3 atau dopamin. Perangsangan pada reseptor 5-HT 4 dapat meningkatkan pelepasan neurotransmitter, termasuk peptida yang terkait dengan gen kalsitonin, yang merangsang neuroenterik ordo kedua sehingga dapat memperkuat refleks peristaltik. Neuron ini merangsang kontraksi usus pada bagian proksimal dan relaksasi usus pada bagian distal. Tegaserod meningkatkan pengosongan lambung dan mempercepat waktu transit dalam usus halus dan usus besar tetapi tidak dapat mempengaruhi motilitas pada esofagus. Selain itu perangsangan terhadap 5-HT 4 mengaktifkan klorida yang bergantung pada cAMP dari kolon sehingga fesesnya lebih cair.Tegaserod hanya memiliki bioavaibilitas sekitar 10%, sehingga harus diminum sebelum makan karena makanan dapat menurunkan bioavaibilitas tegaserod. Obat ini dimetabolisme dengan hidrolisis dan dikatalis oleh asam lambung dan glukuronidasi dalam hati. Sekitar 66% obat akan diekskresi tanpa mengalami perubahan dalam feses dan 33% sebagai metabolit dalam urin. Obat ini merupakan kontraindikasi bagi penderita gangguan hati atau gangguan ginjal berat. b. Antagonist opioid receptorOpioid memiliki efek konstipasi yang bermakna, sehingga ketika efek ini dihambat obat ini dapat menurunkan aktivitas segmentasi fasik kolon sehingga menyebabkan menurunnya waktu transit dalam kolon dan penyerapan air dalam feses sehingga feses akan lebih cair. Selain itu obat ini juga meningkatkan pergerakkan massa kolon dan refleks gastro kolik.

BAB IIIMETODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan1. Alata. Papan lilinb. Spuit 3 ccc. Beaker glassd. Kertas selofane. Sonde lambung2. Bahana. MgSO4b. Bisakodilc. Parafind. Jamu pelangsing galian singset (merit)e. Vegeta3. Binatang percobaanLima ekor tikus putihB. Cara Kerja1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan2. Mengambil lima ekor tikus putih dan menimbang berat masing-masing tikus, kemudian memasukkannya ke dalam beaker glass yang telah diberi alas kertas selofan3. Menghitung dosis yang akan diberikan kepada masing-masing tikus dengan cara berikut :a. MgSO41) dosis anjuran: 0,2 mg / 200 gram2) dosis pengencer : 0,4 mg / cc3) rumus dosis (cc):b. Bisakodil1) dosis anjuran: 0,9 mg / 100 gram2) dosis pengencer : 0,5 mg / cc3) rumus dosis (cc):c. ParafinDosis anjuran: 1 cc / ekor tikusd. Jamu pelangsing galian singset (merit)Rumus dosis (cc): e. VegetaRumus dosis (cc): 4. Mengamati feses masing-masing tikus putih sebelum diberi obat dari segi konsistensi, warna, dan jumlah. Feses yang baik adalah feses yang tidak membasahi kertas selofan5. Memberi obat kepada setiap ekor tikus putih secara oral dengan sonde lambung sesuai dengan dosis yang telah dihitung6. Mengamati perubahan konsistensi, warna, dan jumlah feses masing-masing tikus putih setelah tiga jam pertama kemudian diamati lagi dua jam berikutnya

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil1. Perhitungan dosisa. MgSO4Berat Badan Tikus= 325 grDosis Pengenceran= 30 gr dalam 60 ml = 0,5 gr/mlDosis Anjuran= 50 g x 0,018= 0,9 g / 200 gr tikusDosis obat (ml)= = = 2,92 ml

b. BisakodilBerat Badan Tikus= 350 grDosis Pengenceran= 40 mg dalam 100 cc = 0,4 gr/ccDosis Anjuran= 10 mg x 0,02= 0,2 mg / 200 gr tikus Dosis obat (ml)= = = 0,875 ml

c. VegetaBerat Badan Tikus= 200 grDosis Anjuran= 4,14 ml / 200 gr tikusDosis obat (ml)= = = 4,14 ml

d. MeritBerat Badan Tikus = 250 gDosis anjuran = 500 mg x 2 x 0,018 = 18 mgDosis obat (ml)= = = 0,9 ml

e. ParafinBerat Badan Tikus= 225 gDosis Anjuran= 1 cc/tikus

2. Hasil Pengamatan

WaktuIndikatorObat

VegetaMgSO4ParafinBisakodilJamu Merit

30 menit setelah pemberian obatKW

JPadatKuning kecoklatan1PadatKuning kecoklatan1PadatKuning kecoklatan1PadatKuning kecoklatan1PadatKuning kecoklatan1

3 jam setelah pemberian obat

K

W

J

Padat

Cokelat

5Encer, membasahi kertas buramKuning kecoklatan6Padat

Kuning kecoklatan2Agak Padat

Cokelat

5Padat

Kuning kecoklatan3

6 jam setelah pemberian obatK

WJLembek

Cokelat4Encer,membasahi kertas buramCokelat8Agak padat

Cokelat muda3Lebih Padat

Paling cokelat4Lembek

Coklat4

Tabel 1. Pengamatan feses tikus

B. PembahasanPada tikus yang diberi obat pencahar vegeta, efek kerjanya terlihat sejak 3 jam setelah pemberian obat dimana terjadi perubahan jumlah, warna dan konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan kenyal setelah pemberian obat dibandingkan pada saat 30 menit setelah pemberian obat. 6 jam setelah pemberian obat, terlihat feses yang dihasilkan menjadi sedikit namun terjadi perubahan konsistensi menjadi lebih encer.Vegeta merupakan obat pencahar golongan pembentuk massa yang cara kerjanya dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, sehingga tinja yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak dan lunak. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 3 jam pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat faktor stres dari tikus, karena pada waktu praktikum praktikan kurang memberi efek stres pada tikus sehingga feses yang dihasilkan tidak banyak. Selain itu, kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin berpengaruh pada hasil percobaan sehingga obat lebih cepat memberikan efek (Tanu, 2007).Pada tikus yang diberi obat pencahar MgSO4, efek kerjanya baru terlihat 3 jam setelah pemberian obat. Setelah 3 jam setelah pemberian obat, terjadi perubahan warna, jumlah dan konsistensi feses tikus menjadi lebih gelap, lebih banyak dan lebih encer hingga membasahi kertas buram setelah dibandingkan pada 30 menit setelah pemberian obat.MgSO4 merupakan obat pencahar golongan osmotik/garam yang cara kerjanya dengan menarik air ke dalam lumen kolon sehingga meningkatkan peristaltik usus dan tinja yang dihasilkan akan menjadi lebih lembek. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 3-6 jam setelah pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 3 jam pasca pemberian MgSO4. Keadaan ini sesuai dengan teori yang terdapat dalam literatur dimana obat ini akan mengurangi kepadatan feses dan efeknya baru terlihat setelah 6 jam pasca pemberian obat (Tanu, 2007).Pada tikus yang diberi obat pencahar parafin cair, efek kerjanya terlihat setelah 6 jam pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan konsistensi feses tikus menjadi lebih encer setelah pemberian obat dibandingkan 3 jam setelah pemberian obat. Tidak ada perubahan jumlah feses pada tikus ini karena dari awal sebelum pengamatan feses yang dikeluarkan oleh tikus ini memang sedikit.Parafin cair merupakan obat pencahar golongan emolien yang cara kerjanya dengan melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltik usus baik langsung maupun tidak langsung sehingga memudahkan defekasi. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 6 jam pasca pemberian parafin. Keadaan ini mungkin terjadi akibat faktor stres dari tikus, karena pada waktu praktikum praktikan kurang memberi efek stres pada tikus sehingga feses yang dihasilkan tidak banyak. Selain itu, kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin berpengaruh pada hasil percobaan sehingga obat lebih cepat memberikan efek (Tanu, 2007).Pada tikus yang diberi obat pencahar bisakodil, efek kerjanya terlihat setelah 3 jam pasca pemberian obat menunjukkan warna feses tikus adalah gelap. Setelah pemberian obat justru tikus percobaan tidak mengeluarkan feses. 6 jam setelah pemberian bisakodil, efek obat terlihat mulai menurun dengan ditandai perubahan konsistensi feses menjadi lebih kental dibanding 3 jam sebelumnya.Bisakodil merupakan obat pencahar golongan pencahar rangsang yang cara kerjanya dengan merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 6-12 jam setelah pemberian oral, dan 15 menit-1 jam pada pemberian rektal. Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 3 jam pasca pemberian bisakodil dan efeknya mulai menurun setelah 6 jam pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin berpengaruh pada hasil percobaan sehingga efek obat tersebut hanya berlangsung secara singkat pada tikus (Tanu, 2007).Pada tikus yang diberi obat pencahar jamu merit, efek kerjanya terlihat setelah 3 jam pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan jumlah dan konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan lebih encer setelah pemberian obat dibandingkan pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat. 6 jam setelah pemberian jamu merit, efek obat terlihat semakin kuat dengan ditandai perubahan konsistensi feses menjadi sangat cair dengan jumlah yang lebih banyak dibanding 3 jam sebelumnya.Jamu merit merupakan obat pencahar yang mengandung Guazumae Folium, Rhei Radix, dan ekstrak Granati Fructus Cortex. Guazumae Folium bekerja secara langsung dalam sistem pencernaan dengan membentuk sebuah lapisan untuk melindungi membran mukosa dari saluran pencernaan sehingga mempercepat perjalanan makanan. Rhei Radix merupakan derivat dari Antrakuinon yang memiliki efek pencahar rangsang. Pada saat yang bersamaan, ekstrak Granati Fructus Cortex menyebabkan penyempitan pori-pori usus sehingga menurunkan absorbsi makanan. Pada manusia, obat ini biasanya memberi efek pencahar 8-12 jam setelah pemberian obat (Jamugarden, 2011).Pada tikus yang diberi merit, ternyata efek pencahar mulai terlihat setelah 3 jam pasca pemberian jamu merit dan efeknya mulai meningkat setelah 6 jam pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin berpengaruh pada hasil percobaan sehingga efek obat tersebut berlangsung lebih cepat pada tikus.Pada percobaan kali ini, terlihat efek pencahar yang paling cepat adalah obat Mg SO4. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 3-6 jam setelah pemberian obat. Efek pencahar yang terlalu besar menyebabkan kosongnya jumlah feses yang harus dikeluarkan pada defekasi berikutnya sehingga kalaupun berhasil keluar maka tidak akan padat lagi, ditambah dengan sifat pencahar yang hidrofilik sehingga massa dan konsistensi bertambah. Perubahan konsistensi ini disebabkan adanya rangsangan motilitas pada usus besar. Meningkatnya motilitas usus mengakibatkan menurunnya absorpsi garam dan air dan selanjutnya mengurangi waktu transit sehingga tinja menjadi tidak padat dan mengandung air yang mampu membasahi kertas (Estuningtyas, 2008). 3 jam dan 6 jam setelah pemberian obat, obat ini mengahasilkan feses yang paling banyak dengan konsistensi yang paling encer.Efek pencahar yang paling lama adalah parafin. Parafin cair merupakan obat pencahar golongan emolien yang cara kerjanya dengan melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltik usus baik langsung maupun tidak langsung sehingga memudahkan defekasi. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat 12-24 jam setelah pemberian obat (Tanu, 2007). Pada percaobaan terlihat pada 3 jam dan 6 jam setelah pemberian obat, obat ini paling sedikit menghasilkan feses dengan konsistensi padat atau agak padat.

C. Aplikasi Klinis1. GlaukomaGlaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh peningkatan abnormal tekanan intraokular (sampai lebih dari 20 mmHg). Tekanan yang tinggi, kadang-kadang mencapai 60-70 mmHg menyebabkan kompresi saraf optikus ketika saraf tersebut keluar dari bola mata sehingga terjadi kematian serabut saraf (Corwin, 2009). Kebutaan akibat glaukoma biasanya terjadi secara bertahap apabila tekanan intraokular secara perlahan meningkat, namun dapat terjadi dalam beberapa hari apabila tekanan intraokular mendadak menjadi tinggi. Mula-mula biasanya terjadi gangguan penglihatan perifer, yang diikutioleh gangguan penglihatan sentral. Kebutaan yang disebabkan glaukoma bersifat ireversibel. Dua jenis utama glaukoma adalah glaukoma penutupan sudut akut dan glaukoma sudut terbuka primer (Corwin, 2009).Glaukoma biasanya disebabkan oleh obstruksi aliran aqueous humor keluar dari ruang mata. Glaukoma penutupan sudut akutdisebabkan oleh obstruksi aliran secara mendadak melalui sudut antara kornea dan iris, yang dapat terjadi pada infeksi atau cedera atau bahkan tanpaalasan yang jelas. Sebaliknya, glaukoma sudut terbuka primer terjadi lebih bertahap, biasanya akibat fibrosis yang berhubungan dengan usia di sudut tersebut atau obstruksi bertahap saluran lain yang berperan dalam aliran aqueous humor. Pada kasus tersebut, terdapat peningkatan progresif tekanan intraokular. Kadang-kadang, peningkatan produksi aqueous humor dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra okular (Corwin, 2009).Tetes mata digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular. Obat-obatan yang paling sering digunakan adalah penyekat beta untuk mengurangi produksi aqueous humor atau obat parasimpatomimetik untuk menyebabkan konstriksi pupil dan meingkatkan aliran aqueous keluar dari mata (Corwin, 2009).Pada glaukoma penutupan sudut akut, diuretik dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular. Pembedahan dapat diperlukan. Tekanan intra okular harus dipantau setiap tahun pada individu yang berusia lebih dari 40 tahun atau setiap individu yang mengalami peingkatan risiko gangguan ini. Pembedahan yang meliputi iridektomi untuk glaukoma penutupan sudut, pembedahan drainase, atautrabekuloplasti laser dapat digunakan untuk memperbaiki aliran keluar aqueous humor (Corwin, 2009).2. HemoroidHemoroid adalah pelebaran satu segmen atau lebih vena-vena hemoroidalis. Secara garis besar hemoroid dapat dibagi dalam 2 jenis, hemoroid interna dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media. Sedangkan hemoroid eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai istilah yang digunakan, maka hemoroid interna timbul di sebelah luar otot sfingter ani, dan hemoroid eksterna timbul di sebelah dalam sfingter (Price, 2005).Penyebab hemoroid belum diketahui secara pasti, konstipasi kronis dan mengejan saat defekasi diduga menjadi salah satu penyebab. Mengejan menyebabkan pembesaran dan prolapsus sekunder bantalan pembuluh darah hemoroidalis. Jika mengejan terus menerus, pembuluh darah menjadi berdilatasi secara progresif dan jaringan sub mukosa kehilangan perlekatan normalnya dengan sfingter internal di bawahnya, hal ini menyebabkan prolapsus hemoroid yang klasik dan berdarah. Selain itu faktor penyebab hemoroid yang lain yaitu : kehamilan, obesitas, diet rendah serat dan aliran balik venosa (Sjamsuhidayat, 2005)Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua dapat ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai anjuran tentang makan. Makanan sebaiknya terdiri dari makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah-buahan. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan berlebihan (Price, 2005).Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolaps oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri (Price, 2005).3. MeningitisMeningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges, lapisan yang tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung, disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut dan kronis (Harsono, 2003).Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Penumococcus, Meningococcus, Hemophilus influenza, Staphylococcus, E.coli, Salmonella (Japardir, 2002). Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan umur (Japardi, 2002) : a. Neonatus : Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monositogenesb. Anak di bawah 4 tahun : Hemofilus influenza, meningococcus, Pneumococcus. c. Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus. Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda Kernigs dan Brudzinky positif (Harsono, 2003). Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita serta virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan. (Japardi, 2002)Untuk menentukan diagnosis meningitis perlu dilakukan tes laboratorium. Tes ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Cairan sumsum tulang belakang diambil dengan proses yang disebut pungsi lumbal ( lumbar puncture atau spinal tap). Sebuah jarum ditusukkan pada pertengahan tulang belakang, pas di atas pinggul. Jarum menyedap contoh cairan sumsum tulang belakang. Tekanan cairan sumsum tulang belakang juga dapat diukur (Ellenby et al, 2006).Meningitis bakterial adalah infeksi yang menyerang host rentan. Antibodi spesifik dan komplemen biasanya tidak ditemukan dalam cairan serebrospinal pasien meningitis. Hal ini mengakibatkan inefisiensi fagositosis dan menyebabkan multiplikasi cepat bakteri. Terapi antibiotik yang optimal membutuhkan efek bakterisid pada cairan serebrospinal. Pada percobaan dengan hewan yang terkena meningitis, efek bakterisid terbukti sangat penting untuk sterilisasi cairan serebrospinal (Beek et al., 2006).

D. Evaluasi1. Mengapa dosis jamu yang digunakan besarnya seperti itu?Dosis anjuran merupakan dosis yang dipakai untuk hewan uji yang telah dikonversi dari dosis normal untuk manusia. Dosis anjuran untuk merit 0,72mL/200gr. Dosis ini merupakan dosis yang telah dikonversi dari dosis aman untuk manusia ke dosis untuk hewan coba dengan perhitungan apabila berat hewan coba 200 gram. Tikus uji memiliki berat 250 gr sehingga didapatkan dosis merit sebesar 0,9 cc atau mL. Dosis ini langsung dalam satuan mL dan tidak ada lagi konversi kedalam dosis cair karena bentuk obat sudah dalam bentuk larutan cair.2. Jelaskan mekanisme kerja obat tersebut?Merit adalah obat pelangsing tubuh dengan komposisi Guazumae Folium, Rhei Radix, Granati Fructus Cortex. Guazumae folium mengandung zat lendir yang berfungsi melapisi GI tract sehingga penyerapan zat makanan menjadi lebih sedikit dan makanan lebih cepat dikeluarkan. Rhei radix bekerja sebagai pencahar rangsang yang aktif meningkatkan peristaltik usus. Sedangkan granati fructus cortex memperkecil bidang penyerapan pada usus sehingga meningkatkan jumlah feses saat defekasi. Secara umum merit bekerja sebagai pencahar rangsang.3. Jelaskan mekanisme kerja obat katartik?a. Pencahar RangsangPencahar ini bekerja dengan merangsang mukosa lumen serta saraf intramural/otot polos sehingga gerakan peristaltik dan sekresi lumen usus meningkat.b. Pencahar Garam dan Pencahar OsmotikBekerja dengan prinsip osmotik yaittu obat yang berbentuk garam yang masuk ke lumen GI tract akan meningkatkan tekanan intralumen sehingga air akan berpindah ke lumen dan melunakkan tinja dan mempermudah proses defekasi.c. Pencahar Pembantuk Massa Bekerja mengikar air dan ion ke dalam lumen kolon sehingga tinja menjadi banyak.d. Pencahar EmolienMemudahkan defekasi dengan cara melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltic usus yang kemudian menurunkan tegangan permukaan pada feses sehingga air dan lemak mudah masuk kedalam tinja.

BAB VKESIMPULAN

1. Katartik atau pencahar adalah obat yang terutama digunakan dalam mengatasi gangguan buang air besar, baik yang berupa konstipasi atau obstipasi2. Berdasarkan pola efek kerjanya, obat-obat katartik diklasifikasikan menjadi 3 golongan, yaitu agen lumen aktif, non spesifik iritan/stimulan, dan prokinetik agen3. Pada tikus yang diberiakan obat katartik yang alami maupun sintetis, terjadi perubahan bentuk, konsistensi dan jumlah feses tikus.

DAFTAR PUSTAKABeek, Diederik van de., Jan de Gans., Allan R. Tunkel., dan Eelco F.M. Wijdicks,. 2006. Community-Acquired Bacterial Meningitis in Adults. The New England Journal of Medicine. 354 : 44-53.Corwin, Elisabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Dipiro, J.T., 2005. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. USA: The Mc Graw Hill Company.

Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006. Lumbar Puncture. The New England Journal of Medicine. 12 : 355 Estuningtyas, Ari. 2007. Obal Lokal dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen farmakologi dan terapeutik FKUI.

Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL : http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm Jamugarden. 2011. Jamu Merit Plus - Lose Weight Fast The Healthier Way. Jamugarden.

Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdfMcQuaid, K R. 2010 . Obat yang Digunakan pada Terapi Penyakit Gastrointestinal. In B. G. Katzung, Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10 (pp. 1061-1063). Jakarta: EGC.

Munaf, Sjamsuir. 2008. Pencahar dan Obat Saluran Cerna Lainnya dalam Kumpulan Kuliah Farmakologiedisi 2.Jakarta : EGC.

Kearney, David. 2006. Chronic Diarrhea Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. USA: Prentice-Hall International,Inc.

Price, Silvia A, Lorraine M Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat, R. , Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Spiro, Hooward M. 2005. Chronic Diarrhea Clinical Gastroenterology 4th Ed. USA: Mc Graw-Hill,Inc

Tanu, Ian. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI