lapkas gemelli anes tugu
DESCRIPTION
lapkas gemelli anes tuguTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS ANESTESI
SECTIO CAESAREA (SC) G2P1A0 H38MG GEMELLI DENGAN ANESTESI
REGIONAL SPINAL
Disusun oleh:
Bagus Ayu Purnamasari
01.210.6101
Pembimbing:
dr. Endang Widiastuti, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
NAMA : BAGUS AYU PURNAMASARI
NIM : 01.210.610I
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING : dr. ENDANG WIDIASTUTI, SP.An
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Juni 2014
Pembimbing,
(Dr. Endang Widiastuti, Sp.An)
2
DAFTAR MASALAH
No Masalah aktif Tanggal Keterangan No Masalah pasif Tanggal Keterangan
1 G2P1A0
H38MG
GEMELLI
28/6/14
2 -
3
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Ifa Mustakim Khasanah
Umur : 31 th/1 bl/5hr
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
No RM : 07-99-20
Tanggal masuk : 24 Juni 2014
Perawatan : Hari ke-4
Pasien bangsal : Bougenville 1
2. Keluhan Utama
Pasien G2P1A0 mengeluh adanya kenceng-kenceng dibagian perut
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P1A0 usia 31 tahun hamil 40 minggu. Janin 2 hidup intrauterin.
mengeluhkan kontraksi rahim (+), keluar cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir
(+), terasa gerakan janin (+). Saat usia kehamilan menjalani pemeriksaan dan
dinyatakan kehamilan gemelli dan disaat pasien hamil aterm direncanakan SC
(Sectio Caesarea).
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
7. Riwayat penyakit maag : disangkal
8. Riwayat alergi obat : disangkal
9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal
4
2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
2.4. Riwayat Pribadi
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal
3. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Persiapan Pre Operasi
3.1 Anamnesis (26 Juni 2014)
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit
M (Medication) : (-)
P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), asma (-)
L (Last meal) : Puasa mulai pukul 03.00 WIB (6 jam sebelum operasi)
E (Environment) : G2P1A0 hamil 40 minggu, janin 2 hidup intrauterine, gemelli
dan anemia ringan
3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (26 Juni 2014)
Tanda Vital
TD : 110/85 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 14 x/menit
SaO2 : 100 %
Suhu : 36,7oC
TB : 158 cm
BB : 55 Kg
Jantung : dbn
Paru : dbn
Mulut, gigi daan jalan nafas : dbn
5
Ekstremitas : dbn
Lain lain : dbn
DJJ I + 11-12-11
DJJ II+ 12-11-12
3.3. Pemeriksaan Penunjang (26 Juni 2014)
HEMATOLOGI
Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal
1. Leukosit : 11,22 103/uL (H) 3,6-11 103/uL
2. Eritrosit : 3,73 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL
3. Hemoglobin : 9,50 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL
4. Hematocrit : 28,90 % (L) 35-47 %
5. MCV : 77,50 fL (L) 80-100 fL
6. MCH : 25.50 pg (L) 26-34 pg
7. MCHC : 32,90 g/dL 32-36 g/dl
8. Trombosit : 241 103 /uL 150-400 103 /uL
9. RDW : 15,60 % (H) 11,5-14,5 %
10. Diff Count
a. Eosinophil absolute : 0,06 103 /uL 0,045- 0,44 103 /uL
b. Basophil absolute : 0,04 103 /uL 0-0,2 103 /uL
c. Netrofil absolute : 8,21 103 /uL 1,8-8 103 /uL
d. Limfosit absolute : 1,89 103 /uL 0,9-5,2 103 /uL
e. Monosit absolute : 1,02 103 /uL 0,16-1 103 /uL
f. Eosinophil : 0,50 % (L) 2-4 %
g. Basophil : 0,40 % 0-1 %
h. Neutrophil : 73,20 % (H) 50-70 %
i. Limfosit : 16,80 % (L) 25-40 %
j. Monosit : 9,10 % 2-8 %
4. Laporan Anesthesi Durante Operasi
Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)
Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level
median.
Lama anestesi : 09.05 – 09.45 WIB
Lama operasi : 09.10 – 09.45 WIB
6
Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)
Induksi : Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml
Maintenance : O2 2 L/menit
Adjuvantia : Metoclopramid 5 mg/ml
Oxytocin 10 IU/ml
Pospargin (Methylergometrine Maleat) 0.2 mg/ml
Pethidin HCL 50 mg/ml
Dycinone Ethamsylate 125 mg/2ml
Asam Traneksamat 500 mg/5ml
Vit. C 100 mg/ml
Vit. K 10 mg/ml
Ketorolac 3% 30 mg/ml
Tramadol 100 mg/2ml
Reverse : -
Terapi cairan : Kristaloid : RL 500 ml
Koloid : FimaHES 500 ml
Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room
4.1 Tindakan Anestesi Regional
Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-
L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah
menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai
menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi
adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-
lahan.
Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat
kaki dan menekuk lutut.
Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup
dengan kasa dan plester.
Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.
7
4.2 Pemberian Cairan
Cairan masuk
Pre operatif : RL 1000 cc
Durante operatif : RL 500 cc + HES 500 cc
Cairan keluar
Perdarahan : ± 500-600 cc
Produksi urin : ± 55 cc/jam
Pasca Bedah di Recovery Room (RR)
Bromage Score :
No. Kriteria Skor
1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2. Tidak dapat menekuk lutut, tetapi dapat mengangkat kaki 1
3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah, tetapi dapat menekuk lutut 2
4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekal 3
Score <2, pasien boleh pindah ruangan
Recovery Room
Masuk jam : 09.15 WIB
Pulang jam : 09.45 WIB
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Kering
Posisi Pasien : Semifowler
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
8
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
SaO2 : 100 %
TB : 158 cm
BB : 55 Kg
Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal
Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam
Infus : RL 37 tpm
Antibiotika : sesuai TS bedah
Inj. Tramadol 3 x 100 mg drip
Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif
Boleh langsung minum, makan tunggu peristaltik usus (+) flatus (+)
Bila TD 90 mmHg (systole), beri :
Loading cairan RL 250 ml iv
Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv
Hub. dr. anestesi
9
PEMBAHASAN
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi.
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat
mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis
operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi
seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu,
dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa
menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre
operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan
anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien
tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform
consent. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda anemis, denyut jantung janin
masih baik, presentasi kepala 1 bokong 1. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan
adanya penurunan Hb pasien.) Pada pasien ini dikarenakan adanya penurunan nilai
hasil laboratorium pada Hb, maka status anestesi pasien adalah ASA 2 E (Pasien
dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang).
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
10
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking,
sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ
tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan
system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi
regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi
regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian
masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan
tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang
terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang
sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi
adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap
memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes
koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease
hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif,
maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu,
klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,
terutama teknik monitoring.
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
11
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas
normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.
Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari
tabel dibawah:
Kebutuhan Cairan Selama Operasi Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam
12
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
50 % selama jam I operasi
25 % selama jam II operasi
25 % selama jam III operasi
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml.
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan
mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL yang
merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya
yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.
Mula kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi
pasien dalam keadaan terlentang (supine).
13
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar
20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari
pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan
ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena,
dan pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga pemberian cairan
dicepatkan, diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena dan oksigen.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 20 IU (2
ampul), 10 UI diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan per-drip. Pemberian
oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus
secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit. Selain oksitosin, juga diberi pospargin 1 ml bolus IV, Mekanisme
kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor
adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.
Selama operasi berlangsung, pasien mengeluhkan mual muntah. untuk
menanggulangi mual, muntah metabolik karena obat selama atau sesudah operasi,
maka pasien diberikan Metoclopramid 5 mg/ml. Metoclopramid mempengaruhi
Chemoreceptor Trigger Zone medulla yaitu dengan menghambat reseptor dopamin
padat CTZ. Mekanisme kerja dengan cara meningkatkan ambang rangsang CTZ dan
menurunkan sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari
gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.
Menggigil pasca anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil berupa
tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia
selama anestesi regional dan pembedahan. Pethidin efektif sebagai terapi terhadap
14
menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan
dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin
bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine,
antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2.
Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin
pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan menyebabkan terjadinya
menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu
untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk
meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana hal ini akan
memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju hypothalamus .
Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat sebelum operasi
selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug)
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan untuk
mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam. Selain
itu juga diberikan Tramadol 100 mg/2ml (drip). Tramadol adalah analgesik kuat yang
bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospsifik pada reseptor di
sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di
samping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmiter dari saraf aferen yang
bersifat sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.
Pasien SC biasanya mengeluarkan darah sekitar 500-600 cc, maka pasien
diberikan asam traneksamat, dicynone, vit. C dan vit K untuk mengurangi perdarahan.
Asam tranexamat 50 mg/ml adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja
mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi
plasmin pada cascade pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi
fibrin, maka asam tranexamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang
berujung pada meingkatnya aktivitas pembekuan darah.
Dicynone 250 mg/2 ml bekerja pada fase vaskuler dari hemostasis dengan cara:
- Memulihkan daya lekat dari platelet yang terganggu.
- Memulihkan lapisan endo endothelium dari fibrin.
- Menghambat sintesa Prostasiklin yang merupakan antihemostatik.
15
- Dengan demikian memulihkan resistensi kapiler yang be rkurang. Hal ini yang
menjelaskan cara kena Dicynone yang nyata pada perdarahan.
Dicynone bekerja dengan menstabilkan membran yang menghambat enzim
spesifik prostaglandin dalam proses sintesanya, atau dengan kata lain membantu
agregasi platelet.
Vitamin K 10 mg/ml (1 ml). Merupakan ko-faktor pembekuan darah. Faktor
pembeku darah yang dipengaruhi oleh vitamin K adalah faktor II, VII, IX dan X.
Vitamin K diperlukan oleh pasien dengan gangguan fungsi hati
Vitamin C 100 mg/ml dibutuhkan untuk pembentukan kolagen dan perbaikan
jaringan. Vitamin C juga penting dalam pembentukan trombosit dan aktivitas dari sel darah putih. Oleh sebab itu vitamin C memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat, jaringan tulang rawan, lapisan endotelium pembuluh darah dan lain sebagainya.
Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar.
Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar
intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan
mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100
mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,
Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan
ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
16
DAFTAR PUSTAKA
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoelting’s Anethesia and Co-existing Disease.
5th edition. New York: Elsevier.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L. 2009.
Miller’s Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
17