laporan

76
LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK RUMAH SAKIT ISLAM UNISMA UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP An.A DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PENYAKIT TYPHOID FEVER Disusun untuk Memenuhi Tugas Clerkship Oleh: Alfiani Rosyida Arisanti, S.Ked. (209.121.0013) Pembimbing: dr. Dina Mariyati

Upload: devi-febriani-elf

Post on 12-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laporan

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

RUMAH SAKIT ISLAM UNISMA

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP An.A

DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PENYAKIT TYPHOID FEVER

Disusun untuk Memenuhi Tugas Clerkship

Oleh:

Alfiani Rosyida Arisanti, S.Ked. (209.121.0013)

Pembimbing:

dr. Dina Mariyati

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2013

Page 2: LAPORAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Stase Anak yang berjudul “Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga terhadap An.A dalam Menangani Permasalahan Penyakit Typhoid Fever” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan.

Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi tugas Clerkship serta melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam menangani kasus kedokteran keluarga secara holistik dan komprehensif.

Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.

Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Penyusun

Alfiani Rosyida Arisanti, S.Ked.

i

Page 3: LAPORAN

DAFTAR ISI

1. Judul 2. Kata Pengantar ..................................................................................................i3. Daftar Isi ..........................................................................................................ii4. BAB I : Pendahuluan

Latar Belakang...........................................................................................1Tujuan........................................................................................................1Manfaat......................................................................................................1

5. BAB II : Status PenderitaIdentitas Penderita......................................................................................2Anamnesa...................................................................................................2Anamnesa Sistem.......................................................................................5Pemeriksaan Fisik......................................................................................6Pemeriksaan Penunjang.............................................................................8Resume.......................................................................................................9Diagnosis Holistik......................................................................................9Penatalaksanaan Holistik.........................................................................10Follow Up dan Flow Sheet.......................................................................14

6. BAB III : Tinjauan PustakaDemam Tifoid..........................................................................................16Profil Keluarga.........................................................................................12Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga.............................................15

7. BAB IV : PembahasanDasar Penegakan Diagnosa......................................................................24Dasar Rencana Penatlaksanaan................................................................31

8. BAB V : Pembahasan Aspek Kedokteran KeluargaIdentifikasi Keluarga................................................................................33Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan....................40Daftar Masalah.........................................................................................41

9. BAB VI : Penutup Kesimpulan Holistik................................................................................44Saran ........................................................................................................44

10. Daftar Pustaka.................................................................................................45

ii

Page 4: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akibat infeksi bakteri Salmonella typhi atau

Salmonella paratyphi. Demam tifoid masih termasuk salah satu masalah kesehatan yang

penting di Indonesia, penyakit akut ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang

banyak orang sehingga menimbulkan wabah. 1 Insiden demam tifoid di Indonesia termasuk

tinggi yaitu berkisar 352 - 810 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau 600.000 -

1.500.000 kasus per tahun. Angka kematian diperkirakan 2,5 – 6% atau 50.000 orang per

tahun. 2 Penyakit ini menyerang semua usia tetapi sebagian besar terjadi pada anak-anak usia

5-9 tahun dengan perbandingan pria dan wanita adalah 2:1. 3 Oleh karena itu, kasus demam

tifoid termasuk dalam kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum atau

dokter pada tingkat layanan primer harus mampu membuat diagnosa klinik berdasarkan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan serta mampu memutuskan dan menangani

kasus tersebut secara mandiri hingga tuntas. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

penulis mengangkat kasus ini sebagai pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran

keluarga terhadap penanganan permasalahan penyakit demam tifoid (typhoid fever).

1.2 TUJUAN

Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk melatih keterampilan klinis dan komunikasi

dalam menangani kasus pada anak, khususnya demam tifoid yang terjadi pada An.A, dengan

upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik dan komprehensif.

1.3 MANFAAT

Manfaat penyusunan laporan ini adalah sebagai media pembelajaran dan evaluasi terhadap

aspek kedokteran keluarga dalam penanganan serta pencegahan kasus infeksi khususnya

kasus demam tifoid.

1

Page 5: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : An.A

TTL/Usia : Malang, 26-01-2009 / 4 tahun 9 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Pendem, Malang

Tanggal Periksa : 28 September 2013

Anak ke-/jumlah saudara : 1 / -

Nomor Rekam Medis : 07-76-76

Orang Tua

Nama Ayah : Tn.M

Umur Ayah : 29 tahun

Pekerjaan Ayah : wiraswasta (pedagang kayu)

Nama Ibu : Ny.K

Umur Ibu : 29 tahun

Pekerjaan Ibu : ibu rumah tangga

Suku : Jawa

Agama : Islam

Alamat : Desa Pendem, Malang

2.2 ANAMNESIS (Alloanamnesa)

1. Keluhan utama : Demam

Harapan : Segera sembuh dan tidak kambuh

Kekhawatiran : Demam semakin tinggi dan tidak sembuh. Ibu khawatir anak

mengalami kejang.

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien An.A datang ke IGD RS diantar oleh orang tua dan neneknya. Ibu mengeluh

bahwa An.A demam sudah sejak 5 hari yang lalu. Demam bersifat naik turun, naik ketika

menjelang sore dan turun ketika bangun tidur. Selain itu, ibu pasien juga mengeluh perut

An.A kembung, batuk, lemas, mual, dan muntah tetapi hanya sekali. Ibu pasien sempat

mengukur suhu axila An.A sebelum dibawa ke RS dan menunjukkan hasil 39,5oC.

2

Page 6: LAPORAN

Sebelum demam, An.A mengeluh lemas, telapak kaki dan telapak tangan dingin.

Ketika demam, ibu An.A memberikan obat penurun demam yang biasa dikonsumsi

ketika pasien sakit tetapi demam tidak kunjung turun. Sebelumnya, pasien sering

mengalami demam dan membaik setelah diberi obat tersebut. Tiga hari setelah demam,

An.A mengeluh pilek, hidung terasa buntu saat istirahat, serta demam yang semakin

memberat. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.A mengaku sempat

mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mondok : +

Riwayat hipertensi : -

Riwayat DM : -

Riwayat gout : -

Riwayat penyakit jantung : -

Riwayat alergi obat/makanan : -/+

Riwayat dengue fever : -

Riwayat radang tenggorokan : +

Riwayat demam tifoid : -

Keterangan: Pasien sering mengalami demam dan radang tenggorokan, tetapi membaik

setelah diberikan obat.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : tidak ada

Riwayat Hipertensi : Ayah, ibu, kedua nenek, dan kedua kakek

Riwayat DM : Ayah, ibu, kedua nenek, dan kedua kakek

5. Riwayat Kehamilan Ibu

Keluhan : ibu mengeluh pusing dan lemas saat memasuki trimester ketiga

Usia ibu hamil : 24 tahun

Kontrol : rutin setiap bulan ke dokter

Kelainan kehamilan : didiagnosa hipertensi (TD 190 mmHg) saat bulan ke-5 kehamilan

dan tanpa terapi obat antihipertensi

6. Riwayat Kelahiran

Persalinan : operasi (SC) oleh dokter spesialis kandungan

Usia kehamilan : 9 bulan

BB – PB lahir : 2800 gram

3

Riwayat demam kejang : +

Riwayat morbili : -

Riwayat difteri : -

Riwayat pertusis : -

Riwayat parotitis : -

Riwayat varicela : -

Riwayat tetanus : -

Riwayat malaria : -

Riwayat asma : -

Page 7: LAPORAN

Kondisi lahir : cacat (-), anus (+), ketuban jernih, APGAR 1 menit = 7 (ada depresi

sistem syaraf), APGAR 5 menit = 5 (resiko tinggi sistem syaraf

lanjutan dan disfungsi sistem organ lain)

Kelainan kelahiran: Sehari setelah lahir An.A kejang, stomatitis, tangis merintih, minum

tidak adekuat, sianosis.

7. Riwayat Imunisasi

Ibu : TT (+)

Anak : DTP (+) jumlah: 4 kali usia: 2, 4, 6 bulan dan 2 tahun

BCG (+) jumlah: 1 kali usia: 2 bulan

Campak (+) jumlah: 1 kali usia: 9 bulan

Hepatitis B (+) jumlah: 3 kali usia: 0, 1, 6 bulan

Polio (+) jumlah: 5 kali usia: 0, 2, 4, 6 bulan dan 3 tahun

8. Riwayat Gizi

ASI: An. A mengkonsumsi ASI hanya sampai usia 3 bulan karena ASI sudah tidak bisa

keluar lagi dan digantikan dengan susu instan.

Makanan sehari-hari: Selama sakit, nafsu makan An.A menurun. Sebelum sakit,

biasanya An.A makan 2 kali sehari, nafsu makan baik, suka konsumsi buah dan sayur.

Tetapi An.A sensitif terhadap makanan atau jajanan luar, dan An.A biasanya mengeluh

sakit tenggorokan jika mengkonsumsinya. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.A

mengaku sempat mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum

keluhan datang.

9. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :

Pertumbuhan:

Normal

Tumbuh gigi mulai usia 6 bulan

Pertumbuhan BB

Perkembangan:

Mulai bicara usia 9 bulan (1 kata) kemampuan bahasa

Mulai berjalan usia 1 tahun kemampuan motorik kasar

Mulai bisa membaca usia 4 tahun

Ada kehendak BAK usia 2 tahun kemampuan sosial

Mulai bisa menulis usia 4,5 tahun kemampuan motorik halus

Perkembangan normal

4

BB

4 kg6,4 kg7 kg9 kg

Usia

1 bln3 bln4 bln13 bln

Page 8: LAPORAN

10. Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga:

Riwayat merokok : Ayah An. A merokok tetapi tidak di dalam rumah

dan tidak saat bersama anaknya.

Riwayat minum alkohol : -

Riwayat olahraga : -

Riwayat bepergian jauh : tidak pernah bepergian ke luar Jawa

Riwayat pengisisan waktu luang : An. A jarang bermain di luar rumah. An.A mengisi

waktu luang biasanya dengan bermain game.

11. Riwayat Sosial Ekonomi :

An. A jarang bertemu dengan orang tuanya karena kuliah. An. A juga jarang bermain

dengan teman dan tetangganya karena jarak rumahnya jauh dan dekat dengan jalan raya.

An.A lebih dekat dengan neneknya. Orang tua An.A jarang berinteraksi dengan tetangga

karena jarak rumahnya jauh dan sibuk kuliah.

Review of Sistem

1. Kulit : kulit gatal (-), bintik merah di kulit (-)

2. Kepala : sakit kepala (+), pusing (+), rambut rontok (-), luka (-), benjolan (-)

3. Mata : merah (-/-)

4. Hidung : tersumbat (+/+), mimisan (-/-), sekret/rhinorrea (+/+)

5. Telinga : cairan (-/-), nyeri (-/-)

6. Mulut : Sariawan (-), mulut hiperemis (-)

7. Tenggorokan: Sakit menelan (+), serak (+), ada rasa tersendat (-)

8. Pernafasan : Sesak nafas (-), batuk (+), mengi (-)

9. Kardiovaskuler : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-),

10. Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), diare (-), nafsu makan menurun, nyeri

perut (+), BAB sehari sekali tetapi sedikit

11. Genitourinaria : BAK normal

12. Neurologic : Kejang (-), lumpuh (-), kaki kesemutan (-)

13. Muskuluskeletal : Kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (+)

14. Ekstremitas :

a. Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-)

b. Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-)

c. Bawah kanan: bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-)

d. Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-)

5

Page 9: LAPORAN

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : tampak lemas dan sakit sedang, kesadaran composmentis (GCS

E4V5M6)

2. Atropometri

BB : 17 kg

TB : 110 cm

Status gizi kesan: normal batas bawah

3. Tanda Vital

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 96 x/menit

RR : 31 x/menit

Suhu : 38,3 oC

4. Rambut : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam

5. Kepala dan wajah : bentuk kepala mesocephal, wajah simetris, luka (-), kelainan mimik

wajah/bells palsy (-), warna kulit sawo matang, turgor baik, sianosis (-),

pucat (+), papul (-), nodul (-), makula (-), pustul (-)

6. Mata : conjungtiva anemis (+/+), radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-), mata

cekung (-)

7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (+/+), epistaksis (-/-), deformitas

hidung (-/-)

8. Mulut : mukosa bibir pucat (+/+), sianosis bibir (-/-), bibir kering (+/+), lidah

kotor (+), tepi lidah hiperemis (+), gigi banyak caries

9. Telinga : otorrhea (-/-), kedua cuping telinga normal

10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (+)

11. Leher : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)

12. Thorax : normochest, simetris

Cor : Inspeksi : ictus cordis tampak

Palpasi : ictus cordis kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS

Batas kanan atas : SIC II LPSD

Batas kiri bawah : SIC V 1 cm lateral LMCS

Batas kanan bawah : SIC IV LPSD

Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular

6

Page 10: LAPORAN

Pulmo :

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri

Palpasi : fremitus taktil kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : + + - - - -

suara dasar vesikuler + wheezing - ronkhi basah & kering -

+ + - - - -

13. Abdomen :

Inspeksi : sejajar dinding dada

Palpasi : supel, nyeri epigastrium (+)

Perkusi : hipertimpani seluruh lapangan perut (meteorismus)

Auskultasi : bising usus menurun

14. Sistem Collumna Vertebralis :

Inspeksi : skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

15. Ekstremitas : palmar eritem (-)

Akral hangat Oedem

L : deformitas (-), luka (-)

F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)

M: normal

16. Pemeriksaan neurologik :

Kesadaran : GCS 456 composmentis

Fungsi sensorik

Fungsi motorik

Kekuatan Tonus

Ref.Fisiologis

Ref.Patologis

7

+ +

+ +

- -

- -

N N

N N

- -

- -

N N

N N

N N

N N

5 5

5 5

Page 11: LAPORAN

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 1. Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 28 dan 29 September 2013)

PemeriksaanHasil

UnitNilai

Normal28 September 29 September

HematologiHb HCTLeukositTrombositEritrosit

11,634,510,751814,25

12,536,69,301974,55

g/dl%Ribu/ulRibu/ulJuta/ul

11,5-13,534-405,0-14,5150-4403,95-5,26

IndexMCVMCHMCHC

81,027,333,7

80,427,434,1

FlPg%

75-8724-3031-37

DifferentialBasofilEosinofilLimfositMonositNetrofil

0,30,521,817,559,9

0,60,642,0--

%%%%%

0-11-630-452-850-70

Jumlah total selLimfositBasofilMonositEosinofilNeutrofil

2,340,031,880,056,43

3,910,06-0,06-

Ribu/ulRibu/ulRibu/ulRibu/ulRibu/ul

Keterangan: darah lengkap (DL) : normal

Tabel 2. Urinalisis (tanggal 29 September 2013)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Warna

PH/Berat jenis

Albumin

Reduksi

Bilirubin

Urobilin

Keton

Nitrit

Erytrosit

Leukosit

Epithel

Kristal

Bakteri

Kuning tua

6,5/1,015

+2

Negatif

Negatif

Negatif

+

Negatif

0-1

1-2

0-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

0-2

0-4

0-1

Keterangan: urine lengkap (UL) : normal

8

Page 12: LAPORAN

Tabel 3. Serologi Darah (tanggal 28, 30 September 2013)

PemeriksaanHasil

Nilai Normal28 September 30 September

Thypi O

Thypi H

Parathypi OA

Parathypi OB

CRP

Ig G dengue

Ig M dengue

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

+ 48

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

+ 48

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif < 6 mg/L

Negatif

Negatif

Keterangan: CRP : positif 48

- Tes Widal : negatif (28 September 2013)

- Well Felix Ig M Salmonella : positif 4 (30 September 2013)

2.5 RESUME

a) Anamnesis :

- Demam sejak 5 hari yang lalu.

- Demam naik turun, naik ketika sore hari dan turun ketika bangun tidur.

- Keluhan lain: perut kembung, batuk, mual, muntah satu kali, lemas dan tiga hari setelah

demam An.A mengeluh pilek, hidung terasa buntu saat istirahat.

- Riwayat mondok (+), memiliki alergi terhadap makanan atau jajanan luar, radang

tergorokan, serta kejang demam.

- Keluarga (ayah, ibu, nenek, dan kakek) memiliki riwayat hipertensi dan DM.

- Jarang bertemu dengan orang tuanya karena orang tua sibuk kuliah.

b) Pemeriksaan Fisik :

- Demam (suhu: 38,3oC), lemas, anemis, rhinorrea, bibir kering, lidah kotor, radang

tenggorokan, meteorismus, bising usus menurun, nyeri epigastrium.

c) Pemeriksaan Penunjang :

CRP : positif 48

Well Felix Ig M Salmonella : positif 4

2.6. DIAGNOSA HOLISTIK

1. Diagnosis dari segi biologis :

Working diagnostic : Typhoid fever

Differential diagnostic: Dengue Fever

9

Page 13: LAPORAN

Dengue Hemoragic Fever

Malaria

2. Diagnosis dari segi psikologis :

Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A

sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi

dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakek An.A memberikan

perhatian yang baik terhadap An.A sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya

berjalan baik.

3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :

Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena

jaraknya yang jauh. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game

dan jarang bermain dengan temannya. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong

cukup mampu.

2.7 PENATALAKSANAAN HOLISTIK

Non Farmakoterapi:

KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi):

o Menjaga kebersihan serta kesehatan diri dan lingkungan, khusunya menjaga

kebersihan kamar mandi rumah An.A yang posisinya dekat dengan dapur.

o Menjaga higienitas makanan dan asupan cairan dan nutrisi yang sehat dan cukup.

o Memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua An.A, mengenai demam

tifoid (pencegahan, pengenalan tanda dan gejala klinis, kondisi kegawatan,

penanganan dini atau rujukan, dan komplikasi).

o Istirahat dan perawatan yang intensif untuk mempercepat pemulihan dan mencegah

komplikasi.

o Memberikan pengertian kepada orang tua An.A akan pentingnya komunikasi dan

perhatian dalam pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi An.A.

o Deteksi dini terhadap potensi terjadinya hipertensi dan diabetes mellitus pada An.A.

o Memberikan saran agar An.A lebih aktif dalam kegiatan di sekolahnya untuk tujuan

pembelajaran bersosialisasi.

Analisa dan Pola Pengaturan Gizi :

Perhitungan BMR dengan rumus Harris Benedict

66+(13,7xBB) + (5xTB) - (6,8xU) = 66 + (13,7x17) + (5x110) – (6,8x4,75)

10

Page 14: LAPORAN

= 881,2 kkal

Kebutuhan kalori terkait aktivitas dan stress:

- Aktifitas istirahat di tempat tidur (faktor: 1,2)

- Trauma stress ringan: demam (faktor 1,4)

Kalori = BMR x faktor aktifitas x faktor stress

= 881,2 x 1,2 x 1,4

= 1480,4 kkal

Kalori ini dibagi dalam 3 porsi besar dan 2 porsi tambahan, yakni:

1. Makan pagi 20% = 296,08 kalori

2. Makan siang 30% = 444,12 kalori

3. Makan malam 25% = 370,1 kalori

4. Asupan di sela makan pagi dan siang 10% = 148,04 kalori

5. Asupan di sela makan siang dan malam 15% = 222,06 kalori

Menu khusus penderita demam tifoid:

Makanan lunak dan rendah serat

Tabel 4. Distribusi makanan setiap waktu makan:

Waktu makan Karbohidrat 65% Protein 25% Lemak 10% Total

Pagi 192,5 kalori 74 kalori 29,6 kalori 296,08 kalori

Siang 288,7 kalori 111 kalori 44,4 kalori 444,12 kalori

Malam 240,6 kalori 92,5 kalori 37 kalori 370,1 kalori

Farmakoterapi:

- R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po

Indikasi

Antibiotik spektrum luas, bersifat bakteriostatik anti mikroba.

Diindikasikan untuk demam tifus dan paratifus. Infeksi berat yang disebabkan oleh

Salmonella, H. influenzae (terutama infeksi meningeal), Rickettsia, limfogranuloma-

psitakosis dan bakteri Gram negatif yang menyebabkan meningitis bakterial.

Kontra Indikasi  

- Hipersensitif.

- Gangguan fungsi hati dan ginjal.

- Tidak dianjurkan untuk pencegahan.

Efek Samping

11

Page 15: LAPORAN

Depresi sumsum tulang, anemia aplastis, Gray syndrome pada bayi, kemerahan pada

kulit, biduran/kaligata, gangguan saluran pencernaan, enterokolitis.

Dosis

- Dewasa dan anak berusia lebih dari 2 minggu : 50 mg/kg berat badan/hari dibagi

menjadi 3-4 kali pemberian.

- Anak berusia kurang dari 2 minggu dan bayi prematur : 25 mg/kg berat badan/hari

dibagi menjadi 4 kali pemberian.

- R/ Tremenza syr 3 x 1/2 cth

Indikasi

Meringankan gejala-gejala flu karena alergi pada saluran pernapasan bagian atas yang

memerlukan dekongestan nasal dan antihistamin.

Komposisi

Tiap 5 ml (1 sendok takar) Tremenza Sirup  mengandung Pseudoephedrine HCl 30

mg dan Triprolidine HCl 1,25 mg. Pseudoephedrine adalah suatu dekongestan,

berfungsi memperkecil saluran darah sehingga saluran pernapasan menjadi lebih

lebar. Sedangkan triprolidin merupakan sautu antihistamin. Berfungsi mengurangi

reaksi alergi (gatal di tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain karena flu) dengan cara

menetralkan histamin. Histamin adalah zat amin vasoaktif yang dihasilkan karena

terpicu reaksi ikatan alergen dengan Imunoglobin E.

Kontra Indikasi

- Pengobatan penyakit saluran pernapasan bagian bawah (termasuk ASMA)

- Penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap Tremenza atau komponen obat ini,

- Penderita dengan gejala hipertensi, glaukoma, diabetes, penyakit arteri koroner dan

penderita yang mendapat terapi dengan penghambat monoamin oksidase (MAO).

Efek Samping

Mulut, hidung dan tenggorokan kering, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, tremor,

insomnia, halusinasi, tinitus. Antihistamin dapat menyebabkan pusing, rasa kantuk,

mulut kering, penglihatan kabur, rasa letih, mual, sakit kepala atau gelisah pada

beberapa penderita.

Dosis

- Dewasa dan anak di atas 12 tahun :  10 ml, 3 – 4 kali sehari.

- Anak-anak 6 – 12 tahun : 5 ml, 3-4 kali sehari.

12

Page 16: LAPORAN

- Anak-anak 2 – 5 tahun : 2,5 ml, 3-4 kali sehari.

Dapat diminum dengan atau tanpa makanan.

- R/ Sanmol syr 3 x 11/2 cth

Indikasi:

Meringankan rasa sakit pada keadaan sakit kepala, sakit gigi, menurunkan demam

yang menyertai influenza dan demam setelah imunisasi.

Kontra Indikasi:

Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat

Hipersensitif terhadap paracetamol

Komposisi:

Tiap 5 ml mengandung Paracetamol 120mg.

Farmakologi:

Analgesik yang bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang rasa sakit dan

sebagai antipiretik, bekerja langsung dengan cara menghambat sintesis prostaglandin

pada pusat penghantar panas yaitu hipotalamus, efek anti inflamasi (-).

Efek Samping:

- Penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati.

- Reaksi hipersensitivitas.

Dosis:

1 - 2 tahun: 5 ml, 3 - 4 kali sehari.

2 - 6 tahun: 5 - 10 ml, 3 - 4 kali sehari.

6 - 9 tahun: 10 - 15 ml, 3 - 4 kali sehari.

9 - 12 tahun: 15 - 20 ml, 3 - 4 kali sehari.

- Infus KA-EN 3B 1350 cc / 24 jam

Indikasi:

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan

kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral

terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)

Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B

Tiap liter isi mengandung:

- sodium klorida 1,75g,

13

Page 17: LAPORAN

- potasium klorida 1,5g,

- sodium laktat 2,24g,

- anhydrous dekstros 27g.

- Elektrolit (mEq/L) :

a. Na+ 50,

b. K+ 20,

c. Cl- 50,

d. laktat- 20,

e. glukosa 27 g/L.

f. kcal/L. 108

Rumus dosis maintenance cairan:

Berat badan anak dibagi menjadi tiga bagian :

10 Kg  I = 100

10 Kg  II = 50

10 Kg  III (Sisa KgBB) = 20

Terapi An.A:  

10 x 100 = 1000 cc

7 x 50   =   350 cc

Total Kebutuhan Cairan = 1350 cc

(1350 cc x 15 tetes) / 1440 menit = 14 tetes/menit

2.8 FOLLOW UP DAN FLOW SHEET

Nama : An.A

Diagnosis : Typhoid Fever

Tabel 5. Flow SheetNo Tanggal S O A P1. 28/9/2013 Demam sejak 5

hari yang lalu dan naik turun (naik ketika sore hari dan turun ketika bangun tidur), perut kembung, batuk, mual, muntah 1x, lemas, 3 hari setelah demam An.A mengeluh pilek, hidung

KU cukup, compos mentis GCS 456, gizi kesan normal batas bawah

Vital sign:TD: 110/70 mmHg,RR: 31 x/menit,HR: 96 x/menitT: 38,3 oC

Lemas, anemis, rhinorrea, bibir kering, lidah kotor, meteorismus,bising usus

Observasi febris e.c suspect Typhoid fever

DD: Dengue Hemoragic Fever, Dengue Fever, Malaria

Planning terapi:R/ Cloramphenicol

4 x 400 mg poR/ Tremenza syr 3 x 1/2 cthR/ Sanmol syr

3 x 11/2 cthInfus KAEN 3B 1350 cc / 24 jam

Diet: Bubur tim

Planning pemeriksaan

14

Page 18: LAPORAN

terasa buntu saat istirahat.

menurun, nyeri epigastrium.

DL (normal), Widal test (-), CRP (+48)

penunjang: Urine lengkap (UL), Darah lengkap (DL)

2. 29/9/2013 Ibu pasien mengatakan An.A sudah tidak demam, tetapi malam hari pilekNyeri perut berkurang, batuk (+)

KU cukup, compos mentis GCS 456

Vital sign:TD: - mmHgRR: 34 x/menitHR: 102 x/menitT: 36,4oC

Cor Pulmo (N), akral hangat, nafsu makan & minum baik, BAK & BAB baik, badan dan keempat ekstremitas berkeringat, meteorismus menurun

Observasi febris e.c suspect Typhoid fever

DD: Dengue Hemoragic Fever, Dengue Fever, Malaria

Planning terapi:R/ Cloramphenicol

4 x 400 mg poR/ Tremenza syr 3 x 1/2 cthR/ Sanmol syr

3 x 11/2 cthInfus KAEN 3B 1350 cc / 24 jam

Diet: Bubur tim

Planning pemeriksaan penunjang: Serologi darah (Ig M & Ig G dengue, CRP, Typhi A,H, Paratyphi OA,OB)

3. 30/9/2013 Demam (-)Ibu mengatakan nafsu makan An.A baik, batuk ringan

KU cukup, compos mentis GCS 456

Vital sign:TD: - mmHgRR: 34 x/menitHR: 110 x/menitT: 36,4oC

Cor Pulmo (N), abdomen supel, meteorismus (-)

CRP (+48), Well Felix Ig M Salmonella (+4)

Typhoid fever

Planning terapi:R/ Cloramphenicol

4 x 400 mg poR/ Tremenza syr 3 x 1/2 cthR/ Sanmol syr

3 x 11/2 cth

Diet: Bubur kasar

4. 1/10/2013 Pasien meminta pulang paksa.Ibu pasien mengatakan tidak ada keluhan demam dan batuk (-).

KU cukup, compos mentis GCS 456, gizi kesan normal Nadi = 100x/menit

Lemas (-), batuk (-), demam (-), turgor baik

Evaluasi kurang lengkap karena dokter tidak dapat dihubungi

Typhoid fever

Planning terapi:R/ Cloramphenicol

4 x 400 mg po

Pasien pulang

15

Page 19: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEMAM TIFOID (Typhoid Fever)

3.1.1 Anatomi dan Fisiologi Small Intestinal

Anatomi

Usus halus (Small intestinal) : 8

Small intestinal adalah bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara

gaster dan colon. Dinding intestinal kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-

zat yang diserap ke hepar melalui vena porta. Dinding intestinal melepaskan lendir

(yang melumasi isi intestinal) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan

makanan yang dicerna). Dinding intestinal juga melepaskan sejumlah kecil enzim

yang mencerna protein, glukosa dan lipid.

Lapisan small intestine: lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot sirkuler,

lapisan otot longitudinal atau memanjang dan lapisan serosa (sebelah luar)

Gambar 3.1 Small Intestine

Small intestine terdiri dari tiga bagian yaitu:

1. Duodenum

Bagian dari usus halus yang terletak setelah gaster dan menghubungkannya ke

jejunum. Bagian duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari

bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Duodenum merupakan organ

retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus

dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada duodenum terdapat

dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.

16

Page 20: LAPORAN

Gaster melepaskan makanan (chime) ke dalam duodenum dan masuk melalui

sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh,

duodenum akan megirimkan sinyal pada gaster untuk berhenti mengalirkan makanan.

Gambar 3.2 Struktur Small Intestine

2. Jejunum

Jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara duodenum dan ileum.

Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah

bagian jejunum. Jejunum dan ileum digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam jejunum berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus

(vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan

dengan duodenum, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat

dibedakan dengan ileum, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit

untuk membedakan jejunum dan ileum secara makroskopis.

3. Illeum

Ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia,

ileum memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum,

dan dilanjutkan oleh apendiks. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit

basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

Fisiologi

Suatu lubang pada dinding duodenum menghubungkan duodenum dengan saluran

getah pancreas dan saluran empedu. Saluran dari pankreas ke duodenum disebut

17

Page 21: LAPORAN

duktus wirsungi dan duktus santorini (accessorius), sedangkan dari empedu bermuara

ke duktus biliaris dan ketiganya bermuara pada sfingter odii. Pankreas menghasilkan

enzim tripsin, amilase, dan lipase yang disalurkan menuju duodenum. Tripsin

berfungsi merombak protein menjadi asam amino. Amilase mengubah amilum

menjadi maltosa. Lipase mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Getah

empedu dihasilkan oleh hepar dan ditampung dalam kantung empedu. Getah empedu

disalurkan ke duodenum. Getah empedu berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi

asam lemak dan gliserol.

Selanjutnya pencernaan makanan dilanjutkan di jejunum. Pada bagian ini terjadi

pencernaan terakhir sebelum zat-zat makanan diserap. Zat-zat makanan setelah

melalui jejunum menjadi bentuk yang siap diserap. Penyerapan zat-zat makanan

terjadi di ileum. Glukosa, vitamin yang larut dalam air, asam amino, dan mineral

setelah diserap oleh vili usus halus; akan dibawa oleh pembuluh darah dan diedarkan

ke seluruh tubuh. Asam lemak, gliserol, dan vitamin yang larut dalam lemak setelah

diserap oleh vili usus halus; akan dibawa oleh pembuluh getah bening dan akhirnya

masuk ke dalam pembuluh darah. 9

3.1.2 Definisi dan Epidemiologi Demam Tifoid

Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan

dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif

Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid

telah menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka

kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian

mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai

benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar

kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal,

Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu

wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada kelompok

umur 3-19 tahun (91% kasus).1,3,4

Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara

lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas

pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi

antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin,

trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1

18

Page 22: LAPORAN

3.1.3 Etiologi dan Morfologi

Demam tifoid dapat disebabkan oleh beberapa tipe Salmonella, tetapi yang

terpenting adalah Salmonella typhi yang masuk dalam golongan bakteri batang gram-

negatif enterik (Enterobacteriaceae). Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi (fecal-oral). Selain itu, transmisi Salmonella

typhi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke bayinya.4 Pergerakan bakeri

ini menggunakan flagel peritrika. Salmonella mudah tumbuh pada perbenihan biasa, dapat

hidup di dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama. Proses biokimia pada

bakteri ini adalah dengan cara meragikan glukosa dan manosa (tanpa membentuk gas) dan

menghasilkan H2S.

Antigen bakteri ini adalah antigen O, antigen H, dan antigen K (Vi). Organisme

dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak bergerak. Hilangnya antigen O

menyebabkan perubahan koloni dari bentuk halus menjadi bentuk kasar. Antigen Vi dapat

hilang sebagian atau seluruhnya. Antigen dapat diperoleh atau hilang dalam proses

transduksi. 7

Gambar 3.3 Struktur Bakteri Salmonella

3.1.4 Patofisiologi Demam Tifoid

Masuknya bakteri Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui

makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh produk hewan atau manusia.

19

Page 23: LAPORAN

Bagi manusia, dosis infektif rata-rata Salmonella untuk menimbulkan infeksi klinik atau

sub klinik adalah 105-108 bakteri (tapi cukup dengan 103 organisme S typhi). Faktor inang

yang ikut berperan dalam resistensi terhadap infeksi bakteri ini adalah keasaman gaster,

flora normal intestine, dan daya tahan intestine setempat.

Setelah bakteri masuk dalam pencernaan, sebagian akan dimusnahkan dalam gaster

dan sebagian lain lolos masuk ke dalam intestine dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respons imunitas humoral mukosa (Ig A) intestine kurang baik, maka bakteri akan

menembus sel-sel eppitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Pada

lamina propia, bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh

makrofag. Bakteri ini dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika, selanjutnya menuju duktus torasikus.

Bakteri yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah

(mengakibatkan bakteriemi pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotellial tubuh terutama hepar dan limpa. Pada organ-organ ini, bakteri akan

meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang

sinusoid. Kemudian akan kembali masuk ke dalam sirkulasi darah sehingga

mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai gejala dan tanda-tanda

penyakit infeksi sistemik. Fase ini timbul setelah masa inkubasi selama 10-14 hari.

Di dalam hepar, bateri masuk ke dalam kandung empedu, berkembangbiak, dan

bersama cairan empedu disekresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian

bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama akan terulang kembali. Berhubung makrofag telah

teraktifasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis bakteri salmonella, terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjut akan akan menimbulkan gejala inflamasi

sistemik seperti demam , malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,

gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan

(S.typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia

organ, dan nekrosis jaringan). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi

pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi

akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid

ini dapat berkembang biak hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan

perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

20

Page 24: LAPORAN

Makanan terkontaminasiSalmonella

Ke usus halus karena gaster gagal mengeliminasiSalmonella berkembang biak karena IgA kurang baik

Menembus sel epitel (sel-M) & berkembangbiak di lamina propia

Difagosit oleh makrofag, dan berkembangbiak di makrofagDibawa ke plague peyeri distalKGB mesenterika

Duc.torasikus

Bakteriemi 1 (asimptomatik)Menyebar ke organ RE terutama hepar & limpaMeninggalkan sel fagosit

Berkembangbiak di ekstraseluler organ atau sinusoid

Bakteriemia 2 (tanda sistemik)

Ke Hepar

Berkembang biak di kandung empedu

Menembus lumen usus lagiDikeluarkan ke usus

Makrofag yg sudah teraktivasi menjadi hiperaktif

Sitokin reaksi inflamasi sistemik shg timbul gejala

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat

Reaksi hiperplasi & nekrosis plague peyeri

Erosi pemb.darah Perdarahan sal cerna Akumulasi MN di lokasi peradangan

Proses berjalan terusMenembus lapisan mukosa & otot intestinePerforasi

Keluar lewat feses

Endotoksin menempel di reseptor sel endotel kapilergangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, gangguan organ lainnya

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan

gangguan organ lainnya.

3.1.5 Diagnosa Banding

- Dengue Fever

- Dengue Hemoragic Fever

- Malaria

3.1.6 Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan

kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi. Di

21

Page 25: LAPORAN

negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di

negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan

diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi

gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati

dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi anti mikroba yang tepat,

manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik

dan menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individu

yang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.

Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis

terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu

(traktus biliaris) lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.

3.1.7 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid terbagi menjadi:

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus

b. Perforasi usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintestinal

a. Komplikasi kardio vaskuler

Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis

b. Komplikasi darah

Anemia hemolitik,trombositopeni dan atau koagulasi intravaskuler

diseminata, dan sindrom uremia hemoliktik

c. Komplikasi paru

Pneumonia, empiema dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu

Hepatitis dan kolelitiasis.

e. Komplikasi tulang

Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

f. Komplikasi ginjal

Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik

22

Page 26: LAPORAN

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-

Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih

sering terjadi pada keadaaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan

pasien kurang sempurna.

23

Page 27: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB IV

PEMBAHASAN

1.1 DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA

Metode Diagnostik

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang

diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan

berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan

metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.

A. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat

bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam

tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas

disertai diare atau konstipasi yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis

yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik lain, ensefalopati

atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini

mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua

penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari

menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus

atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam

tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih

mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat

timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam

tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus

sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang

mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut

kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul

gambaran peritonitis akibat perforasi usus.

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan

diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah

24

Page 28: LAPORAN

mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa

memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis

pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%),

muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan

kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%),

meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Hal ini sesuai

dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),

sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),

gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan

tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki,

sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis

fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok

(10%), karditis(0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).10

B. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan

bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan

kuman secara molekuler.

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,

bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis

biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan

limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan

mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak

mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk

dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, tetapi adanya

leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya

mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),

leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).

2. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi

dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose

25

Page 29: LAPORAN

spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah

ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada

stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang

diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu

pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur

hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan

teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan

dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi

dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau

70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir

minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah

mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah

dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari

minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.

Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif

didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan

menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita

yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil

dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan

secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian

26

Page 30: LAPORAN

pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal

dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan

spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang

rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta

peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan

tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

3. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun

mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini

adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa

uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2)

tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting

dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi

yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh

karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang

dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji

(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau

lanjut dalam perjalanan penyakit).

3.1 Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak

tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin

dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap

antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi

menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide

test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan

27

Page 31: LAPORAN

digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang

lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai

prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa

penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya

didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain

sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan

status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis

dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik

serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya

melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan

penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat

dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun

telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan

sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi

(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar

(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti

Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan

hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.

3.2 Tes Tubex®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas

dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)

28

Page 32: LAPORAN

mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.1Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat

menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin

karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

3.3 Metode Enzyme Immunoassay (Eia) Dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM

dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis

dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi

peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus

akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi

dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan

penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi

uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas

sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila

dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,

sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak

selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat

menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan

diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit

demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),

tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat

yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana

29

Page 33: LAPORAN

biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan

nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila

disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah

penerimaan serum pasien.

3.4 Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (Elisa)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering

dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah

double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas

uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel

sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA

pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)

terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan

antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian

lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai

positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

3.5 Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita

pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan

alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap. 4,20

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%

bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan

kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar

94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian

30

Page 34: LAPORAN

oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin

meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada

penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat

diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan

gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan

antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21,22

4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain

reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%

dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana

mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003)

mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%)

dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis

tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa

menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta

bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan

teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih

belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih

terbatas dalam laboratorium penelitian.

1.2 DASAR RENCANA PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih digunakan trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : 5

1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.

Antibiotik yang dapat digunakan :

a. Kloramfenikol. Dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg diberikan

selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis

diturunkan menjadi 4 x 25 mg selama 5 hari kemudian.

b. Ampisilin/Amoksisilin. Dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.

31

Page 35: LAPORAN

c. Kotrimoksazol, 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan

80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropis dan Infeksi,

pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam

pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen yang

dipakai adalah:

a. Ceftriaxone 4 gr / hari selama 3 hari

b. Norfloxacin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.

c. Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

d. Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari

e. Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari

f. Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari

2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7

hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap,

sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga

higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai

oleh pasien. Paien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk

mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu

diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi diet

bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan

pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat

dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dan serat kasar)

dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang

cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga

keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.

4. Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi

parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja

secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada

renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.

32

Page 36: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB V

PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA

5.1 IDENTIFIKASI KELUARGA

5.1.1 Profil Keluarga

Karakteristik Demografi Keluarga

Tanggal kunjungan pertama kali : 28 April 2013

Nama kepala keluarga : Tn. M

Alamat : Desa Pendem, Malang

Bentuk Keluarga : nuclear family

Struktur Komposisi Keluarga :

Tabel 6. Daftar anggota keluarga

No Nama Kedudukan

L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Pasien klinik

Ket.

1 Tn. M Kepala keluarga

L 29 tahun

S1 Wiraswasta (pedagang kayu)

Tidak Riwayat hipertensi dan DM

2 Ny. K Ibu P 29 tahun

S1 Ibu rumah tangga

Tidak Riwayat hipertensi dan DM

3 An. A Anak L 4 tahun,9 bulan

TK - Ya Typhoid Fever

Sumber: data primer, 30 September 2013

Kesimpulan : Keluarga Tn.M adalah nuclear family yang terdiri atas 3 orang dan tinggal

dalam satu rumah. Terdapat satu orang yang sakit yaitu An.A (anak tunggal) usia 4 tahun 9

bulan dengan diagnosa awal observasi febris e.c demam tifoid. Setelah menjalani beberapa

pemeriksaan penunjang, An.A didiagnosis menderita penyakit demam tifoid. Dalam hal ini,

pembiayaan kesehatan An.A bersifat mandiri tanpa jaminan kesehatan atau asuransi.

A. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup

a. Lingkungan tempat tinggal

Tabel 7. Lingkungan tempat tinggal

Status kepemilikan rumah : menumpang/kontrak/hibah/milik sendiri

33

Page 37: LAPORAN

Daerah perumahan : kumuh/padat bersih/berjauhan/mewah

Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan

Luas tanah : 10 x 8 m2, luas bangunan: 15 x 12 m2 Pasien tinggal di rumah milik sendiri yang cukup dari standar rumah sehat, tetapi jarak antara dapur dan kamar mandi masih terlalu dekat dan perlu interaksi dengan tetangga yang lebih baik.

Jumlah penghuni dalam satu rumah : 3 orang Jarak antar rumah : 9m (depan), 3m (samping), 2m (belakang)Tidak bertingkat

Lantai rumah: berubin

Dinding rumah: tembok bata, tinggi, dicat

Jamban keluarga : ada (WC)Kamar mandi : ada, sebanyak 1, layakDapur : bersih, tapi terlalu dekat dengan kamar mandi (jarak 1,5 meter)

Tempat bermain : ada (teras depan rumah)

Penerangan listrik : lampu @ 25 watt x 5 buah lampu = 125 wattPencahayaan cukup (tiap ruangan terdapat 2 jendela kaca yang dapat dibuka, dan terdapat lubang angin-angin di tembok atas)

Ketersediaan air bersih : PDAM (untuk keperluan mandi, masak, dan mencuci)

Kondisi umum rumah : kondisi rumah Tn.M bersih dan sehat, tetapi jarak antar rumah masih terlalu jauh. Di bagian depan rumah terdapat jalan raya dan sekolahan, sehingga mempersulit An.A dan orang tuanya untuk berinteraksi dengan tetangganya. Jarak antara dapur dengan kamar mandi juga terlalu dekat dan berpotensi terhadap kontaminasi kuman pada makanan.

Tempat pembuangan sampah : ada, di belakang dan depan rumah

b. Denah rumah keluarga Ny.S :

Keterangan:

= tempat pembuangan sampah

= pintu

= jendela

34

Halaman depan & taman

Kamar tidur 1 Ruang tamu

Teras

Kamar tidur 1 Ruang keluarga

KM/WC

Dapur

8 m

10 m

1,5 m

Page 38: LAPORAN

c. Kepemilikan barang-barang berharga :

- Dua buah motor

- Satu buah sepeda

- Tiga buah telepon seluler

- Dua buah laptop

- Satu buah tablet

- Enam buah kursi tamu dan satu meja tamu

- Satu buah televisi

- Satu buah kompor gas

- Dua buah tempat tidur

B. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga

Jenis tempat berobat : RSI UM

Asuransi / jaminan kesehatan : tidak menggunakan, secara mandiri (out of pocket)

Jarak layanan kesehatan tempet berobat : jauh

C. Sarana Pelayanan Kesehatan

Tabel 8. Pelayanan kesehatan

Faktor Keterangan Kesimpulan

Cara mencapai pusat pelayanan kesehatan

Jalan kaki Angkot Kendaraan pribadi

Jarak cukup jauh, tetapi pasien merasa puas dengan pelayanan klinik

Tarif pelayanan kesehatan Sangat mahal Mahal Terjangkau Murah Gratis

Pasien jarang periksa karena jaraknya jauh dan tanpa asuransi

Kualitas pelayanan kesehatan Sangat Memuaskan Memuaskan Cukup Memuaskan Tidak memuaskan

D. Pola Konsumsi Makanan Keluarga

a. Kebiasaan makan: Sebelum sakit, biasanya An.A makan 2 kali sehari, nafsu

makan baik, suka konsumsi buah dan sayur. Selama sakit, nafsu makan An.A

menurun. Tetapi An.A sensitif terhadap makanan atau jajanan luar, dan An.A

biasanya mengeluh sakit tenggorokan jika mengkonsumsinya. Ketika dilakukan

penggalian informasi, An.A mengaku sempat mengkonsumsi makanan yang dibeli

di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang.

35

Page 39: LAPORAN

b. Penerapan pola gizi seimbang: keluarga Tn.M biasa makan dua sampai tiga kali

sehari dengan porsi sedang. Menu makan pasien dan keluarga sering dengan nasi,

sayur, tahu tempe, ayam, daging, sayur dan buah. Ny. K selalu memasak sendiri

untuk keperluan makan anggota keluarganya sehari-hari. Ny.K juga mengerti

dengan pola makan gizi seimbang sehingga menerapkannya sehari-hari.

E. Pola Dukungan Keluarga

a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga:

Orang tua An.A termasuk dalam keluarga yang berpendidikan tinggi dan dengan

tingkat ekonomi yang cukup. Sehingga dalam menyelesaikan masalah ekonomi dan

kebutuhan sehari-hari serta pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau.

Nenek dan kakek An.A juga memberikan perhatian yang baik terhadap An.A

sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya berjalan baik.

b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga:

Ayah dan ibu An.A sedang menyelesaikan tahap pendidikan S1, sehingga kurang

memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga kurang

berjalan efektif.

5.1.2 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga

A. Fungsi Holistik

1. Fungsi biologis

Keluarga ini terdiri dari 3 orang anggota keluarga. An.A adalah anak tunggal. An.A

menderita demam seak 5 hari yang lalu dan tak kunjung sembuh. An.A juga terlihat

lemas, batuk, mual, serta muntah, sehingga ibunya khawatir dan segera memeriksakan

An.A ke rumah sakit.

2. Fungsi Psikologis

Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A

sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi

dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakek An.A memberikan

perhatian yang baik terhadap An.A sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya

berjalan baik.

3. Fungsi Sosial dan Ekonomi

Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial di masyarakat. Hubungan dengan

tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh.

Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong cukup mampu. Meskipun demikian,

36

Page 40: LAPORAN

Tn.M dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A

lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya.

B. Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score

Adaptation : kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota

keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga

yang lain.

Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi

antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut

Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang

dilakukan anggota keluarga tersebut

Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota

keluarga

Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan

waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.

Penilaian :

o Hampir selalu : 2 poin

o Kadang – kadang : 1 poin

o Hampir tak pernah : 0 poin

Penyimpulan :

o Nilai rata-rata < 5 : kurang

o Nilai rata-rata 6-7 : cukup/sedang

o Nilai rata-rata 8-10 : baik

Tabel 9. APGAR score Tn.M (29 tahun)

APGAR Ny. S terhadap keluarga 2 1 0

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah √

P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya √

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru

A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama √

Untuk Tn.M APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:

37

Page 41: LAPORAN

1. Adaptation : Tn.M puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika

menghadapi masalah

2. Partnership : komunikasi Tn.M dengan keluarganya kurang berjalan baik, kurangnya

waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga

dalam segala masalah yang dialami

3. Growth : keluarga Tn.M, khususnya istri, tidak terlalu memberi batasan terhadap

segala aktifitas Tn.M baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan

4. Affection : Tn.M puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya

5. Resolve : Tn.M merasa kurang puas dengan waktu luang yang diberikan anggota

keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama

Total APGAR score Ny.S = 8

Tabel 10. APGAR score Ny.K (29 tahun)

APGAR Ny. S terhadap keluarga 2 1 0

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah √

P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya √

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru

A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama √

Untuk Ny.K APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Adaptation : Ny.K puas terhadap dukungan dan saran suaminya jika menghadapi masalah

2. Partnership : komunikasi Ny.K dengan keluarganya kurang berjalan baik, kurangnya

waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga

dalam segala masalah yang dialami

3. Growth : keluarga Ny.K, khususnya suami, tidak terlalu memberi batasan terhadap

segala aktifitas Tn.M baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan

4. Affection : Ny.K puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya

5. Resolve : Ny.K merasa kurang puas dengan waktu luang yang diberikan anggota

keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama

Total APGAR score Ny.K = 8

Total APGAR score keluarga Ny.S = (8+8) : 2 = 8

Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Ny.S baik

38

Page 42: LAPORAN

C. Fungsi Patologis dengan Alat SCREEM Score

Fungsi patologis keluarga An.A dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut:

Tabel 11. SCREEM keluarga An.A

Sumber Patologis

Social Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian, Tn.M dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya.

+

Culture Menggunakan adat-istiadat Jawa, bahasa Jawa, serta bahasa Indonesia secara sopan dengan sesama anggota keluarga dan orang lain dikehidupan sehari-hari. Anggota keluarga juga telah mengikuti perubahan zaman dan tergolong modern.

-

Religious Anggota keluarga menjalankan sholat 5 waktu di rumah dan sering mengikuti pengajian.

-

Economic Penghasilan keluarga yang relatif cukup dan tergolong menengah ke atas. -

Educational Tingkat pendidikan keluarga cukup, pendidikan terakhir orang tua An.A adalah S1. An.A juga masih menjalani pendidikan taman kanak-kanak.

-

Medical Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.A pergi ke RSI UM dan hanya pada saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri.

-

Kesimpulan : Keluarga An.A mempunyai fungsi patologis di bidang sosial. Keluarga ini

tidak mempunyai kedudukan sosial di masyarakat. Hubungan dengan tetangga dan teman-

teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian, Tn.M

dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering

bermain game dan jarang bermain dengan temannya.

D. Genogram dalam Keluarga

Keterangan:

= laki-laki = tinggal dalam satu rumah

= perempuan

39

Pasien: An.A

Tn.M Ny.K

Ayah & ibu Ny.K memiliki riwayat hipertensi & DM

Tn.D

Ayah & ibu Tn.M memiliki riwayat hipertensi & DM

Ayah & ibu An.A memiliki riwayat hipertensi & DM

Saudara Ny.K memiliki riwayat hipertensi & DM

Page 43: LAPORAN

Kesimpulan : Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus ditemukan pada anggota keluarga

lain yaitu kakek, nenek, ayah, ibu, dan paman An.A. Tetapi tidak ada yang menderita

penyakit yang sama dengan pasien.

E. Informasi Pola Interaksi Keluarga

Keterangan:

: hubungan baik : laki-laki

: hubungan kurang baik : perempuan

Kesimpulan : Hubungan antara An.A dengan keluarganya kurang berjalan baik.

5.2 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN

5.2.1 Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga

5.2.1.1 Faktor Perilaku Keluarga

a. Pengetahuan

Keluarga memiliki pengetahuan cukup tentang kesehatan karena memiliki tingkat

pendidikan yang tinggi. Menurut pendapat semua anggota keluarga, yang dimaksud

kondisi sehat dimana seseorang tidak menderita penyakit sehingga bisa melakukan

aktivitas dengan baik. Tapi, keluarga kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid,

sehingga ibu tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri

keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit.

b. Sikap

Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.A maupun anggota keluarga yang

lain. Tapi masih kurang dalam memberikan waktu luang. Selain itu, karena kurangnya

pemahaman dan pengetahuan orang tua, An.A tidak segera diperiksakan ke rumah sakit.

c. Tindakan

Keluarga An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu

An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan

An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit.

5.2.1.2 Faktor Non Perilaku

a. Lingkungan

40

An.

Ny. KTn.M

Page 44: LAPORAN

Pengetahuan: keluarga An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit.

Sikap: Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.A maupun anggota keluarga yang lain. Tapi masih kurang dalam memberikan waktu luang.

Tindakan: Keluarga An.A krg mengetahui ttg penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit.

Lingkungan: Jarak antara kamar mandi & dapur terlalu dekat. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

Pelayanan kesehatan:Pasien teap RSI UM, tetapi hanya saat tdk bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk keluarga dg tingkat ekonomi yg cukup, shg dlm membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau secara mandiri

Keturunan: An.A, usia 4 tahun 9 bulan kelmpk gender & usia risiko tinggi demam tifoid. An.A berpotensi menderita HT&DM karena adanya faktor resiko keturunan dari kedua orang tua dan kakek nenek.

An.A dan Keluarga

Faktor Perilaku Faktor Non-Perilaku

Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat. Banyaknya penjual

makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk

mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

b. Pelayanan kesehatan

Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.A pergi ke RSI UM dan hanya pada

saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk

keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan

kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri.

c. Keturunan, Jenis Kelamin, dan Usia

An.A, usia 4 tahun 9 bulan, merupakan kelompok gender dan usia risiko tinggi

terhadap terjangkitnya penyakit demam tifoid (typhoid fever). Selain itu, An.A juga

berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko

keturunan dari kedua orang tua dan kakek nenek.

5.2.1.3 Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku

5.3 DAFTAR MASALAH

5.3.1 Masalah Medis

1. An.A didiagnosis dengan penyakit Typhoid Fever

2. An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor

resiko keturunan.

5.3.2 Masalah Non Medis

1. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar,

sehingga pengawasan juga kurang intensif

41

Page 45: LAPORAN

An.A usia 4 tahun 9 bulan, dengan Typhoid Fever & berpotensi menderita hipertensi & DM

Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif.

3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

4. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh.

5. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit.

2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan

An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau

makanan luar.

4. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena

jaraknya yang jauh.

5. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang

mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera

membawa An.A ke rumah sakit.

5.3.3 Diagram Permasalahan Keluarga

5.3.4 Matrikulasi Masalah

Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks. (Azrul, 1996)

No. Daftar Masalah I T R JumlahIxTxRP S SB Mn Mo Ma

1. An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko keturunan

3 5 3 5 3 3 3 6.075

2. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif

5 4 5 4 5 4 4 32.000

3 Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

5 4 3 2 3 3 2 2.100

42

Page 46: LAPORAN

4 Banyak penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

5 4 3 5 4 5 5 30.000

5 Orang tua An.A kurang memahami tentang penyakit demam tifoid, sehingga An.A tidak segera dibawa ke rumah sakit.

4 3 3 4 5 4 4 11.520

6 Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh

4 3 4 2 3 3 2 1.728

Keterangan :

I : Importancy (pentingnya masalah)T : Technology (teknologi yang tersedia)R : Resources (sumber daya yang tersedia)P : Prevalence (besarnya masalah)S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)Mn : Man (tenaga yang tersedia)Mo : Money (biaya yang tersedia)Ma : Material (sarana yang tersedia)

Kriteria penilaian :

1 : tidak penting2 : agak penting3 : cukup penting4 : penting5 : sangat penting

Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga An.A adalah:

1. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga

pengawasan juga kurang intensif.

2. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan

An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan luar.

3. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang

mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa

An.A ke rumah sakit.

4. An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor

resiko keturunan.

5. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat.

6. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena

jaraknya yang jauh.

43

Page 47: LAPORAN

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN HOLISTIK

- Diagnosis dari segi biologis:

Working diagnostic : Typhoid fever

Differential diagnostic : Dengue Fever

Dengue Hemoragic Fever

Malaria

- Diagnosis dari segi psikologis:

Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A

sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi

dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakeknya memberikan

perhatian yang baik terhadap An.A.

- Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :

Hubungan An.A dengan tetangga dan teman-teman kurang berjalan lancar karena jarak

rumahnya yang jauh. An.A lebih sering bermain game untuk mengisi waktu luang.

Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong cukup mampu.

B. SARAN KOMPREHENSIF

a. Menjaga kebersihan serta kesehatan diri dan lingkungan, khusunya menjaga

kebersihan kamar mandi rumah An.A yang posisinya dekat dengan dapur.

b. Menjaga higienitas makanan dan asupan cairan dan nutrisi yang sehat dan cukup.

c. Memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua An.A, mengenai demam

tifoid (pencegahan, pengenalan tanda dan gejala klinis, kondisi kegawatan,

penanganan dini atau rujukan, dan komplikasi).

d. Istirahat dan perawatan yang intensif untuk mempercepat pemulihan dan mencegah

komplikasi.

e. Memberikan pengertian kepada orang tua An.A akan pentingnya komunikasi dan

perhatian dalam pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi An.A.

f. Deteksi dini terhadap potensi terjadinya hipertensi dan diabetes mellitus pada An.A.

g. Memberikan saran agar An.A lebih aktif dalam kegiatan di sekolahnya untuk tujuan

pembelajaran bersosialisasi.

44

Page 48: LAPORAN

DAFTAR PUSTAKA

1. N Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.

2. Gassem MH, 2001. Typoid fever, clinical and epidemiological studies in Indonesia. Thesis Nijmegen University, Netherland. Diponegoro University Press, Semarang, Indonesia.

3. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

5. Setiabudy R & Gan VHS. (2007). Farmakologi dan Terapi. Antimikroba. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 573-659

6. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al.,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: PusatPenerbitan IPD Universitas Indonesia; 2007. p. 1752.

7. Jawetz, Melnick, Adelberg. Edisi 20. Mikrobiologi Kedokteran. Kelompok Salmonella – Arizona. Penekbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. hal: 243-247.

8. Scanlon, Valerie C.Essentials of anatomy and physiology/Valerie C. Scanlon, Tina Sanders. — 5th ed. ISBN–13: 978-0-8036-1546-5 ISBN–10: 0-8036-1546-9: 2006.

9. Guyton, Arthur C. Textbook of medical physiology / Arthur C. Guyton, John E. Hall.—11th ed. ISBN 0-7216-0240-1: 2006.

10. Mandal, B.K. (1995). Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Salmonella typhi dan Salmonella lainnya. Editor: Salim IN. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Hal : 62

11. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in : Infectious Disease Vol. 1, 4th ed. Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK Limited, 1987 : 100.

12. Hoffman S. : Typhoid fever in Warren KS dan Mahmpud AAF (eds) : Tropical and Geographical. Edisi ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co. (1990).

13. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90’s, Singapore, World Scientific, (1992).

14. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds) Infectious disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992).

15. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 : hal. 830.

45