laporan bioindustri 4_kelompok 1_p2

18
Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis/ 17 April 2014 Teknologi Bioindustri Gol/Kel : P2 / 1 Dosen : Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih. M.Si Asisten : Wahyu Kamal Setyawan (F351124051) PRODUKSI BIOINSEKTISIDA Disusun Oleh : Iis Solihat (F34110045) Bella Illona S (F34110048) Fauzan Alhakim (F34110051) M. Basyir Utomo (F34110055) Riska Kristina (F34110056) Imam Muharram A (F34110062) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

Upload: bellaillona

Post on 24-Nov-2015

114 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

  • Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis/ 17 April 2014

    Teknologi Bioindustri Gol/Kel : P2 / 1

    Dosen : Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih. M.Si

    Asisten : Wahyu Kamal Setyawan (F351124051)

    PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

    Disusun Oleh :

    Iis Solihat (F34110045)

    Bella Illona S (F34110048)

    Fauzan Alhakim (F34110051)

    M. Basyir Utomo (F34110055)

    Riska Kristina (F34110056)

    Imam Muharram A (F34110062)

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2014

  • 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Isu lingkungan dalam pengelolaan pertanian, memberikan dampak pada upaya

    yang serius untuk memproduksi biopestisida hayati, sebagai pengganti pestisida kimia

    sintetik yang saat ini digunakan. Pemanfaatan mikrobia pengendali hayati hama

    serangga dapat digunakan sebagai cara yang tepat dan efektif untuk mengendalikan

    hama pertanian. Biopestisida merupakan pestisida yang mengandung mikroorganisme

    seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Biopestisida yang saat ini banyak dipakai dan

    diperdagangkan secara luas adalah jenis bioinsektida yang berasal dari mikroba yang

    digunakan sebagai insektisida. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai

    bioinsektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga

    yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis- jenis lainnya.

    Salah satu mikroba patogen yang berpotensi sebagai insektisida biologi adalah

    Bacillus thuringiniensis. Bioinsektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk

    rayap. Bioinsektida memliki beberapa keuntungan diantaranya dapat menjaga kesuburan

    tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah, serta

    tidak mencemari lingkungan. Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara agraris,

    yang mayoritas matapencaharian penduduknya sebagai petani disarankan untuk

    menggunakan bioinsektisaida agar kesuburan tetap terjaga dan tidak mencemari

    lingkungan. Oleh karena itu, pada praktikum kali ini untuk mengetahui cara pembuatan

    bioinsektisida alami praktikum ini dilakukan.

    1.2 Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan bioinsektida

    menggunakan substrat padat dan substrat cair dengan mengamati beberapa parameter

    seperti kadar gula pereduksi, pH, VSC (Viable Spora Count), dan biomassa sel yang

    dihasilkan dengan perbedaan perlakuan waktu inkubasi untuk setiap kelompok.

  • 2 METODOLOGI

    2.1 Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu otoklaf, Erlenmeyer,

    incubator goyang, kulkas, alat sentrifugasi, spektrofotmeter, pH meter, gelas piala,

    penangas air dan petri dish.

    2.2 Metode

    1. Pembuatan Media

    Media Propagasi

    Formula media

    Diatur pH hingga 7 &

    disterilkan di otoklaf

    selama 15 menit

    Dicampurkan glukosa dan urea

    secara aseptis, diambil 50 ml

    sebelum diinokulasikan

    Diinokulasi dan diinkubasi

    pada suhu kamar, kemudian

    diamati selama 4 hari

    Media fermentasi

    Nutrient Broth

    Dimasukkan dalam

    Erlenmeyer dan disterilkan

    di otoklaf selama 15 menit

    Didinginkan & diinokulasikan

    1 lup B. thuringiensis secara

    aseptis

    Diinkubasikan pada inkubasi

    goyang 150 rpm selama 12 jam

  • 2. Pengambilan sampel dan pengamatan

    Pengamatan pH

    Larutan

    Nilai pH

    Dihitung pH dengan pHmeter

    Pengamatan OD 660nm

    Larutan

    Nilai OD

    Dipanaskan dan dihitung dengan spektrofotometer

    Pengamatan Biomassa Kering

    Endapan

    dipindahkan

    Dikeringkan pada suhu 70oC

    Timbang sel kering

    Hitung biomassa

    Dimasukkan ke dalam tabung

    sentrifuse (timbang)

    Disentrifuse dengan kecapatan 500 rpm

    selama 10 menit (filtrate dibuang)

    Diresupensi endapan sel

    dengan 10 ml aquades

    50 ml sampel

    Biomassa kering

  • Viable Spore Count (VSC)

    Diinkubasi selama

    24 & 48 jam

    Diamati dan dihitung jumlah

    koloni yang terbentuk

    Direnjatan panas 700C selam

    15 menit

    Dilakukan pengenceran berseri

    Diinokulasikan 0.1 ml ke

    dalam agar steril pada petri

    dish

    1 ml sampel

    Jumlah koloni

    Diinkubasi pada

    suhu ruang

    Dipanen pada jam ke 0, 24, 48,

    72, & 96. Serta diamati VSC

    Dikeringkan dalam oven

    Dihaluskan dengan alat

    penumbuk

    Diatur pH dan media diratakan

    dalam Erlenmeyer & ditutup

    Diotoklaf 15 menit dan didinginkan

    Diinokulasikan dengan 10%

    media propagasi secara

    merata

    Onggok + limbah

    cair + kapur

    Produk kering

    bioinsektisida

    Produksi bioinsektisida dengan teknik

    kultivasi substrat padat

  • 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1 Hasil

    [terlampir]

    3.2 Pembahasan

    Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan

    mikroorganisme yang dapat membunuh serangga, hama dan vektor pembawa penyakit.

    Insektisida mikrobial didefinisikan sebagai racun biologis yang dihasilkanoleh

    mikroorganisme yang dapat membunuh serangga(entomopatogen). Penggunaan

    bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan

    selama ini. Adapun keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah tidak menimbulkan

    kekebalan terhadap serangga, cukup aman karena tidak meninggalkanresidu pada

    lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang, tanaman serta serangga-serangga

    lainnya yang bukan merupakan serangga target.Penggunaan insektisida kimia jelas tidak

    menguntungkan, karena disamping harganya mahal, juga dapatmembahayakan jiwa

    manusia dan binatang yang justru bermanfaat bagi manusia. Selain itu, penggunaan

    insektisida kimia yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi serangga vektor

    pembawa penyakit,dalam hal ini adalah serangga dan hama yang menyerang tanaman.

    Bahkan lebih dari 500 spesies serangga telah menjadi resisten terhadap semua jenis

    insektisida kimia. Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan

    mikroorganisme seperti bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp,

    Metarrhizium sp, dan virus Spodotera lituranuclea polyhidrosis. Bioinsektisida

    merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh

    atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkanoleh tumbuhan

    maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur.

    Sifatinsektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan.

    Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh

    dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari

    Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karenamemiliki derajat spesifisitas yang

    tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) padaserangga hama. Bacillus

    thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan

    dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle et al. 1999).

    Mikroba yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida adalah Bacillus

    thuringiensis (B.t yaitu bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif, bersifat

    aerob tapi umumnya anaerobfakultatif, ciri dari mikroba ini yaitu mempunyai flagela

    dan membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulatdengan tepian

    berkerut, memiliki diameter 5 10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasa. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang

    beracun bagiserangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval,

    berwarna hijau kebiruandan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bacillus

    thuringiensismembentuk kristal protein (-endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama

    sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al .1992).

  • Berbagai isolat Bacillus thuringiensisdengan berbagai jenis kristal protein

    yangdikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein

    kristal Bacillusthuringiensissebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah

    diidentifikasi kristal proteinyang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga

    yang menjadi hama pada tanaman pangandan hortikultura. Kebanyakan dari kristal

    protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyaitarget yang spesifik sehingga

    tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehinggatidak menumpuk

    dan mencemari lingkungan.

    Bacillus thuringiensis aizawai termasuk salah satu bakteri yang telah banyak

    digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai sangat

    efektif mengendalikan larvaordo Lepidoptera dan Diptera,terutama ulat daun kubis dan

    hama-hama sayuran lainnya (Lerecluset al. 1993). Salah satu hama ordo Lepidoptera

    yang banyak menyebabkan kerusakan pada pertanian adalah Croccidolomia pavonana,

    yang merupakan hama utama pada tanaman kubis yang juga menyerang tanaman

    Brassicaceae lainnya. Serangan C. Pavonana dapat menyebabkan kehilanganhasil kubis

    sebesar 65%. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop

    kubistidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI 2010).

    Bacillus thuringiensis aizawai menghasilkan protein yang bersifat insektisida

    yaitu -endotoksin atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva Crocidolomia pavonana, sehingga terjadi lisis sel yang dapat

    menyebabkan kematian pada serangga target.Proses produksi bioinsektisida memerlukan

    suatu media sebagai tempat hidup bagi bakteri yang akan digunakan untuk memproduksi

    bioinsektisida. Media untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua bentuk yaitu

    media padat dan media cair. Pada proses produksi bioinsektisida ini digunakan media

    padat berupa onggok yang bergunasebagai sumber karbon karena pada onggok masih

    mengandung pati yang berkisar 60 70% beratkering onggok. Onggok sendiri merupakan limbah padat yang berasal dari proses pengolahan ubikayu menjadi tapioka.

    Onggok merupakan limbah utama hasil proses pengepresan (Abbaset al.dalam Winarno

    1985). Onggok memiliki daya tahan yang relatif lama pada saat keadaan

    keringdibandingkan pada saat keadaan basah. Hal ini dikarenakan pada saat keadaan

    basah onggok mudahsekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan.

    Pemanfaatan onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan ternak

    (Damarjati 1985). Onggok juga dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi

    selulase, amilase, amiloglukosidase dan angkak (Jenie dan Fachda 1991).

    Komponen (%) Tjiptadi (1982) Anonim (1984)

    Air 16,86 13,39

    Abu 8,50 4,90

    Serat Kasar 8,14 11,02

    Lemak 0,25 0,15

    Protein 6,42 0,58

    Pati 62,97 68,79

    Karbohidarat 71,11 79,81

    Tabel 1. Komposisi Onggok

  • Berdasarkan fakta ini onggok tapioka dijadikan sebagai salah satu alternatif

    substrat untuk memproduksi bioinsektisida dengan teknologi sederhana namun memiliki

    sifat toksisitas yang baik terhadap hama.Onggok tapioka digunakan sebagai sumber

    karbon. Sedangkan media cair yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida ini

    adalah limbah tahu. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik

    yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan

    dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan

    pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungansekitar.Limbah cair tahu

    mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya dengan kadar yangrelatif tinggi.

    Kandungan nutrisi tersebut menyebabkan limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai

    media untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis. Mengingat bahwa limbah cair

    tahu umumnyadibuang ke sungai, maka pemanfaatan ini sekaligus akan memberikan

    manfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan.Penggunaan media limbah cair tahu

    adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis

    dengan harga yang lebih murah. Penggunaan media limbah cair tahu iniakan membuat

    biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan

    mediasintesis lagi. Limbah cair tahu digunakan sebagai sumber nitrogen (Silvina et al.

    2012).

    Biokontrol dari Bacillus thuringiensis merupakan biokontrol yang efektif untuk

    membunuh jentik nyamuk tetapimemiliki harga yang cukup mahal untuk negara-negara

    berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari Bacillus thuringiensis adalah spora

    yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis dibuat dengan menggunkan media yang relatif

    mahal oleh karena itu dalam praktikum ini digunakan media yangrelatif murah, salah

    satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu.

    Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni :

    1. Bahan Media yang Murah.Saat ini biokontrol Bacillus thuringiensis dibuat dengan menumbuhkan strain Bacillusthuringiensis pada media sintetis yang biayanya

    relatif mahal. Sedangkan, jika produksiBacillus thuringiensis dengan menggunakan

    media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu liternya mengandung 3 gr beef extract dan

    5 gr tryptonemaka perincian biaya yang dihabiskan relative murah. Penggunaan media

    limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus

    thuringiensis yang lebih murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya

    pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi.

    Sehinggadapat terjangkau oleh masyarakat.

    2. Mengurangi Pencemaran Lingkungan PerairanPemerintah akhir-akhir ini sangat

    menekankan era "sadar lingkungan" dan mengharuskan semuaindustri membuat analisis

    masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun

    1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun1991

    Tentang Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri baik yang sudah beroperasi

    maupunyang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus

    memenuhi standar bakumutu limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari

    statistik yang ada industri pengolahantahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang

    tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya.Jika ditinjau dari komposisi

    kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien(protein,

  • karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai

    justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri tahu dibuang

    begitusaja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan

    sebagai media pertumbuhan Bacillus thuringiensis yang bermanfaat sebagai

    bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah cair tahu tersebut

    maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapatdigunakan dan tidak lagi mencemari

    lingkungan sekitar.

    3. Mudah untuk MendapatkannyaPertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah

    tangga cukup banyak. Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup

    mudah untuk mendapatkan limbah buangannya. Sehinggadalam proses produksinya

    tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari bahan sebagai media pertumbuhan

    Bacillus thuringiensis.

    Proses produksi bioinsektisida dikenal dengan nama fermentasi. Fermentasi

    adalah suatu proses biokimia yang menghasilkan energi dimana komponen organiknya

    bertindak sebagai penerima elektron (Fardiaz 1988). Fermentasi media padat merupakan

    proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi

    cukup mengandung air untuk keperluan hidup mikroba.Sebaliknya fermentasi cair

    adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fasecair (Chalal

    1985).

    Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup pada

    fermentor.Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor tangki

    berpengaduk karenamerupakan jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini

    digunakan untuk substrat yangmempunyai viskositas tinggi dan berbentuk koloid tanpa

    mengakibatkan penyumbatan, serta enzimterimobilisasi dengan aktivitas rendah

    (Machfud et al. 1989). Proses fermentasi terendam dapatdilakukan dengan tiga cara

    yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, danfermentasi

    sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu atau semi

    kontinyu( fed batch process). Bernhard dan Utz (1993), menyatakan bahwa produksi

    bioinsektisida Bacillusthuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem

    tertutup karena hasil akhir yangdiharapkan adalah spora dan kristal protein yang

    dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage(1990), faktor-faktor yang

    mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisimedia dan

    kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.

    Selanjutnya adalah fermentasi dengan substrat padat. Fermentasi substrat padat

    berkaitandengan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan padat dalam ketiadaan atau

    hampir ketiadaan air bebas. Tingkat lebih atas dari fermentasi substrat padat (yaitu

    sebelum air bebas tampak) merupakanfungsi penyerapan (absorbancy), dan dengan

    demikian kadar airnya pada gilirannya tergantung pada jenis substrat yang digunakan.

    Aktivitas biologis menurun bila kandungan air substrat sekitar 12% dan semakin

    mendekati nilai ini, aktivitas mikrobiologis semakin tertahan. Fermentasi substrat

    padattidak memperhatikan fermentasislurry (yaitu cairan dengan kandungan zat padat

    taklarut yang tinggi) ataupun fermentasi substrat padat dalam media cair. Substrat yang

    paling banyak digunakan dalam fermentasi substrat padat adalah biji-bijian serealia,

    kacang-kacangan, sekam gandum, bahan yangmengandung linoselulosa (seperti kayu

    dan jerami), dan berbagai bahan lain yang berasal daritanaman dan hewan. Senyawaan

  • tersebut selalu berupa molekul primer, tak larut atau sedikit larutdalam air, tetapi murah,

    mudah diperoleh dan merupakan sumber hara yang tinggi (Prawira 2007).

    Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai karena

    menjagakesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses

    produksi atau fermentasiyang lebih sederhana dan dapat menghasilkan rendemen yang

    lebih tinggi. Selain itu, produk hasilfermentasi cair dapat langsung digunakan

    dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulitdisuspensikan karena ada

    kecenderungan menggumpal. Akan tetapi penggunaan media cair ini relatif lebih mahal.

    Sedangkan untuk media padat memiliki kelebihan harga lebih murah dan bahan

    lebihmudah didapatkan. Namun penggunaan media padat menghasilkan rendemen

    produk yang lebihrendah, dan lebih sulit dalam memisahkan hasilnya. Faktor faktor yang mempengaruhi kultivasi dari Bacillus thuringiensis sangat beragam.Berikut ini

    akan dijelaskan faktor faktor yang mempengaruhinya. Pada komposisi media merupakanfaktor yang sangat mempengaruhi kultivasi Bacillus thuringiensis selain

    kondisi pertumbuhan seperti pH, oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971).

    Sikdar et al.(1993), mengatakan bahwa Fe, Mn dan Cu diperlukan untuk memproduksi

    toksin sedangkan Mn diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Penambahan CaCO3 dalammedia berfungsi sebagai sumber kalsium, bahan penetral media,

    pertumbuhan sel, pembentukan protein dinding sel dan produksi endotoksin (Moo-

    Younget al.1985). Penambahan urea padakultivasi cair dan limbah cair tahu pada

    kultivasi padat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen Bacillus thuringiensis.

    Kemudian, Faktor yang mempengaruhi proses produksi bioinsektisida adalah

    komposisimedium dan kondisi pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu

    (Dulmage dan Rhodes1971). Kondisi kultivasi Bacillus thuringiensis yang optimal

    dilakukan pada suhu 28 32oC, pH awal medium diatur sekitar 6.8 7, agitasi 142 340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24 48 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Mummigatti dan Raghunathan 1990). Bacillus thuringiensis tumbuh optimum pada pH

    6.5 7.5 (Bernhard dan Utz 1993). Perkembangan produksi bioinsektisida di Indonesia belum berkembang pesat

    karena biayainvestasi awal yang tidak murah dengan tingkat pengembalian modal

    yangcukup lama, meskipun harga jual bioinsektisida dua hingga tiga kali lebih tinggi

    jika dibandingkandengan insektisida kimia. Bioinsektisida yang beredar di Indonesia

    diimpor dari industri-industri penghasil bioinsektisida di Amerika Serikat dan negara-

    negara lain di Eropa Produksi bioinsektisidadi Indonesia saat ini hanya sebatas industri

    kecil dan rumahan (Hilwanet al 2006).Kendala utama dalam memproduksi

    bioinsektisida adalah bahan baku fermentasi yang masihimpor. Pada umumnya,

    fermentasi Bacillus thuringiensis menggunakan dekstrosa karena dekstrosakaya akan

    sumber karbon. Solusinya yaitu dari dekstrosa dapat digunakan bahan-bahan yang

    memilikikadar pati yang cukup tinggi, misalkan pati singkong.

    Berbagai isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis kristal protein yang

    dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal

    Bacillus thuringiensis sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah

    diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga

    yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal

    protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik

  • sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak

    menumpuk dan mencemari lingkungan.

    Faktor faktor yang mempengaruhi kultivasi dari Bacillus thuringiensis sangat beragam. Berikut ini akan dijelaskan faktor faktor yang mempengaruhinya. Pada komposisi media merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kultivasi Bacillus

    thuringiensis selain kondisi pertumbuhan seperti pH, oksigen, dan temperatur (Dulmage

    dan Rhodes 1971). Glukosa dan onggok tapioka digunakan untuk sintesis sel baru atau

    produksi sel karena merupakan sumber karbon. Konsentrasi sumber karbon yang terlalu

    tinggi dapat menyebabkan pH media turun menjadi 5.6 5.8. Kondisi ini dapat menghambat atau menghentikan pertumbuhan Bacillus thuringiensis demikian pula

    halnya dengan konsentrasi glukosa yang terlalu rendah (Vandekar dan Dulmage 1982).

    Pada proses produksi bioinsektisida dengan kultivasi cair dilakukan penambahan lima

    ion logam yaitu, Mg++

    , Mn++

    , Fe++,

    Zn++

    , dan Ca++

    melalui penambahan 0.3 g/L

    MgSO4.7H2O, 0.02 g/L FeSO4.7H2O, 0.02 g/L ZnSO4.7H2O, 0.02 g/L MnSO4.7H2O,

    dan 1 g/L CaCO3. Penambahan ion ini dapat memperbaiki pertumbuhan Bacillus

    thuringiensis. Penambahan ion ini tidak akan membahayakan kultivasi karena

    konsentrasi yang digunakan cukup rendah (Dulmage dan Rhodes 1981). UnsurC, O, N,

    H, P dan S menyusun 96% dari berat kering sel dan unsur-unsur mikro seperti K, Ca, Cl,

    Fe, Mn, Co, Cu, Zn dan Mo diperlukan oleh hampir semua mikroorganisme (Fardiaz

    1998). Sikdar et al. (1993), mengatakan bahwa Fe, Mn dan Cu diperlukan untuk

    memproduksi toksin sedangkan Mn diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Penambahan CaCO3 dalam media berfungsi sebagai sumber kalsium, bahan penetral

    media, pertumbuhan sel, pembentukan protein dinding sel dan produksi endotoksin

    (Moo-Young et al. 1985). Penambahan urea pada kultivasi cair dan limbah cair tahu

    pada kultivasi padat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen Bacillus

    thuringiensis.

    Kemudian, faktor yang mempengaruhi proses produksi bioinsektisida adalah

    komposisi medium dan kondisi pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu

    (Dulmage dan Rhodes 1971). Kondisi kultivasi Bacillus thuringiensis yang optimal

    dilakukan pada suhu 28 32oC, pH awal medium diatur sekitar 6.8 7, agitasi 142 340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24 48 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Mummigatti dan Raghunathan 1990). Bacillus thuringiensis tumbuh optimum pada pH

    6.5 7.5 (Bernhard dan Utz 1993). Dalam praktikum ini dilakukan perhitungan biomassa sel yang dipisahkan dari

    cairan fermentasi menggunakan sentrifugasi karena ukuran bakteri yang digunakan

    sangat kecil yaitu bakteri Bacillus thuringiensis aizawai pada substrat cair. Berdasarkan

    hasil praktikum kelompok 1 dengan tanpa inkubasi (0 hari) tidak ada biomassa yang

    dihasilkan. Kelompok 2 dengan waktu inkubasi 1 hari memperoleh biomassa 68 g/l.

    Kelompok 3 dengan waktu inkubasi 2 hari memperoleh biomassa sebanyak 49.5 g/l.

    Kelompok 4 dengan waktu inkubasi 3 hari memeproleh biomassa sebanyak 21 g/l.

    Kelompok 5 dengan waktu inkubasi 4 hari memperoleh biomassa sebanyak 9.5 g/l.

    Biomassa tertinggi diperoleh pada waktu inkubasi 1 hari oleh kelompok 1. Hal ini sudah

    sesuai dengan pernyataan Sikdar (1993), bahwa waktu pertumbuhan sel maksimum

    terjadi pada inkubasi 24-48 jam sehingga biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak.

    Biomassa sel juga dipengaruhi oleh konsentrasi gula. Konsentrasi yang terlalu rendah,

  • menurut Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera,

    sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses

    sporulasi yang menyebabkan proses inkubasi yang diperlukan lebih lama. Menurut

    Marshall (2007), hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk

    tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan sel

    Bacillus thuringiensis azawai dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk

    menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa, kinetika

    pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis azawai maksimum dicapai pada inkubasi 24-48

    jam.

    Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian VSC atau viable spore count

    terhadap kultivasi padat maupun kultivasi cair. VSC ini sendiri adalah metode untuk

    menghitung viabilitas dari sampel, yaitu jumlah spora yang dihasilkan oleh kultivasi itu

    sendiri. VSC ini dilakukan dengan cara memanaskan sampel sel hidup pada suhu 70o C

    selama 15 menit untuk membunuh sel hidup, dan kemudian sampel tersebut diuji total

    kandungan sporanya. Spora sendiri dapat bertahan pada suhu tinggi sehingga dapat

    dihitung jumlahnya berdasarkan jumlah koloni sel Bacillus thuringensis yang terbentuk

    pada total plate count. (Sumarsih 2003). Data yang didapatkan pada praktikum kali ini

    untuk kultivasi cair kelompok 1 (jam ke-0), tidak ada spora yang terbentuk. Hal ini

    sudah jelas karena pada jam ke-0 fermentasi belum ada bakteri yang menghasilkan

    spora. Untuk jam ke-24, koloni yang terbentuk pada pengenceran 10-5 adalah 103

    koloni, dan TBUD (terlalu banyak untuk dihitung) pada pengenceran 10-6 dan 10-7.

    Untuk jam ke-48 terapat 218 koloni pada tingkat pengenceran 10-5, TBUD pada 10-6,

    dan 294 koloni pada 10-7. Untuk jam ke-72 terdeteksi 257 koloni pada 10-6, dan TBUD

    pada 10-5 dan 10-7. Terakhir untuk kultivasi cair pada fermentasi sampel jam ke-96,

    koloni yang terdeteksi adalah TBUD pada 10-5 dan 10-6, dan 140 koloni pada 10-7.

    Untuk kultivasi padat, jam pengamatan ke-0 terdapat 10 koloni pada 10-5, 48 koloni

    pada 10-6, dan 255 koloni pada 10-7. Untuk jam ke-24, 10-5 137 koloni, 10-6 dan 10-7

    TBUD. Jam ke-48 memiliki 100 koloni pada 10-5, dan TBUD pada10-6 dan 10-7. Jam

    ke-72 semua tingkat pengenceran TBUD. Sedangkan untuk jam ke-96, TBUD untuk 10-

    5 dan 10-6,serta 117 koloni pada 10-7. Hasil yang didapatkan pada praktikum kali ini

    sebenarnya tidak sesuai dengan literatur, salah satunya hasil penelitian Fardedi pada

    2007. Bila proses fermentasi dan isolasi spora berhasil, seharusnya koloni yang

    terdeteksi pada tingkat pengenceran 10-5 hingga 10-7 tidak terdeteksi sebagai TBUD.

    Hasil praktikum yang tidak sesuai literatur disebabkan proses isolasi spora yang tidak

    berhasil, yaitu proses pemanasan sampel sebelum pengenceran yang gagal dilakukan

    sehingga pada saat penghitungan koloni masih banyak sel vegetatif yang berkembang

    menjadi koloni dan menyebabkan hasil TBUD.

    Selain dilakukan pengujian VSC atau viable spore count, juga dilakukan

    pengujian pH pada substrat padat maupun cair. Perhitungan pH yang diperoleh oleh

    kelompok 1 sampai kelompok 5 berturut turut pada substrat cair adalah 8,9 ; 8,2 ; 8,2 ; 7,6 ; dan 8,2. Hal ini menunjukkan bahwa pH pada kondisi antara netral dan basa.

    Sedangkan pada substrat padat sebagai media pertumbuhannya, kelompok 1 sampai

    kelompok 5 memperoleh nilai pH berturut-turut sebesar 6 ; 7 ; 7 ; 7 ; dan 7. Terjadi

    peningkatan pH dari 6 ke 7. Berdasarkan literatur, penurunan pH disebabkan adanya

    akumulasi asam-asam seperti asam laktat, asam piruvat, asam asetat, dan asetoin.

  • Kemudian pH mengalami peningkatan kembali selama fermentasi disebabkan oleh

    pemanfaatan kembali asam asetat yang terakumulasi dalam medium untuk memproduksi

    poli-betha-hidroksibutirat (PHB). Kenaikan pH juga dapat disebabkan adanya akumulasi

    bahan-bahan alkali hasil metabolism urea.

  • 4 PENUTUP

    4.1 Kesimpulan

    Bioinsektisida adalah produk yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat

    membunuh serangga, hama dan vektor pembawa penyakit. Keuntungan penggunaan

    bioinsektisida adalah tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup aman

    karena tidak meninggalkanresidu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia,

    binatang, tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan merupakan serangga

    target. Mikroorganisme yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida yaitu Bacillus

    thuriengensis. Bahan yang digunakan dalam pembuatan media nutrisi mikroba ini yaitu

    limbah cair tahu dan onggok. Keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yaitu

    bahan media mudah didapatkan, dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan relative

    murah.Onggok tapioka yang digunakan sebagai bahan baku media substrat padat

    digunakan mikroba sebagai sumber karbon. Sedangkan, limbah cair pabrik tahu ini

    memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi dan digunakan sebagai sumber

    nitrogen.

    Pengamatan yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu pH, biomassa dan

    Viable Spore Count (VSC). Hasil yang didapat dari biomassa yaitu Biomassa tertinggi

    diperoleh pada waktu inkubasi satu hari oleh kelompok 1, hal ini sesuai dengan literatur

    yang menyatakan waktu pertumbuhan sel maksimum terjadi pada inkubasi 24-48 jam

    sehingga biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak. Sedangkan, hasilViable Spore

    Count (VSC)yang didapat dari praktikum dan pengamatan tidak sesuai dengan yang

    terdapat di dalam literatur yang adahal ini disebabkan proses isolasi spora yang tidak

    berhasil, yaitu proses pemanasan sampel sebelum pengenceran yang gagal dilakukan

    sehingga pada saat penghitungan koloni masih banyak sel vegetatif yang berkembang

    menjadi koloni dan menyebabkan hasil TBUD. Untuk pengujian pH, diperoleh nilai

    yang semakin menurun pada subsrat cair dan nilai pH yang meningkat pada substrat

    padat. Penurunan pH disebabkan adanya akumulasi asam-asam seperti asam laktat, asam

    piruvat, asam asetat, dan asetoin. Sedangkan kenaikan pH dapat disebabkan adanya

    akumulasi bahan-bahan alkali hasil metabolism urea.

    4.2 Saran

    Kegiatan pada praktikum ini kurang efektif sehingga kesalahan dari hasil yang

    didapat terjadi.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abbas, S., Halim dan S. T. Amidarmo. 1985. Limbah Tanaman Ubi kayu. Di dalam F.G

    Winarno (editor). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan

    Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.

    Behle, et all. 1999. Makalah Formulations Forum 99. Formulating Bionsecticides To Improve Residual Activity. University Peoria. Illinois.

    Benoit, L., G. R. Wilson and C. L. Baugh. 1990. Fermentation during growth and

    sporulation ofBacillus thuringiensis HD-1. Lett. Appl. Microbial. Vol 10.

    Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticide for

    Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J.

    Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental Biopesticide

    : Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester : 255-266.

    Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with Trichoderma ressei. Application

    Environment. Microbiology 49(1):205-210.

    Damardjati, D. S. 1985. Strategi Penelitian Limbah Ubi Kayu di Indonesia. Di dalam F.

    G. Winarno (ed). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Mentri Muda Urusan

    Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.

    Darwis AA, Khaswar S, Ummi S.2012.Kajian Produksi Bioinsektisida dari Bacillus

    thuringiensis subsp israelensis Pada Media Tapioka.Jurnal Teknologi Industri

    Pertanian Vol. 14(1) hal 1-5.

    Departemen Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian

    2010-2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

    Dulmage, H. T. And Rhodes, R.A. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media,

    pp.507-540 In : Burges, H.D. (ed). Microbial Control of Pest and Plant Diseases

    1970-1980. New York : Acad press.

    Dulmage, H. T. 1981. Insecticidal activity of isolates of Bacillus thuringiensis and their

    potential for pest control In H.D Burges (ed). Microbial Control of Pest and Plant

    Diseases. New York : Acad press.

    Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

    Fardiaz, S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB.

    Putrina F & Fardedi. 2007. Pemanfaatan Air kelapa dan Air Rendaman Kedelai Sebagai

    Media Perbanyakan Bakteri Bacillus thuriengensis Barliner. Jurnal Ilmu-Ilmu

    Pertanian. Politeknik Pertanian Negeri.

    Gill, S. S., E. A. Cowles, dan P. V, Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of Bacillus

    thuringiensis.

    Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37 : 615 636. Hilwan MR, Khaswar S, dan Rini P.2006. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing

    Perguruan Tinggi XII Tahun Anggaran 2006 : Kajian Produksi Bionsektisida Oleh

    Bacillus thuringiensis var.israelensis Untuk Pencegahan Wabah Demam

    Berdarah.IPB : Bogor.

    Jenie, B.S. L. dan Fachda. 1991. Pemanfatan Onggok dan Dedak Padi Untuk Produksi

    Pigmen Angkak Oleh Monescus purpureus. Pertemuan Ilmiah Tahunan.

    Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor

  • Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins

    and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides:theory and

    practices. John Willey and Sons.

    Marshall. 2007. Pesticide. US.Patent No. 7,179,455 B2,Feb.20,2007.

    Moo-young, M. 1985. Comprehensive Biotechnology. Di dalam A. T Bull and H.

    Dalton (eds). Pergamin Press. Oxford.

    Machfud et al. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan. Bogor: PAU Pangan

    dan Gizi, Institut pertanian Bogor.

    Moo-young, M. 1985. Comprehensive Biotechnology. Di dalam A. T Bull and H.

    Dalton (eds). Pergamin Press. Oxford.

    Mummigatti, S. G. and Raghumanathan. 1990. Influence of media composition on the

    production of deltaendotoksin by Bacillus thuringiensis var Israelensis J. Invertebr.

    Pathol. Vol 55.

    Prawira, Y. 2012. Fermentasi Substrat Padat. http://www.yprawira.com [28 April 2013]

    Sikdar, D. D, M. K. Majumbar and S. K. Majumbar. 1993. Optimization of process for

    production of -endotoksin by Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis in a five litre fermentor. Biochemical archives. Vol 9.

    Silvina, Det al.2012.Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk

    Memproduksi Spora Bacillus thuringiensisSerovar IsraelensisDan Aplikasinya

    Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk (karya tulis PKM). Universitas Udayana,

    Denpasar.

    Sumarsih S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UPN.

    Vendekar, M and H. T. Dulmage. 1982. Guidelines for Production Bacillus thuringiensis

    H-14. Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases.

    Geneva, Switzerland.

  • LAMPIRAN

    1. Kultivasi Cair

    1. Kultivasi Padat

    Kelompok Viable Spore Count pH

    1 10-5

    = 10

    10-6

    = 48

    10-7

    = 255

    6

    2 10-5

    = 137

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = TBUD

    7

    3 10-5

    = 100

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = 242

    7

    4 10-5

    = TBUD

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = TBUD

    7

    5 10-5

    = TBUD

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = 117

    7

    Kelompok pH OD 660nm Biomassa (g/L) Viable Spore

    Count

    1 8,9 - 0 -

    2 8,2 - 68 10-5

    = 103

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = TBUD

    3 8,2 - 49,5 10-5

    = 218

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = 294

    4 7,6 - 21 10-5

    = TBUD

    10-6

    = 257

    10-7

    = TBUD

    5 8,2 - 9,5 10-5

    = TBUD

    10-6

    = TBUD

    10-7

    = 140

  • y = -0.676x + 5.721R = 0.968

    00.5

    11.5

    22.5

    33.5

    44.5

    5

    0 2 4 6

    ln B

    iom

    assa

    Hari

    Kurva Pertumbuhan

    Series1

    Linear (Series1)