laporan biokimia (enzim)
DESCRIPTION
Laporan Biokimia praktikum minggu ke-7 mengenai enzimTRANSCRIPT
Laporan Praktikum Hari/tanggal : Rabu, 17 April 2013
Biokimia Umum Waktu : 08.00-11.00 WIB
PJP : dr. Husnawati
Asisten : Suryadi Atmaja
Dessy Emalia
Andi Arya Fajar A
Yayuk Kartika
ENZIM
KELOMPOK 5
Rani Dwi Septyani B04120095
Athirah Rerana Fitrianthy B04120112
Muhammad Yahya B04120132
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Pendahuluan
Enzim adalah sekelompok protein yang berperan sebagai pengkatalis
dalam reaksi-reaksi biologis. Enzim dapat juga didefenisikan sebagai
biokatalisator yang dihasilkan oleh jaringan yang berfungsi meningkatkan laju
reaksi dalam jaringan itu sendiri. Semua enzim yang diketahui hingga kini hampir
seluruhnya adalah protein.Berat molekul enzim pun sangat beraneka ragam,
meliputi rentang yang sangat luas (Suhtanry dan Rubianty 1985). Enzim berperan
untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup,
tetapi enzim itu sendiri tidak ikut bereaksi. Enzim berperan secara lebih spesifik
dalam hal menentukan reaksi mana yang akan dipacu dibandingkan dengan
katalisator anorganik sehingga ribuan reaksi dapat berlangsung dengan tidak
menghasilkan produk sampingan (Juryatin 1997). Enzim dikatakan sebagai suatu
kelompok protein yang berperan dalam aktivitas biologis. Enzim ini berfungsi
sebagai katalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas. Dalam jumlah yang sangat
kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak
terjadi penyimpangan hasil reaksinya. Enzim akan kehilangan aktivitasnya karena
panas, asam dan basa kuat, pelarut organik atau apa saja yang bisa menyebabkan
denaturasi protein. Enzim dinyatakan mempunyai sifat yang sangat khas karena
hanya bekerja pada substrat tertentu (Girinda 1986).
Enzim amilase dapat diperoleh dari sekresi air liur atau saliva. Saliva adalah
suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran
sekresi dari kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva
dapat disebut juga kelenjar ludah atau kelenjar air liur. Semua kelenjar ludah
mempunyai fungsi untuk membantu mencerna makanan dengan mengeluarkan
suatu sekret yang disebut “saliva” (ludah atau air liur). Pembentukan kelenjar
ludah dimulai pada awal kehidupan fetus (4 – 12 minggu) sebagai invaginasi
epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke dalam duktus dan jaringan asinar
(Girinda 1986).
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang
dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk
fotosintesis) dalam jangka panjang. Pati adalah suatu polisakarida yang
mengandung amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida berantai
lurus bagian dari butir-butir pati yang terdiri atas molekul-molekul glukosa -1,4-
glikosidik (Poedjiadi 2006).
Amilosa merupakan bagian dari pati yang larut dalam air, yang mempunyai
berat molekul antara 50.000-200.000, dan bila ditambah dengan iodium akan
memberikan warna biru. Amilosa merupakan polisakarida, polimer yang tersusun
dari glukosa sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan
1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama
dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Dalam masakan, amilosa
memberi efek "keras" atau "pera" bagi pati atau tepung (Lehninger 1988).
Amilopektin merupakan polisakarida bercabang bagian dari pati, terdiri
atas molekul-molekul glukosa yang terikat satu sama lain melalui ikatan 1,4-
glikosidik dengan percabangan melalui ikatan 1,6-glikosidik pada setiap 20-25
unit molekul glukosa. Amilopektin merupakan bagian dari pati yang tidak larut
dalam air dan mempunyai berat molekul antara 70.000 sampai satu juta.
Amilopektin dengan iodium memberikan warna ungu hingga merah. Amilosa
memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket
(Lehninger 1988).
Tujuan
Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa akan dapat menunjukkan sifat
enzim pencernaan, menentukan sifat dan susunan air liur serta menentukan sifat
dan susunan getah lambung.
Metode
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kertas saring,
gelas piala, tabung reaksi dan rak tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik, labu
erlenmeyer, penangas es, dua buah penangas air (untuk suhu 37o dan 80oC),
penjepit tabung, air akuades, air liur probandus, asam asetat encer, kertas lakmus
merah, pereaksi FF dan MO, pereaksi Biuret, pereaksi Millon, pereaksi Molisch,
klorida, endapan putih amorfous, larutan sulfat, fosfat, es batu, larutan
HNO3 10%, AgNO3 2%, HCl 10%, BaCl2, CuSO4, urea, fosfomolibdat,
ferosulfat, larutan kanji 1%, pereaksi Iodin, dan pereaksi Benedict.
Prosedur Percobaan
Sifat fisik dan susunan air liur. Bahan yang dibutuhkan adalah air liur.
Kurang lebih 20 cc NaCl 0,2% dikumurkan oleh probandus selama satu menit. Air
kumur ini kemudian dimasukan ke dalam tabung. Setelah itu tabung ditutup
dengan ibu jari dan dikocok. Isi tabung disaring untuk menghilangkan sel ephitel
dan lain-lain. Kemudian diuji terhadap :
Uji lakmus FF dan MO. Sebanyak 2 ml air liur ditempatkan dalam tabung reaksi
masing-masing. Pereaksi dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi
yang berisi air liur. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.
Uji Biuret. 1 ml air liur dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 1 ml NaOH
10%, kemudian kocok sebentar lalu ditambahkan 3 tetes CuSO4. Amati perubahan
warna yang terjadi.
Uji Millon. Untuk uji Millon, dilakukan penambahan 5 tetes peraksi Millon ke
dalam 1 ml saliva (air liur) kemudian dipanaskan selama 5 menit dan diamati.
Uji Mollisch. Pada uji Mollisch dilakukan penambahan pereaksi Mollisch
sebanyak 2 tetes ke dalam 1 ml saliva, setelah dikocok sebentar kemudian
ditambahkan 3 ml H2SO4, kemudian diamati.
Uji klorida. Sebanyak 3 tetes larutan HNO3 10% ditambahkan ke dalam 1 ml
saliva, kemudian ditambahkan AgNO3 2%.
Uji musin. Sebanyak 20 tetes asam asetat ditambahkan ke dalam 1 ml saliva,
kemudian diamati.
Uji sulfat. Sebanyak 1 ml saliva ditambahkan 2 ml larutan HCl 10% kemudian
ditambahkan 2 ml BaCl2, kemudian diamati.
Uji fosfat. Sebanyak 1 ml saliva ditambahkan 1 ml urea, kemudian ditambahkan 1
ml fosfomolibdat kemudian ditambahkan 1 ml ferosulfat, kemudian diamati.
Pengaruh Suhu Pada Aktivitas Amilase Air Liur. Empat tabung reaksi
disiapkan dan masing-masing diisi 2 ml saliva dan 2 ml akuades dan kocok
dengan baik. Setelah itu tabung 1 diletakkan pada penangas es 10oC selama 15
menit. Tabung 2 diletakkan di rak tabung reaksi pada suhu kamar selama 15
menit. Tabung 3 diletakkan pada penangas air yang bersuhu 37oC selama 15 menit
dan tabung 4 diletakkan pada penangas air bersuhu 80oC selama 15 menit. Setelah
itu masing-masing tabung reaksi diberi larutan kanji 1% sebanyak 2 ml dan
dikocok dengan baik lalu diletakkan kembali pada kondisi suhu masing-masing
selama 10 menit. Setelah 10 menit, masing-masing larutan di dalam tabung dibagi
2 bagian. Bagian tabung yang pertama masing-masing tabung ditambahkan
beberapa tetes pereaksi Iodin sedangkan bagian tabung yang lainnya masing-
masing diberi 5 ml pereaksi Benedict lalu keempat tabung tersebut dipanaskan
selama 5 menit. Setelah 5 menit, larutan dibiarkan sampai dingin dan diamati
perubahan warna yang terjadi.
Hasil Pengamatan
Tabel 1. Hasil pengamatan sifat dan susunan saliva
Uji Hasil Hasil Pengamatan GambarFenolftalein Asam Bening
Metil jingga Asam Orange
Biuret - Bening
Millon - Bening
Molisch + Terbentuk cincin violet
Klorida + Terbentuk endapan putih
Musin - Bening
Sulfat - Bening
Fosfat - Bening
Tabel 2. Hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim amilase sativa
Suhu Uji Iodin Uji Benedict Gambar + keterangan hasil gambar
10o + -
Iodin (biru) Benedict (biru)Suhu ruang + -
Iodin (biru) Benedict (biru)37o + -
Iodin (biru) Benedict (biru)
80o + -
Iodin (biru) Benedict (biru)
Pembahasan
Pengujian air liur atau saliva menggunakan pereaksi FF, MO, Biuret,
Millon, Molisch, klorida, musin, sulfat dan fosfat dilakukan untuk menentukan
sifat fisik dan susunan air liur. Sifat asam atau basa saliva ditentukan dengan
pengujian indikator FF atau Fenolftalen dan MO atau Methyl Orange. Fenolftalen
merupakan pereaksi yang tak berwarna pada pH asam dan memiliki rentang pH
8.0 – 9.3 dengan perubahan warna dari tak berwarna menjadi merah muda.
Sedangkan Methyl Orange merupakan pereaksi yang berwarna orange pada pH
asam memiliki rentang pH 3.1 – 4.4 dengan perubahan warna dari merah menjadi
kuning (Hart H et al, 2003). Bedasarkan percobaan yang kami lakukan, air liur
yang telah ditetesi pereaksi FF dan MO masing-masing menghasilkan tak
berwarna dan warna orange. Hal tersebut menunjukkan bahwa air liur memiliki
pH asam. Menurut Girindra (1986), kisaran pH air liur antara 6.2 hingga 7.6
dengan rata-rata pH 6.7.
Pengujian menggunakan pereaksi Biuret dan Millon bertujuan untuk
mendeteksi kandungan protein dalam air liur yang diuji. Bedasarkan hasil
percobaan, uji Biuret memiliki hasil reaksi negatif karena larutan tidak berwarna
(bening) ketika ditambahkan CuSO4, begitu juga dengan uji Millon memiliki
hasil yang negatif karena larutan tidak berwarna (bening). Hal ini membuktikan
bahwa air liur tidak mengandung protein. Reaksi biuret terjadi ketika suatu
peptida yang mempunyai dua buah ikatan peptida atau lebih dapat bereaksi
dengan ion Cu2+ dalam suasana basa dan membentuk suatu senyawa kompleks
yang berwarna ungu (Metjesh 1996). Sedangkan uji millon adalah pembentukan
garam merkuri dari tirosin yang ternitrasi. Tirosin merupakan asam amino yang
mempunyai molekul fenol pada gugus R-nya, yang akan membentuk garam
merkuri dengan pereaksi millon. Air liur yang positif dalam uji millon
menunjukkan air liur mengandung tirosin sebagai asam amino. Seharusnya dalam
pengujian Biuret dan Millon menghasilkan reaksi positif karena dalam saliva
terdiri dari 99,5% H2O serta 0,5% protein dan elektrolit. Tetapi peptide dalam
saliva tidak mutlak ada, hal ini dikarenakan makanan setiap orang berbeda-beda.
Ada yang mengandung protein dan ada yang tidak (Hart H et al, 2003).
Pengujian air liur menggunakan pereaksi Molisch bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya karbohidrat, uji Molisch memberikan hasil positif
(cincin ungu) kepada semua karbohidrat yang lebih besar daripada tetrosa.
Berdasarkan hasil percobaan yang kami lakukan terhadap air liur menunjukkan
reaksi yang positif yaitu terbentuknya cincin ungu, namun sebenarnya saliva tidak
mutlak mengandung karbohidrat. Karbohidrat dalam air liur yang dihasilkan
probandus disebabkan oleh masih adanya sisa-sisa makanan yang terkandung
dalam air liur (Lehninger 1998).
Pengujian adanya musin dan garam anorganik dalam saliva ditunjukkan
oleh uji musin, klorida, uji sulfat, dan uji fosfat. Bedasarkan hasil percobaan, uji
musin, uji sulfat, dan uji fosfat terhadap saliva menunjukkan reaksi negatif,
sedangkan uji klorida menunjukkan reaksi positif. Seharusnya saliva mengandung
musin dan garam-garam anorganik yang ditandai dengan terbentuknya endapan
putih. Kesalahan ini mungkin terjadi karena kemungkinan saliva yang terambil
saat pengumpulan saliva encer hanya sedikit. Tetapi keberadaan fosfat dan sulfat
di dalam air liur tidak mutlak adanya. Hal tersebut bergantung pada makanan yang
kita konsumsi (Metjesh 1996). Musin merupakan lendir yang melindungi dinding
saluran pencernaan yang lebih kental dan licin daripada air biasa dan mengandung
enzim amilase. Musin berfungsi membasahi makanan dan sebagai pelumas yang
memudahkan atau memperlancar proses menelan makanan. Didalam musin
mengandung protein dan NaHCO3. Prinsip uji klorida adalah mencampurkan
saliva dengan AgNO3 dalam suasana asam sehingga terbentuk endapan putih.
Hasil yang diamati sudah sesuai dengan literatur, bahwa air liur mendapat sedikit
sumbangan Cl yang berasal dari cairan gigi. Ketika larutan uji dicampurkan
dengan AgNO3 dalam suasana asam akan membentuk endapan putih atau
AgCl (Gilvery 1996).
Pengujian Iodin terhadap hasil percobaan pengaruh suhu pada aktivitas
amilase air liur yang dipanaskan pada suhu 80oC dan yang didiginkan pada suhu
10oC memberikan hasil yang positif, yaitu larutan menjadi berwarna biru. Hal
tersebut menunjukkan pada suhu 80oC dan 10oC amilase air liur tidak bekerja
menghidrolisis pati. Tetapi amilase air liur yang dipanaskan pada suhu 37oC dan
yang didiamkan pada suhu ruang tetap memberikan hasil yang positif. Seharusnya
pada suhu 37oC dan suhu ruang memberikan hasil yang negatif karena amilase air
liur dapat menghidrolisis pati, sehingga tidak terdapat pati pada suhu 37oC dan
suhu ruang. Larutan iod berperan sebagai indikator hidrolisis. Senyawa
polisakarida akan memberikan warna yang spesifik dengannya, yaitu berupa
warna ungu kehitaman tetapi jika polisakarida tersebut dihidrolisis maka warna
yang ditimbulkan adalah warna kuning kecokelatan (Maryati 2000).
Sementara hasil uji Benedict menunjukkan campuran yang disimpan pada
suhu 80oC dan 10oC menunjukkan reaksi negatif dengan ditandai larutan berwarna
biru. Hal ini menunjukkan bahwa enzim amilase tidak bekerja pada suhu di atas
80oC dan dibawah 10oC. Tetapi pada suhu 37oC dan suhu ruang, reaksi ini tetap
negatif dengan menimbulkan warna biru pada larutan. Seharusnya reaksi pada
suhu 37oC dan suhu ruang enzim amilase air liur bekerja menghisrolisis pati,
sehingga terdeteksi gula pereduksi pada uji Benedict. Berdasarkan hasil
percobaan, dapat diketahui bahwa suhu optimum aktivitas enzim amilase adalah
37oC. Suhu optimum untuk aktivitas enzim amilase adalah 37oC (Ahmad 2000).
Simpulan
Bedasarkan hasil pengamatan kami, dapat disimpulkan bahwa saliva
memiliki pH asam, mengandung musin dan garam-garam anorganik, tetapi tidak
mutlak mengandung protein, sulfat, fosfat dan karbohidrat karena makanan setiap
orang berbeda-beda. Enzim amilase bekerja optimum pada suhu di bawah 80oC
yaitu pada suhu 37oC dan suhu ruangan serta diatas 10oC. PH optimum enzim
amilase adalah 6.2 hingga 7.6 sesuai dengan pH pada air liur.
Daftar Pustaka
Ahmad, Hiskia. 2000. Larutan Asam dan Basa. Bandung: Ganessa.
Gilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional Edisi 3. Surabaya: Airlangga University Press.
Girindra. A. 1986. Enzim dalam Biokimia 1. Jakarta: Gramedia.
Hart H et al. 2003. Kimia Organik. Penerjemah: Achmadi SS. Jakarta : Erlangga.
Lehninger. 1988. Dasar-dasar Biokimia. Penerjemah: Maggy Thenawijaya.
Jakarta: Erlangga.
Maryati, Sri. 2000. Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Erlangga.
Matjesh, Sabirin. 1996. Kimia Organik II. Jakarta: Depdikbud.
Poedjiadi, A. 2006. Dasar – Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press.