laporan jurnal fixurnal icu
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL ANALISIS JURNAL
Using Chest Vibration Nursing Intervention to Improve Expectoration of Airway
Secretions and Prevent Lung Collapse in Ventilated ICU Patients: A Randomized
Controlled Trial
Disusun Untuk Memenuhi Tugas KelompokPraktik Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat
Disusun oleh:
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
Raisa Farida Kafil (08/267855/KU/12749)
Apri Nur Wulandari (08/267882/KU/12756)
Septa Adhi Hermawan (08/267914/KU/12766)
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fisioterapi dada merupakan tindakan yang dilakukan pada klien yang
mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi yang memerlukan bantuan untuk
mengencerkan atau mengeluarkan sekresi. Fisioterapi dada ini meliputi rangkaian :
postural drainage, perkusi, dan vibrasi. Postural drainase (PD) merupakan salah satu
intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru dengan
menggunakan pengaruh gaya gravitasi. Waktu yang terbaik untuk melakukan PD
yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam
hari. Perkusi/ clapping adalah tepukan yang dilakukan pada dinding dada atau
punggung dengan tangan dibentuk seperti mangkok. Vibrasi merupakan kompresi
dan getaran manual pada dinding dada dengan tujuan menggerakkan secret ke jalan
napas yang besar.
Vibrasi adalah getaran kuat secara serial yang dihasilkan oleh tangan perawat
yang diletakan datar pada dinding dada klien. Tujuan fisioterapi dada vibrasi ini
adalah untuk meningkatkan turbulensi udara ekspirasi dan melepaskan mukus yang
kental setelah dilakukan fisioterapi dada perkusi. Sering dilakukan bergantian dengan
fisioterapi dada perkusi.
Menurut Chen et al pada tahun 2009 mengatakan bahwa hampir 80% dari
pasien di unit perawatan intensif terintubasi dan dan terpasang ventilasi mekanis.
Dengan demikian, kemampuannya bersihan jalan nafasnya dapat terganggu dan
meningkatkan risiko kolaps paru-paru. Literatur menunjukkan bahwa insiden kolaps
paru-paru pada pasien yang terpasang ventilasi dapat mencapai 23-30% bagi mereka
yang telah menjalani operasi perut bagian atas, 74% bagi mereka dengan kerusakan
tulang belakang akut, 85% bagi mereka dengan keparahan neuromuskular, dan
hingga 90% setelah operasi kardiovaskular. Kolaps paru, jika tidak diobati, dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan atau Acut Respiratory Syndrom (ARDS).
Rumah Sakit RSUP Dr Sardjito merupakan rumah sakit rujukan bagi daerah
Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan tentunya memiliki ruangan ICU yang
cukup representative dengan 10 tempat tidur dan 2 ruang isolasi. Sebagian besar
1
pasien yang dirawat di ruang ICU terpasang ventilator sehingga menyebabkan
bersihan jalan nafas jadi terganggu. Oleh karena diperlukan suatu intervensi
keperawatan yang tepat untuk meningkatkan pengeluaran secret.
P : pasien terintubasi dan terpasang ventilasi di ruang ICU
I : Vibrasi dada dikombinasikan dengan perubahan posisi
C : perubahan posisi
O : Meningkatkan meningkatkan pengenceran dan pengeluaran secret dan
mencegah kolaps paru-paru
Pertanyaan Klinis : Apakah penggunaan intervensi keperawatan vibrasi dada dan
perubahan posisi efektif dalam meningkatkan pengenceran dan pengeluaran secret
dan mencegah kolaps paru-paru pada pasien di yang terpasang ventilasi ?
B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan intervensi keperawatan vibrasi dada dan perubahan posisi
efektif untuk meningkatkan pengenceran dan pengeluaran secret dan mencegah
kolaps paru-paru pada pasien di yang terpasang ventilasi di Intensive Care Unit ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui apakah penggunaan intervensi keperawatan vibrasi dada dan
perubahan posisi efektif dalam meningkatkan pengenceran dan pengeluaran secret
dan mencegah kolaps paru-paru pada pasien di yang terpasang ventilasi di Intensive
Care Unit.
D. Manfaat
Laporan ini dapat menjadi acuan intervensi keperawatan mandiri dalam upaya
meningkatkan pengenceran dan pengeluaran secret dan mencegah kolaps paru-paru
pada pasien di yang terpasang ventilasi di Intensive Care Unit menggunakan vibrasi
dada berdasarkan EBNP
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. VENTILASI MEKANIK
1. Pengertian
Ventilasi mekanik dengan alatnya yang disebut ventilator adalah suatu alat bantu
mekanik yang berfungsi memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan
tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan. Ventilasi mekanik
merupakan peralatan “wajib” pada unit perawatan intensif atau ICU. ( Corwin,
Elizabeth J, 2001). Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang
berfungsi memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara
positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatanadalah suatu alat yang digunakan
untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi ( Brunner dan Suddarth, 2002).
2. Indikasi pemasangan ventilasi
a) Pasien dengan gagal nafas.
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi
ventilasi mekanik. Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan
ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya. Distres
pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya
dapat berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan
otot pernafasan dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).
b) Insufisiensi jantung.
Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan pernafasan
primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan
aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan
konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi
mekanik untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang.
3
c) Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk
menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada
klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
d) Tindakan operasi
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative sangat
terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi
akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi
mekanik.
3. Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik
Menurut Pontopidan (2003), seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
a) Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
b) Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg
d) AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
e) Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.
4. Komplikasi
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila perawatannya
tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
Pada paru
1. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler.
2. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
3. Infeksi paru
4. Keracunan oksigen
5. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
6. Aspirasi cairan lambung
7. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
8. Kerusakan jalan nafas bagian atas
4
Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik
vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik
dengan tekanan tinggi.
Pada sistem saraf pusat
a) Vasokonstriksi cerebral
b) Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat
dari hiperventilasi.
c) edema cerebral
d) Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi.
e) Peningkatan tekanan intra kranial
f) Gangguan kesadaran
g) Gangguan tidur.
Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b.Perdarahan lambung
Gangguan lainnya
a. Obstruksi jalan nafas
b. Hipertensi
c. Tension pneumotoraks
d. Atelektase
e. Infeksi pulmonal
f. Kelainan fungsi gastrointestinal ; dilatasi lambung, perdarahan
g. Gastrointestinal.
h. Kelainan fungsi ginjal
i. Kelainan fungsi susunan saraf pusat
B. FISIOTERAPI DADA
1. Definisi
Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan melakukan drainase
postural, clapping, dan vibrating pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan
5
misalnya penyakit paru obstruksi kronis, bronchitis kronis, asthma, dan emfisema.
Tindakan drainase postural merupakan tindakan dengan menempatkan pasien dalam
berbagai posisi untuk mengalirkan secret di saluran pernafasan. Tindakan postural
drainase diikuti dengan tindakan clapping (penepukan) dan vibrating
(vibrasi/getaran).
Clapping dilakukan dengan melakukan penepukan pada dada posterior dan
memberikan getaran (vibrasi) tangan pada daerah tersebut yang dilakukam pada saat
pasien ekspirasi.
2. Prosedur Fisioterapi dada
a. Postural Drainase
Tindakan drainase postural tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
peningkatan TIK, dyspnea berat, dan pasien lanjut usia. Clapping tidak dapat
dilakukan pada pasien emboli paru, hemmoragie, eksaserbasi, dan nyeri hebat
(misal pada pasien kanker).
Gambar 1. Posisi postural drainage
b. Clapping
Perkusi adalah tepukan dilakukan pada dinding dada atau punggung dengan
tangan dibentuk seperti mangkok. Tujuan melepaskan sekret yang tertahan atau
6
melekat pada bronkhus. Perkusi dada merupakan energi mekanik pada dada yang
diteruskan pada saluran nafas paru. Perkusi dapat dilakukan dengan membentuk
kedua tangan deperti mangkok. Perkusi secara rutin dilakukan pada pasien yang
mendapat postural drainase, jadi semua indikasi postural drainase secara umum
adalah indikasi perkusi.
Perkusi harus dilakukan hati-hati pada keadaan :
1. Patah tulang rusuk
2. Emfisema subkutan daerah leher dan dada
3. Skin graf yang baru
4. Luka bakar, infeksi kulit
5. Emboli paru
6. Pneumotoraks tension yang tidak diobati
c. Vibrating
Vibrasi merupakan kompresi dan getaran manual pada dinding dada
dengan tujuan menggerakkan secret ke jalan napas yang besar. Vibrasi dilakukan
hanya pada waktu pasien mengeluarkan napas. Pasien disuruh bernapas dalam
dan kompresi dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan
dilanjutkan sampai akhir ekspirasi. Bila pasien tidak dapat bernafas dalam dapat
dibantu dengan ambubag. Ambubag sangat baik digabung dengan postural
drainase, perkusi dan vibrasi dimana melihat lebih cepat perbaikan atelektasis dan
pengeluaran sekret. Berikut adalah cara melakukan vibrasi:
1) Vibrasi dilakukan hanya pada waktu klien ekspirasi.
2) Letakkan tangan, telapak tangan menghadap ke bawah di area yang
didrainase, satu tangan di atas tangan yang lain.
3) Instruksikan klien untuk napas lambat dan dalam melalui hidung hembuskan
melalui mulut dengan bibir dimonyongkan selama proses vibrasi, tujuannya
memperpanjang fase ekspirasi.
4) Ketika klien menghembuskan napas getarkan telapak tangan, hentikan saat
klien inspirasi. Lakukan vibrasi 5 kali ekspirasi.
7
Kontraindikasi
1) Fraktur iga
2) Cedera dada traumatic
3) Perdarahan atau emboli paru
4) Mastektomi
5) Pneumotoraks
6) Lesi metastatik pada iga
7) Osteoporosis
8) Trauma medulla servikal
9) Trauma abdomen
3. Tujuan Fisioterapi dada
Meningkatkan efisiensi pernapasan dan ekspansi paru
Memperkuat otot pernapasan
Mengeluarkan secret dari saluran pernapasan
Klien dapat bernapas dengan bebas dan tubuh mendapatkan oksigen yang cukup.
8
BAB III
ISI JURNAL
Using Chest Vibration Nursing Intervention to Improve Expectoration of Airway
Secretions and Prevent Lung Collapse in Ventilated ICU Patients: A Randomized
Controlled Trial
Pendahuluan
Hampir 80% pasien yang berada di ICU terintubasi dan terpasang ventilator
mekanik, hal ini membuat mereka sulit untuk menjaga kebersihan jalan nafas. Sehingga,
mempunyai resiko tinggi terhadap terjadinya kolaps paru dengan komplikasi pneumonia
karena tidak mampu batuk efektif. Kolaps paru, jika tidak ditangani dapat menyebabkan
gagal nafas atau ARDS, yang mana akan memperpanjang penggunaan ventilator dan
meningkatkan mortalitas sebesar 33-71%.
Berbagai macam intervensi dilakukan untuk meningkatkan airway clearence
dengan tujuan mencegah terjadinya ateletaksis dan infeksi. Suatu sistematik review
tentang terapi non farmakologi menunjukkan bahwa kombinasi lebih dari satu prosedur
fisioterapi dada dapat mengembalikan kolaps lobus paru. Beberapa penelitian
menyarankan bahwa postural drainage dikombinasikan dengan perkusi dada merupakan
jalan terbaik untuk memberbaiki ateletaksis lobus paru secara cepat. Akan tetapi, posisi
head-down leg-elevated berbahaya terhadap tanda-tanda vital pada pasien yang tidak
stabil, dan tidak direkomendasikan pada penyakit kritis. Auto percussion atau auto
vibration (1,000–1,200 cycles/min), yang dapat diukur dan waktunya, lebih objektif dan
mampu memberikan data yang lebih handal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
chest compression dengan frekuensi yang sering, lebih memudahkan kebersihan lendir,
dan fungsi paru yang lebih baik dibandingnkan fisioterapi dada konvensional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan chest vibration
yang dikombinasikan dengan perubahan posisi setiap dua jam ketika menggunakan
ventilator mekanik pada pasien dengan penyakit kritis dengan tujuan untuk
meningkatkan bersihan sekret paru dan mencegah kolaps paru.
9
Metode
Melibatkan 95 pasien dari 2 ICU dan diacak untuk masuk dalam kelompok
intervensi (n=50) dan kelompok kontrol (n=45). Kriteria inklusinya adalah usia antara
20-85 tahun, telah menggunakan ventilator selama lebih dari 3 hari, skor APACHE-II
(Acute Physiology and Chronic Health Evaluation, version II) 15–40, mampu
berkomunikasi dalam bahasa mandarin dan Taiwan, bersedia ikut dalam penelitian.
Kriteria eksklusi: kerusakan kulit pada punggung, mengalami perdarahan akut,
terpasang chest drainage tube, fraktur iga atau perkutan emphisema, spinal surgery, TIK
tidak stabil, pasien DNR.
Pasien pada kelompok kontrol mendapatkan intervensi perubahan posisi secara
rutin setiap 2 jam. Perubahan posisi meliputi miring kanan, miring kiri, dan supinasi.
Sedangkan pasien pada kelompok intervensi mendapatkan intervensi perubahan posisi
rutin ditambah dengan intervensi keperawatan vibrasi dinding dada selama 72 jam.
Intervensi ini dilakukan dengan menempatkan pad vibrasi dinding dada mekanik pada
punggung pasien selama 60 menit dengan posisi supinasi. Intervensi vibrasi dada
dilakukan 6 kali dalam sehari, setiap 4 jam selama 72 jam. Pad vibrasi dinding dada
ditempatkan dari bahu sampai sakrum. Vibrasi dinding dada mekanik menggunakan
vibrator type H.U.75, frequency 70Hz, 1,000–1,200 cycles/min. Gelombang vibrasi
berasal dari pad (40x60cm) arah spiral, vertiikaln dan horisontal. Pasien berbaring pada
pad dengan terselimuti selimut. Vibrator dinyalakan dan tunggu lebih dari setengah
detik untuk mencapai frekuensi maksimum vibrasi.
Selama terapi vibrasi, status hemodinamik dan tanda-tanda vital dimonitor, jika
HR berfluktuasi >20bpm, tekanan darah berfluktuasi >20mmHg, RR berfluktuasi
>10bpm atau saturasi oksigen menurun sampai kurang dari 95%, vibrasi dihentikan.
Dalam penelitian ini, tidak ada partisipan yang mengalami hal tersebut. Selama terapi,
perawat ICU mengkaji suara nafas pasien dan melakukan suction untuk mengeluarkan
sekret (jika perlu).
Variabel hasil yang dilihat adalah dry sputum weight (DSW) dalam 24 jam dan
lung colaps index (LCI), yang diukur pada 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
10
Hasil
95 pasien yang ikut berpartisipasi, terbagi menjadi 45 pasien pada kelompok kontrol,
50 pasien pada kelompok intervensi. Tabel 1 menunjukkan karakteristik demografis
partisipan, tidak ada berbedaan yang signifikan antara dua kelompok.
Berdasar tabel 2, pada kelompok intervensi, DSW 24 jam setelah intervensi secara
signifikan meningkat dibandingkan kelompok kontrol. Rata-rata DSW pada kelompok
intervensi lebih tinggi dibanding kelompok kontrol pada 48 jam dan 72 jam, tetapi tidak
signifikan secara statistik. LCI pada kelompok intervensi meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol pada 48 dan 72 jam. LCI pada kelompok
11
intervensi mengalami perbaikan secara signifikan setelah intervensi, tetapi pada
kelompok kontrol tidak ada perbedaan secara signifikan.
Diskusi
Menunjukkan asuhan keperawatan yang aman dan efektif untuk fungsi
pernafasan merupakan tantangan bagi perawat dalam memberikan perawatan pasien
yang menggunakan ventilator di ICU dalam kondisi penyakit kritis. Perkusi manual
tidak lagi digunakan untuk membantu mengeluarkan sputum. Penelitian ini dilakukan
untuk memberikan dukungan empiris tentang keefektifan vibrasi dalam mencegah
kolaps paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien ICU yang menggunakan ventilator,
mendapatkan perubahan posisi secara rutin yang dikombinasikan dengan vibrasi
dinding dada selama 60 menit yang dilakukan setiap 4 jam dengan menggunakan auto
vibrator 1,000–1,200 cycles/min dalam posisi pasien supinasi, ditambah dilakukan
suctin (jika perlu), mampu menunjukkan perbedaan yang signifikan pada pengukuran
DSW 24 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan terapi rutin
saja. LCI pada kelompok eksperimen juga meningkat secara signifikan pada 48 dan 72
jam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya.
Perbedaan yang signifikan diteemukan antara kelompok kontrol dan intervensi
pada 24, 48, dan 72 jam berkaitan dengan DSW setelah vibrasi. Pedictive value untuk
pre test DSW signifikan secara statistik pada 24 jam setelah vibrasi dada dimulai, tetapi
tidak pada 48 dan 72 jam. Dengan demikian, efek pengeluaran dahak/sputum yang lebih
efektif adalah 24 jam setelah vibrasi dada otomatis pada pasien dengan ventilator. Pada
48 dan 72 jam, ada peningkatan berkelanjutan tetapi hanya terbatas pada peningkatan
ekskresi dibandingkan kelompook kontrol, tetapi tidak mencapai perbedaan secara
statistik.
Perbedaan yang signifikan juga ditemukan antara kelompok kontrol dan
intervensi untuk nilai LCI pada 24, 48, dan 72 jam setelah vibrasi dada. Kondisi kolaps
paru pada 3 waktu pengukuran mampu untuk memprediksi pretest-LCI. Peneliti percaya
bahwa getaran dada mampu memperbaiki kolaps paru secara signifikan pada 24 jam
untuk pasien dengan ventilator dengan sputum yang tertahan dijalan nafas karena
peningkatan sekresi sputum. Selanjutnya dalam 48 dan 72 jam tidak ada peningktan
12
sekresi sputum secara kontinue, perbaikan dalam 24 jam berbeda secara signifikan
berhubungan dengan keadaan kolaps paru saat pretest.
Hasil dari analisis regresi menunjukkan, pretest DSW dan pengelompokan
klasifikasi ada 2 prediktor yang signifikan pada DSW 24 jam. Hasil mendukung
gagasan bahwa fisioterapi dada memberikan efek langsung pada hari pertama. Selain
itu, faktor prediktif DSW 48 jam termasuk DSW 24 jam, status post operasi pasien dan
riwayat PPOK. Dengan kata lain, DSW 48 jam tampaknya terpengaruh oleh jumlah
dahak yang diekskresikan sehari sebelumnya, apakah pasien dioperasi atau memiliki
riwayat PPOK. Dua prediktor paling penting dari DSW 72 jam adalah DSW 48 jam dan
pretest LCI (ketika pasien ikut dalam penelitian). Singkatnya, apakah dimonitor pada 24
jam, 48 atau 72 jam, DSW hari itu selalu menjadi prediktor penting DSW hari
berikutnya. Selain itu, DSW pada 48 dan 72 jam dipengaruhi oleh riwayat penyakit paru
sebelumnya dan kondisi kolaps paru saat pre test. Dengan demikian, jelas bahwa
fisioterapi dada perlu dilakukan pada pasien dengan morbiditas pulmonal atau dengan
kolaps paru yang serius.
Ketika dilakukan monitoring LCI pada 24, 48, dan 72 jam, peneliti menemukan
bahwa faktor prediktif untuk kolaps paru pada 24 jam meliputi status pre test, dan
klasifikasi pengelompokan. Temuan ini menegaskan gagasan bahwa ada efek langsung
dari chest vibration pada hari pertama intervensi. Prediktif faktor LCI pada 48 jam
meliputi LCI dan DSW 24 jam, dan riwayat CVA (carebrovaskuler accident). Prediktif
faktor LCI 72 jam meliputi status kolaps paru pada 48 jam dan klasifikasi
pengelompokan. Hasil ini menunjukkan bahwa kapan pun titik waktu, LCI hari tersebut
selalu menjadi prediktor LCI hari berikutnya. Selain itu, baik LCI 48 atau 72 jam selalu
berhubungan dengan chest vibration, yang lagi-lagi menegaskan keefektifan chest
vibration dalam keadaan ini, terutama untuk pasien dengan morbiditas dada atau kolaps
paru yang serius.
Intervensi keperawatan chest vibration dalam penelitian ini di desain menjadi
sederhana dan mudah dilakukan oleh perawat yang akan melakukan tindakan ini. Hal
ini berbeda dengan penelitian Templeton dan Palazzo, yang menerapkan fisioterapi
dada yang sangat rumit untuk pasien penyakit kritis yang menggunakan ventilator,
seperti membantu pernafasan secar manual, vibrasi, suction dalam posisi duduk,
inspirasi dan pergerakan otot, postural drainase dan suction. Yang mana hal itu
13
menambah beban pasien dan perawat. Sebaliknya, dalam penelitian ini tidak ada
tambahan beban baik pada perawat maupun pasien. Penelitian ini menunjukkan bahwa
intervensi keperawatan chest vibration mampu untuk menurunkan colaps paru pasien
dengan penyakit kritis, pasien dengan ventilator/ventilasi mekanik, dalam 24 jam;
kondisi pasien terus membaik dengan intervensi sampai 72 jam.
Penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang jelas dari intervensi ketika
dilakukan pada pasien dewasa dengan ventilator. Meskipun dilakukan intragoup
matching pada kelompok intervensi dan kontrol pasien dengan CVA dan riwayat
PPOK, analisis regresi menunjukkan bahwa pasien tersebut membutuhkan tipe
fisioterapi dada yang spesifik yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang unik; oleh
karena itu perlu mempertimbangkan kemampuan mereka yang jelek dalam
mengeluarkan sputum dan mengembangkan paru-paru.
Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah partisipan penelitian berasal
dari 2 unit dalam 1 rumah sakit, yang membatasi generalisasi penelitian untuk tipe unit
dan sektor kesehatan lain di Taiwan. Namun demikian, penelitian ini menunjukkan
bahwa intervensi keperawatan chest vibration aman dan merupakan metode alternatif
yang efektif untuk membersihkan paru dan dapat dilakukan pada pasien dengan
ventilator di ICU. Penelitian ini dilakukan menggunakan pedoman intervensi
keperawatan chest vibration berdasarkan literatur review dan observasi klinik. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi kelayakan pendekatan pada setting ICU. Menambahkan
intervensi ini dalam conventional positioning care lebih baik dalam mencegah kolaps
paru daripada hanya melakukan conventional positioning care. Dengan demikian,
positioning care yang dilanjutkan dengan melakukan auto vibration setiap 4 jam
merupakan intervensi yang efektif.
14