laporan kajian kritis dan gagasan pengembangan strategi … · 2018. 3. 13. · laporan kajian...
TRANSCRIPT
1
Laporan Kajian Kritis dan Gagasan Pengembangan
Strategi Pengembangan Sumber Penghidupan dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Sebangau
Ilya Moeliono dan Irawan Itta
Palangka Raya, Maret 2015
i
Rangkuman Eksekutif
Taman Nasional Sebangau, seperti kebanyakan taman n asional di Indonesia, harus hidup
berdampingan dengan desa-desa yang berada di dalam atau berbatasan dengan wilayahnya.
Keadaan itu menjadikan perlunya upaya pelibatan mas yarakat dalam upaya-upaya konservasi
suatu keniscayaan. Namun karena kepentingan masyara kat yang utama adalah mengusahakan
sumber-sumber penghidupannya (livelihood), salah satu langkah awal WWF adalah mengem-
bangkan prakarsa-prakarsa pengembangan sumber-sumber penghidupan. Suatu kajian
partisipatif dilakukan untuk merefleksikan upaya-up aya pengembangan kehidupan yang ada
dalam bingkai lingkungan kawasan Sebangau yang lebi h luas.
Kajian dilakukan dengan dua metoda secara paralel; kajian parisipatif dan survey. Kajian
partisipatif dengan cakupan pengelolaan sumberdaya alam yang luas dilakukan di 10 desa
untuk mulai melibatkan masyarakat dan mengajak mere ka merefleksikan permasalahan-
permasalah sumber penghidupan mereka serta mengembangkan gagasan-gagasan awal untuk
membangun kehidupan yang lebih baik dimasa yang aka n datang. Sementara survey dilakukan
di delapan desa dengan fokus pada aspek mata-pencah arian warga masyarakat dalam konteks
ekonomi kawasan.
Dalam pengembangan mata-pencaharian masyarakat diid entifikasi beberapa masalah “klasik”
pengembangan ekonomi masyarakat, yakni produktivita s yang rendah, kuatnya orientasi
subsisten dan lemahnya orientasi pasar, kurangnya akses terhadap modal, kurangnya akses
terhadap pasar, kompetisi internal dan lemahnya kel embagaan ekonomi masyarakat, kurang-
nya teknologi pengolahan pasca-panen. Hal-hal itu b erakibat lemahnya posisi tawar warga
masyarakat desa yang kemudian berakibat penguasaan produk dan pemasaran oleh pedagang
perantara melalui sistim perijonan.
Namun masalah livelihood utama yang diidentifikasi kajian ini adalah masalah degradasi dasar
sumberdaya alam (resource base) yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat yang
sebagian besar adalah nelayan sungai, yakni degrada si ekositem sungai Sebangau, sungai
Katingan serta anak-anak sungainya.
Secara konsisten dalam kajian ini, warga masyarakat menyampaikan informasi tentang
kecenderungan penurunan hasil tangkapan sebagai sal ah satu masalah utama. Ada beberapa
sebab yang diduga menjadi penyebab hal itu, yakni p enangkapan berlebih (over-fishing)
karena meningkatnya jumlah penangkap ikan dan cara- cara penangkapan yang “terlampau
efisien”, cara-cara penangkapan yang destruktif, dan menurunnya mutu baku air sungai
karena pencemaran. Walaupun bisa jadi semua faktor itu berpengaruh, ditengarai yang paling
bermakna adalah penurunan baku-mutu air sungai. Dug aan itu muncul selain karena
kecenderungan yang berlanjut menurunnya hasil tangk apan dari sungai, tetapi juga beberapa
peristiwa matinya ikan dalam keramba di beberapa tempat, terutama setelah terjadinya
hujan. Ironinya dalam kasus-kasus itu adalah bahwa teknologi pemeliharaan ikan dalam
keramba sesungguhnya diadopsi masyarakat justru sebagai alternatif mengatasi masalah
penurunan populasi ikan di sungai.
Setelah sungai, sumberdaya alam terpenting tentulah lahan, dan dalam hal ini yang menjadi
masalah bagi penghidupan masyarakat adalah kepastia n akses terhadap lahan dalam jangka
panjang. Beberapa persoalan kunci dalam hal ini ada lah belum jelasnya tata-batas antar
desa, batas antara desa dan Taman Nasional Sebangau , serta batas antara desa dengan
perkebunan kelapa sawit. Semua batas yang belum jel as menjadi masalah, namun yang paling
ii
dipersoalkan adalah perluasan perkebunan kelapa saw it. Persoalan akses akan lahan ini makin
terasa di desa-desa di tepian sungai yang biasa mengalami banjir yang menggenangi lahan-
lahan pertanian mereka.
Sumber penghasilan masyarakat sesungguhnya cukup be ragam, tetapi nyaris semua penghasil-
an tersebut berasal dari sumber-sumberdaya alam yang dalam dasawarsa terakhir ini menurun
dengan cepat; ikan, kayu dan berbagai hasil hutan n on-kayu semuanya mengalami penurunan,
bahkan beberapa sumberdaya alam sudah sukar diperol eh (kayu, gemor) dan beberapa
sumberdaya alam lain nyata tidak akan berkelanjutan pada tingkat eksploitasi sebagaimana
saat ini (misalnya burung dan gaharu) Dalam jangka- panjang sumberdaya alam tersebut hanya
bisa menjadi bagian dari solusi jika dikelola dan dijaga keberlanjutannya.
Rekomendasi yang paling mendasar dari hasil kajian ini adalah bahwa demi keberlanjutan
penghidupan masyarakat, dasar sumberdaya alam yang ada bukan saja perlu dijaga, tetapi
bahkan dikembangkan kembali paling tidak ke tingkat yang sama seperti dua dasawarsa yang
lalu. Artinya sebab-sebab degradasi perlu diidentif ikasi dengan lebih pasti dan dicari
pemecahannya. Kajian tentang mutu air yang telah di lakukan memperkuat dugaan terjadinya
pencemaran, tetapi belum menunjukan dengan jelas sumber pencemarannya. Kajian lebih
lanjut tentang hal ini masih diperlukan.
Upaya pengembangan mata-pencarian tetap diperlukan karena merupakan prioritas yang
praktis dan jangka-pendek bagi warga masyarakat, namun tujuan strategis jangka panjang –
yakni pemberdayaan masyarakat - perlu diberi perhat ian yang seimbang dalam pengembangan
program. Pemberdayaan dalam arti pengembangan kapas itas kelembagaan masyarakat untuk
mampu berperan secara bermakna dalam pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi
kepentingannya.
Pemberdayaan masyarakat tersebut semestinya menjadi bagian dari pemberdayaan semua
pemangku kepentingan terhadap kawasan Sebangau dalam pengembangan sistim pengelolaan
sumberdaya bersama (common property regime) dimana kepentingan-kepentingan semua
pihak bisa diakomodasikan secara berimbang dan diikuti dengan tanggungjawab yang
sepadan.
Beberapa kegiatan yang sudah berjalan sebagai bagian dari program – seperti penabatan,
pemeliharaan ikan dalam kolam terpal, perumusan dan penetapan Perdes tentang pengelola-
an sumberdaya alam tentu perlu dilanjutkan namun pe rlu ditempatkan dalam bingkai pember-
dayaan masyarakat dan pengembangan sistim pengelola an sumberdaya alam bersama. Artinya
gagasan-gagasan itu seyogyanya jangan sekedar “ditu runkan” sebagai proyek, tetapi dibahas
bersama secara kritis, dikembangkan bersama dan dilaksanakan sebagai kegiatan bersama.
iii
Executive Summary
The Sebangau National Park, like most national parks in Indonesia, must coexist with villages
that are within or adjacent to its area. This situa tion makes the need for community
involvement efforts in conservation initiatives a necessity. However, because the main
interest of the communities is their livelihood, one of the initial steps WWF has taken are
initiatives in livelihoods development. A participatory study was conducted to reflect those
livelihood development efforts in the framework of the wider Sebangau environment.
The study was conducted using two different methods in parallel; a participatory study and a
survey. The participatory study with a wide natural resource management scope was
conducted in 11 villages to start engaging communit ies and invite them to reflect on their
livelihood problems-problems and develop initial ideas to build a better life in the future.
While the survey was conducted in eight villages wi th a focus on various aspects of community
livelihoods in the context of the area-wide economy.
In the communities livelihood development efforts several "classic" problems in rural
economic development were identified, i.e. low productivity, a strong subsistence orientation
and weak market orientation, the lack of access to capital, the lack of access to markets,
internal competition and weak economic institutions of the communities. Those problems
resulted in the weak bargaining position of village people which in turn results in the
domination of products and markets by middlemen through a system of ijon1.
But the main livelihood issue identified by this study is the degradation of the natural
resource base as the main source of people’s livelihoods, mostly river fishing, that is the
degradation of the river ecosystem of the Sebangau and Katingan rivers and their tributaries.
Consistently in this study, community members expressed the downward trend of fish-catches
as one of the main problems. There are several causes are suspected to be the cause of it,
namely over-fishing due to the increased number of people fishing and "too efficient" ways of
fish-catching, destructive ways of fishing, and the decline in water quality of the river
because of pollution. Although it well be all of those factors are influential, the decline in
water quality of the river is considered the most s ignificant. Besides being due to the
continuing trend of reduced fish-catches from the r iver, this assumption also emerged
because some events in several places were a great number of fish in cages died at the same
time, especially after rains. The irony in these cases is that the technology of raising of fish in
cages was actually adopted by the communities as an alternative to overcome the problem of
the decline of fish populations in the river.
After the river, certainly the most important natural resource is land, and in this case the
issue that has become a problem in the livelihoods of the people is the long run security in
their access to land. Some of the key issues in thi s case are the lack of clarity of the inter-
village boundaries, the boundaries between the vill ages and Sebangau National Park, as well
as the boundaries of the villages with oil palm plantations. All unclear boundaries are
problematic, but the most problematic issue is the expansion of oil palm plantations. The
issue of access to land is m more felt in villages on the shores of the river that experience
regular flooding inundating their agricultural lands.
1 A system of debt bondage wereby the money lender p rovides capital on the condition that at harvest time the produce is sold only to him/her at a predetermined price.
iv
The sources of people’s income are actually quite diverse, but almost all incomes are derived
from the natural resources which in the last decade are declining rapidly; fish, timber and
non-timber forest products have all decreased, and even some natural resources has become
difficult to obtain (i.e. timber and gemor) and some other natural resources will not be
sustainable at their current levels of exploitation (e.g. birds and gaharu). In the long-term
natural resources that can only be part of the solution if they are managed and their
sustainability maintained.
The most fundamental recommendation from the results of this study is that for the
sustainability of people’s livelihoods, the natural resource base not only needs to be
maintained, but even developed back at least to the level of a decade ago. This means that
the causes of degradation should be identified more definitely and resolved. The study on
water quality which has been carried out has streng thened the suspicion of pollution,
however, it is not show the sources of the pollution. Further studies in this regard are still
needed.
Efforts to develop people’s livelihood remain necessary as it is a short-term practical priority
of the people, but the long-term strategic goals - namely empowerment - should be given
equal attention in the development of the program. Empowerment in terms of institutional
capacity building of the communities to be able to contribute significantly in the management
of natural resources into their interests.
The community empowerment should be part of the empowerment of all stakeholders in the
development of the region Sebangau shared resource management system (common property
regime) where the interests of all parties can be accommodated in a balanced and followed
by a proportionate responsibilities.
Some of the activities already underway as part of the program - such as Canal blocking, fish-
raising in the tarpaulin pools, formulation and promulgation of village regulations on the
management of natural resources would need to be continued, but needs to be placed within
the framework of people’s empowerment and development of a collaborative natural
resource management systems. This means that the ideas should not just introduced in a top-
down manner as a project, but critically discussed together, developed together and
implemented as a joint activity.
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada saat ini masyarakat kawasan Taman Nasional Sebangau tengah mengalami masalah yang
cukup besar, yakni penurunan penghasilan seiring te rjadinya degradasi sumberdaya alam yang
merupakan sumber penghasilannya. Masalah ini bermul a dimasa lalu ketika 13 perusahaan
kayu beroperasi di wilayah Sebangau, walaupun pada saat itu masalahnya belum terasa,
bahkan banyak warga masyarakat ikut serta dalam keg iatan penebangan kayu – baik yang
resmi maupun yang illegal – dan mengalaminya sebaga i sesuatu yang positif. Dan memang
pada saat itu kayu menjadi sumber pendapatan bagi b anyak pihak, termasuk warga
masyarakat yang pada saat ini mengalami akibat dari degradasi sumberdaya alam tersebut.
Dan walaupun menghadapi banyak masalah, ketika warg a masyarakat diajak berdiskusi
tentang sejarah sumberdaya alam dan segala persoalannya di desa-desa mereka, dengan
sukarela mereka berpartisipasi. Para penulis kajian ini mengakui bahwa laporan ini adalah
rangkuman dari hasil diskusi masyarakat berdasarkan data yang diungkap warga masyarakat.
Untuk itu para penulis menghaturkan terimakasih pad a semua warga masyarakat, tokoh
masyarakat, dan pimpinan masyarakat, di desa-desa y ang tercakup dalam kajian ini.
Penghargaan kami sampaikan pada warga masyarakat yang membantu pengkajian ini, bahkan
menjadi anggota tim kajian, yakni Ibrahim, Muhammad Efendi, dan Surahmansyah, dan tidak
boleh para penulis melupakan untuk berterimakakasih kepada staf akademik Universitas
Palangka Raya yang menjadi pelaksana survey, yakni Marhot H. Siregar, Iskandar Fauzi,
Pordamatra dan Bapak Reinhart Jemi
Tentu juga kepada para staf WWF dan staf BTNS yang menjadi anggota tim pengkajian kami
patut berterimakasih. Mereka adalah Dadang Riansyah , Deni Setiawan, Edy Sutarjo, Ma’mun
Ansori, Okta Simon, Suwanto, Fami, Hariadie, Devinta A., Tito Surogo,
Pada tingkat lembaga, kami menyampaikan penghargaan kami kepada Kepala BTNS, Bapak
Ir. Adib Gunawan, Ketua Lembaga Penelitian Universi tas Palangka Raya- Dosis Th. Unjung, dan
Direktur WWF-Kalimantan Tengah Ibu. Rosenda Ch. Kas ih
Secara khusus kami sampaikan apresiasi kepada Bapak Didiek Surjanto dari WWF yang menjadi
inisiator dan merancang ide kajian ini, dan juga secara aktif ikut membahas dan
mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kawasan Sebangau.
Akhirnya tim berharap bahwa semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, secara khusus
kepada stakeholder di wilayah Sebangau.
Bandung – Palangka Raya, Maret 2015
Ilya Moeliono dan Irawan Itta
vi
Daftar Isi Rangkuman Eksekutif................................ ................................................... .....i
Executive Summary.................................. ................................................... ... iii
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................... .. v
Daftar Isi ........................................ ................................................... . vi
Daftar Tabel ...................................... ................................................... ..viii
I. Kawasan Taman Nasional Sebangau .................... ............................................ 1
A. Kawasan Sebangau sebagai Wilayah Studi............. ........................................... 1
B. Program Sekamoza WWF............................................................................ 2
II. Rancangan Studi .................................... ................................................... 2
A. Tujuan Studi ....................................... ................................................... 2
B. Manfaat Studi...................................... ................................................... 2
C. Metoda dan Teknik Pengkajian ....................... ............................................. 3
1. Kajitindak Partisipatif ............................ ................................................. 3
2. Survey Sosial, Politik dan Ekonomi Desa........................................................ 4
III. Gambaran Pelaksanaan Studi ......................... ............................................... 5
A. Kajitindak Partisipatif............................ ................................................... 5
1. Pelatihan .......................................... .................................................. 5
2. Praktek Lapangan ................................... ............................................... 5
3. Pelaksanaan kajian dan perencanaan desa bersama mas yarakat ........................... 5
4. Penulisan Laporan Desa ............................. .............................................. 6
B. Survey ............................................ ................................................. 6
1. Persiapan.......................................... .................................................. 6
2. Orientasi Pewawancara .............................. ............................................. 6
3. Ujicoba Kuesioner.................................. ................................................ 7
4. Pelaksanaan Survey ................................. ............................................... 7
5. Tabulasi dan Analisa Data Hasil Survey ............. ............................................ 8
C. Analisa dan Laporan Tingkat Kawasan ................ ............................................ 8
IV. Hasil Studi 8
A. Pokok-pokok Persoalan yang Ditemukan ......................................................... 9
1. Kondisi Terkini Dasar Sumberdaya Alam........................................................ 9
a) Potensi sumberdaya alam dan pemanfaatanya:......... ................................... 9
b) Kondisi Sumberdaya Alam Saat Ini ................... .......................................11
2. Pengelolaan Usaha-usaha Masyarakat................. .........................................15
a) Jenis-jenis usaha masyarakat yang ada .............. ......................................15
b) Persoalan-persoalan yang dihadapi: ................. .......................................19
3. Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa-desa ........... ......................................21
a) Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Masyarakat........ ..................................21
b) Batas desa, akses, dan kompetisi atas sumberdaya al am ...............................22
c) Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam ............... ...................................23
d) Ancaman-ancaman terhadap sumberdaya alam........... ................................24
4. Masalah-masalah Sosial-budaya dan politik di desa.. ........................................25
a) Kelembagaan Pemerintah Desa........................ ......................................25
b) Modal Sosial dan Kondisi Sosiokultural .....................................................26
5. “Ketidak hadiran” Pemerintah....................... ...........................................28
vii
B. Refleksi dan Analisa ............................... .................................................29
1. Analisa Ekonomi .................................... ...............................................29
a) Gambaran Mata Pencaharian Masyarakat: .............. ...................................29
b) Ketergantungan pada pedagang perantara dan pemilik modal. ........................36
c) Permodalan untuk usaha. ........................... ........................................37
d) Pemasaran. ......................................... ............................................37
e) Manajemen Usaha Masyarakat: ........................ ......................................38
f) Potensi yang belum tergarap: ....................... ........................................38
g) Infrastruktur transportasi/komunikasi.............. ........................................39
2. Analisa pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. .....................................39
3. Analisa Kelembagaan ................................ .............................................42
V. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................... .............................................44
A. Kesimpulan ......................................... .................................................44
1. Sumber-sumber mata-pencaharian..................... ........................................44
2. Sumberdaya alam dan lingkungan ..................... .........................................44
B. Rekomendasi/Gagasan ................................ .............................................45
1. Pengembangan Sumber-sumber Penghidupan ............. ...................................45
2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat untuk Pelestarian Dasar Sumberdaya Alam. ................................... .............................................51
3. Pendekatan Partisipatif untuk Pemberdayaan Masyarakat..................................52
4. Pendekatan Kolaboratif pada Skala Kawasan .......... .......................................52
5. Pemberdayaan Semua Pemangku kepentingan ............ ...................................54
6. Advokasi Kebijakan ................................. ..............................................55
7. Pengelolaan Sengketa ............................... .............................................56
8. Penelitian-penelitian lanjutan ..................... .............................................57
VI. Refleksi atas Pelaksanaan Kajian Partisipatif ...... ..............................................59
VII. Penutup .......................................... ..................................................61
Lampiran-lampiran.................................. ................................................... .62
Peta Kawasan dan Desa-desa Kajian .................. ...............................................63
Lampiran 2: Laporan-laporan Kajitindak Partisipatif di Desa-desa Kawasan Sebangau.......64
Lampiran 2-1: Kajitindak Partisipatif di Kelurahan Kereng Bangkirai ...........................65
Lampiran 2-2: Kajitindak Partisipatif di Desa Hiyang Bana .......................................83
Lampiran 2-3: Kajitindak Partisipatif di Desa Talingke.......................................... 105
Lampiran 2-4: Kajitindak Partisipatif di Desa Tumbang Runen................................. 119
Lampiran 2-5: Kajitindak Partisipatif di Desa Baun Bango ...................................... 141
Lampiran 2-6: Kajitindak Partisipatif di Desa Jahanjang........................................ 164
Lampiran 2-7: Kajitindak Partisipatif di Desa Karuing........................................... 187
Lampiran 2-8: Kajitindak Partisipatif di Desa Tumbang Bulan ................................. 204
Lampiran 2-9: Kajitindak Partisipatif di Desa Perig i ............................................. 247
Lampiran 2-10: Kajitindak Partisipatif di Desa Sebangau Mulya ............................... 265
Lampiran 3: Gambaran Alat-alat Tangkap Ikan yang d igunakan Nelayan di Kawasan Sebangau ................................ ................................ 285
Lampiran 4: Rangkuman Hasil Survey Studi Mata Pencaharian Berkelanjutan di Sekitar Taman Nasional Sebangau Tahun 2014...... .......................... 288
Lampiran 5: Analisis Kualitas Contoh Air Untuk Kegiatan Budidaya Ikan di Sungai Sebangau dan Sungai Katingan............. ............................. 302
Lampiran 6: Daftar Pustaka ......................... ............................................... 313
viii
Daftar Tabel
Tabel 1: Desa Tempat Kegiatan Kajitindak partisipat if ............................................... 3
Tabel 2: Desa Sample Survey ................................................... .......................... 4
Tabel 3: Distribusi responden di masing-masing Desa sampel........................................ 4
Tabel 4: Potensi dan keberadaan sumberdaya alam menurut warga masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangau .................... ......................................10
Tabel 5: Pemanfaatan Sumberdaya alam oleh Masyaraka t di sekitar Taman Nasional Sebangau ................. ........................................10
Tabel 6: Daftar Alat Tangkap ....................... ................................................... ..16
Tabel 7: Pola Perubahan Hasil Tanggkapan Ikan di Kereng Bangkirai..............................20
Tabel 8: Penerimaan dan pengeluaran rata-rata petan i karet......................................30
Tabel 9: Pengeluaran dan Penerimaan Petani tanaman pangan menurut kategori rendah, sedang dan tinggi.................................. ..............................................31
Tabel 10: Pengeluaran dan Penerimaan Nelayan Laut .. .............................................33
Table 11: Pengeluaran dan Penerimaan Nelayan Darat . .............................................34
Tabel 12: Penerimaan Kotor dan Bersih Buruh setiap bulan.........................................35
1
I. Kawasan Taman Nasional Sebangau
Taman Nasional Sebangau yang terletak antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan
di Kalimantan Tengah secara resmi terbentuk dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 423/Menhut-II/2004 tertanggal 19 Oktober 200 4. Secara administratif Taman
Nasional dengan luas sekitar 568.700 hektar ini ter letak di Kabupaten Katingan,
Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya di provinsi Kalimantan Tengah.
Sebelum terbentuknya Taman Nasional, kawasan Sebang au merupakan hutan produksi
yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH. Keberadaan wilayah
pembalakan perusahaan pemegang HPH juga merangsang penebangan liar oleh berbagai
pihak. Illegal logging ini makin marak tidak terkendali setelah berakhirny a ijin-ijin HPH di
kawasan tersebut. Di semua desa paling tidak sebagi an masyarakat terlibat dalam
pembalakan, baik yang resmi maupun yang ilegal, dan jaman antara awal tahun 70-an
sampai dengan pertenganan tahun 2000-an di kalangan masyarakat dinamakan “jaman
kayu” dan dikenang sebagai masa saat uang mudah dip eroleh.
Dengan berakhirnya “jaman kayu” dan datangnya Taman Nasional warga masyarakat
Sebangau yang tadinya mencari penghidupan dari eksp lotasi kayu dan hasil hutan non-
kayu, kembali bekerja sebagai petani/nelayan ikan, petani/pengumpul rotan, gemor
(kulit kayu sebagai bahan obat nyamuk bakar), getah jelutung, karet, dan buah-buahan,
dan sebagainya seperti sediakala.
A. Kawasan Sebangau sebagai Wilayah Studi
Dengan latar belakang sedemikian, dapat dipahami ba hwa perlindungan terhadap
suatu kawasan dengan menjadikannya kawasan konserva si – termasuk Taman Nasional
Sebangau – sering di anggap sebagai “pembatasan” ru ang gerak oleh masyarakat yang
ada di sekitarnya. Apalagi di “jaman kayu” banyak w ilayah yang tadinya relatif tidak
terjangkau oleh masyarakat dibuka dengan jalan-jalan logging dan kanal-kanal, dan
tidak ada larangan apapun dalam mengakses dan meman faatkan sumberdaya alam di
kawasan yang dibuka tersebut.
Saat ini tercatat ada 39 desa dan kelurahan yang be rbatasan langsung dengan kawasan
Taman Nasional Sebangau, dan ada delapan desa lainn ya yang memiliki akses ke
kawasan dan memanfaatkan sumberdaya kawasan. Diperk irakan bahwa pada saat ini
ada sekitar 50.000 warga masyarakat yang menggantun gkan kehidupannya pada
sumberdaya alam kawasan.
Hingga saat ini tercatat bahwa dalam kerangka progr am Sekemoza ada 12 desa/
kelurahan yang telah mendapat bantuan program pengembangan mata pencaharian
berkelanjutan. Walaupun belum pernah diadakan evalu asi terhadap program ini,
namun berdasarkan observasi tampak bahwa program belum secara signifikan
memberikan dampak sebagimana yang diharapkan — baik dalam perlindungan kawasan
maupun dalam pengembangan perekonomian yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Karena itu dianggap perlu untuk memahami situasi pe rekonomian terkini di zona
penyangga melalui sebuah studi komprehensif, untuk selanjutnya mengembangkan
strategi pengembangan mata pencaharian berkelanjuta n yang lebih tepat sasaran dan
tepat guna.
2
B. Program Sekamoza WWF
Tentu dengan adanya Taman Nasional diharapkan bahwa kawasan Sebangau dapat
tetap terjaga kelestariannya dan sekaligus tetap da pat memberi manfaat bagi
masyarakat yang hidup di sekitarnya. Ini menjadi sa lah satu alasan mengapa World
Wide Fund for Nature (Yayasan WWF Indonesia) mengembangkan kerjasama dengan
Balai Taman Nasional Sebangau (BTNS).
Sejarah keberadaan WWF di kawasan Sebangau sudah dimulai sebelum Taman Nasional
Sebangau terbentuk, yakni sejak 2001, dengan kerjas ama dengan BKSDA Kalimantan
Tengah. Pada saat ini kerjasama itu dilanjutkan den gan BTNS dalam Proyek Sekemoza
(Sebangau-Katingan Mozaik). Beberapa kegiatan proyek ini adalah restorasi atau
rehabilitasi ekosistem gambut – antara lain dengan membendung kembali kanal-kanal
logging yang men-drainase hutan gambut itu – pengembangan s istem zonasi berdasark-
an proses pemetaan partisipatif, serta kegiatan pengembangan sumber penghidupan
(livelihood) masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masya rakat dan
mengurangi tekanan masyarakat pada kawasan Taman Na sional.
Setelah proyek ini berjalan tiga tahun, dirasa perl u untuk melihat kembali aspek
livelihood tersebut guna mencari gagasan-gagasan pengembangan strategi program
dan rencana yang lebih berdayaguna. Diharapkan bahw a kegiatan pengembangan
ekonomi masyarakat bukan saja bertujuan kesejahteraan tetapi juga merangsang dan
memperbaiki keterlibatan masyarakat dalam upaya-upa ya konservasi kawasan. Untuk
inilah kajian ini dilaksanakan.
II. Rancangan Studi
A. Tujuan Studi
Tujuan umum kajian ini adalah:
� Membangun dasar informasi untuk acuan dalam perencanaan prakarsa
pengembangan mata-pencarian ( livelihood) secara berkelanjutan di kawasan
Sebangau
� Pembelajaran dan penyadaran para pemangku kepenting an tentang keberadaan
kawasan Sebangau
� Menghasilkan beberapa rekomendasi tentang strategi pengembangan mata-
pencarian secara berkelanjutan untuk kawasan Sebang au
B. Manfaat Studi
Hasil studi ini diharapkan bermanfaat terutama seba gai salah satu acuan dalam
perencanaan desa dan kawasan bagi para pemangku kep entingan – terutama warga
masyarakat desa, Balai Taman Nasional Sebangai, WWF, dan lembaga-lembaga lain
yang berkepentingan dalam pengelolaan Kawasan Seban gau. Dan tentu kajian ini
diharapkan akan bermanfaat sebagai data sekunder un tuk studi-studi selanjutnya yang
mungkin akan diperlukan dimasa yang akan datang..
3
C. Metoda dan Teknik Pengkajian
Kajian ini menggunakan dua metoda yang berbeda, yak ni kajitindak partisipatif
(participatory action research) dan survey konvensional. Pada tahap pengumpulan
data kedua metoda itu di terapkan secara terpisah d i desa-desa sample yang berbeda
dan oleh tim peneliti yang berbeda pula. Baru pada tahap analisa umum hasil kedua
cara itu dipadukan. Secara ringkas penerapan masing -masing metoda itu adalah
sebagai berikut:
1. Kajitindak Partisipatif
Kajitindak partisipatif dilakukan di sepuluh desa melalui serangkaian diskusi dengan
warga masyarakat menggunakan teknik-teknik PRA ( participatory rural appraisal).
Masing-masing diskuisi itu terfokus pada suatu topi k yang berkenaan dengan sumber-
sumber pendapatan masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam, dan topik-topik lain
yang relevan dengan penghidupan masyarakat desa.
Setiap pertemuan di desa adalah pertemuan yang terb uka bagi semua warga desa
yang berminat untuk hadir dan diharapkan bahwa deng an demikian para peserta
diskusi adalah representasi masyarakat. Dalam setiap pertemuan warga masyarakat
diajak membahas beberapa topik atau tema yang salin g berkaitan mengikuti suatu
format yang juga terbuka.
Desa-desa yang dikaji dengan metoda kajitindak part isipatif itu adalah sebagai
berikut:
Tabel 1: Desa Tempat Kegiatan Kajitindak partisipat if
Desa/kelurahan Kecamatan Kabupaten/kota
1. Kereng Bangkirai Sabangau Palangka Raya
2. Hiyang Bana Tasik Payawan Katingan
3. Talingke Tasik Payawan Katingan
4. Tumbang Runen Kamipang Katingan
5. Baun Bango Kamipang Katingan
6. Jahanjang Kamipang Katingan
7. Karuing Kamipang Katingan
8. Tumbang Bulan Mendawai Katingan
9. Perigi Mendawai Katingan
10. Sebangau Mulya Sebangau Kuala Pulang Pisau
Di setiap desa, tahap diskusi dengan kelompok-kelompok warga masyarakat diikuti
dengan suatu Pleno Desa, yakni suatu pertemuan ting kat desa untuk menghimpun
semua informasi dan menganalisa bersama semua data yang terkumpul di desa yang
bersangkutan serta merencanakan kegiatan tindak-lan jut kajian untuk desa yang
bersangkutan berdasarkan gambaran keadaan desa yang terbangun.
4
2. Survey Sosial, Politik dan Ekonomi Desa
Mengacu pada tujuan yang ingin dicapai kajian ini, dan luasnya wilayah kajian serta
pertimbangan representasi target dan sasaran responden, maka kegiatan survey
dilakukan di delapan desa yang tersebar di empat ke camatan dari tiga kabupaten
seperti disajikan pada Tabel 2. berikut:
Tabel 2: Desa Sample Survey
Desa/kelurahan Kecamatan Kabupaten/Kota
1. Habaring Hurung Bukit Batu Palangka Raya
2. Henda Jabiren Raya Pulang Pisau
3. Garung Jabiren Raya Pulang Pisau
4. Paduran Sebangau Sebangau Kuala Pulang Pisau
5. Sei Hambawang Sebangau Kuala Pulang Pisau
6. Singam Raya Katingan Kuala Katingan
7. Bakung Raya Katingan Kuala Katingan
8. Tewang Kampung Mendawai Katingan
Sumber : Palangka Raya, Katingan dan Pulang Pisau Dalam Angka. 2013
Pemilihan kedelapan desa studi tersebut, didasarkan atas pertimbangan keterwakilan
dan analisa peluang akses masyarakatnya dalam berak tvitas di sekitar kawasan
Taman Nasional Sebangau. Berdasarkan tipe dan jenis penelitiannya, maka teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probality sampling, yaitu
convienence sampling atau sampling berdasarkan kemudahan.
Jumlah responden yang diambil untuk kedelapan desa sampel adalah 179 orang,
dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 3. Jumlah responden ini sejalan dengan
apa di syaratkan oleh Heir dkk. (1995) dalam Payang an (2005), bahwa untuk
penelitian survey, jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 150 re sponden.
Dengan demikian informasi yang digali dan diperoleh dari masyarakat melalui
responden terpilih cukup memungkinkan memberikan da ta yang lengkap kaitannya
dengan kemudahan penulisan kajian.
Tabel 3: Distribusi responden di masing-masing Desa sampel
Desa/kelurahan Jumlah sampel (KK/org)
1. Habaring Hurung 20
2. Henda 15
3. Garung 23
4. Paduran Sebangau 55
5. Sei Hambawang 25
6. Singam Raya 15
7. Bakung Raya 17
8. Tewang Kampung 12
Jumlah 179
5
III. Gambaran Pelaksanaan Studi
Secara umum kegiatan kajitindak partisipatif dan survey dapat dilaksanakan sesuai
dengan perencanaan yang dirumuskan para pelaksana k ajian. Secara ringkas proses
pelaksanaan kajian adalah sebagai berikut:
A. Kajitindak Partisipatif
Kegiatan kajitindak partisipatif dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Desember
2014 mengikuti beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Pelatihan
Pelaksanaan kajian partisipatif dilakukan oleh suatu tim gabungan yang terdiri atas
staff WWF, staf BTNS, dan warga masyarakat. Untuk mempersiapkan tim ini
diselenggarakan suatu lokakarya pelatihan dasar ten tang metodologi kajitindak
partisipatif dan teknil-teknik PRA yang akan diguna kan.
Lokakarya yang dilaksanakan selama enam hari, dari tanggal 20 sampai dengan tangal
26 Juni 2014 di Ecovillage, Palangka Raya. Lokakarya ini dimulai dengan pembaha san
konsep-konsep dasar kajitindak partisipatif (PAR atau Participatory Action Research),
pengenalan teknik-teknik kajian visual dan cara-car a fasilitasinya dengan simulasi,
dan beberapa petunjuk dalam penulisan laporan. Dalam lokakarya ini para peserta
juga mengembangkan rancangan kajian desa, rancangan teknik-teknik visualisasi
data, serta membagi diri menjadi tim pelaksana kaji an di desa.
2. Praktek Lapangan
Sebagai bagian dari proses belajar dan pengembangan rancangan dan teknik kajian
pada 20-27 Agustus 2014 suatu ujicoba metoda dan te knik dilakukan di dua lokasi,
yakni di desa Tumbang Runen dan kelurahan Kereng Bengkirai. Ujicoba ini memberi-
kan para peserta — Staf BTNS, staf WWF, dan beberapa warga desa — pengalaman
awal sebagai pemandu proses kajian serta umpan-bali k untuk penyempurnaan
metode dan teknik kajian yang akan digunakan dalam pengkajian di desa-desa
selanjutnya. Evaluasi dan perbaikan metode kajitindak dilakukan pada tanggal 28-29
Agustus 2014 di kantor Balai Taman Nasional Sebangau.
Walaupun disebut ujicoba, kegiatan kajian di desa i ni dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan data dari desa dan kelurahan tersebut t etap dilaporkan dan menjadi
bahan acuan laporan tingkat kawasan ini.
3. Pelaksanaan kajian dan perencanaan desa bersama masyarakat
Kegiatan kajian selanjutnya dilakukan di sembilan d esa yang lain. Untuk itu Tim
gabungan dibagi menjadi tiga sub-tim yang masing-masing menkaji tiga desa.
Pengkajian ke sembilan desa ini dilakukan dalam kur un waktu antara Agustus sampai
dengan Desember 2014 disesuaikan dengan jadwal prog ram WWF dan kesempatan
warga masyarakat desa yang akan dikaji. Di setiap d esa kegiatan pengkajian
dilakukan selama enam atau tujuh hari.
Setelah sosialisasi awal, para pemandu kajian menga jak warga masyarakat men-
diskusikan berbagai tema yang relevan dengan mata p encaharian dan pengelolaan
sumberdaya alam berdasarkan data yang diungkap bers ama menggunakan teknik-
6
teknik visual sebagaimana yang dikenal dalam kegiat an PRA (Participatory Rural
Appraisal). Di setiap desa pemandu kajian mengadakan paling tidak satu kali
pertemuan setiap hari — biasanya pada malam hari — yang dihadiri belasan orang
warga desa.
Bagian terakhir kegiatan di desa adalah pelaksanaan Pleno Desa, yakni pertemuan
umum warga masyarakat desa yang bersangkutan guna menghimpun semua data dan
informasi yang telah diperoleh selama tahapan pengumpulan data, menganalisa dan
merefleksikannya bersama, dan kemudian menyusun ren cana tindak-lanjut bersama.
4. Penulisan Laporan Desa
Laporan hasil kajian di setiap desa di tulis oleh masing-masing tim dan disampaikan
sebagai lampiran pada laporan ini (Lampiran 2.1 s/d 2.10). Laporan-laporan itu juga
sempat dibahas bersama dengan seluruh tim – termasuk dengan konsultan. Laporan-
laporan itu disampaikan kembali kepada masing-masing desa dan para pemangku
kepentingan yang terlibat serta menjadi sumber data untuk analisa tingkat kawasan
sebagaimana disampaikan dalam laporan ini.
B. Survey
Untuk mencapai tujuan penelitian ini ditetapkan bah wa untuk menghimpun data
primer penelitian ini akan mencakup penelitian deng an survey menggunakan sampel
dari satu populasi dengan menggunakan perangkat kue sioner sebagai alat atau
instrumen pengumpulan data, (Arikunto. 2006).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga pende katan, yaitu (1) Observasi,
(2) wawancara, dan (3) menggunakan kuesioner. Pemil ihan ketiga teknik pengumpulan
data tersebut dimaksudkan agar tim surveyor dapat mengakses data dan informasi
secara langsung dan objektif dengan cara yang dapat dipertanggngjawabkan, dan pada
gilirannya data tersebut dapat digunakan untuk kepe ntingan analisis.
Survey ini dilaksanakan untuk menemukenali kondisi di masi ng-masing desa studi dan
memahami keterkaitan berbagai aspek penghidupan ber kelanjutan di masyarakat.
Informasi/data dari lapangan akan dijadikan bahan k ajian untuk mendiskripsikan dan
menganalisa kondisi sosial ekonomi desa-desa di kawasan Taman Nasionl Sebangau.
Pelaksanaan survey mencakup beberapa tahap; mulai dari tahap persiapan sampai
pada tahap pelaksanaan sebagai berikut:
1. Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penyusunan dan pembahasan kuesioner oleh tim studi dari
Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya. Kegia tan ini dimaksudkan untuk
menghasilkan satu alat bantu/instrumen yang dapat d igunakan surveyor untuk
menggali informasi dan menghimpun data dari responden terpilih di delapan desa
sampel dalam keseluruhan wilayah studi.
2. Orientasi Pewawancara
Selanjutnya keseluruhan perangkat kuesioner yang sudah tersusun dengan pola dan
prinsip open questionaire, dibahas oleh kelima anggota Tim Survey. Tujuannya
adalah memastikan bahwa semua pertanyaan dalam kues ioner akan mampu
7
mengungkap dengan baik data dan informasi dari para responden. Pembahasan
kuesioner dilakukan melalui proses diskusi dan simulasi oleh seluruh Tim Survey
(pewawancara). Pegiatan pembahasan kuesioner dan or ientasi pewawancara
dilaksaakan selama satu hari pada tanggal 12 Agustu s 2014 di kantor Lembaga
Penelitian Universitas Palangka Raya.
3. Ujicoba Kuesioner
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang ada dapat di terapkan di lapangan dan
mampu menghimpun data-data yang dibutuhkan dalam ka jian ini, ujicoba kuesioner
dilaksanakan di Kelurahan Habaring Hurung, Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka
Raya. Seluruh Tim Survey terlibat secara langsung dalam ujicoba kuesioner i ni
dengan tetap mengikuti konsep dan jumlah sasaran re sponden yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Kegiatan ujicoba kuesioner ini berlangsung selama satu hari.
Sebelum tim melaksanakan kegiatan survey di ketujuh desa sasaran berikutnya, hasil
ujicoba kuesioner yang dilaksanakan di kelurahan Habaring Hurung dibahas kembali
oleh seluruh Tim Survey untuk memastikan apakah semua pertanyaan tepatguna,
dapat dipahami dan apakah semua data yang diinginka n oleh perangkat kuesioner
tersebut mampu dielaborasi melalui jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden
agar informasi yang diperoleh dapat dijadikan bahan dasar untuk mendeskripsikan
keadaan di masyarakat secara komprehensif.
4. Pelaksanaan Survey
Berdasarkan jadwal kegiatan survey yang telah disusun sebelumnya, maka survey
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan l etak geografis, sebaran dan
jarak desa-desa sampel. Survey di tujuh desa yang terdapat di tiga kecamatan dan
dua kabupaten dilakukan antara tanggal 13 dan 26 Ag ustus 2014.
Keseluruhan kegiatan survey lapangan dilaksanakan dalam empat tahapan dengan
masing-asing alokasi waktu yang berbeda-beda. Pertimbangan pentahapan pelak-
sanaan survey ini karena faktor geografis desa-desa sampel yang tersebar di tiga
kabupaten dan empat kecamatan serta jarak antara sa tu desa dengan desa lainnya
yang cukup jauh.
Survey lapangan di masing-masing desa sampel dilakukan dengan metode dan
pendekatan tatap muka dengan setiap responden dalam suasana yang rileks dan
santai guna membangun komunikasi dan diskusi yang n yaman serta memberikan
ruang dan kesempatan yang luas bagi responden untuk memberikan informasi dan
data tentang apa yang mereka lihat dan ketahui di d esa mereka masing-masing.
Pertemuan dan diskusi informal antara surveyor dengan responden tidak dilakukan
dengan batasan waktu tertentu, namun dilakukan deng an menyesuaikan waktu luang
dan tempat keberadaan responden. Tim Surveyor menyesuaikan diri dengan kondisi
dan situasi keberadaan responden yang ingin ditemui di lapangan.
Secara umum,rata-rata waktu yang dihabiskan untuk b erdialog, berdiskusi dan tanya
jawab dengan masing-masing responden dalam setiap perjumpaan adalah antara dua
sampai tiga jam. Wawancara diakhiri apabila surveyor menganggap bahwa informasi
yang diperoleh dari responden sudah memadai dan memenuhi apa yang diinginkan
setiap pertanyaan dalam kuesioner.
8
5. Tabulasi dan Analisa Data Hasil Survey
Tahap akhir dari rangkaian kegiatan survey adalah tabulasi data yang sudah dihimpun
dari lapangan. Data hasil tabulasi ditampilkan seca ra jelas dalam bentuk tabel dan
bagan untuk memudahkan interpretasi. Proses tabulas i dan analisis data hasil survey
lapangan dilakukan dengan komputer menggunakan software SPSS versi 12.
C. Analisa dan Laporan Tingkat Kawasan
Untuk memperoleh gambaran tingkat kawasan dilakukan analisa lintas desa ber-
dasarkan hasil kajian tingkat desa, baik kajian yan g dilakukan dengan kajitindak
partisipatif maupun dengan survey. Analisa tingkat kawasan dilakukan oleh Tim
konsultan yang merancang kajian ini dengan masukan para pemangku kepentingan.
Melalui diskusi internal Tim konsultan mengembangkan generalisasi tingkat kawasan
sebagaimana disampaikan dalam laporan kajian ini.
Ada dua Kerangka Analisa yang digunakan secara berdampingan sebagai acuan dalam
analisa tingkat kawasan ini, yakni kerangka analisa sistem pengelolaan sumberdaya
alam milik bersama (CPR/Common Property Regime atau sering juga disebut the
commons) sebagaimana yang dikembangkan oleh Elinor Ostrom 2 dan kerangka analisa
sumber penghidupan (The Sustainable Livelihoods Framework) yang dikembangkan
oleh DFID3.
Kerangka analisa CPR melihat sejauhmana keberadaan prasyarat-prasyarat suatu
sistem pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan oleh para pemangku
kepentingannya, antara lain aspek kelembagaan (atur an, organisasi, kepemimpinan,
kemampuan kerjasama), kemampuan penegakan aturan, a kses/hak atas sumberdaya
alam tertentu, dan sebagainya. Sementara kerangka a nalisa sumber penghidupan
melihat asset atau jenis-jenis modal (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal
sosial, modal fisik/buatan, modal informasi/pengetahuan) serta kecenderungan dan
kerentanannya.
IV. Hasil Studi
Berdasarkan data dan informasi dari kajian partisipatif dan survey ditemukan berbagai
pokok persoalan kawasan. Karena yang menjadi “unit analisa” kajian ini adalah kawasan
Sebangau secara umum, maka temuan-temuan yang dipap arkan berikut ini merupakan
generalisasi dari desa-desa yang menjadi sample kajian yang dianggap cukup
representatif untuk menggambarkan keadaan umum kawa san. Tentu harus dipahami
bahwa ada variasi yang cukup besar antara desa-desa kajian dan untuk setiap generalisasi
tentang keadaan umum desa-desa kawasan selalu ada d esa-desa lain yang menjadi
perkecualian.
2 Elinor Ostrom, Governing The Commons, The Evolution Of Institutions For Collective Action, Cambridge University Press,
3 www.livelihoods.org
9
A. Pokok-pokok Persoalan yang Ditemukan
Pokok-pokok permasalahan yang diidentifikasi melalui kajian partisipatif dan survey
desa dipaparkan sebagai berikut:
1. Kondisi Terkini Dasar Sumberdaya Alam
Dasar sumberdaya alam (resource base) adalah dasar penghidupan masyarakat. Di
kawasan Sebangau sebagian besar sumberdaya alam tumpuan hidup masyarakat
adalah bagian dari ekosistem gambut. Di Sebangau ek osistem hutan gambut
kondisinya masih relatif baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Juga dapat
dikatakan bahwa kawasan Sebangau memainkan peran ya ng sangat penting untuk
mengatur tata air di wilayah adminstrasi Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota
Palangka Raya. Artinya, kestabilan ekosistem kawasan Sebangau menjadi faktor
penentu kualitas hidup manusia masyarakat yang ada disekitarnya.
a) Potensi sumberdaya alam dan pemanfaatanya:
Bagian terbesar potensi ekonomi kawasan Sebangau adalah sumberdaya air,
yakni sungai, danau dan laut, disamping sumberdaya hutan, sumberdaya lahan
dan sumberdaya non-kayu, serta jasa lingkungan. Has il kajian Page & Rieley
(1998) menyebutkan bahwa hutan rawa gambut dalam ka wasan Taman Nasional
Sebangau merupakan habitat pendukung tempat ikan be rkembang biak melalui
proses pemijahan, pendewasaan dan penyedia sumber makanan. Sumberdaya
ikan yang dapat dimanfaatkan masyarakat baik untuk konsumsi dan usaha
komersial skala kecil.
Kawasan ini juga mencakup potensi sumberdaya hutan yang dapat dieksploitasi
sebagai sumber kayu, produk non-kayu seperti lateks , buah-buahan, bahan obat-
obatan, kulit kayu dan bunga. Namun pasca “jaman ka yu” sumberdaya hutan ini
tidak lagi menjadi andalan utama, bahkan diperkirak an bahwa ekploitasi kayu
dimasa lalu sudah menghabiskan sediaan kayu yang ad a sehingga pada saat ini
eksploitasi hutan tidak lagi ekonomis. Bahkan ekspl oitasi itu telah mendegradasi
hutan melampaui ambang batas kemampuan regenerasiny a sehingga dimasa
depanpun usaha kayu tidak akan lagi layak secara ek onomis.
Potensi sumberdaya lahan untuk kegiatan pertanian t anaman pangan dan
perkebunan relatif cukup baik untuk mendukung pengh idupan masyarakat yang
berusaha di sumberdaya lahan dengan pengertian bahwa bagaimanapun
kesuburan lahan Kalimantan sangat terbatas dan tida k dapat dibandingkan
dengan lahan vulkanis yang subur seperti di sebagian pulau lain di Indonesia.
Ekosistim kawasan Sebangau di dominasi oleh sungai sungai Katingan dan sungai
Sebangau serta beberapa anak sungai lainnya, juga b eberapa danau, dan ini
merupakan potensi sumberdaya alam yang diusahakan o leh masyarakat untuk
kegiatan ekonomi, terutamanya penangkapan ikan.
Survey lapangan memberikan gambaran informasi masyarakat tentang potensi
sumberdaya alam dan bentuk-bentuk pemanfaatannya. P otensi sumberdaya alam
menurut persepsi responden disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut:
10
Tabel 4: Potensi dan keberadaan sumberdaya alam menurut warga
masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangau
Pernyataan Responden
tentang Keberadaan SDA
Responden
(jumlah)
Frekuensi
(%)
Sangat banyak 71 39,66
Banyak 79 43,58
Cukup 23 12,85
Kurang 5 2,79
Kurang sekali 2 1,12
Jumlah 179 100
Sumber: data primer 2014
Tabel 4. menunjukkan bahwa menurut persepsi warga masyarakat/responden
tentang keberadaan dan potensi sumberdaya alam di d alam dan di sekitar
kawasan Taman Nasional Sebangau dapat dikatakan mas ih banyak. Hasil survey
menunjukkan bahwa sebanyak 96,10% responden (173 or ang) menyatakan bahwa
potensi sumberdaya alam masih cukup banyak untuk mendukung penghidupan
masyarakat di sekitar Taman Nasional. Keberadaan dan potensi sumberdaya alam
tersebut merupakan modal dasar bagi masyarakat untuk dapat dikelola guna
mendukung penghidupan mereka secara berkelanjutan.
Pemanfaatan sumberdaya alam tersebut tentunya didas arkan atas kemampuan
dan pengetahuan warga masyarakat serta peralatan ya ng digunakan untuk
melakukan usaha-usaha ekonomi yang ada. Jenis usaha apa yang dilakukan warga
masyarakat berdasarkan keberadaan sumberdaya alam yang ada disajukan dalam
Tabel 5 berikut.
Tabel 5: Pemanfaatan Sumberdaya alam oleh Masyaraka t di sekitar Taman
Nasional Sebangau
Pemanfaatan sumberdaya
alam oleh warga masyarakat
Responden
(Jumlah)
Frekuensi
(%)
Lahan/tanah 116 64,80
Sungai/Danau 44 24,58
Laut 14 7,82
Lainnya 5 2,79
Jumlah 179 100
Sumber: Data Primer 2014, diolah
Warga masyarakat yang berada di sekitar Taman Nasional Sebangau memanfaat-
kan berbagai jenis sumberdaya alam yang ada dengan keterampilan dan kemam-
puan mereka serta peralatan yang dimiliki. Variasi usaha masyarakat dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya lahan dan tanah mel iputi kegiatan pertanian,
perikanan darat, perkebunan palawija (sayur-sayuran dan buah-buahan).
Selanjutnya usaha-usaha masyarakat yang memanfaatka n sumberdaya alam air,
baik di sungai maupun di danau adalah sebagai nelay an pencari ikan.
11
Potensi lain yang mungkin dapat dikembangkan warga masyarakat untuk men-
ukung penghidupannya tanpa harus melakukan kegiatan ekstratif adalah meman-
faatkan jasa lingkungan untuk kegiatan rekreasi (pa riwisata), seperti potensi
sungai dan anak sungai untuk kegiatan susur sungai sambil pengamatan satwa,
menikmati pemandangan, canoeing, dan memancing danau. Pengembangan
usaha pariwisata akan mendorong dan menimbulkan efek ganda (multiplier
effect) untuk usaha-usaha seperti homestay, jasa pemandu wisata, jasa
transportasi dan sebagainya. Walaupun sesungguhnya sudah ada beberapa usaha
rintisan untuk mengembangkan pariwisata yang diprak arsai BTNS, WWF dan
warga masyarakat, seperti pengembangan home-stay dan Visitor Center serta
beberapa paket wisata alam dan budaya di di desa-de sa Jahanjang, Baun Bango
dan Karuing, upaya-upaya ini barulah beberapa praka rsa awal lokal yang belum
berkembang, dan belum lagi ada usaha untuk menghubu ngkannya dengan dunia
pariwisata yang lebih luas.
Masih dominannya masyarakat yang mengandalkan dukun gan potensi sumberdaya
alam seperti lahan/tanah, sungai/danau/laut menunju kan bahwa keberadaan
dan dukungan lingkungan harus menjadi prioritas untuk dikelola dengan
bijaksana sehingga sumberdaya alam yang ada tersebu t dapat diusahakan oleh
masyarakat secara berkelanjutan.
b) Kondisi Sumberdaya Alam Saat Ini
• Sungai dan Danau. Kawasan Sebangau merupakan ekosistim yang di domina si
oleh sungai dan danau, dan keadaan sungai dan danau itu — terutama keadaan
airnya — akan sangat menentukan kondisi ekosistim y ang lebih luas serta
sumberdaya alam yang menjadi dasar penghidupan masyarakat. Nyatanya,
menurunnya kualitas air sungai di wilayah daerah al iran sungai Sebangau dan
sungai Katingan, dan beberapa anak sungai lainnya, seperti sungai Runen, serta
kualitas air di danau Purun dan danau Tumbang Runen , menjadi salah satu
masalah yang disampaikan warga masyarakat yang terl ibat dalam kajian ini.
Demikian pula di wilayah daerah aliran sungai Seban gau (antara Kereng
Bangkirai dan Paduran Sebangau), di beberapa tempat kelancaran transportasi
sungai terganggu karena peningkatan laju pendangkal an dan penyempitan
sungai karena suburnya tumbuhan bakung dan rasau di sisi kiri dan kanan
sungai. Namun karena lahan dan semua tanaman yang a da senantiasa dalam
keadaan basah, luapan air tersebut juga mempunyai d ampak positif, yakni
menghambat meluasnya sebaran area lahan yang terbak ar.
Ditengarai bahwa salah satu penyebab menurunnya kua litas air sungai dan
danau di kawasan sekitar Taman Nasional Sebangau ad alah pencemaran dari
aktivitas perkebunan sawit, antara lain akibat pemu pukan dan penyemprotan
tanaman sawit dengan pestisida dan herbisida. Di Paduran Sebangau, misalnya,
warga masyarakat yang menjadi buruh di kebun sawit menyampaikan informasi
tentang jumlah pupuk dan pestisida yang digunakan d i lahan bekas konsesi HPH
yang pada saat ini telah menjadi kebun sawit dan ba gaimana tatah (parit-parit
besar yang dibuat untuk transport kayu) kini menjad i parit drainase kebun sawit
dan mengalirkan air yang mengandung pupuk dan pesti sida ke sungai.
12
Menurunnya kualitas air karena kandungan bahan penc emar yang melebihi
ambang batas yang diperkenankan tentunya berpengaru h negatif pada habitat
ikan sungai dan payau, yakni berkurangnya populasi ikan. Diduga bahwa hal
inilah yang telah dan sedang terjadi serta mengancam mata pencaharian
penduduk sebagai nelayan. Nyatanya situasi ini menj adi masalah tersendiri bagi
masyarakat, dan di beberapa desa sebagian warga mas yarakat telah beralih ke
usaha lain seperti menjadi buruh di perkebunan kela pa sawit untuk menjaga
kesinambungan penghidupannya.
Pada musim kemarau beberapa danau yang ada di wilay ah studi mengalami
penurunan volume air dan kekeringan. Menurunnya vol ume air danau pada
musim kemarau menimbulkan dampak negatif berupa menurunnya populasi ikan
dan biota air lainnya. Pada situasi danau mengalami kekeringan, maka kayu-
kayu dan tumbuhan lainnya yang ada disekitarnya men gering sehingga mudah
terbakar, dan memang kebakaran seperti itu dilaporkan sering terjadi.
• Hutan: Kayu dan Hasil hutan Non-kayu. Sebelum ditetapkan menjadi taman
nasional, Kawasan Sebangau pernah menjadi wilayah operasi 13 perusahaan
kayu, yang tentunya menunjukan bahwa di masa lalu k ayu menjadi sumberdaya
alam utama yang menggerakan perekonomian daerah ini . Namun “jaman kayu”
— seperti warga masyarakat kawasan menyebutnya, yak ni masa perusahaan-
perusahaan kayu pemegang hak pengusahan hutan (HPH) beroperasi dan illegal
logging marak — telah berlalu dan potensi kayu hutan yang ada (standing stock)
tidak lagi layak untuk dieksploitasi secara ekonomi s seperti di masa yang lalu.
Salah satu faktor atau penyebab terjadinya penuruna n sumberdaya alam hutan
adalah kebijakan pemberian ijin HPH dan kemudian ij in konversi kawasan hutan
sekunder menjadi areal perkebunan sawit. Kondisi in i menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan karena adanya perubah an struktur vegetasi dari
multikultur menjadi monokultur. Disamping itu juga kegiatan pembakaran
lahan dan hutan, baik disengaja ataupun tidak disen gaja, merupakan salah
faktor penyebab menurunnya kualitas sumberdaya huta n.
Dari aspek legal, belum jelasnya tata batas lahan masyarakat dengan wilayah
Taman Nasional Sebangau, menjadi persoalan bagi masyarakat yang berusaha di
hutan; mereka mengalami kesulitan untuk mengetahui sampai dimana mereka
boleh mengambil kayu dan hasil hutan non-kayu.
• Lahan. Seperti telah diuraikan di bab pendahuluan, ciri utama kawasan
Sebangau adalah adanya hamparan lahan gambut yang l uas. Walaupun secara
umum kesuburannya terbatas, salah satu faktor pendukung untuk dapat
memanfaatkan potensi lahan ini secara optimal adalah dukungan infrastruktur
pertanian seperti saluran irigasi. Namun kondisi yang ditemui di wilayah kajian
menunjukkan bahwa saluran irigasi yang ada tidak da pat difungsikan secara
sempurna — baik karena terjadinya pendangkalan oleh endapan tanah ataupun
kerusakan infrastrukturnya — sehingga supply air ke persawahan terhambat.
Keadaan ini terjadi antara lain di desa Bakung Raya , Singam Raya, Talinke, dan
beberapa desa lainnya; areal persawahan yang ada ti dak dapat dialiri oleh
saluran irigasi yang baik, sehingga hasil panen masyarakat tidak mencapai hasil
yang maksimal.
13
Di desa-desa lain, antara lain Tumbang Runen, Baun Bango, dan Talingke, lahan
pertanian yang ada berada di wilayah genangan sunga i dan tergenang selama
beberapa bulan setiap tahunnya. Dalam masa singkat lahan itu tidak tergenang
warga masyarakat memanfaatkannya untuk menanam tanaman umur pendek
seperti palawija.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, sebag ian warga masyarakat yang
awalnya bekerja sebagai petani sawah memutuskan unt uk mencari pekerjaan
lain, seperti beralih menjadi buruh tani di wilayah yang lebih memungkinkan
untuk memperoleh hasil pertanian tanaman pangan (pa di) lebih baik atau
menjadi buruh di perkebunan sawit.
Selain itu, ada sebagian warga masyarakat yang tida k mengolah lahannya.
Menurut para petani lain yang mengolah lahannya, ha l ini menjadi persoalan
karena lahan-lahan yang tidak diurus itu kemudian m enjadi sumber hama dan
penyakit tanaman yang menyerang tanaman di lahan-la han lain di sekitarnya.
• Jasa lingkungan. Ekosistem memberikan berbagai manfaat bagi penghidupan
manusia, dan manfaat-manfaat itu kemudian dikenal d engan jasa lingkungan
(environmental services). Jasa lingkungan itu muncul dari interaksi berbagai
komponen dalam ekosistem sehingga menilai kondisi jasa lingkungan nyaris
sama dengan menilai lingkungan itu sendiri. Ketika lingkungan itu terdegradasi
dan fungsi-fungsi ekosistem terganggu maka kapasitas penyediaan jasa
lingkungan pun menurun. Beberapa jasa lingkungan kawasan Sebangau dan
kesan umum tentang keberadaannya yang diperoleh dar i kajian adalah:
� Sistem produksi pangan. Salah satu jasa lingkungan yang penting dalam
sistem produksi pangan adalah daur zat hara yang menyuburkan tanah.
Namun ketika di kawasan Sebangau kebakaran lahan se ring terjadi – apalagi
ketika warga masyarakat membuka kebun dengan membak ar semak-belukar
– daur zat hara itu terganggu. Pembakaran pada saat pembukaan dan
pembersihan lahan mereduksi bahan organik dalam biomassa menjadi arang,
abu, dan asap, dan kehilangan bahan organik merusak struktur (kegemburan)
tanah dan meningkatkan kerentanannya terhadap erosi . Abu sisa pembakar-
an memang melepaskan beberapa mineral yang menyubur kan tanaman,
tetapi ini kesuburan yang hanya bermanfaat untuk wa ktu yang singkat.
Hulu sungai, danau dan genangan di wilayah Taman Na sional juga menjadi
tempat pemijahan ikan dan sumber indukan ikan lokal yang dibudidayakan.
Berbagai jenis ikan yang ditangkap di sungai atau d ibudidayakan adalah
antara lain pepuyu, gabus, lais, kapar, miau, tapah, patung, kerandang,
biawan, jelawat, patin, pipih, peang, kihung, kemancung, lawang, seluang,
kalakasa, dan lain-lain. Bisa jadi gangguan di lokasi pemijahan menjadi salah
faktor penyebab menurunnya populasi ikan dan hasil tanggkapan.
� Penyediaan air bersih dan penyerapan bahan pencemar. Salah satu jasa
lingkungan adalah filtrasi air, dan sampai batas te rtentu lingkungan dapat
menyerap berbagai bahan pencemar dan menghasilkan a ir bersih. Namun
walaupun lingkungan dapat menyerap berbagai polutan , ditengarai bahwa
pencemaran yang telah terjadi telah melampaui amban g batas kemampuan
lingkungan untuk menetralkannya. Selain mempengaruh i populasi ikan,
14
karena kebanyakan warga masyarakat juga menggunakan sungai sebagai
sumber air bersih untuk keperluan rumah-tangga, polusi sungai yang
melampaui ambang batas kapasitas lingkungan itu jug a menjadi persoalan
kesehatan masyarakat.
� Regulasi tata air. Semua hutan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air
yang berlebih ketika hujan dan melepaskannya kemudi an dalam sungai
setelah hujan reda sampaipun pada masa kemarau. Kap asitas hutan gambut
dalam penyimpanan dan pelepasan air itu bahkan lebi h tinggi dari hutan
lainnya. Karena kawasan Sebangau didominasi oleh hu tan gambut, semesti-
nya tata-airnya baik dan terjaga. Nyatanya warga ma syarakat peserta kajian
secara konsisten menyebutkan bahwa frekuensi dan in tensitas banjir dan
kekeringan telah meningkat, dengan kata lain fungsi jasa lingkungan
kawasan Sebangau dalam regulasi tata-air telah menu run.
Diduga bahwa salah satu penyebab menurunnya fungsi ekosistim ini adalah
karena kanal-kanal transportasi kayu yang dibuat di “jaman kayu” justru
menjadi drainase hutan gambut, bahkan di perkebunan sawit saluran
drainase dibuat dengan sengaja. Membangun tabat ( canal blocking) sebagai
salah satu upaya mengembalikan fungsi tata-air ekos istim gambut sudah
dimulai walaupun skalanya masih terbatas dibandingkan dengan skala
persoalannya.
� Pengendalian hama. Ekosistem yang sehat dicirikan oleh keseimbangan
antara berbagai komponen dalam ekosistim, antara la in keseimbangan
antara berbagai hewan dan habitatnya, termasuk hewa n yang berpotensi
menjadi hama. Dalam keseimbangan ekologis tersebut, berbagai populasi
berimbang dan saling menyeimbangkan. Namun dilaporkan bahwa di ber-
bagai desa di kawasan Sebangau sudah terjadi pening katan gangguan hama
kera, babi hutan, dan burung. Salah satu dugaan men gapa hal itu terjadi
adalah karena penyempitan dan gangguan dalam habita t hama yang
bersangkutan.
� Penyediaan tanaman obat. Kajian menunjukan bahwa beberapa warga
masyarakat biasa mencari tanaman obat di kawasan Taman Nasional.
Walaupun tidak banyak orang yang mengumpulkan tanaman obat dan hanya
digunakan untuk kebutuhan lokal, fitofarmaka ini bi sa jadi merupakan salah
satu sumberdaya alam kawasan yang baru sedikit tere ksplorasi.
� Rekreasi dan nilai estetika. Kawasan Taman Nasional Sebangau bisa
dikatakan cukup indah. Walaupun keindahan alam itu sesuatu yang sangat
abstrak dan subjektif, keindahan khas hutan gambut di wilayah Taman
Nasional bisa dilihat sebagai suatu jasa lingkungan yang potensial untuk
dimanfaatkan, Saat ini baru ada beberapa upaya rint isan awal dalam
memanfaatkannya dengan pengembangan pariwisata atau wisata alam.
� Pengendalian perubahan iklim. Salah satu jasa lingkungan yang makin
mengemuka dengan berkembangnya kesadaran tentang pemanasan global,
perubahan iklim, dan efek gas rumah kaca dalam hal itu, adalah fungsi dan
potensi hutan gambut dalam mengikat karbon guna men gurangi pelepasan
gas rumah kaca tersebut. Namun dengan laju degradas i lahan yang terjadi di
15
masa lalu, kapasitas jasa lingkungan kawasan Sebangau dalam pengendalian
perubahan iklim ini sudah jauh berkurang, walaupun begitu di kawasan
hutan yang masih ada potensi ini tetap ada.
Salah satu upaya untuk memotivasi pelibatan masyara kat dan pemangku
kepentingan lainnya dalam pemeliharaan dan peningka tan jasa lingkungan
ini telah dikonseptualisasikan sebagai skema REDD+. Upaya rintisan skema
sejenis ini telah diprakarsai di Kabupaten Pulang P isau walaupun skema
pembagian manfaat melalui PES belum terwujud.
� Ilmu pengetahuan. Peluang kawasan hutan gambut kawasan Sebangau unt uk
memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu penget ahuan sangat
potensial dan memang sudah ada berbagai penelitian yang dilakukan BTNS,
WWF dan lembaga lainnya. Juga sudah ada prakarsa Un iversitas Palangka
Raya (UNPAR) yang telah mendirikan laboratorium lapangan untuk penelitian
ekosistem gambut CIMTROP (Centre for International Management of
Tropical Peat). Yang barangkali masih patut menjadi pertanyaan adalah
bagaimana penelitian-penelitian itu memberikan manf aat terhadap
pengelolaan kawasan dan manfaat kepada warga masyar akat kawasan.
Berbagai jasa lingkungan yang lain seperti pengurangan potensi bencana,
sumber plasma nutfah, sumber enerji, dan sebagainya belum terkaji dan patut
dieksplorasi dimasa yang akan datang.
2. Pengelolaan Usaha-usaha Masyarakat
a) Jenis-jenis usaha masyarakat yang ada
Pada saat ini jenis-jenis usaha masyarakat yang ada tidaklah banyak berbeda dari
apa yang telah teridentifikasi pada kajian-kajian s ebelumnya4,5. Jenis-jenis mata
pencaharian masyarakat di kawasan Sebangau yang dis ebutkan dalam kajian-
kajian tersebut sangat beragam, antara lain penangk ap ikan; pengumpul hasil
hutan seperti getah jelutung, kulit gemor, rotan, damar, getah kayu meranti,
pantung, madu, anggrek, sayur-sayuran hutan, jamur/ kulat, dan berbagai
tanaman obat; pemburu hewan seperti rusa, kijang, k ancil, babi-hutan, burung;
petani; pedagang, baik pedagang pengumpul maupun pe ngusaha warung;
pegawai; tukang, penebang kayu; dan sebagainya.
Secara umum semua jenis mata-pencaharian tersebut masih ada, perkecualian-
nya adalah pekerja kayu yang nyaris tidak ada lagi. Yang juga patut menjadi
perhatian adalah bahwa hampir tidak ada warga masya rakat yang hanya me-
nekuni satu mata-pencaharian saja; semua warga masy arakat biasa “merangkap”
beberapa mata pencaharian dan beralih dari satu mat a-pencaharian ke mata-
pencaharian lainnya menurut musim dan keadaan. Arti nya, jumlah warga
masyarakat yang menekuni jenis mata-pencaharian ter tentu meningkat dan
menyurut menurut musim, lokasi, sifat sumberdaya alamnya, serta tingkat
4 Adri Aliayub, Laporan Survey Pendahuluan Sosial-Ekonomi Dan Monografi Desa Di Sekitar DAS Katingan dan Sebangau Kalimantan Tengah, WWF Indonesia, Proyek Konservasi Habitat Orangutan Sebangau, Kalimantan Tengah, September 2002
5 Edutama Envirocare
16
permintaan dan harga pasar. Fluktuasi musiman ini d i desa-desa kajian dapat
dilihat dalam Laporan-laporan Kajian Desa yang dilampirkan pada Laporan ini
(Lampiran 2).
Yang menjadi pokok perhatian utama kajian ini adala h beberapa mata
pencaharian utama yang berbasis sumberdaya alam.
• Nelayan sungai. Karena alur migrasi penduduk dimasa lalu mengikuti sungai,
nyaris semua desa yang dikaji terletak di tepian sungai. Karenanya dapat di-
pahami bahwa sejak desa-desa itu terbentuk antara t ahun 40-an dan 50-an,
menangkap ikan di sungai telah menjadi sumber mata- pencaharian utama
kebanyakan warga masyarakat kawasan Sebangau. Bahka n lebih dari itu,
nelayan bukan sekedar mata pencarian dan sungai buk an sekedar habitat ikan
untuk ditangkap, tetapi menjadi nelayan sudah menja di gaya hidup dan
interaksi dengan sungai sudah menjadi budaya masyar akat kawasan Sebangau.
Masyarakat nelayan kawasan Sebangau telah mengemban gkan pengetahuan
yang kaya dan teknologi tepatguna dalam hal perikan an sungai sebagaimana
tergambar dari keragaman alat-alat tangkap yang dip ergunakan. Cara-cara
menangkap ikan menggunakan berbagai alat tangkap te rsebut merupakan
warisan nenek moyang. Alat-alat tangkap tradisional dibuat dari bahan-bahan
alam seperti bambu dan rotan, walaupun belakangan a da pula yang dibuat dari
bahan-bahan modern seperti kawat dan jaring plastik atau nylon.
Para nelayan mengunakan berbagai alat tangkap yang berbeda tersebut
disesuaikan dengan kondisi air, tempat penggunaan a lat tersebut, jenis ikan
yang diburu dan kedalaman relung habitanya di sunga i, cuaca dan musim, dan
sebagainya. Beragam alat tangkap tersebut tersaji p ada Tabel 6 sebagai berikut
sementara dokumentasi foto di sajikan sebagai Lampi ran 3.
Tabel 6: Daftar Alat Tangkap
Nama Jenis
Alat Tangkap Lokasi Penggunaan Musim Jenis ikan
1. Pengilar kakari Di tepi-tepi sungai dan danau Banjir Kakari, Banta, Seruang
2. Ancau Danau tempat rawa–rawa Kemarau Banta, Seruang
3. Rawai Danau , rawa–rawa, pingir sungai
Banjir – kemarau Baung, Tauman, Patin
4. Jabak Danau dan rawa, di pinggir sungai
Kemarau dan jika danau banjir
Baung
5. Rengge (ber-bagai ukuran)
Danau dan sungai Kemarau dan banjir
Semua jenis ikan
6. Salambau Danau dan sungai kecil Awal air banjir dan awal musim kemarau
Semua jenis ikan
7. Tamba Pinggir sungai dan danau Banjir dan kemarau
Udang
8. Kambam Rawa Banjir Kakapar, Patung, Mihau, Lele
9. Banjur Rawa dan danau Banjir Gabus
17
Nama Jenis
Alat Tangkap Lokasi Penggunaan Musim Jenis ikan
10. Lunta/jala Danau / sungai Kemarau Semua jenis
11. Pengilar Sungai dan danau Kemarau / banjir Semua jenis
12. Pasuran Di pinggir sungai/ danau/ rawa
Banjir Banta/ Seruang
13. Wuw Rawa Banjir Kakapar, Gabus, Lele, Mihau
Ketika di masa lalu transportasi masih menjadi kendala, kebanyakan hasil
tangkapan dijual sebagai ikan kering, namun sejak t ahun 80-an mulai ada
penampung ikan hidup/segar dan saat ini sebagian be sar hasil tangkapan dijual
dalam kondisi hidup segera setelah ditangkap. Namun persoalannya kemudian
adalah bahwa pada musim ikan banyak dan banyak nela yan menjual ikannya
pada saat yang bersamaan, harga ikan jatuh dan bahk an bisa tidak laku terjual
sehingga nelayan mengalami kerugian.
Musim ikan biasanya di awal musim air pasang atau d alam bulan November
sampai Januari dan di musim air mulai surut pada bu lan Mei sampai Juli. Musim
paceklik atau musim sulit mendapatkan ikan biasanya bulan Februari sampai
April dan bulan Junidampai Oktober, waktu musim ini bisa bergeser lebih cepat
dan juga bisa mundur. Mulai tahun 2012 musim-musim ini dirasakan tidak
menentu dan sulit untuk diperkirakan.
Pada musim sulit mendapatkan ikan, sebagian nelayan ada yang bekerja
mencari getah Gemor, sebagian mencari burung, sebag ian bertukang dan
sebagian ada yang menjadi buruh tebas tebang.
• Nelayan laut. Di dua desa pesisir — yakni desa Sae Hambawang dan Paduran
Sebangau — mata pencaharian warga desa yang utama a dalah nelayan laut.
Nelayan menangkap ikan dengan perahu dengan awak du a orang, seorang
sebagai juru mudi dan juru mesin serta satu orang sebagai pengendali alat
tangkap. Usaha ini terutama menghasilkan udang papa y, udang induk dan ikan
laut yang kemudian dikeringkan.
Beberapa persoalan yang disampaikan masyarakat adalah antara lain;
kurangnya modal usaha, kurangnya ketrampilan dalam mengelola sumberdaya
perikanan laut, kurangnya teknologi pasca panen seh ingga tidak dapat
meningkatkan nilai jual udang papay dan undang wind u, kurangnya tempat
penjualan ikan sehingga nelayan hanya menunggu pemb eli yang datang,
kurangnya informasi harga jual ikan, ketergantungan pada cuaca karena apabila
cuaca buruk mereka tidak dapat melaut dengan perahu yang relatif kecil, serta
harga bahan bakar minyak yang meningkat.
Namun dari perspektif yang lebih optimistis dapat d ilihat bahwa kebutuhan
pasar akan ikan laut, udang papay, dan undang windu terus meningkat.
• Petani. Di semua desa bertani adalah sumber pendapatan yang penting. Hanya
di satu desa — desa Habaring Hurung — bertani adala h penghasilan utama yang
dominan. Barulah di desa-desa transmigrasi — yakni desa Singam Raya, Bakung
18
Raya dan Paduran Sebangau — pertanian dilakukan den gan lebih intensif dan
menjadi pekerjaan utama.
Walaupun di desa-desa nelayan di sepanjang sungai S ebangau dan Katingan
mata-pencarian yang utama adalah nelayan, kebanyaka n warga masyarakat
juga bertani. Pertanian yang dilakukan pada umumnya adalah pertanian lahan
kering (ladang) dengan tanaman pangan pada tingkat subsisten untuk konsumsi
sendiri. Salah satu alasan yang disebutkan adalah b ahwa warga masyarakat
masih belum memahami bagaimana bercocok tanam di lahan gambut.
Beberapa masalah lain yang disebutkan adalah antara lain; kesulitan mencari
bibit, pupuk dan obat-obatan, tidak adanya pendampi ngan dari PPL, seringnya
lahan pertanian kebanjiran, kesulitan pemasaran has il panen, pendangkalan
irigasi sekunder maupun tersier, serta tidak adanya traktor.
• Petani karet. Di beberapa desa, antara lain desa-desa Henda, Garu ng, dan
Talingke, sebagian besar masyarakat memperoleh penghasilan yang cukup
berarti dari perkebunan karet sebagai penyadap dan pengolah awal getah karet
menjadi lateks.
Permasalahan yang dihadapi para petani dan penyadap karet adalah masih
kurang dipahaminya budidaya karet dan pengolahan la teks secara baik. Hal ini
berakibat rendahnya kualitas dan harga jual karet. Selain itu, warga
masyarakat menggunakan bibit lokal (cabutan) yang t idak diketahui kualitas
pohon induknya karena mendapat kesulitan dalam menc ari karet bibit unggul.
Juga harga dan ketersediaan pupuk dan herbisida men jadi keluhan para petani.
Masalah lain yang dihadapi para petani karet adalah kebakaran dimusim
kemarau dan kebanjiran di musim hujan, dan tantanga n khas dalam berkebun
karet di lahan gambut yang selalu basah.
• Pengumpul hasil hutan. Di hampir semua desa sebagian warga masyarakat
mengumpulkan hasil hutan. Dimasa lalu sebagian warg a masyarakat menjadi
pekerja kayu, namun saat ini para pengumpul hasil h utan mengumpulkan hasil-
hasil hutan non-kayu. Jenis hasil hutan yang dikumpulkan tergantung lokas i
desa, wilayah yang dapat diakses dan musim, serta mencakup antara lain
gemor, getah pantung, jelutung, rotan, tanaman obat -obatan, berbagai jenis
burung (antara lain Pergam, Punai, Cucak hijau), damar, dan sebagainya.
Namun upaya mengumpulkan hasil hutan itu dalam keba nyakan hal bukanlah
sebagai gantungan hidup masyarakat yang utama, teta pi hanya sebagai sumber
penghasilan sekunder, tertier atau bahkan sebagai k egiatan yang hanya
dilakukan sewaktu-waktu dan bukan terutama untuk me mperoleh penghasilan.
Pengumpulan hasil hutan non-kayu tertentu sering me rupakan kecenderungan
yang hanya berlangsung selama waktu tertentu. Ketik a sumberdaya alamnya
berkurang atau harganya menurun sehingga usaha dan biaya pengumpulannya
tidak lagi ekonomis, warga masyarakat pelakunya dengan segera menghentikan
kegiatan ini. Pengambilan pantung, rotan, dan jelut ung, misalnya, menurun
ketika harganya menurun dan meningkat kembali ketik a harganya membaik.
Selain dikumpulkan dari hutan, di beberapa desa rotan juga sudah dibudidaya-
kan dengan penanaman di pinggir kampung. Namun ini bukannya tanpa
19
masalah; banyak warga masyarakat belum memiliki pengetahuan bagaimana
budidaya rotan yang berkualitas, jika setelah penanaman terjadi banjir maka
tanaman rotan tidak subur dan bahkan mati, apabila musim kemarau panjang
kebun rotan sering kebakaran dan rotan pun mati, pa da saat panen harga jual
menurun, sementara untuk memberi nilai tambah warga masyarakat tidak
memiliki ketrampilan dalam pengolahan rotan (anyaman)
Suatu rumpun rotan semestinya dapat di panen setiap dua sampai lima tahun,
tetapi sering terjadi bahwa karena kebutuhan ekonom i walaupun belum
waktunya rotan sudah dipanen dengan akibat bahwa mu tu rotan belum baik dan
harga jualnya rendah.
Untuk memberi nilai tambah dan mengatasi harga yang terlampau rendah,
sesungguhnya rotan dapat diolah, namun banyak warga masyarakat tidak
memiliki ketrampilan dalam pengolahan rotan (anyaman)
• Buruh. Di kebanyakan desa sebagian kecil warga masyarakat (antara 5 – 15%)
bekerja sebagai buruh; antara lain sebagai buruh tani, buruh perkebunan,
buruh tambang pasir, buruh bangunan, dan sebagainya .
Dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit dan ja lan, serta didorong oleh
menurunnya pendapatan dari sumber-sumber lain, di beberapa desa pekerjaan
sebagai buruh perkebunan sawit meningkat dan bahkan menjadi mata-
pencaharian pokok sebagian besar warga masyarakat, antara lain di desa Henda
dan Paduran Sebangau (Sei Bantanan, 60%), Singam Ra ya (80%), dan Bakung
Raya (60%).
b) Persoalan-persoalan yang dihadapi:
Dalam berbagai mata-pencaharian itu, selain beberap a masalah yang sudah
disebutkan, warga masyarakat menghadapi berbagai pe rsoalan, antara lain:
• Ketersediaan sumberdaya alam yang menurun. Kecenderungan yang paling
mengkhawatirkan yang disebutkan warga masyarakat ne layan di hampir semua
desa kajian adalah menurunnya hasil tangkapan ikan sungai. Penyebab yang
disebutkan adalah berkurangnya populasi ikan karena pencemaran dan
kerusakan lingkungan, penangkapan yang berlebih, da n teknologi penangkapan
yang merusak (strum, racun, dan jaring dengan mata- jaring yang kecil).
Masyarakat di desa-desa sepanjang sungai sudah menj adikan penangkapan ikan
sumber mata-pencahariannya yang utama sejak tahun 5 0-an. Degradasi sumber-
daya alam yang menjadi dasar mata-pencaharian utama itu mulai terjadi sejak
tahun 70-an, walaupun pada saat belum terlalu diras akan, apalagi pada saat itu
pula banyak warga masyarakat nelayan ikut bekerja d i hutan. Pada tahun 1997
setelah perusahaan-perusahan kayu ditutup dan menin ggalkan kawasan
Sebangau, hasil tangkapan meningkat kembali untuk k emudian agak stabil
selama beberapa tahun, namun sejak tahun 2000 terja di penurunan yang
drastis yang masih berlanjut pada saat ini. Sebagai ilustrasi pola tersebut
berikut dipaparkan kasus yang terjadi di desa Kareng Bangkirai, namun pola
yang mirip terjadi pula di desa-desa lain.
20
Tabel 7: Pola Perubahan Hasil Tanggkapan Ikan di Kereng Bangkirai
Tahun Gambaran Keadaan
1952 Warga masyarakat sudah menjadikan penangkapan ikan sebagai sumber penghasilan. Ikan hasil tangkapan dikeringkan dan dijual ke penampung ikan asin atau dibawa ke Palangka Raya menggunakan sampan dan ke Banjarmasin menggunakan kapal layar. Pada saat itu ikan yang diambil adalah ikan berukuran sedang, sedangkan ikan berukuran besar dan kecil tidak diambil karena menurut masyarakat nelayan saat itu ikan besar menjadi induk yang menghasilkan anakan, sedangkan ikan kecil dibiarkan besar sebelum bisa ditangkap.
1984 Mulai ada penampung ikan hidup
1972 Perusahaan kayu ramin mulai masuk ke wilayah Sungai Sebangau di daerah Kahui dekat dengan pemukiman Angah saat ini. Ketika perusahaan mulai beroperasi sudah mulai ada pencemaran obat kayu Ramin yang digunakan oleh perusahaan di pinggiran sungai Sebangau.
1972 – 1997
Ikan banyak walau dirasakan sudah ada penurunan, namun hasil tangkapan masih mencukupi kebutuhan nelayan
1997 Setelah perusahaan kayu tutup dirasakan hasil tangkapan ikan meningkat
1997 – 2000
Hasil tangkapan ikan dirasakan tidak terjadi penurunan dan tidak terjadi peningkatan.
2000 – 2014
Hasil tangkapan ikan dirasakan semakin menurun
2014 Hasil tangkapan ikan dirasakan sangat menurun. Jumlah nelayan warga Kereng Bangkirai menurun sampai tinggal 70% dari jumlah semula
Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam hal sumberdaya hutan. Seperti
yang telah disebutkan, kayu tidak lagi menjadi sumb er mata-pencaharian
sementara hasil hutan bukan kayu juga sudah sangat berkurang. Jelutung dan
gemor, misalnya, sudah sukar diperoleh di wilayah-wilayah di luar kawasan
Taman Nasional, sediaan yang masih ada berada jauh ke dalam wilayah Taman
Nasional Sebangau, sementara beberapa areal jelutung yang tadinya lebih
mudah diakses sudah dibuka dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.
• Kendala dalam Produksi dan Pemasaran. Hasil tangkapan ikan, hasil per-
tanian serta hasil hutan non-kayu di desa-desa di h asilkan dengan cara-cara
tradisional dan pada skala yang terbatas untuk pasa r yang terbatas pula. Selain
karena degradasi sumberdaya alam, keterbatasan produksi juga disebabkan
oleh keterbatasan modal, teknologi, akses terhadap sarana produksi, dan
pengetahuan. Namun pada saat ini, kalaupun hasil pr oduksi dapat ditingkatkan,
karena pemasaran terbatas, peningkatan produksi itu dengan sendirinya akan
menyebabkan harga jual menurun. Menyimpan stock untuk dijual ketika harga
membaik pun tidak dapat dilakukan karena teknologi pasca panen yang ter-
batas maupun kebutuhan uang yang segera untuk memen uhi keperluan ekonomi
rumah-tangga.
• Keterbatasan Pengetahuan Teknis. Bagaimana bertani secara produktif di
lahan gambut, bagaimana menanam dan memelihara beni h karet unggul,
bagaimana mengendalikan hama dan penyakit tanaman a dalah beberapa
pertanyaan warga masyarakat yang menggambarkan kend ala keterbatasan
pengetahuan dalam aspek-aspek teknis pengelolaan sumberdaya alam.
21
• Kurangnya Pengetahuan Usaha. Usaha/mata-pencaharian warga dijalankan
dengan pola-pola tradisional yang berkembang di masa lalu dan diwariskan dari
generasi ke generasi nyaris tanpa perubahan. Hal in i dapat dipahami ketika
peluang untuk pengembangan usaha memang terbatas ka rena hubungan dengan
dunia luar pun terbatas, dan kebutuhan masyarakat p un terbatas.
Nampaknya baru ketika kawasan Sebangau “dibuka” pad a “jaman kayu” dan
kemudian prasarana transportasi meningkatkan frekuensi dan intensitas
hubungan desa-desa dengan “dunia luar” banyak perub ahan terjadi, termasuk
perubahan orientasi warga masyarakat dalam berusaha. Usaha yang pada
awalnya hanya berorientasi subsisten kini menjadi upaya mencari pemasukan
lebih guna memenuhi berbagai kebutuhan “baru” seper ti pendidikan anak-anak,
transportasi, barang-barang konsumsi, dan sebagainya. Namun perubahan ini
belum disertai dengan pengetahuan dan ketrampilan y ang memadai tentang
tata-usaha, peluang-peluang usaha, pasar, program-p rogram pemerintah dan
sebagainya.
Di setiap desa hanya ada segelintir orang yang dapa t mengikuti perubahan-
perubahan itu dan memanfaatkan peluang-peluang yang dibawa perubahan
tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulny a kelompok elit baru di
desa dan terjadinya fenomena elite capture..
3. Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa-desa
Beberapa pokok persoalan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat desa yang
diungkapkan para peserta/responden pengkajian adalah..
a) Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Masyarakat
Karena sebagian besar warga masyarakat di desa-desa kawasan Sebangau meng-
gantungkan dirinya kepada sumberdaya alam, kita ten tu mengharapkan adanya
suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin keberlanjutan
sumberdaya alam tersebut. Dalam kenyataannya memang ada beberapa aturan
pengelolaan sumberdaya alam adat yang tidak tertuli s. Suatu gambaran tentang
kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam diberikan oleh Abdul
Hadjranul Fatah dkk6, antara lain aturan adat tentang penangkapan ikan (hanya
ikan dewasa yang diambil), tentang kepemilikan sumb erdaya alam (sumberdaya
hutan yang sudah diberi tanda, diakui sebagai milik oleh warga yang lain),
tentang lahan (lahan adalah milik yang membuka pert ama kali), dan sebagainya.
Namun, banyak aturan adat itu lebih terarah pada up aya menjaga harmoni antar
warga dengan mengatur hak akses dan penghormatan ha k atas sumberdaya alam
tertentu diantara penduduk, dan belum terarah pada upaya menjaga keber-
lanjutan sumberdaya alam itu. Misalnya ada aturan-a turan tentang hak-hak
penemu pertama suatu sumberdaya alam atau penggarap pertama lahan dan
pewarisan hak-hak itu, namun tidak ada aturan tenta ng jumlah dan jenis
sumberdaya alam yang dapat dieksploitasi pada saat tertentu.
6 Abdul Hadjranul Fatah, Abdul Mun’im, dan Arifin; Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelo-laan Sumber Daya Alam Di Daerah Aliran Anak Sungai Katingan Untuk Menunjang Pelestarian Taman Nasional Sebangau, WWF dan Edutama, Palangka Raya 2014
22
Selain aturan adat, beberapa Perdes yang sudah dan sedang dikembangkan
antara lain, antara lain Perdes di Tumbang Runen te ntang aturan penangkapan
ikan di Danau Hai.
Hal lain adalah banyaknya lahan-lahan masyarakat ya ng tidak dikelola di
beberapa desa. Beberapa alasan adanya lahan terlant ar ini yang disebutkan
adalah antara lain: seringnya kebakaran, kebanjiran , dan serangan hama dan
penyakit tanaman, kesulitan mendapatkan pupuk dan k apur untuk persemaian,
dan keterbatasan tenaga kerja. Selain itu disebutka n pula bahwa banyak lahan
tidak digarap karena warga masyarakat pemilik lahan banyak yang bekerja di
luar desa.
Sementara itu di beberapa desa lain warga masyaraka t menyebutkan kekurangan
lahan pertanian sebagai masalah. Keluhan tentang ke kurangan lahan ini ber-
kenaan dengan peningkatan penduduk di desa. Namun k arena bagaimana pun
lahan yang ada tidak dapat diperluas, ini harus dia nggap sebagai kondisi desa
yang terberi (given), dan masalahnya dirumuskan sebagai masalah sumber
penghidupan yang lebih luas,
b) Batas desa, akses, dan kompetisi atas sumberdaya alam
Kebanyakan desa di kawasan Sebangau belum mempunyai tata-batas yang jelas,
baik batas dengan sesama desa yang bertetangga, bat as dengan Taman Nasional,
dan batas dengan lahan-lahan di tanah negara yang t elah dikuasai perusahaan
perkebunan. Akibatnya terjadi ketidak pastian tenta ng hak akses masyarakat
terhadap sumberdaya alam di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional dan
di wilayah-wilayah desa yang berbatasan atau masuk dalam konsesi perkebunan.
Batas-batas desa ini menjadi penting ketika warga m asyarakat ingin memastikan
hak akses mereka atas lahan dan sumberdaya alam sementara terjadi kompetisi
atas sumberdaya karena peningkatan jumlah pemanfaat sumberdaya alam
tersebut – baik warga masyarakat dan maupun warga p endatang.
Batas menjadi penting pula untuk menjelaskan jurisd iksi dan kewenangan desa
dalam menegakan aturan-aturan tentang akses (dan pembatasan akses) terhadap
sumberdaya alam. Hak-hak dan kewenangan desa sesung guhnya telah ditegaskan
dalam Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, namun undang-undang
tersebut mengasumsikan adanya batas desa yang jelas , dan ketidakjelasan batas
desa bisa menjadi kendala bagi desa untuk menegakan hak dan kewenangannya
tersebut.
Masalah ketidak jelasan tata-batas ini pula yang me njadi persoalan antara
masyarakat dengan Taman Nasional. Hasil survey, misalnya, menunjukan bahwa
disatu pihak 67% dari responden mengatakan bahwa ke beradaan Taman Nasional
Sebangau sesunguhnya sesuatu yang baik karena membawa aturan dan
pengaturan itu memang perlu, tetapi dilain pihak 68 ,27% dari responden merasa
ruang geraknya dibatasi oleh Taman Nasional dan mengharapkan adanya
perubahan kebijakan sehingga warga masyarakat bisa memanfaatkan sumberdaya
alam dalam kawasan Taman Nasional dengan lebih beba s. Nyata bahwa masih
ada inkonsistensi antara kesadaran tentang perlunya Taman Nasional dengan
kepentingan pribadi untuk mengakses sumberdaya alam di kawasan itu.
23
c) Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam
Salah satu akibat dari kompetisi atas sumberdaya al am yang kian berkurang dan
kebutuhan masyarakat yang meningkat adalah munculny a berbagai sengketa. Di
dalam desa terjadi sengketa-sengketa tentang lahan dan tempat penangkapan
ikan, namun karena hubungan kekerabatan antar pendu duk desa yang kuat pada
umumnya sengketa-sengketa tersebut dapat segera dia tasi secara informal
dengan mengacu pada aturan-aturan adat. Juga batas kepemilikan lahan yang
jelas antar pemilik dan aturan-aturan adat tentang kepemilikan sumberdaya
alam tertentu menjadi salah satu cara untuk mencega h konflik antar penduduk
dalam satu desa.
Potensi terjadinya konflik antar desa menyangkut ba tas-batas wilayah desa yang
belum jelas sebagaimana diuraikan diatas. Dimasa la lu biasanya batas desa hanya
mengikuti tanda-tanda alam seperti sungai, bukit, p ohon besar, dan sebagainya.
Pergeseran batas kadangkala terjadi jika batasnya adalah pohon yang mati
karena ditebang atau roboh karena peristiwa alam. N amun ketika penggunaan
lahan tidak intensif sengketa seperti itu dengan mu dah diabaikan.
Namun konflik antar desa berpotensi terjadi ketika lahan memperoleh nilai uang
karena terbukanya desa dan hadirnya pihak luar yang berkeinginan memperoleh
lahan dan bersedia membelinya. Ini yang terjadi ket ika lahan dijual kepada
warga pendatang yang tidak tinggal di desa yang ber sangkutan atau kepada
perusahaan kelapa sawit. Sengketa yang terpicu adal ah sengketa antar warga
desa — bahkan antara warga desa dalam satu keluarga — tentang kepemilikan
lahan dan hak untuk menjualnya. Juga terjadi sengke ta antar desa ketika letak
lahan yang akan dijual melewati batas desa dan ada keberatan dari desa lain.itu.
Seperti telah disebutan, di beberapa lokasi, antara lain di desa Baun Bango,
Karuing, Tumbang Runen dan Jahanjang, terjadi sengketa antara desa dengan
perusahaan perkebunan kelapa sawit tentang batas la han. Sengketa juga terjadi
ketika kegiatan perusahaan kelapa sawit ditengarai berdampak negatif bagi
lingkungan hidup sekitarnya, karena ada kerusakan t ata air, matinya ikan sungai
dan ikan payau karena herbisida dan pestisida. Namun kebanyakan sengketa ini
belum terungkap dan masih laten. Walaupun warga mas yarakat peserta kajian
menyampaikan keluhan mereka dalam diskusi dengan pa ra pemandu kajian,
mereka tidak melakukan protes secara terbuka ketika merasa dirugikan oleh
kegiatan perusahaan kelapa sawit. Penduduk desa mer asa ditempatkan pada
posisi “serba salah” karena khawatir bahwa kalau me reka protes mereka tidak
memperoleh kesempatan kerja di perkebunan kelapa sawit sebagai buruh,
terutama ketika mata-pencaharian sebagai buruh dija dikan sebagai mata
pencaharian utama atau mata pencaharian alternatif setelah usaha penangkapan
ikan kurang berhasil.
Antara desa dengan Balai Taman Nasional Sebangau ti dak terjadi konflik terbuka,
namun secara “diam-diam” disana-sini ada perlawanan terhadap Balai Taman
Nasional Sebangau. Bentuk perlawanannya adalah deng an menuntut hak ulayat
atas wilayah desa yang termasuk di wilayah Taman Na sional Sebangau. Menurut
warga masyarakat Tewang Kampung, sebagian wilayah Taman Nasional Sebangau
termasuk wilayah desa Tewang Kampung. Hal ini pernah diakui oleh Gubernur
24
Kalimantan Tengah pada saat desa dipimpin oleh Alm. Bapak W.A. Gara dengan
bukti adanya peta wilayah. Saat ini, pengakuan ters ebut tidak dijadikan bukti
bahwa sebagian wilayah Taman Nasional Sebangau masuk wilayah Tewang
Kampung. Di masa datang ini bisa menjadi merupakan sumber konflik jika saat
itu belum ada penetapan batas wilayah yang jelas.
d) Ancaman-ancaman terhadap sumberdaya alam
Karena mata pencaharian utama masyarakat tergantung pada sumberdaya alam
maka ancaman terhadap keberadaan sumberdaya alam se patutnya menjadi salah
satu pokok perhatian utama dalam kajian ini. Ada be rbagai ancaman terhadap
sumberdaya alam yang menjadi dasar penghidupan masyarakat yang teridentifi-
kasi melalui kajian ini. Beberapa masalah utama yan g menurut warga masyarakat
berpeluang menjadi ancaman yang serius manakala diabaikan adalah:
• Degradasi ekosistem sungai dan penurunan mutu air sungai. Warga
masyarakat nelayan di hampir semua desa kajian dimana menangkap ikan
menjadi mata-pencaharian menyampaikan bahwa telah m engalami penurunan
hasil tangkapan ikan yang sangat berarti. Ketika ha sil penangkapan ikan
disungai menurun, sebagian masyarakat mulai mengembangkan peternakan
ikan dalam keramba. Cara ini memberikan hasil yang baik selama beberapa
waktu, namun kemudian hasilnya juga menurun, bahkan dilaporkan adanya
peristiwa-peristiwa kematian hampir semua ikan dalam keramba. Disebutkan
bahwa peristiwa-peristiwa kematian ikan itu cenderu ng terjadi setelah hujan
dan karenanya warga masyarakat menduga bahwa hal it u terjadi karena
adanya bahan pencemar yang mengalir ke sungai bersama air hujan.
• Kebakaran lahan. Suatu masalah yang senantiasa disebutkan adalah
kebakaran hutan dan lahan. Sebagian kebakaran itu t erjadi karena sebab-
sebab alamiah; pada musim kemarau panjang hutan dan semak-belukar
menjadi sangat kering dan mudah terbakar, jika kemudian terjadi gesekan
antara gambut yang sangat kering memicu munculnya b unga api, biomassa
yang sudah kering-kerontang itu terbakar dan pada gilirannya menimbukan
kebakaran lahan.
Penyebab kebakaran lainnya adalah perilaku manusia, yakni kecerobohan dan
kesengajaan dalam proses pembersihan lahan ( land clearing) untuk usaha
pertanian dan perkebunan dengan cara pembakaran. Wa lapun dalam jangka
pendek hal ini memang menguntungkan karena penghema tan biaya pem-
bersihan lahan dan karena mineral yang terkandung d alam abu sisa pem-
bakaran menjadi sumber hara yang menyuburkan tanaman, dalam jangka
panjang dampak pembakaran ini adalah hilangnya baha n-bahan organik dalam
tanah. Namun yang lebih sering dikeluhkan masyaraka t adalah akibat-akibat
“sampingan” kebakaran yang tidak terkendali itu, se perti terbakarnya
pembibitan dan anakan tanaman karet, polusi udara y ang mengganggu
kesehatan. Bahkan apabila kebakaran meluas, kabut a sap yang terjadi
menjadi gangguan bagi masyarakat luas, bahkan sampa i kota Palangka Raya.
• Hama tanaman. Hal lain yang banyak dikeluhkan warga masyarakat ad alah
tentang lahan-lahan pertanian masyarakat yang senat iasa terganggu oleh
25
berbagai hama seperti babi, tikus, kera, dan burung . Upaya menjaga tanaman
menghabiskan banyak waktu, dan bahkan seringkali wa rga harus bermalam di
pondok yang dibangun di ladang untuk menghalau hama di malam hari.
Dari perspektif lingkungan, sesungguhnya satwa yang menjadi hama itu adalah
bagian yang wajar dari ekosistem dan kehilangan sebagian panen niscaya
terjadi sekalipun upaya pengendalian hama dilakukan . Namun ketika tingkat
gangguan hama meningkat hal itu mungkin terjadi kar ena gangguan dalam
ekosistem. Ketika hutan terdegradasi sehingga habit at kera, babi, tikus dan
burung menyempit, kita tidak perlu heran bahwa bin atang itu kemudian
muncul di kebun-kebun masyarakat.
• Banjir. Di wilayah dataran rendah yang luas dengan topogr afi yang nyaris rata
terjadinya banjir musiman sebenarnya hal yang alamiah dalam ekosistem
gambut yang ada, dan warga masyarakat sudah biasa menghadapinya. Bahkan
banjir itu ada manfaatnya juga ketika membawa ikan ke daerah dangkal
sehingga terjebak dalam relung-relung ketika banjir surut dan mudah di
tangkap; ini peristiwa musiman yang sudah biasa dimanfaatkan warga
masyarakat. Namun yang menjadi keluhan adalah banji r yang besarnya
melampaui banjir musiman yang biasa terjadi sehingga menggenangi lahan
pertanian dan perkebunan.
• Ekspansi perkebunan sawit. Sengketa tentang lahan antara warga
masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit sudah mul ai merebak di
beberapa tempat, antara lain di desa Tumbang Runen, Baun Bango, dan
Karuing. Lebih dari itu, pada “jaman kayu” perusahan-perusahan kayu telah
merubah ekosistem dan mendegradasi sumberdaya alam yang selama ini
menjadi sandaran hidup masyarakat, dan kecenderungan ini nampaknya
diteruskan oleh perkebunan-perkebunan kelapa sawit.
• Eksploitasi berlebih. Seperti sudah disebutkan, beberapa hasil hutan — ka yu
dan non-kayu seperti gemor, gaharu, damar, pantung dan burung — sudah
makin sukar di dapatkan karena pengambilan yang ber lebih. Hal ini terjadi
karena dimasa lalu rupanya tidak ada regulasi yang efektif; nyatanya siapa
saja dapat mengambil apa saja, kapan saja, de facto terjadi open accces
kawasan hutan Sebangau. Nampaknya sejak adanya Tama n Nasional hal ini
berkurang, baik karena pembatasan oleh aturan-atura n Taman Nasional
maupun karena sumberdayanya memang telah berkurang.
4. Masalah-masalah Sosial-budaya dan politik di desa
Beberapa persoalan di ranah sosial-politik yang teridentifikasi selama kajian adalah,
antara lain:
a) Kelembagaan Pemerintah Desa
Walaupun sejarah pembentukannya beragam dan beberap a desa bahkan cikal-
bakalnya terbentuk pada tahun 40-an, pada saat ini seluruh desa di wilayah
kajian merupakan desa-desa yang “dibentuk” oleh pemerintah daerah, sehingga
struktur dan organisasi kelembagaannya relatif sama.
26
Ungkapan masyarakat selama diskusi dalam kajian par tisipatif maupun jawaban-
jawaban survey menunjukan penilaian yang sangat positif terhadap k eberadaan
dan fungsi kelembagaan desa — dekat dan besar dalam diagram Venn
Kelembagaan serta jawaban dominan dalam survey (125 responden menyatakan
baik) — menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengarah pada tatanan yang
tertib dan teratur dilihat dari aspek kepatuhan ter hadap aturan formal dalam
suatu lembaga serta kepatuhan dalam membangunan hub ungan sosial antara
masyarakat dalam sistem kelembagaan yang ada. Walaupun demikian cukup
banyak persoalan tentang pemerintah desa yang terid entifikasi, antara lain:
• Pemerintah desa belum berfungsi secara optimal. Secara umum pemerintah
desa masih cenderung lebih merupakan kepanjangan-ta ngan pemerintah
kabupaten dalam berbagai urusan administratif di de sa daripada lembaga
yang mengambil peran kepemimpinan dalam prakarsa pembangunan
masyarakat desanya.
• Pejabat pemdes kurang mengetahui aturan-aturan tentang kelembagaan
desa —terutama Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa yang baru diundangkan — serta pemerian kerja (tupoksi) masing-
masing jabatan dalam kelembagaan pemerintah desa. T ermasuk dalam hal ini
adalah fakta bahwa para pejabat Pemerintah Desa bel um memahami tata-
cara pembuatan Peraturan Desa. Dalam kajian hanya d esa yang didampingi
program dalam pembuatan perdes yang mempunyai penga laman dalam hal ini.
• Kepala desa yang tidak tinggal di desanya. Ditemukan pula beberapa
kepala desa yang bahkan tidak tinggal di desanya, t etapi tinggal di desa lain,
bahkan ada yang tinggal di kota Palangka Raya, kare na hubungan kekerabatan
atau karena memiliki usaha di tempat tinggalnya. Ha l ini tentu tidak
membantu perannya sebagai Kepala Desa.
• Kurang beperannya Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Apabila kinerja
pemerintah desa kurang dari yang diharapkan dan Kepala Desa dan perangkat-
nya kurang berperan, semestinya BPD turun tangan da lam mengkoreksi
keadaan. Tetapi kajian kelembagaan menunjukan bahwa di kebanyakan desa
BPD-pun kurang berperan. Bahkan ada BPD yang justru bersengketa dengan
Pemdes karena persaingan antar tokoh.
• Pemdes belum berperan banyak dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pali ng tidak dalam enam
pasal yang berbeda (Pasal 1 ayat 9; Pasal 8, ayat 3 , butir e; Pasal 26, ayat 4,
butir o; Pasal 78. ayat 1; Pasal 81 butir (3); dan Pasal 90, butir c) menegaskan
pentingnya sumberdaya alam sebagai prasyarat keberadaan desa serta hak
dan kewajiban desa untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan
demi kesejahteraan masyarakat. Namun karena semua h al yang telah
disebutkan peran pemdes dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana
yang diharapkan masih jauh panggang dari api.
b) Modal Sosial dan Kondisi Sosiokultural
Gambaran sosial-budaya desa-desa kawasan Sebangau cukup beragam; mulai dari
desa Hyang Bana yang berpenduduk relatif homogen suku Dayak dengan
27
kepercayaan Kaharingan dan secara sosial-budaya agak tertutup, desa Sebangau
Mulya dan Habaring Hurung yang penduduknya mayorita s transmigran dari Jawa,
sampai dengan desa Kareng Bengkirai yang pendudukny a sudah sangat heterogen
dan sangat terbuka.
Imigran dari daerah lain di Indonesia sejak dahulu selalu ada di kawasan
Sebangau tetapi baru sejak akhir tahun 60-an terjad i peningkatan dalam jumlah
pendatang. Ada warga yang datang sebagai transmigran — baik dalam program
transmigrasi pemerintah maupun transmigrasi mandiri —dan juga warga secara
perorangan yang datang karena berkembangnya peluang -peluang ekonomi di
industri pembalakan. Ada peluang ekonomi yang berka itan langsung dengan
perusahaan kayu seperti menjadi pekerja perusahaan, maupun peluang karena
terbukanya akses ke wilayah-wilayah HPH seperti men gumpulkan hasil hutan
non-kayu, pembalakan (liar) ataupun peluang untuk m engusai lahan.
Warga masyarakat lokal pada umumnya menerima dengan baik kehadiran para
pendatang, dan warga pendatang dari berbagai suku mampu menyesuaikan diri,
baik dengan sesama pendatang maupun dengan warga “a sli”. Artinya interaksi
budaya antar warga dari berbagai latar belakang budaya pada umumnya dengan
beberapa perkecualian berjalan dengan baik dan waja r.
Di desa-desa dimana masyarakat Dayak dominan, pada saat-saat tertentu dalam
proses pengelolaan sumberdaya alam masih dilakukan beberapa upacara,
misalnya,pada saat membuka lahan, saat pertama kali menanami ladang, saat
panen dan sebagainya. Para pendatang pada umumnya t idak lagi melakukan
upacara semacam itu walaupun dalam adat etnis tempa t asal mereka upacara-
upacara seperti itu ada.
Namun barangkali aspek sosial-budaya yang perlu leb ih menjadi perhatian dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah perubahan-perubahan dalam kearifan lokal
dan nilai-nilai adat. Beberapa warga masyarakat pes erta kajian menyebutkan
adanya beberapa kearifan lokal yang terarah pada keberlanjutan sumberdaya
alam demi kepentingan bersama, misalnya larangan un tuk menangkap ikan
dalam migrasinya ke hulu dan ikan-ikan yang masih t erlalu kecil. Namun ketika
ditelusuri lebih jauh, ternyata banyak dari aturan- aturan itu sudah tidak
dipatuhi, bahkan sebagian nelayan sudah tidak lagi mengetahui adanya larangan-
larangan seperti itu.
Gambaran umum beberapa aspek lain modal sosial masyarakat (social capital)
desa-desa di kawasan Sebangau adalah sebagai beriku t:
• Solidaritas sosial. Secara umum warga masyarakat menyebutkan adanya
kegotong-royongan antar warga masyarakat, namun pada umumnya kegotong-
royongan ini cenderung menurun dibandingkan dengan masa lalu. Sebagian
dari solidaritas sosial diwujudkan dalam kelembagaan yang dibangun
masyarakat, dan memang selain Pemerintah Desa di de sa ada beberapa
lembaga yang lain seperti kelompok keagamaan, kelompok Karang Taruna,
PKK, RPK (Regu Pengendali Kebakaran), lembaga pendidikan baik formal
maupun informal pada berbagai tingkatan, kelompok-kelompok kesenian, dan
sebagainya. Namun dengan perkecualian RPK, kelompok-kelompok ini tidak
langsung berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya al am.
28
• Kepemimpinan. Solidaritas sosial untuk sebagiannya adalah fungsi dari
kepemimpinan di desa. Namun nampaknya bahwa dengan beberapa
perkecualian sementara kepemimpinan dan kelembagaan tradisional di desa
telah melemah, kepemimpinan formal, yakni Kepala De sa dan lembaga-
lembaga pemerintah desa yang menggantikannya ada namun berfungsi pada
tingkat minimal dan nampak kurang berkembang.
• Kubu dan sengketa di desa. Hal lain yang melemahkan modal sosial masya-
rakat adalah sengketa antara tokoh-tokoh masyarakat di desa. Di beberapa
desa masyarakat menyebutkan terbentuknya kubu kepal a desa lama yang
berhadapan dengan kubu kepala desa baru sebagai aki bat dari proses
pemilihan kepala desa.
• Proyek-proyek yang tidak berlanjut. Di desa-desa ditemui adanya proyek-
proyek yang tidak berlanjut setelah lembaga pemraka rsanya tidak lagi berada
di desa. Sistem air perpipaan aliran gravitasi yang rusak dan tidak diperbaiki
di Tumbang Runen, misalnya, memberi gambaran lemahnya modal sosial;
nyatanya walaupun merupakan kepentingan bersama, se cara teknis bisa
dikerjakan, dan akan memberikan manfaat yang bermak na kepada semua
warga, tidak ada prakarsa dan dukungan untuk perbai kan itu yang muncul di
masyarakat.
• Kelompok proyek dan kelompok non-proyek. Salah satu upaya pengem-
bangan modal sosial yang sudah menjadi bagian yang kaprah dari proyek-
proyek yang “diturunkan” ke desa adalah pembentukan kelompok. Namun
karena dalam kebanyakan kasus kelompok dibentuk han ya sebagai “prasyarat
proyek”, dan bukan karena kesadaran bahwa kelompok sesungguhnya
dibutuhkan sebagai landasan kerjasama yang melampau i masa proyek, maka
ketika proyek berakhir kelompok-pun berakhir.
Selain kurang berhasil dalam membentuk modal sosial , dalam beberapa kasus
pembentukan kelompok oleh proyek-proyek bahkan berdampak negatif ketika
menciptakan perbedaan yang tidak semestinya antara warga kelompok proyek
dan warga kelompok non-proyek.
Koperasi – di beberapa desa ada koperasi, namun koperasi itu dibentuk atas
dorongan pihak di luar desa dan selama ini belum benar-benar berfungsi,
bahkan ada cukup banyak pengalaman kurang baik deng an koperasi
5. “Ketidak hadiran” Pemerintah
Seperti sudah disebutkan fungsi regulasi dan pelayanan pemerintah di tingkat desa
masih sangat lemah. Di semua desa kajian peran pemerintah kabupaten da lam hal
pengelolaan sumberdaya alam sangatlah lemah. Memang ada berbagai proyek yang
“diturunkan”, antara lain PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dan
CWSHP (Community Water Supply dan Health Program), serta berbagai jenis
“bantuan” seperti bibit untuk reboisasi, namun seri ng tekanannya sering lebih pada
pembangunan infrastruktur fisik dan dalam proyek-proyek itu nyaris tidak ada
pendampingan yang berlanjut. PPL dari Dinas-dinas Pertanian, Perkebunan,
Perikanan dan Kehutanan jarang turun ke desa. Para petugas itu hadir manakala
suatu proyek akan dimulai, namun selama umur proyek yang bersangkutan frekuensi
29
kehadiran petugas instansi pemerintah di desa sanga tlah rendah, Juga sering proyek
yang bersangkutan tidak berlanjut dan proyek terhen ti sebelum sempat mencapai
tujuannya dan mempunyai dampak yang bermakna terhad ap penghidupan
masyarakat.
Perkecualiannya adalah petugas dari Balai Taman Nas ional Sebangau yang dalam
analisa masyarakat tentang kelembagaan senantiasa d isebutkan, namun ini bisa jadi
bias karena staf BTNS memang menjadi fasilitator pengkajian.
B. Refleksi dan Analisa
1. Analisa Ekonomi
Analisa berikut adalah upaya awal dalam membuat ana lisa ekonomi kawasan sebagai
unit analisa:
a) Gambaran Mata Pencaharian Masyarakat:
Seperti sudah disebutkan kegiatan-kegiatan usaha ma syarakat cukup beraneka-
ragam, antara lain usaha pertanian tanaman pangan, sayur-mayur, peternakan,
penangkapan ikan, pemeliharaan ikan, perkebunan tan aman keras seperti kelapa
sawit, buah-buahan, karet dan lain-lain. Gambaran e konomis beberapa mata-
pencaharian yang dapat ditemukan di kawasan Sebanga u dipaparkan dibawah ini,
namun tentu perlu diingat bahwa pada umumnya warga masyarakat tidak hanya
mengerjakan satu hal saja tetapi memperoleh penghas ilan dari beberapa
sumber.
Memperhatikan uraian tentang mata pencaharian masya rakat di seluruh desa-
desa studi, dan dilihat dari variasi jenis pekerjaan yang umumnya diusahakan
oleh masyrakat, maka dapat dibuat beberapa gugus de sa yang berdekatan
(cluster) berdasarkan mata pencahariannya yaitu:
• Gugus desa-desa bermata pencaharian pertanian tanaman pangan. Mata
pencaharian ini umumnya diusahakan oleh warga masya rakat yang berada di
desa-desa di kecamatan Mendawai dan Katingan Kuala, terutama di desa-desa
transmigrasi.
• Gugus desa-desa bermata pencaharian nelayan (darat dan laut), umumnya
diusahakan oleh masyarakat yang bermukim di desa-de sa di wilayah sepanjang
sungai Sebangau dan sungai Katingan.
• Gugus desa-desa bermata pencaharian sebagai petani karet dan sayur-sayuran
umumnya diusahakan oleh masyarakat yang bermukim di poros jalan Palangka
Raya-Banjarmasin dalam wilayah kecamatan Bukit Batu dan Kahayan Hilir.
Gambaran perhitungan sebagaimana dilakukan warga ma syarakat untuk beberapa
jenis usaha adalah sebagai berikut:
• Penyadap karet. Pendapatan penyadap karet yang tertinggi adalah seb agai
berikut: Biaya yang dikeluarkan adalah pembelian tawas Rp.6.000,-, Asam
Askorbat 2 Kg a Rp. 5,000,- = Rp.10.000,- Angkutan berupa BBM 1 liter besin
Rp.8.000,- makan dan minum Rp.10.000,- Rokok dua bu ngkus a Rp.16.000,- Ini
berarti pengeluaran dalam satu kali menyadap sebesa r Rp.50.000,- per hari
30
Pendapan per hari 60 Kg a Rp. 5.000,- = Rp.300.000, - atau pendapatan bersih
adalah Rp.300.000,- Rp. 50.000,- = Rp.250.000,- per hari. Seminggu hanya
bisa menyadap 4 hari berarti pendapatan mingguan ad alah 4 x Rp. 250.000,- =
Rp. 1.000.000,- atau pendapatan setiap bulan adalah Rp. 4.000.000,-.
Pendapatan penyadap kategori sedang: sekali menyadap karet 20 Kg a
Rp.5.000,- = Rp.100.000,- Pengeluaran setiap hari a dalah asam askorbat 2 Kg
a Rp.5.000,- = Rp.10.000,- Tawas Rp. 7.000,- Transp ort sebesar Rp. 8.000,-
Makan dan minum Rp.10.000,- , serta rokok satu bung kus dengan harga
Rp. 7.000,- Jika penerimaan kotor dikurangi dengan pengeluaran maka
diperoleh pendapatan bersih per hari Rp.60.000,- sama dengan Rp.960.000,-
per minggu atau Rp.3.840.000,- per bulan.
Kategori rendah adalah penyadap yang memiliki produktivitas atau sekali
menyadap memperoleh ± 10 Kg a Rp.5.000,- = Rp.50.00 0,- Pendapatan kotor
tersebut dikurangi biaya sebesar Rp.29.000,- per ha ri terdiri dari tawas
Rp.5.000,-, transport Rp.8.000,- makan dan minum Rp .10.000,- dan rokok satu
bungkus dengan harga Rp.6.000,- Pendapatan bersih a dalah Rp.31.000,- atau
Rp.124.000,- seminggu atau Rp.496.000,- satu bulan.
Tabel 8: Penerimaan dan pengeluaran rata-rata petan i karet
Kriteria Uraian
Tinggi (60 KG) Sedang(30 Kg) Rendah (10 Kg)
1. Penerimaan rata-rata
2. Pengeluaran
Rp. 300.000,- Rp. 150.000 Rp. 50.000,-
a. Tawas
b. Askorbat 2 Kg a Rp.5.000
c. Transport
d. Makan + Minum
e. Rokok
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
6.000,-
10.000,-
8.000,-
10.000,-
16.000,-
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
5.000,-
10.000,-
8.000,-
10.000,-
.7.000,-
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
5.000,-
0,-
8.000,-
10.000,-
6.000,-
3. Jumlah a s/d e
4. Penerimaan bersih (hari)
Hari kerja 4 hari dlm seminggu
Rp.
Rp.
Rp.
50.000,-
250.000,-
1.000.000,-
Rp.
Rp.
Rp.
40.000,-
60.000,-
960.000,-
Rp.
Rp.
Rp.
29.000,-
31.000,-
124..000,-
Penerimaan sebulan Rp. 4.000.000,- Rp. 3.840.000,- Rp. 496.000,-
Sumber: Data diolah
Penerimaan petani karet dalam sebulan yang terdiri darti pendapatan tinggi
rata-rata Rp.4.000.000,- kemudian sedang rata-rata Rp.3.840.000,- dan
pendapatan rendah hanya Rp.496.000,- per bulan. Pet ani karet atau penyadap
yang termasuk pendapatan tinggi adalah petani yang menyadap karet yang
masih muda dengan biaya “pemupukan“ serta biaya lai n-lain lebih besar
dibanding dengan petani yang menerima pendapatan se dang dan rendah.
Hasilnya yang rendah kelompok penyadap berpenghasil an rendah adalah
karetnya yang sudah tua dan layak diganti, terbatas nya jumlah batang karet
yang disadap, sehingga produktivitas menjadi rendah. Petani sudah mensiasati
agar pengeluarannya tidak besar, seperti tidak membeli asam askorbat
31
(C6H8O6) dan memilih rokok murahan. Pemanfaatan asam askorbat sangat
mempengaruhi umur tanaman karet, karena tambahan je nis asam askorbat ini
memaksa getah keluar dari batangnya sehingga batang karet menjadi kering
dan lama-kelamaan mati. Usaha menyadap karet dengan cara menambah
asam ini juga dipengaruhi oleh anggapan sebagian ke cil penduduk bahwa
menyadap adalah usaha sampingan, sedangkan usaha po koknya adalah
pertanian tanaman pangan.
Harga karet sama untuk semua, yakni Rp.5.000,- per kilogram dan ditentukan
oleh pedagang pengumpul atau tengkulak. Petani tida k bisa menaikkan harga,
karena harga ditetapkan sepihak oleh para pedagang dan rata-rata harga
getah di tempat lain tidak jauh beda dengan harga s etempat. Lokasi petani
karet adalah desa Henda, Garong dan Tewang Kampung.
• Warung. Di setiap desa di kawasan niscaya ada dua atau tiga warung yang
menjual sembako dan jajanan. Di beberapa desa ada warung makan yang
sederhana. Gambaran warung sembako cukup sederhana dengan modal yang
berkisar antara Rp.2.000.000,- dan Rp.5.000.000,- W arung makan kecil-
kecilan menggunakan modal sekitar Rp.1.000.000,-
Warung itu hanya melayani masyarakat lokal di desa yang bersangkutan dan
pendatang yang sekali-sekali lewat di desa. Di bebe rapa desa ada pemilik
warung yang juga menjadi pedagang pengumpul hasil pertanian atau
penangkapan ikan. Warung-warung seperti itu mempero leh keuntungan sekitar
Rp.150.000,- per hari atau total satu dalam sebulan ± Rp.4.000.000,-
• Tanaman padi. Usaha tanaman padi dimulai dengan pembersihan lahan ,
menanam, membersihkan gulma, memberi pupuk, melindungi dari hama
tanaman dengan obat-obatan kemudian panen. Biaya ma sing-masing dan
penerimaan petani dalam satu hektar dapat dilihat p ada tabel berikut :
Tabel 9: Pengeluaran dan Penerimaan Petani tanaman pangan menurut
kategori rendah, sedang dan tinggi.
Uraian Rendah Sedang Tinggi
I. Pengeluaran
1. Tebas tebang 35 borong @ Rp.36.000,-
2. Menanam
3. Pupuk (TSP, Urea, dll)
4. Obat-obatan
5. Bibit
6. Panen
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
1.260.000,-
1.000.000,-
1.000.000,-
750.000,-
200.000,-
2.000.000,
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
1.225.000,-
1.000.000,-
1.000.000,-
500.000,-
200.000,-
2.000.000,
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
1.225.000,-
500.000,-
1.000.000,-
500.000,-
300.000,-
2.000.000,-
Jumlah
II. Hasil 15 kwintal padi = 7,5 kwintal beras @ Rp.16.000,- /Kg
III. Penerimaan bersih
Rp.
Rp.
Rp.
-
6.210.000,-
12.000.000,-
5.790.000,-
Rp.
Rp.
Rp.
-
5.925.000,
16.000.000,-
10.075.000
Rp.
Rp.
Rp
5.525.000,-
20.000.000,-
14.475.000,-
32
Petani berpendapatan rendah adalah petani yang meng hasilkan 15 kwintal
atau 1,5 ton padi per hektar. Jika dijadikan beras maka diperoleh hasil 750 Kg
@ Rp.16.000,- = Rp.12.000.000,- Penerimaan bersih a dalah Rp.5.790.000,- per
Ha untuk setiap musim. Biasanya padi yang dihasilka n kelompok
berpendapatan rendah ini tidak dijual tetapi hanya dikonsumsi sendiri.
Petani yang berpendapatan sedang adalah petani deng an produksi dalam satu
hektar rata-rata 20 kwintal padi atau 10 Kwintal be ras x Rp.16.000,-/Kg =
Rp.16.000.000,- Sedangkan biaya satu hektar mulai d ari pengolahan sampai
panen sebesar Rp.4.925.000,- atau lebih kecil jika dibandingkan dengan
petani kelompok berpendapatan rendah. Perbedaannya adalah biaya tebas
tebang setiap borongan bukan Rp.36.000,- tetapi Rp. 35.000,- Biaya pestisida
hanya Rp.500.000,- sedangkan biaya menanam, bibit d an panen sama dengan
kelompok berpenghasilan rendah.
Usaha penghematan yang dilakukan kelompok berpendap atan tinggi adalah
mengurangi biaya tanam dari Rp.1.000.000,- menjadi Rp.500.000,- Menanam
tidak diupahkan tetapi dengan cara bergotong royong (handep) dengan sesama
petani dan menyediakan konsumsi untuk mereka. Sedan gkan panen tetap
dilakukan seperti dilakukan oleh kelompok berpendapatan rendah dan sedang
yaitu dengan cara bagi hasil. Jika buruh tani memanen lima belek maka diberi
upah satu blek padi ( 5 : 1), sehingga untuk satu h ektar yang menghasilkan
±100 kaleng dibagi 5 = 20 kaleng x Rp.100.000,- /ka leng = Rp.2.000.000,-
Beras di jual ke tengkulak yang mendatangi petani b aik tengkulak yang
berasal dari sekitar desa maupun yang datang dari B anjarmasin. Penetapan
harga dilakukan oleh tengkulak, dan petani pada umumnya tidak bisa menolak
karena jumlah pembeli (pedagang pengumpul) bersifat oligopoly. Ada
ketergantungan para petani kepada para pedagang pen gumpul sebagai
penyedia modal dan sering pula ada keterikatan sosi al atau kekerabatan
antara keduanya. Lokasi pertanian tanaman pangan ad alah Paduran Sebangau,
Tewang Kampung, Bakung Raya, Singam Raya, Henda dan Garong.
• Petani sayur. Modal awal bertanam sayur adalah Rp.1.000.000,- sed angkan
hasil yang diterima sekali panen antara Rp.1.000.00 0,- s/d Rp.1.200.000,-
Modal Jagung Rp.1.300.000,- terdiri dari pupuk Rp.600.000,- Bibit 6 bungkus a
Rp.80.000,- Pupuk 15 Kg a Rp.20.000,- Pestisida 1 K g Rp.100.000,- Pupuk urea
3 bungkus a Rp.2.500,- Hasilnya dapat 9 Kwintal a R p.4.000,- Kg sekali panen,
atau Rp. 3.600.000,-
• Pengumpul Kulit Gemor. Kulit gemor dicari di sekitar desa Kereng Bangkirai
dengan harga Rp.600,-/kg. Setiap kali berangkat men cari kulit gemor para
pengumpul bisa memperoleh lima kwintal atau 0,5 ton . Artinya penerimaan
kotor mereka adalah Rp. 3.000.000,-. Setelah dikura ngi biaya-biaya seperti
konsumsi makanan, transportasi termasuk BBM, dan rokok, yang jika
dijumlahkan dinilai ± Rp.450.000,- diperoleh bahwa penerimaan bersih dari
usaha pengumpulan kulit Gemor adalah sebesar Rp.2.550.000,-
Pengambilan kulit gemor marak terjadi pada tahun 1980 hingga tahun 2000.
Awalnya masyarakat mulai mencari kulit gemor setelah adanya parit-parit
33
yang dibuat oleh perusahaan logging untuk mengalirkan kayu keluar hutan.
Sekarang masyarakat masih ada yang bekerja mencari kulit gemor tapi hanya
sebagian kecil saja, selain karena gemor yang besar sudah habis juga karena
larangan menebang pohon di wilayah Taman Nasional padahal gemor di panen
dengan menebang pohonnya sedangkan ada
• Nelayan Laut (Penangkap ikan). Penduduk yang bermukim di Sei Hambawang
pada umumnya memperoleh pendapatan dari penangkapan ikan dan udang di
laut. Ikan kecil dan udang diperoleh melalui pukat yang ditarik oleh perahu
mesin mulai pagi hari sampai dengan pukul 11 siang. Harga ikan kering
Rp.20.000,-/kg udang Windu Rp.10.000,- /kg dan udan g Papay Rp.25.000,-
/kg. Ketiga jenis tangkapan ini dijual kepada pedag ang pengumpul yang
datang ke desa dan ada yang menunggu di tengah laut .
Rata-rata pendapatan dan pengeluaran nelayan di lau t dapat dilihat pada
Tabel 10. berikut:
Tabel 10: Pengeluaran dan Penerimaan Nelayan Laut
Uraian penerimaan dan
pengeluaran
Jumlah
penerimaan Jumlah Biaya
Biaya-biaya*)
1. BBM 10 liter @ Rp.12.000,-
2. Rokok 2 bungkus @ Rp.12.500,-
3. Lain-lain (Oli, busi, lain-lain)
Rp.
Rp.
Rp.
120.000,-
25.000,-
5.000,-
Penerimaan kotor Rp. 150.000,-
1. Udang Papay 10 Kg @ Rp.25.000,-
2. Udang windu 10 Kg @ Rp.10.000,-
3. Ikan kering 5 Kg @ Rp.20.000,-
Rp
Rp.
Rp.
250.000
100.000,-
100.000,-
Jumlah Rp. 450.000,-
Penerimaan bersih Rp. 350.000,-
*) Biaya peralatan (alat tamgkap dan perahu mesin) telah dianggap lunas
Sekali berangkat ke laut nelayan dapat memperoleh h asil bersih sebesar
Rp.350.000,-; yakni penerimaan kotor Rp.450.000,- d ikurangi biaya-biaya
Rp.150.000,- Ikan dan udang dijual kepada pedagang pengumpul yang datang
sendiri ke desa Sei Hambawang sebagai desa nelayan laut.
Mahalnya harga BBM di desa mengakibatkan biaya sema kin besar dan mem-
beratkan nelayan karena mengurangi pendapatan nelay an. Kemudian harga
udang dan ikan selalu ditentukan oleh pedagang peng umpul yang sistem
ekonominya mirip oligopoly, karena pembeli di desa setempat telah dikuasai
oleh pedagang yang jumlahnya terbatas atau kurang d ari 10 pedagang.
Keterbatasan modal nelayan merupakan kelemahan nela yan, karena nelayan
terpaksa minta “bon” kepada pedagang pengumpul. Uan g pinjaman digunakan
sebagai biaya operasional jika mau menangkap ikan dan udang di laut, biaya
rumah tangga sehari-hari termasuk biaya tidak terdu ga yang harus ditalangi
34
segera. Pembayaran dilakukan setelah memperoleh has il ikan dan udang
dengan perhitungan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
• Nelayan Darat. Salah satu usaha penduduk di darat adalah memanfaatk an
sumberdaya air (sungai, danau dan payau) yakni mena ngkap ikan dengan
berbagai cara, antara lain memasang bubu, lukah, banjur, pangilar, atau
tampirai, menjala, menjaring, dan pancing.
Di beberapa desa, tempat penangkapan ikan tangkapan cukup jauh dari
tempat tinggal sehingga memerlukan transportasi air seperti perahu mesin
atau kelotok. Sebagian kecil warga masyarakat yang bermukim di pinggir jalan
raya seperti misalnya di desa Paduran Sebangau juga memakai sepeda motor
untuk menuju sungai.
Tabel 11: Pengeluaran dan Penerimaan Nelayan Darat
Uraian penerimaan dan pengeluaran Jumlah
penerimaan Jumlah Biaya
I. Biaya-biaya*)
1. BBM 10 liter @ Rp.9.500,-
2. Rokok 1 bungkus @ Rp.7.000,-
3. Garam (Pengawet)
4. Lain-lain (Oli, busi, lain-lain)
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
95.000,-
7.000,-
10.000,-
5.000,-
Rp. 117.000,-
`II. Penerimaan kotor
1. Ikan basah 10 Kg @ Rp.50.000,-
2. Ikan kering 5Kg @ Rp. 35.000,-
Rp.
Rp.
500.000
350.000,-
Jumlah
III. Penerimaan bersih
Rp.
Rp.
850.000,-
733.000,-
*) Biaya peralatan (perahu mesin, alat tangkap) tel ah dianggap lunas.
Para nelayan tidak mengikuti jam kerja tetap, tetap i sangat tergantung
kepada iklim dan cuaca. Setiap minggu mereka berang kat sekurang-kurangnya
satu kali atau dalam istilah setempat “satu kali ke rja” dan dalam satu bulan
bekerja empat sampai lima kali kerja. Dengan demiki an pendapatan nelayan
ini antara Rp.2.932.000,- sampai dengan Rp.3.655.00 0,- sebulan. Dari sisi
nominal pendapatan ini cukup lumayan, namun pendapa tan riil nelayan
bukanlah sebesar angka tersebut karena masih dikura ngi lagi dengan utang
kepada pedagang pengumpul. Pendapatan nelayan yang hanya “pas-pasan”,
mengakibatkan adanya ketergantungan terhadap pedaga ng pengumpul untuk
kebutuhan modal dan biaya hidup sehari-hari.
• Buruh sawit. Upah harian buruh sawit adalah Rp.62.000,- per hari . Jika dalam
seminggu mereka bekerja enam hari pendapatan minggu an mereka adalah
Rp.372.000,-/minggu, atau Rp. 1.488.000,- /bulan. P erolehan ini dikurangi
biaya makan dan minum Rp.20.000,- per hari, berarti Rp.480.000,-/bulan.
Dengan demikian penerimaan bersih seorang buruh perkebunan sawit adalah
Rp. 1.008.000,-/bulan.
35
Tabel 12: Penerimaan Kotor dan Bersih Buruh setiap bulan.
Pengeluaran Tingkat
Upah (Rp.)
Jumlah
hari kerja
(hari)
Penerimaan
Kotor (Rp.)
per bulan Konsumsi
(Rp.)
Transpor
(Rp.)
Lain-lain
(Rp.)
Jumlah
pengeluaran
(Rp.)
Penerimaa
n bersih
(Rp.)
Peneri-
maan
bersih /Bln
40.000
59.700
62.000
70.000
80.000
20
25
25
20
25
800.000
1.492.500
1.562.500
1.400.000
2.000.000
10.000
15.000
15.000
20.000
20.000
8.000
10.000
10.000
5.000
10.000
7.000
6.000
7.000
12.000
14.000
25.000
31.000
32.000
37.000
44.000
15.000
28.700
30.000
33.000
36.000
300.000
717.500
750.000
660.000
900.000
Rata-rata pendapatan kotor buruh yang memperoleh upah Rp.40.000,- sehari,
adalah Rp.800.000,- /bulan. Karena mereka tidak tin ggal di kamp perusahaan
— artinya perusahan kepala sawit tidak menyediakan tempat tinggal dan
konsumsi harian untuk buruh, maka mereka harus menyediakan makanan ala
kadarnya senilai Rp.10.000,- yang terdiri dari nasi putih dan sedikit ikan atau
telur. Para buruh bertempat tinggal di rumah mereka sendiri bersama
keluarga di kampung dan angkutan tidak disiapkan ol eh perusahaan, maka
setiap buruh harus membiayai transpor mereka sendir i. Mereka membeli
setengah sampai satu liter bensin untuk motor senil ai Rp. 5.000,- sampai
dengan Rp.10.000,-
Kelompok pertama menerima penerimaan bersih sebesar Rp.300.000,- per
bulan merupakan penerimaan terendah dari semua kelompok. Namun
penduduk tetap menerima tanpa protes, karena diangg ap sebagai “batu
loncatan”, dengan harapan di masa akan datang gaji dan fasilitas akan
bertambah.
Kelompok kedua adalah buruh yang menerima upah sebe sar Rp.59.700,- per
hari atau Rp.1.492.500,- per bulan. Buruh hanya bek erja 25 hari setiap bulan,
karena hari Minggu libur dan setiap hari Sabtu tera khir setiap bulan. Setelah
dikurangi biaya-biaya, gaji bersih hanya Rp.717.500 ,- sebulan atau lebih tinggi
dibanding dengan buruh kelompok pertama.
Penerimaan bersih sebesar Rp.750.000,- diterima oleh buruh yang gajinya
Rp.62.000,- per hari. Hampir tidak ada perbedaan de ngan kelompok kedua,
namun lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok 4 yakni Rp.660.000,-
Sedangkan penerimaan bersih tertinggi adalah Rp.900 .000,- per bulan dengan
ketentuan biaya per hari dibayar Rp.80.000,- dikali kan dengan 25 hari
dikurangi biaya-biaya sebesar Rp.44.000,- per hari.
• Penganyam tikar. Di beberapa desa, sebagian warga masyarakat menganyam
sebagai salah satu sumber mata-pencaharian tambahan . Harga tikar
Rp.40.000,- per lembar sedangkan bakul Rp.15.000,- per buah. Seorang
penganyam bisa menghasilkan lima lembar tikar setiap minggu atau bakul 20
bakul setiap minggu.
Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku pur un, cat, jarum dan
benang sekitar Rp.150.000,- Harga tikar rata-rata m odel paling besar
Rp.100.000,- Sedang Rp.75.000,- dan kecil Rp.50.000 ,- Seorang penganyam
dapat menghasilkan lima lembar yang berukuran besar dalam satu bulan, atau
36
delapan lembar yang sedang, atau 10 lembar yang kec il. Hasil anyaman dijual
kepada pedagang pengumpul yang datang dari Sampit a tau Banjarmasin, dan
pendapatan rata-rata dari tikar selama satu bulan a dalah Rp. 500.000,-
• Pengumpul Hasil hutan Non-kayu. Karena ada berbagai hasil hutan yang
dikumpulkan warga masyarakat (antara lain gemor, ro tan, pantung, burung,
tanaman obat dan sebagainya), semestinya membuat analisa ekonomi tentang
hal ini bisa bermanfaat. Namun justru karena keanek aragamannya, analisa ini
cukup menantang untuk dibuat dan kajian ini tidak b erkesempatan untuk
melakukannya. Juga, pengumpulan hasil hutan non-kay u sebagai mata-
pencaharian pada saat ini hanya ditekuni oleh sebag ian warga masyarakat dan
cenderung menjadi alternatif ketika sumber penghasi lan dari sumber lain
menurun.
• Pertukangan. Di setiap desa ada beberapa orang yang bekerja sebagai tukang
batu dan tukang kayu, namun pekerjaan ini dalam keb anyakan hal bersifat
insidental ketika ada pekerjaan di desa yang bersan gkutan. Di beberapa desa
yang mempunyai akses yang cukup baik ke kota Palang ka Raya — antara lain di
desa Kareng Bangkirai dan Habaring Hurung — sebagian warga masyarakat juga
bekerja sebagai buruh, antara lain sebagai buruh bangunan.
• Pedagang Pengumpul. Hasil pertanian, perikanan dan hasil hutan non-ka yu
dari desa dijual keluar desa oleh para pedagang pengumpul, baik pedagang
pengumpul yang juga merupakan warga desa yang bersangkutan maupun
pedagang pengumpul dari luar desa. Di setiap desa ada beberapa pengepul;
dan ada pengepul yang membatasi diri pada produk te rtentu dan ada pula
pengepul yang lebih terdiversifikasi dalam produk yang ditampungnya. Dapat
pula ditemui pengepul yang bukan saja membeli hasil warga masyarakat,
tetapi juga menjadi pedagang atau pengusaha warung yang membawa barang
konsumsi ke desa dan menjualnya kepada warga masya rakat.
Karena nyatanya para pedagang pengumpul ini menjadi simpul aliran barang
dari dan ke desa, sebenarnya gambaran usaha mereka bisa menjadi indikator
perekonomian desa. Hal ini masih luput dari kajian ini dan bisa menjadi pokok
kajian di masa yang akan datang.
Dalam usaha-usaha ekonomis tersebut warga masyarakat di desa-desa kawasan
Sebangau menghadapi banyak kendala dalam hal penget ahuan, permodalan, dan
terutama pemasaran. Usaha-usaha warga masyarakat it u pada umumnya berskala
kecil dan lokal di tingkat desa untuk pasar desa it u sendiri sehingga memang tidak
kompetitif. Beberapa persoalan itu adalah antara la in:
b) Ketergantungan pada pedagang perantara dan pemilik modal.
Kajian dan survey menunjukan bahwa warga masyarakat dalam melakukan
usahanya dalam kebanyakan kasus mendapatkan modal d ari para pedagang
pengumpul yang berperan pula sebagai ijon. Ijon ini lah yang kemudian berperan
mengendalikan usaha masyarakat. Modal diberikan ber dasarkan kesepakatan
bahwa nyaris semua hasil yang diperoleh dijual kepada pedagang tersebut
dengan harga yang telah ditentukan. Juga skema peng embalian modal dalam
kebanyakan hal ditentukan secara sepihak oleh pemod al.
37
Dalam situasi yang didominasi para ijon pembeli dan penentu harga sementara
posisi masyarakat produsen sangat lemah sudah dipastikan bahwa produsen tidak
akan mendapatkan harga yang pantas untuk hasil prod uksi mereka. Dengan
demikian tingkat keuntungan yang diperoleh masyarak at sebagai produsen utama
relatif kecil, karena dalam hal ini tidak berlaku mekanisme pasar, melainkan
yang terjadi adalah sistem pasar oligopoli, artinya pembeli yang menentukan
harga suatu produk bukan produsen.
Dalam banyak kasus pedagang perantara/penyedia moda l/pengijon adalah warga
masyarakat setempat, dan bahkan mempunyai hubungan kekerabatan dengan
para petani, nelayan, dan pengumpul hasil hutan yan g dibeli produknya. Artinya,
warga masyarakat sering tidak melihat hubungannya d engan pengijon sebagai
hubungan yang eksploitatif tetapi sebagai hubungan yang saling menguntungkan,
bahkan dana yang diberikan dilihat sebagai “bantuan ” yang diapresiasi.
c) Permodalan untuk usaha.
Ini persoalan klasik para petani dan nelayan subsis ten yang tidak bisa atau tidak
biasa menabung untuk membangun kekuatan permodalan untuk pengembangan
usaha. Sementara itu fasilitas kredit dari lembaga keuangan di luar desa
walaupun ada belum diakses karena kendala masalah t ransportasi keluar desa
dan umumnya warga masyarakat tidak mengetahui seluk -beluk proses yang perlu
ditempuh. Ketika mereka tahu pun mereka enggan beru rusan dengan lembaga
keuangan formal (institusi pemerintah dan bank) kar ena kerepotan dalam
memenuhi persyaratan administratif dan menyediakan agunan.
Modal diperoleh dari tengkulak yang tidak menuntut persyaratan administratif
dan agunan hanya atas dasar kepercayaan dan jaminan bahwa hasil produksi
dijual kepada mereka. Seperti sudah dikatakan masal ahnya disini adalah bahwa
warga masyarakat sebagai produsen kehilangan posisi tawar dan harga
ditentukan oleh tengkulak.
d) Pemasaran.
Konsep pemasaran yang baik adalah ketika produsen dan konsumen sepakat
untuk melakukan transaksi barang dan jasa berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi
yang dipahami bersama dan informasi pasar yang diketahui bersama. Namun
seperti telah disebutkan, dalam hal pemasaran kelua r batas-batas desa, para
produsen di desa (petani, nelayan dan pengumpul has il hutan) tidak mempunyai
informasi pasar yang memadai dan mengandalkan beberapa pedagang pengumpul
yang ada atau datang ke desa. Peran yang cukup domi nan ijon dan tengkulak ini
menyebabkan para produsen di desa tidak pernah bert emu dengan konsumen
akhir.
Hasil kajian dan survey menunjukkan bahwa rata-rata hasil usaha individu dan
kelompok masyarakat dijual kepada para pedagang pengumpul dengan skema
ijon. Artinya para pedagang memberikan modal usaha (untuk bibit, pupuk,racun
serangga dan lain-lain), dan karena berutang warga masyarakat produsen tidak
memiliki kekuatan untuk memasarkan produknya ke pas ar umum. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa produsen tidak memi liki kekuatan untuk
38
menetapkan harga, melainkan harus patuh pada keingi nan dan keputusan atas
harga yang ditetapkan oleh para ijon.
Terlebih dari itu, selain masalah harga, warga masyarakat merasa bahwa
kehadiran para pedagang pengumpul – walaupun dengan aturan ijon –
sesungguhnya banyak memberi manfaat karena sangat memudahkan penjualan,
menyediakan modal, dan bahkan kadangkala juga membe ri pinjaman pribadi
untuk hal-hal yang mendesak.
Disamping untuk keperluan sendiri dan dipasarkan d isekitar desa, hasil produksi
masyarakat juga dipasarkan keluar desa seperti ke Kasongan, Palangka Raya
serta ke Sampit dan Banjarmasin. Dalam pemasaran ke luar desa peran para
tengkulak/ijon cukup dominan sebagai agen penjualan hasil produksi karena
mereka memiliki kemampuan finansial untuk membeli produksi masyarakat
dalam skala yang besar untuk selanjutnya dipasarkan ke luar Palangka Raya.
e) Manajemen Usaha Masyarakat:
Mengingat bahwa usaha masyarakat bersifat tradisional dan skalanya relatif
kecil, maka dalam berusaha warga masyarakat hanya mengandalkan pengalaman
dan kebiasaan yang berkembang selama ini; dengan ka ta lain lebih banyak
mengandalkan manajemen keluarga yang sangat informa l. Dalam setiap usaha
para anggota keluarga terlibat dengan peran tugas y ang tidak terbagi secara
tegas dan jelas. Dengan pola manajemen seperti ini dapat dipastikan bahwa
tidak ada perencanaan yang pasti, evaluasi ataupun pertanggungjawaban yang
jelas atas tugas yang diemban oleh masing-masing anggota keluarga yang terlibat
dalam satu sistem kegiatan. Artinya ketrampilan manajeman yang dibutuhkan
untuk mengelola usaha pada skala ekonomis yang lebi h tinggi belum
berkembang.
f) Potensi yang belum tergarap:
Membangun sumber penghidupan semestinya bertumpu pada sumberdaya alam
yang ada dan potensial untuk dimanfaatkan secara be rkelanjutan. Potensi utama
kawasan ini adalah perikanan, dan saat ini masih menjadi salah satu sumber
penghasilan utama warga masyarakat kawasan Sebangau . Walaupun pada saat ini
potensi perikanan itu cenderung menurun karena keru sakan ekosistem, melihat
tingginya produksi ikan dimasa lalu dapat diduga bahwa tingkat produksi
maksimal yang dapat dipertahankan secara berkelanju tan (maximun sustainable
yield) ketika itu belum terlampaui dan penurunan hasil t anggkapan bukanlah
terutama karena penangkapan yang berlebih ( overfishing). Artinya, jika
lingkungan sungai dapat diperbaiki dan penangkapan dapat terkendali potensi
ikan itu tetap ada.
Selain itu, salah satu potensi kawasan yang nampakn ya belum dimanfaatkan
sepenuhnya dalam arti ekonomi, bahkan cenderung dia baikan, adalah jasa-
lingkungan. Bahkan dalam eksploitasi sumberdaya alam lainnya potensi jasa
lingkungan ini justru sering dikorbankan. Jasa lingkungan itu terabaikan karena
dianggap terberi, dan sering adanya manfaat jasa li ngkungan baru dirasakan
setelah aliran manfaat jasa lingkungan itu tergangg u atau terhenti karena
penurunan kesehatan ekosistem kawasan.
39
Seperti sudah disebutkan diatas, nilai estetik dan rekreasional kawasan Sebangau
cukup potensial sebagai dasar pengembangan pariwisata dan beberapa rintisan
sudah dilakukan tetapi belum berkembang sebagai yan g diharapkan.
Jasa lingkungan yang lain, seperti pengikatan karbon, penyediaan air bersih,
sumber enerji, dan lain-lain memang potensial untuk dijadikan sumber
pendapatan tetapi belum dikembangkan. Di kecamatan Sebangau Kuala,
kabupaten Pulang Pisau sudah ada demonstration area untuk prakarsa
perdagangan karbon atau REDD+ tetapi belum ada skema pembayaran yang dapat
diwujudkan,
Selain itu di kawasan Sebangau niscaya masih ada sumberdaya alam yang
potensial sebagai sumberdaya ekonomi masyarakat namun belum tergarap dan
belum teridentifikasi dalam kajiian ini. Nampaknya hal ini masih perlu menjadi
kajian di masa yang akan datang.
g) Infrastruktur transportasi/komunikasi.
Beberapa desa masih sulit dijangkau, antara lain de sa Sei Hambawang dan
Paduran Sebangau di wilayah Kabupaten Pulang Pisau, khususnya di kecamatan
Sebangua Kuala, yang harus dicapai lewat sungai dan laut. Juga di desa yang
relatif mudah dijangkau pun – seperti Kareng Bangki rai – masih ada dusun-dusun
yang hanya dapat dicapai melalui sungai, yang membu tuhkan biaya yang cukup
tinggi untuk bahan bakar
Untuk komunikasi inter-personal, telepon genggam (handphone) sudah men-
jangkau hampir semua desa kajian. Pada setiap pertemuan selama kajian,
niscaya ada beberapa warga masyarakat yang membawanya. Hanya saja di
beberapa lokasi sinyal tidak tertangkap.
2. Analisa pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
Masalah utama yang dihadapi masyarakat kawasan Seba ngau dalam mengolah
sumber-sumber penghidupannya adalah degradasi mutu lingkungan. Mengingat bahwa
mata pencarian sebagai nelayan adalah yang utama ba gi kebanyakan warga
masyarakat, persoalan yang paling menonjol dan terpenting adalah menurunya hasil
tangkapan ikan. Warga masyarakat peserta kajian men yebutkan beberapa sebab,
antara lain:
• Menurunnya baku mutu air sungai karena pencemaran. Masyarakat menduga
bahwa sumber pencemaran yang utama adalah perkebuna n kelapa sawit.
Disebutkan bahwa dalam beberapa kejadian banyak ika n yang mati setelah hujan
dan hal ini menjadi dasar dugaan bahwa bahwa pencemaran terjadi manakala
pupuk, pestisida, herbisida dan bahan-bahan pencema r lain terbawa ke sungai
oleh air hujan.
Sumber-sumber pencemaran lain yang diduga mengusik ekosistem habitat ikan dan
disebutkan di beberapa desa adalah pertambangan (an tara lain di Tumbang
Runen, Talingke, Sebangau Mulya), limbah dari kota (di Kereng Bengkirai) dan
pembukaan lahan pertanian oleh masyarakat sendiri.
40
Walaupun memang peristiwa menurunnya populasi ikan secara drastis dan dalam
waktu yang singkat bisa menjadi indikasi kuat bahwa pencemaran yang menjadi
penyebabnnya, sampai saat ini hal ini belum benar-b enar terkaji. Namun atas
prakarsa WWF bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Katingan telah dilakukan pengkajian mutu air di beb erapa lokasi sample di
sepanjang Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Lapo ran itu menyebutkan “Air
terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas,
pH yang rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti klor bebas
dan Fenol melebihi ambang batas yang dipersyaratkan”7. Selain itu beberapa
bahan pencemar lain yang ditemukan pengujian itu ad alah amonia8, Nitrit9, Fe10,
dan Zn.11 Hasil pengkajian mutu air tersebut disampaikan sebagai Lampiran 5.
Tentu pengujian air itu belum konklusif karena baru menunjukan mutu air pada
saat sample diambil dan dirancang untuk menjawab pertanyaan ten tang
kesesuaian mutu air untuk budidaya ikan serta tidak dirancang untuk meng-
identifikasi sumber-sumber pencemaran.
Walaupun masih perlu dibuktikan, dugaan pencemaran itu sudah juga menjadi
sengketa antara mereka yang menderita akibat dampak pencemaran itu dengan
pihak yang diduga sebagai pencemar – yakni antara n elayan dengan pengusaha
perkebunan sawit. Sengketa ini belum mencuat/terung kap tetapi masih laten
berupa omelan dan keluhan yang masih terbatas dikal angan masyarakat sendiri.
• Penangkapan ikan yang terlalu banyak. Salah satu penyebab berkurangnya
hasil tangkapan yang disebutkan warga masyarakat pe serta kajian adalah
penangkapan ikan yang terlampau banyak. Diskusi den gan kelompok-kelompok
masyarakat menunjukan bahwa sebagian warga masyarakat sesungguhnya
menyadari bahwa penangkapan berlebih yang melampaui tingkat regenerasi
populasi ikan (over fishing) bisa menjadi salah satu penyebab menurunnya
ketersediaan ikan. Pada gilirannya penangkapan berl ebih itu disebutkan terjadi
karena:
� Peningkatan jumlah orang yang menangkap ikan . Peningkatan jumlah orang
yang menangkap ikan terjadi karena meningkatnya jum lah penduduk desa
setempat, tetapi disebutkan bahwa yang lebih signif ikan adalah para
pendatang dari luar desa, yakni nelayan-nelayan dar i desa-desa tetangga dan
para pemancing dari kota yang menangkap ikan lebih sebagai rekreasi.
� Alat-alat tangkap yang efisien tetapi tidak ramah l ingkungan. Disebutkan
bahwa para sebagian dari nelayan pendatang menangka p ikan menggunakan
racun seperti potasium/tuba dan listrik (disetrum) yang bukan saja membunuh
ikan dewasa tetapi juga bahkan benur dan telur ikan . Juga ada penggunaan
jaring dengan mata-jaring yang terlampau kecil sehi ngga ikan yang belum
7 Laporan tentang Analisis Kualitas Air Contoh Air WWF Untuk Kegiatan Budidaya Ikan; Pengujian yang dilakukan oleh Laboratorium Kesehatan Propinsi Kalimantan Tengah.
8 Ibid, No sample 370 9 Ibid, No sample 370 dan 371 10 Ibid, No sample 369, 372, 373, 374, 375, 377, dan 378. 11 Ibid, No sample 373.
41
dewasa pun ikut tertangkap. Bahkan disebutkan bahwa sebagian nelayan
memang sengaja menangkap benur karena ada permintaa n pasar untuk itu.
• Perubahan lingkungan. Sebab lain yang disebutkan nelayan adalah kerusakan
habitat tempat pemijahan ikan, yakni di pampanan (r umpun tanaman rasau dan
bakung) di sepanjang Sungai Sebangau. Pada tahun 50 -andan 60-an ketika
pampanan sebagai sumber ikan masih banyak dan baik, hasil tangkapan
melimpah. Pada tahun 1969 pampanan mulai terbuka ak ibat mulai beroperasinya
perusahaan kayu sehingga pada awal tahun 70-an hasi l tangkapan ikan mulai
dirasakan menurun.
Sejauhmana tepatnya penangkapan berlebih berpengaru h pada populasi ikan
tentu sukar dipastikan hanya berdasarkan pengalaman para nelayan warga desa
yang diungkapkan dalam kajian ini, tetapi bahwa hal itu merupakan salah satu
faktor kiranya dapat diterima.
Degradasi sumberdaya alam – dalam hal ini ikan sungai - karena eksploitasi
berlebih oleh nelayan yang bertambah jumlahnya menc erminkan terjadinya
kompetisi yang tidak terkendali baik antara warga masyarakat setempat maupun
antara warga masyarakat dengan pendatang. Secara de facto terjadi open access
karena dalam kenyataannya tidak ada aturan-aturan y ang membatasi jumlah
tangkapan. Walaupun seperti sudah digambarkan diata s memang ada beberapa
aturan lokal tentang penangkapan ikan, tetapi nampa knya kearifan-kearifan itu
lebih merupakan kebiasaan yang berkembang di masyar akat yang lebih terarah
pada pengaturan hak-hak individual atas sumberdaya alam tertentu demi
mencegah konflik antar individu. Contohnya adalah l okasi penempatan alat
tangkap ikan di sungai; jika seorang nelayan telah memasang alat tangkap di
lokasi tertentu, nelayan lain yang datang kemudian akan menghormati hal itu
dan memasang alat tangkapnya di tempat lain.
Ketidak mampuan masyarakat lokal untuk melindungi s umberdaya alam dari
eksploitasi berlebih tersebut, baik oleh warga komunitas desa (kelurahan) itu
sendiri maupun oleh orang luar, selain oleh ketiadaan aturan juga disebabkan
oleh lemahnya kelembagaan masyarakat. Nyatanya di t ingkat desa tidak ada satu
pihak pun yang mempunyai kewenangan, kewibawaan dan kekuatan yang
memadai untuk mengembangkan dan menegakan sistem pe ngelolaan sumberdaya
alam sungai.
Faktor lain lemahnya aturan-aturang pengelolaan sumberdaya sungai tersebut
adalah kenyataan bahwa penurunan hasil tangkapan it u baru dirasakan beberapa
tahun belakangan ini. Ketika sumberdaya alam nampak nya melimpah adanya
sistem pengelolaan dengan berbagai aturan dirasakan kurang penting sehingga
memang belum berkembang, dan memang tidak menjadi s engketa. Namun ketika
hasil tangkapan menurun dan nelayan menduga bahwa p enurunan ini adalah
akibat dari perilaku pihak lain (sesama nelayan, or ang luar, perusahaan, WWF,
pemerintah) maka dapat dikatakan bahwa sudah ada se ngketa sumberdaya alam
dan lingkungan yang laten (tidak terungkap sebagai sengketa) yang tidak
terkendali antara semua pihak yang mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut.
• Kepastian akses terhadap lahan. Seperti sudah disebutkan karena adanya
ketidak jelasan batas desa ada wilayah-wilayah yang digarap oleh warga
42
masyarakat tanpa ada kepastian hak mereka atas laha n garapan tersebut. Hak
atas lahan petani secara individual diakui secara l okal oleh sesama warga desa,
tetapi belum tentu diakui oleh pihak-pihak dari lua r desa. Pada saat ini belum
ditemukan warga masyarakat yang mempunyai sertifika t kepemilikan lahan yang
dikeluarkan oleh BPN.
• Sengketa sumberdaya alam. Khasanah pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia senantiasa sarat dengan sengketa, dan kaw asan Sebangau bukanlah
perkecualian. Hanya saja kebanyakan sengketa yang t erjadi masih bersifat laten
dan mengendap dibawah permukaan. Pada saat pengkaji an warga masyarakat
peserta diskusi dan responden survey secara informal mengungkapkannya, tetapi
sampai saat ini belum ada usaha yang sistematis unt uk mengungkap, mengenali,
dan menyelesaikan sengketa-sengketa itu.
3. Analisa Kelembagaan
Salah satu hal penting dalam pengelolaan sumberdaya alam secara keberlanjutan
adalah kemampuan komunitas pengguna sumberdaya alam tersebut untuk
mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam agar teta p dalam batas daya-
dukung/kemampuan regenerasi. Hal ini memerlukan tat a-kelola sumberdaya alam
yang berorientasi pada keberlanjutan, dan pada gili rannya pengembangan tata-
kelola sumberdaya alam seperti itu niscaya memerlukan kelembagaan yang efektif,
yang berkemampuan untuk merumuskan aturan-aturan ya ng bijak dan tepatguna
serta mempunyai kekuatan untuk menegakan aturan-atu ran itu.
Namun temuan lapangan kajian ini menunjukan bahwa k elembagaan masyarakat,
khususnya pemerintah desa dan BPD, belum dapat berf ungsi secara optimal karena
berbagai kelemahan internal sebagaimana telah dipap arkan diatas. Selain hal-hal
itu beberapa persoalan lain adalah:
• Lemahnya kepemimpinan. Sementara kepemimpinan tradisional telah memudar
dan tidak lagi nyata ada, kepemimpinan formal (Pemdes dan BPD) belum lagi
menunjukan prakrasa yang memadai dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
belum mampu menegakan kewibawaannya, baik di kalang an konstituennya
sendiri maupun terhadap pihak-pihak di luar desa.
• Tumpang-tindih hubungan kekerabatan dengan hubungan kelembagaan.
Penegakan aturan yang konsisten di desa sering terk endala oleh fakta bahwa di
desa yang penduduknya relatif sedikit, hubungan kek erabatan antar warga
sangat kental dan lebih kuat mewarnai hubungan warg a dengan aparat desa
secara perorangan daripada hubungan yang profesional, dan sering tidak ada ke
mampuan untuk memisahkan keduanya
• Belum berkembangnya Partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam
upaya-upaya pembangunan masyarakat yang diprakarsai pihak-pihak dari luar
desa belum banyak berkembang. Walaupun warga masyar akat ikut-serta dalam
proyek-proyek, sering partisipasi mereka – kalaupun boleh disebut partisipasi -
hanya terbatas sebagai penerima dan pelaksana proye k. Bahkan dalam ajang
perencanaan yang disediakan oleh pemerintah, terutamanya Musrenbang Desa)
(musyawarah perencanaan pembangunan) warga masyarak at belum banyak
43
dilibatkan, juga Musrenbang Kabupaten belum melibat kan perwakilan desa
secara bermakna.
• Degradasi modal sosial. Seperti sudah dikatakan, modal sosial masyarakat
cenderung melemah karena berbagai faktor. Sering di katakan bahwa ini terjadi
karena kurangnya ketahanan sosial-budaya terhadap p engaruh-pengaruh
eksternal melalui terpaan media. Walaupun ada unsur kebenaran disini, menilik
sejarah kawasan nampaknya yang lebih berpengaruh ad alah perubahan sosial,
budaya, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi sangat cepat akibat “jaman kayu”
Ketika dalam kurun waktu kurang dari satu generasi tatanan ekonomi bergeser
dari ekonomi subsisten yang berorientasi survival menjadi ekonomi uang
berorientasi konsumsi.
Di beberapa desa perubahan politik pasca reformasi juga nampak menjadi faktor
ketika dalam pemiliham kepala daerah — bahkan pemi lihan kepala desa —
terjadi sengketa antara kelompok-kelompok di desa karena dalam pemilu itu
mendukung partai ataupun calon yang berbeda. Kubu-k ubu yang terjadi itu
walaupun tidak bersengketa secara terbuka cenderung enggan bekerjasama
Dibawah Bayangan Jaman Kayu
Pada akhir tahun 60-an, kebijakan untuk menopang ek onomi nasional dengan eksploitasi
sumberdaya alam diawali, dan perusahaan-perusahaan kayu mulai beroperasi. Tahun 70-an
sampai dengan akhir tahun 90-an merupakan masa tiga dasawarsa eksploitasi hutan Kalimantan
secara besar-besaran, dan kawasan Sebangau bukan pe rkecualian. Paling tidak ada 11 perusahan
logging yang mendapatkan konsesi HPH dan kemudian mulai be roperasi di kawasan ini pada tahun
80-an
Dimulainya operasi pembalakan kayu oleh perusahaan HPH membutuhkan banyak tenaga kerja.
Selain memicu datangnya imigran dari luar daerah, j uga banyak warga masyarakat berbagai desa
di kawasan Sebangau bekerja sebagai buruh di perusa han-perusahaan kayu. Bahkan ada desa-desa
yang nyaris semua warganya bekerja dalam eksploitas i kayu ini. Pembalakan oleh ke-11
perusahaan tersebut juga memicu pembalakan ilegal y ang diprakarsai oleh “cukong-cukong” dan
kegiatan itu pun banyak mempekerjakan warga masyara kat lokal. Kegiatan illegal logging secara
besar-besaran mencapai puncaknya pada tahun 2001.
Selain itu operasi pembalakan juga membuka berbagai kawasan hutan yang tadinya tidak diakses
oleh warga masyarakat. Kini dengan jalan-jalan logging dan kanal-kanal, warga masyarakat dapat
masuk ke hutan dengan lebih mudah. Berbagai hasil h utan pun mulai dicari dan dikumpulkan pada
skala komersial, antara lain rotan, pantung, gemor, damar, gaharu, dan lain-lain.
Kemudian, satu-persatu konsesi kayu berakhir, pada tahun 2003 illegal logging besar-besaran
berhentu, pada tahun 2004 semua perusahaan kayu tut up total, dan Taman Nasional Sebangau
ditetapkan; “jaman kayu” berakhir, dan warga masyar akat harus kembali ke mata-pencaharian
mereka yang lama. Namun sementara itu sumberdaya al am yang menjadi dasar penghidupan
mereka telah berkurang. Berkurangnya sumberdaya al am adalah hal yang kasat mata, namun
yang mungkin lebih penting adalah putusnya proses p embelajaran sosial di dalam keluarga dan
masyarakat sehingga banyak pengetahuan, ketrampilan , dan kearifan-kearifan lokal yang
berkenaan dengan pekerjaan-pekerjaan tradisional it upun memudar. Akibatnya banyak warga
masyarakat tidak kembali ke pekerjaan tradisonal se bagai nelayan dan petani tetapi memilih
bekerja di perkebunan sawit atau merantau dan beker ja di luar daerah.
44
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Kajian ini telah mengidentifikasi berbagai aspek dan persoalan diranah pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan serta sumber-sumber penghidupan masyarakat,
namun beberapa persoalan utama yang mengemuka di ra ngkum sebagai berikut:
1. Sumber-sumber mata-pencaharian
Selama ini warga masyarakat kawasan Sebangau telah mengembangkan berbagai
mata-pencaharian, terutamanya mata-pencaharian yang mengandalkan sumberdaya
alam yang ada, antara lain menangkap ikan, mengumpu lkan berbagai hasil hutan,
dan bertani. Dengan perkembangan keadaan dan pertam bahan penduduk, tentu ada
keinginan, bahkan keharusan, untuk mengembangkan su mber-sumber penghidupan
yang ada maupun sumber-sumber yang baru, namun bebe rapa kendala yang
dihadapi dalam hal ini adalah:
• Kendala ekonomi. Kelemahan dalam permodalan, pemasaran, pengetahuan dan
ketrampilan kewirausahaan, serta kelembagaan ekonom i masih menjadi masalah
klasik warga masyarakat desa-desa kawasan Sebangau dalam upaya mengem-
bangkan usaha-usaha tingkat subsisten menjadi usaha -usaha yang lebih bermakna
pada skala ekonomis. Ini persoalan pengetahuan baga imana mengelola
perubahan dari usaha di tingkat subsisten menjadi u saha ekonomis untuk pasar.,
keberadaan program-program pengembangan penghidupan masyarakat, serta
akses warga masyarakat terhadap program-program tersebut.
• Kendalala sumberdaya alam. Agar sumber-sumber penghidupan masyarakat itu
dapat berkelanjutan dasar sumberdaya alamnya harus terjaga, namun pada saat
ini ancaman utama terhadap keberlanjutan mata-penca harian masyarakat
tersebut adalah degradasi sumberdaya alam yang menj adi dasar mata-
pencaharian itu sendiri. Degradasi sumberdaya hutan mulai terjadi pada masa
pembalakan oleh perusahaan kayu dan masih terjadi h ingga kini, sumberdaya air
danau dan sungai juga terdegradasi oleh pencemaran, dan lahan terdegradasi
oleh erosi, banjir, dan kebakaran. Degradasi sumberdaya alam ini sudah
mempunyai dampak negatif yang sudah sangat dirasakan oleh masyarakat.
• Kendala eksternal. Beberapa persoalan di luar desa yang menjadi masalah
dalam pengembagan mata pencaharian masyarakat adala h hambatan dalam
infrastruktur transportasi dan komunikasi, serta kebijakan-kebijakan pemerintah
yang menciptakan keadaan yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha
masyarakat, antara lain perijinan perkebunan yang n ampaknya kurang ter-
kendali, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat yang terlalu singkat untuk
mencapai tujuannya, pendampingan yang kurang memada i baik karena kurang-
nya komitmen dan kapasitas pendamping ataupun karen a memang tenaga
pendampingnya tidak tersedia.
2. Sumberdaya alam dan lingkungan
Misi utama Taman Nasional Sebangau dan WWF tentulah konservasi, namun dalam
hal inilah dihadapi beberapa pokok persoalan, antara lain:
45
• Degradasi lingkungan. Kawasan Sebangau dideklarasikan sebagai taman nas ional
setelah mejadi wilayah HPH selama tiga dasawarsa. A rtinya Taman Nasional
Sebangau “mewarisi” wilayah yang untuk sebagian bes ar sudah terdegradasi
karena pembalakan oleh perusahaan kayu pemegang HPH dan masyarakat. Laju
degradasi itu pada awalnya dipicu oleh pembalakan o leh perusahan, kemudian
dilanjutkan oleh warga masyarakat, dan sekarang mas ih berlanjut oleh
perusahaan perkebunan dan warga masyarakat. Usaha p emanfaatan sumberdaya
alam niscaya mengakibatkan degradasi, dan sampai ta raf tertentu terjadinya
degradasi harus diterima sebagai tidak terhindarkan . Karena itu setiap usaha
harus diikuti dengan upaya-upaya untuk sejauh memun gkinkan membatasi
degradasi itu dan memperbaiki dampak negatif yang t erjadi. Namun, nampaknya
di kawasan Sebangau laju degradasi itu sudah diluar kendali para pemangku
kepentingan, dan jika dibiarkan akan mengancam dasa r-dasar kehidupan para
pemangku kepentingan, terutamanya warga masyarakat pedesaan.
• Salah kaprah tentang konservasi. BTNS dan WWF adalah lembaga konservasi
dan inilah yang kemudian dianggap menjadi masalah d ikalangan masyarakat
desa. Sebagian warga masyarakat mempersoalkan keberadaan Taman Nasional
karena memahami taman nasional sebagai kawasan dimana semua hal terlarang,
bahkan masuk ke kawasan itupun menjadi pelanggaran. Pemahaman ini diper-
kuat pula dengan kehadiran jagawana/polisi hutan, d an memang sebagian staf
Taman Nasional mempunyai kewenangan polisional dan hadir dengan seragam
Polhut lengkap dengan senjatanya.
Salah kaprah masyarakat ini nampaknya perlu “diluru skan”; perlu dijelaskan
bahwa konservasi bukanlah preservasi, dan konservasi sesungguhnya bukan hanya
perlu di dalam kawasan, dan juga bahwa konservasi bukan hanya kepentingan
pemerintah dan lembaga konservasi. Kiranya konservasi dan keberadaan Taman
Nasional akan didukung berdasarkan pemahan konservasi sebagai pengelolaan
sumberdaya alam dengan wawasan keberlanjutan untuk kepentingan semua
pihak dan karenanya perlu dilakukan baik di dalam m aupun di luar Taman
Nasional.
B. Rekomendasi/Gagasan
Berdasarkan pemahaman tentang permasalahan-permasal ahan warga desa di kawasan
Sebangau yang tercermin dalam analisa diatas, serta perbandingannya dengan
komponen-komponen model — atau prinsip desain — pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan sebagaimana diidentifikasi oleh Elinor Ostrom, disampaikan
beberapa rekomendasi — atau lebih tepatnya gagasan- gagasan — sebagai berikut:
1. Pengembangan Sumber-sumber Penghidupan
Pentingnya pengembangan sumber penghidupan masyarakat sebagai bagian dari
prakarsa konservasi, dan sebaliknya, pentingnya konservasi dalam upaya
pembangunan masyarakat, sudah diterima secara umum seperti yang tercermin
dalam konsep-konsep Pembangunan Berkelanjutan ( Sustainable Development),
Program Pembangunan dan Konservasi Terpadu (ICDP - Integrated Conservation and
Development Program), Pembangunan berwawasan lingkungan, dan belakanga n ini
yang mulai dipopulerkan adalah Ekonomi Hijau (Greenomics).
46
Dengan mengacu pada konsep payung tersebut kegiatan mata pencaharian (liveli-
hood) di masing-masing desa semestinya dikembangkan berdasarkan potensi
sumberdaya alam yang nyata ada atau (masih) dapat d ikembangkan (kembali),
tanggap terhadap peluang-peluang yang ada, menganti sipasi ancaman-ancaman
eksternal yang sudah terjadi atau mungkin terjadi d i masa yang akan datang, dapat
dikembangkan secara berkelanjutan, serta dikelola dengan pendekatan kearifan lokal
berdasarkan kemampuan masyarakat yang ada.
Dari segi strategi program, yang dicari adalah satu atau dua intervensi strategis yang
cost effective; yakni intervensi yang dapat mengatasi faktor penghambat utama
yang menjadi kendala utama dalam pengembangan sumbe r penghidupan masyarakat.
Intervensi ini berupa suatu inovasi (suatu teknolog i, cara kerja, atau produk tertentu)
yang tepatguna – mudah diajarkan dan mudah dipahami , mudah diadopsi oleh
kebanyakan warga masyarakat dengan pengetahuan, ket rampilan dan sumberdaya
yang sudah mereka miliki, biaya adopsinya terjangkau oleh mayoritas warga
masyarakat, dapat memberikan hasil yang kasat-mata dan nyata dirasakan dalam
waktu yang tidak terlalu lama, serta berpotensi unt uk menjadi dasar pengembangan
livelihood yang lebih luas dimasa yang akan datang. Inilah ya ng sering disebut
sebagai low hanging fruit yang menjadi motivasi awal bagi warga masyarakat untuk
terlibat dalam program. Konon pada tahap ini lebih baik mengintroduksi satu gagasan
yang sungguh bermakna kepada 1000 orang daripada mengajarkan 1000 gagasan pada
satu orang12.
Inovasi awal itulah yang harus menjadi fokus program dan baru ketika inovasi awal
itu telah diadopsi oleh jumlah warga yang cukup banyak, inovasi-inovasi selanjutnya
mulai diperkenalkan untuk mengembangkan sistem livelihood yang lebih baik.
Mengingat bahwa sumber penghidupan masyarakat cukup terdiversifikasi dan ada
keanekaragaman antar desa, barangkali tidak terlalu mudah untuk menemukan satu
atau dua inovasi tunggal yang sesuai untuk mayorita s warga masyarakat. Bisa jadi
bahwa untuk kelompok masyarakat tertentu atau himpu nan beberapa desa (cluster)
tertentu diperlukan inovasi atau intervensi yang be rbeda-beda. Tetapi jika ada ter-
lalu banyak gagasan, selain bahwa program akan kehi langan fokusnya ini juga akan
menyulitkan staf lapangan.
Karena desa-desa yang berbatasan langsung dengan at au mempunyai akses ke Taman
Nasional cukup banyak sementara staf lapangan terba tas, pada tahap awal mungkin
program perlu difokuskan pada desa-desa yang secara nyata atau potensial
mempunyai interaksi yang tinggi dengan Taman Nasional. Prioritas pada kegiatan-
kegiatan yang strategis juga bisa berarti bahwa beberapa kegiatan program yang
pada saat ini telah direncanakan atau bahkan sedang berjalan namun dinilai tidak
strategis perlu ditinggalkan, atau paling tidak unt uk sementara diabaikan.
Karena keterbatasannya, kajian ini belum bisa merumuskan rekomendasi tentang
inovasi teknis atau intervensi strategis yang spesi fik. Karenanya mencari dan
menemukan inovasi yang tepat tentu harus dilakukan bersama dengan warga
12 Strategi penyuluhan pertanian ini diuraikan oleh R oland Bunch dalam Two Ears of Corn, A Guide to People Centered Agricultural Development. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul “Dua Tongkol Jagung, Pedoman Pembangunan Pertanian yang terpusat pada Manusia”
47
masyarakat melalui kajian bersama serta ujicoba inovasi. Tentu tidak dengan serta-
merta semua warga masyarakat akan mengadopsi inovas i yang diperkenalkan, tetapi
senantiasa ada beberapa warga yang lebih terbuka da n lebih tanggap terhadap
gagasan yang disampaikan dan mereka ini bisa menjad i mitra program dalam ujicoba
teknologi. Dengan pendampingan yang memadai para pengadopsi dini (early adopter)
ini dikemudian hari mungkin berkembang menjadi kade r program.
Kegiatan livelihood yang mungkin bisa dipertimbangkan sebagai fokus kaj ian program
yang lebih rinci semestinya mempertimbangkan pola s umber-mata pencaharian yang
sudah ada sebagaimana telah digambarkan, yakni adan ya (1) Gugus desa-desa
bermata pencaharian utama pertanian tanaman pangan, terutama di desa-desa
transmigrasi di kecamatan Mendawai dan Katingan Kua la; (2) Gugus desa-desa
bermata pencaharian nelayan (darat dan laut) di sep anjang sungai Sebangau dan
sungai Katingan; dan (3) Gugus desa-desa bermata pencaharian petani karet dan
sayur-sayuran kanan-kiri poros jalan Palangka Raya-Banjarmasin dalam wilayah
kecamatan Bukit Batu dan Kahayan Hilir. Tentu perlu dipertimbangkan bahwa
sebenarnya gugus- gugus desa berdasarkan mata-pencaharian dominan ini hanyalah
pola umum dan ada tumpang-tindih antara gugus-gugus itu.
• Pertanian. Di gugus desa-desa bermata pencaharian utama perta nian tanaman
pangan, terutama di desa-desa transmigrasi di kecamatan Mendawai dan Katingan
Kuala, fokus program pada pertanian berkelanjutan ( sustainable agriculture)
kiranya patut dipertimbangkan. Tentu kajian untuk m engidentifikasi intervensi
yang paling cost–effective dan tepatguna antara berbagai alternatif yang ada
seperti konservasi tanah dan air, introduksi benih unggul, penyediaan sarana
produksi, pengendalian hama-terpadu, pengembangan p emasaran, dan sebagainya
masih perlu dilakukan.
Selain itu, intervensi untuk mengatasi penyebab sos ial adanya lahan-lahan
pertanian yang potensial namun ditinggalkan tanpa d igarap perlu diekplorasi.
Juga, ancaman terhadap lahan pertanian seperti banj ir musiman tentu jadi
pertimbangan.
• Perikanan darat – nelayan sungai. Di gugus desa-desa bermata pencaharian
nelayan (darat dan laut) di sepanjang sungai Sebang au dan sungai Katingan focus
program pada mata pencaharian utama itu patut bisa dipertimbangkan. Geografi
kawasan yang datar dan rawa-rawa dengan sungai dan danau telah terbukti
menjadikan penangkapan ikan sangat layak sebagai da sar penghidupan masyarakat
nelayan. Nampaknya faktor pembatas utama dalam mata -pencaharian ini adalah
penurunan mutu bakusungai; artinya jika hal ini dap at diatasi tingkat pendapatan
warga masyarakat nelayan akan meningkat (kembali) secara bermakna. Namun
masalah mutu air sungai adalah masalah bersama yang tidak dapat ditangani
nelayan secara perseorangan. Hal ini adalah urusan lembaga desa — Pemerintah
Desa — sementara pemberdayaan Pemdes adalah inovas i yang kemudian.
48
• Perkebunan Karet Rakyat. Di gugus desa-desa bermata pencaharian petani karet
dan sayur-sayuran di kanan-kiri poros jalan Palangka Raya-Banjarmasin dalam
wilayah kecamatan Bukit Batu dan Kahayan Hilir prog ram dapat difokuskan pada
pengembangan karet. Di beberapa desa seperti desa-d esa Henda, Garung, Singam
Raya, dan Bakung Raya karet sudah menjadi pilihan m ata-pencaharian mayoritas
petani. Beberapa faktor yang mendukung usaha ini ad alah kondisi tanah yang
sudah terbukti cocok untuk pertumbuhan karet, letak kebun-kebun yang strategis
di sepanjang poros selatan jalan trans-Kalimatan akan memudahkan transportasi
untuk penjulan karet, kebutuhan pasarnya terus meni ngkat, adanya dukungan
modal usaha dari pedagang pengumpul, serta adanya pabrik pengolahan karet di
Desa Garung, Kuala Kapuas (Kabupaten Kapuas) dan di Tangkiling (Kota Palangka
Raya), dan adanya kemungkinan untuk menjual karet d an hasil pengolahan pabrik
karet keluar daerah melalui pelabuhan laut di Sampi t atau ke Banjarmasin.
• Jasa lingkungan. Walapun ada masalah degradasi lingkungan, masih ada beberapa
jasa lingkungan kawasan Sebangau yang potensial memberikan peluang untuk
pemanfaatan ekonomis. Apalagi pengelolaan jasa lingkungan sebagai sumber
pendapatan adalah pertemuan ideal antara ekonomi da n ekologi.
� Pariwisata. Keanekaragaman hayati dan budaya di kawasan Seban gau cukup
tinggi dan ini dapat menjadi salah satu faktor pendukung untuk mengembang-
kan berbagai bentuk wisata alam atau ekowisata mela njutkan rintisan
Memelihara Ikan dalam Kolam Terpal
Ketika hasil penangkapan ikan menurun dan pemelihar aan ikan dalam keramba tidak lagi
memungkinkan karena penurunan mutu air sungai, prog ram Sekemoza mengintroduksi teknologi
pemeliharaan ikan dalam kolam terpal. Dengan teknol ogi ini mutu air dalam kolam terpal dapat
dikendalikan dan penempatan kolam terpal diatas per mukaan tanah menceganya dari terpaan
banjir musiman. Pertanyaannya adalah: apakah ini te knologi tepatguna yang bernilai strategis
sebagaimana yang diharapkan?
Bahwa dari segi teknis teknologi ini bekerja sudah terbukti melalui serangkaian ujicoba bersama
warga masyarakat. Juga membangun kolam ini dapat di lakukan kebanyakan warga desa dengan
ketrampilan dan peralatan yang telah dimiliki serta dengan biaya terjangkau.
Pengalaman selama ini menunjukan masih ada beberapa masalah dalam pengelolaan kolam itu,
antara lain kesulitan dalam filtrasi air masuk sert a pembuangan air untuk menjaga agar air kolam
itu tetap bersih. Namun hal-hal itu cepat teridenti fikasi, solusi cepat ditemukan dan dapat
diterapkan bersama warga pemilik kolam. Artinya pro ses ujicoba dan pembelajaran bersama
warga masyarakat cukup berjalan dan masih berlanjut . Sejauhmana tahap ujicoba ini dan
pengembangan selanjutnya membantu dalam perubahan d ari nelayan penangkap ikan menjadi
petani pemelihara ikan – perubahan sikap untuk meng elola rutinitas pemeliharaan ikan – tentu
masih harus dilihat kemudian.
Hanya saja, tingkat pendapatan potensial dari ikan yang dapat dipanen dari sebuah kolam terpal
belum dapat mengimbangi kehilangan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan ikan di sungai,
dan diperkirakan untuk mengimbangi kehilangan itu d iperlukan antara 10 sampai 12 kolam.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah ini memang sol usi permanen yang patut terus dikembang-
kan? Ataukah ini lebih pemecahan masalah yang bersi fat sementara pemecahan mendasar
masalah pencemaran dan rehabilitasi habitat ikan da pat diatasi dikemudian hari?
49
pengembangan ekowisata yang sudah dimulai. Menurut Irawan dan Siregar
(2014), beberapa potensi wisata yang dapat dikemban gkan di TNS adalah
keindahan /bentang alam, ekosistem unik, flora dan fauna, seni dan budaya
masyarakat lokal/karya-karya seni, adat istiadat dan segala bentuk kegiatan
masyarakat yang menunjang kegiatan ekowisata. Semen tara itu beberapa
paket wisata yang dapat dikembangkan untuk ditawark an kepada wisatawan
adalah jenis-jenis wisata sungai seperti rafting, t rekking, canoeing,
memancing dan lain sebagainya. Juga pengembangan wi sata pendidikan dan
penelitian di kawasan Taman Nasional Sebangau bisa dipertimbangkan,
Persoalannya adalah bahwa pengembangan pariwisata pada skala yang secara
ekonomis memadai bukan perkara yang sederhana dan memerlukan
pendekatan sistemik yang mencakup berbagai hal yang saling berkelit-
kelindan. Ini memerlukan proses pembelajaran yang bertahap dan wawasan
jangka panjang sehingga pengembangan pariwisata bar angkali layak tetapi
bukan sebagai prakarsa awal program.
� Pembayaran Jasa Lingkungan. Keberlanjutan jasa lingkungan adalah
kepentingan publik yang selama ini dianggap menjadi tanggungjawab
Pemerintah dan pemeliharaanya dibiayai dengan dana Pemerintah. Gagasan
bahwa masyarakat dapat turut berperan dalam pemelih araan jasa lingkungan
dan mendapat imbalan finansial untuk itu kemudian m elahirkan konsep PES
(Payment for Environmental Services), dan sesungguhnya WWF telah cukup
berpengalaman dalam hal ini.
Bentuk PES yang sederhana dan sudah banyak dilakuka n adalah membayar
warga masyarakat untuk beberapa kegiatan pemelihara an lingkungan seperti
membuat persemaian dan menanam pohon dalam proyek penghijauan atau
bekerja dalam pembuatan tabat. Kelemahan cara ini a dalah bahwa proyek
seperti itu tidak berkelanjutan sebagai mata-pencah arian karena warga
masyarakat hanya bekerja sebagai buruh secara insidental.
Rintisan Ekowisata di Punggu Alas
Dalam rangka merintis pengembangan ekowisata bebera pa tahun yang lalu di desa Karui telah
dibangun suatu Visitor Centre di dalam kawasan Taman Nasional. Walaupun wisatawan yang
berkunjung masih sangat insidental dan terbatas jum lahnya, beberapa warga masyarakat sudah
menikmati peluang untuk memperoleh sedikit tambahan penghasilan.
Setelah terhenti beberapa tahun karena beberapa per soalan, kini direncanakan untuk memulai
kembali upaya ini; fasilitas guesthouse sedang dirancang dan rencana tapak yang sudah diran cang
akan dimutakhirkan.
Salah satu daya-tarik yang sekaligus juga kendala a dalah bahwa lokasi kunjungan itu ada di zona
rimba kawasan konservasi yang bagaimanapun terbatas daya-dukungnya untuk kunjungan
wisatawan, apalagi kawasan itu juga direncanakan un tuk kawasan penelitian.
Pertanyaannya adalah apakah dengan kendala-kendala itu kunjungan wisatawan ke lokasi itu
dapat mencapai skala ekonomis yang memadai untuk memberikan insentif yang cukup sebagai
motivasi untuk partisipasi dalam menjaga kawasan Taman Nasional?
50
Salah satu prakarsa PES yang lain adalah REDD+ (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation). Gagasan skema REDD+ nampaknya
baik karena memberikan insentif keuangan yang nyata dan berkelanjutan
walaupun jasa lingkungannya sendiri, yakni pengatur an iklim melalui
pengurangan pemanasan global, cukup abstrak bagi kebanyakan warga
masyarakat dan tidak bisa dirasakan secara lokal. S ayangnya sampai saat ini
pelaksanaan skema ini masih macet dalam perundingan -perundingan
internasional.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah WWF dan BTNS d apat memprakarsai
pengembangan skema PES lokal, misalnya untuk pengaturan tata-air guna
mengurangi banjir dan menghindari kekeringan melalu i rehabilitasi hutan
gambut? Atau jasa lingkungan pemeliharaan baku mutu air sungai Sebangau
dan sungai Katingan? Tentu dengan skema pembagian manfaat yang jelas dan
melalui proses FPIC (Free Prior Infomed Consent) yang benar.
Apapun kegiatannya, untuk mendukung pengembangan ke giatan perekonomian
masyarakat dan mengawal prakarsa-prakarsa masyarakat dalam hal ini akan
diperlukan beberapa kegiatan pendukung;
• Pendampingan Teknis. Apapun kegiatan yang dilakukan dan apapun tingkat
ketrampilan teknis yang sudah dimiliki masyarakat, pendampingan teknis dalam
penerapan gagasan niscaya dibutuhkan.
• Pendampingan Usaha. Mengembangkan suatu usaha masyarakat yang pada
saat ini hanya sedikit diatas kegiatan subsisten me njadi suatu usaha pada skala
yang secara ekonomis lebih bermakna niscaya memerlukan proses pembelajar-
an yang cukup lama dan intensif. Proses pembelajaran yang bukan saja
mencakup hal-hal teknis ketrampilan wirausaha tetap i juga pengembangan
sikap kewiraswastaan (entrepreneurship) yang sangat bisa jadi memerlukan
suatu lompatan budaya dari dunia subsisten ke dunia usaha. Hal ini tentu
memerlukan suatu strategi pembelajaran dan pendampi ngan yang sistimatis
dalam jangka-panjang.
• Pengembangan kelembagaan ekonomi. Dalam jangka panjang fasilitasi
pengembangan kelembagaan ekonomi sebagai wadah kerj asama ekonomi antar
warga masyarakat dalam hal permodalan, produksi dan pemasaran diperlukan;
mungkin pada awalnya dalam bentuk kelompok yang di masa yang akan datang
dapat dikembangkan menjadi Kube (kelompok usaha ber sama), koperasi, atau
bahkan badan usaha milik desa (BUMDes). Bahkan lebi h jauh lagi di masa yang
akan datang dapat dibayangkan kelompok-kelompok mas yarakat dari berbagai
desa di kawasan tergabung dalam asosiasi produsen yang membangun kerja-
sama antara mereka, serta kerjasama dengan Pemerintah dan mitra usaha.
Mengelola usaha bukan sesuatu yang mudah dan akan m emerlukan kemampuan
kewirausahaan; mulai dari wawasan usaha, ketrampila n pembukuan dan
kalkulasi kelayakan usaha, sampaipun pada pengemban gan kerjasama dan
mengembangkan strategi pemasaran. Pengembangan kemampuan-kemampuan
itu harus dilaksanakan secara bertahap dan ini nisc aya memerlukan waktu dan
pendampingan yang cukup intensif
51
• Dukungan kebijakan pemerintah setempat berupa kemudahan dalam
berusaha, dukungan fasilitas dan pendampingan serta pelatihan dari instansi
terkait menjadi faktor penting untuk medorong masyarakat dalam pengem-
bangan usahanya. Juga kebijakan-kebijakan pengelola an sumberdaya alam yang
menciptakan peluang-peluang usaha bagi masyarakat a kan diperlukan.
2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat untuk Pelestarian Dasar Sumberdaya Alam.
Dalam jangka panjang yang mutlak diperlukan adalah upaya yang sungguh-sungguh
untuk menjaga keberlanjutan dasar sumberdaya alam ( resource base) yang menjadi
landasan penghidupan masyarakat – terutamanya sunga i, hutan, dan lahan pertanian.
BUMDes di Karui
Beberapa tokoh masyarakat di desa Karui bergagas-ga gas untuk mendirikan Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes). Mereka menyadari perlunya kelembagaa n ekonomi dan sebenarnya sudah
mempunyai koperasi. Hanya saja rupanya koperasi ini diprakarsai dan didominasi pihak dari luar
desa; disebutkan “kami diberi koperasi” oleh suatu perusahaan, dan kemudian koperasi itu tidak
berfungsi. Karena pengalaman kurang positif dengan koperasi ini pilihan mereka kemudian jatuh
pada BUMDes, dan menyadari kelemahannya, mereka ber prakarsa mencari pendampingan dan
menghubungi WWF untuk itu.
Dalam pertemuan awal antara tokoh-tokoh masyarakat Karui dan WWF suatu agenda
pendampingan pun disepakati, agenda itu terfokus pa da pemenuhan aspek legal – terutama
bagaimana merumuskan Peraturan Desa (Perdes) pemben tukannya. Kepala Desa ingin bahwa
BUMDes segera terbentuk agar dapat masuk dalam angg aran desa yang akan diajukan dalam
beberapa bulan yang akan datang.
Prakarsa ini tentu sangat baik dan memang perlu did ukung, namun agar tidak mengulangi peng-
alaman kurang baik dengan koperasi bentukan perusah aan dan KUD (Koperasi Unit Desa) kiranya
ada beberapa persyaratan substansial yang perlu dikembangkan terlebih dahulu, antara lain:
� Sekelompok orang diluar aparat desa dan BPD yang dapat mengelola usaha BUMDes; orang
yang mempunyai wawasan usaha dan mampu menjalankan usaha itu dengan cukup profesional.
Kalaupun tidak tersedia di desa, orang-orang ini dapat direkrut dari luar desa, tetapi
menemukan tenaga profesional yang bersedia ditempat kan di desa akan menjadi tantangan
tersendiri.
� Kemampuan Pemdes untuk mengarahkan dan mengendalika n BUMDesa. Karena BUMDes
memang milik desa serta mengelola aset dan sumberda ya alam desa, harus dapat dipastikan
bahwa BUMDes memang melakukan tugasnya itu dan peme rintah desa, khususnya Kepala Desa
sebagai Penasihat BUMDes memang mempunyai kapasitas untuk itu.
� Kemampuan pengawasan oleh BPD dan masyarakat. Warga masyarakat, khusunya para anggota
BPD juga harus cukup memahami usaha BUMDes dan mempunyai kapasitas yang memadai untuk
mengawasi kinerja BUMDes.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana mengembang kan kapasitas itu? Lalu, jika dapat
diperkirakan bahwa pengembangan kapasitas para piha k itu perlu dilakukan secara bertahap, dan
itu pastinya perlu waktu, apa yang menjadi priorita s; aspek legal atau kemampuan wirausaha,
yang mana dulu? Apakah bukan sebaiknya BUMDes didir ikan pada saat kita sudah dapat
memastikan, misalnya, bahwa BPD memang sudah cukup kuat?
52
Namun hal ini tidak akan terjadi manakala warga mas yarakat sebagai pemangku
kepentingan utama tidak terlibat secara aktif dalam hal ini. Artinya peran
masyarakat sebagai pengelola sumberdaya alam harus dikembangkan. Cita-cita
demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam yang tercermin dalam konsep
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM atau Community Based
Natural Resource Management – CBNRM) seyogyanya menjadi bingkai kebijakan dan
pendekatan program di kawasan Sebangau.
Catatannya adalah bahwa “masyarakat” dalam konsep P SABM harus dipahami bukan
hanya sebagai masyarakat adat atau masyarakat setempat, tetapi juga sebagai
komunitas semua para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta,
dan LSM. Beberapa rekomendasi berikut adalah penjabaran dari PSDABM tersebut.
3. Pendekatan Partisipatif untuk Pemberdayaan Masyarakat
Sebagaimana telah digambarkan, sebagian dari kajian ini dilakukan dengan
pendekatan partisipatif antara lain dengan maksud u ntuk mulai memberdayakan
masyarakat melalui keterlibatannya dalam pengkajian dan perencanaan. Kiranya
pendekatan partisipatif ini layak untuk dilanjutkan dan diperluas agar mencakup
bukan saja kajian ini tetapi menjadi pendekatan utama bagi WWF, BTNS dan
lembaga-lembaga mitra lainnya dalam bekerja dengan warga masyarakat di desa-
desa kawasan Sebangau. Beberapa hal yang dianjurkan dalam hal ini adalah:
• Tindak-lanjut perencanaan. Memprakarsai dan mendorong tindak lanjut nyata
atas kegiatan kajitindak partisipatif yang telah di lakukan. Rencana-rencana yang
dirumuskan dalam Pleno Desa yang diselenggarakan da lam rangka kajian ini masih
sangat tentatif dan sangat bisa jadi perlu dikaji k embali bersama warga
masyarakat di masing-masing desa, serta perlu dikongkritkan dan dilaksanakan
walaupun bisa jadi rencana-rencana itu kurang tepat benar. Tentu jika sama sekali
tidak tepat, rencana-rencana itu perlu dibahas kemb ali.
Juga perencanaan pembangunan desa — antara lain Mus renbangdes — di masa
yang akan datang perlu secara konsisten dilakukan s ecara partisipatif.
• Pemantauan dan evaluasi partisipatif. Manakala kegiatan-kegiatan yang
direncanakan secara partisipatif akan dilakukan, pemantauan dan penilaiannya
sepatutnya dilakukan dengan pendekatan yang sama.
• Pengembangan kapasitas staf pendamping. Untuk dapat melakukan proses-
proses partisipatif tersebut di desa diperlukan pendampingan yang cukup intensif
dan berlanjut selama waktu yang dibutuhkan untuk pe ngembangan kapasitas
warga masyarakat dalam menguasai aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap
yang dibutuhkan untuk proses-proses tersebut. Untuk itu dibutuhkan sfaf
pendamping yang berkemampuan untuk memfasilitasi pr oses pembelajaran
masyarakat itu.
4. Pendekatan Kolaboratif pada Skala Kawasan
Sebagian besar permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang dihadapi
masyarakat di desa bukanlah masalah yang bisa disel esaikan dengan kegiatan-
kegiatan yang lokal di tingkat desa. Penurunan popu lasi ikan, misalnya, bukan
masalah satu desa tetapi masalah pengelolaan ekosis tem sungai yang mencakup
53
wilayah semua desa di sepanjang sungai yang bersangkutan, apalagi karena ikan
adalah sumberdaya alam yang bergerak. Tempat ikan dapat ditangkap sangat bisa
jadi berbeda dari tempat ikan berkembang biak, dan penangkapan berlebih di
wilayah satu desa bisa jadi berdampak berkurangnya ikan di desa lainnya.
Artinya yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah kegiatan-
kegiatan yang terkoordinasi antara semua desa. Jika larangan penangkapan ikan
tertentu pada waktu tertentu hanya berlaku di satu desa, misalnya, maka yang akan
terjadi adalah berpindahnya lokasi kegiatan penangk apan yang menyebabkan
masalah itu, tetapi masalahnya tetap akan dirasakan oleh semua desa. Singkat kata,
idealnya sumberdaya alam dikelola pada skala ekosis tem, dan memang pengem-
bangan program dengan pendekatan bentang-alam ( landscape approach)
sesungguhnya sudah menjadi wacana diantara para pemangku kepentingan kunci.
Karena ekosistem sesungguhnya tidak berbatas tetapi dalam kenyataannya wilayah
kerja harus dibatasi, pertanyaanya adalah pada skal a ekosistem manakah kita harus
bekerja. Skala ekosistem yang kiranya dapat dipertimbangkan adalah DAS (Daerah
Aliran Sungai) dan sub-DAS.
Bekerja pada skala itu tentu tidak dapat dilakukan satu lembaga sendiri tetapi
membutuhkan kerjasama antara semua pemangku kepenti ngan. Tentu perlu dipahami
bahwa dalam suatu jaringan kerjasama, kelemahan dan ketidak-mampuan salah satu
pihak merupakan kelemahan bersama dan bahwa mewujud kan pendekatan
kolaboratif pada skala kawasan bukan hal yang mudah dan dapat dicapai dalam
waktu singkat, tetapi suatu usaha yang perlu dikemb angkan secara bertahap dalam
jangka panjang,
Beberapa prakarsa kerjasama jaringan para pemangku kepentingan yang mungkin
dapat dipertimbangkan adalah:
• Kerjasama di tingkat masyarakat, yakni kerjasama antar desa dalam beberapa
hal yang menjadi kepentingan bersama, misalnya dalam memprakarsai kegiatan-
kegiatan penguatan kelembagaan sebagaimana disebutk an diatas seperti
kunjungan belajar antar desa, pelatihan bersama, ka jian bersama dan sebagainya.
Kerjasama antar desa juga dapat dikembangkan dalam mengkoordinasikan
perumusan aturan-aturan pemanfaatan sungai yang men galir melalui desa-desa
mereka dan kerjasama dalam penegakan aturan-aturan itu, pemetaan tata-batas
antar desa, koordinasi produksi untuk pemasaran pada skala ekonomis (misalnya
rotan, karet, dan hasil hutan non-kayu), bersama-sama menghadapi para
pemangku kepentingan lain diluar desa (misalnya dal am negosiasi dengan
perkebunan sawit). Juga kerjasama dalam advokasi kebijakan, antara lain dalam
hal menanggapi perijinan yang dirasakan merugikan masyarakat, atau mendorong
prakarsa pemerintah dalam melindungi sumberdaya alam yang menjadi dasar
penghidupan masyarakat.
Bisa dipertimbangkan untuk membangun kerjasama itu melalui Forum Masyarakat
Taman Nasional Sebangau (Formas) yang pada tahun 2005 sudah dibentuk di lima
kecamatan yang termasuk di dalam kawasan Taman Nasi onal Sebangau yaitu
Kecamatan Sebangau Kuala, Katingan Kuala, Mendawai, Kamipang, dan Tasik
Payawan. Tentu perlu upaya untuk menggerakan kembal i Formas-formas itu, dan
54
di masa yang akan datang mungkin dapat dikembangkan kerjasama antar kelima
formas itu sehingga benar-benar menjadi forum pada skala kawasan. Juga upaya
untuk memperkuat akar masing-masing formas di desa dengan mengkaitkannya
dengan BPD merupakan awal yang baik dengan asumsi b ahwa BPD di masing-
masing desa pun diperkuat.
• Kerjasama multi-pihak. Idealnya, dalam jangka panjang semua pemangku
kepentingan kawasan DAS Sebangau – lembaga-lembaga pemerintah, LSM,
perusahaan, dan masyarakat desa/kelurahan – terliba t dalam prakarsa pengelolaan
sumberdaya alam sesuai dengan kepentingannya masing -masing13. Kerjasama ini
dapat mencakup berbagai hal, antara lain proyek-pro yek pengembangan
livelihood, koordinasi dalam pengkajian dan perencanaan kawas an, pengelolaan
sengketa, dan lain-lain.
5. Pemberdayaan Semua Pemangku kepentingan
Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara kolaboratif pada skala kawasan
sebagaimana disebutkan tentu membutuhkan pengetahua n dan kemampuan semua
pemangku kepentingan. Artinya yang perlu diberdayak an bukan saja masyarakat desa
tetapi semua pihak yang perlu dilibatkan.
Pemberdayaan ini mencakup penyadaran akan permasala han yang dihadapi serta
potensi dalam mengatasi permasalahan tersebut, membangun kekuatan kelembagaan
internal masing-masing pihak serta kemampuan untuk bernegosiasi dan membangun
kerjasama dengan pihak-pihak lainnya.
• Penguatan kelembagaan masyarakat. Salah satu kegiatan kunci di tingkat desa
adalah penguatan kelembagaan masyarakat, terutama P emerintah Desa dan BPD
– baik organisasi maupun aturan-aturannya – karena hanya dengan kelembagaan
masyarakat yang kuat demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam bisa terwujud
dan warga masyarakat desa bisa membangun kapasitas untuk berinteraksi dengan
efektif dengan para pemangku kepentingan lainnya da lam pengelolaan
sumberdaya alam kawasan Sebangau
Fasilitasi pembuatan Perdes tentang berbagai hal – terutama tentang
pengelolaan sumberdaya alam - yang didampingi oleh WWF/BTNS selama ini
merupakan awal yang baik, baik karena proses pembel ajaran yang terjadi
maupun karena hasil perdes-nya sendiri. Namun pembuatan perdes-perdes tentu
perlu disertai pula dengan pengembangan kemampuan u ntuk melaksanakan dan
menegakan perdes-perdes itu. Juga pengembangan RPJMDES dan prakarsa
pemetaan batas wilayah seperti yang telah dilaksana kan di Sebangau Mulya
merupakan bagian dari pemberdayaan ini.
13 Pendekatan Kolaboratif bukanlah rekomendasi yang baru, tetapi sudah direkomendasikan pula dalam studi terdahulu oleh San Afri Awang dan Agus Afianto dalam Studi Kolaboratif Pengelolaan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Taman Nasional Sebangau dan WWF-Indonesia, Kalimantan Tengah
55
• Pemberdayaan para pemangku kepentingan lainnya. Kajian ini terfokus pada
persoalan ditataran masyarakat dan mengajukan bahwa masyarakat perlu
diberdayakan, namun untuk kerjasama yang efektif da lam jaringan kerjasama
semestinya semua pemangku kepentingan mempunyai kek uatan dan kemampuan
yang berimbang. Artinya, pemberdayaan bukan saja di perlukan ditingkat
masyarakat desa, namun diperlukan untuk semua peman gku kepentingan. Ini
tentu saja bukan tanggungjawab para pemrakarsa proyek semata, tetapi perlu
menjadi agenda bersama dalam jaringan.
6. Advokasi Kebijakan
Sudah nyata bahwa beberapa persoalan kunci dalam pe ngelolaan sumberdaya alam
dan pengembangan sumber-sumber penghidupan masyarakat di kawasan Sebagau
berakar dalam persoalan hukum, politik, dan kebijakan pemerintah. Persoalan
menurunnya populasi ikan sungai, misalnya, ternyata berkaitan dengan masalah
regulasi dan perijinan, pemasaran produk-produk masyarakat berkaitan dengan
kebijakan tata-niaga dan pengembangan infrastruktur daerah, tingkat partisipasi
masyarakat berkenaan dengan penerapan proses perencanaan pemerintah, dan
sebagainya. Karenanya dapat dipahami bahwa advokasi kebijakan semestinya
menjadi bagian dari upaya pembangunan. Beberapa age nda advokasi yang mungkin
dapat dipertimbangkan dimasa yang akan datang adala h:
• Pengakuan terhadap kelembagaan masyarakat oleh pihak luar, terutama
pengakuan terhadap kewenangan pemerintah desa dalam hal pengelolaan
sumberdaya alam sebagaimana dijabarkan dalam undang -undang tentang desa.
Walaupun secara legal pengakuan ini telah ada sebag aimana tercermin dalam
undang-undang tentang desa tersebut, dalam kenyataa nnya banyak pihak yang
mengabaikannya baik karena ketidak-tahuan ataupun k arena kepentingan-
kepentingan tertentu.
• Pengembangan regulasi pengelolaan sumberdaya alam di tingkat desa, yakni
peraturan-peraturan Desa (Perdes) yang terarah pada upaya untuk menjaga
keberlanjutan sumberdaya alam. Di kawasan Sebangau yang terpenting saat ini
adalah pengelolaan sungai dan danau serta ikan yang dapat diperoleh darinya.
Pemberdayaan
Istilah “pemberdayaan” mulai populer di ranah pembangunan masyarakat pad a tahun 80-an, dan
pada saat ini istilah itu sudah diterima secara lua s dan telah menjadi bagian dari berbagai kebijak-
an pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah ma upun LSM. Ketika istilah pemberdayaan itu
mulai diadopsi istilah itu merupakan padanan kata “ empowerment” dalam bahasa Inggris yang
bermakna bukan sekedar pengembangan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang teknis
tertentu, tetapi pemberdayaan di ranah sosialdan po litik.
Jika kita mengacu pada makna asli istilah itu, maka kegiatan-kegiatan pengembangan pengetahuan
dan ketrampilan saja tentu tidak cukup karena hanya merupakan sebagian dari upaya pemberdaya-
an itu. Pemberdayaan harus pula mencakup upaya peng uatan kelembagaan dan kekompakan
internal serta membangun kemampuan untuk mengembang kan kerjasama yang konstruktif dengan
pihak-pihaklainnya, bukan saja pada tataran praktis tetapi juga pada tataran kebijakan. Janganlah
kita mengadopsi istilahnya saja sementara melupakan konsepnya.
56
Regulasi itu harus dapat membatasi jumlah orang yang menangkap ikan, jumlah
yang ditangkap serta cara-cara penangkapannya. Pera turan ini bisa dirumuskan
dalam kerjasama antar desa, dan cara kerjasamanya pun dijelaskan dalam
undang-undang desa.
• Pengembangan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat kawasan.
Dalam Undang-undang tentang desa disebutkan bahwa perdes harus sesuai dan
tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerinta h diatas desa (kebijakan
pemerintah propinsi dan kabupaten yang relevan). In i tentu saja baik dan benar,
namun bisa terjadi bahwa kebijakan pemerintah propi nsi dan kabupaten yang
sejalan dengan perdes itu belum ada, tidak sesuai, atau bahkan bertentangan
dengan perdes-perdes yang dikembangkan. Dalam hal s eperti itu perlu upaya
untuk mendorong pengembangan kebijakan pemerintah p ropinsi dan kabupaten
yang mendukung perdes-perdes pengelolaan sumberdaya alam.
• Alokasi dan pengakuan terhadap ruang kelola masyarakat di Taman Nasional.
Untuk dapat mengembangkan partisipasi masyarakat se cara berarti dalam
pengelolaan sumberdaya alam hak-hak masyarakat terh adap sumberdaya alam di
kawasan Sebangau perlu jelas dan legal, misalnya di zona pemanfaatan manakala
baik tata-batas desa maupun tata-batas Taman Nasion al dapat diselesaikan.
• Mendorong para pemangku kepentingan untuk berprakarsa dalam penang-
gulangan pencemaran. Apabila dapat dikonfirmasi bahwa pencemaran memang
sudah dan sedang terjadi, tentu perlu ada usaha unt uk menanggulanginya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Penge-
lolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menegaskan kewajiban para
pemangku kepentingan untuk berprakarsa dalam penang gulangan pencemaran.
Pasal 27, ayat 1, misalnya, menyebutkan bahwa “Seti ap orang yang menduga atau
mengetahui terjadinya pencemaran air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang
berwenang”. Pasal-pasal lainnya mewajibkan pemerintah untuk menindaklanjuti
laporan itu. Pasal 30 ayat 1, bahkan menegaskan bahwa “setiap orang mempunyai
hak yang sama atas kualitas air yang baik” sehingga pencemaran bisa menjadi
perkara pelanggaran hak yang memungkinkan warga mas yarakat menggugat, dan
barangkali suatu class action bisa dipertimbangkan.
Tentu diharapkan bahwa pendekatan konfrontatif, termasuk menggugat sehingga
menjadi perkara hukum, bisa dihindarkan dan pendeka tan kolaboratif bisa di-
wujudkan, tetapi aspek hukum bisa menjadi dasar dan kekuatan dalam advokasi
untuk mendorong kerjasama dalam menyikapi persoalan pencemaran ini.
7. Pengelolaan Sengketa
Sebagian dari persoalan pengelolaan sumberdaya alam utama yang teridentifikasi
dalam kajian ini sesungguhnya merupakan akibat dari sengketa tentang sumberdaya
alam diantara para pemangku kepentingannya. Bisa di katakan bahwa kajian ini
mengungkapkan terjadinya berbagai sengketa sumberda ya alam yang pada saat ini
masih laten dan belum mencuat kepermukaan. Walaupun demikian jika diabaikan
dan dibiarkan berlarut-larut sengketa-sengketa itu berpotensi untuk dapat sangat
merusak, bukan saja sumberdaya alam itu sendiri berkurang atau bahkan habis,
tetapi juga merusak hubungan antara para pemangku k epentingan.
57
Dalam hal ini beberapa gagasan yang dapat dipertimbangkan adalah:
• Dalam jangka pendek – memprakarsai kegiatan pengelo laan sengketa-sengketa
yang telah mulai mencuat, terutama sengketa-sengket a tentang sumberdaya alam
yang menjadi dasar mata pencaharian masyarakat – ya kni sengketa tentang lahan
dan tentang sungai. Hal ini mencakup upaya sistemat is untuk mengumpulkan
informasi yang lebih lengkap dan mendalam tentang s engketa-sengketa yang
terjadi, secara bertahap membangun hubungan antara para pemangku
kepentingan – terutama mereka yang langsung berseng keta – dan mempertemukan
mereka dalam ajang pengelolaan sengketa yang terken dali.
• Dalam jangka menengah sampai panjang - mengembangka n mekanisme
pengelolaan sengketa sebagai bagian terpadu dalam p roses perencanaan dan
kerjasama yang lebih luas di tingkat kawasan. (liha t Butir #4 diatas tentang
Pendekatan Kawasan).
8. Penelitian-penelitian lanjutan
Semestinya pendekatan pengelolaan sumberdaya alam d ilakukan berdasarkan ilmu
pengetahuan (science based) – terutama pengetahuan tentang lingkungan sebagai
konteks dan pembatas akhir pertumbuhan ekonomi - dan bukan berdasarkan
kebijakan-kebijakan politik kontestasi kepentingan para pemangku kepentingan. Dan
memang sesungguhnya WWF telah menyatakan dirinya se bagai lembaga konsevasi
berbasis penelitian (research based consevation organization). Nyatanya masih ada
banyak hal yang menjadi pertanyaan, bahkan menjadi kontroversi dan pangkal
sengketa antara para pemangku kepentingan, karena b elum tersedianya dasar
informasi yang memadai sebagai acuan bersama dalam penentuan kebijakan dan
perencanaan program.
Salah satu hal yang kiranya bisa menjadi masukan ya ng berarti dalam proses
perumusan kebijakan dan perencanaan program adalah penelitian-penelitian ilmiah –
baik penelitian akademis maupun penelitian partisip atif bersama warga masyarakat
desa. Penelitian dan pengkajian tematik beberapa po kok persoalan yang muncul dari
pengkajian ini yang penting untuk perencanaan lanju tan adalah, antara lain;
• Penelitian untuk mengidentifikasi sebab-sebab penurunan mutu air sungai dan
penurunan populasi ikan. Dugaan-dugaan bahwa pencemaran terjadi karena
bahan kimia pertanian (agrochemical – herbisida, pestisida, bahan perangsang
pertumbuhan) dari perkebunan, pencemaran air-raksa (mercury) dari kegiatan
pertambangan emas, dan limbah-rumah tangga harus di sadari sedemikian, yakni
sebagai dugaan yang masih harus dibuktikan benar-sa lahnya. Artinya masih
diperlukan kajian lanjutan yang memastikan ada-tida knya pencemaran itu, tingkat
pencemaran serta sumber pencemarannya, dampaknya te rhadap populasi ikan dan
lingkungan secara lebih luas.
• Dampak Lingkungan dan Sosial Perkebunan Sawit. Perluasan perkebunan sawit
sudah menjadi kecendurungan yang dominan dan telah menjadi pisau bermata dua
yang menciptakan kontroversi di masyarakat. Disatu pihak sebagian orang
menganggapnya anugerah karena membawa investasi yan g meningkatkan
produktivitas lahan yang kemudian meningkatkan pen dapatan daerah – khususnya
Pendapatan Asli Daerah - serta menyediakan lapangan pekerjaan. Dilain pihak
58
sebagian orang menganggapnya bencana karena melihat dampak negatif terhadap
lingkungan dan warga masyarakat. Kajian yang kritis dan objektif kiranya bisa
membantu para pemangku kepentingan menyikapi kontro versi ini secara bijak.
• Penelitian tentang ekosistem lahan gambut dan efektifitas restorasinya
dengan penabatan. Ketika sebagian warga mempertanyakan dan bahkan
menggugat manfaat penabatan, kiranya penelitian ten tang hal ini selain bisa
membantu dalam menjawab gugatan itu dan juga menjad i masukan dalam
perencanaan rehabilitasi ekosistem kedepan. Tentu d isadari bahwa perbaikan
fungsi-fungsi ekosistem merupakan upaya jangka panjang yang tidak dapat segera
dilihat hasilnya, namun data awal mungkin dapat memastikan bahwa ada
kemajuan ke arah yang benar. Mengidentifikasi beber apa indikator perbaikan
ekosistem yang dapat dimonitor bersama dapat juga membantu dalam hal ini,
• Kajian ekonomi lingkungan kawasan Sebangau. Bagaimana sebaiknya kawasan
Sebangau dikelola dari perspektif ekonomi lingkungan? Terkesan bahwa per-
timbangan utama dalam kebijakan pemberian ijin perk ebunan selama ini,
misalnya, adalah manfaat ekonomis dalam arti sempit, yakni berapa tenaga kerja
yang diserap, berapa dana dari perusahaan yang masuk dalam ekonomi daerah,
dan terutama berapa sumbangannya terhadap Pendapata n Asli Daerah (PAD).
Biaya mitigasi dampak lingkungan yang negatif karen a penurunan jasa lingkungan
dan kehilangan pendapatan masyarakat ( opportunity cost), dan beban dampak
lingkungan negatif yang harus ditanggung masyarakat desa, para pemangku
kepentingan lain dan masyarakat umumnya – baik yang nyata maupun yang tidak
kasat mata (intangible) belum lagi teridentifikasi dan seharusnya menjadi
pertimbangan. Kajian ekonomi lingkungan dapat membuka mata para penentu
kebijakan tentang hal ini serta memperkaya wacana d alam proses perencanaan.
• Kajian tentang Perubahan Sosial Budaya. Masa tiga dasawarsa eksploitasi kayu
yang dialami masyarakat kawasan Sebangau bukan saja membawa perubahan
ekonomi dan lingkungan, tetapi juga perubahan sosia l budaya. Tigapuluh tahun
bukanlah waktu yang singkat, dan dapat dibayangkan bahwa warga masyarakat
pada umur produktif saat ini adalah anak-anak yang lahir dan dibesarkan di
“jaman kayu” dalam keluarga yang mencari penghasila n dari kayu. Apa akibat hal
ini terhadap pandangan dan tata-nilai warga masyara kat yang tumbuh dewasa di
masa itu? Apa dampaknya terhadap proses pewarisan budaya dan kearifan
tradisional serta budaya masyarakat desa pada umumnya? Apakah ketika “jaman
kayu” berakhir dan warga masyarakat harus kembali k e mata-pencaharian yang
ditekuni orang tuanya 30 tahun yang lalu, apakah me reka masih mempunyai
kearifan dan pengetahuan yang sama seperti orangtua nya dulu? Apakah (hukum)
adat dan kearifan tradisional itu masih ada, atau w alaupun sudah pudar masih
dapat diperbaharui? Ini adalah beberapa pertanyaan kajian yang dapat membantu
mengarahkan strategi pengembangan program.
• Kajian tentang interaksi ekologis Taman Nasional dengan wilayah sekitarnya –
apakah benar meningkatnya hama dan penyakit tamanan pertanian terjadi karena
degradasi lingkungan di kawasan Taman Nasional? Apakah dampak lingkungan yang
lebih luas jika lingkungan kawasan Taman Nasional t erdegradasi lebih lanjut?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapa t menyadarkan para
pemangku kepentingan tentang perlunya Taman Nasiona l sebagai penyedia jasa
59
lingkungan bagi kawasan Sebangau pada umumnya sebag ai dasar dukungan
terhadap keberadaan Taman Nasional.
• Strategi komunikasi dan pendidikan lingkungan. Semua penelitian hanya akan
bermanfaat secara optimal jika menjadi pengetahuan dan acuan bersama para
pemangku kepentingan. Karenanya hasil-hasil penelit ian perlu dikomunikasikan
kepada para pemangku kepentingan dengan metoda dan media yang tepatguna,
dan untuk itu perlu dikembangkan strategi komunikas i dan pendidikan lingkungan
yang dilaksanakan sebagai bagian dari setiap peneli tian.
VI. Refleksi atas Pelaksanaan Kajian Partisipatif
Seperti yang disampaikan dalam bab tentang metodolo gi kajian, Laporan ini ditulis
berdasarkan kajian yang dilakukan dua tim masing-ma sing dengan metoda yang ber-
beda; (1) Tim gabungan staf WWF dan staf Balai Taman Nasional Sebangau yang
menggunakan Kajitindak partisipatif (PAR atau Participatory Action Research), dan
(2) Tim UNPAR yang melakukan survey. Berikut beberapa catatan tentang yang pertama.
Menilai kajian ini berdasarkan hasilnya dapat dikat akan bahwa kegiatan kajitindak
partisipatif ini untuk sebagian mencapai tujuan-tuj uan sebagaimana yang dirumuskan
dalam rancangannya; (1) Laporan-laporan kajian desa yang ditulis oleh para anggota Tim
cukup memberi gambaran keadaan desa dan dapat digun akan sebagai dasar informasi,
(2) Kegiatan pengkajian memang menjadi pembelajaran bagi anggota tim maupun warga
masyarakat tentang keberadaan desanya masing-masing dan beberapa persoalan
bersama di tingkat kawasan, dan (3) kajian itu meng hasilkan beberapa rekomendasi.
Namun kalau dilihat lebih dalam, pencapaian itu mas ih agak dangkal dan masih jauh
dari yang diharapkan. Informasi hasil kajian masih jauh dari lengkap dan belum benar-
benar terkaji, pembelajaran yang diperoleh barulah pembelajaran awal dan masih jauh
dari pemberdayaan yang diharapkan, dan sebagian dar i rekomendasi untuk masing-
masing desa masih patut dipertanyakan. Beberapa ref leksi kritis atas pelaksanaan kajian
dan capaiannya adalah:.
� Pelatihan metodologi yang terlalu singkat dan terbatas. Prakarsa kajitindak
partisipatif ini diawali dengan pelatihan para anggota tim, termasuk praktek
penerapan teknik PRA di desa, namun waktu pelatihan yang lamanya seminggu
ternyata belum cukup untuk menguasai pengetahuan da n ketrampilan metodologis
pada tingkat yang dibutuhkan. Selain itu konsultan memberikan pelatihan di kelas,
tetapi tidak sempat benar-benar mendampingi di lapa ngan. Juga, karena pelatihan
itu baru pengenalan pertama para peserta dengan met oda kajitindak partisipatif,
ketika mereka berada di desa para pelaksana/pemandu pengkajian bisa dikatakan
masih belajar serta sikap kritis dan naluri penelit i belum berkembang.
� Penerapan di lapangan yang tergesa-gesa. Kajitindak partisipatif mensyaratkan
bahwa warga masyarakat pesertanya benar-benar paham bahwa kajian dilakukan
sebagai dasar tindakan yang benar-benar akan mereka laksanakan. Dalam kenyata-
an, diskusi awal tentang hal ini kurang memadai, da n kalaupun dilaksanakan, warga
masyarakat belum sepenuhnya percaya – persepsi bahwa ini kajian oleh dan untuk
lembaga pemrakarsa – WWF dan BTNS – masih kuat bertahan.
60
Juga, walaupun waktu di masing-masing desa nampaknya cukup, sesungguhnya
waktu diskusi dengan masyarakat cukup terbatas meng ingat apa yang diperlukan
oleh rancangan penelitian yang dikembangkan.
� Partisipasi masyarakat dalam proses pengkajian masih terbatas. Akibat dari kedua
hal diatas, keterlibatan masyarakat dalam proses pengkajian masih cukup terbatas.
Walaupun warga masyarakat yang hadir dalam pertemuan-pertemuan cukup banyak
dan boleh dibilang cukup representatif, partisipasi mereka masih terbatas pada
pengungkapan data sementara dalam proses analisa fa silitator lebih dominan. Hal ini
diperkuat lagi ketika para pemandu kajian masih leb ih berorientasi sebagai peneliti
yang mementingkan terkumpulnya data/informasi daripada berorientasi proses
pembelajaran dalam analisa bersama warga masyarakat .
� Triangulasi tidak memadai. Dalam laporan kajian desa masih banyak terdapat
berbagai pendapat warga masyarakat yang belum terka ji. Artinya data dan informasi
yang diungkapkan warga masyarakat dan kemudian dica tat sebagai temuan kajian
sebenarnya belum sepenuhnya layak dipercaya meyakin kan.
� Rencana Tindak Lanjut belum berdasar hasil kajian. Setelah tahap pengumpulan
data dan analisa awal, semestinya dilakukan analisa umum semua data dan informasi
dan berdasarkan itu warga masyarakat diajak untuk memikirkan tindakan nyata yang
perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan problemat ik yang teridentifikasi. Hal ini
dilakukan di pleno desa dengan harapan bahwa dengan partisipasi yang luas rencana
tindakan itu bisa menjadi nyata. Hal inilah yang be lum sepenuhnya terjadi; sebagian
rencana yang kemudian dibuat tidak dikembangkan ber dasarkan hasil kajian, bahkan
beberapa rencana masih lebih pernyataan harapan aka n bantuan dari pihak luar desa
dan bukan rencana yang benar-benar berniat untuk di lakukan oleh desa.
Karena berbagai kelemahan itu, sebagian hasil kajia n masih kurang mendalam
sebagaimana tercermin dari laporan-laporan kajian desa yang dilampirkan pada Laporan
ini. Tentu semua kelemahan ini dapat dipahami karen a ini memang merupakan peng-
alaman pertama para pemandu dalam melaksanakan kaji an dengan cara partisipatif.
Beberapa catatan yang dapat diberikan berdasarkan p engalaman ini adalah:
� Sebagai sarana “pemberdayaan” kajitindak partisipat if hanya akan efektif jika
dilakukan secara konsisten dan berlanjut dan bukan hanya sekali ini saja. Juga
partisipasi masyarakat yang sejati dengan keterliba tan yang sungguh-sungguh hanya
akan terjadi jika warga masyarakat menyadari kepent ingannya – jika mereka benar-
benar percaya akan prosesnya. Harapannya kajian ini dapat dibahas kembali
bersama masyarakat dalam proses partisipatif di masa yang akan datang.
� Harus disadari bahwa kajitindak partisipatif merupakan proses pembelajaran, baik
bagi warga masyarakat peserta kajian maupun bagi pa ra anggota Tim Pemandu.
Pembelajaran itu hanya akan terjadi manakala pihak- pihak yang terlibat — terutama
pada pemandu — merefleksikan bagaimana mereka mener apkan metodologinya dan
apa hasilnya. Tanpa refleksi seperti ini kesalahan- kesalahan yang dilakukan kali ini
tidak disadari dan akan diulangi pada kesempatan ya ng akan datang.
Laporan yang anda baca ini ditulis oleh para konsul tan berdasarkan laporan-laporan
desa dan hasil survey, dan karenanya laporan ini sendiri tidak mencerminkan
pendekatan kajitindak partisipatif.
61
Berdasarkan data dan informasi itu, Laporan ini kemudian memberikan beberapa
rekomendasi — atau lebih tepatnya mengajukan bebera pa gagasan. Rekomendasi itu
untuk sebagiannya bersifat agak normatif, artinya menyampaikan apa yang secara
teoretis perlu dilakukan jika kita serius ingin men jaga keberlanjutan sumberdaya alam
yang menjadi dasar penghidupan masyarakat dan dengan partisipasi penuh dari warga
masyarakat. Yang tidak dilakukan kajian ini adalah mengkaji keberadaan lembaga-
lembaga yang diasumsikan akan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut.
Sebenarnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa prasyarat lembaga yang akan
menindaklanjuti rekomendasi dan gagasan yang diajuk an dan sejauhmana lembaga yang
ada memenuhi prasyarat tersebut. Pertanyaan ini dia nggap urusan internal lembaga dan
menyangkut kebijakan program dan pengelolaan lembaga.
VII. Penutup
Sebagian dari gagasan dan rekomendasi yang dipaparkan disini masih cenderung bersifat
normatif, artinya rekomendasi tentang tindakan-tind akan yang secara teoretis perlu
dilakukan untuk mengatasi beberapa permasalahan kun ci yang diidentifikasi melalui
kajian tentang keberadaan kawasan Sebangau.
Sebagian dari gagasan-gagasan yang dipaparkan dalam rekomendasi-rekomendasi diatas
sebenarnya sudah dilaksanakan dan tercermin dalam p rogram yang saat ini berjalan,
walaupun terkesan masih terlepas-lepas dan belum te rangkai dalam suatu program yang
dirancang secara strategis. Artinya semua kegiatan yang telah dimulai sebenarnya sudah
menjadi komponen dari suatu strategi, hanya saja pe rlu diprioritaskan dan ditempatkan
dalam strategi yang lebih eksplisit.
Juga, rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini melampaui cakupan proyek
“Sekamoza” dan ranah livelihood masyarakat dalam pengertian yang sempit. Walaupun
ada beberapa rekomendasi tentang pengembangan sumbe r penghidupan masyarakat,
namun karena adanya masalah-masalah pengelolaan sumberdaya alam yang mengemuka
dan sudah nyata bahwa fokus tajam hanya pada masala h peningkatan penghasilan
masyarakat semata dalam jangka panjang justru akan merugikan, banyak rekomendasi
yang lain terarah pada persoalan pengelolaan sumberdaya alam dalam arti yang lebih
luas. Apalagi ketika hasil kajian ini menunjukan ba hwa pengabaian masalah lingkungan
telah mengancam keberlanjutan sumber penghidupan ma syarakat makin jelas pula
bahwa prakarsa pengembangan livelihood memang harus berkenaan dengan sumberdaya
alam dan lingkungan juga.
Rekomendasi-rekomendasi ini belum lagi mempertimbangkan keberadaan para
pemangku kepentingan lain selain warga masyarakat d esa, terutama WWF dan BTNS
sebagai pemrakarsa kajian ini yang kemudian diasums ikan akan mengambil tanggung-
jawab untuk menindaklanjutinya.
Karena semua hal itu kiranya untuk pengembangan str ategi program penghidupan yang
berkelanjtan masih akan diperlukan berbagai kajian dan perdebatan yang panjang yang
melibatkan para pemangku kepentingan kawasan Sebang au. Harapannya tentu bahwa
kajian ini menjadi masukan yang bermanfaat dalam pe rdebatan itu.
62
Lampiran-lampiran
63
Lampiran 1:
Peta Kawasan dan Desa-desa Kajian
64
Lampiran 2:
Laporan-laporan Kajitindak Partisipatif
di Desa-desa Kawasan Sebangau
65
Lampiran 2 – 1 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar
Taman Nasional Sebangau Kelurahan Kereng Bangkirai
Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya
Disusun Oleh:
1. Deni Setiawan
2. Devinta A.
3. Tito Surogo
4. Ibrahim
5. Edy Sutarjo
6. Suwanto
7. Dadang Riansyah
8. Warga Masyarakat Kereng Bangkirai
PALANGKA RAYA
September 2014
66
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan No.
423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 den gan luas + 568.700 ha. Kawasan ini
terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katin gan, dan secara administratif berada di
wilayah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi
Kalimantan Tengah.
Ekosistem Gambut Sebangau merupakan salah satu ekos istem yang kondisinya relatif masih
baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya, dan dalam kondisi alami memiliki atribut
khusus dan menyediakan berbagai fungsi ekologi pen ting dan dan berbagai produk alam.
Lahan gambut merupakan kawasan yang memainkan peran an yang sangat penting bagi
gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air. Ol eh karena itu kestabilan ekosistem
ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hi dup manusia, baik di tingkat lokal,
regional, nasional maupun global.
Sedangkan produk hutan berupa kayu komersial di kaw asan ini telah dimanfaatkan oleh 13
perusahaan kayu, sebelum ditetapkan menjadi taman n asional. Selain itu, berbagai produk
non kayu seperti lateks, buah-buahan, bahan obat-ob atan, kulit dan bunga, merupakan
tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal. Hutan r awa gambut juga menjadi habitat
pendukung yang digunakan ikan untuk pemijahan, pen dewasaan dan sumber makanan.
Pemanfaatan sumberdaya ikan dari hutan rawa gambut yang merupakan sumber penting
protein bagi masyarakat lokal dan merupakan sumber pendapatan penting bagi
masyarakat. Survei yang dilakukan oleh Edutama Envi rocare menunjukkan masih
intensifnya pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan taman nasional.
Intensitas pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan tentunya berpengaruh terhadap
keutuhan ekosistemnya. Karena itu Balai Taman Nasio nal Sebangau dan WWF Indonesia
mendorong pengembangan mata pencaharian berkelanjut an di desa-desa di sekitar Taman
Nasional Sebangau, sehingga pengembangan perekonomi an di zona penyangga selaras
dengan tujuan-tujuan perlindungan kawasan.
Saat ini tercatat adanya 38 desa dan kelurahan yang bertetangga langsung dengan kawasan
Taman Nasional Sebangau, ditambah dengan delapan de sa lainnya yang memiliki akses dan
memanfaatkan sumberdaya di dalam kawasan.
Hingga saat ini tercatat 12 desa/kelurahan yang tel ah mendapat bantuan program pengem-
bangan mata pencaharian berkelanjutan. Walaupun bel um pernah diadakan evaluasi ter-
hadap program ini, namun berdasarkan observasi tampak bahwa program belum secara
signifikan memberikan dampak—baik dalam perlindungan kawasan maupun dalam pengem-
bangan perekonomian yang berkelanjutan bagi masyarakat. Oleh karena itu dianggap perlu
untuk memahami situasi perekonomian terkini di zona penyangga melalui sebuah studi
komprehensif, untuk selanjutnya mengembangkan strat egi pengembangan mata
pencaharian berkelanjutan yang lebih tepat sasaran dan tepat guna.
67
B. Tujuan
1. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebaga i acuan dalam perumusan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjuta n masyarakat di sekitar TN
Sebangau.
2. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sum ber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
3. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber pe nghidupan berkelanjutan.
C. Keluaran
Adanya perencanaan dan strategi untuk pengembangan sumber – sumber penghidupan yang
berkelanjutan di masyarakat sekitar Taman Nasional Sebangau.
BAB II Teknis Kegiatan
A. Pelaksanaan Kegiatan
Studi dengan metode kajintindak partisipatif dilaks anakan oleh staf Balai Taman Nasional
Sebangau, staf WWF Indonesia, dan kader masyarakat. Proses perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, dan pelaporan dipandu oleh Ilya Moelio no (konsultan dari Studio Driya
Media). Studi dengan survei akademik dilaksanakan o leh tim dari Lembaga penelitian
Universitas Palangka Raya, yang dipandu oleh Irawan Itta.
B. Tempat pelaksanaan
Studi dilaksanakan dengan pengambilan sampel berdas arkan pengelompokan karakter desa
sebagai berikut:
• Gugus 1: Kecamatan Tasik Payawan dan Kecamatan Kami pang (Kabupaten Katingan),
terdiri dari 15 desa, dipilih 7 desa sampel (Hiyang Bana, Talingke, Asem Kumbang, Baun
Bango, Tumbang Runen, Jahanjang, Karuing) dimana sedang direncanakan kegiatan-
kegiatan pengembangan mata pencaharaian berkelanjut an oleh WWF Indonesia.
• Gugus 2: Kecamatan Mendawai dan Kecamatan Katingan Kuala (Kabupaten Katingan),
terdiri dari 12 desa, dipilih 6 desa sampel (Tumbang Bulan, Perigi, Tewang Kampung,
Singam Raya, Bakung Raya, Sungai Kaki) dimana sedan g direncanakan kegiatan-kegiatan
pengembangan mata pencaharaian berkelanjutan oleh W WF Indonesia di 2 desa, dan
yang lain dipilih dengan pertimbangan intensitas ak ses ke dalam kawasan TN Sebangau.
• Gugus 3: Kecamatan Sabangau (Kota Palangka Raya), t erdiri dari 2 kelurahan, dipilih 1
kelurahan sampel (Kereng Bangkirai) dimana sedang d irencanakan kegiatan-kegiatan
pengembangan mata pencaharaian berkelanjutan oleh W WF Indonesia.
• Gugus 4: Kecamatan Sebangau Kuala (Kabupaten Pulang Pisau), terdiri dari 6 desa,
dipilih 2 desa sampel (Paduran Sebangau dan Sebanga u Mulya) dimana Sebangau Mulya
68
merupakan Model Desa Konservasi (MDK) dari Balai Taman Nasional Sebangau
sedangkan Paduran Sebangau dipilih sebagai represen tasi dari desa lokal.
• Gugus 5: Kecamatan Bukit Batu (Kota Palangka Raya), terdiri dari 4 kelurahan, dipilih 1
kelurahan sampel (Habaring Hurung) dengan pertimban gan intensitas akses ke dalam
kawasan TN Sebangau.
• Gugus 6: Kecamatan Sabangau (Kota Palangka Raya), K ecamatan Jabiren Raya dan
Kecamatan Kahayan Hilir (Kabupaten Pulang Pisau), t erdiri dari 8 desa/kelurahan,
dipilih 2 desa sampel (Henda dan Garung) dengan per timbangan intensitas akses ke
dalam kawasan TN Sebangau.
C. Jadwal Pelaksanaan
Secara tentatif direncanakan jadwal kegiatan studi sebagai berikut:
1) Briefing enumerator untuk survei akademik di Lembaga penelitian Universitas
Palangka Raya: 11 Agustus 2014
2) Uji survei akademik di Habaring Hurung: 12 Agustus 2014
3) Survei akademik di Garung dan Henda: 16 Agustus 201 4
4) Survei akademik di Paduran Sebangau, Sungai Kaki, S ingam Raya, Bakung Raya,
Tewang Kampung: 19-24 Agustus 2014
5) Persiapan tim fasilitator kajitindak partisipatif di Kantor Balai Taman Nasional
Sebangau: 19 Agustus 2014
6) Uji metode kajitindak partisipatif di Kereng Bangki rai dan Tumbang Runen: 20-27
Agustus 2014
7) Evaluasi dan perbaikan metode kajitindak partisipat if: 28-29 Agustus 2014
8) Fasilitasi kajitindak partisipatif di Karuing dan Perigi: 8-14 September 2014
9) Fasilitasi kajitindak partisipatif di Sebangau Mulya, Baun Bango, dan Tumbang Bulan:
15-23 September 2014
10) Pendekatan sosial di Hiyang Bana: 24-26 September 2 014
11) Fasilitasi kajitindak partisipatif di Jahanjang: 26 September – 4 Oktober 2014
12) Pendekatan sosial dan fasilitasi kajitindak partisi patif di Talingke: 29 September – 8
Oktober 2014
13) Fasilitasi kajitindak partisipatif di Hiyang Bana: 1-8 Oktober 2014
14) Pendekatan sosial dan fasilitasi kajitindak partisi patif di Asem Kumbang: 15-29
Oktober 2014
15) Lokakarya pengolahan data dan penulisan hasil kajia n dan rekomendasi: jadwal
ditentukan kemudian
16) Lokakarya pengembangan strategi mata pencaharian di zona penyangga Taman
Nasional Sebangau: jadwal ditentukan kemudian
17) Penyusunan strategi pengembangan mata pencaharian d i zona penyangga Taman
Nasional Sebangau: direncanakan selesai akhir November 2014
69
D. Pihak yang terlibat
• Balai Taman Nasional Sebangau
• WWF
• Fasilitator dari masyarakat
• Pemerintah Daerah Kota Palangka Raya
• Masyarakat di sekitar Taman Nasional Sebangau (Kelu rahan Kereng Bangkirai)
BAB III Hasil Kegiatan.
A. Kalender musim mata pencaharian masyarakat:
Mata Pencaharian
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Juni Agus Sept Okt Nov Des
Nelayan √√ √ √ √ √√ √√ √√ √ √ √ √ √√ √√
Mencari Gemor √ √ √ √ √ √ √
Mencari Burung √ √ √ √ √ √ √
Bertukang
√ √ √ √ √ √ √
Buruh tebas tebang √ √ √ √ √ √ √
Mencari Kayu Galam √ √ √ √
Penjelasan:
Musim ikan biasanya di awal musim air pasang atau d alam (bulan November – Januari) dan
di musim air mulai surut (Mei-Juli). Musim paceklik atau musim sulit mendapatkan ikan
biasanya bulan Februari – April dan bulan Juni-Oktober, waktu musim ini bisa bergeser
lebih cepat dan juga bisa mundur, mulai tahun 2012 musim dirasakan sulit diprediksi dan
tidak menentu.
Pada musim sulit mendapatkan ikan, sebagian nelayan ada yang bekerja mencari ge tah
Gemor, sebagian mencari burung, sebagian bertukang dan sebagian ada yang menjadi
buruh tebas tebang.
70
B. Sejarah, perubahan dan kecenderungan mata-pencaharian khusus masyarakat yang
bermukim di Kereng Bangkirai
Tahun Jenis
Usaha 1970 1980 1990 2000 2010 2014 Keterangan
Nelayan
**** **** **** ****
Warga masyarakat Kereng Bangkirai mulai bekerja sebagai nelayan sejak tahun 1970- harga ikan Rp. 70/kg. Tahun 1980 Harga ikan Rp. 400/Kg. dan tahun 2010-2014 harga ikan Rp. 8000-15000/Kg. Tenaga kerjannya 50% Laki-laki 50% Perempuan
Logging
**** ****
Pada tahun 1990 – 2000 seluruh masyarakat bekerja mencari kayu dengan harga Rp. 25.000-250.000/M3 untuk jenis ramin, dan Rp. 45.000-80.000/ M3 untuk kayu hutan campuran.
Masyarakat mejual kayunya ke cukong kayu maupun ke PT. Lunuk
Gemor
**** **** ****
Tahun 1970 harga gemor Rp. 250/Kwintal, tahun 1980 Rp. 7000/Kwintal, tahun 1990-2000 harga Rp. 350.000/Kw
Untuk pekerjannya 70% Laki-laki dan 30% Perempuan, biasanya perempuan hanya menjemur
Bangunan
** ** ** ** **
Masyarakat hanya sedikit yang bekerja sebagai kuli bangunan karena bukan keahlian mereka untuk bekerja sebagai buruh bangunan
Anggrek Masyarakat juga ada yang mencari anggrek Hutan pada tahun 2000 dengan harga mencapai 125.000 – 75.000/ Pohon
Gaharu ****
Pada tahun 2000 masyarakat banyak yang mencari gaharu dengan harga Rp. 1000/kg
Menyadap getah Pantung
**** ****
Mencari getah Pantung ini kebanyakan dari masyarakat luar dengan harga 250.000/Kwintal
Usaha masyarakat di Kelurahan kereng Bangkirai sejak tahun 1970-1980 masyarakatnya
bekerja sebagai nelayan dan usaha ini berubah sejak tahun 1990 – 2000 bekerja Logging
setelah penertiban Logging masyarakat di Kelurahan di Kereng Bangkirai bekerja menjadi
Nelayan sampai sekarang dan sebagian kecil ada juga yang menjadi Tukang dan mencari
burung.
Pengambilan kulit gemor marak terjadi pada tahun 19 80 hingga tahun 2000. Awalnya
masyarakat mulai mencari kulit gemor setelah adanya parit-parit yang dibuat oleh
71
perusahaan logging untuk mengalirkan kayu keluar hutan, sehingga masy arakat dapat
memanfaatkan parit tersebut untuk mengambil kulit g emor di dalam hutan.
Sekarang masyarakat masih ada yang bekerja mencari kulit gemor tapi hanya sebagian
kecil saja, karena gemor yang besar sudah habis, hanya tinggal pohon yang kecil saja.
Pada tahun 2000 banyak masyarakat yang mengambil an ggrek dan gaharu, tetapi saat ini
sudah tidak ada yang mencari anggrek karena di loka si yang dekat sudah tidak ada, hanya
ada di dalam hutan dan masyarakat sudah tidak mampu untuk mencapai lokasi tersebut.
Gaharu saat ini tidak banyak dikerjakan karena harg a jualnya yang cukup murah. Pada
tahun 1980 hingga 1990 masyarakat juga bekerja meng ambil getah pantung di hutan
dengan hasil yang lumayan banyak, saat ini potensi pantung di dalam hutan masih banyak
tetapi kesulitan untuk pemasarannya karena sudah ti dak ada pembeli.
C. Pentingnya sumber – sumber perikanan bagi masyarakat:
1. Sejarah pengelolaan sumberdaya ikan, perubahan dan kecenderungan
• Tahun 1952 sumberdaya ikan sudah mulai dikelola, ik an dikeringkan dan dijual ke
penampung ikan asin atau ikan kering ke Palangka Ra ya menggunakan sampan dan
ke Banjarmasin menggunakan kapal layar. Pada saat i tu ikan yang diambil adalah
ikan yang berukuran sedang, sedangkan ikan yang ber ukuran besar dan kecil tidak
diambil karena menurut masyarakat nelayan saat itu ikan besar menjadi indukan
bisa menghasilkan anakan lagi, sedangkan ikan kecil dibiarkan besar dan
selanjutnya bisa ditangkap.
• Tahun 1984 mulai ada penampung ikan hidup
• Tahun 1972 perusahaan kayu ramin mulai masuk ke Sun gai Sebangau tepatnya di
daerah Kahui dekat dengan pemukiman angah saat ini. Pada saat perusahaan mulai
beroperasi sudah mulai ada pencemaran dari obat kayu Ramin yang digunakan oleh
perusahaan dipinggiran sungai Sebangau.
• Antara tahun tahun 1972 – 1997 ikan banyak walau di rasakan sudah ada penurunan,
namun hasil tangkapan masih mencukupi kebutuhan nel ayan
• Tahun 1997 setelah perusahaan kayu tutup dirasakan hasil tangkapan ikan
meningkat.
• Tahun 1997 – 2000 hasil tangkapan ikan dirasakan ti dak terjadi penurunan dan tidak
terjadi peningkatan.
• Tahun 2000 – 2014 hasil tangkapan ikan dirasakan se makin menurun
• Tahun 2014 hasil tangkapan ikan dirasakan sangat me nurun, diprediksi tahun 2014
ini jumlah nelayan warga Kereng Bangkirai mencapai 70%.
2. Kerusakan yang terjadi akibat pengelolaan sumberdaya alam
• Akibat banyak perusahaan kayu beroperasi di sekitar sungai sebangau mulai tahun
1972, karang lebih ada 11 perusahaan, terjadi pence maran berupa limbah obat Kayu
72
Ramin ke sungai dan Pampanan (kelompok / rumpun) ta naman Rasau terbuka,
sedangkan tanaman rasau berguna sebagai tempat ikan berlindung, kawin dan
bertelur.
• Pembakaran yang berlebihan oleh nelayan pada saat m usim kemarau
• Penebangan kayu galam
• Pencemaran sungai sebangau akibat irigasi dari peru sahaan sawit di KM 22 Desa
Bantanan
• Pencemaran sungai sebangau akibat irigasi dari kota Palangka raya (jalur Bangas
Permai)
• Pencemaran dari irigasi proyek lahan gambut sejuta hektar.
• Pencemaran sungai sebangau akibat irigasi dari kota Palangka raya (Jalur G. Obos)
• Pencemaran sungai sebangau akibat saluran air yang menghubungkan sungai
Sebangau dengan Sungai Kahayan, sedangkan sungai ka hayan menurut nelayan
airnya suar tercemar.
3. Ancaman terhadap sumber-sumber perikanan
• Orang yang mengambil ikan dengan menggunankan alat setrum ikan, dampak dari
penyetruman ini yaitu adalah bibit ikan rusak / tid ak bisa menetas, tulang belakang
ikan patah / remuk, ikan sakit tidak bisa besar, ik an yang kecil – kecil mati dan
telor dalam perut ikan masak/matang (mandul)
• Orang yang mengambil bibit ikan dari luar / bukan n elayan lokal
• Orang yang mengambil ikan dengan cara diracun
• Orang yang mengambil kayu galam
• Orang yang mencari ikan dari luar kawasan / bukan a sli dari kampung nelayan
• Akibat pembangunan tabat yang dibangun WWF, ikan pa da saat musim air banjir
naik melewati tabat dan pada saat musim air surut i kan tertampung dibelakang
tabat. Ikan menjadi makanan babi, berang-berang, bu rung elang dan biawak. Ikan
dibelakang tabat tidak mampu diambil oleh nelayan d ikarenakan jarak yang jauh (3
– 4 Km ) dan kondisi air surut sehingga perahu nelayan tidak mampu mencapainya.
• Irigasi pembuangan dari perusahaan sawit di desa bantanan, pada saat air pasang
air dari irigasi tersebut menyebar sampai daerah bangah.
• Irigasi proyek lahan gambut sejuta hektar
• Irigasi pembuangan dari kota Palangka raya (irigasi jalur bangas permai, irigasi jalur
G. Obos)
• Saluran irigasi yang menghubungkan sungai sabangau dengan sungai kahayan
73
4. Perubahan dan kecendrungan hasil tangkapan ikan
• Tahun 1950 sumber – sumber ikan belum rusak / masih baik, hasil tangkapan
melimpah dan pampanan (rumpun tanaman rasau dan bak ung) sepanjang sungai
sabangau masih banyak.
• Tahun 1969 pampanan (rumpun tanaman rasau dan bakun g) mulai terbuka akibat
perusahaan kayu mulai beroperasi
• Tahun 1972 hasil tangkapan ikan mulai dirasakan men urun
• Tahun 1972 - 1998
5. Tempat – tempat mencari ikan
• Sepanjang sungai sebangau dan sempadannya / ayapnya adalah tempat mencari
ikan
• Sepanjang anak - anak sungai sebangau dan sempadann ya adalah tempat mencari
ikan
• Semua danau – danau dan sempadannya / ayapnya yang berada di sekitar sungai
sebangau adalah tempat mencari ikan
• Semua areal bekas terbakar atau Seha di sekitar sun gai sebangau, sekitar anak
sungai dan sekitar danau adalah tempat mencari ikan
6. Tradisi mengelola perikanan
Ada satu tradisi masyarakat nelayan sepanjang sunga i sebangau dalam mengelola
sumber – sumber perikanan, diantaranya dengan cara membakar sempadan danau atau
sempadan sungai 2 sampai 3 tahun sekali, alasannya:
• Sudah dilakukan turun temurun
• Mempermudah akses menangkap ikan
• Menyeimbangkan ketebalan rumput agar ikan bisa teta p lewat di bekas Seha (areal
bekas kebakaran) karena kalau rumput terlalu tebal ikan tidak suka, tidak bisa
lewat dan akhirnya tidak bisa bertelur.
• Abu bekas pembakaran ketika air pasang atau dalam m enjadi makan ikan dan
mempercepat proses perkawinan ikan
• Rumput yang tumbuh setelah dibakar ketika terendam air pada saat musim air
dalam / pasang menimbulkan lendir, lendir – lendir yang menempel di rumput ini
biasanya ikan suka sehingga di daerah bekas terbaka r banyak ikan
7. Strategi Nelayan dalam menangkap ikan
• Masyarakat Nelayan mengunakan alat-alat yang sederh ana dan mudah dibuat sendiri
seperti (Buwu, Tampirai, Kalang, Pancing, Pengilar dan Rengge) dalam pemasangan
alat-alat tersebut masyarakat menempatkan alat ters ebut dipinggir sungai dan
diikat pada tanaman Rasau, Ketika musim air dalam m asyarakat memasang alat
74
tangkap ikan menghadap ke arah sungai dan ketika mu sim kemarau memasang alat
tangkap menghadap ke hutan.
• biasanya masyarakat menampung hasil tangkapan sebel um dijual ditaruh didalam
keramba atau kurungan ikan dengan jarak waktu tidak menentu tergantung dari
datangnya tangkulak untuk membeli.
8. Batas Pemukiman Nelayan
Untuk masyarakat nelayan yang ada disekitar sungai Sebangau ada beberapa
permukiman. masing-masing pemukiman berada di bibir anak sungai sabangau. Setiap
anak sungai tersebut di miliki secara turun temurun oleh pewaris sungai.
9. Peluang pasar
• Ikan dari sungai sebangau tidak sulit dipasarkan da n harganya saat ini cukup tinggi
dibandingkan tahun – tahun sebelumnya
• Pembeli ikan biasanya datang dari Palangka Raya (Ke reng Bangkirai) dan dari Banjar
Masin (masuk dari saluran yang menghubungkan Desa G arong dengan sungai
sebangau) dan ada juga pembeli ikan asli dari masya rakat desa Garong.
10. Analisa bersama mata pencaharian perikanan
Sumber – sumber ikan masih banyak di sekitar sungai Sebangau, nelayan masih relatif
sedikit, pemasaran ikan tidak sulit, harga ikan ter us naik dibanding tahun sebelumnya,
masalah utama sumber – sumber ikan terancam rusak o leh kegiatan manusia seperti
orang yang mancari ikan dengan cara disetrum, diracun, diambil anak ikan untuk dijual
ke luar daerah sebangau, dampak penabatan WWF, salu ran – saluran pembuangan
limbah sawit di hilir desa Bantanan dan saluran pem buangan dari kota Palangka raya,
saluran yang menghubungkan sungai sebangau dengan s ungai kahayan, alat tangkap
nelayan sudah banyak yang rusak, musim tidak menent u / sulit diprediksi dan semakin
banyaknya nelayan selain nelayan tetap di sungai se bangau.
Hal yang harus dilakukan adalah segera mananggulang i ancaman terhadap sumber –
sumber perikanan di Sungai Sabangau, membuat aturan lokal untuk melindungi dari
pengrusakan dan pencemaran, mulai membudidayakan ik an lokal agar meningkatkan
penghasilan nelayan dan harus ada kekompakkan nelay an.
D. Pentingnya sumber – sumber gemor bagi masyarakat:
1. Sejarah pengelolaan sumberdaya gemor
• Tahun 1972 kulit pohon gemor mulai dipanen oleh mas yarakat sekitar Sungai
Sebangau, harga saat itu Rp 40.000,- per Ton
• Tahun 1980 kulit pohon gemor masih tetap dipanen ol eh masyarakat, dan
pendapatan masih dirasakan sama seperti tahun sebel umnya
• Tahun 1990 kulit pohon gemor tetap dipanen oleh mas yarakat, hasil masih dirasakan
sama seperti tahun – tahun sebelumnya, namun orang yang memanen kulit pohon
75
gemor sudah mulai berkurang karena banyak perusahaan kayu masuk di wilayah
Sungai Sebangau, sehingga masyarakat sebagian beker ja di perusahaan tersebut.
• Tahun 1990 sampai tahun 1998 orang mencari kulit ge mor semakin sedikit dan
masyarakat banyak yang bekerja mencari ikan.
• Tahun 1998 perusahaan kayu banyak mulai tutup
• Tahun 1998 – 2006 masyarakat mulai ramai mencari ka yu di bekas areal perusahaan
dan dijual (masa ramainya ilegal logging), selain kayu kulit gemor dan getah
pantung mulai dipanen lagi.
• Tahun 2004 areal sebangau dijadikan Taman Nasional, banyak larangan, salah
satunya tidak boleh menebang kayu sehingga Gemor ti dak bisa dipanen lagi (Gemor
dipanen dengan cara menebang pohonnya) dan masyarak at sampai sekarang hanya
mencari ikan.
2. Ancaman terhadap sumber – sumber gemor
• Kebakaran hutan
3. Perubahan dan kecenderungan hasil panen gemor
• Dari tahun 1972 sampai tahun 2014 hasil panen kulit gemor dirasakan tidak
berkurang, justru jika dipanen saat ini hasilnya ak an lebih banyak dari tahun – tahun
sebelumnya karena gemor setelah dipanen/ditebang ak an tumbuh tunas lebih
banyak (3-6 tunas) sehingga 3-4 tahun berikutnya bi sa dipanen lagi dan hasilnya bisa
bertambah.
4. Tempat–tempat mencari gemor
• Di setiap area sekitar anak sungai Sebangau terdapa t tempat – tempat tumbuh
pohon gemor
5. Peluang pasar
• Ada pembeli di Kereng Bangkirai
• Dari tahun ke tahun harga cenderung naik, harga saa t ini Rp 7.000,- 10.000,- / kg
tergantung kwalitas kulit gemor
• Rata – rata masyarakat bisa mengusahakan gemor, kar ena tidak perlu keterampilan
khusus
• Ketersediaan di alam masih banyak dan bisa jadi ber tambah banyak karena saat ini
jarang dipanen
6. Analisa bersama mata pencaharian gemor
• Pohon gemor bisa dibudidayakan dengan cara di setek batang atau setek akar dan
bisa juga dari cabutan alam.
• Alat untuk memanen gemor tidak mencemari lingkungan , biasanya hanya
menggunakan gergaji atau parang
76
• Gemor dikeluarkan dari hutan dengan cara dipikul, l alu dinaikan ke kelotok kecil
dan dibawa ke Kereng Bangkirai, lalu dikeringkan da n selanjutnya dijual.
• Panen Gemor di alam oleh masyarakat biasanya hanya dipanen secukupnya (tradisi
dulu), namun sekarang ada juga yang memanen sebanya k – banyaknya.
• Gemor biasanya diusahakan oleh masyarakat saat musi m paceklik ikan.
• Gemor layak jadi usaha masyarakat, karena potensinya banyak, tidak merusak
hutan dan bisa dipanen terus menerus dan harga rata – rata stabil.
E. Pentingnya sumber-sumber burung bagi masyarakat:
1. Sejarah pengelolaan sumberdaya burung
• Tahun 2012 mulai ada yang mencari burung sampai sek arang di wilayah sekitar
sungai Sebangau sampai sekarang, mencari burung ini bagi nelayan sekitar sungai
sebangau dilakukan hanya untuk pekerjaan sampingan pada saat ikan sulit didapat,
namun bagi pencari burung dari luar menjadi pekerjaan utama.
2. Acaman terhadap sumber-sumber burung
• Kebakaran hutan areal tempat singgah burung
• Pencari burung semakin banyak
3. Perubahan dan kecendrungan hasil tangkapan burung
• Tahun 2012 baru 5% orang yang mencari burung
• Tahun 2013 naik 10% dan
• Tahun 2014 naik menjadi 60%, saat ini burung semaki n sulit didapat.
4. Tempat – tempat mencari burung
• Tempat mencari burung biasanya di dataran hutan yan g sedikit tinggi, setiap areal
tempat mencari burung tidak bisa tertukar dengan ke lompok pencari burung lainnya
karena sudah punya area masing-masing.
5. Peluang pasar
• Saat ini harga burung tetap, namun tidak ada yang m embeli, burung semakin sulit
didapat karena sepertinya sudah semakin mengerti de ngan manusia yang akan
menangkapnya, burung juga semakin liar.
6. Analisa mata pencaharian mencari burung
Untuk saat ini usaha burung cenderung spekulasi, te rkadang modal yang dikeluarkan
untuk mencari burung lebih besar dari pada hasil yang diperoleh, sehingga bagi
masyarakat yang sudah mengerti dan mengalami akan m enjadi pilihan terakhir usaha
mencari burung, peningkatan jumlah orang yang menca ri burung disebabkan semakin
banyaknya orang dari luar komunitas nelayan sebangau yang datang ke hutan sebangau
untuk mencari burung.
77
F. Perubahan dan kecendrungan iklim dan cuaca
1. Faktor – faktor penyebab perubahan iklim dan cuaca menurut masyarakat nelayan
• Hutan semakin berkurang karena banyak dibuka oleh p erusahaan sawit seperti di
hilir desa Bantanan
• Kebakaran hutan
2. Perilaku masyarakat nelayan yang menyebabkan perubahan iklim dan cuaca
• Membakar Seha atau areal bekas terbakar
G. Sumberdaya manusia:
1. Sejarah peningkatan kapasitas masyarakat
• Tahun 2014 ada satu orang warga pondok nelayan bend era yang mengikuti pelatihan
penetasan bibit ikan Papuyu
• Sudah punya keterampilan mengeringkan kulit gemor d engan teknologi pengasapan
• Sudah punya keterampilan medeteksi areal tempat – t empat burung
2. Peningkatan kapasitas yang belum dimiliki dan dibutuhkan masyarakat
• Belum memiliki dan perlu keterampilan memijahkan ik an
• Belum ada keterampilan membudidayakan ikan lokal
• Perlu ujicoba budidaya di masyarakat nelayan
• Perlu keterampilan membibitkan pohon Gemor
• Belum bisa menangkarkan burung dan perlu pelatihan penangkaran burung
3. Kecendrungan dan perubahan jumlah masyarakat nelayan
• Jumlah nelayan yang bermukim di pondok-pondok nelayan dirasakan tetap,
walaupun ada keluarga yang pergi berusaha atau beke rja ke luar dari kampung
nelayan biasanya ada kepala keluarga baru yang masu k bermukim dan bekerja
sebagai nelayan (biasanya masih dari kalangan kelua rga sendiri kelompok nelayan).
4. Faktor penyebab jumlah masyarakat nelayan
• Berkurang atau bertambahnya jumlah masyarakat nelay an di sungai sebangau
disebabkan ada tidaknya peluang pekerjaan di tempat lain, jika ada peluang
pekerjaan lain di luar yang lebih menguntungkan bia sanya (terutama para pemuda)
akan keluar kampung untuk bekerja, namun jika kegia tan nelayan sedang banyak
mendapatkan ikan biasanya akan kembali menjadi nela yan.
78
5. Aktifitas harian keluarga nelayan
1. Aktivitas harian nelayan laki-laki
• Jam 04.00 – 06.00 WIB masak, solat, sarapan dan man di
• Jam 06.00 – 08.00 WIB mempersiapkan alat kerja dan mengangkat alat tangkap
ikan
• Jam 08.00 – 12.00 WIB mengangkat alat tangkap ikan
• Jam 12.00 – 14.00 WIB istirahat, makan, solat dan m ulai memasang alat tangkap
ikan
• Jam 14.00 – 17.00 WIB memasang alat tangkap ikan
• Jam 17.00 – 18. 00 WIB kembali ke pondok dan istira hat
2. Aktivitas harian nelayan perempuan
• Jam 04.00 – 06.00 WIB cuci piring, cuci pakaian, so lat, masak sarapan dan mandi
• Jam 06.00 – 08.00 WIB jemur ikan dan mengangkat al at tangkap ikan
• Jam 08.00 – 11.00 WIB mengangkat alat tangkap ikan
• Jam 11.00 – 12.00 WIB pulang, mandi, masak,
• Jam 12.00 – 13.00 WIB istirahat, makan, solat
• Jam 13.00 – 15. 00 WIB istirahat
• Jam 15.00 – 17.00 WIB masak, mengangkat alat tangka p ikan, mengangkat jemuran
ikan asin
3. Analisa keseimbangan peran laki – laki dan perempuan
Laki-laki dan perempuan hampir memiliki peran yang sama, hanya porsi dan waktu
pekerjaan yang membedakan, laki-laki memiliki porsi dan waktu lebih banyak
bekerja mengurusi alat tangkap ikan (bagi keluarga yang isterinya ikut di pondok
nelayan) namun bagi laki-laki yang isterinya tidak ikut bermukim di pondok nelayan
semua pekerjaan dikerjakan juga oleh laki-laki, mul ai memasak, mencuci pakaian
dan mengurusi alat tangkap ikan.
H. Kelembagaan masyarakat nelayan sepanjang sungai Sebangau (Pondok Bakung-
Bangah)
1. Keterlibatan masyarakat nelayan dalam program dan kegiatan lembaga/ instansi
yang ada di kelurahan Kereng Bangkirai
• Masyarakat nelayan yang berada di pemukiman – pemuk iman nelayan jarang terlibat
kegiatan di kelurahan Kereng Bangkirai.
• Jarang ada sosialisasi kegiatan pemerintah kepada para nelayan yang bermukim di
pondok-pondok nelayan
• Pernah beberapa kali ikut kegiatan merintis, penan aman dan penabatan WWF
79
2. Persepsi masyarakat nelayan terhadap lembaga – lembaga yang ada dan bekerja
di kelurahan Kereng Bangkirai
• WWF dan BTNS sama
• WWF dan BTNS mendekat kalau ada maunya dengan masya rakat
• WWF dalam kegiatan penanaman banyak menggunakan ten aga dari luar, hanya
sedikit melibatkan kelompok nelayan
• Pembangunan tabat WWF banyak malibatkan kelompok ne layan
• WWF, BTNS lebih dekat dengan masyarakat dari pada kelurahan, LKK, Formas dan
Demang adat
3. Pola hubungan antar lembaga
• WWF dan BTNS sama saja, kegiatan BTNS didorong – dorong oleh WWF
• Tidak tahu ada kerja sama antar lembaga
4. Masalah – masalah antar lembaga
• Tidak tahu
5. Masalah – masalah lembaga yang ada dengan masyarakat nelayan
• Setelah ada Balai Taman Nasional Sebangau jadi bany ak larangan, masyarakat tidak
leluasa bekerja, contohnya dulu pohon gemor boleh ditebang sekarang tidak boleh.
• Tabat yang dibangun WWF mengurangi hasil tangkapan nelayan dan menghalangi
ikan tampah bertelur
• Hukum adat ada, contohnya ada plangnya, tapi sebagi an patuh sebagian tidak
6. Analisa kelembagaan
Pihak kelurahan jarang mengundang nelayan mungkin k arena jarak terlalu jauh dan
akses telepon sulit, kadang – kadang bisa dihubungi kadang – kadang sulit dihubungi
karena sulit mendapatkan sinyal hand phon. Dan tida k tahu hubungan antar lembaga.
I. Kelembagaan masyarakat di Kereng Bangkirai
• Kelurahan dengan Masyarakat:
Hubungannya dekat dan pengaruhnya besar, seluruh ke giatan yang diperlukan oleh
masyarakat dilayani.
• LKK dengan Masyarakat:
Hubungannya jauh dan pengaruhnya Kecil, masyarakat tidak mengetahui tugas dan
fungsi dari LKK dan tidak mengetahui pengurusnya.
• RT/RW dengan Masyarakat:
Hubungannya sangat dekat dan pengaruhnya besar terk ait dengan pelayanan ketua
RT/RW
80
• Formas dengan Masyarakat:
Hubungannya Jauh dan pengaruhnya kecil karena semua program yang lewat formas
untuk nelayan tidak tersampaikan
• WWF dengan Masyarakat:
Hubungannya Jauh dan Pengaruhnya kecil karena WWF d atang kemasyarakat ketika ada
maunnya dan WWF hanya janji-janji tapi tidak ditepa ti seperti perehaban pemukiman
para nelayan di awal tahun 2004, janji (Alm. Metari us) mau kasih kompor untuk nelayan
di bangah agar nelayan tidak mencari kayu bakar lag i ke hutan, selain itu juga ada janji
mau kasih keramba di pemukiman bangah sampai sekara ng belum terealisasi. Di awal
sebelum jadi Taman Nasional orang WWF selalu bilang jika hutan ini jadi taman
nasional akan mensejahterakan masyarakat.
• BTNS:
Hubungannya jauh dan manfaatnya belum begitu dirasa kan masyarakat, Ada bagusnya
TN (Taman Nasional) berdiri, tetapi yang di dapat o leh masyarakat hanyalah larangan-
larangan, Jika tidak ada TN hutan akan habis. Kuran g adanya sosialisasi dengan
masyarakat mengenai peraturan atau tentang TN secar a umum. Masih banyak
masyarakat yang belum paham akan adanya TN. Peninda kan terhadap masyarakat yang
melakukan kesalahan jangan spontan langsung dengan keras, tetapi harus diberi
penjelasan perlahan-lahan sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik. Dulu
masyarakat bebas mengambil apapun yang ada di hutan , membakar rawa/danau, dan
kegiatan lainnya tetapi sekarang tidak boleh. Masya rakat dilarang tetapi tidak ada
pembinaan dan tidak ada solusi. Pak Rusdi orang Taman Nasional pernah berjanji akan
memprogramkan PNPM ke masyarakat sebangau, sampai sekarang tidak ada realisasi.
J. Modal masyarakat nelayan:
1. Modal fisik
• Perahu
• Alat tangkap ikan
• Pondok nelayan
• Kawasan tempat mencari ikan
• Uang
2. Modal bukan fisik
• Kesehatan
• Akal sehat
• Keterampilan mencari ikan
• Kegotong royongan
• Kekompakkan masyarakat nelayan
• Ada yang sudah bisa menetaskan bibit ikan papuyu
81
3. Analisa modal masyarakat
• Akses permodalan uang dari lembaga keuangan belum ada dan belum pernah
mengajukan
• Tidak tahu cara mengajukan bantuan permodalan
• Tidak tahu kesiapan harus mengajukan permodalan
K. Perencanaan masyarakat:
1. Pengembangan budi daya ikan lokal dalam karamba, al ternatif pilihan bibit untuk
usaha yaitu jenis ikan papuyu dan Gabus, dan akan m elakukan uji coba budi daya ikan
biawan
2. Peningkatan kapasitas kelompok nelayan:
• Pelatihan budi daya ikan lokal
• Pembibitan ikan lokal atau mengawinkan ikan lokal
• Pelatihan pengeringan dan penggaraman ikan asin
• Pelatihan pembuatan pakan ikan
3. Penambahan alat tangkap ikan
4. Beternak ayam kampung dan bebek
5. Beternak kerbau rawa
6. Beternak ikan Papuyu, Nila dan Patin di kolam terpa l
7. Membudidayakan pohon gemor
8. Membuat aturan di daerah kawasan perikanan sungai s ebangau dan sekitarnya
9. Pembentukan gabungan kelompok tani nelayan
10. Diskusi / meminta WWF dan BTNS pertemuan dengan nel ayan untuk membicarakan
dampak penabatan terhadap perikanan
11. Dialog pemanfaatan gemor dengan BTNS, Demang adat dan WWF
L. Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional Sebangau
• Ruang Gerak Masyarakat Terbatasi
Dengan adanya taman nasional sebangau aktifitas mas yarakat terbatasi karena
masyarakat yang akan memanfaatkan sumberdaya alam m erasa takut akan melanggar
aturan yang ada ditaman nasional.
• Masyarakat banyak yang belum paham apa itu Taman Nasional Sebangau
Sebagian besar masyarakat Nelayan belum memahami fu ngsi adanya taman nasional
tersebut untuk kehidupan para nelayan sehingga masy arakat banyak yang tidak
mengetahui fungsi dari Taman Nasional Sebangau itu sendiri.
82
• Belum jelasnya aturan tentang taman nasional
Aturan yang ada ditaman nasional belum disosialisas ikan terhadap masyarakat nelayan
sehingga masyarakat tidak memahami aturan yang berl aku, mengingat aktifitas
masyarakat nelayan banyak yang memanfaatkan Sumberd aya Alam disekitar taman
nasional ini diharapkan aturan yang ada bisa disamp aiakan ke masyarakat.
• Seberapa penting adanya Taman Nasional Sebangau bagi masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan sebagian kecil mendukung adanya taman nasional mengingat masih
terjaganya kondisi lingkungan sebagai tempat hidup Flora Fauna yang dimanfaatkan
oleh masyarakat nelayan.
83
Lampiran 2-2:
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Hyang Bana
Disusun Oleh:
1. Ma’mun Ansori
2. Muhammad Efendi
3. Bantista Aadies
4. Masyarakat Hiyang Bana
PALANGKA RAYA
September 2014
84
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Studi Strategi Pengembangan
Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar Taman Nasional Sebangau Desa Hiyang Bana”.
Kajian ini dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat, berbagi
pengalaman dengan masyarakat, santai, informal serta saling menghargai.
Sebagai penyusun laporan, kami menyadari bahwa sebagai manusia yang penuh dengan
keterbatasan kami tidak mungkin dapat menyelesaikan laporan hasil kajian di Desa Hiyang
Bana ini tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pihak-pihak yang tanpa pamrih
membantu kami dalam melakukan kajian adalah seluruh warga masyarakat, tokoh-tokoh
masyarakat, dan tokoh-tokoh pemuda masyarakat Hiyang Bana, Kepala Desa Hiyang Bana,
Kecamatan Tasik Payawan; serta Bapak Ir. Adib Gunawan, selaku Kepala Balai Taman
Nasional Sebangau beserta segenap staf Balai Taman Nasional Sebagau.
Tim menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyaj ian dan pemilihan kata-kata
maupun pembahasan di dalam laporan kajian ini masih jauh dari sempurna. Karena itu,
dengan penuh kerendahan hati tim mengharapkan saran , kritik, dan pengarahan yang
konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan laporan kajian ini. Semoga kajian ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Palangkaraya,....Oktober 2014
Tim Penyusun
85
I. Kajitindak Desa Hiyang Bana
Satu langkah dalam membangun kerjasama antara warga masyarakat desa Hiyang Bana
sebagai salah satu desa di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangau dengan pihak Balai
Taman Nasional Sebangau (BTNS) dan Yayasan World Wide Fund for Nature (WWF)
Indonesia dalam mengembangkan strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
masyarakat, adalah melakukan suatu kajian bersama warga masyarakat. Gambaran
pengkajian tersebut adalah sebagaimana disampaikan dalam laporan ini.
A. Latar Belakang
Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan
No. 423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas + 568.700 ha.
Kawasan ini terletak di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebangau dan Katingan,
serta secara administratif berada di wilayah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang
Pisau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Ekosistem gambut Sebangau merupakan salah satu ekos istem yang kondisinya relatif
masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya , dan dalam kondisi alami
memliki ciri-ciri khusus serta menyediakan berbagai produk alam dan fungsi ekologi
yang penting. Lahan gambut merupakan kawasan yang memainkan peranan sangat
penting sebagai gudang penyimpanan karbon dan penga tur tata air. Karena itu
kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu fakto r penentu kualitas hidup
manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun global.
Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional, produk hutan berupa kayu
komersial di kawasan ini telah dimanfaatkan oleh 13 perusahaan kayu, sedangkan
berbagai produk non-kayu seperti lateks, buah-buahan, bahan obat-obatan, kulit dan
bunga telah dimanfaatkam masyarakat lokal sebagai t ambahan sumber pendapatan.
Hutan rawa gambut juga menjadi habitat ikan untuk p emijahan, pendewasaan dan
sumber makanannya. Ikan dari hutan rawa gambut merupakan sumberdaya yang
penting bagi masyarakat lokal, baik sebagai sumber pendapatan maupun sebagai
sumber protein dalam pola makan mereka sehari-hari.
Survei yang dilakukan oleh Edutama Envirocare menunjukkan masih intensifnya
pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan Taman Nasional (lihat Lampiran
1.1).
Intensitas pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan tentunya berpengaruh
ter¬hadap keutuhan ekosistemnya sehingga BTNS dan WWF Indonesia mendorong
pengembangan mata pencaharian berkelanjutan di desa -desa sekitar Taman Nasional
Sebangau agar pengembangan perekonomian di zona penyangga selaras dengan
tujuan-tujuan perlindungan kawasan. Saat ini tercat at ada 39 desa dan kelurahan
yang bertetangga langsung dengan kawasan Taman Nasi onal Sebangau, dan delapan
desa lainnya yang memiliki akses dan memanfaatkan sumberdaya di dalam kawasan
tersebut. Hingga saat ini tercatat ada 17 desa/kelu rahan yang telah mendapat
bantuan program pengembangan mata pencaharian berke lanjutan. Meskipun belum
pernah diadakan evaluasi terhadap program-program ini, namun melalui observasi
diperoleh kesan bahwa program-program itu belum secara signifikan memberikan
dampak yang baik pada upaya perlindungan kawasan maupun pada upaya
86
pengembangan perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Karena itu dianggap
perlu untuk memahami situasi perekonomian terkini d i zona penyangga melalui
sebuah studi komprehensif sebagai dasar untuk selanjutnya mengembangkan strategi
pengembangan mata pencaharian berkelanjutan yang le bih tepat sasaran dan tepat-
guna.
B. Desa Hiyang Bana
Desa Hiyang Bana terletak di Kecamatan Tasik Payawan, Kabupaten Katingan.
Wilayah yang terletak di sempadan Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan ini
merupakan salah satu desa tertua yang berada di dae rah Katingan. Desa Hiyang Bana
berdiri pada tahun 1917. Menurut masyarakat, kata ‘ Hiyang Bana” merupakan nama
seseorang yang pertama kali membuka lahan desa karena pada zaman dahulu
masyarakat masih mengenal sistem ladang berpindah. Disamping itu, juga ada sudut
pandang lain asal mula pemberian nama Desa Hiyang Bana, yakni adanya
kesalahpahaman mengenai ejaan lama dari kata “Lyang Gana” menjadi “Hiyang
Bana”. Nama desa sebelumnya adalah “Desa Lyang Gana”, akan tetapi akibat
kesalahpahaman baik itu dalam pengucapan dan penden garan sewaktu pelafalan
maupun ketika pembacaan dalam tulisan ejaan lama se hingga huruf “L” akan terlihat
seperti huruf “H” sedangkan huruf “G” terlihat seperti huruf “B”. Selain itu, sebelum
berubah menjadi “Hiyang Bana” nama desa lebih dikenal sebagai “Lyang Gana”. Kata
“Lyang Gana” terdiri dari dua kata yakni “Lyang” ya ng berarti kubangan atau lubang
dan “Gana” yang berarti naga atau suatu makhluk gha ib yang
melindungi desa. Berdasarkan arti kata tersebut memang yang dimaksud dengan
kubangan atau lubang naga tersebut ditunjukkan dari salah satu bentang alam yang
berada di sekitar desa yakni sebuah sungai yang ter lepas dari parit maupun sungai
besar sehingga akan tampak seperti sungai yang tak memiliki hulu dan muara. Akan
tetapi, terdapat sudut pandang lain mengenai arti d ari “Lyang Gana” yakni desa yang
terbentuk karena adanya bekas tapak langkah dari su atu makhluk ghaib yang
bernama “Gana” setelah melakukan ritual pertapaan. Dari sejarahnya, desa ini sudah
dipimpin oleh 8 Kepala Kampung :
� Kaung dan Rawing
� Maholok Rawing (1917 – 1938)
� Situ Maholok (1938 – 1969)
� Dion Mantali (1969-1988)
� Sangen Tulus (1988 - 1997)
� PJS Jande Angen (1997 – 1999)
� Ulang Unjung (1999 - 2002)
� Elwa D. Mantali (2002 – sekarang 2015)
Desa Hiyang Bana pada tahun 2011 menjadi desa yang berkembang cukup ramai,
apalagi dengan adanya pendatang warga transmigrasi dari Jawa, Lampung dan
penduduk lokal yang menenetap dan tinggal di wilayah desa ini sebanyak 200 KK dan
dilanjutkan pada tahun 2012 ada lagi penempatan seb anyak 300 KK dengan sebutan
wilayah Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Hiyang Bana SP 1. Namun yang menjadi
87
permasalahan sekarang adalah posisi transmigrasi yang sekarang tidak sesuai dengan
tujuan asal yang diinginkan masyarakat Hiyang Bana, yakni bertambah penduduknya
menjadi satu kesatuan wilayah perumahan dan aktivit as penduduk dengan warga
transmigrasi yang baru. Namun yang ada sekarang adalah posisi transmigrasi sangat
jauh dari Desa Hiyang Bana berada di sekitar 4 Km. Semua keluarga di Desa Hiyang
Bana mengikut transmigrasi sebagai transmigran lokal.
Jumlah penduduk yang tercatat di desa induk Hiyang Bana adalah 120 Jiwa yang
terbagi dalam 35 KK (tambahan penduduk transmigrasi 500 KK), dengan total wilayah
desa 23 Km2. Rata-rata tingkat pendidikan masyaraka t Hiyang Bana adalah setingkat
SMA. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan, terut ama 9 tahun, baru terjadi
beberapa tahun ini sehingga jumlah lulusan SD dan SMP mendominasi.
Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani r otan, nelayan dan buruh tani.
Sudah turun temurun sejak dulu masyarakat di sini adalah petani rotan dan nelayan,
dan juga minimnya tingkat pendidikan menyebabkan ma syarakat tidak punya
keahlian lainnya dan akhirnya tidak punya pilihan l ain selain menjadi petani rotan
dan nelayan.
C. Tujuan Pengkajian
Tujuan kajian secara umum adalah: Memberdayakan masyarakat dalam perencanaan
pengembangan ekonomi mandiri berbasis sumber-sumber penghidupan secara
berkelanjutan.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan
strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di
sekitar TN Sebangau.
b. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
c. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber pengh idupan berkelanjutan
untuk Desa Hiyang Bana.
II. Metodologi Kajitindak Partisipatif
Kegiatan kajitindak ini dilakukan dengan metode pendekatan yang tekanannya pada
keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan dari mulai mengamati,
menganalisa, dan membuat perkiraan serta merencanakan, bahkan hingga pelaksanaan
program. Metode ini menggunakan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat sehingga
fasilitator lebih berperan sebagai pemandu. Diharapkan bahwa melalui penggunaan
metode tersebut akan tercipta suasana saling belaja r, saling berbagi pengalaman,
secara santai dan (informal) serta saling menghargai dan diharapkan melibatkan seluruh
masyarakat.
Cakupan dan lokasi kajian adalah Desa Hiyang Bana, Kecamatan Tasik Payawan,
Kabupaten Katingan dengan tahapan sebagai berikut:
88
1. Mengumpulkan data sekunder dan dokumen tertulis dar i berbagai sumber seperti
laporan, catatan penelitian, koran, majalah dan foto-foto yang diterbitkan oleh
instansi teknis.
2. Kunjungan awal/observasi, membangun kepercayaan, dan keterbukaan untuk
pengembangan perencanaan kegiatan kajitindak.
3. Bersama masyarakat melihat secara langsung potensi desa, danau, kebun dan
kondisi lingkungan secara umum.
4. Melakukan pengkajian dengan pengamatan langsung, di skusi terfokus dan
wawancara semi–terstruktur, serta berbagai diskusi yang mengunakan beberapa alat
bantu kajian, antara lain: Sejarah Desa (berbagai kejadian penting menurut
masyarakat desa), Diagram Venn untuk menganalisa hubungan dan manfaat
kelembagaan desa, Kalender Musim tentang kondisi al am, Transek Desa untuk
melihat kondisi sumber daya alam desa, Sketsa Desa tentang sebaran sumber daya
alam dan ancaman-ancaman terhadapnya, Matriks Mata Pencaharian untuk
menelaah sumber penghidupan desa, dan Perencanaan P rogram.
Informasi, data, masalah, ancaman dan lainnya yang diperoleh sebagai hasil kegiatan
yang dilakukan disampaikan dalam forum diskusi yang melibatkan perwakilan
masyarakat dengan tujuan pengecekan informasi tersebut sehingga dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan terhadap informasi tersebut. Untuk selanjutnya, dilakukan
pengelompokan/indentifikasi masalah dan ancaman seh ingga peserta pertemuan dapat
menyusun perencanaan program penyelesaian masalah tersebut bersama.
III. Pelaksanaan Kajian
A. Rencana Kegiatan
Kegiatan kajitindak di Hiyang Bana dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober – 2
November 2014, mengikuti jadwal pelaksanaan di lapangan dan disepakati bersama
dengan warga masyarakat. Jadwal kegiatan di lapangan yang disepakati tersebut
ditampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1: Alur Proses Kegiatan di Lapangan
No Kegiatan Hari/ tanggal Jam Keterangan
1 Perjalanan Palangka Raya – Petak Bahandang –Hiyang Bana
Selasa, 28/10/2014 Jam 12.00 WIB – 18.00 WIB
Dijemput ces (Birman)
2 Perkenalan menyampaikan maksud dan tujuan kajitindak partisipatif, pembahasan Sejarah Desa Hiyang Bana
Rabu, 29/10/2014 Jam 18.30 – selesai
Diskusi di Balai Pertemuan Desa Hiyang Bana langsung dipimpin Kepala Desa Hiyang
3 Transek Desa Kamis, 30/10/2014 09.00 - selesai Desa Hiyang Bana – Transmigrasi (sambil kerja bakti pembersihan saluran irigasi)
89
No Kegiatan Hari/ tanggal Jam Keterangan
4 Sketsa Desa dan Mata Pencaharian Desa Hiyang Bana
Kamis, 30/10/2014 18.30 – selesai Diskusi di Balai Pertemuan Desa Hiyang Bana
5 Wawancara Keluarga Jum’at, 30/10/2014 07.00 – 15.00 Rumah ke rumah
6 Kelembagaan Desa dDan Identifikasi Masalah
Jum’at, 30/10/2014 18.30 – selesai Di Balai Pertemuan
7 Potensi Desa dan Transek Sabtu, 1/11/2014 08.00 – selesai Melihat pengembangan usaha masyarakat (beje Biddem)
8 Kecendrungan / Pengelompokan Masalah
Sabtu, 1/11/2014 18.00- selesai Kantor Balai Desa Dan Review Hasil Kajian
9 Perencanaan Bersama Minggu, 2/11/2014 09.00 – selesai Pleno desa di Balai Pertemuan Desa Hiyang Bana
10 Kembali ke Palangka Raya
Catatan: Di luar proses pengkajian ini, Tim juga melakukan wawancara dan
pengamatan langsung di sekitar Desa Hiyang Bana termasuk di lokasi transmigrasi.
B. Tim Pelaksana
Proses kajitindak partisipatif dipandu oleh Tim terpadu yang terdiri dari staf Balai
Taman Nasional Sebangau, staf WWF, dan warga masyarakat desa sebagai berikut:
1. Ma’mun Ansori (WWF-Indonesia Kalimantan Tengah)
2. Muhammad Efendi (masyarakat Palangka Raya)
3. Bantista Aadies (mahasiswa Institut Pertanian bogor)
4. Masyarakat Hiyang Bana
C. Pelaksanaan Kajian
Secara umum kegiatan kajian dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
disepakati. Rata-rata peserta tiap pertemuan adalah 24 orang, baik laki-laki (70%)
dan perempuan (30%). Partisipasi warga masyarakat yang hadir dalam diskusi hidup
dan berkembang, ini terlihat setiap gagasan atau pendapat dari peserta selalu
dibahas bersama yang didasarkan dengan kondisi lapangan yang ada.
Beberapa kendala yang dihadapi adalah diskusi hampi r selalu diadakan malam hari
rata–rata masyarakat capek dan sebagian masyarakat tidak datang (istirahat), enggan
mengungkapakan masalah yang ada di desa karena menyangkut masalahnya peserta
diskusi.
Beberapa kegiatan berlangsung terlampau lama sehingga sebagian peserta
meninggalkan ruangan sebelum acara berakhir.
90
IV. Pokok-pokok Kajian
Dari berbagai pengamatan dan diskusi pengkajian tel ah diidentifikasi beberapa pokok persoalan yang bernilai penting bagi masyarakat
Hiyang Bana sebagai berikut :
Tenaga Kerja No
Jenis Mata
Pencaharian Laki=laki Perempuan Pemasaran Bahan Baku Bagaimana Memulai Masalah
1 Menangkap Ikan (80%)
60% 40% Menjual di tempat (di kampung) diambil tengkulak, dijual dengan tetangga, dijual dalam bentuk segar dan asin (harga ikan jenis kihung, kekapar, tebakang, patung, pentet = 15.000 Kg / haruan = 17 ribu, papuyu dan baung 25 ribu, jelawat, pipih, lais = 35 ribu dan udang 60 ribu
Pengilar, banjur, tempirai, jabak, tambak udang, selambau, wuwu, rengge, lunta
Turun temurun dan dilaksanakan usaha sendiri
Jika ikan berlimpah harga turun, faktor alam mempengaruhi hasil tangkapan, banyak orang yang menagkap ikan dari luar kampung (Talingke, Petak Bahandang, dll) diikuti dengan banyak alat-alat, racun, strum, tidak adanya modal untuk pembuatan alat tangkap
2 Karet (6 KK), 50 Persen memiliki kebun belum
siap sadap
50% 50% Sekarang diantar, dulu dijemput dan diantar
Bibit lokal cabutan alam dari kebun masyarakat yang ada, bibit sendiri bantuan pemerintah tahun 2012 Dinas Pertanian (tidak ditanam)
Harga turun, ada perubahan cara pembelian berupa kepala, obat harus disiapin dari pembeli, ada kebun karet tidak produktif lagi karena pohon sudah tidak mulus, alih fungsi karet ke kebun sawit karena harga turun
3 Rotan alam (ahas, bulu, katip)
50% 50% Diambil di kampung (dulu dikeringkan secara alami dan diruntih); sekarang dijual basah, ada pembeli
Di alam dan turun temurun dan ada pembelinya
Susah mencarinya, jauh karena ada ukuran tertentu (1 minggu 1kwt tekor), adanya di alam
91
Tenaga Kerja No
Jenis Mata
Pencaharian Laki=laki Perempuan Pemasaran Bahan Baku Bagaimana Memulai Masalah
datang: rotan ahas panjang 3,25m satu ijir (batang) Rp 300, dan rotan bulu 4,5m Rp 130.000/kwt
4 Rotan budidaya (sigi dan irit)
50% 50% Diambil di kampung (dulu dikeringkan secara alami dan diruntih); sekarang dijual basah
Budidaya, menanam Tidak ada pembeli (sekitar 8 bulan belakangan), permainan pembeli dengan berbagai alasan (gudang penuh) sehingga harga turun
5 Dagang/warung (1 KK)
50% 50% Warung di kampung, dan penjaja sayur mayur
Hasil budidaya dan belanja hasil tangkapan ikan, adanya pasar, transmigrasi
Akses jalan untuk pemasaran
6 Kerja kayu 100% 0% Adanya pesanan transmigrasi dan dalam desa
Kayu meranti campuran, jingah, belangiran, pelepek
Kayu banyak terbakar, kayu semakin sulit diperoleh baik jumlah dan jarak jangkauannya (karena bahan kayu sulit tumbuh), adanya penggesek dari luar kampung. kerjaan jadi harus bersembunyi
7 Buruh sawit (4 orang dan 2 KK)
75% 25% Menanam sawit individu, kontrak pengusaha
Kampung sepi
8 Tukang kayu 100% 0% Jika ada pekerjaan Pengalaman Hanya sebatas
92
Tenaga Kerja No
Jenis Mata
Pencaharian Laki=laki Perempuan Pemasaran Bahan Baku Bagaimana Memulai Masalah
pembangunan rumah/bangunan lainnya di desa
membangun untuk desa saja
9 Berburu 100% 0% Babi hutan, bekantan (di perjual-belikan); babi hutan 20-35 ribu jika hidup 17 ribu, bekantan 20 ribu borongan dan eceran 25 ribu. Tujuan pasar: Kasongan dan Palangka Raya
Pada bulan banyak pohon berbuah
Musiman
10 Anyaman 0% 100% Lanjung (rotan dan tali milyar), topi (pandan), dijual dan pakai sendiri (untuk dijual menunggu ada pesanan) bahan baku merupakan kombinasi antara milyar, ahas,
uwei edan, bajungan
Nenek moyang, alam, membeli dari pasar
Tergantung dari pesanan
11 Menambang emas
100% 0% Masing-masing penambang membawa hasil ke Kereng Pangi
Alat yang digunakan: mesin alkon, bahan bakar bensin
Pasir di Sungai Katingan (gosong) saat musim kemarau, awalnya dicoba dengan dulang
Penghasilan kurang saat sekarang, waktu musim banjir berhenti (musiman), sembunyi-sembunyi kerjanya, tidak satu tempat tetapi berpencar di banyak lokasi
93
A. Perikanan
Hasil tangkapan ikan menurun sekitar tahun 80-an. D alam usaha ikan masyarakat
Hiyang Bana sehari dalam satu alat bisa mencapai 5 kg atau lebih, sehingga tidak
perlu banyak alat yang harus dipasang dan modal besar untuk mendapatkan ikan.
Pada saat ini mendapat 3 ekor per hari dalam satu a lat tangkap sudah sulit, seperti
pengakuan Suriansyah dalam pengambilan atau menjeng uk alat yang dipasang di
Sungai Katingan bahkan tidak mendapat ikan sama sek ali. Faktor penyebabnya
menurut masyarakat Hiyang Bana karena pertambahan j umlah penduduk membuat
hasil tangkap ikan berkurang, seperti halnya masuknya transmigrasi tahun 2011-2012
yang jumlahnya hampir 500 KK ikut mencari ikan di daerah tangkapan ikan seperti
danau, sungai dan anak sungai. Masyarakat dari luar desa menurut masyarakat Hiyang
Bana penyebab turunnya hasil tangkapan ikan, karena hampir tidak ada tempat lagi
di pinggir Sungai Katingan yang sudah dipenuhi alat -alat tangkap ikan sehingga ikan
tidak bisa bebas. “Lepas alat satu, masuk alat lain ya,“ itulah istilah yang digunakan
oleh masyarakat Hiyang Bana. Murni menangkap dari a lam tanpa diikuti budidaya.
Jika memelihara ikan dilakukan dari hasil tangkapan yang masih hidup untuk
dibesarkan dan menunggu pembeli datang ke desa.
Ada beberapa penyebab menurunnya hasil tangkapan, a ntara lain:
� Jumlah nelayan di desa meningkat dan banyak pendata ng dari luar, dan dikuti
dengan perkembangan modifikasi alat atau jaring;
� Ada cara-cara penangkapan yang merusak, antara lain dengan racun (potas) dan
listrik;
� Dulu ikan yang masih kecil (benur) tidak ditangkap, sekarang ditangkap semua
karena tangkapan ikan besar saja tidak memenuhi keb utuhan. Untuk jenis ikan
yang kecil sekarang banyak pembelinya walaupun harg a relatif murah dibanding
dengan ikan yang besarl;
� Diduga salah satu sebab penurunan populasi adalah pencemaran air sungai, ini
dari berbagai aktivitas pertambangan emas yang dilakukan di Sungai Katingan
(pengaruh air raksa).
Menurunnya hasil tangkapan disebabkan adanya persai ngan yang tidak terkendali
antar nelayan dalam menangkap ikan, baik nelayan di desa maupun dengan
pendatang. Tidak ada aturan-aturan tentang jumlah, jenis, waktu, dan lokasi
penangkapan ikan sehingga populasi ikan tidak sempa t berkembang. Aturan ini tidak
ada karena selama ini belum dirasakan keperluannya dan kelembagaan masyarakat
belum berperan dalam mengembangkan aturan seperti i tu.
Pengalaman Bapak Bidem. Berdasarkan pemikiran tersebut, ia mencoba untuk
melakukan budidaya jenis ikan biawan, terlebih ketika mendapat kesempatan berhasil
menangkap biawan dengan kondisi sedang bertelur. Menurutnya biawan relatif
berpotensi besar karena termasuk salah satu jenis ikan yang diminati untuk dikonsumsi
dan jenis pakannya secara alami berupa lumut, bahkan anakan dari biawan dapat juga
diperjulbelikan. Upaya tersebut dilakukan bersama salah satu keluarganya. Kini
mereka mencoba untuk mengganti kolam budidaya yang semula menggunakan terpal
94
B. Perkebunan
Meredupnya usaha perkebunan bagi masyarakat Hiyang Bana karena tidak adanya
pembeli, membuat masyarakat desa melakukan perubahan-perubahan terhadap
kebunnya:
� Perkebunan rotan menjadi kebun
karet atau sawit, digantinya
tanaman kebun ini disebabkan
oleh harga rotan turun, itupun
untuk jenis rotan yang masih ada
pembeli adalah jenis rotan non
budidaya seperti rotan ahas dan
rotan bulu dengan harga relatif
murah dengan proses penjualan
diambil di kampung (dulu di
keringkan secara alami dan
diruntih) sekarang dijual basah,
ada pembeli datang : rotan ahas
panjang 3,25m satu ijir (batang) Rp 300, dan rotan bulu 4,5m Rp 130.000/kwt.
Itupun untuk mencarinya 1 kwintal memperlukan waktu 1 minggu dan adaya di alam.
� Berlomba-lomba menanam sawit, berdampingan dengan perkebunan sawit.
Masyarakat Hiyang Bana melakukan pemanfaatan lahan untuk mengembangkan
sawit, ini terlihat dengan beberapa masyarakat mela kukan pembibitan sawit di
depan rumah masing-masing.
C. Usaha lainnya
� Berburu
Aktivitas berburu merupakan
usaha turun menurun sejak nenek
moyang. Aktivitas berburu
menurut masyrarakat Hiyang Bana
ada beberapa istilah, mengan
(beruru dengan senjata), mandup
(menggunakan anjing, khusus
untuk satwa berkaki empat) dan
dan kayu menjadi kolam semen yang lebih kuat. Sehingga diharapkan tidak ada
perembesan air keluar kolam. Namun rencana tersebut masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan modal yang dimiliki, mereka baru menggali tanah yang
dipersiapkan sebagai dasar kolam. Oleh karena itu, hingga kini mereka masih tetap
menggunakan kolam budidaya menggunakan dinding terpal. Alasan mereka ingin
merubah kolam karena berdasarkan pengalaman yang diperoleh sejauh ini kolam
dengan terpal mempunyai kendala air merembes keluar akibat adanya serangan rayap
dan semut sehingga terpal dan papan kayunya berlubang.
95
manjerat (menggunakan perangkat seperti tali/alat j erat). Ketika melakukan
berburu apa saja yang ditemui dan jika ada pembeli atau harganya bernilai. Babi
hutan(Sus Barbatus) dan bekantan (Proboscis Monkey) diperjual-belikan. Hasil
buruan untuk daging babi hutan 20 - 35 ribu/kg, jik a hidup 17 ribu, untuk bekantan
20 ribu, borongan dan eceran 25 ribu. Tujuan pasar Kasongan dan Palangka Raya.
Musim buah merupakan sumber rezeki bagi orang yang merengge bangamat
(kelelawar, Hipposideros diadema), terutama pada musim durian bisa mendapat
puluhan ekor. Satu ekor kelawar Rp 20.000 sampai Rp 30.000 harganya.
Kesadartahuan terhadap satwa yang dilindungi bagi masyarakat Hiyang Bana hanya
terbatas seperti orangutan. Perlu kiranya ada sosialisasi terkait Undang-undang No.
5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada
akhir 2012 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah bekerja sama
dengan BOSF menyelamatkan 2 ekor orangutan atas inf ormasi masyarakat karena
menyerang kebun mereka.
� Anyam-anyaman
Lanjung (tas gendong ala masyarakat Dayak) dan topi purun merupakan produk
andalan masyarakat Hiyang Bana. Pekerjaan ini 90% d ikerjakan oleh ibu-ibu.
Pengalaman untuk anyaman ini didapat secara turun t emurun, tidak ada pelatihan
khusus untuk mengembangkan keterampilan anyaman. Un tuk bahan baku
pembuatan kerajinan anyaman rotan dan purun relatif besar, mengambil yang ada
di alam dan tanpa membeli. Produk yang dihasilkan hanya dijual di kampung sendiri
atau transmigrasi sesuai dengan pesanan. Jika tidak ada pesanan kerajinan ini tidak
dilakukan (untuk lanjung harganya = Rp 100.000/buah dan untuk topi antara Rp
20.000 – Rp 30.000/buah).
� Tukang Kayu
Rumah, Balai Desa, Balai Basarah (tempat ibadah Kaharingan), sekolah dan lainnya
yang mengunakan bahan kayu adalah karya masyarakat Desa Hiyang Bana sendiri.
Hanya sebatas pengalaman dan turun temurun dan seti ap bangunan adalah
borongan.
� Walet
September 2014 Bapak Suriansyah mencoba membangun s arang walet karena, “Dari
pengalaman kakak yang ada di Pontianak berhasil untuk usaha walet“. Tetapi harus
memiliki modal besar, sebagian dibantu keluarga. Sementara modal yang harus
dikeluarkan sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta Rupiah) untuk bahan material
seperti kayu dan lainnya. Sumber material berupa kayu Bapak Suriansyah mencari
sendiri dan membeli atau mengupah di kawasan hutan sekitar desa (terutama kayu
kuat seperti belangiran, bintan dan lainnya).
� Tambang Emas
Jika naik transportasi air akan terlihat pemandangan lanting yang diatasnya ada
perlengkapan mesin diesel, ini tidak lain adalah masyarakat yang mencari emas.
Aktivitas mencari emas ini dimulai dari tahun 2011, dari beberapa masyarakat juga
mencari emas ke luar kampung Hiyang Bana di Sungai Kelaru, Desa Telaga, dan Desa
Talingke. Dari pengamatan tim bahwa di bantaran Sun gai Katingan terdapat banyak
96
gosong (tumpukan pasir) akibat penambang emas. Akti vitas mencari emas bukannya
di Sungai Katingan saja, juga dilakukan di Sungai Rasau (anak Sungai Katingan) jika
kondisi air di Sungai Katingan banjir. Sungai Rasau jika dilihat dari peta Taman
Nasional Sebangau sebagian masuk dalam kawasan. Ada beberapa masyarakat
menolak Taman Nasional Sebangau karena tidak bisa mencari emas. Mereka sadar
bahwa mencari emas adalah aktivitas yang dilarang s ehingga setiap kali melakukan
aktivitas tersebut ada kekhawatiran patroli dari kepolisian. Kondisi ini dilakukan
karena tidak ada lagi mata pencaharian untuk memenu hi kebutuhan sehari-hari,
walaupun seperti yang dialami Bapak Bidem justru ti dak kembali mendapat emas.
� Buruh Sawit
Harus naik perahu motor setiap hari, ini dialami warga masyarakat Desa Hiyang
Bana yang bekerja menjadi buruh perkebunan sawit PT Arjuna Utama Sawit. Dengan
pendapatan Rp 72.000/hari hanya dapat memenuhi kebu tuhan sehari-hari. Kalau
masyarakat Hiyang Bana sebut “kerja hari ini untuk hari ini juga“. Hanya sebagai
buruh harian, tidak lebih.
D. Penjualan lahan dan penyerobotan tanah
Transmigrasi di Hiyang Bana sejak tahun 2011 dan tahun 2012. Seluruh warga
masyarakat Hiyang Bana mengkiuti program transmigrasi tersebut. Sebagaimana
layaknya transmigran mendapat jadup (jatah hidup) d an lahan yang kurang lebih 2
Ha. Jadup tersebut berlangsung sampai + 1,5 tahun s ampai Oktober 2014. Dengan
kondisi lahan belum siap harus membersihkan lagi terutama Lahan Usaha 2 (LU2),
maka banyak warga transmigrasi lokal termasuk warga Desa Hiyang Bana menjual
lahan tersebut, bahkan sampai menjual rumah atau la han usaha satu (LU1). Untuk
Lahan Usaha 1 dan Lahan Usaha 2 dijual berkisar Rp 20.000.000 (dua puluh juta
Rupiah) – Rp 30.000.000 (tiga puluh juta Rupiah). D engan dibukanya transmigrasi
terbukalah akses Desa Hiyang Bana, banyak warga masyarakat dari luar desa (warga
Desa Talingke dan Desa Petak Bahandang ataupun yang lainnya) mengkapling tanah-
tanah yang masuk wilayah administrasi desa. Menyada ri banyak aktivitas atau
program pemerintah ataupun pihak swasta membuat wil ayah desa semakin
menyempit menurut masyarakat Hiyang Bana, lagipula belum adanya kejelasan batas
administrasi Desa Hiyang Bana dengan Petak Bahandang dan Talingke.
E. Hilangnya desa induk
Transmigrasi adalah mimpi bagi masyarakat Hiyang Bana, kenyataannya bahwa
transmigrasi tidak sesuai dengan tujuan awalnya untuk memajukan desa induk atau
desa asal. Semenjak itu banyak perubahan di beberapa program pemerintah lebih
cenderung ke transmigrasi. Salah satu Sekolah Dasar di Hiyang Bana sudah tidak aktif
lagi sehingga sekolah ke transmigrasi, begitu juga dengan kegiatan rutinitas bulanan
seperti Posyandu untuk balita lebih ke arah transmigrasi.
F. Kurangnya pembinaan keagamaan
Hampir 98% masyarakat Hiyang Bana menganut Agama Kaharingan. Tempat ibadah
seperti basarah tersedia tetapi balai tersebut tidak terurus seperti layaknya tempat
ibadah lainnya, hanya digunakan untuk menyanggar at au bersih desa itupun juga
97
jarang dilakukan oleh masyarakat Desa
Hiyang Bana. Keinginan adanya pisur atau
guru agama Kaharingan untuk bisa membina
terkait keagamaan.
V. Hutan dan masyarakat
Menurut masyarakat Hiyang Bana, hutan me-
rupakan bagian dari kehidupan yang tidak
terpisahkan. Bagi masyarakat desa hutan adalah
tempat berburu, mencari rotan alam (ahas dan
bajungan). Kawasan hutan di sekitar desa semakin menyempit karena ada beberapa
perusahan sawit yang masuk di dalam kawasan desa, belum lagi keberadaan Taman
Nasional. Berikut beberapa persepsi masyarakat Hiyang Bana terhadap Taman Nasional
Sebangau:
� Taman Nasional adalah tempat satwa yang jinak dan buas.
� Mempersempit ruang gerak masyarakat.
� Melindungi hutan tetap terjaga.
� Hutan lindung untuk melindungi seperti kahiu (orang utan).
� Taman Nasional membuat “bingung“.
� Taman Nasional membantu pembentukan dan peralatan R egu Pemadam Kebakaran
hutan (RPK).
� Taman Nasional kurang adanya penjelasan/sosialisasi.
PT Menara Tunggal Perkasa melalui Keputusan Bupati Katingan No. 500/225/KPTS/VIII/
2011 tentang penetapan izin lokasi tanah untuk per kebunan kelapa sawit, yang salah
satu lokasinya adalah Desa Hiyang Bana, menurut mas yrakat itu salah satu
mempersempit lahan usaha mereka karena beberapa sungai di desa seperti Paningin
sebagai tempat usaha mencari ikan terpotong. Dengan adanya izin PT Menara Tungal
Perkasa seluas 17.100 Ha membuat masyarakat resah t erhadap tanah yang masuk
administrasi Desa Hiyang Bana.
Tentunya kebutuhan kayu untuk bahan bangunan sudah tidak bisa dilakukan atau
penebangan. Menurut Jago Armando, “Sebenaranya perusahan sawit itu yang merusak
hutan karena menebang bohon secara habis total dan ditimbun tidak bisa dimanfaat-
kan, sementara masyarakat untuk mencari pohon memilih dan tidak setiap hari“.
VI Perencanaan Desa
Proses perencanan desa ini bagaimana mengumpulkana data lapangan, identifikasi
masalah-masalah yang diplenokan bersama untuk menen tukan pokok masalah. Harus
menunggu hari Minggu agar masyarakat Desa Hiyang Bana bisa berkumpul. Perencanaan
desa lebih fokus membahas program WWF yang sudah disepakati yang sampai sekarang
belum jalan, dan lebih banyak untuk klarifikasi dan penjelasan terhadap program yang
disepakati. Dalam kegiatan perencanaan ini, dalam p roses pleno desa masyarakat
membahas:
98
Peran Masalah Sebab Akibat Potensi Cara Pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak Lain
Transmigrasi Lahan masyarakat desa semakin menyempit
Kebun karet , kebun rotan, sawit, beje, danau, sungai (dekat desa)
Pembuatan surat tanah untuk masyarakat
1. Masyarakat desa melakukan perintisan tanah yang sudah disepakati
2. Siap melakukan survey
Membantu pengurusan surat dan pengukuran , pemetaan (WWF, dll)
Masyarakat desa menjadi buruh
Pemetaan Desa
Lahan sawit oleh perusahan
Satwa masuk kampung
Pertemuan/ sosialisasi PT dan Taman Nasional
Taman Nasional Sebangau
Adanya timbal balik / kontribusi terhadap desa
1. Pemerintah desa siap fasilitasi pembuatan surat tanah
2. Mempermudah dan meringankan biaya pengurusan surat.
3. Pendanaan dalam proses APBDes
4. Sosialisai yang jelas terkait kontribusi terhadap desa
Wilayah desa (luasan)
Penyerobotan lahan dari pihak luar (desa tetangga, orang
Konflik antar keluarga, perkelahian
Peraturan Desa Pengesahan Membuat secara bersama (diskusi)
WWF fasilitasi
Hasil tangkapan ikan berkurang
Penyetruman Banyak anak ikan ikut mati
Beje, danau, sungai (dekat desa)
Peraturan Desa (pelaksanaannya harus dengan SK)
Pengesahan Diskusi WWF fasilitasi
99
Peran Masalah Sebab Akibat Potensi Cara Pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak Lain
Racun Tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari
Banyak orang yang mencari (alat)
Konflik antar keluarga, perkelahian
Hama ikan (a.l. musang, berang-berang, biawak)
Pembukaan
lahan
Kebakaran Lahan terlantar Asap Alat-alat pemadam kebakaran
Fasilitasi pembentu-kan kelompok dan peralatan
Membentuk kelompok peduli api
Pelatihan (perusahaan dan WWF)
Kanal Lahan kering di musim kemarau
Membuat dam yang memiliki pintu
APBD Gotong royong pembuatan dam
Pendanaan (perusahaan,
Membuat sumur di titik rawan kebakaran
Siap buat sumur di lahan rawan kebakaran
Pembukaan lahan dengan membakar
Kebun karet (jalan poros) dan hutan terbakar
Ada Perdes (tertahan di Biro Hukum), RPK (tidak aktif, alat-alat sudah rusak dan tidak lengkap lagi)
Tindakan tegas dari pihak berwajib (Polisi)
Pengetahuan sebatas pengalaman turun menurun dan informasi
Tidak ada penyuluhan
Hasil yang didapatkan tidak maksimal
Lahan dan hasil bumi berlimpah (karet, ikan, rotan), semangat mencoba usaha
Adanya pendampingan, penyuluhan dan permodalan
Menugaskan PPL (perkebunan, perikanan, pertanian) secara terus menerus
Membentuk kelompok, usulan
Pendampingan
100
Peran Masalah Sebab Akibat Potensi Cara Pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak Lain
Pemasaran Akses jalan Kebun rotan tidak dirawat
Badan jalan sudah ada
Difungsikan dan ditingkatkan kondisinya
Pemerintah Desa sudah mengusul-kan, tanggung jawab adalah Pemerintah Pusat melalui Dinas Transmigrasi dan Pemerintah Daerah, ketakutan tumpang tidih
Usulan
Permainan tengkulak
Alih fungsi kebun karet menjadi sawit
Kebun karet, kebun, tangkapan ikan ada
Penjajakan dan mencari investasi dari luar (informasi pemasaran)
Memberi informasi pasar
Pelayanan pendidikan kurang
Tidak ada guru di desa
Anak sekolah harus ke transmigrasi
Ada gedung SD 2 ruangan dan rumah dinas guru
Ditempatkan guru Menugaskan guru di Desa Hiyang Bana (honorer atau PNS)
Usulan Memfasilitasi
Kegiatan keagamaan tidak berjalan
Pelayanaan keagamaan Kaharingan kurang
Pembina tidak ada
Pengetahuan agama kurang
75 % Agama Kaharingan, Balai Basarah, Ketua Majelis ada
Adanya pembinaan Adanya guru Agama Kaharingan
Usulan Membantu dalam proses pengusulan
101
VI. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajitindak di Desa Hiyang Bana te rdapat rekomendasi yang menurut
tim dapat dilaksanakan:
� Budidaya perikanan dan pembuatan beje merupakan pot ensi untuk dikembangan di
Desa Hiyang Bana.
� Peningkatan kapasitas kelembagaan desa dalam bentuk pelatihan-pelatihan.
� Penyelesaian tata batas desa dengan desa tetangga, dan mendorong pemanfaatan
lahan terlantar untuk mendapat surat menyurat (Sura t Keterangan Tanah atau SKT).
� Peternakan salah satu pilihan untuk dikembangkan se perti sapi, karena lahan relatif
tinggi dan bebas banjir (ketersediaan pakan juga pe rlu dipikirkan).
� Harga turun (karet dan rotan), dipertahankan kebunn ya tidak justru dialihkan ke
jenis kebun lainya (sawit). Jika menanam sawit di l okasi lahan yang terlantar.
� Untuk pemerintah daerah Hiyang Bana adalah salah sa tu desa asal sebelumnya,
jangan dikesampingkan jika ada program pengembangan baik ekonomi, pendidikan
atau yang lainnya (melihat sejarahnya).
� Pemanfaatan lahan terlantar yang terbuka untuk perk ebunan (gemor, ada
pengalaman penanaman tanaman gemor tetapi terbakar) .
� Perlu adanya klarifikasi laporan yang dibuat dalam kajian pertama.
VII. PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian Strategi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar
Taman Nasional Sebangau Desa Hiyang Bana , kesimpul an yang dapat diambil :
1. Sektor perikanan adalah usaha utama masyarakat Hiya ng Bana, usaha ini dilakukan
secara turun menurun dan sampai sekarang sumber penghidupan masyarakat Desa
Hiyang Bana.
2. Pasar merupakan persoalan yang harus diselesaikan untuk bisa memasarkan hasil
pertanian, perkebunan dan hasil alam (ikan, rotan a has, bajungan).
3. Berburu adalah budaya yang masih melekat pada warga masyarakat Hiyang Bana,
bahkan salah sumber penghidupan mereka.
4. Kebakaran, semenjak dibukanya jalan lintas Kereng Pangi – Baun Bango kebakaran
setiap tahunnya dan belum ada penanganan serius dar i desa, banyak kebun baik
rotan, karet dan pohon buah-buah ikut terbakar.
5. Rasa kekeluargaan masih kental terlihat dan masih h omogen masyarakat Hiyang
Bana sehingga segala sesuatunya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Saran bagi Pemerintah Desa Hiyang Bana agar berperan aktif dalam kegiatan desa atau
kegiatan-kegiatan yang berada di desa (memfasilitas i pertemuan dan transparansi segala
bentuk program), dipertahankan rasa kebersamaan masyarakat Desa Hiyang Bana.
Peraturan desa Kebakaran Hutan perlu diimplementasi kan secara bersama-sama
mengingat potensi sungai dan sumber daya alam di Desa Hiyang Bana.
102
LAMPIRAN
Kelembagaan Desa:
Nama Lembaga Desa Fungsi Kenyataan
Pemerintah Desa (Kepala Desa,
Sekdes, Kaur Pemerintahan, Umum, Pembangunan)
� Memimpin masyarakat
� Melayani urusan surat tanah
� Urusan proyek
� Kepala pemerintahan tertinggi di desa
� Menangani urusan desa Bidang Administrasi
� - Perwakilan Kepala Desa jika berhalangan
� Sekdes tidak pernah di tempat
� Tidak sepenuhnya elaksanakan tugas (Kepala Desa)
BPD � Pendamping Kepala Desa
� Wakil masyarakat
� Sebagai mitra Pemerintah Desa
� - Mengawasi pelaksanaan tugas desa
� Tidak sepenuhnya melaksanakan tugas
RT � Supaya aman (orang ribut-ribut)
� - Penasihat
� Tidak terlalu aktif di desa karena sedang berusaha
TPPK (Tim Perencana dan Pelaksana Kegiatan), contoh Program Desa Membangun
� Mengelola kegiatan fisik
� - Merencanakan dan melaksanakan
� Kadang-kadang mengambil keputusan mandiri tanpa ada musyawarah
Posyandu � Kesehatan balita
� Memeriksa ibu hamil
� Imunisasi
� Masih bagus karena kegiatan dan fungsi masih berjalan
PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga)
� Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
� Anyam-anyaman
� Masak memasak
� Posyandu
�
� Hanya ada kegiatan Posyandu
� Kegiatan anyam-anyaman dulu saja ada tapi sekarang tidak ada
Majelis Kelompok Agama Hindu Kaharingan
� Wadah dan membina kegiatan keagamaan
� Sudah tidak berfungsi lagi
Kelompok Tani � Kelompok masyarakat yang membentuk organisasi yang bergerak di bidang pertanian
� - Mengelola pertanian
� - Hanya ada namanya saja (hanya memanfaatkan nama saja untuk kepentingan pribadi)
103
Profil Desa Hiyang Bana
No Aset Skor
1. Manusia
1. Punya keterampilan 60
2. Penampilan (cara berpakaian, bicara, tingkah laku) 50
3. Punya pengetahuan 60
4. Punya pengalaman 50
5. Semangat dalam bekerja 100
6. Ketahanan dalam bekerja 80
7. Kesehatan dan Gizi 40
8. Kemampuan bertahan Hidup 75
Rata-rata 64,375
2. Fisik
1. Transportasi (jalan, kendaraan, dll) 25
2. Rumah yang aman 30
3. Water supply dan sanitasi (watsan) 42,5
4. Sumber daya listrik, BBM dan komunikasi 36,66666667
5. Peralatan produksi (kerja) 40
6. Benih, pupuk, obat, dll 10
7. Teknologi tepat guna 40
Rata-rata 32,02380952
3. Finansial (keuangan), sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mempertahankan mata pencaharian)
1. Tabungan 50
2. Kredit/debit (formal-informal), LSM 90
3. Gaji/pendapatan 30
4. Kiriman uang dari keluarga 10
Rata-rata 45
4 Sosial/sistem sosial
1. Keanggotaan seseorang dalam kelompok 75
2. Hubungan antar pihak (hubungan yang saling menguntungkan, saling percaya, kebersamaan)
85
3. Organisasi yang memiliki pengaruh positif terhadap penghidupan
35
4. Pengambilan keputusan yang partisipatif 90
Rata-rata 71,25
104
No Aset Skor
5 Alam
1. Hutan 50
2. Sungai 50
3. Cadangan air tanah 30
4. Lahan 25
Rata-rata 38,75
Nilai tertinggi 100 dan terkecil 10
105
Lampiran 2 – 3 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Talingke
Disusun Oleh:
Tito Surogo,
Suwanto, Staf WWF
Surahmansyah,
Warga Desa Talingke
Palangka Raya,
Desember 2014
106
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasi l menyelesaikan Kajitindak Mata
Pencahariaan Berkelanjutan di Desa-desa dampingan WWF Indonesia Kalimantan Tengah.
Kajian ini berisikan informasi analisa potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh masing
masing desa. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaannya.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Peme rintah Desa Talingke, tokoh
masyarakat dan masyarakat Desa Talingke atas kerjasama dan partisipasinya.
Penyusun
107
Pendahuluan
A. Latar belakang
Talingke merupakan salah satu desa yang berada di s ekitar Taman Nasional Sebangau.
Desa Talingke memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah yaitu karet, rotan irit
dan sigi. Selain itu masyarakat mempunyai sayur umbut, buah pisang, rambutan, tanggu,
rambai, bajei, kelakai, ujau, jamur merang, jamur kuping. Ketersediaan obat-obatan
tradisional, sayur-sayuran, bumbu-bumbu dapur dan buah-buahan cukup banyak di
belakang desa. Adanya kanal/saluran/terusan untuk mencari ikan, selain untuk irigasi
untuk tujuan pertanian dan perkebunan.
Desa Talingke di sebelah Utara berbatasan dengan De sa Hiang Bana, di sebelah Timur
berbatasan dengan wilayah Kota Palangka Raya, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Desa Asem Kumbang dan di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kotawaringin
Timur. Tahun 2014 memiliki penduduk sebanyak 176 KK , dan mempunyai 603 jiwa dengan
rincian jumlah laki-laki 306 orang dan jumlah perempuan 297 orang.
B. Tujuan
1. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di sekitar TN
Sebangau.
2. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
3. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber pengh idupan berkelanjutan.
C. Keluaran
Adanya perencanaan dan strategi untuk pengembangan sumber-sumber penghidupan yang
berkelanjutan di masyarakat.
BAB II
Teknis Kegiatan
A. Metode yang digunakan
Adapun metode yang digunakan adalah dengan mengunak an alat-alat PRA, curah pen-
dapat, diskusi dengan Pemerintah Desa Talingke, tokoh masyarakat dan warga
masyarakat Desa Talingke.
108
B. Tempat dan waktu pelaksanaan
Kegiataan dilaksanakan di Talingke pada tanggal 8-1 4 Oktober 2014.
C. Pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat adalah:
• Tokoh Masyarakat
• Tokoh Pemuda
• Pemerintah Desa
• Masyarakat Desa
• Kelompok PKK
• Tito Surogo, Staf Balai Taman Nasional Sebangau
• Suwanto, Staf WWF
• Surahmansyah, Fasilitator Desa
BAB III
Hasil kegiatan
a. Sejarah Desa
Tahun Peristiwa Penting
1947-an Sekolah Rakyat (SR) s/d kelas 3 dilanjutkan menjadi SD.
1955-an Dibangun masjid pertama AL-ASRI.
1967-an Dibangun SD.
2003 TK Asiyah, pinjam pakai gedung desa.
2003 Pustu 1 (rehap).
2004 Instruksi penghentian illegal logging, illegal mining, dan illegal fishing.
2004 Pernah ada bantuan bibit karet 40.000 batang dari Dinas Kehutanan kabupaten namun tidak optimal.
2005 Banjir besar dan rumah terendam, yang tersisa hanya 5 rumah
2007 Kebakaran besar di Talingke.
2007 Pembangunan jembatan dari PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan, PU) ± 450 meter, disamping dengan dana ADD (Anggaran Dana Desa) ± 80 meter (jembatan untuk menyeberangi terusan).
2008 Posyandu dibangun dari dana ADD.
Pembangunan Balai Desa tidak jadi dibuat
Adanya pelatihan RPK dari WWF
Pembangunan titian dari P2DTK dan ADD
109
Tahun Peristiwa Penting
2009 Pembangunan jembatan (sambungan) dari P2DTK (Program Pecepatan Desa Tertinggal Khusus) ± 200 meter.
2009 Polindes 1 (satu).
2010 Program air bersih, CWSHP dari Bank Dunia.
2010 P2DTK membangun jembatan ± 100 meter.
2011 Jembatan dari P2DTK ± 300 meter.
Pembangunan/perehaban Pustu
2012 Pembersihan Sungai Pangatan
2013 Pembuataan bahu jalan dari Pemda yang menghubungka Talingke ke jalan lintas menuju Kereng Pangi
Penimbunan jalan menuju Baun Bango 850 M
2014 Lanjutan penimbunan sampai desa
Kemarau panjang, banyak kebakaran lahan dan kebun
Nama Desa Talingke awalnya yaitu Dahian Undang, des a pertama dan terbesar di DAS
Katingan. Desa ini bubar karena ada sabung ayam dan cerita yang beredar bahwa anak
yang bersabung ayam meninggal, padahal yang meninggal bukan anak yang sabung ayam,
akan tetapi yang meninggal adalah ayam yang sedang mereka sabung.
Akibat kejadian tersebut masyarakat pindah ke suatu daerah yang dinamakan Sanggayaw
setelah sekitar 10 tahun mereka menetap di daerah t ersebut, akhirnya meraka
memutuskan untuk pindah ke Talingke Ngawa (kaleka), walaupun mereka sempat
melakukan sekali ritual adat (tiwah) di Sanggayaw.
Alasan mereka pindah dari Sanggayaw ke Talingke Ngawa karena banyak yang mati akibat
penyakit kolera/ muntaber, akhirnya mereka memutusk an untuk pindah lagi, namun
sebelumnya melakukan manajah antang, minta petunjuk pindah kemana lagi. Akhirnya,
burung antang menuju ke Desa Talingke yang ada saat ini.
Jumlah Kepala Desa Talingke dari yang pertama sampai saat ini berjumlah 7 orang, yaitu:
(1) Nyahu, (2) Arbain, (3) Usin Penyang, (4) Esnal Simban, (5) Murjani Usin, (6) Danty, dan
(7) Suherdi
Sketsa Desa Talingke
Potensi Masalah Solusi
Sungai - Kondisi airnya tercemar limbah (perusahaan sawit dan penambangan emas)
- Banyaknya yang melakukan penambangan di bantaran Sungai Katingan
- Masyarakat tidak bisa membudidayakan ikan di keramba
- Sungai mengalami pendangkalan di musim kemarau
- Pembuataan kolam terpal
- Penegakan hukum terkait penambangan di aliran sungai
-
110
Potensi Masalah Solusi
- Jumlah ikan yang ada di sungai sudah mengalami penurunan
Tanah desa - Belum terdata aset-aset tanah desa secara baik
- Seringnya kebakaran di saat musim kemarau
- Tanah desa belum terkelola secara baik
- Pendataan aset desa secara jelas
- Regu RPK diperbarui dan pengadaan alat pemadam
Jalan desa - Masih dalam tahap pengerasan jalan meng-hubungkan desa menuju Kereng Pangi dan belum bisa dilewati oleh masyarakat
- Dilakukan pengaspalan jalan
Tanah/lahan masyarakat
- Banyaknya lahan masyarakat yang tidak dikelola
- Mahalnya pembukaan lahan untuk bertani dan berkebun
- Kesulitan bibit
- Kesulitan pupuk
- Banyaknya masyarakat yang belum memahami pengelolaan tanah gambut
- Sering kebakaran
- Menumbuhkan kembali semangat gotong royong
- Adanya bantuan bibit dari pemerintah dan pihak ketiga agar masyarakat bisa memanfaatkan lahan-lahan yang terlantar
- Pelatihan dalam mengolah lahan gambut
Danau - Banyaknya masyarakat dari luar desa yang menyetrum ikan
- Hasil tangkapan ikan banyak mengalami penurunan
- Banyaknya jenis ikan berkurang
- Masyarakat banyak mengalami kesulitan dalam pengolahan hasil tangkapan untuk mendapat nilai tambah
- Adanya pelatihan pasca panen
- Adanya aturan dalam melarang memanen ikan dengan mengunakan alat yang tidak ramah lingkungan
Kebun rotan - Harga jual turun
- Masyarakat tidak berpengalaman dalam memanfaat-kan rotan asalan menjadi suatu produk / anyaman
- Jenis rotan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sudah banyak berkurang
- Adanya pelatihan anyaman
- Pembudidayaan rotan yang memiliki nilai jual tinggi
111
Kalender Musim
BULAN KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 KETERANGAN
1. Musim kemarau
V VV VVV VVV VV VV Mei s.d. Oktober musim kemarau
2. Musim membersih-kan lahan
VV VV VVV VV V Membersihkan lahan pada bulan 5 sampai bulan 8
3. Menanam karet VV VV VV VV V VV VV
Masyarakat berkebun karet pada bulan Oktober – April
4. Budidaya perikanan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5. Kebun sawit pribadi
√ √ √ √ √ √ √
6. Musim mencari ikan
VV VV VV V V VV VVV VVV VVV V VV VV Musim mencari ikan ini paling banyak pada bulan 7-9
7. Mencari rotan V V V V V V V V V V V V
Mencari rotan sudah menurun karena harga jualnya turun
8. Menyadap karet
VV VV VV VV VV VV VV V V VV VV VV
Musim sadap karet pada bulan bulan di musim penghujan harga jual 4500/Kg
9. Bekerja di perusahaan sawit
V V V V V V V V V V V V Upah yang didapat dari perusahaan 65.000/hari
10. Berternak ayam dan itik
VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV Harga jual Rp. 35.000 per Kg
Potensi Masalah
- Kebun Rotan - Harga jualnya menurun - Seringnya kebakaran
- Ikan - Harga ikan menurun - Banyaknya masyarakat dari luar mengambil ikan dengan cara menyetrum dan meracun - Masyarakat masih kurang memahami cara pengolahan hasil ikan untuk mendapatkan
nilai tambah - Banyaknya masyarakat yang mencari ikan
112
Potensi Masalah
- Berkebun sawit dan karet
- Sulitnya mendapatkan bibit karet dan sawit berkualitas dan harganya mahal - Kesulitan mendapatkan pupuk - Masyarakat belum memahami cara budidaya karet dan sawit
- Budidaya ikan - Kualitas airnya sudah tercemar - Banyak tambang emas di sungai - Mahalnya harga pakan ikan - Harga jualnya masih murah - Belum ada pasar yang jelas
Getah karet - Harga jual menurun - Kualitas lateks kurang - Masyarakat belum memahami cara meningkatkan kualitas
Bagan Kecenderungan Perubahan Mata-pencaharian
Tahun Usaha
1947 1955 1965 1975 1985 1995 2000 2010 2014
1. Mencari ikan vvv vvv vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv
2. Berkebun karet vv vv vv vv vv vvv vvvv
3. Berkebun rotan vv vv vv vv vv vv vv vv
4. Gemor v v vv vv vvv vvvv vvvv
5. Logging vvv vvv vvvv vvvv vvvv
6. Bertanam padi vv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
7. Berternak ayam v vv vv vv vv vv vv vvv vvv
Potensi Masalah
Mencari ikan - Sudah berkurangnya hasil tangkapan nelayan - Belum ada pasar penampung hasil tangkapan - Harga jual rendah - Belum memahami pengolahan hasil tangkapan untuk menambah nilai ekonomi - Banyaknya masyarakat yang menyetrum -- belum ada aturan larangan dalam
penyetruman - Banyaknya masyarakat yang berkerja menjadi nelayan - Banyaknya masyarakat luar yang mencari ikan di desa
Berkebun karet - Kesulitan bibit yang berkualitas - Kesulitan pupuk - Masyarakat kurang memahami cara budidaya karet - Harga jual lateks menurun (tidak stabil) - Sering kebakaran - Seringnya kebanjiran
113
Potensi Masalah
Budidaya rotan - Harga jualnya menurun - Masyarakat tidak ada pelatihan dalam pengolahan rotan asalan menjadi bahan anyaman - Jenis rotan yang memiliki nilai tinggi banyak berkurang - Sering kebakaran ketika musim kemarau
Bertanam padi - Kesulitan mencari bibit berkualitas - Masyarakat masih menerapkan cara bercocok tanam dengan cara berladang - Hasil panen hanya untuk kebutuhan keluarga - Masyarakat kesulitan dalam mencari pupuk - Tidak ada pembinaan dari Dinas Pertanian kepada masyarakat
Diagram Kelembagaan
Potensi/Lembaga Masalah
WWF Hubungannya jauh, pengaruhnya kecil
- WWF sering ingkar janji/ tidak menepati kesepakatan yang sudah dibuat dengan masyarakat
- WWF tidak pernah sosialisasi kepada masyarakat
- Tidak ada pembinaan terhadap masyarakat
BTNS Hubungannya jauh, pengaruhnya kecil
- Tidak ada sosialisasi di desa tentang tujuan dari Taman Nasional Sebangau
- Tidak ada pembinaan terhadap masyarakat desa
Pemerintahan Desa Hubungannya sedang pengaruhnya sedang
- Masih kurang memahami TUPOKSI dari masing-masing aparat desa
Karang Taruna Hubungannya jauh pengaruhnya kecil
- Karang Taruna tidak memiliki rencana kerja
- Pengurus dan angotanya tidak mengetahui tugas yang harus dijalankan
- Kepengurusannya tidak jelas
Kelompok Yasinan Hubungannya dekat pengaruhnya besar
- Setiap Jum’at selalu melakukan kegiatan keagamaan
- Sering melakukan pengajian
114
Matriks Ranking
Kriteria dan Nilai Pembobotan
Masalah Dirasakan
oleh orang
banyak
Sangat
Parah
Menghambat
Peningkatan
Pendapatan
Total Ranking Urutan
Peringkat
1. Budidaya ikan di kolam terpal 10 9 10 29 II 3
2. Memanfaatkan lahan terlantar untuk kebun karet dan sawit
10 10 10 30 I 1
3. Pelatihan menganyam, mengolah hasil perikanan
10 6 10 26 V 8
4. Budidaya ikan nila 10 8 10 28 III 5
5. Beternak itik petelur 10 7 10 27 IV 7
6. Pembuataan aturan dalam peng-aturan menangkap ikan dengan ramah lingkungan
10 10 10 30 I 2
7. Pelatihan dalam peningkatan kualitas lateks dan budidaya karet dan sawit
10 9 9 28 III 6
8. Pengadaan bibit berkualitas untuk karet dan sawit
10 10 10 30 I 3
9. Pengadaan pupuk dan kapur pertanian
10 10 9 29 II 4
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Data Analisa Kesimpulan
Budidaya ikan dalam kolam terpal
� Kondisi air yang sudah tercemar dan tidak bisa untuk budidaya ikan di keramba
� Hasil tangkapan ikan banyak menurun
� Masyarakat dalam menangkap ikan dengan mengunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
Banyaknya masyarakat yang melakukan pekerjaan nelayan dan ada yang mengunakan alat tangkap ikan dengan setrum dan racun, di tambah lagi dengan kualitas air yang sudah tercemar sehingga mengurangi perkembangbiakan ikan
115
Data Analisa Kesimpulan
Memanfaatkan lahan terlantar untuk berkebun masyarakat
� Banyaknya lahan masyarakat yang tidak dikelola
� Kesulitan dalam mencari bibit yang berkualitas baik karet ataupun sawit
� Kesulitan mendapatkan pupuk � Harga jual lateks rendah
Masyarakat belum memahami budi-daya kebun karet secara baik dan pengolahan lateks yang berkualitas, sehingga mempengaruhi harga jual karet, masyarakat menggunakan bibit lokal (cabutan) yang tidak diketahui kualitas pohon indukannya
Pelatihan pengolahan ikan pasca panen
- Masyarakat masih kurang me-mahami cara mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi
- Kesulitan mencari pembeli sehingga hasil dari nelayan biasa dijual kondisi hidup dan apabila kondisinya mati tidak laku dijual
Ketika musim banyak ikan harga ikan jatuh dan bisa tidak laku terjual sehingga masyarakat banyak mengalami kerugian bila menjual dengan kondisi ikan mulai banyak
Pembuataan peraturan terkait pengambilan ikan ramah lingkungan
- Sudah semakin menurunnya hasil tangkapan ikan masyarakat dengan maraknya penangkapan ikan yang mengunakan strum dan racun oleh masyarakat dari luar desa.
- Tidak adanya peraturan yang mengatur cara penangkapan ikan yang lestari
Tingkat kesadaran dari masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari dan terus menerus masih kurang ditanamkan di dalam masyarakat itu sendiri
B. Rekomendasi
Rekomendasi dari kajian ini diharapkan adanya pendampingan yang intensif dalam implementasi di lapangan, mengingat ini mengunakan kelompok yang sangat banyak dan adanya evalusi rutin yang dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang ada di tingkat kelompok.
C. Saran
Saran dari pengkajian ini jangan membuat janji atau apapun yang bisa menimbulkan konflik di masyarakat. Dalam menjalankan program harus melihat kebutuhan yang ada di masyarakat, bukan dari keinginan. Disepakatinya pembagiaan peran yang jelas antara Kelompok, Pemdes dan WWF supaya ada rasa saling memiliki program.
116
Lampiran
Gambar 1. Diskusi Penentuan Jadwal Pengalian
Gambar 2. Pembuataan Sketsa Desa
Gambar 3. Diskusi Tentang Sketsa Desa
117
Gambar 4:Sketsa Desa
Gambar 4. Pengalian Sejarah Desa
Gambar 5. Pengalian Sejarah Desa
118
Foto Sketsa Desa
Foto Diagram Kelembagaan
Sejarah Desa
Diagram
Kelembagaan
119
Lampiran 2 - 4.
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Tumbang Runen
Disusun Oleh:
1. Hariadie
2. Fami
3. Okta Simon
4. Ma’mun Ansori
5. Muhammad Efendi
6. Surahmansyah
7. Warga Masyarakat Tumbang Runen
PALANGKA RAYA
September 2014
120
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul “Studi Strategi Pengembangan
Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar Taman Nasional Sebangau Desa Tumbang
Runen”. Kajian ini dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat,
berbagi pengalaman kepada masyarakat, santai, informal serta saling menghargai.
Sebagai penyusun laporan, kami menyadari bahwa sebagai manusia yang penuh dengan
keterbatasan kami tidak mungkin dapat menyelesaikan laporan hasil kajian di Desa
Tumbang Runen ini tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pihak-pihak yang tanpa
pamrih membantu kami dalam melakukan kajian adalah seluruh warga masyarakat, tokoh-
tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh pemuda masyarakat Tumbang Runen, Bapak Ijuansyah
selaku kepala Desa Tumbang Runen, Kecamatan Kamipang; serta Bapak Ir. Adib Gunawan,
selaku Kepala Balai Taman Nasional Sebangau beserta segenap staf Balai Taman Nasional
Sebagau.
Tim menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyaj ian dan pemilihan kata-kata
maupun pembahasan di dalam laporan Kajian ini masih jauh dari sempurna. Karena itu,
dengan penuh kerendahan hati Tim mengharapkan saran, kritik, dan pengarahan yang
konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan laporan kajian ini. Semoga Kajian ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Palangka Raya,
September 2014
Tim Penyusun
121
I. Kajitindak Desa Tumbang Runen
Satu langkah dalam membangun kerjasama antara warga masyarakat desa Tumbang
Runen sebagai salah satu desa di sekitar Kawasan Taman Nasional Sebangau dengan
pihak Balai Taman Nasional Sebangai (BTNS) dan Yayasan World Wide Fund for Nature
(WWF) dalam mengembangkan strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
masyarakat, adalah melakukan suatu kajian bersama warga masyarakat. Gambaran
pengkajian tersebut adalah sebagaimana disampaikan dalam naskah ini.
A. Latar Belakang
Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai taman nasional melalui SK Menteri
Kehutanan No. 423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Ok tober 2004 dengan luas
+ 568.700 ha. Kawasan ini terletak di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebangau
dan Katingan, serta secara administratif berada di wilayah Kota Palangka Raya,
Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Ekosistem gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang kondisinya relatif
masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya, dan dalam kondisi alami
memiliki ciri-ciri khusus serta menyediakan berbagai produk alam dan fungsi ekologi
yang penting. Lahan gambut merupakan kawasan yang memainkan peranan sangat
penting sebagai gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air. Karena itu
kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup
manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun global.
Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi taman nasional, produk hutan berupa kayu
komersial di kawasan ini telah dimanfaatkan oleh 13 perusahaan kayu, sedangkan
berbagai produk non-kayu seperti lateks, buah-buahan, bahan obat-obatan, kulit
dan bunga telah dimanfaatkam masyarakat lokal sebagai tambahan sumber
pendapatan.
Hutan rawa gambut juga menjadi habitat ikan untuk pemijahan, pendewasaan dan
sumber makanannya. Ikan dari hutan rawa gambut merupakan sumberdaya yang
penting bagi masyarakat lokal, baik sebagai sumber pendapatan maupun sebagai
sumber protein dalam pola makan mereka sehari-hari.
Survei yang dilakukan oleh PT. Edutama Envirocare menunjukkan masih intensifnya
pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan Taman Nasional.
Intensitas pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan tentunya berpengaruh ter-
hadap keutuhan ekosistemnya sehingga BTNS dan WWF Indonesia mendorong
pengembangan mata pencaharian berkelanjutan di desa-desa sekitar Taman
Nasional Sebangau agar pengembangan perekonomian di zona penyangga selaras
dengan tujuan-tujuan perlindungan kawasan. Saat ini tercatat ada 38 desa dan
kelurahan yang bertetangga langsung dengan kawasan Taman Nasional Sebangau,
dan delapan desa lainnya yang memiliki akses dan memanfaatkan sumberdaya di
dalam kawasan tersebut. Hingga saat ini tercatat ada 12 desa/kelurahan yang telah
mendapat bantuan program pengembangan mata pencahar ian berkelanjutan.
Meskipun belum pernah diadakan evaluasi terhadap program-program ini, namun
melalui observasi diperoleh kesan bahwa program-program itu belum secara
122
signifikan memberikan dampak yang baik pada upaya perlindungan kawasan maupun
pada upaya pengembangan perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Karena
itu dianggap perlu untuk memahami situasi perekonomian terkini di zona penyangga
melalui sebuah studi komprehensif sebagai dasar untuk selanjutnya mengembang-
kan strategi pengembangan mata pencaharian berkelan jutan yang lebih tepat
sasaran dan tepat-guna.
B. Desa Tumbang Runen
Tumbang Runen adalah desa yang berada di pinggir Sungai Katingan. Desa ini berdiri
antara tahun 1884 – 1900. Nama Tumbang Runen berasa l dari bahasa Bugis yang
artinya “persinggahan”. Konon pada masa awal berdirinya ada seorang laki-laki
perantauan Bugis yang menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Kapuas
dan kemudian menetap di Dusun Tumbang Runen. desa tua ke 10 di sepanjang
sungai Katingan. Setelah menikah mereka membangun sebuah rumah betang dengan
40 kamar yang mampu menampung 75 jiwa. Seiring dengan berjalannya waktu
terjadi berbagai perkembangan, antara lain mulainya kedatangan berbagai
pedagang dari luar, salah satunya adalah seorang saudagar yang bernama Ismail.
Saudagar tersebut memiliki kapal layar bernama “Mayang Sari” yang digunakan
untuk mengangkut hasil hutan berupa getah nyatoh, getah katiu, damar, dan rotan
menuju Jawa dan Singapura. Dari hasil perdagangan tersebut saudagar Ismail
melakukan barter/pertukaran biji rotan dengan biji teratai. Biji Teratai itu
kemudian ditanam di Danau Purun dan konon hanya bisa hidup di Danau tersebut.
Desa Tumbang Runen berpenduduk 135 KK atau 467 jiwa (Data tahun 2014), dan
dibagi menjadi tiga RT (Rukun Tetangga). Di Desa Tumbang Runen terdapat sarana
fisik berupa kantor desa dan balai desa, rumah warga, mesjid, Pustu, Posyandu,
jembatan/titian jalan yang berada di desa dan titian menuju danau Hai, sarana air
bersih Proyek CWSH dari Dinas Kesehatan beruupa tiga buah tower dan tiga buah
tong, 11 tong air yang tersebar di tiga RT), perpustakaan desa, bangunan sekolah,
perumahan guru, lanting, MCK/jamban sederhana yang berada di pingir Sungai
Katingan (tidak semua rumah tangga Memiliki MCK).
Beberapa adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat adalah antara lain
peringatan hari-hari besar agama Islam, mandi tujuh bulanan wanita harnil,
tasmiyah dalam pemberian nama pada bayi dan Palas Bidan. Sedangkan beberapa
adat yang pernah dimiliki namun sudah ditinggalkan adalah wayang kulit,
mamanda, japen, hadrah, dan lawang sekepeng pencak sila.
C. Tujuan Pengkajian
Tujuan kajian secara umum adalah: Memberdayakan masyarakat dalam peren-
canaan pengembangan ekonomi mandiri berbasis sumber-sumber penghidupan
secara berkelanjutan masyarakat.
Sementara beberapa Tujuan khususnya adalah:
a. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan
strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat
di sekitar TN Sebangau.
123
b. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
c. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan untuk Desa Tumbang Runen
II. Metodologi Kajitindak Partisipatif
Kegiatan kajitindak ini dilakukan dengan metode pendekatan yang tekanananya pada
keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan, mulai dari mengamati, meng-
analisa, dan membuat perkiraan serta merencanakan, bahkan hingga pelaksanaan
program. Metode ini menggunakan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat sehingga
fasilitator lebih berperan sebagai pemandu. Diharapkan bahwa melalui penggunaan
metode tersebut akan tercipta suasana saling belajar, saling berbagi pengalaman,
secara santai, informal, saling menghargai dan melibatkan seluruh warga masyarakat.
Cakupan dan lokasi kajian adalah Desa Tumbang Runen, Kecamatan Kamipang,
Kabupaten Katingan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data sekunder dan dokumen tertulis dar i berbagai sumber seperti
laporan, catataan peneliti, koran, majalah dan foto-foto yang diterbitkan oleh
instansi teknis.
2. Kunjungan awal/observasi, membangun kepercayaan, dan keterbukaan untuk
pengembangan perencanan kegiatan kajitindak.
3. Bersama masyarakat melihat secara langsung potensi desa, danau, kebun dan
kondisi lingkungan secara umum.
4. Melakukan pengajian dengan pengamatan langsung, dis kusi terfokus dan wawancara
semi–terstruktur, serta berbagai diskusi yang mengunakan beberapa alat bantu
kajian, antara lain: Alur Sejarah Desa (berbagai kejadian penting menurut
masyarakat desa), Diagram Venn untuk menganalisa hubungan dan manfaat
kelembagaan desa, Kalender Musim tentang kondisi alam, Transek Desa untuk
melihat kondisi sumberdaya alam desa, Sketsa Desa tentang sebaran sumberdaya
alam dan ancaman-ancaman terhadap sumberdaya alam tersebut, Matriks Mata
Pencaharian untuk menelaah sumber penghidupan desa, dan Perencanaan Program.
Informasi, data, masalah, ancaman dan lainnya yang diperoleh sebagai hasil kegiatan
yang dilakukan disampaikan dalam forum diskusi yang melibatkan perwakilan
masyarakat dengan tujuan pengecekan informasi tersebut sehingga dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan terhadap informasi tersebut. Untuk selanjutnya, dilakukan
pengelompokan/indentifikasi masalah dan ancaman sehingga peserta pertemuan dapat
menyusun perencanaan program penyelesaian masalah tersebut bersama.
III. Pelaksanaan Kajian
A. Rencana Kegiatan
Kegiatan kajitindak di Tumbang Runen dilaksanakan pada tanggal 19 – 29 Agustus
2014 mengikuti jadwal pelaksanaan di lapangan disepakati bersama dengan warga
124
masyarakat serta disesuaikan dengan jadwal Mereka. Jadwal kegiatan di lapangan
yang disepakati tersebut di tampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1: Alur Proses Kegiatan di Lapangan
Hari/ Tanggal Waktu Kegiatan / Topik Lokasi Instrumen
Rabu, 9/08/2014
10.00 - 16.00 koordinasi dengan Kepala Kecamatan, Kepala Desa
Desa Tumbang Runen
Surat, diskusi
Rabu, 9/08/2014
Malam diskusi/ melihat dokumen yang ada Rumah Reming (Tumbang Runen)
dokumen/ yang terkumpul
Kamis, 21/08/2014
Pagi wawancara rumah ke rumah (door
to door) Di RT 01, RT 02, RT 03
Catatan
Kamis, 21/08/2014
Malam diskusi bersama masyarakat menyampaikan maksud dan tujuan Tim
Balai Desa FGD
Kamis, 21/08/2014
Malam jenis, jumlah dan sebaran, konflik sumberdaya alam, dam-pak lingkungan, teknologi yang digunakan, pengetahuan tekno-logi, keterampilan, budaya, kebijakan
Balai Desa alur sejarah Desa (konfirmasi yang dilakukan YCI)
Jum’at,
22/ 08/2014
Sore bagaimana dikelola, musim pekerjaan, budaya pengelolaan, iklim dan cuaca
Balai Desa kalender musim (konfirmasi yang dibuat YCI)
Jum’at,
22/ 08/2014
Sore jenis usaha, siapa yang terlibat Balai Desa Matriks mata pencaharian
Jum’at,
21/ 8/2014
Sore. Sumberdaya masyarakat, pengelolaan
Balai Desa Transek (klarifikasi data YCI)
Jum ‘at, 21/ 08/2014
Sore Sumberdaya alam Balai Desa sketsa desa
Jum ‘at, 21/ 08/2014
Malam Ancaman terhadap sumberdaya alam, aturan-aturan tentang sumberdaya alam, kelem-bagaan, gotong royong dan ke-kompakan masyarakat, Pro-gram-program pemerintah dan non-pemerintah
Balai Desa Diagram Venn
Sabtu,
22/08/2014
Malam Analisa Usaha Balai Desa Matriks analisa Usaha
Minggu,
23/08/2014
Malam Identifikasi masalah/ pengelompokan masalah
Balai Desa Pleno desa
Senin,
24/08/2014
Malam Perencanaan desa Balai Desa Pleno Desa
Catatan, di luar proses pengajian ini, Tim juga melakukan beberapa wawancara dan
kegiatan pengamatan langsung di sekitar desa Tumbang Runen
125
B. Tim Pelaksana
Proses kajitindak partisipatif dipandu oleh Tim terpadu yang terdiri dari staf Balai
Taman Nasional Sebangau, staf WWF, dan warga masyarakat desa sebagai berikut:
1. Hariadie (Staff BTNS)
2. Fami (Staff Balai Taman Nasional Sebagau)
3. Okta Simon (WWF-Indonesia Kalimantan Tengah)
4. Ma’mun Ansori (WWF-Indonesia Kalimantan Tengah)
5. Muhammad Efendi (warga masyarakat Palangka Raya)
6. Surahmansyah (Formas Kecamatan Kamipang)
7. Masyarakat Tumbang Runen
C. Pelaksanaan Kajian
Secara umum kegiatan kajian dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
disepakati. Rata-rata peserta tiap pertemuan adalah ... orang, baik laki-laki (..%)
dan perempuan (...%). Partisipasi warga masyarakat yang hadir dalam diskusi .....
Beberapa kegiatan berlangsung terlampau lama sehingga sebagian peserta
meningggalkan ruangan sebelum acara berakhir
IV. Pokok-pokok Permasalahan
Dari berbagai pengamatan dan diskusi pengkajian telah diidentifikasi beberapa pokok
persoalan yang bernilai penting bagi masyarakat Tumbang Runen sebagai berikut:
A. Perikanan
1. Pentingnya perikanan bagi masyarakat.
Nyaris semua warga desa Tumbang Runen bermata pencaharian utama sebagai
nelayan dan bisa dikatakan bahwa lebih dari 90% warga masyarakat Tumbang
Runen menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan setiap harinya.
Bahkan beberapa warga yang bermata-pencaharian utama sebagai pedagang
lokal (warung kampung), tukang, dan PNS, sewaktu-waktu juga turun ke sungai
untuk mencari ikan. Ini termasuk 27% keluarga yang memiliki kebun rotan yang
berada di bantaran Sungai Katingan.
Pada umumnya yang dipentingkan para nelayan dalam upaya mereka adalah
bagaimana untuk bisa bertahan hidup sehingga harapan untuk penghasilan yang
berkelebihan untuk dipasarkan pada skala komersial jauh dari benak mereka.
2. Strategi nelayan dalam penangkapan ikan.
Desa Tumbang Runen berada di pingiran Sungai Katingan yang memiliki beberapa
anak sungai, saluran irigasi dan kanal-kanal, serta dikelilingi oleh danau–danau.
Di lokasi-lokasi inilah masyarakat mencari ikan dengan berbagai alat. Anak-anak
sungai Sungai Katingan adalah Sungai Luangan, Sunga i Runen Kurik, Sungai Tatas,
Sungai Runen Hai, Sungai Takilan, Sungai Tatau Kurik, dan Sungai Tatau Hai,
sedangkan beberapa danau yang terdapat di kawasan Desa Tumbang Runen
126
adalah Danau Dandang, Danau Ngambu, Danau Hai, Danau Purun, Danau Rasau,
Danau Tatau Kurik, Danau Papanjan, Danau Selak, Danau Mutar, Danau Bakung
dan Danau Bunter.
Cara-cara menangkap ikan merupakan warisan nenek moyang Desa Tumbang
Runen secara turun-temurun. Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat tangkap
tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alam seperti bambu dan rotan, walau-
pun belakangan ada pula alat-alat yang dibuat dari bahan-bahan modern seperti
kawat dan jaring plastik atau nylon.
Para nelayan mengunakan berbagai alat tangkap yang berbeda tersebut
disesuaikan dengan kondisi air, tempat penggunaan a lat tersebut, jenis ikan yang
diburu, cuaca dan musim, dan sebagainya. Daftar alat-alat tangkap nelayan Desa
Tumbang Runen tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2: Daftar alat tangkap nelayan Desa Tumbang Runen
Jenis Alat Tangkap
Lokasi Penggunaan Musim Jenis ikan
1. Pengilar kakari Di tepi Sungai Katingan dan danau
Banjir Kakari, Banta, Seruang
2. Ancau Danau tempat rawa–rawa Kemarau Banta, Seruang
3. Rawai Danau , rawa–rawa, pingir sungai
Banjir – kemarau Baung, Tauman, Patin
4. Jabak Danau dan rawa, di pinggir sungai
Kemarau dan jika danau banjir
Baung
5. Rengge (ber-bagai ukuran)
Danau dan sungai Kemarau dan banjir Semua jenis ikan
6. Salambau Danau dan sungai kecil Awal air banjir dan awal musim kemarau
Semua jenis ikan
7. Tamba Pinggir sungai dan danau Banjir dan kemarau Udang
8. Kambam Rawa Banjir Kakapar, Patung, Mihau, Lele
9. Banjur Rawa dan danau Banjir Gabus
10. Lunta/jala Danau / sungai Kemarau Semua jenis
11. Pengilar Sungai dan danau Kemarau / banjir Semua jenis
12. Pasuran Di pinggir sungai/ danau/ rawa
Banjir Banta/ Seruang
13. Wuw Rawa Banjir Kakapar, Gabus, Lele, Mihau
Namun banyak cara yang sudah mereka lakukan melalui perubahan pengunaan
alat–alat tangkap untuk meningkatkan hasil tanpa memperhatikan nilai
keberlanjutan kehidupan ikan. Keadaan tersebut juga sudah berubah
dibandingkan dengan keadaan pada masa hidup nenek moyang mereka yang
melakukan penangkapan ikan dengan memperhatikan ala t tangkap mereka (besar
kecil ikan yang ditangkap) dan memperhatikan musim perkembangbiakan ikan
127
(musim bertelur dan jika mendapat ikan bertelur di lepaskan kembali). Kini
prinsip para nelayan adalah “bagaimana mendapatkan ikan lebih banyak dengan
mengunakan alat yang tidak memperhatikan perkembang -biakan ikan”. Hal
tersebut dapat terlihat dari alat yang digunakan mereka seperti pasat dan ancau
yang kini mengunakan ukuran 4 x 4 meter, sedangkan dahulu ukurannya ±2 x 2
meter.
Untuk mengamankan sumber mata-pencaharian sebagai nelayan, usaha yang
telah dilakukan Pemerintah Desa Tumbang Runen dan masyarakatnya adalah
membuat aturan yang mengatur pengelolaan danau. Aturan tersebut telah
dibukukan dalam bentuk Peraturan Desa (perdes) yang mengatur pengelolaan
terhadap salah satu danau yang menjadi sumber ikan Desa Tumbang Runen.
Disamping itu, nelayan juga mengembangkan upaya pen ingkatan hasil ikan
melalui upaya budidaya ikan di dalam keramba yang semula hanya mengandalkan
penangkapan dari alam sehingga dapat berfungsi sebagai tabungan pada masa
yang akan datang. Beberapa jenis ikan yang dikembangkan oleh masyarakat
adalah ikan tauman dan papuyu.
3. Ancaman terhadap keberlanjutan perikanan: penurunan hasil tangkapan
Martinus, “Dulu sebelum memancing menyiapkan rempah–rempah dulu sekarang
berbalik“, kondisi ini yang dirasakan masyarakat Tumbang Runen kini. Ikan
Arwana / Tangkalasa di Sungai Katingan hanyalah tinggal cerita bagi anak cucu
masyarakat Tumbang Runen.
Dahulu potensi ikan di Desa Tumbang Runen bisa dikatakan cukup berlimpah dan
beraneka jenis, bahkan untuk ikan dibawah 1 kg tidak bisa dijual karena tidak
ada harganya. Penurunan ini dirasakan semenjak tahun 2011 yang menurut
masyarakat, banyak faktor penyebab terjadinya penurunan tangkapan ikan di
Desa Tumbang Runen.
Penangkapan yang berlebih, perkembangan informasi berdampak terhadap
perubahan dalam pengunaan alat tangkap yang semakin canggih (dari pedagang
Banjarmasin),
• Bertambahnya penangkap ikan, semenjak ditertibkan Ilegal Longging tahun
2006 menurut warga masyarakat, mereka hanya mempunyai alternatif untuk
kembali mencari ikan (kurang Lapangan pekerjaan), meskipun sebenarnya
bila dibandingkan dengan luasan dan panjang Sungai Katingan, serta jumlah
danau yang berada di sekitar desa tidak akan sebanding dengan jumlah
penduduk yang bekerja mencari ikan. Karena itu, untuk pemasangan alat
tangkap ikan jaraknya terlalu dekat sehingga mempengaruhi hasil tangkapan,
bahkan dapat menimbulkan terjadinya konflik pengambilan ikan dalam alat
tangkap tersebut.
• Oleh pendatang, semenjak tahun 2011 di Desa Tumbang Runen semakin
banyak datang para pemancing mania yang mencari ikan di sekitar desa
(danau dan sungai). Menurut masyarakat, para pemanc ing dari luar desa yang
datang bisa mencapai jumlah kelompok besar (rombongan) serta mengunakan
peralatan yang relatif cangih seperti umpan buatan. Jika hanya memancing
128
sebenarnya potensi ikan tidak akan berkurang, akan tetapi menurut sebagian
orang bahwa para pendatang juga melakukan peracunan (potas) yang dapat
terlihat melalui banyaknya keadaan ikan kecil yang tidak bisa di kail.
Gambar 1 Jarak pemasangan alat tangkap ikan
Cara-cara penangkapan yang merusak: sehingga kini mereka menangkap tanpa
memperhatikan perkembangbiakan ikan dan ukuran (besar kecil) tangkapan yang
menjadi perhatian mereka adalah jumlah hasil tangkapan. Perubahan prinsip
yang dahulu dilakukan nenek moyang Desa Tumbang Runen terjadi karena sebuah
alasan mendasar mereka yakni tuntutan “bagaimana ca ra mempertahankan dan
memperoleh kebutuhan rumah tangga”.
• Pengunaan potas (racun), strum dan ponat, kegiatan ini dilakukan oleh
masyarakat di luar Desa Tumbang Runen karena masyarakat sadar bahwa
penangkapan melalui cara tersebut akan mempengaruhi sumber mata
pencaharian mereka. Karena itu, sebagai alat kontrol kegiatan tersebut
Pemerintah Desa Tumbang Runen telah mengeluarkan Perdes yang salah
satunya ada pada pengaturan di Danau Hai.
Pencemaran sungai, menurunnya hasil tangkapan nelayan ikan di Tumbang
Runen ini diakibatkan oleh keadaan air sungai katingan yang telah tercemar.
Pencemaran yang terjadi pada sungai disebabkan oleh banyak aktivitas
penambang emas dan pembuangan limbah perusahan-perusahan sawit yang
berada di daerah hulu DAS Katingan, begitu juga seperti halnya limbah perusahan
sawit sekitar Desa Tumbang Runen. Pencemaran tersebut terjadi melalui irigasi
yang dihubungkan ke Sungai Katingan langsung maupun danau. Menurut
masyarakat Tumbang Runen, beberapa irigasi tersebut berada di daerah Kereng,
yakni di atas Baun Bango serta irigasi yang menghubungkan Sungai Takilan dan
irigasi sawit (pupuk dan limbah lainya). Salah satu bukti yang dirasakan
masyarakat Tumbang Runen adalah banyaknya ikan dalam keramba yang mati
pada awal musim hujan (tanda-tanda mata berwarna putih).
B. Pertanian dan Perkebunan
1. Pertanian sebagai pengisi waktu
Sore hari masyarakat Desa Tumbang Runen berbondong-berbondong menuju Danau
Ngambu untuk merawat kebun sayur yang mereka tanam. Aktivitas ini sering kita
temui pada musim-musim kemarau panjang karena danau tersebut sudah tidak
129
berair. Sayur–mayur yang mereka tanam adalah jenis berumur pendek. Menanam
sayur bukanlah sebagai aktivitas utama mereka karena lebih hanya untuk
menambah kegiatan, bahkan hanya lebih bersifat “iku t-ikutan” setelah bekerja ikan
dan sawit.
Luasan Danau Ngambu kurang lebih
mencapai 4 ha pada saat musim kemarau.
Kepemilikan lahan merupakan warisan yang
turuntemurun dari nenek moyang, tetapi
jika masyarakat yang ingin berkebun bisa
melakukan pinjam pakai jika lahan tersebut
tidak digunakan oleh pemiliknya. Beberapa
jenis tanaman yang dikembangkan pada
lahan tersebut adalah jenis tanaman
kacang, jagung dan berbagai jenis tanaman
yang berumur pendek.
Penanaman dilakukan tanpa pengolahan
yang intensif, cukup pembersihan dan
pembakaran lahan, kemudian bibit tanaman langsung d itanam. Alasan masayarakat
tidak mengolah dengan intensif karena diperlukan biaya dan tenaga yang intensif
juga. Disamping itu, jika lahan diolah, maka diyakini tanah akan larut sehingga
justru akan mempertambah kedalaman danau tersebut ( lahan merupakan kawasan
danau). Tidak setiap tahun masyarakat tumbang runen bisa menanam di Danau
Ngambu karena faktor ketersedian bibit yang sulit didapat yakni harus melakukan
pengadaan dari Kasongan ataupun Palangka Raya.
Selain itu, kendala yang lainnya adalah pada masa setelah penanaman. Keberadaan
hama seperti monyet yang menjadi kendala masyarakat. Sejauh ini belum ada cara
yang tepat untuk menghindari serangan hama monyet tersebut sehingga setiap hari
masyarakat harus menjaga kebun yang mereka tanam.
2. Lahan terlantar
Semenjak masuknya PT Sawit Arjuna Utama di desa, maka terbukalah jalan di
seberang Desa Tumbang Runen. Keadaan ini memudahkan dalam mencapai lahan
desa yang telah di buka dan dibagikan masyarakat yang rata-rata per-KK
mendapatkan ukuran 32 x 315 m2. Akan tetapi, kondisi tanah yang berpasir
berdampak terhadap kesulitan berkebun karena dirasa tidak mungkin dilakukan,
karena beberapa masyarakat telah mencoba untuk melakukan penanaman, namun
mengalami kematian (seperti halnya program agroforestry WWF-indonesia
Kalimantan Tengah).
Kesulitan dalam mendapatkan bibit lokal dan unggul untuk perkebunan karet salah
satu faktor lahan-lahan milik warga dibiarkan begitu saja. Kemampuan melakukan
menciptakan bibit unggul karet sudah pernah dilakuan tetapi terus terjadi
kegagalan, pembinaan terhadap pengembangan pembuatan bibit belum pernah
dilakukan oleh pihak manapun (WWF-Indonesia Kalimantan tengah hanya satu hari
dirasa belum cukup).
Gambar 2 Aktivitas Pertanian Masyarakat
130
Alasan tidak adanya tanaman di lahan-lahan tersebut menurut masyarakat karena
sering terjadi kebakaran yang dipengaruhi oleh lahan yang ditumbuhi oleh
rumput/klakeh. Dengan begitu, jika musim kemarau panjang, maka menjadi
langganan peristiwa kebakaran lahan. Akibat berbagai kendala tersebut, lahan
menjadi tidak terjaga. Akan berbeda jika lahan tersebut ditumbuhi tanaman, maka
secara sadar akan selalu dijaga masyarakat (pemiliknya). Kebakaran lahan di sekitar
lahan tersebut pernah terjadi pada tahun 2012, bahkan termasuk juga areal PT.
Arjuna Sawit Utama.
C. Sumberdaya alam lainnya
Potensi sumberdaya alam yang ada di Desa Tumbang Runen adalah sungai, danau,
hutan, dan kebun rotan. Sungai dan danau merupakan akses utama masyarakat
untuk mencari nafkah yakni melalui pencarian ikan, sedangkan hutan merupakan
tempat berusaha untuk mencari kayu bakar dan berburu binatang. Informasi
kecenderungan masyarakat terhadap kebutuhan sumberdaya alam dijelaskan dalam
tabel (3).
Tabel 3 Kecenderungan masyarakat terhadap sumberdaya alam
Periode/Tahun Danau Rotan Anak
Sungai
Hutan/
kayu
Kebun
Sayuran
1950 – 1955 OOOO I I I I UUUU XXXX -
1956 – 1960 OOOO I I I I UUUU XXXX -
1961 - 1966 OOOO I I I I UUUU XXXX -
1967 - 1970 OO I I I I UUU XXX -
1971 - 1976 OO I I I I UU XXX -
1977 - 1980 OO I I I I UU XX $$$$
1981 - 1986 OO I I I I UU X $$$$
1987 - 1990 OO I I I I UU X $$$$
1991 - 1996 OO I I I I UU X $$$$
1997 – 2000 O I I I I U X $$$$
2001 – 2006 O I I I I U X $$$$
2007 - 2012 O I I I I U X $$
1. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu alam
Kecenderungan perubahan menurunnya hasil hutan berupa kayu atau hasil hutan
lainya menurut masyarakat, bahwa hutan sekitar desa merupakan bekas PT.
Nusantara, Polywod PT. Jayanti Jaya . Sekarang areal hutan yang berada di
sekitar desa semakin sempit karena dikelilingi oleh izin atau konsensi, yakni di
sebelah Utara berbatasan dengan PT. Arjuna Sawit Utama, PT Rimba makmur
utama dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Taman Nasional Sebangau.
Menurut masyarakat tumbang runen, hutan adalah sumber kayu untuk keperluan
bahan bakar dan bangunan rumah, namun tidak semua j enis kayu bisa dimanfaat-
kan masyarakat tumbang runen untuk kebutuhan kayu b akar. Untuk kayu bakar
masyarakat hanya menggunakan jenis kayu kaja, tutup kebali, tekapas, dan
131
takilan, sedangkan untuk kayu sebagai bahan bangunan biasanya jenis yang kuat
seperti kayu balangeran, rengas, alau, dan pilau. untuk jenis kayu hutan
biasanya masyarakat dalam kayu olahan dengan harga perkubik Rp 1,8 – 2
Juta/perkubik.
2. Rotan
Budidaya rotan merupakan bagian tak terpisahkan dar i kearifan tradisional Suku
Dayak dalam melestarikan hutan mereka dan mengelolanya secara berkelanjut-
an. Budidaya rotan merupakan praktik turuntemurun, yang umumnya dipelajari
orang Dayak sejak mereka kecil. ”Rotan tidak tumbuh begitu saja”, ”Dia harus
ditanam dan dirawat”, ”Tanaman itu hidup menjalar d i pohon-pohon tinggi”,
”Rotan hanya bisa dipanen jika ada hutan, jika kami melestarikan hutan”.
Kenyataan harga rotan semakin turun tidak sebanding dengan harga kebutuhan
bahan pokok berdampak terhadap masyarkat tumbang runen untuk memilih tidak
memanen kebun rotannya sehingga lebih memilih untuk mencari pekerjaan
lainnya (dalam 1 kg basah Rp 1200 sigi dan irit diameter 12 keatas). Banyak
kebun rotan milik warga masyarakat Tumbang Runen tidak terawat sehingga
dijadikan tempat berladang baru.
Keadaan ini juga diikuti perubahan kebiasaan ibu–ibu yang semula menggunakan
berbagai keperluan sehari-hari menggunakan bahan-bahn anyaman rotan, kini
berubah menjadi mengunakan bahan plastik (tetapi rangka masih mengunakan
bahan Rotan Bajungan). Menurut Ibu Anisa salah satu pengerajin Lontong (tas
gendong biasanya untuk membawa hasil hutan kayu, hasil panen atau barang-
barang), jika ia membuat lontong berbahan plastik mampu 2 dalam tiga hari, jika
mengunakan bahan rotan lebih dari 3 hari (tidak ada perbedaan harga 1 lontong
= Rp 100.000). Perlu waktu jika bahan terbuat dari anyaman rotan karena harus
meraut sebagai bahan anyaman. Kebiasaan ini juga terjadi pada alat tangkap
ikan mengunakan bahan-bahan yang praktis antara lai n kawat dan plastik.
Hasil hutan non kayu seperti getah nyatoh dan damar kurang diminati oleh
masyarakat tumbangang runen karena harga hasil hutan non kayu tidak
sebanding dengan harga bahan kebutuhan Rumah tangga . Kencenderungan
perubahan kebutuhan tersebut terjadi akibat potensi hasil hutan yang sudah
berkurang dan jauh lokasi pencariannya.
3. Hanya ada pada musim kemarau
Danau Purun merupakan bagian
dari sejarah Desa Tumbang Runen
yang hidup. Tanaman teratai hasil
pertukaran biji rotan (yang
direbus) dengan biji teratai dari
jawa yang kemudian ditanam di
sekitar kawasan Danau Purun.
Uniknya tanaman ini hanya bisa
tumbuh di kawasan Danau Purun
dan tidak bisa hidup di tempat Gambar 3 Tanaman teratai di kawasan Danau Purun
132
Katingan lainnya. Tanaman teratai ini hanya bisa tumbuh pada musim kemarau
dan oleh masyarakat hanya dimanfaatkan untuk dimakan bijinya. Jika musim
kemarau semakin panjang semakin besar juga tanaman ini.
Belum ada pengembangan terhadap hasil hutan ini, ba ik untuk pengolahan pasca
panen maupun terhadap usaha pengembangan budidayanya sehinga pada musim
banjir masih melakukan panen. Usaha ini juga sudah dilakukan tetapi mengalami
kegagalan dan tidak tumbuh (di Kawasan Danau lainnya yang ada di sekitar Desa
Tumbang Bulan).
Biasanya bagi masyarakat Desa Tumbang Runen, pemanfaatan tumbuhan
tersebut melalui pemilihan terhadap buah yang tua dengan dipetik dan langsung
dimakan, juga sebagaian lainnya digoreng atau direbus sebagai sajian disaat
santai (ngobrol–ngobrol) di depan rumah.
D. Kelembagaan
Jenis kelembagaan yang ada di Desa Tumbang Runen adalah lembaga pemerintahan
desa seperti Pemerintah Desa, BPD, dan RT. Selain i tu, terdapat lembaga-lembaga
yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tertentu sep erti lembaga keagamaan,
ekonomi, dan kesehatan. Secara lengkap daftar lembaga yang ada di desa Tumbang
Runen adalah sebagai berikut :
• PKK
• Karang Taruna
• Kelompok Yasinan Ibu-Ibu
• Pengurus Masjid
• GAPOKTANAL (Gabungan Kelompok Tani dan Nelayan)
• Posyandu
• Fardu Kifayah
• Regu Pengendali Kebakaran (RPK)
• CU (Credit Union)
• BPD
• Pemdes
• Dana sehat
• Pustu lansia
• Perpustakaan
• Maulid hafsi
• WWF
• PT. Arjuna Sawit
• Yayasan Puter
• PT. RMU (Rimba Makmur Utama)
Hubungan antara masyarakat dengan masing-masing lembaga tersebut sangat
beragam, sebagian cukup dekat dan sebagian agak jauh. Keadaan tersebut
tercermin dari sangat kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
lembaga-lembaga tersebut, terutama dalam rapat ataupun pertemuan di desa.
Ditengarai bahwa rendahnya partisipasi itu akibat terbentuknya kelompok-kelompok
yang saling eksklusif dalam masyarakat, artinya lembaga tertentu didominasi oleh
kelompok masyarakat tertentu sehingga warga yang bukan peserta kelompok yang
bersangkutan enggan terlibat dalam lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, apabila ditinjau berdasarkan jenis kelamin (gender), maka nampak
bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam masing-masing lembaga tersebut
(dengan perkecualian PKK dan kelompok Yasinan) hanya mencapai 20% dari
keanggotaan kelompok dibandingkan dengan laki-laki. Angka ini juga tercermin
dalam dalam hal pengambilan keputusan di masyarakat, misalnya pada saat
pertemuan desa.
Semangat gotong royong masyarakat Tumbang Runen mulai menurun dikarenakan
rasa kekompakan dan kebersamaan yang kurang. Adanya kecemburuan sosial
133
sesama masyarakat atau antar masyarakat sangat tinggi baik itu dalam sektor mata
pencaharian yang berupa proyek–proyek dari pemerintah maupun proyek-proyek
dari pihak lain. Meskipun banyak bantuan yang diber ikan oleh pemerintah atau LSM,
akan tetapi seluruh lapisan masyarakat belum dapat merasakan dampaknya karena
adanya ketidakmerataan sejauh ini hanya sebagian masyarakat saja yang mampu
merasakan.
Pencerminan terhadap rasa gotong royong yang menurun dapat kita lihat saat ada
undangan atau rapat baik di tingkat desa maupun undangan dari pihak luar. Tidak
semua masyarakat bisa hadir untuk memenuhi undangan. Pemerataan program
tidak dapat dilakukan sepenuhnya dengan merata karena ada berbagai ketentuan
yang dibuat oleh suatu instansi atau lembaga sehingga harus bisa mengikuti aturan
tersebut dengan contoh adanya pembentukan kelompok–kelompok usaha dari
pemerintah yang diharuskan membuat kelompok.
Keberadaan kubu–kubu antar kelompok masyarakat yang lebih dominan berdampak
terhadap masyarakat lain yang merasa dirinya dikesampingkan sehingga tidak bisa
merasakan adanya bantuan.
Masyarakat berpendapat agar bantuan dari pemerintah atau lembaga bisa diberikan
secara merata dapat dilakukan dengan cara bantuan perindividu atau perorangan
sehingga masyarakat bisa mengelola sendiri dan mengembangkan usaha–usaha
tersebut.
Peran Lembaga Desa PEMDES dan BPD, seharusnya dijalankan dengan optimal. Salah
satu contoh adalah program pemberdayaan dari PT Arjuna Sawit Utama yang belum
menjalankan program pemberdayaan masyarakat, walaupun hampir 65 KK warga
masyarakat Desa Tumbang Runen bekerja di perkebunan sawit sebagai karyawan
harian dengan upah Rp 72.000/ hari. Warga masyarakat yang tidak bekerja di
perkebunan beranggapan “apa manfaat sawit bagi kami ?” dan seharusnya
pemerintah desa secepatnya menyatukan 2 kepentingan sehingga masyarakat
Tumbang Runen tidak berkubu-kubu.
Secara umum kelembagaan yang ada di desa menurut mereka baik yakni dari
maksud dan tujuannya yang disampaikan, namun secara umum nilai manfaat yang
nyata belum dijalankan semua sesuai dengan tujuan lembaga itu terbentuk.
1. Kelompok-Kelompok Program
Menjadi sebuah prasyarat sebuah instansi atau program lainnya, harus selalu
membentuk kelompok, membuat masyarakat berlomba-lomba membentuk
kelompok untuk mendapatkan bantuan. Kencederungan masyarakat enggan ikut
dalam kegiatan desa merasa tidak penting karena tidak masuk kelompok, perlu
ada perubahan untuk merubah kondisi tersebut, bagaimana ini berawal
kepedulian dan komitmen sosial, keberpihakan atas ketidakadilan sosial
masyarakat.
Dalam prosesnya program idealnya berlatar belakang dari persoalaan-persoalan
lokal sehingga munculnya inisiatif-inisiatif lokal yang bersumber pada potensi
lokal, memahami keragaman mengenai perbedaan cara pandang serta dilakukan
134
secara partisipatif sehingga tercapainya keadilan pada kepentingan bersama dan
gender sehingga keberlanjutan program tercapai.
E. Wilayah dan Batas Desa
1. Batas Desa saat ini
Zaman dulu masyarakat
membersihkan pinggiran sungai
katingan karena dirasa perlu
untuk lebih lancarnya lalu-lintas
sungai pada zaman itu, Pada
waktu itu masyarakat masih
menggunakan Rakit atau perahu
yang didayung oleh banyak
orang. Kegiatan pembersihan
pinggiran sungai itulah awalnya
ada batas antar desa. Desa
mana yang lebih panjang
membersihkan pinggiran sungai
tersebut maka wilayah desa
otomatis akan luas sesuai alur
sungai Katingan.
2. Konflik Batas Desa yang belum Terselesaikan
Desa Tumbang Runen ke arah bawah berbatasan dengan Desa Jahanjang dengan
batas Sungai Takilan, sedangkan ke arah hulu berbatasan dengan Desa Baun
Bango di Sungai Luangan Buntat. Ke arah Utara menurut masayarakat berbatasan
dengan Kabupaten Kotawaringin Timur, dan ke arah Selatan berbatasan dengan
Kota Palangkaraya. Akan tetapi, kini di sebelah Utara berbatasan PT.Arjuna
Sawit Utama dan sebelah Selatan dengan Balai Taman Nasional Sebangau. Jika
batas desa ini tidak jelas, maka akan menimbulkan ketakutan masyarakat karena
tanah akan diambil dari masyarakat desa. Akibat ket idakjelasan batas dapat
memicu perselisihan dengan Desa Baun Bango, seperti dalam hal mencari ikan di
daerah administrasi Desa Baun Bango.
Pemetaan desa memang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Katingan, USAID-IFACS, dan YCI (Yayasan Cakarawala Indonesia), sejauh ini untuk
wilayah bawah sungai Katingan sudah dilakukan loka karya dengan masyarakat
dan Pemerintah Desa Jahanjang dan telah disepakati bahwa Sungai Takilan
sebagai batas. Untuk Batas dengan Desa Baun Bango belum ada kesepakatan.
Kendalanya menurut masyarakat, belum ada keabsahan dari peta desa tersebut
karena masih belum ada pengesahan dari Pihak Pemerintah yang berwenang.
3. Pemanfaatan Wilayah Desa oleh Perusahaan
Namun Akhir-akhir ini sesuai dengan berkembangnya zaman masuklah PT. Arjuna
Utama Sawit di wilayah Desa Tumbang Runen yang akhi r-akhir ini dianggap oleh
masyarakat menggarap tanah mereka tanpa ada kontribusi ke desa. Akan tetapi
Gambar 4 Peta batas Desa Tumbang Runen
135
menurut pihak Perusahaan, masyarakat lah yang mengklaim izin mereka dengan
memblok tanah di sekitar jalan negara.
Tahun 2009 PT Arjuna Utama Sawit menggunakan lahan desa seluas kurang-lebih
100 ha yang dipakai untuk pembibitan dan menurut ke terangan masyarakat juga
mereka pernah berjanji setelah tanah tempat bibitan tersebut selesai menjadi
Bibitan akan dijadikan PKS (Pabrik Kelapa Sawit). Akan tetapi, setelah
mendengar kabar bahwa PKS tersebut berpindah lokasi masyarakat jadi merasa
kecewa dan sekarang mulai mempertanyakan status lahan tersebut “apakah dulu
disewakan atau memang seperti apa?”.
F. Sarana Air Bersih
Community Water Services and
Health Project (CWSHP) merupa-
kan proyek pengadaan air bersih
yang berasal dari Dinas Kesehatan
Propinsi Kalimantan Tengah pada
tahun 2010, namun tidak berfungsi
sesuai dengan harapan masyarakat
Desa Tumbang Runen. Beberapa
persoalan yang dihadapi dalam
pengelolaan CWSHP adalah desa
belum menjalankan peran sebagai
pengelola, tidak melakukan per-
baikan kerusakan pipa dan pem-
bersihan tandon air tidak di-
laksanakan. Selain itu, biaya yang
besar untuk pengisian air sebanyak 1100 liter membutuhkan Rp 30.000,
sedangkan pelayanan kurang memadai. Semenjak tahun 2012 masuknya PLN,
masyarakat Tumbang Runen mencoba membuat sumur pribadi tetapi tidak semua
masyarakat mendapat sumber air yang baik (masih terdapat karat/ asam)
sehingga masih belum semua mendapatkan layanan air bersih (penyakit diare,
mutaber). Harapan masyarakat bahwa CWSHP diperbaiki agar seluruh warga
masyarakat mendapat layanan bersih dan dikelola secara adil oleh Pemerintah
Desa Tumbang Runen.
G. Warga Masyarakat dan Taman Nasional.
1. Hasil hutan dari Taman Nasional
Menurut warga masyarakat Tumbang Runen, mereka tidak pernah memenuhi
kebutuhan mereka akan kayu dan hasil hutan non-kayu dari daerah kawasan
Taman Nasional Sebangau karena jarak desa atau permukiman ± 4 km dan tidak
ada akses menuju taman nasional (Irigasi sudah mulai tertutup) sehingga selama
ini kebutuhan masyarakat terhadap kayu masih dipenuhi di sekitar desa (kayu
Rengas) dan pemanfaatan kayu limbah yang berasal dari PT Arjuna Sawit utama.
Untuk para pencari hasil hutan non kayu berupa gemor berasal dari desa
tetangga Baun Bango.
Gambar 5: Salah satu kondisi fasilitas proyek
air bersih di Desa Tumbang Runen
136
2. Pandangan Warga Masyarakat tentang Taman Nasional
Desa Tumbang Runen berada agak jauh dari kawasan Taman Nasional Sebangau
yakni + 4 km sehingga aktivitas masyarakat saat ini lebih banyak di sekitar
wilayah desa seperti mencari ikan di Sungai Katingan, Danau Hai, Danau Purun
dan tempat lainnya.
Jarak yang lumayan jauh dan akses masyarakat yang sedikit ke kawasan TN
Sebangau bukan berarti masyarakat Tumbang Ronen tidak berkepentingan atau
perhatian dengan TN Sebangau maupun dengan pengelolaan kawasannya (dalam
hal ini BTNS dan juga WWF Kalteng sebagai mitra). Beberapa isu utama
kepentingan atau perhatian masyarakat Tumbang Ronen adalah antara lain:
Pada awalnya masyarakat menolak kehadiran BTNS maupun WWF (bukan TN
Sebangau) karena mereka beranggapan bahwa WWF/BTNS lah yang “menutup”
kegiatan perkayuan yang marak pada waktu itu dan imbas selanjutnya maka area
danau (Hai, Purun, dll) tidak bisa dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber mata
pencaharian. Tetapi seiring berjalannya waktu dan pendampingan yang intensif
lambat laun isu ini bisa dijelaskan dan difahami oleh masyarakat.
Sebagian besar masyarakat sudah paham mengenai perbedaan antara BTN
Sebangau dan WWF, apa yang menjadi fungsi, peran dan tanggung jawab masing-
masing. Akan tetapi, sebagian kecil masih menganggap bahwa BTNS dan WWF
adalah sama dan menurut mereka, bahwa WWF lebih banyak berperan serta pada
berbagai kepentingan yang terkait dengan kawasan TN Sebangau. Selain itu,
seperti halnya yang berada pada desa-desa lain di sekitar TN Sebangau, akibat
belum jelasnya batas TN Sebangau dan bagaimana pengelolaannya terutama yang
berkaitan dengan pemanfaatan oleh masyarakat sehingga masih banyak isu yang
tidak jelas beredar di masyarakat. Hal ini berdasarkan tinjauan dari cerita Radio
Kuan (informasi mulut kemulut).
BTNS dan WWF sebagai mitra masih dilihat melakukan pekerjaan masing-masing
dan masyarakat masih belum melihat/merasa secara jelas mengenai apa yang
dikerjakan masing-masing pihak dalam hubungannya dengan TN Sebangau dan
desa/wilayah sekitarnya. Pandangan masyarakat tentang TN Sebangau di wilayah
Desa Tumbang Runen cukup baik, mungkin dikarenakan karena adanya bantuan-
bantuan dari pihak Taman Nasional sehingga masyarakat menganggap Taman
Nasional Sebangau cukup dekat dengan mereka. Akan tetapi, ada sebagian besar
warga masyarakat yang belum merasakan bantuan mereka sehingga menganggap
Taman Nasional biasa saja. Pada dasarnya masyarakat setuju dengan keberadaan
taman nasional karena dirasa juga penting untuk menjaga hutan supaya tetap
lestari
137
V. PERENCANAAN DESA
Rencanaan Desa yang disepakati bersama.
Peran Masalah Sebab Akibat Cara pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak lain Keterangan
Tidak berfungsinya CWSHP desa Tumbang Runen (pipa rusak), pengelola tidak menjalankan perbaikan dan jarang membersihkan galon penampungan serta harganya terlalu mahal
Air bersih
Tidak semua sumur masyararakat sumber mata airnya dapat di manfaatkan
Mengunakan air sungai penyakit diare, mutaber, dan kulit.
Pengantian pengurus dan dikelola oleh masyarakat desa
Pemerintah membantu perbaikan alat (dam, pemdes, dana add)
Pergantian penggelola an cwshp
Pendampingan pembentukan kelompok
Hasil tangkapan ikan menurun
1. Semakin banyak nelayan
2. Musim tidak menentu
3. Air tercemar
4. Strum, racun, dan bom
1. Kurangnya peng-hasilan nelayan
2. Ikan tidak bisa berkembang biak
3. Terperangkapnya benih ikan yang kecil
1. Membuat atur-an pengelolaan (termasuk sanksi-sanksi)
2. Penyuluhan
1. Sosialisasi
2. Patroli. ter-utama pada musim ke-marau (BTNS, Kepolisian, Dinas Perikanan)
Melakukan pengawasan
Pendampingan (wwf)
Tidak ada lahan yang bebas banjir
1. Banjir sampai tiga kali setahun
2. Masa banjir yang lama sehingga lahan berlumut
3. Lahan yang bebas banjir jauh (biaya transportasi)
1. Tidak ada sayur untuk kebutuhan rumah tangga
2. Tanaman banyak yang mati termasuk tanaman keras
Membuat jalan ke lahan yang bebas banjir
PU, Dinas Per-tanian dan Per-kebunan, Dinas Kehutanan
Proposal dan usulan
Fasilitasi pembuatan proposal
Batas desa Belum adanya peta dari desa yang disahkan dan diterima oleh banyak pihak (desa jahanjang, baun bango, dll)
Ketakutan lahan-lahan masyarakat diambil oleh orang lain
Melakukan pembuatan peta bersama-sama
Fasilitasi pem-buatan peta (BPN/BAPPEDA/SEKDA)
Melakukan survey
YCI, Yayasan Puter, WWF
Peta antara desa jahanjang dengan desa baun bango sudah sepakat
138
Peran Masalah Sebab Akibat Cara pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak lain Keterangan
Pelayanan pendidikan kurang memadai
1) Tidak ada meja untuk menulis (tk dan paud)
2) Tidak ada kejelasan honor tenaga pendidik untuk paud
3) Honor tidak mencukupi untuk guru agama
1. Anak-anak bosan sekolah karena tidak ada lagi semangat untuk belajar
2. Tenaga pengajar malas (fokus mencari ikan)
3. Guru kabur sehingga anak-anak tidak bisa belajar lagi
1. Selama ini swadaya dari masyara kat
2. Perlu ada bantuan dari pemerin tah, swasta, dan perusaha an
Menugaskan guru agama ke desa Tumbang Runen
1. Swadaya membayar
2. Menyediakan rumah bangunan
Bina desa oleh PT. Arjuna
Kebakaran 1. Kemarau panjang
2. Membuang puntung rokok sembarang an (pada waktu memancing dan berburu)
3. Gesekan kayu
4. Adanya parit dan kanal terjadi kebakaran
1. Kebun terbakar
2. Banyak kayu terbakar
3. ISPA (akibat kabut asap)
4. Penyakit mata
1. Penutupan kanal
2. Membuat plang (larangan)
3. Pengawasan oleh masyara kat walau berada di wilayah tn sebangau
4. Pendaya gunaan RPK
Penyuluhan (Balai TN Seba-ngau dan Dinas Kehutanan)
Menjaga wilayah desa sendiri
1. Pendampingan
2. Bantuan alat (WWF, PT. Arjuna, YCI)
Peralatan RPK yang ada di kampung rusak
1. Hama penyakit terhadap perkebunan
2. Pengetahuan untuk pembe-rantsan hama penyakit
1. Kurang penyuluhan dari Dinas Pertanian
2. Mahalnya harga obat-obatan untuk pem berantasan hama
1. Gagal panen
2. Tidak bisa menum-buhkan pertanian
1. Perlu adanya penyuluh an
2. Perlu adanya obat-obatan yang sesuai dengan hama
Dinas Pertanian 1. Mengajukan usulan-usulan pelatihan
2. Per mohon an
Pendampingan WWF, YCI, dan Yayasan Puter
139
Peran Masalah Sebab Akibat Cara pemecahan
Pemerintah Masyarakat Pihak lain Keterangan
tanaman
Akses jalan menuju danau Hai
1) Belum terselesai kan jembatan danau Hai (500 m)
2) Potensi ikan di danau Hai cukup banyak
1. Menghambat jalan
2. Susah mengambil ikan
Membangun jembatan menuju danau Hai (500 m)
Balai TN Sebangau dan Dinas Pariwisata
1) ADD
2) Gotong royong (swadaya)
WWF, PT. Arjuna, dan Yayasan Puter
1. Partisipasi masyarakat 140 m,
2. Partisipasi WWF 400 m,
3. Partisi pasi BTNS 320 m,
4. Partisipasi ADD desa Tumbang Runen 200 m
140
VI. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajitindak di Tumbang Runen, tim merumuskan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
• Melanjutkan proses pemetaan partisipatif yang belum selesai, yang baru sepakat
dengan Desa Jahanjang untuk dilanjutkan di tingkat berikutnya dan diterima oleh
banyak pihak.
• Pengaturan sumber–sumber mata pencaharian (danau, sungai dan lainya serta
kebakaran hutan)
• Penguatan kelembagaan desa (kelompok-kelompok, pelatihan-pelatihan yang
didasari keberhasilan pengelolaan Sumberdaya bertumpu pada kapasitas lembaga
lokal)
• Meningkatkan pengetahuan budidaya di tingkat masyar akat agar tidak tergantung
pada alam:
a. Mengambil anakan Tauman secara besar–besaran.
b. Budidaya ikan, dengan mengadakan bibit sendiri (papuyu)
c. Keterampilan menciptakan bibit perkebunan (karet).
d. Keterampilan pemanfaatan lahan pertanian yang maksimal.
VII. PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian Strategi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar
Taman Nasional Sebangau Desa Tumbang Runen, kesimpulan yang dapat diambil :
1. Sektor perikanan adalah usaha utama masyarakat Tumbang Runen, akibat me-
nurunnya hasil tangkapan ikan banyak masyarakat yang beralih dan mencoba jenis
usaha baru seperti bekerja sebagai buruh sawit dan merantau untuk mencari emas.
2. Kemampuan yang belum baik dalam hal mengolah lahan dan pengadaan bibit
tanaman perkebunan karet atau sayur mayur karena pada dasarnya hanya merupa-
kan pekerjaan sampingan pengisi waktu, padahal potensi untuk dikembangkan
relatif menunjang.
3. Potensi budidaya rotan sigi dan irit mengingat hampir semua rumah tangga memiliki
kebun rotan, hanya karena harga turun masyarakat ti dak melakukan pemanenan
kebunnya, menurunya kearifan lokal anyam-anyaman da ri bahan rotan padahal nilai
ekonomis cukup menjanjikan.
4. Adanya kelompok di desa karena menerima bantuan, menurunkan rasa kebersamaan
yang kurang ini berkaitan dengan program dari lembaga–lembaga lainnya.
5. Instansi atau lembaga terkaitan dengan pengembangan atau bantuan tidak sampai
pada persoalan-persoalan dasar (ketergantungan terhadap instansi/lembaga).
Saran bagi masyarakat Tumbang Runen agar berperan aktif dalam kegiatan desa atau
kegiatan-kegiatan yang berada desa, memupuk rasa kebersamaan dan menumbuhkan
semangat gotong royong budaya Rumah betang berada di Tumbang Runen. Potensi
danau merupakan sumber kehidupan yang turun menurun perlu dijaga dan diatur
dalam pengelolaannya.
141
Lampiran 2 – 5.
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Baun Bango
Disusun Oleh:
1. Tito Surogo,
2. Suwanto,
3. Surahmansyah
4. Warga Masyarakat Baun Bango
PALANGKA RAYA
Desember 2014
142
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Baun Bango merupakan salah satu desa yang berada di sekitar Taman Nasional Sebangau.
Desa Baun Bango memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yaitu karet, rotan irit
dan sigi dan juga sektor perikanan. Selain itu sebagian besar masyarakat saat ini memiliki
bekerja di perusahaan sawit (PT Arjuna) dan ada juga sebagai pedagang dan PNS. Desa
Baun Bango berbatasan dengan Desa Asam Kumbang dan Desa Tumbang Runen.
Desa Baun Bango memiliki 4 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 275 KK. Desa Baun
Bango memiliki banyak kanal/ saluran/terusan untuk mencari ikan, selain untuk irigasi
untuk tujuan pertanian dan perkebunan.
B. Tujuan
1. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di sekitar TN
Sebangau.
2. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
3. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan.
C. Output
Adanya perencanaan dan strategi untuk pengembangan sumber-sumber penghidupan yang
berkelanjutan di masyarakat.
BAB II
Teknis Kegiatan
A. Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam pengkaian ini adalah dengan mengunakan alat PRA (Sejarah
Desa, Kalender Musim, Sketsa Desa, Diagram Kelembagaan, Bagan Kecenderungan), diskusi
dengan masyarakat tokoh masyarakat dan tanya jawab.
B. Tempat dan waktu pelaksanaan
Kegiataan ini bertempat di Desa Baun Bango, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan,
pada tanggal 16 – 22 September 2014 di Aula Kecamatan Kamipang.
C. Pihak yang terlibat
Adapun pihak yang terlibat adalah :
5. Masyarakat Baun Bango
6. Tokoh masyarakat Baun Bango
7. Pemerintah Desa
8. Tito Surogo, Staf Balai Taman Nasional Sebangau
9. Suwanto, Staf WWF
10. Surahmansyah, Fasilitator Desa
143
BAB III
Hasil Pengkajian
A. Sejarah Desa
Tahun Kejadian Penting
2004 - Adanya tiwah masal
2005 - Banjir besar yang banyak menenggelamkan rumah warga
2008 - Banjir besar yang hampir menenggelamkan rumah masyarakat
- Banyak yang mencari pantung dari luar desa
2009 - Program Pendidikan Lingkungan Hidup oleh YCI untuk anak-anak sekolah SD, SMP, SMU
- Pelatihan pembuatan pakan ikan
- Pembuataan Dermaga Desa
- Pembuataan Pelabuhan Desa
- Banjir 1 tahun 4 kKali
- Banyak yang berkerja mencari pantung tetapi dari luar daerah seperti Kapuas
- Pembuatan kebun organik
- Program ikan nila oleh YCI
- Pemilihan Damang Kecamatan Kamipang
- Pemilihan Kades yang dimenangkan oleh Mukhlis
2010 - Kemarau panjang
2013 - Penimbunan jalan desa
- Listrik siang malam untuk seminggu 4 kali
2014 - Lanjutan penimbunan jalan desa
- Kemarau panjang dan menimbulkan asap kabut
144
B. Peta Sketsa Desa Baun Bango
Potensi Masalah Solusi
Sungai - Kualitas airnya menurun akibat pencemaran limbah perusahaan sawit, illegal mining
- Masyarakat desa tidak bisa lagi berbudidaya ikan di keramba karena airnya tercemar
- Menurunnya hasil tangkapan ikan para nelayan
- Menurunnya pendapatan masyarakat
- Banyaknya masyarakat yang menyetrum dan mengunakan racun dalam menangkap ikan
- Membuat budidaya ikan dalam kolam terpal
- Pembuataan Perdes dalam penangkapan ikan
- Perlunya penegakan hukum dari pihak yang berwajib
Danau - Menurunnya hasil tangkapan ikan masyarakat
- Banyaknya masyarakat mengunakan alat tangkap ikan dengan strum
- Banyaknya jenis ikan yang mulai hilang
- Kualitas air danau sudah tercemar oleh limbah perusahaan PT Arjuna
- Membudidayakan ikan dalam kolam terpal
- Perlunya penegakan hukum oleh pihak berwajib
- Penyuluhan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat terkait perikanan
- Perlunya membuat Peraturan Desa untuk menangani pencemaran lingkungan yang merusak potensi yang ada
Kebun karet, rotan, pantung, gemor
- Harga jual menurun
- Kualitas hasil tidak sesuai dengan standar pabrik
- Kondisi kebun yang tidak sesuai standar perkebunan (sabat)
- Hasil panennya menurun karena bibit yang digunakan bibit lokal
- Pelatihan peningkatan kualitas produksi perkebunan
- Pemberian bantuan bibit karet yang unggul
- Perlunya pembudidayaan pantung dan gemor oleh masyarakat
- Untuk penanaman hutan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis
145
Potensi Masalah Solusi
- Untuk pantung dan gemor tempatnya sudah semakin jauh ke dalam hutan
- Harga pantung menurun
- Gemor dilarang untuk menebang dalam pemanenan
PT. Arjuna - Upah yang didapat oleh masyarakat sangat sedikit untuk harian
- Plasma belum dibagi ke masyarakat
- Adanya klaim lahan dari perusahaan ke lahan masyarakat
- Gaji karyawan telat
- Pemdes mendesak kepastian plasma ke perusahaan
- Pembuataan batas antara tanah masyarakat dengan perusahaan
Tanah masyarakat
- Lahan terlantar
- Seringnya kebakaran
- Masyarakat kurang memahami berkebun yang baik
- Susahnya bibit yang baik
- Memanfaatkan lahan yang terlantar dengan bercocok tanam
- Adanya subsidi bibit dari pemerintah baik perkebunan maupun pertanian
C. Bagan Kecendrungan Perubahan Sumberdaya alam
Tahun Jenis
Usaha 1970 1980 1990 2000 2010 2014 Catatan
Mantung
XXXX XX XX XX XX
Dahulu masih banyak yang mengerjakan dan harganya tinggi, sekarang tidak ada yang membeli dan tidak ada masyarakat yang mau mengerjakan karena jaraknya jauh dari desa
Rotan XXXX XXXX XXX XX XX XX
Harga rotan jauh menurun, tidak menguntungkan bila dikerjakan sehingga masyarakat tidak memotong rotan lagi
Gemor XXXX XXXX XX X X
Tempat gemor jauh ke dalam kawasan taman nasional sebangau dan yang ada di sekitar desa untuk ukuran yang kecil-kecil pohonnya
Logging XX XXXX XXXX XXXX
Ikan
XX XX XX XX XXXX XXX
Ikan sudah jauh menurun hasil tangkapannya, harganya sekarang lumayan baik dan tidak kesusahan untuk menjual karena tengkulak datang sendiri ke desa
Karet
X XX XX XX
Masyarakat masih sedikit yang menanam karet dan harga yang ada di desa cukup murah rp 4000 – 5000 dan bibit yang ada hanya dari bibit lokal, tidak ada pembelinya
Damar XXXX XXXX XXX XXX X
Kulit ular XXXX XXXX XXXX
Burung XXX XXX
Sawit XXXX XXXX
Masyarakat 70% bekerja di perkebunan sawit karena tidak ada lapangan pekerjaan yang lain.
146
D. Kalender Musim
Bulan Mata
Pencaharian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Nelayan
L: 70% -- P: 30% VV V V V V VV V V VVV VVV VV V VV
2. Mencari rotan
L: 90% -- P: 10% V V V V V V V VV V V VV V V V
3. Berladang (padi)
L: 50% -- P: 50% VV VVV VVV VVV VVV VV V
4. Kerja sawit
L: 50% -- P: 50% VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV VV
5. Burung
L: 100% V V V V V V V V V V V V
6. Berternak
P: 70% -- L: 30% V V V V V V V V V V V V
7. Berkebun karet V V V V V V V V V V V V
Potensi Masalah Solusi
Perikanan - Hasil tangkapan menurun
- Harga jual murah
- Kualitas air sungai tercemar sehingga masyarakat kesulitan budidaya ikan di sungai
- Banyaknya masyarakat luar desa yang memancing
- Banyaknya penyetruman, peracunan
- Banyaknya masyarakat yang bekerja mencari ikan
- Budidaya ikan di kolam
- Pelatihan pengolahan hasil tangkapan seperti abon, kerupuk
- Pembuataan Perdes Tata cara Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan
Rotan - Harga jual turun
- Tidak ada pengalaman dalam menganyam
- Sering kebakaran lahan
- Pelatihan untuk menganyam
- Membuat Peraturan Desa tentang Kebakaran
Berkebun karet - Kesulitan mendapat bibit unggul
- Kesulitan mencari pupuk
- Lahan yang ada milik masyarakat tanah gambut
- Belum ada pengalaman berkebun di lahan gambut
- Pengadaan bibit karet yang unggul
- Pengadaan pupuk
- Pelatihan budidaya karet di lahan gambut
Berternak ayam, itik
- Kesulitan bahan makanan
- Kesulitan bibit
- Sering banjir
- Banyaknya penyakit pada ternak ketika banjir
- Ternak diliarkan
- Dibuat kandang untuk ternak
Kerja sawit - Upah murah
- Sering telat gajian
- Tidak adanya asuransi perusahaan
- Upah dinaikkan mengingat kebutuhan rumah tangga naik
147
E. Ancaman
Sumberdaya
Alam Ancaman dari Dalam Ancaman dari Luar
Sumberdaya Alam
- Banyaknya masyarakat yang menyetrum dan meracun
- Banyaknya masyarakat yang menggunakan alat tangkap dengan ukuran diameter kecil
- Banyak masyarakat yang menjual lahan untuk pertanian
- Tercemarnya danau, sungai dari perusahaan sawit
- Banyaknya tempat-tempat ikan yang dijadikan tempat perkebunan sawit
- Banyaknya masyarakat dari luar yang mengambil ikan dari desa
148
F. Analisis Usaha Tani
JENIS USAHA
TAHAPAN BIBIT PENANAMAN PEMELIHARAAN PANEN
Petani rotan � Pembuatan jalur penanaman dalam 1 Ha :
- Lebar jalur 1 meter
- Jarak antar jalur 5 meter
- Total jalur 18 jalur per Ha
- Total HOK = 10 hari
- Upah per HOK Rp 65.000 = 650.000
� Transport Pembuataan Jalur
- Bensin 10 Hari X 3 Liter/ Hari Rp 11.000/Liter = Rp. 330.000
Sub total = Rp 950.000
Masyarakat mencari sendiri di kebun
- Mencari bibit selama 3 hari kerja Rp 65.000/Hari = Rp. 195.000
- Transport mencari bibit Bensin 3 Liter Rp 11.000/ Liter = Rp 33.000 X 3 Hari = Rp. 99 000
Total 195.000 + 99.000 = Rp 284.000
� Penanaman per hari :
- Untuk 18 Jalur perlu waktu 5 hari
- 1 hari 65.000 = 325.000
Total = Rp 325.000
Pemupukan
- Per Ha sebanyak 4 kwintal urea dengan harga 250.000/Kwintal/ 6 bulan = Rp 2.000.000 / tahun
- Pembersihan 5 Hari Rp 65.000/Hari = 650.000 / tahun
Sub total = Rp.2.650.000/Tahun
� 1 rumpun 30 kg x 350 /Ha= 10.500 Kg dengan Harga Rp. 100.000 /kw =
Rp 10.500.000 /panen
(panen pertama setelah tanaman berumur 7 tahun)
Beternak ayam
� Pembuatan kandang:
- Papan 20 keping @ Rp 10.000/keping = Rp 200.000
- Balok 15 @ Rp 15 000/ pucuk = Rp 225.000
- Paku 5 Kg @ Rp 15.000/kg =Rp 75 000
- Atap rumbia 30 @ Rp 2000/buah = Rp 60 000
Total = Rp 560.000
- Pembelian Bibit 50 kg dengan harga Rp 30.000/Kg = Rp 1.500.000
Pembelian Pakan
- 4 karung Rp 800.000
- Panennya dalam satu tahun mendapat 300 Kg @ 30.000/kg = Rp 9.000.000 / panen / tahun
Karet � Pembukaan lahan seluas 1 ha = Rp 2.000.000
Beli bibit 500 batang PB 260 dengan harga 5.000/batang = Rp 2.500.000
� Penanaman 4 hari / Ha Rp 65.000/Hari = Rp 260.000
� Pemeliharaan selama 1 tahun 2 kali penebasan selama 10 Hari/Ha Rp 650 000/Ha x 2 = Rp 1.300.000
� Panen dalam 1 ha 400 Kg/bulan x 5.000= Rp. 2.000.000/bulan
149
JENIS USAHA
TAHAPAN BIBIT PENANAMAN PEMELIHARAAN PANEN
Bekerja di perkebunan sawit
� Rp 65 000/ Hari X 30 Hari = Rp 1.950.000/Bulan
Mencari ikan � BBM 2 ltr / hari
3 ltr/ hari x 30 hari
Rp 990.000/bulan
� Pangilar / unit Rp 130.000
� Rengge / unit Rp 80.000
� Buwu / unit Rp 30.000
� Rawai / set Rp 67.000
� Salambau / unit Rp 1.200.000
� Beje / unit Rp 1.000.000
� Ces p = 7 meter / unit(badan) Rp 3.000.000
� Mesin komplit Rp 2.000.000
Total = Rp 7.507.000
- Pangilar 20kg/unit/ bulan
Harga / kg Rp 15.000
20kg x Rp 15.000
= Rp 300.000
- Rengge 20kg/ unit/ bulan
Harga / kg Rp 9.000
20kg x Rp 9.000
= Rp 180.000
- Buwu 18/ unit/ Bulan
- Harga/kg Rp 10.000 � 20 kg x Rp 10.000 = Rp. 200.000
- Rawai / unit/ bulan – 20 kg/unit/ bulan
- Harga / kg Rp 15.000 - 20kg x Rp 15.000
= Rp 200.000
- Salambau 20kg/ unit/ bulan
Harga/ kg Rp 15.000
20kg x Rp 15.000
= Rp 200.000
- Beje 500kg/ unit/ tahun, Harga/ kg Rp 15.000
500kg x Rp 15.000
= Rp 7.500.000
150
JENIS USAHA
TAHAPAN BIBIT PENANAMAN PEMELIHARAAN PANEN
- Tampirai 10kg/ unit/ bulan
Harga/ kg = Rp 10.000
10kg x Rp 10.000
= Rp 100.000
Total Rp 9.580.000
151
G. Membangun Cita-cita
Cita-cita bidang ekonomi Cita-cita bidang lingkungan dan
sumberdaya alam
1. Lapangan pekerjaan banyak
2. Setiap KK memiliki kebun karet, buah, rotan, jelutung agar taraf hidup masyarakat meningkat
3. Pembuatan tambak ikan lokal yang ada di daerah sendiri seperti tahuman, papuyu, gabus, lais, baung
4. Peternakan masyarakat seperti ayam, kambing, itik sapi
5. Berkebun di pekarangan rumah untuk mencukupi kebutuhan keluarga
6. Penganyam diberi pelatihan dan diarahkan hasil produksinya dapat dipasarkan ke luar daerah (anyaman rotan, bambu, purun)
7. Pelatihan budidaya karet
8. Pelatihan cara pengelolaan hasil perikanan seperti presto, abon, krupuk ikan
9. Budidaya jamur
10. Koperasi yang aktif di segala bidang
11. Lahan pertanian yang terawat
1. Air bersih
2. Lahan pertanian yang bebas dari hama penyakit
3. Budidaya karet dan pemasarannya (berhasil dari kebun dan pemasaran yang mudah dengan harga yang layak)
4. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan (tidak memakai strum dan racun)
5. Penanganan banjir dalam bidang pertanian
6. Peraturan mengenai pembakaran danau-danau untuk mencari ikan
7. Pemanfaatan lahan tidur untuk perkebunan karet dan lain-lain
H. Diagram Kelembagaan
Lembaga Masalah Potensi
Pemdes - Pengaruhnya besar hubungannya sedang
- Ada Perangkat Desa yang masih kurang memahami TUPOKSI-nya
- Aset Desa belum terinventarisir secara baik
- Kades kurang memperhatikan dalam pemerintahan
- Ada Perangkat Desa lengkap
- Adanya Kantor Desa
152
Lembaga Masalah Potensi
Kedamangan - Pengaruhnya sedang hubungannya sedang
- Damang menjadi Humas Perusahaan Arjuna
- Damang kurang memperhatikan masalah keadatan
- Damang hanya mementingkan kebutuhan sendiri
Ada Damang di kecamatan
UPTD Pertanian - Hubungannya sedang pengaruhnya besar
- Staff UPTD Pertanian sudah berkerja dalam melayani masyarakat tetapi kekurangan staf untuk memberikan penyuluhan
Ada staf di UPTD pertanian
Koperasi - Hubungannya jauh pengaruhnya kecil
- Belum adanya program yang terlihat dan dirasakan oleh masyarakat, pengurusnya belum memahami managemen koperasi dan pengurusnya belum memahami TUPOKSI kepengurusan
Adanya pengurus dan badan koperasinya
WWF - Hubungannya jauh pengaruhnya Kecil
- Kegiataan WWF belum menyentuh masyarakat Desa Baun Bango
- WWF jarang melakukan kegiatan pemberdayaan di Desa Baun Bango
Ada staf WWF
BTNS (Balai Taman Nasional Sebangau)
- Hubungannya jauh pengaruhnya kecil
- Kurang ada sosialisasi pentingnya Taman Nasional kepada masyarakat
- Tidak ada pembinaan terhadap masyarakat desa
Ada resort di Desa Baun Bango
Adanya staf di lapangan
I. Pengelompokan masalah
Masalah Solusi
Kualitas air Sungai Katingan menurun sehingga tidak bisa budidaya ikan di sungai
Membuat kolam terpal di atas
Seringnya penyetruman dan peracunan di sungai dan danau
Membuat aturan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Banyaknya lahan terlantar Penyuluh pertaniaan lebih aktif dalam pendampingan ke masyarakat untuk pemanfaatan tanah-tanah masyarakat
Menurunnya harga jual karet dan rotan Adanya pelatihan cara meningkatkan kualitas hasil karet
Pemerintah daerah dan pihak ke 3 membantu dalam mencarikan pasar untuk penjualan hasil perkebunan karet dan rotan
Menurunnya hasil tangkapan ikan Membuat budidaya ikan di kolam terpal
Koperasi tidak aktif Adanya perehaban pengurus dan pelatihan dalam manajemen pengurus koperasi
153
J. Matriks Ranking
Kriteria dan Nilai Pembobotan
Masalah Dirasakan
oleh orang
banyak
Sangat
Parah
Menghambat
Peningkatan
Pendapatan
Total Ranking Peringkat
Pembuatan aturan penangkapan ikan 10 5 6 21 VIII 8
Budidaya ikan lokal di darat 7 6 10 23 VI 6
Pemanfaatan lahan terlantar 10 6 10 26 III 3
Penyuluhan kepada masyarakat ttg cara penangkapan ikan dengan ramah lingkungan
8 5 9 22 VII 7
Pelatihan pengolahan hasil tangkapan 7 6 6 19 VIIII 9
Penegakan hukum terhadap penyetruman
10 6 8 24 IV 4
Ternak ayam dan itik 10 10 10 30 I 1
Mengaktifkan Koperasi 8 8 7 23 V 5
Budidaya karet 9 8 9 27 II 2
Rencana program pengembangan mata pencaharian berkelanjutan:
1. Budidaya ayam kampung
2. Budidaya itik petelur
3. Budidaya karet (swadaya)
BAB IV Kesimpulan
A. Analisa
Data Analisa Kesimpulan
Menurunnya hasil tangkapan ikan
- Kondisi air sungai sudah tercemar oleh limbah
- Banyaknya masyarakat yang menangkap ikan dengan mengunakan strum dan racun
- Belum adanya aturan di tingkat desa yang mengatur pelarangan penangkapaan dengan mengunakan strum dan racun
- Belum ada kesadaran terhadap masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
- Adanya budidaya perikanan di kolam (kolam terpal)
Banyaknya Lahan Masyarakat yang terlantar
- Masyarakat kurang memahami cara memanfaatkan lahan yang ada mengingat lahan yang dimiliki masyarakat berlahan kambut
- Sangat besarnya biaya untuk membuka lahan untuk berkebun
- Kesulitan dalam mendapatkan bibit
- Masyarakat memerlukan pendampingan dalam mengelola lahan yang dimiliki guna meningkatkan pendapatan masyarakat
154
B. Rekomendasi
Rekomendasi dari kajian ini diharapkan adanya pendampingan yang intensif dalam
implementasi di lapangan, mengingat ini mengunakan kelompok yang sangat banyak dan
adanya evalusi rutin yang dilakukan untuk mengetahu i kendala-kendala yang ada di tingkat
kelompok.
C. Saran
Saran dari pengkajian ini jangan membuat janji atau apapun yang bisa menimbulkan konflik
di masyarakat. Dalam menjalankan program harus melihat kebutuhan yang ada di
masyarakat, bukan dari keinginan. Disepakatinya pembagian peran yang jelas antara
Kelompok, Pemdes dan WWF supaya ada rasa saling memiliki program.
155
FOTO KEGIATAN PENGKAJIAN DI DESA BAUN BANGO
Foto 1. Pleno usulan kelompok
Foto 2. Penggalian dengan alat PRA Sketsa Desa
Foto 3. Penggalian dengan alat PRA
156
Foto 4. Sejarah Desa
157
Foto 5. Analisa Sketsa Desa
158
Foto 6. Bagan Kecenderungan Perubahan Sumberdaya alam
159
Foto 7. Kalender Musim
160
161
Foto 9. Analisa Usaha Tani
162
Foto 10. Membangun cita-cita masyarakat
Foto 11. Pemeringkatan Masalah
163
Gambar 12: Analisa Kelembagaan
164
Lampiran 2 – 6 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Jahanjang
Disusun Oleh:
1. Deni Setiawan
2. Devinta A.
3. Tito Surogo
4. Ibrahim
5. Edy Sutarjo
6. Suwanto
7. Dadang Riansyah
8. Masyarakat desa Jahanjang
PALANGKA RAYA
September 2014
165
Hasil Kajitindak Partisipatif Desa Jahanjang
JENIS – JENIS SUMBER DAYA ALAM YANG DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT DESA JAHANJANG
1. Ikan 5. Madu 9. Anggrek 13. Bambu
2. Rotan 6. Gemor 10. Sayur–sayuran hutan
14. Damar / Getah Kayu Meranti
3. Kayu 7. Jamur / Kulat 11. Buah – bahan hutan
4. Air sungai dan air sumur
8. Tanaman Obat 12. Rusa, kijang, kancil, burung
URUTAN SUMBER DAYA ALAM YANG DIMANFAATKAN UNTUK KEGIATAN EKONOMI MASYARAKAT DESA
JAHANJANG
Jenis Sumber Daya Alam Persentase
masyarakat yang memanfaatkan SDA
Ikan 70 %
Rotan 5%
Kayu 100%
Air Sungai dan Air Sumur 100%
Sayuran Hutan 5%
Madu Hutan 2%
Bambu 2%
Tanaman Obat 2%
Rusa, kijang, kancil dan burung 1%
JENIS – JENIS USAHA DULU DAN SEKARANG
Tahun 1980 – 1985 Tahun 1985 – 1990 Tahun 1990 – 1995 Tahun 1995 – 2000
Nelayan tangkap alam Nelayan tangkap alam Nelayan tangkap alam Nelayan tangkap alam
Memantung (Menyadap getah pohon patung)
Memantung (Menyadap getah pohon patung)
Menggemor (Menebang dan mengambil kulit pohon gemor)
Menggemor (Menebang dan mengambil kulit pohon gemor)
Menggemor (Menebang dan mengambil kulit pohon gemor)
Menggemor (Menebang dan mengambil kulit pohon gemor)
Menebang Kayu Menebang Kayu
Mamagat Owei (Memotong Rotan)
Mamagat Owei (Memotong Rotan)
Mamagat Owei (Memotong Rotan)
Mamagat Owei (Memotong Rotan)
Menebang Kayu Menebang Kayu
166
Tahun 2000 – 2005 Tahun 2005 - 2010 Tahun 2010 – 2015 Tahun 2015 – 2020
Nelayan tangkap alam Nelayan tangkap alam Nelayan tangkap alam Belum tahu
Menggemor (menebang dan mengambil kulit pohon gemor)
Mamagat owei (memotong rotan)
Mamagat owei (memotong rotan)
Menebang kayu Menambang emas dan punya / pasir zirkon
Menambang emas dan punya / pasir zirkon
Mamagat owei (memotong rotan)
Buruh kerja di Perusahaan Sawit
167
ANCAMAN TERHADAP DESA, MASYARAKAT DESA DAN SUMBER DAYA ALAM DESA JAHANJANG
3. Peracun ikan
2. Penyetrum ikan
1. Kesadaran Masy.
menurun
MASYARAKAT DESA
JAHANJANG
Ekonomi Sosial Budaya
Politik Desa Sumberdaya Alam
2. PT. Arjuna Utama Sawit 4. Penyetrum Ikan & Peracun ikan
11. Ukuran Alat Tangkap ikan
9. Taman Nasional Sebangau
6. Kebakaran hutan dan lahan
10. Terbuka Akses Jalan darat
5. Banjir
8. Kemarau Panjang 7. Pemodal/Investor
3. Narkoba dan Miras
1. Kebijakan Pemerintah
12. Teknologi Informasi
Desa Jahanjang
168
Analisa Instrumen oleh peserta rapat :
� Ancaman paling utama adalah Kebijakan pemerintah
� Ancaman ke dua dari PT. Arjuna Utama Sawit
� Ancaman ke tiga adalah maraknya anak muda yang mengkonsumsi miras dan narkoba
� Ancaman paling utama kepada masalah ekonomi
� Ancaman ke dua kepada masalah Sumber daya alam
� Ancaman ke tiga kepada masalah sosial budaya
BENTUK ANCAMAN :
Kebijakan Pemerintah Ekonomi / Sumber Daya Alam :
� Kebijakan Rotan
� Kebijakan Kayu
� Kebijakan perijinan Perusahaan Sawit
� Perijinan BTNS
Kebijakan Pemerintah Sosial Budaya :
� Perijinan BTNS (Konflik Lahan)
� Perijinan Perusahaan (Konflik lahan)
Perusahaan Sawit Ekonomi / Sosial Budaya :
� Penguasaan Lahan
� Pencemaran Air
� Pemutusan hubungan kerja
� Kebakaran Lahan
Narkoba dan Miras Ekonomi dan Soisal Budaya :
� Mencuri
� Berkelahi
� Pendidikan / putus sekolah / tidak mau sekolah
� Tatak Rama
Penyetrum Ikan dan Peracun Ikan Ekonomi dan Sumber Daya Alam :
� Ikan Mandul
� Tulang Ikan Patah
� Bibit Ikan Berkurang
� Semua Jenis Ikan Mati
Terbuka Jalan Ekonomi dan Sosial Budaya :
� Persaingan bisnis
� Pencurian
� Nelayan dari luar desa jahanjang masuk / berusaha mencari ikan di wilayah jahanjang
� Perdagangan liar
� Budaya luar
Kebakaran Ekonomi / Sumber Daya Alam :
� Kebun rotan terbakar
� Kebun Sayuran Terbakar
169
� Kayu Terbakar habis
� Mata perih karena asap
� Aktifitas tertanggu karena jarak pandang terbatas
� Sesak nafas
� Hewan liar terusir dan mati
Banjir Ekonomi / Sumber Daya Alam :
� Tidak bisa potong rotan
� Tidak bisa cocok tanam
� Gagal panen
Kemarau Panjang Ekonomi dan Sumber Daya Alam :
� Ikan mati
� Bibit sulit didapat karena banyak mati
� Air bersih sulit / untuk konsumsi
� Mandi sulit
� Debu
� Penyakit
� Rawan Kebakaran
� Penyakit ternak ayam
� Gagal panen
Pemodal / Investor Ekonomi, Sosbud dan Politik Desa :
� Persaingan bisnis
� Masyarakat jadi buruh
� Tengkulak dari luar masuk
� Hilang sifat gotong oyong di masyarakat
Teknologi Informasi Ekonomi dan Sosbud :
� Merobah gaya hidup
� Pemborosan
� Perubahan budaya
� Pergaulan bebas
BTNS (Balai Taman Nasional Sebangau) Ekonomi dan Sosbud :
� Sulit bekerja di Kawasan TNS (Taman Nasional Sebangau)
� Konflik sumber daya alam (konflik lahan, Tidak boleh mengambil kayu, Tidak boleh berburu)
� Banyak orang asing masuk desa / Ancaman budaya
�
170
Kalender Musim Desa Jahanjang
Bulan/Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Laki-laki
Perempuan
Kemarau
Banjir
Musim Ikan dan Udang
III III II I I I I 70% 20%
Musim Hujan
Musim Penyakit
Musim Buah
Musim Berkebun
Musim Gugur
Musim Jamur
Buruh Sawit 25% 25%
Musim Madu
Musim Rotan 30 % 1 %
Musim Ikan Bertelur
Musim Nyari Burung
Musim Paceklik
Musim Nikah / Kawin
Musim Kebakaran
BAGAN PERUBAHAN DAN KECENDERUNGAN MATA PENCAHARIAN
TAHUN Jenis Usaha
dan Keter-
sediaan
SDA 1980-1985 1985-1990 1990-1995 1995-2000 2000-2005 2005-2010 2010-2015
Perikanan OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OO
OOO
OO
OO
OO OO
Rotan OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OO
OOO
OO
OO
OO OOO
Kayu OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OO
OO
OO
OO OOO O
Pantung OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OO
OOO
OO OOO O
Gemor OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
O O
171
TAHUN Jenis Usaha
dan Keter-
sediaan
SDA 1980-1985 1985-1990 1990-1995 1995-2000 2000-2005 2005-2010 2010-2015
Buruh
Kebun O OOO
Tambang
Emas OOO OO
Beternak
Ikan O OO OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
Beternak
Sapi O O O O O OOO OOO
Diskusi Mencermati Perubahan dan Kecenderungan :
� Usaha masyarakat dahulu semuanya usaha yang berkelanjutan, saat ini cenderung tidak berkelanjutan
� Dulu tidak pernah jadi buruh, sekarang banyak jadi buruh
� Dulu sedikit konflik, sekarang banyak konflik
� Dulu jarang budi daya, sekarang cenderung usaha budi daya
172
PELUANG MASYARAKAT JAHANJANG
BENTUK PELUANG :
EKONOMI PERUSAHAAN SAWIT :
� Kerja buruh sawit
� Membeli buah dari sawit masyarakat
� Kebun plasma
� Pemberdayaan masyarakat
MASYARAKAT PEMERINTAH DAERAH :
� Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat
MASYARAKAT PENAMPUNG IKAN DAN ROTAN :
� Peluang pemasaran ikan dan rotan
MASYARAKAT BANK DAN PEMBIAYAAN KENDARAAN :
� Peluang permodalan
MASYARAKAT DESA
JAHANJANG
WWF
PEMDA
PERUSAHAAN SAWIT
TEKNOLOGI INFORMASI
AKSES JALAN TERBUKA
PENAMPUNG IKAN
PENAMPUNG ROTAN
BANK BRI DAN BNI PEMBIAYAAN KENDARAAN
YCI
CU BETANG ASI
PT. RMU/YAYASAN
PUTER
SOSIAL
BUDAYA/AGAMA
EKONOMI
POLITIK DESA PEMERINTAHAN DESA
DESA JAHANJANG
173
MASYARAKAT WWF, YAYASAN PUTER / PT. RMU (RIMBA MAKMUR
UTAMA :
� Pemberdayaan masyarakat
� Peningkatan sumber daya manusia
MASYARAKAT TERBUKANYA AKSES JALAN :
� Pemasaran produk mudah
� Barang jadi murah
� Biaya transportasi murah
� Waktu tempuh lebih cepat
MASYARAKAT TEKNOLOGI INFORMASI :
� Bisnis lebih lancar
� Informasi lebih cepat termasuk berita keluarga
174
ANALISA MATA PENCAHARIAN
TENAGA KERJA
JENIS USAHA LAKI-LAKI
PEREMPUAN BAHAN BAKU PRODUK
BAGAIMANA MEMULAI
PEMASARAN MASALAH
Nelayan tangkap di alam
70% 20% � Rengge
� Pangilar
� Ancau
� Lukah
� Pancing
� Banjur
� Tambat
� Jambak
� Tampirai
� Salambau
� Lunta
Ikan basah dan
ikan segar
Ikan Asin kering
Wadie
Turun
temurun
Di tengkulak
kampung
� Ikan semakin sedikit
� Ukuran alat tangkap jaring
semakin kecil / rapat
� Tata cara penangkapan (disetrum
dan diracun)
� Air tercemar
� Kebakaran
� Orang luar ikut usaha
Memanen rotan/mamagat
90% 10% � Pisau/parang
� Bambu / kaitan
� Pisau kecil
� Batu asah
� Sepatu
� Perapian/perapen
Rotan Basah
Anyaman
Turun
temurun
Di kampung
(pembeli
kampung)
� Harga rendah
� Kebijakan pemerintah
� Kwalitas
Budi daya ikan di Kolam
70% 30% � Kayu
� Terpal
� Paku
� Paranet
� Bibit
� Paralon
� Tali
� Karet ban
Basah dan segar Hasil
pelatihan
Diluar kampung,
pemasaran
mudah
� Pengadaan bibit
� Harga pakan
� Air
� Keterampilan
� Permodalan
175
TENAGA KERJA
JENIS USAHA LAKI-LAKI
PEREMPUAN BAHAN BAKU PRODUK
BAGAIMANA MEMULAI
PEMASARAN MASALAH
Budi daya ikan di keramba
90% 10% � Kayu
� Tali
� Pakan
� Paku
� Kain kasa
� Pelampung
Basah dan
kering
Dimulai
tahun 1980
Dijual di desa dan
pemasaran
mudah
� Air tercemar
� Permodalan
� Pakan
� Kondisi pasang surut air/kondisi
alam
Ternak sapi 60% 40% � Kayu
� Seng
� Perapian
� Kawat
� Tali
� Ember
� Arit
� Pakan
� Lahan
Dijual hidup Bantuan pemerintah
Pemasaran mudah (di desa dan luar desa)
� Lahan
� Pakan
� Kotoran
� Keterampilan
� Keadaan alam
� Banjir
176
POTENSI SUMBER DAYA ALAM YANG PALING DIMANFAATKAN DAN POHON MASALAH
SUNGAI :
• IKAN
• AIR UNTUK MANDI
• AIR UNTUK MENCUCI BAJU
• AIR UNTUK MEMBUANG
HAJAT
• AIR UNTUK MENCUCI
PIRING, CUCI BAJU Dsb.
DANAU :
• IKAN
• RUMPUT / KUMPAI
• TANAMAN PURUN
RAWA/RUWAK:
• IKAN
• BERE
• RUMPUT KUMPAI
AIR TERCEMAR: • AIR KERUH
• IKAN BANYAK MATI PADA SAAT AIR
PASANG DAN HUJAN
• MANDI GATAL
• POPULASI IKAN BERKURANG
KENAPA ?
APA PENYEBABNYA :
• PENAMBANG EMAS
• PERKEBUNAN SAWIT
• LIMBAH RUMAH TANGGA
AKAR
MASALAH
177
ANALISA PERBANDINGAN USAHA
MENCARI IKAN DI
ALAM
MEMELIHARA
IKAN DI KERAMBA
MEMELIHARA
IKAN DI KOLAM
USAHA ROTAN USAHA TERNAK
SAPI
BURUH SAWIT
WAKTU KERJA
OOO
OOO OO O
OOO
OOO OO
OOO
OOO
PENGHASILAN
1.500.000 1.000.000 2.000.000 400.000 2.000.000
TENAGA KERJA
OO O O OO O OO
PELUANG PERMODALAN
O O O O
KERJA KERAS
OOO
OOO
OOO O
OOO
OOO
OOO
OOO
OOO
178
PERINGKAT USAHA
JENIS USAHA PERINGKAT
Budidaya ikan 1
Pengembangan Ternak Sapi dan Rusa 2
Rotan 3
Buruh Sawit Tidak ada ranking
179
ALUR PEMASARAN PRODUK PERIKANAN
PETANI (ternak
ikan) / NELAYAN
(tangkap alam) :
Bentuk Produk :
- Ikan Basah
- Ikan Kering
Penampung di
kampung
Penampung di kampung
Penampung ikan dari luar
Penampung di Kasongan, Kereng Pangi dan
Tumbang Samba Pengecer
Penampung di Palangka Raya, Kasongan, Kereng Pangi dan Tumbang
Samba
Pengecer
Penampung di Palangka Raya
Pengecer
Banjarmasin
Penampung di Kasongan, kereng pangi dan Tumbang
Samba
Penampung dari Palangka
raya
Penampung dari Kasongan
Penampung dari Kereng
Pangi
Penampung dari Sampit
Penampung dari
Banjarmasin
Penampung di Palangka raya, Sampit
dan Banjarmasin
Penampung dari Banjarmasin
Penampung di Palangka raya, Sampit
dan Banjarmasin
Penampung di kampung
dan penampung dari luar
180
ALUR PEMASARAN PRODUK ROTAN
PETANI ROTAN
PRODUK DALAM BENTUK :
- PRODUK BASAH
- PRODUK KERING/ASALAN
PENAMPUNG DI KAMPUNG/
DESA DALAM BENTUK PRODUK
ROTAN BASAH
Harga rotan sigi =
Rp 110.000/ikat/kuintal
Harga beli rotan irit =
Rp 85.000/ikat/kuintal
Penampung di Desa Lubuk Kanan
dan Lubuk Kiri
Kasongan
Penamping di Tewang
Beringin
Jawa
Banjarmasin
Sampit Penamping di Tewang
Kadamba
PETERNAK
- SAPI
- RUSA (Peluang
usaha ke depan)
- Dijual hidup
- Harga bibit sapi
berkisar 4-6 juta
PEMBELI DI KAMPUNG
PEMBELI DARI KASONGAN
PEMBELI DARI SAMPIT
PEMBELI DARI SAMBA
181
ANALISA KELEMBAGAAN DESA JAHANJANG
LEMBAGA DESA YANG ADA :
BPD (Badan Permusyawaratan Desa)
PAUD CBL Sekolah/komite Pengurus Masjid
RT (Rukun Tetangga) WWF PPN Pustu BTNS
RW (Rukun Warga) Pokwasmas Pemdes Polindes PT. Arjuna Utama Sawit
Karang Taruna Yayasan Puter Kelompok Yasinan Kelompok Desa Siaga Pemerintah Daerah
PKK YCI Gapoktan Kelompok Pemadam Kebakaran
RKM CU Betang Asi Simpul Wisata Kel. Arisan Umum
Posyandu Balita PT. RMU PNPM PHBI
Posyandu Lansia Mantir Adat Linmas Remaja Masjid
182
MASYAKAT DESA JAHANJANG
PEMDES
GAPOKTAN
BPD RT/RW
MANTIR ADAT
KARANG TARUNA
ARISAN UMUM
PUSKESMAS
PAUD POLINDES
PUSTU SEKOLAH
POSYANDU
REMAJA MASJID
PKK
RKM
PPN
ARISAN UMUM
lINMAS
KELOMPOK YASINAN
SIMPUL WISATA
PHBI
DAMKAR
WWF
DESA WISATA
PNPM BTNS
PT. ARJUNA UTAMA SAWIT
PT.RMU CU. BETANG ASI YAYASAN PUTER
YCI CBL
DIAGRAM VEN KELEMBAGAAN DESA JAHANJANG
183
Sketsa Desa Jahanjang
RENCANA PRIORITAS MASYARAKAT DESA JAHANNJANG
RENCANA DI BIDANG EKONOMI
RENCANA DI BIDANG LINGKUNGAN
RENCANA DI BIDANG PENDIDIKAN
RENCANA DI BIDANG KESEHATAN
....................... ....................... ....................... .......................
....................... ....................... ....................... .......................
....................... ....................... ....................... .......................
Permasalahan dibidang lingkungan yang akan diselesaikan dalam waktu dekat :
1. Permasalahan dengan perusahaan sawit PT. Arjuna Utama Sawit :
a. Sengketa lahan masyarakat desa Jahanjang dengan perusahaan seluas 300 ha
Langkah yang sudah diambil :
- Sudah ada negosiasi dengan PT. Arjuna Utama Sawit difasilitasi Asisten I Kabupaten Katingan,
yang dituntut masyarakat adalah 600 meter dari badan jalan pemerindah di belakang desa
Jahanjang, hasilnya dimungkinkan disetujui 500 meter dari badan jalan, masyarakat Jahanjang
belum menerima hasil negosiasi ini sehingga akan dilanjutkan negosiasinya dengan Bupati.
184
Langkah yang akan diambil oleh masyarakat dan aparat desa Jahanjang :
- Dalam waktu dekat akan ada Surat Keputusan Bupati Katingan terkait permasalahan sengketa ini,
dan ada waktu masa sanggah keputusan, sehingga rencana masyarakat akan mengutus kepala
desa dan beberapa tokoh masyarakat desa Jahanjang untuk menemui Bupati Katingan secara
langsung, tujuannya untuk mempengaruhi keputusan Bupati Katingan
b. Pencemaran air
- Menunggu hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Laboratorium Provinsi Kalimantan Tengah,
Dinas Perikanan Kabupaten Katingan dan WWF – Indonesia Kalimantan Tengah,
c. Kebakaran hutan dan lahan
d. Tenaga kerja
2. Permasalahan dengan Balai Taman Nasional Sebangau :
a. Sengketa lahan (wilayah yang sudah di SKT kan oleh masyarakat tahun 2008 sejauh 10 - 15 Km dari
pinggir sungai Katingan / Seberang Desa Jahanjang, sedangkan sesuai SK Balai Taman Nasional
Sebangau nomor 529 batas TNS dari pinggir sungai Katingan / seberang desa Jahanjang hanya 1,5 – 3
Km. Untuk menyelesaikan permasalahan ini dan juga masalah rencana penabatan dan penanaman
WWF di daerah irigasi Desa Jahanjang maka Masyarakat Desa Jahanjang beserta aparat desa akan
mengirimkan surat undangan pertamuan dengan Balai Taman Nasional Sebangau dan di tembuskan
ke WWF – Indonesia Kalimantan Tengah.
PERENCANAAN EKONOMI KELOMPOK – KELOMPOK USAHA DESA JAHANJANG
1. Kelompok I : pengembangan pembuatan abon dan nuget dari bahan ikan berobah menjadi usaha budi
daya jamur tiram
Jumlah anggaran = Rp 13.360.000,-
Ketua Kelompok = Sri Wahyuni
2. Kelompok II : budi daya ikan gabus di kolam terpal berobah menjadi usaha ternak pengembangan sapi
rahman
Jumlah anggaran = Rp 15.100.000,-
Ketua Kelompok = Bambang Rizali
3. Kelompok III : Kelompok ternak budi daya ayam bangkok berobah menjadi ternak budi daya ayam
kampung
Jumlah anggaran = Rp 27.345.000,-
Ketua Kelompok = Damiati
4. Kelompok IV : Kelompok ternak budi daya ikan jelawat berobah menjadi ternak budi daya ikan
gurame / Kalui di Kolam terpal
Jumlah anggaran = Rp 25.268.000,-
Ketua Kelompok = Radiansyah
5. Kelompok V : Kelompok budi daya ikan patin dalam keramba berobah menjadi budi daya ikan papuyu
di kolam terpal
Jumlah anggaran = Rp 59.900.000,-
Ketua Kelompok = Arniel
6. Kelompok VI : Kelompok budi daya ikan mas dalam keramba berobah menjadi budi daya ikan gurame
di kolam terpal
Jumlah Anggan = Rp 16.216.000,-
Ketua Kelompok = Ardinan
185
7. Kelompok VII : kelompok budi daya ikan Jelawat dalam keramba tidak berobah, ikan sudah tersdia
sehingga anggaran yang ada akan dipakai untuk membeli pakan ikan.
Jumlah anggaran = Rp 9.450.000,-
Ketua Kelompok = Suhardi
8. Kelompok VIII : Kelompok budi daya ikan Oman berobah menjadi budi daya ikan gurame / kali
Jumlah Anggaran = Rp 11.900.000,-
Ketua kelompok = Aspar
Catatan kelompok 8 = ketua kelompok tidak setuju jenis usaha budi daya ikan Oman diganti, sehingga
meninggalkan rapat, dan peserta rapat menyepakati kelompok tersebut diganti ketuanya dan jenis
usahanya, kesepakatan ini dituangkan dalam berita acara hasil rapat.
- Selain ada perubahan jenis usaha juga ada perubahan jumlah anggota kelompok, rata – rata setiap
kelompok ada penambahan jumlah anggota, daftar nama-nama kelompok akan diserahkan kapada WWF
satu Minggu setelah proses pengkajian.
DOKUMENTASI PROSES PENGKAJIAN PARTISIPATIF SUMBER-SUMBER PENGHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA JAHANJANG 16-23 OKTOBER 2014
164
187
Lampiran 2 – 7 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Karuing
Disusun Oleh:
Tito Surogo
Suwanto
Surahmansyah
Warga Masyarakat Desa Karuing
PALANGKA RAYA
September 2014
188
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga dapat menyelesaikan laporan ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Laporan ini disusun agar pembaca dapat memahami potensi dan masalah yang ada di desa-desa di
sekitar Taman Nasional Sebangau guna menjadi acuan dalam program-program mata pencaharian
berkelanjutan di masing masing desa. Laporan ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan,
baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya laporan ini dapat terselesaikan.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Karuing, Pemerintah Desa
Karuing, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan angota Tim yang bekerja sama dalam
melakukan kajitindak ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan informasi yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun laporan
ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun. Terima kasih.
Palangka Raya, November 2014
Penyusun
189
I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Desa Karuing merupakan salah satu desa yang ada di sekitar Taman Nasional Sebangau dan
sebagian besar masyarakat ini memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti mencari ikan, mencari rotan dan menyadap karet.
Desa Karuing terletak di Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan dan berbatasan dengan:
• Desa Jahanjang di sebelah Utara
• Desa Parupuk di sebelah Selatan
• Muara/ Sungai Tumbang Bulan di sebelah Barat
• Desa Telaga di sebelah Timur
Luas wilayah Desa Karuing 216 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 554 jiwa, laki – laki
berjumlah 295 jiwa dan perempuan berjumlah 259 jiwa. Jumlah Lembaga desa yang ada 16
(lembaga). Alat transportasi berupa speed boad, kelotok diesel dan alkon (ces), informasi berupa
radio, televisi dan untuk alat berkomunikasi hanya menggunakan telepon genggam.
Desa Karuing memiliki mata pencaharian yaitu, pencari ikan 47 KK, pedagang lokal (warung
kampung) 6 KK, petani rotan 58 KK, pegawai negeri sipil (PNS) 11 orang dan tenaga honor 3
orang, tukang pembuat jukung/perahu 5 orang, buruh 9 orang dan pengrajin ayaman 1 orang.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk urusan 9 (sembilan) bahan pokok,
mereka menunggu pedagang yang datang dari luar desa yaitu setiap satu minggu sekali.
B. Tujuan
1. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di sekitar TN
Sebangau.
2. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
3. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan.
C. Keluaran
Adanya perencanaan dan strategi untuk pengembangan sumber-sumber penghidupan yang
berkelanjutan di masyarakat.
190
BAB II TEKNIS KEGIATAN
A. Metode yang digunakan
Adapun metode yang digunakan adalah dengan mengunakan alat-alat PRA, curah pendapat,
diskusi dengan pemerintah Desa Karuing, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat Desa
Karuing.
B. Tempat dan Waktu pelaksanaan
Tempat kegiataan ini berada di Desa Karuing pada tanggal 8 sampai 15 September 2014
C. Pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat adalah:
• Tokoh masyarakat
• Tokoh pemuda
• Pemerintah Desa Karuing
• Masyarakat Desa Karuing
• Tito Surogo, Staff Balai Taman Nasional Sebangau
• Suwanto, Staff WWF Indonesia Kalimantan Tengah
• Surahmansyah, Fasilitator Desa
•
191
BAB III
HASIL KAJIAN
1. Sejarah Desa
Tahun Kejadian penting
1892 - Berdirinya Dukuh KARUING
- Dikepalai oleh Kepala Dukuh UTUH MANDUNG
1915 - Kepala Dukuh di ganti NASIR DURAHMAN
1927 - Perubahan dukuh menjadi kampung
1927-1930 - Dikepalai oleh Kepala Kampung NASIR
1930-1956 - Perekonomian sangat sulit dan penduduk diserang penyakit cacar dan kusta, pada jaman penjajahan Jepang
- Dikepalai oleh Kepala Kampung GADUR
- Pembebasan lahan untuk masyarakat dari pemerintahan Belanda
1956-1961 - Pergantian Kepala Kampung GADUR NASIR diganti ANANG NASIR
- Adanya serangan gerombolan AJAY, perekonomian masih sulit
1961-1972 - Masih sulitnya perekonomian
- Mulai datang pengusaha kayu (perusahaan)
1971 - Perubahan kampung menjadi desa
1973-1976 - Pergantian Kepala Desa ARIN ANANG digantikan JAMHURI TOPEK
1976-1980 - Pergantian Kepala Desa JAMHURI TOPEK digantikan SARKAWI TAMRIN
- Pembangunan gedung SD INPRES
1981 - Pergantian Kepala Desa (PJS) dari SARKAWI TAMRIN diganti HAMSIN IBUS
- Bantuan dana desa ( BANDES) untuk Polindes (bangunan fisik)
1982 - PJS berganti dari HAMSIN IBUS diganti JAMHURI TOPEK
- Bantuan dana desa (BANDES) untuk pembelian mesin listrik desa
1982-1999 - Pergantian PJS JAMHURI TOPEK diganti kades JARNA JIDIN
1992 - Adanya irigasi untuk persawahan dikerjakan secara swadaya masyarakat
1994 - Bencana kebakaran terbesar
1995 - Bencana banjir (kurang lebih 1 tahun)
- Penyakit muntaber
1997 - Kemarau panjang (kurang lebih 9 bulan)
1999 - KADES JARNA JIDIN mengundurkan diri karena sakit
1999-2002 - KADES (PJS) BASRI
- Rehabilitasi bangunan langgar menjadi masjid
2002-2007 - Pergantian (PJS ) kades BASRI diganti ARDION LERES
- Pemekaran RT dari 2 RT menjadi 3 RT
- Pergantian LKMD menjadi BPD
192
Tahun Kejadian penting
2003 - Rehabilitasi total gedung SD
2004 - Pembuatan jembatan titian desa (panjang 1.150 m, lebar 2 m)
2005 - Kesulitan perekonomian disebabkan penertiban illegal loging
- Perubahan mata pencaharian (perikanan, gemor ,rotan)
2006 - Kesulitan ekonomi disebabkan oleh musim kemarau
- Adanya kompensasi BBM (BLT)
- Masuknya proyek CKPP oleh CARE
- Bantuan KUBE Dinas Sosial KABUPATEN
2007 - Bencana banjir
- Bantuan PLTS (solar cell) dari kementerian ESDM pusat
2008 - PJS Kades : JHONSON
- Bantuan bibit itik dari CARE dan WWF proyek CKPP
- Penambahan bantuan jembatan titian
- Bantuan WC umum dari WWF sebanyak 3 unit di 3 RT
- Berdirinya bangunan Pustu
- Adanya bantuan kebun entres dari WWF
- Bantuan mesin genset 1 unit untuk masjid
- Rehabilitasi ringan gedung SD
- Visitor Center (ekowisata) kerja sama antara WWF dan masyarakat
2009 - Bantuan irigasi dari PU Kabupaten anggaran APBD
- Pergantian PJS JHONSON diganti ANDI LIANY
2010 - Pembangunan gedung SMP
- Pembangunan perpustakaan sekolah SD (APBD)
- Pembangunan Posyandu
- Bantuan air bersih dan sanitasi CWSHP
- Bantuan bibit padi IR (Dinas Pertanian Kabupaten)
- Kepala Desa definitif Andi Liany
2011 - Bantuan bibit rotan (Dinas Kehutanan Kabupaten)
- Bantuan perumahan guru SMP (2 unit)
- Bantuan bibit padi IR (Dinas Pertanian Kabupaten)
2012 - Bantuan transportasi air (mesin motor) dari Perhubungan Kabupaten
- Bantuan rehab rumah dari Dinas Sosial Kabupaten sebanyak 3 unit
2013 - Pelatihan Pemetaan Partisipatif ( YCI )
2014 - Pelatihan pembuataan kompor efisien dan arang (WWF)
- Pembuataan demplot rotan (WWF)
- Pembuatan Peraturan Desa (Kebakaran, Pengelolaan SDA, Demplot Rotan) dari WWF
193
2. Sketsa Desa Karuing
Potensi Masalah Solusi
Sungai • Air surut ketika musim kemarau panjang
• Kualitas air tercemar oleh penyedot emas dan dari perusahaan sawit
• Terjadinya erosi
• Adanya sebagian masyarakat yang meracun ikan di sungai
• Berkurangnya hasil tangkapan ikan di sungai
• Memperbanyak budidaya ikan lokal di kolam
• Pembuataan aturan dalam penambangan emas di sungai
Danau dan Beje
• Menurunya hasil tangkap nelayan
• Banyaknya masyarakat luar yang menyetrum ikan di danau maupun di beje
• Sudah banyak jenis ikan yang berkurang
• Kualitas air di danau sudah tercemar ketika musim penghujan
• Banyaknya masyarakat mencari ikan
• Adanya pencurian ikan di dalam beje
• Membudidayakan ikan lokal di dalam keramba
• Masyarakat beserta Pemdes ikut dalam pengawasan bagi masyarakat luar yang masuk untuk mencari ikan
• Pembudidayaan ikan di dalam kolam terpal
Irigasi Sawah • Belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
• Pertumbuhan tanaman kurang baik karena zat asam
• Masyarakat masih belum memahami dalam bercocok tanam di lahan gambut
• Adanya pelatihan dalam pengelolaan lahan di tanah gambut
• Pemerintah daerah dan pihak ketiga memberikan penyuluhan atau pelatihan dalam bercocok tanam di lahan gambut
194
Potensi Masalah Solusi
Karet, rotan, jelutung dan gemor
• Harga rotan menurun
• Harga getah jelutung turun dan keberadaanya jauh ke dalam Taman Nasional Sebangau
• Areal jelutung banyak dibuka untuk perkebunan sawit
• Gemor berada di Taman Nasional Sebangau
• Masyarakat masih kesulitan dalam berkebun karet di lahan gambut
• Masyarakat diberikan izin untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu di TNS
• Percepatan penetapan tapal batas dan zonasi
• Pelatihan budidaya karet di lahan gambut
PT. Arjuna • ` • Pemdes mendesak kepastian plasma ke perusahaan
• Pembuataan batas antara tanah masyarakat dengan perusahaan
3. Diagram Kelembagaan
Lembaga Masalah Solusi
WWF
Pengaruhnya sedang hubungan-nya dekat dengan masyarakat
• Lebih mendekatkan diri antara WWF dengan masyarakat
• Seringnya memberi pemahaman penyuluhan pentingnya menjaga lingkungan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
BTNS
Pengaruhnya besar Hubungannya jauh karena BTNS tidak ada sosialisasi dengan masyarakat dan pendekatan dengan masyarakat sangat kurang
• BTNS sering-sering memberikan penyuluhan tentang pentingnya Taman Nasional Sebangau
• BTNS sering-sering memberikan sosialisasi terhadap masyarakat
• Adanya kegiataan BTNS dalam pemberdayaan masyarakat
195
Lembaga Masalah Solusi
YCI
Pengaruhnya sedang hubungannya sedang karena YCI tidak ada program pemberdayaan mata pencahariaan ke masyarakat dan kurangnya berkunjung di masyarakat tetapi YCI sangat membantu Pemerintahan Desa yaitu dengan membuat Peta Tata Kelola Desa
• YCI memberikan penyuluhan terhadap masyarakat terkait menjaga lingkungan
• YCI sering memberikan sosialisasi terhadap masyarakat tentang tujuan keberadaan lembaga tersebut di Desa Karuing
Yayasan Puter
Pengaruhnya kecil dan hubungannya jauh karena belum dirasakannya kegiataan Puter di masyarakat dan program dari Puter belum diketahui oleh masyarakat Desa Karuing
• Dilakukannya sosialisasi program Puter terhadap masyarakat
PT. Rimba Makmur Utama
Pengaruhnya kecil dan hubungannya jauh disebabkan belum ada kegiatan pemberdayaan di masyarakat
• RMU memberikan program pemberdayaan di masyarakat Karuing dan sosialisasi tujuan PT. RMU
Koperasi
Pengaruhnya kecil hubungannya jauh karena tidak ada kegiatan yang meningkatkan perekonomian masyarakat, Koperasi tidak memiliki modal untuk kegiatan
• Penguataan kelembagaan koperasi
• Bantuan pendanaan dari Pemda maupun pihak ke-3 untuk menjalankan kegiataan koperasi
Pustu
Pengaruhnya besar hubungannya dekat cuma kekurangan staff
• Penambahan staff kesehatan di desa
PEMDES
Pengaruhnya besar hubungannya dekat karena melayani masyarakat
• Perlunya ditingkatkan kembali kinerja Pemdes untuk melayani masyarakat
PKK
pengaruhnya sedang hubungannya jauh karena kegiataan ibu PKK belum terlihat oleh masyarakat.
• Pembuataan rencana kerja dan penguataan kelembagaan PKK
Karang Taruna
Pengaruhnya kecil hubungannya jauh karena belum memiliki rencana kerja.
• Pemilihan pengurus Karang Taruna secara ulang
• Pembuataan rencana kegiataan tahunan
196
4. Kajian Mata Pencaharian
TENAGA KERJA MATA PEN-
CAHARIAN laki-
laki
perem-
puan
PEMASARAN BAHAN BAKU
(HASIL) TAHAPAN MASALAH
Mencari ikan 60% 40% - Pembeli datang ke desa dan penampung yang ada di desa
- Penjualan setiap hari 2-3 kg per hari
- Harga @ Rp. 7.000,- - Rp. 20.000,-
- Pangilar tali
- Rengge
- Buwu
- Banjur / rawai
- Salambau
- Beje
- Tampirai / kabam
- Transport dengan ces
- Jukungan
- Sahiap (lokal)
- BBM (bensin)
- Melihat kondisi lokasi
- Melakukan pemasangan
- Untuk melakukan peng-ambilan ikan selang waktu 1 hari 1 malam setelah pemasangan
- Langsung dijual
- Populasi ikan berkurang
- Terlalu banyak pencari ikan
- Keadaan musim yang tidak tetap
- Harga tidak stabil
- Harga BBM naik
Petani rotan
80% 20% - Pembeli datang ke desa melewati penampung yang ada di desa
- Penjualan 2 kali dalam 1 bulan
- Harga per pikul:
- Sigi = Rp. 130.000
- Irit = Rp. 100.000
- Bulu = Rp. 200.000
- Parang
- Kapak
- Arit
- Batu asah
- Ces / jukung
- Pembibitan rotan
- Pemupukan (garam)
- Pembersihan lahan
- Penanaman
- Pemeliharaan (pemupukan)
- Panen / pemotongan rotan
- Langsung dijual (basah)
- Setelah penanaman terj-adi banjir sehingga tanaman tidak subur dan mati
- Akibat musim kemarau, anakan / tanaman mati
- Kebakaran
- Harga tidak stabil
- Jarak / senggang waktu panen 2 – 5 tahun
- Belum saatnya dipanen, masyarakat memaksa memanen karena kebutuhan ekonomi
197
5. Analisa Usaha Tani Petani Rotan
Tahapan Bibit Penanaman Pemeliharaan Panen
� Pembuatan jalur pena-naman dalam 1 Ha :
- Lebar jalur 1 meter
- Jarak antar jalur 5 meter
- Total jalur 18 jalur per Ha
- Total HOK = 9 hari
- Upah per HOK Rp. 50.000
� Transport
- Mencari bibit 7 hari kerja untuk kebutuhan bibit sebanyak 324 bibit
- 7 hari x 2 ltr x @ Rp. 10.000/ ltr = Rp. 140.000
- Rokok 1 bungkus per hari 1 bks x 7 hari x Rp. 7.000 = Rp. 49.000
Harga bibit rotan / pokok Rp. 3.000
Rp. 3.000 x jumlah total bibit/ Ha 324 = Rp. 972.000
� Penanaman per hari :
- 100 bibit
- 3 hari
- 2 orang
- Jumlah HOK/hari
Rp. 50.000 x 3 hari x 2 orang = Rp. 300.000
� Transport BBM selama 3 hari 6 ltr x @ Rp. 10.000 = Rp. 60.000
� Rokok 2 orang untuk 3 hari = 6 bungkus
6 bks x @ Rp. 7.000
= Rp. 42.000
� Pembersihan + pemupukan :
- 7 hari x 2 orang = 14
- 14 hari x @ Rp. 50.000/ HOK = Rp. 700.000
� Pemeliharaan dilakukan selam 3 tahun, dalam 1 tahun 2 kali pembersihan dan pemupukan.
� Pembersihan dan pemupukan 2x3 tahun = 6 x @ Rp. 50.000/ hari
= Rp. 700.000 x 6
= Rp. 4.200.000
� Rokok 14 hari; 14 bks x 2 x Rp. 7.000 = Rp. 196.000; Rp. 196.000 x 6 kali/ 3 tahun = Rp. 1.176.000
- Garam untuk 1 Ha
= 324kg x Rp. 3.000
= Rp. 972.000
- 1 pohon 50kg x 324 = 16,2 ton
@ Rp. 130.000/pikul
Rp. 1.300.000 x 16,2 = Rp. 21.600.000/ Ha
Total hasil panen
2 (upah panen)
Rp. 21.600.000
2
= Rp. 10.800.000
Total pengeluaran ;
Rp. 8.479.000
= Rp. 10.800.000 - Rp. 8.479.000
Hasil yang didapat
Sub total = Rp. 639.000 Sub total = Rp. 972.000 Sub total = Rp. 520.000 Sub total = Rp. 6.348.000 Rp. 2.321.000/tahun
198
6. Analisa Usaha Nelayan Sungai
Tahapan Modal Pemeliharaan Panen
- BBM 2 ltr / hari
2 ltr/ hari x 1 tahun
Rp. 720 ltr/ tahun x
= Rp. 7.200.000
- Pangilar / unit Rp. 100.000
- Rengge / unit Rp. 80.000
- Buwu / unit Rp. 75.000
- Rawai / set Rp. 150.000
- Salambau / unit Rp. 1.200.000
- Beje / unit Rp. 1.500.000
- Tampirai / unit Rp. 25.000
- Ces p = 7 meter / unit (Badan) Rp. 3.000.000
- Mesin komplit Rp. 2.000.000
- Pangilar Rp. 50.000
- Salambau Rp. 200.000
- Beje Rp. 700.000
- Mesin (badan) ces
Rp. 300.000
- Pangilar 36kg/ unit/ tahun; harga / kg Rp. 15.000
36kg x Rp. 15.000 = Rp. 540.000
- Rengge 36kg/ unit/ tahun; harga / kg Rp. 7.000
36kg x Rp. 7.000 = Rp. 252.000
- Buwu 18/ unit/ tahun; harga / kg Rp. 10.000
18kg x Rp. 10.000 = Rp. 180.000
- Rawai / unit/ tahun
720kg/ unit/ tahun; harga / kg Rp. 15.000
720kg x Rp. 15.000 = Rp. 10.800.000
- Salambau 200kg/ unit/ tahun; harga/ kg Rp. 15.000
200kg x Rp. 15.000 = Rp. 3.000.000
- Beje 450kg/ unit/ tahun; harga/ kg Rp. 7.000
450kg x Rp. 7.000 = Rp. 3.150.000
- Tampirai 36kg/ unit/ tahun; harga/ kg = Rp. 7.000
36kg x Rp. 7.000 = Rp. 252.000
= Rp. 7.200.000 = Rp. 8.175.000 = Rp. 1.250.000 = Rp. 18.174.000
TOTAL KESELURUHAN TOTAL PENGELUARAN ; Rp. 16.625.000 - TOTAL PENGHASILAN Rp. 18.174.000
SISA = RP. 1.549.000/tahun (penhasilan yang didapat)
199
7. ANCAMAN
Ancaman terhadap sumber daya alam di Desa Karuing ini seperti:
- Penyetruman, meracun
- Kebakaran lahan
- Adanya perusahaan swasta yang masuk ke desa
- Banyaknya masyarakat dari luar desa yang mengambil ikan
8. Kalender Musim
Bulan Mata
Pencaharian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nelayan
LK: 80% - Pr: 20% vv vv vv vv vv vv v v v vvv v vv vv v V
Mencari rotan
LK: 80% - PR: 20% v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Berladang (padi)
PR: 50% - PK: 50% v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Pembersihan lahan untuk berkebun
PR : 40% - LK: 60%
v vv vvv vvv vvv
Berkebun karet
LK 50% - PR : 50% vv vv vv vv v v vv
Musim kebakaran v vv vvv vvv vv
9. Pengumpulan Masalah
Masalah Solusi
Perikanan
- Harga jual murah
- Menurunya hasil tangkapan ikan
- Banyaknya masyarakat dari luar desa yang ikut menangkap ikan di wilayah desa Karuing
- Banyaknya masyarakat yang bekerja mencari ikan
- Alat-alat masyarakat banyak yang sudah rusak
- Pelatihan pengolahan pasca panen (pembuataan kerupuk, abon)
- Pembudidayaan ikan lokal
- Pembuataan aturan
- Pengadaan alat tangkap ikan
Mencari rotan
- Harga jual menurun
- Masyarakat tidak memiliki ketrampilan dalam pengolahan rotan (anyaman)
- Kebun rotan masyarakat bila kemarau panjang sering kebakaran
- Belum memiliki pengetahuaan berbudidaya rotan yang berkualitas
- Pelatihan dalam membuataan anyaman rotan
- Adanya pelatihan dalam budidaya rotan yang berkualitas
- Dibukannya pasar untuk menampung hasil kebun masyarakat
200
Masalah Solusi
Berladang padi
- Kesulitan pupuk
- Tidak ada pendampingan dari PPL
- Kesulitan mencari bibit dan obat-obatan
- Hasil panen hanya dikonsumsi sendiri karena tidak banyak hasil panen
- Yang berladang padi sedikit masyarakat
- Sering kebanjiran
- Pendampingan PPL lebih Intensif dilakukan
- Adanya bantuan pupuk dan bibit padi
- Diberikannya pelatihan bercocok tanam padi dilahan gambut
- Pembersihan irigasi secara gotong royong
Berkebun karet
- Kesulitan mencari bibit unggul
- Kurang pengetahuan berbudidaya karet
- Kesulitan mencari pupuk dan harganya mahal
- Kesulitan mencari obat rumput
- Sering kebakaran dimusim kemarau
- Pengadaan bibit unggul untuk karet
- Pelatihan berbudi daya karet di lahan gambut
- Adanya bantuan untuk pupuk dan obat-obatan untuk berkebun
- Pengaktifan RPK dan pengadaan sarana prasarana
10. Sejarah usaha masyarakat :
Tahun Jenis
Usaha 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2005 2010 2014
Nelayan xxxx xxxx xxxx xxx xxx xxx xxxx xxxx xxx
Gemor xxxx xxxx xxxx xxx x x
Logging xxxx xxxx xxxx xxxx
Pantung xxxx xxxx xxxx xxx
Akar klamis xxxx
Hangkang xxxx
Berladang xx xx xx xx xx xx xx x x
Sawit xx xxx
201
11. Matriks Pemeringkatan Masalah
Masalah Kriteria dan Nilai Pembobotan Urutan
Dirasakan oleh orang banyak
Sangat Parah
Menghambat Peningkatan Pendapatan
Total Ranking
Memperbanyak budidaya ikan di kolam terpal
9 8 10 28 II 3
Memanfaatkan lahan masyarakat yang tidak di-kelola dengan berkebun dan berladang
10 10 10 30 I 1
Pembuatan tapal batas TNS
10 10 9 29 II 5
Pembuataan tapal batas antara tanah masyarakat dengan perusahaan sawit
10 10 7 27 III 6
Pelatihan budidaya karet di lahan gambut
10 10 10 30 I 2
Pemdes mendesak PT. Arjuna untuk plasma masyarakat
10 9 6 15 12
Pemberian izin ke ma-syarakat untuk meman-faatkan hasil hutan non kayu di dalam TNS
10 6 7 23 IV 7
Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentang Taman Nasional Sebangau
10 5 6 21 VI 8
Penguataan kelembagaan koperasi
7 4 8 19 VII 10
Peningkatan kinerja Pemdes dalam melayani masyarakat
10 6 4 20 V 9
Sosialisasi dari pihak ketiga tentang maksud dan tujuan secara terus menerus ke masyarakat
10 3 3 16 VIII 11
Pengadaan alat penangkap ikan
10 9 10 29 II 4
202
12. Gagasan Program
Usulan Program Keterangan
1. Berkebun karet dan kopi Melihat seringnya kebakaran lahan akibat lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan maka masyarakat akan memanfaatkan lahan lahan tersebut untuk berkebun guna investasi jangka panjang
2. Budidaya karet PB260
3. Budidaya karet dan kakao
Dengan semakin bertambah pentingnya masyarakat desa untuk memanfaatkan lahan yang terlantar dan memiliki nilai ekonomi jangka panjang masyarakat Desa Karuing membuka lahan guna dimanfaatkan untuk berkebun karet dan yang ada nilai ekonomi
4. Berladang padi Untuk memanfaatkan lahan yang terlantar masyarakat juga memanfaatkan lahan dengan berladang guna pemenuhan kebutuhan beras tidak lagi membeli dari para pedagang dari luar desa
5. Berternak kambing Banyaknya makanan ternak yang tersedia di sekitar desa maka masyarakat juga berharap bisa difasilitasi untuk beternak kambing
6. Budidaya ikan nila dalam keramba
7. Budidaya ikan papuyu
Semakin menurunnya hasil tangkapan ikan maka masyarakat memiliki rencana dalam berbudidaya ikan di kolam maupun keramba dengan melihat potensi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti di atas maka ini salah satu masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan di samping rumah guna budidaya ikan
8. Alat tangkap ikan Mahalnya peralatan tangkap ikan dan semakin menurunnya hasil tangkap ikan dikarenakan salah satu faktor yang menjadi permasalahan dalam hasil tangkap ikan maka masyarakat berencana membuat alat tangkap ikan
BAB IV
Penutup
1. Kesimpulan
Data Analisa Kesimpulan
Hasil tangapan nelayan banyak mengalami penurunan
Disebabkan oleh:
- Adanya penyetruman, peracunan
- Banyaknya masyarakat dari desa lain yang ikut menangkap ikan di wilayah Desa Karuing
- Adanya limbah perusahaan sawit
- Banyaknya masyarakat yang me-nambang d`i Sungai Katingan untuk di desa-desa di atas
- Kondisi air sungai tercemar
Menurunya hasil tangkapan ikan karena banyaknya masyarakat yang melakukan penangkapan ikan tidak memperhatikan keberlangsungan usaha perikanan.
Akibat kualitas air tercemar maka ikan-ikan yang ada tidak bisa bertahan hidup pada kondisi air yang tercemar sehingga diperlukannya budidaya ikan di kolam (kolam terpal)
Hasil pertanian tidak mencukupi buat masyarakat desa (padi, sayur-sayuran)
Seringnya terjadi banjir di Desa Karuing dan irigasi yang tidak berfungsi karena belum ada serah terima kepada desa dari Dinas PU sehingga masyarakat belum bisa memanfaatkan sarana irigasi tersebut
Masyarakat Desa Karuing belum memahami cara bercocok tanam di daerah gambut.
Masyarakat hanya bercocok tanam pada saat musim kemarau panjang dan sering mengalami gagal panen
203
Data Analisa Kesimpulan
Perkebunan masyarakat yang tidak produktif lagi
Harga hasil kebun mengalami penurunan seperti karet, rotan, jelutung
Masyarakat masih kesulitan dalam pengolahan hasil kebun sesuai dengan standar yang diinginkan perusahaan dan bibit yang ditanam oleh masyarakat dari bibit asalan sehingga kualitas hasil juga mempengaruhi
Menurunnya hasil perkebunan diakibatkan masyarakat pengolahan hasil yang tidak sesuai dengan standar sehingga yang mempengaruhi kualitas hasil dan harga jual dan dijual ke tengkulak yang ada di desa maupun dari desa tetangga
Kelembagaan Masyarakat
Balai Taman Nasional Sebangau
Hubungan masyarakat dengan Balai Taman Nasional Sebangau masih jauh dan pengaruhnya kecil
Masyarakat kurang mendapat sosialisasi dari Balai Taman Nasional Sebangau dan manfaat dari adanya Taman Nasional Sebangau tujuan adanya Balai Taman Nasional Sebangau belum tersosialisasi dengan baik di tingkat masyarakat
PKK PKK memiliki pengaruh yang sedang tetapi hubungannya jauh
Tidak adanya dana untuk kegiataan PKK di desa dan PKK yang ada di kecamatan dan kabupaten kurang memberi pelatihan terhadap PKK yang di desa
Karang Taruna Pengaruhnya kecil dan hubungannya jauh
Karang Taruna belum memiliki perencanaan kegiataan tahunan dan tidak ada dana untuk kegiatan Karang Taruna dan perlunya perubahan ulang pengurus Karang Taruna tersebut
2. Rekomendasi
Rekomendasi dari kajian ini diharapkan adanya pendampingan yang intensif dalam implementasi
di lapangan mengingat ini mengunakan kelompok yang sangat banyak dan adanya evalusi rutin
yang dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang ada di tingkat kelompok.
3. Saran
Saran dari pengkajian ini dalam membawa program harus melihat potensi dan permasalahan
yang ada di tingkat desa guna untuk keberlanjutan dalam program tersebut dan adanya rasa
saling memiliki, membuat perencanaan secara bersama-sama dan melibatkan semua
masyarakat. Jangan membuat janji atau apapun yang bisa menimbulkan konflik di masyarakat.
Selain itu perlu disepakati pembagiaan peran yang jelas antara kelompok, Pemerintah Desa dan
WWF supaya ada rasa saling memiliki terhadap program yang dilaksanakan.
204
Lampiran 2 – 8 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Tumbang Bulan
Disusun Oleh:
1. Ma’mun Ansori
2. Fahmi
3. ….
4. Masyarakat Tumbang Bulan
PALANGKA RAYA
September 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul “Studi Strategi
Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Tumbang Bulan”. Kajian ini dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip belajar
dari masyarakat, berbagi pengalaman kepada masyarakat, santai, informal serta
saling menghargai.
Sebagai penyusun laporan, kami menyadari bahwa sebagai manusia yang penuh
dengan keterbatasan kami tidak mungkin dapat menyelesaikan laporan hasil kajian
di Desa Tumbang Bulan ini tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pihak-
pihak yang tanpa pamrih membantu kami dalam melakukan kajian adalah seluruh
warga masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh pemuda masyarakat
Tumbang Bulan, H.M. Yusran HA selaku kepala Desa Tumbang Bulan, Kecamatan
Kamipang; serta Bapak Ir. Adib Gunawan, selaku Kepala Balai Taman Nasional
Sebangau beserta segenap staf Balai Taman Nasional Sebagau.
Tim menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyajian dan pemilihan kata-
kata maupun pembahasan di dalam laporan kajian ini masih jauh dari sempurna.
Karena itu, dengan penuh kerendahan hati Tim mengharapkan saran, kritik, dan
pengarahan yang konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan laporan kajian ini.
Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Palangkaraya, September 2014
Tim Penyusun
I. Kajitindak Desa Tumbang Bulan
Satu langkah dalam membangun kerjasama antara warga masyarakat desa
Tumbang Bulan sebagai salah satu desa di sekitar Kawasan Taman Nasional
Sebangau dengan pihak Balai Taman Nasional Sebangai (BTNS) dan Yayasan
World Wide Fund for Nature (WWF) dalam mengembangkan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan masyarakat, adalah melakukan
suatu kajian bersama warga masyarakat. Gambaran pengkajian tersebut adalah
sebagaimana disampaikan dalam laporan ini.
A. Latar Belakang
Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri
Kehutanan No. 423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dengan
luas + 568.700 ha. Kawasan ini terletak di antara Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sebangau dan Katingan, serta secara administratif berada di wilayah Kota
Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi
Kalimantan Tengah.
Ekosistem gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang
kondisinya relatif masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya, dan
dalam kondisi alami memiliki ciri-ciri khusus serta menyediakan berbagai
produk alam dan fungsi ekologi yang penting. Lahan gambut merupakan
kawasan yang memainkan peranan sangat penting sebagai gudang
penyimpanan karbon dan pengatur tata air. Karena itu kestabilan ekosistem
ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di
tingkat lokal, regional, nasional maupun global.
Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional, produk hutan
berupa kayu komersial di kawasan ini telah dimanfaatkan oleh 13
perusahaan kayu, sedangkan berbagai produk non-kayu seperti lateks, buah-
buahan, bahan obat-obatan, kulit dan bunga telah dimanfaatkam
masyarakat lokal sebagai tambahan sumber pendapatan.
Hutan rawa gambut juga menjadi habitat ikan untuk pemijahan,
pendewasaan dan sumber makanannya. Ikan dari hutan rawa gambut
merupakan sumberdaya yang penting bagi masyarakat lokal, baik sebagai
sumber pendapatan maupun sebagai sumber protein dalam pola makan
mereka sehari-hari.
Survei yang dilakukan oleh Edutama Envirocare menunjukkan masih
intensifnya pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan Taman
Nasional (lihat Lampiran 1).
Intensitas pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan tentunya
berpengaruh ter-hadap keutuhan ekosistemnya sehingga BTNS dan WWF
Indonesia mendorong pengembangan mata pencaharian berkelanjutan di
desa-desa sekitar Taman Nasional Sebangau agar pengembangan
perekonomian di zona penyangga selaras dengan tujuan-tujuan perlindungan
kawasan. Saat ini tercatat ada 39 desa dan kelurahan yang bertetangga
langsung dengan kawasan Taman Nasional Sebangau, dan delapan desa
lainnya yang memiliki akses dan memanfaatkan sumberdaya di dalam
kawasan tersebut. Hingga saat ini tercatat ada 17 desa/kelurahan yang telah
mendapat bantuan program pengembangan mata pencaharian
berkelanjutan. Meskipun belum pernah diadakan evaluasi terhadap program-
program ini, namun melalui observasi diperoleh kesan bahwa program-
program itu belum secara signifikan memberikan dampak yang baik pada
upaya perlindungan kawasan maupun pada upaya pengembangan
perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Karena itu dianggap perlu
untuk memahami situasi perekonomian terkini di zona penyangga melalui
sebuah studi komprehensif sebagai dasar untuk selanjutnya mengembang-
kan strategi pengembangan mata pencaharian berkelanjutan yang lebih
tepat sasaran dan tepat-guna.
B. Desa Tumbang Bulan
Pada awalnya Desa Tumbang Bulan adalah sebuah pedukuhan tempat orang
menanam sayur, padi dan mencari ikan. Nama Muara Bulan diambil dari
nama sungai yang tepat ada di seberang kampung yang namanya Sungai
Bulan, menurut Pak Mardi Ipung nama Sungai Bulan mungkin karena kalau
orang sudah bekerja di sana tidak ada yang dalam hitungan hari atau minggu
tapi memakan waktu bulanan, makanya sungai tersebut di beri nama Sungai
Bulan. Sungai tersebut dulu tempat mencari hasil alam berupa pantung,
hangkang dan lain-lain. Kebanyakan yang berusaha di sana adalah orang dari
Mendawai, karena merasa jauh ada tiga KK yang pada sekitar tahun 1954
adalah Pak Jata/Bapa Amas (menurut informasi Pak Jata berasal dari
Kahayan), Ukam, dan Pak Mansur, mereka memutuskan untuk tinggal di
sana.
Sekitar tahun 1958 ditunjuk Pak Mahyudin sebagai Kepala Dusun Muara Bulan
dengan desa induk di Mendawai, Kecamatan Katingan Kuala. Pada awalnya
nama desa ini adalah Muara Bulan, namun karena ada kesalahan cetak oleh
pemerintah sehingga menjadi Tumbang Bulan.
Legenda Sungai Bulan
Dulu ada dua bersaudara orang Kahayan yang tinggal di Sungai Bulan untuk
mencari ikan, mereka pasang bubu (lukah) dll. Pada saat melihat bubunya
ternyata di dalam ada telur yang lumayan besar, yang karena merasa tidak
ada gunanya maka dia buang saja telur tersebut. Ternyata besoknya telur
tadi ada lagi di dalam bubu mereka dan terus dibuang lagi, kejadian ini
terjadi sampai tiga hari berturut-turut. Karena merasa bosan setiap hari ada
telur tersebut maka diambil lah telur tadi oleh sang kakak dan dibawa ke
pondok dan dimasaknya. “Dik kita bagi dua ya telur ini buat adik sebelah
dan buat saya sebelah”. Lalu sang adik bilang “Ngga ah kak saya ngga
berani makan telur yang ngga jelas darimana dan kita ngga tau itu telur
apa”, kata adiknya. Lalu sang kakak saja yang memakan telur tersebut.
Tidak lama setelah mereka makan tiba-tiba sang kakak yang memakan telur
tadi merasa kepanasan. “Dik tolong kipasi saya panas sekali”, kata sang
kakak. Lalu adiknya mencoba mengipasi kakaknya, yang karena tidak merasa
adem juga lalu sang kakak ini menceburkan dirinya ke sungai, tapi tetap
saja dia merasa kepanasan. Setelah agak lama tiba-tiba badan sang kakak ini
tadi manjadi tumbuh sisik-sisik dan tubuhnya semakin panjang menyerupai
ular. “Dik tolong ikat tangan saya ini pakai rotan, biar saya ngga kemana-
mana”, kata sang kakak. Tapi semakin lama badan sang kakak ini semakin
panjang saja seperti ular sampai tinggal kepalanya saja. “Dik mungkin ini
takdir saya sudah seperti ini, tolong kasih tahu orang tua dan keluarga kita
kalau saya ngga akan bisa ketemu lagi sama mereka”. Lalu kemudian dia
berubah jadi ular besar (menurut warga menjadi naga). Dan karena sang
naga tadi bergerak maka banyak sekali pohon rasau yang bertumbangan dan
akhirnya jadi seperti sebuah anak sungai yang sekarang di beri nama
“Hantasan Naga” oleh warga setempat.
Tumbang Bulan desa paling hulu di Kecamatan Mendawai, yang berbatasan dengan
Kecamatan Kamipang, dengan jumlah penduduk kurang lebih 503 dengan 133 KK
yang tercatat dalam data monografi desa tetapi kenyatan bahwa banyak penduduk
tidak ada di desa merantau untuk mencari pekerjaan di luar.
1. Sumber daya manusia
Penduduk Desa Tumbang Bulan memiliki mata pencaharian sebagai
nelayan, bertani dan mencari emas di Sungai Kelaru semenjak ditertibkan
illegal logging 2005. Semenjak ditertibkan kayu tersebut banyak anak-anak
masyarakat Tumbang Bulan putus sekolah sampai SD dan SMP karena tidak
ada biaya.
2. Sumber daya alam
Potensi sumber daya alam yang ada di Desa Tumbang Bulan adalah sungai,
danau, hutan, kebun rotan. Sungai dan danau merupakan akses masyarakat
untuk mencari nafkah dengan mencari ikan seperti behau (gabus), pentet
(lele), kakapar, saluang, baung, lais, tapah sedangkan untuk jenis ikan
keramba adalah ikan tauman. Hutan juga merupakan tempat masyarakat
berusaha untuk mencari kayu bakar dan berburu binatang mencari burung.
Beberapa jenis pohon yang ada di hutan tersebut adalah rangas, kaja, banuas,
kambasira, tilab, takapas. Jenis hewan yang masih ada seperti bekantan,
monyet, burung punai, tabuhan, tampulu, dll. Kebun rotan juga merupakan
aset masyarakat Desa Tumbang Bulan. Jenis rotan yang ada adalah rotan Irit,
rotan taman, rotan sigi, bujungan, ahas.
3. Kondisi fisik Desa Sungai Bulan adalah : a. Pasar Desa, perencanaan pembangunan dilakukan secara bersama
dengan tujan pembangunan ini untuk mempermudah mendapatkan keperluan rumah tangga, dan mempermudah masyarakat menjual hasil pertanian.
b. Puskesdes, mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan, mempermudah ibu hamil mendapat pelayanan kandungan.
c. Irigasi, bisa dipergunakan sebagai akses ke lahan pertanian, sebagai tempat untuk ikan dan tempat untuk pengairan sawah.
d. Titian Desa, sebagai jalan masyarakat di desa, sebagai jalan untuk menghindari terjadinya banjir. Menurut masyarakat jalan desa yang terbuat dari kayu kurang panjang.
e. Rumah Ibadah (Masjid), untuk melaksanakan ibadah, sebagai tempat untuk belajar alqur’an bagi masyarakat. Menurut masyarakat perlu ada renovasi.
CITA-CITA BIDANG LINGKUNGAN & SUMBER DAYA ALAM 1. Air bersih 2. Lahan pertanian yang bebas dari hama penyakit 3. Budidaya karet dan pemasarannya (berhasil dari kebun dan pemasaran yang
mudah dengan harga yang layak) 4. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan (tidak memakai strum dan racun) 5. Penanganan banjir dalam bidang pertanian 6. Peraturan mengenai pembakaran danau-danau untuk mencari ikan 7. Pembentukan tim pengawasan dalam pembakaran danau-danau dan
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (nyetrum dan racun). 8. Pemanfaatan lahan tidur untuk perkebunan karet dan lain-lain
Sumber RPJMDes
f. Taman Iq’ro, sebagai tempat untuk anak-anak belajar al-qur’an, meningkatkan pemahaman anak-anak tentang agama, akhlak anak-anak menjadi semakin baik. Menurut masyarakat gurunya perlu ditambah, bangunannya perlu dibuat karena masih di tempat warga, mendaftarkan akta ke notaris.
g. Kantor Desa, sebagai tempat musyawarah masyarakat desa. Menurut masyarakat perlengkapan Kantor Desa masih kurang, dan penerangan Kantor Desa masih belum ada.
h. Gedung SD dan SMP, agar anak-anak tidak jauh menuntut ilmu, bisa melanjutkan pendidikan SMP di desa, gurunya jarang ada di tempat, peralatan belajar-mengajar masih kurang.
i. Perkebunan Rotan dan Karet, menambah pendapatan masyarakat, berkurangnya lahan terlantar. Menurut masyarakat pemasarannya susah, belum ada pelatihan pengelolaan hasil kebun sesuai dengan standar yang baik.
j. Perikanan, menambah penghasilan masyarakat, menambahan protein untuk masyarakat. Menurut masyarakat perlu pembudidayaan ikan di keramba, jumlah bantuan dari WWF masih sedikit hanya ada 18 KK yang dapat.
k. Pelabuhan Desa, untuk persinggahan taksi klotok, sebagai tempat bongkar muat. Menurut masyarakat kurang besar bangunannya, bahan bangunannya yang kurang baik tidak dari kayu ulin.
4. Finansial
Masyarakat Desa Tumbang Bulan tidak memiliki lembaga keuangan /
koperasi tempat menabung, tetapi sebagian masyarakat memiliki rumah di
luar desa seperti di Palangka Raya hasil kejayaan zaman Kayu. Akan tetapi
mereka memiliki asset atau tabungan yang sifatnya milik perorangan dalam
bentuk barang seperti tanah pekarangan serta rumah, kebun rotan dan karet,
emas, serta rumah walet (hampir 24 rumah dan terus bertambah). Demikian
juga bantuan yang diberikan, baik dari Pemerintah maupun dari pihak ketiga,
merupakan aset yang dimiliki desa seperti: Pusyandu, bantuan keramba oleh
WWF dan BTNS, jalan desa, irigasi dan sawah yang siap tanam, bantuan klotok
dan mesinnya dari Dinas Perikanan, bantuan buku untuk Perpustakaan Desa
(WWF), bantuan pembangunan gedung SD dan SMP, perumahan guru dan
perpustakaan dari Provinsi, pembelian tanah untuk desa (dijadikan lapangan
bola), program pemerintah melalui penanaman KBR (karet dan jabon).
CITA-CITA BIDANG SOSIAL BUDAYA 1. Pendidikan
- Penambahan guru PNS SD dan SMP
- Pembagunan gedung sekolah TK dan guru TK
- Pembentukan lembaga anyaman dan pelatihan anyaman
- Olah raga
- Pelatihan dan pengadaan alat rias pengantin
- Kursus menjahit
- Pelatihan membuat bahan makanan abon, kripik, nugget, kerupuk ikan
- Pelatihan hadrah, dan maulid habsyi 2. Kesehatan
- Pengobatan gratis
- Persalinan gratis dan vitamin bayi dan balita
- Gotong royong membersihkan irigasi, memperbaiki jembatan, membersihkan lapagan dan fasilitas umum
- MCK umum (mandi, cuci, kakus) 3. Pemerintahan
- Penambahan honorium Aparat Desa dan BPD
- Penambahan fasilitas Kantor Desa (TV, kipas angin, generator, sound system)
CITA-CITA BIDANG EKONOMI
1. Swadaya pangan (padi)
2. Lapangan pekerjaan banyak
3. Setiap KK memiliki kebun karet, buah, rotan, jelutung agar taraf hidup
masyarakat meningkat
4. Pembuatan tambak ikan lokal yang ada di daerah sendiri seperti tahuman,
papuyu, gabus, lais, baung
5. Peternakan masyarakat seperti ayam, kambing, itik, sapi
6. Berkebun di pekarangan rumah untuk mencukupi kebutuhan keluarga
7. Penganyam diberi pelatihan dan diarahkan hasil anyaman dapat dipasarkan
keluar daerah (anyaman rotan, bambu, purun)
8. Pelatihan budidaya karet
9. Pembudidayaan/ternak burung
10. Pelatihan meubel
11. Pelatihan cara pengelolaan hasil perikanan seperti, presto, abon, krupuk
ikan
12. Budidaya jamur
13. Koperasi yang aktif di segala bidang
14. Lahan pertanian yang terawat
15. Alat komunikasi dan listrik
Sumber : Dokumen RPJMDes
4. Olah Raga – Pembuatan lapangan bulu tangkis
- Penimbunan lapangan bola dan lapangan volly Sumber : RPJMDes
5. Sosial Kelembagaan Desa Tumbang Bulan menurut masyarakat sekarang :
1. Karang Taruna. Walaupun baru dibentuk sepertinya karang taruna sudah bisa
bikin anak muda mulai bersatu (Ketua KT).
2. Remaja Masjid. Dulu memang ada dan lumayan aktif, tapi sekarang sudah
tidak seperti dulu karena anggotanya banyak yang keluar dari kampung.
Kegiatan yang dilakukan dulu selain PHBI juga melakukan gotong-royong
misalnya untuk melakukan pembersihan kuburan, pembersihan halaman
masjid, juga pembersihan masjid di setiap Kamis sore,dan Jumat pagi.
3. Arisan Yasinan bapak-bapak setiap malam Jum’at dulu ada tapi sekarang
sudah tidak jalan lagi.
4. Arisan Yasinan ibu-ibu setiap Jum’at siang, anggotanya semua ibu-ibu, tapi
biasanya yang turun ke arisan cuma sekitar 20% karena banyak yang sibuk.
Manfaat yang besar cuma untuk ibu-ibu karena anggota semua ibu-ibu, tapi
kami yang bapak-bapak memang mendukung untuk kegiatan ini.
5. R P K. Pada tahun 2008 pembentukan RPK dan ada alat dulu dari CARE, tapi
sekarang sudah tidak ada lagi, tinggal selangnya saja.
Keanggotaan/kepengurusan harus dirombak lagi karena banyak anggota yang
sudah tidak ada di kampung karena cari pekerjaan di luar. Dengan keadaan
yang sekarang walupun ada kebakaran kemungkinban masyarakat cuma
nonton saja karena tidak ada alat, dan anggota RPK banyak yang tidak ada
di kampung. Pernah ada wacana waktu rapat di BAPPEDA kalau nanti semua
anggota RPK akan dikasih insentif dan diasuransikan mengingat pekerjaan ini
lumayan beresiko.
6. PKK. “Menurut saya ngga ada kegiatan”. Dana PKK jarang tersalurkan
sebagaimana mestinya, ini yang bikin ibu-ibu pengurus/anggota PKK malas
mengadakan/turun ke kegiatan PKK. “Kata ibu-ibu PKK lebih bagus di masa
pemerintahan yang lalu”.
7. BPD berfungsi dengan baik.
8. Fardhu Kifayah. Sangat bermanfaat buat masyarakat. Kalau ada yang
meninggal semua sudah disediakan oleh Fardhu Kifayah. Iuran yang dipungut
dari setiap KK adalah Rp 2.000/ bulan.
9. Tunas AMPI (dulu ada tapi sekarang sudah tidak ada lagi).
10. GAPOKTAN. Walaupun seharusnya yang dapat hanya 20 KK tapi bisa diambil
kebijakan untuk membagikan yang semua anggota kelompok dan yang bukan
anggota kelompok. Banyak anggota Gapoktan yang tidak menetap di
kampung.
11. R M U. Ragu-ragu karena belum ada kejelasan. “Katanya dulu mau jual
karbon teryata sekarang mereka juga memelihara orangutan“. “Karena ada
RMU lahan sawit yang awalnya 18.000 Ha menjadi 12.000 Ha”.
12. PT PEAK. Nanti kalau jadi manfaatnya lumayan besar karena masyarakat
bisa bekerja di sana walaupun kita tidak punya pendidikan yang memadai.
Kalau di RMU yang bisa kerja di sana hanya orang yang punya pendidikan
tinggi. “Harapan kami lebih besar sama sawit ketimbang RMU”.
13. KUD Usaha Bersama. Manfaatnya masih belum dirasakan karena baru
dibentuk, badan hukum juga belum ada. Anggotanya seluruh masyarakat, itu
yang bikin lebih dekat dengan masyarakat.
14. FORMAS. Belum ada dasar hukum yang kuat dan informasi yang belum jelas.
Jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan TN dan WWF saja, bukan
kepentingan masyarakat yang dibawa, karena biasanya bantuan-bantuan itu
ada yang dimau.
15. POSPOL. Hanya menjaga keamanan masyarakat.
16. Posyandu. Imunisasi, peningkatan gizi anak, kadernya jarang ada di tempat,
bidannya tidak ada, penimbangan balita setiap tanggal 14.
17. Koperasi TKBN, jumlah anggotanya 38 orang.
18. Pustu, POSKESDES. Imunisasi, peningkatan gizi anak, kadernya jarang ada di
tempat, bidannya tidak ada, penimbangan balita setiap tanggal 14.
19. Komite Sekolah. Mewakili wali murid, Kepala Sekolah jarang koordinasi
dengan Ketua Komite.
20. SRK (Suara Rakyat Katingan). Banyak yang
tidak tahu tentang SRK. Kadang-kadang Polisi
takut sama LSM.
21. BTNS. Tidak ada sosialisasi hanya mau
klaim wilayah saja. Katanya mau
menyejahterakan masyarakat, tetapi mengapa
hanya hutan sama binatang saja yang
diurus.TNS itu memikirkan yang tidak ada, tapi
malah yang ada sekarang tidak dipikirkan. Selama ini hanya WWF saja yang
berkecimpung/aktif walaupun mereka hanya mitra TNS.
C. Tujuan Pengkajian
Tujuan kajian secara umum adalah: Memberdayakan masyarakat dalam
perencanaan pengembangan ekonomi mandiri berbasis sumber-sumber
penghidupan secara berkelanjutan.
Sementara beberapa tujuan khususnya adalah:
a. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam
perumusan strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan masyarakat di sekitar TN Sebangau.
b. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber
penghidupan berkelanjutan di tingkat kawasan.
c. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan untuk Desa Tumbang Bulan.
II. Metodologi Kajitindak Partisipatif
Kegiatan kajitindak ini dilakukan dengan metode pendekatan yang tekanannya
pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan dari mulai
mengamati, meng-analisa, dan membuat perkiraan serta merencanakan,
bahkan hingga pelaksanaan program. Metode ini menggunakan prinsip-prinsip
belajar dari masyarakat sehingga fasilitator lebih berperan sebagai pemandu.
Diharapkan bahwa melalui penggunaan metode tersebut akan tercipta suasana
saling belajar, saling berbagi pengalaman, secara santai dan (informal) serta
saling menghargai dan diharapkan melibatkan seluruh masyarakat.
Cakupan dan lokasi kajian adalah Desa Tumbang Runen, Kecamatan Kamipang,
Kabupaten Katingan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data sekunder dan dokumen tertulis dari berbagai
sumber seperti laporan, catataan peneliti, koran, majalah dan foto-foto
yang diterbitkan oleh instansi teknis.
2. Kunjungan awal/observasi, membangun kepercayaan, dan keterbukaan
untuk pengembangan perencanaan kegiatan kajitindak.
3. Bersama masyarakat melihat secara langsung potensi desa, danau,
kebun dan kondisi lingkungan secara umum.
4. Melakukan pengkajian dengan pengamatan langsung, diskusi terfokus
dan wawancara semi–terstruktur, serta berbagai diskusi yang
mengunakan beberapa alat bantu kajian, antara lain: Alur Sejarah Desa
(berbagai kejadian penting menurut masyarakat desa), Diagram Venn
untuk menganalisa hubungan dan manfaat kelembagaan desa, Kalender
Musim tentang kondisi alam, Transek Desa untuk melihat kondisi
sumberdaya alam desa, Sketsa Desa tentang sebaran sumberdaya alam
dan ancaman-ancaman terhadap sumberdaya alam tersebut, Matriks
Mata Pencaharian untuk menelaah sumber penghidupan desa, dan
Perencanaan Program.
Informasi, data, masalah, ancaman dan lainnya yang diperoleh sebagai hasil
kegiatan yang dilakukan disampaikan dalam forum diskusi yang melibatkan
perwakilan masyarakat dengan tujuan pengecekan informasi tersebut sehingga
dapat dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap informasi tersebut. Untuk
selanjutnya, dilakukan pengelompokan/indentifikasi masalah dan ancaman
sehingga peserta pertemuan dapat menyusun perencanaan program
penyelesaian masalah tersebut bersama.
III. Pelaksanaan Kajian
A. Rencana Kegiatan
Kegiatan kajitindak di Tumbang Bulan dilaksanakan pada tanggal 16 - 21
September 2014 mengikuti jadwal pelaksanaan di lapangan yang disepakati
bersama dengan warga masyarakat serta disesuaikan dengan jadwal mereka.
Jadwal kegiatan di lapangan yang disepakati tersebut ditampilkan dalam
Tabel 1.
Tabel 1: Alur Proses Kegiatan di Lapangan
Hari/ Tanggal
Waktu Kegiatan / Topik Lokasi Instrumen
Selasa,
16/9/2014
10.00 - 16.00
koordinasi dengan Kepala Desa (perencanaan pertemuan awal)
Rumah Kepala Desa
Surat, diskusi
Rabu, 17/9/2014
Malam Pertemuan awal penyampaian maksud dan tujuan Tim kajian
Rumah Reming (Tumbang Bulan)
Menyampaian semua alat yang akan digunakan
Kamis, 18/09/2014
Pagi Sejarah desa Balai Desa Alur sejarah
Pagi Mata pencaharian, kalender musim
Rumah Kepala Desa
Matriks mata pencaharian (peserta Ibu-ibu)
Sore Potensi desa Balai Desa Transek Desa
Malam Sketsa Desa, potensi Rumah H. Anto
Peta Desa
Jum’at, 19/09/2014
Pagi Wawancara Desa Data Sheet
Malam Kelembagaan desa dan kondisi Tumbang Bulan
H. Anto Diagram Venn, Bagan Kecenderungan
Sabtu,
20/09/2014
Malam Pleno Balai Desa Pengambilan seluruh istrumen
Catatan: Di luar proses pengkajian ini, Tim juga melakukan beberapa wawancara dan
kegiatan pengamatan langsung di sekitar Desa Tumbang Bulan
B. Tim Pelaksana
Proses kajitindak partisipatif dipandu oleh Tim terpadu yang terdiri dari staf
Balai Taman Nasional Sebangau, staf WWF, dan warga masyarakat desa
sebagai berikut:
1. Fahmi Nurjaman (Staff Balai Taman Nasional Sebagau)
2. Ma’mun Ansori (WWF-Indonesia Kalimantan Tengah)
3. Deny Kurniawan (Staff Balai Taman Nasional Sebagau)
4. Muhammad Effendi (masyarakat Tumbang Runen)
5. Masyarakat Tumbang Bulan
C. Pelaksanaan Kajian
Secara umum kegiatan kajian dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
disepakati. Rata-rata peserta tiap pertemuan adalah 35 orang, baik laki-laki
(80%) dan perempuan (20%), tetapi dalam prosesnya terkait pengkajian mata
pencaharian dan kalender musim seluruhnya dihadiri oleh ibu-ibu. Partisipasi
warga masyarakat yang hadir dalam diskusi hidup dan berkembang, ini terlihat
setiap gagasan atau pendapat dari peserta selalu dibahas bersama yang
didasarkan dengan kondisi lapangan yang ada.
Beberapa kendala yang dihadapi adalah diskusi selalu diadakan malam hari rata
–rata masyarakat capek dan sebagian masyarakat tidak datang (istirahat),
enggan mengungkapkan masalah yang ada di desa karena menyangkut
masalahnya peserta diskusi (persoalan tidak pernah diikutkan dalam program
WWF-Indonesia Kalimantan Tengah). Serta pada waktu pengkajian rata-rata
masyarakat di siang hari mengerjakan ladangnya.
Beberapa kegiatan berlangsung terlampau lama sehingga sebagian peserta
meningggalkan ruangan sebelum acara berakhir.
IV. Pokok-pokok Permasalahan
Dari berbagai pengamatan dan diskusi pengkajian telah diidentifikasi beberapa
pokok persoalan yang bernilai penting bagi masyarakat Tumbang Bulan sebagai
berikut:
A. Pertanian
Sektor pertanian merupakan pilihan
untuk pemenuhan kehidupan
masyarakat Desa Tumbang Bulan sejak
tahun 2006 pemerintah melalui Dinas
Pekerjaan Umum (PU) melakukan
pembangunan Irigasi cetak, yang
mana masing- masing kepala rumah
tangga memiliki lahan yang dibagi
oleh desa.
a. Baru belajar dan mencoba
Dari sejarahnya bahwa masyarakat desa Tumbang Bulan adalah
memanfaan hutan di kawasan Sebangau, khususnya di Desa Tumbang
Bulan dan sekitarnya sudah berlangsung lama sejak kawasan ini masih
dikelola oleh salah satu perusahaan HPH PT Semanggang Jaya sejak
tahun 1972. Sejak saat itu banyak pendatang yang mulai menempati
desa tersebut yang berdatangan dari berbagai wilayah terutama
wilayah pesisir dan dari daerah Pegatan dan Mendawai dan menjadi
penduduk Tumbang Bulan. Selanjutnya masyarakat sekitar Muara
Bulan mulai memanfaatkan sumber daya alam terutama bekerja di
sektor kayu yang berada di sekitar Sungai Bulan, namun kayu-kayu
yang dimanfaatkan masih berdiameter besar yaitu di atas 60 cm dan
masih menggunakan peralatan manual. Pemanfaatan kayu ini mulai
dilakukan masyarakat sejak tahun 80-an, dan kemudian ditertibkan
melalui Inpres illegal loging Nomor 4 Tahun 2005 yang dikeluarkan
oleh Presiden SBY dan dilakukan penertiban secara menyeluruh di
seluruh daerah di Indonesia termasuk daerah Katingan. Ini merubah
pola hidup mereka sehingga banyak yang beralih profesi bahkan
meninggalkan Desa Tumbang Bulan.
Bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ini
untuk kebutuhan beras. Masyarakat Tumbang Bulan cukup menebas,
membakar, menanam (cara tugal) dan tinggal (sedikit merumput).
Menurut keterangan Sabirin, “Ikei harun mimbul pare tilu kali’i ji
punak tutuk limbah irigasi imbangun, ji kedue gagal panen” (kami
baru menanam padi 3 kali ini setelah irigasi dibangun, itupun
menanam padi yang kedua gagal panen). Pembinaan dari petugas
penyuluh pertanian tidak pernah melakukan pembinaan di desa,
walaupun di Desa Tumbang Bulan ada Gapoktan yang terdiri dari 3
kelompok (Ariansyah, H. Anto, dan Syarial) yang hampir setiap
tahunnya mendapat bantuan dari Dinas Pertanian berupa bibit, pupuk
dan obat-obatan, sayang tidak semua anggota masyarakat masuk
kelompok sehingga tidak melakukan penanaman (ada sebagian
kelompok juga membagikan bibit kepada warga masyarakat yang
tidak masuk dalam kelompok).
b. Lahan sering terjadi banjir
Hampir seluruh desa di sepanjang Sungai Katingan persoalan banjir
merupakan kendala yang dihadapi oleh masyarakat desa, sedikit
berbeda dengan Desa Tumbang Bulan karena desa ini merupakan
daerah pasang-surut jika terjadi banjir waktu banjirnya relatif tidak
lama. Hanya saja berbekal pada pengalaman yang ada tanpa
didampingi dari pemerintah membuat masyarakat Tumbang Bulan
pasrah dan kemungkinan gagal panen, ini menurut mereka adalah
disebabkan oleh:
1. Irigasi lahan pertanian kurang dalam, perlu adanya pendalaman
irigasi tersebut sehingga berjalan dengan fungsinya.
2. Irigasi yang dibangun tidak menembus Sungai Katingan
sehingga air tidak mengallir sesuai yang diharapkan dan
tertahan di lahan pertanian desa.
3. Perlu adanya penambahan panjang irigasi.
c. Mahalnya biaya pengolahan lahan
Walaupun lahan pertanian sudah tersedia, tetapi lahan kondisinya
masih harus menebas, merumput dan membakar setiap tahunnya.
Jika setiap KK memiliki 2 Ha perlu 1 bulan untuk menyiapkan lahan
tersebut siap tanam, untuk mengunakan buruh sudah relatif mahal
menurut mereka 70-80 ribu perhari. Itupun jika hasil padi yang
mereka tanam menghasilkan, sehingga banyak para petani tidak
mengolah lahannya atau tidak bercocok tanam. Tetapi sebagian
petani juga tetap menanam dengan prinsip ada padi aman kebutuhan
rumah tangga. Bagaimana cara mengolah lahan dengan alat yang
tepat guna sehinga produktivitas hasil meningkat dan menanam tidak
dilakukan satu tahun sekali. Kegiatan membakar menurut mereka
biayanya cukup murah tetapi ada kekhawatiran bahwa ikut terbakar
juga tanaman di sekitar kebun. Hanya menanam padi saja yang sistem
gotong royong.
B. Perkebunan
Terlena dengan zaman keemasan kayu, di bidang perkebunan lambat.
Masyarakat Desa Tumbang Bulan baru mengembangkan jenis tanaman
perkebunan.
1. Karet
Masyarakat Tumbang Bulan mulai menanam karet tahun 2006,
melahui proram rehabilitasi lahan yang salah satu jenisnya adalah
karet. Delapan tahun sudah rata-rata tanaman karet yang
ditanam, jika melihat siklus perkembangan karet seharusnya karet
tersebut seharusnya sudah bisa disadap. Kenapa demikian,
kurangnya perawatan dan terjadi kebakaran hebat pada tahun
2007 mengakibat banyak kebun masyarakat terbakar . Jadi karet
yang sisa-sisa kebakaran sebagian sudah siap disadap, harganya
murah dan tidak ada pembeli. Masyarakat Tumbang Bulan
membiarkan kebun-kebun karet mereka tidak diurus.
2. Rotan
Saat ini komoditi yang dapat diharapkan/diandalkan masyarakat
Kalimantan Tengah adalah rotan karena kegiatan-kegiatan ilegal
(penebangan & penambangan) dilarang. Hampir 80% masyarakat
Desa Tumbang Bulan memiliki kebun rotan. Menurut mereka rotan
yang merupakan tanaman merambat memerlukan pohon untuk
pertumbuhannya, maka dengan sendirinya pembudidayaan rotan
secara tidak langsung akan melestarikan tumbuhan lain di
sekitarnya (pohon). Namun harganya saat ini tidak sesuai dengan
harga bahan sembako dan tidak ada nya pembeli merupakan salah
satu penyebab tidak terurusnya rotan ini. Mengapa masyarakat
masih mempertahan kebun rotan :
a. Budidaya rotan tidak memerlukan pupuk kimia (anorganik)
atau boleh dikatakan ramah lingkungan termasuk produk yang
dihasilkan.
b. Beberapa jenis buah rotan juga diperlukan untuk konsumsi.
c. Dalam kehidupan orang Dayak rotan memiliki nilai spiritual,
budaya dan seni.
d. Kultur masyarakat Dayak (khususnya di Kabupaten Katingan)
yang terikat dengan pengembangan/budidaya rotan.
e. Penggunaan-penggunaan lain selain ekonomi, spiritual,
budaya dan seni.
Sejauh ini masyarakat Tumbang Bulan hanya memanfaat rotan
yang ditanam untuk kebutuhan anyam-anyaman dan sebagai
bahan pembuat perangkat ikan.
3. Sengon
Feri adalah salah satu warga Tumbang Bulan yang pernah menjual kayu
sengon dengan harga Rp 325.000. Ini menunjukkan bahwa sektor
perkebunan masih menjadi tumpuan bagi masyarakat Tumbang Bulan,
walaupun sektor perkebunan ini masa panennya tidak secepat
pengembangan lainnya.
4. Program lainnya
Perkebunan bagi pihak lainnya, baik swasta dan pemerintah masih menjadi
primadona yang menjadi incaran bagi semua pihak, diantaranya:
a. Program Kebun Bibit Rakyat (KBR)
Tahun 2014, Tumbang Bulan mendapat program rehabilitasi hutan dan lahan
melalalui program KBR, 2 kelompok yang terlibat dalam kegiatan ini dengan
pengembangan jenis pohonya adalah jenis jabon (jenis pohon yang cepat
tumbuh yang dimanfaatkan kayunya, karakteristik kayunya tidak jauh
dengan sengon), dan yang kedua adalah karet. Tujuan dinas melalui
program tersebut bagaimana ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
Desa Tumbang Bulan, tetapi banyak masyarakat desa tidak tahu akan
program tersebut (ketidak jelasan siapa anggota kelompok tersebut dan
masih didominasi oleh orang-orang tertentu).
b. Sawit PT PEAK (Persada Era Agro Kencana)
Berharap bisa kerja sebagai karyawan dan masuk sebagai anggota plasma
adalah dambaan masyarakat Tumbang Bulan pada umumnya. Dengan adanya
perusahaan tersebut menurut masyarakat tentunya penyerapan tenaga kerja
sehingga tidak jauh harus keluar desa untuk mencari pekerjaan. Ternyata
belum dibukanya perusahaan tersbut peroalan-persoalan di desa
bermunculan, seperti pengurusan KTP dan Kartu Keluaraga yang menurut
ceritanya adalah salah satu syarat untuk masuk dalam anggota koperasi.
Banyak warga masyarakat yang dulunya bukan warga Tumbang Bulan dan
lama meninggalkan kampung mengurus KTP di desa lain. Akhir Agustus 2014
sempat sedikit persoalan yang membuat warga masyarakat terhadap
aktivitas orangutan di areal PT Rimba Makmur Utama yang dilakukan oleh
Yayasan BOSF beserta mitranya, persepsi masyarakat dengan dilepas-liarkan
orangutan di kawasan tersebut menurut mereka PT PEAK supaya tidak jadi
beroperasi di Desa Tumbang Bulan serta pelepasan-liaran tersebut tanpa
koordinasi dengan pihak desa, hanya pemberitahuan dan pertemuan. Dalam
pertemuan tersebut hanya pemberitahuan kegiatan tersebut (5 orangutan
dilepaskan di Sungai Bakumin di areal PT RMU yang berbatasan dengan PT
PEAK.
C. Perikanan
Berada tepat di muara Sungai Bulan dan di pingir Sungai Katingan, Desa
Muara Bulan memiliki potensi sumber daya ikan yang berlimpah. Kondisi ini
20 tahun yang lalu seperti pengakuan Ibu Arnian, “Sebelum menangkap ikan
berani meminjam uang dulu untuk modal untuk tiga hari sudah bisa
mengembalikan, sekarang untuk makan sehari saja tidak cukup”. ada
beberapa hal yang mempengaruhi menurut masyarakat Desa Tumbang
Bulan:
a. Modal usaha ikan (untuk peralatan alat tangkap cukup mahal);
b. Banyak aktivitas penangkapan ikan yang merusak (strum);
c. Banyaknya masyarakat desa dari luar Tumbang Bulan;
d. Sungai Bulan tertutup dengan rasau sehingga banya ikan yang sembunyi
di bawah rasau tersebut;
e. Menurut orang tua bahwa usaha ikan di Sungai Bulan dan Desa Tumbang
Bulan ditutup dengan mistis.
Secara aturan bahwa di akhir Maret 2014, Pemerintah Desa dan masyarakat
Tumbang Bulan menyusun Peraturan Desa, salah satunya tentang bagaimana
pengaturan untuk perikanan. Tetapi bagaimana implementasi di lapangan
masih banyak kendala-kendala karena kesadarartahuan masyarakat,
khususnya Desa Tumbang Bulan, menurut Kepala Desa H.M. Yusran HA masih
rendah.
Walaupun hasil tangkapan ikan menurun, usaha ikan masih menjadi
tumpuan hidup bagi masyarakat Tumbang Bulan. Masih banyak pondok-
pondok nelayan di sepanjang Sungai Bulan seperti di sungai Musang,
Damang, Teluk Beruang dan Muara Akah. Seperti Ampron, warga
Banjarmasin tetapi sudah menjadi warga Tumbang Bulan, mencari ikan
adalah salah satu sumber utama dan ini adalah sumber penghidupan selama
ini.
Akses pemasaran salah satu penyebab kondisi turunnya tangkapan ikan,
yang sebenarnya masyarakat Tumbang Bulan menyadari hal tersebut.
Bersama WWF-Indonesia Kalimantan Tengah dan kelompok masyarakat
mencoba budidaya ikan dalam keramba, menurut pengakuan Agus Sofian
bahwa budidaya ikan ini sebenarnya berhasil tetapi kelompok tidak
melanjutkan karena kesulitan untuk memasarkan.
D. Pariwisata
Bukit Bulan mempunyai legenda yang diceritakan di atas, secara kasat mata
ada suatu keistimewaan tersendiri karena bukit ini di tengah–tengah rawa
gambut. Vegetasi diatasnya terdapat pohon ulin, cengkeh, cempedak.
lombok, terong asam yang tidak semestinya besarnya. Dan pohon ulin
biasanya pohon ini tumbuh di dataran tinggi daerah hulu sungai, dengan
potensi yang luar biasa membuat daya tarik tersendiri bagi wisata alam dan
penelitian. Dengan perjalan kurang lebih 5 jam dari Desa Tumbang Bulan
mengunakan ces dan dilanjutkan berjalan kaki sekitar 3 km ke bukit
tersebut.
E. Apa yang menghasilkan
Semenjak aktivitas illegal logging ditertibkan, masyarakat Tumbang Bulan
banyak masyarakat beralih profesi :
a. Bongkar-muat kayu PT Rinanda dan PT Graha, suatu pilihan untuk
bertahan hidup.
b. Mencari burung. Trend harga burung cucak hijau di pasar harganya
cukup relatif mahal sehingga banyak masyarakat Desa Tumbang Bulan
ikut berburu burung cucak hijau. Harganya yang jantan berkisar antara
Rp 300.000,- sampai Rp 350.000 perekor; sementara untuk yang betina
Rp 100.000 – Rp 150.000. Cukup modal rekaman dan burung pemikat
(parit) berburu burung cucak hijau dilakukan masyarakat Tumbang
Bulan, disamping dari segi pemasaran cukup mudah dengan cara
pembayaran: “Dapat langsung bayar dan diberi modal dulu oleh
penampung“. Penampung burung ini juga ada di Desa Tumbang Bulan
dan juga berasal dari Desa Galinggang. Karena bisnis burung ini cukup
menggiurkan banyak masyarakat sampai penegak hukum (Polisi) ikut
melakukan pekerjaan burung.
c. Penanaman 1000 Ha di Taman Nasional Sebangau oleh Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (BPDAS)
Terlibat dalam kegiatan pengadaan bibit dan penanaman dalam kegiatan
rehabilitasi hutan salah satu aktivitas yang dilakukan masyarakat pada
tahun 2013 – 2014. Walaupun menurut mereka pembiayaan kegiatan
tersebut relatif kecil tetapi oleh masyrakat Tumbang Bulan dikerjakan
karena tidak ada pilihan kagi. Dari hasil pemeliharan P1, banyak
tanaman tidak ditanam ini salah satu dampak dari relatif kecilnya upah
masyarakat dan pengawasan lapangan.
d. Terlibat dalam kegiatan Restorasi Sungai Bulan (WWF-Indonesia
Kalimantan Tengah)
Upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini adalah dengan
melakukan upaya restorasi, termasuk di dalamnya adalah rewetting
(pembasahan) dengan membuat dam pada kanal-kanal dengan tujuan
memperbaiki kondisi hidrologi lahan dan kegiatan penanaman kembali,
baik pengkayaan jenis maupun penghijauan. Jenis kegiatan penanaman
ini disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lahan yang akan ditanami
dan juga kesepakatan dengan masyarakat. Untuk mengatasi degradasi
hutan dan lahan gambut harus diupayakan mengembalikan kondisi
hidrologi ekosistem kawasan melalui kegiatan penutupan kanal (canal
blocking). Dengan menutup kembali kanal-kanal yang ada, maka
diharapkan tinggi muka air dan retensi air di sekitar hutan dan lahan
gambut dapat dipertahankan sehingga dapat meminimalisasi terjadinya
bahaya kebakaran di musim kemarau dan memudahkan upaya
rehabilitasi kawasan yang terdegradasi. Terlibat dalam kegiatan
tersebut juga sedikit menambah pendapatan mereka, salah satunya
terlibat dalam :
a. Pengembangan mata pencaharian berkelanjutan (pengembangan
budidaya ikan dalam keramba).
b. Pengadaan bibit tanaman untuk direhabilitasi hutan dan lahan.
c. Terlibat dalam survey-survey.
d. Terlibat dalam pembangunan dam.
e. Terlibat dalam penanaman.
f. Terlibat dalam monitoring.
Keterlibatan menurut masyarakat belum merata dikarenakan terkait
program belum menyentuh seluruh masyarakat.
V. Hutan dan masyarakat
Sejak dulu masyarakat lokal hanya memanfatakan kayu- kayu yang
berukuran besar dari jenis kayu-kayu yang bagus, namun semenjak
datangnya para pendatang, pemanfaatan hutan berubah kearah
sporadis dengan menebang kayu-kayu kecil. Kalau dilarang menebang
kayu mungkin kami bisa terima, tapi apabila mencari ikan dan
menggemor dilarang ini tidak adil”, kata Noor (34 tahun), penduduk
Desa Tumbang Bulan. Tetapi wilayah tersebut dijadikan Kawasan
Taman Nasional melalui surat keputusan Mentri Kehutanan Nomor: SK
423/Mehut-II/2004 tertanggal 19 Oktober 2004 yang ditandatangani
oleh Muhamamad Prakoso seluas 568.700 Ha.
Menurut sejarahnya bahwa Sungai Bulan merupakan lokasi illegal
loging terbesar. Semenjak diterbitkannya Inpres Illegal loging Nomor 4 Tahun 2005, keberadaan Taman Nasional ini membuat polemik apakah kayu-kayu temuan tersebut akan dilelang atau dimusnahkan.
Sementara status kawasan ini masih penunjukan saja dan memilki
batasan imajiner seluas 568.700 Ha yang tentunya belum memiliki batas yang pasti sehingga belum jelas apakah kayu-kayu temuan
tersebut masuk dalam kawasan TN atau tidak. Menurut Undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Hayati dan Ekositemnya Pasal 24 ayat 2 yang menyatakan :
“Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan”.
Bagaimana pengelolaan sekarang menurut masyarakat terhadap kawasan Taman Nasional Sebangau menurut masyarakat oleh beberapa pihak :
H. Anto (tokoh masyarakat Tumbang Bulan):
· Tolong perhatikan batas TN jangan cCuma bisa klaim saja sedangkan
sosialisasi ngga ada. Katanya Taman Nasional itu mau
menyejahterakan masyarakat, tapi mana.
· Tolong cepat kasih tahu batas antara TN dan masyarakat itu di mana
biar kita ngga ragu-ragu kalau kerja. Masyarakat takut dihukum
kalau kerja, misalnya kalau masuk wialyah TN.
· Dulu kita ngga minta lho tapi memang dijanjikan, jangan sampai kita
yang tua-tua dan sudah punya anak cucu ini dipermainkan. Program
yang belum terealisasi oleh WWF-Indonesia Kalimantan Tengah.
· Tolong kasih tahu Kepala Seksi sosialisasikan tentang TN, karena
dulu ada masyarakat yang dirugikan. Karena kalau masyarakat
marah mereka bisa bakar hutan.
Rusmin (Ketua BPD Desa Tumbang Bulan):
Selama ini program WWF ngga ada yang tercapai/terlaksana, saya
takut janji-janji itu ada tujuan tertentu (yang negatif).
Syahril (Anggota Formas Desa Tumbang Bulan)
§ Dulu sebelum ada TN kami bekerja bebas tapi sekarang kami ngga
bebas lagi.
§ Dulu sebelum ada kawasan itu Sungai Bulan itu bersih.
§ Kalau tidak ada sosialisasi dari Taman Nasioanal terserah, tetapi
masyarakat akan bertindak.
V. Perencanaan Desa
Proses perencanan desa ini bagaimana mengumpulkan data lapangan, identifikasi masalah–masalah yang diplenokan bersama
untuk menentukan pokok masalah. Perencanaan desa cukup menarik karena dalam proses ini memplenokan hasil-hasil
pembahasan RPJMDes yang sebelumya dibahas di pertemuan yang difasilitasi oleh WWF-Indonesia Kalimantan Tengah.
Perencanaan desa lebih fokus membahas program WWF yang sudah disepakati yang sampai sekarang belum jalan, dan lebih
banyak untuk klarifikasi dan penjelasan terhadap progam yang disepakati. Dalam kegiatan perencanaan ini dalam proses pleno
desa masyarakat membahas RPJMdes :
A. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa)
No Bidang/Jenis Kegiatan Volume Sasaran/Manfaat
Waktu Pelaksanaan
Biaya Dan Sumber Pembiayaan
Keterangan
Bidang Jenis Jumlah (Rp) Sumber
1 2 3 8 9 10 11 12 13
A Lingkungan dan sumber daya alam
Air Bersih 16 Titik 267 KK 160 Hari 240.000.000 PNPMMPD Pembagunan dan peletakan profil dan lokasi dan pipa swadaya
PERDES Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
5 Sungai
Pengembangbiakan ikan
20 hari 4.000.000 Swadaya
Pembuatan kalender musim, penambahan irigasi dan pembuatan pintu Air
Irigasi panjang 3000 M, Pintu air 6 unit
267 KK 90 Hari 550.000.000 APBN
Tim pengawas pencemaran lingkungan
5 Sungai
12 Orang 30 Hari 300.000 Swadaya
Pemanfaatan lahan tidur utuk perkebunan karet
267 Ha 133.500 pohon karet/ 267 KK
90 Hari 1.201.500.000
APBN
B Bidang Ekonomi Swadaya Pangan 267 KK 267 Ha 8 Bulan 1.335.000.000
APBN
Pengadaan bibit ikan lokal
267 Beje
1.335.000 Bibit 30 Hari
667.500.000 APBD
Peternakan ayam dan itik
267 KK 4.005 Ekor 90 Hari 200.250.000 APBD
Pengadaan bibit dan pupuk sayur sayuran
267 KK 10 bungkus/KK 90 Hari 120.500.000 APBD
Pelatihan anyaman
20 Orang
2 kali pelatihan 15 Hari 8.350.000 Pihak ketiga
Pelatihan pengolahan hasil ikan
267 Orang
1 kali pelatihan 4 Hari 13.680.000 Pihak ketiga
Pembentukan dan pelatihan pengurus koperasi
1 Unit 6 Orang 1 Minggu (Pelatihan)
7.200.000 Disperindagkop dan pihak ketiga
Pengadaan alat bantu komunikasi
4 Uit alat komunikasi
4 RT 90 Hari 100.000.000 APBN
Pengadaan listrik desa
1 Unit 267 KK 90 Hari 300.000.000 APBD
C SOSIAL BUDAYA Penambahan guru Bahasa Inggris, matematika dan Bahasa Indonesia
3 Orang 250 Siswa APBD
Pembangunan Gedung TK
1 Unit 4 RT 90 Hari 150.000.000 APBD,PNPM-MP
Lokasi dihibahkan dari desa
Pengobatan Gratis (JAMKESMAS) Identifikasi penerima manfaat
Masyarakat kurang mampu
187 KK 12 Bulan APBN
Penambahan Fasilitas Desa
1 Paket 267 KK 90 Hari 13.500.000 ADD
Perbaikan Masjid RT 2 267 KK 90 Hari 200.000.000 APBD
Pengadaan bola dan kostum
RT I,II,III,IV
44 Orang 1.5000.000 APBD
Persalinan gratis vitamin dan gizi balita
RT I,II,III,IV
267 KK APBD
Gotong royong, pembersihan irigasi perbaikan
RT I,II,III,IV
267 KK 100 Hari Swadaya
jembatan dan fasilitas umum
Pembangunan gedung Madarasah
RT II 267 KK 90 Hari 150.000.000 Pihak Ke Tiga dan APBD
Pelatihan dan pengadaan alat rias pengantin
RT I,II,III,IV
1 Kelompok 10 Hari 30.000.000 APBD
Fogging RT I,II,III,IV (2 Kali Foging/Tahun)
267 KK 30 Hari 50.000.000 APBD
B. Pemeringkatan Usulan Kegiatan Perencanaan Pembangunan Desa Berdasarkan RPJMDes
No Masalah
Kriteria dan Nilai Pembobotan
Jumlah Nilai
Urutan Peringkat Dirasakan oleh orang
banyak Sangat Parah
Menghambat Peningkatan Pendapatan
Sering Terjadi Kriteria
Lain
Sulitnya komunikasi
10 10 8 10 38 I
Air tidak layak konsumsi
10
10 - 10
Mempengaruhi
kesehatan
30 2
Kurangnya guru mata pelajaran
10 6 10 26 3
Kondisi masjid sudah rusak
5 10 10 25 4
Banyaknya lahan yang telantar
7 5 7 5 24 5
Tidak ada ketrampilan untuk merias pengantin
5 4 6 8 23 6
Kurangnya kapasitas dalam pembentukan dan pelatihan pengurus koperasi
10 3 5 8 23 7
Kesulitan berternak ayam dan itik
7 4 5 6 22 8
Kurangnya vitamin masyarakat untuk sayur-sayuran
9 2 4 7 21 9
Sulitnya mendapatkan pengobatan gratis (JAMKESMAS) tidak adanya identifikasi penerima manfaat
10 9 2 21 8
Kurangnya pemanfaatan bersawah
7 4 6 3 20 7
Tidak adanya penerangan desa
10 5 5 20 8
Kurangnya prasarana olah raga sepak bola
7 9 - 3 19 9
Belum adanya gedung Madarasah
5 7 - 6 18 10
Belum adanya Tim Pengawas Lingkungan dari Pencemaran
7 3 4 5 18 11
Kurang termanfaatnya hasil tangkapan ikan
7 5 5 - 17 12
Banyaknya nyamuk di desa
10 4 - 7 17 13
Kurangnya gizi balita
6 2 - 6 14 12
Sulitnya bibit ikan lokal
6 4 4 14 13
Kurangnya pemahaman kelompok dalam
6 3 5 14 14
penganyaman sesuai dengan kualitas yang baik
Tidak adanya gedung TK
5 5 4 14 15
Kurang kesadaran gotong royong untuk pembersihan irigasi, jembatan dan fasilitas umum
7 2 3 2 14 16
Kurangnya fasilitas di Kantor Desa
10 2 - 2 14 17
VI. Rekomendasi
Berdasarkan hasil Kajitindak di Desa Tumbang Bulan terdapat rekomendasi yang
menurut tim dapat dilaksanakan:
· Pendampingan proses implementasi Peraturan Desa terkait pemanfaatan
sumber daya alam dan kebakaran hutan (pengawasan dan penyadartahuan di
tingkat desa).
· Ke arah budidaya, baik di sektor kehutanan dan perkebunan.
· Pembentukan dan penguatan kelembagaan desa (kelompok-kelompok, badan
usaha serta regu pemadam kebakaran). Pelatihan-pelatihan yang didasari
keberhasilan pengelolaan sumber daya bertumpu pada kapasitas lembaga lokal.
· Membangun komunikasi antara masyarakat desa, tokoh masyarakat, dan
Pemerintah Desa dalam perencanaan program dengan keterwakilan seluruh
masyarakat.
· Mengembangkan sektor pertanian (pendampingan, penyuluhan dan teknologi
tepat guna).
· Pemanfaatan lahan terlantar yang terbuka untuk perkebunan (gemor, ada
pengalaman penanaman gemor).
· Perlu adanya klarifikasi laporan yang dibuat dalam kajian pertama.
VII. PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian Strategi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar
Taman Nasional Sebangau Desa Tumbang Bulan, kesimpulan yang dapat diambil :
1. Sektor pertanian adalah usaha utama masyarakat Tumbang Bulan, lahan usaha
untuk untuk bertani sudah siap tersedia, hampir seluruh masyarakat memiliki
lahan, cukup potensial masyarakat Desa Tumbang Bulan sebagai penopang sumber
kehidupan masyarakat.
2. Pasar merupakan persoalan yang harus diselesaikan untuk bisa memasarkan hasil
pertanian, perkebunan dan hasil alam.
3. Potensi alam hasil hutan bukan kayu seperti purun di Desa Tumbang Bulan belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.
4. Kebakaran setiap tahunnya terjadi di Desa Tumbang Bulan. Belum ada penanganan
serius dari desa, banyak kebun baik rotan, karet dan pohon buah-buah ikut
terbakar.
5. Keterlibatan kelompok, masih dikuasai oleh elit politik Desa Tumbang Bulan.
Saran bagi pemerintah Desa Tumbang Bulan agar berperan aktif dalam kegiatan desa atau
kegiatan-kegiatan yang berada di desa. Memupuk rasa kebersamaan dan menumbuhkan
semangat gotong royong melalui musyawarah dan diputuskan secara bersama setiap kali
ada kegiatan atau proyek sekecil apapun. Peraturan Desa perlu diimplementasikan secara
bersama-sama mengingat potensi sungai dan sumber daya alam di Desa Tumbang Bulan.
Penilaian modal untuk pengembangan mata pencaharian berkelanjutan
No Aset Skor
1 Manusia (kemampuan untuk melakukan proses produksi)
1. Punya keterampilan 3
2. Punya pengetahuan 4
3. Punya pengalaman 5
4. Ketahanan dalam bekerja 2
5. Kesehatan dan gizi 4
6. Kemampuan beradaptasi 3
Jumlah 3,5
2 Fisik
1. Transportasi (jalan, kendaraan, dll) 4
2. Rumah yang aman 4
3. Water supply dan sanitasi (watsan) 1
4. Sumberdaya listrik, BBM dan komunikasi 1
5. Peralatan produksi (kerja) 1
6. Benih, pupuk, obat, dll 1
7. Teknologi tepat guna 1
Jumlah 2
3 Finansial (keuangan), sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat
untuk mempertahankan mata pencaharian)
1. Tabungan 1
2. Kredit/debit (formal-informal), LSM 1
3. Gaji/pendapatan 1
4. Kiriman uang dari keluarga 1
Jumlah 1
4 Sistem sosial
1. Keanggotaan seseorang dalam kelompok 3
2. Relasi hubungan antar pihak (hubungan yang saling menguntungkan,
saling percaya, kebersamaan) 2
3. Organisasi yang memiliki pengaruh positif terhadap penghidupan
(livelihood) 4
4. Pengambilan keputusan yang partisipatif 2
5. Pertukaran dalam koperasi 1
Jumlah 2,4
5 Alam (termasuk kegunaannya & resiko bahaya)
1. Hutan 2
2. Sungai 2
3. Cadangan air tanah 1
4. Tanah 4
4. Lahan 4
Jumlah 2,6
Nilai ideal 5, nilai minimal adalah 1
-
247
Lampiran 2 – 9 :
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Perigi
Disusun Oleh:
1. ……
2. ……
3. ……
4. Masyarakat Perigi
PALANGKA RAYA
September 2014
248
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Studi Strategi Pengembangan Penghidupan
Berkelanjutan di Sekitar Taman Nasional Sebangau Desa Perigi”. Kajian ini dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat, berbagi pengalaman dengan masyarakat,
santai, informal serta saling menghargai.
Sebagai penyusun laporan, kami menyadari bahwa sebagai manusia yang penuh dengan
keterbatasan kami tidak mungkin dapat menyelesaikan laporan hasil kajian di Desa Perigi ini
tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pihak-pihak yang tanpa pamrih membantu kami
dalam melakukan kajian adalah seluruh warga masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, dan tokoh-
tokoh pemuda masyarakat Perigi, khususnya Darmawan selaku Kepala Desa Perigi, Kecamatan
Mendawai; serta Bapak Ir. Adib Gunawan selaku Kepala Balai Taman Nasional Sebangau beserta
segenap staf Balai Taman Nasional Sebangau.
Tim menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyajian dan pemilihan kata-kata maupun
pembahasan di dalam laporan kajian ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, dengan penuh
kerendahan hati tim mengharapkan saran, kritik, dan pengarahan yang konstruktif dari semua
pihak untuk perbaikan laporan kajian ini. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan.
Palangkaraya, November 2014
Tim Penyusun
249
Kajitindak di Desa Perigi
Satu langkah dalam membangun kerjasama antara warga masyarakat desa Perigi sebagai salah
satu desa di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangau dengan pihak Balai Taman Nasional
Sebangai (BTNS) dan Yayasan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dalam
mengembangkan strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan masyarakat, adalah
melakukan suatu kajian bersama warga masyarakat. Gambaran pengkajian tersebut adalah
sebagaimana disampaikan dalam laporan ini.
I. Latar Belakang
Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No.
423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas + 568.700 ha. Kawasan ini
terletak di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebangau dan Katingan, serta secara
administratif berada di wilayah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten
Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Ekosistem gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang kondisinya relatif masih
baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya, dan dalam kondisi alami memiliki ciri-ciri
khusus serta menyediakan berbagai produk alam dan fungsi ekologi yang penting. Lahan
gambut merupakan kawasan yang memainkan peranan sangat penting sebagai gudang
penyimpanan karbon dan pengatur tata air. Karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan
salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional
maupun global.
Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional, produk hutan berupa kayu
komersial di kawasan ini telah dimanfaatkan oleh 13 perusahaan kayu, sedangkan berbagai
produk non-kayu seperti lateks, buah-buahan, bahan obat-obatan, kulit dan bunga telah
dimanfaatkam masyarakat lokal sebagai tambahan sumber pendapatan.
Hutan rawa gambut juga menjadi habitat ikan untuk pemijahan, pendewasaan dan sumber
makanannya. Ikan dari hutan rawa gambut merupakan sumberdaya yang penting bagi
masyarakat lokal, baik sebagai sumber pendapatan maupun sebagai sumber protein dalam
pola makan mereka sehari-hari.
Survei yang dilakukan oleh Edutama Envirocare menunjukkan masih intensifnya pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam kawasan Taman Nasional (lihat Lampiran 1.1).
Intensitas pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan tentunya berpengaruh terhadap
keutuhan ekosistemnya sehingga BTNS dan WWF Indonesia mendorong pengembangan mata
pencaharian berkelanjutan di desa-desa sekitar Taman Nasional Sebangau agar
pengembangan perekonomian di zona penyangga selaras dengan tujuan-tujuan perlindungan
kawasan. Saat ini tercatat ada 39 desa dan kelurahan yang bertetangga langsung dengan
kawasan Taman Nasional Sebangau, dan delapan desa lainnya yang memiliki akses dan
memanfaatkan sumberdaya di dalam kawasan tersebut. Hingga saat ini tercatat ada 17
desa/kelurahan yang telah mendapat bantuan program pengembangan mata pencaharian
berkelanjutan. Meskipun belum pernah diadakan evaluasi terhadap program-program ini,
namun melalui observasi diperoleh kesan bahwa program-program itu belum secara
signifikan memberikan dampak yang baik pada upaya perlindungan kawasan maupun pada
upaya pengembangan perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Karena itu dianggap
perlu untuk memahami situasi perekonomian terkini di zona penyangga melalui sebuah studi
komprehensif sebagai dasar untuk selanjutnya mengembangkan strategi pengembangan
mata pencaharian berkelanjutan yang lebih tepat sasaran dan tepat-guna.
250
II. Desa Perigi
Desa Perigi berasal dari nama sungai yang berada di hilir desa, dalam sungai tersebut
terdapat danau seperti kolam daerah tersebut disebut perigi, awalnya hanya terdapat 6
keluarga yang berladang sejak tahun 1941. Bahwa desa ini mulai berdiri dibawah ke-
pempinan Bapak Darasit semenjak tahun tersebut telah 11 kali pergantian Kepala Desa:
Kepala Desa Tahun Kepemimpinan
Darasit alm. 1941-1950
Tani 1950-1958
H. Mastur 1958-1973
Tani 1973-1980
Dadarto Pjs 1980- 1983
Nanang Jimat Pjs 1983-1983
Sami 1984-1992
M. Sayudi 1992-2005
Kadri Pjs 2005-2006
Hengki Garmoli 2007-2013
Darmawan 2013-sekarang
Pada tahun 1978, mulainya aktivitas perusahan kayu PT. Tanjung Raya, Nusantara, KTC
(tidak tahu kepanjangannya tetapi perusahan kayu ini cukup dikenal oleh masyarakat Desa
Perigi) dan yang melakukan pengolahan kayu masak (sawmil), PT Samangang, PT Kalimantan
Hayu, Kalang. Mulainya masuk perusahan kayu dari luar maka diikuti juga usaha kayu di
masyarakat dengan membuka hutan melalui pembuatan kanal pada tahun 1985 (a.n H. Dion
dan H. Sayudi) dan pada tahun tersebut juga mulai pemanfaatan hasil hutan non kayu
seperti getah jelutung, rotan, getah ketiau dan kulit gemor. Dengan ramainya usaha kayu
banyak orang luar masuk ke Desa Perigi dari daerah luar seperti Palembang, Banjarmasin
dengan mendirikan bandsaw.
Desa (lewu) Perigi adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Mendawai
yang terletak di bantaran atau tepian Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan, dengan memiliki
luas wilayah desa kurang lebih 29.700 Ha tercatat di Badan Pusat Statistik 2013, dengan
jumlah penduduk 470 jiwa, laki-laki 250 jiwa dan perempuan 230 jiwa dan jumlah keluarga
113, dan penyebaran pemukimannya terpusat di sepanjang pinggir Sungai Katingan. Desa ini
dikategorikan sebagai desa swadaya yang terdiri atas 4 (empat) RT.
Akibat diberlakukannya penertiban atau razia terpadu illegal logging oleh instansi terkait,
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal di Dalam Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia”. Sejak itu perubahan sosial dan perekonomian cukup
mempengaruhi penghidupan Desa Perigi.
Masyarakat yang memiliki modal dari usaha kayu beralih mendirikan sarang walet, seperti
Bapak Sayudi (Kepala Desa periode 1992 – 2005) lebih cenderung mengembangkan
perkebunan karet, sengon, jelutung. Terakhir tahun 2014 sengon bisa dijual dan karet sudah
dimanfaatkan getahnya, tetapi ini tidak diikuti dengan masyarakat lainya yang hanya bisa
bertahan satu hari dengan beraneka ragam pekerjaan yang dilakukan dari berladang,
251
berburu burung, menjual kayu-kayu larut di Sungai Katingan yang masih bisa dimanfaatkan,
mencari paku, buruh tani,menjual hasil hutan bukan kayu yang mempunyai nilai ekonomis
(sayur mayur).
A. Sumberdaya manusia
Desa Perigi memiliki mata pencaharian seperti pencari ikan, pedagang lokal (warung
kampung), petani rotan, pemburu burung, walet dan bertani ladang, 13 guru tenaga
kesehatan, 2 bidan dan 2 dukun bayi. Masyarakat Desa Perigi rata–rata mengecam
pendidikan Sekolah Dasar walaupun ada sebagian yang tamatan SMP dan SMA.
B. Sumberdaya alam
Potensi sumber daya alam yang ada di Desa Perigi adalah sungai, danau, hutan, kebun
rotan. Sungai dan danau merupakan akses masyarakat untuk mencari nafkah dengan
mencari ikan alam seperti behau (gabus), pentet (lele), kakapar, saluang, baung, lais,
tapah, bakut, sedangkan untuk jenis ikan keramba adalah ikan tauman. Hutan juga
merupakan tempat masyarakat berusaha untuk mencari kayu bakar dan berburu binatang
dan beraneka burung (pergam, punai, serta cucak hijau). Beberapa jenis pohon yang ada
di hutan tersebut adalah mohor, rangas, kaja, kambasira, tilab, takapas. Jenis hewan
yang masih ada seperti bekantan, monyet, burung punai, tabuhan, tampulu, dll. Kebun
rotan juga merupakan aset masyarakat Desa Perigi. Jenis rotan yang ada adalah rotan
irit, rotan taman, rotan sigi, bujungan, ahas, serta banyak hasil budidaya tanaman
seperti segon , karet, dan pantung (jenis rotan sigi dan irit hampir kuarang lebih 80 ha
dan kebun karet 500 ha, data stastistik 2013).
Sungai adalah salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Desa Perigi akan
kebutuhan ikan dan akses untuk menuju sumber mata pencaharian lainnya (hasil hutan).
Di Desa Perigi terdapat hampir + 21 anak sungai yang bermuara di Sungai Katingan
(Bakumin, Gual Hantu, Peang, Batang, Bambam, Babakan Kecil, Babakan Besar, Rasau,
Rasak, Madang Besar, Madang Kecil, Madang Tanjung, Landabung Kecil, Landabung Besar,
Sungai Perigi, Selat Bahara, Rungun, Rasak Hilir, Madang Hilir, Tajenta).
Lahan pertanian yang dibangun irigasi oleh Dinas Pertanian pada tahun 2007 oleh
masyarakat Desa Perigi hanya dimanfaatkan menanam padi itupun satu tahun sekali
untuk aksesnya di REI atau jalur 3 ditanam tanaman keras dan karet.
1. Fisik
Desa Perigi memiliki sarana fisik
sebanyak 96 buah diantaranya
Kantor Desa dan Balai Desa,
rumah warga, Mesjid, Pustu,
Posyandu, Jembatan, sarana air
bersih (3 buah tower dan 3 buah
tong), warung, Perpustakaan
Desa, sekolahan, perumahan
guru, lanting, MCK yang masih
sederhana.
Peralatan menangkap ikan
seperti: ces, banjur, kabam,
pangilar, salambau, pancing, alat
252
komunikasi (telepon genggam).
Bangunan sarang walet milik desa yang menjadi sumber pendapatan desa saat ini
sudah menghasilkan atau panen, dan pengunaaan dana tersebut dipergunakan untuk
kepentingan umum desa (masjid, membayar guru ngaji dan kegiatan sosial lainya).
Untuk penerangan rumah di malam hari masih mengunakan diesel 68 kk dan minyak
tanah kurang lebih 45 kk. Sementara untuk sarana MCK masih mengunakan jamban di
pingir Sungai Katingan walaupun melalui program ADD 2010. Lihat foto 1.1
Mission Aviation Fellowship (MAF) awal tahun 2012 membuka penerbangannya dengan
jalur Mendawai, Perigi, Tumbang Bulan menuju Palangka Raya, adalah salah satu
pilihan alternatif transportasi murah dibanding transportasi air lainya, seperti
longboat dan speedboat. Tetapi MAF untuk sementara dihentikan di Desa Perigi
sebelum desa menyediakan pelabuhan tempat pesawat singah.
2. Finansial
Masyarakat Desa Perigi memiliki lembaga keuangan / Koperasi Berkat Usaha Mandiri
yang membangun andil/kanal sepanjang 4 Km, sehingga tidak ada tempat menabung
akan tetapi mereka memiliki asset atau tabungan yang sifatnya milik perorangan tapi
dalam bentuk barang seperti tanah pekarangan serta rumah, kebun rotan dan karet,
dan emas. Demikian juga bantuan yang diberikan baik dari Pemerintah maupun dari
pihak ketiga merupakan asset yang dimiliki desa seperti: bantuan Pusyandu dari
PNPM, Sarana Air Bersih (CWSHP), WWF dan Care Internasional (alat–alat pertanian
dan alat pemadam Kebakaran 2008), bantuan klotok dan mesin dari Dinas Perikanan,
bantuan buku untuk Perpustakaan Desa dari Provinsi, bantuan mesin RPK 2 unit
(BTNS), bantuan mesin alkon (WWF), bantuan pembangunan gedung SD, perumahan
guru dan perpustakaan dari Provinsi, pembelian tanah untuk desa (dijadikan lapangan
bola), serta peralatan penunjang produksi seperti penggilingan padi milik perorangan.
3. Sosial
Jenis kelembagaan yang ada di Desa Perigi terdiri dari lembaga seperti Pemerintah
Desa, BPD, dan RT. Selain itu terdapat lembaga yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan seperti keagamaan, ekonomi, kesehatan.
Secara lengkap daftar kelembagaan Desa Perigi adalah sebagai berikut :
- PKK
- Karang Taruna
- Kelompok Yasinan Ibu-Ibu
- Pengurus Mesjid
- GAPOKTAN ( Gabungan Kelompok Tani )
- Posyandu
- Fardu Kifayah
- Regu Pengendali Kebakaran ( RPK )
- Koperasi
Hubungan antara masyarakat dengan kelembagaan yang ada di desa sebagian cukup
dekat dan sebagian agak jauh. Dalam hal rapat atau pertemuan di desa, partisipasi
masyarakat agak kurang sekali, terutama kaum perempuan hanya 20% saja
keterlibatannya dalam hal pengambilan keputusan baik dalam pertemuan desa mapun
dalam rumah tangga.
253
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk urusan dapur yang
tidak dijual mereka menunggu pedagang yang datang dari luar setiap satu minggu
sekali dari Banjarmasin dan desa sekitarnya (Mendawai dan Mekar Tani). Untuk
mendapatkan informasi tentang apa saja termasuk kebijakan pemerintah susah sekali
karena masyarakat hanya menyimpan sarana yang sangat sederhana seperti televisi
(harus mengunakan receiver atau parabola dan telepon genggam). Informasi kadang
didapat dari orang luar atau dari LSM yang masuk ke desa.
Untuk kegiatan sosial lainya seperti gotong royong sekarang sangat minim sekali
karena kebiasaan yang ada di mereka harus ada upah ada beberapa kegiatan
pemerintah juga tidak jalan dikarenakan tidak ada pembiayaan (biaya penanaman
karet). Dampak pemilihan Kepala Desa cukup mempengaruhi perubahan semangat
kebersamaan saling menjatuhkan ketika menjalankan program apapun di desa.
Krisisnya kepercayaan dan resistensi terhadap pihak yang masuk ke desa seperti
perusahaan sawit dan PT Rimba Makmur Utama melalui Yayasan Puter ataupun WWF
beserta Taman Nasional.
III. Tujuan Pengkajian
Tujuan kajian secara umum adalah: Memberdayakan masyarakat dalam perencanaan
pengembangan ekonomi mandiri berbasis sumber-sumber penghidupan secara berkelanjutan
masyarakat.
Sementara beberapa Tujuan khususnya adalah:
a. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan
strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di
sekitar TN Sebangau.
b. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
c. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan
untuk Desa Perigi
IV. Metodologi Kajitindak Partisipatif
Kegiatan kajitindak ini dilakukan dengan metode pendekatan yang tekanananya pada
keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan dari mulai mengamati, menganalisa,
dan membuat perkiraan serta merencanakan, bahkan hingga pelaksanaan program. Metode
ini menggunakan prinsip-prinsip belajar dari masyarakat sehingga fasilitator lebih berperan
sebagai pemandu. Diharapkan bahwa melalui penggunaan metode tersebut akan tercipta
suasana saling belajar, saling berbagi pengalaman, secara santai dan (informal) serta saling
menghargai dan diharapkan melibatkan seluruh masyarakat.
Cakupan dan lokasi kajian adalah Desa Perigi, Kecamatan Mendawai, Kabupaten Katingan
dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data sekunder dan dokumen tertulis dari berbagai sumber seperti
laporan, catataan peneliti, koran, majalah dan foto-foto yang diterbitkan oleh instansi
teknis.
2. Kunjungan awal/observasi, membangun kepercayaan, dan keterbukaan untuk
pengembangan perencanan kegiatan kajitindak.
254
3. Bersama masyarakat melihat secara langsung potensi desa, danau, kebun dan kondisi
lingkungan secara umum.
4. Melakukan pengkajian dengan pengamatan langsung, diskusi terfokus dan wawancara
semi–terstruktur, serta berbagai diskusi yang mengunakan beberapa alat bantu kajian,
antara lain: Alur Sejarah Desa (berbagai kejadian penting menurut masyarakat desa),
Diagram Venn untuk menganalisa hubungan dan manfaat kelembagaan desa, Kalender
Musim tentang kondisi alam, Transek Desa untuk melihat kondisi sumberdaya alam desa,
Sketsa Desa tentang sebaran sumberdaya alam dan ancaman-ancaman terhadap
sumberdaya alam tersebut, Matriks Mata Pencaharian untuk menelaah sumber
penghidupan desa, dan Perencanaan Program.
Informasi, data, masalah, ancaman dan lainnya yang diperoleh sebagai hasil kegiatan yang
dilakukan disampaikan dalam forum diskusi yang melibatkan perwakilan masyarakat dengan
tujuan pengecekan informasi tersebut sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan
terhadap informasi tersebut. Untuk selanjutnya, dilakukan pengelompokan/indentifikasi
masalah dan ancaman sehingga peserta pertemuan dapat menyusun perencanaan program
penyelesaian masalah tersebut bersama.
V. Pelaksanaan Kajian
A. Rencana Kegiatan
Kegiatan kajitindak di Perigi dilaksanakan pada tanggal 11 - 16 September 2014 mengikuti
jadwal pelaksanaan di lapangan disepakati bersama dengan warga masyarakat serta
disesuaikan dengan jadwal Mereka. Jadwal kegiatan di lapangan yang disepakati tersebut
di tampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1: Alur Proses Kegiatan di Lapangan
Hari/ Tanggal Waktu Kegiatan / Topik Lokasi Instrumen
Kamis, 11/9/2010
9 .00 Koordinasi dengan Kaur. Pemer-intahan (tokoh masyarakat dan pemerintah desa tim 11 pembahasan batas desa bersama Desa Tumbang Bulan)
Desa Perigi Surat, diskusi
Kamis, 11/9/2010
11 .00 Matriks mata pencaharian Rumah Kepala Desa
Diskusi (memanfaatkan kondisi orang-orang berkumpul)
Kamis,11/9/2010 Malam Bertemu dengan tokoh masyarakat dan Kepala Desa (membahas Sejarah Desa tetapi banyak tidak datang karena kecapaian)
Rumah Kepala Desa
Menyepakati jadwal bersama kelompok (pembagian tim bersama partisipan sesuai dengan minat)
Jum’at, 12/09/2014
Pagi Tim 1 membahas Transek Desa dan Sketsa Desa, Tim 2 melakukan wawancara
Di RT 01, RT 02 (Tim 2) dan RT 03 , RT 04 (Tim 1)
Catatan, matriks nilai
Sabtu,13/09/204 Pagi
Melakukan diskusi bersama petani di ladang
Di lahan pertanian
Diskusi
255
Hari/ Tanggal Waktu Kegiatan / Topik Lokasi Instrumen
Malam Diskusi dengan tokoh masyarakat, analisis kencederungan
Rumah Bapak Dion
Diskusi, bagan perubahan
Minggu, 14/09/2014
Malam Identifikasi masalah Balai Desa Pohon masalah
Senin,
15/08/2014
Malam Penyampaian hasil dan kajian bersama
Balai Desa Pleno desa
Selasa,
16/09/2014
Siang Perjalanan Perigi – Tumbang Bulan
Catatan: Di luar proses pengkajian ini, Tim juga melakukan beberapa wawancara dan
kegiatan pengamatan langsung di sekitar Desa Perigi serta diskusi kelompok kecil di 4 RT
(RT 01, RT 02, RT 03, RT 04).
B. Tim Pelaksana
Proses kajitindak partisipatif dipandu oleh Tim terpadu yang terdiri dari staf Balai Taman
Nasional Sebangau, staf WWF, dan warga masyarakat desa sebagai berikut:
1. Deni Setiawan (Staff Balai Taman Nasional Sebagau)
2. Fahmi Nurjaman (Staff Balai Taman Nasional Sebagau)
3. Ma’mun Ansori (WWF-Indonesia Kalimantan Tengah)
4. Muhammad Effendi (masyarakat Desa Tumbang Runen)
5. Masyarakat Perigi
C. Pelaksanaan Kajian
Secara umum kegiatan kajian dapat dilaksanakan tidak sesuai dengan jadwal yang
disepakati dikarena tingkat kehadiran masyarakat, hanya waktu pleno desa tingkat
keterwakilan cukup sepadan dengan jumlah penduduk Desa Perigi, ini dengan cara
mengundang satu persatu dan dibuat undangan sesuai dengan Lampiran 1.2. Partisipasi
warga masyarakat yang hadir dalam diskusi hidup dan berkembang, ini terlihat setiap
gagasan atau pendapat dari peserta selalu dibahas bersama yang didasarkan dengan
kondisi lapangan yang ada tetapi persoalan terkait desa dan perpecahan tidak terlihat
(tetapi jika di luar forum terlihat perbedaan dan terlihat kubu-kubu).
Beberapa kendala yang dihadapi adalah dikusi selalu diadakan malam hari rata–rata
masyarakat capek dan sebagian masyarakat tidak datang (istirahat), enggan
mengungkapakan masalah yang ada di desa karena menyangkut masalahnya peserta
diskusi.
Beberapa kegiatan berlangsung terlampau lama sehingga sebagian peserta meningggalkan
ruangan sebelum acara berakhir.
VI. Pokok-pokok Permasalahan
Dari berbagai pengamatan dan diskusi pengkajian telah diidentifikasi beberapa pokok
persoalan yang bernilai penting bagi masyarakat Perigi sebagai berikut:
256
Dalam 1 ha bibitnya 10 blek, jika meng-hasilkan menurut mereka hasilnya minimal 200 blek dengan harga per blek 60 – 90 ribu.
(1 blek = 15 Kg beras, 1 blek = 10 Kg padi)
A. Pertanian
Hampir seluruh warga masyarakat Perigi (130 KK) memiliki lahan pertanian yang status
lahanya memiliki surat keterangan tanah (SKT) dari Pemerintah Desa kurang lebih 1,5 ha,
pembagian ini di Desa Perigi pada tahun 2007 melalui Dinas Pekerjaan Umum Kebupaten
Katingan membuat irigasi sepanjang 2,5 km dan terbagi dalam REI yang terbagi menjadi 4
REI (REI 0, REI 1, REI 2 dan REI 3). Dari perencanaan Desa Perigi peruntukan lahan
tersebut adalah untuk REI 0 khusus menanam padi dan palawija selanjut REI lainnya
untuk menanam tanaman keras atau perkebunan. Selain di irigasi tersebut masyarakat
juga memiliki ladang atau kebun di irigasi yang dilakukan secara swadaya melalui usulan
Koperasi Berkat Usaha Mandiri pada tahun 1999 dan terealisasi tahun 2000 – 2001, dan
irigasi teluk yang peruntukan untuk lahan pertanian dan perkebunan Desa Perigi yang
masuk dalam kelompok dan koperasi.
Masih mengunakan pola bercocok tanam di musim kering (padi gunung), tanpa ada
tanaman lainnya yang dikembangkan di lahan pertanian. “Sudah ada padi di rumah hidup
aman“, persoalan ini sebenarnya bukan sebatas bagaimana bercocok tanam dan
bagaimana meningkatkan produktifitas hasil tanaman mereka:
1. Bercocok tanam hanya menurut pengetahuuan lokal dan pengalaman
Bantuan dari Dinas Pertanian berupa bibit, pupuk dan obat–obatan setiap tahunnya
Desa Perigi mendapat bantuan melalui kelompok Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan),
kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman hanya sebatas pengetahuan
lokal bagaimana menanam padi yang baik, bagaimana prosedur pengunaan pupuk dan
bagaimana mengunakan obat-obatan. Fakta di lapangan untuk tenaga penyuluh
pertanian di Desa Perigi tidak ada sehingga pengetahuan untuk bercocok tanam hanya
sebatas kemampuan lokal. Menururt Kepala UPTD Pertanian Kecamatan Mendawai,
Bapak Hasan, “Untuk melakukan pendampingan di Desa Perigi itu susah karena
mahalnya transportasi dan tidak ada alat transportasi ke sana. Dana operasional dari
pemerintah untuk 7 desa dirasa tidak cukup“.
2. Mahalnya biaya pengolahan lahan
Harus menebas, merumput dan membakar setiap tahunnya dilakukan para petani di
Desa Perigi jika setiap KK memiliki 2 Ha perlu 1 bulan untuk menyiapkan lahan
tersebut agar siap tanam. Untuk menggunakan buruh sudah relatif mahal, menurut
mereka 60 ribu perhari itu pun jika hasil padi yang mereka tanam menghasilkan.
Banyak petani tidak mengolah lahannya
atau tidak bercocok tanam, tetapi
sebagian petani tetap menanam dengan
prinsip ada padi aman kebutuhan rumah
tangga. Bagaimana cara mengolah lahan
dengan alat yang tepat guna sehinga produktivitas hasil meningkat dan menanam tidak
dilakukan satu tahun sekali. Kegiatan membakar menurut mereka biayanya cukup
murah tetapi ada kekhawatiran bahwa ikut terbakar juga tanaman sekitar kebun
terbakar juga.
3. Tidak semua petani mengolah lahannya
Walaupun areal pertanian Desa Perigi dalam satu hamparan ternyata semangat untuk
bertani tidak semua warga masyarakat mengolah lahannya, ini menjadi persoalan
257
menurut petani yang mengolah lahannya. Menurut mereka ini menyebabkan banyak
hama penyakit yang menyerang tanaman yang berasal dari lahan yang tidak diurus.
Menurut Kepala Desa Darmawan, “Walaupun tidak ada aturan tertulis jika lahan
tersebut selama tiga tahun berturut-turut tidak diolah maka tanah tersebut di-
kembalikan ke desa“. Modal untuk mengolah lahan yang tidak merupakan salah satu
penyebab.
B. Perkebunan
Program rehabilitasi lahan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan 2006 di Desa Perigi
bisa dikatakan berhasil. Terlihat jenis tanaman yang dikembangkan sudah dapat
menghasilkan seperti karet, kayu sengon, getah pantung dan tanaman buah (durian,
mangga, cempedak dan nangka). Pak Sayudi bulan Oktober 2014 memanen kayu
sengonnya dengan dengan harga cukup menjanjikan 325.000 per meter kubiknya. Karena
harga turun dan tidak adanya pembeli
membuat masyarakat Desa Perigi tidak
memanen kebun rotan dan menyadap
getah karetnya, semangat untuk
mengembangkan perkebunan turun
dikarenakan hal tersebut, ini terlihat
beberapa program seperti Kebun Bibit
Rakyat (KBR) penanaman karet, banyak
bibit karet sebagai pajangan di depan
rumah. Di samping ketidakjelasan
pembiayaan dari program atau kelompok,
kegiatan tersebut di atas ternyata
masyarakat Perigi memiliki persoalan-
persoalan sebagai berikut:
1. Kebakaran
Hampir setiap tahun kebakaran terjadi di Desa Perigi. Salah satunya yang menjadi
korban adalah kebun masyarakat. Pada tahun 2007 kebakaran besar terjadi banyak
kebun karet masyarakat dilalap si jago merah. Semangat untuk menjaga kebun turun
karena harga turun dan tidak ada pembeli merupakan salah satu faktor. Masyarakat
melakukan pembersihan kebun, pola menanam masyarakat mendekati akses di pinggir
irigasi dan sungai 300 meter dari pinggir dan di belakang dibiarkan semak belukar
menjadi bahan material kebakaran. Melalui program Central Kalimantan Peatland
Project (CKPP) 2008 WWF dan Care Internasional melakukan pembentukan Regu
Pemadam Kebakaran dan sarana prasarana itu berjalan sesuai dengan rencana,
keanggotaan sudah tidak ada desa dan
peralatannya juga sudah tidak layak
pakai.
2. Konflik satwa
Siapa yang dulu dia yang dapat, itu yang
sering dikatakan masyarakat Desa Perigi.
Ketika musim buah banyak masyarakat
tidur di pondok yang berada di kebun
mereka, ini dilakukan karena harus
258
menjaga kebun mereka dari serangan hama orangutan, beruang madu, monyet dan
bekantan. Kejadian ini dirasakan oleh masyarakat pada tahun 2010. Persepsi
masyarakat bahwa binatang sering menyerang tanaman yang ada di desa dikarenakan
di dalam hutan sudah tidak ada makanan dan areal mereka dijadikan kawasan sawit.
Di akhir 2011 ada 1 orangutan dibunuh oleh masyarakat Desa Perigi. Bahwa rata-rata
masyarakat desa sadar bahwa satwa seperti orangutan, beruang madu adalah binatang
yang dilindungi, sudah pernah dilaporkan ke pihak berwajib dan Balai Konservasi
Sumber Daya Alam tetapi tidak ada tanggapan dari pihak-pihak tersebut dan mereka
mengambil tindakan untuk membunuhnya.
3. Tidak ada pembeli (harganya turun)
Akses pasar yang jauh dan tidak ada pembeli menyebabkan masyarakat tidak memanen
rotan dan menyadap karet. Sebenarnya kondisi ini jika adanya pembeli masyarakat
tetap akan melakukan pemanenan hasil kebunnya. Harus menunggu seminggu sekali
ataupun lebih baru datang pembeli sehingga hasil panen rotan sempat membusuk, dan
dengan berbagai alasan diturunkan harga rotannya. Begitu juga dengan karet, tidak
ada pilihan masyarakat menjualnya.
C. Perikanan
Hanya menangkap di alam nelayan tanpa diikuti dengan usaha budidaya. Hanya hasil
tangkapan dari alam yang hidup dipelihara sampai menunggu pembeli datang, karena
untuk berbudidaya menurut mereka justru akan rugi karena pemasaran. Penangkapan
ikan oleh masyarakat di luar desa yang berusaha di wilayah desa tanpa izin merupakan
salah satu penyebab menurunnya hasil tangkapan ikan. Persoalan masyarakat yang
mencari ikan juga melakukan aktivitas yang tiak benar seperti menyetrum. Di bulan
Agustus 2014 masyarakat beserta Pemerintah Desa mengusir nelayan di Sungai Landabung
dari Samuda. Selain melakukan kegiatan mencari ikan melakukan kegiatan pengambilan
kayu tanpa izin. Hanya untuk kebutuhan makan dan dijual di tetangga sehingga harga
relatif murah tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Potensi ikan bakut di Desa
Perigi masih cukup relatif banyak tetapi harga murah dan pembeli hanya 1 bulan sekali.
D. Batas Desa
Persoalan batas desa merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan
menurut Desa Perigi. Kekhawatiran banyak pihak ketiga yang masuk dalam desa menurut
masyarakat mengkalim wilayah atau lahan seperti (PT Rimba Makmur Utama dan PT
Persada Era Agro Kencana). Kekhawatiran ini dilupakan dengan menolak keberadaan
kedua PT tersebut sebelum batas wilayah desa atau peta administrasi Desa Perigi
terselesaikan. Pada tanggal 11 September 2014 ada pertemuan antara Desa Perigi dan
Desa Tumbang Bulan yang difasilitasi Yayasan Puter di Kecamatan Mendawai untuk
membahas batas kedua desa tersebut. Dari pertemuan tersebut belum ketemu batas desa
antara Desa Perigi dan Desa Tumbang Bulan (perlu pertemuan lanjutan di tingkat
kabupaten). Sementara batas antara Desa Tewang Kampung sudah dapat diselesaikan
yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan bersama yang ditandatangani masing-masing
pihak diantara dua desa.
E. Sumber penghidupan lainnya
Bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari. Beraneka ragam usaha dilakukan
masyarakat Desa Perigi diantaranya:
259
1. Berburu burung
Berburu burung adalah salah satu penopang kehidupan menurut mereka seperti burung
cucak hijau, murai batu, kacer, srindit. Jenis burung ini diburu dengan cara memikat
dengan perekat untuk diperdagangkan hidup-hidup sebagai burung kicauan dan hias.
Dapat langsung jual itu yang dilakukan karena di Desa Perigi ada pengumpul jenis-jenis
burung tersebut dan dibawa ke Kereng Pangi atau Kasongan dalam 1 mingu sekali.
Kisaran harga untuk burung cucak hijau jantan 300.000 – 350.000; sedangkan untuk
betina kisaran harga 100.000 – 140.000. Untuk mencari harus menginap di hutan, bisa
jadi dalam perburuan justru tidak kembali modal. Pada awalnya mencari burung
mudah dalam sekali berangkat minimal mendapat 10 ekor, tetapi sekarang untuk
mendapat 1 ekor susah. Menurut mereka untuk mendapat burung ini kondisi hutannya
harus bagus. Sementara hutan yang relatif bagus di sekitar desa sudah tidak ada
melainkan di daerah kawasan Taman Nasional Sebangau.
Jenis burung lainya seperti pergam, punai dan tekukur diburu untuk dikonsumsi dan
dijual di tetangga dengan kisaran harga antara 5.000 – 20.000 perekor.
2. Mengumpulkan biji rongsokan
Di era kejayaan kayu Desa Perigi dikelilingi dengan perusahaan kayu dan bandsaw atau
sawmil. Dari sisa-sisa perusahan itu sebagian masyarakat desa perigi berburu biji
rongsokan untuk bisa bertahan hidup (untuk 1 kg biji besi Rp 3.000 – 5.000).
3. Menjual log eks illegal loging yang bisa dimanfaatkan
Usaha ini ditekuni oleh Bapak Adonis setiap kali sepulang kerja menangkap ikan
ketemu kayu yang larut di Sungai Katingan dikumpulkan. Untuk mengumpulkan yang
layak jual kurang lebih 15 hari. Dari hasil pengumbulan kayu tersebut pembeli
mengambil ke Desa Perigi dengan harga borongan antara Rp 400.000 – Rp 800.000
sekali jual kayu log tersebut.
4. Anyam-anyaman
Di sekitar Desa Perigi + 21 sungai dengan
potensi purun bisa dikatakan berlimpah. Dari
sekian sungai potensi purun yang baling
banyak adalah Sungai Landabung. Menganyam
hanya sebatas pesanan tetangga sesama desa,
membuat pekerjaan ini tidak terlalu digeluti
oleh ibu-ibu di Desa Perigi. Produk yang
dihasilkan hanya sebatas tikar dan topi purun.
Tikar dijual antara Rp 40.000 – Rp 80.000
sedangkan untuk topi purun Rp 15.000 –
25.000.
Jenis-jenis mata pencaharian di Desa Perigi bisa dilihat di Lampiran 2.
F. Warga Masyarakat dan Taman Nasional
Sejak ditunjuknya kawasan Taman Nasional tahun 2004, menurut masyarakat Perigi,
belum memberi dampak nyata bagi masyarakat Desa Perigi. Dari awal resistensi terhadap
pihak luar cukup tinggi karena ketidakjelasan terhadap kawasan tersebut. Ini juga
disampaikan dari orang yang datang di Desa Perigi termasuk Bapak Danramil 1015-02/BB
260
mengisi buku tamu di
Desa Perigi dengan isi
kesan dan pesan
“Waspada terhadap
orang asing yang masuk
WWF/BTNS”. Dari
situlah bahwa
pemahaman keterkaitan
dengan keberadaan
kawasan Taman Nasional
Sebangau di tingkat
pemerintahan tidak setara apalagi masyarakat. Apalagi ketika Balai Taman Nasional
Sebangau melakukan patroli penertiban perburuan burung dan salah satu warga desa
tertangkap dalam penertiban tersebut, bertambahlah kekecewaan beberapa masyarakat
Perigi bahwa Taman nasional melarang aktivitas orang bekerja.
Sejauhnya dari segi program atau kegiatan masyarakat Desa Perigi terlibat dalam
kegiatan penanaman atau rehabilitasi lahan dalam:
a. Pelangsiran bibit (pembongkaran dan distribusi)
b. Perintisan (pembuatan Blok)
c. Terlibat dalam penanaman dalam membentuk kelompok (Kepala Kerja)
d. Jenis tanaman yang ditanam adalah belangiran dan jeluntung
e. Dikerjakan 10 orang dalam satu blok @ 250 Ha
f. Tahap Penanaman, Pemeliharan tahap 0, Pemeliharaan tahap 1, Pemeliharaan tahap 3
g. Harapan masyarakat tidak menggunakan masyarakat luar untuk tenaga kerjanya
Pemahaman larangan terhadap kayu di tingkat masyarakat bahwa sadar di mana pun
penebangan kayu merupakan larangan pemerintah, usaha ini juga dilakukan masyarakat
Desa Perigi beserta unsur pemerintah pada bulan Agustus 2014 melakukan pengusiran
nelayan di Sungai Landabung nelayan dari Samuda dengan alasan:
• Aktivitas nelayan dari Samuda sudah mulai 3-4 tahun yang lalu.
• Diberi izin satu nelayan membawa nelayan-nelayan yang lain.
• Persepsi masyarakat selain mencari ikan juga melakukan menggesek kayu dan strum.
• Tidak adanya kontribusi untuk desa.
• Melakukan pembakaran hutan.
• Masyarakat untuk membeli ikan tidak diperbolehkan.
Ada usaha peraturan bagaimana mengatur pengelolaan suberdaya alam dan penanganan
kebakaran di Desa Perigi melalui Peraturan Desa yang disusun bersama masyarakat.
261
VII. Perencanaan Desa
Proses perencanan desa ini bagaimana mengumpulkan data lapangan, identifikasi masalah- masalah yang diplenokan bersama untuk menentukan pokok
masalah. Akibat dampak pemilihan Kepala Desa Perigi membuat proses pleno sedikit terhambat dan tidak dapat terselesaikan sampai ke pokok masalah
yang berada di Desa Perigi. Perencanaan desa lebih fokus membahas progrom WWF yang sudah disepakati yang sampai sekarang belum jalan, lebih
banyak untuk klarifikasi dan penjelasan terhadap progam yang disepakati. Dalam kegiatan perencanaan ini dalam proses pleno desa masyarakat
membahas :
Peran
Faktor Masalah Sebab Akibat Solusi Strategi Pemda Masyarakat
Pihak lain/NGO,
swasta
Serangan hama penyakit
Tidak ada racun untuk hama, cara bertani tidak ber-kelompok
Gagal panen dan miskin
Berkelompok Disemprot, diracun, dipasang jebakan
Menyediakan racun
Bersama-sama menjaga dan memelihara
Memberi penyuluh-an tentang pem-berantasan hama
Biaya mengolah lahan
Tidak ada alat yang tepat guna untuk mengolah lahan
Tidak semua petani mengerjakan lahan pertanian
Alat tepat guna Membuat proposal bantuan alat tepat guna
Membantu pengadaan alat menugaskan PPL pertanian
Handep, gotong royong
Bantuan alat yang sesuai dengan kondisi lahan
Pertanian
Tidak adanya Penyuluh / PPL
Jauhnya desa dari kota/ kurang perhatian pemerintah
Pengetahuan dalam mengolah lahan dan pemeliharaan kurang
Ditempatkan 1 orang PPL pertanian
Menghidupkan kembali gapoktan (agar semua masyarakat masuk dalam kelompok)
Menempatkan 1 orang PPL pertanian
Menyedikan tempat tinggal
Melakukan pen-dampingan di sektor pertanian
Perikanan Ikan harga murah
Jauh dari pasar dan ikan berlimpah sehingga kebanyakan Calo
Harga turun dan tidak sebanding dengan harga sembako
Mengadakan kekompakan dan dipasarkan di kota
Membentuk kelompok dan bersatu unit usaha
Memfasilitasi untuk mencarikan pasar
Membentuk kelompok usaha
Adanya pelatihan pengolahan ikan sehingga ikan tidak dijual dalam bentuk segar dan kering (pasca panen)
262
Peran
Faktor Masalah Sebab Akibat Solusi Strategi Pemda Masyarakat
Pihak lain/NGO,
swasta
Alat tangkap tidak ada
Jenis-jenis alat tangkap masih tradisional
Tangkapan sedikit Membentuk kelompok Kerjasama Adanya kredit lunak untuk membeli peralatan tangkap ikan
Tidak akan mengunakan alat yang merusak lingkungan
-
Mengunakan alat tangkap strum, potas dan lainnya yang membahayakan
Ingin mendapatkan ikan banyak dan ikut orang-orang yang mengunakan alat strum
Ikan semakin lama habis
Adanya penangkapan dan ditertibkan oleh polisi
Membuat Peraturan Desa
Operasi dan memberi bantuan alat penangkap ikan
Melaporkan orang yang mengunakan strum ke Kepala Desa (Perdes)
Memberi penyuluhan kepada masyarakat
Harga rotan murah
Tidak ada pembeli resmi
Penghasilan tidak memadai
Tidak ada usaha tetap
Bentuk koperasi, penampungan hasil bumi
Musyawarah desa budi daya, membentuk badan usaha
Mencari investor
Tenaga PPL
Menjaga kelestarian, bibit benih
Perlu ada bimbingan WWF
Tidak adanya lembaga usaha
Belum ada perencanaan
Sempitnya lapangan kerja, penjualan hasil bumi tidak menentu
Adanya badan usaha yang menjual hasil bumi masyarakat sehingga harga stabil
Membentuk dan mendirikan koperasi
Permohonan kepada Dinas Perindakop Katingan
Menyediakan anggota dan tempat berdirinya kantor koperasi
Merencanakan usaha dapat dari WWfF
Kebakaran Banyak kebun tidak dipelihara, aktivitas orang yang tidak ber-anggung jawab
Pohon karet, sengon dan pantung terbakar
Adanya lembaga atau Regu Pemadam Kebakaran di desa dan peralatannya
Membentuk dan mengajukan sarana parsarana kepada pemerintah atau swasta
Membina Regu Pemadam Kebakaran, menegakkan sanksi
Membuat aturan dan membangun sumur-sumur di areal kebakaran
Pelatihan, me-metakan titik rawan kebakaran (WWF)
Perkebunan
Konflik satwa Areal hutan mulai berkurang
Satwa liar mencari makan di kampung dibunuh
Menjaga hutan di sekitar desa
Komunikasi kepada bihak berwenang dan Balai Konser-vasi Sumber Daya
Cepat menang-gapi laporan
Melaporkan Penyuluhan
263
Peran
Faktor Masalah Sebab Akibat Solusi Strategi Pemda Masyarakat
Pihak lain/NGO,
swasta
Alam
Perangkat desa kurang aktif
Tidak ada kekompakan
Tidak ada di desa Sosialisasi kepada perangkat yang bersangkutan
Pendekatan ke orang tersebut
Penyuluhan tentang kepemerintahan
Mendesak Kades agar lebih aktif dan melaporkan jika pemerintahan tidak jalan
- Kelembagaan
Lembaga desa tidak aktif (Karang Taruna)
Tidak ada permodalan
Tidak aktif Membuat kegiatan Karang Taruna
Perlombaan antar desa
Melibatkan dan megikutsertakan dalam kegiatan kepemudaan di kabupaten
Musyawarah antara anggota Karang Taruna
Mengadakan program yang melibatkan anak muda
264
VIII. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajitindak di Desa Perigi terdapat rekomendasi yang menurut tim
dapat dilaksanakan:
• Pendampingan proses penyelesaian batas desa dan wilayah secara keseluruhan
(pemetaan desa).
• Pengaturan sumber–sumber mata pencaharian (danau, sungai dan lainnya serta
kebakaran hutan).
• Pembentukan dan penguatan kelembagaan desa (kelompok-kelompok, badan
usaha, Regu Pemadam Kebakaran, pelatihan-pelatihan yang didasari keberhasilan
pengelolaan sumber daya bertumpu pada kapasitas lembaga lokal).
• Membangun komunikasi antara masyarakat desa, tokoh masyarakat, dan
Pemerintah Desa dalam perencanaan program dengan keterwakilan seluruh
masyarakat.
• Mengembangkan sektor pertanian (pendampingan, penyuluhan dan teknologi tepat
guna).
• Pendampingan implementasi Peraturan Desa terkait pengaturan sumber daya alam
dan kebakaran.
• Budidaya ikan bakut, lokasi dan potensi cukup mendukung.
• Pemanfaatan lahan terlantar yang terbuka untuk perkebunan (gemor, ada
pengalaman penanaman tanaman gemor).
• Perlu adanya klarifikasi laporan yang dibuat dalam kajian pertama.
IX. PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian Strategi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan di Sekitar
Taman Nasional Sebangau Desa perigi, kesimpulan yang dapat diambil :
1. Sektor pertanian adalah usaha utama masyarakat Perigi, lahan usaha untuk bertani
sudah siap tersedia, hampir seluruh masyarakat memiliki lahan, cukup potensial
masyarakat Desa Perigi sebagai penopang sumber kehidupan masyarakat.
2. Pasar merupakan persoalan yang harus diselesaikan untuk bisa memasarkan hasil
pertanian, perkebunan dan hasil alam.
3. Pemerintah Desa belum menjalankan peranannya.
4. Potensi alam hasil hutan bukan kayu seperti purun di Desa Perigi belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.
5. Kebakaran setiap tahun terjadi di Desa Perigi, belum ada penanganan serius dari
desa, banyak kebun rotan, karet dan pohon buah-buah ikut terbakar.
Saran bagi Pemerintah Desa Perigi agar berperan aktif dalam kegiatan desa atau
kegiatan-kegiatan yang berada di desa. Memupuk rasa kebersamaan dan
menumbuhkan semangat gotong royong melalui musyawarah dan diputuskan secara
bersama setiap kali ada kegiatan atau proyek sekecil apapun. Peraturan Desa perlu
diimplementasikan secara bersama-sama mengingat potensi sungai dan sumber daya
alam di Desa Perigi.
265
Lampiran 2-10:
LAPORAN
Diskusi Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan
di Sekitar Taman Nasional Sebangau
Desa Sebangau Mulya
Disusun Oleh:
Tito Surogo
Suwanto,
Surahmansyah,
Dan Warga Masyarakat Desa Sebagau Mulya
Palangka Raya,
Desember 2014
266
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Kajitindak Mata Pencaharian
Berkelanjutan di desa-desa dampingan WWF Indonesia Kalimantan Tengah.
Kajian ini berisikan tentang informasi analisa potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh
masing masing Desa untuk mengetahui potensi dan masalah yang ada. Kami menyadari bahwa
laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada Pemerintah Desa Sebangau Mulya, tokoh
masyarakat dan masyarakat Desa Sebangau Mulya atas kerjasama dan partisipasinya.
Penyusun
267
Pendahuluan
A. Latar belakang
Desa Sebangau Mulya merupakan desa transmigrasi yang terletak di Kecamatan Sebangau
Kuala, Kabupaten Pulang Pisau. Desa Sebangau Mulya merupakan salah satu desa yang
bersebelahan dengan Taman Nasional Sebangau, yang berjarak kurang lebih 9 Km ke kawasan
Taman Nasional Sebangau.
Masyarakat Desa Sebangau Mulya memiliki mata pencaharian bertani, berkebun karet dan ada
yang menjadi tukang di luar desa. Mereka umumnya pendatang dari Jawa, datangnya
transmigrasi ini pada tahun 1988.
Desa Sebangau Mulya dibagi atas 6 wilayah Rukun tetangga dan 6 wilayah Rukun Warga (RW).
Di sebelah timur Desa Sebangau Mulya berbatasan dengan Desa Mekar Jaya, di sebelah barat
berbatasan dengan Taman Nasional Sebangau, di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Paduran Mulya, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Sampang.
Jumlah KK yang ada di Desa Sebangau Mulya berjumlah 332 KK dengan jumlah penduduk 1.164
Jiwa dengan rincian jumlah laki-laki usia 0 – 15 tahun 181 Orang, usia 16 – 55 tahun 338 orang,
usia diatas 55 tahun 87 orang; dan untuk jumlah perempuan 558 jiwa: usia 0 – 15 tahun
berjumlah 205 jiwa, usia 16 – 55 tahun berjumlah 305 dan usia diatas 55 tahun 48 orang.
Desa Sebangau Mulya memiliki visi-misi yaitu:
Visi Desa:
1. Pemerataan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sebangau
Mulya melalui perbaikan dan peningkatan infrastruktur sarana dan prasarana,
meningkatkan tarap hidup masyarakat melalui pembangunan di berbagai bidang,
seperti pendidikan, kerohanian, keterampilan dan peningkatan perekonomian
masyarakat desa, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain.
2. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan terhadap sesama warga dan saling
menghormati antar pemeluk agama, suku dan adat istiadat.
Misi Desa:
Jer Basuki Mawa Bea (perjuangan penuh dengan pengorbanan)
1. Perbaikan dan peningkatan infrastruktur seperti jalan dan jembatan sehingga memper-
mudah masyarakat dalam beraktifitas.
2. Berusaha memberikan pelayanan, kenyamanan dan keamanan bagi masyarakat desa.
3. Berupaya meningkatkan hasil pertanian yang menjadi mata pencaharian utama
dengan membantu tersedianya sarana pertanian.
4. Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat desa melalui Pustu dan Posyandu.
5. Meningkatkan sumber daya manusia, khususnya kawula muda, melalui pendidikan dan
pelatihan-pelatihan keterampilan.
268
B. Tujuan
1. Membangun dasar informasi dan pengetahuan sebagai acuan dalam perumusan strategi
pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan masyarakat di sekitar TN
Sebangau.
2. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan sumber-sumber penghidupan
berkelanjutan di tingkat kawasan.
3. Merumuskan rencana pengembangan sumber-sumber penghidupan berkelanjutan.
C. Keluaran
Adanya perencanaan dan strategi untuk pengembangan sumber-sumber penghidupan yang
berkelanjutan di masyarakat.
BAB II
Teknis Kegiatan
A. Metode Yang Digunakan
Adapun metode yang digunakan adalah dengan mengunakan alat-alat PRA, curah
pendapat, diskusi dengan Pemerintah Desa Sebangau Mulya, tokoh masyarakat dan
masyarakat Desa Sebangau Mulya.
B. Tempat dan Waktu pelaksanaan
Tempat kegiataan ini berada di Sebangau Mulya pada tanggal 27-31 Oktober 2014
C. Pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat adalah:
• Tokoh Masyarakat
• Tokoh Pemuda
• Pemerintah Desa
• Masyarakat Desa
• Kelompok PKK
• Tito Surogo, Staff Balai Taman Nasional Sebangau
• Suwanto, Staff WWF Indonesia Kalimantan Tengah
• Surahmansyah, Fasilitator Desa
269
BAB III
Hasil kegiatan
A. Sejarah Desa
1. Tahun 2. Kejadian Penting
1988 Masyarakat transmigrasi datang dari bermacam suku ± 300 KK diantaranya dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan masyarakat lokal
1989 Pemberian nama Desa Sebangau Mulya, pemilihan Kepala Desa bulan November
1990 Pembinaan transmigrasi
1989 – 1993
- Pembinaan transmigrasi, penyerahan transmigrasi kepada Pemerintah Daerah Kapuas,
penambahan penduduk dari Mekar Jaya sebanyak 172 KK
- Pembangunan Mushola
1994 Persiapan dibentuknya Kepala Desa, pemilihan Kepala Desa tidak terlaksana sehingga mengangkat kembali Kepala Desa yang lama
1991 Kemarau panjang ± 6 bulan sehingga mengakibatkan kekurangan air yaitu pada bulan November
1992 Panen padi raya
1995 Banjir besar selama 1 bulan, hujan tidak merata
1993-1996 - Gagal panen
- Terjadinya illegal logging
1997 Kemarau panjang selama 7 bulan yaitu bulan Mei - November, penambahan transmigrasi TSM (Transmigrasi Swakarsa Mandiri)
1998 - Panen raya (padi)
- Banjir besar
1999 Krisis moneter
2000 Kerusuhan etnis Madura
2001 peristiwa illegal logging besar-besaran, masyarakat banyak kerja di perusahaan
2003 Pemilihan Kepala Desa tahap I, illegal logging besar-besaran tutup
2004 Perusahaan kayu tutup total, masyarakat banyak yang merantau/kerja di luar daerah, pemekaran Kecamatan Kahayan Kuala menjadi Sebangau Kuala.
2005 Gagal panen padi, pemekaran Kabupaten Pulang Pisau dari Kabupaten Kapuas
2006-2009 Masuknya lembaga CKPP yaitu memberikan bantuan bidang kebakaran (RPK), pertanian, bibit, kesehatan, pendidikan
2007 Banjir besar, PNPM memberikan bantuan berupa gorong-gorong
270
1. Tahun 2. Kejadian Penting
2008
- Pilkades (tahap II) definitif,
- PNPM memberikan bantuan pembangunan bak penampungan air hujan 9 unit
- Pembuatan sumur bor umum 4 titik
2009
- Masyarakat Sebangau Mulya menyusun RPJMDES, pemetaan batas wilayah (WWF)
- Pebangunan / penambahan ruang/kelas SDN Sebangau Mulya I, II jumlah 4 unit
- Pembangunan Posyandu (sederhana) dari CKPP
- Pembangunan gorong-gorong cor 10 unit
2010
- Banjir besar 4 bulan (tanaman keras mati semua)
- Pembangunan Kantor Desa
- Pembangunan Gedung Pustu
- Pembangunan gorong-gorong cor 15 Unit
- Pembangunan jembatan ulin RT.01/RW.01
2011 PNPM memberikan bantuan berupa semenisasi jalan desa 400 M
2012 PNPM memberikan bantuan berupa semenisasi jalan desa
2013 Pemilihan BPD, bantuan sapi dan bibit karet (BTNS)
2014
- PNPM memberikan bantuan berupa semenisasi jalan desa, pemilihan PJS, masuk
PNPM generasi
- Musim kemarau panjang kebun dan lahan masyarakat kebakaran
271
B. Sketsa Desa Sebangau Mulya
POTENSI MASALAH SOLUSI
Lahan masyarakat
- Seringnya kebakaran
- Sering kebanjiran
- Sering diserang hama dan penyakit
tanaman
- Lahan tidak digarap (karena masyarakat
banyak yang bekerja di luar desa)
- Kesulitan mendapatkan pupuk dan kapur
untuk persemaian
- Pembuatan Peraturan Desa tentang
kebakaran
- Pendalaman saluran primer dan
sekunder
- Pembuatan tanggul banjir di sebelah
barat desa
- Lahan yang tidak digarap disewakan
kepada orang lain untuk dikelola
- Membuat sumur bor (resapan)
Saluran primer dan sekunder
- Pendangkalan saluran
- Tertutup rumput disaluran
- Perlu adanya kegiatan pendalaman
pada saluran primer dan sekunder
- Pembersihan rumput secara gotong
royong
Hutan Lindung - Pengelola hutan lindung belum ada
- Tidak adanya pendanaan untuk
pengelolaan hutan lindung dari instansi
terkait dalam pengelolaan
- Tidak adanya dana untuk desa
- Adanya pendanaan untuk pengelolaan
Hutan Lindung dari instansi terkait
dalam pengelolaan
Sekolah SD, - Belum ada gedung PAUD (masih - Pengajuan ke Dinas Pendidikan dan
272
POTENSI MASALAH SOLUSI
PAUD menempati aula balai desa)
- Pembayaran guru PAUD tergantung
pemasukan keuangan desa
Kebudayaan
Posyandu - Kekurangan sarana dan prasarana
Posyandu
- Kesejahteraan kader kurang
- Penambahan sarana dan prasarana
- Penambahan makanan tambahan
- Adanya dana yang dikelola oleh kader
untuk melakukan kegiatan kader
- Perlunya peningkatan kapasitas kader
Perkebunan karet
- Harga tidak stabil
- Seringnya kebakaran
- Kesulitan mendapat bibit unggul
- Kesulitan mendapatkan pupuk
- Sering kebanjiran
- Perlu peralatan RPK apabila musim
kemarau alat RPK disiapkan di Desa
Sebangau Mulya dan apabila musim
penghujan alat RPK dikembalikan lagi di
kantor Resort Sebangau Kuala
- Perlunya peningkatan kualitas hasil
- Perlu pembuatan Peraturan Desa
- Pembuatan tanggul
- Harapan kedepannya pengeboran
sumur, mesin dan selang
Gedung Pustu - Kekurangan tenaga kesehatan karena di
desa hanya ada 1 (satu) orang bidan
- Mahalnya untuk biaya berobat
- Banyak yang mengeluh sakit rematik dan
asam urat
- Tidak adanya sumber air bersih
- Perlu penambahan tenaga kesehatan
Jalan desa - Musim penghujan jalan rusak/becek
- Musim kemarau jalan berdebu
- Semenisasi diusulkan ke PNPM
- Pengaspalan diusulkan ke Pemerintah
Daerah Pulang Pisau
Jembatan desa
- Kondisi jembatan sudah rusak - Perlu direnovasi/dicor
Gorong-gorong
- Kondisinya rusak - Gotong royong memasang kayu galam
- Pembuatan cor
Pekarangan rumah
- Banyak digunakan nyamuk untuk
berkembang biak
- Banyak hama
- Belum ada WC keluarga
- Pemanfaatan pekarangan dengan
kolam terpal
- Pembinaan keluarga ibu rumah tangga
dari BTNS dan WWF
- Pembuatan pekarangan holtikultura,
273
POTENSI MASALAH SOLUSI
- Pekarangan tidak dikelola dengan baik
- Masih kesulitan memasarkan hasil dari
pekarangan
- Transportasi masih sulit
- Kesulitan memusnahkan hasil dari
pekarangan diantaranya babi, biawak
- Kurangnya pembinaan dari instansi
terkait
- Belum ada pasar desa
kursus menjahit, pembuatan Pasar
Desa (PNPM)
C. Diagram Kelembagaan
3.
274
LEMBAGA MASALAH POTENSI
Pemerintah Desa
Hubungannya sedang pengaruhnya sedang, Perangkat Desa belum maksimal pelayanan kepada masyarakat, transportasi belum memadai, Belum memahami TUPOKSI-nya, Pemerintah Desa belum memahami pembuataan Peraturan Desa
- Perangkat Desa ada
- Sarana transportasi sangat terbatas
Rukun Tetangga (RT)
Hubungannya dekat dan pengaruhnya sedang karena sudah berfungsi tapi belum maksimal dalam pelayanan pada warganya.
- Ketua RT ada
Kelompok Tani
Hubungannya sedang pengaruhnya sedang, kegiatan kelompok tani agak macet, kurang penyuluhan dan jarang ada pertemuan dalam pembinaan kelompok tani
- Lembaga ada
- Pengurus kurang lengkap
Rukun Warga Hubungannya sedang pengaruhnya besar, sudah berfungsi tapi belum maksimal, karena kurang pembinaan
- Lembaga ada
- Pengurus belum lengkap
BPD
Hubungannya sedang pengaruhnya Besar, berfungsi namun belum maksimal pada pelayanan ke masyarakat
- Lembaga ada
- Pengurus lengkap
- Sarana kurang
LPMD Hubungannya sedang pengaruhnya besar, sudah ada kegiatan yang dilakukan ke masyarakat desa
- Lembaga ada
- Pengurus ada
PKK Jaraknya jauh pengaruhnya kecil, pasif, belum berfungsi secara maksimal
- Lembaga ada
- Sarana ada
Posyandu
Jaraknya sedang pengaruhnya sedang, telah melakukan kegiatan pelayanan walau belum memenuhi harapan masyarakat
- Pengurus ada
- Lembaga ada
- Sarana tempat belum lengkap
Karang Taruna Hubungannya dekat pengaruhnya sedang, belum maksimal, perlu peningkatan kapasitas kelompok
- Lembaga ada
- Pengurus belum lengkap
KPMD Jaraknya jauh dan pengaruhnya kecil, kurang koordinasi, belum maksimal melaksanakan tugas dan fungsinya.
- Lembaga ada
- Pengurus ada
BUMD / KUD Hubungannya jauh dan pengaruhnya kecil, KUD saat ini tidak berjalan lancar karena tidak ada program kerja, tidak ada pendanaan
- Lembaga ada
- Pengurus ada
Regu Pengendali Kebakaran (RPK)
Hubungannya sedang pengaruhnya besar, kurangnya peralatan, mesin pompa dan selang sudah rusak
- Pengurus ada
- Regu ada
RKM Jaraknya jauh dan pengaruhnya kecil, belum berfungsi, tidak memiliki rencana kerja
- Pengurus ada, baru dibentuk
275
LEMBAGA MASALAH POTENSI
Komite Sekolah Hubungannya jauh dan pengaruhnya kecil, belum transparan
� Pengurus ada
WWF
Jaraknya jauh dan pengaruhnya kecil
WWF tidak pernah ada kegiataan di Desa Sebangau Mulya yang ada di Desa SP 2
� Ada lembaga WWF
� Ada Staff WWF
BTNS
� Jaraknya sedang pengaruhnya besar
� Perlunya ditingkatkan lagi hubungan dengan
masyarakat desa
� Ada staff di lapangan
276
D. Kalender Musim
BULAN KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 KETERANGAN
Tani Padi v vv vvv
vvv
vv vv Pada bulan Juni s.d. Agustus pembersihan lahan dan pada bulan September s.d. Oktober dilakukan penanaman
Musim Kemarau
v vv vvv
vv v Kesulitan air bersih, banyaknya penyakit muntaber
Musim Penghujan
vvv
vvv
vvv
vv v v vv Seringnya kebanjiran lahan pertanian dan pekarangan
Musim Panen Padi
vvv
vvv
vvv
vv vv Kesulitan memasarkan hasil panen
Musim Taman Karet
v v v v v v Musim penanaman pohon karet ketika menghadapi musim kemarau
Musim Sadap Getah
vv vv vv vv v v v v vv vv vv vv Musim sadap bisa dilakukan ketika daun tidak gugur dan tidak pada saat hujan, hasil panen di desa Rp 5.000/Kg
Ternak Sapi, Kambing, Ayam
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sapi, kambing dijual untuk hajatan, ternak ayam untuk kebutuhan harian
Perikanan Nila
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Untuk konsumsi sendiri dan dijual
Sayur Mayur √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Awal musim hujan untuk konsumsi sendiri dan dijual
Kebun Sawit Pribadi
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sawit ± 10 kk luas total ± 15 ha
Merantau/ Kerja di luar Daerah
vv vv vv vv vv vv vv vv vv vv vv vv Buruh bangunan, kerja di perusahaan sawit, tambang emas
277
E. Bagan Kecendrungan usaha masyarakat
Tahun Usaha
1988 1990 1995 2000 2005 2010 2014
Pertanian vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv
Berkebun Palawija vv vvv vvvv vvvv vvvv vvv vvvv
Berkebun Karet vvv vvvv vvvv vvvv
Budidaya Ikan vv
Beretrnak Sapi vv vvv vvv vvv vvvv vvvv
Berkebun Sawit vv
Potensi dan masalah dalam usaha masyarakat
Potensi Masalah Solusi
Pertanian Sering kebanjiran
Kesulitan bibit dan pupuk
Tidak ada pembinaan dari PPL
Kesulitan pemasaran hasil panen
Pendangkalan irigasi tersier maupun skunder
Tidak adanya traktor
Pendalaman saluran tersier
Pembuataan tanggul di sebelah utara
Adanya KUD yang menyediakan SAPRODI pertanian
Adanya pasar untuk menampung hasil panen masyarakat
Berkebun Sawit
Sering kebakaran
Sering kebanjiran
Sulitnya mendapatkan pupuk dan kapur
Masyarakat belum memahami cara budidaya kebun sawit
Adanya pelatihan dalam budidaya sawit
Pengadaan alat RPK
Berkebun Palawija
Sering kebanjiran
Kesulitan pemasaran
Kesulitan mencari SAPRODI
Dilakukan pendalaman saluran irigasi
Perbaikan jalan dari Desa Sebangau Mulya menuju Kabupaten Pulang Pisau untuk pemasaran hasil panen petani
Budidaya Karet
Sering kebanjiran
Seringnya kebakaran di musim kemarau
Harga jual karet turun
Akses jalan untuk menjual ke luar masih rusak parah dan kondisi jembatan penghubung antara Kecamatan Sebangau Kuala dengan Kecamatan Maliku belum terealisasi
Pembuataan Perdes terkait kebakaran
Pengadaan alat RPK (mesin, selang dan sumur bor)
278
F. Pengelompokan masalah
Masalah Solusi
Seringnya terjadi kebakaran lahan dan kebun masyarakat
- Pembuataan Peraturan Desa tentang Kebakaran
- Pengadaan alat RPK
- Pelatihan tim RPK
Seringnya Kebanjiran lahan masyarakat
- Pendalaman saluran tersier dan sekunder
- Pembuataan tanggul di sebelah barat desa
Kesulitan mendapatkan pupuk dan saprodi
- Mengaktifkan KUD dan pembinaan terhadap pengelola KUD
Kesulitan memasarkan hasil pertanian
- Dibuatnya Pasar Desa dan perbaikan jalan menghubungkan
kecamatan yang lain
- Menyelesaikan jembatan penghubung di Sungai Sebangau
Masyarakat belum memahami cara budidaya karet (harga getah turun) dan sawit
- Adanya pelatihan budidaya karet dan sawit
- PPL aktif dalam membina masyarakat desa dalam pertanian
- Pengadaan bibit sawit dan karet yang berkualitas
- Pelatihan dalam pembuataan entris karet (okulasi)
- Pelatihan dalam peningkatan kualitas getah sesuai dengan
standar pabrik
Kondisi jalan desa rusak parah - Dilakukan semenisasi/pengaspalan
Kurangnya memahami TUPOKSI lembaga-lembaga yang ada di desa
- Pelatihan dalam TUPOKSI
- Pelatihan dalam managemen kelembagaan dan penguataan
kapasitas organisasi
Kesulitan mendapatkan air Bersih - Pembuataan sumur bor untuk masyarakat
Menurunya hasil panen masyarakat - Pendampingan ke para petani
- Pengadaan bibit pertanian yang berkualitas
- Pelatihan-pelatihan budidaya pertanian di lahan gambut
Hubungan WWF jauh dan penga-ruhnya kecil ke masyarakat
- WWF sering melakukan sosialisasi dan pendampingan ke desa-
desa binaan WWF
Kesulitan memasarkan hasil perternakan
- Dibuatnya pasar ternak
- Pelatihan penggemukan ternak
Banyaknya lahan-lahan masyarakat yang tidak dikelola
- Peminjaman lahan masyarakat yang tidak dikelola ke masyarakat
yang lain
- Pengadaan bibit perkebunaan seperti karet, sawit dan padi,
palawija
279
Urutan Peringkat Masalah
Kriteria dan nilai pembobotan
Masalah Dirasakan
oleh orang
banyak
Sangat
parah
Menghambat
peningkatan
pendapatan
Sering
terjadi
Jumlah
Nilai
Urutan
Ranking
Seringnya terjadi kebakaran lahan dan kebun masyarakat
10 10 10 9 39 4
Seringnya kebanjiran lahan masyarakat
10 10 10 8 38 5
Kesulitan mendapatkan pupuk dan saprodi
10 10 10 10 40 2
Kesulitan memasarkan hasil pertanian
10 9 10 8 37 6
Masyarakat belum memahami cara budidaya karet (harga getah turun) dan sawit
10 10 10 7 37 7
Kondisi jalan desa rusak parah
10 10 10 10 40 3
Kurangnya memahami TUPOKSI lembag-lembaga yang ada di desa
10 7 5 5 27 9
Kesulitan mendapatkan air bersih
10 10 4 9 32 12
Menurunya hasil panen masyarakat
10 10 10 9 39 4
Hubungan WWF jauh dan pengaruhnya kecil ke masyarakat
10 10 3 10 33 11
Kesulitan memasarkan hasil perternakan
10 10 10 6 36 10
Banyaknya lahan-lahan masyarakat yang tidak dikelola
10 10 10 10 40 1
280
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Data Analisa Kesimpulan
Menurunnya hasil panen padi dan palawija
- Kesulitan mendapatkan bibit,
pupuk dan kapur
- Kurangnya pembinaan untuk
para petani dalam bercocok
tanam
- Seringnya kebanjiran di saat
mau musim panen
- Menurunya hasil dan kualitas pertanian
dikarenakan lahan sering kebanjiran dan zat
asam yang sulit diantisipasi oleh masyarakat
karena kesulitan dan mahalnya pupuk dan
kapur pertanian, kurangnya penyuluhan yang
dilakukan oleh dinas terkait sehingga
masyarakat mengelola lahan secara
tradisonal dan tidak adanya pasar dalam
menjual hasil panen sehingga hanya untuk
kebutuhan rumah tangga di karenakan akses
jalan yang menghubungkan kota kabupaten
belum selesai dan jembatan penghubung
tidak ada, sehingga dijual secara murah
Budidaya karet - Kesulitan mendapatkan bibit
berkualitas
- Seringnya lahan yang ditanam
karet terbakar di musim
kemarau
- Kurang memahami budidaya
karet yang baik dan
berkualitas
- Ketika musim kemarau banyak lahan
masyarakat yang kebakaran dikarenakan alat-
alat RPK tidak ada dan sudah rusak, sehingga
mengakibatkan lahan-lahan yang ada
kebakaran. Ada yang sudah panen tetapi
harganya murah hanya 5000/kg. hasil panen
karet masyarakat mengeluh karena bibit yang
digunakan merupakan bibit lokal.
Berkebun sayur-sayuran
- Hanya dimanfaatkan untuk
keperluan rumah tangga
- Kesulitan pemasaran sehingga petani hanya
menanam untuk kebutuhan rumah tangga
dengan tidak seberapa luas
Kesulitan masyarakat dalam memasarkan hasil pertaniaan
- Hasil produksi lebih besar dari
pada penjualan sehingga
menyebabkan hasil panen
tidak terserap oleh pasar
hanya dikonsumsi oleh
masyarakat sendiri
- Diakibatkan karena akses jalan belum
terbangun secara baik dan jembatan
penyeberangan yang menghubungkan
Kecamatan Sebangau Kuala dengan
Kecamatan Maliku belum terselesaikan, pasar
dalam penampung hasil panen masyarakat
belum ada
B. Rekomendasi
281
Rekomendasi dari kajian ini diharapkan adanya pendampingan yang intensif dalam
implementasi di lapangan mengingat ini menggunakan kelompok yang sangat banyak dan
adanya evaluasi rutin yang dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang ada di
tingkat kelompok.
C. Saran
Saran dari pengkajian ini jangan membuat janji atau apapun yang bisa menimbulkan
konflik di masyarakat, dalam menjalankan program harus melihat kebutuhan yang ada di
masyarakat.
Disepakatinya pembagian peran yang jelas antara kelompok, Pemdes dan WWF supaya
ada rasa saling memiliki dari program.
282
FOTO SEBANGAU MULYA
Gambar 1. Persiapan tempat pengalian kajitindak mata pencaharian berkelanjutan
Gambar 2. Gambar pembukaan
Gambar 3. Pembukaan
283
Gambar 4. Pembuatan Sketsa Desa
Gambar 5. Diskusi tentang Sketsa Desa
284
Gambar 6. Diskusi
Gambar 7. Penggalian Kalender Musim
Gambar 8. Penggalian Perubahan dan Kecendrungan
285
Lampiran 3:
Gambaran Alat-alat Tangkap Ikan yang digunakan Nelayan di Kawasan Sebangau
Renggek
Pasuran Besar
Rempa
Pangilar Balida
Pengilar Kecil
Pengilar Kakari
Pengilar Besar
Jabak
Foto oleh Ma’mun Ansori - WWF
286
Tempirai Bambu
Tempirai Kawat
Selambau
Ancau
Ringkap
Tamba
Pasat
Foto oleh Ma’mun Ansori - WWF
287
Haup
Lunta
Kabam
Foto oleh Ma’mun Ansori - WWF
288
Lampiran 4:
RANGKUMAN HASIL KEGIATAN SURVEY
STUDI MATA PENCAHAHRIAN BERKELANJUTAN DI SEKITAR TAMAN NASIONAL SEBANGAU TAHUN 2014
Desa : Habaring Hurung
Kecamatan : Bukit Batu
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi sosial
kependudukan
1. Mata pecaharian penduduk 95% (dari sample responden) adalah petani sayur-sayuran
2. Sebagian penduduk bekerja sebagai buruh tambang pasir dan tukang 5%
3. Pendidikan 80% sekolah dasar (SD)
4. Penduduk asli suku jawa
2. Sumberdaya alam 1. Potensi pertanian terutama menghasilkan sayur-sayuran
2. Hutan sudah berkurang karena adannya kebun kelapa sawit (perorangan) berada berdekatan
dengan kawasan TNS
3. Sumberdaya
manusia (modal
sosial)
Melaksanan kegiatan pertanian sayur dilakukan berdua (suami istri). Menggunakan alat sadap,
parang dan cangkul.
4. Usaha-usaha
masyarakat, dulu
dan sekarang
Masyarakat Desa Habaring Hurung dari dulu dan sekarang sebagai petani (sayur-sayuran)
5. Faktor eksternal
yang menghambat
dan mendukung
Faktor penghambat dalam memanfaatkan sumberdaya alam:
1. Kurangnya modal usaha
2. Kurangnya teknologi pasca panen terutama mengolah hasil panen sayur.
3. Kurangnya tempat khusus penjualan sayur mayur sehingga menunggu pembeli yang datang
(tengkulak).
4. Kurangnya informasi terkini tentang harga sayur.
5. Kondisi tanah yang kurang subur butuh perlakukan khusus untuk mengolahnya sebagai tempat
menanam sayur.
6. Kebakaran lahan pada musim kemarau.
Adanya kerjasama antara intansi
terkait (TNS, Dinas Kehutanan Kota
Palangka Raya) untuk
mengembangkan sentra pertanian
sayuran sehingga hasil produksi
dapat meningkat PAD daerah dan
mastarakat setempat.
289
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
Faktor pendukung dalam memanfaatkan sumberdaya alam:
1. Kondisi letak desa yang strategis dimana terletak dipinggir jalan trans kalimatan poros selatan.
Sehingga memudahkan penjualan sayur ke Kota Palangka Raya
2. Kebutuhan pasar yang terus meningkat terhadap sayur mayur (salah satu memenuhi
kebutuhan sayur di Kota Palangka Raya)
3. Adanya dukungan modal usaha dari pengumpul/tengkulak.
6. Pasar Hasil sayur mayur dapat dibeli lansung oleh pengumpul yang telah menunggu di rumah atau
langsung ke kebun. Dan pengumpul selanjutnya menjual ke pasar Palangka Raya.
7. Modal Modal petani sayur dalam melaksanakan usahnya diperoleh dari pengumpul. Dimana memberikan
modal awal seperti untuk membeli bibit, pupuk kandang, hebrisida dan isektisida dan kebutuhan
sembako.
8. Ekonomi rumah
tangga
Hasil julan sayuran yang diperoleh dipotong pinjam modal dari pengumpul. Sisa keutungan
tersebut yang digunakan untuk ekonomi rumah tangga,
9. Analisa Usaha 1. Modal usaha untuk menanam sayur sebesar Rp. 1.000.000,/periode tanam (3 bulan)
2. Harga julan sayur mayur tidak diketahui petani
10. Persepsi terhadap
TNS
Sebagian masyarakat desa Habaring Hurung sudah mengetahui keberadaan Taman Nasional
Sebangau. Dan mereka mengharapkan ada akses masuk kedalam untuk berusaha terutama untuk
mencari galam. Disamping itu TNS sudah melaksanakan kegiatan bakti sosial dimasyarakat ini
seperti:
1. Melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa SMP.
2. Mengajarkan pengoperasian komputer bagi siswa SD-SMP.
3. Melaksanakan perkemahan Sabtu Minggu di sekolah dasar.
4. Studi wisata ke Palangka Raya
290
Desa : Henda
Kecamatan : Jabiren Raya
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi sosial
kependudukan
1. Mata pecaharian penduduk 95% (dari sample responden) adalah petani karet
2. Sebagian penduduk bekerja sebagai buruh sawit 5%
3. Pendidikan 80% Sekolah Menengah Pertama
4. Penduduk asli suku dayak, dan pendatangdari suku banjar, jawa dan sunda
2. Sumberdaya alam 1. Potensi perkebunan karet terutama menghasilkan menghasilkan karet mentah
2. Penghasil buah mengkahai, rambutan dan melon pada musim buanya
3. Hutan sudah berkurang karena adannya perkebunan kelapa sawit berada dibelakang desa
3. Sumberdaya
manusia (modal
sosial)
Menyada karep berdua, dimana satu menyandap dan yang lainya mengambil karet. Jam bekerja dari
jam 05.00-12.00 Wib. Menggunakan alat sadap, parang dan mangkok tempat mengumpul karet dari
pohon
4. Usaha-usaha
masyarakat, dulu
dan sekarang
Masyrakat Desa Henda dari dulu sebagai petani karet, dan dengan berkembangnya usaha kelapa
sawit sebagain masyrakat bekerja sebagai buruh sawit
5. Faktor eksternal
yang menghambat
dan mendukung
Faktor penghambat dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kurangnya modal usaha
2. Kurangnya ketrampilan dalam mengelola sumberdaya perkebunan karet
3. Kurangnya teknologi pasca panen terutama mengolah hasil sadap. Ada masih karet yang kotor
sehingga mempengaruhi kualitas dan harga karet jatuh.
4. Kurangnya tempat khusus penjualan karet sehingga menunggu pembeli yang datang.
5. Kurangnya informasi terkini tentang harga jual karet.
6. Kebakaran lahan yang tidak terkontrol
Faktor pendukung dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kondisi tanah yang subur yang cocok untuk pertumbuhan karet
2. Kondisi letak kebun yang strategis dimana terletak dipinggir jalan trans kalimatan poros selatan.
Sehingga memudahkan kases penjulan karet
3. Kebutuhan pasar yang terus meningkat terhadap karet (undang papay, undang windu dan ikan
kering)
Adanya kerjasama antara intansi
terkait (TNS, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Pulang Pisau) untuk
mengembangkan sentra
perkebunan karet dan buah-
buahan sehingga hasil takapan
dapat meningkat PAD daerah dan
mastarakat setempat.
291
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
4. Adanya dukungan modal usaha dari pengumpul.
5. Adanya pabrik pengolahan karet di Desa Garung, Kuala Kapuas (Kab Kapuas) dan di Tangkiling
(Kota Palangka Raya)
6. Serta akses penjulan karet bisa kepengmpul, atau kepabrik.
7. Pengumpul dan hasil olah pabrik dapat di jual langsung melalui pelabuhan laut di Sampit atau ke
Banjarmasin.
6. Pasar Hasil sadap karet dibeli lansung oleh pengumpul yang telah menunggu di rumah atau langsung ke
kebun karet. Dan pengumpul selanjutnya menjual ke pasar atau ke pabrik Palangka Raya, Kuala
Kapuas atau Banjarmasin
7. Modal Modal petani karet dalam melaksanakan usahnya diperoleh dari pengumpul. Dimana memberikan
modal awal seperti untuk membeli asam semut, peralata sadap karet dan kebutuhan sembako.
8. Ekonomi rumah
tangga
Hasil julan karet yang diperoleh dipotong pinjam modal dari pengumpul. Sisa keutungan tersebut
yang digunakan untuk perekonomia rumah tangga,
9. Analisa Usaha 1. Modal usaha sekali menyadap karet membutuh dana untuk memebli bahan bakar besain 3 liter
@ Rp. 8.500/Liter
2. Penjualan karet mentah Rp. 6.000/kg basah. Dimana optimal bekerja 4 hari dalam seminggu,
dalam 1 hari menghasilkan karet 4 kg/ha.
10. Persepsi
terhadap TNS
Sebagian masyarakat desa Henda sudah mengetahu keberadaan Taman Nasional Sebangau. Dan
mereka mengharapkan ada akses masuk kedalam untuk berusaha terutama untuk mencari galam.
292
Desa : Garong
Kecamatan : Jabiren Raya
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi Sosial
Kependudukan
Umur penduduk antara 25 tahun sampai dengan 70 tahun, kemudian pendidikan secara umum
terendah adalah Sekolah dasar dan tertinggi SLTA.
Jumlah angota rumah tangga paling rendah dua orang (suami dan istri) sampai dengan tujuh orang.
Penduduk desa Garong kebanyakan suku Dayak kemudian suku Banjar. Pendatang di desa Garong
adalah dari pulau Jawa dan Sumatera (suku Batak)
� Sedikit penduduk yang memiliki
pendidikan lanjutan atas.
� Peningkatan pendidikan
diperlukan di desa ini.
2. Sumberdaya Alam Pekerjaan pokok masyarakat sangat tergantung kepada harga keluaran. Pekerjaan utama adalah
menyadap karet, namun pada saat harga karet menurun, penduduk beralih mata pencaharian
sebagai nelayan.
Sebagai mata pencaharian sampingan mencari galam dan sebagian kecil penduduk menjadi buruh
perkebunan kelapa sawit.
Sumberdaya alam yang dipergunakan adalah lahan, sungai dan danau untuk lahan pertanian dan
perikanan. Sumberdaya hutan terutama kayu galam dijadikan sebagai salah satu sumber
pendapatan.
Mengusahakan sumberdaya alam dengan peralatan sederhana.
Potensi sumberdaya alam di luar desa Garong cukup luas, namun ancaman keberadaan sumberdaya
alam tersebut bisa pindah pemilik ke perusahaan sawit yang selalu menawarkan keuntungan untuk
dijadikan lahan perkebunan.
Persaingan antar penduduk desa Garong tidak ada, namun antar penduduk dengan perusahaan dan
antar penduduk Desa Garong dengan desa tetangga di masa akan datang ada potensi konflik
pemilikan lahan.
Ada oknum menjual lahan yang ada untuk perusahaan kelapa sawit .
Keadaan sumberdaya alam masa lalu lebih baik dibandingkan dengan sekarang.
� Pembuatan kanal pada saat proyek lahan gambut (PLG) masih dirasakan dampak negatifnya
sampai sekarang,
� Setelah kehadiran perkebunan kelapa sawit keadaan air diperkirakan dalam jangka panjang
menjadi berubah, terutama perubahan tingkat keasaman air (pH).
Konflik antar warga kaitanya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tidak ada.
� Ada permasalahan tata batas
dengan pihak perusahaan
perkebunan
� Permasalahan dengan pihak
perusahaan kelapa sawit perlu
dituntaskan.
� Ada keinginan untuk
membangun tambak, namun
terkendala dengan modal.
� Air sungai sudah mulai tercemar
oleh racun hama tanaman
kelapa sawit.
� Ada pengaturan air agar tidak
melalui saluran irigasi untuk
tanaman dan perikanan.
� Perlu penjelasan tata batas
antar desa.
293
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
Ada potensi konflik antar desa karena tata batas belum jelas.
Aturan formal dan non-formal (kearifan lokal) yang harus diikuti di desa ini tidak ada.
3. Sumberdaya
manusia (Modal
Sosial)
Lembaga-lembaga yang ada di desa Garong adalah lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan.
Penduduk desa ini hampir tidak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan. Sehingga pengembangan
usaha berdasarkan pemanfaatan pelatihan tidak ada.
Masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di desa Garong, karena sungai dan lahan
yang ada merupakan salah satu faktor produksi yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan.
Kegiatan gotong royong selalu ada di desa Garong berupa perbaikan jalan dan jembatan.
� Tidak ditemukan warga yang
telah mendapat pendidikan dan
ketrampilan
� Pendidikan ketrampilan yang
sifatnya non formal diperlukan
di desa ini.
4. Usaha-usaha
masyarakat dulu
dan sekarang
Kebanyakan usaha masa lalu adalah perikanan namun sesuai dengan perubahan pola ekonomi yang
bersifat “instan” atau keinginan cepat memperoleh uang maka usaha nelayan berubah menjadi
pencari kayu galam, dan sebagian berubah menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Besar biaya yang dikeluarkan pada saat ini menurut penduduk sama dengan hasil yang diterima
ditambah biaya operasional. Hampir seluruh penduduk tidak memiliki dana untuk berjaga-jaga atau
simpanan, karena penerimaan sama dengan pengeluaran dalam satu hulan.
Tidak ada pergantian musim yang ekstrim di desa Garong setiap tahun.
Perikanan (-) : Sumberdaya air untuk lokasi penangkapan ikan darat sudah mulai rusak, sehingga
ikan-ikan semakin sedikit terutama yang terletak diwilayah air payau.
Dampak negatif terhadap lingkungan dari usaha-usaha masyarakat tidak ada, namun dari
perusahaan ada yaitu perubahan tata air oleh perusahaan kelapa sawit, sehingga merusak
lingkungan tempat ikan berkembang biak.
Alat yang digunakan sebagian besar alat yang masih tradisional.
� Pembuatan kanal pada saat
proyek lahan gambut (PLG)
masih dirasakan dampak
negatifnya sampai sekarang.
� Pemulihan lahan perlu
dilakukan walaupun dengan
cara perlahan-lahan atau
bertahap.
� Harus ada komunikasi dengan
pihak perusahaan perkebunan
kepala sawit agar sistim
drainase yang mencemari
lingkungan perlu dihentikan.
294
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
5. Sumberdaya
Manusia (Modal
sosial)
Secara umum sedikit mengalami kendala dari kebijakan pemerintah. Ada kebijakan pemerintah
seperti larangan pembakaran hutan, larangan penangkapan ikan dengan cara-cara illegal. Ada saja
penduduk yang bisa melanggarnya, namun tidak pernah ada warga masyarakat pelaku yang
dihukum.
Tidak ada LSM dan program CSR di desa ini, sehingga penduduk tidak bisa menjelaskan atau menilai
program LSM dan CSR.
Lembaga ekonomi tidak ada yang memanfaatkan sumberdaya alam di desa Garong
� Belum ada cara mengganti
pembakaran hutan untuk
pembukaan lahan pertanian.
� Masih ada penangkapan ikan
dengan cara stroom listrik.
Disadari hal ini merugikan
nelayan konvensional.
� Perlu memberi pengertian
bahwa membakar hutan ada
batasnya dan menangkap ikan
dengan cara ilegal akan ber-
akibat kerusakan lingkungan.
6. Pasar Produk masyarakat di jual pada pedagang pengumpul di desa. Produk yang dijual adalah ikan
dengan memakai taransportasi perahu mesin.
Distribusi pemasaran produk langsung antara penduduk dengan pedagang pengumpul, sebahagian
di antar ke ibukota kabupaten (Pulang Pisau) dan propinsi (Palangka Raya) dengan pembayaran cash
atau kontan. Namun ada sebagian kecil penduduk yang menerima uang muka terutama nelayan
untuk biaya tidak terduga dan biaya operasional. Pemasaran produk tanpa promosi.
� Nelayan mampu menjual
produk di luar desa Garong
melalaui pedagang pengumpul,
ke luar desa (ibukota
kecamatan, kabupaten/
propinsi).
7. Modal Pengeluaran yang dianggap sebagai modal terdiri dari lat-alat tangkap seperti pancing, luka, buwu
dan lain-lain + perahu mesin.
Sumber modal sebagian besar biaya sendiri atau pendapatan yang tidak dikonsumsi, sedangkan
sebagian kecil dibiayai oleh pedagang pengumpul berupa uang muka untuk mencari ikan.
Kekuatan dari modal sendiri yaitu mengurangi ketergantungan dari pihak kedua, sedangkan
kelemahannya modal yang berasal dari tabungan tidak maksimal untuk usaha.
� Responden (penduduk) tidak
bisa menghitung dengan pasti
modal yang digunakan.
� Perencanaan sumber modal,
pemanfatan modal perlu
diketahui oleh nelayan melalui
pelatihan evaluasi proyek
secara sederhana.
8. Ekonomi Rumah
Tangga Tanggungan kepala rumah tangga rata-rata 4 orang yang terdiri dari suami, istiri dan dua anak.
Jumlah yang ikut bekerja paling banyak tiga orang yaitu suami, istri ditambah satu anak yang telah
dewasa.
Pendapatan keluarga hampir sama dengan pengeluaran. Istilah penduduk adalah “lek-lekan”. Rata-
Perencanaan pengeluaran rumah
tangga yang baik perlu
diperkenalkan kepada penduduk
melalui penyuluhan.
295
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
rata penduduk tidak mempunyai tabungan. Pengeluaran yang lebih dominan adalah untuk pangan,
kemudian untuk lain-lain seperti biaya usaha sehari-hari.
9. Analisa Usaha Penduduk sudah mulaImelirik tanaman jangka panjang seperti peremajaan karet, tanaman sawit,
sarang burung walet, dan seikit yang merencanakan pembuatan tambak ikan.
Biaya produksi yang dikeluarkan cukup besar untuk ukuran keluarga karena memerlukan puluhan
juta. Sedangkan mereka tidak memiliki dana tabungan untuk dijadikan modal. Tidak ada penjelasan
tentang jumlah modal yang konkrit, karena belum ada referensi tentang setiap usaha.
Tenaga kerja yang digunakan menyesuaikan jenis usaha. Sedangkan produk dan harga disesuikan
juga dengan usaha.
Ongkos transport untuk masing-masing produk tidak bisa ditentukan oleh penduduk.
Saingan produk pada umumnya tidak ada.
Penduduk tidak bisa memastikan
jumlah modal yang akan digunakan
di masa akan datang.
Perlu diberikan pengetahuan
pembuatan studi kelayakan
sederhana untuk menghitung biaya
dan manfaat setiap rencana usaha.
10. Persepsi terhadap
TNS Penduduk mengetahui Tanaman Nasional Sebangau (TNS) telah diketahui masyarakat sejak lama
dari teman-teman, pejabat di pemerintahan,. Pengetahuan tentang TNS sangat memadai karena
letaknya dekat dari desa Garong. Kegiatan masyarakat bersentuhan langsung dengan kegiatan di
TNS seperti menangkap ikan. Penduduk hanya sekedar “mendengar” ada TNS dengan istilah yang
beragam seperti hutan lindung dan hutan konservasi.
Perubahan terhadap desa tidak ada, walaupun lokasinya dekat dari desa.
Kehadiran TNS sangat baik terutama pertumbuhan sumber hayati.
Harapan masyakat diperbolehkan menebang kayu untuk kebutuhan sendiri.
TNS sebagai kawasan konservasi baik dan penduduk sadar bahwa TNS sebagai paru-paru Kalimantan
Tengah.
Penduduk tidak sedikit mengetahui potensi yang ada di TNS seperti penetapan Hutan sebangau
telah ditetapkan menjadi taman nasional, memiliki kayu ramin, jelutung, belangiran, nyatoh, agathis
dan keruing. Penduduk juga mengetahui keberadaan satwa seperti bekantan, orang utan, beruang
madu, macan dahan, kucing hutan dan berbagai jenis burung. Jelasnya TNS adalah kawasan yang
dijaga ketat oleh aparat yang bersenjata.
� Taman Nasional Sebangau
dianggap sebagai wilayah ter-
tutup bagi usaha masyakarat.
Memasuki TNS dianggap mel-
anggar hukum selain mencari
ikan.
� Sosialisasi tentang TNS sangat
diperlukan untuk masyakat
Desa Garong.
296
Desa : Sei Hambawang
Kecamatan : Sebangau Kuala
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi sosial
kependudukan
1. Mata pecaharian penduduk 90% nelayan
2. Sebagian penduduk bekerja sebagai buruh sawit 10%
3. Pendidikan 80% sekolah dasar
4. Penduduk asli (suku dayak), dan pendatangdari suku banjar dan jawa.
2. Sumberdaya alam 1. Potensi perikanan laut terutama menghasilkan undang papay, undang induk dan ikan kering laut
2. Hutan sudah berkurang karena adannya perkebunan kelapa sawit
3. Sumberdaya
manusia (modal
sosial)
Menangkap ikan dengan perahu dan menggunakan alat tanggkap, dalam 1 perahu ada 2 orang
dimana 1 sebagai juru mudi dan mengendalikan alat tangkap ikan, serta 1 orang sebagai juru mesin.
Waktu kerja di laut dari jam 07.00-11.00 Wib.
4. Usaha-usaha
masyarakat, dulu
dan sekarang
1. Responden H. Isen (50 tahun) menyatakan
“Saya dulu sebagai pencari kayu di hutan Sei Hambang (1990-2000an) karena kondisi kayu
berkurang serta pembeli tidak dan ada kebijakan pemerintah melarang penebangan kayu,
maka saya berpindah menjadi pengumpul (pembeli ikan) dari para nelayan”.
2. Pak Itok (41 tahun) menyatakan
“Menjadi nelayan laut sejak ikut orang tua hingga sekarang. Sebelumnya menjadi nelayan air
darat (sungai) sangat berkurang karena sungai sudah rusak oleh adanya kebun kelapa sawit
yang, dimana limbah hebrisidak dan insektisidanya tercuci dan larut ke bataran sungai
hambawang” (pernyataan ini perlu diverifikasi lagi)
Adanya kerjasama antara intansi
terkait (TNS, Dinas Perikanan dan
kelautan Pulang Pisau, Dinas
Kehutanan Pulang Pisau) untuk
mengembangkan sentra
perikangnan laut sehingga hasil
takapan dapat meningkatkan PAD
dan masyarakat lokal.
5. Faktor eksternal
yang meng-
hambat dan
mendukung
Faktor penghambat dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kurangnya modal usaha
2. Kurangnya keterampilan dalam mengelola sumberdaya perikanan laut
3. Kurangnya teknologi pasca panen ikan sehingga tidak dapat meningkatnya nilai jual udang papay
dan undang widu
4. Kurangnya tempat penjualan ikan sehingga menunggu pembeli yang datang.
5. Kurangnya informasi harga jual ikan
6. Banyak pembeli yang datang diluar provinsi Kalimantan Tengah teruma dari Kalsel karena akses
jalan menunju desa tersebut belum tersedia
297
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
7. Usaha perikanan ikan laut tergantung cuaca sehingga hasil tangkapan terbatas (06.00-11.00 Wib).
8. Adanya nelayan luar dari desa Sei Hambawang yang mencari ikan di laut dekat Sei Hambawang.
Faktor pendukung dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kondisi yang strategis dimana terletak dimuara sungai sebangau dan dilaut jawa. Letak desa Sei
Hambawang dekat dgn laut, dimana jarak tempuh ke laut hanya 40 menit dengan kapal motor.
2. Kebutuhan pasar yang terus meningkat dengan ikan air laut (undang papay, undang windu dan
ikan kering)
3. Adanya dukungan modal usaha dari pengumpul ikan air laut.
6. Pasar Hasil tangkapan ikan laut yang diperoleh dibeli oleh pengumpul yang telah menunggu di rumah
nelayan. Dan pengumpul selanjutnya menjual ke pasar di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Pulang Pisau,
Palangka Raya dan Sampit khusus (udang papay).
7. Modal Modal nelayan dalam melaksanakan usahnya diperoleh dari pengumpul. Dimana memberikan
modal awal seperti untuk membeli bahan bakar, peralatan tangkap ikan dan kebutuhan sembako.
8. Ekonomi rumah
tangga Hasil jualan ikan yang diperoleh dipotong pinjam modal dari pengumpul. Sisa keuntungan tersebut
yang digunakan untuk ekonomi rumah tangga (kebutuhan).
9. Analisa Usaha 1. Modal usaha sekali melaut membutuhkan dana untuk membeli bahan bakar premium sabanyak
10 liter @ Rp. 9.500/Liter
2. Penjualan ikan udang papay Rp. 25.000/kg yang sudah kering. Udang windu Rp 10.000/kg basah.
Ikan kering laut Rp. 15.000/kg.
10. Persepsi terhadap
TNS Sebagian masyarakat desa Sei Hambawang belum mengenal keberadaan Taman Nasional Sebangau.
298
Desa : Muara Pangkoh (Paduran Sebangau)
Kecamatan : Sebangau Kuala
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi sosial
kependudukan
1. Mata pecaharian penduduk 80% nelayan.
2. Sebagian penduduknya kerja di perkebunana sawit sebagai buruh
3. Pendidikan 80% sekolah dasar
4. Penduduk asli suku dayak, dan pendatang dari suku banjar dan jawa.
2. Sumberdaya
alam
1. Potensi perikanan darat.
2. Hutan sudah berkurang karena adannya perkebunan kelapa sawit
3. Sumberdaya
manusia (modal
sosial)
Menangkap ikan dengan perahu dan menggunakan alat tangkap tempirai, buwu dan kalang. Waktu
kerja di sungai dari jam 07.00-14.00 Wib.
4. Usaha-usaha
masyarakat, dulu
dan sekarang
1. Responden dulu sebagai melakukan penembangan kayu di Sei Sebangau (1990-2000an) karena
kondisi kayu berkurang serta pembeli tidak ada didukung lagi kebijakan pemerintah melarang
mengkplorasi kayu, maka saya berpindah sebagai nelayan
2. Kerja diperkebunana kelapa sawit sebagai buruh sawit
Adanya kerjasama antara intansi
terkait (TNS, Dinas Perikanan dan
kelautan Pulang Pisau, Dinas
Kehutanan Pulang Pisau) untuk
mengembangkan sentra perikanan
darat sehingga hasil tangkapan
dapat meningkatkan PAD dan
masyarakat setempat.
5. Faktor eksternal
yang
menghambat dan
mendukung
Faktor penghambat dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kurangnya modal usaha
2. Kurangnya ketrampilan dalam mengelola sumberdaya perikanan darat
3. Kurangnya teknologi pasca panen ikan sehingga tidak dapat meningkatnya nilai jual.
4. Kurangnya tempat penjualan ikan sehingga menunggu pembeli yang datang.
5. Kurangnya informasi harga jual ikan
6. Banyak pembeli yang datang diluar provinsi Kalimantan Tenga teruma dari Kalsel karena akses
jalan menunju desa tersebut belum maksimal baik.
7. Usaha perikanan dengan menggunkana penanggkappan ikan dengan strom (listrik) atau racun
sehingga mematikan ikan semuanya.
Faktor pendukung dalam pemanfaatan sumberdaya alam:
1. Kondisi yang strategis dimana terletak ditepi sungai sebangau dan berdekatan dengan Ibu kota
kecamatan Sebagau Kuala. Serta desa tersebut dilaui jalan menuju ibu kota kabuoaten Pulang
Pisau
299
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
2. Kebutuhan pasar yang terus meningkat dengan ikan air darat.
3. Adanya dukungan modal usaha dari pengumpul ikan darat
6. Pasar Hasil tangkapan ikan darat yang diperoleh di beli oleh pengumpul yang telah menunggu di rumah
nelayan. Dan pengumpul selanjutnya menjual ke pasar Pulang Pisau, Palangka Raya.
7. Modal Modal nelayan dalam melaksanakan usahnya diperoleh dari pengumpul. Dimana memberikan
modal awal seperti untuk membeli bahan bakar, peralata tangkap ikan dan kebutuhan sembako.
8. Ekonomi rumah
tangga Hasil jualan ikan yang diperoleh dipotong pinjam modal dari pengumpul. Sisa keutungan tersebut
yang digunakan untuk perekonomia rumah tangga,
9. Analisa Usaha 1. Modal usaha sekali melaut membutuh dana untuk memebli bahan bakar besain 10 liter @ Rp.
8.500/Liter
2. Penjualan ikan gabus Rp. 10.000/kg. Undang petok Rp 8.000/kg basah
10. Persepsi
terhadap Taman
Nasional
Sebangau (TNS)
Masyarakat Muara Pangkoh mengetahui keberadaan TNS melalui sosailisasi intansi terkait.
Masyarakat mengharapkan ada akses masuk ke TNS terutama dalam usaha mencari ikan dan
memngambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari serta adanya dukungan dari TNS untuk mendukung
taraf hidup masyarakat
300
Dusun : Sei Bantanan (Paduran Sebangau)
Kecamatan : Sebangau Kuala
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
1. Kondisi sosial
kependudukan
1. Mata pecaharian penduduk 40% nelayan.
2. Sebagian besar (60%) penduduknya kerja di perkebunana sawit sebagai buruh
3. Pendidikan 80% sekolah dasar
4. Penduduk asli suku dayak, dan pendatang dari suku banjar dan jawa.
2. Sumberdaya alam 1. Potensi perikanan darat.
2. Hutan sudah berkurang karena adannya perkebunan kelapa sawit
3. Sumberdaya
manusia (modal
sosial)
Menangkap ikan dengan perahu dan menggunakan alat tangkap tempirai, buwu dan kalang. Waktu
kerja di sungai dari jam 07.00-14.00 Wib.
4. Usaha-usaha
masyarakat, dulu
dan sekarang
3. Responden dulu sebagai melakukan penembangan kayu di Sei Sebangau (1990-2000an) dan
nelayan ikan darat
4. Kerja diperkebunana kelapa sawit sebagai buruh sawit
Adanya kerjasama antara intansi
terkait (TNS, Dinas Perikanan dan
kelautan Pulang Pisau, Dinas
Kehutanan Pulang Pisau) untuk
mengembangkan sentra
perinkanan darat sehingga hasil
tangkapan dapat meningkatkan
PAD daerah dan masyarakat
setempat.
5. Faktor eksternal
yang menghambat
dan mendukung
Faktor penghambat dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kurangnya modal usaha
2. Kurangnya ketrampilan dalam mengelola sumberdaya perikanan darat
3. Kurangnya teknologi pasca panen ikan sehingga tidak dapat meningkatnya nilai jual ikan darat
4. Kurangnya tempat penjualan ikan sehingga menunggu pembeli yang datang.
5. Kurangnya informasi harga jual ikan
6. Akses jalan menunju desa tersebut belum maksimal baik.
7. Usaha perikanan ikan tergantung cuaca sehingga hasil tangkapan terbatas.
8. Kegiatan penanggakan ikan yang ilegal menggunankan strom (listrik) dan racun oleh orang diluar
desa.
Faktor pendukung dalam memanfaat sumberdaya alam:
1. Kondisi yang strategis dimana terletak ditepi sungai sebangau dan berdekatan dengan Ibu kota
kecamatan Sebagau Kuala. Serta desa tersebut berdekatan dengan perkebunana kelapa sawit
2. Kebutuhan pasar yang terus meningkat dengan ikan air darat.
301
Parameter Kajian Uraian Rekomendasi
3. Adanya dukungan modal usaha dari pengumpul ikan darat
6. Pasar Hasil tangkapan ikan darat yang diperoleh di beli oleh pengumpul yang telah menunggu di rumah
nelayan. Dan pengumpul selanjutnya menjual ke pasar Pulang Pisau, Palangka Raya.
7. Modal Modal nelayan dalam melaksanakan usahnya diperoleh dari pengumpul. Dimana memberikan
modal awal seperti untuk membeli bahan bakar, peralata tangkap ikan dan kebutuhan sembako.
8. Ekonomi rumah
tangga
Hasil jualan ikan yang diperoleh dipotong pinjam modal dari pengumpul. Sisa keutungan tersebut
yang digunakan untuk perekonomia rumah tangga,
9. Analisa Usaha 1. Modal usaha sekali melaut membutuh dana untuk memebli bahan bakar besain 10 liter @ Rp.
8.500/Liter
2. Penjualan ikan gabus Rp. 10.000/kg. Undang petok Rp 8.000/kg basah
10. Persepsi ter-
hadap Taman
Nasional
Sebangau (TNS)
Masyarakat Sei Bnatanan mengetahui keberadaan TNS melalui sosailisasi intansi terkait. Masyarakat
mengharapkan ada akses masuk ke TNS terutama dalam usaha mencari ikan dan memngambil kayu
untuk kebutuh sehari-hari. Serta adanya dukungan dari TNS untuk mendukung taraf hidup
masyarakat
302
Lampiran 5:
Analisis Kualitas Contoh Air Untuk Kegiatan Budidaya Ikan di Sungai Sebangau dan Sungai Katingan
Nomor Sampel Lokasi
368 Desa Perigi
369 Desa Tumbang Bulan
370 Desa Telaga
371 Desa Karuing
372 Desa Jahanjang
373 Desa Tumbang Runen
374 Danau Purun, Tumbang Runen
375 Sungai Runen, Tumbang Runen
376 Desa Baun Bango
377 Desa Asem Kumbang
378 Desa Tumbang Panggu
ANALISIS KUALITAS AIR
CONTOH AIR WWF
UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN
No Contoh Uji : 368
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 16,8 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 30 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,9 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,3 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,349 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,084 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 4,25 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 4,87 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 9,84 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,515 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 10,9 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 38,7 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 0,01 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,041 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 4,87 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
2. Air terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas, pH yang
rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti klor bebas dan Fenol melebihi
ambang batas yang dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 369
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 15 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 40,4 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,9 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,32 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,314 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,084 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 4,51 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 5,47 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 9,30 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,325 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 9,7 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 29,0 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 2,57 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,043 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 5,47 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
2. Air terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas, pH yang
rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi
ambang batas yang dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 370
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 13 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 6,5 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,6 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,265 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L 0,057 ≤ 0,02 PP 82/2001 Tidak memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,320 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,075 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 2,46 > 3 PP 82/2001 Tidak memenuhi
12 pH - 4,81 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 10,0 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,76 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 13,9 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 41,9 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 0,007 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,034 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis :
1. Kondisi DO sebesar 2,46 mg/L kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-
jenis ikan yang mempunyai labirin atau tahan oksigen rendah misalnya ikan lele, gabus dan patin.
2. pH sebesar 4,81 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
3. Air terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas, pH yang
rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti amonia, nitrit, klor bebas dan Fenol
melebihi ambang batas yang dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 371
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 17 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 48,4 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 27,1 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,27 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,307 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,063 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 5,33 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 5,78 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 10,8 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,24 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 7,53 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 22,6 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L ttd 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,041 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 5,78 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu, gabus dan patin.
2. Air terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas, pH yang
rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti nitrit, klor bebas dan Fenol
melebihi ambang batas yang dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 372
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 19 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 68,4 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,8 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,23 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,285 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,063 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 5,75 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 6,21 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 6,44 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,135 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 3,2 ≤ 6 PP 82/2001 Memenuhi
17 COD mg/L 9,67 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 3,12 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,033 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 6,21 berada di bawah kondisi optimum, akan sedikit berpengaruh terhadap
pertumbuhan ikan.
2. Beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 373
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 18 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 58,8 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,9 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,23 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,240 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,064 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 5,07 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 6,39 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 7,75 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,125 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 3,0 ≤ 6 PP 82/2001 Memenuhi
17 COD mg/L 9,67 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 2,81 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,033 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L 0,06 ≤ 0,05 PP 82/2001 Tidak memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 6,39 berada di bawah kondisi optimum, akan sedikit berpengaruh terhadap
pertumbuhan ikan.
2. Beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol, Fe dan Zn melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 374
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 17 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 16,0 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 27,7 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,25 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,168 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,064 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 2,79 > 3 PP 82/2001 Tidak memenuhi
12 pH - 5,97 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 6,91 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,275 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 5,4 ≤ 6 PP 82/2001 Memenuhi
17 COD mg/L 16,1 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 2,21 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,034 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001 Memenuhi
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. Kondisi DO sebesar 2,79 mg/L kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-
jenis ikan yang mempunyai labirin atau tahan oksigen rendah misalnya ikan lele, gabus dan patin.
2. pH sebesar 5,97 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
3. Beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan
No Contoh Uji : 375
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 16 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 5,5 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 28 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,16 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,191 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,036 ≤ 0,06 PP 82/2001 Memenuhi
11 DO mg/L 1,86 > 3 PP 82/2001 Tidak memenuhi
12 pH - 5,63 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 4,99 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,35 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 10,8 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 35,4 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 1,39 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,014 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. Kondisi DO sebesar 1,86 mg/L kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-
jenis ikan yang mempunyai labirin atau tahan oksigen rendah misalnya ikan lele, gabus dan patin
2. pH sebesar 5,63 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
3. Air terindikasi pencemaran ditandai dengan nilai BOD yang melebihi ambang batas, pH yang
rendah, dan terdapat beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi
ambang batas yang dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 376
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 48 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 2,6 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 28,7 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L 0,021 ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,24 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L 0,016 ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,537 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,068 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 5,59 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 4,18 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 16,1 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 1,14 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 43,9 ≤ 6 PP 82/2001 Tidak memenuhi
17 COD mg/L 77,4 ≤ 50 PP 82/2001 Tidak memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 1,52 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,041 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis :
1. Air terindikasi mengalami pencemaran ditandai dengan nilai BOD dan COD yang besar, pH yang
asam dan adanya beberapa parameter pencemar yang melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan (misalnya klor bebas, fenol dan besi).
2. pH sebesar 4,18 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus.
No Contoh Uji : 377
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 18 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 82,4 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 27,1 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,24 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,303 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,058 ≤ 0,06 PP 82/2001 Memenuhi
11 DO mg/L 5,15 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 5,76 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 6,82 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,105 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 3,4 ≤ 6 PP 82/2001 Memenuhi
17 COD mg/L 12,9 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 3,76 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,039 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis:
1. pH sebesar 5,76 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus
2. Beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan.
No Contoh Uji : 378
No Parameter Satuan Hasil
Pengujian
Nilai
Referensi
Keterangan
Referensi Keterangan *)
1 TDS mg/L 16 ≤ 1000 PP 82/2001 Memenuhi
2 TSS mg/L 89,9 ≤ 400 PP 82/2001 Memenuhi
3 Suhu oC 26,3 25 – 33
(catfish)
WRC, 2010 Memenuhi
4 F mg/L ttd ≤ 1,5 PP 82/2001 Memenuhi
5 PO4 mg/L < 0,0628 < 0,10 ANZECC, 2000 Memenuhi
6 Klor bebas mg/L 0,25 ≤ 0,03 PP 82/2001 Tidak memenuhi
7 Cl mg/L < 0,318 - PP 82/2001 Memenuhi
8 NH3-N mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
9 NO3-N mg/L 0,343 ≤ 20 PP 82/2001 Memenuhi
10 NO2-N mg/L 0,075 ≤ 0,06 PP 82/2001 Tidak memenuhi
11 DO mg/L 5,86 > 3 PP 82/2001 Memenuhi
12 pH - 5,50 6,5 – 8,5 TAS, 2009 Tidak memenuhi
13 Sianida mg/L ≤ 0,02 PP 82/2001 -
14 SO4 mg/L 7,81 - PP 82/2001 Memenuhi
15 Fenol mg/L 0,165 ≤ 0,001 PP 82/2001 Tidak memenuhi
16 BOD5 mg/L 3,4 ≤ 6 PP 82/2001 Memenuhi
17 COD mg/L 6,45 ≤ 50 PP 82/2001 Memenuhi
18 Minyak dan
lemak
mg/L ttd ≤ 1 PP 82/2001 Memenuhi
19 Hg mg/L ≤ 0,002 PP 82/2001 -
20 Fe mg/L 3,93 0,05 – 0,5 Jason, 2011 Tidak memenuhi
21 Cd mg/L ttd ≤ 0,01 PP 82/2001 Memenuhi
22 Kobalt mg/L ttd ≤ 0,2 PP 82/2001 Memenuhi
23 Cr6+
mg/L 0,047 ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
24 Mn mg/L ttd - PP 82/2001
25 Zn mg/L ttd ≤ 0,05 PP 82/2001 Memenuhi
26 Cu mg/L ttd ≤ 0,02 PP 82/2001 Memenuhi
27 Pb mg/L ttd ≤ 0,03 PP 82/2001 Memenuhi
*) Pada keterangan tertulis memenuhi/tidak memenuhi untuk persyaratan budidaya ikan.
Catatan teknis :
1. pH sebesar 5,50 kurang mendukung untuk kegiatan budidaya kecuali untuk jenis-jenis ikan
tertentu yang tahan terhadap pH rendah misalnya ikan papuyu dan gabus
2. Beberapa parameter pencemar seperti klor bebas, Fenol dan Fe melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan.
KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI :
1. Kondisi kualitas air contoh uji no. 368 s/d 378 secara umum kurang optimal untuk kegiatan
budidaya ikan atau sebagai sumber air untuk budidaya, kecuali untuk jenis-jenis ikan tertentu
saja;
2. Ada indikasi perairan mulai tercemar dengan tingkat pencemaran bervariasi, dan zat pencemar
yang dominan ditemukan adalah klor bebas dan fenol;
3. Jenis ikan yang direkomendasikan untuk dibudidayakan adalah jenis-jenis ikan yang tahan
terhadap kualitas air yang kurang baik, seperti ikan papuyu, gabus, lele dan patin;
4. Jika digunakan sebagai sumber air untuk perkolaman, maka diperlukan perlakuan pengeloaan
kualitas air yang memadai untuk memperoleh nilai kualitas air yang representatif untuk
budidaya ikan.
315
Lampiran 6:
Daftar Pustaka
Anonim, The Development Study on Comprehensive Regional Development Plan for The Western Part of Kalimantan (SCRDP-Kaltengbar), Final Report, Vol.2 Main Text. Pacific Consultants International, Internatonal Development Center of Japan, for Japan International Cooperation Agency (JICA) in collaboration with the National Development Planning Agency of the Government of Indonesia (Bappenas), March 1999.
Abdul Hadjranul Fatah, Abdul Mun’im, Arifin; Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Daerah Aliran Anak Sungai Sebangau, Wilayah Kota Palangka Raya untuk Menunjang Pelestarian Taman Nasional Sebangau, WWF dan Edutama Envirocare, Palangka Raya 2014
Abdul Hadjranul Fatah, Abdul Mun’im, Arifin; Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Daerah Aliran Anak Sungai Katingan untuk Menunjang Pelestarian Taman Nasional Sebangau, WWF dan Edutama Envirocare, Palangka Raya 2014
Adri Aliayub, Laporan Survey Pendahuluan Sosial-Ekonomi dan Monografi Desa di Sekitar DAS Katingan dan Sebangau, Kalimantan Tengah, WWF Indonesia, Proyek Konservasi Habitat Orangutan Sebangau, Kalimantan Tengah, Palangka Raya, September 2002.
Arikunto, S., Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta PT. Rineka Cipta. 2006
Balai Taman Nasional Sebangau, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah Periode 2007 – 2026. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan RI.
Drasospolino, Taman Nasional Sebangau: Pintu Gerbang Ekowisata Kalteng. Paper disampaikan pada acara: Sosialisasi Pengembangan Ekowisata Heart of Borneo Tanggal 25 Oktober 2007, di Palangka Raya.
Elinor Ostrom, Governing The Commons, The Evolution of Institutions For Collective Action, Cambridge University Press,
Gerard A. Person and Adri Aliayub A Socio-Economic Profile of the Sebangau Watershed Area, Central Kalimantan, WWF-Indonesia, Sebangau Watershed Orangutan Conservation Project.
Irawan, Siregar., Analisis Strategi Pengelolaan Taman Nasional Sebangau (TNS) Kalteng untuk Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan. Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya. 2014
Kissinger, Marinus Kristiadi, Rina Muhayah. Laporan Hasil Penelitian Studi Market dan Potensi Pasar untuk NTFP (Gemor, Karet dan Rotan) di lokasi sekitar Taman Nasional Sebangau, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat dan WWF Indonesia Kalimantan Tengah, Central Kalimantan Peatland Project (CKPP), WWF Indonesia, Palangkaraya, 2007
Marcel Beding, Laporan Akhir Studi Penilaian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Bagi Kelompok Mata Pencaharian Berkelanjutan Program Pengembangan Sosial dan Ekonomi Sebangau, Kalimantan Tengah, 2013
Marko Mahin, Kehidupan Sosial – Ekonomi Nelayan di Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah, WWF Indonesia Kalimantan Tengah, Oktober 2011
Payangan, O.R., Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran Pariwisata di Sulawesi Selatan. Disertasi. PPs, Unhas Makassar (Tidak dipublikasikan) 2005.
316
Roland Bunch, Dua Tongkol Jagung, Pedoman Pembangunan Pertanian yang terpusat pada Manusia, Yayasan Obor Indonesia (Judul asli: Two Ears of Corn, A Guide to People Centered Agricultural Development, World Neighbors)
San Afri Awang, Flora terjaga, Lestarikan Fauna, dan Masyarakat Sejahtera, Perencanaan Kolaborasi Taman Nasional Sebangau, Analisis, Konsep, dan Kegiatan, WWF Kalimantan Tengah, Juli 2006
San Afri Awang dan Agus Afianto Studi Kolaboratif Pengelolaan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Taman Nasional Sebangau bekerjasama dengan WWF-Indonesia, Kalimantan Tengah,