laporan kkl 2010 - mari menulis dan...
TRANSCRIPT
LAPORAN KKL 2010
Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor
Desa Waringinsari
Kecamatan Langensari Kota Banjar
disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
KKL (Kuliah Kerja Lapangan)
Dosen Pembimbing
Baban Banita, M. Hum.
Oleh:
Kelompok 3
Kelompok 9
Kelompok 15
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
PENELITIAN SOSIAL BUDAYA, GEOLINGUISTIK BAHASA,
DAN FOLKLOR DESA WARINGINSARI
KOTA BANJAR 29-30 APRIL 2010
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kuliah Kerja Lapangan
Pada Program S-1 Sastra Indonesia
Dosen Pembimbing
Baban Banita, M. Hum.
Oleh:
Kelompok Desa Waringinsari
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor
Desa Waringinsari Kota Banjar 29-30 April 2010
Penyusun : Reza Apriliana 180110070007
Sekar Widyasari 180110070014
Ahmad Rifan 180110090005
Amilya utari 180110090032
Dani Risnandi 180110090050
Reza Gusvitasari Heryantie 180110090052
Gina Kumala 180110070010
Muhamad Rausyan Fikri 180110070034
Intan Noorafni 180110070045
Iswatun Khasanah 180110090001
Dina Mayang Sari 180110090055
Sanju Waladata 180110090035
Ridwan Hanggoro 180110070023
Dewi Arumsari 180110070037
Adri Satya Wiratama 180110090008
Yuyun Anidah 180110090031
Julita Maharani W. 180110090042
Jatinangor, Juni 2010
Mengetahui,
Ketua Jurusan Dosen Pembimbing
Sastra Indonesia,
Tatang Suparman, M. Hum Baban Banita, M. Hum
NIP 1966066.199802.1.001 NIP 1969122.2200312.1.001
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor
Desa Waringinsari Kota Banjar 29-30 April 2010
Penyusun : Reza Apriliana 180110070007
Sekar Widyasari 180110070014
Ahmad Rifan 180110090005
Amilya utari 180110090032
Dani Risnandi 180110090050
Reza Gusvitasari Heryantie 180110090052
Gina Kumala 180110070010
Muhamad Rausyan Fikri 180110070034
Intan Noorafni 180110070045
Iswatun Khasanah 180110090001
Dina Mayang Sari 180110090055
Sanju Waladata 180110090035
Ridwan Hanggoro 180110070023
Dewi Arumsari 180110070037
Adri Satya Wiratama 180110090008
Yuyun Anidah 180110090031
Julita Maharani W. 180110090042
Jatinangor, Juni 2010
Mengetahui,
Ketua Jurusan Dosen Pembimbing
Sastra Indonesia,
Tatang Suparman, M. Hum Baban Banita, M. Hum
NIP 1966066.199802.1.001 NIP 1969122.220031.21.001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah swt sudah selayaknya dipanjatkan karena
telah mencurahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusun dapat mengerjakan
dan menyelesaikan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini.
Laporan ini berjudul “Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan
Folklor Desa Waringinsari 29-30 April 2010”. Dalam laporan ini penyusun
menguraikan hasil penelitian dalam pelaksanaan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) yang
diselenggarakan pada tanggal 29-30 April 2010. Tujuan penyusunan laporan ini
selain memenuhi salah satu tugas Kuliah Kerja Lapangan juga untuk menambah
wawasan dan memperdalam pengetahuan mengenai sosial budaya, geolinguistik
bahasa, dan folklor desa tersebut.
Selesainya laporan ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Tatang Suparman, M. Hum., selaku ketua Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Unpad ;
2. Bapak Baban Banita, M. Hum., selaku dosen pembimbing Kuliah Kerja
Lapangan yang telah memberikan bimbingannya ;
3. Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unpad ;
4. Para informan, masyarakat, serta aparat pemerintah Desa Waringinsari
Kecamatan Langensari Kota Banjar yang telah membantu dlam menyediakan
data-data yang dibutuhkan penyusun untuk penyusunan Laporan Kuliah Kerja
Lapangan ini ; dan
5. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan penuh kerendaha hati penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar dapat
melengkapi dan memperbaiki laporan ini.
Sekian dari penyusun, semoga laporan ini berguna bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jatinangor, Juni 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Metode Penelitian 2
1.5 Sumber Data 3
BAB II SOSIAL BUDAYA DESA WARINGINSARI
2.1 Lokasi 4
2.2 Asal Mula Nama Waringinsari 4
2.3 Pola Perkampungan 5
2.4 Penduduk 6
2.5 Situasi Kebahasaan di Desa Waringinsari 7
2.6 Mata Pencaharian Masyarakat Waringinsari 7
2.7 Hasil Bumi Utama Desa Waringinsari 8
2.8 Pendidikan 9
2.9 Tingkat Mobilitas 9
2.10 Kesenian Tradisional 9
2.11 Upacara Pernikahan 10
2.12 Situasi Keagamaan Desa Waringinsari 17
BAB III GEOLINGUISTIK DESA WARINGINSARI
3.1 Geolinguistik Bahasa 20
3.2 Data Geolinguistik Bahasa di Desa Waringinsari 20
3.3 Analisis Geolinguistik Bahasa Desa Waringinsari 25
BAB IV FOLKLOR DESA WARINGINSARI
4.1 Folklor 29
4.2 Data Hasil Penelitian Folklor Desa Waringinsari 31
4.2.1 Asal Mula Desa Waringinsari 33
4.2.2 Kesenian Tradisional Desa Waringinsari 33
4.3 Analisis Folklor Desa Waringinsari 35
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan 37
5.2 Saran 37
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan salah satu mata kuliah yang ada di
program studi Sastra Indonesia Unpad. KKL pada tahun ini melibatkan mahasiswa
semester 6 dan semester 2 dan diselenggarakan di Kota Banjar, Kecamatan
Langensari. Laporan KKL disusun oleh tiga kelompok yang mendapatkan daerah
penelitian di Desa Waringinsari. Penelitian KKL meliputi tiga hal yaitu sosial
budaya, geolinguistik bahasa, dan folklor. Ketiganya adalah mata kuliah yang
dipelajari di program studi Sastra Indonesia, dan KKL ini merupakan bentuk nyata
dari yang sudah didapat dari mata kuliah-mata kuliah tersebut.
Penelitian sosial budaya menyangkut masalah sosial dan budaya yang ada di
masyarakat desa yang menjadi tempat penelitian. Masalah sosial budaya yang diteliti
tersebut antara lain lokasi, asal mula nama desa, pola perkampungan, penduduk,
situasi kebahasaan, mata pencaharian, hasil bumi utama desa, pendidikan, tingkat
mobilitas, kesenian tradisional, upacara pernikahan, dan situasi keagamaan.
Penelitian geolinguistik bahasa berkenaan dengan bahasa setempat. Desa
Waringinsari merupakan salah satu desa di kecamatan Langensari yang berbatasan
langsung dengan Jawa Tengah dan memiliki masyarakat yang menggunakan dua
bahasa daerah yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Penelitian folklor menyangkut masalah tradisi yang ada di desa yang menjadi
tempat penelitian. Folklor sendiri terbagi manjadi folklor lisan, folklor setengah lisan,
dan folklor bukan lisan.
1.2 Perumusan Masalah
Desa Waringinsari merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan
Langensari yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Masyarakatnya pun tidak
jauh dari perbedaan bahasa dan sosial yang cukup mencolok. Bahasa Sunda dan
bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Waringinsari. Rumusan
masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana masalah sosial budaya di desa Waringinsari?
2. Bagaimana kondisi kebahasaan dalam hal ini geolinguistik bahasa di desa
Waringinsari?
3. Folklor apa saja yang terdapat di desa Waringinsari?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian dalam pelaksanaan KKL tahun 2010 di desa
Waringninsari ini adalah sebgaia berikut:
1. mengetahui kondisi sosial budaya yang ada di desa Waringinsari, mulai dari
masalah kependudukan, bahasa, serta budaya yang dimiliki oleh masyarakat
desa Waringinsari,
2. mengetahui bagaimana kehidupan dua bahasa yang ada di desa Waringinsari,
bahasa Sunda dan bahasa Jawa yang hidup berdampingan selama puluhan
tahun,
3. mengetahui folklore apa saja yang terdapat di desa Waringinsari,
4. menguji kemampuan mahasiswa dalam mempraktikan apa yang sudah
didapatkan di bangku kuliah, dan
5. menjadikan hasil penelitian sebagai referensi bermanfaat bagi desa yang
bersangkutan.
1.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam laporan KKL ini adalah metode deskriptif
analitis. Di dalam laporan ini akan dideskripsikan hasil dari penelitian. Maksudnya
membuat sebuah gambaran tulisan secara sistematis, faktual, akurat mengenai data,
sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat, yaitu mencatat langsung
dari informan segala informasi yang ditanyakan, mendata apa saja yang terdapat
disana, dalam berbagai bentuk. Misalnya mengumpulkan dokumentasi berbentuk
foto.
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. membaca referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti,
2. pengumpulan data, yakni kegiatan mencari dan mengumpulkan data yang
sesuai dengan masalah yang akan diteliti,
3. pemilihan data, yakni kegiatan memilih data yang nantinya akan dipakai
dalam penelitian ini,
4. pengklasifikasian data, yakni kegiatan mengelompokkan data yang telah
terkumpul untuk memudahkan proses analisis,
5. penganalisian data, yakni kegiatan menelaah data yang telah terkumpul,
dan
6. menyimpulkan hasil penelitian kegiatan yang berisi intisari dari hasil
penelitian.
1.5 Sumber Data
Sumber data uatam dalam penelitina ini adalah iforman yang merupakan
warga asli setempat yang memenuhi syarat dan aparat desa setempat. Data diperoleh
melalui wawancara, data tertulis, dan informasi lainnya. Selain itu sumber data lain
yang digunakan yaitu buku-buku teori yang berkaitan dengan dialektologi dan
folklor.
BAB II
SOSIAL BUDAYA
DESA WARINGINSARI
2.1 Lokasi
Desa Waringinsari terletak di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa
Barat. Desa Waringinsari merupakan salah satu lokasi hasil pemekaran dari
Langensari. Desa ini masih terbagi lagi menjadi empat dusun yaitu sebagai berikut:
1. Dusun Sukanagara
2. Dusun Purwodadi
3. Dusun Kadung Waringin
4. Dusun Sukarahayu
2.2 Asal Mula Nama Waringinsari
Sekitar tahun 50-an, pada mulanya hanya ada satu desa yaitu Desa Pataruman.
Pada tahun 1966-1967 desa Pataruman kemudian terbagi menjadi dua desa yaitu
Pataruman dan Langensari. Wilayah ini dahulu merupakan sebuah perkebunan karet.
Ketika itu pemerintahan Belanda runtuh sehingga perkebunan ini menjadi lahan
bebas untuk dimanfaatkan. Karena letaknya yang berada diantara Jawa Barat dan
Jawa Tengah, akhirnya banyak pendatang dari kedua daerah tersebut memutuskan
untuk menetap disana. Barulah kemudian dalam perkembangannya Desa Langensari
mengalami pemekaran yang salah satunya disebabkan karena adanya pemadatan
penduduk sehingga membutuhkan perluasan area, maka lahirlah Desa Waringinsari.
Nama Waringinsari diambil karena pada saat itu di daerah pemekaran dari
Desa Langensari ini terdapat pohon beringin atau waringin besar yang terletak di
tengah sawah. Penambahan kata sari yang berarti rasa dibelakang waringin pun
dimaksudkan sebagai simbol dari desa baru yang diharapkan bisa menebarkan sari
dari potensi daerah dan masyarakatnya sebesar bahkan melebihi besarnya pohon
waringin tersebut.
2.3 Pola Perkampungan
Di Waringinsari kita bisa melihat deretan rumah-rumah yang cukup
berdekatan. Rumah-rumah tersebut mayoritas bisa dikatakan besar dengan
pekarangan yang juga tidak kalah luasnya dengan bangunan rumah mereka. Mungkin
terkecuali rumah yang bersentuhan langsung dengan jalan utama. Beberapa dari
mereka tidak memiliki pekarangan rumah seluas mereka yang memiliki rumah agak
jauh dari jalan utama walaupun beberapa diantaranya juga tetap memiliki pekarangan
yang luas.
Bisa dikatakan bahwa pembangunan di daerah ini sudah cukup maju. Terlihat
dari jalan utama yang sudah beraspal, dan bentuk bangunan yang cukup modern
bahkan beberapa terkesan sangat mewah. Selain itu akses pendidikan seperti gedung
sekolah pun bisa dijangkau dengan mudah. Buktinya di tempat kami bermalam,
lokasinya persis berhadapan dengan gedung sekolah dasar. Tempat ibadah pun
lengkap, masjid-masjid berdiri kokoh dengan arsitektur masa kini. Begitupun gereja
yang khusus di Waringinsari ini jumlahnya mencapai empat buah. Menariknya di sini
kami pun menemukan bangunan rumah semacam kantor tempat penukaran mata uang
asing. Hal ini berhubungan dengan mata pencaharian penduduk Langensari yang
diantaranya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Namun, secara garis besar pola perkampungan yang terdapat di Desa
Waringinsari adalah sebagai berikut:
1. Menyebar merata, maksudnya jarak antara rumah yang satu dengan yang lain
tidak terlalu berjauhan tetapi tidak juga terlalu padat.
2. Line village−yaitu penduduk desa menyusun tempat tinggalnya mengikuti
sungai atau jalur jalan dan membentuk suatu deretan perumahan (khusus
rumah-rumah yang letaknya di tepi jalan).
3. Sebagian besar rumah-rumah yang terletak di sisi jalan bentuknya modern
bahkan cenderung mewah.
4. Segi modern pun terlihat dari bentuk bangunan masjidnya yang besar dan
sudah berarsitektur kekinian.
2.4 Penduduk
1. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin.
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Waringinsari didominasi oleh
laki-laki. Tetapi, perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan
sesungguhnya hanya terpaut sedikit karena silisih antara jumlah pria dan wanita kecil.
Hal tersebut bisa terlihat dari data berikut:
2. Jumlah penduduk berdasarkan etnik.
Sebagai lokasi yang terletak di antara Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan
seluruh penduduk yang merupakan pendatang dari kedua daerah tersebut. Di Desa
Waringinsari ini kita bisa menemukan dua etnik yaitu etnik Jawa dan Sunda. Akan
tetapi berdasarkan data di bawah ini bisa dilihat bahwa mayoritas penduduk yang ada
di Waringinsari merupakan penduduk beretnik Jawa.
3. Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut.
Penduduk Waringinsari mayoritas beragama Islam dan hanya sebagian kecil
saja yang beragama katolik. Berikut data selengkapnya:
Islam Katolik
Jumlah penganut laki-laki 3962 orang 5 orang
Jumlah penganut
perempuan
3882 orang 6 orang
2.5 Situasi Kebahasaan di Desa Waringinsari
Situasi kebahasaan Desa Waringinsari didominasi dengan penggunaan bahasa
Jawa baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan kedinasan. Sebagai
daerah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan keragaman etnik
terutama etnik Sunda dan Jawa, kemudian membuat masyarakat Waringinsari
setidaknya memiliki tiga kemampuan berbahasa, yaitu Jawa, Sunda dan Bahasa
Indonesia. Walaupun pada kenyataannya, kemampuan berbahasa ini tidaklah seratus
persen diikuti dengan kemampuan berbahasa lisan yang baik.
Menurut informasi yang kami dapatkan, masyarakat Desa Waringinsari
setidaknya menguasai minimal dua bahasa, Jawa-Indonesia atau Sunda-Indonesia.
Tetapi keragaman etnik yang ada di desa ini membuat mereka bisa memahami dan
menangkap maksud semua bahasa yang hidup di sekitar mereka meskipun beberapa
di antaranya tidak bisa mengungkapkannya secara lisan. Uniknya di tengah mayoritas
etnik Jawa di desa ini, mata pelajaran muatan lokal (mulok) tingkat Sekolah Dasar
(SD) di daerah ini justru Bahasa Sunda sedangkan Bahasa Jawa hanya dipelajari
sedikit di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena secara geografis daerah
ini masih berada di wilayah Jawa Barat.
2.6 Mata Pencaharian Masyarakat Waringinsari
Menurut Pakuwu atau kepala desa Waringinsari, mayoritas penduduk desa
bekerja sebagai petani. Selebihnya ada yang berdagang, menjadi buruh dan pegawai
negeri. Berikut ini data selengkapnya:
2.7 Hasil Bumi Utama Desa Waringinsari
Sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani, sudah dipastikan di desa ini kita bisa melihat banyak hamparan sawah. Tetapi,
jika diperhatikan di sekitar daerah Waringinsari ini tumbuh banyak pohon kelapa
jenis kelapa hijau atau hibrida. Maka selain bertani di sawah, penduduk sekitar pun
bertani kelapa yang kemudian diolah menjadi gula merah yang mereka sebut sebagai
gula kapa atau gula kelapa.
Gula merah pada akhirnya menjadi komoditi hasil bumi yang cukup besar
dihasilkan di Waringinsari. Di sini, membuat gula merupakan industri rumahan atau
home industri yang cukup banyak dilakoni penduduknya. Setiap hari mereka
menghasilkan sekitar 3-4 kg gula kelapa yang kemudian dijual ke penampung desa.
Bahkan menurut kapala desa setempat, Waringinsari merupakan penghasil gula
kelapa paling banyak dibandingkan dengan desa lain di Langensari.
Desa Waringinsari masih memproduksi peralatan rumah tangga tradisional
seperti nyiru (tampah), aseupan, dudukuy, dll. untuk didistribusikan ke daerah lain.
2.8 Pendidikan
Mayoritas penduduk Waringinsari sudah mengecap pendidikan yang cukup
bahkan lebih, dengan salah satunya sudah bisa menempuh pendidikan hingga s2.
Setiap tahap pendidikan pun sudah memiliki fasilitas seperti gedung sekolah yang
cukup banyak tersebar dan aksesnya tidak sulit seperti desa-desa pada umumnya.
Berdasarkan data pendidikan di bawah ini pun kita bisa mengatakan bahwa
masyarakat Waringinsari sangat peduli akan pendidikan.
2.9 Tingkat Mobilitas
Mobilitas penduduk Waringinsari sangat tinggi. Bahkan kepala desa setempat
mengatakan bahwa ia keluar masuk desa hampir setiap hari. Selain itu mobilitas pun
terlihat dari para pemudanya yang sebagian besar lebih memilih untuk bekerja di luar
desa atau pergi ke kota lalu menghabiskan hidup disana dan hanya sesekali saja
pulang kembali ke Waringinsari saat libur panjang atau adanya hari besar keagamaan.
2.10 Kesenian Tradisional
Mengamati Desa Waringinsari sebagai daerah campur etnik, besar harapan
kami untuk menemukan hasil budaya baru yang lahir dari pencampuran etnik Jawa
dan Sunda disini. Namun, ternyata hal itu tidak kami temukan. Bentuk kesenian khas
di daerah ini merupakan kesenian khas dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kesenian
khas Jawa Barat di Desa Waringinsari misalnya:
1. Kuda Lumping yang jumlahnya hingga tiga rombongan.
2. Kesenian Degung yang biasa dimainkan pada saat hajatan pernikahan.
Sedangkan kesenian khas Desa Waringinsari yang berasal dari Jawa Tengah
diantaranya adalah kesenian Gendingan.
Berhubungan dengan sisi tradisional, desa Waringinsari masih memproduksi
peralatan rumah tangga tradisional seperti nyiru (tampah), aseupan, dudukuy, dll.
untuk didistribusikan dan dijual ke daerah lain. Hal ini memerlihatkan bahwa
keterampilan dalam membuat peralatan rumah tangga tradisional masih
dibudidayakan dengan baik. Penyebutan istilah untuk peralatan-peralatan tersebut
seperti nyiru untuk tampah, aseupan, dan dudukuy pun memerlihatkan kekhasan dari
Jawa Barat. Contoh-contoh yang kami temukan tersebut menunjukkan bahwa budaya
yang hidup di desa Waringinsari merupakan budaya yang terbawa dari Jawa Barat
dan Jawa Tengah oleh penduduknya yang merupakan pendatang dari kedua daerah
tersebut sebagai akibat dari letak geografis Langensari yang merupakan perbatasan.
Dari pengamatan mengenai budaya di Waringinsari tersebut, kami pun
mendapatkan gambaran keadaan sosial wilayah ini yang sangat terbuka. Hubungan
antarwarga yang notabene beragam bisa terjalin dengan baik, tentram, aman, dan
damai. Terlihat dari bentuk kesenian yang walaupun tetap memiliki dan membawa
ciri khas daerahnya masing-masing tetapi tidak menimbulkan konflik antar etnik.
2.11 Upacara Pernikahan
Seperti halnya bentuk kesenian tradisionalnya, bentuk-bentuk perayaan seperti
hajatan pernikahan di Waringinsari pun kasusnya tidak jauh berbeda. Bentuk
perayaan berupa adaptasi dari adat yang ada di Jawa Barat atau adat dari Jawa
Tengah. Sehingga upacara pernikahan di Waringinsari bersifat variatif tergantung
kesepakatan dan keinginan masing-masing warga yang mengadakan hajatan tersebut.
Entah itu menggunakan adat Sunda ataupun adat Jawa. Bahkan beberapa diantaranya
juga ada yang mengadakan pernikahan hanya dengan tata cara Islam tanpa perayaan
adat. Selain itu, dalam penentuan “waktu baik” untuk mengadakan hajat sudah tidak
lagi menggunakan perhitungan Jawa ataupun perhitungan-perhitungan kuno lainnya.
Adapun secara rinci prosesi pernikahan adat Sunda dan adat Jawa tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Tata upacara pernikahan adat Jawa
Penduduk Waringinsari bisa memilih adat pernikahan yang ingin mereka
gunakan diantaranya adalah adat Jawa dengan prosesi sebagai berikut:
1. Babak I (Tahap Pembicaraan), yaitu tahap pembicaraan antara pihak yang
akan punya hajat mantu dengan pihak calon besan, mulai dari pembicaraan
pertama sampai tingkat melamar dan menentukan hari penentuan (gethok
dina).
2. Babak II (Tahap Kesaksian), babak ini merupakan peneguhan pembicaaan
yang disaksikan oleh pihak ketiga, yaitu warga kerabat dan atau para sesepuh
di kanan-kiri tempat tinggalnya, melalui acara-acara sebagai berikut :
1. Srah-srahan, yaitu menyerahkan seperangkat perlengkapan sarana untuk
melancarkan pelaksanaan acara sampai hajat berakhir. Untuk itu diadakan
simbol-simbol barang-barang yang mempunyai arti dan makna khusus, berupa
cincin, seperangkat busana putri, makanan tradisional, buah-buahan, daun
sirih dan uang.
2. Peningsetan, lambang kuatnya ikatan pembicaraan untuk mewujudkan dua
kesatuan yang ditandai dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin.
3. Asok tukon, hakikatnya adalah penyerahan dana berupa sejumlah uang
untuk membantu meringankan keuangan kepada keluarga pengantin putri.
4. Gethok dina, menetapkan kepastian hari untuk ijab qobul dan resepsi.
Untuk mencari hari, tanggal, bulan, biasanya dimintakan saran kepada orang
yang ahli dalam perhitungan Jawa.
3. Babak III (Tahap Siaga), Pada tahap ini, yang akan punya hajat
mengundang para sesepuh dan sanak saudara untuk membentuk panitia guna
melaksanakan kegiatan acara-acara pada waktu sebelum, bertepatan, dan
sesudah hajatan.
1. Sedhahan, yaitu cara mulai merakit sampai membagi undangan.
2. Kumbakarnan, pertemuan membentuk panitia hajatan mantu, dengan cara :
3. Jenggolan atau Jonggolan, saatnya calon pengantin sekalian melapor ke
KUA (tempat domisili calon pengantin putri). Tata cara ini sering disebut
tandhakan atau tandhan, artinya memberi tanda di Kantor Pencatatan Sipil
akan ada hajatan mantu, dengan cara ijab.
4. Babak IV (Tahap Rangkaian Upacara), tahap ini bertujuan untuk
menciptakan nuansa bahwa hajatan mantu sudah tiba. Ada beberapa acara
dalam tahap ini, yaitu :
1. Pasang tratag dan tarub, pemasangan tratag yang dilanjutnya dengan
pasang tarub digunakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada hajatan mantu
dirumah yang bersangkutan. Tarub dibuat menjelang acara inti. Adapun ciri
kahs tarub adalah dominasi hiasan daun kelapa muda (janur), hiasan warna-
warni, dan kadang disertai dengan ubarampe berupa nasi uduk (nasi gurih),
nasi asahan, nasi golong, kolak ketan dan apem.
2. Kembar mayang, barang-barang untuk kembar mayang adalah : Batang
pisang, Bambu aur untuk penusuk (sujen), Janur kuning, ± 4 pelepah, Daun-
daunan: daun kemuning, beringin beserta ranting-rantingnya, daun apa-apa,
daun girang dan daun andong, Nanas dua buah, pilih yang sudah masak dan
sama besarnya, Bunga melati, kanthil dan mawar merah putih, Kelapa muda
dua buah, dikupas kulitnya dan airnya jangan sampai tumpah. Bawahnya
dibuat rata atau datar agar kalau diletakkan tidak terguling dan air tidak
tumpah.
3. Pasang tuwuhan (pasren) tuwuhan dipasang di pintu masuk menuju
tempat duduk pengantin. Tuwuhan biasanya berupa tumbuh-tumbuhan, Janur,
Daun kluwih, Daun beringin dan ranting-rantingnya, Daun dadap serep,
Seuntai padi (pari sewuli), Cengkir gadhing, Setundhun gedang raja suluhan
(setandan pisang raja) dll
4. Siraman, Ubarampe yang harus disiapkan berupa air bunga setaman, yaitu
air yang diambil dari tujuh sumber mata air yang ditaburi bunga setaman yang
terdiri dari mawar, melati dan kenanga. Tahapan upacara siraman adalah
sebagai berikut :
5. Adol dhawet, upacara ini dilaksanakan setelah siraman. Penjualnya adalah
ibu calon pengantin putri yang dipayungi oleh bapak. Pembelinya adalah para
tamu dengan uang pecahan genting (kreweng). Upacara ini mengandung
harapan agar nanti pada saat upacara panggih dan resepsi, banyak tamu dan
rezeki yang datang.
6. Midodareni, midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yaitu malam
melepas masa lajang bagi kedua calon pengantin. Acara ini dilakukan di
rumah calon pengantin perempuan. Dalam acara ini ada acara nyantrik untuk
memastikan calon pengantin laki-laki akan hadir dalam akad nikah dan
sebagai bukti bahwa keluarga calon pengantin perempuan benar-benar siap
melakukan prosesi pernikahan di hari berikutnya. Midodareni berasal dari
kata widodareni (bidadari), lalu menjadi midodareni yang berarti membuat
keadaan calon pengantin seperti bidadari. Dalam dunia pewayangan,
kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan seperti Dewi
Kumaratih dan Dewa Kumajaya.
5. Babak V (Tahap Puncak Acara)
1. Ijab qobul
2. Upacara panggih, adapun tata urutan upacara panggih adalah sebagai
berikut :
a. Liron kembar mayang, Saling tukar kembar mayang antar pengantin,
bermakna menyatukan cipta, rasa dan karsa untuk mersama-sama
mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan.
b. Gantal, daun sirih digulung kecil diikat benang putih yang saling
dilempar oleh masing-masing pengantin, dengan harapan semoga
semua godaan akan hilang terkena lemparan itu.
c. Ngidak endhog, Pengantin putra menginjak telur ayam sampai pecah
sebagai simbol seksual kedua pengantin sudah pecah pamornya.
d. Pengantin putri mencuci kaki pengantin putra, Mencuci dengan air
bunga setaman dengan makna semoga benih yang diturunkan bersih
dari segala perbuatan yang kotor.
e. Minum air degan, Air ini dianggap sebagai lambang air hidup, air suci,
air mani (manikem).
f. Di-kepyok dengan bunga warna-warni Mengandung harapan mudah-
mudahan keluarga yang akan mereka bina dapat berkembang segala-
galanya dan bahagia lahir batin.
g. Masuk ke pasangan, Bermakna pengantin yang telah menjadi
pasangan hidup siap berkarya melaksanakan kewajiban.
h. Sindur, Sindur atau isin mundur, artinya pantang menyerah atau
pantang mundur. Maksudnya pengantin siap menghadapi tantangan
hidup dengan semangat berani karena benar.Setelah melalui tahap
panggih, pengantin diantar duduk di sasana riengga, di sana
dilangsungkan tata upacara adat Jawa, yaitu :
i. Timbangan, Bapak pengantin putri duduk diantara pasangan
pengantin, kaki kanan diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki
pengantin putri. Dialog singkat antara Bapak dan Ibu pengantin putri
berisi pernyataan bahwa masing-masing pengantin sudah seimbang.
j. Kacar-kucur, Pengantin putra mengucurkan penghasilan kepada
pengantin putri berupa uang receh beserta kelengkapannya.
Mengandung arti pengantin pria akan bertanggung jawab memberi
nafkah kepada keluarganya.
k. Dulangan, Antara pengantin putra dan putri saling menyuapi. Hal ini
mengandung kiasan laku memadu kasih diantara keduanya (simbol
seksual). Dalam upacara dulangan ada makna tutur adilinuwih (seribu
nasihat yang adiluhung) dilambangkan dengan sembilan tumpeng
yang bermakna :
3. Sungkeman
Sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta mohon doa
restu. Caranya, berjongkok dengan sikap seperti orang menyembah,
menyentuh lutut orang tua pengantin perempuan, mulai dari pengantin putri
diikuti pengantin putra, baru kemudian kepada bapak dan ibu pengantin putra.
2. Tata upacara pernikahan adat Sunda
Adat Sunda juga merupakan salah satu pilihan adat pernikahan yang bisa
dilakoni oleh penduduk Waringinsari yang ingin merayakan pesta pernikahannya.
Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat
dilihat berikut ini.
1. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang
berminat mempersunting seorang gadis.
2. Lamaran, dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat.
Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun
atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai
pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa,
bisanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
3. Tunangan, dilakukan „patuker beubeur tameuh‟, yaitu penyerahan ikat
pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.
4. Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa
uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain.
5. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka
seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)
a. Dipimpin pengeuyeuk.
b. Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan
doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui
lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten,
pangradinan dan sebagainya.
c. Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk
d. Disawer beras, agar hidup sejahtera.
e. Dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih
sayang dan giat bekerja.
f. Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah
tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.
g. Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin
pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat
menyesuaikan diri.
h. Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon
pengantin pria).
6. Membuat lungkun, dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung
menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang
tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh
bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan.
7. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba
mencari rejeki dan disayang keluarga.
8. Upacara Prosesi Pernikahan
a. Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
b. Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan
pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian
diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk
menuju pelaminan.
c. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di
tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari
kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi
dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih
murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan
menandatangani surat nikah.
d. Sungkeman,
e. Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.
f. Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran,
pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua
pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi
taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.
g. Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan
lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas
harupat dipatahkan pengantin pria.
h. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai
pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin
wanita.
i. Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab
dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah
kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju
pelaminan.
2.12 Situasi Keagamaan Desa Waringinsari
Agama yang hidup di Waringinsari adalah Islam dan Katolik. Namun,
mayoritas agama yang dianut penduduk Desa Waringinsari adalah Islam yaitu
sebanyak 7844 orang, sedangkan penganut Katolik hanya ada 11 orang.
Islam sebagai mayoritas agama yang dianut, membuat keberadaan masjid
besar hingga mushola-mushola sederhana yang cukup banyak sangatlah wajar. Tetapi
ketika melihat data jumlah jamaah umat katolik yang cukup sedikit, uniknya di Desa
Waringinsari ini terdapat empat buah gereja yang salah satunya bahkan berdekatan
dengan masjid, tepatnya saling berhadapan. Secara keseluruhan penduduk Langensari
memang memeluk agama kristen baik protestan maupun katolik. Sehingga selain
jemaat dari warga Waringinsari banyak jemaat kristen dari desa lain di Langensari
yang beribadah di gereja-gereja yang ada di Waringinsari.
Di Desa Waringinsari ini perhatian kami tertuju pada keberadaan masjid dan
gereja yang saling berhadapan. Bukti perbedaan agama yang dianut ini ternyata
memiliki latar belakang sejarah yang menarik untuk ditelisik. Menurut salah seorang
informan yang merupakan tokoh di masjid yang langsung berhadapan dengan gereja
tersebut (GKJ Waringinsari) menjelaskan bahwa pada mulanya hampir seluruh warga
Waringinsari menganut agama Islam dan tercatat hanya tiga keluarga saja yang
menganut agama kristen. Namun pada tahun1950-an, terjadi krisis di mana banyak
petugas yang ditugaskan untuk mencari dan menambah jemaah. Pada saat itu pemuka
agama Islam di daerah tersebut kebetulan berdomisili di daerah yang cukup jauh dari
masjid asuhannya yaitu di sebelah Utara desa. Ini menyebabkan kekosongan
kepemimpinan Islam di wilayah tersebut sehingga beberapa diantara masyarakat
sekitar memilih untuk menganut agama Kristen. Sejalan dengan itu, penganut kristen
pun semakin bertambah. Hingga kini mereka saling mengerti dan menghormati
kegiatan peribadatan yang sering dilakukan di masjid. Hal ini terjadi karena pada
dasarnya sejarah mencatat mereka dahulu mayoritas menganut agama Islam sehingga
secara sadar mereka mengerti dan memahami kebutuhan ibadah umat Islam.
Di luar dari sejarah yang menyebabkan perbedaan agama yang dianut
tersebut, hal yang paling penting dengan keberadaan masjid dan gereja yang saling
berhadapan ini adalah kerukunan antarumatnya. Masing-masing saling menghargai
akidah yang mereka yakini “Agamaku agamaku, agamamu agamamu” sehingga
setiap kegiatan rutin keagamaan masing-masing tidak menimbulkan konflik.
Misalnya saja ketika para jemaah umat Katolik akan merayakan Hari Raya Paskah di
gereja yang secara kebetulan jatuh pada hari Jum‟at ketika umat Islam pun pada hari
yang sama juga harus melaksanakan shalat jum‟at di masjid. Maka pada saat itu,
dengan besar hati pihak gereja akan menunda acaranya hingga shalat jum‟at selesai.
Karena mereka mengerti bahwa kegiatan shalat jum‟at adalah ibadah umat Islam
yang memang rutin dilaksanakan di masjid yang berdiri kokoh di depan gereja
mereka tersebut.
Bahkan pemuka agama Islam setempat yang kami wawancarai mengaku
bahwa setiap pihak gereja mengadakan acara besar seperti merayakan Natal, mereka
membagi “berkat natal” berupa makanan tidak terbatas pada penganut Katolik saja
tetapi merata pada semua penduduk sekitar gereja. Begitupun sebaliknya, dalam
setiap kegiatan besar keagamaan Islam seperti Idul Adha pihak masjid tidak
berkeberatan jika ada penganut Katolik yang ikut serta membantu dalam acara kurban
yang mereka adakan. Dengan kata lain, hubungan antara dua agama berbeda dalam
satu lingkungan yang dianut masing-masing pengikutnya ini tidak memengaruhi
hubungan sosial mereka sehari-hari. Karena mereka tetap bersatu sebagai warga
masyarakat yang sama. Maka untuk setiap hal yang berhubungan dengan kegiatan
sosial ataupun kegiatan bermasyarakat lain seperti hajatan, mereka tetap menjalin
hubungan yang harmonis dengan saling mengundang satu sama lain.
Bukti-bukti di atas memerlihatkan bahwa mereka masih menerapkan sistem
musyawarah yang telah diaplikasikan dengan cukup baik. Begitupun juga dengan hal
yang berhubungan dengan keagamaan, setiap kegiatan yang akan dilaksanakan di
gereja ataupun di masjid akan diinformasikan terlebih dahulu kepada masing-masing
pihak agar tidak terjadi bentrok acara di kedua tempat ibadah tersebut.
Berhubungan dengan keagamaan, di Waringinsari kita bisa menemukan
kebiasaan bertahlil bersama yang biasa disebut tahlilan. Kegiatan ini diadakan di
tempat dan waktu yang disesuaikan berdasarkan kesepakatan warga yang akan
melaksanakan. Begitupun untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Mereka
juga masih melakukan tahlilan yang khusus untuk itu biasanya dilakukan berdasarkan
tahap-tahap, seperti 3 harinya, 7 harinya, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun (mendak)
bahkan hingga 1000 hari kematian.
BAB III
GEOLINGUISTIK
DESA WARINGINSARI
3.1 Geolinguistik Bahasa
Lokabasa atau geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji
hubungan yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau
tempat terwujudnya ragam-ragam itu (Dubois dkk., kys. :230). Lokabasa mengkaji
hal-hal yang berhubungan dengan pemakaian anasir bahasa yang diteliti pada saat
penelitian dilakukan (Jaberg kys.: 13) shingga dapat dibuktikan. Istilah lain untuk
ilmu itu adalah linguistic geografis atau geolinguistik.
Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, penelitian lokabasa harus
didasarkan pada dua hal yaitu a. pengamatan yang seksama dan setara terhadap
daerah yang diteliti, dan b. bahannya harus dapat dibandingkan dengan sesamanya
dan keterangan yang bertalian dengan kenyataan-kenyataannya dikumpulkan dengan
aturan dan cara yang sama pula (Meillet kys.:79-81)
3.2 Data Geolinguistik Bahasa di Desa Waringinsari
Penelitian geolinguistik bahasa ini dilakukan di Desa Waringinsari Kecamatan
Langensari Kota Banjar pada tanggal 29 dan 30 April pada kegiatan KKL Sastra
Indonesia 2010.
Desa Waringinsari seperti umumnya desa-desa di kecamatan Langensari,
adalah desa yang menggunakan dua bahasa daerah yaitu bahasa Sunda dan bahasa
Jawa. Sasaran dari penelitian geolinguistik di desa ini adalah kedua bahasa tersebut.
Pemupu dalam hal ini kelompok yang melakukan penelitian, menggunakan daftar
tanyaan
yang sudah disiapkan sebagai alat untuk melakukan penelitian. Daftar tanyaan berupa
gloss yang berjumlah lebih dari lima puluh kata tersebut akan ditanyakan pada
informan di desa Waringinsari, baik informan penutur bahasa Sunda maupun penutur
bahasa Jawa. Berikut uraian data hasil penelitian geolinguistik di desa Waringinsari.
Data hasil penelitian geolinguistik bahasa Sunda dan bahasa Jawa di Desa
Waringinsari Kecamatan Langensari Kota Banjar, 29-30 April 2010.
Informan 1
Nama : Enah
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD (sekolah dasar)
Pekerjaan :
Agama : Islam
Kampung : Sukanegara
Dusun : Sukanegara
Desa : Waringinsari
Kecamatan : Langensari
Kabupaten : Banjar
Informan 2
Nama : Pariati
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SR
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Kampung : Sukanegara
Dusun : Sukanegara
Desa : Waringinsari
Kecamatan : Langensari
Kabupaten : Banjar
No Glos Ibu Enah Ibu Pariati
Sunda Jawa Sunda Jawa
1 Kakek* /aki/ /Kaki/mbah
kakung/
/Kaki/mbah
kakung/
2 nenek /Nini/ /Mbah uti/ - /Mbah putri/
3 Ayah* Apa /Romo/bapak/ - /Bapa/romo/
4 Ibu*# /Biyung/ /Biyung/ - /Biyung/
5 Paman tua /Uwa/ /Pakdé/ - /Pakdé/
6 Paman muda /Mamang/ /Lélék/ - /Paklé/
7 Bibi tua /Uwa/ /Budé/ - /Bu‟dé/
8 Bibi muda - /Bulé/ - /Bu‟lé/
9 Laki-laki - - - /Jalér/lanang/
10 Perempuan - - - /Stri/wadon/
11 Kakak laki-laki /Aa/ /Kakang/mas/ - /Mas/
12 Kakak perempuan /Cәcә/tétéh/ /Yayuk/mbak/ - /Yayuk/
13 Adik laki-laki /Adé/dédé/ /Adi‟/ - /Adik/
14 Adik perempuan /Adé/dédé/ /Adi‟/ - /Adik/
15 Anak /Putra/ /Putra né/ - /Putra/
16 Keponakan tua /Alo/ /Alo/ - /Rәlunan/
17 Keponakan muda /Alo/ /Alo/ - /Ponakan/
18 Cucu /Incu/putu/ /Putu/ - /Putu/
19 Suami /Pamәgәt/ /Bojo/ - /Bojo/
20 Istri# /Istri/ /Bojo/ - /Bojo/
21 Mertua /Mitoha/ /Mәrtua/ - /Mәrtua/
22 Menantu /Minantu/ /Mantu/ - /Mantu/
23 Besan /Bésan/ /Bésan/ - /Bésan/
24 Ipar /Ipar/ /Ipé/ - /Ipé/
25 Panggilan untuk
anak
-
26 Laki-laki* /Asep/ /Tole‟/ - /Tole‟/
27 Panggilan untuk
anak
-
28 Perempuan* /Neng/ /Ndu‟/ - /Ndo‟/
29 Tiri# /Téré/ -
30 Nama# /Nami/ /Njenengan/ - /Jenengan/
31 Pegawai desa /Padamel désa/ - - /Pamong désa/
32 Pesuruh di desa* /Ngabantosan
staf désa/
- - /Pesuruh désa/
33 Kepala desa /Kuwu/ - - /Pak lurah/
34 Kepala kampung* /Kepala dusun/ /Pak
golongan/
- /Pak golongan/
35 Juru tulis /Pak ulis/ - - /Juru tulis/
36 Penghulu /Panghulu/ - - /Penghulu/
37 Peronda /Ngaronda/ /Ronda/ -
38 Dukun beranak /Paraji/ - - /Dukun bayi/
39 Dukun sunat /Mantri sunat/ - - /Mantri sunat/
40 Arisan* /Arisan/ - - /Arisan/
41 Selamatan
(kenduri)*
/Riungan/ /Kendurén/ - /Slametan/kendurén/
42 Kerja bakti /Kerja
bakti/gotong
royong/
/Kerigan/ - /Kerigan/
43 Kepala# /Sirah/ /Sira/ - /Sirah/
44 Otak# /Otak/ /Otak/ - /Otak/
45 Kening /Taar/ /Batok/ - /Batuk/
46 Mata# /Panon/ /Moto/ - /Mata/
47 Bulu mata /Bulu mata/ /Bulu mata/ - /Idep/
48 Air mata# /Cai panon/ /Banyu mata/ - /Banyu mata/
49 Hidung /Pangambung/ /Cungur/ - /Cungur/
50 Mulut# /Cangkem/ - - /Cangkem/
51 Air ludah# /Ciduh/ /Iduh/ - /Idu/
52 Dahak# /Reuhak/ /Riak/ - /Riak/
53 Bibir /Lambé/ - - /Lambé/
54 Gigi /Waos/ /Untu/ - /Untu/
55 Geraham /Caréham/ /Baham/ - /Baam/
56 Lidah /Ilat/ /Ilat/ - /Ilat/
57 Telinga /Kuping/ /Kuping/ - /Kuping/
58 Leher /Beuheung/ /Gulu/ - /Gulu/
59 Pundak /Taktak/ /Pundak/ - /Pundak/
60 Belikat - /Kәmpongan/ - /Kәmpongan/
61 Jari tangan /Ramo/ - - /Jentik/
62 Ibu jari /Jәmpol/ - - /Jәmpol/
63 Telunjuk /Curuk/ - - /Telunjuk/
64 Jari tengah /Jajangkung/ - - /Jari tengah/
65 Jari manis /Jari manis/ - - /Lentik manis/
66 Kelingking /Jentik/ - - /Lentik/
67 Tangan /Panangan/ /Tangan/ - /Tangan/
68 Telapak tangan /Dampal
panangan/
/Telapak
tangan/
- /Telapak tangan/
69 kuku /Kuku/ /Kuku/ - /Kuku/
70 Kaki /Sampean/ - /Sampean/
71 Paha /Pingping/ /Pupu/ - /Pupu/
72 Lutut# /Tuur/ /dengkul/ - /Dengkul/
73 Betis /Bitis/ /Kempol/ - /Kempol/
74 Tulang kering /Balong kering/ - -
75 Mata kaki /mumuncangan/ - - /Geger/
76 Telapak kaki /Dampal
sampean/
/Dampal
sikil/
- /Telapak sampean/
77 Tulang - /Balong/ - /Balung/
78 Rambut /Rambut/buuk/ - /Rambut/
79 Alis /Halis/ /alis/ - /Alis/
80 Darah# /Geutih/ /getih/ - /Getih/
81 Sumsum# /Sumsum/ /sumsum/ - /Sumsum/
82 Jantung /jantung/ /jantung/ - /Jantung/
83 Hati# /hate/ /ati/ - /ati/
3.3 Analisis Geolinguistik Bahasa Desa Waringinsari
Ibu Enah merupakan penduduk berbahasa Sunda yang tinggal di kabupaten Banjar. Ibu
Enah merupakan penutur bahasa Sunda yang juga bisa berbahasa Jawa. Ibu Pariati merupakan
penduduk asli dan seorang penutur bahasa Jawa, mengerti bahasa Sunda tetapi tidak bisa
mengucapkannya.
Dari 83 daftar tanyaan yang diajukan kepada kedua informan ada 18 kata yang sama
antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Kedelapan belas kata itu sebagai berikut:
No. Gloss Bahasa Sunda Bahasa Jawa
1 Ibu /Biyung/ /Biyung/
2 Anak /putra/ /Putra/
3 Cucu /putu/ /Putu/
4 Besan /besan/ /Besan/
5 Dukun Sunat /Mantri sunat/ /Mantri sunat/
6 Arisan /arisan/ /Arisan/
7 Kepala /sirah/ /Sirah/
8 Otak /otak/ /Otak/
9 Mulut /cangkem/ /Cangkem/
10 Bibir /lambe/ /Lambe/
11 Lidah /ilat/ /Ilat/
12 Telinga /kuping/ /Kuping/
13 Ibu jari /jempol/ /Jempol/
14 Kuku /kuku/ /Kuku/
15 Kaki /sampean/ /Sampean/
16 Sumsum /sumsum/ /Sumsum/
17 Jantung /jantung/ /Jantung/
18 Darah /geutih/ /getih/
Kedelapan belas kata pada table di atas memang sama namanya baik dalam bahasa Sunda
maupun bahasa Jawa, hal dasar yang menjadi pembeda dari kata-kata yang sama tersebut adalah
pengucapannya. Kedua penutur, Ibu Enah dan Ibu Pariati memiliki cara pengucapan yang
berbeda untuk kata-kata yang sama tersebut.
Tabel tersebut juga menunujukkan adanya pencampuran antara bahasa Sunda dengan
bahasa Jawa di desa Waringinsari. Ibu Enah yang merupakan penutur bahasa Sunda,
mengucapkan kata “ibu” baik dalam bahasa Sunda maupun Jawa dengan kata “biyung”. Ibu
Pariati yang merupakan penutur bahasa Jawa juga mengucapkan kata “ibu” dengan biyung.
Desa Waringinsari merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah dan
sebagian besar penduduknya menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil wawancara dengan kedua informan adalah
sebagai berikut,
1. terjadi pencampuran bahasa, baik dari Jawa ke Sunda maupun sebaliknya,
2. bahasa yang digunakan merupakan bahasa Jawa kasar dan Sunda kasar,
3. terkadang terjadi kebingungan antar penutur ketika melakukan interaksi, ketika seorang
penutur Sunda berbicara menggunakan bahasa Sunda dan lawan bicaranya menggunakan
bahasa Jawa, penutur Sunda tersebut tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh
penutur Jawa,
4. untuk penutur Jawa, hampir setiap kata diakhiri dengan huruf “e” seperti inyonge, banyu
matae, dan lain-lain,
5. ada kata-kata yang sama antara bahasa Sunda dan Jawa yang berbeda hanya pelafalannya
saja.
Desa Waringinsari memiliki beberapa keunikan dalam bahasa. Misalnya, dalam
keseharian banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, tetapi muatan local yang
diberikan di sekolah adalah bahasa Sunda. Muatan lokal bahasa Sunda ini diberikan karena
Banjar masih termasuk wilayah Jawa Barat. Seorang guru kelas satu di SDN Waringinsari I
mengatakan bahwa dirinya cukup mengalami kesulitan saat mengajarkan bahasa Sunda karena
kebanyakan siswa di sekolah tersebut menggunakan bahasa Jawa. Ketika mengajarkan bahasa
Sunda, ada tiga proses yang harus dilalui. Yaitu pertama bahasa Sunda tersebut diartikan ke
dalam bahasa Jawa terlebih dahulu, kemudian ke dalam bahasa Indonesia, baru ke bahasa Sunda,
setelah itu dikembalikan ke bahasa Jawa. Berikut perputaran bahasa yang terjadi ketika
mengajarkan bahasa Sunda pada para siswa.
a. bahasa Sunda (yang merupakan muatan lokal di sekolah),
b. bahasa Jawa (bahasa dominant yang digunakan warga desa Waringinsari), dan
c. bahasa Indonesia (bahasa nasional dan bahasa pengantar di sekolah).
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Jawa
Bahasa
Sunda
Walaupun demikian, SDN I Waringinsari memiliki seorang siswa bernama Rahmat yang
dalam kesehariannya berbahasa Jawa, tetapi Rahmat merupakan salah satu murid yang cukup
pandai dalam bahasa Sunda sehingga menjadi peserta lomba membaca dongeng dan menjadi
juara III dalam lomba tersebut. Lomba baca dongeng tersebut tidak hanya sekadar membaca
dongeng, tetapi melakukan gerakan dan tiruan gaya tokoh yang diceritakan dalam dongeng
tersebut beserta atributnya.
Rahmat membawakan dongeng yang ciptaan guru SDnya sendiri, dongeng itu berjudul
“Sate Ngalawan Beuleum Peda”. Rahmat yang sehari-hari menggunakan bahasa Jawa untuk
berkomunikasi dengan teman-temannya, mampu membawakan dongeng dalam bahasa Sunda.
Hal ini membuktikan bahwa warga desa Waringinsari memang hampir rata-rata (walau tidak
semua) bisa menggunakan kedua bahasa daerah, walau memang bahasa yang dominan
digunakan adalah bahasa Jawa seperti yang didapat dari data sosial budaya desa Waringinsari.
BAB IV
FOLKLOR
DESA WARINGINSARI
4.1 Folklor
Kata folklor merupakan pengindonesian dari bahasa Inggris folklore. Kata tersebut
merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu FOLK dan LORE. Folk
bersinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang
sama, serta memiliki kesadaran dan kepribadian sebagai suatu kesatuan masyarakat. Lore adalah
tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan
atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat
(mnemonic device).
Jadi, folklor secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai kebudayaan kolektif yang
tersebar dan diwariskan secara turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, misalnya
melalui bentuk lisan dan gerak isyarat. Ada beberapa hal yang menjadi ciri pengenal utama
folklor yang menjadi pembeda antara folklor dengan kebudayaan lain. Ciri pengenal utama itu
adalah sebagai berikut:
1. penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu diwariskan
melalui tuturan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi berikutnya,
2. folklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau
standar,
3. folklor ada dalam berbagai versi yang berbeda, tetapi tetap saja maksud dan isinya
sama,
4. folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui,
5. folklor bersifat pralogis karena mempunyai logika sendiri dan tidak sama dengan
logika yang berlaku secara umum,i
6. folklor menjadi milik bersama karena penciptanya sudah tidak ada dan setiap
kolektif merasa memilikinya, dan
7. folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali terlihat kasar
dan terlalu spontan.
Jan Harold Brunvand, seorang ahli Folklor Amerika Serikat sebagai Folklor ke dalam
tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu Folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kebudayaan) pada masa lampau dan dianggap
benar-benar terjadi oleh empunya cerita atau penganutnya. Upacara Adat adalah upacara
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara turun temurun untuk menghormati
roh nenek moyang / leluhurnya.
Upacara adat secara umum terdiri dari :
1. Upacara terhadap roh nenek moyang / roh leluhur.
2. Upacara yang berhubungan dengan hidup manusia, seperti : upacara sebelum kelahiran,
upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.
3. Upacara yang berhubungan dengan kematian, seperti : upacara 7 hari, upacara 40 hari,
dan lain-lain.
4. Upacara yang berhubungan dengan alam semesta, seperti : upacara meminta hujan,
upacara panen, nyandran, dan lain-lain.
Lagu adalah lagu-lagu yng berasal dari berbagai daerah ditanah air. Indonesia sebagai
negara majemuk terdiri dari berbagai beribu-ribu pulau, adat istiadat, dan kebudayaan yang
berbeda termasuk lagu-lagu daerah. Menurut Profesor Kuncoro Ningrat, lagu-lagu daerah
termasuk bentuk kesenian dan unsur budaya universal dari suatu bangsa.
Penelitian folkor dilakukan di desa Waringinsari yang merupakan salah satu desa yang
berada di kecamatan Langensari.Data folklor yang dicari diantaranya mata pencaharian, mitos,
upacara adat, acara tahunan, permainan, makanan khas, lagu-lagu, dan lain sebagainya.
4.2 Data Hasil Penelitian Folkor Desa Waringinsari
Dalam penelitian ini, maslah yang akan dibahas dibatasi pada penulisan dan pendataan
folklor atau kebudayaan dan lain sebagainya yang terdapat pada Desa Waringinsari. Rumusan
masalah yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Kesenian dan Permainan
2. Nama Kesenian dan Permainan
3. Lokasi
4. Nama informan
5. Sejarah :
Waktu Pendirian
Pendiri
Motif Pendirian
Kondisi Pada Zaman Sekarang
6. Peralatan
Nama Alat
Fungsi Alat
Bahan Pembuatan
Bentuk Peralatan
Cara Menggunakan
7. Arena/Tempat
Sifat Arena
Luas Arena
8. Pemain
Jumlah
Umur
Jenis Kelamin
Syarat
9. Penonton
Syarat Penonton
10. Ritual
Nama Ritual
Alasan dilakukan
Waktu melakukan
Tempat melakukan
11. Pertunjukan atau permainan
Sifat
Durasi
Cerita/Narasi
Suasana Pertunjukan
12. Informasi lain
Nara Sumber : Bapak Tirto Wiharjo
Bapak Slamet
4.2.1 Asal Mula Desa Waringinsari
Asal mula Desa Waringin Sari adalah pemekaran dusun Langensari, adanya pohon
beringin yang tumbuh besar di sekitarnya. Banyaknya bantuan dari pemerintah untuk
penambahan infrastruktur dan pembangunan, contohnya bantuan dari walikota Banjar yang
meningkatkan beberapa aspek peningkatan IPM, dan pembuatan padat karya yang besarnya rata-
rata 1,6 milyar rupiah perdesa. Desa ini dinamakan Waringinsari sebagai tambahan kebersamaan
antar desa di Langensari. Tiap desa dinamai tambahan „sari‟ pada pemakaian nama. Awal desa
Waringinsari hanya ada 15 kk dan rata-rata keadaan rumah masih terbuat dari alang-alang dan
banyak sekali tanah kosong. Menurut sesepuh dulu, desa ini diambil dari nama gedung waringin
karena disana terdapat gedung sari dan pohon beringin. Kades (kepala desa) pertama di desa ini
adalah Pak Wagino, orang penting kedua adalah Kyai Sanusi (ia membangun masjid-masjid dan
menyebarkan ajaran agama islam), ketiga adalah Hadi Subroto. Ketiga orang tersebut sudah
tinggal di desa Waringinsari dari semenjak kecil, sehingga mereka mengetahui segala seluk
beluk tentang desa tersebut.
4.2.2 Kesenian Tradisional Desa Waringinsari
1. Kuda Lumping
Kesenian yang ada di desa ini yang dari dulu sampai sekarang masih sangat terkenal yaitu
kuda lumping. Kuda lumping dahulu muncul dan pertunjukan tidak memungut biaya apa pun.
Namun seiring berkembangnya zaman dan dibutuhkannya alat-alat penunjang pertunjukan
seperti kostum, alat permainan, dan upah para pemain maka kuda lumping sudah diberlakukan
pemungutan biaya apabila akan diundang untuk mengisi acara pertunjukan. Ketua kesenian kuda
lumping ini adalah : Sitarahayu, Sutijo, Satiman, Tibran, dan Simon. Kuda lumping ditampilkan
hanya pada acara-acara khusus yang dipesan si pembuat acara. Pemain kuda lumping tidak
dibatasi oleh umur, siapa pun bisa mengikutinya. Biasanya jumlahnya 20 orang dan yang
memainkan gamelan 15 orang. Persyaratan sebelum dimulainya pertunjukan kuda lumping ialah
:
1. penyediaan sesajen (buah kelapa, pisang, dan sebagainya),
2. dimulai dari jam 1 siang sampai 4 sore ( 2jam untuk tarian, 2 jam untuk acara
kerasukan). Sedangkan kalau malam sampai jam 10,
3. tempat min. 8-10 meter (lebih luas lebih baik)
4. dandan (pemakaian kostum), dan
5. mulai pertunjukan ( mulai manari, setelah agak siang mulai kerasukan).
Alasan mengapa harus ada sesajen agar berkesinambungan dengan ritual yang ada.
Karena sesajen dapat mendatangkan roh halus. Bila pada zaman dulu orang yang kesurupan pada
permainan kuda lumping ini akan memakan beling,sekarang tidak lagi, karena sudah mulai
memerhatikan kesehatan para pemainnya. Jadi beling bisa digantikan dengan makanan lain yang
tidak berbahaya bagi kesehatan si pemain yang kesurupan tersebut. Mitos yang ada dalam
permainan ini ialah apabila orang yang menonton itu pernah menjadi pemain kuda lumping, dan
orang yang sedang kesurupan itu menyenggol penonton tersebut maka secara otomatis yang
tersenggol akan langsung ikut kesurupan. Cara meminta keselamatan dalam acara kuda lumping
ini ialah mengucap salam pada roh-roh yang membantu acara dan menyiapkan syarat-syarat
permainan seperti sesajen. Syarat pemain kuda lumping hanya adanya niat yang kuat dan
kemampuan yang dituntut untuk kuat fisik serta mental pada pemain. Suasana pada saat
pertunjukan kuda lumping ini awalnya ketika tarian dimulai penonton akan merasa senang, lalu
pada tahap kedua ketika dimulai acara kesurupan penonton menjadi ketakutan dan khawatir
namun tetap merasa senang karena pertunjukan ini sudah dikenal sebagai hiburan semata jadi
tidak akan ada yang membahayakan karena sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
2. Macopat
Kesenian kedua yang unik di desa ini adalah Macopat, tradisi mengunjungi ibu-ibu yang
sedang mengandung atau melahirkan anak. Biasanya dilakukan beramai-ramai dengan berjalan
kaki menuju rumah ibu tersebut sambil menyanyi tanpa alunan musik. Jadi hanya sebuah
lantunan yang dinyanyikan pelan dengan mengandung doa-doa dan terdapat pepatah yang
menggunakan pelafalan bahasa Jawa. Tujuan kesenian ini adalah agar anak yang dilahirkan
menjadi anak yang shaleh dan pintar. Lalu kemudian ada acara syukuran hamil Mapoti (4
bulanan), Mitoni (7 bulanan) dan Marhaban (1 minggu setelah lahir) ada tradisi bubur merah dan
bubur putih.
Banyak kesenian-kesenian unik yang ada dalam desa ini, antara lain Kenduren, yaitu
upacara kebudayaan yang dilakukan oleh warga desa dengan maksud mengucapkan syukur
apabila musim panas datang. Ada juga variasi gamelan dengan musik unik dan tarian yang
memakan waktu dua jam dengan pengiring sinden dan lalu keluar tarian dengan penyanyi
kepang yang di sesuaikan dan dibuat dengan gaya yang unik. Ibu-ibu sekarang juga sering
mengadakan acara Hanro atau Janeng semacam shalawatan yang dilakukan dengan hati ikhlas.
3. Mitos
Dalam desa ini juga kami temukan beberapa mitos-mitos yaitu salah satunya kita harus
menjaga tata krama dan harus sopan apabila kita berada di sungai Citanduy. Karena sungai ini
merupakan tempat yang dianggap mistis oleh warga sekitar. Di sana dilarang berbicara sompral
(tidak sopan), dilarang berenang di sungai (konon katanya tidak akan bisa bertemu dan kembali
lagi), di sekitar sungai apabila menemukan sebuah tikar dan tikar tersebut diambil maka orang
tersebut akan tergulung tikar itu. Menurut mitos apabila ingin mengambil air di sungai dilarang
menggunakan kudil atau panci konon buaya yang ada disana akan mengamuk.
Mata pencaharian di desa Waringinsari ialah, karena rata-rata sebagian besar pemuda-
pemuda desa menjadi pengangguran maka mreka menjadi penyadap gula, mereka setiap hari
memanjat pohon untuk mengambil gula. Namun selain itu banyak juga yang menjadi petani dan
peternak.
4.3 Analisis Folklor Desa Waringinsari
Desa Waringinsari memang identik dengan folkor yang masih begitu kental. Wilayahnya yang
berbatasan langsung dengan Jawa Tengah membuatnya menjadi desa yang memiliki penduduk
yang dominan berbahasa Jawa. Tetapi hal itu tidak menjadi penghalang untuk hidup rukun dan
saling berdampingan. Ditambah lagi dengan kesenian tradisional yang masih ada sampai
sekarang seperti kesenian Kuda Lumping dan Macopat. Seperti dijelaskan pada pembahasan
mengenai kuda lumping, para warga merasa senang dengan adanya kesenian kuda lumping
karena kuda lumping merupakan salah satu sarana hiburan yang menyenangkan sekaligus
menegangkan. Ketika kegiatan kesenian kuda lumping berlangsung, secara otomatis warga
banyak berkumpul di satu tempat untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut. Hal tersebut
menjadi salah satu ajang silaturahmi juga yang membuat warga Waringinsari saling mengenal
dan meningkatkan rasa kekeluargaan di antara mereka.
Kegiatan macopat pun tidak kalah bermanfaat dari kuda lumping. Macopat menjadi salah
satu lambang toleransi dan kerukunan yang ada dan tumbuh dalam kehidupan warga
Waringinsari. Tradisi macopat ini menggambarkan bagaimana karakteristik dari warga
Waringinsari. Mereka bershalawat dan mengunjungi ibu-ibu hamil serta mendoakan agar anak
yang sedang dikandung menjadi anak yang shaleh. Tradisi macopat menjadi salah satu tradisi
yang membuat warga Waringinsari menjadi warga yang sangat rukun dan saling pengertian.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Penelitian KKL yang diselenggarakan pada tanggal 29-30 April 2010 ini terdiri atas
penelitian sosial budaya, geolinguistik bahasa, dan folklor dari desa Waringinsari. Ketiga
penelitian tersebut berisi beberapa poin penting di antaranya sebagai berikut:
1. kehidupan sosial masyarakat Waringinsari sangatlah rukun walau ada perbedaan bahasa
daerah yang digunakan oleh mereka,
2. desa Waringinsari merupakan desa yang paling banyak memiliki gereja, yaitu lima buah
gereja, empat di antaranya lokasinya berdekatan dengan mesjid. Tetapi, walau demikian,
tidak pernah terjadi perseteruan di antara para penganut masing-masing agama tersebut,
3. penutur bahasa Sunda dan penutur bahasa Jawa hidup berdampingan dan tidak
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi walau banyak di antaranya yang
berkomunikasi dengan bahasa masing-masing, dan
4. Kuda lumping merupakan salah satu kesenian tradisional yang sangat digemari dan sudah
diwariskan secara turun temurun di dalam kehidupan masyarakat Waringinsari dan
merupakan sarana hiburan yang dinantikan oleh masyarakatnya.
5.2 Saran
Penyusunan laporan KKL ini didasarkan pada hasil penelitian pada bidang sosial budaya,
geolinguistik bahasa, dan folklor di desa Waringinsari yang diselenggarakan pada tanggal 29-30
April 2010. Penyusun menuliskan apa yang menjadi hasil penelitian melalui proses wawancara
dan mengemukakan analisis penyusun atas hasil penelitian yang diperoleh.
Desa Waringinsari merupakan desa yang ideal untuk dijadikan tempat penelitian terutama
dalam bidang kebahasaan dan folklor. Penyusun berharap desa Waringinsari tetap menjadi desa
yang penuh dengan kerukunan dan tetap menjaga warisan tradisi yang saat ini masih ada dan
bertahan di tengah budaya populer semakin menjadi. Desa Waringinsari tentunya harus bisa
terus menjaga kerukunan dan budaya setempat sehingga bisa menjadi desa yang bisa menjadi
contoh baik bagi desa-desa lainnya maupun daerah-daerah lain di luar kota kecamatan
Langensari.
Walau demikian, laporan ini tentu tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Untuk itu
saran yang membangun sangatlah penyusun harapkan untuk lebih baik lagi dalam penyusunan
laporan sejenis yang kelak akan dilakukan oleh penyusun.
DAFTAR PUSTAKA
Rohaedi, Ayat. 2003. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.