laporan kp rs banyumanik
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zat atau senyawa yang masuk ke dalam suatu ekosistem pada
kadar yang telah melewati nilai ambang batasnya disebut sebagai
pencemar atau polutan. Namun demikian, nilai ambang batas bagi setiap
zat atau senyawa berbeda beda begitu pula pada efek samping yang
ditimbulkan. Beberapa zat dan senyawa dapat menimbulkan efek samping
pada konsentrasi tinggi dan sebagian zat serta senyawa yang lain
menimbulkan efek samping pada konsentrasi yang sangat rendah. Bahkan
reaksi yang terjadi antar zat atau senyawa yang berbeda dapat
menimbulkan efek samping yang lebih rumit. Bahan pencemar dapat
berupa zat dan senyawa kimia, sampah dan juga mikroorganisme.
Sumber pencemaran lingkungan dapat berasal dari mana saja, tidak
terkecuali dari aktifitas manusia. Salah satu aktifitas manusia yang
berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan adalah aktifitas manusia
di rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat yang berfungsi sebagai
fasilitator proses kesembuhan dari berbagai penyakit. Orang-orang dari
berbagai kalangan usia dan berbagai jenis penyakit datang ke rumah sakit
untuk berobat. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan baru yang
berkaitan dengan kondisi sanitasi rumah sakit. Kotoran, mikrobia
patogenik (mikrobia yang menimbulkan penyakit), sisa bahan pengobatan
dan sampah rumah sakit dapat menjadi sumber penyakit baru jika tidak
dikelola dengan baik. Rumah sakit yang baik tentu saja harus
mempertimbangkan dan mempertahankan kondisi rumah sakit yang bersih
dan sehat agar pasien tetap nyaman selama menjalani proses
penyembuhan.
Rumah Sakit Banyumanik di Kota Semarang, Jawa Tengah,
menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Rumah sakit ini memiliki
kondisi yang berbeda dengan rumah sakit lain di Kota Semarang. Rumah
Sakit Banyumanik berlokasi di Kecamatan Banyumanik dan terletak
1
sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Dengan luas 1680 m2, rumah
sakit ini telah memiliki instalasi pengolahan air limbah dan sarana
kesehatan serta kebersihan yang beroperasi setiap hari. Hal ini menjadikan
Rumah Sakit Banyumanik memiliki sisi positif dan negatif sebagai
lembaga kesehatan masyarakat. Letak rumah sakit yang dekat dengan
lingkungan pemukiman penduduk memudahkan penduduk di sekitar
rumah sakit untuk memperoleh pengobatan. Akan tetapi, di sisi lain rumah
sakit juga berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan oleh limbah
rumah sakit yang tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan
tersebut. Karakter rumah sakit inilah yang membuatnya menarik untuk
diteliti lebih lanjut dalam hal manajeman pengolahan limbah rumah sakit.
Salah satu limbah rumah sakit yang sangat nyata adalah limbah
cair. Air mempunyai karakteristik fisik dan kimiawi yang
mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya. Apabila terjadi
perubahan kualitas perairan, terutama oleh bahan pencemar, maka
keseimbangan hidup organisme yang ada di perairan tersebut termasuk
manusia pada khususnya dapat terganggu. (Rao and Bhole, 2001).
B. Permasalahan
Rumah Sakit Banyumanik memiliki fungsi yang sama dengan
rumah sakit lain pada umumnya, yaitu sebagai fasilitator proses
penyembuhan bagi masyarakat yang sakit. Akan tetapi, letak rumah sakit
yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk membuat limbah rumah
sakit berpotensi tinggi mencemari lingkungan pemukiman penduduk. Hal
ini sebenarnya bisa dihindari jika rumah sakit telah memiliki mekanisme
dan alat pengolahan limbah yang berfungsi dengan baik. Masalah yang
kemudian timbul adalah:
1. Apakah Rumah Sakit Banyumanik telah memiliki sistem pengolahan
limbah sendiri?
2. Apakah sistem pengolahan limbah tersebut telah mampu bekerja
dengan efisien dalam mengolah limbah rumah sakit?
2
3. Bagaimanakah hasil dari sistem pengolahan limbah tersebut, apakah
hasil dari sistem tersebut telah sesuai dengan baku mutu daerah dan
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Adanya sistem pengolahan limbah rumah sakit yang mendukung
kinerja rumah sakit.
2. Apakah sistem tersebut bekerja secara efisien.
3. Mempelajari hasil akhir sistem pengolahan limbah rumah sakit,
sesuaikah dengan baku mutu daerah dan tidak menyebabkan
pencemaran lingkungan.
D. Manfaat
Setelah penelitian ini selesai diharapkan hasil dari penelitian ini
dapat menjadi wacana dan motivasi khususnya bagi pihak rumah sakit dan
umumnya bagi masyarakat luas.
E. Deskripsi Lokasi
Rumah Sakit Banyumanik terletak di Jalan Bina Remaja no. 61,
Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang Jawa Tengah. Rumah Sakit
Banyumanik memiliki luas area sebesar 1680 m2 dengan daya tampung
pasien sebanyak 45 tempat yang dialokasikan untuk orang dewasa, anak
dan bayi. Lantai satu digunakan sebagai tempat merawat pasien, klinik,
ruang gawat darurat, ruang bersalin, ruang administrasi, ruang radiologi
dan kantin. Sementara lantai dua digunakan sebagai ruang kantor rumah
sakit. Dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 104 orang, Rumah Sakit
Banyumanik mampu melayani 10 hingga 30 pasien per harinya.
Rumah Sakit Banyumanik terletak cukup jauh dari jalan utama
sehingga memberikan suasana yang cukup tenang bagi pasien yang sedang
menjalani perawatan. Akan tetapi rumah sakit ini masih dapat dijangkau
dengan cepat dari jalan utama. Pasien yang berobat di Rumah Sakit
3
Banyumanik umumnya berasal dari daerah di sekitar Banyumanik dan
Gunung Pati. Rumah sakit ini berdampingan langsung dengan rumah-
rumah penduduk dan memiliki saluran pembuangan air limbah yang
bermuara di saluran yang sama dengan air limbah rumah tangga milik
penduduk sekitar.
Gambar 1. Kota Semarang (Wikimepia, 2010)
Gambar 2. Kecamatan Banyumanik (Wikimepia, 2010)
4
Gambar 3. Lokasi Rumah Sakit Banyumnik Kota Semarang (Wikimepia, 2010)
F. Waktu danTempat
Kerja praktek ini dilaksanakan pada periode 21 Januari 2010
hingga 4 Februari 2010 di Rumah Sakit Banyumanik yang terletak di Jalan
Bina Remaja No.61 Banyumanik, Semarang, Jawa tengah.
G. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan adalah:
1. Interview, mengadakan tanya jawab kepada pihak yang
terkait di Rumah Sakit Banyumanik.
2. Mengamati secara langsung proses pengolahan limbah
Rumah Sakit Banyumanik, Kota Semarang.
3. Studi Pustaka di Rumah Sakit Banyumanik Kota Semarang
dan BAPPEDAL Jawa Tengah.
5
RS Banyumanik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan dengan inti kegiatan
berupa pelayanan medis. Pelayanan rumah sakit pada hakekatnya merupakan
sistem yang aktivitasnya saling tergantung satu dengan lainnya. Unsur-unsur yang
saling berinteraksi dalam mendukung terciptanya pelayanan prima adalah sumber
daya manusia (medis, paramedis dan non medis), sarana dan prasarana, peralatan,
obat-obatan, bahan pendukung dan lingkungan.
Lingkungan rumah sakit meliputi lingkungan dalam gedung (indoor) dan
luar gedung (outdoor) yang dibatasi oleh pagar lingkungan. Lingkungan indoor
yang harus diperhatikan adalah udara, lantai, dinding, langit-langit, peralatan,
serta obyek lain yang mempengaruhi kualitas lingkungan seperti air, makanan, air
limbah, serangga dan binatang pengganggu, sampah dan sebagainya. Sedangkan
lingkungan outdoor meliputi selasar, taman, halaman, dan tempat parkir terutama
terhadap kebersihan dan keserasiannya.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit secara umum dilaksanakan dengan
menyiapkan perangkat lunak yang berupa peraturan, pedoman dan kebijakan yang
mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di
samping itu secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan
mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini
rumah sakit milik pemerintah ataupun swasta telah dilengkapi dengan fasilitas
pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan.
Pencemaran Lingkungan menurut SK Menteri Kependudukan Lingkungan
Hidup No.02/MENKLH/1988 adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup,
zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air atau udara, dan berubahnya
tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam,
sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan
terdapat bahan yang menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak diharapkan,
6
baik yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologis sehingga mengganggu
kesehatan manusia, dan aktivitas manusia serta organisme lainnya (Suratmo,
1998).
Limbah merupakan agen pencemar lingkungan yang dapat berwujud padat
maupun cair. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya di rumah sakit. Mengingat
dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik
meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan
tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi
rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan.
Limbah rumah sakit mengandung berbagai macam mikroorganisme
bergantung pada jenis rumah sakit dan tingkat pengolahan yang dilakukan
sebelum limbah dibuang. Limbah rumah sakit berkemungkinan besar
mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya.
Mikroorganisme patogen adalah mikroorganisme yang berpotensi menyebabkan
infeksi penyakit. Mikroorganisme patogen dan bahan kimia beracun dapat
tersebar ke lingkungan rumah sakit, disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan
yang kurang memadai. Kesalahan penanganan bahan-bahan berbahaya dan
peralatan yang terkontaminasi, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi
yang masih buruk semakin mendukung munculnya masalah-masalah yang
berkaitan dengan sanitasi di rumah sakit (Giyatmi, 2003).
Limbah rumah sakit terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat rumah sakit terdiri atas limbah infeksius dan non-infeksius. Limbah
infeksius merupakan limbah yang berpotensi menimbulkan infeksi. Limbah
infeksius dapat menjadi vektor, penyebaran penyakit, dan juga sebagai sumber
penyakit, yang terdiri dari bagian tubuh yang diamputasi dan cairan dari tubuh
manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lain yang
terkena infeksi kuman penyakit yang menular (Said, 1999).
Masalah utama dalam mengatasi limbah infeksius adalah resiko penularan
oleh agen infeksius yang berasal dari limbah ini. Resiko penularan akan muncul
7
saat pembuangan limbah dari sumbernya, proses pengumpulan, pengangkutan,
penyimpanan hingga penanganan baik on-site maupun off-site. Maka perlu
dipertimbangkan penentuan wadah atau kontainer untuk limbah infeksius.
Pertimbangan penggunaan wadah juga dibedakan sesuai tipe limbah infeksius.
(Colony, 2001).
Dalam strategi pengolahan dan pembuangan limbah infeksius rumah sakit
terdapat beberapa sistem, antara lain :
1. Autoclaving,
2. Desinfeksi dengan bahan kimia,
3. Insinerasi.
Beberapa parameter operasional yang akan mempengaruhi terjaminnya
destruksi oleh panas antara lain, menurut Freeman (1988): temperatur, waktu
tinggal turbulensi, pasokan udara, bahan konstruksi, dan perlengkapan tambahan.
Insinerator untuk mengolah limbah infeksius hingga saat ini telah dibuat dengan
berbagai nama seperti insinerator medis, insinerator infeksius ataupun insinerator
limbah patologi. Menurut Reindhardt (1991), komponen-komponen utama dalam
insinerator ini terdiri dari Primary Combustion Chamber, Secondary Combustion
Chamber, Boiler, Air Pollution Control Devices, dan Stack. Pada umumnya
incinerator dengan primary chamber mengkonversi limbah sehingga
menghasilkan emisi berupa partikulat. Untuk itu perlu pollution control device
berupa wet dan dry scrubbers pada insinerator rumah sakit yang manfaatnya
adalah mengurangi emisi partikel (0,01–0,03 gr/ft3), mengurangi gas asam
(HCL), mengurangi sifat patogen, dan mencegah racun terbebas ke udara
(Freeman, 1988).
Limbah non-infeksius adalah segala zat padat, semi padat yang terbuang
atau tidak berguna baik yang dapat membusuk maupun yang tidak dapat
membusuk. Limbah biasanya ditampung di tempat produksi limbah untuk
beberapa lama. Untuk itu setiap unit hendaknya disediakan tempat penampungan
dengan bentuk, ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan jumlah
sampah serta kondisi setempat. Kriteria alat penampung sampah antara lain: bahan
8
tidak mudah berkarat, kedap air terutama untuk menampung sampah basah,
tertutup rapat, mudah dibersihkan, mudah dikosongkan atau diangkut, tahan
terhadap benda tajam dan runcing. Pengangkutan sampah dimulai dengan
pengosongan bak sampah di setiap unit dan diangkut ke pengumpulan lokal atau
ke tempat pemusnahan. Alat pengangkutan sampah di rumah sakit dapat berupa
gerobak atau troli dan kereta yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Depkes RI sebagai berikut :
1. Memiliki wadah yang mudah dibersihkan bagian dalamnya serta
dilengkapi dengan penutup,
2. Harus kedap air dan mudah untuk diisi dan dikosongkan,
3. Setiap keluar dari pembuangan akhir selalu dalam kondisi bersih.
Untuk pembuangan sampah non-medis atau biasa disebut limbah non-
infeksius diperlukan suatu konstruksi tempat pengumpulan sampah sementara
yang terbuat dari dinding semen atau dengan kontainer logam yang yang sesuai
dengan persyaratan umum yaitu kedap air, mudah dibersihkan dan berpenutup
rapat. Ukuran hendaknya tidak terlalu besar sehingga mudah dikosongkan.
Apabila jumlah sampah yang ditampung cukup banyak, maka perlu penambahan
jumlah container.
Selain limbah padat (infeksius dan non-infeksius), yang dihasilkan oleh
suatu rumah sakit adalah limbah cair. Limbah cair merupakan sisa buangan hasil
suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi. Komponen utama limbah cair
adalah air (99%) sedangkan komponen lainnya bahan padat, tergantung dari asal
buangan tersebut (Rustama et al., 1998).
Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik.
Limbah cair rumah sakit akan sangat berbahaya jika tidak dilakukan pengolahan
sebelum limbah tersebut dikeluarkan ke perairan. Pengolahan limbah cair
menggunakan alat yang disebut IPAL. Elemen biologi dalam system perairan
berkaitan erat dengan komponen-komponen kimia. Komponen-komponen kimia
dalam perairan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu zat organik, yang
terdiri dari atas senyawa organic asam dan senyawa organik sintetis, bahan-bahan
9
anorganik, dan gas. Komponen dasar dari senyawa organik adalah karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, dan sulfur. Keberadaan senyawa organik di
dalam air akan menimbulkan berbagai masalah, antara lain masalah rasa dan bau.
Keberadaan senyawa organik juga menyebabkan air memerlukan proses
pengolahan air bersih yang lebih komplek, senyawa tersebut dapat menurunkan
kandungan oksigen, serta menyebabkan terbentuknya substansi-substansi beracun
( Siregar).
Parameter pengolahan air limbah yang umumnya diukur adalah BOD,
COD, TSS, Suhu, Fosphat, dan juga pH. Air buangan limbah cair yang telah
melalui pengolahan dikatakan aman apabila sudah memenuhi standar baku mutu
yang ditetapkan oleh masing-masing daerah. Berikut ini merupakan standar baku
mutu air limbah rumah sakit kota Semarang.
Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah Untuk Kegiatan Rumah Sakit, Propinsi Jawa
Tengah (BAPPEDAL PROPINSI JATENG, 2004)
NO PARAMETER SATUAN KADAR MAKSIMUM
I FISIKA
1. Suhu ◦ C 30
2. TSS mg/L 30
II. KIMIA
1. pH - 6,0-9.0
2. BOD5 mg/L 30
3. COD mg/L 80
4. NH3-N Bebas mg/L 0,1
5. Phosphat (PO4-P) mg/L 2
III MIKROBIOLOGI
1. Kuman Golongan Coli MPN/100 mL 5000
10
Pada prinsipnya limbah medis harus sesegera mungkin diolah setelah
dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir bila limbah benar-benar
tidak dapat langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan yaitu:
melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup, menjaga agar areal
penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan limbah non-medis,
membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang dapat memasuki area serta
lebeling dan pemilihan tempat penyimpanan yang tepat (Reinhardt,1991).
11
BAB III
HASIL dan PEMBAHASAN
Rumah sakit Banyumanik berada di Jalan Bina Remaja No.61 Kecamatan
Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah. Seperti rumah sakit pada umumnya,
rumah sakit ini juga memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat baik
berupa pengobatan rawat jalan ataupun rawat inap dan pelayanan kesehatan
lainnya. Rumah sakit ini berada di tengah pemukiman penduduk yang padat,
dimana dari segi lokasi, rumah sakit ini dihadapkan pada keuntungan dan juga
kerugian. Keuntungan dikarenakan rumah sakit ini mudah dijangkau oleh
masyarakat yang butuh akan pelayanan kesehatan namun rumah sakit ini perlu
penanganan limbah yang baik agar limbah yang dibuang tidak mencemari
lingkungan dan merugikan masyarakat yang ada di sekitar rumah sakit tersebut.
Secara umum, limbah rumah sakit dibagi kedalam dua jenis yaitu limbah
cair dan limbah padat. Limbah cair di R.S Banyumanik telah diolah menggunakan
sistem IPAL dan dapat dibuang ke saluran pembuangan penduduk. Limbah padat
diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis yaitu limbah infeksius dan limbah non-
infeksius yang dalam penangannnya masih bekerja sama denagan rumah sakit
lain. Proses pengolahan limbah dipimpin oleh Bapak Mahfud yang dibantu oleh 7
karyawan lainnya. Berikut merupakan bagan manajemen pengolahan limbah
rumah sakit di Rumah Sakit Banyumanik, kota Semarang.
Gambar 4. Bagan manajemen pengolahan limbah R.S. Banyumanik (21 Jan- 4 Feb 2010)
12
Insinerator di RS Sultan Agung
Limbah Rumah Sakit
Limbah padat
Limbah cair
Non-Infeksius
Infeksius
TPS RS
Penyimpanan Sementara
IPAL Rumah Sakit Banyumanik
TPA Umum
Saluran pembuangan
air
Limbah Infeksius
Limbah infeksius merupakan limbah yang dapat menjadi penyebab infeksi
atau penyebaran penyakit pada manusia. Limbah infeksius ini dapat berupa
jaringan tubuh pasien, jarum suntik, bekas darah, perban, bahan atau perlengkapan
yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan
tercemari oleh penyakit pasien. Limbah jenis ini dibuang ke dalam temapat
sampah atau tempat penampungan sampah yang dilapisi plastik yang berwrna
kuning. Jarum suntik bekas pakai tidak dimsukkan ke dalam kantung yang
berwarna kuning ini karena dikhawatirkan akan merusak kantung tersebut. Jarum
suntik yang telah dipakai dibuang ke dalam wadah yang berisi 4 L air yang
dicampur dengan klorin 0,25 L.
Tempat sampah untuk menampung limbah infeksius ini tersebar diruangan
yang memungkinkan adanya limbah infeksius seperti pada ruang perawatan,
ruang bedah. Limbah infeksius ini diangkut menggunakan troli ataupun manual
dengan tangan ke tempat penampungan limbah sementara yang ada dibagian
belakang dari rumah sakit. Limbah yang ada di tempat penamungan sementara
tersebut selanjutnya dibawa ke tempat insenerasi. Proses insinerasi adalah proses
pembakaran limbah padat dengan suhu tinggi dengan tujuan sterilisasi. Insinerasi
dilakukan dengan alat yang disebut insinerator. Rumah sakit Banyumanik belum
memiliki insenerator yang disebabkan rumah sakit ini terletak sangat dekat
dengan pemukiman penduduk yang tidak memungkinkan adanya insenerator.
Asap yang dikeluarkan oleh insinerator akan sangat mengganggu kesehatan dan
kenyamanan penduduk di sekitar rumah sakit. Oleh karena itu dalam pengolahan
limbah infeksius, R.S. Banyumanik bekerja sama dengan R.S. Sultan Agung
dalam hal proses insenerasi. Kontrak kerjasama antar rumah sakit akan berakhir
pada tahun 2011. Biaya yang dikenakan untuk proses tersebut adalah Rp.7.500/kg
sampah.
Berdasarkan pengamatan, didalam kantong kuning yang seharusnya berisi
limbah infeksius kadang masih terdapat limbah non-infeksius seperti sampah
bungkus deterjen dan sampah bungkus makanan.
13
Gambar 5. Limbah padat Infeksius (21 Jan- 4 Feb 2010)
Gambar 6. Tempat penampungan sementara Limbah padat Infeksius (21 Jan- 4 Feb 2010)
Limbah Non-Infeksius
Jenis limbah yang tergolong limbah non-infeksius sebagai contohnya
adalah sampah kering (plastik pembungkus, botol plastik atau kaca dan lainnya)
dan sampah basah (sisa makanan, sampah dapur dan lainnya). Limbah jenis ini
ditempatkan di tempat sampah yang dilapisi dengan plastik yang berwarna hitam.
Tempat sampah untuk non-infeksius jumlahnya cukup banyak di setiap sudut
ruangan rumah sakit ataupun dapat ditempatkan berdampingan dengan tempat
sampah infeksius.
14
Limbah non-infeksius ditampung di tempat penampungan smapah yang
ada di bagian depan dari rumah sakit yang akan diangkut dalam waktu satu kali
dalam seminggu oleh petugas kebersihan dari pemerintah daerah setempat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan masih ada kantong-kantong hitam yang
digunakan tidak untuk limbah non-infeksius melainkan untuk limbah infeksius.
Hal ini sangat berbahaya, jika petugas kebersihan tidak jeli dan salah dalam
pengangkutan sehingga limbah non-infeksius dapat bercampur dengan limbah
infeksius di dalam TPS dan akan terbawa ke TPA . Kejadian tersebut dapat
membahayakan berbagai pihak baik petugas kebersihan rumah sakit maupun
petugas kebersihan dari Dinas Kota Semarang yang menangani limbah, serta
limbah infeksius tersebut dapat mencemari lingkungan di sekitar TPA.
Gambar 7. Limbah padat Non- Infeksius (21 Jan- 4 Feb 2010)
Gambar 8. Tempat penampungan sementara limbah padat Non-Infeksius (21 Jan- 4 Feb 2010)
15
Limbah Cair
Pengolahan limbah cair dari rumah sakit ini dilakukan dengan Instalasi
Pengolahan Air limbah yang telah terdapat di R.S. Banyumanik. Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) diletakkan atau dipendam dalam tanah di bagian
depan rumah sakit dikarenakan keterbatasan lahan dari rumah sakit.
Awal dari proses pengolahan ini adalah limbah ditampung di bak
penampungan sementara sebelum masuk kedalam alat IPAL. Alat IPAL
berukuran 3,5m x 2,4m x 1,5 m dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
merupakan awal dari pengolahan air limbah di dalam alat tersebut yang berfungsi
untuk proses aerasi (di bagian ini terdapat aerator) dan dilakukan juga proses
pengadukan. Pengolahan ini dibantu dengan mikrobia yang dikemas dengan
merek dagang EM-4 (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, Actinomycetes sp.
Dan jamujr fermentasi lain). Selain itu, diberikan juga kedalamnya “gula” untuk
membantu pertumbuhan mikrobia. Selain itu juga ditambahkan kedalamnya
Hydro-Oxy yang berfungsi untuk menstabilkan oksigen yang ada didalam air
limbah tersebut. Blower berfungsi untuk menjaga kehidupan mikrobia dengan
system aerasi, sehingga suplai oksigen terpenuhi dan mikrobia dapat hidup.
Apabila listrik sedang mati dan secara otomatis blower tidak dapat bekerja,
mikrobia didalam tabung akan mati dan efek yang ditimbulkan adalah bau yang
sangat menyengat karena limbah tidak diuraikan oleh mikrobia. Pada keadaan
normal blower bekerja pada saat kapasitas limbah di dalam tabung sudah
mencukupi, dan akan berhenti secara otomatis.
16
Gambar 9. Hydro-Oxy (Kiri) dan EM-4 (kanan), produk untuk pengolahan limbah (21 Jan- 4 Feb
2010)
Bagian kedua dari alat IPAL berfungsi sebagai tempat penyaringan untuk
mengurangi padatan yang terkandung di dalam air limbah. Pada bagian ini
terdapat penayaring yang berupa gabus. Bagian ketiga dari alat IPAL adalah
tempat untuk pengendapan sebelum air dibuang ke lingkungan.
Gambar 10. Alat IPAL di Rumah Sakit Banyumanik (21 Jan- 4 Feb 2010)
17
Kapasitas instalasi ini 35 m3 limbah dan menghasilkan 25 m3 limbah yang
sudah diolah. Air yang telah diolah, dalirkan ke saluran pembuangan yang
menjadi satu dengan saluran pembuangan limbah penduduk sekitar. Selain itu air
limbah juga dialirkan kedalam kolam yang pada awalnya diperuntukkan sebagai
kolam pemantauan air limbah yang keluar dari IPAL. Pada awalnya di dalam
kolam tersebut di isi ikan Nila dan tanaman Eceng gondok, namun ikan Nila
didalam kolam tersebut mati dan diganti dengan ikan lele. Secara teori ikan Nila
merupakan jenis ikan yang tidak dapat hidup di perairan yang kotor ataupun
tercemar, dengan kata lain ikan Nila meruapakan bioindikator yang baik untuk
perairan. Sedangkan ikan Lele merupakan ikan yang mampu hidup pada perairan
yang miskin oksigen dan perairan yang kualitas airnya kurang baik. Berdasarkan
pengamatan tersebut air limbah yang dihasilkan kurang baik.
Gambar 11. Kolam Pemantauan air limbah (21 Jan- 4 Feb 2010)
Pihak rumah sakit memeriksakan air limbah setiap tiga bulan sekali di
Laboratorium CITO, dari hasil pemeriksaan laboratorium tersebut dapat dilihat
kualitas air limbah berdasarkan tiga parameter yaitu parameter fisika, kimia dan
biologi.
18
(a) (b)
Gambar 12. Hasil pemeriksaan laboratorium, (a) BOD5 ,(b) COD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
(biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam
kondisi aerobik. BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh
populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan
bahwa semakin banyak bahan pencemar organik yang ada di perairan. Semakin
banyak oksigen yang digunakan, sehingga mengakibatkan semakin kecil kadar
oksigen terlarut. Dengan kata lain jika BOD pada suatu perairan tinggi maka
perairan tersebut dikatakan tercemar. Faktor yang mempengaruhi kadar BOD
pada suatu perairan yaitu jenis limbah, suhu, dan pH. Selain itu jenis limbah akan
menentukan besar kecilnya BOD (Sugiharto,1987).
Dapat dilihat pada Gambar 12(a), bahwa setiap pemeriksaan BOD5 selalu
melampaui ambang batas yang telah ditentukan. Seperti yang telah disebutkan
diatas bahwa nilai BOD yang tinggi diakibatkan oleh bahan pencemar organik
yang terdapat di dalam air tersebut sehingga mikrobia pengurai bahan organik
menjadi banyak dan juga membutuhkan banyak oksigen. Apabila aerasi yang
diberikan buruk dapat mengakibatkan timbulnya bakteri anaerob sehingga dapat
menimbulkan bau yang tidak sedap.
19
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan
agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia
baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. COD
menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.
Sama halnya dengan BOD, hasil pengukuran COD dari ketiga bulan
tersebut juga selalu melampaui ambang batas yang telah ditentukan (Gambar
12(b)). Tingginya nilai COD dapat disebabkan oleh reaksi kimia antara air dengan
deterjen yang digunakan dalam proses laundry di rumah sakit tersebut. Deterjen
menyebabkan kebutuhan oksigen untuk mengurai bahan kimia menjadi besar
(a) (b)
Gambar 13. Hasil pemeriksaan laboratorium, (a) TSS ,(b) Phosphat
Total Suspended solid (TSS) adalah padatan yang terkandung dalam air
dan bukan merupakan larutan, bahan ini dibedakan dari padatan terlarut dengan
jalan uji filtrasi laboratorium. TSS terdiri atas komponen settleable, floating dan
non-soluble (suspensi koloidal) serta mengandung senyawa organik. TSS yang
berlebihan dapat membahayakan ikan dan jasad akuatik lainnya melalui
penyelimutan insang dan terjadi reduksi radiasi matahari (Sugiharto, 1987). Hasil
pengujian laboratorium (Gambar 13(a)) menunjukkan bahwa pada bulan
September 2009, nilai TSS telah melebihi nilai ambang batas yang telah
ditentukan. Nilai TSS yang tinggi dikarenakan partikel padat yang terlarut di
dalam air cukup banyak. Nilai yang tinggi ini juga dapat di sebabkan karena
sistem pada IPAL yang berfungsi untuk penyaringan tidak berjalan dengan baik
20
sehingga partikel padat yang ada didalam air masih dapat larut dalam air dan ikut
terbuang ke lingkungan. Tingginya nilai TSS dapat dikarenakan tidak terurainya
partikel padatan yang ada di dalam air oleh mikrobia sehingga masih ada di dalam
air dan dapat masuk ke lingkungan
Gambar 13(b) menunjukkan nilai pengujian terhadap nilai phospat. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Mei dan September 2009,
nilai Phospat didalam air limbah telah melebihi ambang batas. Phospat merupakan
zat yang biasa terdapat di dalam sabut cuci atau deterjen. Air yang berasal dari
proses laundry atau mencuci juga ikut masuk kedalam sistem IPAL. Nilai Phospat
melebihi ambang batas dapet disebabkan oleh tingginya intsitas aktifitas laundry
atau mencuci di rumah sakit ini ataupun mikrobia yang digunakan dalam
pengolahan limbah bekerja kurang optimal. Kurang optimalnya kerja dari
mikrobia dapat diarenakan kurangnya nutrisiuntuk mikrobia, jumlah mikrobia
yang kurang memadai dan mikrobia yang digunakan dalam pengolahan limbah ini
kurang tepat.
(a) (b)
Gambar 14. Hasil pemeriksaan laboratorium, (a) Suhu, (b) Amoniak Bebas
Gambar 14(a) memperlihatkan hasil pengukuran parameter fisika yaitu
suhu (oC) yang masih tergolong kedalam suhu yang normal dikarenakan hasil
pengukuran pada ketiga bulan tersebut tidak ada hasil yang melebihi ambang
batas. Panas tersebut dihasilkan oleh proses fermentasi yang terjadi dalam proses
pengolahan limbah oleh mikrobia khususnya bakteri asam laktat.
21
Histogram pada Gambar 14(b) memperlihatkan hasil pengujian amoniak
bebas yang terdapat di dalam air limbah. Semua pengujian menunjukkan hasil
yang melebihi ambang batas, namun hasil yang paling nyata dapat terlihat pada
pengujian bulan Februari 2009. Amoniak dapat berasal dari limbah yang berupa
feses dan makanan yang tidak termakan yang terlepas ke lingkungan perairan
(Barg, 1992). Selain dari feses, amoniak juga berasal dari urin yang dihasilkan
oleh manusia dan dibuang pada saluran pembuangan. Amoniak dan urea bersifat
asam. Amoniak yang masuk kedalam perairan akan menyebabkan kematian pada
organisme akuatik khususnya ikan. Ikan dapat mengalami kematian yang
diakibatkan oleh amoniak dikarenakan proses pengikatan oksigen yang dilakukan
oleh insang akan terganggu dan akan menyebabkan kematian ikan secara perlahan
(Effendi,2003)
Gambar 15. Hasil Pemeriksaan laboratorium, pH air limbah
Gambar 15. menunjukkan hasil pemeriksaan terhadap pH air limbah. pH
normal adalah pH yang berkisar antara 6 hingga 9. Hasil pemeriksaan terhadap air
limbah R.S. Banyumanik menunjukkan pH yang normal karena masih berada
pada kisaran yang normal.
22
Gambar 16. Hasil Pemeriksaan laboratorium, MPN (Most Probable Number) bakteri Colliform
Histogram pada Gambar 16 menunjukkan kandungan bakteri coliform
dalam air limbah. Amabang batas yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah
sebesar 5000 sel bakteri/100ml. Dilihat pada histogram, nilai tertinggi terdapat
pada bulan September 2009 yaitu sebesar 250 sel bakteri/100ml. Secara parameter
Biologi atau bekteriologi limbah di rumah sakit ini dapat dikatakan baik.
23
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan kerja prkatek yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
bahwa R.S. Banyumanik telah memiliki manajemen pengolahan limbah, baik
yang berupa limbah padat ataupun cair. Rumah Sakit Banyumanik bekerja sama
dengan Rumah Sakit Sultan Agung dalam pengolahan limbah padat Infeksius
sedangkan limbah padat non-infeksius pada tempat pembuanagan sampah umum.
Limbah cair rumah sakit diolah dengan menggunakan Instlasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) yang sudah tersedia di rumah sakit tersebut. Berdasarkan hasil
pemeriksaan di Laboratorium terhadap air limbah yang meliputi parameter fisika,
kimia dan biologi tergolong buruk karena masih banyak yang melebihi ambang
batas dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah.
B. Saran
Saran dari penulis adalah perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut
mengenai kualitas air limbah yang dikeluarkan oleh R.S. Banyumanik.
Dikarenakan limbah cair yang dikeluarkan oleh R.S. Banyumanik masih
tergolong buruk, maka perlu adanya upaya perbaikan atau perawatan terhadap alat
IPAL agar dapat bekerja lebih optimal. Temapat sampah yang diletakkan di
ruangan juga sebaiknya tidak menggangu kenyamanan dan kesehatan dari pasien.
Hewan bioindikator yang ada di kolam pemantauan sebaiknya diganti, karena ikan
lele bukan merupakan hewan bioindikator yang baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
BAPPEDAL. 2004. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah tentang Baku Mutu
Air Limbah. Semarang.
Barg, U.C. 1992. Guidelines for The Promotion of Environmental Management of
Coastal Aquacultute Development. FAO Fisheries Technical Paper
328. FAO, Rome/ 122pp.
Agustiani E, A. Slamet, dan D. Winarni. 1998. Penambahan PAC pada Proses
Lumpur Aktif untuk Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit. Laporan
penelitian, Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.
Colony, S. 2001. Hospital Waste Management at SMF. http://www.SMF-Hospital
waste management.htm.
Freeman, H.M. 1988. Standard Handbook of Hazardous Waste Treatment and
Disposal. United States. McGraw Hill Co. USA.
Giyatmi. 2003. Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Dokter Sardjito
Yogyakarta Terhadap Pencemaran Radioaktif. Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hammer, M.J., 1986. Water and Wastewater Technology. 2 ed. John Wiley and
Sons. New York.
Rao, A.V., and A.G. Bhole. 2001. A Low-Cost Tecnology for The Treatment of
Wastewater. Water Research Journal, pp. 38.
Reinhardt, P.A and J.G. Gordon. 1991. Infectious and Medical Waste
Management. Michigan. Lewis Publisher Inc.
Rustama, M. M., R. Safitri, dan I. Indrawati. 1998. Pemanfaatan Limbah Cair
Pabrik Tahu Sebagai Media Pertumbuhan Phytoplankton. Laporan
Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Said, N. I. 1999 . Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit dengan Sistem
"Biofilter Anaerob-Aerob". Seminar Teknologi Pengelolaan
Limbah II: Prosiding, Jakarta.
Sugiarto, 1987. Dasar - Dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia
25
Suratmo, F.G. 1989. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada
Universiti Press. Yogyakarta
26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Borang pengamatan Kerja Praktek 28
2. Surat keterangan pelaksanaan kerja praktek dari instansi 29
3. Data hasil pengujian limbah cair 30
4. Desain sistem IPAL 36
5. Denah Rumah Sakit Banyumanik 37
6. Denah jaringan limbah 38
27